MERASIONALKAN BUDAYA MUSYAWARAH UNTUK MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN PENYELESAIAN SENGKETA WIN-WIN SOLUTION
MERASIONALKAN BUDAYA MUSYAWARAH UNTUK MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN PENYELESAIAN SENGKETA WIN-WIN SOLUTION Dr. ADI ♠ SULISTIYONO,SH.MH. Yth. Bapak Rektor/Ketua Senat UNS, Sekretaris Senat dan Seluruh Anggota Senat Universitas Sebelas Maret Yth. Para Anggota Dewan Penyantun Yth. Pejabat Sipil (Walikota atau yang mewakili), Kepolisian, dan Militer. Yth. Para Tamu Undangan dan Segenap Civitas Akademika Universitas Sebelas Maret yang Berbahagia.
Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXIX Universitas Sebelas Maret
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rezeki, kesehatan, dan kelapangan hati sehingga kita dapat menyelenggarakan dan menghadiri acara Peringatan Dies Natalis ke-29 Universitas Sebelas Maret. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih atas kepercayaan Rektor yang telah menunjuk saya untuk tampil untuk Orasi Ilmiah di depan sidang Senat Terbuka, dan saya atas nama pribadi dan mewakili civitas akademika mengucapkan Selamat Ulang Tahun pada Universitas Sebelas Maret.Semoga di bawah kepemimpinan Prof. Dr. dr. H. Much. Syamsulhadi, Sp.KJ, Universitas Sebelas Maret dapat menjadi perguruan tinggi yang ternama dan berwibawa di Indonesia, sebagai kampus bernaungnya dosen-dosen yang berkualitas dan kredibel, sebagai tempat memproduksi sarjanasarjana unggulan, dan sebagai
Disampaikan Pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 12 Maret 2005
Oleh : Dr. ADI SULISTIYONO, SH.MH.
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2005
♠
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
1
1
wahana yang kondusif bagi karyawan mengembangkan karir. Selanjutnya perkenankan saya untuk menyampaikan orasi ilmiah dengan judul “Merasionalkan Budaya Musyawarah Untuk Mengembangkan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution”
Di Indonesia, bila terjadi sengketa pada umumnya masyarakat masih banyak menggunakan jalur pengadilan untuk mendapatkan keadilan. Kondisi ini telah menyebabkan arus perkara yang mengalir melalui pengadilan melaju dengan cepat, sehingga terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, pada bulan September 2001 saja telah mencapai 16.233 perkara4, kemudian pada awal tahun 2005 tunggakan perkara telah meningkat menjadi 21.000 perkara. Akibat adanya tunggakan perkara tersebut, proses penanganan suatu perkara sampai mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap di Indonesia rata-rata membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 12 tahun5. Bagi pihak-pihak yang bersengketa lamanya proses mendapatkan keadilan tersebut jelas tidak menguntungkan, baik dari energi pikiran yang terbuang maupun banyaknya biaya yang dikeluarkan. Kondisi tersebut ternyata tidak menyurutkan para pihak yang bersengketa untuk tetap memberikan kepercayaan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan sengketanya. Kecenderungan masyarakat yang lebih suka menggunakan model penyelesaian sengketa winlose solution melalui lembaga pengadilan cukup menarik. Masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari, yaitu musyawarah. Namun demikian dalam realitas
Hadirin yang Saya Hormati Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang senantiasa ada sejak mulainya kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai kepentingan, atau keinginan yang tidak seragam1. Kompleksitas dan tingginya persaingan dalam kehidupan modern cenderung semakin meningkatkan potensi timbulnya sengketa diantara manusia. Terjadinya sengketa di dalam masyarakat bila tidak tertangani secara baik akan mengganggu produktifitas dan inefisiensi dalam masyarakat, bahkan bisa menimbulkan chaos. Dalam hal terjadi sengketa, hukum telah menyediakan dua jalur, yaitu: jalur litigasi dan jalur non-litigasi yang dapat digunakan pihak-pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keadilan. Penggunaan salah satu jalur tersebut ditentukan oleh konsep tujuan penyelesaian sengketa yang tertanam di pikiran pihakpihak yang bersengketa, kompleksitas serta tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat2, dan budaya atau nilai-nilai masyarakat3. 1
Jacques Attali menggunakan istilah ‘pertentangan terhadap barang yang sama-sama dinginkan manusia itulah yang memicu permusuhan’. Selanjutnya dia menyebutkan, di mana ada keinginan di situ ada kekerasan (konflik). Lihat Jacques Attali, Milenium Ketiga, terjemahan Eny Nor Hariati, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
refleksi dari sistem sosial dan pandangan atau nilai-nilai masyarakat terhadap konflik itu sendiri. Soetandyo Wignjosoebroto, “Mencoba Memahami Pola Perilaku Pemakai Jalan Raya,” Yuridika No.8., 1988. 4
Lihat Kompas, Menunggak 16.233 Nopember 2001.
2
William J.Chambliss & Robert B.Seidman, Law, Order, and Power, Massachustts, Addison-Wesley Publishing Company, 1971.
“MA Masih perkara”, 2
5
Yahya Harahap I, Beberapa TinjauanMengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997.
3
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, cara penyelesaian terhadap sengketa atau konflik tidak lain merupakan 2
2
penyelesaian sengketa, masyarakat nampaknya telah kehilangan penghayatan dan pengamalan pada nilai musyawarah, yang terlihat sekarang ini justru berkembangnya penyelesaian sengketa dengan kekerasan dan budaya gugat menggugat (suing society)6. Untuk itu dipandang perlu dicarikan jalan keluar agar budaya musyawarah bisa dikembangkan untuk menyelesaiakan sengketa win-win solution yang prosesnya lebih cepat dan biaya relatif murah serta tidak menimbulkan rasa permusuhan pihakpihak yang bersengketa.
menggunakan paksaan (coersion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihakpihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan kedua, menggunakan model penyelesaian sengketa nonlitigasi. Model ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution. Keadilan yang dicapai melalui mekanisme penyelesaian sengketa win-lose solution dinamakan keadilan distributif, sedangkan keadilan yang diperoleh melalui mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution dinamakan keadilan komutatif8. Dalam bahasa Marc dalam hal Galanter9, menyelesaikan sengketa, masyarakat bisa mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang telah
Globlalisasi Penggunaan Sengketa Win-Win Solution Hadirin yang Saya Hormati Dalam literatur hukum terdapat dua pendekatan yang sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Pendekatan pertama, menggunakan model penyelesaian sengketa melalui Jalur Litigasi. Suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the dan adversary system)7
penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner’) dan pihak lain sebagai yang kalah (‘a loser’). Menurut definisi dari Black, “Adversary system. The jurisprudential network of laws, rule and procedures characterized by opposing parties who contened against each other for a result favourable to themselves. In such system, the judge act an independent megistrate rather than prosecutor; distinguished from inquisitorial system’, lihat dalam H.C. Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Sixth Edition, St.Paul, Minn: West Publishing, Co.1990.
6
Fenomena gugat-menggugat yang cukup menonjol di masyarakat mendapat sorotan dari harian Kompas, 18 Oktober 1997 dan juga Satjipto Rahardjo yang menulis tentang ‘ Perilaku Gugat Menggugat’ , Kompas, 25 Februari 1998. Bahkan sengketa perebutan tahta antara PB XIII Tedjowulan dengan PB XIII Hangabehi juga pernah direncanakan akan diserahkan melalui pengadilan. Kondisi ini kontras dengan yang terjadi di Amerika Serikat, karena banya sengketa yang diselesaikan melalui jalur nonlitigasi, bahkan perguruan tinggi di Amerika Serikat, juga mempunyai lembaga khusus, ombudsperson atau ombudsman, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internal. Sehingga sengketa-sengketa internal yang terjadi tidak perlu dibawa ke jalur litigasi. Lihat Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution. St. Paul, Minnesota: West Publishing. 1992.Lihat juga Riskin dan Westbrook, Dispute Resolution and Lawyers, American Casebook Series, St.Paul, Minn: West Publishing Company, 1987.
8
Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum di bawah ‘Kuasa’ Paradigma Liberalisme’, Bahan Kuliah Teori Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, 2002. Lihat juga S. Wignyosoebroto, “Keadilan Komutatif, Win-win Solution”, Kompas, 25 November 2000. 9
Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”, dalam Mauro Cappellti, Acces to Justice and the Welfare State, Italy, European University Institute, 1981.
7
Jalur litigasi ini bersifat ‘pertentangan’ antar para pihak. Oleh karena itu, proses litigasi selalu menghasilkan bentuk 3
3
disediakan oleh negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat. Keadilan yang diperoleh oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui pendistribusian secara eksklusif oleh negara, dalam hal ini pengadilan, dinamakan ‘sentralisme hukum’ atau ‘paradigma sentralisme hukum’. Sedangkan keadilan yang didapat oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui forum-forum di luar jalur litigasi dengan mendasarkan pada hukum rakyat atau hukum pribumi dinamakan ‘desentralisme hukum’ atau ‘paradigma desentralisme hukum’. Dengan bahasa yang lain, Laura Nader10 menyebut mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan pendekatan konsensus dengan give a little, get a little. Sedangkan untuk penyelesaian sengketa dengan pendekatan adverserial (pertentangan) disebut winner takes all. Dari dua pendekatan tersebut, mekanisme penyelesaian sengketa win-lose solution dengan mengandalkan perangkat lembaga peradilan11 sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan makin derasnya infiltrasi hukum modern di setiap penjuru dunia. Dalam konstelasi sistem hukum modern, keberadaan pengadilan di antaranya mengemban tugas menyelesaikan sengketa untuk menegakan rule of law dan dimaksudkan juga sebagai sarana fasilitatif12 untuk menegakan
wibawa hukum dengan jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat sengketa. Walaupun ternyata terbukti dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa menggunakan jalur ini dihinggapi formalitas yang berlebihan, tidak efisien dan efektif, mahal, perilaku hakim yang memihak, adanya jual beli perkara di lingkungan pengadilan, dan hasil putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari 13 keadilan . Dalam literatur hukum, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution biasanya disebut Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi atau disebut ADR (Alternative Dispute Resolution)14 atau Alternatif Penyelesaian 15 Sengketa . the Sociological of Law, Second Edition, New York, Harrow and Heston, 1994. 13
Menurut Yahya Harahap, “pengadilan di manapun memang tidak didesain untuk melakukan pekerjaan yang efektif dan efisien. Di pengadilan banyak sekali faktor yang terkait. Sebab itu, penyelesaian sengketa dengan cara litigasi bisa bertahun-tahun. Bahkan, sampai puluhan tahun”, Kompas, “Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara”, 16 Juli 1999. 14
Istilah ADR ini menjadi terkenal ketika pada tahun 1976, mantan chief justice Warren Burger memaparkannya dalam suatu Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction, di Saint Paul, Minnesota. Secara resmi, istilah tersebut diadopsi oleh American Bar Association (ABA) pada tahun 1976 melalui pendirian komisi khusus ADR. Lihat dalam Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution, St. Paul, Minnesota, 1992. Arthur Marriot, “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes”, Asia Pasicif Law Review, Vol 1 Summer 1994. Menurutnya “ADR as a range of procedures which serve as alternative to the adjudicatory procedures of litigation and arbitration for the resolution of disputes, generally but not necessarily involving the intercession and assistance of a neutral third party who helps to facilitate such resolution.”
10
William J.Chambliss & Robert B.Seidman, Law, Order, and Power, Massachustts, Addison-Wesley Publishing Company, 1971.. 11
Dalam Pasal 10 ayat (2) Undangundang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat empat peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu: a) Peradilan Umum; b) Peradilan Agama; c) Peradilan Militer; d) Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, sengketa bisnis masuk dalam yurisdiksi peradilan umum.
15
Di Indonesia, Alternatif Dispute Resolution (ADR) secara resmi diterjemahkan menjadi ‘Alternatif Penyelesaian Sengketa’ yang didefinisikan sebagai ‘lembaga penyelesaian sengketa atau beda
12
Hukum pada dasarnya mempunyai fungsi represif, fasilitatif, dan ideologi. Lihat Dragan Milovanovic, A Primer in 4
4
Model yang digunakan di dalam pengadilan disebut Court Connected ADR16 / ADR inside the court17 /Court Dispute Resolution (CDR)18 meliputi: Perdamaian di Pengadilan; Pemeriksaan Juri Sumir; Evaluasi Netral secara Dini (Early Neutral Evaluation); Pencarian Fakta yang bersifat Netral (Neutral Fact-Finding). Sedangkan model yang digunakan di luar pengadilan di antaranya meliputi: Negosiasi; Mediasi; Konsiliasi; Persidangan Mini (Mini Trial), dan Ombudsman atau Ombudsperson Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi memang bukan merupakan panacea19 yang
mampu mengatasi semua sengketa, namun demikian dengan menggunakan jalur ini beberapa keuntungan yang bisa diperoleh 20, yaitu: 1. Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. 2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat. 4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli’. Lihat Pasal 1 butir (10) Undang-undang No.30 Tahun 1999. 16
Istilah ini digunakan dalam seminar sehari tentang Court Connected-ADR yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan the Asian Foundation, tanggal 21 April 1999.
Anathema, Harv. Law. Rev. 668, 1986. Menurut Edwart, A potential danger of ADR is that disputants who seek only understanding and reconciliation may treat as irrelevant the choices made by our lawmakers and may, as aresult, ignore public values reflected in rules of law.
17
Istilah ini digunakan oleh Muladi (mantan menteri Kehakiman) yang bertindak sebagai Keynote Speech dalam acara seminar sehari tentang Court Connected-ADR yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan the Asian Foundation, tanggal 21 April 1999.
20
Di simpulkan dari B. Golberg, F. Sander, and N.H. Rogers, Dispute Resolution: Negotiation, Mediation, and Other Processes, Boston, Toronto, Little, Brown and Company, 1992; Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution, Toronto, West Publishing Coo. 1992. Thomas E. Carbonneau, Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds, Chicago, University of Illinois, 1989. Muladi, “Sambutan Menteri Kehakiman pada Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR”, Depkeh R.I., 21 April 1999; H.P. Panggabean, “Potensialitas Pengembangan Court Connected ADR di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR, Dep. Kehakiman RI, 21 April 1999. Lihat juga Christopher W. Moore, The Executive Seminar on Alternative Dispute Resolution Procedure, Colorado, CDR. Associates, 1995.
18
Istilah ini digunakan di Singapura. Lihat Liem Lei Theng, “Mediation in Singapore”, Makalah dalam seminar sehari tentang Court Connected-ADR yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan the Asian Foundation, tanggal 21 April 1999. Lihat juga Murgiana Haq, “Copyright Infringement and Alternative Dispute Resolutions”, Makalah , JIII, AOTS, 22 September 1998. 19
ADR is not the panacea which cures all ills: neither is it suitable for all disputes, particularly those involving the liberty or rights of the citizen, .... Arthur Marriot, “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes”, Asia Pasicif Law Review, Vol 1 Summer 1994. Lihat juga Edwart, “Alternative Dispute Resolution: Panacea or 5
5
5. 6. 7.
8.
negara Arab28 sekarang ini telah mendayagunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan sekarang ini keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien telah menjadi salah satu daya tarik utama yang dipromosikan oleh suatu negara yang hendak mengundang atau menarik investor asing menanamkan modal. Jadi dari sistem ekonomi, ideologi, budaya, hukum, struktur sosial serta agama yang berbeda di setiap Negara dapat muncul paralelisme sikap untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, dengan kata lain penggunaannya mampu menembus sekat perbedaan sistem ekonomi, ideologi, budaya, hukum, struktur sosial, dan agama.
diterima oleh semua pihak. Sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. Bersifat tertutup/rahasia (confidential). Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihakpihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam pengadilan.
Keuntungan itulah yang menyebabkan banyak negara seperti Amerika21, Jepang22, Korea23, Australia24, Inggris, Singapura26, Hongkong25, Srilangka, Filipina27, dan Negara21
Goldberg, Frank E.A. Sander, and Nancy H. Rogers, Op.cit,. J.M. Nolanhaley, Op.cit. Thomas E. Carbonneau, Op.cit. Lihat juga Sofyan Mukhtar, “Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa-sengketa Perdata-Dagang (Dispute Resolution)”, Varia Peradilan, No.48, 1989.
Hadirin yang Saya Hormati Berkembangnya pengunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution di berbagai negara tersebut berkat adanya kesadaran dari masyarakat untuk mencari mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisisen, usaha yang terus menerus untuk merasionalkan budaya harmoni atau musyawarah untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan adanya peran pemerintah untuk menyediakan sarana penunjang berkembangnya penggunaan jalur non-litigasi. Sayangnya fenomena pesatnya perkembangan penggunaan mekanisme penyelesain sengketa win-win solution di berbagai negara tersebut belum terjadi pada
22
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”, dalam A.A.G Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta, Sinar Harapan. Lihat juga Yosiyuki Noda, Introduction to Japanese Law, Tokyo University Press, 1976. 23
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1979. Lihat juga Soeryono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta, Rajawali 1987. 24
Lihat M. Yahya Harahap, Op.cit.
25
A.Marriott, Op.cit.
26
Liem Lei Theng, “Court Connected ADR in Singapura”, makalah dalam Seminar Court Connected-ADR, Jakarta, Departemen Kehakiman RI, 21 April 1999.
“Policy Paper on Alternative Dispute Resolution in Environmental Sector”, Jakarta, Icel-Qipra, 1996.
27
28
Lihat dalam Isna Marifa, et.al. “Pelembagaan Penyelesaian Sengketa melalui Perundingan dan Arbitrase di Indonesia”, Makalah Kebijakan disusun PT.Qipra Galang Kualita, Akatiga, ICEL, dan LPPM, jakarta, 1997. Lihat juga Mas Achmad Santosa, et.al.,
Salah Al-Hejailan, ‘Mediation as a Means for Amicable Settlement of Disputes in Arab Countries’, Conference on Mediation, Geneva, 29 Maret 1996.
6
6
masyarakat Indonesia. Sebenarnya pemerintah telah berinisiatif untuk membuat 29 undang-undang yang memungkinkan masyarakat untuk menggunakan jalur Non-Litigasi. Namun sampai sekarang penggunaan sarana tersebut belum terlihat perkembangan yang cukup berarti, hal ini sebenarnya tidak mengherankan karena selama ini masyarakat menyingkapi keberadaan budaya musyawarah sekedar given, sehingga tidak ada upaya untuk memperjuangan atau merasionalkan sesuai dengan tuntutan zaman. Selain itu, trust sebagai modal sosial yang penting untuk membangun relasi-relasi sosial masih belum berkembang secara baik pada masyarakat Indonesia, akibatnya pihak-pihak yang bersengketa sering berhadaphadapan dalam suasana permusuhan yang meruncing, bersikap apriori terhadap pihakpihak yang hendak beritikad baik sebagai penengah, dan yang tidak kalah pentingnya pihak-pihak
yang bersengketa juga mengalami kesulitan mencari pihak penengah yang kredibel dan professional untuk menyelesaikan sengketa. Keadaan tersebut terasa lengkap karena pemerintah pada masa lalu tidak mendukung pengembangan budaya musyawarah untuk menyelesaikan sengketa melalaui pranata-pranaata adat, tapi justru ‘menghancurkan’ sarana-sarana yang dipakai masyarakat adat untuk mengimplementasikan penyelesaian sengketa secara konsensus, dengan melakukan unifikasi lembaga peradilan secara nasional. Dalam kaitannya dengan hal ini Satjipto Rahardjo30 mengemukakan, “Memang tidak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Namun dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan individualistis serta pengorganisasian masyarakat secara modern rasional, maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri”. Berdasarkan hal itu agar budaya musyawarah bisa menjadi bagian perilaku masyarakat Indonesia atau meningkatkan penggunaan penyelesaian sengketa, perlu adanya langkah-langkah terencana untuk mewujudkan keinginan tersebut.
29
Penjelasan Pasal 3 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa “Ketentuan ini tidak menutup kemuungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan.”. Lihat Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; dan Peraturan Menteri Negara Agrari/Kepala Badan Pertanahan nasional No.1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa pertanahan. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; UndangUndang No.31 Sirkuit Terpadu. Undang-undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek; dan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 Tahun 2000 tentang Desain Industri; Undang-Undang No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Tentang Paten.
Merasionalkan Budaya Musyawarah Dalam masyarakat yang mempunyai budaya gotong royong, tenggang rasa, musyawarah, dan guyub (gemeinschaft) seperti di Indonesia, keberadaan mekanisme penyelesaian 30
Lihat Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1979, h.52.
7
7
sengketa win-win solution, yang mendasarkan pada konsensus dan musyawarah sebenarnya pernah atau masih berlangsung dalam praktik-praktik penyelesaian sengketa di masyarakat31. Namun demikian, nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut di atas belum dikembangkan secara rasional ilmiah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dari yang sederhana sampai sengketa modern yang multikomplek.
lembaga peradilan atau membawa sengketanya melalui jalur nonlitigasi. Hadirin yang Saya Hormati Budaya musyawarah33 dan tenggang rasa/tepa selira34 yang selama ini ditonjolkan dalam masyarakat Indonesia atau merupakan ciri khas yang diunggulkan dibandingkan dengan budaya individualis ternyata sekarang ini cenderung menjadi nilai-nilai yang semu dan artifisial. Budaya musyawarah dan tenggang rasa sekarang ini terasa menjadi berkurang pamornya35, hal ini bisa jelas
Merasionalkan budaya musyawarah yang dimaksudkan di sini adalah tidak lagi mengangap budaya musyawarah sebagai given, tapi harus diperjuangkan terus menerus secara rasional untuk bisa digunakan menyelesaikan sengketa, dari yang sederhana sampai yang rumit sekalipun. Dengan adanya usaha tersebut diharapkan budaya mampu menggerakan motivasi tak sadar masyarakat untuk membawa setiap sengketanya melalui pendekatan jalur non-litigasi. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan L.M. Friedman32, faktor budaya ikut menentukan perilaku seseorang yang sedang terlibat suatu sengketa untuk membawa sengketanya pada
33
Kata ‘musyawarah” hampir tercantum di semua akta perjanjian yang dibuat para pihak. Biasanya dalam akta perjanjian kerjasama bisnis senantiasa melampirkan klausul ‘bila dikemudian hari timbul sengketa akan diselesaikan secara musyawarah’. Namun dalam praktik pencantuman kata ‘musyawarah’ dalam akta tersebut sebenarnya tidak dipahami sebagai bagian perilaku budaya masyarakat yang mempunyai nilai yang tinggi untuk menyelesaikan sengketa, sehingga pencantuman itu hanya merupakan, sekedar kebiasaan formal pembuatan akta. Tapi bila terjadi sengketa, para pihak cenderung membawa ke pengadilan. Fenomena ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Stewart Macaulay, yang berjudul “Non-Contractual Relation in Business” pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, dimana semua akta perjanjian yang dibuat para pihak mencantumkan sanksi yuridis bila salah satu pihak wanprestasi. Namun dalam realitasnya apabila salah satu pihak wanprestasi tidak ditegakan berdasarkan hukum, tapi diselesaikan dengan musyawarah.
31
Praktik penyelesaian sengketa yang menggunakan jalur non-litigasi sebenarnya juga masih dilakukan di masyarakat, di antaranya adalah: 1) Amin Rais minta maaf pada PKB yang telah mensomasi dikarenakan pernyataannya dinggap telah melecehkan Dewan Syuro PKB (Solo Pos, 12 Desember 2004). 2) PT. Anangga Pundinusa, anak perusahaan Barito Pasific Timber divonis denda adat senilai Rp 1,3 miliar dalam kasus pengambilan tanah ulayat seluas 14 ribu hektare dan akibat adanya kebakaran hutan. Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dalam peradilan adat suku Dayak Bahau-Talivag. 4) Pengadilan Negeri Gunungsitoli di Nias, Sumatera Utara masih sering menyelenggrakan sidang penyelesaian sengketa yang terjadi di wilayah tersebut dengan melibatkan ketua adat. Lihat Adi Sulistiyono, “Mempertimbangkan Paradigma Non-litigasi”, (Solo Pos, 25 Juli 1998). 32
34
Tepa salira adalah empati, setiap orang (Jawa) tahu, hubungan baik dengan orang lain tergantung pada kadar rasa empati kita. Empati terhadap masalah orang lain, kesulitannya, penderitaan dan keterbatasannya. Tepa salira macam inilah yang memungkinkan orang menghormati keberadaan orang lain. Tepa salira adalah jaringan rasa, yang dapat menajamkan empati akan penderitaan orang lain. Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999. 35
Menurut Daoed Yoesoef, hidup matinya suatu budaya tergantung pada ada tidaknya perkembangan nilai atau nilai-nilai yang membentuk budaya yang bersangkutan. Perkembangan ini dilakukan oleh penghayat atau penganut
Friedman, Op.cit.
8
8
terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Budaya gugat-menggugat dan budaya kekerasaan untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian sudah menjadi sesuatu yang lumrah dalam masyarakat Indonesia. Pudarnya nilai-nilai luhur telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi ‘kasar’ dan tanpa perasaan36, hal tersebut semakin menguat manakala hukum tidak lagi mempunyai kewibawaan untuk mengatur mereka, pranatapranata adat sulit ditemukan masyarakat, dan ketika para pemimpin formal maupun informal justru menganggap kekerasan merupakan senjata yang efektif untuk menyelesaikan konflik. Hancurnya lembaga-lembaga adat akibat diterapkannya hukum nasional secara sentralistik menjadi salah satu penyebab nilai-nilai luhur yang dijunjung masyarakat tidak lagi mempunyai habitat untuk berkembang. Diberlakukannya UU No.5 pada tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dan kebijaksanaan penyatuan (unifikasi) lembaga peradilan pada masa Orde Lama, yang melikuidasi lembaga peradilan adat dan desa, menjadi ‘pendobrak’ masuknya hukum nasional yang tidak aspiratif atas lembaga adat. Hal itu masih ditambah dengan berkembangnya sistem masyarakat totaliter yang melindas kreativitas, dan pembangunan materialisekonomis yang menumpulkan rasa. Arus modernisasi37 ternyata juga ikut memberikan saham
dalam mendobrak dinding tatanan moral tradisional berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur nenek moyang manusia serta menyebabkan rusaknya pranatapranata tradisional yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tradisional38. Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, musyawarah, tanggungjawab, kejujuran, kerukunan, kesetiakawanan, lambat laun digeser oleh otonomi manusia yang mendewakan kebebasan. Pandangan hidup yang mengagung-agungkan kebebasan personal umumnya akan mendorong manusia untuk mendahulukan kepentingan pribadi, yang diutamakan adalah kebebasan pribadi, sedangkan hak-hak orang lain seringkali dilupakan. Sikap ini acapkali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam hidup sosial. Penyanjung kebebasan seakanakan tinggal di luar entitas sosial dan seolah-olah mereka tidak berdampingan dengan sesama39. Matinya budaya pela-gandong, misalnya, yang merupakan pranata kultural di kalangan masyarakat Maluku untuk menjadi perekat yang kuat untuk menghindari berbagai bentuk konflik, membuktikan bahwa nilai-nilai musyawarah tidak dihayati secara mendalam, tapi hanya sekedar simbol 40 dipermukaan . Untuk mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, tak pelak lagi, krisis nilai budaya musyawarah di masyarakat juga
budaya tersebut. Dengan perkataan lain, penganut budaya itu, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok, dengan sadar dan sengaja membuat dirinya menjadi pengolah atau pengembang budaya (sistem nilai) yang dihayatinya. D. Yoesoef, Op.cit.
weakening kinship and other communal relationships. Lihat Donald Black, Behavior of Law, New York, Academic Press, 1989. 38
Lihat Satjipto Rahardjo, “Perilaku Gugat Menggugat”, Kompas, 25 Februari 1998.
36
Dalam kurun waktu tahun 1999 s/d 2000 ada 46 pelaku kejahatan yang tewas karena dikeroyok atau dibakar massa. Lihat dalam Kompas, “Saat Hukum Mandul, Masyarakat Bertindak Krimininal”, 17 Mei 2000.
39
37
Kompas, “Pela-gandong Sekedar Simbol Permukaan”, 31 Januari 1999.
William Chang , “Pendidikan nilainilai Moral”, Kompas, 3 Mei 1999.
40
Modernization destroys the closeness of tribal and other traditional settings, 9
9
harus segera dicarikan jalan keluar. Usaha ini harus dilakukan tidak hanya karena rangsangan dari luar, tetapi karena kreativitas, kegelisahan, motivasi dari dalam masyarakat sendiri akan arti pentingnya dan keuntungan budaya bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang dialaminya. Tanpa itu sulit untuk membangkitkan dan mengembangkan budaya musyawarah agar menjadi bagian nilai yang dihayati dan dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan sengketa secara profesional. Budaya Barat, yang individualis, pragmatis, dapat hidup, tumbuh dan berkembang begitu rupa hingga mendunia, terjadi berkat ketekunan bangsa Barat untuk mengganggap dan mengembangkan budaya yang mereka hayati dapat memakmurkan dan menyesejahterakan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia juga harus menganggap bahkan kalau perlu menganggung-agungkan bahwa nilai-nilai musyawarah mampu menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas dibanding menyelesaikan sengketa melalui jalur ‘pertentangan’ apalagi dengan menggunakan ‘kekerasaan’. Masyarakat Jepang dan Korea, merupakan contoh yang lain suatu masyarakat yang mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan budayanya sendiri walaupun hukum modern secara sadar mereka adopsi. Sehingga tidak heran bila masyarakat Jepang dan Korea menganggap jalur litigasi atau mekanisme penyelesaian sengketa win-lose solution tak cocok dalam penyelesaian sengketa, bahkan dipandang membahayakan hubungan sosial yang harmonis. Alur Litigasi telah dinilai salah secara moral, bersifat subversif atau membrontak. Menurut Yosiyuki Noda41, “Bagi seorang Jepang terhormat, hukum adalah sesuatu yang tidak disukai, malahan
dibenci.....Mengajukan orang ke pengadilan untuk menjamin perlindungan atas kepentingan kita, atau untuk disebut di dalam pengadilan, meskipun dalam urusan perdata, adalah sesuatu yang memalukan....” Hampir sama dengan masyarakat Jepang, cara-cara penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat Korea Selatan, apabila seorang warga masyarakat menggunakan hukum (pengadilan) sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa maka berarti orang tersebut telah mengumumkan perang terhadap pihak lawannya. Penyelesaian melalui sarana hukum akan merusak hubungan sosial yang harus dijaga keserasiannya42. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Jepang dan Korea tersebut bisa terus hidup karena adanya usaha-usaha sadar dari generasi pendahulu untuk memberikan teladan dan mengkomunikasikan secara berkelanjutan pada generasi muda serta menjadikannya dalam bagian dari sistem pendidikan mereka. Masyarakat Amerika yang terkenal sebagai masyarakat yang individualis dan suka berlitigasi, sekarang merasakan manfaatnya pendekatan konsensus untuk menyelesaikan sengketa. Menurut Ron Wakababayshi43, di Los Angeles yang merupakan kota yang paling beragam rasnya, termasuk juga bahasanya, soalsoal antar warga atar tetangga diselesaikan lewat lembagalembaga mediasi. Demikian juga kota-kota lain di Amerika Serikat. Jadi apabila ada perselisihan antar tetangga soal parkir mobil atau soal-soal lain, maka lembaga mediasi ini menyediakan jasa mediasi untuk membantu pihak yang bertikai menemukan penyelesaian yang bisa diterima kedua pihak. Tidak seperti tokoh yang dituakan (dalam masyarakat 42
Soeryono Soekanto, Op.cit.
43 41
Lihat dalam Kompas, “Konflik dan Pencegahannya”, 19 Maret 2000.
Yosiyuki Noda, Op.cit..
10
10
tradisional) yang menentukan model penyelesaian yang harus diterima oleh keduanya, atau pengadilan yang menentukan salah satu pihak keluar sebagai pemenang, lembaga mediasi melalui mediatornya mencoba menemukan penyelesaian yang diterima secara bulat oleh kedua pihak. Kalau tidak berhasil, lembaga mediasi ini mengusulkan kepada kedua pihak yang membawa kasusnya ke pengadilan. Pengadilan bukanlah pilihan yang baik, karena yang kalah merasa sakit hati. Selain itu, persoalan yang membuat munculnya sengketa, tidak tersentuh. Dengan demikian, penyelesaian sengketa yang dicapai adalah penyelesaian yang semu. Dengan mediasi, penyelesaian sengketa sungguhsungguh tercapai, karena bukan hanya sengketa yang diselesaikan, akan tetapi juga persoalan yang menyebabkan sengketa itu muncul kepermukaan”. Untuk merespon antusias masyarakat sejak tahun 1977, Departemen Kehakiman Amerika Serikat juga telah mendirikan tiga Neigborhood Justice Centers, di Atlanta, Kansas City, dan Los Angeles, yang memberikan jasa mediasi untuk perkara kriminal dan perkara-perkara kecil bidang perdata44. Kongres Amerika Serikat juga mendukung pengembangan ADR dengan mengundangkan the Civil Justice Reform Act of 1990 dan the Alternative Dispute Resolution Act of 1998. Pada tahun 1991 presiden Bush menerbitkan Executive Order 12278, menganjurkan penggunaan Alternative Dispute Resolution pada sengketa privat maupun sengketa melawan pemerintah. Selanjutnya kalangan swasta juga merespon dengan mendirikan Perusahaan di bidang Jasa Mediasi dan Arbitrase Peradilan
(Judicial Arbitration and Mediation Service), suatu perusahaan penyedia jasa ‘sewa hakim’, yang langsung mendapat sambutan dari masyarakat. Sehingga perusahaan itu pada tahun 1993 telah mempekerjakan 230 hakim di empat belas kantor di tiga negara bagian, untuk menyambut kepercayaan masyarakat pada lembaga tersebut. Penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di Amerika Serikat bukan disebabkan budaya masyarakatnya menghendaki penyelesaian secara musyawarah atau konsensus, seperti budaya bangsa Asia (Jepang, Korea, China) yang menggunakan nilainilai harmoni untuk menyelesaikan sengketa, tapi lebih disebabkan karena adanya krisis yang dialami jalur litigasi yang menyebabkan inefisiensi di bidang ekonomi. Budaya penyelesaian sengketa melalui pendekatan konsensus nampaknya perlu secara gencar dikomunikasikan pada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di sekeliling mereka. Sengketa-sengketa yang selama ini berhasil diatasi secara damai dalam masyarakat nampaknya perlu mendapat perhatian dan ekspose terus menerus tentang keuntungan atau manfaat yang dicapai pihak-pihak yang berperkara agar masyarakat kebanyakan ikut melihat, merasakan, atau mencontohnya. Oleh karena itu islah (perdamaian) yang dilakukan oleh mantan Komandan Korem Garuda Hitam, AM. Hendropriyono, dengan para mantan narapidana kasus Lampung, yang dimasukkan penjara dalam kasus Lampung 1987, dan islah antara bekas petinggi militer (Tri Sutrisno) dengan korban, keluarga mantan narapidana Tanjung Priok dalam peristiwa tanjung Priok 198445,
44
45
Kompas, 8 Maret 2001. Diberitakan dalam piagam islah antara lain dinyatakan bahwa para pihak menyatakan kembali kerukunan, perdamaian, dan persaudaraan, tidak
Lihat Lawrence M.Friedman, American Law An Introduction, Penterjemah Wishnu Basuki, Tata Nusa, Jakarta, 2001
11
11
perlu mendapat perhatian yang positip dari masyarakat. Sebagai pendalaman wacana dan mendapatkan cermin bagi anggota masyarakat yang percaya pada penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, menarik apa yang diungkapkan dua orang pendukung dikembangkannya mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution. Pertama, A. Yani Wahid46, seorang bekas narapidana politik era rezim Soeharto, yang mengalami penderitaan berat karena diperlakuan tidak adil dari lawan politiknya, menurutnya:
hakikatnya merupakan warisan religius untuk solusi konflik dalam tragedi kemanusiaan. Ia memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah kepada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian (asas silahturahmi), menghapus hujat menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan (asas saling memaafkan dan memohon ampunan kepada Tuhan). Klarifikasi yang diinginkan tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan (asas musyawarah). Pilihan ini akan lebih jelas arahnya karena bertumpu pada nilai-nilai serta semangat untuk mereformasi peraturan serta kebijakan politik yang mengabaikan harkat dan martabat kemanusiaan. Yang lebih penting dari itu adalah para pihak yang terlibat secara bersama-sama kembali pada semangat silahturami dan pemaafan untuk saling mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan berkasih sayang (tawashau bis-shabri wa tawashau bil marhamah). Pemaafan adalah kata kunci dalam model rekonsiliasi mana pun. Bila seseorang telah memaafkan, bisa dikatakan ia telah melakukan rekonsiliasi individual. Ia menyangkut pengalaman yang sangat personal, yang menyentuh kemanusiaan korban dan kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan orang lain. Korban mengalami pengalaman spiritual pada saat memohonkan pengampuan bagi mereka yang telah menghancurkan hidupnya. Memaafkan memang bukan melupakan, dalam arti tidak mengingat sama sekali, akan tetapi mengingat masa lalu dengan cara yang baru. Ingatan mengenai sesuatu yang paling pahit, yang pernah dialami dalam hidup, segera ditransformasikan ke ruang keteladanan dan
“Untuk menyelesaikan tragedi humaniter masa lalu. Keprihatianan terhadap persoalan kemanusiaan sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Yang diperlukan adalah model pendekatan humaniter yang tidak menjebak pada simplifikasi penyelesaian melalui pengadilan. Pendekatan humaniter harus mewakili sesuatu yang signifikan dalam proses penyembuhan luka kemanusiaan. Banyak sekali contoh, bahwa penyelesaian melalui ruang pengadilan justru menimbulkan kezaliman baru yang diabsahkan, tanpa pernah mampu meluruskannya kembali. Banyak liku-liku hukum yang tersesat dan menyesatkan sehingga tidak selalu yang lahir dari ruang pengadilan adalah keadilan yang dicari. Sangat banyak kasus di pengadilan yang diatur-atur dan berakhir dengan tanda tanya. Penyembuhan luka kemanusiaan yang dituju akhirnya terdampar dalam ketidakjelasan. Pilihan islah merupakan model pendekatan humaniter yang ingin masa kelam para korban yang telah mengakibatkan penderitaan lahir batin diungkit-ungkit kembali, apalagi bila hal itu hanya digunakan sebagai komoditas politik. 46
A. Yani Wahid, “Islah, Resolusi Konflik untuk Rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.
12
12
keluhuran kemanusiaan. Dengan demikian korban dan para pelaku yang menyatakan maaf, bersamasama mengalami pergumulan eksistensial yang menyembuhkan: sama-sama tiak membiarkan ingatan akan kejadian masa lalu menguasai hidupnya masa kini “.
Di atas hukum sebenarnya masih ada keadilan. Dalam suasan hukum modern yang sarat dengan prosedur dan rumusanrumusan yang legalistik, keadilan memang menjadi perkara yang susah dicapai. Dalam suasana seperti itu, memutus berdasarkan hukum positif tidak sama artinya dengan memberikan keadilan (dispensing justice). Piagam islah merupakan sumbangan yang sangat berharga di saat kita berpikir keras tentang bagaimana memulihkan keadilan dan wibawa di negeri ini”.
Sedangkan pendukung kedua, Satjipto Rahardjo47, begawan ilmu hukum Indonesia, yang menyatakan: “sikap masyarakat yang setuju islah dan yang berseberangan dengan piagam tersebut dapat dihubungkan dengan konsepkonsep tentang pengadilan dan penghukuman. Paling tidak terdapat dua konsep yang berseberangan. Konsep yang pertama, melihat pengadilan sebagai pembalasan. Ketidakadilan, kesalahan harus dibalas. Pada akhirnya, harus dikemukakan siapa yang bersalah atau yang dapat dipersalahkan, lalu dihukum. Konsep yang pertama ini banyak diikuti dalam sistem peradilan di dunia, termasuk Indonesia. Konsep kedua melihat pengadilan sebagai tempat untuk mengharmoniskan kembali kerusakan dan penderitaan yang terjadi dalam masyarakat. Pengadilan bukan tempat untuk melakukan blaming (menyalahkan), tetapi memulihkan keretakan dan keguncangan atau mengharmoniskan kembali keretakan yang timbul dalam masyarakat. Sekalipun islah tidak tercantum dalam hukum positif, itu tidak berarti tidak ada dalam masyarakat dan karena itu harus diabaikan saja. Ini termasuk positivisme atau legal dogmatisme yang sempit. Dari pengalaman lalu kita belajar bahwa dengan cara pikiran dogmatik seperti keadilan tidak pernah diberikan dengan baik, kendati kita meneriakkan supremasi hukum setinggi langit.
Hadirin yang Saya Hormati Penerimaan dan pembenaran oleh masyarakat secara luas pada pendapat Satjipto Rahardjo dan A. Yani Wahid tersebut di muka bisa dijadikan titik awal pengembangkan kepercayaan masyarakat pada budaya musyawarah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat. Islah bila dimodifikasi sedemikian rupa bisa dijadikan model penyelesaian sengketa menggunakan pendekatan konsensus bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan budaya musyawarah di dalam masyarakat, sehingga bisa mengikis budaya ‘dendam’ yang terbukti mengganggu produktivitas masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya. Kalau di masyarakat umum sudah tertanam budaya musyawarah, untuk mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution diharapkan tidak akan menghadapi banyak hambatan. Usaha itu memang bukan pekerjaan yang mudah48, tapi 48
Abdurrahman Wahid, yang dijuluki tokoh demokrat dan Kyai, juga belum memberikan teladan adanya islah. Dia menolak adanya Islah dengan Matori, sebagaimana diusulkan oleh Alwi Shibab, karena Matori dianggap telah melanggar keputusan DPP PKB untuk tidak ikut dalam Sidang Istimewa MPR pada tanggal 21 Juli 2001; Lihat Kompas, “Abdurrahman Wahid Tak
47
Satjipto Rahardjo, “ Piagam Islah Priok”, Kompas, 12 Maret 2001.
13
13
butuh perjuangan yang keras, harus dilakukan secara rasional, terus menerus dan berkelanjutan oleh setiap komponen dalam masyarakat. Di samping itu produk-produk budaya seperti lagu atau film anak-anakpun sebaiknya juga diarahkan atau berisi pesan-pesan moral tentang perdamaian agar bisa menjadi teladan perilaku bagi anakanak.Walaupun di Indonesia filmfilm semacam itu sangat langka, tapi kita masih berterimakasih karena pernah ada “Film Petualangan Sherina” yang memberi contoh pada anak-anak bagaimana membudayakan penyelesaian sengketa secara arif. Yang menarik dalam film tersebut juga ada lagunya yang memuat nilai luhur yang bisa menjadi landasan untuk mengembangkan budaya musyawarah. Demikian sebagian bunyi syairnya “Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan, tapi hanya manusia yang berjiwa berani yang mau mengakui kesalahan; setiap manusia pasti punya rasa sakit hati, tapi hanya manusia yang berjiwa satria yang mau memaafkan”. Di tengah derasnya nilai-nilai materialisme dan pornografi yang membingkai film-film remaja di Indonesia, memperbanyak produk film seperti Petualangan Sherina tersebut memang butuh perjuangan berat, kesabaran dan waktu yang cukup lama, karena hal ini tidak sekedar mengkomunikasikan nilai musyawarah atau perdamaian, tapi juga menyangkut pada perubahan perilaku, khususnya bagi mereka yang telah begitu lama mempercayai dan terbiasa
menggunakan mekanisme winlose solution. Merubah suatu perilaku yang sudah lama dilakukan atau menjadikan suatu nilai menjadi terintegrasi pada perilaku seseorang atau masyarakat memang bukan merupakan suatu hal yang sederhana, untuk itu perlu adanya rangsangan, motivasi, keuntungan-keuntungan yang bisa ditawarkan oleh mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution. Hal ini dimaksudkan agar seseorang atau masyarakat berkeinginan, berniat menggunakaannya. Fishbein49, dalam teorinya tentang keinginan berperilaku (theory of behavior intentions), menyatakan bahwa keinginan berperilaku ditentukan oleh persepsinya tentang manfaat perilaku tersebut, dan persepsi tentang sikap kelompok panutannya terhadap perilaku tersebut. Untuk medukung teorinya Fishbein mengemukakan beberapa preposisi. Dalam hubungannya untuk menciptakan atau merubah agar seseorang berperilaku untuk menyelesaikan perkara dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution. Melalui preposisi Fishbein dipaparkan menjadi: 1) perilaku seorang untuk menggunakan jalur non-litigasi dalam menyelesaikan sengketa dipengaruhi niatnya untuk melakukan perilaku tersebut; 2) Niat seseorang untuk menggunakan jalur non-litigasi dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai konsekuensi dari tindakan tersebut serta manfaat bagi dirinya; 3) Niat seseorang untuk menggunakan jalur nonlitigasi dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai harapanharapan kelompok panutan serta motivasi-nya untuk memenuhi harapan tersebut. Berkaitan dengan hal itu maka di samping mensosialisasikan tentang keuntungan menggunakan jalur
Setuju Islah dengan Matori”, 9 Oktober 2001. Hal yang sama juga terulang ketika Gus Dur ada sengketa politik dengan kelompok Hasyim Muzadi. Bandingkan karakter tersebut dengan Nelson Mandela, ketika memberikan pengampuan pada lawan-lawan politiknya yang telah mempenjarakannya selama puluhan tahun.
49
Lihat dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta, 1989, h.20-21 & 38.
14
14
non-litigasi, perlu juga para tokoh panutan di masyarakat (tokoh agama, pendidikan, pejabat pemerintahan) memberikan teladan dan memotivasi anggota masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan jalur non-litigasi. Tidak kalah pentingnya senantiasa diinformasikan tentang adanya distorsi atau kelemahan-kelemahan penggunaan jalur litigasi, sehingga masyarakat enggan dan segan untuk menggunakannya. Di samping itu, menurut Yasraf Amir Piliang50, apa yang perlu diubah pada manusia sebagai agen perubahan adalah kekuatan pendorong di dalam dirinya, yaitu dorongan hasrat (desire), khususnya hasrat kolektive (collektive desire), yang bahan bakarnya adalah energi libido kolektif (collective libido), dan yang produknya adalah ‘mentalitas kolektive bangsa’. Jacques Lacan mengemukakan bahwa hasrat (desire) merupakan suatu energi utama pengubah sosial, sebuah energi utama penggerak kebudayaan. Hasratlah yang membuat sebuah kebudayaan tidak pernah diam, yang membuat setiap orang merasa tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, yang mendorong orang untuk menemukan hal-hal baru. Ada dua bentuk utama hasrat, yaitu: Pertama, hasrat ‘menjadi’ (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta (kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan) ‘sang lain’ (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (orang, rakyat, negara), oleh sebab itu ia akan bertingkah laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa, agar tetap dicintai (narcissistic). Orang yang merasa dicintai atau dianggap pahlawan oleh masyarakat, karena suatu perbuatan yang terpuji misalnya berhasil mendamaikan sengketa yang terjadi di masyarakat, akan
selalu berbuat yang terbaik agar dicintai masyarakat. Kedua, hasrat memiliki (to have); hasrat memiliki sang lain sebagai suatu cara untuk memenuhi kepuasan diri (analitic desire). Orang yang menganggap penggunaan jalur non-litigasi mampu memenuhi kepuasan dirinya, akan berbuat seoptimal mungkin mempertahankan nilai tersebut. Hal inilah yang dialami oleh Mahatma Gandhi51 sehingga beliau memperjuangkan penggunaan jalur non-litigasi sepanjang karirnya menjadi pengacara, walaupun untuk itu harus kehilangan banyak uang. Dilema hasrat adalah bahwa ia dapat menggerakkan kebudayaan menuju kondisi yang lebih baik (positive desire), akan tetapi dapat juga menuju kondisi yang lebih buruk dan merusak (negative desire). Oleh sebab itu, kemampuan untuk memadukan kedua bentuk hasrat itu secara berimbang akan menentukan mental kolektif sebuah bangsa yang sesuai dengan skenario penyelesaian sengketa secara ‘musyawarah’ atau konsensus atau budaya dialogis. Dengan meminjam istilah Piliang, sebuah wacana libidosophy dapat kiranya dibangun; sebuah wacana pemikiran dan praktik mengenai hasrat khususnya bentuk-bentuk penyaluran hasrat yang dapat membentuk mentalitas kolektif untuk mengembangkan budaya musyawarah, konsensus, dan dialogis. Selain itu, sebuah ‘revolusi mentalitas kolektif’ sebagai satu bentuk praktik libidosophy dapat pula kiranya dilakukan dengan agend-agenda; mereduksi budaya gugat menggugat; membasmi sikap egois; menghilangkan sikap ingin menang sendiri; 51
Simak pernyataan Mahatma Gandhi (1927), “I realised that the true function of a lawyer wast to unite parties ....A large part of my time during the 20 years of my practice as a lawyer was occupied in bringing about private compromise of hundreds of cases. I lost nothing thereby not even money, certainly not my soul”.
50
Yasraf Amir Piliang, “Libidosophy: Revolusi Mentalitas Bangsa”, Kompas, 3 September 1999.
15
15
mengkomunikasikan etika 52 global ; dan mengembangkang sikap ‘tepa selira’.
kondisi yang demikian, agar pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution bisa berhasil, di masyarakat harus dikembangkan kesadaran akan arti pentingnya penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution untuk menyelesaikan sengketa. Untuk usaha tersebut mau tidak mau harus melibatkan baik bidang pendidikan54, pendidikan formal dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dan juga pendidikan informal dari keluarga atau masyarakat. Karena fungsi alamiah pendidikan adalah memberdayakan manusia tidak hanya menjadi pendukung sistem nilai yang berlaku tetapi lebihlebih menjadi pengolahnya hingga sesuai dengan tuntutan zaman55, bahkan juga menjadi salah satu kekuatan sosial yang ikut memberi bentuk, corak, dan arah bagi kehidupan masyarakat di masa depan56. Dalam rangka mengembangkan kepercayaan masyarakat pada mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution dan menjadikannya merupakan bagian dari nilai budaya masyarakat Indonesia yang diyakini paling sesuai bagi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan sengketa, sistem
Pendidikan Sebagai Sarana Mengembangkan Budaya Musyawarah Hadirin yang saya Hormati Mengembangkan mekanisme penyelesaian win-win solution tidak sekedar mendirikan lembaga-lembaga mediasi untuk menapung sengketa yang timbul di masyarakat, tapi juga mengembangkan kepercayaan masyarakat pada penggunaan mekanisme win-win solution untuk menyelesaikan sengketa. Langkah tersebut jelas memerlukan proses yang panjang, karena yang digarap adalah masalah kepercayaan. Apalagi bangsa Indonesia sekarang ini meminjam terminologi Francis Fukuyama53, dapat dikategorikan sebagai ‘sebuah masyarakat dengan tingkat saling percaya yang rendah’ (a low trust society). Perasaan tidak percaya dan rasa curiga dalam masyarakat hampir merata ditujukan pada semua komponen, yang terdapat dalam masyarakat seperti pada aparatur negara, lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kalangan profesi, kalangan pengamat, dan lain. Dalam
54
Menurut Satjipto Rahardjo, pendidikan niscaya menjadi andalan yang sangat penting pada waktu suatu bangsa merintis suatu pengalaman baru .... Lihat Satjipto Rahardjo, “Aspek Sosio-Kultural Dalam Pemajuan HAKI”, Seminar Nasional Penegakan Hukum HAKI Dalam Konteks Perlindungan Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah, Semarang, Klinik HaKI dan JETRO, 25 Nopember 2000.
52
Ide dasar etika global ini mengandung pandangan penting bahwa: setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi. Dalam hal ini manusia tidak saja mempunyai hak dalam hidupnya tetapi mempunyai kewajiban yang harus disadari dan dilakukan, yaitu: a) kewajiban dalam memelihara budaya tanpa kekerasan dan kekejian dalam semua bentuk kehidupan; b) kewajiban dan memelihara budaya solidaritas bersama dan adanya keadilan dalam ekonomi; c) kewajiban dalam memelihara budaya toleran dan jujur dalam hidup; d) kewajiban dalam memelihara budaya persamaan derajat dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Lihat dalam Khoirun Niam, “Etika Global dan Dialog Antaragama”, Kompas, 9 Juni 2000.
55
Daoed Joesoef, “Era Kebudayaan: Pemberdayaan Manusia dalam Perkembangan Zaman”, dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka (ed.), Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, CSIS, 1996. 56
J. Babari dan Onny S. Prijono, “Pendidikan Sebagai Pemberdayaan”, dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka (ed.), Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, CSIS, 1996.
53
Francis Fukuyama, Trust, The Social Virtues and the Creation of Prosperity, New York, The Free Press, 1995.
16
16
pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus mulai memperkenalkan, mengembangkan, mengkomunikasikan keluhuran nilai budaya musyawarah dan paham perdamaian dalam lingkungan pergaulan mereka melalui keteladanan dan contoh-contoh kongkrit yang terjadi di lingkungan pergaulan masyarakat. Dalam sistem pendidikan Jepang misalnya, terdapat paham fasifisme atau paham perdamaian yang terus menerus dianut sampai sekarang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Jepang menjadi orang yang cinta damai57. Sistem pendidikan di Indonesia selama ini mengabaikan hal-hal yang menyangkut nilai budaya, keluhuran budi pekerti, karena nilai tersebut dianggap given, telah hidup dan terpatri dalam masyarakat Indonesia sejak jaman nenek moyang. Padahal kalau masyarakat tetap menginginkan agar keluhuran nilai-nilai budaya bisa terus hidup dalam masyarakat dari generasi kegenerasi, setiap lapisan masyarakat harus memperjuangkan terus di setiap aspek kehidupan, tanpa itu maka suatu nilai budaya yang dianggap luhur oleh masyarakat akan mati. Oleh karena itu perlu kiranya merenungkan masukan dari Ron Direktur Wakababayshi58, Departemen Kehakiman Kawasan Barat Los Angeles, yang mengemukakan, masyarakat telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Generasi berganti, dan orang lama pergi, orang baru datang. Generasi baru
mempunyai nilai dan kebiasaan baru. Orang baru pun membawa nilai dan kebiasaan baru, kalau tidak dikelola secara hati-hati, maka masyarakat yang kelihatan baik-baik saja itu sesungguhnya menyimpan bom dahsyat. Berdasarkan hal itu, pendidikan harus mampu membentuk hati dan perasaan murid karena masalah nilai, jati diri, sikap egaliter, sikap pemaaf, dan mempercayai orang lain adalah terutama masalah ‘hati’, masalah afeksi, dan bukan masalah pengetahuan semata. Oleh karena itu, sekolah juga harus mengajarkan anak untuk saling membina trust di antara mereka, mengendalikan dirinya sendiri, mengajarkan anak berani mengakui kesalahan dan membiasakan minta maaf, menjauhkan anak dari sifat balas dendam, mengajarkan anak menjauhi kekerasan, mentaati janji (komitmen), menjauhi sifat sombong, dan merendahkan orang lain. Berdasarkan hal itu, sekolah harus melakukan pembinaan kognitif, afektif, dan konatif secara simultan59. Namun demikian, kurikulum pendidikan di 60 Indonesia selama ini justru lebih menekankan aspek intelektualitas, dan mengabaikan segi afektivitas. Padahal realitas membuktikan bahwa keberhasilan seorang di dalam masyarakat tidak hanya ditentukan pada faktor intelgensi, tapi juga faktor emotional, dan faktor spiritual quotient61. 59
Mochtar Antisipatoris, 2001.
Buchori, Pendidikan Yogyakarta, Kanisius,
60
Menurut Mochtar Buchori, kurikulum pendidikan di Indonesia sekarang ini telah melanggar hak asasi siswa, sebab telah menyita seluruh waktu dan energi anak, sehingga anak tidak sempat memikirkan siapa sebenarnya dia dan apa yang sebaiknya dia lakukan dalam hidupnya. Hal ini merupakan dosa pendidikan yang sulit dimaafkan. Ibid.
57
Sosialisasi paham perdamaian (heiwashugi) melalui pendidikan ini dianggap berhasil hal ini terbukti dengan rendahnya tingkat sengketa mereka yang dibawa ke pengadilan. Untuk melihat distorsi ketatnya sistem pendidikan Jepang menanamkan paham perdamaian lihat Yusron Ihza, “Perlawanan Terhadap Sistem Pendidikan PascaPerang ?”, Kompas, 28 Januari 2001.
61
Menurut Daniel Goleman, Emotional Quotient (EQ) is a basic requirement for the effective us of IQ. Emotional Quotient give us our awareness of our own and other people’s feelings. It gives us empathy, compassion,
58
Lihat dalam Kompas, “Konflik dan Pencegahannya”, 19 Maret 2000.
17
17
Berdasarkan hal itu yang mendesak sekarang ini adalah pembaharuan paradigma pendidikan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang tidak lagi hanya memfokuskan atau memberi apresiasi hanya pada kemampuan intelektual. Untuk itu birokrasi pendidikan pusat dan daerah, harus mulai memberikan otonomi yang luas untuk mengembangkan kurikulum lokalnya, yang memungkinkan guru-guru dalam praktek sehari-hari memberikan perhatian yang sama pada pembinaan kemampuan kognitif, kepekaan afektif, dan kemampuan konatif, serta memungkinkan guru mempunyai kebebasan untuk melakukan tugas mereka secara kreatif. Berkaitan dengan penanaman nilai musyawarah, konsensus, perdamaian, dan pemaaf pada anak didik, tenaga pendidik (guru dan dosen) sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan proses pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution harus menyadari hal itu. Pada lingkungan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas, di samping guru harus mengkomunikasikan nilainilai musyawarah atau perdamaian secara kreatif melalui suatu pelajaran seperti Budi
Pekerti, juga harus bisa menjadikan nilai musyawarah atau perdamaian merupakan bagian dalam kehidupan pergaulan (konatif) di sekolah62. Tidak itu saja, masyarakatpun harus mendukung menciptakan situasi yang responsif untuk pengembangan nilai-nilai tersebut. Sedang pada aras pendidikan tinggi, nilai-nilai tersebut tidak lagi sekedar menjadi suatu mata kuliah yang dibawakan oleh dosen secara profesional, tapi juga diarahkan untuk melakukan pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution secara mendalam melalui penelitianpenelitian; pelatihan-pelatihan untuk mencetak negoisiator, mediator atau konsiliator yang profesional; penciptaan lembaga penyelesaian sengketa secara damai yang bisa diakses oleh masyarakat umum63; menyusun kode etik profesi64; menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi asing yang telah berhasil mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution; dan menjalin kerjasama dengan pengadilan negeri di berbagai tempat untuk 62
Dirjen Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah) sekarang ini memberikan kelonggaran pada sekolah-sekolah untuk mengelola sendiri lingkungannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Kepala Sekolah yang dalam hal ini bertindak sebagai manager diharapkan mampu mengatur, mengelola sekolahan menjadi suatu rumah besar yang menentramkan dimana para penghuninya hidup penuh suasana kekeluargaan.
motivation and the ability to respond appropriately to pain or pleasure. Sedangkan Spiritual Intelligence (SQ), menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, is the necessary foundation for the the effective functioning of both IQ and EQ. SQ allows human being to be creative, to change the rules and to alter situations. It allows us to play with the boundaries, to play an ‘infinitive game’. SQ gives us our ability to discriminate. It gives us our moral sense, an ability to temper rigid rules with understanding and compassion and equal ability to see when compassion and understanding have their limits. We use SQ to wrestle with questions of good and evil and to envision unrealized possibilities- to dream, to aspire, to raise ourselves out of the mud. Lihat dalam Danah Zohar & Ian Marshall, Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence, London, Bloomsbury Publishing, 2000.
63
Perguruan tinggi di Amerika Serikat, telah mengembangkan ADR dengan jalan melakukan penelitihan, penulisan buku, pelatihan, dan penyedia jasa ADR, misal Havard Negotiation Project (HNP). 64
Lihat Adi Sulistiyono, “Menggagas Kode Etik Mediator”, Makalah Pelatihan Pilihan Penyelesaian Sengketa di Bidang Lingkungan Hidup, Penyelenggara Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNS, Indonesian Centre Environmental Law (ICEL), dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Surakarta 2-9 Juli 2002.
18
18
mengembangkan mekanisme dading (perdamaian). University of Technology, Sydney, Australia, merupakan suatu contoh sebuah perguruan tinggi yang telah berhasil mempelopori, mensosialisasikan penggunaan penyelesaian sengketa nonlitigasi pada masyarakat Australia. Sekarang ini perkembangan alternatif penyelesaian sengketa tidak kalah dengan negara-negara maju lainnya, padahal ADR di Australia munculnya belakangan bila dibanding dengan negaranegara lain. Dalam upaya memasyarakatkan ADR, University of Technology mendirikan Centre for Dispute Resolution. Selanjutnya dalam rangka pengembangan profesionalisme, mereka juga telah membuka strata Master of Dispute Resolution, juga membuka pelatihan atau kursus ADR. Di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, sejak tahun 1998, menyediakan mata kuliah pilihan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimasukkan sebagai Mata Kuliah Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH). Sedangkan untuk Program Pasca Sarjana Hukum Bisnis Universitas Sebelas Maret, mata kuliah ‘Alternatif Penyelesaian Sengketa’ merupakan mata kuliah wajib yang diambil oleh para mahasiswa. Di samping itu sejak pertengahan tahun 2004, Fakultas Hukum UNS juga telah mendirikan Badan Mediasi dan Bantuan Hukum, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya keinginan masyarakat yang ingin menggunakan jalur non-litigasi untuk menyelesaikan sengketanya.
keluarga merupakan basis utama dan kunci tranformasi nilai-nilai moral pertamakali diperkenalkan oleh orang tua pada seorang anak sebelum mengenal pendidikan formal. Pesan leluhur dalam Serat Wulang Reh65, menyebutkan bahwa keluarga merupakan wadah: 1) pendidikan pergaulan, 2) pendidikan watak, 3) pendidikan norma sosial. 4) pendidikan tatakrama, 5) pendidikan tentang baik buruk, dan 6) pendidikan agama. Dari berbagai unsur pendidikan ini tugas keluarga adalah nggulawentah (mendidik) anak (pamardi siwi) yang sebaikbaiknya. Selanjutnya dalam pandangan hidup tradisional (termasuk yang semi modern) keluarga juga dianggap poros dan sel terhakiki dalam hidup sosial. Mutu hidup sosial sangat tergantung pada hubungan intern keluarga, kalau keluarga tidak pernah membekali anak-anaknya dengan teladan yang baik dan nilai-nilai moral dalam hidup sosial, maka bukan mustahil bahwa anggota-anggota keluarga tertentu akan mengalami krisis moralitas66. Di samping keluarga, institusi publik seperti perusahaan jaringan telivisi67 juga merupakan media yang paling strategis untuk mensosialisasikan pesan-pesan moral, penciptaan karakter, kepribadian masyarakat.
65
Lihat dalam Suwardi Endraswara, “Keluarga (Ikut) Berdosa dalam Mendidik Budi Pekerti Bangsa,” Kompas, 26 Agustus 2001. 66
William Chang, “Pendidikan Nilainilai Moral”, Kompas, 23 Mei 1999.
67
Di Jepang, telah terbiasa menggunaan Telivisi untuk menanamkan nilai-nilai yang dihendaki agar menjadi bagian dari perilaku masyarakat. Film Kartun Tsubasa yang diputar di salah satu stasiun telivisi memperlihatkan pada kita bagaimana keinginanan dan salah satu usaha Jepang untuk mengembangkan kecintaan generasi muda pada olah raga sepakbola, dan cara itu telah berhasil membangkitkan gairah generasi muda untuk mengembangkan bakat sepakbola mereka.
Penghidupan kembali nilainilai musyawarah, perdamaian, dan tenggangrasa bukan hanya tanggungjawab dunia pendidikan formal, tapi menjadi tanggungjawab semua masyarakat, khususnya keluarga dan institusi-insitusi publik. Pendidikan dari lingkungan 19
19
Auerbach, J.S. Justice Without Law. New York, Oxford : Oxford University Press. 1983.
Penutup Hadirin yang saya hormati
Babari, J. dan Onny S. Prijono. “Pendidikan Sebagai Pemberdayaan”. Dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka (ed.), Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. 1996.
Merubah suatu kepercayaan yang sudah lama dilakukan seseorang atau masyarakat dalam menyelesaikan sengketa melalui pengadilan beralih melalui mekanisme win-win solution memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Untuk itu perlu secara terus menerus disosialisasikan lama dan mahalnya proses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sampai melahirkan suatu kesadaran atau gerakan dalam masyarakat untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa yang dipandang reliable, efisien, dan tidak menimbulkan suasana permusuhan. Di samping itu secara terencana melalui lembaga pendidikan dan media cetak maupun telivisi juga dilakukan usaha-usaha untuk merangsang dan memotivasi masyarakat agar menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution.
Black, Donald .Sociological Justice. New York: Oxford University Press. 1989. ______. The Behavior of Law. New York: Academic Press. 1976. Black, Henry Campbell. Black ’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Sixth Edition. St. Paul, Minn: West Publising, Co.1990. Brahm, Laurence J. Negotiation in China. Singapore: Reed Publishing Asia. 1995. Brown, Henry J. and Arthur Marriot. ADR Principles and Practice. London. Sweet & Maxwell.1993.
Daftar Pustaka
Box, Steven. Power, Crime, and Mystification. London: Tavistock Publications. 1983.
Al-Hejailan, Salah. ‘Mediation as a Means for Amicable Settlement of Disputes in Arab Countries.” Conference on Mediation. Geneva, 29 Maret 1996.
Buchori, Mochtar. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Alle, Mark A. “Code, Culture, and Custom: Foundation of Civil Case Verdict in a Nineteent-Century County Court”. Dalam Kathryn Bernhart and Philip C.C. Huang. Civil Law in Qing and Republican China. California. Stanford University Press. 1994.
Carbonneau, Thomas E. Alternative Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting the Steeds. Chicago: University of Illinois. 1989. Cassell, Philip (ed.). The Giddens Reader. Stanford. Stanford University Press. 1984.
Attali, Jacques. Milenium Ketiga. Terjemahan Eny Nor Hariati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Chambliss, William J. and Robert B. Seidman. Law, 20
20
Order, and Power. Massachusetts: AddisonWesley Publishing Company. 1971.
Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997. Haq, Murgiana. “Copyright Infringement and Alternative Dispute Resolution.” JIII, AOTS. 1998. Hutchinson, Allan C. Critical Legal Studies. New Jersey. Rowman & Littefied Publisher, Inc. 1989. Ihza, Yusron. “Perlawanan Terhadap Sistem Pendidikan PascaPerang?” Kompas. 28 Januari 2001. Kawashima, Takeyoshi. “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”. Dalam A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan Sosial. Jakarta: Sinar Harapan. 1988. Kemicha, Fathi. ”The Approach to Mediation in the Arab World”. Conference on Mediation. Geneva, 29 Maret 1996. Liem Lei Theng, “Mediation in Singapore”, Makalah dalam seminar sehari tentang Court ConnectedADR yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan the Asian Foundation, tanggal 21 April 1999.
Chang, William“Pendidikan nilainilai Moral.” Kompas, 3 Mei 1999. Diamant, Neil. J. “Conflict and Conflict Resolution in China: Beyond Mediation-Centered Appoaches”. The Journal of Conflict Resolution. Beverly Hills. Aug 2000. Edwart. “Alternative Dispute Resolution: Panacea or Anathema”. Harv. Law. Rev. 668, 1986. Endraswara, Suwardi. “Keluarga (Ikut) Berdosa dalam Mendidik Budi Pekerti Bangsa,” Kompas, 26 Agustus 2001. Fisher, Roger and William Ury. Getting to Yes, Negotiating an Agreement Without Giving in. New York: Penguin Books. 1991. Friedman, Lawrence M. The Legal System. New York: Russell Sage Foundation. 1975. Fukuyama, Francis. Trust, The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press. 1995. Galanter, Marc. “Justice in Many Rooms”. Dalam Mauro Cappelletti. Acces to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute. 1981. Golberg, S.B., Stephen, Frank E.A. Sander, and Nancy H. Rogers. Dispute Resolution: Negotiation, Mediation, and Other Processes. Boston, Toronto: Little, Brown and Company. 1992. Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa.
Macauley, Stewart. “Noncontractual Relation in Business”. Am. Soc.Rev.28, 1963. Madjloes. Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa Selaku Hakim Perdamaian Desa. Jakrata: Pantjuran Tujuh. 1979. Marifa, Isna et.al. “Pelembagaan Penyelesaian Sengketa melalui Perundingan dan Arbitrase di Indonesia.” Makalah Kebijakan. Jakarta: PT.Qipra Galang
21
21
Kualita, Akatiga, ICEL, dan LPPM. 1997.
Prijono, Onny S. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. 1996.
Marriot, Arthur. “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes”. Asia Pasicif law Review, Vol 1 Summer 1994.
Rahardjo, Satjipto. “ Piagam Islah Priok.” Kompas, 12 Maret 2001. ______.“Aspek Sosio-Kultural Dalam Pemajuan HAKI”, Seminar Nasional Penegakan Hukum HAKI Dalam Konteks Perlindungan Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah, Semarang, Klinik HaKI dan JETRO, 25 Nopember 2000.
Milovanovic, Dragan. A Primer in the Sociological of Law. New York. Harrow and Heston.1994. Mukhtar, Sofyan. “Mekanisme Alternatif bagi Penyelesaianpenyelesaian Perdata dan Dagang.” Varia Peradilan No.41. 1989.
______. “Perilaku Gugat Menggugat”. Kompas, 25 Februari 1998.
Muladi. “Sambutan Menteri Kehakiman pada Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR”. Jakarta: Depkeh R.I. 21 April 1999. 11
______. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung: Alumni. 1980. ______. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa. 1979.
Niam, Khoirun. “Etika Global dan Dialog Antaragama.” Kompas. 9 Juni 2000.
Riskin, Leonard L. and James E. Westbrook. Dispute Resolution and Lawyers, American Casebook Series. St. Paul, Minn.: West Publishing Company. 1987.
Noda, Yosiyuki. Introduction to Japanese Law. Tokyo: University Press. 1976. Nolan-Haley, Jacqueline M. Alternative Dispute Resolution. St. Paul, Minnesota: West Publishing. 1992.
Santosa, Mas Achmad “Court Connected ADR in Indonesia, Urgensi dan Prasyarat Pengembangannya.” Makalah dalam Seminar Nasional Court Connected-ADR. Jakarta: Departemen Kehakiman. 21 April 1999.
Panggabean, Henry P. “Potensialitas Pengembangan Court Connected ADR di Indonesia.” Makalah Seminar Sehari Tentang Court Connected ADR. Jakarta. 21 April 1999.
______. “Policy Papaer on Alternative Dispute Resolution in Environmental Sector.” Jakarta: Icel-Qipra. 1996.
______. “Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa-sengketa Perdata dan Dagang.” Varia Peradilan No.24. Maret 1992.
Sarman, Mukhtar. “Bermusyawarah Secara Demokratis.” Kompas. 19 Desember 1997.
Piliang, Yasraf Amir. “Justice Game: Mengadili Bayangbayang.” Kompas. 12 Juni 1999.
Sindhunata, “Mengapa Kita Menjadi Kekanakkanakan ?” Kompas. 20 Maret 2001.
______. “Libidosophy: Revolusi Mentalitas Bangsa.” Kompas. 3 September 1999.
22
22
From Confrontation to Cooperation. New York: Batam Books. 1993.
______.“Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas,. 10 Mei 1999. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. 1989.
______. J.M.Brett and S.B. Goldberg, Getting Disputes Resolved. PON Books. 1993.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali. 1987.
Joesoef, Daoed. “Era Kebudayaan: Pemberdayaan Manusia dalam Perkembangan Zaman.” Dalam Onny S. Prijono. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. 1996.
______. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali. 1985. ______. Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Palembang: Lembaga Penelitian Hukum Universitas Sriwijaya. 1978.
W.
Sulistiyono, Adi.“Mempertimbangkan Paradigma Non-Litigasi.” Solo Pos. 25 Juli 1998.
Moore, Christopher .The Executive Seminar on Alternative Dispute Resolution Procedure. Colorado, CDR. Associates. 1995.
Wahid, A. Yani. “Islah, Resolusi Konflik untuk Rekonsiliasi. ” Kompas. 16 Maret 2001.
______. “Menggagas Kode Etik Mediator”, Makalah Pelatihan Pilihan Penyelesaian Sengketa di Bidang Lingkungan Hidup, Penyelenggara Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNS, Indonesian Centre Environmental Law (ICEL), dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Surakarta 2-9 Juli 2002.
Wignyosoebroto, Soetandyo.“Mencoba Memahami Pola Perilaku Pemakai Jalan Raya.” Yuridika No.8. 1988. _______. “Keadilan Komutatif, Win-win Solution”, Kompas, 25 November 2000. “Hukum di bawah ‘Kuasa’ Paradigma Liberalisme’, Bahan Kuliah Teori Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, 2002.
________
Sutanto, Limas. “Publik Pelaku Kejahatan.” Kompas, 20 Mei 2000. Taher, Tarmizi. “Meningkatkan Musyawarah dalam Krisis dan Konflik.” Kompas, 11 April 1998.
Zohar, Danah and Ian Marshal. Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence. London: Bloomsbury Publishing. 2000.
Tanaka, Hideo (ed.). The Japanese Legal System. Japan: University of Tokyo Press. 1976. Theng, Liem Lei. “Mediation in Singapore.” Makalah Seminar Court Connected-ADR. Jakarta: DEPKEH. 21 April 1999. Ury, William. Getting Past No, Negotiating Your Way 23
23