MERANCANG PROGRAM PENDIDIKAN PEMAKAI UNTUK PEMUSTAKA DIGITAL NATIVE DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS INDONESIA Kalarensi Naibaho Pustakawan Madya Universitas Indonesia
[email protected];
[email protected]
Abstrak Sejak tahun 2007 Perpustakaan Universitas Indonesia telah melaksanakan program literasi informasi untuk mahasiswa baru. Salah satu materi dalam program ini adalah pendidikan pemustaka. Setiap tahun pustakawan menciptakan model pembelajaran yang berbeda sesuai dengan karakter mahasiswa. Beberapa tahun terakhir pustakawan membuat permainan ‘berburu harta karun’ dengan menggunakan model CR Code. Model ini dipilih mengingat kategori pemustaka sekarang termasuk generasi digital native yang lebih mengandalkan teknologi sebagai media belajar daripada tutorial. Pustakawan membuat games sebagai cara untuk memperkenalkan perpustakaan dan layanannya. Subjek permainan diatur sesuai dengan tema, misalnya layanan rujukan, layanan sirkulasi, e-books, e-jurnal, fasilitas, dan lain-lain. Games ini dilakukan dalam kelompok-kelompok. Di akhir games setiap kelompok harus menyajikan pengalaman mereka saat menjalankan games dan hasil yang ditemukan, apa saja kendalanya, dan bagaimana peserta mengatasi kendala. Pustakawan akan memandu diskusi tentang pengalaman pemustaka menjalankan games tersebut. Pada akhir sesi semua layanan dan fasilitas telah diperkenalkan kepada mahasiswa dengan cara menyenangkan. Kata kunci: CR Code, digital native, e-jurnal
Abstract Since 2007, the Library of the Universitas Indonesia has implemented information literacy program for freshmen students. User education is one of the material in this program. Each year librarians creates a different model of user education in accordance with the character of the student. Last year, the librarian made a treasure hunt games models by using CR Code. This model was chosen considering that the freshmen student category now includes digital native generation. They prefer to use the technology for learning, and they do not like the tutorial. Librarians create games as a way to introduce the library to freshmen students. Subject of games are arranged by theme. For example: theme referral services, circulation services, e-books, e- journals, introduce facilities, etc. This games should be done in groups. Each group should present their experience while running games. All participants will discuss how they run games and librarians will guide the discussion in class. At the end of the session, all the services and facilities have been introduced to freshmen students with fun. Keywords: CR Code, digital native, e-jurnal
96
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
1. Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi melahirkan banyak istilah terkait dengan pengguna informasi itu sendiri. Salah satunya adalah digital native. Istilah digital native (digital sejak lahir) diperkenalkan Marc Prensky melalui serangkaian artikelnya di tahun 2001 (http:// www.marcprensky.com/writing/) untuk merujuk ke sebuah generasi yang berbeda dari apa yang ia sebut digital immigrants (pendatang digital). Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memproses informasi. Anakanak yang disebut generasi digital native sejak lahir terterpa teknologi computer dan diyakini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anakanak lainnya. Prensky selaku seorang pendidik meyakini bahwa otak (benak) mereka berbeda dari generasi sebelumnya. Prensky amat risau melihat kenyataan bahwa perbedaan ini tidak disadari oleh sekolah-sekolah dan masyarakat secara umum sehingga sering terjadi kesenjangan antara peserta didik dan pendidik. Selwyn (2009) menganggap tulisan Prensky sebagai bagian dari upaya pemikir dan ilmuwan untuk mengkaji budaya dan gaya hidup yang khas di kalangan generasi muda. Istilahistilah seperti born digital (lahir sudah digital) dan net savvy (fasih berjaringan) turut meramaikan wacana tentang hal ini. Semuanya merupakan upaya untuk membuat batas-batas antargenerasi sebagaimana yang digunakan dalam istilah generation X dan generation Y. Namun, menurut Pendit (2013), seringkali pula wacana ini terkesan berlebihan dan inkonsisten. Selwyn menganggap bahwa konsep digital native tidak dapat secara objektif menggambarkan budaya generasi muda dan teknologi yang mereka gunakan. Banyak Prensky mengklaim keterampilan dan kefasihan generasi muda dalam menggunakan teknologi komputer yang tidak didukung oleh bukti-bukti empirik. Selain itu, diskusi tentang karakteristik digital native ini juga seringkali diwarnai oleh
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
debat tentang moral dan ideologi sehingga lebih mencerminkan kepanikan moral (moral panic) di masyarakat daripada konsep ilmiah tentang perilaku generasi muda saat ini (Pendit, 2013). Menurut Pendit (2013), terlepas dari kelemahan metodologis yang melandasinya, konsep digital natives mampu menyadarkan kita tentang perlunya memperhatikan secara lebih seksama bagaimana sesungguhnya perilaku dan tabiat generasi yang lahir bersamaan dengan kelahiran internet dan telepon selular. Dalam konteks pendidikan, isu ini amat relevan jika dikaitkan dengan perubahan keseluruhan cara belajar anak dan remaja di samping kesenjangan antara pendidik serta peserta didik. Sebenarnya, jika membaca dua artikel awal Prensky (2001a, 2001b), jelaslah bahwa kepeduliannya tentang kurikulum dan pola pikir siswa memang beralasan serta patut menjadi perhatian kita pula. Namun, dalam konteks Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, konsep digital natives ini pun tidak dapat dipakai secara gegabah untuk merujuk ke perilaku anak-anak dan remaja mengingat masih ada kesenjangan dan variasi yang amat besar dalam hal akses ke teknologi. Jika dikaitkan ke dalam konteks kepustakawanan, yang akan menjadi fokus adalah kesiapan pustakawan diperlukan untuk menghadapi pengguna jasa yang terdiri anak dan remaja generasi 1990-an. Pihak yang akan paling berurusan dengan generasi ini adalah para guru dan pustakawan (Pendit, 2013). Guru dan pustakawan adalah kelompok yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di sekolah. Peran guru dan pustakawan sangat strategis untuk mengedukasi siswa agar dapat memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran dengan tepat dan optimal. Menurut riset yang dilakukan Houston (2012), di negara maju pun masih ada kesenjangan cukup signifikan dalam pemanfaatan teknologi baru, seperti aplikasi Web 2.0 di kalangan pustakawan. Padahal, sejak lama pustakawan sudah menyadari hal ini. Nampaknya, memang masih diperlukan
97
persiapan di tingkat pendidikan pustakawan agar mereka mampu menghadapi perubahan teknologi dan perilaku pengguna jasa perpustakaan, baik di sekolah, universitas, maupun di tempat kerja. Perpustakaan Universitas Indonesia menyadari betapa penting pustakawan berinovasi merancang konsep dan program layanan kepada pemustaka sesuai dengan karakter pemustaka yang dilayani. Salah satu topik yang mendapat perhatian serius dari pustakawan adalah perubahan karakter pemustaka di era digital saat ini, yakni pemustaka digital native. Pustakawan melakukan pengamatan sehari-hari bagaimana karakter pemustaka tersebut berubah dari masa ke masa. Pengamatan ini diperlukan agar perpustakaan dapat merancang program yang tepat dan efektif. Salah satu program yang ada di Perpustakaan UI yang terus dikembangkan adalah Program Information Literacy (IL). Pendidikan pemustaka adalah bagian dari materi IL. Program IL di Perpustakaan UI merupakan bagian dari layanan rujukan dan telah mengalami pengembangan yang signifikan sejak tahun 2007 di mana pustakawan melakukan banyak kreativitas dan inovasi untuk mengoptimalkan pencapaian target dari kegiatan tersebut. Tulisan ini membahas inovasi yang dilakukan Perpustakaan UI dalam merancang program pendidikan pemakai bagi pemustaka digital native. Rancangan ini didasarkan pada kesadaran akan perubahan karakter pemustaka yang dilayani dari tahun ke tahun. Perbedaan karakter pemustaka menuntut perbedaan pola dan model layanan. Di era informasi saat ini, pemustaka di perguruan tinggi merupakan generasi digital native yang sangat mengandalkan gadget dan tenologi komunikasi dan informasi dalam aktivitas sehari-hari. Generasi digital native menuntut perubahan besar dalam layanan perpustakaan. Pustakawan harus peka terhadap perubahan karakter pemustaka yang dilayani sehingga target layanan tercapai. Inilah yang dialami pustakawan UI. Berdasarkan pengamatan
98
di lapangan, pustakawan merancang program pendidikan pemakai berupa games, quiz, dan aktivitas-aktivitas yang mengandalkan perangkat komunikasi, seperti gadget dan media sosial sebagai media edukasi. 2. Pembahasan 2.1 Pemustaka Digital Native Era 1990-an merupakan era baru di dunia teknologi informasi. Kita dikenalkan dengan berbagai perangkat dan aplikasi-aplikasi canggih di bidang teknologi informasi. Perkembangan ini sangat terasa di dunia pendidikan. Konsep-konsep dan model pembelajaran mengalami perubahan yang signifikan. Munculnya konsep e-learning, e-research, e-publication, merupakan efek dari lahirnya teknologi canggih tersebut. Konsepkonsep ini tentu saja untuk mengakomodir gaya atau karakter peserta didik, yakni generasi yang lahir di era 1990-an yang disebut digital native. Menurut Jim Marteney (2010), digital native adalah generasi yang lahir di era 1994 hingga sekarang yang dibagi dalam enam kategori, yaitu: a. the greatest generation (World War II, 1901-1924), b. the silent generation (1925--1942), c. the baby boomers (1943--1960), d. generation X (1961--1981), e. millennial (1982--2002), dan f. digital natives (generasi Z atau Internet generation). Dengan jelas bahwa generasi digital native adalah mereka yang lahir pada jaman digital dan berinteraksi dengan peralatan digital pada usia dini. Anak-anak yang lahir setelah tahun 1990an tergolong sebagai awal generasi digital native. Namun, bila ingin dikatakan sebagai sebuah generasi, yang benar-benar digital native adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000. Merekalah penduduk asli dari sebuah dunia yang disebut dunia digital. VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Generasi digital natives kadang disebut juga the native gadget yang lahir pada abad digital (Avarez, 2009; Brynko, 2009; Prensky, 2001). Ciri yang menonjol dari generasi ini adalah mengganggap perangkat komunikasi sebagai bagian integral dari kehidupan. Itu sebabnya anak-anak yang lahir di era 1990-an sangat familier dengan gadget dan aplikasi-aplikasi di internet. Orang-orang yang tidak lahir pada abad digital tetapi mengadopsi teknologi baru dianggap sebagai digital immigrants karena ada proses adaptasi pada lingkungan dengan mengadopsi teknologi. Seseorang yang lahir di era digital tumbuh dan memperoleh pendidikan pada tingkat sekolah dasar dengan perangkat computer sehingga individu tersebut dianggap sebagai generasi digital natives. Generasi seperti itu sudah dihadapkan pada teknologi komputer sejak di pendidikan dasar. Mereka sangat akrab dengan aplikasi komputer untuk pemelajaran seperti, kuiz interaktif online, video games, handphone, internet, e-mail dan sebagainya. Persoalan muncul ketika guru yang mengajar justru dianggap sebagai generasi digital immigrants yang mungkin saja keterampilan literasi komputer didapatkan pada masa kuliah atau memasuki dunia kerja. Demikian juga halnya dengan pustakawan karena pustakawan melayani generasi yang berbeda dari tahun ke tahun, sedangkan pustakawan sendiri lebih banyak berasal dari generasi digital immigrants. Seorang pustakawan yang lahir di tahun 1970-an diperkirakan mulai menggunakan komputer pada saat kuliah dan ketika memasuki dunia kerja sedangkan mereka harus melayani pemustaka yang lahir di tahun 1990-an yang sejak lahir sudah terpapar teknologi. Diperlukan penyesuaian dan pemahaman yang sangat cermat agar pustakawan dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan pemustaka tersebut. Generasi digital native mendapat banyak sorotan dari para pakar pendidikan dan teknologi, khususnya dalam kaitannya dengan pola pembelajaran menggunakan media (gadget). Pakar pendidikan seperti Prensky meyakini bahwa
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
terdapat perbedaan cara belajar generasi digital native yang sangat signifikan dengan generasi sebelumnya. Para pakar teknologi malah meyakini bahwa struktur otak generasi digital native berbeda dengan yang bukan digital native. Pemanfaatan teknologi dalam seluruh aspek kehidupan digital native merupakan ciri yang menonjol. Dalam berbagai literatur yang membahas digital native dirumuskan bahwa ada beberapa karakter khas generasi digital native. Walaupun ada beberapa perbedaan dalam menggambarkan ciri generasi digital native, kebanyakan teori setuju bahwa karakteristik yang mewakili digital native adalah sebagai berikut (Bennett, et al., 2008): 1. The digital natives have had extensive contact to technology, particularly the Internet, throughout their upbringing. They are used to employing ICT under all circumstances. 2. The digital natives posses a high level of media literacy. 3. The digital natives feel uncomfortable in the existing educational system Perbedaan digital natives dengan digital immigrants digambarkan Alex Blake (2011) sebagai berikut:
Gambar 1: Perbedaan Digital Natives dan Digital Immigrant (2011) Sumber: https://alexblakeblog.wordpress.com/
99
Generasi digital native hidup dalam kebebasan digital. Interaksi di media sosial menjadi andalan mereka dibandingkan dengan komunikasi konvensional. Mereka sangat peduli dengan identitas dan eksistensi dan hal ini diekspresikan secara terbuka di dunia maya. Mereka lebih menyukai tantangan dan membenci rutinitas. Tidak suka menunggu dan didikte, tetapi lebih memilih belajar dengan metode sendiri menggunakan teknologi multimedia. Mereka cenderung menolak komunikasi searah dalam bentuk apapun, baik offline maupun online. Dunia digital mendorong orang untuk berbagi dan berkolaborasi dan ini menjadi salah satu ciri digital native. Mereka suka berbagi apa saja di dunia maya. Tidak peduli apakah yang dibagikan itu diperlukan orang lain atau tidak. Karakteristik ini penting dijadikan acuan ketika pustakawan merancang layanan. Sementara itu, pustakawan banyak yang tergolong kelompok digital immigrant. Mereka bekerja menggunakan teknologi namun tidak lahir di era teknologi. Perlu ada upaya dan kreativitas dalam merancang layanan agar tidak ada gap (kesenjangan). 2.2. Bagaimana Pustakawan?
Implikasinya
bagi
Munculnya istilah digital native di kalangan pustakawan membawa implikasi yang perlu segera direspon, yakni makin pentingnya literasi informasi dan literasi media, baik bagi pustakawan itu sendiri maupun bagi pemustaka. Menurut Bruce (1997), pemikiran tentang literasi informasi di kalangan pustakawan muncul bersamaan dengan kehadiran konsep masyarakat informasi (information society). Sebagai sebuah konsep yang jelas dan baku, literasi informasi baru muncul dalam publikasi final report American Library Association tahun 1989. Sejak itulah konsep literasi informasi mulai digunakan secara meluas. Namun, Bruce juga mengatakan bahwa keinginan untuk menggunakan istilah literasi informasi sudah ada di kalangan pustakawan sejak lama sebelumnya, yaitu sejak para pustakawan
100
berketetapan untuk mempertegas peran mereka dalam pendidikan yang mereka perjuangan sejak tahun 1960-an. Orang yang kemudian dianggap mulai secara resmi menggunakannya dalam komunikasi ilmiah adalah Paul Zurkowski pada tahun 1974. Sejak 1990-an konsep literasi informasi tidak hanya diperbincangkan tetapi sudah diterapkan menjadi berbagai model dan aktivitas pada pendidikan tingkat dasar, menengah, dan terlebih-lebih pendidikan tinggi. Menurut Bruce, setelah berlangsung beberapa lama terlihatlah bahwa literasi informasi sebagai konsep dan model terkadang berbeda dari apa yang akhirnya terjadi di lapangan. Dengan menggunakan data tentang apa yang terjadi di perguruan tinggi, Bruce (1997:160) lalu membuat tabel perbandingan seperti pada gambar berikut. Descriptions from the 1990--1993 Literature Information literasi (IL) as a way of consuming information IL as using information technology
Descriptions of Experience-Labels
IL is seen as using information technolgy for information retrieval and communication IL as including library and computer IL as a combination of information and literacy technology skills. IL as a process (ie information skills) IL is seen as executing a process IL as an amalgam of skills, attitudes, and IL as seen as controlling information knowledge IL as the ability to think like a searcher IL is seen as finding information IL as the ability to learn IL s seen as a building u a personal knowledge base in a new area of interest IL as the first component in the IL is seen as working with knowledge and continuum of critical thinking skills personal perspectives adopted in such a way that novel insights are gained IL as part of the literacy continuum IL is seen as using information wisely for the benefit of others. Key: normal font indicates no correlation, italics indicate weak similarities, bold indicates strong similarities.
Gambar 2: Deskripsi Konsep dan Model IL menurut Bruce Sumber: Pendit (2013)
Menurut Pendit, tabel di atas memperlihatkan dua hal yang disepakati dari sisi konsep dan sisi praktik, yaitu bahwa literasi informasi merupakan persoalan penggunaan teknologi informasi. Literasi informasi merupakan sebuah proses penerapan keterampilan. Dua hal lainnya hanya punya kaitan yang lemah sementara lima lainnya tidak berkaitan. Dari VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
keadaan inilah Bruce kemudian mengajak kita lebih memperhatikan bagaimana literasi informasi dapat diselaraskan dengan dunia pendidikan. Ia berpendapat bahwa pihak pustakawan dan pendidik sebaiknya mengadopsi apa yang disebut relational view dalam pengajaran dan pendidikan. Bruce kemudian menetapkan bahwa literasi informasi hendaknya berbasis pada konsepkonsep berikut: 1. learning is about changes in conception pembelajaran adalah persoalan perubahan dalam konsepsi’, 2. learning always ha a content as well as a process ‘setiap pemelajaran selalu mengandung isi dan proses’, 3. improving learning is about relations berarti keberhasilan pemelajaran selalu ditentukan oleh relasi antara pembelajar dan hal yang dipelajarinya, bukan dengan metode pengajaran dan karakteristik anak didik, dan 4. improving learning is about understanding the students’ perspective ‘setiap pembelajaran hendaknya memahami pula perspektif anak didik’. 2.3. Program Pendidikan Pemustaka di Universitas Indonesia (U.I.) Sejak tahun 2004, Perpustakaan UI mulai
mencanangkan program pendidikan pemustaka/ pemakai dalam bentuk berbeda dari kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan. Waktu itu nama programnya disebut information skills bagi sivitas akademika UI. Pencanangan program ini didasarkan pada kajian (penelitian) yang dilakukan oleh penulis sebagai tesis di S2 Jurusan Ilmu Perpustakaan UI tentang information literacy mahasiswa UI serta hasil studi banding ke berbagai perguruan tinggi di Malaysia dan Singapore, di mana salah satu program yang sangat mendesak ada di perpustakaan adalah program information literacy. Rekomendasi dari penelitian penulis adalah pentingnya program pendidikan pemakai di UI dikemas dalam bentuk pelatihan information skills. Hasil studi banding menunjukkan bahwa setiap universitas mendesain programnya sesuai kondisi dan kebutuhannya. Dengan demikian, tahun 2005 Perpustakaan UI telah berhasil membuat modul untuk pelatihan information skills. Tujuan utama pembuatan modul information skills tersebut adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada pengguna perpustakaan untuk dapat mengidentifikasi, mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Dalam perkembangannya modul ini sudah mengalami dua kali revisi sampai akhirnya bernama ‘UI 5 Model’ seperti diuraikan dibawah ini:
Tabel 1: UI 5 Model (Model Information Literacy di Universitas Indonesia) Tahapan
Deskripsi
Indikator
Output
1.
x Menentukan topik/subjek
2.
Identifikasi
Menentukan sifat dan tingkat informasi yang dibutuhkan
3.
4.
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Mendefinisikan dan menjelaskan informasi yang dibutuhkan Mengenali berbagai macam jenis dan format sumber-sumber informasi yang potensial Mempertimbangkan biaya dan keuntungan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan Mengevaluasi kembali sifat dan tingkat informasi yang dibutuhkan
x Menentukan dan mengenal audience x Menentukan format yang cocok untuk hasil akhir
x Mengidentifikasikan kata kunci x Merencanakan strategi penelusuran
101
5.
Eksplorasi dan akses
Mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien
6.
7.
8.
9.
Evaluasi
102
Mengevaluasi informasi dan sumbersumbernya secara kritis dan menggabungkan informasi terpilih ke dalam pengetahuan yang telah ada sebelumnya
Memilih metode pencarian yang sangat tepat atau sistem temu kembali informasi untuk mengakses informasi yang dibutuhkan Menyusun dan menggunakan desain strategi pencarian secara efektif Menemukan kembali informasi secara online atau melalui orang dengan menggunakan berbagai macam metode Memilih kembali strategi pencarian jika diperlukan
Mengumpulkan, merekam, dan mengelola informasi dan sumbersumbernya
10. Meringkas ide-ide utama untuk menarik kesimpulan dari informasi yang telah dikumpulkan 11. Mampu menetapkan kriteria awal untuk menilai baik informasi maupun sumbernya 12. Menggabungkan ide utama untuk menyusun konsep baru 13. Membandingkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya untuk menentukan nilai tambah, pembantahan, atau karakteristik unik lain dari informasi 14. Menentukan apakah pengetahuan baru memiliki pengaruh pada sistem nilai yang dimiliki individu dan mengambil langkah untuk menyatukan perbedaan
x Mengidentifikasi jenis-jenis sumber lain di mana informasi dapat ditemukan x Menempatkan hasil temuan secara tepat guna pada topik yang dipilih
x Menemukan informasi yang tepat guna dengan topik yang dipilih x Apabila perlu lakukan wawancara, studi lapangan, atau riset di luar sekolah (outside research) x Memilih informasi yang relevan x Menentukan sumber-sumber mana saja yang mudah, biasa, dan sulit x Mencatat informasi yang relevan dengan membuat catatan –visual organizer seperti table-grafik atau outline. x Mengidentifikasi tahapantahapan dalam proses penelitian x Mengumpulkan kutipankutipan yang sesuai x Menyortir informasi
Membedakan antara fakta, pendapat, dan fiksi Memeriksa “bias” yang berasal dari sumber Menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan atau mengkontraskan informasi
x Memadukan pengetahuan yang sudah ada dengan informasi baru x Menganalisis apa yang dapat dihasilkan dari pengetahuan baru
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Analisa sintesa
Etika penggunaan informasi
Secara individu atau sebagai anggota kelompok, menggunakan informasi secara efektif untuk menyelesaikan tugas
Memahami isuisu ekonomi, hukum dan sosial yang ada di sekitar penggunaan dan akses informasi, dan menggunakan informasi secara etis dan legal
15. Menetapkan pemahaman dan menginterpretasikan informasi melalui percakapan dengan individu lain, ahli subjek, dan/atau para praktisi 16. Menentukan apakah pertanyaan awal harus ditinjau ulang 17. Menggunakan informasi baru dan yang sebelumnya untuk merencanakan dan menciptakan hasil atau kinerja 18. Memperbaiki pengembangan proses suatu hasil atau kinerja
19. Mengomunikasikan hasil atau kinerja secara efektif kepada orang lain
20. Memahami isu-isu etika, hukum dan sosioekonomi di seputar informasi dan teknologi informasi 21. Mengikuti hukum, peraturan, kebijakan institusi dan etika yang berhubungan dengan mengakses dan menggunakan sumbersumber informasi 22. Menyatakan sumbersumber informasi yang digunakan dalam mengkomunikasikan hasil atau kinerjanya
Modul tersebut menjadi acuan dasar bagi Pustakawan UI untuk mengajarkan materi information literacy, namun implementasinya disesuaikan dengan karakter pemustaka. Model pembelajaran tidak selalu sama untuk tiap kelompok pemustaka. Pustakawan melakukan analisis karakter pemustaka sebelum menentukan
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
x Mengkomunikasikan pemahaman kepada orang lain dengan argumen jelas
x Merevisi atau memperjelas pertanyaan awal x Melakukan latihan untuk mempresentasikan hasil penemuan
x Mempresentasikan informasi kepada pendengar yang tepat x Menyajikan (display) informasi disesuaikan dengan audience x Mempersiapkan perlengkapan presentasi dengan baik x Menuliskan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri x Merevisi atau mengedit sendiri atau dengan teman x Membuat daftar pustaka x Mengikuti ketentuan dalam menyitir suatu informasi
x Mengikuti peraturan institusi setempat tentang kaidah penulisan ilmiah
x Menyatakan sumber dengan jelas dan akurat
metode pembelajaran yang tepat. Gambar di bawah ini menjelaskan faktor-faktor yang dijadikan pustakawan sebagai dasar dalam menentukan karakter (tipe) pemustaka, yakni metode belajar, penggunaan teknologi, dan perilaku pencarian informasi.
103
Gambar 3: Proses Analisis Karakter Pemustaka
bawah ini digambarkan perkembangan keragaman metode pengajaran pendidikan pemustaka untuk berbagai kelompok pemustaka di UI
Berdasarkan analisis terhadap karakter pemustaka tersebut, pustakawan merancang jenis dan metode pendidikan pemustaka yang tepat. Di
Tahun
<2007
Nama Program
Pendidikan Pemakai
Library Tour
Metode
Media
-
Brosur Leaflet
2010--2014
2007--2009
Information Skills
Information Literacy
-
-
Presentasi Diskusi Kelompok Library Tour
-
Modul Video Animasi
-
-
-
Presentasi Diskusi Kelompok Games Treasure Hunt
E-modul Video Gadget Media sosial
Gambar 4: Perkembangan Metode Pengajaran Pendidikan Pemustaka Perpustakaan U.I. Tahun 2007--2014
Gambar di atas menunjukkan bagaimana pustakawan di Universitas Indonesia berkreasi mengembangkan program pendidikan pemakai dari tahun ke tahun. Setiap tahun pustakawan
104
melakukan evaluasi terhadap program yang telah dijalankan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil umpan balik (feedback) dari mahasiswa yang dibagikan setiap kali mengikuti program tersebut. VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Pada gambar di atas jelas terbaca bahwa semakin hari pustakawan dituntut harus semakin kreatif merancang bentuk kegiatan serta menggunakan beragam media sebagai sarana pemelajaran. Khusus untuk pemustaka digital native, sejak tahun 2010 pustakawan UI melakukan perubahan yang sangat signifikan dalam menyelenggarakan program pendidikan pemustaka. Pustakawan mengurangi jam mengajar di kelas dan lebih banyak melakukan kegiatan di lapangan yang sifatnya fun dan mengandalkan teknologi (gadget). Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan adalah dalam bentuk games treasure hunt. Games ini dirancang sesuai dengan materi yang harus disampaikan. Konsep pendidikan pemustaka dengan games ini adalah: 1. materi yang disampaikan adalah pengenalan sumber informasi di perpustakaan, layanan, dan fasilitas, 2. latihan menelusur dan memecahkan soal-soal dengan cara kreatif,
3. menyesuaikan metode belajar dengan karakter pemustaka, 4. mengoptimalkan pemanfaatan gadget dan media sosial, 5. menciptakan komunikasi intensif antarkelompok pembelajar dan fasilitator, dan 6. menciptakan suasana belajar yang interaktif dan fun. Sebelum menjalankan games, pustakawan menyusun soal-soal terlebih dahulu. Soal-soal ini dibagi ke dalam berbagai topik, misalnya sirkulasi, DDC, keanggotaan, rujukan, fasilitas, dan seterusnya. Setiap soal diberi kode. Setiap kelompok akan mengerjakan soal yang berbeda. Di akhir permainan, semua kelompok akan presentasi tentang misi yang mereka kerjakan dan proses (pengalaman) selama menjalankan misi tersebut. Di bawah ini adalah contoh soal yang disusun pustakawan untuk games treasure hunt:
Tabel 2: Contoh Soal-Soal Games Treasure Hunt
No
Kode
Mission 1
Mission 2
Mission 3
Mission 4
Mission 5
1
L
LS 1:
LS 2:
LS 3:
LS 4:
LS 5:
Berjalanlah menuju
Silahkan berjalan
Carilah loker untuk
Anda ditunggu di
Silahkan menuju
gedung sarana
menuju pintu
menitipkan tas,
ruang koleksi buku
ruang koleksi buku
ibadah umat Islam,
masuk dengan
tidak jauh dari meja
rujukan Lantai 4,
teks dengan
masuklah ke pusat
bingkai warna putih
petugas
jelaskan ada koleksi
karakter huruf
ilmu pengetahuan
– masuklah - cari
keamanan,
apa saja di ruang
khusus dari
melalui -pintu
petugas layanan
catatlah 2 nomor
ini-tanyakan ke
beberapa negara
masuk dekat ruang
pengunjung luar –
loker pertama dan
petugas bagaimana
Asia-ingat wasabi,
apung di danau -
tanyakan layanan
loker terakhir.
memanfaatkannya.
Gong Li, Kim
rekam perintah
apa saja di lantai
Silahkan cari buku
Dari ruang ini
Hyung Joong.
selanjutnya
satu - catat aktivitas
dengan kode nomor
silahkan ke ruang
Catat 3 judul buku
(QR Code di pintu
di lantai ini - rekam
loker tersebut ke
jurnal – rekam QR
dari masing-masing
masuk bagian
perintah
ruang koleksi buku
code kode LS 5 di
negara tersebut.
dalam ) -kode LS 2)
selanjutnya
teks lantai 2 dua,
rak koleksi dengan
(temukan QR Code
tulis judul dan
kode huruf J
di dinding warna
klasifikasi bidang
silver bagian luar-
ilmu apa.
sebelah kanan
Rekam perintah
penerimaan TA –
selanjutnya QR
kode LS 3)
code ada di salah
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
105
LS 3)
code satu tiang penyangga komputer OPAC di ruang klas 400 – 600- kode LS 4)
2
R
Ra 1:
Ra 2:
Ra 3:
Ra 4:
Ra 5:
Misinya adalah
Koleksi tersebut
Anda dapat melihat
Sebelum masuk
Call number
mencari harta karun
sering digunakan
pemandangan UI
ruang ini anda
tersebut akan
koleksi dengan call
oleh para arsitek,
dan Depok dari
harus berdoa
membantu Anda
number R 711.58
peneliti, mahasiswa
lantai ini,
terlebih dahulu,
menemukan letak
TIM tahun 1929.
untuk mengerjakan
ceritakanlah
karena Anda akan
koleksinya. Jika
skripsi, tesis, dan
pandangan Anda
menjumpai koleksi-
sudah ketemu,
disertasi.
Jika Auditorium ini
koleksi tua.
baca sekilas,
Buatlah barisan satu banjar di
sedang ada acara,
ceritakan isinya.
Taman Plaza
Untuk kegiatan
Anda dapat turun
Setelah anda
Perpustakaan,
sidang dan seminar
ke lantai 5, dari
masuk, terangkan
Jika Anda kesulitan
kemudian
sering dilakukan di
selasar Anda masih
suasana yang ada
silahkan Anda cari
berjalanlah dari
Auditorium lantai 6,
dapat melihat
di dalamnya,
di katalog dengan
atas ke bawah
naiklah kesana,
pemandangan
susunan koleksi,
mengetik judulnya.
searah jarum jam
carilah kode Ra3
tersebut.
kondisi koleksi. Kini
maka kalian akan
Anda semakin dekat
Lakukan proses
menjumpai qr code
Buat catatan
dengan harta karun
download supaya
dengan perintah di
tentang ruang
yang Anda cari.
harta karun
bawahnya!
Auditorium , berapa
Temukan call
tersebut dapat
daya tampung, apa
number seperti
Anda miliki.
Berjalanlah menuju
saja fasilitasnya,
yang tertera Ra 1,
pintu masuk dekat
dan lain-lain.
lalu cari petunjuk
restoran masakan
terakhir untuk
Korea, carilah kode
Kemudian, anda
menyelesikan misi
Ra2
harus ke ruang
ini (kode Ra5).
Referensi, lantai 4, cari kode Ra4 di sana.
Catatan: L = Layanan LS = Layanan sirkulasi R = Rujukan
106
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Tata cara (aturan main) games adalah sebagai berikut. 1. Peserta dibagi dalam kelompok yang terdiri dari beberapa orang dari berbagai fakultas (3--6 orang). 2. Setiap kelompok harus menggunakan smart phone yang telah diinstall dengan QR code reader. 3. Permainan dimulai dari kelas yang mana pustakawan membagikan amplop berisi QR Code I. QR Code itu mengandung penjelasan tentang harta karun yang harus ditemukan dan petunjuk pertama yang diberikan untuk menyelesaikan misi tersebut. 4. Peserta harus segera bergegas menyelesaikan misi 2, lalu 3, 4, dan 5. 5. Setiap selesai satu misi, peserta harus melapor ke fasilitator di kelas dengan cara mention @ UI_library dengan format: nama kelompok, kode kelas, nomor misi, foto @UI_library (misalnya, Kelas G3401, kelompok Google, mission 1 done, foto @UI_library). Foto ini harus menunjukkan bahwa mereka telah menemukan QR Code berikut dan menyelesaikan instruksinya. 6. Demikian seterusnya sampai petunjuk terakhir. Setelah petunjuk terakhir diselesaikan, nomor misinya diganti menjadi mission done. 7. Fasilitator di kelas akan memantau nama-nama grup di kelasnya melalui twitter @UI_library dan mencatat kelompok yang paling cepat menyelesaikan soal. 8. Pada waktu yang telah ditentukan, permainan selesai walaupun ada kelompok yang belum tuntas menjalankan misi. Fasilitator tidak akan mencatat kelompok yang melapor di twitter setelah melewati batas waktu yang telah ditentukan. 9. Kelompok kembali ke kelas dan menceritakan
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
bagaimana pengalaman mereka dan apa saja yang dihadapi selama menjalankan misi. Harta karun apa saja yang mereka temukan dan bagaimana proses menemukannya. 10. Fasilitator akan menilai kelompok mana yang paling cepat menyelesaikan permainan, dan hasilnya tepat. 11. Kelompok yang paling cepat dan benar akan mendapatkan souvenir khas Perpustakaan U.I, dan makanan ringan. Ketika kelompok menceritakan pengalaman mereka menjalankan permainan, pustakawan harus mengarahkannya menjadi sebuah diskusi tentang topik yang sedang dibicarakan. Setiap anggota dalam kelompok wajib bicara, menceritakan pengalaman, dan tanggapan atau maşukan tentang soal yang mereka kerjakan. Ada sesi tanya jawab dengan peserta dari kelompok lain. Dengan cara demikian, pustakawan telah menyampaikan materi pendidikan pemustaka kepada mahasiswa dengan cara yang santai. Mahasiswa juga dapat menyerap materi dengan cara mengalaminya langsung. Gambar di bawah ini menerangkan tahapan yang dijalani dalam games treasure hunt: step
1
Bentuk Grup
Grup terdiri dari 5-6 orang mahasiswa dari b b ifk
step Yakinkan CR Code Reader berfungsi dengan melakukan test
Instanl QR Code Reader di gadget grup
step
3
2
Missio n1 Jika mission I sukses, kelompok ‘lapor’ ke fasilitator dengan cara mention
Pustakawan memberi amplop berisi instruksi mission 1
Jika mission II sukses, kelompok ‘lapor’ ke fasilitator dengan cara mention
step
Mission 2
Gambar 5: Alur Games Treasure Hunt
107
4
3. Penutup Konsep digital natives yang orisinal dari Prensky memunculkan banyak teori tentang berbagai hal, khususnya terkait metode belajar bagi generasi saat ini. Para praktisi pendidikan berlomba-lomba merancang metode belajar yang dinilai dapat mengakomodir karakter generasi digital natives yang serba terbuka, spontan, dan sangat tergantung pada teknologi. Banyak penelitian yang didasari oleh konsep digital natives dari Prensky, yaitu mulai dari penelitian tentang metode belajar hingga struktur otak generasi digital native. Sebagai seorang pendidik, Prensky berhasil ‘memaksa’ kalangan pendidik di Amerika (dan akhirnya seluruh dunia) mengevaluasi metode belajar yang diterapkan untuk siswa digital natives. Bagi pustakawan, fenomena ini cukup menantang dan menuntut kecerdasan dalam menciptakan atau mengembangkan layanan di perpustakaan. Walau tidak bernama ‘pendidik’, profesi pustakawan sesungguhnya memiliki tugas dan tanggung jawab seberat guru (pendidik), bahkan dalam cakupan yang lebih luas. Pustakawan tidak hanya menyediakan sumber informasi, tetapi juga mengedukasi pemustaka menggunakan informasi tersebut dengan efektif. Perubahan-perubahan yang sangat dinamis tersebut menuntut pustakawan bukan lagi sekadar pelaksana, tetapi harus menjadi perancang program (kegiatan). Pustakawan UI cukup cepat merespon perkembangan tersebut, dengan melakukan inovasi-inovasi layanan, yaitu program pendidikan pemustaka bagi mahasiswa baru. Berbagai upaya dilakukan agar pustakawan dapat merespon perubahan dengan tepat. Karakter digital natives menuntut pustakawan mampu menciptakan program dan layanan yang mengandalkan teknologi, sebagaimana pemustaka itu sendiri. Program pendidikan pemustaka bagi digital natives yang dikembangkan Perpustakaan
108
UI dapat dikatakan sebagai bukti bahwa pekerjaan pustakawan sesungguhnya sangat dinamis. Pustakawan bekerja di wilayah yang menuntut kreativitas tinggi. Di satu sisi, penyesuaian layanan dengan karakter pemustaka mungkin saja menjadi sesuatu yang rumit, namun juga merupakan tantangan yang menggairahkan. Satu hal yang harus dicatat, pustakawan harus terus mengkaji model layanan yang diberikan, menganalisis kesesuaiannya dengan karakter pemustaka, dan berani berkreasi dengan layanan. Pengalaman di lapangan yang menjadi tantangan terbesar dari kalangan pustakawan sendiri adalah kurangnya kreativitas dan inovasi pustakawan untuk menerapkan ide-ide baru. Pustakawan sering merasa cukup puas dengan layanan rutin yang bagi pemustaka baru mungkin tidak menarik. Ini menjadi tantangan bagi para pengelola perpustakaan. Apalagi pemustaka di perguruan tinggi yang merupakan sivitas akademika sangat kritis pada layanan perpustakaan. Inovasi di bidang perpustakaan, tidak akan menemukan titik jenuh sepanjang pustakawan melayani generasi yang terus berubah dan bertumbuh. Karakter pemustaka tidak dapat ditebak dan tidak mungkin direkayasa. Di era digital sekarang, berbagai aplikasi terus bermunculan danteknologi komunikasi (gadget) terus berkembang dan berubah semakin canggih. Semua perubahan ini akan berdampak pada pekerjaan pustakawan. Menyediakan literatur selengkap mungkin di perpustakaan hanyalah salah satu tugas penting, namun mengedukasi pemustaka dengan metode yang tepat agar dapat memanfaatkan literatur tersebut secara optimal merupakan tugas yang lebih menantang. Kreativitas mutlak diperlukan! Daftar Pustaka American Library Association. 2004. “Information Literacy Competency Standards for Higher Education”. Dalam http://www.ala.org/ acrlstandards/informa-tionliteracycompetecy. html, diunduh 11 Januari 2015. VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Avarez, B.A. 2009. “Digital Natives in The Information Age: How Student Study Habits Reflect The Need for Change at A University Library”. Dalam http://aberdeen.academia.edu/ BryanAnt hony Alvarez/ Papers /326890/, diunduh 10 Januari 2015.
Pendit, Putu Laxman. 2013. “Digital Native, Literasi Informasi dan Media Digital: Sisi Pandang Kepustakawanan”. Dalam Workshop Pengembangan E-Modul Information Literacy Perpustakaan UI., tanggal 2 Februari 2013, Depok.
Bennett, S., Maton, K., and Kervin, L. 2008. “The Digital Natives Debate: A Critical Review of The Evidence. Dalam British Journal of Educational Technology, 39(5), 775--786.
Prensky, M. 2001a. “Digital Natives, Digital Immigrants”. Dalam http://www.marcprensky. com/ writing/Prensky Digital Natives Digital Immigrants Part1.pdf, diunduh 1 Desember 2014.
Brynko, B. 2009. “NFAIS: Greeting The Barbarians at The Gate”. Dalam Information Today.
……….. 2001b. “Digital Natives, Digital Immigrants, Part II: Do They Really Think Differently”. Dalam http://www.marcprensky. com/writing/Prensky Digital Natives Digital Immigrants-Part2.pdf, diunduh 1 Desember 2014.
Bruce, C. 1997. The Seven Faces of Information Literacy. Adelaide: Auslib Press, 1997. Houston, C. 2012. “Digital Natives, 21st Century School Libraries, and 21st Century Preparation Programs: An Informal Affirmation of Branch and deGroot”. Dalam School Libraries Worldwide, 18(1), 138--143.
VISI PUSTAKA Vol. 17 No. 2 Agustus 2015
Selwyn, N. (2009). “The Digital Native Myth and Reality”. Dalam http://dx.doi. org/10.1108/00012530910973776.
109