Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
MENYINGKAPI KEBERADAAN PP NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT Jamin Ginting
ABSTRACT The Victims and Witness Protection Government Regulation No. 2 Year 2002 had guaranteed protection the victims and witness to free from fear, intimidation, terrorism and scare but on the other hand it is still needed political will from government to enforce provisionr with honest and transparency. Existence of The Victims and Witness Protection Procedure on Gross Human Rights Violation (Government Regulation No. 2 Year 2002), would be a good step towards the Victims and Witness Protection in common.. Keynotes : The victims and witness protection; Government Regulation No.2 Year 2002; Human Rights; Gross Human Rights Violation..
Pendahuluan Keberadaan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, merupakan langkah awal yang baik bagi perlindungan korban saksi, walaupun sebenarnya harapan masyarakat adalah aturan hukum berupa Undang-Undang
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi. Peraturan Pemerintah ini sebagai tindak lanjut pelaksanaan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000), yang menyebutkan bahwa "Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah".
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. HI, No. I, Juli 2003
67
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Perlindungan korban dan saksi semakin sangat penting khususnya dalam pelanggaran HAM yang berat dikarenakan: 1. ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat, berjalan cukup lama dan berbelit-belit disebabkan tidak bersedianya korban dan saksi hadir dalam persidangan HAM, hal ini terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan yang memadai terhadap korban dan saksi, yang sebelumnya telah mendapat teror dan ancaman untuk tidak memberikan kesaksian di depan pengadilan; 2. tidak adanya aturan hukum yang jelas, pihak mana yang akan memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi, apakah tindakan perlindungan korban dan saksi menjadi tanggung jawab Polisi atau Komisi HAM ataukah akan dibuat lembaga khusus yang melaksanakan perlindungan terhadap korban dan saksi terhadap pelanggaran HAM yang berat; 3. sejauh mana perlindungan terhadap korban dan saksi dan 68
apa saja jenis perlindungan yang diberikan kepada korban dan saksi agar korban dan saksi dapat memberikan keterangan dan kesaksiannya secara bebas dan tanpa rasa takut. Pengalaman terhadap pelanggaran HAM berat dalam proses peradilan di Pengadilan HAM antara lain kasus alleged gross violation of human rights Timor Timur dan Tanjung Priok dan pelanggaran HAM Trisakti, seluruhnya dilakukan oleh TNI dan Polri, sehingga kedudukan korban dan saksi yang lemah dihadapkan kepada aparat yang memiliki kekuasaan dan senjata tentu perlu mendapat perlindungan yang memadai untuk menjamin bukan hanya keselamatan jasmani dan mental korban dan saksi tetap juga terhadap harta benda dan keluarganya. Korban dan Saksi PP No. 2 Tahun 2002, Pasal 1 ayat (2) dan (3) masing-masing memberikan definisi terhadap korban sebagai berikut "Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. 1, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun". Sedangkan pengertian saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun juga. Pengaturan pengertian korban dan saksi sebenarnya telah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana. Pasal 1 butir 26 KUHAPidana bahwa saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri". Berdasarkan hal ini maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban atau pihak yang dirugikan dari suatu peristiwa pidana atau sering juga disebut sebagai 'saksi korban'. Saksi
diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi obyek pemeriksaan di muka persidangan. Saksi, bersama alat bukti lain, akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan obyektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang disampaikan dalam persidangan. Pengertian korban dalam pelanggaran HAM yang berat tidak hanya pada orang perseorangan tetapi juga kelompok orang, karena pada dasarnya korban dalam pelanggaran HAM berat lebih banyak terjadi pada sekelompok ataupun komunitas tertentu dalam masyarakat. Pengertian saksi dewasa ini juga semakin berkembang karena dalam praktek peradilan pidana ternyata bahwa orang-orang yang sekedar "mengetahui" sesuatu yang berkenaan dengan tindak pidana saja sudah dapat dimasukkan dalam kategori saksi hal ini terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan UndangUndang Perlindungan Saksi yang disiapkan oleh Indonesian Corruption Watch fICW), YLBHI dan Program Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
69
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, membedakan antara saksi dan pelapor. Pelapor tidak diajukan dalam sidang pengadilan, melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya. Pasal 41 ayat (2) e. 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, merumuskan hak saksi pelapor untuk memperoleh perlindungan hukum. Dengan demikian dalam kasus tindak pidana korupsi dimungkinkan adanya seseorang yang mengetahui adanya tindak pidana tetapi ia tidak berperan sebagai saksi dalam proses peradilan pidana dan pengadilan tidak dapat mewajibkan pelapor untuk hadir dan memberikan keterangan dalam persidangan dan tidak mempublikasikan identitas saksi pelapor tersebut.
Kejahatan genosida1 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakantindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pelanggaran HAM yang Berat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, memberikan ruang lingkup pelanggaran HAM yang berat meliputi: a. kejahatan genosida {genocide); atau b. kejahatan terhadap kemanusia {crimes again humanity); 70
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan2 adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : 1 2
Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. I, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2
a. pembunuhan; b. pemusnahan; c.
perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; dan e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f.
penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.
2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Pentingnya Perlindungan Korban/Saksi dan Hak-Hak Korban/Saksi Keterangan saksi dalam perkara pidana merupakan alat bukti yang utama, oleh karena itu untuk menjamin keselamatan saksi, perlu diberikan hak-hak khusus bagi saksi guna menjamin keselamatan saksi dalam memberikan keterangan baik di luar maupun dalam persidangan pidana pelanggaran HAM yang berat. a. Pentingnya Perlindungan bagi Korban dan Saksi Dalam sebuah proses peradilan pidana baik terhadap pelanggaran HAM berat maupun pada peradilan pidana umum, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materiil 3 . Malcom Davies, Hazel Croall, dan Jane Tyrer dalam Criminal Justice
3
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, Bab IV mengenai Hukum Acara menyebutkan bahwa dalam tidak ditentukan lain dalam UU tersebut, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelitaapan, Vol, HI, No.l, Juli 2003
~Yl
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
(1995)4, menyatakan bahwa : "... defendants can only be convicted on the basis of evidence. A criminal trial is founded on the presentation of admissible evidence with a view to persuading the tribunal of fact ...of the soundness or otherwise of the the prosecutions case... "
Pasal 183, 184danPasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (UndangUndang No. 8 Tahun 1981)5, secara tegas menguatkan hal tersebut. Pasal 183 KUHAP, menentukan bahwa : "... hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi, dan bahwa benarbenar terdakwalah yang bersalah melakukannya ...,". Pasal 184 KUHAP menempatkan keterangan 4
Malcon Davies, dkk. 2002 . Criminal Justice (1995). Dalam Harkristuti Harkrisnowo. Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, makalah disampaikan dalam Rountable Discussion mengenai "Perlindungan Korban dan Saksi", Jakarta, him. 5. 5 Andi Hamzah, 1990. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. him. 306 72
saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pasal 185 KUHAP ayat (2) menyatakan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, ayat (3) dari pasal yang sama menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) ruang saksi saja tidak cukup tanpa disertai alat bukti lainnya, dengan demikian keterangan saksi dan korban sebagai alat bukti yang sah sangat penting untuk memastikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. KUHAP menempatkan "keterangan saksi" sebagai alat bukti pertama, hal ini membuktikan bahwa pembentuk undang-undang ini berpandangan keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling kuat dari sekian banyak alat bukti lainnya. Hal ini berkenaan dengan berbagai dugaan tindak pidana yang sangat sulit untuk memperoleh hard evidence, sehingga harus banyak bergantung pada keterangan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. HI, No. I, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
para saksi, tetapi perlindungan saksi sendiri sangat jauh dari perhatian masyarakat dan pemerintah, hal ini terlihat dari lambannya pemerintah dalam pembahasan RUU Perlindungan saksi dan hanya menerbitkan ketentuan perlindungan saksi khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat dengan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002, sedangkan perlindungan saksi seharusnya mencakup seluruh tindak pidana baik tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan tindak pidana HAM yang berat, yang diatur bukan dalam lingkup tataran Peraturan Pemerintah tetapi seharusnya dengan UndangUndang. Argumen penting lainnya sehingga perlunya diadakan perlindungan saksi dan korban adalah karena dalam situasi transisi dimana terdakwa atau tersangka pelanggaran HAM yang berat dan para pendukungnya masih demikian banyak dan berkuasa, maka setiap saksi yang akan memberikan keterangan memberatkan adalah dianggap musuh. Sehingga mekanisme perlindungan saksi dan korban yang jelas dan terpercaya dapat membantu saksi dan korban yang selama ini bungkam karena takut
dengan adanya ancaman dan teror, sehingga dapat merasa aman untuk memberi keterangan tentang kejahatan HAM yang dialaminya. Pengalaman berbagai negara yang mengalami masa transisi, seperti Afrika Selatan dan Negara-Negara Amerika Latin, menunjukkan bahwa pembentukan lembaga perlindungan saksi dan korban dapat turut membantu membongkar berbagai jenis kasus kejahatan HAM yang terjadi di masa lampau. b. Hak-Hak Korban dan Saksi Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka persidangan. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun mungkin keterangannya itu memberatkan terdakwa. Pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi "didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa, alasannya untuk mengakomodir kepentingan saksi sehingga saksi dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
73
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
tanpa rasa takut, khawatir, atau pun tertekan. Saksi dan korban perlu diberi rasa kepercayaan bahwa pengadilan yang akan dihadapinya adalah sebuah pengadilan yang berwibawa dan dapat dipercaya, mampu melindungi dirinya sebelum, pada saat, dan setelah memberika keterangan (kesaksian). Sehingga dalam hal ini yang dibutuhkan bukan hanya memberikan fasilitas keamanan fisik saja, tetapi juga konsultasi psikologi. Hal ini selain dapat membantu saksi dan korban siap untuk memberi keterangan, juga dapat menjadi alat bantu memulihkan saksi dan korban sebagai persiapan untuk kembali memulai hidupnya (rehabilitasi psikologi sosialj. Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat seharusnya hakhak korban dan saksi lebih diperhatikan hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan memiliki akses padasenjata. Fear of threat para korban dan saksi tidak terlepas dari perlakuan militer selama ini, dengan demikian menurut 74
Harkristuti Harkrisnowo6, khusus bagi kelompok saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat selayaknya mendapat perlakuan khusus dibandingkan dengan perkara pidana biasa. Misalnya saja, bagi saksi dan korban biasa memperoleh hak yang bersifat umum, yakni: a. hak atas penggantian biaya transportasi; b. hak untuk mendapat penasehat hukum; c. hak untuk diberi informasi mengenai perkembangan kasus; d. hak untuk diberitahu mengenai keputusan pengadilan; e. hak untuk diberitahu manakala terpidana dibebaskan, sedangkan hak-hak khusus bagi tindak pidana yang dilakukan dengan kekerasan seperti pelanggaran HAM yang berat, hak-haknya harus meliputi: a. hak atas perlindungan keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis; 6
Harkristuti Harkrisnowo. 2002 , Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta : makalah disampaikan dalam Rountable Discussion mengenai "Perlindungan Korban dan Saksi". him. 3
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
b. hak untuk mendapat identitas baru; c. hak atas relokasi; d. hak atas kerahasiaan identitas; e. hak untuk tidak langsung hadir di Pengadilan. Khusus untuk saksi yang menjadi korban, selayaknya diberikan, antara lain : a) hak untuk didengar pendapatnya dalam setiap tahap pemeriksaan; b) hak atas restitusi dari pelaku kejahatan; c) hak untuk tidak didekati pelaku/ kelompoknya dalam radius tertentu, dalam tindak-tindak pidana tertentu (injunction order); d) Khusus untuk korban tindak pidana kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik dan atau psikologis yang berat, dapat diberikan hak-hak sebagai berikut : a) bantuan medis; b) bantuan konsultasi; dan c) hak atas kompensasi dari negara. Sedangkan dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh ICW (Indonesian Corruption
Watch), dengan responden penegak hukum, akademisi, dan saksi, setidaknya ada 8 (delapan) hak yang harus diberikan kepada saksi, sebagaimana yang dimuat dalam hukumonline.com7, yaitu: Pertama, hak atas informasi perkembangan kasusnya, Hak ini menuntut kewajiban penegak hukum yakni Polisi, Jaksan, dan Hakim, untuk memberikan informasi manakala diminta oleh saksi, secara a contrario, dapat dikatakan informasi tersebut tidak selalu diberikan kepada setiap saksi, tetapi hanya pada yang memerlukan saja. Kedua, hak atas informasi putusan perkara. Sudah sepantasnya seorang saksi mengetahui akhir dari proses peradilan pidana (output of criminal justice process), karena mereka adalah pihak yang terlibat secara aktif dalam proses tersebut. Ketiga, hak atas informasi bebasnya terpidana. Hak ini perlu dan penting diberikan kepada saksi karena mereka adalah pihak yang terlibat dalam proses peradilan 7
http://www.hukumonline.com/ cetak artikel.asp?code=1033. him. 2
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. HI, No.l, Juli 2003
75
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
pidana yang telah menjatuhkan pidana kepada terpidana. Dengan demikian, kalau sampai terjadi pembebasan lebih cepat dari pidana yang seharusnya dijalani, saksi perlu diberitahukan. Keempat, hak untuk mendapat identitas baru serta hak relokasi. Memang, perubahan identitas akan membawa dampak yang luas baik di bidang hukum maupun sosial, akan tetapi hak semacam ini tidak bisadiabaikan. Hal itu disebabkan perkembangan organisasi kejahatan, seperti mafia, akan sulit diberantas akibat sulitnya penegak hukum memperoleh saksi karena orang takut untuk menjadi saksi. Dengan perubahan identitas did, termasuk relokasi, saksi diharapkan dapat lepas dari ketakutan yang berkelanjutan. Kelima, hak untuk mendapat bantuan hukum. Saksi, pada waktu diperiksa, sebaiknya dibantu oleh penasehat hukum yang mendampinginya. Penasehat hukum itu akan memberikan penjelasan mengenai proses persidangan, bagaimana saksi harus menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya agar tidak merasa takut dan bingung dalam menghadapi proses persidangan. 76
Keenam, hak untuk mendapat bantuan medis. Bantuan medis ini diperlukan oleh saksi, dalam hal ini khususnya terhadap saksi korban, sebagai akibat kemungkinan menderita secara fisik akibat adanya suatu tindak pidana. Bantuan medis adalah bentuk pertanggungjawaban negara karena telah gagal melindungi warga negaranya dari suatu tindak pidana. Ketujuh, hak atas konsultasi psikologis. Hak sebagaimana diutarakan sebelumnya terutama diperlukan oleh saksi korban kejahatan kekerasan, khususnya perkosaan. Kondisi saksi korban yang menderita secara fisik maupun mental tentunya sangat membutuhkan penanganan psikolog agar kondisi kejiwaan mereka dapat pulih Kedelapan, hak atas penggantian biaya transportasi. Hak ini perlu diberikan mengingat kehadiran saksi dalam pemeriksaan tidak bisa dilepaskan pada biaya transportasi yang dimilikinya. Pengorbanan saksi untuk memberikan kesaksian hendaknya tidak dibebani pula dengan kewajiban pengorbanan mengeluarkan biaya transportasi.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Pemerintah juga bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap saksi dan korban atas pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Ketentuan Pasal 35 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat, Peraturan Pemerintah ini akan memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap saksi dan korban atau ahli warisnya.
c)
d)
e)
Perlindungan Korban dan Saksi dalam KUHAP dan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan beberapa ketentuan sehubungan dengan perlindungan korban dan saksi, yaitu : a) Pasal 98 : "Korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan viktimisasi terhadapnya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata" b) Pasal 117 ayat (1) :"Keterangan tersangka dan
f)
g)
atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun, dan atau dalam bentuk apapun". Pasal 118 : "Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda-tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya" Pasal 166 : "Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa maupun saksi" Pasal 177 : "Jika terdakwa atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, Hakim Ketua Sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Pasal 178 : "Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat membaca dan menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Saksi atau saksi korban yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
77
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
berhak mendapat penggantian biaya menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.
acaman dari kedua pasal ini menjadikan posisi saksi dan korban sangat lemah dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan hak-hak dari korban dan saksi memang diatur begitu lengkap, tetapi hal tersebut justru menunjukkan kelemahan posisi korban dan saksi. Utamanya bahwa kewajiban mereka jauh lebih menonjol dibandingkan dengan hak-hak mereka. Sejumlah Ketentuan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP)8 yang membebankan kewajiban kepada saksi dapat disebut yaitu :
Pengaturan Perlindungan Saksi dalam PPNo. 2 Tahun 2002
a. Pasal 224 KUHP mengenakan sanksi pidana penjara 9 (sembilan bulan) (untuk perkara pidana) atau 6 (enam) (untuk perkara perdata) pada saksi yang dengan sengaja tidak datang ketika dipanggil; b. Pasal 522 KUHP, yang merupakan tindak pidana berbentuk pelanggaran, memberikan sanksi denda pada seorang saksi yang "dengan melawan hak" tidak datang saat dipanggil ke pengadilan. Jelas dengan 8
Andi Hamzah. 1990. KUHP & KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta. him. 94 & 206 78
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002, ini mucul sebagai pelaksanaan terhadap ketentuan Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 34 ayat (1) ditegaskan bahwa "setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun" dan (2) "perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma" Perlindungan tersebut diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi. Permohonan perlindungan ini ditujukan pada
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
instansi-instansi yang berbeda pada setiap tingkatan misalnya: a. dalam tingkatan penyelidikan permohonan ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; b. dalam tingkatan penyidikan dan penuntutan diajukan kepada Kejaksaan; dan c. dalam tingkatan pemeriksaan ditujukan kepada Pengadilan. Instansi tersebut bukan pihak yang melaksanakan perlindungan tersebut tetapi hanya sebagai instansi yang menerima permohonan perlindungan, instansi tersebut akan meneruskan permohonan tersebut untuk ditindak lanjuti dan dilaksanakan kepada aparat keamanan. Sayangnya PPNo. 2 Tahun 2002 ini tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan aparat keamanan dan aparat penegak hukum tersebut, karena aparat keamanan bisa TNI, POLRI atau Pertahanan Sipil, seperti Satpam, Hansip, Satgas, dan lain sebagainya, sedangkan penegak hukum selain Polisi, Jaksa, Hakim adalah Pengacara berdasarkan Undang-Undang Advokat yang kini menunggu tanda-tangan Presiden, merupakan penegak
hukum, apakah juga sebagaimana dimaksud dalam PP No. 2 Tahun 2002, hal ini tidak dijelaskan secara definitif dalam PPNo. 2Tahun 2002. Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh PP No. 2 Tahun 2002 ini berupa9: a) perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; b) perahasiaan identitas korban atau saksi; dan c) pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Jika dibandingkan dengan hak-hak yang seharusnya didapat oleh saksi dan korban berdasarkan penelitian dan pendapat beberapa ahli hukum pidana sebagaimana disebutkan di atas pemberian perlindungan ini terlalu minim dan sederhana, sedangkan risiko yang harus ditanggung saksi dan korban dalam pelanggaran HAM yang berat sangat besar bukan hanya pada dirinya pribadi tetapi juga keluarganya, ada beberapa 9
Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2002, tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang berat
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
79
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
perlindungan yang tidak diberikan oleh PP No. 2 Tahun 2002 ini sebagaimana dimaksud di atas, antara lain : a) hak atas informasi perkembangan kasusnya yang seharusnya menjadi kewajiban dari penegak hukum menyampaikan kepada saksi dan korban mana kala diminta; b) hak atas relokasi; penempatan saksi dan korban pada tempat-tempat yang aman bagi saksi dan korban dari ancaman, teror maupun ganguan dari siapapun; c) hak untuk mendapat konsultasi psikologis, yang diperlukan oleh saksi korban; dan d) hak untuk dilindungi bukan hanya pada saat proses perkara tetapi juga sampai saksi dan korban merasa aman, karena jika tindakan perlindungan itu hanya dilakukan pada saat proses perkara dan perlindungan tersebut tidak lagi diberikan jika telah ada putusan pengadilan yang tetap, maka ada kemungkinan pihak-pihak yang terdakwa yang dihukum akan mengadakan balas dendam yang dapat mengancam kehidupan pribadi dan keluarga saksi dan atau korban. Hal ini terbatas sampai pada tingkatan peradilan yang permohonannya diajukan ke pengadilan, bukan diberikan setiap 80
saat jika memang diperlukan oleh saksi dan korban dan atas tanggungan (biaya) negara. Perlindungan terhadap korban dan saksi akan dihentikan apabila10: a. atas permohonan yang bersangkutan; b. korban dan atau saksi meninggal dunia; dan c. berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan tidak perlukan lagi. Dasar dari huruf c tersebut kurang tepat, karena yang menilai sudah aman atau belum adalah saksi dan korban tersebut, dan bukan berdasarkan pertimbangan aparat keamanan, jikalau mamang merasa dirinya belum aman maka seharusnya korban dan saksi masih berhak untuk dilindungi oleh negara bahkan pada kasus tertentu negara hams bersedia melindungi saksi dan korban seumur hidupnya. PP No. 2 Tahun 2002 juga mengatur bahwa "korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun atas 10
Pasal 7 PP No. 2 Tahun 2002, tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang berat.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Ginting: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2
perlindungan yang diberikan kepadanya" dan " Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perlindungan terhadap korban dan saksi dibebankan pada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau aparat keamanan" (Pasal 8 ay at (1) dan (2)). Hal ini sangat membantu bagi korban dan saksi untuk memberikan keterangannya terlebih dalam kasus pelanggaran HAM yang berat karena bukan hanya akan menyita mated tetapi juga waktu dari saksi dan korban sehingga sudah sewajarnya biaya ditanggung negara, tetapi yang menjadi permasalahan:
un 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
kepada aparat keamanan yang belum jelas siapa aparat keamanan yang dimaksud. Kesimpulan
a. apakah ada anggaran disetiap instansi penegak hukum atau aparat kemanan untuk perlindungan saksi dan korban; dan b. sebagaimana disebutkan sebelumnya siapa yang dimaksud dengan aparat kemanan dan penegak hukum tersebut, hal ini semakin penting karena dalam setiap tingkatan mulai dari penyelidikan sampai putusan hakim yang bertanggung jawab untuk perlindungan saksi berbeda-beda dan pelimpahannya diserahkan
Perlindungan yang diberikan oleh PP No. 2 Tahun 2002 terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat masih jauh dari harapan, ada beberapa perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh korban dan saksi tetapi tidak diatur dalam PP No. 2 Tahun 2002 tersebut, seperti hak relokasi, hak untuk mendapat informasi, hak untuk mendapat identitas baru dan hak untuk mendapatkan perlindungan keamanan sepanjang yang dibutuhkan oleh korban dan saksi. Seyogyanya perlindungan tersebut bukan berakhir berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan tetapi lebih kepada pertimbangan dan kepentingan dari korban itu sendiri yang merasa fisik dan mentalnya terancam. Tidak adanya pengaturan terhadap definisi penegak hukum dan aparat keamanan yang dimaksud dalam PP No. 2 Tahun 2002, sehingga membingungkan (ambigus) dan pengaturan perlindungan korban dan saksi ini hanya berlaku khusus untuk
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita
apan,Vol.IU,No.l,Juli2003
~^57
Gindng: Menyingkapi Keberadaan PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
pelanggaran HAM yang berat, sedangkan masyarakat sekarang mengharapkan adanya aturan hukum berupa Undang-Undang Perlindungan Korban dan Saksi yang cakupannya lebih luas, berwibawa dan dapat dipercaya. DAFTARPUSTAKA 1. Andi Hamzah. 1990. KUHP & KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta. 2. Harkristuti Harkrisnowo. 2002. Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, makalah disampaikan dalam Rountable Discussion mengenai "Perlindungan Korban dan Saksi", Jakarta. 3. Hukumonlie.com, Saksi Dapat Berganti Identitas diri. http:/ /www.huku monlie.com/ artikel.asp?code=1033 4.
, Jika Diperlukan, Saksi Harus Dilindungi Seumur Hidup. http://www.hukumonlie.com/ artikel.asp?code=6629
5.
, PP Perlindungan Korban dan Saksi Hadir di Detik Terakhir. http://www.hukumonlie.com/ artikel.asp?code=5085
82
6. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002, tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat. Jakarta : Pusat Penerbitan PNRI. 7. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia (HAM): Jakarta : Pusat Penerbitan PNRI. 8. Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jakarta : Pusat Penerbitan PNRI 9. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Jakarta : Pusat Penerbitan PNRI.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003