MENONTON TELEVISI SECARA CERDAS DAN KRITIS MELALUI METODE DIET TV SEBAGAI STRATEGI MEDIA LITERACY Sumekar Tanjung1 1
Program Studi Ilmu Komunikasi / Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Jl. Kaliurang, Km. 14,5 Sleman Yogyakarta 55584, Telp. (0274) 898444 1)
[email protected]
Abstrak Artikel ini disusun berdasar dua pemikiran pokok. Pertama, industri televisi cenderung bergerak sebagai mesin raksasa pembentuk budaya massa yang berselera rendah, bahkan bertindak sebagai mesin pencetak kebenaran semu. Kedua, dalam relasinya dengan televisi, dominan masyarakat masih bertindak sebagai penikmat, bukan pengamat tayangan televisi. Literasi media dapat digunakan untuk membongkar relasi kedua hal tersebut. Untuk mengulasnya, artikel ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan berorientasi sumber. Ini melibatkan pembacaan atas pertanyaan penelitian yang diperoleh dari sumber sekunder sebelumnya mengenai literasi media televisi dalam masyarakat. Dalam pengaturan pola menonton televisi, seseorang dapat mengatur dan mengendalikan apa yang ditonton. Membiasakan keluarga dengan diet televisi membantu dan mengurangi kandungan negatif televisi dan melatih untuk menonton yang bermanfaat atau melakukan kegiatan lain yang positif. Dengan strategi pola menonton televisi secara sehat, cerdas, dan kritis seperti ini, diharapkan menjadi keluarga efektif yang mampu mengendalikan hidup, meluangkan waktu panjang untuk menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat dan menjadi keluarga yang berkualitas. Kata kunci: komunikasi, literasi media, masyarakat, media, televisi. 1. PENDAHULUAN Secara dominan, akses televisi oleh masyarakat sangat mudah, namun tidak diikuti dengan pemahaman kritis terhadap isi media. Akibatnya, terjadi peniruan isi media yang merugikan perkembangan anak dan hal lain yang tidak menguntungkan. Mengutip Gerbner, dibandingkan media yang lain, televisi memperoleh tempat yang signifikan dalam keseharian, sehingga mendominasi pengalaman simbolik, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lain [1]. Tulisan ini disusun berdasarkan dua pemikiran utama. Pertama, industri televisi yang sering disebut sebagai industri kreatif cenderung bergerak sebagai mesin raksasa pembentuk budaya massa yang berselera rendah (kitsch), bahkan dapat bertindak sebagai mesin cepat pencetak kebenaran semu. Secara umum, tayangan televisi dapat dikategorikan sebagai seni budaya hasil cipta media. Istilah kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat murah) dan kitschen yang berarti secara literal ‘memungut sampah dari jalan’. Karena itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik yang berselera rendah [2]. Tayangan-tayangan sampah tersebut terjadi setidaknya karena dua hal, yaitu televisi sebagai industri (institusi ekonomi) memasuki medan kompetisi yang ketat, sehingga sudah tidak lagi sempat berpikir kualitas konten suatu program. Sebab, memproduksi program yang berkualitas membutuhkan dana yang tidak sedikit dan ritual yang tidak sederhana, seperti survey khalayak. Kemudian, industri televisi masuk dalam bisnis kreatif yang bergerak dalam dinamika sosial ekonomi yang cukup tinggi dan tidak terduga. Kedua hal tersebutlah yang mendorong stasiun televisi menempuh jalan pintas dalam setiap produksi programnya. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa budaya dalam industri televisi berbeda sama sekali dengan budaya pada jalur industri lain. Kedua, dalam relasinya dengan televisi, umumnya masyarakat masih bertindak sebagai penikmat (viewer), bukan pengamat (watcher) tayangan televisi. Sebagai viewer, penonton bersifat 404
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
pasif, menerima begitu saja isi tayngan televisi tanpa perspektif kritis. Akibatnya, masyarakat semakin sulit membedakan mana yang asli dan palsu dalam televisi. Bahkan, dapat saja masyarakat sudah tidak peduli lagi apakah tayangan televisi tersebut asli atau palsu, fakta atau dusta, ilusi atau fantasi. Sebab, dalam televisi suatu yang semula etis dapat berubah menjadi estetis. Suatu drama kehidupan menjadi sangat dramatis dalam televisi. Demikian juga, sesuatu yang semula bersifat religious dapat dikemas menjadi religioustainment. Realitas kekerasan pun menjadi lebih dramatis setelah masuk dalam kamera televisi. Di Indonesia, terminologi ‘literasi media’ sering disamakan dengan ‘penggunaan media secara kritis’. Ini menunjukkan bahwa literasi media diartikan secara sempit sesuai dengan penerapan dalam keseharian atau hanya mengambil unsur kepraktisan dari konsep utuh literasi media. Maka dalam konteks ini, pemahaman mengenai literasi media khususnya televisi diartikan sebagai pemahaman dan keterampilan yang perlu dimiliki setiap orang agar dapat menonton televisi secara kritis dan cerdas. Secara ringkas, terdapat tiga faktor pendorong perlunya sikap tersebut. Pertama, tentu saja televisi merupakan bagian integral dalam masyarakat sebagai media pandang-dengar. Kedua, rivalitas industri penyiaran yang semakin kompleks yang memprioritaskan kalkulasi ratting. Terakhir, dipastikan bahwa dampak menonton televisi tidak selalu menghasilkan perilaku yang baik, namun justru membawa mudharat yang besar. Diperlukan kemampuan literasi media agar masyarakat tidak mudah terlena dampak buruk televisi dan dapat dimanfaatkan menjadi jawaban atas pencegahan meluasnya pornografi, pelecehan seksual dan kekerasan. Televisi sebagai media tentu saja menjadi pelestari kehidupan bangsa. Sehingga dalam jangka panjang, masyarakat diharapkan dapat mendorong dan memantau agar isi media lebih berkualitas. Adapun konsep literasi media menjadi makin populer setelah tahun 1980-an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di berbagai negara. Konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dampak buruk media yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hinga menafikan kepentingan publik. Pemikiran sejumlah tokoh komunal-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep literasi media. Sementara itu, Ispandriarno mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk menyaring informasi-informasi media melalui analisis pesan yang disajikan kepada masyarakat setiap hari. Ini juga merupakan sebuah kemampuan berpikir kritis atas semua bentuk media, baik itu film, televisi, media cetak, maupun berbagai situs di dunia maya [3]. Selain itu, melek media juga berarti naluri dan bakat untuk mempertanyakan apa yang terletak di balik produksi media, misalnya motif (tujuan, maksud, alasan), nilai-nilai dan kepemilikan, serta kesadaran bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi isi media. Terdapat juga pendapat lain yang menegaskan bahwa literasi media tergantung pada pemberian kritik atas proses konstruksi isi media serta membandingkan antara isi media dengan realitas sosial. Sebagai contoh, Potter menyatakan, “literasi media adalah sebuah perspektif yang aktif digunakan ketika mengekspos diri sendiri pada media untuk menafsirkan arti pesan yang dihadapi.” Untuk memperjelas konsep “perspektif” dalam buku teks populer di Amerika Serikat tentang literasi media, di situ dijelaskan bahwa seseorang membangun perspektif dari struktur ilmu pengetahuan, dan untuk membangun struktur tersebut memerlukan alat dan bahan baku. Alat yang dimaksud adalah kemampuan literasi media, sedangkan bahan baku adalah informasi dari media dan informasi dari dunia yang sesungguhnya [4] Berdasar pokok-pokok pemikiran tersebut, peneliti bermaksud memberikan perspektif pentingnya mengatur pola menonton televisi dengan melakukan diet TV. Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca untuk menjadi penonton yang cerdas atau selektif memilih program televisi, dan kritis atau mampu bersikap untuk menolak muatan negatif maupun memuji muatan positif di televisi.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
405
2. METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan berorientasi sumber. Penekanan pada pendekatan berorientasi sumber maksudnya adalah penelitian ini dilakukan atas motivasi yang diperoleh dari sumber sekunder terdahulu. Ini melibatkan pembacaan atas pertanyaan penelitian yang diperoleh dari sumber sekunder sebelumnya mengenai literasi media televisi dalam masyarakat. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sumber sekunder yang tersedia merupakan stimulus bagi penelitian ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan menonton televisi ini akan berjalan efektif bila ada kesepakatan antara seluruh anggota keluarga. Terutama sekali adalah konsistensi dan keteladanan dari orang tua. Dengan kata lain, program ini tidak akan berhasil bila orang tua hanya menyuruh anak-anak sendiri yang menyeleksi muatan televisi yang akan ditontonnya, sementara mereka melihat orang tuanya duduk santai menonton televisi berjam-jam. Mempersingkat pembahasan, berikut merupakan lima prinsip dalam berdiet TV yang dapat digunakan sebagai panduan. Prinsip pertama, mengendalikan konsumsi televisi, maksimum dua jam sehari. Orang tua harus memberi kejelasan mengenai peraturan diet TV kepada seluruh anggota keluarga, sehingga peraturan bisa dijalankan dengan baik. Kegiatan ini teruatama mengenai batas maksimum menonton televisi, yakni dua jam sehari. Anak-anak pun perlu tahu batasnya. Kapan ia boleh menonton televisi dan kapan waktunya ia harus berhenti menonton televisi. Pada awalnya bisa jadi mereka akan protes. Namun, jika peraturan ini jelas dan tegas penerapannya, maka anak-anak pun akan terbiasa. Prinsip kedua, menyiapkan hidangan TV yang seimbang. Hidangan utama, memilih program-program yang memiliki nilai-nilai pendidikan atau informasi tinggi. Sebagaimana snack dan pencuci mulut adalah hidangan yang bagus bila dikonsumsi dalam jumlah moderat, orang tua juga bisa meloloskan program-program hiburan sekadarnya. Prinsip ketiga, membisukan iklan. Orang tua harus melakukan kesepakatan dengan anak, bahwa yang ditonton dari televisi adalah hanya program acara, bukan iklannya. Iklan berpengaruh besar dalam mendorong anak berperilaku konsumtif. Prinsip keempat, setelah makan, jangan hanya duduk-duduk. Maksudnya, setelah menonton suatu program televisi yang bermutu, biasakan diri untuk jangan hanya duduk-duduk saja. Secara alami acara-acara pendidikan bisa dengan mudah dikaitkan pada kegiatan-kegiatan lanjutan yang bisa dilakukan anak, baik dilakukan sendiri atau bersama orang tua setelah televisi dimatikan. Prinsip kelima, menciptakan demokrasi, bukan kediktatoran. Untuk membiasakan anak berdiet TV, jangan memaksakan keinginan orang tua pada anak. Terutama pada saat mereka sudah memasuki usia sekolah. Sebaiknya orangtua melibatkannya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hal-hal mengenai diet TV ini, sebagaimana ia menyuarakan pendapatnya mengenai apa yang ingin ia sarankan pada orang tua untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Lalu seperti apakah produksi siaran televisi seharusnya? Jika dilihat dari fungsinya, televisi sebagai bagian dari media sudah selayaknya menjalankan fungsi sosial, yang terdiri dari fungsi pengawasan, fungsi penyebaran nilai-nilai, dan fungsi hiburan. Sebagai negara Timur, televisi di Indonesia mutlak harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Tengok saja Amerika Serikat sebagai negara paling liberal, ternyata sangat memperhatikan idealisme televisi. Di Indonesia, pegaturan mengenai produksi dan penayangan program televisi diamatkan oleh UU Penyiaran no. 32 Tahun 2002 kepada Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga yang mempunyai tugas utama mengawasi tayangan televisi, KPI telah menyusun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS). P3 merupakan panduan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibuat oleh stasiun televisi. Pedoman ini harus lebih dipahami oleh para pekerja produksi televisi. Mereka yang bekerja di lapangan untuk memproduksi acara maupun meliput berita harus memahami batasan-batasannya. Pemahaman ini sangat menentukan tampilan di layar kaca. Sementara itu, SPS merupakan aturan 406
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran. Dalam hal ini, Rogers menyebut bahwa televisi merupakan agent of development, development media, development journalism, bukan justru menjadi secondhand reality yang menambah kegelisahan masyarakat [5]. Itu sebabnya P3 dan SPS secara jelas mengatur mengenai hal-hal yang dilarang muncul di televisi. Siaran langsung (live) tidak boleh dijadikan alasan tersiarnya gambar ekstrim dan kata-kata yang tidak pantas. Sebab dalam suatu liputan tentu saja ada penanggungjawab (produser) di lapangan yang harus mengamati scene demi scene dari setiap kejadian. Jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, menjadi tugas seorang produser untuk mengalihkan atau melakukan sesuatu agar gambar dan suara yang tidak pantas jangan sampai tersiarkan. Ini sesuai dengan lima prinsip etis produksi tayangan televisi menurut Dominick. Pertama, prinsip keseimbangannya suatu kepentingan, baik pemodal maupun masyarakat. Kedua, prinsip kesadaran hati nurani. Ketiga, prinsip menyebarluaskan manfaat bagi masyarakat. Keempat, prinsip keberpihakan pada masyarakat. Kelima, prinsip menghormati orang lain [6]. 4. KESIMPULAN Prinsip penyelenggaraan penyiaran berdasarkan UU Penyiaran no. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran adalah menggunakan frekuensi dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini disebabkan karena frekuensi tersebut adalah ranah publik yang dikuasai negara karena jumlahnya terbatas dan fungsinya yang sangat strategis. Dengan kata lain, penggunaan frekuensi hanyalah bersifat ‘pinjaman’ dari negara kepada pengelola lembaga penyiaran. Untuk televisi, lamanya 10 tahun, untuk radio selama lima tahun. Jadi, frekuensi ini bukanlah ‘milik’ lembaga penyiaran seumur hidup. Karena itu, lembaga penyiaran dalam menjalankan kegiatannya, harus mematuhi ketentuan atau peraturan-peraturan yang ada mengenai penyiaran, antara lain: Undang-Undang Penyiaran, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penyiaran, dan aturan KPI tentang isi siaran yaitu P3 dan SPS. Lembaga penyiaran juga harus menjalankan fungsinya secara proporsional yakni informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta ekonomi. Pentingnya pengaturan terhadap penyiaran ini, dikarenakan isi siaran yang diproduksi oleh lembaga penyiaran (televisi) hadir di ranah publik. Tentu saja publik memiliki norma sosial, norma agama, dan norma hukum. Tidak semua hal yang informatif, dapat ditayangkan oleh televisi. Peristiwa tawuran, kecelakaan yang menampilkan korban luka secara eksplisit, reka adegan kasus kejahatan seksual, adalah yang dilarang hadir di televisi. Begitu pula dengan hiburan yang memuat adegan kekerasan, seksual, dan mistik. Pelarangan ini terutama untuk menghormati norma-norma yang ada di masyarakat dan perlindungan kepada kelompok yang rentan, yaitu anak-anak dan remaja. Yang terjadi saat ini, lembaga penyiaran khususnya televisi, mengabaikan peraturan yang ada. Sebagai instansi yang padat modal dengan persaingan tinggi untuk memperoleh iklan, membuat pengelola tidak memperdulikan mutu isi siaran. Mereka cenderung memperhitungkan perolehan rating. Akibatnya, isi siaran yang sampai kepada masyarakat seringkali bertolak belakang dari harapan. Karena itu, saatnya masyarakat dapat lebih aktif berpartisipasi mengontrol dunia penyiaran. Bentuk partisipasi dari masyarakat adalah dengan senantiasa menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Masyarakat bersama-sama harus mengembalikan ranah publik menjadi benar-benar milik publik, yakni dengan lebih selektif dalam menonton televisi. Jika seluruh penonton televisi di Indonesia melakukan ini, maka hampir dapat dipastikan dunia penyiaran akan menjadi lebih baik lagi.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
407
DAFTAR PUSTAKA [1] McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. [2] Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. [3] Ispandriarno, Lukas. 2006. “Mengapa dan Bagaimana Memelototi Media” (Makalah). [4] Potter, James W. 2008. Media Literacy. Thousand Oaks: Sage Publications. [5] Rogers, Everett M. 1995. Diffusion of Innovation. New York: Free Press. [6] Dominick, Joseph R. 1999. The Dynamics of Mass Communication. Boston: McGraw Hill.
408
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk