PENTINGNYA MEDIA LITERACY BAGI ORANG TUA SEBAGAI GATE KEEPING SIARAN TELEVISI BAGI ANAK DAN REMAJA Rekno Sulandjari ) Abstrak Dengan kebijakan pemerintah melalui KPI yang melakukan pemindahan jam tayang untuk acara-acara yang sekiranya tidak pantas dikonsumsi anak tidak berdampak apa-apa, karena kasus-kasus peragaan kekerasan anak-anak sekolah yang diyakini meniru acara tersebut terus berlangsung. Korban pun bertambah, dan ketika para korban maupun pelaku dimintai keterangan, mereka akan mengatakan alasan yang sama: meniru acara di televisi. Alhasil, acara berbasis kekerasan itupun dihentikan penayangannya setelah diminta oleh pemerinta. Bercermin dari berbagai kasus kekerasan anak tersebut, masyarakat dan pengamat media pun kembali meneguhkan keyakinan bahwa tayangan kekerasan di televisi sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku anak. Dalam konteks ini, patut dipertanyakan sejauh mana pembelajaran di sekolah dapat menyuntikkan daya kritis dan kemampuan selektif bagi anak di dalam menonton tayangan media. Di tengah situasi masyarakat yang termediasi sekarang ini, proses belajar-mengajar di sekolah dituntut untuk mampu menumbuhkan kesadaran bermedia alias melek media (media literacy) bagi siswa. Sekolah seringkali dituntut lebih untuk mampu mencetak kepribadian dan perilaku positif anak. Padahal proses belajar-mengajar di sekolah hanya enam sampai delapan jam saja. Hanya sepertiga saja waktu yang termanfaatkan secara formal. Di luar itu, lingkunganlah yang sebenarnya lebih membentuk kepribadian dan kebiasaan anak. Dengan demikian, perilaku kekerasan anak sekolah sebetulnya lebih dipengaruhi oleh penggunaan waktu di luar sekolah atau dua pertiga waktu hidup mereka dalam sehari. Jika anak-anak ibarat gelas kosong, sekolah sebenarnya hanya akan mampu mengisi sepertiganya, dan dua pertiga itu akan lebih ditentukan oleh lingkungannya, baik keluarga maupun lingkungan pergaulan mereka di masyarakat. Oleh karenanya sangatlah besar peranan orang tua dalam hal ini para ibu yang lebih banyak memiliki waktu luang bagi anak untuk memberikan pemahaman literacy media kepada mereka. Sehingga pada akhirnya mampu melakukan gate keeping pada acara dan siaran yang dipublish televisi. Harapannya tentu saja pada akhirnya generasi muda mendapatkan stimuli berupa acara yang sesuai dengan perkembangan jiwa sehingga tumbuh berkembang menjadi generasi yang bisa diandalkan di masa yang akan datang. Kata Kunci : literacy media, peran aktif, gate keeping
I. PENDAHULUAN
Dosen Jurusan Hubungan Masyarakat FISIP Universitas Pandanaran
Beberapa tahun yang lalu media kita gencar memberitakan kasus-kasus remaja yang di-smack down teman sekolahnya. Sebagian siswa mengalami luka-luka serius, dan di sejumlah tempat bahkan ada yang meninggal. Konon, anak-anak meniru adegan kekerasan yang mereka tonton dalam acara gulat bebas (wrestling) yang sarat dengan dengan kekerasan di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta. Tak ayal, stasiun televisi yang menayangkan acara tersebut diminta menggeser jam tayangnya dari jam-jam prime time ke jam tayang dini hari untuk meminimalkan kemungkinan penonton anak menikmati tayangan tersebut. Kendati demikian, pemindahan jam tayang tidak berdampak besar dan nyaris bahkan tidak ada sama sekali, karena kasus-kasus peragaan kekerasan anak-anak sekolah yang diyakini meniru acara tersebut terus berlangsung. Korban pun bertambah, dan ketika para korban maupun pelaku dimintai keterangan, mereka akan mengatakan alasan yang sama: meniru acara di televisi. Alhasil, acara berbasis kekerasan itupun dihentikan penayangannya setelah diminta oleh pemerintah. Bercermin dari berbagai kasus kekerasan anak tersebut, masyarakat dan pengamat media pun kembali meneguhkan keyakinan bahwa tayangan kekerasan di televisi sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku anak. Dalam konteks ini, patut dipertanyakan sejauh mana pembelajaran di sekolah dapat menyuntikkan daya kritis dan kemampuan selektif bagi anak di dalam menonton tayangan media. Ditengah situasi masyarakat yang termediasi sekarang ini, proses belajar mengajar di sekolah dituntut untuk mampu menumbuhkan kesadaran bermedia alias melek media (media literacy) bagi siswa. Sekolah seringkali dituntut lebih untuk mampu mencetak kepribadian dan perilaku positif anak. Padahal proses belajar mengajar di sekolah hanya membutuhkan enam sampai delapan jam. Hanya sepertiga saja waktu yang termanfaatkan secara formal. Di luar itu, lingkunganlah yang sebenarnya lebih membentuk kepribadian dan kebiasaan anak. Dengan demikian, perilaku kekerasan anak sekolah sebetulnya lebih dipengaruhi oleh penggunaan waktu di luar sekolah alias duapertiga waktu hidup mereka dalam sehari. Jika anak-anak ibarat gelas kosong, sekolah sebenarnya hanya akan mampu mengisi sepertiganya, dan dua pertiga itu akan lebih ditentukan oleh lingkungannya, baik keluarga maupun lingkungan pergaulan mereka di masyarakat. Apalagi dengan adanya persaingan yang cukup tajam dengan keberadaan media elektronik yang semakin menjamur dari waktu ke waktu. Banyak tayangan televisi yang sangat mengabaikan nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang mendukung
pengembangan kepribadian yang sesuai dengan usia mereka. Yang pasti, pengertian pers sebagai penjaga gerbang informasi – memutuskan informasi apa yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik – tak lagi dengan tegas mendefinisikan peranan jurnalisme itu sendiri. Dan justru hal inilah yang membuat mereka lengah dan tak waspada dalam menyajikan sajian informasinya sehingga seringkali mereka lupa pula bahwa pemirsanya tak melulu orang dewasa. Dengan kemudahan mengakses sajian yang tak lagi ditutup-tutupi dan waktu tayang yang sangat panjang setiap harinya tersebut, justru berita yang hanya layak dikonsumsi pada usia dewasa tersebut terkadang justru diniatkan sebagai nilai lebih dari tayangan televisi yang bersangkutan demi bersaing di kancah pertelevisian di Indonesia. Sistem demokrasi memberi kesempatan pada semua orang untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan publik. Negara dalam hal ini pemerintah baik pusat maupun daerah dengan sendirinya harus melepaskan sebagian atau merenggangkan privilis yang dimilikinya dalam mengatur kehidupan publik. Media elektronik yang berada pada domain publik, dalam era reformasi mempunyai kesempatan besar menyatakan atau mengekspresikan tayangannya dalam bentuk informasi dengan mengatasnamakan demi partisipasi publik. Hal ini tak bisa lepas dari peran serta deregulasi di bidang pers di antaranya yaitu; UU RI No.40 Tahun 1999 tentang Pers, SK Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik, SK Dewan Pers No. 04/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret tentang Standar organisasi Wartawan, SK Dewan Pers No.05/SKDP/III/2006 tanggal 24 Maret tentang Penguatan Peran Dewan Pers No.06/SKDP/IV/2006 tanggal 21 April 2006 tentang prosedur Pengaduan ke Dewan Pers. Dan juga beberapa aturan terkait dengan larangan pornografi sebenarnya telah diatur dalam hukum positif kita, di antaranya adalah dalam KUHP, UU No 8/1992 tentang Perfilman, UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Namun pada tahap aplikasi, beberapa UU ini tidak dapat bekerja dengan maksimal karena mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan pada substansinya, yaitu perumusan melanggar kesusilaan yang bersifat abstrak/multitafsir, jurisdiksi yang bersifat territorial dan perumusan beberapa istilah dan pengertiannya yang tidak mencakup aktivitas pornografi diinternet, sistem perumusan sanksi pidana yang tidak tepat dan jumlah sanksi pidana denda yang relatif kecil, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi/badan hukum yang
tidak jelas dan tidak rinci, dan tidak adanya harmonisasi tindak pidana dan kebijakan formulasi tindak pidana, baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional.
I.1 Keluarga dan Penguatan Kesadaran Bermedia Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, dalam konteks penguatan kesadaran bermedia anak, selain sekolah tetap harus mampu menunjukkan perannya yang paling besar pengaruhnya adalah pembimbingan dari keluarga. Pada tahap usia dan perkembangan anak tertentu, di samping dikenalkan pengetahuan awal tentang media, anak perlu dirangsang untuk senantiasa berpikir kritis terhadap setiap tayangan media. Secara akademis, program media literacy memang bisa disampaikan pada kurikulum yang memadai terkait dengan media. Diperlukan mata kuliah khusus yang mengkaji media. Namun peran akademisi juga sangat dibutuhkan manakala bersinggungan dengan fenomena yang ada di masyarakat dalam hal ini kontribusi mensosialisasikan melek media ini agar para orang tua ikut serta mewaspadai tayangan yang ada di media massa. Sehingga sejak awal anak akan mengerti bahwa kesadaran media ditengah budaya konsumsi media yang melimpah ruah sekarang ini memang betul-betul urgen. Di dalam sosialisasi media literacy ini dapat disisipkan materi-materi tentang dampak sosial perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, termasuk media di dalamnya. Pembentukan kesadaran awal di tingkat orang tua ini setidaknya akan membantu memperkuat penanaman nilai-nilai positif pada anak, yang diharapkan akan terinternalisasi dalam setiap perilaku anak. Tujuan pendidikan media literacy adalah untuk memproteksi anak didik dari persepsi-persepsi buruk media sekaligus mendidik anak untuk mampu mengapresiasi efek positif media. Maka pendidikan media literacy tidak sekadar mengajarkan orang tua tentang segi teknis produksi tayangan media, melainkan juga berbagai konsekuensi yang timbul dari kekuatan media. Pendidikan media literacy mengajarkan pada anak tentang pemanfaatan media secara bijak serta penilaian kritis terhadap muatan media. Mengambil analogi teori peluru atau teori jarum hipodermik yang memandang bahwa pesan (isi) media mempunyai peran yang sangat kuat dalam membentuk perilaku masyarakat; maka orang tua pun perlu mendapatkan sosialisasi untuk dapat mengembangkan dirinya sendiri menghadapi pengaruh media. Yang pada akhirnya secara masiv menyampaikan ke anak-anak mereka atau anggota keluarga yang lainnya. Anak-anak perlu “disuntik” dengan cara tersendiri sehingga mereka kebal
alias imun terhadap kemungkinan dampak buruk yang akan terjadi akibat tayangan media. Ditengah melimpahruahnya aneka citraan media yang tidak terbendung sekarang ini tindakan inokulatif sangat diperlukan demi melindungi bahaya negatif media yang bisa mempengaruhi segi-segi kognitif, afektif, dan behavioral atau sering disebut sebagai psiko motorik anak. Pendidikan melek media ibarat suntikan imunisasi dimana orang tua dan akhirnya
anak
secara
mandiri
mampu
menghasilkan
antibodi
yang
siap
menanggulangi berbagai potensi penyakit psikologis pada diri mereka akibat pengaruh media.
1.2 Rumusan Masalah Tayangan dan informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma serta waktu tayang yang tidak sesuai usia pemirsanya,
dapat memberikan pengaruh yang
menyimpang dari informasi yang ditayangkan (disfungsional). Sehingga dikhawatirkan bisa berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa karena terkait dengan perkembangan moral yang ke arah negatif salah satunya adalah adanya rangsangan berperilaku agresif secara seksual seseorang. Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada perkembangan seksual dan mental remaja. Dampak tersebut berawal dari sedikitnya pemahaman mereka terhadap kegiatan literacy media ini, sehingga mereka tak memiliki kemampuan juga dalam menyaring sajiansajian yang tak sesuai dengan kebutuhan hidup anak. Disfungsional juga bisa dikaitkan dengan adanya perubahan jadwal pola hidup keseharian. Banyaknya waktu bersama anak yang dilakukan orang tua dalam hal ini para ibu, memberikan kesempatan untuk mereka agar menjadi seorang gate keeper (penyaring) yang baik bagi tayangan yang sesuai usia anak mereka. Dan sebagai hak otoritas ibu, mereka juga seharusnya membatasi waktu menonton televisi bagi anak mereka. Terkait dengan berbagai penelitian yang telah lalu yang mengindikasikan bahwa pengkonsumsi tayangan televisi yang lebih dari 2 jam sehari akan berpengaruh terhadap prestasi secara akademik mereka di sekolah. Sehingga dimungkinkan jika orang tua dalam hal ini ibu mendapatkan pemahaman tentang literacy media (melek media) sebagai modal para ibu dalam melakukan gate keeping tayangan televisi yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diakui dalam sebuah keluarga.
2. METODOLOGI Tipe penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah deskriptif kuantitatif yaitu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa tabulasi siang atau analisa Ladzarfeld. Analisa ini digunakan untuk mengetahui peranan Literacy Media (X) Orang Tua dalam Gate Keeping acara Televisi yang sesuai bagi anak (Y).
3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Teori Tabola Rasa Pada umumnya setiap media massa dapat menimbulkan efek baik berupa penambahan pengetahuan, pengubahan sikap, menggerakkan perilaku atau menarik perhatian kita. Hal yang akan menjadi sasaran pengamatan dari gejala tersebut adalah hubungan antara orang tua dan anak, dalam pengawasan dan pelarangan serta pembimbingan informasi yang mengandung pornoteks yang layak konsumsi anak usia remaja. Dikondisikan seorang pekerja yang merangkap sebagai seorang ibu rumah tangga, sebelum adanya deregulasi UU RI No.40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, setelah sampai di rumah akan menghabiskan waktunya dengan beristirahat dengan melepas lelah dari kepenatan kesehariannya. Namun setelah diberlakukannya UU tersebut yang berarti konten media massa semakin bervariatif sehingga tak ada lagi pembatasan penyiaran dan informasinya baik terkategori sebagai informasi yang mengandung pornografi atau pornoteks. Hal ini ditambah juga dengan adanya aktivitas orang tua di luar rumah sebagai pekerja misalnya, diperkirakan dapat mengurangi perhatian untuk menyeleksi informasi yang mengandung pornoteks di media massa yang tidak sesuai dengan usianya sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh pula terhadap perilaku dan perkembangan psikologis dan psikomotoriknya. Baik itu berkaitan dengan intelektualitas, fantasi yang berlebihan sehingga cenderung berefek negatif, atau merosotnya nilai-nilai moral anak. Sesuai dengan teori empirisme dalam buku Kartini Kartono (1990:138) dengan tokoh Francis Bacon (Inggris, 1561-1626) dan John Locke (Inggris, 1632-1704), yang berpendapat bahwa : “ Pada dasarnya anak lahir di dunia, perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan dan pengajaran”. Dianggapnya anak lahir dalam kondisi kosong, putih bersih seperti meja lilin (Tabola Rasa), maka pengalaman empiris anaklah yang bakal menentukan corak dan bentuk
perkembangan jiwa anak. Kaitannya dengan fantasi yang dalam psikologi berarti daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-tanggapan yang telah ada (lama), spontan terkadang tanpa disadari, mudah sekali berubah, dan bersifat menciptakan sesuatu yang baru. Anak usia remaja yang mengkonsumsi informasi yang mengandung unsur pornoteks yang tidak diseleksi terlebih dahulu di mana informasi tersebut tidak sesuai dengan usianya, maka cenderung akan timbul fantasi yang negative. Dr. Maria Montessori dalam buku karangan Abu Ahmadi (1991:65) berpendapat bahwa ;” Fantasi anak dalam perkembangannya harus dibatasi tidak boleh dibiarkan seleluasa mungkin, sebab jika fantasi tidak dibatasi dapat menghambat kemandirian anak-anak, menjadi tidak realistis”. Selain kedua hal tersebut di atas, moral juga merupakan salah satu aspek yang dapat berpengaruh oleh informasi yang tidak sesuai dengan usia anak. Karena pada dasarnya perkembangan moral anak dapat dipengaruhi dengan keberadaan informasi yang mengandung pornoteks. Periode maturasi seksual yang mengubah seorang anak menjadi orang dewasa yang matang secara biologis yang mampu melakukan reproduksi seksual. Pubertas dimulai dengan periode pertumbuhan fisik yang cepat yang disertai oleh perkembangan bertahap organ reproduksif dan karakteristik seks sekunder (perkembangan payudara pada perempuan, jakun pada lelaki, dan tumbuhnya rambut pubis pada keduanya). Terrdapat variasi yang luas dalam usia di mana pubertas dimulai dan kecepatan perkembangannya. Sebagian anak perempuan mencapai menarche (periode menstruasi pertama) sedini usia 11 tahun, yang lain selambatnya usia 17 tahun, rata-rata usia adalah 12 tahun 9 bulan. Anak lelaki rata-rata mengalami percepatan mature dua tahun lebih lambat jika dibandingkan dengan anak perempuan. Mereka mulai mengalami ejakulasi dengan sperma hidup di suatu saat antara usia 12 dan 16 tahun, dengan rata-rata usia 14,5 tahun (Atkinson,2007:189). Oleh karenanya adalah sesuatu yang sangat riskan jika remaja tak bisa mengendalikan insting birahi yang menderanya setelah mengkonsumsi informasi yang mengandung pornoteks di media massa.
3.2. Teori Belajar Sosial dari Bandura Anak-anak dalam hal ini remaja, karena mereka hanya memiliki beberapa pengalaman hidup, merupakan target utama untuk sosialisasi pesan. Remaja juga subyek keprihatinan tentang efek sosialisasi media massa. Masa remaja merupakan periode perubahan besar selama yang ada ketegangan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selama ini waktu, remaja mulai membangun kemerdekaan dari keluarga mereka, menjadi lebih berorientasi pada hubungan dengan teman-teman dan integrasi dengan kelompok sebaya, mulai membentuk identitas seksual mereka, dan menetapkan hubungan romantis dan seksual, juga, mereka mulai pindah ke yang lebih peran orang dewasa dan menerima tanggung jawab orang dewasa lebih (Strasburger, 1995).
Peran-peran baru ini disertai dengan banyak ketidakpastian. Karena televisi menarik dan mudah tersedia, remaja mungkin beralih ke media massa untuk informasi dan saran (Alexander, 1985; Johnstone, 1974). Orang tua dan ulama prihatin bahwa massa media mungkin mendorong remaja untuk mencoba perilaku orang dewasa (seperti minum dan seks) sebelum mereka cukup dewasa untuk menangani konsekuensi, atau, media massa dapat menyediakan model untuk perilaku tidak sehat yang terkait dengan dewasa (misalnya, merokok). Banyak kekhawatiran tentang efek sosialisasi masih berfokus pada televisi sebagai sumber efek negatif (Strasburger, 1995), terutama yang paling sering menyaksikan program oleh remaja: musik video dan sinetron dimana pada masa perkembangan merupakan waktu minat dalam belajar dan bereksperimen dengan seks. Sayangnya, kebanyakan remaja underinformed tentang seks. J. D. Brown, Childers, dan Waszak dalam M.Perse (2008:98) memberikan alasan bahwa media dapat menjadi sumber potensial efek pada pengetahuan seksual remaja dan perilaku: (a) mereka memiliki sedikit pengalaman (baik dalam tindakan atau observasi), (b) sumber informasi yang terbaik yaitu-orang tua dan pendidik enggan untuk memberikan informasi dan remaja mungkin malu untuk mendekati sumber-sumber, dan (c) takut terlihat bodoh dapat menyebabkan mereka untuk bergantung pada sumber impersonal, seperti media massa. Dan pesan media tentang seks sering tidak akurat serta tidak lengkap dan interpretasi remaja
mengenai seks pada media memiliki kemungkinan salah karenabelum dewasa.
Penggambaran dan diskusi tentang seks sangat mudah ditemukan di hampir semua media, dari televisi sinetron, ilmiah, majalah dan buku, dan pembicaraan di radio menunjukkannya. Isi media massa dapat menjadi sumber efek pada pengetahuan dan perilaku seksual pada remaja. Greenberg (1994) dalam M.Perse (2008:105) menyarankan bahwa paparan media seksual dapat menyebabkan beberapa efek untuk remaja: (a) perhatian yang lebih besar dengan masalah seksual, (b) persepsi bahwa seks adalah umum di antara orang muda, (c) penerimaan yang ekstra lebih besar -dan seks pranikah, dan (d) keyakinan bahwa seks memiliki sedikit konsekuensi negatif Terdapat bukti sederhana bahwa paparan konten media seksual terkait dengan sikap tentang seks dan perilaku seksual. Dalam penelitiannya tersebut ia menemukan bahwa paparan media massa pada adegan seks di luar pernikahan mempengaruhi nilai-nilai moral remaja usia 13 dan 14; peserta eksperimen lebih cenderung untuk menilai sebagai pendidikan atau informasi seksual yang "salah."
Bandura (dalam M.
Perse:114) menunjukkan bahwa jangkauan pengetahuan manusia sangat terbatas jika hanya dibatasi dengan apa yang kita bisa pelajari dari tindakan kita sendiri. Teori pembelajaran sosial adalah pendekatan yang melihat komunikasi massa sebagai agen yang berpotensi kuat dalam mengarahkan perilaku manusia. Dalam istilah sederhana, pembelajaran sosial menjelaskan bahwa orang bisa berperilaku menyerupai tindakan model yang mereka amati di
media. Teori pembelajaran sosial kognitif adalah pendekatan yang menekankan pentingnya aktivitas mental sebagai prekursor untuk bertindak. Bahkan, faktor-faktor eksternal telah diprediksi menjadi dampak pada perilaku individu. Pembelajaran sosial bukanlah proses yang sederhana, didasarkan pada pengamatan
sederhana perilaku diikuti oleh imitasi. Pembelajaran sosial adalah motivasi proses kompleks yang ditandai oleh empat proses: perhatian, retensi, produksi, dan motivasi. Meskipun jelas bahwa beberapa atribut konten media meningkatkan kemungkinan perhatian, hal ini merupakan mental belajar pada perilaku yang mengintegrasikan ke dalam pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran sosial adalah sebuah proses belajar yang melibatkan tindakan kognitif dan keterampilan. Karena pembelajaran sosial berpendapat efek jangka panjang, perilaku model harus memiliki beberapa jenis representasi kognitif. Beberapa perilaku dapat diamati berkali-kali dalam belajar. Selain itu, bahkan perilaku ditiru mungkin tidak belajar sosial.
3.3. Literacy Media Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran
televisi di Indonesia. Misalnya, akibat meniru adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas setelah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid Sekolah Dasar Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar karena bermain ala Smack Down dengan teman sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah Taman Kanak-kanak di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka setelah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah. Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada karakter dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya beragam namun sebenarnya isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, seks, mistik atau berbagai tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat. Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut
menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo. Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada saat budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk anak-anak telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran. Munculnya berbagai dampak tersebut, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Mereka lebih meletakkan harapan pada peran pemerintah dan industri penyiaran televisi agar mendisain ulang program siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak berpengaruh buruk pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada orang tua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi adalah dua pihak yang pada saat ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan mampu memenuhi harapan para orangtua. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat dapat bersikap kritis terhadap media jika masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Oleh karenanaya dibutuhkan pelatihan Literacy Media. Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy. Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan
transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan
James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu:
(1)
Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
(2)
Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
(3)
Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
(4)
Sebuah kesadaran akan isi media sebagai „teks‟ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
(5)
Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu: (1)
Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
(2)
Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
(3)
Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
(4)
Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan. Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting
dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah. Tabel di bawah menunjukkan perbandingan perkembangan melek media di berbagai negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)
Negara
Sistem dan aktivitas terkait dengan pendidikan melek media
Inggris
Pengenalan pendidikan melek media dalam pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk memahami dan menganalisis isi media terutama sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa. Kerjasama antar kementerian melalui "Media Education Strategy Committee" telah dibentuk dan mengumumkan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan melek media pada musim panas tahun 2000.
Jerman
Setiap region telah mengadakan pelatihan melek media bagi guru. Pihak penyiaran regional telah melaksanakan penelitian terkait dengan pendidikan melek media dan mendukung program produksi media yang dilakukan oleh masyarakat..
Perancis
Diskusi mengenai keterkaitan antara media dan opini publik merupakan aktivitas wajib dalam kurikulum pendidikan dasar. Lembaga penyiaran publik La Cinquieme bekerja sama dengan Le Centre National de Documentation Pedagogique (CNDP), secara periodik menyiarkan programprogram melek media.
Kanada
Sejak musim gugur tahun 1999, setiap provinsi diharuskan untuk melaksanakan program pendidikan melek media. (Terutama dalam mata pelajaran bahasa dan seni) The Canadian Radio-television dan Telecommunications Commission (CRTC) mendukung produksi program-program yang dibuat oleh komunitas.
Amerika Serikat
Sebagian besar negara bagian telah mengadopsi pendidikan melek media ke dalam pedoman pengajaran mereka. (Terutama di mata pelajaran bahasa) The Public Broadcasting System (PBS) dan the National Cable Television Association (NCTA) memproduksi dan menyiarkan program-program mengenai melek media.
Australia
Pendidikan melek media telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional. The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait dengan melek`media secara periodik.
Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orangorang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya. Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk
melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut. Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat. Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua. Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui televisi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut para orang tua khususnya para ibu untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi.
Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap para ibu dan orang tua pada umumnya juga harus dibangun. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakangerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas. Titik berat materi Pembelajaran Melek Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:
1. Mengapa melek media penting? 2. Jenis-jenis acara televisi 3. Fungsi dan pengaruh iklan 4. Karakteristik televisi 5. Dampak menonton televisi 6. Menonton TV dan kegiatan lain 7. Memilih acara televisi yang baik 8. Televisi sebagai sumber belajar Setelah orang tua dalam hal ini para ibu mendapatkan pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para ibu/orang tua pada umumnya:
a. dapat memahami dan mengapresiasi program yang ditonton b. menyeleksi jenis acara yang ditonton c. tidak mudah terkena dampak negatif acara televisi d. dapat mengambil manfaat dari acara yang ditonton e. pembatasan jumlah jam menonton
3.4 Manfaat Pers Bagi Khalayak Perlu diketahui bahwa masa-masa remaja dalam hal ini pemuda dan pemudi yang di Kelurahan Meteseh Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, menuju pendewasaan yang merupakan masa keemasan untuk mengaktualisasikan diri ke dalam bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat posistif guna meraih masa depan yang cemerlang. Salah satunya adalah dengan cara menstimulinya melalui pelatihan jurnalistik ini sehingga mahasiswa mau dan mampu menulis karya ilmiah populer yang akhirnya ide-ide, pendapat, kreativitas dalam pemikirannya terhadap fenomena dan isu-isu yang up to date dapat tertuang melalui tulisan ilmiah populer bisa dinikmati masyarakat luas pada umumnya, dan khususnya pada segmentasi pasar tertentu sebagai mana yang dituju. Hal ini sangat selaras dengan salah satu fungsi sosialisasi media. Di mana media massa mengajar dan memperkuat nilai-nilai sosial. Karena sosialisasi melibatkan pembelajaran nilai dan norma masyarakat, untuk sebagian besar, sosialisasi terjadi terutama pada waktu tertentu dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi terjadi setiap kali orang memasuki tahap kehidupan baru atau mencoba gaya hidup baru . Masa remaja merupakan masa sosialisasi sebagai anak-anak tumbuh untuk kebebasan menuju dewasa dan pengalaman baru, hubungan baru, dan tanggung jawab baru. Disamping fungsi sosialisasi di atas, terdapat beberapa fungsi yang ideal bagi keberadaan media massa namun abai untuk dioptimalkan yaitu :
1. Fungsi Informasi Di sini diartikan pers merupakan diseminasi informasi mengenai peristiwa dan fenomena-fenomena serta kondisi sosial yang terjadi di lingkungan dimana khalayaknya berada. 2. Fungsi Korelasi Pers di sini menjelaskan, menafsirkan, mengomentari suatu peristiwa dan informasi yang berkembang membentuk konsensus. Tentunya memiliki justifikasi yang bisa positif atau sebaliknya negatif. 3. Fungsi Sustainability Yaitu fungsi pers dalam mengekspresikan budaya dominan, mengakui eksistensi pihak lain, dan melestarikan nilai-nilai yang menjadi tradisi suatu masyarakat tertentu. 4. Fungsi Mobilisasi Dimana peranan pers di sini mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang hukum, politik, perang, pembangunan, ekonomi dan sebagainya (McQuail 1996:70).
3.5 Teori Gate Keeping Meskipun banyak manfaat yang diperoleh melalui keberadaan media, namun tak kurang juga disfungsionalnya. Oleh karenanya perlu kiranya peran orang tua sebagai gate keeping sajian acara dan siaran TV sehingga sesuai usia anaknya. Kurt Lewin adalah orang yang pertama menggunakan istilah „gate keeping‟, yang ia gunakan untuk menggambarkan seorang istri atau ibu rumah tangga sebagai sosok terakhir yang memiliki kewenangan untuk memutuskan makanan apa yang pantas dikonsumsi keluarganya sehari-hari (Lewin, 1947:145). Sedangkan pengertian gate keeper adalah orang yang memutuskan apa yang akan melewati setiap bagian pintu gerbang dengan melalui beberapa proses dan dalam keadaan apapun juga.
Teori gatekeeping dalam komunikasi massa dapat dilihat sebagai keseluruhan proses melalui realitas sosial yang dikirimkan oleh media dan bagaimana berita dibangun oleh media massa dalam hal ini media elektronik. Gatekeeping adalah proses pemusnahan dan pengesampingan serta penyerapan informasi yang ditayangkan dari berbagai stasiun televisi dan sumber-sumber elektronik yang lain menerpa audiencenya setiap hari ( Shoemaker & Vos , 2009:89). Dari gambar di atas dijelaskan bahwa N= sumber dari beberapa berita dan dari beberapa media, N1,2,3,4 = adalah berita yang sudah dibuka dan diterima oleh audience, N1,4 = berita yang ditolak untuk diterima karena tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang
dianut dalam keluarga tersebut. N2,3 = siaran yang lolos seleksi dan wajib dikonsumsi oleh anggota keluarga karena dianggap mendukung perkembangan psikomotorik anak mereka. M = audience dalam hal ini adalah anak-anak usia dibawah 17 tahun sehingga memang wajib diseleksi setiap acarayang akan dikonsumsi mereka dalam kesehariannya.
3. SOLUSI YANG DITEMPUH Dengan memahami Literacy Media, baik pengertian tentang konseptualnya, pada akhirnya orang tua maampu melakukan langkah-langkah penyaringan acara dan siaran televisi yang tidak sesuai dengan usia maupun perkembangan psikomotorik anak. Selektivitas acara yang dilakukan oleh orang tua dalam hal ini para ibu dengan melakukan langkah-langkah sesuai dengan teori gate keeping yang telah dibahas di atas. Dengan tentu saja tidak meninggalkan urut-urutan prosesnya. Proses Model Gate keeping adalah sebagai berikut : 1. Informasi bergerak langkah demi langkah melalui saluran. Saluran di sini jumlahnya sangat bervariasi, demikian juga frekuensi dan durasi pada setiap saluran (stasiun TV) berbeda satu dan lainnya dan sangat bervariatif. 2. Informasi sudah semestinya melalui “gerbang” untuk proses perpindahan dari satu saluran ke saluran berikutnya. “Gerbang” di sini adalah orang tua atau dalam hal ini para ibu, yang memiliki kewenangan dalam membatasi waktu menonton dan saluran apa yang saat itu wajib dan atau dilarang untuk ditonton. 3. Pemahaman tentang literacy media memungkinkan orang tua mengatur saluran. Pertimbangan seperti kekuatan pada acara televisi yang berlawanan dengan nilainilai dan norma-norma yang dianut, sehingga diprediksi bisa menimbulkan konflik, resistensi secara emosional dan rasa manusiawi yang lainnya, mampu menguatkan orang tua untuk pemilihan acara/siaran yang sesuai perkembangan psikomotorik anak mereka. 4. Terdapat kemungkinan beberapa saluran yang mengarah pada hasil akhir yang sama, yaitu acara yang tak sesuai dengan perkembangan psikomotorik anak, sehingga perlu adanya ketegasan untuk mematikan televisi saat itu juga tanpa harus bertoleransi pada keinginan anak. 5. Adanya aktor yang berbeda selaku pengontrol saluran, dan bertindak sebagai gate
keeper pada waktu yang berbeda mengharuskan agar orang tua sebelumnya memiliki persepsi yang sama antara ayah dan ibu untuk memutuskan mana acara
dan siaran apa yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang bersangkutan. Setelah dijalankan proses gate keeping secara runtut seperti di atas, maka tak lupa juga jangan mengabaikan tingkat gate keeping pada media. Beberapa tingkatan gate keeping pada media di antaranya adalah : 1. Individu yaitu keputusan yang bersifat sangat individu sesuai dengan keluarga dan nilai-nilai yang dianut sebuat keluarga tertentu. 2. Tingkat toleransi dalam acara/siaran televisi yang disepakati dalam keluarga dengan bentuk komunikasi yang antar persona yang persuasif dan efektif 3. Peer group dan lingkungan yang mempengaruhi pengambilan keputusan bagi orang tua ketika melakukan gate keeping 4. Berbagai fenomena dan peristiwa yang dilakukan stasiun televisi untuk mengangkat
citra
perusahaannya
ketika
melakukan
pennyiaran
acara/fenomena/peristiwa tersebut. 5. Masyarakat tempat keluarga itu tinggal dengan mengacu pada indikator latar belakang sosial, politik, budaya dan etnis tertentu dalam menyaring informasi yang masuk dari segala belahan dunia yang kemungkinan berbeda latar belakang nilai-nilai serta normanya.
4. PENUTUP Kegiatan literacy media dan gate keeping sangat besar manfaatnya bagi sebuah keluarga khususnya dan masyarakat secara luas pada umumnya. Sehingga sangat penting dilakukan dan jikalau perlu dijadikan kewajiban setiap anggota keluarga untuk proteksi diri dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Beberapa manfaat yang bisa dipetik secara nyata adalah sebagai berikut :
1. Para orang tua khususnya para ibu yang relatif memiliki banyak waktu luang di rumah mampu memiliki pemahaman mengenai berbagai jenis kategori acara yang tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat khususnya keluarga. 2. Para orang tua khususnya para ibu memiliki pemahaman tentang Literacy Media dan akhirnya mampu mengkritisi acara yang tidak sesuai dengan usia anak dan tingkat kebutuhan berkehidupan. 3. Para orang tua khususnya para ibu memiliki pemahaman tentang Literacy Media dan akhirnya mampu mengenali bias, kesalahan informasi dan kebohongan yang ada pada siaran/sajian TV.
4. Para orang tua khususnya para ibu memiliki pemahaman tentang Literacy Media dan akhirnya mampu menemukan bagian dari cerita/informasi yang tidak diinformasikan pada media TV. 5. Mengevaluasi pesan media berdasarkan pada kebutuhan keluarga yang bersangkutan, keyakinan, pengalaman dan nilai-nilai yang dipercai sehingga terhindar dari adopsi pesan yang mubazir.
DAFTAR PUSTAKA Bandura, A.(2007).Social Learning Theory.Englewood Cliffs: Prentice-Hall Canggara Bungin.Burhan(2009). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat.Jakarta:Kencana McQuail, Denis.1996. Teori Komunikasi Massa, Ed.Ke-2. Jakarta:Erlangga Rudin, Richard dan Ibbotson.2002.An Introduction to Journalism :Essential techniques Potter, Deborah.2006.Handbook of Independent of Journalism. U.S.:Bureau of International Information Programs Lewin, Kurt.1947. Frontiers in Group Dynamics: Human Relations, v. 1, no. 2. Shoemaker, Vos.2009.Gate Keeping Theory. 270 Madison Ave,NY 10016:Routledge