MENJADI GURU AGAMA KATOLIK YANG EFEKTIF DALAM PERSPEKTIF DELAPAN HABITUS MENURUT STEPHEN R. COVEY Oleh: Lastiko Runtuwene
PENDAHULUAN Dalam kehidupan di dunia ini setiap manusia mengharapkan dan berusaha mencapai suatu kehidupan yang utuh dan sempurna dalam arti memiliki kepribadian yang matang dan dewasa. Bukan secara fisik, emosi atau pikiran saja, akan tetapi lebih dari itu menjadi dewasa dalam sikap hidup seutuhnya. Sepanjang sejarah, manusia berusaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapainya. Manusia berusaha membangun dirinya bersama dengan orang lain menuju suatu cara, sikap dan pola tingkah laku dalam suatu habitus baru sehingga dapat menghadapi segala persoalan hidup di dunia ini secara bermartabat. Pengembangan habitus kaum beriman juga menjadi perhatian Gereja Katolik. Dengan melihat pelbagai perkembangan dunia dewasa ini yang begitu kompleks maka Gereja perlu memperbaharui diri terus-menerus sesuai dengan tuntutan jaman. Terlebih dalam karya pewartaan, pembinaan dan pendampingan iman. Salah satu ujung tombak penggerak dan pendamping umat menuju habitus baru adalah guru agama katolik. guru agama Katolik memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam perutusan Gereja. Untuk mengoptimalkan tugas ini, maka guru agama Katolik dituntut untuk terus mengembangkan dirinya. Dalam upaya mengembangkan dirinya, menyadari dan menghayati keberadaan dan jati dirinya, seorang guru agama Katolik harus mampu mengembangkan aneka keutamaan dan semangat hidup dalam tugas perutusannya.
PEMIKIRAN
STEPHEN
R.
COVEY
TENTANG
DELAPAN
HABITUS
MANUSIA YANG SANGAT EFEKTIF Pandangan-pandangan tentang teori kepribadian dan aplikasinya dalam pembinaan karakter sudah banyak dikemukakan oleh para ahli. Salah satu pemikiran yang populer saat ini dan memiliki keunggulan tersendiri adalah pemikiran tentang delapan habitus manusia yang sangat efektif sebagaimana dikemukakan oleh Stephen R. Covey. Delapan habitus manusia yang sangat efektif menurut Covey, yakni: 1) bersikap proaktif, 2) menunjuk pada tujuan akhir, 3) mendahulukan yang utama, 4) berpikir menang-menang, 5) berusaha memahami lebih dahulu baru dipahami, 6) mewujudkan 1
sinergi, 7) ‘mengasah gergaji’ dan 8) menemukan suara kita kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka. Dasar pemikiran dari Covey tentang delapan habitus manusia yang sangat efektif adalah Teori Etika Karakter. Etika karakter berpandangan bahwa manusia akan mengalami keberhasilan yang sejati jika manusia belajar dan mengintegrasikan prinsipprinsip dasar kehidupan yang efektif ke dalam karakter. Cara pandang atau paradigma yang digunakan oleh Covey dalam membahas tentang delapan habitus manusia yang efektif ialah paradigma Pribadi Utuh. Seorang pribadi yang utuh harus memiliki keseimbangan antara empat dimensi, yaitu tubuh, pikiran, hati dan jiwa. Sekaligus juga dalam dirinya telah berkembang secara utuh kedelapan habitus. Pada tahap akhir seorang manusia efektif adalah seorang yang memperbarui diri dan kemampuannya berdasarkan empat dimensi kehidupan tersebut.
PEMBENTUKAN GURU AGAMA KATOLIK MENJADI EFEKTIF Pembentukan karakter bagi seorang guru agama Katolik yang efektif perlu diupayakan karena berhubungan erat dengan panggilan dan karyanya yang langsung berkenaan dengan perilaku hidup manusia. Perilaku hidup manusia tersebut terkait erat dengan sikap dan pola tingkah laku yang mencerminkan pribadi dan martabat hidup manusia seutuhnya. Untuk itu perlu diupayakan pembinaan-pembinaan karakter dan kepribadian bagi guru agama Katolik. Pembinaan karakter bagi guru agama Katolik dapat dilakukan dengan proses yang terarah melalui pengalaman dalam membiasakan suatu pola tingkah laku untuk membentuk karakter yang efektif. Secara garis besar karakter yang perlu bagi seorang guru agama Katolik adalah sebagai berikut:
1. Jadilah proaktif Seorang guru agama Katolik selama masa pembinaan diharapkan memiliki sikap proaktif dalam arti memiliki visi yang kuat tentang dirinya, menyadari potensi-potensi dan terdorong untuk mengembangkannya.
2. Merujuk pada tujuan akhir Setelah memiliki visi dan berusaha mengembangkan potensi-potensinya seorang guru agama Katolik perlu melihat tujuan-tujuan hidupnya ke depan demi pengembangan diri dan sesama. Di sinilah dibutuhkan manajemen peibadi seorang guru agama Katolik. 2
3. Mendahulukan yang utama Dalam kehidupan, seorang calon katekis akan menghadapi pelbagai pilihan yang barangkali sulit diselesaikan dalam waktu dan kesempatan yang sama. Untuk itu perlu menentukan prioritas mana yang penting akan tetapi tidak menjadi suatu kemendesakan. Pada taraf ini seorang guru agama Katolik perlu memiliki manajemen waktu yang efektif dan kepemimpinan pribadi yang unggul. Apabila seorang guru agama Katolik sudah memiliki tiga habitus tersebut, ia diharapakan akan mengalami apa yang disebut dengan ‘kemenangan pribadi’.
4. Berpikir menang-menang Seorang guru agama Katolik tentunya pada hakekatnya dalam tugasnya berhadapan dengan banyak orang. Oleh karena panggilan dan karyanya seorang guru agama Katolik perlu keluar dari dirinya untuk kemajuan dan kesejahteraan serta keselamatan banyak orang. Dalam konteks ini selama masa pembinaan seorang guru agama Katolik perlu memiliki habitus ‘menang-menang’. Artinya seorang guru agama Katolik memiliki kemampuan untuk kemenangan pribadinya sekaligus kemenangan orang lain. Maka seorang perlu membentuk diri dengan sikap kooperatif dan kompetisi yang memenangkan semua.
5. Berusaha memahami terlebih dahulu baru dipahami Membangun perilaku ‘menang-menang’ perlu dibarengi dengan perilaku memahami terlebih dahulu orang lain. Maka seorang guru agama Katolik yang efektif perlu memiliki kemampuan komunikasi yang efektif dengan sikap empati, yakni menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi orang lain. Sikap yang diperlukan adalah kesediaan mendengarkan dan berusaha memiliki persepsi yang sama dengan orang lain.
6. Bersinergi Menjadi seorang guru agama Katolik yang efektif perlu memilki kemampuan bersinergi dengan banyak orang. Penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan adalah kunci dari sinergi. Sinergi mengandaikan adanya kerja-sama yang kondusif demi tujuan dan kepentingan bersama. Dalam arti ini seorang guru agama Katolik memiliki kemampuan kepemimpinan antar pribadi. Apabila seorang guru agama Katolik telah
3
memilki habitus ke 4, 5 dan 6, maka ia telah mencapai apa yang disebut dengan kemenangan publik.
7. Mengasah gergaji Pembentukan karakter seseorang
berlangsung terus-menerus. Untuk itu bagi
seorang guru agama Katolik selama masa pembinaan perlu memiliki sikap untuk mengasah dan memperbaharui terus-menerus kemampuannya menjadi kapasitas pribadi. Pembaharuan diri dilakukan pada empat dimensi hidup manusia, yaitu: fisik, mental, sosial/emosional, dan spiritual.
8. Menemukan suara kita dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka Pembaharuan terhadap empat dimensi kehidupan diharapkan mendorong seorang calon kate guru agama Katolik untuk mengembangkan semua potensinya menjadi kecerdasan,
yakni
kecerdasan
fisik,
kecerdasan
mental/intelektual,
kecerdasan
emosional-sosial dan kecerdasan spiritual. Seseorang yang telah megembangkan potensi menjadi kecerdasan akan melihat dirinya sebagai pribadi yang bermartabat dan berharga. Pemahaman dan pengalaman sebagai pribadi yang bermartabat dan berharga merupakan inti dan jiwa seseorang. Inilah yang dinamakan kecerdasan spiritual. Apabila sudah sampai pada taraf ini guru agama Katolik diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi yang memberdayakan orang lain.
PENUTUP Menjadi guru agama Katolik yang sangat efektif sangat tergantung dari karakter perilaku hidupnya dalam kaitan dengan panggilan dan karya pelayananannya dalam Gereja di tengah-tengah dunia ini. Karakter yang efektif bagi seorang guru agama Katolik dapat dicapai melalui usaha pembinaan dari pihak Gereja maupun upaya dari guru agama Katolik itu sendiri. Pandangan dari Stephen R. Covey tentang delapan habitus manusia yang sangat efektif dapat menjadi dasar pembentukan karakter bagi seorang guru agama Katolik.
4
KEPUSATAKAAN
Covey Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People, terj. Budijanto, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997. _______________, Principle Centered Leadership, terj. Sanjaya Julius, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. _______________, The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan, terj. Brata S. Wandi & Isa Zein, Jakarta: Gramedia, 2006. Komisi Kateketik KWI, Pedoman Untuk Katekis, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Lowney Chris, Heroic Leadership, terj. Taryadi Alfons, Jakarta: Gramedia, 2005. Maxwell C. John, 5 Teladan Kepemimpinan, Jakarta: Gramedia, 2006. ______________, The 21 Indispensable Qualities of A Leader (21 Kualitas Kepemimpinan Sejati), terj. Saputra Arvin, Batam: Interaksara, 2001. Nouwen Henri J. M., Pelayanan yang Kreatif, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Patton Patricia, EQ, Kecerdasan Emosional, Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, terj. Hermes, Jakarta: Mitra Media, 2002. Prasetya L., Menjadi Katekis Siapa Takut, Yogyakarta: Kanisius, 2007. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae, terj. Hardawiryana R., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006.
Tomohon, April 2013 Bahan pembinaan untuk para guru agama Katolik Kota Tomohon dalam pembinaan KKG dan MGMP Agama Katolik Kota Tomohon
5