BAB I Dari Lombok
Menjadi Ahli Panas Bumi
B
enny Facius Dictus, yang lebih dikenal dengan nama Benny, adalah peneliti senior di Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Badan Litbang ESDM). Karirnya yang cukup panjang sebagai peneliti dimulai sekitar tahun 1980-an di PPPT MGM. Hingga sekarang ini, ia adalah peneliti senior di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE). P3TKEBTKE merupakan unit di bawah Badan Litbang ESDM, Kementerian ESDM. Unit ini pada awal berdirinya bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan (P3TEK).
|
|
Dari Lombok Menjadi Ahli Panas Bumi | Benny Facius Dictus
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 tahun 2005, P3TEK berganti nama menjadi P3TKEBTKE, yang mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang ketenagalistrikan, energi baru terbarukan dan konservasi energi. Benny adalah alumni Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta jurusan Teknik Perminyakan. Selain ahli di bidang perminyakan, pria yang lahir di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat ini memiliki keahlian khusus yakni di bidang geothermal (panas bumi). Di kalangan teman seprofesinya, Benny dikenal mempunyai karakter yang idealis, detail, berkemauan keras, pantang menyerah, dan memiliki rasa ingin tahu tinggi. Karakter seperti ini terbentuk dari pengalaman hidupnya, sejak kecil hingga saat ini.
A. Masa Kecil Hingga Remaja: Pantang Menyerah pada Polio Benny Facius Dictus, demikian nama lengkapnya. Sejak kecil, ia dipanggil Benny saja. Benny terlahir normal, tanpa kurang sesuatu apa pun. Harapan, doa, dan cita-cita ayah dan ibunya untuk Benny terangkai dengan indah. Apalagi sebagai keturunan Tionghoa yang pekerja keras, orang tuanya menginginkan Benny tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat agar bisa menjadi orang sukses kelak saat dewasa. Namun apa daya, takdir berkehendak lain. Di usia 4 tahun, Benny terserang polio. Walaupun berhasil sembuh, penyakit ini telah membuat kaki kiri Benny tak tumbuh normal sehingga Benny agak kesulitan berjalan kaki. Apakah orangtuanya kemudian bersedih hati? Ternyata tidak. Sang ibu justru lebih bertekad lagi mendidik anaknya agar tidak mudah menyerah pada keadaan fisiknya itu. Jika Benny kecil melakukan kesalahan, ibunya memberi hukuman yang unik: Benny disuruh berdiri dengan satu kaki, dengan tumpuan pada kaki kirinya yang terkena polio itu. Tentu saja Benny sulit berdiri |
|
Gambar 1. Benny Facius Dictus, Saat Berada di Flores, Nusa Tenggara Timur
tegak. Setelah beberapa kali mencoba, ia ingin menyerah. Namun sang ibu selalu berkata, “Kamu harus melakukannya. Kamu bisa!” Dengan lecutan semangat dan disiplin dari ibunya, akhirnya Benny mampu bertahan menjalani hukuman. Masalah mulai bertambah ketika ia harus menempuh jarak yang cukup jauh dari rumah ke SD tempat ia menuntut ilmu. Awalnya, ia selalu diantar-jemput seorang pembantu yang ditugaskan khusus untuk menemani Benny. Namun Benny merasa tak nyaman. “Kalau begini terus, aku akan selalu tergantung pada orang lain. Selalu merepotkan orang lain,” ucapnya dalam hati. Setelah berpikir lama, ia membuat keputusan berani: dia harus bisa naik sepeda, supaya bisa pulang-pergi sendiri dari rumah ke sekolah. Dengan bersusah payah, Benny belajar naik sepeda. Orang tua lain mungkin tidak akan tega melihat Benny dengan segala keterbatasannya |
|
Dari Lombok Menjadi Ahli Panas Bumi | Benny Facius Dictus
harus terus-terusan terjatuh saat berusaha mengayuh. Namun, lagi-lagi ibunya selalu memberi semangat agar tidak pantang menyerah. “Terus coba lagi. Kamu pasti bisa!” Jerih payahnya membuahkan hasil. Dia akhirnya bisa bersepeda dengan lancar layaknya anak berkaki normal lainnya. Dengan gembira, Benny pun bersepeda ke sekolah. Dia jadi anak yang mandiri sekarang, sesuai dengan yang diinginkannya. Tak perlu lagi pembantu yang antarjemput. Tak perlu lagi pendamping. Bahkan saking senangnya bersepeda, Benny terus melanjutkan kebiasaan ini dari bersekolah di SMP, SMA, hingga kuliah di Yogyakarta. Karakter lain yang mulai terbentuk dalam diri Benny sejak kecil adalah rasa ingin tahu yang besar. Gara-gara keterbatasan fisiknya pula, ada kalanya Benny lebih banyak berdiam di rumah. Namun, diam di rumah bukan berarti dia tak melakukan apa-apa. Justru, daya pikirnya jadi berkembang lebih cepat dan tangannya tak bisa diam ingin selalu mencoba ini-itu. Suatu hari, Benny kecil sibuk memikirkan sebuah fenomena yang menggelitik benaknya: “Kenapa jarum jam ini terus berputar?” Demi menjawab rasa ingin tahu, Benny kecil membongkar jam tersebut. Dilihatnya bagian belakang jam, lalu sejurus kemudian satu per satu bagian jam itu ia bongkar. Ia memang gagal merakit kembali komponenkomponen jam itu. Namun, sejak itu ia tak pernah menahan diri dari rasa ingin tahu. “Apa salahnya mencoba? Apa salahnya membongkar? Lihatlah bagian-bagian yang terlepas itu… Bukankah hebat, cara kerja alat itu?” Demikian pikir Benny kecil. Waktu itu, dia baru saja menginjak kelas 2 SD. Di sepanjang masa kanak-kanak hingga remaja, rasa ingin tahu digabung dengan semangat pantang menyerah menjadikan Benny orang yang selalu ingin mencoba dan menemukan cara-cara baru untuk menyelesaikan banyak hal. Ternyata, terkena polio bukan halangan baginya untuk mengeksplorasi diri. |
|
B. Masa Kuliah: Dari Calon Dokter Menjadi Peneliti Setelah lulus SMA, Benny bercita-cita menjadi seorang dokter. Demi mengejar cita-citanya tersebut Benny memutuskan untuk menimba ilmu di Yogyakarta, kota yang jauh dari tanah kelahirannya. Pilihan pertama adalah UPN “Veteran” Yogyakarta, yang saat itu menawarkan jurusan Geologi, Perminyakan, Pertambangan, dan Kedokteran. Benny kemudian mendaftar di jurusan Kedokteran dan Perminyakan. Untuk ujian tertulis, Benny berhasil lulus untuk kedua jurusan yang menjadi pilihannya. Sayangnya, nasib menunjukkan jalan yang lain. Saat itu, jurusan Kedokteran terletak di Surakarta, berbeda dengan jurusan-jurusan lainnya yang terletak di Yogyakarta. Ujian wawancara harus dilakukan di Surakarta. Benny yang tidak mengetahui letak kota Surakarta, berusaha mencari teman untuk mengantarkannya. Namun ia tidak menemukan seorang pun yang bisa membantu. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengikuti ujian wawancara tersebut. Atas dorongan ingin kuliah, Benny memutuskan untuk kuliah di jurusan Teknik Perminyakan. Justru di jurusan inilah Benny bertemu dengan salah seorang yang memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan hidupnya kemudian: menjadi seorang peneliti. Saat menyelesaikan skripsi S1-nya, Benny dibimbing oleh Ir. Rohadi Ghafar, DIC. Bagi Benny, selain sang ibu, Ir. Rohadi Ghafar memiliki peranan dalam membentuk karakternya. Di mata Benny, dosen pembimbingnya ini merupakan seseorang yang sangat idealis. Beliau menuntut para mahasiswanya untuk mengetahui hal-hal terkait dengan teknik perminyakan secara mendalam dan detail. Berkat kecerdasan dan ketekunannya, Benny bisa mengikuti apa yang diharapkan dari sang dosen pembimbing. Di dalam proses penulisan skripsi, Ir. Rohadi Ghafar melihat bakat sebagai peneliti yang ada di dalam diri Benny. Kerja keras dan kemauan Benny untuk belajar terlihat dari hasil laporan yang dihasilkan sangat lengkap, sistematis, dan terorganisir. Saat proses penulisan skripsi tersebut masih berlangsung, beliau menyarankan “Benny, kamu jangan |
|
Dari Lombok Menjadi Ahli Panas Bumi | Benny Facius Dictus
kemana-mana, kamu ke LEMIGAS saja.” Hal yang kurang lebih sama, juga disampaikan dosen pembimbing keduanya, Dr. Ir. Septo Retno Siregar. Saat Benny meminta saran kepada beliau, tanpa ragu dosen pembimbing kedua itu mengatakan, “Jangan kemana-mana Benny, kamu ke LEMIGAS.” Berangkat dari dorongan kedua pembimbingnya tersebut, ketika masih dalam proses pembuatan skripsi, Benny mencoba bekerja di LEMIGAS. Di sana Benny bertemu dengan Ir. Nur Subagyo, M.Sc. Karena hasil kerjanya yang bagus, Benny langsung mendapat tawaran untuk bekerja di LEMIGAS. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan studi S1-nya, Benny pun datang kembali ke LEMIGAS dan bertemu dengan Bapak Dr. Rachmat Sudibjo. Beliau langsung menyuruh Benny untuk bekerja di LEMIGAS dengan penelitian tentang polimer berkaitan dengan Enhanced Oil Recovery (EOR). Uniknya, kesempatan untuk dapat bekerja di LEMIGAS ini didapatkan, sebelum Benny sempat membuat surat lamaran. Di sana Benny berhasil menunjukkan talentanya dalam dunia penelitian. Kelebihannya yang lain adalah mampu mengoperasikan mesin-mesin baru yang berhubungan dengan dunia perminyakan. Sebelum berhasil masuk ke LEMIGAS, pada awalnya Benny berkeinginan untuk menjadi dosen di almamaternya. Akan tetapi, keinginan tersebut akhirnya memudar saat ia mendapatkan kenyataan bahwa ia ditolak menjadi dosen dengan alasan kondisi fisiknya akibat polio. Pernyataan ini sempat membuat Benny merasa sedih. Namun semangatnya kembali muncul ketika ia dengan mudah bisa bergabung di LEMIGAS. Benny mengenang, saat di LEMIGAS ia mencoba untuk melanjutkan pendidikannya ke Graduate Diploma di New Zealand. Saat itu seorang profesor di universitas barunya sedang mencari mahasiswa. Mengetahui pengetahuan yang dimiliki oleh Benny mengenai reservoir, sang profesor pun kagum. Beliau kemudian mengajak Benny untuk berangkat ke New Zealand.
|
|
Gambar 2. Bersama Teman Seangkatan Studi Ekskursi Geologi di Lapangan Sangiran, Surakarta, Jawa Tengah, 1976
Teringat ia pernah ditolak menjadi dosen gara-gara polio, Benny pun bertanya pada sang profesor, “Apakah Anda tidak menjadikan kondisi fisik saya sebagai pertimbangan?” Di luar dugaan, sang profesor memberikan jawaban, “Benny, saya tidak memerlukan fisik kamu, saya memerlukan otak kamu, hanya itu saja. Kalau kamu masih berpikir mengenai fisik kamu, saya tidak akan terima kamu”. Mendengar kata-kata ini, semangat Benny pun kembali terpacu. Semasa kuliah di New Zealand, sifat ingin tahu Benny yang besar kembali membuka peluang bagi dirinya. Saat sedang mengamati sumbatan yang berbentuk sarang tawon di sebuah pipa, sang profesor mendatangi Benny dan bertanya “Benny, apa yang kamu lihat?” Sesaat setelah menyampaikan apa yang sedang diamati, Profesor pun kembali bertanya, “Nah menurut kamu, kenapa hal itu terjadi?” Benny menjawab, “Menurut perkiraan saya ini karena aliran, temperatur, tekanan, dan komposisi kimia.” |
|
Dari Lombok Menjadi Ahli Panas Bumi | Benny Facius Dictus
Sepertinya puas dengan jawaban tersebut, Profesor bertanya kembali, “Kamu tertarik dengan hal ini?” Benny pun memberikan jawaban singkat dan tegas, “Sangat tertarik.” Menakjubkan, tanpa ia sangka, karena melihat antusiasme Benny memperhatikan sebuah fenomena, Profesor menawarkan kesempatan kepada Benny untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yakni S2 dan S3, di New Zealand. Akan tetapi, Benny tidak dapat menerima tawaran itu karena setamat kuliah di sini, ia harus menaati peraturan untuk menjalankan kewajibannya di LEMIGAS. “Maaf… saya punya kewajiban terhadap negara saya, saya harus pulang setahun untuk mengabdi kepada negara. Jika diizinkan oleh negara, baru saya berangkat kembali ke sini,” jawab Benny tanpa pikir panjang. Setelah lulus, Benny kembali ke tanah air. Sesampainya di Indonesia, Benny Gambar 3. Bersama Seniornya, Ir. Agus Yusuf, Dra. Roessiana Noer, M.Sc., dan Ir. Apang Sutisna, M.Sc. mengajukan surat izin untuk dapat langsung melanjutkan pendidikannya di New Zealand. Dinanti-nanti, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tersebut tidak kunjung datang. Ternyata proses administrasi tawaran melanjutkan pendidikan yang panjang untuk sampai ke LEMIGAS dan juga pertimbangan senioritas dan peraturan mengenai ketentuan bagi PNS yang ingin melanjutkan studi, menyebabkan Benny tidak berhasil untuk kembali ke New Zealand pada saat itu.
|
|
Gambar 4. Bersama Sang Profesor dan Kawan-kawan di New Zealand
Pada tahun 1997, barulah Benny mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke New Zealand. Setelah melalui proses seleksi, Benny akhirnya mendapatkan surat yang menyatakan bahwa Pemerintah New Zealand, profesor pembimbing dan perguruan tinggi sudah siap menerima Benny. Tetapi, pemerintah Indonesia tidak memberikan izin karena usia Benny saat keberangkatan lebih seminggu dari batas usia yang ditentukan. Sebetulnya Benny bisa saja meminta bantuan langsung kepada atasannya mengenai masalah usia tersebut, tetapi hal itu tidak ia lakukan. Pertimbangannya adalah ia ingin orang lain menilai dirinya dari prestasi, bukan dari “lobi” terhadap atasan. Benny juga tidak mau jika apa yang dia lakukan tidak sesuai aturan atau ketentuan. Dia berkeyakinan, sekiranya hal tersebut ia lakukan, maka ke depan dampaknya akan menyulitkan diri sendiri.
|
|
Dari Lombok Menjadi Ahli Panas Bumi | Benny Facius Dictus
Gambar 5. Saat Menimba Ilmu di New Zealand
|
10
|