1
11. 120 Menit Bersama Rushman Toliongto Mr.Rushman: “SekarangcobadengarkanPaketMicrosoftOfficeadalahsuatu…” Di telinga mahasiswa: “jess-jess-tuuuiiiiitttt!!” *** Apa yang bisa pembaca dapatkan dari ilustrasi di atas? Kalau anda adalah pembaca yang goblok, anda pasti berpikir kalau para mahasiswa Perfect Alphabeth University sedang kuliah di stasiun dan pada saat sesi perkuliahan dituangkan dalam bentuk tulisan di dalam kisah ini, sebuah kereta api dengan lokomotif berbahan bakar batu bara sedang melintas. Well, kalau memang hanya hal seperti itu yang bisa dibayangkan oleh pembaca, segera enyahkan bacaan ini karena lanjutan kisah ini dinyatakan haram bagi pembaca yang miskin imajinasi. Adapun ilustrasi di atas sebenarnya menunjukkan karakteristik Mr. Rushman. Seperti namanya, gaya bicara Mr. Rushman selalu menyertakan kesan tergesa-gesa. Titik-komanya tidak jelas sehingga menyulitkan mahasiswa yang mengikuti perkuliahannya. Dalam bahasa Inggris, setiap ucapan yang dikeluarkan oleh Mr. Rushman tidak bisa dikategorikan sebagai voice, tetapi lebih cocok disebut noise. Makanya jangan heran kalau apa yang bisa ditangkap oleh telinga para mahasiswa hanyalah bunyi yang tidak berarti banyak bagi mereka. Akan tetapi perkuliahan Paket Microsoft Office 1 sebenarnya tidak terlalu menyiksa. Mr. Rushman sangat baik, bahkan selalu menghadiahkan senyum secara gratis sehingga menimbulkan kesan kalau dia adalah bujangan yang tidak laku meskipun telah diobral, banting harga dan cuci gudang. Bertubuh pendek dan hobi mengenakan kemeja lengan pendek, Mr. Rushman selalu siap untuk menanggapi pertanyaan yang paling remeh sekalipun. Tanpa Mr. Rushman sadari, Kebaikannya selalu menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Para mahasiswa/i, terutama Rahmawati yang bawel, selalu menyibukkan Mr. Rushman dengan pertanyaan yang tidak perlu seperti, “mengapa tombol F4 pada keyboard tidak bisa menampilkan Jerry, Vic, Ken dan Vanness?” Kondisi kelas selama perkuliahan, bila diamati dalam jangka waktu 10 detik, berlangsung dengan cukup santai. Masrul, yang telah berhasil menemukan tombol A pada keyboard-nya langsung merayakan keberhasilannya dengan menyemprotkan Champagne ke seluruh ruangan. Akibatnya sudah bisa ditebak! Cairan Champagne merembes ke dalam monitor komputer Geoffrey sehingga pemuda yang lemah gemulai itu langsung koma karena dihajar oleh ledakan langsung plus sedikit bunga api yang memeriahkan suasana. Peristiwa lain yang cukup menarik untuk disimak adalah aktivitas Luk Kiau. Merasa terharu karena sudah bisa mengetik dan menyimpan namanya dengan file yang persis sama dengan namanya, Luk Kiau langsung keluar ruangan untuk mengirimkan merpati pos kepada orang tuanya di kampung untuk memberi kabar bahwa ia baru saja mengetik dan menyimpan namanya dengan file yang persis sama dengan namanya. Di pojok lain, Arie Dementor melatih kecepatan jari dan otaknya dalam menghasilkan cerita cabul dengan memanfaatkan Microsoft Word. Setiap lima menit sekali, ia menggunakan fasilitas Word Count untuk mengecek kejeniusannya dalam bidang pornografi. Indeks kejeniusan Arie bisa diperoleh dengan rumus: jumlah kata dibagi dengan 300 detik. Berbeda dengan Arie yang luwes, Herlina malah termenung di hadapan monitor komputernya, merenungkan kenapa tampilan halaman pada MS-Word berwarna putih, bukannya berwarna pelangi. Ia berpikir keras dan kemudian Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
2 jawabannya terpecahkan! Sebenarnya tampilan halaman itu berwarna pelangi, namun karena terjadi pembiasan spektrum warna pada prisma (seperti teori Sir Isaac Newton dalam ilmu fisika), maka yang tampak di mata kita adalah warna putih. Nun jauh di sana, tepatnya di bawah siraman hawa dingin dari AC, Sheik Habibie terus-menerus mengetikkan huruf Z sementara ia sendiri terlelap dan mengembara ke alam mimpi. Pada saat Budi Tornado memantau durasi waktunya, didapatkan hasil bahwa Sheik Habibie sudah tertidur selama 347 halaman ukuran A4. Well, itulah aktivitas rekan-rekan kampus secara sekilas. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang dilakukan empat sekawan pada saat itu? *** Sesungguhnya hanya ada tiga sekawan pada saat perkuliahan (ingat, Billy tidak sekelas dengan para sahabatnya), tetapi terjadi event yang luar biasa pada hari itu. Billy menyelundup masuk ke dalam kelas Sugi dan kawan-kawan karena perkuliahannya sendiri dibatalkan berhubung dosen pengajar tidak bisa hadir. Perjuangan Billy untuk bergabung dengan tiga sekawan tidaklah mudah. Seagat, asisten laboratorium komputer, telah siaga di depan pintu. Begitu tercium bau tak sedap, Seagat langsung menggonggong, mengeluarkan larangan bagi Billy agar tidak coba-coba menyelinap masuk. Perhatian Mr. Rushman langsung tertuju pada keributan di pintu masuk. Tiga sekawan menyadari hal itu dan langsung memberikan pertolongan pertama pada penyelundup. Begitu Mr. Rushman mendekat, Ery mengulurkan kakinya sehingga terinjak oleh Mr. Rushman. Dosen itu terkejut ketika Ery mengaduh. Seketika itu juga perhatiannya teralihkan. Mr. Rushman hendak minta maaf, tetapi Ery malah menyeretnya ke dalam beberapa pertanyaan tentang fasilitas MS-Word seperti yang satu ini: “Sir, mengapa thesaurus tidak mampu menerjemahkan arti kata porn? Padahal saya sedang butuh arti kata itu sekarang.” Pada saat bersamaan, Ahmadi dan Sugi meninggalkan tempat duduk masing-masing dengan alasan ingin berkunjung ke toilet. Mr. Rushman, yang kini asyik berdiskusi soal porn dengan Ery, langsung memberi ijin pada mereka. Sugi dan Ahmadi tentu saja tidak menuju ke toilet, tetapi mereka segera membereskan Seagat, si harddisk humanoid yang menampung berbagai macam tata tertib laboratorium komputer. Tanpa basa-basi, Sugi memasukkan command berbentuk uang suap sebesar dua Newtown Dollar. Format ulang ternyata tidak berhasil, sebab jumlah uang yang ditawarkan tidak menggiurkan. Seagat menutup saku bajunya dan menjawab, “access denied.” Melihat Sugi gagal, Ahmadi maju untuk menggantikannya. Ahmadi memberikan puji-pujian dan supaya hati Seagat semakin berbunga-bunga, Ahmadi sengaja menusukkan tangkai bunga mawar yang penuh duri ke dadanya. Hasilnya adalah, bukannya hati Seagat menjadi berbunga-bunga, tetapi malah sakit hati karena dadanya lecet dan berdarah. Hihihi… Sadar kalau kedua temannya telah kehabisan ide, Billy akhirnya menjalankan gagasannya sendiri. Billy menjanjikan dua mangkok mie pada Seagat bila ia diijinkan masuk. Meskipun Seagat sangat rapi dalam berpakaian, tapi perlu diinformasikan pula kalau ia cuma makan satu kali sehari alias kantongnya rata karena tak berduit. Dibujuk dengan mie porsi jumbo, Seagat langsung menjadi Yes-Man. Ahmadi dan Sugi akhirnya dipaksa untuk menepi ke pinggir karena Seagat ingin membukakan pintu untuk Billy. Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
3 “Dasar muka bakmie,” Ahmadi berkata dengan sewot, kesal karena didorong-dorong. “Yeah, padahal pegang sumpit aja masih harus kursus tiga bulan. Kok mau-maunya dia disogok dua mangkok mie? Jepit mienya pakai apa nanti? Pakai belahan bokong? Bagaimana cara makannya kalau gitu?” Sugi menimpali ucapan rekannya dengan sinis. Tapi Billy bersuka-cita karena usahanya jauh lebih berhasil dibandingkan kedua rekannya. Namun sirene berbunyi begitu ia masuk, menandakan perkuliahan telah berakhir. Billy yang malang! Seagat langsung merangkul dan menyeretnya keluar untuk menagih janji. Sugi dan Ahmadi hanya bisa menatapnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Sosok Billy kian menjauh, dibayangi oleh Seagat, si mangkok mie berjalan. Kelasnya akhirnya bubar, menyisakan Ery dan Mr. Rushman yang masih berdebat soal porn serta Geoffrey yang tergeletak dalam keadaan koma… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
4
12. Menyeka Tetes Air Mata Jangan menanyakan nama Daisy di kelas Billy. Gadis itu terlalu pendiam sehingga setiap orang mengalami kesulitan topik untuk berkomunikasi dengannya, tidak terkecuali Subianto yang heboh. Ditambah lagi dengan posisi duduknya yang selalu berada di pojok ruangan, lambat laun keberadaan Daisy terabaikan oleh teman-temannya. Daisy, gadis manis dengan sorot mata yang menyimpan rahasia itu akhirnya terkucil dari pergaulan… *** “Apa? Kau sedang mengandung anakku?” “Perry, jangan keras-keras,” pinta Daisy, setengah merengek. “Di sini ‘kan ramai sekali…” “Lantas apa peduliku? Kukatakan padamu, gugurkan!” Daisy tertegun, menatap Perry dengan pandangan tidak percaya. “Aborsi? Perry, janin ini bernyawa. Dia punya hak untuk hidup…” “What a bitch! Kau mau melawan perintahku?” Daisy memejamkan mata dengan pasrah ketika sebuah tamparan melayang ke arahnya, namun rasa sakit yang akan mendera pipinya tidak kunjung tiba. Daisy membuka kelopak matanya dan melihat Billy, yang tengah bersama Ahmadi, Ery dan Sugi, sedang menahan tangan Perry. Raut wajah Billy yang angkuh kini terlihat kesal. Suara yang keluar dari mulutnya membawa-serta kemarahan di hatinya. “Dengar, aku tidak mau tahu apa urusanmu dengan gadis ini, tapi kalau kau sudah mulai memakai kekerasan…” Perry menoleh ketika gerakannya dihentikan. “Kau berani… huh, kalian lagi!” Empat sekawan juga terkejut. “Kau! Kau temannya Big Guy Noer, bukan?” Keributan yang terjadi di tengah lobi kampus itu langsung menarik perhatian para mahasiswa. Mereka mulai berkerumun. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Perry bermaksud untuk melarikan diri. “Perempuan sial, apapun yang ingin kau lakukan dengan bayi itu, jangan libatkan aku!” ujar Perry ketus. Kemudian ia menerobos keramaian dengan kasar. “Bayi?” gumam Subianto yang kebetulan berada di tengah keramaian. Dan saat itu pula gosip mengenai kehamilan Daisy mulai menyebar. Empat sekawan tidak bisa menghentikan perkembangan rumor tersebut. Mereka juga sama kagetnya, dan ketika mereka sadar kalau mereka harus berbuat sesuatu untuk Daisy, gadis itu tak lagi berdiri di situ… *** Empat sekawan berpencar mencari Daisy. Subianto juga turut membantu. Pikiran gadis itu sedang tidak jernih. Mereka harus menemukan Daisy sebelum ia melakukan sesuatu yang bodoh terhadap dirinya sendiri. Mereka mencari dan terus mencari, namun hasilnya tetap nihil. Di saat kebuntuan melanda pikiran tiga sekawan, Billy teringat kalau ia belum memeriksa tempat sepi yang dulu menjadi markas Big Guy Noer dan gerombolannya. Billy segera menuju ke sana. Dugaannya tidak keliru, tetapi seseorang telah mendahuluinya… Subianto. Billy berjalan dengan perlahan sambil mendengarkan suara Subianto yang bergema di dalam ruangan kosong. Pemuda periang yang baik hati itu sedang menghibur Daisy, tetapi sang gadis malah larut dalam tangis dan tidak mendengarkannya. Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
5 Subianto yang telah kehabisan ide itu akhirnya terdiam saat Billy memasuki ruangan. Daisy masih terisak, tetapi pandangannya kini tertuju pada Billy. Billy berjalan melewati Subianto dan langsung menghampiri Daisy. Kemudian ia menggenggam tangan gadis itu dan berkata, “tenanglah, semuanya akan baik-baik saja…” Daisy langsung menghambur ke arah Billy dan memeluknya. Billy berdiam diri, membiarkan Daisy melepaskan tangis di bahunya. *** Seluruh penghuni kelas terdiam dan berpaling ke arah pintu tatkala Billy dan Daisy masuk. Setiap pasang mata tertuju pada mereka, mengabaikan Subianto yang menyusul di belakang. Kemudian suara-suara bisikan kembali terdengar. “Memalukan sekali!” “Kukira dia gadis baik-baik, ternyata…” “Astaga, lihat! Kenapa Billy mau menggandeng tangan pelacur itu?” Bisikan itu terlalu samar untuk didengar, tetapi situasi seperti itu memberikan kesan yang sangat menyakitkan sehingga tanpa perlu menyimak komentar mereka pun rasanya batin Daisy sudah sangat terpukul karenanya. Untuk menjernihkan keadaan, Billy maju ke depan kelas. Semua terkejut dengan tindakan Billy dan akhirnya terdiam lagi. Merasa bahwa itu adalah peluang yang paling tepat, Billy mulai berbicara. “Suara kalian nyaris tidak terdengar, aku tidak tahu apa yang sedang kalian bicarakan. Akan tetapi aku tahu betul apa yang sedang kalian pikirkan. Sorot mata kalian tidak bisa berbohong. Kalian menatap Daisy seakan-akan dia sangat menjijikkan, hina atau bahkan terkutuk.” Air mata Daisy mulai mengalir lagi. “Aku menyesalkan semua itu. Begitu mudahnya kalian beranggapan bahwa pendapat kalian itu benar, padahal kalian bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu ada alasannya, dan aku tidak mau duduk di sini sebagai orang yang menghakimi Daisy dengan persepsi dan tuduhan yang keliru. Apapun alasan Daisy, kita tidak perlu tahu. Daisy juga tidak perlu bercerita pada kita, sebab derita di balik alasan itu sudah lebih dari apa yang bisa ia tanggung.” “Percayalah pada Daisy,” pinta Billy setelah terdiam beberapa saat. “Berikan kepercayaan kalian sebagai teman. Kalian bisa beranggapan bahwa apa yang telah diperbuat Daisy itu adalah sebuah kesalahan, tapi kalian juga harus memikirkan bahwa kesalahan yang sama itu juga mungkin terjadi pada kalian. Bayangkan kalau kalian yang berada dalam posisi Daisy, maka kalian bisa memahami penderitaannya sekarang ini.” Billy melangkah mendekati Daisy dan menyeka air matanya dengan lembut. “Daisy sedang menjalani masa-masa yang berat di dalam hidupnya. Sudah sewajarnya aku memberi dukungan. Oleh karena itu aku menggenggam tangannya, turut merasakan penderitaannya, dan lewat cara itu pula aku meyakinkan dirinya kalau ia tidak sendiri. Teman-temannya selalu berada di sisinya untuk membantu. Aku… dan kalian.” “Semuanya tergantung pada cara pandang kalian sekarang,” Billy bertutur dalam nada datar. “Subianto?” “Aku tidak akan turut mencarinya kalau aku tidak peduli,” sahut Subianto sambil menghampiri Daisy dan Billy. “Lagipula, kukira aku bisa menjadi paman yang baik untuk…” Ucapan Subianto terhenti, digantikan dengan gerakan jenaka yang menunjuk ke perut Daisy. Billy tersenyum melihat kepolosan dan ketulusan Subianto. “Yang lain?” Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
6 Melihat Susan maju, Billy terpana. “Susan, kau…?” “Jangan salah paham. Aku turut bergabung bukan karena kau ada di pihak Daisy, tapi,” Susan menoleh pada Subianto, “aku juga ingin menjadi bibi yang baik untuk bayi mungil yang akan lahir ini.” Dipicu oleh spontanitas Susan, para mahasiswa pun menyadari kesalahan mereka. Tidak sepantasnya mereka menambah penderitaan Daisy. Justru sebaliknya, sebagai teman, mereka harus meringankan penderitaan Daisy dengan cara mendukungnya. Daisy terharu. Ia sadar kalau bayi yang dikandungnya ini hanya akan memiliki orang tua tunggal akibat kesalahan yang ia perbuat, namun ia yakin kalau bayi ini tidak akan kesepian. Akan ada banyak paman dan bibi yang menyayanginya… *** Di luar kelas, Sugi, Ery dan Ahmadi menyaksikan bagaimana Billy membereskan masalah… “Hebat juga, dia,” puji Ery. “Kau tahu hikmah apa yang bisa kita petik padari kejadian ini?” “Yeah,” Ahmadi menjawab dengan cepat. “Sedia kondom sebelum muncrat. Jangan lupa kalau keamanan dalam hal berkondom-ria hanya 97%.” Sugi tersenyum, tapi tidak berkomentar apa-apa. ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
7
13. Ada Apa Dengan Ery? Begitu mata kuliah pertama usai, Sugi dan Ery langsung menghambur keluar dan menuruni tangga. Tak disangka, Diana juga sedang menapaki tangga yang sama. Pertemuan antara seorang gadis cantik dan dua pemuda kampungan itu tidak terelakkan. Bila Sugi yang sudah pernah bertemu dengan Diana saja masih tetap terpesona, maka reaksi yang terjadi pada Ery jauh lebih hebat lagi. Ia merasa sedang berada di ruang hampa yang kedap suara. Ery terpana, memandang Diana dan Sugi yang asyik bertukar kata (dalam efek slow motion), tetapi tidak dapat menyimak apa yang mereka katakan. Hipnotis atas diri Ery baru berakhir ketika Diana menoleh kepadanya. Saat itu ia merasa kalau sekujur tubuhnya menggigil. Tatkala gadis itu tersenyum kepadanya, ia terpaku di tempat dengan tenggorokan yang terasa kering. Diana akhirnya berlalu, meninggalkan jejak di hati Ery… *** Semenjak itu sikap Ery berubah. Kini ia sering menghela napas panjang (biasanya ia malas bernapas dan kalaupun bernapas, napasnya pendek-pendek seperti anjing terserang asma), menjadi pendiam dan suka melamun di dalam toilet. Lebih parah lagi, untuk menambah imajinasi lamunannya, ia mulai terbiasa untuk membawa buletin ekonomi untuk dibaca sewaktu sedang buang air besar, air kecil, air keringat, air liur dan air “kental”. Tentang hal yang terakhir disebutkan itu bisa ditanyakan kebenarannya pada cecak-cecak di dinding toilet. Konon hasil lamunan yang diluapkan Ery sering membuat para cecak jatuh tergelincir dari dinding. Pada awalnya Billy, Sugi dan Ahmadi tidak tahu-menahu dengan perubahan sikap Ery. Tetapi merosotnya jatah nasi Ery, dari delapan piring per dua hari menjadi satu piring plus dua sendok teh nasi (eh, pembaca ngerti nggak dengan kalimat dua sendok teh nasi? Artinya tuh, bukan teh dicampur nasi dalam sendok, tetapi banyaknya nasi yang diukur dengan sendok teh) per setengah hari, kontan menarik perhatian mereka. Tiga sekawan mulai mengamati Ery secara diam-diam dan terpisah. Billy, yang terbangun pada saat tengah malam karena ingin pipis, sempat memergoki Ery yang berbugil-ria di depan cermin untuk membandingkan tumpukan lemak mentah di tubuhnya dengan kumpulan otot milik binaragawan yang ada di poster. Pada kesempatan lain, Ahmadi menemukan buku berjudul “Vegetarian” di bawah bantal Ery ketika ia sedang bermaksud untuk mencari majalah khusus dewasa yang berjudul “Vaginatarian”. Beberapa waktu kemudian, giliran Sugi yang berpeluang untuk menyaksikan Ery di atas timbangan badan. Tiga sekawan langsung mengadakan rapat darurat dan mencapai satu kesimpulan: Ery sedang mengalami masalah berat badan! *** Rasanya agak aneh kalau Ery baru mempermasalahkan berat badannya pada saat ini. Bukankah ia sudah gemuk sejak 18 tahun yang lalu? Bersama Billy dan Ahmadi, Sugi mulai menyelidiki Ery dengan pertanyaan yang bernada memancing. Sugi sadar kalau mereka harus hati-hati. Salah bicara dengan Ery biasanya akan berakhir dengan nasib mengenaskan. Dan hal ini cukup sering terjadi pada Ahmadi. Akan tetapi Ahmadi memang tidak pernah belajar dari kesalahan. Dengan enteng dia bertanya pada Ery, “eh, Gemuk. Kenapa loe mau jadi kurus?” Ery, yang sedang stress karena dietnya tidak menunjukkan hasil, kontan meledak emosinya. Setelah suara gedebak-gedebuk diiringi jeritan lirih yang Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
8 mengundang rasa iba berlangsung selama tiga menit kurang seperempat detik, Ahmadi melayang keluar ruangan dalam bentuk 120 kemasan daging bakso mentah dengan berat netto 500 gram per bungkus. “Ada lagi yang bermulut usil?” seru Ery yang kini menjadi tidak terkendali. Ery menjadi buas, melangkah keluar ruangan sambil menggeram seperti King Kong. Ia akan menghancurkan apa saja, namun… Di luar dugaan, Ery terdiam di tempat, persis seperti orang gila nan idiot yang sedang berpikir dengan serius. Rupanya reaksi itu tercipta karena ia melihat foto Diana yang sedang ditatap oleh Sugi dan Billy. Sugi, yang sebelumnya sudah menerka kalau sosok Diana adalah pangkal dari perubahan sikap Ery yang drastis, tersenyum saat mengetahui bahwa perkiraannya tidak meleset. Kendati begitu, Billy masih kurang yakin dengan prediksi Sugi. Untuk membuktikan kebenaran prediksi Sugi, Billy mengganti foto Diana dengan foto Mardiana. Hasilnya benar-benar mengejutkan! Billy langsung berkesimpulan bahwa jangan sekali-sekali menambahkan awalan “Mar-” pada nama Diana, soalnya dia langsung digigit tepat di bokongnya oleh Ery! *** Bagi Sugi, sekarang masalahnya sudah jelas. Ery jadi tidak percaya diri karena ia merasa terlalu gemuk untuk tampil di depan Diana. Billy berusaha menghibur Ery, namun caranya terlalu kuno dan tidak efektif. Ahmadi lebih parah lagi, ia malah menasehati Ery untuk menganut pola pikir bahwa diri Ery hanyalah 2 karung tepung terigu 50 kg yang ditumpuk menjadi satu. “Nah, kalo begitu ‘kan loe bisa tampil apa adanya. Jangan khawatir tentang bagaimana cara pandang Diana terhadapmu nanti karena dia pasti tidak akan memandangmu,” tutur Ahmadi dengan serius, tidak lupa menepuk bahu Ery. Ery bukannya terhibur, namun malah jadi beringas. Ahmadi langsung terbantai. Supaya terlihat sadis, Ahmadi disiram dengan obat merah dan Betadine sehingga tampak seperti sedang berlumuran darah. Melihat pendekatan kedua kawannya yang sama sekali tidak manjur, Sugi memikirkan cara lain. Sugi tidak yakin kalau Ery bisa kurus meskipun berdiet dengan dosis yang sanggup membuat gajah terlihat seperti “batang” gajah. Lagipula Ery tidak boleh jadi kurus. Alasannya bukan karena Sugi merasa tersaingi, melainkan Sugi akan merasa kehilangan tontonan berharga jika adegan gebuk-gebukan terhadap Ahmadi tidak lagi ditayangkan oleh Ery. Berbekal pemikiran tersebut, Sugi hendak membuat Ery merasa nyaman dengan kegemukannya. Cara pertama yang ditempuh Sugi adalah dengan berpura-pura tidak mampu membuka tutup stoples, lalu meminta tolong Ery untuk membukakannya. Setelah tutup stoples terbuka… “Wah, enak, ya, kalau wa gemuk seperti loe. Susah jadi orang kurus, buka tutup stoples pun tak bisa,” ucap Sugi dengan mimik polos. Ery kontan merasa tersanjung. Terapi mental terus berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Di kali lain, Sugi sengaja membawa kotak berisi aneka macam barang bekas yang terbuat dari logam, lalu melintas di depan Ery, Billy dan Ahmadi. Sesuai dengan skenario, Sugi berpura-pura jatuh karena beban yang dibawanya terlampau berat, lalu Billy mulai mengejeknya. Terbawa oleh rasa setia kawan, Ery lantas membantunya. “Tuh, coba kita gemuk seperti Ery, ‘kan gampang membawa beban seberat ini,” ucap Billy penuh arti.
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
9 Di penghujung terapi, Sugi mengetengahkan adegan di mana ia dirampok oleh seorang pria yang memakai penutup wajah. Di tengah kejadian, Billy kebetulan lewat bersama Ery. Melihat Sugi mengalami kesulitan, Ery dan Billy datang menolong. Ery langsung menggebuk perampok itu tanpa sungkansungkan, namun ia sedikit terkejut juga ketika perampok itu mengaduh. “Hei, sepertinya wa kenal suara itu,” ujar Ery bingung. Sugi dan Billy terkejut. “Nggak, loe nggak kenal, kok,” ucap Billy dengan suara yang tidak meyakinkan. Sementara itu, Sugi mendesak sang perampok supaya segera menjauh. “Eh, Perampok! Pergi sana! Di film manapun kalau udah dijotos tuh perampoknya langsung kabur. Loe malah sempat mengaduh lagi di sini. Mau minta ditambah bogemnya?” Baru saja si perampok hendak kabur, Ery menarik penutup mukanya. Akan tetapi siapa yang menyangka kalau wajah perampok itu masih saja terselubung? Ery kaget bukan buatan ketika perampok itu mengenakan celana dalam sebagai penutup kepala. “Hei, itu kan punya wa. Loe Ahmadi, ‘kan?” “Bukan. Wa adalah CD writer,” sahut si CD-Man sambil menuliskan sesuatu pada secarik kertas lusuh. “Sudah, jangan berbohong lagi. Kedok kalian sudah terbongkar. Kalian…” Sugi, Billy dan Ahmadi saling menempelkan punggung, merapat satu sama lain. Sugi tak henti-hentinya berbisik kalau mereka akan segera menjadi serpihan daging yang berserakan di jalan sementara Billy mengeluh kepada Ahmadi agar segera melepaskan celana dalam itu dari kepalanya karena baunya kian tak tertahankan. Ery mendekat. Tiga sekawan sudah pasrah, memejamkan mata dan menyerahkan nasib mereka ke dalam tangan Yang Maha Gemuk. Kemudian, tanpa pernah diduga sebelumnya, si Gemuk berfirman, “aku terharu!” Sugi, Billy dan Ahmadi langsung melotot, bukan karena kaget dengan apa yang baru saja mereka dengar, tetapi kesakitan karena dipeluk, tepatnya digencet oleh Ery yang mencoba merangkul mereka bertiga sekaligus. “Kalian teman-teman yang baik. Sungguh tak kuduga kalau kalian begitu memperhatikan masalahku. Kalian bahkan rela bersusah-payah seperti ini demi aku,” tutur Ery sambil menumpahkan tiga galon air mata. “Yeah, kami… bersusah-payah… untuk bernapas… saat ini,” ucap Billy. “Ups, sorry,” ujar Ery seraya melepaskan pelukannya. “Ery, kami senang kalau usaha kami membuatmu sadar. Jadilah dirimu sendiri, seperti kami yang selalu menjadi diri kami sendiri. Kami menyukaimu apa adanya. Kurasa Diana juga begitu,” tukas Sugi. Ery tersenyum tulus. “Thanks. Kalian memang sahabat sejati.” “Siapa bilang?” tanya Ahmadi. “Kukira Sugi sudah menyiapkan nota tagihan untuk terapi mentalmu itu.” Billy, Sugi dan Ery tertawa. Ery lantas menjamu mereka di sebuah restoran untuk merayakan jati dirinya yang telah kembali… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
10
14. Diana Diana, seperti yang telah diilustrasikan secara sepintas lewat adegan-adegan singkat dalam kisah-kisah empat sekawan, adalah sosok yang menakjubkan. Dia begitu cantik dan supel dalam bergaul. Dengan potongan rambut model Cameron Diaz, setiap mahasiswa pasti akan berpikir kalau there’s something about Diana. Yeah, memang ada sesuatu yang khusus tentang Diana. Latar belakangnya saja sudah cukup mencengangkan. Mungkin banyak yang belum tahu kalau Diana adalah adik sepupu Rudiyanto, teman Anthony Ventura semasa kuliah sekaligus salah satu bintang tamu dalam Godzilla: A Nightmare Before Christmas. Bagi yang belum ngerti juga (telmi loe!), Rudiyanto memerankan tokoh nelayan yang menemukan Anthony Lee pada jaring ikannya. Diana juga memiliki kakak sepupu, yakni Marlina, adik kandung Rudiyanto, yang kini menjadi icon wanita paling favorit di kampus. Ingat bagaimana Ahmadi merasa “terpanggil” saat ia, Ery dan Billy melihat Marlina untuk pertama kalinya? Itu salah satu bukti dari daya tarik Marlina. Selain itu Diana juga masih memiliki abang kandung yang bernama Hartono. Mahasiswa tingkat II di Perfect Alphabeth University ini sangat lowprofile sehingga kita tidak perlu memboroskan halaman cerita untuknya. Anggap saja perannya telah tamat seusai paragraf ini. Setelah generasi para sepupu dan abangnya, Diana masuk dan menjadi citra masa kini dari dinasti mereka yang cukup terkenal di lingkungan kampus. Lewat edisi khusus ini, kita saksikan bagaimana penampilan Diana dalam acara “The Voice Of Youth”, acara radio MelodyMaker yang paling dinantikan oleh publik Newtown City. Adapun orang yang akan mewawancarai Diana adalah Agus Yanto, penyiar senior yang sudah tidak asing lagi di telinga pendengar setia MelodyMaker. *** Agus Yanto (AY): “The Voice Of Youth kembali menjumpai anda lagi, para penyimak radio MelodyMaker! Bersama saya di studio, telah hadir tamu kita untuk edisi bulan ini. Hi, Diana. Apa kabar?” Diana (D): “Agak gugup, sebenarnya…” AY : “Saya berani menjamin bahwa saya tidak akan menggigit anda di acara ini, jadi tolong, lebih rileks lagi.” D : (tertawa kecil) “Baiklah.” AY : “Baik, kita mulai dengan pertanyaan yang ringan dulu. Diana, anda sebagai generasi keempat dari dinasti yang cukup tersohor di…” D : (menyela) “Tersohor?” AY : “Oh? Well, kiranya anda tidak akan memungkiri keberadaan anda sebagai adik sepupu Rudiyanto, bukan? Dan semua tahu kalau Rudiyanto adalah salah satu bintang dalam film The PartyKids…” D : “Baik. Saya mengerti maksud anda sekarang. Saya perlu mengatakan bahwa pernyataan anda yang memuat kata ‘tersohor’ di dalamnya itu terlalu berlebihan. Memang betul bahwa saya adalah adik sepupu Rudiyanto dan dia bermain dalam film The PartyKids, tapi saya tidak melihat relevansinya dengan apa yang anda katakan itu.” AY : “Alasannya?” D : “Uhm, coba katakan, seberapa besar peran Rudiyanto dalam film tersebut. Dia hanya pemeran pendukung, bukan? Dan apapun yang telah ia capai lewat film tersebut, semua itu tidak ada hubungannya dengan saya. Anda boleh bertanya pada Marlina dan dia pasti juga akan mengatakan hal yang
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
11
AY : D :
AY : D :
AY : D : AY :
D :
AY :
D : AY : D : AY : D : AY :
D : AY : D :
AY : D : AY : D :
sama. Istilah ‘dinasti tersohor’ itu hanya rekayasa orang-orang media seperti anda ini.” “Begitu? Tapi jawaban anda tadi sepertinya bernada tidak menghargai prestasi Rudiyanto.” “Anda keliru. Kami senang dan bangga bahwa ia pernah bermain dalam film The PartyKids, namun saya tidak ingin dihubung-hubungkan dengan keberhasilannya itu. Saya tidak ingin setiap orang mengatakan, ‘lihat, itu Diana, adik Rudiyanto yang bla-bla-bla’. Tidak, saya tidak ingin hal seperti itu terjadi.” “Bagaimana dengan Rudiyanto sendiri?” “Saya kira dia juga berpikiran sama. Satu-satunya alasan kenapa dia mau menerima tawaran Anthony Ventura hanyalah karena dia tidak ingin mengecewakan teman semasa kuliahnya itu.” “Dengan kata lain, Rudiyanto lebih menikmati kehidupan sebagai nelayan daripada menjadi seorang bintang film, begitu?” “Mungkin.” “Baik, kita mundur sedikit ke masa lalu. Saat Anda tahu kalau Rudiyanto diundang untuk turut bermain dalam film The PartyKids, apakah anda juga hadir untuk menyaksikan pengambilan adegannya?” “Well, coba tanyakan pada muda-mudi seusia saya tentang arti The PartyKids bagi mereka. Anda tahu, saat itu adalah era The PartyKids. Saya adalah salah satu pengagum grup itu. Saya langsung ke sana bersama Marlina dan kami melihat beberapa di antara mereka di lokasi shooting. Itu adalah pengalaman yang tidak terlupakan.” “Yeah, anda benar. Setiap pengalaman dengan The PartyKids sungguh tidak terlupakan. Okay, kembali ke masa sekarang, apa yang membuat anda tertarik untuk mendaftarkan diri ke Perfect Alphabeth University?” “Sederhana saja. Itu universitas terbaik di kota kita, bukan?” “Ada kenangan istimewa di saat pendaftaran?” “Kenangan?” (berpikir dan akhirnya tertawa) “Saya ingin menceritakannya pada anda, tetapi saya tidak ingin merasa bersalah pada Sugi.” “Sugi… dari empat sekawan?” “Ya, betul. Anda kenal mereka juga, ‘kan?” “Tentu. Mereka adalah cerita masa kini. Anthony Ventura menulis cerita tentang mereka. Saya perhatikan kalau nama anda juga masuk dalam beberapa kisah empat sekawan. Bagaimana tanggapan anda tentang hal ini?” “Sepanjang tulisan tentang diri saya tidak merugikan, saya pikir itu bukan masalah.” “Tapi bukankah hal semacam ini akan membuat anda, yeah, sedikit-banyak menjadi lebih terkenal? Bagaimana dengan privasi anda?” “Privasi? Oh, privasi saya tidak terganggu, saya kira. Para pembaca berpikir bahwa semua itu hanya rekaan Anthony Ventura. Memang sih, di lingkungan kampus saya menjadi lebih dikenal dibandingkan dengan sebelumnya, tapi it’s okay.” “Apa pendapat anda tentang Ery yang berusaha diet demi anda?” “Well, itu… sebenarnya Ery hanya kurang percaya diri. Tapi saya katakan padanya kalau saya tidak menilai orang berdasarkan kurus-gemuknya.” “Ada komentar tentang Billy dan Ahmadi?” “Sejujurnya saya belum pernah bertemu dengan mereka. Tapi saya dengar kalau Billy sangat tampan dan Ahmadi adalah yang paling kocak di antara mereka berempat.”
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
12 AY : “Hingga saat ini empat sekawan menolak untuk diorbitkan sebagai bintang. Bagaimana pendapat anda?” D : “Saya tidak bisa berbicara atas nama mereka, tentunya. Tapi saya sendiri bependapat kalau langkah yang mereka ambil sudah cukup tepat. Jika mereka mau menjadi bintang, kuliah mereka pasti terganggu.” AY : “Sesungguhnya mereka pernah berkata kalau mereka tidak ingin bernasib seperti Angelia yang putus kuliah karena ingin menjadi bintang…” D : “Saya baru dengar hal ini dari anda…” AY : “Dan anda sendiri, bagaimana kalau seandainya Anthony Ventura menawarkan kontrak pada anda?” D : “Saya akan katakan pilihan saya kalau hal itu sudah terjadi.” AY : “Haha, jawaban yang sangat cerdas. Baiklah, Diana. Waktu sudah tidak memungkinkan lagi bagi kita untuk berdialog. Sampai jumpa di lain kesempatan. Senang berbincang dengan anda.” D : “Sama-sama.” ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
13
15. Ketika Ahmadi Sakit Sebuah (atau sebatang?) cabe rawit berwarna merah menyala masuk ke dalam ruangan becek berdinding gigi. Bersama dengan potongan tahu goreng, cabe rawit itu hancur, tergilas dan tercabik oleh deretan gigi yang saling beradu. Mulut yang membuka dan mengatup itu mendadak menjadi monyong dan berdesis sebagai reaksi dari rasa pedas yang dirasakannya. Kerongkongan melakukan kontraksi, membuat makanan yang telah lumat terguling ke dalam. Setelah itu sang mulut kembali terbuka, menampung tumpahan air dari luar. Pipi kiri dan kanan terlihat menggembung dan menciut secara teratur, pertanda sang pengunyah tahu kini sedang kumur-kumur. Sebutir biji cabe terangkat dari sela gigi geraham karena terpaan air di dalam mulut. Karena biasa berhemat (atau mungkin terbawa kebiasaan jorok), genangan air yang bercampur sisa makanan itu ditelan begitu saja. Sepertinya pemegang sertifikat hak milik atas tubuh ini sedang tergesagesa. Buktinya ia mulai berlari meskipun baru saja sarapan. Dalam keadaan terombang-ambing, biji cabe itu terbawa arus dan akhirnya terdampar di usus buntu… *** Seminggu kemudian, si pemilik usus buntu yang ternyata bernama Ahmadi itu mulai sering mengeluh tentang rasa sakit di perutnya. Ketika Ery menyuruhnya untuk mendekam di toilet, Ahmadi keluar dengan tiga mangkok bubur kuning encer yang siap dihidangkan untuk sarapan tiga sekawan. Sugi segera mendiagnosa bahwa Ahmadi telah terserang typhus, namun Ery membantah dengan mengatakan kalau Ahmadi mengidap wasir. Billy lebih ngawur lagi dengan mencetuskan pendapat tentang penyakit demam berdarah yang menyerang pemuda kocak dari empat sekawan itu. Ahmadi jadi merinding ketakutan setelah mendengar perdebatan sengit ketiga dukun gagal yang melakukan praktek liar terhadap dirinya itu. Ia kontan mengungsi, mencari Victor untuk bertukar pendapat. “Mungkin loe sakit hati,” ujar Vic dengan perlahan. “Lho? Tapi wa ‘kan gak pacaran dengan siapapun?” sanggah Ahmadi. Bagaimana mungkin wa bisa sakit hati?” Vic menggeleng. “Maksud gua tuh hepatitis.” Dan Ahmadi langsung lari terbirit-birit setelah mendengar hipotesa yang tak kalah gawatnya. *** Puncak dari penderitaan Ahmadi adalah ketika dia pingsan pada saat perkuliahan Mr. Al-Iqhlas. Meski sudah ditimpuk dengan penghapus, ia tidak terbangun dengan mulut berliur seperti biasanya. Saat itu semua sadar kalau sesuatu telah terjadi. Kelas langsung bereaksi ketika maskot mereka yang humoris itu tergeletak lemas seperti gejala impotensi. Dikomando secara serempak oleh Geoffrey (“satu, dua, tiga!”), para mahasiswi berteriak untuk menciptakan suasana mencekam (“aaaahhh!!!”). Setelah alarm kepanikan yang disuarakan dengan baik oleh tim Geoffrey, para mahasiswa mulai membuat keributan berdasarkan inisiatif sendiri. Sheik Habibie langsung menjadi seniman pasar malam dari Timur Tengah dengan cara mendirikan tenda dan mempersilahkan para mahasiswa untuk melihat nasib Ahmadi melalui bola kristal. Budi Tornado menggelar taruhan mengenai hidupmati Ahmadi. Rencananya, kalau banyak yang bertaruh bahwa Ahmadi akan
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
14 hidup hingga akhir cerita, maka Ahmadi akan dibacok supaya taruhan bisa tetap dimenangkan oleh bandar. Di tempat lain, di kala Herlina melakukan perhitungan statistik yang rumit tentang bagaimana pengaruh collapse-nya Ahmadi terhadap pergerakan nilai tukar Newtown Dollar, Luk Kiau dan Santa Eve meratap tentang hari esok karena kehidupan kampus tanpa humor Ahmadi sama saja rasanya dengan datang bulan tanpa pembalut yang nyaman. Kontras dengan ratap-tangis di sebelahnya, Rio meramaikan suasana dengan teriakan “hiat-hiat” bertenaga yang mengiringi setiap pukulan karatenya. Kondisi kelas benar-benar riuh sekarang. Arie Dementor akhirnya tampil ke depan untuk bervokal-ria. Ia memaparkan dengan rinci tentang bagaimana timpukan dari Mr. Al-Iqhlas menciptakan gelombang energi kinetik dashyat yang menerjang pembuluh darah menuju otak sehingga memutuskan distribusi nutrisi dan oksigen. Setelah mendapat standing ovation, Arie Dementor berbalik, menuding Mr. Al-iqhlas dengan gaya detektif Conan Edogawa dan berkata, “kamulah pelakunya!” Dan Arie Dementor langsung digiring ke kantor dosen untuk disertifikasi dengan surat peringatan atas kelancangannya dalam menuduh Mr. Al-Iqhlas. Sekarang kelas menjadi tidak bertuan dan kian tak terkendali. Dalam keadaan seperti ini, Sugi dan Ery langsung mengambil keputusan untuk mengangkut Ahmadi ke ruang kesehatan kampus. Melihat Ahmadi semakin sulit untuk bernapas, Mardiana mengajukan diri sebagai sukarelawati untuk memberikan napas buatan. Hasilnya, setelah beberapa kecupan, muka Ahmadi menjadi biru, pertanda ia sedang keracunan karena bau petai dan jengkol yang terkandung dalam napas Mardiana. *** Supaya Ahmadi tidak hilang dari peredaran cerita empat sekawan, kita sepakat saja kalau Ahmadi berhasil ditangani oleh medis tepat pada waktunya. Di ruang pasien, dr. Koellar segera memberikan bantuan oksigen kepada Ahmadi. Akan tetapi kepanikan para mahasiswa membuatnya tidak bisa bekerja dengan benar. Bukannya mengaktifkan tabung oksigen, Dr. Koellar malah membuka keran tabung helium. Kontan aja perut Ahmadi menggembung seperti kodok dan tubuhnya langsung melayang seperti balon. Dr. Koellar segera mengoreksi kesalahannya. Dengan usapan jamu tolak angin, dr. Koellar berhasil memaksa Ahmadi untuk kentut habis-habisan. Ahmadi akhirnya terkapar di ranjang dalam kondisi bengek, bernapas satu-satu. Ahmadi lantas diperiksa. Dr. Koellar menyenter bola matanya yang memutih, pertanda matanya tidak lagi mengalami ereksi, tidak berfungsi sebagaimana biasanya dan dengan kata lain, Ahmadi benar-benar pingsan. Sesudah itu sang dokter menggunakan seismograf untuk mencatat degup jantungnya dalam skala Richter. Teman-teman terlonjak kaget karena garis datar yang muncul pada layar seismograf menandakan jantung Ahmadi tidak lagi berdetak. Akan tetapi dr. Koellar menjelaskan kalau seismograf tuh sebenarnya dipakai untuk mengukur gempa sehingga detak jantung Ahmadi tentu saja tidak akan terdeteksi oleh mesin tersebut. Sebelum sempat tertawa, dokter dari Belanda itu sudah diinjak rame-rame karena bercanda dengan nyawa pasien yang kebetulan belum diasuransi itu. Dr. Koellar akhirnya bertobat. Ia bekerja keras untuk menolong Ahmadi. Dengan tujuh kali tusukan jarum suntik, Ahmadi malah mengucurkan darah dari tujuh lubang. Akibat perbuatannya ini, dr. Koellar kembali diinjak-injak oleh para mahasiswa. Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
15 Gagal dengan jurus injeksi, dr. Koellar mengeluarkan stetoskopnya. Namun ia jadi bingung sendiri karena justru lagu Spring Time Love-nya Soul’Beatz1 yang terdengar di telinganya. Setelah diteliti lebih lanjut, rupanya yang terpasang di telinganya bukan stetoskop, tetapi earphone yang tersambung ke walkman. Akibat sikapnya yang tidak profesional, dr. Koellar menderita lecet, benjol, luka sayat dan muntah darah sebanyak tiga kali. Kalau saja Sugi tidak bertahan di tempat sambil menarik celana Ery, bokong dr. Koellar pasti sudah hilang separuh karena digigit oleh Ery. Setelah berhasil menghentikan acara No Mercy antara dokter iseng yang malang dan Ery yang buas, Sugi memberi kesempatan terakhir pada dr. Koellar untuk bersungguh-sungguh dalam mengobati Ahmadi. Namun siapa yang akan menyangka kalau dr. Koellar merasa tersinggung karena tindakan Sugi dalam memberikan kesempatan terakhir kepadanya malah dianggap menghina profesinya sebagai dokter? Detik berikutnya, dalam kondisi membelakangi para penjenguk pasien, dr. Koellar mengejutkan mereka dengan tusukan-tusukan pisau bedah. Para mahasiswa terpana, menahan napas, berteriak histeris dan pingsan setelah menyaksikan percikan noda merah yang berhamburan. “Hentikan! Mohon hentikan!!” Dr. Koellar menoleh dengan gerakan kaku yang angker. Sorot matanya berwarna kuning karena ia baru saja mengenakan lensa kontak. Kemudian, didahului oleh kibasan jubah putih yang ia kenakan, dr. Koellar mengejutkan Sugi dan kawan-kawan dengan memperlihatkan semangka segar yang bonyok karena ditikam dengan tusukan pisau beruntun. Rupanya dr. Koellar hanya mempermainkan mereka! Ia tidak mencincang Ahmadi dengan pisau bedahnya, melainkan menusuk buah semangka. Cipratan noda merah yang mereka lihat adalah serpihan buah semangka yang tersayatsayat. Dr. Koellar tertawa, senang karena telah berhasil mempermainkan remajaremaja tanggung yang telah menggebuknya sebanyak tiga kali. Para mahasiswa merasa kesal karena telah dibodohi, tapi Sugi sadar kalau tindakan mereka terhadap sang dokter memang terlalu kasar. Saat ini mereka dalam posisi membutuhkan bantuan dan Sugi akhirnya menempuh jalur diplomasi supaya Ahmadi bisa segera ditolong. Setelah negosiasi singkat yang dipenuhi omong kosong dan janji gombal, dr. Koellar bersedia memeriksa Ahmadi. Dilihat dari caranya dalam meraba sekujur tubuh Ahmadi, dapat dipastikan kalau dr. Koellar adalah seorang homoseks. Tapi itu tidak penting bagi Sugi, paling tidak sampai Ahmadi sembuh dari sakitnya. Sayang, harapan Sugi tidak tercapai. Ahmadi tidak bisa pulih dalam episode ini. Dari hasil diagnosa, diketahui kalau Ahmadi menderita usus buntu dan harus dioperasi… ***
1
Soul’Beatz, adalah grup band paling favorit pada masa kini. Grup ini muncul setelah era Band It berakhir. Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
16
16. Demi Ahmadi Kondisi Ahmadi sangat gawat! Usus buntunya benar-benar buntu karena tersumbat oleh biji cabe rawit. Karena terlambat ditanggulangi, usus Ahmadi meradang, membengkak, membusuk dan mulai digerogoti oleh cacing pita, belatung, hyena dan elang bangkai. Kendati begitu, Ahmadi sempat siuman untuk mendengarkan diagnosa dokter. Saat ditanya oleh Ery, Ahmadi mengatakan kalau dia tidak ingin pingsan tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu, setelah tahu bahwa ia mengalami masalah pada usus buntunya, Ahmadi memutuskan untuk pingsan lagi. “Tunggu dulu,” Sugi mencegat Ahmadi yang hendak memejamkan mata untuk selamanya, “bagaimana dengan biaya pengobatanmu?” Ahmadi tersentak. Kemudian ia menegakkan bantal di dinding dan duduk bersandar untuk berpikir. “Betul juga. Wa lagi gak punya duit, nih. Untuk makan tadi malam saja wa musti sepiring berdua dengan Ery.” “Betul,” Ery mengiyakan, “wa dapat nasi dan lauknya, Ahmadi dapat piring dan tulang ikannya.” “Kalau gitu beritahu orang tuamu saja,” usul Sugi. “Jangan!” Ahmadi berteriak dengan histeris sehingga bengeknya kambuh lagi. Walaupun demikian, ia segera memaksakan diri untuk terlihat segar begitu ia menyadari bahwa Mardiana sudah memonyongkan mulutnya untuk kembali memberikan bantuan napas buatan. Kerasnya protes dari Ahmadi membuat Sugi heran. Ia lantas menanyakan perihal penolakan Ahmadi terhadap usulnya. Mendapat pertanyaan seperti itu, mata Ahmadi langsung berbinar-binar. Ia terkenang dengan Milky, lembu betina yang dipelihara di kandang rumahnya. Berkat Milky, Ahmadi berhasil meraih status orang pertama dari empat sekawan yang melihat payudara (dan ia tidak pernah bercerita lebih lanjut kepada tiga sekawan kalau yang dilihatnya hanyalah payudara Milky). Pokoknya Ahmadi memiliki banyak kenangan manis (meskipun perlu dipertanyakan lagi apakah Milky juga merasa bahwa kenangan yang diciptakan Ahmadi itu terasa manis baginya). Oleh sebab itu wajar saja kalau Ahmadi menolak ide Sugi. Ahmadi tahu kalau orang tuanya akan menjual Milky untuk memperoleh dana untuk pengobatannya dan ia tidak menginginkan hal itu terjadi. Ahmadi akhirnya memutuskan bahwa orang tuanya tidak boleh diberitahu tentang penyakitnya. Sebagai pesan terakhir, Ahmadi meminta bantuan temantemannya untuk menggalang dana untuknya. Bilamana ia sudah sembuh dan dana yang terkumpul masih tersisa, ia berjanji akan mengijinkan temantemannya untuk berkerumun dan memandanginya makan di restoran. Sebagai ungkapan rasa terima kasih yang tidak dapat diwujudkan dengan kata-kata, Ahmadi berikrar pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan keberatan jika temantemannya ingin menghirup aroma dari masakan yang akan ia cicipi… *** Tidak tega untuk menolak amanat terakhir dari Ahmadi, para mahasiswa bertekad untuk berjuang sepenuh hati dalam mengumpulkan dana. Usaha mereka didasari inisiatif masing-masing dan dikerjakan dalam kelompok kecil atau perorangan. Aksi mencari sumbangan diawali oleh Mohammed Masrul. Berangkat sebelum matahari terbit, Masrul menjadi jam weker hidup bagi setiap rumah yang dilewatinya. Ia berkokok meniru suara ayam, kemudian menyodorkan tagihan pada setiap pemilik rumah yang terbangun karena jasanya.
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
17 Usahanya cukup mendapat sambutan dalam arti setiap orang yang terbangun langsung menimpuknya dengan bantal, sepatu atau bahkan granat. Ketika Masrul tiba di halaman rumah seorang musisi (dalam keadaan benjol dan compang-camping), ia dilempari dengan sebuah piano dan buku pelajaran not balok. Rupanya musisi itu tersinggung karena dibangunkan dengan suara “kukuruyuk” yang sumbang. Di sudut kota yang ramai, masih di pagi yang sama, Mahatma Iqram mengadakan mogok makan untuk menarik simpati. Apa yang dilakukan Iqram memang berhasil mengundang perhatian, tetapi bukan karena keberhasilannya dalam meniru cara Gandhi, melainkan karena ia terkapar pingsan, tak sanggup menahan rasa lapar yang mendera perutnya. Ujung-ujungnya dia juga diangkut ke rumah sakit untuk menemani Ahmadi. Tak jauh dari tempat Iqram, Luk Kiau dan Santa Eve juga mengalami kesulitan dalam menjalankan misi mereka. Roti yang mereka buat untuk dijual dalam rangka mengumpulkan dana ternyata tidak bisa dikunyah. Santa Eve yang rabun telah bertindak ceroboh karena ia bukannya menyendok tepung terigu untuk membuat adonan roti, tapi malah memakai bubuk semen putih. Kontan aja mereka ditimpuk dengan roti semen oleh para pelanggan hingga nyaris menjadi martir. Di Breakfast Corner, masih mengandalkan moment sarapan pagi, Diana jauh lebih berhasil dibanding rekan-rekan sekelas Ahmadi. Bersepatu roda dan meluncur dengan lincah sambil membawa buku menu, Diana berhasil menggaet banyak tamu untuk bersantap di tempatnya. Rio yang sporty juga mencatat prestasi yang gemilang. Perguruan karate yang ia selenggarakan ternyata diminati banyak orang. Hasilnya, selain membuat para murid babak belur, Rio juga berhasil mendapatkan uang dari biaya pendaftaran dan ongkos latihan per jam. Victor Eddy, sobat yang tidak sekelas dengan Ahmadi, turut membantu dengan membuka home theater di rumahnya. Ia memutar segala jenis film, mulai dari genre komedi hingga film biru bertajuk Death Blue Screen ala Vic. Arie Dementor, detektif gadungan yang sempat mendapat surat peringatan dari Mr. Al-Iqhlas, rupanya masih penasaran dan kembali berargumentasi dengan sang dosen. Kali ini ia kembali dengan hasil rontgen yang menunjukkan tulang tengkorak yang retak (hasil rekayasa Arie lewat cara menggebuk kambing tetangga dengan gada dan kemudian di-rontgen dengan bantuan dr. Koellar). Mr. Al-Iqhlas cukup merasa gentar dan akhirnya menyerahkan dana bantuan dengan hati yang tidak ikhlas. Berbeda dengan rekan-rekannya, Chris “ShowHand” Drake menempuh jalan yang agak sesat namun sesuai dengan keahliannya. Chris, sebagaimana julukannya yang kental dengan aroma dunia judi, meraup paling banyak uang lewat aneka permainan di kasino. Tidak jauh berbeda dengan teman-teman, tiga sekawan juga berusaha. Billy terpaksa mengingkari sumpah mereka untuk tidak terjun ke dunia showbiz. Ia berperan sebagai cowboy Billy Gunn, figuran dalam film Smoking Guns. Sementara itu, Sugi mendampingi Herlina dalam misi tipu-tipu yang cukup menegangkan. Herlina menjelaskan kepada publik ilmuwan di forum diskusi bahwa Ahmadi, species langka dengan nama ilmiah Pongo ahmadeus yang disinyalir masih memiliki hubungan kerabat dengan Pongo pygmaeus alias orangutan, berada dalam kondisi kritis dan butuh dana dalam jumlah besar untuk menyelamatkannya. Adapun Ery rupanya kurang beruntung bila dibandingkan dengan dua sekawan. Ia ikut turnamen gulat, namun KO dalam kondisi mencret setelah Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
18 perutnya diterjang lawan yang melompat dari atas ring. Nyaris putus asa, Ery akhirnya berpuas diri dengan cara menjual lubang pantat untuk disodomi oleh para pelaut dan kuli pelabuhan. *** Akhirnya, dengan uang yang dikumpulkan secara halal dan haram oleh rekanrekannya, Ahmadi akhirnya dioperasi. Ia dibius, tetapi begitu jarum suntik menembus kulitnya, ia mengaduh kesakitan dan bangkit untuk meninju perawat yang menyuntiknya. Ahmadi meronta, menggigit siapa saja yang mendekatinya. Dari balik kaca, Herlina menjelaskan kepada para donatur bahwa manusia kera yang dipanggil dengan sebutan Ahmadi itu memang masih primitif dan karnivora. Para dokter tak kurang akal untuk menjinakkan Ahmadi. Sebuah kotak berpita disodorkan sebagai hadiah, namun siapa yang akan menyangka kalau sarung tinju yang ditopang oleh pegas langsung melesat sewaktu pita ditarik? Ahmadi langsung mendapat hantaman telak di dagu, terjengkang dalam kondisi tak sadarkan diri dan siap untuk dioperasi. Gunting dan pisau bedah segera dikeluarkan. Senjata-senjata pembobol perut itu tampak berkilau saat diterpa oleh sinar lampu neon. Akan tetapi Ahmadi yang hobi makan kangkung ternyata memiliki perut yang luar biasa kerasnya karena dilapisi oleh zat besi yang terdapat di dalam sayuran tersebut. Alat bedah konvensional ternyata tidak bisa diandalkan dalam kasus ini. Setelah diskusi sejenak, para dokter sepakat untuk menggunakan chainsaw. Didahului oleh suara deruan yang mengerikan, perut Ahmadi akhirnya dibedah, dipotong dalam bentuk persegi empat, kemudian dikupas dengan tangan seperti membuka kulit jeruk. Begitu tercipta sebuah lubang di perut Ahmadi, para dokter mempersilahkan sekelompok pemburu untuk mengusir hyena dan elang bangkai yang menggerogoti perutnya. Mereka sempat kewalahan juga karena gerombolan velociraptor yang dikira sudah punah ternyata masih berkeliaran di dalam perut Ahmadi untuk menikmati usus buntu yang telah membusuk. Setelah Alan Grant dan Ian Malcolm dari Jurassic Park didatangkan untuk mengatasi dinosaurus-dinosaurus ini (thanks untuk Crichton dan Spielberg), para dokter berusaha mengangkat bagian usus yang bermasalah. Teman-teman Ahmadi yang sedang mengamati dari luar ruang operasi sempat terperanjat saat seorang dokter menggunakan pahat dan palu untuk mengikis usus yang telah membatu akibat proses pengapuran pada tulang selangkangan. Penantian panjang selama satu jam tampaknya telah berakhir ketika seorang dokter mengangkat butiran berbentuk kacang dari perut Ahmadi. Akan tetapi dokter itu terkejut dan kembali membenamkan tangannya ke dalam perut Ahmadi. Rupanya yang terambil oleh dokter itu adalah ginjal, bukannya usus buntu! Dengan sedikit bantuan lem paralon dan pipa PVC, ginjal Ahmadi akhirnya tersambung lagi. Sang dokter kembali mengaduk-aduk isi perut Ahmadi dan akhirnya berhasil menemukan usus buntunya. Teman-teman berteriak dan bertepuk tangan. Mereka merasa gembira dan terharu melihat operasi berjalan dengan lancar. Sedetik kemudian, kegembiraan mereka kembali dibatalkan karena dokter bedah terpaksa membuka jahitan pada perut Ahmadi untuk mengambil sebuah gunting yang tertinggal di dalam perutnya… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
19
17. Duel Sengit Di Ajang Mid-Test Siang itu siang yang panas. Saat Sugi, Ahmadi, Ery dan Billy keluar dari kampus, mereka mendengar suara berisik dari lapangan parkir. Mereka menoleh dan melihat Benny yang sedang berkacak pinggang sambil berkomat-kamit. Jelas kalau Benny baru saja menyenggol sepeda-sepeda di sebelahnya saat mencoba untuk mengeluarkan sepedanya2 dari lahan parkir yang sempit. Billy dan Ahmadi melangkah secara spontan untuk menolong. Akan tetapi teguran mendadak dari Sugi supaya mereka tidak membantu Benny membuat dua sekawan itu berhenti dan berbalik dengan rasa ingin tahu. “Jangan bantu dia,” kata Sugi, mengulangi ucapannya dengan nada datar. Billy saling bertatapan dengan Ahmadi, kemudian ia memandang Sugi. “Hei, kau tidak serius, ‘kan?” “Aku tidak pernah sembarang bicara, Billy. Apakah kau lupa kalau Benny adalah satu-satunya orang yang tidak tergerak hatinya untuk membantu saat Ahmadi sedang sakit? Sekarang untuk apa kalian membantunya?” Ahmadi tertegun. Tapi dia tidak kehilangan akal untuk menetralisir suasana. “Well, bagiku itu bukan masalah besar.” “Kau dengar apa kata Ahmadi?” ujar Billy. Ia lantas membantu Benny untuk mengembalikan sepeda-sepeda itu ke posisi semula. Di luar dugaan, Benny menolak bantuan Billy dan mendorongnya dengan kasar. Ahmadi segera menopang sobatnya agar tidak jatuh menimpa sepedasepeda di lapangan parkir. “Kau!” Sugi berteriak sembari menghampiri Benny dengan tangan terkepal. Benny siap. Ia menyambut Sugi dengan tatapan membara, seolah-olah ia memang sudah menahan gejolak hatinya untuk sekian lama. Di saat keduanya nyaris bertemu, Ery yang menyusul dari belakang langsung menarik Sugi untuk menghentikan langkahnya. Di saat Sugi meronta untuk melepaskan diri dari Ery, jotosan dari Benny terlanjur melayang. Pukulan yang cukup keras itu ditahan Ery dengan punggungnya. Melihat Ery tidak merasakan apa-apa, Benny merasa ragu untuk memukul lagi. Sebagai ganti dari aksi fisik, Benny mengumpat dengan penuh kekesalan. “Kalian semua brengsek. Jangan kira aku sudi menerima bantuan apapun dari kalian.” “Lepaskan aku, Ery. Biar kuhajar orang sombong ini,” tukas Sugi sambil menggeliat. “Benny, tunggu sampai aku membungkam mulutmu!” Ery menggeram, memperkuat cengkeramannya pada lengan Sugi. Sudah bukan rahasia lagi bagi tiga sekawan bahwa di antara Sugi dan Benny selalu timbul sikap saling mewaspadai. Persahabatan dua pemuda ini senantiasa diwarnai kecurigaan yang berlebihan. Karena sama-sama pintar, baik Sugi maupun Benny bersaing dalam berbagai hal. Ery sadar kalau ia harus bertindak sebagai penengah dari pertikaian ini. “Sudahlah. Jangan bertindak tolol,” gumam Ery. “Benny, ambil sepedamu dan pergilah! Jangan hiraukan ucapan Sugi.” “Diam kau, Ery,” kilah Benny. “Empat sekawan dari Tortoise Village, kukatakan secara terus terang kalau sudah lama aku merasa tidak senang dengan kenyataan bahwa kalian terlalu mendominasi pergaulan di kampus kita. Sudah saatnya bagiku untuk menunjukkan bahwa aku lebih baik dari kalian 2
Para mahasiswa Perfect Alphabeth University mempunyai kebiasaan bersepeda menuju kampus.
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
20 dalam segala hal. Jika si Kacamata ini mengira ia akan sanggup menghentikanku, akan kubuat ia menelan ludahnya sendiri.” “Haha, tantangan seperti apa yang akan kau ajukan padaku?” Sugi berbalik menantang. Benny menghela tasnya ke punggung. “Sugi, kudengar kau adalah yang terpintar di antara empat sekawan. Bersiap-siaplah untuk menerima kenyataan bahwa kau akan kukalahkan dalam mid-test kali ini.” *** Lewat pertengkaran itu, sengketa antara Sugi dan Benny mencapai puncaknya dan tidak bisa didamaikan lagi. Keduanya berjuang keras untuk menjadi yang terbaik. Ketegangan itu bisa dirasakan oleh tiga sekawan di kala Minggu Tenang, yakni jatah libur seminggu untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi midtest. Sugi belajar habis-habisan. Konsentrasinya terpusat pada tumpukan buku di mejanya. Ia menjadi mudah tersinggung. Billy dan Ery, yang biasanya belajar bersama Sugi, memilih untuk belajar di kamar Ahmadi sementara sang pemilik kamar sedang bertualang entah ke mana, menghabiskan Minggu Tenang yang telah ia ubah menjadi Minggu Senang. *** Sugi dan Benny bertemu kembali di hari ujian. Adu pandang yang mereka lakukan menciptakan letusan energi yang sanggup mementalkan mahasiswa yang berilmu rendah. Ahmadi bahkan sampai terguling dengan kepala terbenam ke dalam lubang kloset. “Bersiap-siaplah,” bisik Benny saat ia melintas di hadapan Sugi. Emosi Sugi kontan terpancing. Kedashyatan ilmu pengetahuannya meluap tak terkendali. Berbekal sinar keperakan yang berkilau secara tiba-tiba di dalam genggamannya, Sugi menerobos melewati Benny dan kontak tersebut meledakkan percikan sinar terang ke segala penjuru. Ketika gerakan kilat Sugi berhenti, di tangannya terlihat pena perak dengan ujung meneteskan tinta. Di belakang Sugi, dalam jarak berkisar tiga meter, Benny berdiri dengan mulut ternganga. Sebutir keringat yang menetes dari dahinya bergema keras di ruangan yang mendadak sunyi mencekam. Baju putih yang ia kenakan kini dihiasi kata “loser” yang ditulis tangan oleh Sugi. Terbawa oleh amarahnya, Benny mengerahkan hawa ilmu pengetahuannya untuk mendesak Sugi. Akan tetapi ia mendapat hambatan besar dari otaknya karena ilmu ideologi dan etika yang dipelajarinya tidak dapat dipakai untuk menyerang, melainkan untuk bertahan. Ia bisa saja membuang ilmunya untuk memulihkan daya serangnya, namun hal itu akan mengakibatkan dia tidak lulus ujian. Perlu diketahui kalau mata kuliah yang pertama diujikan adalah ideologi dan etika. Pada akhirnya Benny hanya bisa memandang Sugi dengan geram. Sirene ujian pun berbunyi, mengantarkan mereka ke dalam ruang kelas untuk melakukan pertarungan yang sesungguhnya. *** Kertas ujian dibagi! Di saat mahasiswa lain baru menulis nama, Sugi dan Benny telah menguras habis seluruh kemampuan mereka untuk mengerjakan soal-soal. Sugi merasa yakin kalau ia bisa lebih menjawab lebih cepat dan benar, tetapi sebuah lirikan ke samping membuat ia terpana. Benny telah memenuhi dua halaman pertama dengan jawabannya. Ideologi dan etika adalah ilmu penghayatan, penalaran dan penerapan. Untuk itu Sugi mengembangkan daya pikirnya ke tingkat ilusi. Sebuah pencerahan pikiran terjadi di otaknya. Ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
21 merasa sedang menuliskan jawaban, tetapi mengerjakan apa yang dikehendaki soal itu secara langsung. Dalam sekejap saja ratusan kata langsung membanjiri kertas jawabannya. Ujian berikutnya, pengolahan data elektronik, adalah ilmu yang berkaitan dengan teknis dan hafalan. Benny dan Sugi kembali beradu kesaktian. Yang menjadi korban dari pertempuran untuk membuktikan kepintaran ini adalah Sheik Habibie. Dia duduk tepat di tengah-tengah mereka dan tergencet ke sana kemari oleh terjangan badai ilmu pengetahuan yang dipancarkan oleh dua tetangganya itu. Merasa frustrasi sekaligus khawatir dengan keselamatannya, Sheik Habibie akhirnya menyerah dan mengumpulkan kertas ujian kosong yang hanya ditulisi dengan kalimat “nyawa saya terancam!”. Hari berikutnya, ujian Paket Microsoft Office 1 yang dilangsungkan di laboratorium komputer berjalan lebih seru lagi. Meski soal belum dibagi, Sugi dan Benny sudah mengetik di keyboard masing-masing. Berbagai macam makian muncul memenuhi layar monitor mereka. Perang umpatan lewat fasilitas winchat akhirnya dihentikan oleh asisten Seagat lewat peringatan maha keras (yang keras tuh volume suara Seagat yang menggeledek, bukan isi peringatannya!). Sesi kedua, pada saat test manajemen dasar, kedua anak muda ini malah mengeluarkan manajemen tingkat tinggi. Sugi mengeluarkan manajemen “mengatur 10.000 tentara” yang diwariskan oleh Genghis Khan (ingat kalau Sugi itu orang Mongolia) sementara Benny menggempur balik dengan strategi perang Sun Tzu. Akibatnya sudah jelas: seisi kelas baku hantam karena diprovokasi oleh mereka. Ujian demi ujian mereka lalui. Tanpa mereka sadari, teman-teman mereka yang berilmu rendah dan berwawasan sempit akhirnya menjadi korban dari duel sengit yang terjadi karena ego dan ambisi mereka ini. Tak sanggup menahan keperkasaan hawa ilmu pengetahuan dari Sugi dan Benny, para mahasiswa akhirnya berlindung dan menaruh dukungan pada Herlina… *** Musim ujian akhirnya usai. Seminggu kemudian, nilai ujian diumumkan. Sugi dan Benny menyelinap di dalam kerumunan di depan papan pengumuman untuk melihat siapa yang paling hebat di antara mereka. Dan mereka terperanjat saat melihat hasilnya. Benny dan Sugi saling berimbang dengan memenangkan tiga dari enam mata kuliah yang berbeda. Untuk mata kuliah terakhir, mereka mencapai hasil seri karena nilainya sama. Singkat kata, kepintaran mereka berdua ternyata setara! Kejutan tidak berakhir di situ karena Herlina ternyata mampu meredam ketangguhan Benny dan Sugi. Gadis jenius ini menduduki posisi teratas dalam hal perolehan nilai. Para mahasiswa, termasuk tiga sekawan, bersyukur atas keberhasilan Herlina dalam melampaui prestasi Sugi dan Benny. Bayangkan saja jika salah satu dari dua pemuda keras kepala ini berhasil memenangkan kompetisi hidupmati yang mereka lakoni, persaingan mereka pasti akan semakin meruncing atau bahkan lebih buruk lagi. Meskipun begitu, apakah masalah sudah teratasi lewat kesuksesan Herlina? Jawabannya jelas tidak. Hasil seri seperti ini tidak bisa diterima oleh Sugi dan Benny. Persaingan masih terus berlanjut. Tapi paling tidak tiga sekawan dan mahasiswa lain bisa menarik napas lega untuk sementara waktu… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
22
18. Kerusuhan Di Kampus (Part: 1) Pagi itu begitu damai. Perkuliahan Mr. Al-Iqhlas berjalan seperti biasa (artinya para mahasiswa tetap mengantuk dan tertidur sesuai dengan tradisi). Tidak seorang pun yang berfirasat kalau hari itu akan menjadi hari yang luar biasa, paling tidak sebelum asisten Dedi menemui Mr. Al-Iqhlas dengan wajah pucat pasi. Sugi dan kawan-kawan menoleh ke pintu. Raut wajah Mr. Al-Iqhlas tampak semakin tegang seiring dengan semakin banyaknya cipratan air ludah yang keluar dari mulut Dedi selagi sedang berbicara. Setelah mukanya basah kuyup karena diludahi Dedi secara tidak langsung, Mr. Al-Iqhlas segera meninggalkan ruangan sembari berpesan kepada Dedi untuk mengawasi kelas agar tetap tenang. Begitu Mr. Al-Iqhlas meninggalkan ruangan, seisi kelas langsung berbisikbisik, berdiskusi tentang apa yang sedang terjadi. Gelagat Dedi yang berjalan mondar-mandir sambil gigit jari dan mandi keringat kian membuat para mahasiswa curiga. Sesuatu yang tidak beres pasti tengah berlangsung di bawah sana. Lama berselang, bahkan setelah jam perkuliahan usai, belum ada tandatanda kalau Mr. Al-Iqhlas akan kembali. Para mahasiswa sepakat untuk membubarkan diri dan pulang, tetapi Dedi melarang mereka. Nada suara Dedi terdengar gelisah dan ketakutan. Sugi dan teman-teman sekelasnya merasa heran. Belum pudar rasa bingung yang melanda mereka, seorang mahasiswa yang dikenal sebagai Bad Boy Hockey terlihat menghampiri kelas mereka sambil berteriak memanggil nama Dedi. Bad Boy Hockey berkulit hitam dan berbibir tebal, khas bangsa Negro. Rumpun jenggot yang dibiarkan tumbuh di bawah dagunya semakin menambah kesan sangar. Hockey menemukan Dedi, lalu masuk ke kelas dan menatap Dedi dengan sorot mata yang sama sekali tidak ramah. Suasana menjadi sunyi mencekam. Para mahasiswa turut merasakan ketegangan Dedi dan Hockey yang saling berhadapan, persis seperti cowboy yang akan baku tembak di depan saloon. Deru AC yang menyebarkan hawa dingin menjadi satu-satunya sumber suara yang memberikan tanda kalau mereka masih berada di ruang kelas. Tanpa hitungan ataupun aba-aba, Hockey menembakkan tendangan tercepat di Wild West ke perut Dedi. Para mahasiswa menahan napas saat Dedi tersungkur dengan napas tersengal-sengal. Geoffrey bahkan sampai memekik, menutup mata dan berbalik untuk memeluk Luk Kiau yang berada di sebelahnya karena tak sanggup untuk menyaksikan adegan sesadis ini. Adapun Luk Kiau juga menjerit, tetapi bukan karena terpengaruh oleh pembantaian yang dilakukan Hockey, melainkan disebabkan oleh perasaan trauma karena disentuh oleh pria setengah wanita untuk pertama kalinya. Meski belum bisa menebak peristiwa apa yang sedang terjadi, para mahasiswa memutuskan untuk melarikan diri dari ruang kelas. Mereka menghambur ke pintu dan berlari menyusuri koridor untuk mencapai tangga. Billy, yang berlainan kelas dengan Sugi, Ahmadi dan Ery, sempat melihat sosok Sugi yang melesat di tengah keramaian. Billy keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi dan pada saat itu pula ia bertemu dengan Ery. “Ery, kenapa kalian berbondong-bondong meninggalkan kelas. Apakah kelas kalian juga ditinggalkan dosen?”
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
23 Ery mengangguk, mengiyakan pertanyaan Billy. “Nanti saja kita bicarakan lagi. Sekarang ajak teman-temanmu untuk meninggalkan kelas. Kelihatannya ada masalah besar yang sedang terjadi di kampus.” Billy langsung bertindak berdasarkan informasi dari Ery. Ia bergegas masuk ke kelasnya, tetapi ia teringat sesuatu dan berbalik lagi ke pintu. “Ery, kau harus memberitahu kelas Victor tentang hal ini!” Ery mengacungkan jempol ke atas, pertanda ia akan melaksanakan usul Billy. *** Kembali ke kelas, Hockey tersentak ketika kelas mulai ditinggalkan oleh para penghuninya. Mengabaikan Dedi yang sedang meringkuk kesakitan, Hockey menutup pintu keluar dengan tubuhnya. “Kalian tidak boleh keluar,” tukas Hockey dengan suara berat. “Kalian harus ikut aku!” Pekik-jerit kembali terdengar karena suara Hockey ternyata lebih parau dari suara beo. Adapun Ahmadi yang juga berada di dalam keramaian hanya berdiam diri. Kalau saja Rio ada di sini, rasanya tidak sulit untuk mengalahkan Hockey, pikir Ahmadi. Sayang, Rio tidak masuk karena sakit. Kalau aku bertarung dengan Hockey, rasa-rasanya malah akan membahayakan teman-teman. Ahmadi memandang ke sekelilingnya. Semuanya mahasiswi, kecuali Geoffrey. Dan Geoffrey jelas tidak bisa diandalkan. Pada akhirnya Ahmadi memutuskan untuk bernegosiasi dengan Hockey. “Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ahmadi. Bad Boy Hockey tertawa. “Haha, kau begitu bersemangat. Aku ingin kalian turut serta dalam aksi mendemo jajaran akademik. Kita akan menggulingkan duet Holly dan Green!” “Jika yang kau inginkan, baiklah!” Ahmadi menyetujui permintaan Hockey. “Ayo, teman-teman. Kita ikuti Hockey.” Semua terperanjat mendengar ucapan Ahmadi. Geoffrey langsung mendekatinya untuk bercakap-cakap dalam bisikan halus. “Percayalah pada wa,” Ahmadi menanggapi keraguan teman-teman yang diwakili oleh Geoffrey. “Percaya pada loe? Tapi loe ‘kan bukan Sugi.” Ahmadi langsung menoleh begitu mendengar kalimat tersebut. Yeah, ia memang bukan Sugi, sang pemimpin yang selalu dipercayai oleh siapapun. Di mata teman-temannya, Ahmadi hanyalah si pelawak, bukan sang pemimpin. Hatinya sedikit terluka saat kalimat tersebut mendarat di telinganya, namun pada saat bersamaan tumbuh pula tekadnya untuk menunjukkan bahwa ia juga bisa diandalkan. “Aku memang bukan Sugi,” jawab Ahmadi sambil menghela napas, “tapi aku tahu apa yang harus kulakukan dalam kondisi seperti ini. Kalian tidak perlu percaya pada ucapanku sekarang, tapi percayalah setelah semua yang kuucapkan ini terbukti kebenarannya.” *** Billy memimpin teman-temannya untuk meninggalkan kelas. Tak jauh dari Billy, Ery baru saja tiba di kelas Victor untuk memberitahukan peristiwa yang terjadi di kelas mereka. Orang yang berada di garis depan sebagai pemimpin dari aksi pelarian ini adalah Sugi. Benny jelas tidak senang berada di bawah pimpinan Sugi. Pemuda ini lantas mendahului barisan untuk menunjukkan bahwa ia tidak perlu menuruti
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
24 Sugi. Tanpa ia sadari, sosok besar muncul secara perlahan di depan pintu koridor untuk menahan mereka. Sugi dan teman-teman berhenti setelah melihat sosok itu dari kejauhan. Benny, yang terlambat menyadari kalau ia telah dihadang, menabrak sosok itu dan jatuh terduduk. Di saat itu juga telapak tangan raksasa langsung mencengkeram bahunya. Jeritan Benny membuat kepanikan semakin menjadi-jadi. Sugi meminta teman-temannya untuk berbalik arah dan kabur lewat pintu belakang. Pada awalnya Sugi juga turut melangkah, tetapi ia tidak tega mendengar Benny terus menjerit kesakitan, seolah-olah bahunya hendak diremukkan oleh genggaman yang menderanya. Sugi akhirnya berbalik untuk menolong. Ketika Sugi mendekat, ia terkejut saat mengetahui siapa yang sedang ia hadapi. “Kau lagi!” “Haha, sudah kukatakan kalau kita akan bertemu lagi. Sekarang saatnya aku membayar semua penghinaanmu itu…” ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
25
19. Kerusuhan Di Kampus (Part: 2) Big Guy Noer muncul kembali! Benny berada di dalam cengkeramannya! Sugi membatalkan niatnya untuk meloloskan diri dan berbalik untuk menolong Benny, namun tindakan ini ternyata mendatangkan kesulitan baru untuknya… Sugi berkeringat dingin. Kendati demikian, ia memaksakan diri untuk tetap tegar. “Lepaskan Benny. Bukankah yang kau inginkan adalah aku?” Noer tertawa. “Kau lupa kalau aku tidak pernah mendengarkan tawaran dari orang lain! Kau mau menolong temanmu ini? Tolonglah dia kalau kau punya kemampuan.” Benny kembali berteriak ketika bahunya diremas dengan kuat oleh Noer. Sugi tahu kalau lawannya sedang memancingnya untuk konfrontasi langsung. Untuk sekali ini Sugi merasa bahwa kemampuan diplomasinya tidak akan menolong mereka berdua. Ia akhirnya mengikuti permainan Big Guy Noer dengan cara menyerangnya. Sebagai pemimpin dari empat sekawan, Sugi berjiwa ksatria dan pemberani. Walaupun begitu, kenyataan menunjukkan bahwa sifat yang dimiliki Sugi ini seringkali tidak cukup untuk diandalkan dalam adu kekerasan. Menyerang secara sembrono, Sugi langsung digampar oleh Noer hingga jatuh terpelanting. Dalam kontak pertama ini, kacamata Sugi pecah karena membentur lantai. Benny terkejut melihat Sugi mau menolongnya. Bukankah selama ini mereka tidak akrab dan saling bersaing satu sama lain? Dengan menunjukkan niat untuk menolong dirinya, apakah Sugi sedang menawarkan gencatan senjata secara tidak langsung? Seketika itu juga Benny sadar kalau persaingan mereka harus dilupakan untuk saat ini. Merasakan genggaman Noer mulai melemah karena perhatiannya tertuju pada Sugi, Benny meronta dan berhasil melepaskan diri. Noer terkejut. Ia buru-buru menjangkau Benny, tetapi Sugi langsung membogem pipinya. Noer terdorong mundur sambil meringis. “Pukulan jitu, Sugi,” Benny berkata sambil mengelus bahunya yang sakit, “tapi sebaiknya kita lari saja dari sini.” “Haha, kau pikir gorilla ini mau melepaskan kita begitu saja?” ucap Sugi. “Kau boleh lari kalau kau mau. Aku akan mengalihkan perhatiannya untuk sementara waktu.” Benny langsung menatap Sugi. “Brengsek! Kau pikir aku pengecut?” “Bukan begitu. Kau bisa saja lari untuk mencari ban…” “Awas!” seru Benny. Reaksi Sugi terlambat. Ia ditinju tepat di pelupuk matanya, membuat kepalanya terasa pusing bukan buatan. Kerasnya pukulan itu membuat Sugi terhuyung-huyung. Noer langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk menjungkalkannya. “Sugi!!!” Benny berteriak tak percaya saat menyaksikan Sugi terkapar di lantai dalam kondisi lunglai. Tangan pemuda itu bergetar mengais ubin, kejang karena kesakitan. Benny menoleh dan mendapati sosok bengis Big Guy Noer sedang berjalan menghampirinya. Benny merasa putus asa. Terjepit di antara rasa geram dan takut, ia menyerang dengan frustrasi. Begitu pukulannya melayang ke sisi kosong, Benny langsung merasakan guncangan keras yang membuat kepalanya menghantam dinding… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
26 “Geoffrey, dengar baik-baik. Begitu kau mendapat aba-aba dariku, segera bawa teman-teman keluar dari aula. Temui Ery, Sugi atau Billy. Ingat! Jangan sampai rombonganmu terpencar,” bisik Ahmadi sewaktu mereka sedang mengikuti Bad Boy Hockey menuju aula. “Lalu kau sendiri?” tanya Geoffrey, bingung dengan rencana Ahmadi yang tak ada ujung pangkalnya. “Jangan cemaskan aku.” Geoffrey menelan ludah. Ia menoleh, menatap wajah Ahmadi. Tampang humoris itu tidak lagi menghiasi wajah Ahmadi. Raut muka Ahmadi kini tampak tegang dan kaku, persis seperti sedang mengenakan topeng. “Apapun rencanamu, Sobat, jaga dirimu baik-baik,” pinta Geoffrey dengan perlahan. Ahmadi mengangguk. Kemudian mereka memasuki aula. *** Ruangan aula dipenuhi kumpulan mahasiswa yang lusuh dan seram. Suasananya angker seperti gelanggang pemujaan berhala. Di tengah aula, Little Ade sedang berorasi dengan susunan kalimat yang belepotan. Isi pidatonya kasar dan bernada memaki dewan pengurus kampus. Orang tuli pun bisa mendengar kalau segala sumpah dan cacian itu ditujukan kepada Mr. Sandy Green. Geoffrey bergidik seperti wanita. Ahmadi melangkah dengan perasaan tidak karuan. Para mahasiswi saling merapatkan diri karena ketakutan, seakanakan mereka melihat Kepala Sapi dan Muka Kuda yang menjaga neraka. Hockey mendekati Ade. Keduanya berbincang sambil sesekali menunjuk ke arah Ahmadi. Setelah itu Ade memperkenalkan Ahmadi dan teman-temannya sebagai generasi muda pendukung reformasi kampus. Seluruh mahasiswa yang ada di aula bertepuk tangan dan bersorak dengan riuh. Mereka berseru, meminta wakil generasi muda untuk berpidato menghujat kampus. Sejak awal Ahmadi sudah menduga kalau semua ini akan terjadi. Ia berbisik pada Geoffrey agar bersiap-siap, kemudian ia melengkah ke tengah aula sebagai sukarelawan untuk berorasi. Tepuk tangan kembali bergemuruh di kala Ahmadi berdiri di podium. Sambutan seperti itu ternyata memulihkan rasa percaya diri Ahmadi. Ia kini merasa yakin kalau rencananya akan berhasil. Sambil mengetuk mic dengan jari untuk menguji apakah mic berfungsi dengan baik atau tidak, diam-diam Ahmadi mengacungkan jempol kepada Geoffrey. “Sudah lama saya menantikan kesempatan ini,” ucap Ahmadi pada pembukaan pidatonya. Melihat kesungguhannya, lagi-lagi pendengar memberikan tepuk tangan. “Terima kasih. Terima kasih,” ucap Ahmadi. “Saya beritahukan kepada saudara-saudara mahasiswa kalau saya sangat menentang kaum ibu yang enggan menyusui anaknya. Hal ini sangat disayangkan karena selain bayi akan kekurangan ASI, kita sebagai kaum lelaki juga akan kehilangan pemandangan yang berharga. Bisakah anda membayangkan masa depan dimana tidak ada seorang ibu pun yang menyusui anaknya lagi di mobil angkutan umum? Itu masa depan yang suram sekali!” Selagi Geoffrey dan para mahasiswi tertawa geli, kumpulan hadirin malah melongo, bingung karena isi pidato Ahmadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan reformasi kampus. Memanfaatkan kebingungan yang terjadi, Ahmadi memberi komando bagi Geoffrey untuk memimpin teman-temannya dalam upaya meloloskan diri. Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
27 Little Ade terkejut. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena terlanjur jatuh ditabrak Geoffrey. Hockey dan seisi ruangan sadar kalau mereka telah dipermainkan oleh Ahmadi. Gagal mencegah kaburnya Geoffrey dan temanteman, mereka melampiaskan kekesalan mereka pada Ahmadi. Dua orang terdekat yang bermaksud untuk memukul sempat diusir oleh Ahmadi dengan cara menjungkirbalikkan podium. Akan tetapi orang yang mengepungnya semakin banyak. Di saat Ahmadi sudah pasrah, tiba-tiba Seagat datang menolong. Tidak seperti Dedi, Seagat adalah petarung yang tangguh. Ia membuka jalan di tengah kerumunan massa dengan bantingan-bantingan bertenaga. Setelah berdiri di samping Ahmadi, Seagat menghentikan aksi keroyokan itu dengan bentakan yang menggelegar. “Mr. Buddy dan jajaran akademik datang untuk mengadakan dialog!” asisten Jan Fui yang telah berdiri di pintu aula memberikan pengumuman seperti layaknya pelayanan informasi yang ada di mall. Setiap pasang mata langsung tertuju ke pintu. Mr. Buddy melangkah masuk dengan penuh wibawa. Di belakangnya, Mr. Sandy menyusul dengan mulut terkatup rapat. Tampak jelas kalau ia merasa kecewa dan marah dengan tingkah laku para anak didiknya ini. Singkat kata, seluruh jajaran akademik, termasuk juga Dedi yang berjalan dengan tertatih-tatih, kini hadir di aula. Hockey dan Ade merasa panas-dingin. Saat penentuan telah tiba… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
28
20. Kerusuhan Di Kampus (Part: 3) Para mahasiswa semester satu terombang-ambing di dalam ketidakpastian! Mereka kini tahu kalau kampus mereka sedang rusuh, namun mereka sama sekali tidak tahu siapa yang menjadi kawan atau lawan mereka. Di tengah kekacauan itu, Ery menyadari kalau Sugi telah hilang dari barisannya. Apa yang terjadi pada Sugi? Sugi bukanlah tipe orang yang meninggalkan teman-temannya. Ery tahu akan hal itu. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi padanya. Menurut Arie Dementor, Sugi meminta mereka berbalik arah untuk meloloskan diri lewat pintu belakang setelah Benny menabrak sosok tinggi-besar yang muncul di pintu depan. Sejak itu Sugi tak pernah terlihat lagi. Ery merasa risau dan bermaksud untuk menyelidiki area pintu depan. Untuk itu ia meminta Billy memimpin barisan pelarian ini sementara ia pergi untuk mencari tahu tentang nasib Sugi. Billy setuju dan keduanya lantas berpisah… *** Di bawah komando Billy, para mahasiswa melewati pintu belakang. Di luar dugaan, mereka bertemu dengan kelompok mahasiswa senior lainnya. Langkah para mahasiswa semester satu jadi terhenti. Mereka kini berhadapan dengan Kim Ron Il dan Urbano yang berdiri paling depan. Kim Ron Il, pemuda Korea dengan rambut jabrik yang nyaris plontos, terlihat tidak bersahabat. Urbano yang gondrong juga jauh dari penampilan ramah. Tapi untunglah pada situasi seperti ini muncul seseorang berkarakter kuat yang sanggup meredakan ketegangan. “Marlina!” seru Billy takjub. Kakak sepupu Diana itu melemparkan pandangan kepada pemuda yang menyebut namanya. “Kau pasti Billy dari empat sekawan…” Billy mengangguk. “Kalian ikut denganku,” pinta Marlina tanpa memberikan pilihan lain kepada Billy dan kawan-kawan. “Beberapa oknum telah mengambil kesempatan untuk melakukan aksi demo dengan mengatasnamakan seluruh mahasiswa. Kita harus menghentikannya.” Billy berpikir sejenak. Menyadari kalau posisi mereka sangat lemah dan tidak punya alasan untuk menolak, Billy akhirnya bersedia. Kendati ada keraguan yang terselip di hatinya, Billy merasa demo tandingan ini akan berhasil karena Marlina begitu tegas dan mantap. *** Ery berhasil menemukan kacamata Sugi yang pecah. Ada bercak darah di lantai dan dinding. Ery tahu kalau Sugi pasti terlibat dalam perkelahian. Tapi ke mana dia sekarang? Kalau Sugi disandera, kira-kira di mana ia akan disembunyikan? Ery menoleh keluar pintu. Ada banyak tempat yang bisa dituju begitu seseorang melangkah keluar dari pintu depan. Ke mana Ery harus mencari? Ery merasa geram sekali. Ia bahkan meninju dinding karena kesal. Pandangannya berputar, menelusuri jejak perkelahian itu lagi. Setelah sekian lama, ia sadar kalau noda darah di lantai itu membentuk huruf Z. Tapi apa artinya? Z… Ery pusing memikirkannya. Tanpa sengaja ia bergeser sedikit dan seketika itu juga ia melihat huruf yang berbeda. Itu bukan Z, melainkan N. Itu berarti… *** Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
29 Tuntutan dari aksi demo yang dipimpin oleh Ade dan Hockey tidak memiliki landasan yang kuat. Mereka menuntut gedung baru, tetapi Mr. Buddy dengan enteng mengenyahkan tuntutan itu dengan mengatakan bahwa dalam kondisi sekarang ini, membuka sepuluh kelas baru pun masih memungkinkan. Tapi masalahnya adalah apakah tindakan seperti itu dibutuhkan? Dengan seleksi ketat pada saat pendaftaran, jumlah mahasiswa yang diterima selalu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kelas yang dibuka. Kalah dalam tuntutan pertama, Hockey mengeluarkan statement bahwa dosen Perfect Alphabeth University tidak berkualitas. Mr. Sandy kontan membalikkan statement itu dengan pertanyaan bagaimana definisi kualitas menurut Hockey. Jika dosen “berkualitas” adalah dosen yang memperjualbelikan nilai, maka maaf, kampus tidak mempunyai stock dosen semacam itu. Hockey hanya melongo, tak bisa menjawab. Mr. Sandy tidak sudi memberinya kesempatan. Ia secara terus terang menyebutkan kalau prestasi Hockey dan kawan-kawan kian menurun. Begitu kritisnya kondisi mereka sehingga Mr. Sandy terpaksa menggolongkan mereka sebagai mahasiswa nisakom atau nilai satu koma. Merasa tersudut dalam forum dialog, Ade dan Hockey bertambah ngawur dalam memperjuangkan tuntutan-tuntutan kosong yang telah mereka persiapkan. Argumen mereka tidak berbobot dan malah terkesan bodoh untuk tingkatan mahasiswa. Mdm. Margareth yang tinggi sense of humor-nya bahkan harus beberapa kali menahan tawa karena penjelasan panjang lebar dari Ade malah terdengar seperti suara orang yang sedang kumur-kumur. Ketika dialog itu semakin membosankan karena Ade dan Hockey begitu ngotot, Marlina masuk ke ruang aula bersama rombongan. Ia langsung meminta kesempatan untuk bicara, mewakili para mahasiswa dari berbagai tingkatan untuk mengungkapkan rasa keberatan mereka karena demo itu mengatasnamakan seluruh mahasiswa. Selanjutnya Kim Ron Il selaku pimpinan senat mahasiswa membacakan klarifikasi terhadap beberapa butir tuntutan demo yang dianggap telah mencoreng wibawa senat. Dari aksi demo tandingan ini terlihat bahwa gerakan demonstrasi yang dipimpin oleh Ade dan Hockey ini memang telah diprakarsai oleh seseorang demi keuntungan sepihak. Demo itu akhirnya dibubarkan, Ade dipanggil Mr. Al-Iqhlas untuk diinterogasi lebih lanjut dan Hockey diminta pertanggungjawabannya oleh Mr. August atas kasus pemukulan terhadap asisten Dedi. *** Ahmadi menarik napas lega ketika ia menghampiri Billy dan kawan-kawan. Ahmadi bercerita tentang bagaimana ia nyaris menjadi acar karena dikerubut dari segala penjuru. Untung saja asisten Seagat datang tepat waktu. Meskipun tidak terlihat heroik dari segi fisik, penyelamatan gemilang yang dilakukan Ahmadi terhadap Geoffrey dan para mahasiswi tetap mendapatkan pujian hangat. Hanya Ahmadi yang bisa membalikkan keadaan dengan humornya. “Bahkan Sugi pun tidak bisa melakukan hal itu!” ucap Geoffrey dengan sungguh-sungguh. Ahmadi tersenyum. Beberapa teman dekat, seperti Victor dan Subianto, menjabat tangan dan memberikan ucapan selamat kepada Ahmadi. Pada saat itu ia baru sadar kalau Ery dan Sugi tidak terlihat. Ketika ia menemui Billy untuk bertanya, mereka melihat sosok mencurigakan yang sedang menyusup di tengah keramaian. Long Tall Perry! Apa yang ia lakukan di sini? Billy dan Ahmadi langsung membuntutinya… *** Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
30 Dalam kondisi tertelungkup di lantai, Sugi cegukan. Ia menelan ludah, berusaha menekan rasa nyeri yang dideritanya, namun desakan dari dalam perut terlalu kuat. Darah mengalir ke rongga mulut, menerobos dari sela gigi dan mulai membasahi sudut bibirnya yang pecah. “Bagaimana, Bocah?” tanya Noer sambil mengibaskan jemari kanannya. “Haha, lumayan!” Sugi menyeka darah di bibirnya. “Sebutkan saja berapa yang harus kukeluarkan untuk membayar ongkos pijat ini.” “Dasar Bocah Busuk! Seharusnya kau minta ampun padaku,” Noer berkata dengan gusar sambil mengayunkan sepatu botnya. Benny, yang turut disekap dan sedari tadi merapatkan diri ke dinding sambil menanggung rasa takut, akhirnya meluncur dan memeluk kaki Noer supaya tendangan tersebut tidak mengenai Sugi. Benny menghalangi Noer setelah rasa iba mengalahkan rasa takut di hatinya. Sebagai ganjaran atas keberaniannya, Benny diinjak oleh Noer. Tidak seperti Sugi yang tegar meskipun telah dihajar hingga babak belur, Benny serta-merta mengerang kesakitan. “Salahmu sendiri,” Noer menggosok hidungnya dengan jari, “siapa suruh ikut campur?” Benny tersengal-sengal, tetapi tetap bertahan dalam menghambat gerakan Big Guy Noer. Ia tidak gentar meskipun telah diperintahkan Noer untuk segera melepaskan pelukannya. Melihat Benny bersikukuh, Noer tidak sungkan lagi untuk menghajarnya. Tapi kali ini ia mendapat tantangan dari lawan yang sebanding. Ery telah tiba di persembunyian Noer untuk menolong Sugi. “Ha, kau paham juga dengan isyarat di lantai itu,” ucap Sugi puas. “Sorry, aku terlambat. Sekarang biarkan aku yang menangani penindas ini,” ucap Ery sambil mengadu kedua tinjunya. Benny langsung meyingkir. Noer terlihat tidak begitu yakin. Ia tidak senang melihat Ery begitu percaya diri. Ery bersiap, tetapi derap langkah di tangga membuat perhatiannya teralih. Ery mundur ke samping dan melihat Perry melewatinya, disusul oleh Ahmadi dan Billy. Perry ternyata cukup jeli untuk menyadari kalau Ery ada di dekatnya. Ia segera mengobrak-abrik deretan kursi di dekatnya untuk menyulitkan langkah Ery. Setelah itu ia mengabarkan kalau demo telah berakhir dan Noer kini sedang diburu oleh jajaran akademik atas prakarsanya dalam menciptakan kerusuhan di kampus. Mendapat kabar seburuk itu, Noer langsung berinisiatif untuk kabur. Ery berniat untuk mengejar, namun Noer melemparkan kursi ke arahnya. Noer dan Perry akhirnya berhasil meloloskan diri. Ery dan dua sekawan berpaling untuk menyelamatkan Sugi. Adapun Benny, yang luka memarnya tidak separah Sugi, masih sanggup untuk berdiri sendiri dan meyakinkan tiga sekawan kalau ia tidak butuh bantuan mereka. Benny terdiam sejenak, memandang Sugi yang dipapah oleh Billy dan Ahmadi, lalu merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia benci dengan kenyataan bahwa Sugi tadi berbalik untuk menolongnya. “Kau menolongku dan aku menolongmu!” Benny berkata dengan tegas tatkala Sugi melewatinya. “Tak ada hutang budi di antara kita berdua.” Sugi mendengar, tetapi tidak menjawab. “Sugi, bedebah kau! Kenapa diam saja? Jangan membuatku merasa bersalah karena kau terluka. Itu sepenuhnya salahmu karena ikut campur dalam urusanku!”
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura
31 Ahmadi dan Billy berhenti setelah mendapat aba-aba dari Sugi. Pemuda itu lalu menoleh dan berkata, “aku memang suka ikut campur dalam urusan orang lain. Lantas? Jangan khawatir, itu tidak akan mengubah apapun tentang hubungan kita. Kau dan aku… kita tetap saingan, bukan teman baik.” Sekali lagi Benny terdiam, menatap empat sekawan yang mulai menjauh darinya… ***
Happy Campus 2 © 2003, Anthony Ventura