MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
Meninjau Istinbath Hukum Para Fuqaha Abad Kedua Hijriah Ahmad Faruk Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Pada dasarnya metode istinbath atau penarikan kesimpulan hukum pada abad kedua Hijriyah yang dilakukan oleh para fuqaha yaitu berdasarkan sumber hukum Islam yang pertama dan yang kedua yaitu nash Alquran dan Hadits Nabi, apabila mereka tidak menemukan dari kedua nash itu baik Alquran dan Hadits Nabi Muhammad, baru mereka beralih kepada ijma’ dan qiyas, apabila tidak juga didapati istinbath hukumnya melalui ijma’ dan qiyas, lalu mereka menggunakan alternatif yang lain yaitu metode ijtihad diantaranya dari qaul shahabat, istihsan, sadduzzari’ah, mashalih mursalah dan lain-lain, kecuali mazhab syafi’i mereka tidak menggunakan istihsan dalam istinbath hukumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa para fuqaha pada waktu itu tidak melakukan ijtihad hukum kepada nash yang sifatnya qath’i. Kata Kunci: Istinbath, hukum Islam, fuqaha.
Pendahuluan Syariat ialah titah Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas atau perbuatan manusia (mukallaf), baik berbentuk perintah (suruhan atau larangan), pilihan ataupun ketetapan.1 Hukum syariat tersebut digali dari dalil-dalil syariat yang terperinci, yaitu dari Alquran, Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
201
202
AHMAD FARUK
hadits, dan lain-lain yang digali dari kedua sumber asas tersebut.2 Alquran dan hadits sesungguhnya mengandung seluruh hukum syariat Islam, meskipun sebagiannya sudah terang dan secara gamblang dapat diketahui, dan sebagian lagi masih secara implicit dan samar. Yang masih samar-samar inilah sebenarnya secara umum yang masih perlu istinbath. Dan inilah yang telah dilakukan para fuqaha sepanjang kurun sejarah Islam.3 Semenjak Rasulullah wafat, para fuqaha hampir tak pernah berhenti menggali hukum Allah yang mulia ini. Stamina penggalian memang pernah pasang surut. Atas dasar itulah para pengkaji sejarah fiqh dan dinamika istinbath membagi fase perkembangannya ke dalam beberapa fase, antara lain: fase pertumbuhan, fase pembinaan, fase pengembangan, fase pendalaman dan kejumudan, serta fase kebangkitan kembali di abad modern ini.4 Ijtihad berkembang dengan baik secara geografis, faktor daya nalar seseorang dan lain-lain juga mempengaruhi. Pada penghujung abad pertama hijriyah, para mujtahid secara umum telah terpolarisasi kepada dua aliran besar, yaitu: 1. Aliran Ahlul Hadits yang dalam melakukan istinbath sangat terikat dengan teks Alquran dan Al-Sunnah. Mereka tidak merasa perlu mencari illat hukum dan dasar syariat serta maqashidnya dalam menetapkan sesuatu hukum. Aliran ini berpusat dan berkembang di Hijaz. 2. Aliran Ahlur Ra’yi yang dalam melakukan istinbath banyak menggunakan analisa, mengkaji illat atau kekecualian hukum, maqaashid syari’ah dan dasar-dasar penetapan hukum tersebut. Aliran ini berkembang pesat di Iraq dan beberapa negeri ‘Ajam.5 Meneliti kitab-kitab Ushul Fiqh dan Fiqh yang disusun dalam mazhab-mazhab yang amat populer, diketahui bahwa mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali pada awalnya lebih banyak berorientasi kepada mazhab Sa’id bin Mussayad, sahabat Mujtahid yang banyak menggunakan nash (Aliran Ahlul Hadits). Sedangkan mazhab Hanafi lebih tergantung pada sistem Ibrahim An-Nakha’i, seorang mujtahid terkenal di kalangan sahabat, yang bila menemukan nash, beliau Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
menganalisanya dengan menggunakan qiyas dan lain-lain. Perbedaan antara dua kutub itu kemudian berangsur menyatu setelah Bani Amawiyah, terutama ketika Khalifah Abbasiyyah banyak mendatangkan ulama Hijaz ke Iraq untuk menyebarkan hadits. Di antara mereka kita sebutkan diantaranya: Rabi’ah bin Abdurrahman, Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Ishaq dan lain-lain. Sementara itu di pihak lain, sejumlah ulama Iraq datang ke Madinah untuk belajar hadits seperti Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim, Muhammad bin Al-hasan dan lain-lain yang banyak belajar dari Imam Malik. Akibatnya, terjadilah perpecahan antara kedua aliran yang berkembang di Iraq dan Madinah itu.6 Memang tidak dapat dinafikan, bahwa perbedaan antara mazhab–mazhab itu tetap ada, dan memang harus ada, untuk kelangsungan perkembangan hukum Islam dan terjaminnya dinamika hukum yang hanya Allah punya pengetahuan terhadapnya. Perbedaan itu sengaja terjadi dan menjadi rahmat bagi umat manusia, terutama yang beragama Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain dapat dikelompokkan kepada empat sebab utama, yaitu: berbeda pada penilaian terhadap otentisitas nash, berbeda pada pemahaman terhadap nash dzanny, berbeda pada tarjih antara dua nash yang nampak bertentangan dan berbeda, serta beberapa kaidah ushuli dan dalil-dalil istinbath yang sah.7
Perbedaan Penilaian Terhadap Otentisitas Nash Dari dua kutub itu, Hijaz dan Iraq, ataupun mazhab-mazhab yang lahir sesudahnya, merupakan bukti nyata bahwa para fuqaha cukup giat dalam melakukan istinbath hukum bagi berbagai masalah yang bermunculan, yang terkadang mereka terpaksa mencari sendiri metode istinbath yang dibimbing oleh Alquran dan Assunah untuk menggali hukum yang terpendam di dalam kedua sumber utama itu. Terkadang metode fiqih yang satu agak berbeda dengan metode yang digunakan oleh ahli fiqih yang lainnya. Metode-metode itu kemudian diabadikan dalam tulisan atau kitab yang kemudian lebih dikenal dengan sebagau Ushul Fiqh, Qawa’id Ushuliyah dan Qawa’id FiqhiMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
203
204
AHMAD FARUK
yyah. Sementara hasil kajiannya yang berbentuk hukum juga dibukukan di dalam kitab-kitab yang lebih dikenal dengan kitab Fiqih. Ilmu Fiqh berkembang dengan pesat pada abad kedua Hijriyah, antara lain disebabkan: besarnya perhatian para khalifah terhadap ilmu, adanya kebebasan mutlak dalam memberikan pendapat, bertambah banyaknya persoalan atau perbuatan hukum yang timbul serta referensi sumber hukum cukup mudah diperoleh; karena Alquran, sejumlah besar Hadits, fatwa sahabat dan tabi’in serta ijma’ mereka telah dibukukan; berkembang pesatnya diskusi-diskusi dalam forum ilmiah serta adanya penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam Bahasa Arab.8 Dengan sebab-sebab tersebut di atas, fiqh telah memenuhi syarat untuk menjadi disiplin yang berdiri sendiri. Kemudian para ahli fiqh terus menerus mengembangkannya, sehingga kurun seratus tahun tidak kurang dari 18 mazhab besar yang muncul, yang sebagiannya berkembang hingga sekarang seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i. Maliki dan lain lain dari Sunni, Zaidi dan Imami dari Syi’i, Ibadhi dari Mu’tazilah dan zhahiri dari Ahluz Zahir. Sementara sebagian besar lainnya, seperti Auza’i, Laitsi, Tsauri, Thabari, dan lain-lain sudah tidak berpengikut lagi.9 Jika diteliti, kesemua mazhab mempunyai ciri-ciri khasnya. Namun perbedaan antar mazhab itu terbatas hanya pada masalah furu’iyah ‘amaliyah (hukum cabang yang bersifat teknis praktis) saja, bukan pada masalah hukum yang prinsipil. Mereka menarik hukum dari Alquran dan Assunnah. Semua hukum yang bertentangan ataupun tidak sejalan dengan kandungan kedua sumber itu mereka tolak dan haram untuk diamalkan. Kesemua mereka saling hormat menghormati, saling harga menghargai pendapat, selama pendapatpendapat itu tidak keluar dari rel yang telah digariskan Alquran dan Assunnah. Pada saat ini, bahasan ilmu Fiqh tidak hanya terbatas pada peristiwa yang sudah ataupun sedang terjadi, tapi juga mencakup persoalan-persoalan yang belum muncul. Mereka mengkajinya secara mendalam, sehingga tumbuhlah apa yang dinamakan dengan Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
Fiqh Iftiraadhi.10 Sementara itu, dalam kitab Arrisalah, Imam Syafi’i mengembangkan ilmu Ushul Fiqh (asal mula hukum), sehingga menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri, sehingga beliau sering dijuluki dengan Bapak Ilmu Ushul Fiqh.
Metode Para Fuqaha dalam Melakukan Istinbath Hukum Derap langkah perkembangan ini juga terlihat pada istinbath, sehingga dalam melakukan istinbath para fuqaha telah berhasil merumuskan metode-metodenya, seperti ijma’, qiyas, istidlal, istihsan, istislah, fatwa sahabat, ‘uruf, mashalah mursalah, sadduz zaraa’i dan lain lain.11 Perlu ditegaskan disini bahwa kesemua metode tersebut tidak semuanya dipegang oleh semua mazhab. Imam mazhab dan pendukungnya memilih mana yang lebih tepat menurut pandangannya. Ini sebenarnya cukup wajar, karena mazhab sendiri adalah berarti isim makan (kata keterangan tempat) dari zahaba-yazhabuzihaaban, yang berarti berjalan. Dalam istilah ushuli, mazhab berarti faham atau aliran pemikiran yang merupakan hasil kajian mujtahid (ahli hukum) tentang hukum Islam yang digali dari ayat atau hadits dzanny yang boleh ditafsirkan. Secara kronologis, di antara mazhab-mazhab yang muncul pada kurun waktu antara tahun 101 hijriah sampai dengan 200 hijriah adalah sebagai berikut: 1. Mazhab Imam Abu Sa’id Al Hasan Al-Basyari (beliau wafat tahun 110 H) 2. Mazhab Abu Hanifah (beliau wafat tahun 150 H) 3. Mazhab Al-Auzaa’i ( beliau wafat tahun 157 H) 4. Mazhab Ats Tsauri (beliau wafat tahun 160 H) 5. Mazhab Al-Laitsi (beliau wafat tahun 175 H) 6. Mazhab Maliki (Imam Malik wafat tahun 179 H) 7. Mazhab Sofyan bin’Uyainah (beliau wafat tahun 2198 H) 8. Mazhab Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (beliau wafat tahun 204 H) 9. Mazhab Ishaq bin Rahawiyah (beliau wafat tahun 238 H) Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
205
206
AHMAD FARUK
10. Mazhab Abu Tsaur (beliau wafat tahun 240 H) 11. Mazhab Ahmad bin Hanbal (beliau wafat tahun 270 H) Meskipun demikian banyak mazhab yang timbul setelah kurun abad kedua hijriah, namun kita akan mengetengahkan beberapa mazhab yang dianggap representatif bagi perkembangan metode istinbath hukum yang dilakukan para fuqaha itu sebagai sampel. Berikut ini kita uraikan metode istinbath mazhab-mazhab tersebut, yaitu: 1. Metode Istinbath mazhab Hanafi. Untuk ini kita kutip saja ucapan Abu Hanifah sendiri yang artinya sebagai berikut: “sesungguhnya saya mengistinbath hukum dari kitabullah (Alquran). Bila tidak aku dapati, aku mencarinya di dalam hadits yang shahih, yang dirawikan oleh perawi-perawi yang tsiqaat. Kalau aku belum memperolehnya juga, aku berpegang pada pendapat sahabat; siapapun di antara mereka. Kalau belum juga aku dapati, meskipun telah aku menelaah pendapat Ibrahim An-Nakha’i, atau Sya’bi, atau Sa’id bin Musayyab, maka barulah aku melakukan istinbath sendiri melalui metode-metode yang sah, seperti istihsan dan lain-lain.12 Dalam istinbath, Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar, pada umumnya menilai lafaz ‘am’ dalalahnya ‘qath’ie’. Pendapat sahabat adalah takhsis (menghususkan) lafaz ’am tersebut. Banyaknya perawi juga tidak menjadi jaminan bagi keabsahan hadits jika hadits itu bertentangan dengan lainnya. Hadits ahad (disalurkan secara seorang tunggal) tidak akan menjadi Hujjah, walaupun pada ‘umumul balwaa’. Semua amar (perintah) pasti menunjukkan kepada wajib, selama tidak ada penyanggah. Bila isi sebuah hadits bertentangan dengan yang dikerjakan perawinya, maka yang dipegang ialah perbuatan atau istihsan. Berpegang pada qiyas, bila keadaan sangat membutuhkan.13
2.
Metode istinbath mazhab Maliki Secara umum metode Imam Malik dapat diringkas sebagai berikut: berpegang kepada nash Alquran dan Assunah, kemudian pada keumuman Alquran dan Assunnah, kemudian kepada mafhum mukhalafah keduanya, lalu kepada mafhum muwafaqah keduanya. Kemudian baru pada Ijma, Qiyas, perbuatan penduduk Madinah, Istihsan, Sadduz Zari’ah, Mashalih Mursalah,
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
3.
4.
Perkataan Sahabat Nabi, Muqaaranah, Istishhab dan terakhir kepada syar’u man qablana..14 Metode istinbath mazhab Asysyafi’ie Sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitab Ushul Fiqh yang pertama di dunia, yaitu Arrisalah, metode Imam Syafi’ie dapat disimpulkan: sumber asal hukum adalah Alquran dan Assunnah, kemudian qiyas berdasarkan keduanya. Bila hadits sahih dan sanad bersambung, maka cukuplah sampai disitu. Ijma’ lebih utama dari hadits ahad. Zahir hadits dzanny lebih utama untuk dipegang. Apabila hadits-hadits itu berseimbang, maka yang dipegang ialah yang paling sahih sanadnya. Hadits munqathi’ tidak dapat dipegang, kecuali riwayat Ibnu Musayyab. Ashal qiyas tak boleh qiyas kepada ashal lagi. Ashal qiyas tak boleh ditanya mengapa dan bagaimana. Kalau faraiyah boleh ditanya, mengapa, atau kenapa. Apabila qiyas itu sesuai dengan ashal, maka qiyas itulah yang menjadi hujjah. Imam Syafi’i tidak berpegang pada hadits mursal. Dalam umumul balwa, beliau tidak mensyaratkan haditsnya harus mutawatir seperti Abu Hanifah. Dalam hadits ingkar rawi, beliau berpegang pada kandungan hadits, bukan pada perbuatan perawi. Perbuatan orang-orang Madinah bukan Hujjah seperti yang dianggap Imam Malik. Beliau tidak berpegang kepada istihsan seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Beliau juga tidak berpegang pada mashalih mursalah, pada qiyas yang illatnya tidak tetap dan tidak pasti, pada perbuatan penduduk Madinah dan beliau tidak membatasi diri hanya pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang Hijaz.15 Metode istinbath mazhab Hanbali Secara umum, Imam Ahmad berpegang pada nash Alquran dan Assunah. Beliau mendahulukan hadits sahih yang marfu’ dari perbuatan orang Madinah, qiyas, perkataan sahabat atau Ijma’ atas tidak diketahui ada pendapat yang berbeda. Jika beliau tidak menemukan hukum yang dicari di dalam nash, beMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
207
208
AHMAD FARUK
liau mencari pada perkataan sahabat. Bila sahabatpun berbeda pendapat, maka beliau pilih pendapat yang paling berdekatan dengan Alquran dan Assunah, dan bila beliau tidak temukan, beliau berijtihad atas dasar Alquran dan Assunah. Imam Hambali berpegang dengan hadits mursal dan lemah jika tidak bertentangan dengan perkataan sahabat atau ijma’. Dia juga mendahulukan hadits tersebut dari qiyas, tetapi berpegang pada qiyas di waktu darurat saja dan sudah tidak ada dalil yang lain. Terakhir beliau berpegang kepada Sadduz Zara’i.16
Alquran Tempat Tertinggi sebagai Sumber Istinbath Hukum Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa semua ahli hukum Islam atau fuqaha menempatkan Alquran pada tempat yang tertinggi sebagai sumber istinbath. Alquran memang mengandung ayatayat yang dzanniyyatuddilalah, dan ayat-ayat ini perlu dikaji dengan lebih mendalam, sehingga mereka berbeda pendapat dalam memilih alternatif makna dan hukum yang kemudian menjadi istinbath. Sebagai contoh, ayat 228 surat Albaqarah yang artinya: …dan wanita-wanita yang dithalaq, wajib beriddah selama tiga kali “quru’ “, dan contoh lainnya firman Allah dalam surat Albaqarah ayat: 226 yang artinya: “…dan kepada orang-orang yang ‘ilaa’ “ isterinya diberi tangguh empat bulan. Dalam ayat pertama Allah menggunakan kata “tiga quru’ “, sedangkan pada ayat kedua “empat asyhur”. Kata-kata tiga dan empat adalah qath’ie, tidak punya alternatif lain, selain dari bilangan angka yang sudah maksuf. Demikian juga halnya dengan kata “asyhur” yang tidak punya arti dalam bahasa Arab selain dari “bulan” yang teriri dari 29 ataupun 30 hari. Sedangkan kata”quru’ “ yang terdapat pada ayat pertama mengandung alternatif dua arti: Abu Amru bin ‘Alaa mengatakan orang Arab menggunakan kata “quru’” untuk haid (menstruasi) dan juga menggunakannya untuk suci. Atas dasar itulah maka Ulama Kufah mengartikannya dengan haid, sejalan dengan pendapat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Mujahid, Qatadah, Dhahhal dan Ikrimah. Sedangkan ulama Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
Hijaz mengartikannya dengan suci, sesuai dengan pendapat Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Azzuhri dan Imam Syafi’i. 17 Dari itu, maka seandainya Allah menghendaki kesatuan atau hanya satu pendapat, pastilah Allah akan berfirman “ tsalatsata haidhaatin” tiga kali haidh, atau “ tsalatsata athhaar” tiga kali suci, seperti pada ayat kedua “arba’ata asyhur”, empat bulan. Demikianlah dengan ayat-ayat dzanniy yang lain, yang bila diteliti dengan seksama menunjukkan Allah sengaja memberikan keluasan bagi manusia untuk berbeda pendapat dalam menggali hukum-hukum syara’ dari firman-Nya dan dari Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu Imam Azzarkasyi berkata “Ketahuilah bahwa Allah sengaja tidak menurunkan Alquran dalam bentuk “qathiuyyud dalalah” semuanya, tetapi sebagian besar ayat-ayat hukumnya berbentuk “dzanniyyaddalalah” untuk dapat menjadi kelapangan bagi mukallaf agar mereka tidak terhimpun dalam satu mazhab saja dan diikat oleh satu pendapat belaka.18 Demikianlah pandangan fuqaha dalam istinbath hukum dari ayat-ayat hukum yang dzanniyyat al-dalalah. Sedangkan ayat-ayat hukum yang qath’iyyat al-dalalah, teristimewa yang mengandung jumlah atau bilangan seperti “miata jaldah” seratus kali cambuk dan lain-lain, mereka telah secara ijma’ menyatakan wajib diamalkan menurut seadanya. Hasil telaah mendalam dapat diketahui juga bahwa seluruh hadits sahih wajib diamalkan. Demikian pula dengan hadits hasan dalam hal-hal tertentu. Sedangkan hadits mursal, hadits ingkar rawi dan hadits mastuururrawi, sebagian fuqaha mengamalkannya, sementara sebagian yang lain meninggalkan atau tidak mengamalkan hadits tersebut, kecuali kalau didukung oleh hadits yang lain. Dalam masalah hadits mursal, kurun pertama dan kedua merupakan hujjah dalam mazhab Hanafi, sedangkan menurut Syafi’i hadits tersebut tidak boleh menjadi dalil kecuali bila didukung oleh ayat atau hadits masyhur yang lain.19 Sebagian para fuqaha beramal dengan hadits inkarurrawi dan sebagian yang lain menganggapnya bukan hujjah. Imam Abu Hanifah Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
209
210
AHMAD FARUK
dan Abu Yusuf menganggapnya juga bukan hujjah, seangkan Imam Syafi’i dan Muhammad Asy-Syaibani menganggapnya sebagai dalil sayara’ yang sah untuk diamalkan. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan Rabi’ah dari Suhail bin Abi Shalih, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “memutuskan hukum diperadilan cukup dengan seorang saksi dan sumpah”. Lalu orang mengatakan kepada Suhail, “..tapi Rabi’ah meriwayatkan hadits ini darimu”, Suhail menjawab: “saya tidak pernah meriwayatkan hadits tersebut, tetapi Rabi’ah orangnya “tsiqah dan adil”, boleh jadi saya sudah lupa”.20 Apabila terdapat dua buah nash ataupun lebih yang nampaknya bertentangan, maka sudah pasti tidak mungkin diamalkan keduaduanya. Oleh karena itu para mujtahid menempuh dua jalan: mempertemukan dan mengamalkan kedua-duanya (jama’) selama memungkinkan, sedangkan bila tidak memungkinkan, mereka terpaksa memilih salah satu di antaranya (tarjih). Dalam masalah ini kita ambil tata cara salat kusuf dan khusuf sebagai contoh. Imam Malik, Imam Syafi’iy, Imam Ahmad dan Ulama Hijaz berpendapat bahwa shalat kusuuf adalah dua rakaat dan dua kali ruku’ pada tiap rakaat, sedangkan Abu Hanifah dan Jumhur Ulama Kufah berpendapat bahwa shalat kusuf itu persis seperti shalat ‘Ied dan shalat Jum’at. Sebab perbedaan pendapat disini adalah karena banyak hadits dalam masalah ini yang terkadang sebagiannya bertentangan dengan yang lain, seperti hadits paling shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah ra menyifatkan shalat kusuuf Rasulullah bersama orang banyak, kata Aisyah: “Telah terjadi gerhana pada masa Rasulullah dan beliaupun shalat bersama orang-orang mukmin; Beliau berdiri dan lama berdirinya, kemudian beliau ruku’ dan lama ruku’nya lalu beliau berdiri lagi dan lama juga berdirinya. Kemudian beliau ruku’ kedua kalinya dan lama juga ruku’nya itu, kemudian beliau lakukan demikian juga pada rakaat kedua …”’ hadits ini berbeda dengan hadits tersaheh lainnya yang diriwayatkan Abu Qalaabah dari Nukman bin Basyir yang menyatakan bahwa : Nukman bin Basyir berkata: “ Kami shalat kusuuf bersama Rasulullah. Beliau shalat dua rakaat dan caranya Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
seperti shalat biasa, yaitu sekali ruku’ dan sekali sujud pada tiap rakaat, kemudian setelah salam beliau berdo’a, sampai mata haripun cerah kembali”.21 Atas dasar riwayat yang berbeda itu, para ulamapun berbeda pendapat, sebagian mentarjihkan salah satu diantaranya, maka sebagiannya mentarjihkan riwayat pertama. Maka shalat dua kali berdiri dan dua kali ruku’ bagi tiap rakaat, dan ulama yang lain mentarjihkan riwayat kedua maka mereka shalat kusuuf dengan sekali berdiri dan sekali ruku’ pada tiap rakaat. Sementara itu sebagian ulama menempuh jalan jama’. Seperti Ibnu Jarir Ath Thabariy yang berpendapat, bahwa dalam masalah ini dibenarkan kita memilihnya; apakah pelaksanaannya seperti yang diriwayatkan Aisyah, ataupun sesuai dengan riwayat Abu Qalabaah, karena Rasulullah pernah melakukan shalat kusuuf dengan cara yang pertama dan pernah pula beliau melakukan menurut cara yang kedua, terserah kita untuk memilihnya, karena yang manapun yang kita pilih, berarti kita mengikuti cara ibadat Nabi SAW. Pendapat Jama’ ini dikuatkan oleh Kaadhi’Iyadh, dengan katanya “menjama’kan adalah lebih afdhal dari tarjih, karena dengan jama’ kita mengamalkan kedua-dua nash, sedangkan tarjih, (walau bagaimanapun) kita hanya beramal dengan salah satu nash saja.22 Menurut Imam Malik, amal orang Medinah adalah hujjah syari’iyyah, sedangkan menurut jumhur fuqahaa, amal itu bukanlah hujjah, kecuali kalau sudah ijma’. Akibatnya, kalau seseorang menjual kebun yang didalamnya ada batang kayu yang sedang berbuah, ia dapat menjual kebun bersama kayu kayunya dan boleh mengecualikan buahnya dalam batas paling banyak adalah sepertiganya, sedangkan ulama yang lain tidak membenarkan yang demikian. Perbedaan ini timbul karena menurut Imam Malik, orang-orang Madinah berbuat demikian.23 Demikian juga mengenai mafhum mukhalafah yang menurut jumhur adalah hujjah dengan syarat-syarat tertentu, sedangkan menurut Hanafiyah, mafhum mukhalafah bukan hujjah. Perbedaan ini terlihat implikasinya pada hukum buah korma yang batangnya Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
211
212
AHMAD FARUK
dijual sebelum dikawinkan. Rasulullah bersabda yang artinya: Siapa yang menjual batang kotor setelah dicangkok, maka buahnya adalah untuk penjual (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)24 Atas dasar mafhum mukhalafah, jumhur ulama berpendapat bahwa bila belum dicangkok, maka buahnya adalah untuk pembeli, sedangkan menurut Hanafiyah yang tidak berpegang pada mafhum mukhaalafah, bahwa buah itu tetap untuk penjual. Demikian juga keharusan membawa Aam kepada khash yang diikuti jumhur, sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa ‘aam itu dapat langsung diamalkan. Hal ini menimbulkan perbedaan pada nishab tanaman/biji-bijian; maka jumhur berpendapat nishabnya adalah lima wasaq sesuai dalam hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari Abu Sa’id Alkhudry, Nabi bersabda yang artinya: Tidak ada zakat pada yang kurang dari lima wasaq. Jumhur menjadikan hadits ini sebagai pentakhsiran (pengkhusus) dari hadits riwayat Bukhary, di mana Rasulullah bersabda yang artinya: Tanaman yang disiram hujan Atau mata air atau tak perlu disiram adalah sepersepuluh (10%) sedangkan yang disiram dengan tenaga adalah setengah persepuluh (5%) Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa tanam-tanaman yang tumbuh dari bumi wajib dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% sesuai dengan yang ditetapkan hadits di atas, tetapi beliau tidak mengakui ada batasan nishaab, sebagaimana yang tersebut dalam hadits pertama, karena hadits kedua meskipun masih umum, tetapi sudah qath’iy, sehingga tak perlu dikaji mukhashsisnya. Hadits tersebut beliau takwilkan pada zakat harta dagangan.25 Apabila seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits, lalu ia berbuat perbuatan yang berlawanan dengan hadits yang dirawikan; apakah riwayatnya yang diterima ataupun perbuatannya yang dijadikan pegangan. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat: Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang di pegang ialah hadits yang diriwayatkannya, bukan perbuatannya. Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa yang jadi pegangan ialah perbuatannya, bukan hadits yang diriwayatkannya, karena perbuatan itu dapat dianggap sebagai “pemMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
batal (nasikh)” dan berarti juga ia telah mengkritik hadits tersebut dengan perbuatannya serta ia tidak percaya kepada kebenaran hadits itu, sehingga berbuat sebaliknya. Sedangkan jumhur yang berpendapat bahwa yang dipegang adalah hadits/nash yang diriwayatkan, bukan perbuatan yang dilakukan, karena boleh jadi ia tidak sanggup berbuat karena keuzuran atau sebab-sebab yang lain, ataupun ia beramal sesuai dengan “ijtihadnya:, sedangkan ijtihadnya itu tidak wajib harus dipegang orang lain.26 Akibat dari perbedaan pada qaidah ushuliyah ini, timbul lah perbedaan pendapat pada beberapa masalah fiqhiyyah, seperti pada hukum mengangkat tangan ketika ruku’ dan bangun dari ruku’ dalam shalat. Jumhur Ulama menyatakan sunat hukumnya mengangkat dua tangan pada kedua tempat tersebut, berdasarkan hadits riwayat Bukhary dan Muslim, dkk. Dari Ibnu Umar, beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila beliau berdiri, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga setentang puncak bahunya, lalu beliau bertakbir, Apabila beliau mau ruku’ beliau berbuat seperti itu juga, tetapi beliau tidak berbuat demikian tatkala beliau bangun dari sujud.27 Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunatkan yang demikian, karena Ibnu Umar/perawi hadits itu sendiri tidak berbuat demikian, sebagaimana diriwayatkan Almujahid, yang mengatakan: Saya shalat di belakang Ibnu Umar, saya lihat beliau tidak mengangkat tangan kecuali hanya pada takbiratul Ihram saja” Abu Hanifah berpegang perbuatan perawi dengan meninggalkan maksud hadits yang dirawikan itu.28
Penutup Demikian gambaran singkat tentang perkembangan istinbath hukum dari sumbernya dan metode-metode istinbath digunakan oleh ulama terdahulu. Uraian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi usaha pengkajian hukum Islam yang secara cukup jelas kita lihat Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
213
214
AHMAD FARUK
bahwa ijtihad hukum tidak mereka lakukan pada nash qath’iy. Para Imam Mazhab berbeda pendapat dalam istinbath hukum dari dalilnya yang sifatnya zhanny, dari perbedaan pendapat itu pula menghasilkan hukum yang berbeda pula.
Catatan: 1 Al-Badahsyi, Syarah Al-Badahsyi, Jld. 1 hal. 54. 2 Ibid, hal. 57. 3 Depag, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam (Ilmu Fiqh), Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, 1986, hal.7. 4 Ibid, hal 8-10 5 Al-Badahsyi, Op-Cit, hal. 60 6 Depag, Op-Cit, hal. 6 7 Prof. TM Hasbi Ash Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, Jl. 1, hal. 93-98 8 Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, Al-Madkhal Lil Fiqhil Muqarran, hal. 7374 9 Ibid. hal. 33 10 Ibrahim Ad-Dusuqy, Tarikhut Tasyari’i Islami, hal. 129-131 11 Ibid, hal. 146 12 Ibid, hal. 185 13 Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi, Op-Cit. Hal. 185 14 Ibnu Abidin, Risalah Ibnu Abidin, hal. 44. 15 Ibid, Hal. 56 16 Ibnul Jizyi, Al-Qawaanin, hal. 22 17 M. Anis Ubadah, Al-Muntaqaa, hal. 143 18 As-Sarakhsi, Tashiilul Wushuul, jilid 2, hal. 245 19 Ibid, hal. 360 20 Ibid, hal. 30 21 Asy Syaukaani, Nailul Authaar, jilid 3, hal. 326 22 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid jilid 1, hal. 215 23 Imam Maalik, Al-Muwaatha’, jilid 3, hal. 19 24 Ash-Shan’aani, Subulus Salaam, jilid 3, hal. 63 25 As-Sarakhi, Op-Cit, Jilid 3, hal. 3 26 Abdul Aal Al Anshaari, Fawaatihur Rahamut, jilid 2. Hal. 163 27 Muhammad bin Sulaiman, Jam’ul Fawaaid, Jilid. 1, hal. 190 28 Az-Zarkasyi, Taisirul Wushuuk, hal. 160
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
MENINJAU ISTINBATH HUKUM PARA FUQAHA ABAD KEDUA HIJRIAH
DAFTAR PUSTAKA Al-Badahsyi, Syarah Al-Badahsyi, Jilid 1 Departemen Agama, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam (Ilmu Fiqh), Dr. H. Muslim Ibrahim, MA. 1986. Prof. TM Hasbi Ash Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, Jilid 1 Dr. H. Muslim Ibrahim, MA, Al-Madkhal Lil Fiqhil Muqaaran. Ibrahim Ad-Dusuqy, Tarikhut Tasyri’I Islami. Ibnu Abidin, Risalah Ibnu Abidin. Ibnu Jizyi, Al-Qawaanin. M. Anis Ubadah, Al-Muntaqaa. Al-Qurthubi, Tafsir Qurthubi, Jilid 3 As-Sarakhi, Tashiilul Wushuul, Jilid 2 Asy Syaukaani, Nailul Authaar, Jilid 3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 1 Abdul Al Ansharii, Fawaatihur Rahamut, Jilid 2 Muhammad bin Sulaiman, Jam’ul Fawaaid, Jilid 1 Ash-Shan’aani, Subulus Salaam, Jilid 3
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
215