MENINGKATKAN PERADABAN DENGAN CARA BERADAB Martinus Siswanto Prajogo *)
Suatu Fenomena Peradilan Sekilas kalau kita membaca judul tulisan ini, mungkin, sekali lagi mungkin, seseorang akan menilai bahwa judul atau pernyataan tersebut diatas sebagai pernyataan yang tendensius, Kami dapat memaklumi penilaian tersebut diatas. Tapi marilah kita simak suatu fenomena dibawah ini. Disuatu sore rumah Wakaseksisma diketuk oleh seorang Pamong Graha yang menyampaikan pesan agar Wakeseksiswa menuju ke Rumah Dinas P1. Saya selaku Wakaseksisma terkesiap manakala melihat terjadinya sebuah peradilan yang sangat mencengangkan. Beberapa siswa yang terlambat datang dari cuti dalam posisi berdiri dengan sikap sempurna. Wajahnya mengesankan wajah-wajah tegang yang sukar dinilai apa yang sesungguhnya mereka rasakan. Ketakutankah? Rasa bersalahkah? Perasaan marah yang ditahankah? Tapi yang pasti, kesan yang saya tangkap adalah kesan “hati yang membatu”. Maka, saya selaku Wakaseksisma hanya menyaksikan “PERADILAN” tersebut dengan mengelus dada. “Hei siswa mengapa kamu memberikan jawaban yang tidak konsisten!”, teriak seseorang dengan nada tinggi. “Tadi saya tanyakan pertanyaan yang sama secara berulang, tapi jawabanmu tidak sama!” teriaknya. Dan diluar dugaan, ternyata ada salah seorang yang memiliki keberanian untuk menjawab dengan nada tertekan, “Bang, bagaimana saya bisa menjawab dengan baik, kalau pikiran saya kacau seperti ini”. Sesungguhnya jawaban tersebut telah mencerminkan sebuah ungkapan “Seekor semutpun, apabila diinjak maka akan menggigit sebagai bentuk perlawanan atau tepatnya pertahanan diri”. Jawaban siswa tersebutpun pada dasarnya merupakan bentuk reaksi alamiah, ketika ybs mengalami tekanan yang sudah diluar batas kemampuannya untuk ditahan. 1
Yang tidak kalah seru, proses “PERADILAN” tersebut dilakukan tidak saja oleh seseorang yang disebut “Bang” oleh siswa yang diadili, tapi juga oleh beberapa pihak (yang merasa memiliki wewenang untuk mengadili). Pihak-pihak dimaksud termasuk diantaranya adalah unsur pengurus LPTTN dan juga unsur pengurus Sekolah. Setelah proses “PERADILAN” tersebut berakhir, salah seorang yang ikut mengadili berkata: ”Pak Sis (Wakaseksisma), saya serahkan semua siswa ini kepada pak Sis”. Saya selaku Wakaseksis menyahut, “Siap bapak, terima kasih”. Kemudian saya berkata kepada para siswa, “Para siswa, silakan kembali kegraha, jangan melakukan pelanggaran lagi”. Sebuah drama PERADILAN baru saja selesai. Ketika tiba-tiba terdapat seorang Wali Graha membawa beberapa orang siswa yang dilaporkan telah melakukan pelanggaran digraha. (Yang saya herankan kenapa Wali Graha ini tidak menuntasnya pelanggaran yang ditemukan digraha, tetapi malah membawa siswa-siswa ini ke arena peradilan yang baru saja selesai). Tapi untungnya bapak-bapak yang baru saja melakukan “PROSES PERADILAN” kepada para siswa yang terlambat cuti, menyerahkan para siswa yang melanggar tersebut kepada Wakaseksisma. Saya selaku Wakaseksisma mencatat nama-nama mereka. Kemudian, mereka saya minta supaya kembali ke Ghara dengan pesan, agar besok pagi datang ke kantor saya. Keesokan harinya mereka datang ke kantor, saya tanyakan mesalahnya. Setelah mereka menceritakan pelanggaran dan mengaku bersalah, saya memberikan peringatan dan nasehat, agar tidak melakukan pelanggaran lagi dan saya minta mereka kembali ke Ghara tanpa saya berikan tindakan apapun. Namun saya tetap memantau mereka, hingga lulus mereka tidak melakukan pelanggaran yang signifikan.
Menghentikan Kebiasaan Kekerasan dengan Kasih Pada awal saya dilantik sebagai Wakaseksisma, kebetulan bertepatan dengan acara peringatan Ulang Tahun para siswa di Ruang Komunikasi Bersama (RKB =
2
penyebutan ruang makan).. Pada saat itulah Kepala SMA Taruna Nusantara memberikan kesempatan kepada saya untuk menyapa para siswa untuk pertama kali. Pada kesempatan itu, saya mengatakan bahwa saya akan berupaya membangun “Lembaga Keluarga Kedua di SMA Taruna Nusantara”. Lebih lanjut saya katakan. “Para siswa tentunya memiliki keluarga inti, itulah keluarga pertama kalian. Dengan demikian, saya berharap para siswa dapat membangun relasi persahabatan yang didasarkan pada semangat kekeluargaan sebagaimana yang kalian alami atau lakukan didalam keluarga inti, atau keluarga pertama kalian”. “Perlakukan adik-adik kalian disini, sebagaimana kalian memperlakukan adikadik kalian dirumah. Sapa dan tegur mereka dengan landasan ASIH, sebagai bentuk kepedulian kalian pada adik-adik. Dengan demikian, adik-adik kalian akan tumbuh rasa hormat yang tulus kepada kalian. Bukan sebaliknya dengan teguran kasar, yang justru akan membuat mereka takut. “Jadilah abang/kakak yang disegani bukan ditakuti”. Saya tidak berhenti sampai disitu, pada malam harinya, saya sempatkan menyapa siswa kelas XII pada kesempatan apel malam. Apa yang saya sampaikan di RKB kembali saya ulangi dan saya jelaskan lebih lanjut. Hal ini secara berturut-turut saya lakukan secara bergantian kepada siswa kelas XI dan kelas X pada kesempatan apel malam berikutnya.
Menemukan Akar Masalah Awal kedatangan saya di SMA Taruna Nusantara saya fokuskan pada upaya mengatasi fenomena kekerasan di lingkungan sekolah. Karena masalah itulah yang saya anggap paling menonjol pada saat itu. Maka pada kesempatan pertama saya mengumpulkan para Wali Graha dan Pamong Graha. Pertama-tama yang saya sampaikan adalah mengajak para Wali Graha dan Pamong Graha untuk mengubah pola pengasuhan yang mungkin keliru selama ini. Saya memang tidak dapat membuktikan tentang penilaian saya, yang saya anggap keliru tadi – meskipun dari fenomena PERADILAN diawal tulisan ini – dapat 3
memperkuat penilaian saya. Namun demikian, akan saya buktikan lebih lanjut bahwa metode pengasuhan dalam mengatasi fenomena tindak kekerasan adalah akan lebih efektif apabila dilakukan dengan cara-cara persuasif. Untuk itulah saya berupaya mencari sumber masalahnya. Dari berbagai fenomena yang muncul terkait tindak kekerasan ini, untuk sementara saya simpulkan sebagaimana yang saya sebutkan diatas. Ada kekeliruan dalam pola menanganinya. Untuk itu perlu saya uji. Dalam pertemuan dengan para Wali Graha dan Pamong Graha, saya menyatakan, bahwa dalam menghentikan rantai kekerasan yang telah terbentuk, harus diubah polanya. Bila ditemukan pelanggaran siswa oleh Pamong Graha, tugas Pamong Graha adalah untuk memberikan tindakan disiplin (tindakan polisionil). Setelah Pamong Graha melakukan tindakan disiplin, sudah seharusnya Pamong Graha melaporkannya kepada Wali Graha. Kepada para Wali Graha saya minta agar siswa yang melakukan pelanggaran, “tidak perlu dimarahi apalagi diberi tindakan yang lebih keras”. Tugas Wali Graha selanjutnya dalam bidang pengasuhan seharusnya adalah lebih bersifat persuasif, sebagai upaya pencegahan (preventif) agar siswa tidak mengulanginya. Sebab manakala seorang siswa telah ditegur (dimarahi) dan diberikan tindakan disiplin oleh Pamong Graha sebenarnya sudah cukup. Wali Graha saya minta untuk memanggil siswa tersebut kerumah dinas dan ditanyakan apa yang menjadi penyebab siswa melakukan pelanggaran. Setelah tahu permasalahannya, tugas Wali Graha adalah memberikan solusi yang tepat, Memberikan nasehat tentang akibatakibat yang akan timbul apabila siswa mengulanginya. Disinilah sesungguhnya diharapkan Wali Graha mampu menimbulkan “penyadaran diri” dari siswa tersebut, sehingga dengan kesadaran itulah diharapkan siswa tidak lagi mengulangi dan/atau melakukan bentuk pelanggaran yang lain. Sebab apabila yang dilakukan hal yang sebaliknya, siswa yang melakukan pelanggaran sudah ditegur/dimarahi oleh Pamong Graha, kemudian masalahnya dibawa ke Wali Graha, Wali Graha memarahinya lagi, justru yang terjadi adalah hal yang kontraproduktif. Siswa bukannya menyadari kesalahannya, tetapi justru akan timbul rasa marah, benci dan dendam. Rasa inilah yang menyebabkan terjadinya relasi yang semakin renggang dengan Wali Grahanya. Sehingga apapun yang dikatakan 4
oleh Wali Graha tidak akan didengarkan. Dan yang lebih fatal adalah, apabila ybs memendam rasa dendam kepada Wali Graha, karena takut untuk melawan (karena tahu
sanksinya),
maka
dia
secara
sembunyi-sembunyi
melampiaskan
rasa
kekesalannya (dendamnya kepada adik-adik nya). Karena dilakukan secara sembunyisembunyi maka ybs akan memanggil adiknya yang dinilai melakukan pelanggaran (sekecil) apapun untuk “dikerjain” dan diancam, apabila melaporkan kepada Pamong akan diberi tindakan yang lebih keras. Dan pemanggilan tsb. sering dilakukan pada malam hari menunggu lengahnya pamong jaga. Fenomena seperti inilah kemudian marak terjadi. Disinilah rantai kekerasan mulai semakin panjang dan kokoh. Kekerasan demi kekerasan akan terus bermunculan. Yang terungkap sesungguhnya hanya sebagian kecil, namun mata rantai kekerasan tersebut akan semakin panjang dan kokoh apabila tidak ditangani secara tepat. Oleh karena itulah, pada saat saya mengumpulkan para Wali Graha dan Pamong Graha hal tersebut diatas saya sampaikan. Dan untuk memutus rantai kekerasan itulah saya sampaikan kepada para Wali Graha dan Pamong Graha untuk mengubah pola pendekatan dari hati kehati (kasih), yang menumbuhkan kesadaran siswa yang melakukan pelanggaran agar tidak mengulanginya dan dapat dicegah terjadinya pelanggaran yang lebih berat. Secara eksplisit saya sampaikan, saya tidak melarang para Wali Graha dan Pamong Graha memberikan teguran bahkan tindakan disiplin. Tapi yang perlu diingat, agar teguran yang diberikan sekalipun tegas tapi tidak berarti keras. “Teguran tegas tetapi tetap mengedepankan cara-cara yang simpatik”. Dan apabila terpaksa memberikan tindakan hendaknya tetap proporsional. Namun, bagi siswa yang telah terbukti melakukan tindak kekerasan, tetap dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Urusan Dinas Dalam (PUDD).
5
Pelanggaran-pelanggaran Lain Bermunculan “Fenomena Merokok” Saya menyadari telah melakukan kekeliruan, bahwasanya saya terlalu fokus pada
upaya
membenahi
pelanggaran/
tindak
kekerasan,
dan
mengabaikan
pelanggaran-pelanggaran yang lain. Saya tidak tahu, apakah upaya saya memutus rantai kekerasan sudah berhasil atau belum. Biarlah waktu yang akan membuktikannya. Kemudian muncul fenomena merokok. Saya terkaget-kaget, ketika menerima laporan dari BK adanya fenomena merokok dikalangan siswa. Dari laporan BK tersebut tercatat sekitar 20 siswa kelas XI yang terbukti dan terindikasi melakukan pelanggaran merokok. Ditambah 6 siswa kelas X yang juga merokok. Kembali saya melakukan upaya persuasif dengan mengumpulkan para siswa kelas XI (20 orang) yang merokok. Mereka saya kumpulkan ke Ruang Lab Pimp. Dalam kesempatan ini, sekaligus saya menghadirkan Ka Wali Graha dan Koordinator Wali Graha Kelas XI. Saya memulai pertemuan dengan menyapa mereka dengan ramah. Kemudian saya tanyakan satu per satu, pelanggaran apa saja yang pernah mereka lakukan. Saya berjanji kepada mereka untuk tidak akan mengakumulasikan pelanggaran mereka. Dengan janji yang saya berikan itulah satu persatu mereka membuat pengakuan, Dan saya menemukan fakta yang mengejutkan, bahwa dari para siswa perokok tersebut mengakui terlibat pelanggaran lainya, seperti terlambat apel, bolos kegiatan belajar mengajar (KBM), keluar kampus tanpa ijin dll. Setelah mereka selesai membuat pengakuan, dengan nada lembut sambil tersenyum saya katakan. “Semua pelanggaran lain yang para siswa perokok lakukan tersebut berawal dari pelanggaran merokok. Hal ini saya tegaskan kepada mereka, dengan mempunyai kebiasan merokok yang membuat para pelakunya menjadi kecanduan, maka pada saat kecanduan tersebutlah, tanpa disadari siswa terlibat pelanggaran-pelanggaran lain. Karena keinginan merokok yang tidak tertahankan pada saat jam KBM, siswa timbul keinginan untuk membolos, hanya untuk merokok. Karena 6
keinginan merokok yang tidak tertahankan, maka kala digraha kehabisan rokok, maka timbul keinginan untuk mencari rokok diluar, akhirnya terlibat pelanggaran keluar kampus tanpa ijin”. “Dan yang lebih parah adalah, karena berusaha merokok tanpa ketahuan Pamong Jaga, jam waktunya tidur pura-pura tidur sambil menunggu kelengahan para Pamong Jaga. Akhirnya waktu istirahat menjadi berkurang. Hal inilah yang cenderung berpotensi terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran seperti, tidak ikut olah raga pagi, terlambat bangun yang mengakibatkan terlambat apel”. “Dan akibat yang lebih jauh adalah, siswa perokok karena kurang tidur akan sulit berkonsentrasi pada saat mengikuti proses KBM. Hal ini akan mengakibatkan penurunan prestasi akademis. Dan apabila penurunan prestasi akademis ini berkelanjutan, siswa akan terancam tidak naik kelas, Akhirnya siswa harus meninggalkan SMA Taruna Nusantara”. Disamping itu, juga saya sampaikan akibat-akibat buruk merokok dari sisi kesehatan. Setelah saya berikan pengarahan mereka saya bebaskan dengan catatan apabila masih ditemukan mengulang pelanggaran merokok, akan ditindak secara tegas sesuai ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Kehidupan Siswa (Perdupsis) dan PUDD. Untuk yang kelas X terdapat 6 orang yang saya panggil secara terpisah, tidak bersama-sama abangnya. Hal ini saya maksudkan agar abang-abangnya tidak merasa malu ditegur dimata adik-adiknya. Diakhir pengarahan, saya sampaikan bahwa saya akan memberitahukan hal ini kepada orang tua masing-masing. Awalnya beberapa siswa mohon agar tidak disampaikan kepada orang tuanya, karena takut dimarahi dan dihajar. Namun setelah saya menjamin bahwa orang tua siswa (ortusis) tidak akan melakukan tindak kekerasan merekapun dapat menerimanya. Selanjutnya kepada para ortusis saya berikan info via sms tentang keterlibatan putra-putra mereka melakukan pelanggaran merokok. Saya sampaikan agar para 7
ortusis berkenan untuk bekerjasama melakukan pengawasan kepada putranya terutama pada saat berada dirumah (cuti). Dan saya mohon kepada ortusis untuk tidak memarahi, apalagi melakukan tindak kekerasan, sebab apabila hal itu dilakukan justru akan berdampak kurang baik bagi perkembangan psikologis putra mereka. Selanjutnya kami laporkan bahwa dari 26 orang yang telah saya persuasi, rupanya terdapat 10 siswa yang tertangkap mengulanginya. Dan kemudian kepada 10 orang ini, telah kami proses untuk menerima sanksi sedang, sebagaimana ketentuan yang berlaku..
“Fenomena Pacaran dan Menyontek” Pelanggaran menyontek tidak langsung disampaikan kepada Wakaseksisma. Wakaseksisma mengetahui pada saat Rapat Semester. Selanjutnya saya selaku Wakaseksisma masih tetap menerapkan langkah-langkah persuasif. Kepada para pelanggar menyontek saya tekankan bahwa ini sebagai peringatan keras. Ini sesungguhnya merupakan pelanggaran berat (pelanggaran terhadap Kode Kehormatan Siswa). Dengan pertimbangan bahwa siswa baru pertama kali melakukannya maka pada saat di bawa ke Sidang Dewan Sekolah, kalau siswa berperilaku baik, tidak melakukan pelanggaran, serta mampu berprestasi, maka saya yang akan menyarankan agar siswa tidak langsung dikenakan sanksi berat. Paling tinggi akan dikenakan sanksi berat bersyarat. Dengan catatan syaratnya benar-benar terpenuhi, sebagaimama yang saya sebutkan diatas. Adapun salah seorang siswa menyontek, akhirnya dikembalikan kepada ortusis, karena persyaratannya tidak terpenuhi. Ybs melakukan pelanggaran lain yaitu terlibat pacaran. Dan pada saat di BAP ybs tidak ada kesan merasa bersalah, sehingga disimpulkan ybs tidak dapat dibina di SMA Taruna Nusantara lebih lanjut. Salah seorang siswa lain yang terlibat menyontek juga dikembalikan pembinaannya kepada ortusis karena terakumulasi berbagai pelanggaran lainnya.
8
Sementara terhadap fenomena pacaran, dari proses BAP antara lain ditemukan penyebabnya adalah bermula dari pelanggaran penggunan smartphone. Oleh karena itulah, saya selaku Wakaseksisma sependapat dengan apa yang disampaikan oleh salah seorang pengurus LPTTN, bagi para ortusis angkatan ke-27 seyogianya diminta kerjasama dan pengertiannya, setelah masa Pendidikan Dasar Kedisiplinan dan Kepemimpinan (PDK) agar membekalkan kepada putra-putri mereka dengan HP low end, yang hanya dapat digunakan untuk sms dan tilpon.
Tujuan Pemberian Sanksi Sekolah SMA Taruna Nusantara adalah “Lembaga Pendidikan, bukan Lembaga Peradilan”.
Terkait hal tersebut diatas, saya berpendapat bahwa tujuan
penjatuhan sanksi kepada para siswa sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran. Dari pembelajaran inilah diharapkan ada kesadaran dan keiklasan siswa dalam menjalani sanksi sehingga timbul komitment pribadi untuk tidak melakukan pelanggaran lagi dalam bentuk apapun. Sementara itu, tujuan pendidikan adalah antara lain untuk memberikan pembekalan ilmu pengatahuan dan wawasan seluas mungkin kepada peserta didik. Oleh karena itu, bagi siswa yang terkena sanksi, seyogianya tidak dikungkung pada sanksi tersebut. Untuk itu, apabila ada kegiatan-kegiatan yang memang penting yang selaras dengan tujuan pendidikan tersebut, tidak ada salahnya siswa tetap diberikan keleluasaan. Misalnya ikut Bimbel (yang dalam hal ini biayanya cukup mahal), ikut program-program yang memang secara resmi difasilitasi oleh sekolah seperti latihan TOEFL dan berbagai bentuk kegiatan yang sejenis. Termasuk yang menyangkut kepentingan keluarga yang memang dinilai mendesak. Hendaknya tetap dapat diakomodasi, dengan catatan sanksi yang terlewatkan dapat digantikan pada kesempatan berikutmya. Karena masalah keluarga terkait erat untuk menjaga emosi siswa agar tetap kondusif. Yang pada gilirannya akan berpengaruh pada prestasi akademiknya. Jadi hendaknya dalam menerapkan sanksi
9
sebaiknya tidak secara hitam-putih, namun tetap megakomodasi kepentingan yang lebih utama, yaitu mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesimpulan Untuk meminimalisasi berbagai bentuk pelanggaran siswa, perlu relasi yang baik antara siswa dengan pamong, dan juga diperlukan kepedulian para pamong dengan lebih mendekatkan diri pada para siswa. Untuk itu, saya selaku Wakaseksisma telah memberikan arahan khusus kepada para Pamong Graha (baik putra maupun putri) yang lebih banyak berinteraksi dengan para siswa di Graha. Agar mereka melakukan pendekatan secara lebih berkualitas. Persering kunjungan ke Graha yang menjadi ampuannya, khususnya pada saat sedang melaksanakan tugas jaga graha. Pada saat kunjungan ke graha ampuannya hendaknya ditujukan untuk mengakomodasi
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
para
siswa,
selanjutnya
memberikan solusi secara tepat. Dengan demikian, para siswa memperoleh rasa nyaman/ lega, karena apa yang menjadi masalah didengar oleh Pamong dan diberikan solusinya. Namun apabila memang ditemukan ada hal-hal yang tidak sesuai, tetap diberi teguran dengan cara simpatik. Apalagi yang terkait dengan kerapian dan kebersihan kamar grahanya. Jadi paradigma para pamong hendaknya diubah, Kunjungan ke Graha bukan untuk mencari-cari kesalahan siswa, tapi yang paling utama adalah untuk mengakomodasi permasalahan siswa dan memberikan solusinya secara tepat. Demikian laporan ini sebagai bentuk pertanggung-jawaban kami. Laporan ini sengaja saya tulis dalam format essay dengan tujuan untuk langsung kepokok permasalahan. Kami sadar sebagai manusia dengan segala kelemahannya. Untuk itu dengan tulus kami mohon maaf atas segala tutur kata dan tingkah laku kami selama menjalankan amanah sebagai Wakaseksisma. Dan walaubagaimanapun, kami tetap memberikan penghargaan dan terima kasih atas kesempatan yang kami peroleh dalam tugas pengasuhan di SMA Taruna Nusantara. 10
Terakhir, bila berkenan hendaknya tulisan ini dapat disampaikan kepada pengganti kami. Sehingga beliau dalam memegang amanah jabatan selaku Wakaseksisma tidak memulainya dari NOL. Dengan demikian, beliau tinggal melakukan adjustment seperlunya dan dapat langsung running well.
Jakarta, 7 Agustus 2016 Salam hormat kami,
Ir. Martinus Siswanto Prajogo., M.Si. Kolonel Cpl (Purn).
Yth.
1. Ka LPTTN. 2. Kepala SMA Taruna Nusantara.
*) Laporan Pertanggung-Jawaban Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan dan Asrama (Wakaseksisma) SMA Taruna Nusantara Periode Desember 2015 – Agustus 2016.
11