MENINGKATKAN PENGEMBANGAN RANAH AFEKTIF SISWA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) KELAS III DI SD NEGERI SUKOSEWU KEC. SUKOSEWU KAB. BOJONEGORO Ridlwan GuruSDN SukosewuKec. Sukosewu Kab. Bojonegoro Email :
[email protected]
Abstrak: Berbagai fenomena normative yang menyimpang, seperti keterlibatan peserta didik dalam penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar, terlibat dalam pornografi dan pornoaksi serta permasalahan dekadensi moral lainnya, bisa dianggap sebagai konsekwensi kegagalan pendidikan agama.Hal ini karena Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam.Salah satu sebab kegagalan Pendidikan Agama Islam, adalah karena praktik pendidikan di sekolah hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan psikomotorik. Untuk itu, dalam rangka memberikan solusi alternatifnya, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam justru harus dikembangkan kearah proses internalisasi nilai (afektif) yang dibarengi dengan aspek kognisi, sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran agama dan nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotorik).Penelitian tindakan ini bertujuan untuk mengetahui metode yang diterapkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan afektif siswa dalam pembelajaran pendidikan agama Islam di SDN Sukosewu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang diterapkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SDN Sukosewu meningkat.Dalam aplikasinya, sebelum pelajaran dimulai siswa berdo’a terlebih dahulu, siswa mengikuti jamaah shalat jumat di masjid sekolah.Adapun siswi meresum buku yang bernafaskan Islam. Kata Kunci: Pembelajaran, Pendidikan Agama Islam, Afektif
Mengingat betapa pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam mewujudkan harapan setiap orang tua, masyarakat, dan membantu terwujudnya tujuan pendidikan nasional, Pendidikan Agama Islam harus diberikan dan dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya. Sejak dulu masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks, hampir disetiap negara di dunia terjadi perdebatan tajam tentang apa yang seharusnya diajarkan dan bagaimana metode yang dikembangkan di sekolah. Dalam rangka mengantisipasi berbagai persoalan itulah, pembelajaran pendidikan agama di sekolah harus menunjukkan kontribusinya.Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pendidikan agama di sekolah dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Dengan demikian kompetensi Pendidikan Agama Islam direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dalam kehidupan sehingga memungkinkan seseorang menjadi kompeten, atau dalam pengertian lain tidak hanya guru yang dituntut kompeten tetapi siswa juga harus dapat mengamalkan ajaran Islam. Demikian ini dikarenakan Pendidikan Agama Islam lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minimnya dalam pembentukan sikap (afektif). Adapun setiap materi yang diajarkan kepada peserta didik mengandung nilai-nilai yang terkait dengan perilaku kehidupan sehari-hari, seperti materi akhlak, dan untuk aspek akhlak ini selain dikaji masalah yang bersangkutan dengan aspek pengetahuan, aspek fungsionalnya diutamakan pada aspek 44
Ridlwan,Meningkatkan Pengembangan Ranah Afektif Siswa Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas III Di SD Negeri Sukosewu Sukosewu Bojonegoro| 45
sikap, sehingga kelak siswa mampu bersikap sebagai seorang muslim yang berakhlak mulia. Kemudian nilai-nilai afektif inilah yang ada dalam materi akhlak dan harus tertanamkan pada peserta didik dalam Pendidikan Agama. Harun Nasutian mengatakan, “Pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh trend barat, yang lebih mengutamakan pengaturan dari pada pendidikan moral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral”. Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah bagaimana meningkatkan pengembangan ranah afektif siswa dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas III di SD Negeri Sukosewu Bojonegoro. Dalam hal ini peneliti ingin meneliti bagaimana upaya pendidik dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam proses pengembangan afektif siswa yang difokuskan kepada SD Negeri Sukosewu, yang merupakan lembaga pendidikan yang representatif untuk dijadikan penelitian, sehingga dapat dijadikan suatu contoh bagi lembaga lainnya. KAJIAN PUSTAKA Dalam belajar yang terlibat bukan hanya kegiatan fisik, tetapi diikuti oleh proses mental, kegiatan fisik mempunyai arti penting dalam kegiatan belajar, sisi ini tidak hanya sebagai penopang kegiatan belajar, tetapi juga berperan untuk mendapatkan keterampilanketerampilan tertentu. Pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung masih berorietasi pada pembelajaran kognitif. Padahal, pembelajaran PAI justru harus dikembangkan kearah proses internalisasi nilai (afektif) yang dibarengi dengan aspek kognisi, sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilainilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotorik). Adapun dampak positif kecakapan ranah afektif ialah dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas dan lugas sesuai
dengan tuntutan ajaran agama yang telah ia pahami dan yakini secara mendalam. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pembelajaran yang cocok untuk mengembangkan pembelajaran afektif, khususnya dalam PAI, Noeng Muhadjir, memberikan beberapa srategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai, yaitu: (1) strategi tradisional, (2) strategi bebas, (3) strategi reflektif dan (4) strategi transinternal. Pertama, pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi tradisional, yaitu strategi yang ditempuh dengan jalan memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan yang kurang baik.Dengan strategi ini guru memiliki peran yang sangat menentukan. Penerapan strategi tersebut akan menjadikan peserta didik hanya mengetahui atau menghafal jenis-jenis nilai tertentu yang baik dan kurang baik, dan belum tentu melaksanakannya. Kedua, pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi bebas, yaitu guru tidak memberitahukan kepada peserta didik mengenai nilai yang baik dan buruk, tetapi peserta didik diberi kebebasan untuk menentukan nilai yang akan dipilihnya karena nilai yang baik belum tentu baik dengan peserta didik itu sendiri, dalam hal ini peserta didik memegang peranan yang sama dengan guru, karena guru dan peserta didik samasama terlibat secara aktif. Ketiga, pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi reflektif, adalah dengan jalan mondar mandir antara menggunakan pendekatan deduktif dan induktif, maksudnya membelajarkan nilai dengan jalan mondar mandir antara memberikan konsep secara umum tentang nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam kasus kehidupan seharihari. Menurut Chabib Thaha, strategi reflektif lebih relevan dengan tuntutan perkembangan berpikir peserta didik dan tujuan pembelajaran nilai untuk menumbuh kembangkan kesadaran rasional dan keluwesan wawasan terhadap nilai tersebut. Keempat, pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi transinternal, merupakan cara untuk membelajarkan nilai
46 | Jurnal KaryaPendidikan Volume 2, Nomor 3, Juni 2016 hlm 44-51
dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi dan transinternalisasi. Guru dan peserta didik sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif, yang melibatkan komunikasi verbal dan fisik serta batin (kepribadian) antara keduanya. Kualitas hasil perkembangan pembelajaran siswa bergantung pada kualitas proses belajar siswa, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun lingkungan masyarakat, dengan demikian proses belajar juga menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku yang selaras dengan norma agama, norma hukum, dan norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian pentingnya perkembangan ranah afektif sangatlah berpengaruh terhadap pembelajaran PAI karena PAI tidak hanya cukup menyentuh ranah kognitif saja tetapi afektif dan psikomotorik. Jadi dengan adanya kurukulum berbasis kompetensi yang ada sekarang sangatlah baik terhadap perkembangan PAI. Ini telah dibuktikan bahwa dalam pembelajaran PAI yang hanya sekedar mengembangkan ranah kognitif, hasilnya nihil (kosong), karena pembelajaran PAI bukan sekedar mengajarkan pengetahuan saja, tetapi nilai dan perbuatan sehari-hari yang harus dilakukan orang muslim, dan ini sangat cocok terhadap KTSP (kurikulum berbasis kompetensi) yang menjadi kurikulum sekarang yang sangat mendukung dalam pembelajaran PAI. Sesungguhnya kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan kompetensi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh anak didik, karena KTSP diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) peserta didik. Menurut Sunarto dalam kehidupan ada dua proses yang beroperasi secara kontinum, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara saling bergantung satu sama lain. Keduanya tidak
dapat dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi bisa dibedakan untuk maksud lebih memperjelas penggunaannya. Pertumbuhan berarti tahapan meningkatkan sesuatu dalam hal jumlah, ukuran dan arti pentingnya. Dalam pengertian lain pertumbuhan berarti perubahan kuantitatif yang mengacu pada jumlah, besar dan luas yang bersifat konkret dan penambahan ukuran yang berangsur-angsur, seperti badan yang menjadi besar dan tegap, kaki dan tangan semakin panjang. Sedangkan perkembangan adalah proses tahapan pertumbuhan kearah yang lebih maju. Dalam pengertian lain, perkembangan adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia kearah yang lebih maju dan sempurna. Allah berfirman dalam surat AlMukmin ayat 67 yang artinya “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami berbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (Nya)”. Dengan demikian proses pertumbuhan dan perkembangan, berjalan beriringan sesuai dengan bertambahnya usia manusia, namun perkembangan akan berlanjut terus hingga manusia mengakhiri hayatnya. Sedangkan pertumbuhan terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik. Artinya orang tak akan bertambah tinggi atau besar jika batas pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat kematangan. J. Peaget dan L. Kohlberg, telah membagi tahap perkembangan nilai moral seseorang kedalam empat tahap, yaitu: tahap pertama: usia 0-3 tahun (pra moral). Tahap kedua: usia 3-6 tahun (tahap egosentris). Tahap ketiga: usia 7-12 tahun (tahap heteronom) atau disebut juga fase usia baligh.
Ridlwan,Meningkatkan Pengembangan Ranah Afektif Siswa Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas III Di SD Negeri Sukosewu Sukosewu Bojonegoro| 47
Tahap keempat: usia 12-17 tahun (tahap otonom) atau fase pubertas. Anak usia SD tergolong pada fase pubertas (tahap keempat) yaitu antara usia 710 tahun, dan fase ini ditandai dengan terjadinya perubahan pada diri anak. Perubahan fisik ditandai dengan mulai nampak sifat kelaki-lakiannya pada anak lakilaki dan kewanitaan pada diri anak perempuan. Tubuhnya mulai kelihatan besar dan ia mulai berjalan menuju rambu-rambu kesempurnaan dan kematangan diri. Perubahan psikis ditandai dengan mulai jelas kepribadian anak, baik laki-laki maupun perempuan, anak mulai kelihatan mandiri, siap menerima segala resiko berat, berbangga diri terhadap apa yang dimiliki. Bahkan, ia merasa dirinya paling cakep, paling mempesona, paling luas wawasannya, paling hebat cara berfikirnya, paling baik perilakunya, paling benar pendapatnya dibandingkan orang lain. Pada fase ini seseorang mulai mengerti nilai-nilai dan mulai memakainya dengan caranya sendiri. Moralitasnya ditandai dengan kooperatif, interaksi dengan teman sebaya, diskusi, kritik diri, rasa persamaan, dan menghormati orang lain merupakan faktor utama dalam tahap ini. Dalam tahap ini ada dua potensi yang masing-masing dapat mendatangkan kebaikan dan sekaligus keburukan. Artinya, jika pada fase pubertas ini anak diarahkan dengan pengarahan yang baik dan benar, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Namun sebaliknya, jika ia dibiarkan begitu saja tanpa diarahkan, dibimbing dan dibina secara baik, maka ia akan mendapat kesengsaraan di dunia dan akhirat. Fase ini merupakan tahap membina perilaku karena pada tahap ini merupakan masa peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya yang selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan, yang kadang-kadang berakibat sangat fatal. Seiring dengan meningkatnya umur anak, maka cara berpikir anak pun semakin berkembang disertai kedewasaan. Hal ini menunjukkan dengan bertambahnya usia, persoalan juga bertambah rumit, kemudian
kedewasaan berpikir dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam konteks bahasa arab , ada beberapa istilah yang dapat digunakan dalam pengertian pendidikan , di antaranya adalah kata “ta’lim” () ٌ تَ ْعلِيم, tarbiyah ( ) تَرْ بِيَةdan kata “ta’dib” ( ) تَأْ ِديْب. Ta’lim berasal dari bahasa arab yang berarti pengajaran, dengan kata kerja “alama” yang mengandung pengertian sekedar memberitahu atau memberi pengetahuan. Tidak mengandung arti membina kepribadian.Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 31 yang artinya ”Dan Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman “sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”. Sedangkan ta’dib berasal dari bahasa arab yang berarti pendidikan, yaitu merupakan usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam penyampaian seruan agama dengan berdakwah menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan, berbuat, memberi motivasi, dan menciptakan lingkungan sosial dan mendukung terhadap pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim. Hal ini sebagaimana hadist Nabi Saw. Yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Anas ra, ”Barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu, maka ia telah berjuang dijalan Allah”. Menurut kurikulum PAI, Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan upaya-upaya mempersiapkan setiap individu agar terbentuk suatu kehidupan yang sempurna dan menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
48 | Jurnal KaryaPendidikan Volume 2, Nomor 3, Juni 2016 hlm 44-51
METODE PENELITIAN Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro, yang merupakan tempat bertugas peneliti.SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.Kondisi bangunan SDN Sukosewu masuk dalam kategori sedang dengan fasilitas sedang.SDN Sukosewu terletak di Desa Sukosewu dengan penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anaknya masih sangat rendah. Subyek penelitian adalah siswa kelas III SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro yang berjumlah 9 siswa, 5 laki-laki dan 4 perempuan.Karakteristik siswa kelas III beragam baik dari segi sifat maupun kemampuan intelegensinya. Waktu penelitian adalah waktu yang diperlukan peneliti selama kegiatan penelitian.Waktu yang digunakan untuk penelitian adalah pada bulan Maret semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016. Prosedur Penelitian Penelitian tindakan kelas untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu:1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan; 3) Pengumpulan Data; 4) Refleksi.
mengamati proses pembelajaran. Tugas dari teman sejawat ini yaitu mengamati dan mencatat kekurangan yang ada selama proses pembelajaran dengan subyek peneliti dan obyek siswa kelas III SDN Sukosewu. Peneliti bersama teman sejawat melakukan pengumpulan data proses dan hasil belajar, untuk selanjutnya diolah, dianalisis, dan diinterpretasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah1)Tes evaluasi akhir pembelajaran, 2)Lembar pengamatan saat pembelajaran, 3) Angket respon siswa. Tahap refleksi penulis bersama teman sejawat melakukan aktivitas terhadap hasilhasil yang telah dicapai, kendala dan dampak perbaikan pembelajaran terhadap guru dan siswa pada siklus I. Hasil refleksi ini selanjutnya peneliti bersama teman sejawat digunakan sebagai dasar bagi upaya perbaikan pembelajaran pada siklus II. Refleksi dilakukan berdasarkan data yang diperoleh penulis bersama teman sejawat dari catatancatatan hasil observasi, hasil evaluasi dalam proses dan akhir perbaikan pembelajaran. Hasil refleksi ini selanjutnya penulis bersama teman sejawat menggunakannya sebagai dasar bagi perbaikan pada siklus II. HASIL PENELITIAN Siklus I Dari hasil perbaikan pembelajaran siklus I, diperoleh data hasil tes akhir siswa sebagai berikut : Tabel 1.Hasil Tes Akhir Siklus I :
Proses perSiklus Tahap perencanaan siklus I diawali dengan refleksi dan analisis bersama antara peneliti dan teman sejawat terhadap hasil belajar siswa, mengidentifikasi masalah, menganalisa masalah dan mencari alternatif pemecahan masalah. Hal yang dilakukan seperti menyusun Rencana Perbaikan Pembelajaran (RPP) siklus I, menyiapkan bahan ajar, lembar kerja siswa (LKS), menyiapkan instrument pengumpulan data. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini diamati oleh teman sejawat yang bersedia
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9
Nama siswa M. Nashoibul I A. Rifa’i D. Sujiati Rahayu Ayu Dwi Lestari M. Ibnu Ilham S. M. Khoirul Widya Ayu N. Siti Anur W. Putri Ananta Rata - rata
Tuntas : 6 siswa Belum tuntas : 3 siswa
Nilai
Kriteria
80 80 60 70 50 70 80 60 70 68,75
Tuntas Tuntas Belum Tuntas Tuntas Belum Tuntas Tuntas Tuntas Belum Tuntas Tuntas
Ridlwan,Meningkatkan Pengembangan Ranah Afektif Siswa Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas III Di SD Negeri Sukosewu Sukosewu Bojonegoro| 49
Dari tabel 1 di atas dapat dijelaskan bahwa nilai tertinggi yang dicapai siswa 80 (3 siswa),terendah adalah 50 (1 siswa), dan ratarata kelas adalah 68,75 dengan batas ketuntasan minimal 65. pembelajaran metode yang diterapkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah 6 siswa dinyatakan tuntas dan 3 siswa belum tuntas.. Tingkat ketuntasan belajar siswa kelas III SDN Sukosewu sebesar 62,5%. Tingkat ketuntasan belajar siswa masih rendah, sehingga perlu dilaksanakan siklus II untuk meningkatkan ketuntasan belajar. Berikut hasil pengamatan pembelajaran menggunakan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.Dalam pengamatan/penilaian bahwa pelaksanaan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, baru mencapai 7 aspek yang dilakukan atau baru 70%.Dari semua aspek pembelajaran menggunakan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam diatas, ada beberapa aspek yang belum muncul. Hasil pengamatan di atas didukung oleh hasil respon siswa terhadap perbaikan pembelajaran, khususnya tentang penggunaan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang memberikan respon kurang baik atau tidak senang (19,3%). Respon siswa terhadap pembelajaran siklus I kurang aktif dan kurangnya penguasaan siswa terhadap materi. Masih terdapat 19,3 % yang menunjukkan sikap “ kurang senang “ dan “ kurang berminat “ mengikuti pembelajaran pada siklus I. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut: 1. Motivasi yang diberikan guru terhadap siswa masih rendah. 2. Guru tidak memberikan umpan balik. 3. Pengelolaan waktu tidak sesuai dengan alokasi waktu pada RPP.
Siklus II Dari hasil perbaikan pembelajaran siklus II, diperoleh data hasil tes akhir siswa sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Tes Akhir Siklus II : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9
Nama siswa M. Nashoibul I A. Rifa’i D. Sujiati Rahayu Ayu Dwi Lestari M. Ibnu Ilham S. M. Khoirul Widya Ayu N. Siti Anur W. Putri Ananta Rata - rata
Nilai
Kriteria
100 80 70 80 60 70 100 70 75 78,75
Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas
Tuntas : 8 siswa Belum tuntas : 1 siswa Dari tabel 2 di atas dapat dijelaskan bahwa nilai tertinggi yang dicapai siswa 100 (1 siswa),terendah adalah 60 (1 siswa), dan rata-rata kelas adalah 78,75. Hasil dalam pembelajaran yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah 8 siswa dinyatakan tuntas dan hanya 1 siswa belum tuntas. Tingkat ketuntasan belajar siswa kelas III SDN Sukosewu sebesar 87,5%. Tingkat ketuntasan belajar siswa mencapai hasil yang sangat memuaskan, sehingga tidak perlu dilaksanakan perbaikan pembelajaran siklus III. Hasil pengamatan pembelajaran menggunakan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.Pelaksanaan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, mencapai 10 aspek yang dilakukan sehingga mencapai 100%.Temuan ini didukung oleh hasil respon siswa terhadap perbaikan pembelajaran. Hampir seluruh siswa (94,4%) menyatakan bahwa sikap siswa dan keikutsertaan mereka dalam pembelajaran “menyenangkan” dan “berminat” mengikuti kegiatan belajar. Respon siswa terhadap
50 | Jurnal KaryaPendidikan Volume 2, Nomor 3, Juni 2016 hlm 44-51
perbaikan pembelajaran ini meningkat dari 80,7% pada siklus I menjadi 94,4% pada siklus II, atau terjadi peningkatan sebesar 13,7 %. Pada siklus II guru telah menerapkan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan baik.Dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan pembelajaran sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan hal yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan pembelajaran selanjutnya penerapan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat memperbaiki proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Pembahasan Siklus I Dari hasil Tes Akhir saat pembelajaran metode mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengalami peningkatan. Pada siklus I ratarata kelas 68,75. Pembelajaran metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah 6 siswa dinyatakan tuntas dan 3 siswa belum tuntas. Tingkat ketuntasan belajar siswa kelas III SDN Sukosewu sebesar 62,5%. Dalam pengamatan/penilaian menunjukkan bahwa pelaksanaan metode yang diterapkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam baru mencapai 8 aspek yang dilakukan atau baru 70%. Hasil angket respon siswa juga menunjukkan masih terdapat 19,3% yang menunjukkan sikap “kurang senang” dan “kurang berminat” mengikuti pembelajaran” pada siklus I. Ini disebabkan karena motivasi yang diberikan guru terhadap siswa masih rendah, guru tidak memberikan umpan balik, dan pengelolaan waktu tidak sesuai dengan alokasi waktu pada RPP.
Siklus II Dari hasil Tes Akhir saat pembelajaran metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengalami peningkatan. Pada siklus II rata-rata kelas 78,75. Pembelajaran metode yang diterapkan guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah 8 siswa dinyatakan tuntas atau 1 siswa belum tuntas. Tingkat ketuntasan belajar siswa kelas III SDN Sukosewu sebesar 87,5 %. Dari hasil pengamatan pembelajaran mengalami peningkatan dari hanya 7 aspek atau 70% pada siklus I meningkat menjadi 10 aspek atau 100% pada siklus II.Pada siklus II.ini juga didukung oleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang sangat positif. Dengan semakin aktifnya siswa dan semakin meningkatnya penguasaan siswa terhadap materi. Hasil angket respon siswa menunjukkan bahwa 94,4 % menyatakan “sangat senang” dan “sangat berminat” mengikuti pembelajaran. Dari hasil ini, metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat meningkatkan ketuntasan belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada kelas III SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang paling dominan adalah bekerja dengan mendemontrasikan, dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dapat dikategorikan aktif. Sedangkan untuk aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langahlangkah pembelajaran yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan baik.Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul di antaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam kegiatan unjuk kerja, menjelaskan/melatih, memberi umpan
Ridlwan,Meningkatkan Pengembangan Ranah Afektif Siswa Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas III Di SD Negeri Sukosewu Sukosewu Bojonegoro| 51
balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktivitas di atas cukup besar. KESIMPULAN Kegiatan perbaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama 2 siklus ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan Pokok Bahasan Membaca ayat-ayat Alquran Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kelas III SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro menggunakan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa indikatornya kemampuan siswa meningkat dalam menyampaikan pendapat, kemampuan tanya jawab, serta motivasi dan aktivitas siswa. 2. Penerapan metode yang diterapkan untuk mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat meningkatkan pemahaman siswa pokok bahasan Membaca ayat-ayat Alquran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas III SDN Sukosewu Kecamatan Sukosewu Kab. Bojonegoro , hal ini terbukti dari hasil penilaian saat pembelajaran metode untuk
mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengalami peningkatan. Pada siklus I ratarata kelas 68,75, tetapi pada siklus II ratarata kelas meningkat menjadi 78,75.Ketuntasan belajar siswa juga meningkat dari 62,5% pada siklus I menjadi 87,5% pada siklus II. Dari hasil pengamatan pembelajaran mengalami peningkatan dari hanya 7 aspek atau 70% pada siklus I meningkat menjadi 10 aspek atau 100% pada siklus II. Saran Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka hendaknya : 1. Guru menerapkan model pembelajaran mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan perencanaan yang matang, dan melaksanakan yang cermat dan konsisten agar kegiatan pembelajaran berjalan lancar. 2. Dalam penggunaan metode yang mengembangkan ranah afektif siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam guru harus mempunyai management waktu dengan baik, agar target kurikulum biasa tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bakry, Noor Ms. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta. Ekawarna. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada (GP Press). Hasibuan JJ dan Sulthoni. 2004. Kemampuan Dasar Mengajar. Departemen PendidikanSyaiful, Bachri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Berinteraksi Edukatif. Jakarta : PT Rineka Cipta Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.