1 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
MENINGKATKAN KOSAKATA BAHASA SUNDA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MULTISENSORI MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL Rika Annisa, Etty Rohayati1 Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi dengan permasalahan yang ada di dalam kelas sehubungan dengan kosakata bahasa Sunda anak, dirasa pembelajarannya yang masih kurang variatif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 14 orang anak. Penelitian dilaksanakan di TK Guna Tria Putra yang berada di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Penelitian bertujuan untuk (1) menggambarkan aktivitas anak dalam meningkatkan kosakata bahasa Sunda dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional, (2) menganalisis hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak setelah menggunakan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional. Desain penelitian yang digunakan adalah desain Penelitian Tindakan Kelas model Elliot. Dilaksanakan dalam tiga siklus, setiap siklus terdiri dari tiga tindakan. Instrumen yang digunakan adalah instrumen penilaian performa proses, instrumen penilaian performa hasil, catatan lapangan, pedoman observasi terhadap aktivitas guru, pedoman observasi terhadap aktivitas anak, dan dokumentasi berbentuk foto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa. (1) aktivitas anak dalam meningkatkan kosakata bahasa Sunda dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dilaksanakan dalam tiga jenis permainan yakni permainan sondah, tetemute, dan permainan anjang-anjangan dengan melibatkan beragam stimulasi Indera. Cara dan aturan permainan dimodifikasi untuk meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. Rata-rata performa aktivitas mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Indikator pertama, anak dapat memahami aturan permainan pada siklus I yaitu 82 %, siklus II sebesar 88%, dan siklus III 96 %. Indikator kedua, anak dapat menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda, juga mengalami peningkatan. Pada siklus I sebesar 54%, pada siklus II sebesar 67%, dan pada siklus III sebesar 81%. (2) Kemampuan kosakata bahasa Sunda anak mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari rata-rata indikator anak dapat menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda dengan tepat siklus I sebesar 83%, siklus II 90 %, dan siklus III 93%. Berdasarkan data yang telah diperoleh, penelitian ini direkomendasikan untuk menjadi pilihan model pembelajaran yang dapat digunakan dalam meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. Kata kunci: Bahasa Sunda, Kosakata, Multisensori, Permainan tradisional
1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 2 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional
INCREASING SUNDANESE VOCABULARY WITH MULTISENSORY LEARNING MODEL THROUGH TRADITIONAL GAMES Rika Annisa, Etty Rohayati1 Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRACT The background of this research is the problem in children’s sundanese vocabulary that have less variation in the learning process. Participants in this study were 14 children. The research was conducted in Guna Tria Putra kindergarten residing in Gedebage, Bandung. The aims of the research are to (1) describe the activities of children in increasing Sundanese vocabulary with multisensory learning model through traditional games, (2) analyzing the results of the Sundanese vocabulary skills of children after using multisensory learning model through traditional games. The method of this research is classroom action research with Elliot models. Elliot models conducted in three cycles, each cycle consisting of three actions. The instrument used is the instrument of performance appraisal process, the results of the performance assessment instruments, field notes, observation of teacher activity guidelines, observation guidelines for children's activities, and documentation in the form of photos. The results showed that (1) Children’s activity in increasing Sundanese vocabulary with multisensory learning model through traditional games conducted in three types of games. There are the sondah, tetemute, and anjanganjangan to involve a variety of sense stimulation. Rules of the game are modified to increase children's Sundanese vocabulary. The average performance of the activity has increased in each cycle. The first indicator, the child can understand the rules of the game in the first cycle is 82%, the second cycle is 88%, and the third cycle is 96%. The second indicator, the child can mention vocabulary in Sundanese is also increased. In the first cycle is 54%, in the second cycle is 67%, and the third cycle is 81%. (2) The ability of the child’s Sundanese vocabulary has increased. This is seen from the average indicator of the child that can be mentioned Sundanese vocabulary appropriately in the first cycle is 83%, the second cycle is 90%, and the third cycle is 93%. Based on the data that has been obtained, the study recommended to be the choice of learning model that can be used in increasing children's Sundanese vocabulary. Keywords: Multisensory, Sundanese, Traditional games, Vocabulary
1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
3 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
Pada masa usia dini, dapat dikatakan sebagai periode kritis perkembangan bahasa pada anak. Periode kritis perkembangan bahasa adalah saat pembelajaran bahasa mudah dilakukan, dan apabila anak difasilitasi perkembangan bahasanya pada masa sebelum berusia enam tahun akan menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan bahasa anak selanjutnya. Sebaliknya, apabila anak kurang mendapatkan stimulasi berbahasa pada masa usia dini, anak akan mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan individu. Tidak ada satupun kegiatan yang dilakukan oleh individu luput dari kegiatan berbahasa, termasuk dalam kehidupan seorang anak. Dengan bahasa, anak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang lain, anak dapat menjalin komunikasi dengan orang lain, dan dengan bahasa pula mereka akan mempergunakannya sebagai alat untuk hidup bersama dengan orang lain disekitarnya. Lebih dari itu, bahasa adalah ciri atau identitas masyarakat penggunanya. Secara berturut-tutut kemampuan bahasa yang diperoleh oleh anak adalah kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Kemampuan bahasa yang lebih dulu diperoleh oleh anak adalah kemampuan bahasa ibu berhubungan dengan kemampuan mendengar dan berbicara. Dua kemampuan tersebut merupakan dasar dalam kemampuan membaca dan menulis. Senda dengan penelitian klasik Logan dkk (1972) yang menemukan bahwa anak yang kemampuan dasar bahasanya tinggi, memiliki kemampuan membaca yang tinggi dan anak yang kemampuan dasar bahasanya rendah, maka kemampuan membacanya pun rendah. Dengan demikian, kemampuan dasar bahasa harus mampu dikuasai oleh anak. Bukan saja pada kemampuan bahasa Indonesia, namun termasuk pula pada 1 penulis penanggung jawab 2 penulis penanggung jawab
kemampuan bahasa daerah perlu dikuasai oleh anak. Berdasarkan urutan pemerolehannya, bahasa yang pertama kali diperoleh merupakan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial tempat anak berada yang sering disebut sebagai bahasa ibu. Bangsa Indonesia mengenal dan memiliki ragam bahasa di setiap daerah. Bahasa sunda berkedudukan sebagai bahasa ibu di wilayah Jawa Barat. Saat ini, Pemerintah Daerah sudah memberikan perhatian yang besar terhadap pelestarian budaya lokal, khususnya di Wilayah Bandung demi tetap terjaganya kebudayaan asli dari tanah air. Hal ini berdampak sampai pada lembaga sekolah PAUD untuk ikut berperan serta dalam melestarikan budaya lokal. Pelestarian budaya lokal di realisasikan mulai dari digunakannya pakaian khas sunda, sampai pada himbauan penggunaan bahasa sunda, yang dikenal dengan istilah “Rebo Nyunda”. Ini tercermin dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan setiap hari Rabu warga Kota Bandung diharuskan berkomunikasi dalam Bahasa Sunda. Atas dasar itu, Lembaga Taman Kanak-Kanak sebagai salah satu lembaga PAUD sangat diharapkan mampu memfasilitasi perkembangan bahasa Sunda anak. Dalam standar pendidikan anak usia dini yang tercantum dalam PERMENDIKNAS 2009 tingkat pencapaian perkembangan anak berusia 5-6 tahun lingkup perkembangan bahasa, yaitu anak diharapkan sudah mampu memiliki perbendaharaan kata. Agar perbendaharaan kata anak dapat berkembang, kosakata anak harus selalu ditambah. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti di TK Tria Guna Putra, telah terlihat upaya guru dalam memfasilitasi kemampuan kosakata bahasa Sunda. Metode yang digunakan diantaranya adalah metode bernyanyi dan terjemahan. Metode bernyanyi dilaksanakan setiap hari Rabu. Namun
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 4 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional sayangnya, nyanyian yang diberikan pada setiap minggunya adalah nyanyian dengan judul yang sama sehingga membuat kosakata anak kurang berkembang menjadi lebih variatif. Anak-anak seringkali kurang memperhatikan dan asyik mengobrol saat kegiatan bernyanyi dilaksanakan. Selain itu, kosakata yang ada dalam lirik nyanyian kurang sesuai dengan tema pembelajaran yang disampaikan pada saat itu. Metode terjemahan yang digunakan pada kegiatan intipun kurang membuat anak antusias untuk mengikuti kegiatan, dan pada saat kegiatan kurang dibarengi dengan penyediaan media pembelajaran. Berdasarkan data prapenelitian yang dilakukan, bahasa Indonesia masih mendominasi pada saat “Rebo Nyunda”. Hal ini tentu berdampak pada minimnya perbendaharaan kosakata bahasa Sunda anak. Selain itu, peneliti memperoleh data yang didapat dengan cara melakukan tanya jawab dengan beberapa anak. Masih ada anak yang diam dan hanya menggelengkan kepala ketika di tanya oleh guru menggunakan bahasa Sunda. Disamping aspek psikologis dalam diri anak, hal tersebut dapat disebabkan karena anak sulit mengungkapkan kata-kata dalam bahasa Sunda atau karena anak memang benarbenar belum memahami maksud dari pertanyaan guru. Kondisi tersebut, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Guru perlu merencanakan, dan melakukan upaya perbaikan agar dapat memfasilitasi kebutuhan anak, khususnya dalam meningkatkan kemampuan kosakata bahasa Sunda agar berkembang menjadi lebih variatif. Beragam metode dapat dijadikan pilihan agar dapat meningkatkan kemampuan bahasa Sunda anak. Namun, pemilihan metode yang dipilih harus sesuai dengan prinsip belajar anak. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran yang dapat 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
merangsang beragam indra anak untuk terlibat, sehingga timbul keingintahuan anak untuk dapat mempelajari kosakata baru dengan beragam cara menggunakan indra mereka. Oleh karena itu, peneliti memfasilitasi kemampuan bahasa Sunda anak yang difokuskan pada kemampuan kosakata bahasa Sunda anak dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional. Model pembelajaran multisensori pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu sensor (alat indra) anak ketika sedang belajar. Hal ini dimaksudkan apabila berbagai alat indra dilibatkan, akan membuat anak menjadi semakin mudah dalam belajar memahami kosakata baru. Model pembelajaran multisensor akan diimplementasikan sesuai dengan prinsip belajar anak yakni melalui permainan, tepatnya permainan tradisional. Dalam praktiknya, permainan tradisional akan dimodifikasi dan guru akan membawa media konkrit yang juga merupakan nama kosakata yang dikenalkan kepada anak. Media tersebut dijadikan instrumen untuk menstimulasi indra-indra pada diri anak. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana aktivitas anak dalam meningkatkan kosakata bahasa Sunda dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional di Kelompok B TK Guna Tria Putra? 2. Bagaimana hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional di kelompok B TK Guna Tria Putra? Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuannya yaitu: 1. Untuk menggambarkan aktivitas anak dalam meningkatkan kosakata bahasa
5 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
Sunda dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional di Kelompok B TK Tria Guna Putra. 2. Untuk menganalisis hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak setelah menggunakan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional di kelompok B TK Tria Guna Putra. Beragam pandangan muncul mengenai cara bahasa berkembang pada anak. Machado (2013, hlm 9-11) mengungkapkan beberapa teori perkembangan bahasa diantaranya (a) Teori Behavioris, (b) Teori Maturasi, (c) Teori Nativis, (d) Teori Kognitif, (e) Teori Kognitif, dan (f) Teori Konstruktivis. Berdasarkan pandangan Behavioris, perkembangan bahasa pada anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Anakanak harus mendapatkan stimulus dan respon dari lingkungan disekitar anak agar dapat mengembangkan kemampuan bahasanya. Teori ini beranggapan bahwa lingkungan disekitar anak yakni orang tua atau pengasuh harus memberikan penghargaan, mengoreksi atau memberikan hukuman terhadap komunikasi yang dilakukan oleh anak. Lain halnya dengan teori Maturasi, yang meyakini bahwa lingkungan menempati posisi kedua setelah faktor gen. Sementara, teori Nativis berpandangan bahwa sebenarnya setiap individu telah memiliki perangkat penguasaan bahasa (Languange Acquisitin Device/LAD). Berbeda dengan teori kognitif, yang meyakini bahwa terdapat keterkaitan antara pemikiran dengan bahasa. Sedangkan, teori konstruktivis beranggapan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dengan cara membangun mentalnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga, sebagai seorang guru harus mampu membantu anak-anak menaruh temuan mereka dalam kata-kata, hubungannya, dan merenungkan 1 penulis penanggung jawab 2 penulis penanggung jawab
persamaan, dan perbedaan. Keterlibatan anak secara langsung diyakini akan menghungkan dengan mental mereka. Beberapa ahli berpendapat bahwa pemelorehan bahasa pada manusia dibatasi oleh periode kritis perkembangan bahasa, sehingga pada periode kritis inilah anak perlu mendapatkan banyak stimulasi berbahasa. Apabila anak kurang mendapat stimulasi positif perkembangan bahasa pada saat berusia dini, di khawatirkan mereka akan mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Singleton, D. dan Ryan, L. (2004, hlm 33) menjelaskan bahwa apabila pemerolehan bahasa pada manusia dibatasi oleh periode kritis perkembangan bahasa, implikasinya bahwa perkembangan pemelorehan bahasa pertama dimulai hanya pada permulaan periode kritis perkembangan bahasa, dan tidak berlanjut setelah akhir periode tersebut. Pada masa anak masih berada pada tahapan usia prasekolah anak masih perlu untuk mendapatkan stimulasi mengingat masih berada pada tahap pekembangan bahasa. Sejalan dengan hal tersebut, Brooks dan Kempe (2014, hlm 179) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa pertama biasanya diperoleh sejak lahir dan secara terus menerus dipelajari dari lingkungan bahasa tersebut melalui interaksi dengan anggota keluarga yaitu, orang tua, saudara, dan pengasuh utama yang secara teratur menggunakan bahasa ini untuk berkomunikasi dengan anak. Anak akan memperoleh bahasa pertama yang sesuai dengan lingkungan bahasa mereka. Jenis bahasa yang secara rutin mereka dengar dari lingkungan terdekat merupakan bahasa pertama yang mereka pelajari. Hal tersebut seperti diungkapkan Clark (2009, hlm 2) menjelaskan bahwa pemelorehan bahasa pertama sangat bergantung pada jenis bahasa yang diperoleh oleh anak, dikarenakan bahasa yang diperoleh berbeda, pemerolehan bahasa pertama kemungkinan dipengaruhi oleh sifat
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 6 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional masing-masing bahasa. Pemerolehan bahasa juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan perkembangan kognitif. Faktorfaktor seperti ini juga turut serta menentukan pelajar bahasa mengikuti bahasa tersebut, menemukan dan menggunakan pola yang sama dalam berinteraksi. Bahasa yang pertama kali diperoleh merupakan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial tempat anak berada. Bangsa Indonesia mengenal dan memiliki ragam bahasa di setiap daerah. Seyogiyanya, anak-anak di Indonesia memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa pertama yang mereka pelajari. Bahasa Sunda adalah bahasa daerah/bahasa ibu yang juga merupakan bahasa pertama diperoleh oleh anak dilngkungan wilayah Jawa Barat. Anak mempelajari bahasa sunda di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Penguasaan kosakata berperan penting dalam perkembangan bahasa. Kosakata dapat diartikan sebagai perbendaharaan kata. Anak harus belajar menghubungkan bunyi dengan arti untuk dapat memahami makna kata. Dalam bahasa Sunda, kosakata biasa disebut dengan istilah kandaga kecap, kabeungharan kecap, atau kajembaran kecap. Mula-mula anak mengatahui beragam kosakata yang dekat dengan dengan kehidupan mereka atau dapat pula disebut sebagai kosakata dasar. Sudaryat (hlm. 52) mengemukakan kosakata dasar dalam bahasa Sunda. “…Ari nu dimaksud ku kandaga kecap dasar nya éta sajumlahing kecap anu asli dina hiji basa tur saeutik pisan kamungkinanana diserep tina basa kosta, biasana relatif angger”. Uraian tersebut memiliki arti bahwa kosakata dasar adalah sejumlah kata yang asli dalam satu bahasa dan hanya sedikit kemungkinannya diserap dari bahasa lain, biasanya relatif tetap. Salah satu hal yang 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
perlu diperlu diperhatikan dalam memberikan kosakata baru kepada anak yakni kesesuaian dengan kebutuhan anak. Pembelajaran yang diberikan kepada anakanak berusia dini biasanya menggunakan tema-tema tertentu sebagai bahan pembelajaran untuk diberikan kepada anak. Dengan demikian, untuk memudahkan guru dalam memilih kosakata baru yang akan diperkenalkan kepada anak, dapat disesuaikan dengan tema pembelajaran yang ada agar perbendaharaan kosakata anak menjadi berkembang Bermain dan anak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bermain merupakan sarana pendidikan dan proses belajar bagi anak. Saat mereka bermain, mereka beroleh banyak manfaat. Diantaranya, untuk meningkatkan beragam keterampilan yang mendukung perkembangan kecerdasan, menanamkan karakter dan meningkatkan beragam aspek perkembangan mereka. Seringkali sulit untuk membedakan antara bermain dan permainan, sebab keduanya merupakan hal yang secara bersamaan sering dilakukan oleh anak. Sejalan dengan hal tersebut Smith (2010, hlm 11) menyatakan bahwa permainan dan bermain dapat dibedakan dari peraturan. Peraturan tersebut berfungsi sebagai syarat yang harus dipatuhi pemain ketika melakukan permainan. Dari pernyataan tersebut, dapatlah diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara bermain dan permainan. Moeslichatoen (2004, hlm. 63) mengungkapkan beberapa urutan yang dapat ditempuh oleh guru dalam pelaksanaan kegiatan bermain. Langkahlangkah kegiatan bermain melalui urutan sebagai berikut. (a) Kegiatan prabermain meliputi kegiatan penyiapan siswa dan kegiatan penyiapan bahan dan peralatan, (b) Kegiatan bermain, dan (c) Kegiatan penutup.
7 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
Model pembelajaran multisensori secara singkat dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran yang melibatkan beragam stimulasi indra yang ada pada manusia ketika sedang belajar. Setidaknya harus ada dua alat indra yang dilibatkan pada saat pembelajaran berlangsung. Abidin (2014, hlm. 227) menjelaskan pengertian dari pembelajaran multisensori yakni sebagai berikut “Pembelajaran multisensori pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dilaksanakan dengan melibatkan berbagai stimulasi indra meliputi pendengaran, penglihatan, sentuhan, dan terkadang juga penciuman dan pengecapan.” Sementara Blackwood (2009, hlm 14) menyatakan bahwa pembelajaran multisensori adalah sistem pembelajaran yang melibatkan penggunaan beragam alat peraga, objek belajar, alat interaktif, klip video, drama, seni, musik, latar belakang tematik, makanan, air, bau, dan elemen kreatif lainnya yang merangsang persepsi sensorik. Berbagai instrumen pembelajaran tersebut selanjutnya digunakan sebagai alat stimulasi bagi siswa agar siswa mampu memberikan respon sehingga akan terbangun perhatian, pemahaman, dan retensi. Dalam penelitian ini, model pembelajaran multisensori akan di implementasikan sesuai dengan prinsip belajar anak yakni melalui permainan. tepatnya permainan tradisional. Abidin (2009, hlm. 71) mendefinisikan Permainan tradisional sebagai “jenis permainan yang megandung nilai-nilai budaya, pada hakikatnya merupakan warisan leluhur yang harus dilestarikan keberadaannya.” Saat pelaksanaan permainan, guru meghadirkan media pembelajaran nyata sebagai instrumen yang digunakan untuk menstimulasi indra-indra anak. Indra-indra yang dilibatkan diantaranya indra penglihatan, indra pendengaran, indra peraba, dan indra pengecap. Media-media 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
tersebut, sekaligus merupakan kosakata yang dikembangkan. Peneliti mengembangkan satu jenis permainan tradisional dalam setiap siklusnya. Total permainan yang dimainkan dalam penelitian ini berjumlah tiga permainan, yaitu permainan sondah, tetemute, dan anjang-anjangan. Dalam setiap jenis permainan tradisional yang dimainkan, anak-anak diperkenankan untuk memegang, membunyikan, atau mencicipi sesuai dengan jenis media dan indra yang dapat dilibatkan. Adapun peraturan tetap yang ditambahkan, yaitu anak harus menyebutkan kosakata ketika memainkan permainan permainan tradisional. Model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional ini bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran anak yakni untuk meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. METODE Penelitian ini dilaksanakan di TK Guna Tria Putra, yang beralamat di JL. Riung Bagja II Blok IV D No.11 Kec. Gedebage Kab. Bandung. Partisipan adalah anak kelompok B1 tahun ajaran 2014-2015 yang berjumlah 14 orang anak, terdiri dari 9 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh Elliot. Desain penelitian ini, tidak seperti desain penelitian model lain yang menyarankan bahwa satu siklus hanya terdiri atas satu tindakan. Seperti halnya desain penelitian model Kemmis dan McTaggart. Dalam desain penelitian model Elliot, dalam pelaksanannya satu siklus terdiri atas beberapa tindakan. Desain penelitian ini dipilih karena sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan peneliti, yakni mengenai kemampuan kosakata yang membutuhkan pengulangan dalam memahaminya. Instrumen penelitian yang akan digunakan pada saat penelitian yang
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 8 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional meliputi; penilaian aktivitas anak, penilaian performa, lembar observasi terhadap aktivitas guru, lembar observasi terhadap aktivitas anak, catatan lapangan, lembar wawancara, dan kamera foto untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengetesan, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data kualitatif bersumber dari lembar observasi, lembar wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan, analisis data kuantitatif di dapat dari performa aktivitas anak dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak sebagai pengaruh dalam setiap siklus. Data yang telah diperoleh diklasifikasikan, dianalisis, kemudian disimpulkan. Data yang bersifat kualitatif, dideskripsikan. Dalam menganalisis data kuantitatif, peneliti menggunakan statistik deskriptif untuk menentukan rata-rata. Rumus yang digunakan yaitu: Rata-rata = Jumlah skor yang diperoleh oleh anak
pelaksanaan kegiatan permainan yang meliputi urutan kegian prapermainan, kegiatan permainan tradisional, dan kegiatan penutup secara keseluruahan mencakup indra penglihatan, pendengaran, perabaan, dan pengecap. Jenis permainan yang berbeda dikembangkan pada setiap siklusnya. Dalam setiap siklusnya, guru membawa media yang berbeda sesuai dengan kosakata yang diperkenalkan kepada anak. Media pembelajaran nyata dihadirkan agar dapat menstimulasi beragam indra anak untuk terlibat sehingga timbul pemahaman, perhatian, dan retensi pada diri anak. Pada setiap hasil tindakan yang telah dilaksanakan, semuanya dideskripsikan, dianalisis kemudian direfleksei pada setiap siklusnya untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari setiap siklus yang telah dilaksanakan. Rincian dari setiap siklus tersebut adalah sebagai berikut
Jumlah anak
Kemudian, hasil rata-rata yang telah didapatkan tersebut dipersentasekan. Selanjutnya, untuk menguji keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi. Triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang menggabungkan beberapa teknik data yang bersumber dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data yang didapat kemudian dibandingkan satu sama lain yang saling berkaitan. Proses membandingkan tersebut adalah untuk mengecek derajat kebenaran dari masing-masing sumber data. TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. TEMUAN Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga siklus, dalam setiap siklus terdapat tiga tindakan. Setiap siklus menggunakan model pembelajaran yang sama yakni dengan menggunakan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional. Indra-indra yang dilibatkan saat 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
1. Siklus 1 Siklus kesatu terdiri dari tiga tindakan. Tema yang digunakan adalah komunikasi dengan sub tema macammacam alat komunikasi. Kosakata yang dikenalkan berjumlah lima kosakata yakni kohkol, bedug, loceng, piriwit, dan hape. Permainan tradisional yang dikembangkan adalah permainan sondah. Kegiatan yang dilakukan pada tindakan 1, 2 dan 3 meliputi kegiatan prapermainan, kegiatan permainan tradisional, dan kegiatan penutup. Kegiatan prapermainan diisi dengan bercakap-cakap antara guru dan anak mengenai kosakata yang dikenalkan kepada anak sambil memperlihatkan media berupa macam-macam alat komunikasi tersebut kepada anak. Kemudian, anak diberi kesempatan untuk memegang atau memukul macam-macam alat komunikasi tersebut secara bergantian. Selanjutnya,
9 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
guru menjelaskan cara dan aturan permainan sondah kepada anak. Kegiatan permainan tradisional. Pada tindakan 1, anak-anak bermain sondah tanpa modifikasi. Namun, pada tindakan 2 dan 3 anak-anak bermain sondah mengikuti aturan yang telah dimodifasi oleh guru untuk meningkatkan kemampuan koskata bahasa Sunda anak. Kegiatan penutup diisi dengan melakukan tanya jawab atau bercakapcakap dengan anak mengenai kosakata yang dikenalkan dan aktifitas bermain yang telah dilakukan. Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, temuan yang ditemukan pada siklus I sebagai berikut. Tabel 1. Temuan siklus I Temuan esensial siklus I 1. Pada awalnya anak diam ketika guru menyapa mengguanakan bahasa Sunda (Wilujeung enjing) 2. Anak-anak sangat antusias ketika guru memperlihatkan media, meskipun pada awalnya anak saling berebut. 3. Anak-anak belum dapat dikondisikan dengan baik, sehingga kurang memperhatiakan ketika guru memberikan aturan permainan kepada anak 4. Pemilihan cara modifikasi permainan sondah untuk mengembangkan kosakata anak belum dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan 5. Kosakata bahasa Sunda masih rendah
Berdasarkan temuan-temuan yang telah ditemukan peneiti pada siklus I, peneliti memperbaiki kekurangankekurangan yang terjadi. Peneliti harus memilih permainan yang tepat dan cara modifasi yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Peneliti juga harus mampu mengkondisikan anak agar anak dapat mengikuti kegiatan dengan kondusif. 2. Siklus II Tema yang digunakan adalah tanah air dengan sub tema benderaku. Kosakata yang dikenalkan berjumlah lima kosakata yakni bandera, beureum, bodas, tihang, dan tali. Hal yang berbeda pada siklus II yaitu, peneliti memilih permainan yang dapat dilakukan secara bersama-sama, yakni permainan tetemute dan menyiapkan reward berupa bintang agar anak 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
termotivasi mengikuti aturan permaian dan lebih terkondisikan. Sama halnya dengan ururan kegiatan yang dilakukan pada siklus sebelumnya. Kegiatan meliputi kegiatan prapermainan, kegiatan permainan tradisional, dan kegiatan penutup. Kegiatan prapermainan diisi dengan bercakap-cakap antara guru dan anak mengenai kosakata yang dikenalkan kepada anak sambil memperlihatkan media berupa bendera yang telah dipasang pada tiang bendera. Selanjutnya, guru menjelaskan cara dan aturan permainan tetemute kepada anak. Kegiatan permainan tradisional. Pada tindakan 1, anak-anak bermain tetemute tanpa modifikasi. Namun, pada tindakan 2 dan 3 anak-anak bermain tetemute mengikuti aturan yang telah dimodifasi oleh guru untuk meningkatkan kemampuan koskata bahasa sunda anak. Kegiatan penutup diisi dengan melakukan tanya jawab atau bercakapcakap dengan anak mengenai kosakata yang dikenalkan dan aktifitas bermain yang telah dilakukan. Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, temuan yang ditemukan pada siklus II sebagai berikut. Tabel 2. Temuan siklus II Temuan esensial siklus II 1. Anak sudah dapat menjawab ketika guru menyapa menggunakan bahasa Sunda 2. Anak-anak mengatakan menyukai permainan tetemute yang diberikan oleh guru, dan antusias ketika diajak meminkan permainan tersebut. 3. Anak-anak sangat gembira ketika guru terlibat didalam permainan, dengan menjadi ucing 4. Performa aktivitas dan hasil kemampuan kosakata menunjukkan peningkatan 5. Pemberian bintang, memotivasi anak untuk mengikuti aturan permainan. meskipun masih ada saja yang berusaha melanggar aturan permainan 6. Beberapa anak terlihat mengobrol pada saat kegiatan penutup
Berdasarkan temuan pada siklus II, Menunjukkan adanya perbaikan dari siklus sebelumnya. Performa aktivitas dan hasil kemampuan kosakata mengalami
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 10 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional peningkatan dari siklus sebelumnya. Pemberian bintang juga memotivasi anak untuk mengikuti permainan, meskipun masih saja ada anak yang mencoba untuk tidak mengikuti aturan permainan. Permainan tetemute disukai oleh anakanak. Namun. Anak-anak terlihat mengobrol dan kurag terondisikan pada saat kegiatan penutup dilaksanakan, pada saat itu guru mencoba menarik perhatian anak dengan membuat sapaan baru menggunakan bahasa Sunda sehingga anak-anak mulai diam dan memperhatikan. 3. Siklus III Tema yang digunakan adalah tanah air dengan sub tema budaya Indonesia (Tuangeun tradisional). Kosakata yang dikenalkan berjumlah lima kosakata yakni nagasari, getuk, bugis, kelepon, dan bubur lolos. Guru tetap menyiapkan reward berupa bintang agar anak termotivasi mengikuti aturan permaian dan lebih terkondisikan, namun dengan ukuran yang lebih besar. Hal yang berbeda pada siklus III yaitu, peneliti memilih permainan yang melibatkan guru secara langsung ketika anak-anak memainkan permainan tradisional yakni permainan anjanganjangan. Dalam permainan anjnganjangan ini guru berperan sebagai penjual tuangeun tradisional. Gurupun menggunakan sapaan yang telah dibuat pada siklus berikutnya untuk mengkondisikan anak yang asyik mengobrol agar mengikuti setiap kegiatan yang telah guru siapkan. Urutan kegiatan permainan meliputi kegiatan prapermainan, kegiatan permainan tradisional, dan kegiatan penutup. Kegiatan prapermainan diisi dengan bercakap-cakap antara guru dan anak mengenai kosakata yang dikenalkan kepada anak sambil memperlihatkan media berupa macam-macam makanan tradisional. kemudian anak diberi kesempatan untuk mencicipi setiap jenis makanan secara 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
bergiliran. Selanjutnya, guru menjelaskan cara dan aturan permainan anjang-anjangan kepada anak. Kegiatan permainan tradisional. Pada tindakan 1, anak-anak bermain anjanganjangan tanpa modifikasi. Anak-anaj memainkan peran sebagai penjual dan pembeli. Namun, pada tindakan 2 dan 3 guru turut serta terlibat menjadi salah satu penjual makanan tradisional dan aturan permainan dimodifasi oleh guru untuk meningkatkan kemampuan koskata bahasa sunda anak. Kegiatan penutup diisi dengan melakukan tanya jawab atau bercakapcakap dengan anak mengenai kosakata yang dikenalkan dan aktifitas bermain yang telah dilakukan. Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, temuan yang ditemukan pada siklus III sebagai berikut. Tabel 3. Temuan siklus III Temuan esensial siklus I 1. Anak mulai terbiasa dengan pengkondisian yang dibuat oleh guru. Anak mulai terbiasa untuk duduk dengan tertib dan tidak saling berebut, agar dapat mencicipi makanan lebih dulu. 2. Anak-anak dapat memainkan peran sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya 3. Anak-anak sangat antusias ketika guru melaksanakan kegiatan evaluasi hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak 4. Performa aktivitas anak saat mengikuti permainan dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak mengalami peningkatan dari siklus sebelumnya
Berdasarkan temuan-temuan pada siklus III, dapat disimpulkan bahwa anakanak telah mampu mengikuti urutan kegiatan permainan dengan cukup baik. Model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dapat meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. Hal ini dapat terlihat dari performa aktivitas dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak yang terus mengalami peningkatan.
11 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
B. PEMBAHASAN Secara umum, performa aktivitas anak dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional mengalami peningkatan dari siklus ke siklus. Temuan berupa kekurangankekurangan pada setiap siklus, diperbaiki pada siklus berikutnya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Jika pada siklus I guru belum mampu mengkondisikan anak dengan baik, dan belum mampu memilih cara modifikasi permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, guru meperbaiki keadaan tersebut pada siklus II dan III agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Model pembelajaran yang diberikan kepada anak adalah salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan yakni untuk mengingkatkan kemampuan kosakata bahasa Sunda anak. Penggunaan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional di TK Guna Tria Putra mampu meningkatkan performa aktivitas anak pada saat permainan berlangsung dan mampu meningkatakan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak. Selain itu, media nyata yang dihadirkan oleh guru dapat menstrimulasi beragam indra anak untuk terlibat, sehingga membuat anak selalu antusias dalam mengikuti permainan. Hal lain yang turut menentukan agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan adalah pengkondisian anak. Guru harus mampu membuat suasana menjadi kondusif, agar memudahkan anak dalam menerima dan memahami pembelajaran yang diberikan. Model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dapat meningkatkan performa aktifitas dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda. Berikut ini merupakan peningkatan rata-rata performa aktivitas anak pada setiap siklusnya. 1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
Gambar 1. Persentase rata-rata performa aktivitas anak 120% 100% 80% 60% 40%
82%
88%
96% 81%
Capaian indikator anak dapat memahmi aturan permainan
67% 54%
20% 0% siklus siklus siklus 1 2 3
Capaian indikator anak dapat menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda
Gambar tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pencapaian indikator dari siklus ke siklus mengalami peningkatan. Rata-rata indikator pertama, yaitu anak dapat memahami aturan permainan pada siklus I sebesar 82 %, kemudian meningkat pada siklus II sebesar 88 %, dan terus meningkat sampai pada siklus III sebesar 96 %. Sama halnya dengan rata-rata indikator kedua, juga mengalami peningkatan. Rata-rata indikator anak dapat menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda pada siklus I sebesar 54 %, Kemudian meningkat kembali pada siklus II sebesar 67 %, selanjutnya terus meingkat pada siklus III sebesar 81 %. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari strategi dan upaya yang telah dilakuakan dalam memberikan materi pembelajaran yang dilakukan dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Guru mencoba memperbaiki kegagalan pengembangan kosakata dari permainan yang diberikan kepada anak pada siklu I, yang membuat anak merasa kesulitan dalam memainkan permainan tersebut. Mencoba memilih permainan yang sesuai dengan kemampuan anak dan permainan yang anak sukai disertai dengan perlibatan indra-indra anak. Strategi pembuatan kesepakatan yang selalu dibuat dengan anakpun, juga membuat anak dapat mengikuti aturan
Rika Annisa, Etty Rohayati1, Endah Silawati2 12 Meningkatkan Kemampuan Kosakata Bahasa Sunda dengan Model Pembelajaran Multisensori Melalui Permainan Tradisional permainan. Guru juga memberikan motivasi dan reward berupa bintang kepada anak sebagai bentuk penghargaan karena anak dapat mengikuti permainan sesuai dengan aturan yang diberikan. Selain peningkatan performa aktivitas anak, performa hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda juga mengalami peningkatan dari setiap siklus. Berikut ini merupakan peningkatan kemampuan kosakata bahasa Sunda pada setiap siklus. Gambar 2. Persentase rata-rata hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda 95% 93%
90% 90% 85% 80%
83%
rata-rata performa hasil kemampuan kosakata
75% siklus 1siklus 2siklus 3
Berdasarkan gambar tersebut, dapat terlihat rata-rata peningkatan kosakata pada siklus I sebesar 83%, Selanjutnya meningkat pada siklus II sebesar 90 %, kemudian terus mengalami peningkatan sampai siklus III sebesar 93 %. Peningkatan rata-rata hasil dari siklus I ke siklus II sebesar 7 %. Sedangkan, peningkatan rata-rata dari siklus II ke siklus III sebesar 3 %. Peningkatan tertinggi terjadi pada siklus I ke siklus II hal ini dikarenakan dua kosakata yang dikenalkan kepada anak pada siklus II mencapai indikator sebesar 100%. Berbeda halnya dengan peningkatan yang terjadi pada siklus III yang cendeung lebih kecil dari peningkatan yang terjadi pada siklus sebelumnya, hal ini dikarenakan dari lima kosakata yang dikenalkan kepada anak tidak ada kosakata yag mencapai indikator 100%. Namun, mengalami peningkatan rata-rata secara keseluruhan.
1 2
penulis penanggung jawab penulis penanggung jawab
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari performa aktivitas anak dan performa hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda yang mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran multisensory melalui permainan tradisional dapat digunakan sebagai model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulakan bahwa model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dapat meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. Hal ini dapat terlihat dari performa aktivitas anak dan hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda anak di TK Guna Tria Putra. Secara rinci akan dipaparkan sebagai berikut. 1. Aktivitas anak dalam upaya meningkatkan kosakata bahasa Sunda dengan model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dilaksanakan dalam tiga jenis permainan yakni permainan sondah, tetemute, dan permainan anjanganjangan dengan melibatkan beragam stimulasi indra. Setiap jenis permainan dimodifikasi cara dan aturan permainannya untuk meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak. Aktivitas anak diukur dengan indikator anak dapat memahami aturan permainan dan anak dapat menyebutkan kosakata bahasa Sunda mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Indikator pertama, yaitu anak dapat menaati aturan dalam permainan rata-rata siklus I yaitu 82 %, siklus II sebesar 88 %, dan siklus III 96 %. Rata-rata indikator kedua, yaitu anak dapat menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda juga mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 54 %, pada siklus II sebesar 67 %, dan pada siklus III sebesar 81 %.
13 Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2015
2. Hasil kemampuan kosakata bahasa Sunda dari siklus ke siklus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari ratarata kemampuan anak dalam menyebutkan kosakata dalam bahasa Sunda dengan tepat pada setiap siklus. Rata-rata peningkatan kosakata bahasa Sunda siklus I sebesar 83 %, siklus II 90 %, dan siklus III 93 %. Berdasarkan peningkatan tersebut, maka model pembelajaran multisensori melalui permainan tradisional dapat meningkatkan kosakata bahasa Sunda anak khususnya di kelompok B TK Guna Tria Putra. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2009). Bermain. Bandung: Rizqi Press. Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama. Blackwood, R. (2009). The power of multisensory preaching and teaching. Michigan: Zondevan. Brooks, P, J. & Kempe, V. (2014). Encyclopedia of language development. California: Sage Reference. Clark, E, V. (2009). First language acquisition. UK: Cambridge University Press. Logan, L, M. dkk. (1972). Creative communication, teaching the language art. Toronto: McGraw. Machado, J, M. 2013. Early childhood experiences in language arts. USA: Wardsworth Cengange Learning. Moeslihatoen, R. (2004). Metode pengajaran di taman kanak-kanak. Jakarta: Rineka Cipta. 1 penulis penanggung jawab 2 penulis penanggung jawab
Singleton, D. & Ryan, L. (2004). Languange acquisition. Canada: Library of Congress Cataloging in Publication Data. Smith, K. P. (2010). Children play understanding children’s world. USA: John Wiley&Sons. Sudaryat, Y. Pilihan kecap jeung harti. [Online]. Diakses dari: http://file.upi.edu/Direktorat/FPBS/J UR. PEND. BAHASA DAERAH/196302101987031YAYA T SUDARYAT/Pamekar Kaparigelan Basa Sunda/8.Pilihan Kecap jeung Harti.pdf