MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL Sri Nuryanti dan Reni Kustiari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70, Bogor. 16161
Abstract The imbalance between production and consumption of soybean triggers import dependency. World market of soybean is concentrated in several developed countries which highly support their farmers. International market structure of soybean is oligopolistic. It causes high risk on instability of supply and price to importer countries, such as Indonesia. Tariff is one of the effective policies to protect domestic soybean farmers from import surge and price depression. By using cost structure data and macro parameters of soybean, partial equilibrium of domestic soybean market is analyzed. The aim of this analysis is to know farm’s profit at the current import duty of soybean, the optimum level of import duty (farming’s profit by 25 percent) and the impact of optimum tariff on domestic market equilibrium. The current 10 percent of level of import duty provides farm’s profit by 18.85 percent. The optimum import duty of soybean is 24.3 percent, however, it probably decreases social welfare by Rp. 121.5 billions. Key words: import, tariff, farm’s profit, market equilibrium. Abstrak Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional menjadi pemicu ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Kedelai di pasar dunia terkonsentrasi di beberapa negara maju yang memberi bantuan kepada petaninya. Struktur pasar internasional kedelai yang oligopolistik menyebabkan negara importir seperti Indonesia berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Indonesia perlu melindungi petani kedelai, salah satu cara adalah kebijakan tarif. Tarif merupakan mekanisme perlindungan pasar dari ancaman serbuan impor kedelai murah. Data struktur ongkos dan peubah makro ekonomi kedelai digunakan dalam analisa keseimbangan pasar domestik secara parsial. Tujuannya untuk mengetahui keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini, tingkat tarif optimal pada kondisi keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak penerapan tarif optimal terhadap keseimbangan pasar domestik. Keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif impor 10 persen adalah 18,85 persen. Tingkat tarif impor optimal untuk kedelai adalah 24,3 persen yang akan meningkatkan keuntungan usahatani menjadi 25 persen. Secara agregat, peningkatan tarif impor kedelai justru akan mengakibatkan kehilangan kesejahteraan sosial sebesar Rp. 121,5 milyar. Kata kunci : impor, tarif, keuntungan usahatani, keseimbangan pasar
PENDAHULUAN Berkembangnya industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai, disertai dengan pertumbuhan penduduk mengakibatkan permintaan kedelai di Indonesia meningkat tajam. Di lain pihak, produksi dalam negeri cenderung menurun, sehingga defisit kedelai terus meningkat. Hal ini membuat Indonesia makin tergantung pada kedelai impor. Produksi dan ekspor kedelai dunia terkonsentrasi pada sedikit negara maju. Dalam periode 2000-2006, Amerika Serikat (AS) memegang kendali produksi dan ekspor dengan pangsa 49,2 persen dan 50,9 persen dari total
50
dunia. Sekitar 49,3 persen impor kedelai Indonesia pun berasal dari AS (Tabel Lampiran 1). Struktur pasar internasional kedelai lebih mendekati pasar oligopoli, sehingga negara importir seperti Indonesia akan berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal itu menjadi amat penting manakala dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan penting sumber protein untuk masyarakat Indonesia. Kalaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah ketergantungan impor yang terlalu besar pada satu negara, seperti AS. Karena AS sering menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan terhadap politik dan kepentingannya.
Negara maju tetap memberi bantuan pada petaninya, terutama kelompok OECD. Petani kedelai di negara OECD memperoleh 30 persen dari total pendapatan usahatani kedelai dari bantuan pemerintah. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari dukungan harga, pembayaran berdasarkan produksi atau luas usaha, atau berdasarkan penggunaan input dan sebagainya. Oleh karena itu, harga kedelai di pasar dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi. Harga kedelai di pasar telah terdistorsi oleh berbagai subsidi. Adalah bijaksana, apabila Indonesia melindungi petani kedelai dengan berbagai cara. Salah satu yang terbaik adalah melalui kebijakan tarif pada tingkat yang wajar, yaitu mendekati tarif yang disepakati dalam AoA-WTO (27 persen). Indonesia juga harus memiliki mekanisme untuk melindungi diri dalam waktu sementara dari ancaman serbuan impor kedelai murah dari luar negeri. Perlindungan itu haruslah sederhana dan fleksibel. Diharapkan SSM dapat dipakai oleh Indonesia, apabila nantinya disepakati (Husein Sawit et al., 2006). Menurut Swastika et al. (2007) hambatan impor yang paling sederhana dan mudah dilakukan adalah peningkatan tarif. Oleh karena itu, masalah efektivitas penerapan tarif menjadi amat penting. Infrastruktur dan SDM haruslah disiapkan sedemikian rupa, sehingga perlindungan melalui tarif menjadi pengaruhtif, bukan sebagai sumber pencari rente, seperti selama ini. Karena kita tidak mungkin kembali ke perlindungan industri dalam negeri dengan cara-cara primitif, seperti pelarangan impor. Kita harus mampu melaksanakan perlindungan melalui kebijakan tarif. Sesuai aturan WTO dimana tiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam Schedule yang didaftarkan. Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor jauh di bawah bound tariff (0 – 5%), termasuk kedelai. Oleh karena itu, analisa ini dilakukan untuk mengetahui besaran keuntungan usahatani kedelai dengan tingkat tarif impor terkini dan menghitung tingkat tarif impor kedelai pada tingkat keuntungan optimal. Definisi optimal berdasarkan asumsi keuntungan usahatani 35 persen. Selain itu akan dikaji dampak kenaikkan tarif impor kedelai.
MATERI DAN METODE Materi Analisis dampak tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan peubah-peubah, antara lain harga produsen, perdagangan besar, konsumen, harga dunia, produksi, dan permintaan impor. Data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari publikasi maupun dokumentasi berbagai instansi di dalam dan luar negeri. Instansi-instansi tersebut antara lain FAO, BPS, Bulog, dan Departemen Pertanian. Metode Analisis dilakukan pada tingkat usahatani dan makro. Analisis mikro dengan menggunakan data I-O diturunkan dari data struktur ongkos rata-rata Indonesia 2006. Penerapan tarif impor akan meningkatkan harga eceran di pasar domestik. Melalui proses transmisi harga, peningkatan harga eceran di pasar domestik akan ditransmisikan ke harga jual di tingkat petani. Dengan kerangka analisis seperti ini dapat ditentukan tingkat harga jual tertentu di pasar domestik, sehingga dapat memberi peningkatan keuntungan bersih di tingkat petani. Analisis tingkat makro menggunakan “partial welfare analysis” untuk memahami dampak penerapan tarif optimal terhadap harga komoditas di pasar domestik, produksi, permintaan, penawaran dan impor, serta dampaknya terhadap kesejahteraaan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah (Gambar 1). Analisis makro untuk memahami dampak perubahan tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan asumsi (1) Indonesia adalah negara kecil (small economy) dan (2) Nilai tukar yang digunakan adalah sebesar Rp 9.100/US$. Standar analisis parsial digunakan untuk menghitung pengaruh kesejahteraan yang terkait dengan konsumen, produsen dan pemerintah. Diasumsikan bahwa pemerintah perlu meningkatkan tarif dari t0 ke t1. Peningkatan tarif akan mengakibatkan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) yang lebih besar, yang ditunjukkan area (d+f+i+k), dibandingkan area (c+g) jika pemerintah memberlakukan tarif sebesar t0. Inefisiensi yang lebih besar ini karena konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi dan harus menanggung biaya ekonomi
51
S
l Pw+t1 h
i
j
k
Pw+t0 b
c
d
e
f
g
Pw a
D
QS0
QS1
Qd1
Qd0
Q
Gambar 1. Ilustrasi Dampak Peningkatan Tarif Impor
yang lebih besar, yaitu area (h+i+j+k). Sebaliknya, produsen mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar area (h) dan pemerintah area (j-d-f) akibat peningkatan tarif dari t0 ke t1. Penerimaan dari tarif turun karena penurunan jumlah barang yang diimpor sebagai dampak dari kenaikan produksi dalam negeri akibat peningkatan harga di tingkat petani. Pengaruh dari peningkatan tarif impor dirangkum dalam Tabel 1. Tabel 1.
Pengaruh Peningkatan Tarif terhadap Tingkat Kesejahteraan
Surplus Konsumen Produsen Pemerintah Kesejahteraan neto
Tarif t0 h+i+j+k+l a+b D+e+f
Tarif t1 l a+b+h e+j
Perubahan -(h+i+j+k) H j-d-f -(d+f+i+k)
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Kedelai, perkembangan produksinya dapat dibagi dalam dua periode besar, yaitu pertumbuhan yang menurun dan stagnant. Per-
52
tumbuhan menurun terjadi selama 1990-2000. Produksi rata-rata mencapai 1,4 juta ton dan menurun sebesar 3,6 persen/tahun. Produksi stagnant terjadi pada 2001-2006, produksi menurun drastis dari periode sebelumnya dan bergerak lambat pada angka 742 ton. Pertumbuhan produksi pun demikian rendah, hanya 0,4 persen/tahun. Pertumbuhan produksi tidak sejalan dengan gencarnya program bangkit kedelai. Persentase produksi terhadap kedelai dunia mengecil (Tabel 2). Ini mengindikasikan ada penghambat produksi kedelai dalam negeri yang belum terpecahkan. Konsumsi Kedelai Konsumsi kedelai per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2003 terjadi penurunan 2 persen dari tahun sebelumnya. Selanjutnya konsumsi meningkat, rata-rata 6,3 persen/tahun, sehingga pada tahun 2006 mencapai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 persen/ tahun. Indikasi peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenomena pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pertumbuhan/th Sumber: BPS diolah
Indonesia 1.487.433 1.555.453 1.869.713 1.708.530 1.564.847 1.680.010 1.517.180 1.356.891 1.305.640 1.382.848 1.018.000 826.932 673.056 671.600 723.483 808.353 749.038 -6,55%
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1999 – 2006 Tahun
Konsumsi kg/kapita/th 5,7 7,1 6,93 7,22 7,78 8,31
Pertumbuhan (%)
1999 2002 2003 -2 2004 4 2005 8 2006 7 Rata-rata pertumbuhan/th 6,29 Sumber: Neraca Bahan Makanan, BPS.
Ekspor dan Impor Produksi kedelai domestik tidak sepesat pertumbuhan konsumsi kedelai. Pemenuhan konsumsi lebih banyak berasal dari kedelai impor. Selain harga kedelai impor lebih murah keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional. Setiap tahunnya rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (1996-2005). Separuh diantaranya impor kedelai berasal dari negara maju. Amerika Serikat bahkan mendominasi ekspor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50 persen dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya (Husein Sawit et al., 2006). Volume dan nilai impor kedelai masingmasing tumbuh sebesar 8,4 dan 7,9 persen/ tahun (1996-2006). Volume ekspor dari 1999-
Produksi Kedelai (Ton) Dunia 108.464.511 103.320.158 114.460.616 115.176.710 136.483.471 126.997.618 130.223.250 144.418.185 160.103.858 157.796.852 161.400.626 177.923.563 181.815.725 187.514.812 206.289.954 214.909.669 221.500.938 4,78%
Persentase 1,37 1,51 1,63 1,48 1,15 1,32 1,17 0,94 0,82 0,88 0,63 0,46 0,37 0,36 0,35 0,38 0,34
2005 tumbuh rendah, 1,7 persen/tahun. Namun nilai ekspor tumbuh tinggi, 8 persen/tahun (Tabel 4). Ini menunjukkan kedelai yang diekspor adalah produk olahan, sehingga mengalami peningkatan nilai tambah tinggi. Setiap tahunnya rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (termasuk bungkil kedelai) selama periode 19962005. Separuh diantaranya impor kedelai berasal dari negara maju. Amerika Serikat bahkan mendominasi impor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50 persen dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya (Husein Sawit et al., 2006). Sementara impor kedelai Indonesia dari negara berkembang didominasi oleh tiga eksportir yaitu India, Brazilia, dan Argentina. Pertumbuhan impor kedelai dari negara maju dan negara berkembang setiap tahunnya, masing-masing mencapai 8 persen dan 9 persen (Tabel Lampiran 2). Harga Harga kedelai dunia yang lebih rendah dari harga domestik merupakan faktor pendorong melajunya kedelai impor. Meskipun demikian di pasar domestik, harga kedelai bergerak positif. Harga produsen dan perdagangan besar masing-masing tumbuh sebesar 7,6 dan 6,5 persen/tahun (1998-2007). Laju pertumbuhan harga perdagangan besar yang berbeda karena besar selain dipengaruhi harga produ-
53
Tabel 4. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, 1996–2006 Impor Ekspor Tahun Volume (ton) Nilai (000 USD) Volume (ton) Nilai (000 USD) 1996 1.705.583 530.582 1997 1.532.112 518.860 1998 1.033.802 273.776 1999 2.227.321 475.158 7.596 3.606 2000 2.568.565 558.737 12.013 4.490 2001 2.728.358 611.140 21.987 5.808 2002 2.716.641 591.121 13.812 6.569 2003 2.773.668 706.753 13.474 6.018 2004 2.881.735 967.957 17.109 6.211 2005 2.982.986 801.779 8.276 6.080 2006 3.121.334 838.390 NA NA Pertumbuhan/th 8,42% 7,88% 1,70% 8,04% Sumber: BPS Tabel 5.
Perkembangan Harga Dalam Negeri Ditingkat Petani, Perdagangan Besar, dan Eceran dan Harga Internasional, Tahun 1998 – 2006
Tahun
Produsen*
Harga dalam negeri (Rp/kg) Perdagangan besar* 2.741,15 3.067,50 2.811,98 3.029,37 3.143,53 3.226,18 3.775,58 4.218,20 4.660,83 4.789,29
Konsumen*
1998 2.059,98 3.108,20 1999 2.527,51 3.441,54 2000 2.652,44 3.060,09 2001 2.918,84 3.485,02 2002 3.191,51 3.682,26 2003 3.277,85 3.793,96 2004 3.499,49 4.205,89 2005 3.783,70 4.628,88 2006 4.010,78 4.977,85 2007 4.457,14 5.123,21 Pertumbuhan 7,59% 6,46% 5,91% (persen/th) Sumber : * Bulog, ** http://www.worldbank.org/prospects/pinksheets/1998.htm
sen domestik juga dipengaruhi pertumbuhan harga internasional, yaitu 8,0 persen/tahun (Tabel 5). Pasar internasional kedelai selama periode 2000-2007 relatif stabil dalam hal pasokan, sebaliknya pasar domestik cenderung menurun. Kenaikan harga di pasar domestik diduga disebabkan oleh kelangkaan pasokan, baik dari produsen domestik dan impor. Terkait dengan fluktuasi pasokan di pasar domestik, maka peningkatan harga kedelai di tingkat konsumen relatif lebih cepat dibandingkan di tingkat pedagang besar. Oleh karena itu pertumbuhan harga di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan harga pedagang
54
Soybean (US) CIF Rotterdam (US$/Ton) NA NA 211,83 195,83 212,92 264,00 306,50 274,40 268,42 386,20 7,97%
besar, yaitu sebesar 5,8 persen/tahun (Tabel 5). Struktur Ongkos Menurut data struktur ongkos usahatani kedelai tahun 2006, dengan tarif bea masuk impor kedelai 10 persen (setara spesifik Rp 280,6/kg), petani kedelai domestik telah memperoleh keuntungan usahatani sekitar 18,85 persen (Tabel 6). Penentuan tingkat tarif impor kedelai yang optimal agar petani mendapatkan keuntungan layak dan tidak memberatkan konsumen, simulasi dilakukan dengan asumsi keuntungan usahatani 25 persen.
Tabel 6. Struktur Ongkos Produksi Kedelai, Tahun 2006
Kedelai
Penerimaan kotor
Struktur ongkos dengan tarif impor 5 persen (kondisi 2006)
Struktur ongkos dengan tarif impor 22,3 persen (keuntungan 25 persen)
Volume (kg)
Volume (kg)
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
Persen (%)
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
Persen (%)
1.145
4.116
4.712.992
100
1.145
4.479
5.128.431
100
60
5.000
300.000
7
60
5.000
300.000
6
Urea/Za
67
1.400
93.100
2
67
1.400
93.100
2
TSP/DAP
27
1.750
46.375
1
27
1.750
46.375
1
Lainnya(KCL)
149.000
3
149.000
3
Pestisida
165.000
4
165.000
3
2.089.500
45
2.089.500
41
Sewa Lahan
600.000
13
600.000
12
Lainnya
135.000
3
135.000
3
3.577.975
78
3.577.975
70
Benih Pupuk
Tenaga Kerja (HOK)
Total Modal kerja Biaya modal Total biaya Keuntungan Biaya per Unit (Rp/kg)
100
21.000
100
21.000
268.348
6
268.348
5
3.846.323
84
3.846.323
75
866.669
19
1.282.108
25
3.359
Berdasarkan pembahasan tarif impor optimal untuk pencapaian keuntungan usahatani 25 persen, tarif impor kedelai harus diubah dari 10 persen menjadi 24,3 persen. Kenaikan bea masuk kedelai yang mencapai lebih dari 100 persen tentunya akan berdampak pada keseimbangan pasar. Sebagai komoditas impor, maka pasar yang terpengaruh pertama kali adalah perdagangan besar baru diikuti berikutnya sampai tingkat eceran (konsumen). Selain diperkirakan mampu menjamin keuntungan usahatani sebesar 25 persen, dari sisi keseimbangan pasar peningkatan tarif impor kedelai akan berdampak pada produsen, permintaan, penawaran termasuk impor, dan kesejahteraan sosial (Tabel 7) seperti lazimnya pengaruh perubahan harga, maka akan menciptakan keseimbangan pasar baru. Harga perdagangan besar akan naik sebesar kenaikan tarif spesifik (Rp 485,2), dari semula Rp 4.540/ kg menjadi Rp 5.025,2/kg atau naik 10,7 persen. Peningkatan persentase keuntungan menyebabkan harga di tingkat produsen naik 8,8 persen atau sebesar Rp 363/kg. Hal ini menyebabkan harga berubah dari Rp 4.116/kg menjadi Rp 4.479/kg. Kenaikan harga domestik karena kenaikan harga lokal maupun impor menyebabkan permintaan berkurang sebesar 8,2 persen. Permintaan kedelai turun dari 1,9 juta ton men-
3.359
Tabel 7. Hasil Analisis Dampak Kenaikan Tarif Impor Kedelai Efek Perubahan Tarif Perubahan tarif (Rp/kg) Perubahan harga wholesale (Rp/kg) Harga wholesale pada t1 (Rp/kg) Persen perubahan harga wholesale (%)
Besaran 400,9 400,9 4.940,9 8,8
Persen perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg)
8,8 363,0 4.479,0
Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton)
-8,2 -154,9 1.724,7
Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton)
5,0 37,3 784,9
Jumlah impor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah impor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah (juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
939,8 -192,2 -722.465,1 278.193,0 322.808,0 -121.464,1
jadi 1,7 juta ton. Peningkatan harga kedelai lokal mendorong peningkatan penawaran domestik sebesar 5,0 persen. Atau meningkat 37,3 ribu ton menjadi 784,9 ribu ton dari sebelumnya 747,6 ribu ton. Kenaikan harga impor karena tarif menyebabkan impor turun
55
sebanyak 192,2 ribu ton, sehingga volume impor turun dari 1,1 juta ton menjadi 939,8 ribu ton. Kenaikan harga akan menurunkan kesejahteraan konsumen, dicerminkan oleh turunnya surplus konsumen sebesar Rp 722,5 milyar. Namun, kenaikan harga akan menguntungkan produsen, sehingga surplus produsen naik Rp 278,2 milyar. Karena tarif ditingkatkan, maka penerimaan pemerintah dari bea masuk impor naik. Penerimaan pemerintah akan naik sebesar Rp 322,8 milyar. Secara agregat perekonomian kedelai nasional akan memburuk. Ditunjukkan oleh defisit surplus total sebesar Rp 121,5 milyar/tahun, yaitu kesejahteraan yang hilang tidak dapat dinikmati masyarakat. Berdasarkan perhitungan besaran keuntungan usahatani optimal 25 persen, petani kedelai nasional harus mencapai harga jual Rp 4.479/kg. Kondisi ini sangat sulit, karena harga kedelai domestik menjadi tidak dapat bersaing dengan kedelai impor. Satu-satunya solusi untuk memberi insentif produksi kedelai domestik adalah jaminan harga jual kedelai dengan tingkat keuntungan pasti. Berdasarkan asumsi harga pokok produksi Rp 3.359/kg, tarif bea masuk kedelai saat ini 10 persen, untuk memperoleh keuntungan usahatani 25 persen tarif bea masuk yang diterapkan (Most Favoured Nation, MFN) harus dinaikkan menjadi 24,3 persen (ad valorem) atau Rp 681,5/kg (specific tariff). Tarif yang diikat untuk kedelai adalah 27 persen. Artinya masih ada peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan menjamin keuntungan usahatani 25 persen dengan menetapkan tarif impor baru sebesar 24,3 persen. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah beban konsumen kedelai di sektor hilir, yaitu sektor peternakan dan industri pakan ternak. Karena sebagian besar konsumen kedelai impor di dalam negeri adalah kedua sektor tersebut. Sementara untuk konsumsi rumah tangga (pangan) lebih banyak menggunakan kedelai produksi lokal. Penting untuk mensosialisasikan tarif impor MFN kedelai yang baru kepada semua stakeholder untuk mencapai nilai optimal yang disepakati. Kajian teknis dan matematis saja kurang bijaksana tanpa mempertimbangkan dampak positif/negatif bagi semua pihak yang berkepentingan di dalamnya. Harga kedelai impor pada saat ini sebesar Rp 2.806,4/kg (Desember 2007) masih
56
lebih rendah dibandingkan harga pokok produksi kedelai lokal (Rp 3.359/kg). Tidak berlebihan apabila Husein Sawit dan Rusastra (2005) pernah memprediksi impor kedelai Indonesia akan semakin besar pada tahun-tahun mendatang karena kemudahan tataniaga impor berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPn kedelai). Selain itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti AS juga menyediakan kredit ekspor dengan bunga subsidi, sehingga merangsang importir kedelai Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan ini harus dicari penyelesaiannya, mengingat selain untuk konsumsi pangan, kedelai maupun bungkilnya banyak dimanfaatkan sektor industri pakan ternak domestik. Ketergantungan impor kedelai akan menimbulkan kerentanan sektor peternakan domestik dan dampak yang terkait akan lebih meresahkan lagi, yaitu masalah pengangguran. Liberalisasi perdagangan, revolusi transportasi, dan teknologi informasi menyebabkan sektor tanaman pangan mengalami proses globalisasi dan terintegrasi kuat dengan pasar global. Fluktuasi harga produk pangan dan sarana produksi usahatani di pasar global akan ditransmisikan ke semua tingkat harga, termasuk produsen lokal. Namun tidak semua sistem dan saluran pemasaran komoditas pangan di pasar domestik bersaing sempurna. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas transmisi harga. Elastisitas transmisi harga di tingkat pedagang besar ke produsen lokal sebesar 0,99 (Tabel Lampiran 4) menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat petani relatif lebih kecil dibandingkan laju perubahan di tingkat pedagang besar atau pun pelaku pemasaran berikutnya (eceran/konsumen). Kesejahteraan sosial merupakan cerminan dari pencapaian pembangunan ekonomi dalam bidang ketahanan pangan, pembangunan perdesaan, dan ketahanan ekonomi rumah tangga. Insentif usahatani dengan sendirinya akan menciptakan perbaikan ekonomi rumah tangga petani tersebut. Secara agregat kekuatan ekonomi perdesaan akan menyusun kekuatan guna mendorong pembangunan. Inti dari keberhasilan pembangunan persedaan setempat adalah terjaminnya ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga, perdesaan, sampai tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa
kebijakan makro agregat, dalam hal ini tarif bea masuk impor, berpengaruh besar pada kesejahteraan mikro. KESIMPULAN Pada tingkat tarif impor saat ini sebesar 10 persen, keuntungan usahatani kedelai adalah 18,85 persen. Tarif impor optimal untuk kedelai adalah 24,3 persen. Tingkat tarif ini akan meningkatkan keuntungan usahatani kedelai menjadi 25 persen. Tarif impor kedelai optimal 24,3 persen masih di bawah tarif yang diikat yang terdaftar dalam Schedule Indonesia di WTO (Schedule XXI), sehingga masih mungkin untuk diterapkan sebagai tarif MFN baru. Apabila kebijakan tarif impor optimal untuk kedelai diterapkan maka masyarakat Indonesia justru akan kehilangan surplus bersih/kesejahteraan sosial sebesar Rp 121,5 milyar. Kebijaksanaan tarif impor yang realistik, khususnya untuk komoditas kedelai dipandang sangat relevan untuk merangsang petani untuk tetap berproduksi. Namun kebijakan proteksi harga hanya akan pengaruh positif bilamana ada potensi peningkatan produktivitas, dan respon harga yang cukup serta sistem pemasaran yang efisien. Indonesia sepantasnya tetap memelihara dan pengembangkan produksi pertanian disertai dukungan kebijaksanaan insentif yang memadai bagi petani, melalui peningkatan tarif bea masuk produk yang paritasnya dihasilkan petani domestik. Selain itu, penting mempertimbangkan kelayakan operasional peningkatan tarif bea masuk kedelai impor untuk mencapai keun-
tungan usahatani 25 persen. Karena sistem pemasaran kedelai nasional yang tidak efisien, sasaran yang diharapkan tidak tercapai dan menguntungkan pihak di luar target yang tidak menjadi sasaran kebijakan. Karena pasar tidak mencerminkan kekuatannya. DAFTAR PUSTAKA Husein Sawit, M. dan I. W. Rusastra (2005), “Globalisasi dan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Laporan akhir dari bagian laporan penelitian Road Map Memperkuat Kembali Ketahanan Pangan, LPEM UI, Jakarta. Husein Sawit, M., Sjaiful Bachri, Sri Nuryanti, dan Frans B.M. Dabukke (2006), “Fleksibelitas Penerapanan Special Safeguard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan Domestik Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia”, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. OECD
(2005), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Database 1986-2004, www.oecd.org/oecd pse full zip/.
Swastika, DKS, Sri Nuryanti, dan M. Husein Sawit (2007), ”Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kedelai”, dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan, Edisi Sumarno et al., Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian.
57
Tabel Lampiran 1. Total Impor Kedelai dan Negara Asal Impor, Tahun 1996-2005 Total (Ton) 11.632.798 11.404.496 2.701 194.520 126 5.760 12.686 10.255 2.255
(%) 50,25
Pertumbuhan (%/Tahun) 8,46
2.Negara Berkembang 11.517.973 2.1.China 91.851 2.2.India 4.621.567 2.3.Thailand 44.910 2.4.Viet Nam 13.484 2.5.Brazilia 3.017.728 2.6.Argentina 2.959.130 2.7.Lainnya 769.302 TOTAL 23.150.771 Sumber: Diolah dari data BPS, 1996-2005.
49,75
8,93
100,00
9,12
Negara 1.Negara Maju 1.1.AS 1.2.Australia 1.3.Kanada 1.4.Selandia Baru 1.5.UE(15) 1.6.Jepang 1.7.Swiss 1.8.Lainnya
Tabel Lampiran 2. Pendugaan Persamaan Penawaran Kedelai Peubah Konstanta Harga di tingkat petani R2
Parameter 1,9511 0,5660* 0,6885
t-Hitung 1,0843 2,5749
Tabel Lampiran 3. Pendugaan Persamaan Permintaan Kedelai Peubah Konstanta Harga di tingkat konsumen 2 R
Parameter
t-Hitung
14,4644*** -0,9332** 0,4142
4,4588 -2,3785
Tabel Lampiran 4. Pendugaan Persamaan Transmisi Harga dari Pedagang Besar ke Petani Peubah Konstanta Harga di tingkat konsumen 2 R
58
Parameter
t-Hitung
-0,3644*** 0,9989*** 0,6603
-0,2789 6,4505