Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik melalui Pendekatan Problem Posing Oleh: Deddy Sofyan. Sukanto Sukandar M. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah menelaah apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing lebih baik dibanding yang konvensional. Dan, untuk menelaah apakah terdapat kaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematika pada kelas yang mendapatkan pendekatan problem posing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Garut dengan kategori kelompok tinggi. Sampel dipilih secara acak, dalam penelitian ini sampelnya adalah siswa kelas VIII A yang mendapat pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing dan siswa kelas VIII B yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini adalah: 1. peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebih baik dibandingkan dengan konvensional dalam pembelajaran matematika. 2. peningkatan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebih baik dibandingkan dengan konvensional dalam pembelajaran matematika. 3. Terdapat kaitan yang kuat antara peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing dalam pembelajaran matematika. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekakatan problem posing di SMPN 1 Limbangan Garut sama baiknya dengan konvensional dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Kata Kunci: Pendekatan Problem Posing, Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik. A. Latar Belakang Pemecahan masalah (mathematical problem solving), dan komunikasi matematik (mathematical communication) merupakan dua dari lima standar proses yang dikemukakan the National Council of Teachers of Mathematics yang merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika. (NCTM, 1989). Kadir (2010) ISSN 2086-4299
menyatakan bahwa dalam pemecahan masalah matematika terbentuk juga kemampuan matematika lainnya seperti penalaran dan bukti, koneksi matematis, komunikasi matematis, dan representasi matematis. Demikian juga dalam kemampuan siswa mengkomunikasikan ide-ide matematikanya ketika memecahkan 1
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
masalah atau ketika menyampaikan proses dan hasil pemecahan masalah juga merupakan kemampuan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa seperti logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan produktif. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika dalam aspek pemecahan masalah dan komunikasi matematis masih rendah. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil dari The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa kemampuan siswa SMP kelas dua Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (masalah matematis) sangat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedural (Herman, 2006: 5). Rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa akan mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyikapinya adalah pemilihan model pembelajaran yang tepat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dinilai dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis adalah Pendekatan Problem Posing. Menurut Torp dan Sage (Lin dan Huang, 2007), pembelajaran yang berdasarkan masalah (problem) berpusat pada siswa (student centered), dan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. B. Rumusan Masalah
ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah: “Apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa?”. Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan penelitian, “Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional?” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah: 1. Menelaah pendekatan pembelajaran yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis. 2. Untuk mengetahui apakah terdapat kaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi guru, diharapkan bahan ajar dan panduan ajar dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan problem posing menjadi memberi gambaran tentang bagaimana menerapkan pendekatan Problem Posing dan kaitannya dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. 2. Bagi siswa, diharapkan dapat menumbuhkembangkan 2
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis. 3. Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Peningkatan Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pendekatan Problem Posing lebih baik dari siswa dengan pembelajaran konvensional. 2. Peningkatan Kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pendekatan Problem Posing lebih baik dari siswa dengan pembelajaran konvensional. 3. Terdapat kaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pendekatan Problem Posing. F. Kajian Pustaka Peranan Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika Stanic & Kilpatrick (Herman, 2006) menyatakan secara historis tiga peranan pokok pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah, yaitu pemecahan masalah sebagai konteks, pemecahan masalah sebagai keterampilan, dan pemecahan masalah sebagai seni. Ketika pemecahan masalah digunakan sebagai konteks dalam matematika, penekanannya adalah agar siswa tertarik dan aktif melibatkan diri dalam menyelesaikan tugas atau problem yang membantu menjelaskan prosedur atau konsep matematika. Ketika pemecahan masalah sebagai keterampilan, melalui pemecahan masalah siswa harus berhasil memahami konsep matematis ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
maupun prosedur matematis. Oleh karena itu, suatu hal yang keliru jika dalam pembelajaran matematika siswa diberikan prosedur umum untuk menyelesaikan suatu masalah, kemudian dilatih menyelesaikan masalah-masalah rutin sebelum diberikan masalah-masalah nonrutin. Dengan demikian, aktivitas pemecahan masalah bukan sebagai suatu keterampilan yang terpisah namun harus dijadikan aktivitas pengembangan memahami konsep dan keterampilan dasar. Dan pemecahan masalah sebagai seni adalah mengembangkan kemampuan siswa sehingga menjadi problem solver yang terampil dan bersemangat, menjadi pemikir yang independen dalam menyelesaikan masalah-masalah terbuka. Peranan Komunikasi Matematis dalam Memecahkan Masalah Kaitan antara komunikasi dan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika menurut Scheider dan Saunders (Hulukati, 2005) adalah komunikasi dalam pembelajaran matematika bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami soal cerita dan mengkomunikasikan hasilnya. Selain itu penguasaan bahasa yang baik mampu membantu pemahaman dan idea matematika siswa. Kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan masalah matematik, pada umumnya ditunjang oleh pemahaman mereka terhadap bahasa (Lubienski, 2000). Tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Karena itu, komunikasi dalam 3
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
matematika dapat membantu siswa menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang dipelajari. Menurut NCTM (2000) melalui komunikasi diharapkan siswa dapat menata dan menggabungkan pemikiran matematika, mengkomunikasikan pemikiran matematika kepada teman sebaya, guru atau yang lainnya, menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide secara tepat. Komunikasi merupakan bagian yang esensial dalam matematika. Selain merupakan cara untuk berbagi idea dan pemahaman, melalui komunikasi ideaidea dapat menjadi objek refleksi, perbaikan, diskusi, dan penyempurnaan. Ketika siswa ditantang untuk berfikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka secara lisan maupun tertulis, mereka diajak untuk belajar memperoleh pemahaman yang semakin jelas dan meyakinkan. Pendekatan Posing)
Pengajuan
Masalah
(Problem
Silver et. Al., (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendekatan pengajuan masalah matematik merupakan aktivitas dengan 2 pengertian yang berbeda, yaitu: (1) proses mengembangkan masalah matematik yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada dan (2) proses memformulasikan kembali masalah matematik dengan katakata sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian, masalah matematik yang diajukan oleh siswa mengacu pada situasi yang disiapkan oleh guru. Pengajuan masalah matematik menurut Brown dan Walter (1990) terdiri dari 2 aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan
ISSN 2086-4299
kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan. Sementara challenging, berkaitan dengan sejauhmana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan mengajukan masalah atau soal matematika. Hal ini berarti bahwa pengajuan masalah matematika dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar mereka. Pengertian problem posing tidak terbatas pada pengajuan masalah yang betul-betul baru, tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa cara pembentukan soal baru dari soal yang diberikan, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi pada soal itu, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat, atau konteksnya. Hal itu sesuai dengan pengertian problem posing yang dikemukakan Silver (Lin, 2004). Ia mendefinisikan problem posing sebagai pembuatan soal baru oleh siswa berdasarkan soal yang telah diselesaikan. Menurut Silver (Abu-Elwan, 2000), problem posing meliputi beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan beberapa perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan. Dari pandangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengajuan masalah matematika merupakan reaksi terhadap situasi yang telah disediakan oleh guru. Reaksi tersebut 4
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
berupa respon dalam bentuk pernyataan, pertanyaan non-matematika atau pertanyaan matematika, terlepas dari apakah pertanyaan matematika tersebut pada akhirnya dapat dipecahkan atau tidak. Pertanyaan matematika tersebut mungkin berkaitan dengan situasi yang diberikan atau merupakan pengembangan dari situasi lain. Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting yang saling terkait dalam pembelajaran dengan pendekatan pengajuan masalah matematika, yaitu (1) situasi masalah, (2) pengajuan masalah dan (3) pemecahan masalah (Hamzah dalam Nurjanah, 2009). Abu-Elwan (2000) mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing (problem posing semiterstruktur), dan structured problem posing (problem posing terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu dapat didasarkan pada materi matematika, kemampuan siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut diuraikan masingmasing tipe tersebut. Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari. Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk kompetisi matematika atau tes, ”buatlah soal untuk temanmu”, atau ”buatlah soal sebagai hiburan (for fun)”. 2. Semi-structured problem posing (problem posing semi-terstruktur). 1.
Dalam hal ini siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal terbuka (open-ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi matematika, membuat soal berdasarkan ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
soal yang diberikan, membuat soal dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang diberikan. 3.
Structured problem posing (problem posing terstruktur).
Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat soal berdasarkan soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi yang diketahui. Brown dan Walter (1990) merancang formula pembuatan soal berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan. Keterkaitan Pemecahan Masalah dan Problem Posing Menurut Nurjanah (2009), keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pengajuan masalah dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika siswa membuat soal, siswa dituntut untuk memahami soal dengan baik. Hal ini merupakan tahap pertama dalam penyelesaian masalah. Mengingat soal yang dibuat siswa juga harus diselesaikan, tentu siswa berusaha untuk dapat membuat perencanaan penyelesaian berupa pembuatan model matematika untuk kemudian menyelesaikannya. Hal ini juga merupakan tahapan penyelesaian masalah seperti dikemukakan Polya di atas. Berdasarkan penelitian terkini, menurut Winograd (Lin, 2004), pemberian tugas kepada siswa untuk mengajukan masalah dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah dan sikap mereka terhadap matematika. Menurut English (Christou et al,
5
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
1999), problem posing dapat meningkatkan kemampuan berpikir, kemampuan memecahkan masalah, sikap serta kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah dan secara umum berkontribusi terhadap pemahaman konsep matematika. Hal itu juga diperkuat Killpatrik (Christou et al, 1999) yang mengatakan bahwa kualitas pertanyaan atau soal yang dibuat siswa menggambarkan kemampuan siswa menyelesaikan masalah. Berdasarkan penelitiannya Silver dan Cay sebagaimana dikutip Christou et al (1999) menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara problem posing dan problem solving. Ia menggunakan problem posing sebagai alat untuk mempelajari proses kognitif dan menyatakan bahwa problem posing dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan, penalaran, dan perkembangan konseptual siswa. O Keterkaitan pengajuan masalah dan pemecahan masalah diungkapkan oleh English (1997). Menurutnya, dengan membuat soal berarti tahap awal dalam memecahkan masalah, yaitu memahami soal telah terlewati, sehingga untuk menyelesaikan soal dengan tahap berikutnya akan terbuka. Sementara itu Silver dan Cai (1996) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kemampuan pengajuan masalah berkorelasi positif dengan kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan English (1997) menjelaskan bahwa pembuatan soal dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat menguatkan performannya dalam pemecahan masalah. G. Metode Penelitian Dalam penelitian ini sebagai berikut : ISSN 2086-4299
perlakuannya
1) Ada dua kelompok siswa, yaitu kelompok yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Problem Posing dan Pembelajaran Konvensional. 2) Untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika dan komunikasi matematika siswa, maka siswa diberi tes awal dan tes akhir yang keduanya merupakan tes yang sama. Berdasarkan uraian di atas, menurut Ruseffendi (1998) desain penelitiannya adalah desain kelompok kontrol pretes-postes: AO X O AO O Keterangan : A = Pengelompokkan secara acak menurut kelas = Pemberian tes awal/ Tes Akhir (Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi) X = Pendekatan Problem Posing Subyek populasi penelitian ini adalah siswa SMP Negeri kategori sekolah kelompok tinggi di Kabupaten Garut. Menentukan kategori sekolah masuk ke kelompok tinggi adalah berdasarkan prestasi belajar siswa pada Ujian Nasional SMP. Adapun yang menjadi subyek populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 1 Limbangan. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan VIII B sebagai kelas kontrol. Pelaksanaan penelitian di kelas eksperimen dan kontrol dimulai dengan memberikan pretest pada kedua kelas tersebut, kemudian melaksanakan pembelajaran di kelas eksperimen dan kontrol sebanyak enam pertemuan, selanjutnya pada kedua kelas tersebut 6
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
diberikan postest. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 9 Pebruari 2015 sampai dengan 15 April 2015. Penelitian ini menggunakan satu jenis instrumen, yaitu instrumen berupa soal tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika dan kemampuan komunikasi matematik. Sebelum digunakan dalam penelitian, semua perangkat tes telah diujicobakan kepada siswa yang berada di luar subyek sampel, yaitu pada siswa kelas VIII C. Hasil uji coba instrumen diolah menggunakan anates. Dari hasil ujicoba tersebut, semua soal tes dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Analisis data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika dan kemampuan komunikasi matematik siswa dilakukan secara kuantitatif. Analisis data hasil penelitian menggunakan SPSS versi 16.0, dan uji statistik yang digunakan berdasarkan pemilihan uji statistik seperti pada Tabel berikut: Tabel 1. Pemilihan Uji Statistik Univariat/Bivariat
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilihat berdasarkan skor gain mutlak. Skor gain mutlak kemampuan pemecahan masalah adalah selisih skor postest dan pretest. Berdasarkan pengolahan data terhadap skor postest dan pretest pada aspek yang akan diukur, secara ringkas disajikan pada Tabel berikut. Tabel 4. Statistik Deskriptif Skor Gain Mutlak Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Nilai Gain Mutlak Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Asymp. Sig. 0,200
Kesimpulan
Eksperimen
KolmogorovSmirnov Z 0,135
0,05
Kontrol
0,001
0,001
0,05
Normal Tidak Normal
Kelas
Tabel 6. Hasil Uji Mann Whitney Nilai Gain Mutlak Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
H. Hasil dan Pembahasan 1. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
ISSN 2086-4299
7
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Taraf signifikan pada pengujian ini adalah 0,05. Dari Tabel 4.5 nilai Asymp.Sig. = 0,946 > =0,05, karenanya terima H 0 , dimana H 0 = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih baik dari kelas kontrol. 2. Perbandingan Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 8. Hasil Uji Normalitas Nilai Gain Mutlak Kemampuan KomunikasiMatematik Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas
Kolmogoro v-Smirnov Z
Asym p. Sig.
Eksperim en
0,116
0.200
Kontrol
0,115
0,200
0,0 5 0,0 5
Kesimpul an Normal Normal
Tabel 9. Hasil Uji t Nilai Gain Mutlak Kemampuan Komunikasi Matematik Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilihat berdasarkan skor gain mutlak. Skor gain mutlak kemampuan komunikasi matematik adalah selisih skor postest dan pretest. Berdasarkan pengolahan data terhadap skor postest dan pretest pada aspek yang akan diukur secara ringkas disajikan pada Tabel berikut. Tabel 7. Statistik Deskriptif Skor Gain Mutlak Kemampuan Komunikasi Matematik Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Skor Kelas Eksperim en Kontrol
xmin
xmaks
x
s
2
14
8,19
3,305
0
15
8,91
3,908
ISSN 2086-4299
Taraf signifikan pada pengujian ini adalah 0,05. Berdasarkan Levene’s test nilai Asymp.Sig. = 0,601 > =0,05, sehingga varians nilai gain mutlak kemampuan komunikasi matematik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen. Selanjutnya, dengan berdasarkan test t, diperoleh nilai Asymp.Sig. = 0,448 > =0,05 karenanya terima H 0 , dimana H 0 = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan komunikasi matematik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik 8
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
siswa kelas eksperimen tidak lebih baik dari kelas kontrol. 3.
Kaitan antara Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Untuk melihat kaitan apakah siswa yang mempunyai peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan kategori baik akan mempunyai peningkatan kemampuan komunikasi matematik dengan kategori baik juga, dalam penelitian ini digunakan asosiasi kontengensi. Data yang diasosiasikan adalah kategori gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Perhitungan koefisien kontengensi menggunakan SPSS versi 16.0. Pada kelas eksperimen, asosiasi kontingensi antara peningkatan kemampuan pemecahan Masalah dan komunikasi matematik adalah seperti pada tabel berikut: Tabel 10 Asosiasi Kontingensi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Kelas Eksperimen
ISSN 2086-4299
I. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebih baik dari konvensional dalam pembelajaran matematika. Demikian juga untuk kemampuan komunikasi matematik, diperoleh data bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebih baik dari konvensional dalam pembelajaran matematika. Beberapa temuan dari data hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah, baik pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan pendekatan problem posing ataupun pada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Di kelas eksperimen terdapat 51,9 % siswa yang termasuk pada kategori rendah dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik. Dan, di kelas kontrol terdapat 57,6 % siswa yang termasuk pada kategori rendah dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik. Sedangkan untuk kemampuan komunikasi matematika, di kelas eksperimen terdapat 14,8 % siswa yang termasuk pada kategori rendah 9
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematik. Dan, di kelas kontrol terdapat 12,1 % siswa yang termasuk pada kategori rendah dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematik. 2. Di kelas eksperimen, di dalam kegiatan belajar mengajar menggunakan pendekatan problem posing seringkali memperlihatkan terjadinya aktivitas komunikasi matematik di antara siswa. Di dalam kegiatan menyelesaikan lembar kegiatan siswa (LKS), pada saat siswa mencoba melakukan problem posing, seringkali terjadi diskusi di antara siswa, seperti tampak pada gambar berikut.
Gambar 1. Aktivitas diskusi ketika problem posing
J. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan analisis dalam Bab IV, diperoleh beberapa kesimpulan: 1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebi baik dari konvensional dalam pembelajaran matematika. 2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing tidak lebih baik dari konvensional dalam pembelajaran matematika. ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
3. Terdapat kaitan yang kuat antara peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada siswa yang mendapatkan pendekatan problem posing dalam pembelajaran matematika. Saran Beberapa saran atau rekomendasi yang dapat dikemukakan: 1. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan untuk menenliti kemampuan lain yang belum terjangkau penulis, seperti kemampuan penalaran dan kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing. 2. Dalam penelitian ini subjek yang penulis teliti adalah siswa SMP kelas VIII. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk menenliti subjek pada tingkat yang lainnya. 3. Bagi guru matematika, pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat menjadi salah satu alternatif pembelajaran di kelas yang dinilai dapat lebih mengaktifkan kegiatan diskusi di antara siswa, dan sama baiknya dengan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dan kemampuan komunikasi matematik.
10
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Daftar Pustaka Abu-Elwan, R. (2000). Effectiveness of Problem Posing Strategies on Perspective Mathematics Teachers’ Problem Solving Performance. [Online] Tersedia http://math.unipa.it/~grim/AAbu Elwan1-6. [7 September 2007]. English, L. D. (1997). Promoting a Problem-posing Classroom, Teaching Children Mathematics, 3, pp. 172-179. Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan. Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif.. Disertasi pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan. Kadir (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir Sebagai upaya Peningkatan kemampuan Pemecahan Masalah Matematika, Komunikasi Matematika, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi. Bandung: SPS UPI. Lin, P.J. (2004). Suporting Teachers On Designing Problem-Posing Task As A Tool Of Assessment To Understand Students’ Mathematical Learning. Proceedings of the 28th Conference of the International ISSN 2086-4299
Group for the Psychology of Mathematics Education, 2004 Vol 3 pp 257–264 Taiwan: National Hsin-Chu Teachers College. Lin,C., Huang, H. (2007). The Comparison of Problem-based Learning (PmBL) Model and Project-based Learning (PtBL) Model. International Conference on Engineering Education – ICEE 2007 (September 3 – 7, 2007). http://www.ineer.org/Events/IC EE2007/papers/179.pdf. [online]. Tersedia. 9-9-2010. Lubienski, S.T. (2000). Problem Solving as Means Towards Mathematics for All: An Exploratory Llok Through a Class lens. Journal for Research in Mathematics Education. 31 94), 454-482. NCTM - National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. National Council of Teaching of Mathematics (NCTM). 1989. Curriulums and Evaluation Standard for School Mathematics. Reston. Virginia : NCTM. Nurjanah (2009). Problem Posing Approach in Mathematics In Acceleration Class At SMAN 1 Sumedang Through Lesson Study. Disajikan pada the 2nd International Conference on Lesson Study (ICLS). UPI: FPMIPA Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru 11
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Mengembangkan Kompetensinya Tarsito. Silver, E. A. & Cai, J. (1996). An analysis of arithmetic problem posing by middle school students. Journal for Research in Mathematics Education, Vol27(5), pp.521-539.
ISSN 2086-4299
12
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Model Advance Organizer dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Oleh: Irena Puji Luritawaty Reni Nuraeni
Abstrak Latar belakang penelitian ini adalah masih rendahnya prestasi di bidang matematika dalam hal kemampuan pemecahan masalah. Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk menelaah efektivitas model pembelajaran advance organizer dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di tingkat MTs. Studi ini bersifat kuasi eksperimen. Populasi pada penelitian ini yaitu siswa kelas VII salah satu MTs swasta di kabupaten Garut. Instrumen yang digunakan yaitu tes kemampuan pemecahan masalah matematis (pretest dan posttest). Analisis data dilakukan dengan uji perbedaan rerata. Hasil penelitian secara garis besar menunjukan bahwa pembelajaran dengan model advance organizer memiliki kecenderungan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa daripada pembelajaran konvensional. Kata kunci: Model Pembelajaran Advance Organizer, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.
A. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dikuasai oleh semua lapisan masyarakat, terutama siswa-siswa di sekolah formal pada umumnya. Hal ini disebabkan matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan dan semua bidang studi, merupakan sarana komunikasi yang singkat dan jelas, meningkatkan kemampuan berpikir logis dan teliti, serta memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Namun, faktanya pencapaian prestasi matematika di Indonesia masih cukup rendah bahkan menurun. ISSN 2086-4299
Hal ini dibuktikan dari data Trends in Mathematics and Science Study (dalam Napitupulu, 2012) bahwa pada penilaian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Educational Achievement Study Center Boston College pada siswa kelas VII tahun 2011, Indonesia berada di urutan ke38 dengan skor 386 dari 42 negara yang siswanya dites. Skor tersebut ini turun 11 poin dari penilaian pada tahun 2007. Salah satu bagian dari prestasi matematika yang masih rendah adalah pada aspek kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan hasil survey TIMSS 13
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id pada tahun 2007 tentang skor ratarata kemampuan matematika siswa kelas 8 dalam kemampuan siswa untuk memecahkan masalah tidak rutin, siswa Indonesia memperoleh skor 398, masih di bawah skor ratarata internasional yaitu 500 (Mulis, et al, 2007). Selain itu, dari hasil survey PISA (OECD, 2010) tahun 2009 tentang penilaian salah satu aspek kognitif yaitu kemampuan pemecahan masalah matematika diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 65 negara yang disurvey dengan skor rata-rata kemampuan matematika siswa Indonesia yaitu 371, skor tersebut masih dibawah rata-rata skor internasional yaitu 496. Selain itu, Yonandi (2011) mengungkapkan bahwa bahwa kemampuan pemecahan masalah dari siswa masih kurang. Kelemahan siswa pada kemampuan pemecahan masalah matematis adalah pada aspek merencanakan penyelesaian dan memeriksa kembali. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa hasil penelitian yang mneyetakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di sekolah menengah secara umum belum mencapai hasil yang maksimal (Astuti, 2000; Soekisno, 2002; Sukasno, 2002; Gani, 2004). Selain untuk meningkatkan prestasi di bidang matematika, kemampuan pemecahan masalah matematis juga perlu ditingkatkan karena kemampuan tersebut dianggap sangat penting. Branca (1980) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah penting karena (a) pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, (b) pemecahan masalah yang meliputi metoda, prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (c) pemecahan masalah ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Dahar (2011: 121) menyatakan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah pada dasarnya merupakan tujuan utama proses pendidikan. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, salah satu langkah yang dapat digunakan oleh guru adalah memilih model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang diperkirakan baik untuk diterapkan dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah model pembelajaran Advance Organizer. Model pembelajaran advance organizer dikembangkan oleh David Ausubel pada tahun 1963. Model ini merupakan suatu cara belajar bermakna untuk memperoleh pengetahuan baru yang dikaitkan dengan pengetahuan yang telah ada pada diri siswa. Model pembelajaran advance organizer lebih mengutamakan struktur kognitif siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ausubel dalam Joyce, Weil & Calhoun, 2000 bahwa model pembelajaran advance organizer bertujuan untuk memperkuat struktur kognitif siswa atau pengetahuan mereka tentang pelajaran tertentu dan bagaimana mengelola, memperjelas dan memelihara pengetahuan tersebut dengan baik. Ausubel berpendapat bahwa struktur kognitif yang dikuasai siswa merupakan faktor yang sangat menentukan kebermaknaan dari materi-materi baru yang didapat oleh siswa. Hal ini disebabkan struktur kognitif yang baik memungkinkan siswa memiliki kesiapan belajar, pengorganisasian materi, dan penyimpanan materi yang baik. Ausubel (Joyce, Weil & Calhoun, 2000) meyakini bahwa siswa harus 14
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id menjadi konstruktor pengetahuan yang aktif, hanya saja arah tujuannya adalah mengajarkan mereka pada metalevel disiplin dan metakognisi untuk merespon pengajaran secara produktif, dari pada mengawali pengajaran dengan dunia persepsi mereka dan membimbing mereka untuk menginduksikan strukturstruktur. Pada model pembelajaran advance organizer guru menyajikan materi baru secara efektif, guru harus meningkatkan stabilitas dan kejelasan struktur siswa. Informasi baru mengenai konsep diisi kedalam kategori kerangka kerja yang disebut skema yang terdiri dari informasi khusus mengenai suatu konsep. Ketika pengetahuan sebelumnya didapatkan kembali, skema ini memberikan kerangka kerja untuk meletakkan pengetahuan baru. Jika pengetahuan yang sebelumnya tidak tersedia, advance organizer berguna untuk memberikan pengetahuan kepada siswa agar informasi baru diperoleh dengan mengingat kembali. Misalnya memberikan siswa diagram sebelum mendengarkan wacana dapat menuntun pada daya ingat siswa yang lebih baik terhadap materi, daya ingat siswa dapat ditingkatkan untuk informasi konseptual dalam pelajaran. Advance organizer berfungsi dalam memberikan dukungan untuk informasi baru untuk memudahkan menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep yang telah ada pada struktur kognitif siswa, sehingga terjadi belajar bermakna. Advance organizer mengarahkan perhatian siswa kepada sesuatu yang penting dalam materi yang akan datang; menyoroti hubungan-hubungan antar gagasan yang akan disajikan; dan mengingatkan siswa akan informasi relevan yang telah siswa miliki ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
(Woolfolk dalam Hendron, 2006). Advance organizer membantu menghimpun materi baru dengan menjabarkan, menyusun gagasan utama materi baru berdasarkan pada apa yang telah diketahui oleh siswa. Tahapan model pembelajaran advance organizer terdiri dari tiga tahap, yaitu penyajian advance organizer , penyajian bahan pelajaran, dan penguatan organisasi kognitif. Pada pelaksanaannya, model pembelejaran advance organizer dimulai dari kegiatan guru menyajikan advance organizer dengan membuat organisasi secara tegas. Hal ini bertujuan agar siswa mendapat materi secara utuh walaupun hanya garis besarnya, sehingga siswa mampu menkonstruksi materi secara detail, dan dapat menentukan data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah apabila dihadapkan pada suatu permasalahan. Setelah itu, guru menyajikan bahan dan permasalahan dengan menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif dan melakukan pendekatan kritis kepada siswa guna memperjelas materi pelajaran, serta memastikan bahwa siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini bertujuan agar belajar menjadi bermakna. Siswa diarahkan untuk dapat mengintegrasikan kemampuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan barunya, sehingga pengetahuan dapat tersusun dengan baik. Kemudian terakhir, guru dan siswa melakukan evaluasi untuk memastikan bahwa proses belajar bermakna sudah dilakukan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran advance organizer, tergambar bahwa advance organizer dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hal tersebut sejalan dengan indikator kemampuan pemecahan 15
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id masalah yang di utarakan oleh Sumarmo (2013: 128) yaitu (1) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah, (2) membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya, (3) memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika, (4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, dan (5) menerapkan matematika secara bermakna. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berfokus pada pembelajaran yang diduga dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan Model judul Advance Organizer“ dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian Apakah kemampuan ini pemecahan adalah masalah “ matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Advance Organizer lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?” C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran advance organizer lebih baik daripada siswa yang ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
memperoleh konvensional.
pembelajaran
D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dengan pembelajaran advance organizer dan kelompok kontrol dengan pembelajaran konvensional. Desain penelitian berbentuk pretest-posttest control group design (Russefendi, 2005: 52), yaitu sebagai berikut: Kel eksperimen Kel Kontrol
O
X
O
O O
Keterangan: O: Pretest dan Posttest X: Perlakuan terhadap kelompok eksperimen berupa pembelajaran advance organizer
E. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada akhir januari dan berakhir pada bulan maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu MTs swasta di kabupaten Garut. Tempat tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan nilai ujian sekolah dan nilai ujian nasional di sekolah tersebut masih rendah. F. Teknis Analisis Data Pada saat penelitian, tes kemampuan pemecahan masalah matematis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pembelajaran pada kelas ekperimen dan kelas kontrol. Data yang diperoleh kemudian diolah 16
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id dengan uji statistik. Analisis data yang dilakukan adalah uji normalitas, kemuludian dilanjutkan dengan uji homogenitas, dan diakhiri dengan uji-t. Analisis data dilakukan dengan bantuan SPSS 18.0. G. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis data kemampuan pemecahan masalah matematis bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data tersebut secara umum dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Data Statistik Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelas Kelas Kontrol Varia Data Stati bel Eksperimen stik Pos Pre Pos Pretes
ttes
tes
ttes
34
34
34
34
12
84
12
78
1
50
1
50
4,91
70,59
6,02
62,26
2,56
6,95
3,26
7,25
Kema mpua n Peme Xmax cahan Masal Xmin ah Mate matis SD
̅
Berdasarkan tabel 1, hasil rerata pretest kemampuan pemecahan masalah matematis kelas eksperimen sebesar 4,91 dan kelas kontrol 6,02. Dari kedua data tersebut diperoleh selisih sebesar 1,11. Nilai selisih tersebut tidak terlalu besar sehingga dapat diduga bahwa kedua kelas mempunyai kemampuan awal pemecahan masalah matematis yang tidak jauh berbeda. Hal ini berbeda dengan hasil rerata posttest kemampuan pemecahan masalah
ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015 matematis, dimana rerata kelas eksperimen sebesar 70,59 dan kelas kontrol 62,26 dengan selisih cukup besar yaitu sebesar 8,33. Dari selisih tersebut dapat diduga bahwa kemampuan akhir pemecahan
masalah matematis kedua kelas berbeda. Jika dilihat dari besar nilai reratanya, tampak bahwa rerata kemampuan pemecahan masalah matematis kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Data pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah matematis, masing-masing dikenakan uji statistik yang diawali dengan uji normalitas menggunakan uji ShapiroWilk dan uji homogenitas menggunakan uji Levene. Hasilnya adalah baik data pretest maupun posttest keduanya berdistribusi normal dan homogen. Uji selanjutnya yaitu uji-t. Hasilnya adalah, untuk data pretest diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor pretes kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa di kelas eksperimen dan di kelas kontrol. Hal tersebut berarti pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pemecahan masalah matematis antara siswa di kelas eksperimen dan di kelas kontrol. Sedangkan untuk data posttest, diketahui bahwa rerata posttes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan advance organizer lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Artinya pada tingkat kepercayaan 95%, pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran advance organizer lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan data hasil penelitian, terdapat temuan-temuan 17
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
yang terjadi pada saat penelitian, yang menunjukan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran advance organizer lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional. Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara bertahap dan rinci sehingga diperoleh penyelesaian yang tepat. Kemampuan pemecahan masalah dapat terbentuk dengan membuat suasana belajar bermakna. Siswa harus diarahkan untuk membangun pengetahuannya secara utuh, sehingga permasalahan matematika dapat benar-benar dipahami hingga ke penyelesaian masalah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengintegrasikan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang akan didapatnya melalui model pembelajaran advance organizer. Model pembelajaran advance organizer mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, diantaranya yaitu memungkinkan siswa memahami materi secara utuh, dan menguatkan daya ingatnya. Hal ini disebabkan model pembelajaran ini dapat memfasilitasi siswa untuk menginterasikan pengetahuan awal dan akhir dengan baik, sehingga tidak terjadi miskonsepsi pada diri siswa.
advance organizer lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Maka dari itu, model tersebut dapat dijadikan alternatif pilihan untuk megeksplorasi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Adapun saran yang dapat diajukan penulis diantaranya adalah
H. Kesimpulan dan Saran
Branca, N.A. (1980). Problem Solving as Goal, Process and Basic Skills. in S Krulik and R.E. Reys (Eds). Problem Solving in School Mathematics. Washington DC: NCTM.
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran ISSN 2086-4299
1) untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti efektivitas model advance organizer terhadap kemampuan matematis yang lainnya. 2) dalam penelitian ini subjek yang ditulis oleh penulis adalah siswa MTs. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti subjek pada tingkat yang lainnya atau pada bahasan dan populasi yang lebih luas.
I. Daftar Pustaka Astuti, W. (2000). Penerapan Strategi Belajar Kooperatif Tipe Student Teams-Achievement Divisions (STAD) pada Pembelajaran Matematika Kelas II di MAN Magelang. (Studi Eksperimen untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah bagi Siswa Berkemampuan Unggul pada Pokok Bahasan Program Linier). Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan.
18
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Matematika Indonesia Menurun. [Online]. Tersedia: http://edukasi.kompas.com/read /2012/12/14/09005434.
Gani, RA. (2004). Pengaruh Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum di Bandung. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan.
OECD. (2010). What Student Know and Can Do: Student Performance in reading, mathematics and science. [online]. Tersedia: http:// www.oecd.org/dataoecd/54/12/4 6643496.pdf.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, W. (2000). Models of Teaching (sixth Edition). A Pearson Education Company.
Russefendi, H. E.T. (2005). DasarDasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Mulis, et al. (2007). Average Achievement in the mathematics Content. Chestnut Hill, MA: TIMSS &PIRL Internasional Study Center, Boston College. [online]. Tersedia: http://timss.bc.edu/timss2007/PD F/T07.
Soekisno, R. B. A. (2002). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa dengan Strategi Heuristik. Studi Eksperimen di SMU Negeri 8 Kota Bogor. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan.
. (2007). Mathematics Framework. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRL International Study Center, Boston College. [Online]. Tersedia: utihttp://timss.bc.edu/timss2007/ PDF/T07.
Sukasno. (2002). Model Pembelajaran Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Trigonometri. Studi Eksperimen pada Siswa Kelas II SMU Negeri 22 Bandung. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan
Napitupulu, E. L. (2012). Prestasi
ISSN 2086-4299
19
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PERKULIAHAAN ALJABAR DAN TRIGONOMETRI oleh Iyam Maryati
ABSTRAK Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1)) meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Aljabar dan trigonometri, (2) mendeskripsikan tanggapan mahasiswa terhadap metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) dan (3) meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang prestasi belajar, data tanggapan mahasiswa terhadap metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) dan aktivitas belajar mahasiswa,. Data prestasi belajar mahasiswa dikumpulkan melalui tes hasil belajar, data tentang tanggapan mahasiswa terhadap metode pembelajaran yang diimplementasikan dikumpulkan dengan angket sedangkan data mengenai tingkat aktivitas belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran dikumpulkan dengan metode observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa, yakni dari cukup aktif menjadi aktif serta dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, yakni sekitar 77, 23 % memperoleh nilai A dan B dan tanggapan mahasiswa terhadap proses pembelajaran tergolong positif. Kata kunci : Metode Pembelajaran Think Talk Write (TTW), prestasi belajar, aktivitas belajar, Aljabar dan Trigonometri. A. Pendahuluan Standar kompetensi lulusan menurut Standar Nasional Pendidikan Tinggi berdasarkan Permendikbud no. 49/2014 merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah satu standar kompetensi lulusan yang menyangkut pengetahuan yaitu merupakan penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau falsafah bidang ilmu tertentu secara sistematis yang diperoleh melalui penalaran dalam proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. ISSN 2086-4299
Beberapa kendala dalam pembelajaran yang dialami dalam materi perkuliahan adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam membuktikan suatu teorema/sifat-sifat, atau mengaplikasikannya pada masalah sehari-hari. Salah satu cara yang telah dilakukan oleh pengajar terkait dengan kendala tersebut adalah menugasi mahasiswa untuk membaca terlebih dahulu materi yang akan dikuliahkan, meminta mahasiswa untuk memahami maksud dari suatu teorema/sifat-sifat sebelum mereka membuktikannya ataupun menerapkan pada masalah sehari-hari dan memberikan contoh20
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
contoh/illustrasi mengenai maksud teorema yang diberikan. Namun, upaya ini tampaknya kurang berhasil karena hasil yang diperoleh belum sesuai dengan harapan. Hal ini dibuktikan oleh nilai Aljabar dan Trigonometri pada tahun Akademik 2013/2014, menunjukkan bahwa prosentase mahasiswa yang memperoleh nilai cukup dan kurang (nilai C, D) sangat banyak yakni berturut-turut adalah 64, 26 %, dan 11,35 % dari 59 orang mahasiswa. Ini berarti, prosentase mahasiswa yang memperoleh nilai A dan B sangat kecil dan masih ada mahasiswa yang gagal mengikuti mata kuliah ini. Proses perkuliahan Aljabar dan Trigonometri harus ditingkatkan karena substansi mata kuliah aljabar dan trigonometri ini sangat menunjang dan merupakan mata kuliah dasar untuk mata kuliah lainnya seperti Kalkulus, Aljabar Linier, juga Struktur Aljabar. Sehingga mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang memegang peranan yang sangat penting bagi mahasiswa. Dengan demikian harapan agar mahasiswa mencapai indeks prestasi yang memadai dapat tercapai. Kurang berhasilnya mahasiswa dalam mengikuti perkulihaan ini disebabkan juga kurangnya kesadaran mahasiswa untuk membaca terlebih dahulu materi yang akan dikuliahkan, hampir tidak terdapat mahasiswa yang bertanya pada dirinya sendiri untuk persiapan pada kuliah berikutnya, mahasiswa belum berani mengungkapkan apa yang telah dibaca/ dikerjakan jika tidak ditugaskan oleh dosen serta mahasiswa kurang bisa berkomunikasi dengan teman ataupun dosen. Menurut Driver R (1988), hasil belajar tidak hanya tergantung pada pengalaman belajar, tetapi juga ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
tergantung pada apa yang telah dimiliki oleh pebelajar. Jika yang telah dimiliki mahasiswa adalah miskonsepsi, maka mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam belajar yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya prestasi belajar mereka. Model pembelajaran yang telah diterapkan oleh dosen pengajar selama ini dirasakan kurang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Apabila dilihat dari aspek kolaborasi yang terjadi selama ini baik antara mahasiswa dengan dosen maupun antarmahasiswa, ternyata proses pembelajaran yang telah berlangsung dapat dikatakan belum optimal. Hal ini akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang dicapai mahasiswa. Hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Aljabar dan Trigonometri menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami kesulitan untuk mengikuti perkuliahan karena pengetahuan konsep mereka masih kurang, minimnya sumber belajar yang sesuai dengan silabi mata kuliah, literatur yang ada kebanyakan berbahasa asing, dosen jarang sekali menggunakan lembar kerja mahasiswa (LKM), dan dosen pengajar dalam memberikan tugas cenderung hanya untuk pemenuhan tugas-tugas perkuliahan. Untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan suatu tindakan untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar mereka. Tindakan yang cocok dan disepakati untuk diterapkan adalah dengan menerapkan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) karena metode pembelajaran ini memfasilitasi mahasiswa untuk aktif 21
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan, sehingga proses perkuliahan Aljabar dan Trigonometri nantinya akan menjadi lebih baik, yang tentu saja berdampak pada peningkatan prestasi belajar mahasiswa. Dalam pembelajaran ini, peran dosen adalah menyediakan suatu kondisi bagaimana mahasiswa mampu belajar secara mandiri, lebih mudah dan efektif, dan tidak hanya menunggu informasi dari dosen. Agar pembelajaran ini dapat berjalan dengan baik, diperlukan suatu perangkat pembelajaran yang mampu mendukung pelaksanaannya. Perangkat pembelajaran yang diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran ini adalah Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) Aljabar dan Trigonometri dengan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) sehingga tercipta suatu pembelajaran yang kondusif dan mahasiswa berkesempatan mengembangkan sendiri pengetahuannya. Dengan demikian, metode pembelajaran tersebut diharapkan mampu mengubah cara belajar mahasiswa yang selama ini lebih banyak bersifat menunggu informasi dari dosen ke pembelajaran yang bermakna. Dengan terbiasanya mahasiswa belajar secara bermakna dan menemukan sendiri konsep-konsep materi yang dipelajari, diharapkan prestasi belajar, aktivitas belajar mereka dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri khususnya meningkat. Semua ini akan bermuara pada peningkatan indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa dan mempercepat masa studi mereka. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis ingin melakukan suatu penelitian yang difokuskan pada metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah aljabar dan trigonometri dapat meningkat dengan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW)?. 2. Bagaimana tanggapan mahasiswa terhadap metode pembelajaran Think Talk Write (TTW)?. 3. Bagaimana aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri? Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1.
2.
3.
Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar mahasiswa dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri melalui metode pembelajaran Think Talk Write (TTW). Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar mahasiswa dalam perkulihaan Aljabar dan Trigonometri, Untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap penerapan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) dalam perkulihaan Aljabar dan Trigonometri.
B. Kajian Pustaka Metode pembelajaran Think Talk Write merupakan strategi yang memfasilitasi latihan berbahasa secara lisan dan menulis bahasa tersebut dengan benar dan lancar. Strategi ini pertama kali diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin (1996: 82) yang didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah perilaku sosial. Adapun sintaks dari metode pembelajaran ini adalah: Tahap 1 : Think 22
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Siswa membaca teks berupa soal, pada tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan hal-hal yang tidak dipahami dengan menggunakan bahasanya sendiri. Menurut Satriawati, G (2006: 2-3) “ dalam pembelajaran matematika berfikir secara matematika digolongkan dalam dua jenis yaitu berfikir tingkat rendah dan berfikir tingkat tinggi”. Berfikir tingkat rendah yaitu melaksanakan operasi hitung sedrehana, menerapkan rumus matematika secara langsung dan mengikuti prosedur yang baku. Sedangkan berfikir tingkat tinggi ditandai dengan kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan mengenali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara matematik, dan menggunakan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya. Tahap 2 : Talk Siswa diberi kesempatan untuk membicarakan hasil penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini siswa merefleksikan, menyusun, serta menguji ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok. Menurut Martinis, Y (dalam Ansari, B.I, 2008: 86) mengutarakan Talk penting dalam matematika karena sebagai cara utama untuk berkomunikasi dalam matematika, pembentukan ide (forming ideas) melalui proses talking, meningkatkan dan menilai kualitas berfikir karena talking dapat membantu mengetahui tingkat pemahaman peserta didik dalam pembelajaran matematika. Tahap 3 : Write ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Pada tahap ini siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan tahap pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian dan solusi yang diperoleh. Menurut Silver and Smith (1996: 21) yang menyatakan bahwa peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan penggunaan strategi Think Talk write (TTW) adalah mengajukan dan menyediakan tugas yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir, mendorong dan menyimak ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan dan memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam diskusi, serta memonitor, menilai dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Tugas yang disiapkan diharapkan dapat menjadi pemicu siswa untuk bekerja secara aktif, seperti soal-soal yang memiliki jawaban divergen atau openended task C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam 2 siklus, dengan langkah- langkah perencanaan, pelaksanaan, observasi & evaluasi serta refleksi. Dalam penelitian ini juga dikembangkan perangkat pembelajaran berupa LKM yang disusun oleh dosen. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Garut yang mengikuti perkuliahan Aljabar dan Trigonometri pada semester Ganjil Tahun Akademik 2014/ 2015 yang banyaknya 62 orang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 23
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
lembar observasi, angket, dan tes. Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktivitas belajar mahasiswa, angket digunakan untuk menggali tanggapan mahasiswa terhadap penerapan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) dalam perkulihaan Aljabar dan Trigonometri, dan tes digunakan untuk mengetahui prestasi belajar mahasiswa. Analisis data tentang aktivitas mahasiswa dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan rentangan sangat aktif, aktif, cukup aktif, dan kurang aktif. Untuk aktivitas mahasiswa, jika tingkat aktivitas belajar mahasiswa pada akhir siklus II lebih baik daripada siklus I, maka dikatakan ada peningkatan aktivitas belajar mahasiswa. Prestasi belajar dianalisis secara deskriptif, dengan membandingkan prosentase mahasiswa yang memperoleh nilai A, B dan C dengan prosentase mahasiswa yang memperoleh nilai D dan E. Data tentang tanggapan mahasiswa dianalisis secara klasikal dengan membandingkan banyaknya mahasiswa yang memiliki tanggapan positif dengan mahasiswa yang memberi tanggapan negatif/netral. Adapun tahapan dalam penelitian ini terbagi dalam siklus di bawah ini: SIKLUS I Pertama, Tahap Perencanaan Tindakan, langkah-langkahnya adalah (1)penyusunan rancangan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW). (2) penyusunan LKM sesuai dengan materi yang telah diterapkan (Masingmasing siklus direncanakan empat buah LKM), dan (3). penyusunan tiga macam instrumen yakni lembar observasi, angket dan tes untuk masing-masing siklus.
ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Kedua, Pelaksanaan Tindakan, secara operasional langkah-langkahnya adalah (1) pada awal pertemuan disosialisasikan tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan pada mahasiswa, sumber wajib/ sumber pendamping dan sistem evaluasi yang akan digunakan, (2) kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang heterogen dan beranggotakan 3 - 4 orang, dan (3) dilaksanakan kegiatan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW). Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut. (a) Tahap 1: Think yaitu mahasiswa diminta membaca teks berupa materi ajar/LKM secra individu untuk memikrkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide atau dasar pemikiran tentang materi tersebut, dan hal-hal yang tidak dimengerti/ dipahami dengan menggunakan bahasanya sendiri kemudian dibawa ke forum diskusi, (b) Tahap 2: Talk mahasiswa diberi kesempatan untuk membicarakan hasil penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini mahasiswa merefleksikan, menyusun, serta menguji ide-ide dalam kegiatan kelompok, kemampuan komunikasi mahasiswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi, baik dalam bertukar ide dengan orang lain maupun refleksi mereka sendiri yang diungkapkannya kepada orang lain. (c) Tahap 3: Write, Mahasiswa untuk menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian dan solusi yang diperoleh. Ketiga, Observasi/ Evaluasi, langkah-langkah mengobservasi/ 24
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
mengevaluasi adalah (1) mengamati aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran, sebagai dampak dari tindakan yang diberikan, (2) mencatat segala sesuatu yang muncul terkait dengan pelaksanaan tindakan yang diberikan dalam catatan harian, (3) mengevaluasi hasil-hasil yang dicapai selama dan setelah pelaksanaan tindakan meliputi: tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa, prestasi belajar mahasiswa, dan tanggapan mahasiswa terhadap tindakan yang dilakukan. Keempat, Refleksi, pelaksanaan tindakan direncanakan selama dua bulan yang dibagi menjadi dua siklus. Masing-masing siklus berjalan selama satu bulan. Refleksi dilakukan sebelum, selama, dan sesudah tindakan. Refleksi yang dilakukan sebelum tindakan bertujuan untuk menyempurnakan LKM yang disusun agar tahap pemberian tindakan menjadi lebih efektif. Refleksi selama tindakan bertujuan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan atau keberhasilan yang telah dicapai, agar pada pelaksanaan berikutnya dapat lebih optimal. Sedangkan refleksi di akhir siklus bertujuan untuk mengambil kesimpulan tentang pelaksanaan penelitian yang dilakukan. SIKLUS II Pelaksanaan tindakan pada siklus II pada dasarnya serupa dengan pelaksanaan pada siklus I. Perbedaannya hanya pada tingkat kesempurnaan perencanaan/pelaksanaan tindakan. Segala macam kendala yang dihadapi pada siklus I diupayakan pemecahan dan perbaikannya pada siklus II. Pelaksanaan observasi dan refleksi pada siklus II juga sama dengan siklus I. Setelah dilakukan observasi siklus II, diidentifikasi lagi segala ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
permasalahan baru yang diperoleh dari hasil analisis semua data. Perlu dicermati apakah masih ada hambatan dan apa penyebabnya. Dari hasil refleksi siklus ini diharapkan pelaksanaan perkuliahan Aljabar dan Trigonometri dapat ditingkatkan secara bertahap dan berkesinambungan begitu juga dengan aktivitas belajar mahasiwa. D. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini berupa aktivitas belajar, prestasi belajar, dan tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran yang diterapkan. Pada siklus I, skor rerata aktivitas belajar mahasiswa adalah 10,56. Menurut kriteria aktiviatas belajar, tingkat aktivas belajar mahasiswa pada siklus I adalah cukup aktif. Prestasi belajar mahasiswa setelah tindakan siklus I adalah 5 orang atau 8,06 % dengan nilai A, 12 orang atau 19,35% dengan nilai B , 29 orang atau 46,77% dengan nilai C, 12 orang atau 19,35% dengan nilai D dan 4 orang atau 6,45 % dengan nilai E. Pada siklus II, skor rerata aktivitas mahasiswa adalah 12,54. Menurut kriteria aktiviatas belajar, tingkat aktivas belajar mahasiswa adalah aktif. Prestasi belajar pada siklus ini adalah 15 orang atau 24,19 % dengan nilai A, 32 orang atau 51,61 % dengan nilai B, 3 orang atau 4,84 % dengan nilai C dan 2 orang atau 3,23 % nilai D. Tanggapan mahasiswa terhadap model yang diterapkan adalah mahasiswa yang memberikan jawaban sangat positif 8 orang, yang memberikan jawaban positif 36 orang dan netral 18 orang. Ini berarti yang
25
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
memberikan jawaban positif lebih banyak daripada yang memberikan jawaban netral. Ini berarti tanggapan mahasiswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah positif. Secara ringkas, hasil penelitian di atas disajikan pada tabel 1. Tabel 1 : Ringkasan Hasil Penelitian pada Siklus I dan Siklus II
Dari tabel 1 tampak bahwa pada siklus I aktivitas belajar mahasiswa pada siklus I tergolong cukup aktif. Hasil belajar mahasiswa juga belum maksimal karena hanya 17 orang atau 27,42 % yang mendapat nilai A dan B. Dari hasil observasi yang dilakukan, ada beberapa kendala ataupun kekurangan yang dihadapi selama proses pembelajaran. Hasil tersebut digunakan sebagai bahan refleksi pada siklus I. Pada tahap refleksi ini, diadakan diskusi dengan dosen terkait untuk membahas dan mengupayakan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan-kekurangan tindakan pada siklus I. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, disepakati untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada siklus II dengan cara sebagai berikut. Pertama, kurang semangatnya mahasiswa dalam mengajukan pertanyaan ataupun mengungkapkan gagasan yang mungkin disebabkan belum terbiasanya mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanya dalam perkuliahan, diperbaiki dengan cara memberikan bonus nilai untuk mahasiswa yang berani bertanya ataupun menyampaikan pendapat serta ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
menyarankan kepada mahasiswa, jika malu pada dosen, agar bertanya pada tutor ataupun menggunakan kesempatan pada saat diskusi kelompok untuk bertanya dengan temannya. Kedua, belum optimalnya diskusi yang dilakukan mahasiswa baik internal maupun dengan kelompok lain, yang mungkin disebabkan mahasiswa masih malu menunjukkan kemampuannya secara optimal, ditindaklanjuti dengan mengingatkan bahwa setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab pada anggota kelompoknya. Jika ada anggota kelompok yang belum mengerti, hal itu akan berdampak pada nilai kelompoknya jika kebetulan mahasiswa yang kurang mengerti tersebut ditunjuk dosen untuk presentasi. Karena itu, mahasiswa yang kurang aktif ataupun kemampuannya kurang dapat memanfaatkan temannya ataupun tutor untuk bertanya secara optimal. Ketiga, untuk mengetahui mahasiswa mana yang kurang mengerti atau sering salah konsep, pada akhir setiap topik diberikan kuis, sehingga kekurangmengertian mahasiswa dalam memahamai konsep dapat diatasi lebih awal. Setelah kuis, diberikan penjelasan kembali khususnya untuk konsepkonsep yang kurang dipahami mahasiswa dan menunjukkan pada bagian-bagian mana mahasiswa mengalami kekeliruan/ miskonsepsi. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan diharapkan dapat menutupi kekurangankekurangan yang terjadi pada siklus I. Perbaikan ini akan diimplementasikan pada tindakan siklus II. Berdasarkan implementasi rancangan tindakan pada siklus II yang merupakan perbaikan tindakan siklus I, dapat diketahui bahwa hasil yang diperoleh pada siklus II lebih baik dari pada siklus I. Hal ini dapat diketahui 26
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
dari deskripsi data pada siklus II. Pertama, aktivitas belajar mahasiswa tergolong aktif dengan rerata skor sebesar 12,54. Hal ini berarti aktivitas belajar mahasiswa meningkat dari segi kuantitas dan kualitas. Ketiga, prestasi belajar mahasiswa meningkat karena pencapaian nilai A dan B mencapai sebesar 75,81 % dan sebesar 80, 65 % memperoleh nilai C keatas. Dengan demikian penelitian pada siklus II sudah memberikan hasil yang optimal. Tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran yang dilaksanakan positif. Ini menandakan bahwa penerapan metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) tidak hanya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga dapat menciptakan kegairahan belajar bagi mahasiswa. Mahasiswa yang semula kurang mempersiapkan diri sebelum perkuliahan menjadi begitu antusias untuk menyiapkan diri baik dalam menyelesaikan tugas maupun dalam menyiapkan jawaban-jawaban yang mungkin muncul selama diskusi atau tampil di depan kelas, karena umumnya mahasiswa ingin tampil optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Silver and Smith (1996: 21) yang menyatakan bahwa peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan penggunaan strategi Think Talk write (TTW) adalah mengajukan dan menyediakan tugas yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir, mendorong dan menyimak ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan dan memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam diskusi, serta memonitor, menilai dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Tugas yang disiapkan diharapkan dapat menjadi pemicu siswa untuk bekerja secara aktif, seperti soal-soal yang ISSN 2086-4299
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
memiliki jawaban divergen atau openended task. Penelitian yang dilaksanakan dapat dikatakan berhasil karena efektivitas pembelajaran dan semua indikator keberhasilan dipenuhi, melampaui target yang telah ditetapkan. Di samping keberhasilan di atas, ada kendala mengenai pelaksanaan pembelajaran model ini terutama berkaitan dengan kesabaran dosen dalam mendengarkan pendapat ataupun pada saat mahasiswa mengajukan pertanyan-pertanyaan dalam perkulihaan Aljabar dan Trigonometri. E. Penutup Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Implementasi pembelajaran berwawasan konstruktivis dengan metode PQRST dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri. Secara kuantiatif dan kualitatif aktivitas belajar mahasiswa meningkat yakni dari cukup aktif pada siklus I menjadi aktif pada siklus II. (2) Implementasi pembelajaran berwawasan konstruktivis dengan metode PQRST dalam perkuliahan Aljabar dan Trigonometri dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, yakni dari 30,95 % yang memperoleh nilai A dan B pada siklus I menjadi 72,10 % pada siklus II. Di samping itu, banyaknya mahasiswa yang lulus atau memperoleh nilai minimal C pada siklus II jauh lebih banyak daripada yang memperoleh nilai D dan E yakni sebesar 88,38 %. (3) Tanggapan mahasiswa terhadap implementasi pembelajaran berwawasan konstruktivis dengan metode PQRST pada perkulihaan Aljabar dan Trigonometri positif.
27
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Berdasarkan simpulan tersebut, disarankan hal-hal berikut ini. (12) Dosen Matematika diharapkan mengimplementasikan pembelajaran berwawasan konstruktivis dengan metode PQRST sehingga mahasiswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan lebih termotivasi untuk belajar. (2) Dosen Matematika hendaknya dalam melaksanakan perkulihaan berorientasi kepada mahasiswa, dalam arti, dosen selalu mengidentifikasi dan mengklarifikasi pengetahuan awal mahasiswa yang mungkin masih mengalami miskonsepsi untuk selanjutnya dikaji, sehingga miskonsepsi tersebut tidak terulang lagi. (3) Dosen Matematika dituntut lebih sabar dalam mendengarkan pendapat, tanggapan, serta pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa sehingga mahasiswa menjadi lebih berani untuk mengungkapkan pendapat ataupun pertanyaan.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Metode Pembelajaran Think Talk Write, tersedia di http://rezaliah.blogspot.com/201 3/06/makalah-modelpembelajaran-tipe-thinkwrite.html diakses pada tanggal 6 juni 2014.
F. DAFTAR PUSTAKA Ansari.
B. I. 2013. Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Melalui Strategi Thinkn Talk Write: Disertasi Program studi Ilmu Pengetahuan Alam, tersedia di http://digilib.upi.edu/digitalview .php?digital_id=1161 diakses pada tanggal 2 juni 2014.
Dirjen Dikti, 2014. Standar Nasional Pendidikan Tinggi : Jakarta. Driver, R. 1988. Changing Conseption : Central for Studies in Science and Mathematics Education : University of Leeds.
ISSN 2086-4299
28
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA YANG MENDAPATKAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DENGAN PENDEKATAN EKSPOSITORI Oleh: Rudi Rudiansyah
Abstrak Pendekatan Keterampilan Proses adalah salah satu model pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pebandingan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang mendapatkan model pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses dengan Pendekatan Ekspositori. Berdasarkan data penelitian dengan taraf signifikansi 1%, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan model pembelajaran Pendekatan Ekspositori. Kata Kunci : Keterampilan proses, Pendekatan Ekspositori Salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan kreatif A. Latar Belakang Masalah dan pemecahan masalah bagi siswa Menghadapi tantangan masa depan pada pendidikan adalah melalui dalam era globalisasi dan canggihnya pembelajaran matematika. Menurut teknologi komunikasi dewasa ini, Wahyudin (2008:65) (dalam Bukhori, menuntut individu untuk memiliki 2010:1) matematika dihadirkan sebagai berbagai keterampilan dan kemampuan. pemecahan masalah, komunikasi, Keterampilan dan kemampuan yang penalaran, dan sebagai koneksi baik harus dimiliki tersebut antara lain dalam matematika sendiri maupun adalah kemampuan kreatif dan dengan area-area keahlian lainnya. kemampuan pemecahan masalah. Agar kemampuan pemecahan Menurut Pomalato (2005: 2) (dalam masalah matematis siswa dapat berjalan Rian, 2010) “ada dua keterampilan yang dengan baik, maka diperlukan suatu harus dimilik seseorang dalam model belajar yang tepat, yang dapat menghadapi kompetisi di masa depan, meningkatkan kemampuan pemecahan yaitu keterampilan memecahkan masalah matematis siswa. Salah satu masalah dan keterampilan berpikir model pembelajaran yang erat kaitannya kreatif”. dengan pemecahan masalah dalam
ISSN 2086-4299
29
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
pembelajaran adalah pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses sebagai suatu pendekatan dalam proses pembelajaran mengarah pada pengembangan kemampuan fisik dan mental yang mendasar sebagai pendorong untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi pada diri siswa (Hamalik, 2001:150). Kemampuan-kemampuan fisik dan mental tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh siswa meskipun masih sederhana dan perlu dirangsang agar menunjukkan jati dirinya. Dengan mengembangkan keterampilanketerampilan memproses perolehan, anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Keterampilan-keterampilan itu sendiri menjadi roda penggerak penemuan dan pengembangan fakta dan konsep serta penumbuhan dan pengembangan sikap dan nilai. Menurut Conny Semiawan (1990) (dalam Hamalik, 2001: 149) seluruh irama gerakan atau tindakan dalam proses belajar mengajar akan menciptakan kondisi cara belajar siswa aktif. Pengertian tersebut menunjukkan, bahwa dengan keterampilan proses siswa berupaya menemukan dan mengembangkan konsep dalam materi ajaran. Konsep-konsep yang telah dikembangkan itu berguna untuk menunjang pengembangan kemampuan selanjutnya. Interaksi antara kemampuan dan konsep melalui proses belajar mengajar selanjutnya mengembangkan sikap dan nilai pada diri siswa, misalnya kreativitas, kritis, ketelitian, dan kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
penelitian dengan menerapkan model pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses dalam upaya meningkat -kan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Adapun judul yang diambil dalam penelitian ini adalah Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Yang Mendapatkan Pendekatan Keterampilan Proses Dengan Pendekatan Ekspositori.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut: “Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pendekatan keterampilan proses lebih baik dibandingkan dengan yang mendapatkan pendekatan ekspositori?”. C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya: 1. Bagi Siswa Melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan dapat memberikan kesempatan berkembangnya keterampilan memproseskan perolehan belajarnya dan menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. 2. Bagi Guru Khususnya guru matematika, sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola dan merancang proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran, mendorong untuk mencoba model pembelajaran yang 30
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
belum pernah diterapkan dalam pembelajaran matematika, mengevaluasi dan lebih mengenal kelebihan dan kekurangan siswa. 3. Bagi Sekolah Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan di sekolah, baik untuk mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. 4. Bagi Mahasiswa Dapat menjadikan motivator bagi mahasiswa lain untuk mengembangkan penelitian lebih luas sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran matematika di sekolah. 5. Bagi Peneliti Untuk mendapatkan gambaran yang jelas akan fakta di lapangan terutama yang berkaitan dengan penerapan strategi belajar mengajar yang menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses dan menambah wawasan tentang pembelajaran matematika yang mengarah pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, motivasi, dan prestasi belajar siswa, sekaligus dapat mempraktikkan dan menerapkannya dalam pembelajaran matematika.
D. Landasan Teori 1. Hakikat Matematika Istilah Matematika berasal dari bahasa latin Mathematica yang mulanya berasal dari bahasa Yunani Mathematike yang berarti Relating To Learning dengan akar kata Mathema yang berarti pengetahuan/ilmu (knowledge,science). Secara etimologis matematika berarti ilmu pengetahuan
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
yang diperoleh dengan menalar. Hal ini sejalan dengan Ruseffendi (2006 : 260) yang mengatakan bahwa “Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran”. Kemudian Brownell (dalam Ali, 2007 : 163) mengatakan bahwa ‘Matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antara aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada aspek penalaran atau intelegensi anak’. Soedjadi (2000) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi atau pengertian matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu sebagai berikut: 1. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisisr secara sistematik 2. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi 3. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan. 4. Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. 5. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. 6. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Meskipun terdapat beraneka ragam definisi matematika, namun jika diperhatikan secara seksama, dapat terlihat adanya ciri-ciri khusus yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum. Soedjadi (2000) mengemukakan beberapa ciri-ciri khusus dari matematika, yaitu: 1. Memiliki objek kajian yang abstrak 2. Bertumpu pada kesepakatan 31
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
3. Berpola pikir deduktif, 4. Memiliki simbol yang kosong dari arti, 5. Memperhatikan semesta pembicaraan, 6. Konsisten dalam sistemnya. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir deduktif. 2. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah terjemahan dari “problem solving”. Pemecahan masalah merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ditemukan. Polya mengatakan pemecahan masalah adalah salah satu aspek berpikir tingkat tinggi, sebagai proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Hal senada dikatakan Gagne (dalam Ruseffendi, 2006 : 335) bahwa ‘Pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan kompleks dibanding dengan tipe belajar lainnya’. Menurut Polya (dalam Sofyan, 2008 : 23) proses yang dapat dilakukan pada tiap langkah tentang bagaimana memecahkan masalah adalah sebagai berikut : 1. Memahami masalah 2. Membuat rencana pemecahan 3. Menjalankan rencana 4. Melihat kembali hasil 3. Pendekatan Keterampilan Proses Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses (Sagala, 2003:74).
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Didalam kurikulum 1984, keterampilan proses didefinisikan sebagai suatu pendekatan mengajar yang memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar sehingga kesempatan untuk mengembangkan diri dan percaya diri dapat ditingkatkan. Dalam pendekatan seperti ini diharapkan konsep, hukum, teori dapat dirumuskan dan didefenisikan sendiri melalui proses yang dilakukannya. Pendekatan keterampilan proses pada hakikatnya adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar-mengajar yang berfokus pada pelibatan siswa secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan hasil belajar (Conny, 1992). Pendekatan keterampilan proses ini dipandang sebagai pendekatan yang oleh banyak pakar paling sesuai dengan pelaksaksanaan pembelajaran di sekolah dalam rangka menghadapi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat dewasa ini. Berdasar pada penjelasanpenjelasan di atas, jika kita ingin membantu perkembangan diri siswa secara utuh, memenuhi tuntutan keilmuan agar siap menyongsong masa depannya, maka penerapan pendekatan keterampilan proses merupakan hal yang mendesak dan tidak dapat ditawartawar lagi. 4. Pendekatan Ekspositori Menurut Sagala (2003:78), pendekatan ekspositori (expository) menempatkan guru sebagai pusat pengajaran, karena guru lebih aktif memberikan informasi, menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam memperoleh pola, aturan, dalil, memberi contoh soal beserta penyelesaiannya, memberi 32
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
kesempatan siswa untuk bertanya, dan kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran ini. Dalam pendekatan ini menunjukkan bahwa guru berperan lebih aktif, lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan siswanya, karena guru telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran secara tuntas, sedangkan siswanya berperan lebih pasif tanpa banyak melakukan pengolahan bahan, karena menerima bahan ajaran yang disampaikan guru. Pendekatan ekspositori disebut juga mengajar secara konvensional seperti metode ceramah maupun demonstrasi. Pendekatan ekspositori membawa siswa dapat belajar bermakna sehingga bisa dikatakan pendekatan yang efektif dan efisien. Dalam pendekatan ekspositori ini Syamsudin Makmun (2003:233) (dalam Sagala, 2003:79) mengemukakan bahwa guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib. 5. Hasil Penelitian yang Berkaitan Penelitian yang dilakukan oleh Ade Sepurohman (2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa pada kelas eksperimen yang mendapatkan pengajaran dengan menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang mendapatkan pengajaran dengan Pendekatan Ekspositori atau pembelajaran konvensional pada pokok bahasan Garis Singgung Lingkaran. E. Operasionalisasi Variabel
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Dalam penelitian ini, variabelvariabel yang digunakan sebagai berikut: 1. Variabel bebas : Pendekatan Keterampilan Proses dan Pendekatan Ekspositori. 2. Variabel terikat : Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. F. Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII MTs N 1 Garut Tahun Ajaran 2011/2012. Adapun untuk sampel diambil dua kelas secara acak dari seluruh populasi. Satu kelas digunakan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi digunakan sebagai kelas kontrol. Kelas yang digunakan sebagai kelas eksperimen adalah kelas VIII-C, sedangkan yang digunakan sebagai kelas kontrol adalah kelas VIIID. G. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Tipe tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe uraian. Adapun materi yang dijadikan bahan penelitian adalah tentang Lingkaran. H. Hasil Penelitian 1. Data Tes Awal (Pretest) a. Deskripsi Hasil Data Tes Awal Deskripsi hasil data tes awal dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Deskripsi Hasil Data Tes Awal Eksperimen Kontrol Peserta Tes 28 24 Skor Terbesar 17 14 Skor Terkecil 4 6 Rata-rata 11,857 11,083 Persentase 23,714% 22,166% Deviasi Standar 3,493 2,145 33
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Berdasarkan data di atas, sekilas tampak bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal tersebut terlihat dari rata-rata nilai kedua kelas dan selisih persentase kedua kelas yang tidak berbeda jauh hanya 1,548% saja. b. Analisis Data Hasil Tes Awal 1) Uji Normalitas Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Data Tes Awal Eksperimen Kontrol 7,469 3,180 χ 2hitung 2 5,991 5,991 χ tabel Kriteria Tidak Normal Normal Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa data tes awal dari kedua kelas tersebut salah satunya tidak berdistribusi normal, maka untuk perhitungan selanjutnya digunakan Uji Mann-Whitney. 2) Uji Mann-Whitney Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa kelas kontrol maupun kelas eksperimen pada awal pembelajaran. Dengan menghitung daftar peringkat (rank) pada kedua kelompok, diperoleh jumlah R1= 802,5 dan jumlah R2= 575,5. Dengan mengambil nilai R,akan dicari Uhitung dan nilai Uhitung yang diambil adalah nilai Uhitung terkecil, jadi Uhitung = 275,5 dan mencari transformasi Zhitung, nilai Zhitung = - 1,120. Untuk Ztabel dengan taraf signifikansi 1% atau Z(0,5)(1-0,005) = Z(0,4975) =2,81, diperoleh nilai Ztabel = 2,81. Karena nilai Zhitung = 1,120 berada di daerah penerimaan Ho, yaitu –Ztabel < Zhitung
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
kontrol adalah sama (tidak ada yang lebih baik). 2. Data Tes Akhir (Posttest) a. Deskripsi Hasil Data Tes Akhir Deskripsi hasil data tes akhir dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3 Deskripsi Hasil Data Tes Akhir Eksperimen Kontrol Peserta Tes 28 24 Skor Terbesar 40 38 Skor Terkecil 31 28 Rata-rata 35,607 32,958 Persentase 71,214% 65,916% Deviasi Standar 2,470 2,629 Dari data di atas, tampak bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol hal tersebut dapat terlihat dari selisih persentase kedua kelas yang cukup signifikan yaitu 5,298%. b. Analisis Data Hasil Tes Akhir 1) Uji Normalitas Tabel 4 Hasil Uji Normalitas Data Tes Akhir Eksperimen Kontrol 10,790 2,786 χ 2hitung 5,991 7,815 χ 2tabel Kriteria Tidak Normal Normal Berdasarkan Tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa data hasil tes akhir kelas eksperimen tidak berdistribusi normal sedangkan kelas kontrol berdistribusi normal. Karena data tes akhir dari kedua kelas tersebut ada yang berdistribusi tidak normal, maka untuk perhitungan selanjutnya digunakan Uji Mann-Whitney. 2) Uji Mann-Whitney Uji ini dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini. Dengan 34
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
menghitung daftar peringkat (rank) pada kedua kelompok, diperoleh jumlah R1 = 933,5 dan jumlah R2 = 464,5. Dengan mengambil nilai R, akan dicari Uhitung dan nilai Uhitung yang diambil adalah nilai Uhitung terkecil, jadi Uhitung = 144,5 dan mencari transformasi Zhitung, nilai Zhitung = -3,542. Untuk Ztabel dengan taraf signifikansi 1% atau Z(0,5)(1-0,005) = Z(0,4975) = 2,81, diperoleh nilai Ztabel = 2,81. Karena nilai Zhitung = - 3,542 berada di luar daerah penerimaan Ho, yaitu –Ztabel > Zhitung < Ztabel atau -2,81 > - 3,542 < 2,81, Dengan kata lain, ratarata hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika yang mendapatkan Pendekatan Keterampilan Proses lebih baik dibandingkan dengan yang mendapatkan Pendekatan Ekspositori, dengan taraf signifikansi 1%. 3) Indeks Gain Kelas Eksperimen Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang terjadi pada kelas eksperimen yakni kelas yang menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses, maka selanjutnya dianalisis data hasil pretest dan posttest kelas eksperimen dengan menggunakan uji gain. Berikut adalah tabel data hasil perhitungannya: Tabel 5 Data Hasil Perhitungan Gain No
Siswa
Skor Maks
Pretest
Postest
Gain
1
E1
50
12
37
0,658
2
E2
50
10
34
0,600
3
E3
50
16
39
0,676
4
E4
50
16
40
0,706
5
E5
50
10
39
0,725
6
E6
50
16
36
0,588
7
E7
50
13
38
0,676
8
E8
50
15
36
0,600
9
E9
50
11
33
0,564
10
E10
50
13
34
0,568
11
E11
50
4
35
0,674
12
E12
50
10
31
0,525
13
E13
50
17
35
0,545
14
E14
50
13
37
0,649
15
E15
50
10
36
0,650
16
E16
50
17
33
0,485
17
E17
50
11
36
0,641
18
E18
50
11
39
0,718
19
E19
50
13
33
0,541
20
E20
50
9
33
0,585
21
E21
50
10
34
0,600
22
E22
50
13
40
0,730
23
E23
50
16
34
0,529
24
E24
50
14
36
0,611
25
E25
50
4
36
0,696
26
E26
50
11
36
0,641
27
E27
50
6
36
0,682
28
E28
50
11
31
0,513
Jumlah
332
997
17,375
Rata-rata
11,8571
35,6071
0,621
Dari tabel di atas diperoleh bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen rata-rata peningkatannya sebesar 0,621, maka termasuk dalam kategori sedang. 4) Analisis Tahap Pemecahan Masalah Tabel 6 Rata-rata Skor Setiap Tahap Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen Tahap Memaha mi Masalah Membuat Rencana Menjalan kan Rencana
Pretest Rata % -rata
Posttest Rata% rata
7,21 4
25,764 %
10,000
35,714%
3,67 9
13,139 %
17,250
61,607%
0,82 1
2,932%
6,357
22,703%
35
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Melihat Kembali
0,21 4
0,764%
1,929
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
6,889%
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa rata-rata skor pretest-posttest setiap tahap pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen mengalami peningkatan hal ini terlihat dari selisih persentase setiap langkah, rincian persentasenya sebagai berikut : 1) Memahami masalah 9,950%. 2) Membuat rencana pemecahan masalah 48,468%. 3) Menjalankan rencana pemecahan masalah 19,771%. 4) Melihat kembali 6,125%. Tabel 7 Rata-rata Skor Setiap Tahap Pemecahan Masalah Kelas Kontrol Tahap Memahami Masalah Membuat Rencana Menjalankan Rencana Melihat Kembali
Pretest Rata% rata
Posttest Rata% rata
7,417
30,904%
10,000
41,667%
3,333
13,887%
16,375
68,229%
0,208
0,867%
5,000
20,833%
0,083
0,346%
1,083
4,513%
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa rata-rata skor pretest-posttest setiap tahap pemecahan masalah matematis siswa kelas kontrol mengalami peningkatan hal ini terlihat dari selisih persentase setiap langkah, rincian persentasenya sebagai berikut : 1) Memahami masalah 10,763%. 2) Membuat rencana pemecahan masalah 54,342%. 3) Menjalankan rencana pemecahan masalah 19,966%. 4) Melihat kembali 4,167%.
I. Pembahasan Selama pelaksanaan pembelajaran ini, peneliti menemukan beberapa hal penting antara lain yaitu penerapan Pendekatan Keterampilan Proses pada pembelajaran matematika merupakan hal yang baru bagi siswa salah satu SMP di kabupaten Garut. Hal ini menciptakan suasana pembelajaran yang lain dari sebelumnya, karena pada umumnya selama ini siswa belajar dengan Pendekatan Ekspositori atau ceramah (pembelajaran konvensional). Siswa hanya menerima materi dari apa yang dijelaskan oleh guru saja dan guru lebih aktif dari pada siswa. Sedangkan pembelajaran matematika dengan menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran serta menumbuhkan sikap kreatif siswa. Siswa dilatih untuk mempresentasikan pemahamannya mengenai materi pembelajaran dalam kelompok. Siswa dapat lebih berani mengemukakan pendapat atau sanggahan atau pertanyaan dalam proses diskusi bersama temannya. Berdasarkan data hasil pretest menunjukkan bahwa rata-rata populasi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama, yang artinya rata-rata kemampuan awal siswa pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda secara signifikan. Terlihat dari persentase rata-rata nilai kedua kelas yang hanya berselisih 1,548% saja. Berdasarkan data hasil posttest, diperoleh peningkatan persentase ratarata nilai kedua kelas yang cukup signifikan.Untuk kelas eksperimen diperoleh persentase sebesar 71,214% dan untuk kelas kontrol sebesar 65,916%.Di lihat dari persentase kedua kelas jelas terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang cukup 36
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
signifikan dengan selisih sebesar 5,298%. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan pendekatan keterampilan proses lebih baik dibandingkan siswa yang mendapatkan pendekatan ekspositori. J. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil analisis data, maka dapat disimpulkan secara umum bahwa pembelajaran dengan menerapkan Pendekatan Keterampilan Proses lebih baik dibandingkan Pendekatan Ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis di salah satu SMP di kabupaten Garut. Hal ini terlihat dari selisih persentase rata-rata nilai kedua kelas yang cukup signifikan setelah dilaksanakannya test akhir yaitu sekitar 5,298%. Dari penelitian ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada test akhir, nilai rata-rata kelompok eksperimen lebih besar dari pada kelompok kontrol, yaitu sebesar 35,607 nilai rata-rata untuk kelas eksperimen apabila dipersentasekan sekitar 71,214%, dan untuk kelas control nilai rata-ratanya sebesar 32,958 jika dipersentasekan sekitar 65,916%. Ini menunjukkan bahwa hasil test akhir kelompok eksperimen (kelompok yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses) lebih baik dari pada kelompok kontrol (kelompok yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan Ekspositori). K. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
model pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses, maka dapat disampaikan oleh peneliti beberapa saran sebagai berikut : 1. Sebelum menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses dalam proses belajar mengajar, sebaiknya dipersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya dengan matang sehingga dalam pelaksanaannya menjadi lebih mudah. 2. Pembelajaran matematika dengan menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses sangat memungkinkan dilaksanakan untuk materi matematika yang lainnya untuk mengembangkan kompetensi matematis siswa yang lainnya, seperti kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi, kemampuan pemahaman konsep dan kompetensi lainnya. 3. Dalam kemampuan pemecahan masalah matematika, siswa harus lebih dibimbing dan diarahkan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah pada setiap aspek. 4. Pada Penelitian ini populasi yang diambil siswa kelas VIII di salah satu SMP di kabupaten Garut dengan sampel yang diambil sebanyak dua kelas, oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses dengan populasi dan jenjang yang lebih luas serta pokok bahasan yang berbeda. Demikianlah hasil penelitian ini yang disajikan dalam bentuk skripsi. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya serta bagi pembaca pada umumnya. 37
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
L. Daftar Pustak Ali, M. (2007). Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bagian II Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung : Imtima. Bukhori. (2010). Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Antara yang Mendapatkan Model Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) dengan Model Pembelajaran Konvensional. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut: Tidak diterbitkan. Dahrian, R. (2010). Perbandingan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMA antara yang Mendapatkan Model Pembelajaran Treffinger dengan Konvensional. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut: Tidak diterbitkan. Hamalik, O. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Rahadi, M. (2008). Modul Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan. STKIP Garut: Tidak diterbitkan.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Menggunakan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) dengan Metode Ekspositori pada bidang studi Matematika. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut: Tidak diterbitkan. Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Sofyan, D. (2008). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada Program Studi Pendidikan Matematika UPI – Bandung : Tidak diterbitkan. Sundayana, H. R. (2010). Komputasi Data Statistika. STKIP Garut: STKIP Garut Press (Tidak diterbitkan).
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Cetakan ketiga. Bandung : Tarsito. Saepurohman, A. (2009). Perbandingan Prestasi Belajar Siswa yang 38
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
UPAYA MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DI SMP (Penelitian Kuasi Eksperimen di SMP Negeri 1 Tarogong Kidul Kelas VIII Tahun Ajaran 2013/2014 Oleh Akhmad Margana Abstract : This research was quasi-experiment that was held on one of the junior high school in Garut City. The purpose of the research is analyzing the improvement of students’ mathematical communication ability that was treated by Contextual Teaching and Learning (CTL) model. The subject of the research were the VIII C students as experiment class which was treated by Contextual Teaching and Learning (CTL) model and VIII E as control class which was treated by conventional model. The instrument that was used in the research was written test. By using one tail test and significance level of 5%, it is derived that the students that were treated by using Contextual Teaching and Learning (CTL) model is better than students that were treated by using conventional model in mathematical communication ability. Key words: Contextual Teaching and Learning model, Mathematical Communication, Conventional Abstrak : Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen pada salah satu SMP Negeri di kota Garut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII C sebagai kelas eksperimen yang mendapatkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan siswa kelas VIII E sebagai kelas kontrol yang mendapatkan model pembelajaran konvensional. Instrumen dalam penelitian ini berupa tes tertulis. Dengan menggunakan uji satu pihak dan taraf signifikan 5%, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Kata kunci: Pembelajaran Contextual Teaching and Learning, Komunikasi Matematis, Konvensional
39
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sasaran pendidikan adalah manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusian merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Sumber daya manusia merupakan aset terbesar bagi suatu bangsa yang harus dikelola dengan baik. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Uno (Natalia, 2012:1) berikut ini: “Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa yang hanya dapat digali dan dikembangkan secara efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan dikelola secara seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal”. Berdasarkan cita-cita pendidikan bangsa Indonesia, dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, unggul dalam segala hal serta mampu bersaing untuk memperoleh kesempatan baik secara nasional maupun internasional. Bahkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 11 ayat 1 mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
pendidikan yang bermutu (berkualitas) bagi setiap warga Negara. Proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah pada dasarnya adalah kegiatan belajar mengajar, yang bertujuan agar siswa memiliki hasil yang terbaik sesuai kemampuannya. Salah satu tolak ukur yang menggambarkan tinggi rendahnya keberhasilan siswa dalam belajar adalah hasil belajar. Hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotor. Selain itu, keberhasilan siswa dalam mendapatkan hasil belajar yang baik ditunjang pula dengan peran guru yang baik dan bahan ajar yang membuat anak komunikatif. Guru yang berperan sebagai faktor penentu keberhasilan siswa dalam belajar. Karena guru secara langsung mempengaruhi, membimbing dan mengembangkan kemampuan peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang cerdas, terampil dan bermoral tinggi. Ilmu dasar yang mempunyai peranan sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menjadi suatu kebutuhan terutama dalam melatih penalaran konsep, metode berfikir logis, sistematik dan konsisten. Oleh karena itu mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif serta kemampuan bekerja sama. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Matematika umumnya identik dengan perhitungan angka-angka dan rumusrumus, sehingga munculah anggapan bahwa skill komunikasi tidak dapat 40
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
dibangun pada pembelajaran matematika. Meskipun matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia tidak sedikit siswa menganggap pelajaran matematika sulit dimengerti, menakutkan dan tidak sedikit yang tidak menyukainya bahkan membencinya sehingga mengakibatkan prestasi siswa menurun. Oleh karena itu, guru harus bisa merubah paradigma bahwa mata pelajaran matematika adalah pelajaran yang mengasyikan dan menyenangkan. Russefendi (2006:94) bahwa matematika itu penting sebagai alat bantu, sebagai ilmu (bagi ilmiyawan), sebagai pembimbing pola pikir, maupun sebagai pembentuk sikap. Dalam hal belajar matematika sangatlah perlu diperhatikan dalam mengkomunikasikan antara materi pelajaran dengan kondisi siswa saat itu. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah dengan situasi. Kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu syarat yang memegang peranan penting karena membantu dalam proses penyusunan pikiran, menghubungkan gagasan dengan gagasan lain sehingga dapat mengisi hal-hal yang kurang dalam seluruh jaringan gagasan siswa. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM dalam Priatna, 2003) menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Tanpa komunikasi yang baik, maka perkembangan matematika akan terhambat. Fakta ini menjadi tantangan bagi masyarakat pendidikan matematika dalam usaha mereka untuk mengkomunikasikan apa yang sudah mereka evaluasi, percaya, dan mengenal siswa sedemikian hingga para siswa menjadi terdidik secara metematik.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Komunikasi menjadi sesuatu yang utama dalam mengajar, menilai, dan dalam pembelajaran matematika. Dari hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011, bahwa prestasi Indonesia menepati peringkat 38 dengan skor 386 dari 63 negara yang siswanya dites. Skor Indonesia ini turun 11 poin dari penelitian tahun 2007 yang mendapat skor 397 dengan peringkat 35 dari 49 negara yang siswanya diteskan. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi internasional tentang prestasi asso dan sains siswa sekolah lanjutan tingkat pertama. Studi ini dikoordinasikan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda. TIMSS merupakan studi yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali, yaitu pada tahun 1995, 1999, 2003, 2007, 2011, dan seterusnya. Indonesia sepenuhnya berpartisipasi sejak tahun 1999. Pada tahun 1999 sebanyak 38 negara berpartisipasi sebagai peserta sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 46 negara dan pada tahun 2007 kembali bertambah menjadi 49 negara dan pada tahun 2011 bertambah menjadi 63 negara (Kompas.com, Jumat, 14 Desember 2012). Kemampuan komunikasi matematis siswa di lapangan masih sangat rendah, hal ini berdasarkan pengalaman peneliti.Peneliti menemukan tidak sedikit siswa yang, mengalami kesulitan dalam memahami soal serta mengkomunikasikan dalam bahasa matematis yang pada akhirnya jika tidak bisa mengkomunikasikan soal yang berhubungan dengan kemampuan komunikasi, mereka pun tidak bisa memahami materi yang berhubungan 41
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
dengan kemampuan komunikasi serta nilai mereka pun akan jelek. Oleh karena itu model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankkan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) di SMP. B. Rumusan Masalah Berdasarakan uraian latar belakang diatas, maka fokus kajian tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui metode Contextual Teaching and Learning (CTL) ? 2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pembelajaran metode Contextual Teaching and Learning (CTL) di SMP pada pokok bahasan Kubus dan Balok ? 3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran pendekatan Contextual Teaching
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
and Learning (CTL) lebih baik daripada pembelajaran konvensional ? 4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan mengunakan metode Contextual Teaching and Learning (CTL) ? C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. agi Guru a) ijadikan sebagai alternatif bagi guru matematika dalam memilih pendekatan pembelajaran yang lebih tepat untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi siswa dalam mata pelajaran matematika. b) ebagai pengembangann profesi para guru agar dapat meningkatkan inovasi mengajar dengan menerapkan berbagai bentuk pembelajaran. c) apat menambah khasanah pembelajaran yang sangat mungkin dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pelaksanaan tugas mengajar guru di sekolah. 2. agi Sekolah a) apat dijadikan masukan bagi pihak sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. b) ebagai bahan masukan dalam peningkatan kualitas pengajaran serta menjadi pertimbangan 42
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa khususnya dalam pelajaran matematika. 3. agi Instansi Pendidikan a) Memberikan kontribusi dalam pembelajaran matematika terutama dalam bidang kemampuan komunikasi matematis siswa. b) Sebagai bahan kajian bagi penelitian selanjutnya. c) Sebagai bahan kajian dan perbandingan bagi para peneliti lainnya untuk mengembangkan model pembelajaran matematika di dalam kelas. 4. agi Peneliti a) Dapat menambah pengalaman mengenai pembelajaran di sekolah. b) Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu yang telah peneliti dapatkan selama perkuliahan. c) Menambah pengetahuan, tentang model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan kemampuan komunikasi matematis siswa. d) Dapat dijadikan acuan untuk kedepannya sebagai calon pendidik matematika nantinya dalam pelaksanan pembelajaran dan sebagai acuan dalam penelitian yang berikutnya. D. Landasan Teori 1. Komunikasi Matematis Dalam kamus besar Bahasa Indonesia 1998, komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” yang artinya “sama” dalam arti “sama makna”
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
mengenai satu hal. Sedangkan dalam kamus umum Bahasa Indonesia (dalam zainab: 4) secara terminologi, “komunikasi berarti proses penyampaian suatu pesan dari seseorang kepada orang Blain. Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian suatu informasi dari satu orang kepada orang lain sehingga mereka mempunyai makna yang sama terhadap informasi tersebut. Menurut National Council of Teachers of Mathematics NCTM (dalam Zainab: 4) “komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara Bgrafis, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri”. Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploritasi dalam berbagai perspektif, cara berpikir siswa dapat dipertajam, pertumbuhan pemahaman dapat diukur, pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diogranisir, pengetahuan matematika dan pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan, dan komunikasi matematis dapat dibentuk. Komunikasi matematis sangat penting karena matematika tidak hanya menjadi alat berpikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan tetapi juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat dan singkat. Siswa yang berhasil dalam mempelajari matematika merupakan siswa yang mampu melakukan 43
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
komuniksi matematis dengan cara berbicara dan menulis tentang matematik, mengalami apa yang dia alami dan kerjakan. Sedangkan untuk mengukur kemampuan komunikasi seseorang tentunya dibutuhkan indikator-indikator yang dapat menunjukan kemampuan komunikasi seseorang. Menurut Utari Sumarmo (2003: 5) komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa: a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika. b) Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar. c) Menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol matematika. d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. e) Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis. f) Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi. Sedangkan Wardhani (dalam Zainab 2011: 7) menyatakan bahwa komunikasi matematis meliputi: a) Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika banyak melibatkan kata-kata, lambing matematis, dan bilangan. b) Menyajikan persoalan atau masalah kedalam model matematika yang berupa diagram, persamaan matematika, grafik ataupun tabel. c) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis yang diambil dalam penelitian ini adalah: a) Membuat model dari situasi melalui lisan, tulisan, bendabenda konkret, grafik, dan metode-metode aljabar. b) Mereflesikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matemtika. c) Menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol matematika. Mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematis termasuk aturanaturannya dalam mengembangkan ide matematika. 2. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Metode konstekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran alamiah berlangsung dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentrasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan 44
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini, menurut Depdiknas (2003:5): Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membantu hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Depdiknas (2003:5) Adapun komponen-komponen model pembelajaran Contextual Teaching Learning untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu: a. Kontruksivisme b. Inquiri (menemukan) c. Bertanya d. Masyarakat belajar e. Pemodelan f. Refleksi 3. Pembelajaran Konvensional Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istilah kuliah, ceramah, dan kuliah. Ciri-ciri pembelajaran konvensional menurut Kholik, Muhammad (2011:2) adalah sebagai berikut: a. Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar. b. Belajar secara individual.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
c. d. e. f. g.
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis. Perilaku dibangun atas kebiasaan. Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik.
E. Operasionalisasi Variabel Dalam penelitian ini yang mnejadi variabel penelitian adalah pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan pembelajaran konvensioanal sebagai variabel bebas. Dan yang menjadi variabel terikatnya adalah kemampuan komunikas matematis. F. Teknik Pengambilan Sampel Adapun populasi yang diambil dalam penelitian inin adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tarogong Kidul tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 10 kelas. Kemudina dari polulasi terebut diambil sampel sebanyak dua kelas yaitu kelas VIII C sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII E sebagai kelas kontrol. Sedangkan cara pengambilan sampel dilakukan secra random yaitu kelas, dengan asumsi setiap kelompok sampel mempunyai karakteristik yang sama. G. Desain Penelitian Berdasarkan metode penelitian diatas, desain penelitian yang digunakan adalah non-equivalent group pretest-posttest design. Menurut Brog dan Gall (1989:690) dapat digambarkan sebagai berikut: Kelas eksperimen Kelas kontrol
O O
X
O O 45
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Penjelasan: = Subjek tidak dilakukan secara acak O = Tes awal (pretest) / tes akhir (posttest) X = Pembelajaran Contextual Teaching Learning
H. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan 2 macam intsrumen yaitu tes dan angket. Dalam penelitian ini instrumen tes yang digunakan penulis adalah bentuk tes uraian, yang digolongkan ke dalam dus bentuk yaitu tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Soal-soal tersebut diuji cobakan terhadap siswa kelas IXJ SMP N 1 tarogong Kidul. Setelah itu dianalisis untuk mengetahui validitas, reabilitas, daya pembeda serta tingkat kesukaran soal baik secara keseluurhan maupun untuk tiap butir soal. Sedangkan untuk instrumen angket diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan skala likert. I. Hasil Penelitian 1. Deskripsi hasil penelitian Data kuantitatif pada penelitian ini diperoleh hasil tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut ini disajikan analisis statistik deskriptif data hasil pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tabel 1 Deskripsi Data Hasil Tes Awal
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
3 4
Rata – rata Simp. Baku
7,667 4,648
8,543 4,540
Dari tabel diatas, data hasil tes awal (pretest) untuk kelas eksperimen yaitu: jumlah siswa 36 orang, skor terkecil pretest 2, skor terbesar pretest 21, rata-rata skor pretest 7,667 dan simpangan bakunya 4,648. Sedangkan data hasil tes awal (pretest) kelas kontrol yaitu: jumlah siswa 35 orang, skor terkecil pretest 2 dan skor terbesar pretest 18, rata-rata skor pretest 8,543 dan simpangan bakunya 4,540.
Tabel 2 Deskripsi Data Hasil Tes Akhir (Posttest) No 1 2 3 4
Ukuran Statistik Nilai Terendah Nilai Tertinggi Rata – rata Simp. Baku
Pretest Eksperimen Kontrol 8 0 24 21
17,472 5,774
13,629 5,418
Dari tabel diatas, data hasil tes akhir (posttest) untuk kelas eksperimen yaitu: jumlah siswa 36 orang, skor terkecil posttest 8, skor terbesar posttest 24, rata-rata skor posttest 17,472 dan simpangan bakunya 5,774. Sedangkan data hasil tes akhir (posttest) kelas kontrol yaitu: jumlah siswa 35 orang, skor terkecil posttest 0 dan skor terbesar posttest 21, rata-rata skor posttest 13,629 dan simpangan bakunya 5,418.
(Pretest) No 1 2
Ukuran Statistik Nilai Terendah Nilai Tertinggi
Pretest Eksperimen Kontrol 2 2 21 18
2. Uji Gain Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi pada kelas eksperimen (pembelajaran Contextual Teaching and Learning) dan kelas 46
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
kontrol (pembelajaran konvensional), maka data yang diperoleh dari pretest dan posttest harus dianalisis dengan menggunakan gain ternormalisasi. Adapun hasil analisis gain ternormalisasi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebagai berikut: Tabel 3 Rata-rata Gain Ternormalisasi
Kelas Eksperim en Kontrol
Rata-rata Gain Ternormalis asi
Kategori
Peningkat an Sedang 0,305 Peningkat an Sedang Dari tabel 3 diatas rata-rata hasil gain ternormalisasi untuk kelas eksperimen adalah 0.601 dengan kategori peningkatannya termasuk sedang. Sedangkan untuk kelas kontrol rata-rata hasil gain ternormalisasi yang didapat adalah 0.305 dengan kategori peningkatannya termasuk sedang. Dari hasil rata-rata gain ternormalisasi diatas terlihat bahwa peningkatan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol berkategori sama yaitu peningkatannya termasuk sedang, akan tetapi bobot nilai rata-rata yang diperoleh kelas eksperimen lebih besar dengan bobot nilai rata-rata yang diperoleh kelas kontrol, untuk kelas eksperimen memiliki bobot nilai rata-rata 0.601 lebih besar dari kelas kontrol dengan bobot nilai rata-rata 0.305. Hal ini menunjukan bahwa pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih baik daripada pembelajaran konvensional. 0,601
Untuk melihat kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen yaitu pembelajaran Contextual Teaching and Learning diperoleh dari nilai yang didapat siswa dari pretest dan posttest. Adapun nilai yang diperoleh siswa dari pretest dan posttest dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini: Tabel 4 Jumlah Siswa Pada Kategori Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Pada Saat Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen. No
Kategori
1 2 3 4
Jumlah Siswa Pretest Posttest 24 4 6 6 5 9 1 5
Jelek Kurang Cukup Baik Sangat 5 0 12 Baik Pada tabel 4 diatas jumlah siswa pada saat pretest dengan kategori jelek terdapat 24 orang, kategori kurang terdapat 6 orang kategori cukup 5 orang dan kategori sangant baik 0. Sedangkan jumlah siswa pada saat posttest dengan kategori jelek terdapat 4 orang, kategori kurang 6 orang, kategori cukup 9 orang, kategori baik 5 orang, dan kategori sangat baik 12 orang. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa pada saat pretest adalah jelek dengan rata-rata persentase yang diperoleh 31,94 %, dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada saat posttest adalah cukup dengan rata-rata persentase yang diperoleh 72,69 %. 4. Skala Sikap
3. Komunikasi Matematis 47
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Angket yang diberikan terdiri dari 16 pernyataan 8 diantaranya pernyataan positif dan 8 pernyataan negatif. setelah angket diberikan dan data hasil angket sudah diperoleh maka langkah yang akan dilakukan selanjutnya yaitu analisis hasil data angket. Data hasil analisis angket skala sikap siswa akan diinterpretasikan secara umum, interpretasi siswa terhadap masingmasing indikator dan interpretasi siswa tiap individu. Untuk melihat kriteria hasil perhitungan angket kelas eksperimen secarar umum dapat dilihat pada tabel 5 skala tanggapan interpretasi sikap siswa secara umum kelas eksperimen. Tabel 5 Skala Tanggapan Interpretasi Sikap Siswa Secara Umum Kelas Eksperimen Skor Interprestasi 624 – 1091 Sangat jelek 1092 – 1559 Jelek 1560 – 2057 Baik 2058 – 2495 Sangat baik Dari skol total angket yang didapat menunjukan bahwa skor total angket 1983 terdapat pada skala tanggapan 1560 – 2059. Hal ini menunjukan bahwa sikap siswa secara umum terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning berinterpretasi baik. J. Pembahasan Hasil dari pretest dan posttest merupakan hasil yang memperlihatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pengaruh (treatment) pembelajaran yang berbeda untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol, hasil untuk pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
menunjukan tidak terdapat perbedaan kemampuan awal komunikasi matematis siswa, hal ini disebabkan kedua kelas tersebut belum diberikan pembelajaran yang akan diterapkan. Sedangkan untuk hasil posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada dengan pembelajaran konvensional, hal ini disebabkan karena dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) siswa tidak hanya diberikan materi pembelajaran dan pemberian soal-soal komunikasi saja, tetapi siswa juga diberikan suatu nuansa yang baru dalam pembelajarannya serta dibawa langsung kedalam dunia kehidupan sehari-hari agar membentuk sikap siswa senyaman mungkin tidak tertekan dengan materi pembelajaran matematika, sesuai dengan prinsip dari Contextual Teaching and Learning (CTL) hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematika siswa. Hasil pretest untuk kelas eksperimen yang dikategorikan berdasarkan kriteria kemampuan komunikasi matematis siswa menunjukan kategori rata-rata jelek namun setelah pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) diterapkan pada kelas eksperimen hasil posttest menunjukan kategori rata-rata cukup. Dari perbedaan hasil pretest dan posttest menunjukan terjadinya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). 48
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Hasil pretest untuk kelas kontrol sama dengan kelas eksperimen dimana hasilnya dikategorikan berdasarkan kriteria kemampuan komunikasi matematis siswa, dimana hasilnya menunjunkan kategori ratarata jelek, setelah pembelajaran konvensional diberikan memang mengalami peningkatan yaitu dengan kategori kurang, dan hasil tersebut menunjukan bahwa pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas kontrol ditunjukan dari hasil analisis gain ternormalisasi dimana skor rata-rata untuk kelas eksperimen sebesar 0.601 dengan kategori sedang, dan untuk hasil analisis gain ternormalisasi kelas kontrol memperoleh skor rata-rata sebesar 0.305 dengan kategori sedang. Meskipun berkategori sama tetapi bobot nilai yang didapat menunjukan peningkatan kemampuan komunikasi kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan peningkatan pembelajaran konvensional, serta dari hasil analisis posstest dengan uji Mann Whitney (Uji hipotesis) satu pihak dengan taraf signifikan = 5% diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Dari pembahasan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
pembelajaran konvensional untuk kemampuan komunikasi matematis siswa, untuk peningkatan kemampuan komunikasi siswa dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) tergolong sedang, serta peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada pembelajaran konvensional. K. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: a) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada kategori sedang, dengan nilai ratarata gain ternormalisasi sebesar 0.601. b) Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pembelajaran metode Contextual Teaching and Learning (CTL) di SMP c) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada menggunakan pembelajaran konvensional. d) Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) menunjukkan interpretasi baik. 2. Saran Kemampuan komunikasi matematis siswa sebaiknya sering dilatih dan dikembangkan, apalagi 49
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
dalam bidang eksak salah satunya mata pelajaran matematika. Banyak diantara kita yang telah mengenal julukan dari matematika itu sendiri yaitu ratunya ilmu, segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak terlepas dari yang namanya matematika. Maka dari itu kemampuan koneksi matematis sangat penting dimiliki oleh setiap orang. Untuk guru, hendaknya dapat menggunakan pembelajaran yang inovatif dan berorientasi pada kegiatan belajar mengajar terutama dalam mengembangkan kemampuankemampuan siswa. Karena proses pembelajaran melalui pembelajaran Contecxtual Teaching and Learning (CTL) ini memerlukan banyak waktu maka disarankan untuk menggunakan Contecxtual Teaching and Learning (CTL) pada pokok bahasan yang esensial atau pada jam pelajaran yang cukup panjang. Peneliti lain yang berminat tentang Contecxtual Teaching and Learning (CTL) baik dalam bidang ilmu matematika maupun dalam bidang ilmu lainnya, agar memperhatikan kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2001). Dasar - Dasar Evaluasi Pendidikan .(Edisi Revisi). Jakarta : Bumi Aksara Arikunto, S. (2006). Dasar - Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
New York: Publishing.
Macmillan
Depdiknas. (2003). Kontekstual. Departemen Nasional.
Pendekatan Jakarta: Pendidikan
Johnson, Elain B. (2007). Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikan dan Bermakna . Bandung : kaifa Learning Center. Kholik, Muhammad. (2011). Metode Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://muhammadkholik.wordpr ess.com/2011/11/08/metodepembelajaran-konvensional/ [26 Mei 2013]. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston VA : The National Council of Teachers of Mathematics inc. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA : The National Council of Teachers of Mathematics inc. Nurhadi. (2002). Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas Nurhadi. (2003). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 50
Mosharafa http : jurnalmtk.stkip-garut.ac.id
Rahadi, M. (2012). Statistika Parametrik. Garut : STKIP Rahadi, M. (2013). Diktat Kuliah Penelitian Pendidikan Matematika. STKIP Garut: Tidak Diterbitkan Ruseffendi, H. E. T. (1998). Pengantar Kepada Pembantu Guru Mengembangkan Kepotensiannya Dalam Pengajaran Matematika Untuk meningkatkan CBSA, Bandung: Tarsito. Ruseffendi, H. E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematik untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito. Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematik untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito. Shadiq, F. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah, dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Pusat Pengembangan Penataan Guru (PPPG) Matematika.
Jurnal Pendidikan Matematika Volume 6, Nomor 1, Oktober 2015
Sumarmo,U.(1994). Suatu Alternatif Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. Bandung : IKIP Bandung. tidak diterbitkan Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB,Oktober 2003. Sundayana, R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut : STKIP Garut Press. TIMSS (2011). International Students Achievement in Mathematics. [Online]. Tersedia: http://timss:bc.edu/timss1999i/p df/T99i math 01.pdf. [12 Februari 2007] Zainab. (2011) Komunikasi Matematis Dalam Pembelajaran Matematika [online]. Tesedia : http://blog.unsri.ac.id/zainab201 1/ptk/kemampuan-komunikasidalam-pembelajaranmatematika/mrdetail/101938/
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta 51