Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Matematika Diselenggarakan oleh Jurusan Matematika FMIPA UNPAD Bekerjasama dengan Departemen Matematika UI Sabtu, 13 Desember 2008
Oleh Ali Mahmudi
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008
Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Ali Mahmudi Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yogyakarta Email:
[email protected].
Abstrak Pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika hendaknya dapat menstimulasi pengembangan kemampuan pemecahan masalah. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah adalah problem posing. Problem posing merujuk pada pembuatan soal oleh siswa berdasarkan kriteria tertentu. Beberapa studi menunjukkan bahwa kemampuan problem posing dapat menunjang kemampuan pemecahan masalah. Kata kunci: pemecahan masalah, problem posing
A. Pendahuluan Salah satu rekomendasi dari “Agenda Aksi” yang dihasilkan oleh NCTM (AbuElwan, 2000) menempatkan pemecahan masalah sebagai fokus pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika hendaknya menjadikan pemecahan masalah sebagai bagian utama dari semua aspek aktivitasnya. Guru perlu memberikan masalah-masalah yang menantang dan memotivasi siswa. Kemampuan pemecahan masalah perlu dikuasai siswa sebagai bekal bagi mereka dalam menghadapi masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia kerja. Hal inilah yang merupakan alasan mengapa kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar kelulusan siswa (Depdiknas, 2006). Banyak ahli pendidikan telah merekomendasikan berbagai cara atau strategi peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Salah satu cara atau strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah problem posing. Problem posing merujuk pada pembuatan soal oleh siswa berdasarkan kriteria tertentu. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai pembelajaran problem posing dan perannya dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
1
B. Pemecahan Masalah Menurut Funke (2001), pada awal 1900-an, pemecahan masalah dipandang sebagai aktivitas yang bersifat mekanistis, sistematis, dan sering diasosiaskan sebagai konsep yang abstrak. Dalam pengertian ini masalah yang diselesaikan adalah masalah yang mempunyai jawab tunggal yang diperoleh melalui proses yang melibatkan cara atau metode yang tunggal pula (penalaran konvegen). Sejalan dengan berkembangnya teori belajar kognitif, pemecahan masalah dipandang sebagai aktivitas mental yang melibatkan keterampilan kognitif kompleks. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Kirkley (2003)
yang
menyatakan
bahwa
pemecahan
masalah
melibatkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti visualiasi, asosiasi, abstraksi, penalaran, analisis, sintesis, dan generalisasi. Terdapat beragam pengertian pemecahan masalah. Menurut Nakin (2003), pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan penggunaan langkah-langkah tertentu (heuristik), yang sering disebut sebagai model atau langkah-langkah pemecahan masalah, untuk menemukan solusi masalah itu. Heuristik merupakan pedoman atau langkah-langkah umum sebagai pemandu penyelesaian suatu masalah. Namun demikian, heuristik ini belum tentu menjamin keberhasilan pemecahan masalah. Sementara itu Gagne (Kirkley, 2003) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai proses mensintesis berbagai konsep, aturan, atau rumus untuk memecahkan masalah. Dari berbagai pengertian pemecahan masalah yang dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa diperolehnya solusi suatu masalah menjadi syarat bagi proses pemecahan masalah dikatakan berhasil. Hal ini berbeda dengan pendapat Brownell (McIntosh et al, 2000) yang menyatakan bahwa suatu masalah belum dikatakan telah diselesaikan hanya karena telah diperolehnya solusi dari masalah itu. Menurutnya, suatu masalah baru benar-benar dikatakan telah diselesaikan apabila siswa telah memahami apa yang ia kerjakan, yakni memahami proses pemecahan masalah dan mengetahui mengapa solusi yang telah diperoleh tersebut sesuai. Polya (1973) memberikan heuristik atau langkah-langkah umum pemecahan masalah, yaitu (1) memahami soal atau masalah, (2) membuat suatu rencana, (3) melaksanakan rencana itu, dan (4) menelaah kembali. Memahami masalah merujuk pada pemahaman terhadap apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, atau apa yang harus dibuktikan dalam suatu soal. Membuat rencana merujuk pada pembuatan model
2
matematika dari soal yang diberikan. Melaksanakan rencana merujuk pada penyelesaian model matematika yang telah disusun. Sedangkan menelaah kembali berkaitan dengan penulisan hasil akhir sesuai permintaan soal. Pemecahan masalah sering difungsikan sebagai tahap penerapan suatu konsep dalam pembelajaran matematika, yaitu penerapan konsep, prinsip, atau pengetahuan matematika ke dalam situasi nyata. Namun demikian, pemecahan masalah tidak harus diposisikan seperti itu. Menurut Nakin (2003), pemecahan masalah dapat pula dipandang sebagai proses pemerolehan atau pembentukan pengetahuan. Dengan kata lain, siswa belajar matematika melalui aktivitas pemecahan masalah. Dalam hal ini, masalah
difungsikan
sebagai
pemicu
bagi
siswa
untuk
mengkonstruksi
pengetahuannya. Pembelajaran matematika demikian disebut pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Menurut McIntosh et al(2000), pemecahan masalah mempunyai berbagai peran, yaitu (1) pemecahan masalah sebagai konteks (problem solving as a context for doing mathematics), yakni memfungsikan masalah sebagai pemicu bagi siswa dan memotivasinya untuk belajar matematika, (2) pemecahan masalah sebagai keterampilan (problem solving as a skill) yang merujuk pada kemampuan kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah, dan (3) pemecahan masalah sebagai seni (problem solving as a art) yang merujuk pada pandangan bahwa pemecahan masalah sebagai seni menemukan (art of discovery). Pembelajaran pemecahan masalah dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan siswa agar cakap (skillful) dan antusias (enthusiastic) dalam memecahkan masalah dan menjadi pemikir yang independen yang mampu menyelesaikan masalah terbuka (open ended problem). Menurut pandangan terkini, pemecahan masalah tidak hanya mempersyaratkan kemampuan kogntif, melainkan juga melibatkan aspek afektif. Menurut McIntosh et al (2000), untuk memecahkan masalah, seorang individu harus mempunyai motivasi kuat, kepercayaan diri, keteguhan, kegigihan, dan keyakinan untuk mampu menyelesaikan masalah tersebut. C. Pembuatan Soal (Problem Posing) Problem posing selanjutnya diistilahkan dengan pembuatan soal, telah menjadi salah satu tema utama dalam pembelajaran matematika. Reformasi pembelajaran matematika
terkini
merekomendasikan
penerapan
problem
posing
dalam
pembelajaran matematika (Christou et al, 1999). Sesungguhnya, problem posing 3
bukan ide baru dalam pembelajaran matematika, melainkan telah diperkenalkan dan diteliti di berbagai negara, seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Singapura pada beberapa dekade yang lalu. Terdapat beberapa pengertian problem posing. Ellerton (Christou et al, 1999) mengartikan problem posing sebagai pembuatan soal oleh siswa yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan apapun baik terkait isi maupun konteksnya. Selain itu, problem posing dapat juga diartikan sebagai pembentukan soal berdasarkan konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui (Lin, 2004). Pengertian problem posing tidak terbatas pada pembentukan soal yang betulbetul baru, tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa cara pembentukan soal baru dari soal yang diberikan, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi pada soal itu, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat, atau konteksnya. Hal itu sesuai dengan pengertian problem posing yang dikemukakan Silver (Lin, 2004). Ia mendefinisikan problem posing sebagai pembuatan soal baru oleh siswa berdasarkan soal yang telah diselesaikan. Menurut Silver (Abu-Elwan, 2000), problem posing meliputi beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan beberapa perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan. Sedangkan Silver dan Cai (Macdonald (2007) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif dalam pembuatan soal sebagai berikut. 1. Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. Contoh 1 Buatlah soal berdasarkan informasi berikut ini. Ali bermaksud membeli sebuah buku seharga Rp 10.000,00, tetapi ia hanya mempunyai Rp 6.000,00 Soal-soal yang mungkin disusun siswa adalah sebagai berikut. a. Apakah Ali mempunyai cukup uang untuk membeli buku itu? b. Berapa rupiah lagi yang dibutuhkan Ali agar ia dapat membeli buku itu?
4
Contoh 2 Diagram berikut menunjukkan acara TV favorit dari seluruh siswa SMP Cerdas Cendekia.
Banyak Siswa
Acara TV Favorit 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Perempuan Laki-laki
Kartun
Berita
Sinetron
Olah Raga
Jenis Acara
Berdasarkan diagram di atas, buatlah 3 soal berbeda yang berkaitan dengan topik pecahan. Beberapa soal yang mungkin disusun siswa adalah sebagai berikut. a. Berapa persen siswa yang menyukai kartun? b. Berapakah perbandingan banyaknya siswa yang menykai berita dan olahraga. c. Tuliskan sebuah pecahan yang menunjukkan banyaknya siswa yang menyukai sinetron dibandingkan banyaknya siswa keseluruhan. 2. Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal demikian akan mendukung penyelesaian soal semula. Contoh Diketahui soal sebagai berikut. Sebanyak 20.000 galon air diisikan ke kolam renang dengan kecepatan tetap. Setelah 4 jam pengisian, isi kolam renang tersebut menjadi
5 -nya. 8
Jika
sebelum pengisian kolam tersebut telah berisi seperempatnya, berapakah kecepatan aliran air tersebut?
5
Soal-soal yang mungkin disusun siswa yang dapat mendukung penyelesaian soal tersebut adalah sebagai beirkut. a. Berapa galon air di kolam renang ketika kolam itu berisi seperempatnya? Berapa galon air di kolam renang ketika kolam renang itu bersisi
5 -nya? 8
b. Berapakah perubahan banyaknya air dalam kolam renang setelah 5 jam pengisian? c. Berapakah rata-rata perubahan banyaknya air di kolam renang itu? d. Berapa waktu yang diperlukan untuk mengisi kolam renang tersebut sampai penuh? 3. Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find a more challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not …?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut. a. Mengubah informasi atau data pada soal semula b. Menambah informasi atau data pada soal semula c. Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal semula. d. Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula. Contoh Luas persegi panjang dengan panjang 2 m dan lebar 4 m adalah 8 m 2 . Soal-soal yang dapat disusun adalah sebagai berikut. a. Bagaimana jika lebarnya bukan 2 m tetapi 3 m? Bagaimana luasnya? b. Apa yang terjadi jika mengubah panjang dan lebarnya masing-masing menjadi dua kali? Apakah luasnya juga akan menjadi dua kali luas semula? c. Bagaimana jika kita mengubah panjangnya menjadi dua kali dan mengurangi lebarnya menjadi setengahnya? Apakah luasnya akan tetap? d. Tentukan panjang dan lebar suatu persegi panjang yang luasnya sama dengan dua kali luas persegi panjang semula.
6
Abu-Elwan (2000) mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing (problem posing semi-terstruktur), dan structured problem posing (problem posing terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu dapat didasarkan pada materi matematika, kemampuan siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut diuraikan masing-masing tipe tersebut. 1. Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari. Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk kompetisi matematika atau tes, ”buatlah soal untuk temanmu”, atau ”buatlah soal sebagai hiburan (for fun)”. 2. Semi-structured problem posing (problem posing semi-terstruktur). Dalam hal ini siswa
diberikan suatu
situasi bebas atau
terbuka
dan diminta untuk
mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal terbuka (open-ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang diberikan. 3. Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat soal berdasarkan soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi yang diketahui. Brown dan Walter (1990) merancang formula pembuatan
soal
berdasarkan
soal-soal
yang
telah
diselesaikan
dengan
memvariasikan kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan. D. Keterkaitan Pemecahan Masalah dan Problem Posing Ide meningkatkan kemampuan pemecahan masalah telah lama disiskusikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti tahap-tahap pemecahan Polya di atas. Siswa dilatih untuk memahami soal dengan baik, yang mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan. Selanjutnya siswa dibimbing untuk membuat
model
matematika
dari
soal
yang
diberikan
untuk
kemudian
menyelesaikannya. Tahap berikutnya siswa dilatih untuk mencermati kembali
7
penyelesaian model matematika dikaitkan dengan apa yang ditanyakan dalam soal. Dengan kata lain siswa dilatih untuk menuliskan hasil akhir sesuai permintaan soal. Selain mengikuti langkah-langkah penyelesaian soal dari Polya setahap demi setahap, untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, menurut Killpatrick dan Silver (Abu-Elwan, 2000), siswa harus diberikan kesempatan untuk mengajukan soal atau membuat pertanyaan. Cara ini selanjutnya dikenal dengan istilah problem posing. Keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pembuatan soal dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika siswa membuat soal, siswa dituntut untuk memahami soal dengan baik. Hal ini merupakan tahap pertama dalam penyelesaian masalah. Mengingat soal yang dibuat siswa juga harus diselesaikan, tentu siswa berusaha untuk dapat membuat perencanaan penyelesaian berupa pembuatan model matematika untuk kemudian menyelesaikannya. Hal ini juga merupakan tahapan penyelesaian masalah seperti dikemukakan Polya di atas. Berdasarkan penelitian terkini, menurut Winograd (Lin, 2004), pemberian tugas kepada siswa untuk membuat soal dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah dan sikap mereka terhadap matematika. Menurut English (Christou et al, 1999), problem posing dapat meningkatkan kemampuan berpikir, kemampuan memecahkan masalah, sikap serta kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah dan secara umum berkontribusi terhadap pemahaman konsep matematika. Hal itu juga diperkuat Killpatrik (Christou et al, 1999) yang mengatakan bahwa kualitas pertanyaan atau soal yang dibuat siswa menggambarkan kemampuan siswa menyelesaikan masalah. Berdasarkan penelitiannya, Cay (1998) dan Silver dan Cay (1996) sebagaimana dikutip Christou et al (1999) menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara problem posing dan problem solving. Ia menggunakan problem posing sebagai alat untuk mempelajari proses kognitif dan menyatakan bahwa problem posing dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan, penalaran, dan perkembangan konseptual siswa. Keterkaitan pembuatan soal dan pemecahan masalah diungkapkan oleh English (1997). Menurutnya, dengan membuat soal berarti tahap awal dalam memecahkan masalah, yaitu memahami soal telah terlewati, sehingga untuk menyelesaikan soal dengan tahap berikutnya akan terbuka. Sementara itu Silver dan Cai (1996) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kemampuan pembuatan soal berkorelasi positif dengan kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan English (1997) menjelaskan
8
bahwa pembuatan soal dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat menguatkan performannya dalam pemecahan masalah. Dari pendapat-pendapat di atas, guna meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dapat dilakukan dengan membuat soal atau merumuskan (memformulasikan) soal yang baru atau berasal dari soal-soal yang telah diselesaikannya. Hubungan antara kemampuan pembuatan soal dan pemecahan masalah juga diteliti oleh Abu-Elwan (2000). Ia meneliti efektivitas strategi problem posing untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru matematika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi pembuatan soal (problem posing) mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan masalah. Dalam melaksanakan pembelajaran dengan strategi problem posing, Lowrie (Abu-Elwan, 2000) menyarankan guru matematika untuk meminta siswa membuat soal untuk teman di dekatnya sehingga mereka lebih menguasai dalam pembuatan soal. Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa berkemampuan rendah untuk bekerja secara kooperatif dengan temannya sehingga dapat mencapai tingkat kemampuan yang lebih tinggi. Guru juga perlu mendorong siswa untuk membuat soal kontekstual atau sesuai dengan situasi sehari-hari. Selain itu, siswa juga perlu didorong untuk menggunakan piranti teknologi seperti kalkulator dalam membuat soal sebagai upaya pengembangan kemampuan berpikir matematikanya. E. Penutup Berbagai kajian analitis maupun hasil studi yang menunjukkan keterkaitan antara kemampuan pembuatan soal (problem posing) dan kemampuan pemecahan masalah dapat dijadikan dasar bagi guru untuk menerapkan problem posing dalam pembelajaran dalam rangka mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran demikian perlu dilakukan secara terus-menerus untuk memperoleh hasil optimal. Guru dapat memvariasikan berbagai metode problem posing sebagaimana diuraikan di atas guna lebih memperkaya pembelajaran tersebut.
9
F. Daftar Pustaka Abu-Elwan, R. (2000). Effectiveness of Problem Posing Strategies on Perspective Mathematics Teachers’ Problem Solving Performance. [Online] Tersedia http://math.unipa.it/~grim/AAbuElwan1-6. [7 September 2007] Brown, S., & Walter, M. I. (1990). The Art of Problem Posing. Philadelphia, PA: Franklin Institute Press. Christou, C. (1999). An Empirical Taxonomy of Problem Posing Processes. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education. [Online]. Tersedia http://subs.emis.de/journals/ZDM/zdm053a4.pdf. [7]. [15 Januari 2007] Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas English, L. D. 1997. Promoting a Problem Posing Classroom. Teaching Children Mathematics Journal. November 1997. p.172 – 179. Funke, J. (2001). Thinking & Problem Solving. [Online]. Tersedia:http://www.psychology.uni-heidelberg.de/AE/allg/. [5 April 2008] Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning Center. [Online]. Tersedia: http://www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf. [9 Mei 2008]. Leung, S. (1996). On the Role of Creative Thinking in Problem Posing. Paper pada Topic Group, ICME 7, International Congress on Mathematics Education, ICME 8, Seville, July 2006. [Online] Tersedia: http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm97as.pdf. [7 Maret 2007] Lin, P. (2004). Supporting Teachers on Designing Problem-Posing Tasks as a Tool of Assesment to Understand Student’s Mathematical Learning. Proceeding of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Vol 3. McIntosh, R., Jarret, D, & Peixotto, K. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The Visions. [Onlne]. Tersedia: http://www.nwrel.org/msec/images/mpm/pdf/monograph.pdf. [9 Mei 2008]. Nakin, J. B. N. (2003). Ceativity and Divergent Thinking in Geometry Education. Disertasi University of South Africa. [Online]. Tersedia: http://etd.unisa.ac.za/ETD-db/theses/available/etd-04292005151805/unrestricted/00thesis.pdf. [7 Januari 2008]. Polya, G. 1973. How to Solve it: A New Aspect of Mathematical Method (2 nd ed) Princenton, NJ: Princenton University Press. Silver, E. & Cai, J. 1996. An Analysis of Aritmatic Problem Posing by Middle School Students. Journal for Research in Mathematis Education, V.2, N.5. November 1996, p.521 – 539.
10
11