JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa SMP Melalui Pendekatan Pembelajaran Problem Posing Developing critical thinking skills mathematical SMP student through learning approach problem posing Lambertus1, Mustamin Anggo2, dan Sulasri Suddin3 (1, 2 & 3 Dosen &Alumni Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP UHO email:
[email protected]) Abstrak: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik antara siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional. Penelitian eksperimen ini menggunakan desain Randomized Control Group Pre Tes-Post Test. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan tehnik penentuan kelas secara random. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan: (1) Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematik yang signifikan antara siswa setelah diajar mengunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa setelah diajar mengunakan pendekatan pembelajaran konvensional; (2) Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional. Kata kunci: Problem posing, Kemampuan berpikir kritis. Abstract: The purpose of the study was to determine the difference in an increase in critical thinking skills among students taught math using problem posing approach to teaching and students taught using conventional teaching approach. This experimental study using a design Randomized Control Group Pre-Test Post Test. The sampling technique is purposive and random grading techniques. From the analysis of the conclusion: (1) There are differences in the ability to think critically significant mathematics among students after being taught using problem posing approach to teaching and students after being taught using conventional teaching approach; (2) Improved critical thinking skills students are taught math using problem posing learning approach better than the increase in critical thinking skills of students who are taught mathematics using conventional learning. Keywords: Problem posing, critical thinking skills.
PENDAHULUAN Salahsatu bidang studi yang sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya pembangunan suatu bangsa adalah matematika. Matematika termasuk sarana berpikir ilmiah sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis dalam diri peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Sebagaimana tercantum dalam Permendiknas
No. 22 Tahun 2006, bahwa diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah antara lain: (1) Agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika; (2) Menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat; (3) Dalam pemecahan masalah, menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, 89
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (4) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (5) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (6) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut secara tersirat bahwa seorang siswa diharapkan mampu mempunyai kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis bukanlah pembawaan manusia sejak lahir namun bisa ditumbuhkembangkan. Dalam hal ini, guru memegang peranan penting dalam usaha pengembangan kemampuan berpikir kritis.Mengembangkan kemampuanberpikir kritis matematik siswa sangat penting, dikarenakan kemampuan tersebut sangat mendukung pada kemampuan-kemampuan matematik yang lain, dan kemampuan-kemampuan tersebut juga merupakan tujuan dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Namun, keadaan yang sebenarnya adalah belum sesuai dengan yang diharapkan. Hudoyo (1998:2) menyatakan bahwa, guru masih senang mengajar dengan pola pembelajaran konvensional dan sedikit sekali melihat peluang-peluang untuk melakukan kegiatan yang lebih inovatif. Pembelajaran dilakukan kurang memperhatikan aspek kemampuan siswa dan sejauh mana pembelajaran dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemahaman dan penalaran berpikir siswa.Pembelajaran yang diterapkan hampir semua sekolah cenderung text book oriented dan kurang terkait dengan
JANUARI 2014
kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran matematika yang cenderung abstrak, sementara itu kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata lain pembelajaran yang kritis. Seperti metode yang digunakan kurang bervariasi, tidak melakukan pengajaran bermakna, dan sebagai akibatnya motivasi belajar siswa menjadi sulit ditumbuhkan dan pola belajar cenderung menghafal dan mekanistik. Fauzan (2002: 27) menggambarkan pembelajaran matematika di kelas bahwa pada umumnya guru menjadi pusat pembelajaran pada hampir semua aktivitas pembelajaran dengan memperlakukan siswa sebagai kotak kosong yang perlu diisi. Keadaan yang demikian tidak kondusif untuk pengajaran matematika atau untuk proses pembelajaran. Guru menyampaikan pesan berupa informasi tidak menyentuh pada hal-hal yang merangsang siswa untuk berpikir kritis. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah guru belum melakukan pemilihan strategi pendekatan pembelajaran guna tercapainya iklim pembelajaran aktif yang bermakna dan tepat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dan memberikan kesempatan siswa untuk berpikir kritis yaitu pembelajaran dengan pendekatan problem posing (pengajuan masalah). Problem posing dapat memfasilitasi pengembangan kemampuan berpikir kritis pada siswa agar dapat mengembangkan kemampuan dan kesukaan kepada matematika. Brown dan Walter (2005) juga menjelaskan bahwa problem posing adalah penting dalam kurikulum matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika, termaksud aktivitas dimana siswa membangun masalah sendiri. Pendekatan problem posing merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada kegiatan pengajuan masalah yang dimulai 90
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
dengan pemberian sebuah keadaan atau situasi oleh guru, siswa kemudian diminta untuk mengajukan pertanyaan berdasar pada situasi yang diberikan dengan mengacu kepada tujuan pembelajaran sehingga pertanyaan yang muncul tidak keluar dari materi yang sedang diajarkan. Kegiatan pengajuan masalah ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengontruksi pengetahuan sesuai dengan perkembangan dan kemampuan berpikirnya. Sehingga dengan meningkatnya kemampuan berpikir kritis matematik siswa diharapkan akan memberikan efek positif terhadap hasil belajar yang diperolehnya. Keberhasilan pendekatan problem posing dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik siswa dapat dilihat dengan mengukur beberapa aspek dalam proses menyelesaikan permasalahan. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing ini akan digunakan pada siswa Sekolah Menengah Pertama, karena pada jenjang ini siswa telah dapat dilatih untuk berpikir kritis sebagai dasar untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Menurut Piaget setiap individu mengalami tingkat perkembangan kognitif yang teratur dan berurutan, mulai dari tingkat sensori motor (0-2 tahun), pra-oprasional (2-7 tahun), oprasional konkrit (7-11 tahun) dan oprasional formal (11 tahun keatas). Pada tingkat oprasional formal, berpikir kritis dapat dikembangkan. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, anak seusia SMP belum sepenuhnya dapat berpikir abstrak, dalam pembelajarannya kehadiran benda-benda konkrit masih diperlukan. Meski begitu harus pula mulai dikenalkan bendabenda semi konkrit. Namun pada level SMP ini, anak sudah mulai dapat menerapkan pola berpikir yang dapat menggiringnya untuk memahami dan memecahkan permasalahan. Di sinilah peran berpikir kritis bagi anak usia SMP tersebut, yang dalam hal ini mengacu
JANUARI 2014
pada pendapat Piaget (mengenai ciri-ciri kemampuan kognitif anak pada level SMP), telah dapat diterapkan. Langrehr (2003) mendefenisikan berpikir kritis sebagai berpikir evaluative yang melibatkan pemanfaatan kriteria yang relevan dalam mengakses informasi disertai ketepatan, relevansi, kepercayaan, ketegapan, dan biasnya. Berpikir kritis merupakan perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Beyer (1987:33) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah kumpulan operasi-operasi spesifik yang mungkin dapat digunakan satu persatu atau dalam banyak kombinasi atau urutan dan setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat analisis dan evaluasi”.Berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Kaitannya dengan pendidikan matematika, menurut Sumarmo (2010: 4) secara umum berpikir matematik dapat diartikan sebagaicara berfikir berkenaan dengan proses matematika (doing math) atau cara berfikir dalam menyelesaikan tugas matematik (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Ditinjau dari kedalaman atau kompleksitas yang terlibat, berpikir matematik dapat dibedakan atas: berpikir tingkat rendah (low-order thinking), berpikir tingkat rendah (medium-order thinking), dan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking). Web dan Coxford (1993) mengatakan bahwa berpikir matematik tingkat tinggi melibatkan kemampuan memahami ide matematik lebih dalam, dengan menguji data dan menyelidiki ide dari bentuk, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logic, memecahkan masalah, berkomunikasi matematik, dan mengaitkan
91
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
ide matematik dengan kegiatan intelektual lainnya. Menurut Ennis (1996) terdapat enam elemen dasar dalam berpikir kritis yaitu: (1) Focus (fokus), yaitu hal pertama yang harus dilakukan untuk mengetahui informasi. Untuk fokus terhadap permasalahan, diperlukan pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki akan semakin mudah mengenali informasi. (2) Reason (alasan), yaitu mencari kebenaran dari pernyataan yang akan dikemukakan. Dalam mengemukakan pernyataan harus disertai alasan-alasan yang mendukung pernyataan tersebut. (3) Inference (membuat pernyataan), yaitu mengemukakan pendapat dengan alasan yang tepat. (4) Situation (situasi), yaitu kebenaran dari pernyataan tergantung situasi yang terjadi.
JANUARI 2014
Oleh karena itu, perlu mengetahui situasi/keadaan permasalahan. (5) Clarity (kejelasan), yaitu memastikan kebenaran sebuah pernyataan dari situasi yang terjadi. (6) Overview (tinjauan ulang), yaitu melihat kembali sebuah proses dalam memastikan sebuah kebenaran pernyataan dalam situasi yang ada sehingga bisa menentukan keterkaitan dengan situasi lainnya. Sehubungan dengan pendekatan pembelajaran dalam penelitian ini maka indicator yang digunakan dalam mengkaji kemampuan berpikir kritis matematik siswa adalah kemampuan siswa dalam mengidentifikasi konsep, menghubungkan antar konsep, mengevaluasi, memecahkan masalah, dan menganalisis (Izmaimuza, 2010: 64).
METODE Penelitian eksperimen ini dilaksanakan di SMAN 5 Kendari pada semester genap tahun ajaran 2012/2013. Pelaksanaan eksperimen melibatkan dua kelas, satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive, dengan Tabel 1. Desain Penelitian
pertimbangan bahwa kedua kelas memiliki kemampuan yang relatif sama. Penelitian ini menggunakan desain Randomized Control Group Pre Tes-Post Test. Desain ini dalam bentuk sederhana seperti terlihat pada tabel 1 berikut.
Pengukuran (pre test) T11 T12
Kelompok Eksperimen (E) Kelompok Kontrol (K) (Nazir, 1988: 289) Keterangan: E = Kelas eksperimen; K = Kelas control; X = Perlakuan dengan menerapkan pendekatan pembelajaran Problem Posing pada kelas eksperimen; T11 dan T12 =
Perlakuan X -
Pengukuran (post test) T21 T22
Tes kemampuan berpikir kritis sebelum perlakuan dan T21 dan T22 = Tes kemampuan berpikir kritis setelah perlakuan
HASIL Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis Tes kemampuan berpikir kritis diberikan kepada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, masing-masing
dilakukan dua kali yaitu sebelum pemberian perlakuan (pretes) dan setelah perlakuan (postes). Dari skor pretes dan postes, selanjutnya dihitung gain ternormalisasi (N92
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
Hasil analisis nilai normalized gain pada kelas eksperimen paling banyak berada pada klasifikasi sedang yakni sebanyak 25 orang siswa. Sedangkan pada klasifikasi tinggi sebanyak 6 orang siswa. Ini menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen, lebih dari 78,79% jumlah siswa memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis sedang. Deskripsi hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Gain) kemampuan berpikir kritis baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Rata-rata N-Gain ternormalisasi yang diperoleh dari perhitungan ini, merupakan gambaran peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing (Kelas Eksperimen) maupun menggunakan pembelajaran konvensional (Kelas Kontrol). Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen
Tabel 2. Daftar Distribusi Frekuensi dan Klasifikasi Normalized Gain (N-Gain) Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa pada Kelas Eksperimen Frekuensi Relatif Normalized Gain Klasifikasi Frekuensi (%) G < 0,30 Rendah 2 6.06 0,30 ≤ G ≤ 0,70 Sedang 25 78.79 G > 0,70 Tinggi 6 15.15 ∑ 33 100 Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis eksperimen, sebanyak 55,88% siswa memiliki Siswa Kelas Kontrol peningkatan kemampuan berpikir kritis Hasil analisis nilai normalized gain pada sedang. Dan sisanya sebanyak 44,12% siswa kelas kontrol paling banyak berada pada memiliki peningkatan kemampuan berpikir klasifikasi sedang yakni sebanyak 19 orang kritis rendah. Deskripsi hasil perhitungan siswa. Sedangkan pada klasifikasi tinggi tidak dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. ada. Ini menunjukkan bahwa pada kelas Tabel 3. Daftar Distribusi Frekuensi dan Klasifikasi Normalized Gain (N-Gain) Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa pada Kelas kontrol Frekuensi Relatif Normalized Gain Klasifikasi Frekuensi (%) G < 0,30 Rendah 15 44.12 0,30 ≤ G ≤ 0,70 Sedang 19 55.88 G > 0,70 Tinggi 0 0 ∑ 33 100 Uji Perbedaan Rata-rata (uji peningkatan KBKM siswa pada kedua kelas) Untuk mengetahui perbedaan rata-rata satu, dalam hal ini untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik (KBKM) siswa setelah diajar
menggunakan pendekatan problem posing dan setelah diajar menggunakan pendekatan konvensional, digunakan rumus uji-t satu sampel (one-sample test). (Catt: KBKM = kemampuan berpikir kritis matematik siswa) Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah: 93
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
Untuk kelas eksperimen: H0 : = 0 Lawan H1 : > 0 di mana : = Rata-rata peningkatan KBKM siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran Problem posing. Untuk kelas kontrol: H0 : = 0 Lawan H1 : > 0 di mana: = Rata-rata peningkatan KBKM siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional. Hasil perbedaan rata-rata untuk satu sampel dengan mengunakan uji-t satu sampel (One-Sample Test) terhadap data normalized gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematik (KBKM) siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan program SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung pada kelas eksperimen lebih besar dari nilai t tabel(32; 0,95) (thitung = 26,408 > ttabel = 1,697), maka H0 ditolak. Atau dengan melihat setengah sig. (2-tailed) pada kelas eksperimen
JANUARI 2014
lebih kecil dari
( = 0,05) ( sig. 2-tailed =
0,00 < = 0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang signifikan setelah diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing. Begitu pula pada kelas kontrol terlihat bahwa nilai t hitung pada kelas kontrol lebih besar dari nilai t tabel(33; 0,95) (thitung = 19,554> ttabel = 1,697), maka H0 ditolak. Atau dengan melihat nilai setengah sig. (2-tailed)nya lebih kecil dari ( = 0,05) ( sig. 2-tailed = 0,00 < = 0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang signifikan setelah diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Rata-rata Normalized Gain (Uji Peningkatan) Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test Value = 0 Sig. (2-tailed)
Mean Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
t
df
N_Gain_Eksperimen
26.408
32
.000
.57394
.5297
.6182
N_Gain_Kontrol
19.554
33
.000
.31206
.2796
.3445
Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15 Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah: Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa H0 : 1≤ 2 Lawan H1 : 1> 2 antar Kedua Kelompok di mana: 1 = Rerata peningkatan KBKM Karena data berdistribusi normal dan siswa yang diajar menggunakan pendekatan variansnya homogen maka untuk menguji pembelajaranproblem posing; dan 2 = Rerata perbedaan peningkatan KBKM siswa antara peningkatan KBKM siswa yang diajar yang diajar menggunakan pendekatan menggunakan pendekatan pembelajaran pembelajaran problem posing dan yang diajar konvensional. menggunakan pendekatan pembelajaran Untuk menguji signifikansi beda ratakonvensional digunakan rumus uji t sampel rata dua kelompok digunakan Independentindependen (Independent-Sample t Test) Sample t Test dengan menggunakan program 94
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel (65; 0,95) (thitung = 9,755 > ttabel = 1,671), maka H0 ditolak. Atau dengan melihat nilai setengah sig. (2-tailed) lebih kecil dari
JANUARI 2014
matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
( = 0,05) ( sig. 2-tailed = 0,00 < =
0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, peningkatan kemampuan berpikir kritis
Tabel 5. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol Independent Samples Test t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
N_Gain
Equal variances 9.755 65 .000 .26188 assumed Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15 Uji perbedaan peningkatan KBKM siswa antar kedua kelompok Karena data berdistribusi normal dan variansnya homogen maka untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional digunakan rumus uji t sampel
Std. Error Difference .02685
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.20826 .31550
independen (Independent-Sample t Test) Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah: H0 : 1≤ 2 Lawan H1 : 1> 2 di mana:: 1 = Rerata peningkatan KBKM siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaranproblem posing; = 2 Reratapeningkatan KBKM siswa yang diajar dmenggunakan pendekatan pembelajaran konvensional.
Tabel 6. Hasil Analisis Statistik Uji Perbedaan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol Independent Samples Test t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2tailed)
N_Gain
Mean Differen ce
Equal variances 9.755 65 .000 .26188 assumed Sumber: Data Primer Diolah Dengan SPSS/PC Ver. 15
95
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
.02685
.2082 6
Upper .31550
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
Untuk menguji signifikansi beda ratarata dua kelompok digunakan IndependentSample t Test dengan menggunakan program SPSS 15. Terlihat bahwa nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel (65; 0,95) (thitung = 9,755 > ttabel = 1,671), maka H0 ditolak. Atau dengan melihat nilai setengah sig. (2-tailed) lebih kecil dari
JANUARI 2014
peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan konvensional. Untuk lebih jelasnya keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 6 di atas.
( = 0,05) ( sig. 2-tailed = 0,00 < =
0,05), sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, PEMBAHASAN Data kemampuan berpikir kritis matematik diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis matematik (KBKM). Tes tersebut diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, sebelum perlakuan (pre test) dan setelah perlakuan (post test). Setelah dilaksanakan pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan pada kelas kontrol menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional, diperoleh data normalized gain yang merupakan selisih antara pre test dengan post test kemampuan berpikir kritis matematik siswa dibagi dengan selisih skor maksimum dengan pretest. Berdasarkan hasil uji hipotesis pertama (menggunakan uji t dua sampel bebas) terlihat bahwa rata-rata post test kemampuan berpikir kritis matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara nyata. Dengan kata lain, rata-rata kemampuan berpikir kritis matematik siswa setelah diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan darirata-rata kemampuan berpikir kritis matematik siswa setelah diajar menggunakan pembelajaran konvensional. Terjadinya perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kritis matematik ini disebabkan adanya penggunaan pendekatan pembelajaran problem posing pada kelas eksperimen. Kondisi seperti ini, secara tidak langsung memperlihatkan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematika siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji hipotesis rata-rata nilai normalized gain kemampuan berpikir kritis matematik pada kedua kelas dengan menggunakan statistik uji t satu sampel. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik yang signifikan pada siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik terjadi pada kedua kelas. Selanjutnya, hasil uji hipotesis rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol, terlihat bahwa rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara nyata. Hal ini berdasarkan hasil uji t diperoleh thitung> ttabel, yang berarti H0 ditolak. Dengan kata lain, peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional. Terjadinya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik ini 96
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
disebabkan adanya penggunaan pendekatan pembelajaran problem posing pada kelas eksperimen. Pembelajaran pada kelas eksperimen mendorong siswa untuk lebih mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Hal ini dapat dipahami karena dalam proses pembelajarannya, pendekatan pembelajaran problem posing lebih menekankan pada peran aktif siswa untuk mengajukan atau menyusun soal dari situasi yang diberikan. Kegiatan pengajuan masalah (soal) ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengontruksi pengetahuan sesuai dengan perkembangan dan kemampuan berpikirnya dan menemukan berbagai cara penyelesaian masalah matematika. Hasil yang lebih baik dari siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran problem posing tersebut disebabkan oleh pelaksanaan pembelajaran problem posing memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk memproduksi banyak gagasan/ide, mengajukan berbagai masalah dari situasi yang diberikan atau membentuk soal baru dari soal yang ada, dan mampu menyelesaikan dari masalah yang dibentuk. Disini kemampuan mengevaluasi ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang adasehingga dapat menghasilkan berbagai ide dan jawaban yang bervariasi dapat berkembang. Pembelajaran ini juga memudahkan siswa dalam mengidentifikasi
JANUARI 2014
dari suatu permasalahan yang diberikan serta mampu menghubungkan antara konsep yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kritis siswa dalam memecahkan suatu masalah. Siswa juga dapat memperkaya suatu gagasan atau produk dan memiliki kemampuan menganalisis untuk memerinci detail-detail dari suatu objek, ide/gagasan, dan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah, siswa diberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses pemecahan masalah secara kritis dan menyenangkan, yang mana dapat dilakukan dengan pembelajaran yang berkelompok. Sehingga dengan belajar berkelompok, masalah yang berat menjadi lebih mudah dipahami dan dipecahkan karena masalah tersebut menjadi tanggung jawab bersama dalam tiap-tiap kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan pembelajaran problem posing memiliki potensi besar untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMP. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan mutu hasil belajar matematika siswa yang sangat diharapkan dalam pendidikan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematik yang signifikan antara siswa setelah diajar mengunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa setelah diajar mengunakan pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik yang signifikan pada siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing maupun siswa yang diajar menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional, namun siswa yang menggunakan pendekatan pembelajaran problem posing peningkatannya lebih baik dengan rata-rata peningkatan 97
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
VOLUME 5 NOMOR 1
JANUARI 2014
sebesar 0,57 sehingga memiliki klasifikasi sedang dengan peningkatan terbesar 0,78 dan peningkatan terkecil 0,27. Sedangkan kelas yang menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional, dengan ratarata peningkatan sebesar 0,31 sehingga memiliki klasifikasi sedang dengan peningkatan terbesar 0,54 dan peningkatan terkecil 0,15. 3. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan
pendekatan pembelajaran problem posing lebih baik secara signifikan dari peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional.Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang signifikan antara siswa setelah diajar dengan mengunakan pendekatan pembelajaran problem posing dan siswa setelah diajar dengan mengunakan pendekatan pembelajaran konvensional.
Saran 1. Guru dapat menerapkan pendekatan pembelajaran problem posing sebagai alternatif pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik siswa. 2. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa belum menguasai dengan baik hubungan antara bangun-bangun geometri, dalam
hal ini berkaitan kemampuan berpikir kritis pada aspek “menghubungkan antar konsep”. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika, aspek ini diperlukan mendapat perhatian khusus oleh guru dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
DAFTAR RUJUKAN Beyer, B.K. 1987. Practical Strategies for the Teaching of Thinking. Boston: Allyn and Bacon Inc.[online]Tersedia di: http://www.natefacs.org/JFCSE/v23 no2/v23no2 Mimbs.pdf. [20Januari 2013] Brown, S.I dan Walter, M.I. 1990. The Art of Problem Posing (2nd ed& 3nd). Hillslade. (New Jersey, Marwah: Lawrences Erlbaum Associaties, Inc). Ennis, Robert H. 1996. Critical Thingking. New jersey: prentice – Hall, Inc. [online]. Tersedia di: http://faculty.ed.uiuc.edu/rhennis.ht ml.[20 Januari 2013]. Fauzan, Ahmad. 2002. Applying mathemathics education (RME) in teaching geometry in indonesia primary schools. Tesis Master, University of Twete.
Hudoyo, Herman. 1988. Belajar Mengajar Matematika. (Jakarta: P2LPTK) Ismaimuza, Dasa. 2010. Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. (Bandung: Disertasi pada PPs UPI.Tidak Dipublikasi) Langrehr, J. 2003. Teaching Children Thinking Skills. (Jakarta: PT Gramedia). Sumarmo, U. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik.FPMIPA UPI (Bandung. Tersedia di: http://math.sps.upi.edu. [20 Januari 2013]). Web, N.L. and Coxford, A.F. (Eds, 1993). Assesment in mathematics classroom. (Virginia: NCTM).
98