Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA MENGGUNAKAN TEKNIK PROBING PROMPTING Suharsono
[email protected] Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Siliwangi Bandung
ABSTRAK Penelitian ini ditujukan untuk menelaah peranan teknik probing prompting terhadap kemampuan pemahaman dan disposisi matematik siswa SMA, serta asosiasi antara keduanya. Penelitian ini adalah bagian dari tesis magister dan bagian dari Penelitian Hibah Pascasarjana DIKTI pada tahun 2015. Studi ini adalah suatu quasi eksperimen dengan disain pretest-postes kelompok kontrol yang melibatkan 66 siswa kelas 12 dari satu SMA di Pengalengan yang ditetapkan secara purposif. Instrumen penelitian ini adalah tes uraian kemampuan pemahaman matematik, dan skala disposisi matematik, dan skala persepsi siswa terhadap pembelajaran dengan teknik probing prompting. Penelitian menemukan bahwa kemampuan pemahaman matematik dan disposisi matematik siswa yang mendapat teknik probing prompting lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Namun, kemampuan pemahaman matematik siswa tergolong kurang sedangkan disposisi matematik siswa tergolong cukup baik. Siswa masih mengalami kesulitan dalam menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi suatu konsep, membuat model matematik dan menyelesaikannya berkenaan grafik fungsi. Selain itu ditemukan pula terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dan disposisi matematik, dan siswa menunjukkan pandangan yang positif terhadap teknik probing prompting Kata kunci: pemahaman matematik, disposisi matematik, teknik probing prompting ABSTRACT This study was intended to analyze the role of probing prompting technique (PPT) toward students’ mathematical understanding ability and disposition and asociation both of them. This study was a part of a master thesis and a sub-study of a Postgraduate Research Grant from DGHE in 2015. This study was a pretest-postest quasi-experimental control group design involving 66 twelfth-grade students of a senior high school in Pengalengan which were chosen puposively.The instruments of this study are an essay test on mathematical understanding ability, and a mathematical disposition (MD) scale. The study revealed that students getting treatment on PPT attained better grades on mathematical understanding ability and disposition than that of students taught by conventional teaching, though the grades of mathematical understanding were at low level and the grades of mathematical disposition were at fairly good. Students realized difficulties in determining requirements of a concept, compiling mathematical model and solving it concerning graph of function. Also, there was association between mathematical understanding ability and disposition, and students performed positive opinioan toward probing prompting technique. Keyword: Mathematical understanding, mathematical disposition, probing technique
278
prompting
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
Pendahuluan Kurikulum 2013 dirancang agar siswa memiliki kompentensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kritis, kreatif, dan inovatif. Pemahaman dan disposisi matematik merupakan kompetensi esensial yang harus dimiliki siswa, seperti yang termuat dalam kompetensi inti Kurikulum Matematika 2013. Kompetensi inti tersebut antara lain adalah: a) menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya; b) berperilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai, santun, responsif dan proaktif dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta pergaulan dunia; c) memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan. Butir a) dan Butir b) merupakan bagian kompetensi sosial dan Butir c) merupakan bagian dari kompetensi pengetahuan dan keterampilan. Sesuai dengan anjuran Kurikulum Matematika tahun 2013, dalam pembelajaran matematika kemampuan pemahaman matematik sebagai komponen pengetahuan, dan keterampilan atau hard skill matematik dan disposisi matematik sebagai komponen kompetensi sosial atau soft skill matematik hendaknya dikembangkan secara bersamaan dan seimbang seperti halnya dengan pengembangan pendidikan karakter dan nilai (Kurikulum 2013). Aswandi (2010), Ghozi (2010), dan Sauri (2010) mengemukakan bahwa karakter dan nilai tidak diajarkan namun dikembangkan melalui empat langkah yaitu: pemahaman terhadap pengertian karakter dan nilai, keteladanan guru dan pembiasaan dalam berperilaku sesuai dengan karakter dan nilai yang diharapkan, dan dilaksanakan dalam pembelajaran yang bersinambung. Melalui pembelajaran matematika akan terbina kemampuan bernalar, berpikir sistematik, kritis dan cermat, serta tumbuh rasa percaya diri dan
rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, sikap obyektif dan terbuka yang diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti tersebut secara akumulatif akan menumbuhkan disposisi matematik (Mathemathical Disposition) yaitu keinginan, kesadaran dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematik (Sumarmo, 2010). Ausubel (Sumarmo, 2010) mengemukakan bahwa dalam pendekatan pembelajaran matematika apapun yang diutamakan bagi siswa adalah tercapainya belajar bermakna. Pernyataan tersebut didasari oleh pendapat Glasersfeld (Suparno, 1997), dan Polya (1973) yang mengemukakan peran guru tidak hanya memberikan informasi saja tetapi juga memfasilitasi siswa belajar menemukan pengetahuannya dan mengembangkan kemampuan berpikirnya”. Pendapat tersebut, pada dasarnya melukiskan pembelajaran yang berpandangan konstrukvisme dan mempunyai ciri-ciri antara lain: a) siswa terlibat aktif dalam belajar, b) informasi dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya sehingga membentuk pengetahuan yang bermakna; c) pembelajaran berorientasi pada investigasi dan penemuan. Satu pendekatan pembelajaran yang berpandangan konstruktivisma dan dinilai akomodatif dapat meningkatkan aktivitas berpikir dan mengembangkan disposisi matematik seperti di atas adalah teknik Probing Prompting. Suherman (2008) mengemukakan bahwa teknik Probing Prompting adalah pembelajaran dengan cara menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada siswa mendorong siswa berpikir lebih 279
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
rasional tentang pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya, dan mengaitkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya sehingga timbul pengetahuan baru. Melalui kondisi seperti itu siswa berlatih melaksanakan pemahaman matematik yang bermakna (meaningful mathematical understanding) serta menunjukkan perilaku disposisi matematik. Beberapa studi melaporkan keunggulan teknik Probing Prompting daripada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan: kemampuan representasi hasil belajar matematika siswa SMA, pemahaman matematik siswa SMP (Rosnawati, 2008), dan kemampuan penalaran adatif siswa SMP (Sudarti, 2008). Selain itu beberapa studi dengan menerapkan pendekatan inovatif antara lain: Pendekatan Induktif-Deduktif pada siswa MTs (Dahiana, 2010), pendekatan metaphorical thinking pada siswa SMP (Hendriana, 2009), pendekatan kontekstual pada siswa SMK (Kurniawan, 2010), dan berbasis masalah pada siswa SMP, melaporkan kemampuan pemahaman matematik siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada kemampuan siswa pada kelas konvensional. Memperhatikan karakteristik teknik probing prompting, kemampuan pemahaman dan disposisi matematik dan hasil beberapa studi yang relevan, peneliti memperkirakan teknik probing prompting akan mendukung berkembangnya kemampuan pemahaman matematik dan tumbuhnya disposisi matematik siswa. Pemahaman matematik merupakan bagian kompetensi pengetahuan dan keterampilan atau hard-skill matematik dan disposisi matematik adalah bagian dari kompetensi sosial atau soft-skill matematik yang esensial dimiliki oleh siswa SMA. Rasional dari pernyataan tersebut antara lain adalah Pemahaman matematik dan matan disposisi matematik tercantu dalam tujuan pembelajaran matematik Kurikulum Matematika 2013. Pentingnya pemilikan 280
kemampuan pemahaman matematik juga tersirat dalam pernyataan Brownel (Dahiana, 2010) mengatakan, “Belajar untuk pengertian dan pemahaman dalam matematika memiliki efek positif terhadap belajar siswa, meliputi belajar yang baik, retensi yang besar, dan meningkatkan kemungkinan ide akan dapat digunakan dalam situasi yang berbeda”. Terdapat beberapa jenis, atau klasifikasi pemahaman matematik, antara lain: a) Translasi yaitu mengubah konsepsi abstrak menjadi suatu model; interpretasi yaitu mengenal dan memahami ide dan ekstrapolasi yaitu menterjemahkan dan menafsirkan (Bloom, dalam Russeffendi, 2006); b) Pemahaman instrumental atau menghapal konsep/prinsip secara terlepas, menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana atau secara algoritmik; Pemahaman relasional yaitu mengkaitkan satu konsep dengan konsep lainnya (Skemp, dalam Sumarmo, 2010) Ollerton (2010) mensejajarkan kesamaan mempelajari dasar-dasar membaca dan mempelajari dasar-dasar matematika, dengan rasional bahwa pada hakekatnya keduanya berkaitan dengan bahasa dan kosa kata. Dalam matematika, bahasa dan kosa kata merupakan bahasa simbol dan ekspresi yang mempunyai makna tertentu. Selanjutnya Ollerton (2010) berpendapat bahwa ketika seseorang mengerjakan suatu soal dan ia merasakan manfaatnya, atau merupakan kebutuhan maka akan timbul rasa senang dan mampu mengerjakannya. Kondisi tersebut menumbuhkan rasa kepercayaan diri, dan menantang upaya untuk memperluas kegiatan yang sudah dilakukannya. Ilustrasi tersebut melukiskan situasi yang bersangkutan mencapai pemahaman bermakna (meaningfull understanding) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas matematik yang lebih kompleks. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirangkumkan beberapa indikator pemahaman matematik sebagai berikut:
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
a) mengenal syarat yang diperlukan suatu konsep; b) mengubah satu representasi ke bentuk representasi lainnya; c) mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; d) menggunakan model, diagram dan simbolsimbol untuk mempresentasikan suatu konsep. Komponen tujuan pembelajaran matematika dalam aspek afektif dalam Kurikulum Matematika 2013 dinamakan pula sebagai kompetensi relegius dan kompetensi sosial atau soft-skill matematik di antaranya adalah: a) menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya; b) berperilaku dan kompetensi sosial jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai, santun, responsif dan proaktif dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta pergaulan dunia. Sesuai dengan anjuran Kurikulum Matematika 2013, pengembangan hardskill dan soft-skill matematik atau kompetensi relegius, sosial, pengetahuan, dan keterampilan harus dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang. Kondisi pembelajaran matematika seperti tersebut di atas memberi peluang terbina kemampuan bernalar, berpikir sistematik, kritis dan cermat, serta tumbuh rasa percaya diri dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, sikap obyektif dan terbuka yang diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti tersebut secara akumulatif akan menumbuhkan disposisi matematik (Mathemathical Disposition) yaitu keinginan, kesadaran dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematik (Sumarmo, 2010). Polya (Sumarmo, 2010) menguraikan indikator disposisi matematik secara lebih rinci sebagai berikut: a) rasa percaya diri, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan, b) bersifat fleksibel dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari beragam
strategi memecahkan masalah; c) bersifat tekun menunjukkan minat dan rasa ingin tahu, d) cenderung memonitor, berpikir metakognitif, e) menerapkan matematika dalam bidang studi lain dan masalah sehari-hari; serta f) menunjukkan apresiasi peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa. Seperti halnya pengembangan pendidikan nilai dan karakter, pada dasarnya disposisi matematik tidak dapat diajrkan secara langsung, namun dikembangkan secara tidak langsung dan bersamaan dengan pengembangan hard-skill matematik melalui kegiatan matematik yang memungkinkan tumbuhnya disposisi matematik. Sebagai contoh, untuk membina perilaku tekun, dan menunjukkan minat dan rasa ingin tahu, dalam pembelajaran matematika antara lain siswa dihadapkan pada tugas-tugas latihan yang tidak sederhana, tetapi menuntut siswa berpikir, memberi alasan, dan dimotivasi untuk memilih dan atau menyusun tugas latihan sendiri. Istilah probing dari segi bahasa berarti menyelidiki. Probing dapat berupa pertanyaan yang bersifat menggali, dan mengajukan pertanyaan berkelanjutan yang mendorong siswa untuk mendalami jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya. Marmo dan Idris (2008) mengemukakan probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk memperoleh jawaban lebih lanjut dari jawaban yang sudah ada yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jawaban yang pertama, sehingga diperoleh jawaban berikutnya yang lebih jelas, akurat, dan beralasan. Dalam hal siswa tidak dapat menjawab atau salah menjawab, guru mengajukan pertanyaan lanjutan yang akan menuntun proses berpikir siswa, sehingga pada akhirnya siswa dapat menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Teknik menggali (probing) ini dapat digunakan sebagai teknik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jawaban siswa. Teknik probing yang Situasi baru itu membuat 281
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
siswa mengalami pertentangan dengan pengetahuan dan bertentangan. Situasi ini memberi peluang kepada siswa untuk mengadakan asimilasi dan akomodasi. Ditinjau dari segi bahasa, istilah prompting berarti mengarahkan, dan menuntun. Terdapat tiga macam pertanyaan prompting yaitu: a) mengubah pertanyaan dalam susunan kata-kata yang lebih sederhana yang merujuk pada pertanyaan semula, 2) mengajukan pertanyaan dengan kata-kata berbeda atau lebih sederhana yang sesua dengan pengetahuan dan tingkat berpikis siswa; 3) mereview informasi yang diberikan dan pertanyaan yang membantu siswa untuk mengingat, dan menalah jawaban yang semula. Dengan kata lain prompting adalah cara lain dalam merespon (menanggapi) jawaban siswa ketika mereka gagal menjawab pertanyaan, atau jawabannya kurang sempurna. Dengan demikian teknik Probing Prompting adalah cara mengajukan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan lama siswa dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Kemudian siswa mengkonstruksi sendiri konsep menjadi pengetahuan baru. Dalam teknik ini proses tanya-jawab dilakukan secara acak, dan setiap siswa didorong berpartisipasi aktif, dan tidak boleh menghindar dari proses tanya jawab tersebut. Agar tidak terjadi suasana tegang, guru hendaknya mengajukan serangkaian pertanyaan secara ramah, suara menyejukkan, nada lembut, ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Perlu diperhatikan ketika jawaban siswa salah, yang bersangkutan tetap harus dihargai karena dia telah berpartisipasi dan salah adalah satu ciri orang sedang belajar. Teknik probing memiliki tiga tahapan (Rosnawati, 2008), yaitu: a) Pada kegiatan awal, guru menggali pengetahuan prasyarat yang sudah dimiliki siswa dengan menggunakan teknik probing; b) Pada 282
kegiatan inti: guru mengembangkan materi menggunakan teknik probing; Pada kegiatan akhir, teknik probing digunakan untuk mengetahui keberhasilan siswa setelah ia selesai melakukan kegiatan inti. Layaknya stiap pendekatan pembelajaran, teknik probing prompting memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan teknik probing prompting di antaranya: a) mendorong siswa aktif berfikir; b) memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas; c) perbedaan pendapat antara siswa dapat dikompromikan ketika diskusi; d) pertanyaan dapat dibuat menarik, memusatkan perhatian siswa, sehingga ketika siswa sedang rebut atau mengantuk, suasana menjadi segar, nyaman, dan hidup lagi; e) berfungsi sebagai cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau; f) mendorong keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat. Beberapa kekurangan teknik probingprompting di antaranya adalah: a) siswa merasa takut, ketika guru kurang mendorong siswa untuk berani bertanya atau menjawab; b) tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berfikir dan mudah dipahami siswa; c) nmemerlukan waktu yang lama; d) untuk jumlah siswa yang banyak, tidak cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap siswa; e) dapat menghambat cara berfikir siswa ketika siswa tidak bebas berkreasi. Langkah-langkah pendekatan pembelajaran probing prompting (Sudarti, 2008): a) menghadapkan siswa pada situasi baru yang mengandung permasalahan; b) memberi kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban; b) mengajukan pertanyaan sesuai dengan indikator kepada seluruh siswa; c) memberi waktu tunggu kepada siswa untuk menjawab atau berdiskusi dalam kelompok kecil; d) menunjuk satu siswa untuk menjawab pertanyaan; e) ketika jawaban siswa tepat, siswa lain diminta untuk memberi tanggapan dan bila ada kemacetan
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
dalam menjawab, atau jawaban kurang tepat, ajukan pertanyaan lain yang menuntun siswa ke arah jawaban yang diharapkan (scaffolding); f) mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa indikator tersebut benarbenar telah dipahami oleh seluruh siswa. Beberapa studi melaporkan keunggulan teknik Probing Prompting daripada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan beragam kemampuan matematik misalnya: kemampuan representasi matematika siswa SMA, pemahaman matematik siswa SMP (Rosnawati, 2008), dan kemampuan penalaran adatif siswa SMP (Sudarti, 2008). Selain itu beberapa studi dengan menerapkan pendekatan inovatif lainnya antara lain: Pendekatan InduktifDeduktif pada siswa MTs (Dahiana, 2010), pendekatan metaphorical thinking pada siswa SMP (Hendriana, 2009), pendekatan kontekstual pada siswa SMK (Kurniawan, 2010), dan berbasis masalah pada siswa SMP (Rosliawati, 2014) melaporkan bahwa pendekatan inovatif tersebut memberikan hasil pemahaman matematik siswa yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Beberapa studi tentang disposisi matematik memberikan hasil temuan yang tidak konsisten. Misalnya, beberapa studi melaporkan disposisi matematik dari siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada disposisi matematik siswa pada kelas kontrol (Permana, 2008, Qodariyah, 2015, Wardani, 2010, Wulanmardhika, 2014). Sebaliknya, studi Bernard (2015) melaporkan tidak ada perbedaan disposisi matematik antara siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berbeda dengan beragamnya kualitas temuan dalam kemampuan matematik yang berkisar antara kurang dan baik, pada umumnya temuan beberapa studi dalam disposisi matematik berkisar antara sedang dan cukup.
Metode Penelitian ini bertujuan menelaah peranan metode teknik probing prompting terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan siswa SMP dalam pemahaman matematik, terhadap pencapaian disposisi matematik siswa, dan asosiasi antara kedua variabel tersebut. Studi ini adalah bagian dari tesis magister (Suharsono, 2015) dan bagian dari penelitian Hibah Pascasarjana DIKTI tahun kedua (Hendriana, Rohaeti, Sumarmo, 2015). Studi ini berdisain pretes-postes dengan kelompok kontrol dengan subyek sampel 66 siswa kelas 12 dari satu SMA di Pengalengan yang ditetapkan secara purposif. Instrumen penelitian ini adalah tes kemampuan pemahaman matematik dan skala disposisi matematik. Instrumen dikembangkan dengan mengacu pada Arikunto (2001) dan Hendriana dan Sumarmo (2014). Tes pemahaman matematik terdiri dari 6 butir soal dengan validitas butir berkisar antara 0,52 dan 0,84; daya pembeda berkisar 0,39 dan 0,53; tingkat kesukaran berkisar antara 0,32 dan 0,57 dan koefisien reliabiltas tes sebesar 0,72. Skala disposisi disusun dalam skala model Likert. Analisis data mengacu pada Furqon (2010) dan Riduwan (2000) Berikut ini diisajikan contoh butir tes pemahaman matematik dan contoh butir skala disposisi matematik. Contoh soal 1 Butir tes pemahaman matematik Suatu pabrik farmasi menghasilkan dua jenis kapsul obat flu yang di beri nama Fluin dan Fluon. Masing-masing kapsul memuat tiga unsure utama dengan kadar kandungan tertera dalam tabel 1: Tabel 1. Contoh Komponen Obat Unsur Aspirin Bikarbonat Kodein
Kapsul Fluin 2 5 1
Fluon 1 8 6
283
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Menurut dokter seorang yang sakit flu akan sembuh jika dalam satu hari ratarata memerlukan 12 grein aspirin, 74 grain bikarbonat dan 24 grain kodein, harga fluin Rp 200,- perkapsul dan fluon Rp 300,perkapsul. Buat model matematika dari informasi tersebut, kemudian tentukan banyaknya kapsul fluin dan fluon yang harus dibeli dengan ongkos pembelian seminimal mungkin agar cukup untuk menyembuhkan. Contoh soal 2 Butir tes Pemahaman Matematik.
6
Garis 2 Garis 3
4
4
Garis 1
a. Buat model matematika dari gambar diatas. b. Tentukan nilai maksimum f(x,y) = 5x + 10y di daerah yang diarsir pada grafik tersebut.
Contoh soal 3 Butir Skala Disposisi Matematik No
+/-
Pernyataan SS
`1.
-
2.
+
3. 4.
+
5.
+
6. 7
+ -
8
-
Respons S TS
STS
Saya merasa nyaman belajar matematika tanpa adanya target dan tujuan yang pasti Sesulit apapun tugas matematika dari guru saya coba kerjakan sebagai pengalaaman berharga untuk meningkatkan kemampuan matematika Saya menunggu bantuan ketika mengalami kesulitan belajar matematika Saya berusaha mengemukakan pendapat saat diskusi pelajaran matematika walaupun pendapat saya belum tentu benar Saya mengvaluasi ulang pekerjaan ulangan matematika yang sudah saya kerjakan Membuat jadwal belajar khusus matematika atas keinginan sendiri Saya merasa takut salah dalam mengemukakan pendapat sendiri yang berbeda dengan orang lain Bekerjasama dengan yang pintar matematika membuat saya merasa bodoh
Contoh soal 4 Butir Skala Pandangan terhadap Teknik Probing Prompting No 1 2 3 4 5 6 7 8
284
Pernyataan Teknik Probing Prompting menciptakan suasana nyaman belajar matematika (+) Tugas dalam LKS membuat saya cemas mengerjakannya (-) Penjelasan dalam LKS sulit dipahami siswa (-) Suasana pembelajaran dengan model pempelajaran Probing Prompting membuat siswa takut mengerjakan soal didepan kelas (-) Penjelasan dalam LKS membingungkan siswa (-) Teknik Probing Prompting meningkatkan percaya diri siswa (+) Tugas dalam LKS membuat saya cemas mengerjakannya (-) Teknik Probing Prompting mendorong siswa berani bertanya (+)
SS
S
TS
STS
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
Hasil dan Pembahasan 1. Kemampuan Pemahaman Matematik, Disposisi Matematik, Pandangan Terhadap Teknik Probing Prompting Deskripsi pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman matematik, disposisi matematik, pandangan terhadap teknik probing prompting siswa tercantum pada Tabel 1. Temuan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa dalam pre-tes kemampuan pemahaman matematik (KPM) siswa pada kedua kelompok pembelajaran tidak berbeda dan tergolong sangat rendah (26,20 % 26,37% dari skor ideal). Dalam pos-tes siswa yang mendapat pembelajaran teknik probing propmting mencapai KPM yang lebih baik
(50,45% dari skor ideal) dari KPM siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (41,52% dari skor ideal), namun keduanya tergolong kurang. Berkenaan dengan N-Gain KPM, siswa yang mendapat teknik probing propmting mencapai N-Gain KPM (0,32) yang lebih besar dari pada N-Gain KPM siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (0,20). Temuan tersebut serupa dengan temuan studi lain (Hendriana, 2009, Kurniawan, 2010, Permana, 2010, Qodariyah, 2015, Syaban, 2008, Wulanmardhika, 2014) yang melaporkan bahwa pemahaman matematik siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada pemahaman matematik siswa pada kelas konvensional.
Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik, Pandangan Siswa terhadap Teknik Probing Prompting Kemampuan dan Disposisi Matematik
N
Pemahaman SMI = 20
33
Disposisi Matematik SMI = 120
33
Statis
% Sd
Teknik Probing Prompting Pre-test 5,24 1,52 26,20
% Sd
Pendapat % thd Probing 33 Prompting Sd Skor Ideal Komunikasi Matematik Skor Ideal Disposisi Matematik
Pos-test
N-gain
Pretest 5,27 26,37 1,93
Konvensional Pos-test
10,09 8,30 0,32 50,45 1,98 2,21 0,16 41,52 88,55 85,00 79,06 75,89 6,42 7,71 65,00 65,00 4,47 : 20 Skor Ideal Pend. Probing Prompting : 100 : 112
Selain itu, Tabel 2 menunjukkan bahwa DM siswa yang mendapat teknik probing propmting (79,06% dari skor ideal) dan lebih baik dari DM siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (75,89% dari skor ideal) dan keduanya tergolong cukup baik. Temuan studi ini serupa dengan temuan studi lain (Abdurachman, 2014, Permana, 2010, Qodariyah, 2015, Tandililing, 2010, Wardani, 2010, Wulanmardhika, 2014) yang melaporkan disposisi matematik siswa kelas eksperimen lebih baik daripada siswa kelas
N-gain 0,20 0,11
konvensional. Namun, temuan studi ini berbeda dengan studi Bernard (2015) yang menemukan tidak ada perbedaan disposisi matematik siswa pada kedua pembelajaran. Ditemukan pula, pandangan siswa terhadap Teknik probing prompting tergolong sedang (65% dari skor ideal). Hasil analisis perbedaan rerata KPM, N-Gain KPM, dan DM siswa menggunakan uji Man Whitney pada kedua kelompok pembelajaranpada studi ini disajikan pada Tabel 3.
285
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Tabel 3 Uji Hipotesis Perbedaan Mean KKM, N-Gain KKM, dan DM pada Pembelajaran Teknik Probing Prompting dan Pembelajaran Konvensional Variabel KPM Konv N-Gain KPM Konv
Pendekatan Pembelajaran TPP 8,30 TPP 0,22
SD
N
Sig.
Interpretasi
10,09 1,98
2,21 33 33
0.00
KPM TPP > KPMKonv
0,59 0.21
0,21 33 33
0.00
N-Gain KPM TPP > N-Gain KPMKonv
TPP 88,55 6,42 33 DM 0.00 85,00 7,71 33 Konv Catatan: KKM : kemampuan komunikasi matematik Skor ideal KKM: 20 DM : Disposisi matematik Skor ideal DM 112
2. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman Matematik (KPM) dan Disposisi Matematik (DM) Asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik (KPM) dan disposisi matematik (DM) dianalisis menggunakan tabel kontigensi seperti pada Tabel 4 dan uji χ2 (Chi-Square) seperti pada Tabel 5.
DM TPP > DM Konv
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 3, dan perhitungan statistik χ2 (ChiSquare) sedangkan nilai χ20.95(dk)= 9,488, maka χ2 > χ20.95(dk) dengan demikian hipotesis Ho diterima, artinya terdapat assosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dan disposisi matematik dengan derajat asosiasi C = 0,55 dan tergolong dalam kategori cukup.
Tabel 4 Tabel Kontigensi KPM dan DM di Kelas Teknik Probing Prompting DM Rendah Sedang Tinggi Jumlah KPM 0 6 18 24 Rendah 0 4 2 6 Sedang 1 1 1 3 Tinggi 6 10 17 33 Jumlah Tabel 5 Skor Tiap Butir Tes Pemahaman Matematik Siswa pada Kelas Teknik Probing Prompting dan Kelas Pembelajaran Konvensional Pendekatan Des. Stat. No.1 No 2. Skor 4 4 pembelajaran ideal 2.70 3.21 Teknik Probing % thd SI 67.42% 80.30% Prompting Konvensional 0.909 1.152 % thd SI 22.73 % 28.79%
286
No.3 4
No.4 4
No.5 4
1.64 40.91% 1.818 45.46%
0.76 18.94% 1.333 33.33%
1.79 44.70% 3.091 77.27%
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
Temuan tersebut serupa dengan temuan studi lainnya (Permana, 2010, Qodariyah, 2015) yang melaporkan terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dan disposisi matematik. Namun temuan studi ini berbeda dengan temuan studi Bernard (2015) yang melaporkan tidak ada asosiasi antara kemampuan penalaran matematik dan disposisi matematik. Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa eksistensi asosiasi yang tidak konsisten antara kemampuan matematik dan aspek afektif matematik. 3. Kesulitan Siswa dalam Pemahaman Matematik Skor tiap butir tes berpikir kreatif matematik pada kedua pembelajaran tercantum pada Tabel 5. Secara keseluruhan kemampuan pemahaman matematik siswa pada kedua kelas tergolong klasifikasi kurang. Berdasarkan data pada Tabel 5 ditemukan bahwa siswa di kelas teknik probing prompting mengalami kesulitan dalam tiga butir pemahaman matematik (skor tiap butir tes kurang 60% dari skor idealnya), yaitu pada no 3, no 4 dan no 5 yaitu tentang menyatakan satu representasi ke dalam bentuk representasi matematik lainnya dan membuat model matematik dari suatu grafik dan situasi serta menyelesaikannya. Sedangkan siswa pada kelas pembelajaran konvensional, kecuali pada butir soal no 5, skor rata-rata 4 butir tes pemahaman matematik mencapai kurang dari 60% dari skor ideal yaitu no 1, no 2, no3, dan no 4 yaitu mengenai: menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi suatu konsep, membuat model matematik dari suatu grafik dan situasi serta menyelesaikannya. Kesimpulan dan Saran Pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman matematik serta disposisi matematik siswa yang mendapat teknik probing prompting lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman
matematik siswa pada kedua pembelajaran tergolong kurang, sedang N-Gainnya siswa yang mendapat teknik probing prompting tergolong tinggi dan N-Gainnya pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional tergolong sedang. Namun disposisi matematik siswa pada kedua kelas pembelajaran sudah tergolong cukup baik. Selain dari itu, terdapat asosiasi kuat antara kemampuan pemahaman matematik dan disposisi matematik, serta siswa menunjukkan pendapat yang positif terhadap pembelajaran dengan teknik probing prompting. Siswa pada kedua pembelajaran mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemhaman matematik. Kesulitan tersebut adalah mengenai menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi suatu konsep, menyatakan satu representasi ke dalam bentuk representasi matematik lainnya, membuat model matematik dari suatu grafik dan situasi serta menyelesaikannya dalam materi program linier. Teknik probing prompting belum berhasil mengembangkan kemampuan pemahaman matematik siswa dalam topik program linier. Sehubungan dengan temuan tersebut, siswa perlu diberi latihan soal yang lebih bervariasi dan menantang dan menuntut siswa memberi alasan terhadap proses penyelesaian soal matematika, serta waktu untuk latihan yang lebih lama. Selain tugas latihan yang bervariasi dari guru dengan tingkat kesulitan yang beragam, hendaknya siswa juga dimotivasi untuk memilih sendiri soal latihan dan menyusun soal (mathematical problem posing) berkenaan fungsi khususnya dan topik matematika lainnya pada umumnya. Kedua pembelajaran sudah berhasil mengembangkan disposisi matematik yang cukup baik. Namun demikian, serupa dengan karakteristik nilai dan karakter lainnya, pengembangan disposisi perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Disarankan empat cara mengembangkan disposisi matematik lebih baik lagi yaitu melalui: a) memberi 287
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
pemahaman tentang pentingnya perilaku yang termuat dalam disposisi matematik; b) memberikan teladan akan perilaku kemandirian belajar yang diharapkan; c) siswa dibiasakan untuk berperilaku disposisi matematik yang diharapkan; dan d) melaksanakan pembelajaran matematika yang terintegrasi dan berkelanjutan. Daftar Pustaka Arikunto, S. (2001). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Aswandi, (2010). ”Membangun Bangsa melalui Pendidikan Berbasis Karakter”. In Pendidikan Karakter. Jurnal Publikasi Ilmiah Pendidikan Umum dan Nilai. Vol. 2. No.2. Juli 2010. Bernard, M. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Serta Disposisi Matematik Siswa SMK dengan Pendekatan Kontekstual Melalui Game Adobe Flash Cs 4.0. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi. Tidak diterbitkan. Dahiana, W.O. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematis Siswa MTs Melalui Pendekatan Induktif-Deduktif Berbasis Konstruktivis, Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara. 3, (II), 71-77. Furqon. (2011). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Article presented in Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru Bahasa Perancis Tanggal 24 Okober s.d 6 November 2010 Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thingking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik, dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. 288
Hendriana, H. dan Rohaeti, E.E (2007), Bahan Ajar Penelitian Pendidikan. Diktat Pembelajaran. Bandung: Tidak diterbitkan Hendriana, H. Rochaeti, E.E. Sumarmo,U. (2015). Meningkatkan Beragam Hard Skill dan Soft Skill Matematika Siswa Sekolah Menengah melalui Beragam Pendekatan Pembelajaran. Hibah Pascasarjana DIKTI tahun kedua (2015) Hudoyo, H, (1990). Strategi Belajar Matematik. Malang: IKIP Malang. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, RI. 2013. Matematika, Buku Guru. Jakarta : Politeknik Negeri Kreatif. Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi UPI. Bandung. Tidak diterbitkan. Marno dan Idris. 2008. Strategi dan Metode Pengajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Ollertron, M. (2010). Panduan Guru Mengajar Matematika. Jakarta : Erlangga. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas Permana,Y. (2010). Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi serta Disposisi Matematik Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui Model – Eliciting Activities. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan Polya, G. (1973). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princenton University Press Qodaryah, L. (2015) Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Serta Disposisi Matematik Siswa Smp Denganmenggunakanmetode
Suharsono, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik
Discovery Learning. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung. Tidak diterbitkan. Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching., Disertasi pada Sekolah Pasasarjana UPI. Sebagian disertasi dengan judul: “Improving Mathematical Communication Ability and Self Regulation Learning of Yunior High Students by Using Reciprocal Teaching”, dimuat dalam International Journal of Mathematics Education, IndoMS-JME, Vol,. 4. No.1 January 2013 pp 59-74 Riduwan. (2007). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Rosnawati, H. (2008). Penggunaan Teknik Probing Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMP. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan. Ruseffendi, H.E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sauri, S. (2010). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembinaan Profesionalisme Guru Berbasis Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol.2. No.2. Sudarti, T. (2008). Perbandingan Kemampuan Penalaran Adatif Siswa SMP Antara yang Memperoleh Pembelajaran Matematika Melalui Teknik Probing dengan Metode Ekspositori. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan. Sugiyono. (2008). Statistika untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta. Suharsono. (2015). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Serta Disposisi Matematik Siswa Sma Menggunakan Pendekatan
Pembelajaran Probing Prompting. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi, Bandung. Suherman, E. dkk (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI. Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. [Online]. in http://www.docstoc. com/docs/ 62326333/PembelajaranMatematika. [5 Maret 2012]. Sumarmo, U (2012). “Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik”. Pascasarjana STKIP dan UPI di Bandung. Makalah dimuat dalam Suryadi, D, Turmudi, Nurlaelah, E. (Penyelia). Kumpulan Makalah Proses Berpikir dan Disposisi Matematik dan Pembelajarannya. 2014. Hal 435-492. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Syaban, M. (2008). Menumbuhkan daya dan disposisi siswa SMA melalui pembelajaran investigasi. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2014 pada http://www.uai.no/ no/content/download/2math.html Tandililing, E. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Pemahaman Matematik Serta Kemandirian Belajar Siswa SMA Melalui Strategi PQ4R Berbasis Bacaan Refutation Text. Disertasi pada Pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan. Wardani, S. (2008) Meningkatkan Kemampuan berfikir kreatif dan disposisi matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan pendekatan model Sylver. Diakses pada tanggal 27 Juli 2014 pada http://www.matedu.cinvestav.mx/ adalira.pdf. Wulanmardhika, M. (2014). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman, Penalaran, dan Disposisi Matematik Siswa SMA melalui Pembelajaran Generatif. Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan. 289