Meninggalkan Penjara Hersri Setiawan 21 Januari 2015 pukul 13:14 Meninggalkan Penjara Jalan Kemerdekaan forti et fideli nihil difficile Air putih hangat jatah pagi dari dapur penjara sudah dibagikan. Masing-masing satu rantang. Itu biasanya menjelang jam enam, segera sesudah salat subuh usai. Masing-masing riungan sudah "ngariung", sarapan air hangat dan apa saja yang tersisa dari besukan kemarin. Sepotong singkong, sebutir ubi rambat, atau satu muk bulgur. Masih terlalu pagi sebenarnya untuk sarapan. Tapi kami diharuskan oleh kesibukan yang tidak bisa kami mengerti. Kapan saja bisa tiba-tiba nama kami diseru, untuk perintah panggilan ke depan atau dibon keluar, untuk pindah kelompok atau pindah blok. Merebut setiap kesempatan, lalu menjadi irama pokok keseharian hidup tapol. Maka bahkan tentang makan pun, bagi tapol tidak ada kata bernikmat-nikmat. Ketika kami di Salemba makan gerontol dengan lidi sebutir demi sebutir, bukan demi alasan kenikmatan, tapi demi menghindari pecahan-pecahan lembut beling atau plastik yang tercampur pada jatah itu. Walaupun yang hendak disantap bukan ransum jatah negara, tapi makanan besukan hasil keringat keluarga sendiri sekalipun! Semuanya itu sebelum masuk mulut, belum bisa dibilang hak si tapol. Semuanya itu harus ditinggalkan ketika tiba-tiba namanya diserukan dan si tapol yang bersangkutan harus digiring entah ke mana. Memang begitulah yang terjadi. Kami seriungan belum lagi selesai sarapan, ketika di pintu blok telah muncul petugas. "Semua siap!" Teriaknya. "Panggilan ke depan segera mulai!" Dari arah lapangan apel dengung pengeras suara mulai memecah langit pagi. Suara memekakkan itu diramaikan pula oleh deru-deram sekian banyak kendaraan bermotor serta suara teriakan aba-aba dan perintah. Kami semua segera bersiap diri, yang.bagiku sendiri sudah kulakukan sejak dipindah dari Salemba ke Tangerang. Bahkan ketika tidur pun aku sudah selalu berbaju dan bercelana panjang. Sehingga ketika datang panggilan, kapan pun terjadi, aku tinggal menggulung tikar dan siap. Nama demi nama satu per satu diserukan melalui megafon, diikuti nomor foto dan nomor absensi atau register. Nama-nama itu lengkap diikuti dengan bin atau binti siapa-siapa. 1
Nomor foto sesungguhnya nomor deportasi, sesuai dengan urutan ketika pengambilan foto, dan nomor register ialah nomor masing-masing sesuai dengan urutan pada daftar catatan sekian banyak tapol yang mendapat panggilan. Nomor tersebut akhir itu tercetak besar di dada kemeja atau pantat celana panjang yang nanti akan dibagikan pada masing-masing. Masing-masing tapol ditempatkan dalam barisan, sesuai dengan "nomor baju" atau "nomor celana" itu. Ketika matahari sekitar sepenggalah namaku disebut. Aku berjalan menggabung dalam barisan, melewati pagar petugas yang meyakinkan diri, apakah di balik pakaian yang kami kenakan tidak ada barang terlarang yang tersembunyi. Di ujung pagar petugas ini buntalan kami masing-masing digeledah. Tidak ada barang boleh dibawa selain pakaian, sikat gigi dan sabun (bagi yang punya). Kasur dan bantal (aku heran, tidak sedikit tapol yang sempat berpikir bantal dan kasur selama di penjara!), piring dan cangkir termasuk barang larangan. Para petugas melemparkan barang-barang itu ke pinggir lapangan apel. "Tinggal itu semua!" Teriak seorang petugas, melihat seseorang ingin menyelamatkan cangkirnya. Barangkali itulah benda kenangan yang ada tentang keluarga atau istrinya? "Hai, babi! Tinggal itu!" Teriaknya lebih keras. "Di sana kamu akan dibagi piring-cangkir porselin bikinan Cinkolim1. Sukaanmu!" Katanya sinis. "Juga tinggal kasur bantal tikar bodol itu!" Sambung yang lain. "Semua di sana kamu akan dibagi yang serba baru. Buang barang-barang bodol itu. Biar nanti dibakar petugas!" Petugas-petugas itu memang banyak sekali. Barangkali sama banyak, atau bahkan lebih, dari tapol yang mereka urusi. Ada yang berseragam angkatan darat, ada yang berseragam kejaksaaan, tak sedikit juga yang berpakaian sipil. Para intel dan pejabat pamong praja. Selesai penggeledahan kami menuju penjuru lain di lapangan itu. Berbaris satu per satu, menunggu petugas meneriakkan nama, yang harus kami jawab lantang-lantang dan tak boleh keliru dengan nomor foto dan nomor baju. Di sana beberapa petugas menunggu kami, membagikan sebagian barang seperti dijanjikan: satu setel pakaian, celana panjang dan kemeja lengan pendek, dari bahan keki warna hijau muda tanah; topi bambu anyaman Tangerang2. Di dada kemeja baru kami tercetak hitam dan besar nomor-nomor tanpa nama. Tapol tak lagi punya nama, melainkan tinggal nomor. Seperti sapi-sapi yang akan digiring ke abatoar.
2
"Nomor bajumu sekian!" Kata petugas yang membagi sambil mencatatnya di buku besar. "Hafalkan itu!" Sahut yang lain. Kami digiring ke sisi lain lapangan. Di sana kami semua harus bersalin. Tanggalkan pakaian pribadi, dan kenakan seragam bernomor urut. Hilanglah sudah di sini si Polan dan si Badu, dan berakhir pulalah sudah di sini segala atribut prestasi seseorang yang pernah dicapai. Semua tinggal sebuah satuan bilangan belaka.
Tanpa diberi waktu beristirahat, apalagi makan dan minum, kami menunggu dan menunggu bergerak dan bergerak, semuanya mengikuti aba-aba sampai kesibukan selesai. Jam tembok tua di atas gerbang RTC menunjuk pukul dua lewat tengah hari. Sesuai dengan urutan, seperti tertulis di dada, kami mulai diperintahkan naik di atas truk. Berderet truk terbuka itu, mulai dari pinggir lapangan apel sampai ke halaman depan RTC. Setiap truk diisi dengan lima puluh tapol. Pengelompokan lima puluh ini sejak itu berlaku, sampai nanti di dalam palka kapal, dan kemudian setiba di unit di Pulau Buru. Dari angka-angka di dada kami, masing-masing menjadi tahu dengan siapa nanti, misalnya, jika harus korve berlima , dengan siapa nanti di kiri-kanan jika harus tidur atau berbaris, dengan siapa nanti empat puluh sembilan lainnya jika sudah harus masuk ke sebuah barak, begitu seterusnya. Hampir setiap kami menggendong atau menjinjing ransel, ada yang dari bahan kain kantung terigu atau pupuk urea, tapi umumnya dari goni; ada yang besar dan padat, tapi kebanyakan kecil dan kurang isi; ada yang dua plus tas plastik jinjingan serta gulungan tikar, tapi kebanyakan satu dan dengan tangan leluasa melenggang. Aku sudah di atas truk. Sebagian perintah telah tertunai, dan ketegangan terasa mengendur. Aku sempat memperhatikan sesamaku dengan lebih tenang. Ada beberapa yang memakai arloji dan bersepatu! Aku heran. Bagaimana mungkin, paling tidak sudah lima tahun di penjara, masih merasa perlu memiliki arloji dan sepatu? Bagaimana bisa mereka menyembunyikan dari petugas, sedang aku sebuah alat pemotong kuku pun tidak bisa? Kepalaku lalu melayang ke foto-foto di dalam "Di Bawah Bendera Revolusi3", atau juga "Lukisan Revolusi 1945-19494". Pada yang tersebut pertama foto ketika Bung Karno, dan beberapa pengikut, siap naik kapal menuju tempat pengasingannya, Pulau Endeh. Pada
3
yang tersebut kedua foto ketika Bung Karno, di belakang juga tampak Bung Hatta, siap meninggalkan Istana Negara di Yogyakarta menuju tempat pengasingan mereka di Bangka. Semuanya terjadi ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, dan ketika penguasa negeri masih gubernur jenderal wakil ratu Negeri Belanda. Gagah Bung Karno! Tapol ini masih mengenakan peci hitam, atributnya sebagai seorang "Bung". Ia bersetelan putih-putih, bersepatu mengkilap, mantel di tangan, dan pasti memakai arloji - walaupun tak terlihat pada foto. Memang begitulah layaknya penampilan seorang tapol yang masih bernama. Tapi untuk tapol G30S yang tak lagi punya nama, melainkan hanya tinggal nomor-nomor, arloji di tangan dan sepatu di kaki menjadi terpandang aneh di mataku. Aku lalu mengerti, mengapa kasur dan bantal termasuk larangan. Petugas-petugas itu rupanya tahu, bahwa bantal dan kasur selain alat tidur, juga alat penyembunyian barang-barang yang bisa dipasarkan. Merampasi begitu saja akan terbaca terlalu kasar jika diliput mata wartawan asing, maka berlindung di balik aturan "konsinyes" kriminalitas mereka menjadi terselubung. Aku pun semula bersepatu ketika diambil oleh Operasi "Ikan Paus5", dan selama masih berada di tahanan mereka. Tapi begitu masuk Salemba, petugas memerintahkan aku melepasnya. "Biar disimpan di gudang," katanya. "Nanti kalau kamu bebas, boleh kamu minta kembali …" Truk-truk yang kami naiki semua bercat hijau, truk-truk Angkatan Darat, yang tampak masih serba baru. Di jok belakang yang terbuka diisi lima puluh tapol, di depan dua orang, seorang sopir dan seorang Kopral AD dalam seragam penuh lengkap dengan karaben dan bayonet. Di kiri-kanan setiap truk dua orang CPM berpestol di pinggang di atas sepeda motor. "Pak Her," bisik Heru. Ia bernomor baju 438, dua angka di bawahku. Kami berdiri melihat ke belakang, bersandar kepala truk. "Begitu keluar pintu gerbang, kita nyanyi serentak bersama-sama." "Menyanyi apa?" Tanyaku. Lalu disebutnya banyak lagu dari repertoar terlarang, dan beberapa lagu wajib nasional, seperti Internasionale, Darah Rakyat, Bendera Merah, Halo-Halo Bandung, Sorak-Sorak Bergembira dan semacamnya, tapi juga tak lupa Genjer-Genjer. Lagu ini termasuk dinyanyikan sengaja untuk meledek Orde Baru yang menuduh sebagai lagu ritual untuk tarian "Harum Bunga" di Lubang Buaya.
4
Propaganda Orde Baru yang dilancarkan segera sesudah peristiwa G30S 1965 mengatakan, orang-orang Gerwani dan Pemuda Rakyat melakukan pesta seksual di bawah iringan lagu Genjer-Genjer dan Tandek Majeng. Pada pesta yang berlangsung pagi buta 1 Oktober 1965 itulah, pers Orba memberitakan Jendral A.Yani dkk korban pertama peristiwa telah dianiaya dan disiksa dengan keji, tubuh dipicis disayat dengan silet, mata dicungkil, dan alat kelamin dipotong-potong …6 "Mars Ransel Goni, Her!" Irawan menambah. Ia ini keponakan Sultan Hamengku Buwana IX, bekas muridku ketika di Taman Dewasa Yogya. "Ya! Nanti akan sambung-bersambung semua truk!" Katanya bangga. "Di tiap truk sudah ada yang memimpin?" Tanyaku ingin tahu saja. "Sudah, Pak!" Sahut Irawan. "Penjol tadi yang mengkordinir." Kedua mereka, Irawan dan Suwardi Penjol, memang akrab. Yang satu pimpinan PB IPPI yang lain IPPI Daerah Jakarta Raya. Satu demi satu truk demi truk bergerak meninggalkan RTC Tangerang. Hari itu diberangkatkan 850 tapol. Barangkali sekitar dua puluh truk, berikut para prajurit pengawal di kepala dan ekor konvoi. Dengan begitu truk kami, dari tapol bernomor 401 sampai dengan 450, memang pada kedudukan di tengah konvoi. Suara paduan suara kami akan menjalar mudah dan cepat ke depan dan belakang. Tetapi di tengah deru suara sekian banyak kendaraan bermotor, yang melaju dalam kecepatan tinggi pula, tentu tidak banyak artinya semangat revolusioner lagu-lagu itu dibahanakan. Tapi yang pasti bisa menjadi penawar bagi hati-hati yang kecut, mendengar kata "dibuang" dan membayangkan sebuah pulau bernama "Buru". Satu dua orang menangis, termasuk orang yang sekarang berlagak pemimpin, orang yang bernama Trijata (bukan nama sebenarnya!). *** Sesekali saja aku ikut menyanyi bersama mereka. Kepalaku lebih banyak melayang ke mana-mana. Bahkan sampai ke barisan Seinendan atau Peta7, setiap kali mereka dalam rombongan lalu menyayikan bersama dan bersahut-sahutan berbagai lagu pembakar semangat. Kali ini lagu Internasionale itu pun di telingaku hanya kutangkap sebagai gema sebuah nyanyian bersama. Padahal sekian tahun lalu, di Ngalihan Sala, di depan deretan sebelas korban tangan berdarah Gubernur Militer Gatot Subroto, titik airmataku hanya karena telinga hatiku yang mendengarnya. Sebelas orang mereka berdiri, di depan lubang kubur panjang dengan tangan terikat di belakang. Amir Sjarifuddin mengajak sepuluh 5
kawannya
bersama-sama
menyanyi,
mula-mula
Indonesia
Raya
dan
kemudian
Internasionale. Dengan dua lagu dari suara sendiri itu mereka menyongsong peluru maut para algojo. Sepanjang jalan Tangerang yang dilalui konvoi sepi belaka. Juga ketika kami sudah masuk Jakarta, melalui baipas Grogol - Gatot Subroto - Ahmad Yani menuju Tanjung Priok. Hari itu jalan pinggiran kota Jakarta dikhususkan untuk kami. Tidak ada kendaraan lain kami jumpai, juga tidak ada yang menyusul. Juga tidak terlihat kerumunan orang di tempat tertentu, atau jajaran orang di pinggir jalan untuk melihat konvoi yang menarik ini. Satu dua yang terkadang terlihat,berdiri pada jarak yang cukup jauh dari jalan. Mungkin memang ada larangan melihat, atau takut pada apa yang akan mereka lihat. Karena di sepanjang jalan baipas itu, pada tiap jarak sekitar lima puluh meter di kiri dan kanan, tentera-tentara tampak siap siaga berdiri membelakangi jalan. Ketika itu sepanjang baipas ini, kecuali di baipas timur, masih berupa semak-semak lebat belaka. Konvoi telah meliwati tikungan Jalan Yos Sudarso. Masuk kawasan pelabuhan. Baru ketika itulah gegap gempita paduan suara kami pun berhenti. Semua diam kelelahan. Mata dan perhatian kami menyelidik pada apa yang bakal menimpa. Di tikungan itu banyak orang di pinggir jalan. Mulut mereka terkatup, dan pancaran wajah mereka tak terbaca. Tentu mereka tahu, siapa kami dan ke mana kami hendak mereka bawa. Truk demi truk masuk halaman pelabuhan. Tentara-tentara memerintahkan kami berlompatan turun. Langsung berjongkok, dalam barisan berjajar lima-lima menurut nomor baju, dan berkelompok menurut truk masing-masing. Jari-jari telapak tangan terkunci di belakang kuduk, dan muka tunduk memandang ke aspal. Kami semua diam. Suasana anti-klimaks dari gegap gempita nyanyian revolusioner di sepanjang jalan tadi. Kami bisa melihat banyaknya tentara, mungkin jauh lebih dari banyaknya tapol, dengan melihat sepatu dan ujung kaki celana mereka: hijau, abu-abu, kuning tanah. Ketika terdengar aba-aba maju jalan, kami tetap pada posisi jongkok dan tangan melipat di kuduk, semua jalan mengingsut seperti bebek. Satu per satu. Seorang tentara di sisi kanan memegang gada karet, seorang tentara di sisi kiri memegang pensil dan buku tulis. Tiba di depan tentara penggada, ia memukulkan gadanya ke kepala kami, yang harus disahut keras si bersangkutan dengan meneriakkan nomor bajunya, dan si tentara pencatat mencatat di buku catatannya. Kemudian kami boleh terus menuju pintu dermaga, tetap dengan "jalan bebek". Hanya ketika sudah di depan pintu itulah kami berdiri. Berjalan di antara pagar tentara, nomor baju kami diamati dan dicocokkan dengan buku catatan. Tetap dalam rombongan ber-50
6
masing-masing, kami menuju ke sekelompok tentara lain lagi. Di sini kami menerima satu misting8, satu muk, satu sendok. Semua serba aluminium, bukan porselin bikinan Cinkolim Cina! Di depan kami sebuah kapal tua, seperti raksasa hitam, mengalang pemandangan. “KM Tokala”, tulisan di lambungnya yang terbaca. Kapal milik Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), yang konon dicarter Kejaksaan Agung untuk mengangkut kami ke Pulau Buru. Sementara teman yang tahu menjadi bernapas lega. Dan kelegaan ini diam-diam menjalar sampai pada semua kami. Sukur, katanya, tidak harus naik kapal ADRI nomor berapa pun! Kapal bobrok itulah yang digunakan untuk mengangkut rombongan tapol sebelum kami. ADRI XII kabarnya tidak pernah sampai ke Jakarta, ia tenggelam dalam pelayarannya kembali, setelah mengangkut tapol rombongan pertama. Kami segera digiring naik, tetap dalam rombongan ber-50 menurut urutan nomor baju, dan masuk palka. Kapling-kapling9 hamparan tikar mendong dan bantal-bantal sudah menunggu. Seorang tentara berjaga di depan pintu palka. Petugas-petugas berpotongan tentara tapi berpenampilan sipil berseliweran kian ke mari. Dua orang dari kami ditunjuk menjadi kepala dan wakil kepala palka. Mereka bertugas membantu petugas, antara lain tugas mengambil apel anggotanya tiga kali satu hari: pagi, petang, dan menjelang tidur. Pukul enam petang "Tokala" mengangkat sauh. Delapan ratus lima puluh bertolak meninggalkan Jakarta. Tanpa lambaian tangan, tanpa airmata, tanpa nyanyian revolusioner. Pantai teluk Jakarta hanya menampak dari kelap-kelip sinar lampunya. Tapi kami semua tidak boleh meninggalkan palka. Andai kata tidak dilarang pun, apa keindahan Teluk Jakarta dalam suasana petang yang demikian. Sepanjang hari perut kami tidak dimasuki apa-apa. Kecuali mereka yang punya bekal sendiri gula merah atau rebus singkong sisa besukan kemarin. Sekitar sejam berlayar, tapol petugas dapur menyerukan korve mengambil jatah makan dan minum. Tapol-tapol bergantian, lima puluh demi lima puluh, antri ke dapur menyerahkan misting dan muk masing-masing. Pesta raya! Hidung kami sudah menikmati aromanya ketika menuruni tangga ke palka dapur. Setelah sekian tahun selalu makan jatah gerontol jagung barang seratus butir, atau bulgur atau nasi beras apak barang tujuh sendok, serta sayur kepala atau sayur plastik atau sayur pentil10. Misting diberikan kembali penuh padat berisi nasi putih wangi, sayur santan berbau aduhai, dengan lauk-pauk telur utuh dan sepotong daging, serta muk air teh hangat manis! Sementara makan di dapur terdengar ribut. Seorang Daryono, tapol kader tingkat pusat, 7
dipermak petugas karena diketahui mengambil dua jatah, dan menyembunyikan yang satu di balik jaketnya. Benar kata pepatah Jawa, "kaya kere nemoni malem", seperti pengemis diundang kenduri. Ia menjadi lupa segala selain perut sendiri. Sementara itu serdadu pengawal mengumumkan, apel malam akan diambil jam delapan malam, dan sesudah itu boleh anjangsana antar-tapol di palka-palka lain sampai jam sepuluh. Selama itu kami boleh bicara tentang apa saja, dan membaca bahan bacaan apa saja yang ada. Bahan bacaan apa saja yang disediakan di kapal, antara lain majalah "Keluarga", "Varia", "Selecta" dan semacamnya. Tapi aku terlalu lelah untuk menikmati suasana bebas yang diberikan dalam ruang dan waktu terbatas itu. Malam pertama di atas laut, sesudah sepanjang hari penuh dalam kelelahan dan ketegangan. Kami semua tidur awal, sesegera sesudah apel diambil. Masing-masing membawa angan-angan sendiri, jalin-menjalin dalam guncangan gelombang laut. Aku pun tak mampu mengalahkan kelelahan, dan tenggelam dalam kelelapan tidur. ***
1.
2.
3. 4. 5.
6.
Akronim dari Cina Kolonialis Imperialis, sebutan untuk pengganti RRT (Republik Rakyat Tiongkok), yang dilazimkan Orba sejak peristiwa G30S, yang dituduhkan sebagai didalangi PKI dan didukung oleh RRT. Di jaman Hindia Belanda dahulu kota kecil Tangerang terkenal dengan hasil kerajinan tangan anyaman bambu; kekhususan ini habis sejak jaman Jepang sampai sekarang. Sukarno, Ir. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1963. Lukisan Revolusi Rakjat Indonesia 1945-1949. Diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1949. Dinas intelijen ALRI yang dibentuk dalam rangka operasi pembasmian oknum-oknum PKI dan G30S, dipimpin oleh Kolonel Sardjono Suprapto, yang belakangan pernah diangkat menjadi Wagub DKI Jaya (akhir 1970 - awal 1980). Dinas intelijen semacam di kalangan Angkatan Darat ialah Operasi "Kalong", di bawah pimpinan Kapten Suroso, yang berhasil menangkap tokoh-tokoh penting PKI dan G30S, antara lain Sudisman dan Brigjen Supardjo. Baca pers ibukota, khususnya "Api Pantja Sila", "Angkatan Bersendjata" dan "Berita Yudha", nomor-nomor penerbitan sesudah 5 Oktober 1965. 8
7.
Seinendan (Jep.: barisan pemuda); organisasi pemuda setengah militer, dibentuk oleh bala tentera Jepang di Jawa tahun 1943, basis organisasi di tempat kediaman dan tempat kerja. Selain dilatih kemiliteran, juga untuk pemadam kebakaran dan perlindungan bahaya udara.
Peta, Pembela Tanah Air; pasukan tentera sukarela, dibentuk tentera pendudukan Jepang tahun 1943, sebutan dalam bahasa Jepang Kyodo Bei Ei Gyu Gun. Di tiap keresidenan dibentuk pasukan berkekuatan lk seribu orang dipimpin perwira-perwira Indonesia; kepala barisan disebut daidancho yang membawahi shodancho dan bundancho. 8. Misting (Ing.: mess-tin), ompreng ransum; di Indonesia biasanya terbuat dari aluminium, salah satu alat perlengkapan tentara, berbentuk sedikit lonjong. 9. "Kapling" (Bel.: kaveling) atau "persil" (Bel.: perceel), bagian tanah biasanya untuk bangunan atau perumahan, yang oleh penguasa dipetak-petak menurut ukuran tertentu. Dalam kehidupan tapol G30S bukan "petak tanah", tapi "petak" ruang tempat masing-masing bisa beristirahat atau tidur. 10. Istilah-istilah tapol Salemba; "sayur kepala", sayur bening tanpa isi sesuatu, sehingga ketika makan kepala sendiri terbayang di sana, namun sebutan itu mengenang pada "sayur kepala kambing"; "sayur plastik", sayur bening berisi beberapa lembar sayatan buah papaya muda, yang jika masak berwarna transparan seperti plastik; "sayur pentil", sayur bening berisi beberapa potong batang kangkung, yang panjang dan bentuknya serupa pentil ban sepeda.
9