Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom Anggun Permatasari Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Steven-Johnson Syndrome merupakan Sindroma yang mengenai kulit selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum dan variasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula, dapat disertai dengan purpura. Penyebab utama adalah alergi obat lebih dari 50% sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus volas, neoplasma dan radiasi. Didapatkan data internal pasien Ny S, berusia 51 tahun, hidup dalamkeluarga ekstended, pola berobat kuratif, dan hubungan antar keluarga baik, keluhan kulit melepuh yang terasa panas dan gatal, mata merah berair, serta nyeri pada tenggorokan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit wajah tampak hiperpigmentasi sebagian eritematosa disertai skuama halus kasar, pada mata tampak konjungtiva hiperemis, sekret purulen, dan hiper lakrimalis. Pada bibir terdapat krusta kehitaman, pus kehijauan pada sudut bibir, serta pada mulut ditemukan stomatitis “oral trush”. Di seluruh tubuh terdapat bula, vesikel multipel berukuran noduler hingga plakat hiperpigmentasi sebagian eritematosa serta terdapat erosi dan ekskoriasi yang ditutupi krusta merah kehitaman. Dalam perawatan di Rumah Sakit, pasien mendapatkan pengobatan Metil Prednisolon. Beberapa penelitian mengatakan kortikosteroid baik digunakan pada kasus Steven-Johnson Syndrome 3-5 hari pertama. Namun penelitian yang lain menyatakan tidak dianjurkan karena dapat menghambat penyembuhan dan meningkatkan resiko infeksi hingga sepsis. Kata Kunci: kortikosteroid, steven-johnson syndrome
Assessing The Use Of Corticosteroids In Patients Steven-Johnson Sydrome Abstract Steven-Johnson Syndrome is a syndrome that affects the skin of mucous membranes on orifices and the eyes with general conditions and variations from mild to severe, abnormalities in skin are erythema, vesicles or bullae, can be accompanied by purpura. The main cause is drug allergies taht more than 50% and some because of an infection, vaccination, graft versus volas disease, neoplasia and radiation. Internal data obtained from patient Mrs. S, aged 51 years, living in the family ekstended, curative treatment patterns, and good family relationships, complaints blisters that feels hot and itchy, watery red eyes and sore throat. On physical examination found hyperpigmentation skin looks smooth portion erythematous scaly with coarse, the eyes appear conjunctival hyperemia, purulent discharge, and hyper lacrimal. Crusting of the lips are black, greenish pus in the corner of her mouth, and the mouth was found stomatitis "oral thrush". Throughout the body there are bullae, vesicles measuring multiple nodular to hyperpigmentation most erythematous plaques and there are erosion and crusting excoriations were covered with blackish red. In hospitalization, the patient received treatment Methyl Prednisolone. Some studies says use of corticosteroid is good in cases of Steven-Johnson Syndrome first 3-5 days. Yet another studies stated are not recommended because it can inhibit healing and increase the risk of infection to sepsis. Keywords: corticosteroid, steven-johnson syndrome Korespondensi: Anggun Permatasari, S.Ked., alamat Jl. Urip Sumoharjo Perumahan Griya Damai Sejahtera No.B12. HP +6285658885669, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat atau drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Bentuk drug eruption dapat berupa urtikaria, angioederma, purpura, eritroderma,
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|20
makulopapular, pustulosis eksan-temtosa generalisata akut (PEGA), fixed drug eruption (FDE), Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) dan Steven-Johnson Syndrome (SJS).1 Steven-Johnson Syndrome (SJS) ialah reaksi mukokutan akut dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium, serta mata dan dapat menyebabkan kematian, Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan salah satu bentuk drug eruption yang serius.1,2 Angka kejadian keseluruhan SJS diperkirakan 1-6 kasus/juta/tahun dan dapat mengenai semua ras.3,4 Data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya yang disebabkan
Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
drug eruption yang serius ini.5 Rasio lakilaki/perempuan ialah 2:1.4,6 Sumber yang berbeda menemukan perempuan lebih banyak daripada laki-laki (3:5).3,6 Usia terbanyak 25 tahun dan 30-40 tahun. Steven-Johnson Syndrome dapat timbul karena beberapa akibat yaitu infeksi obat,, keganasan dan idiopatik. Obat menjadi penyebab utama SJS (50%). Beberapa jenis obat yang diketahui dapat menyebabkan SJS ialah golongan antibiotik, antikonvulsan dan non-steroid anti inflammatory disease. 1 Indonesia merupakan negara tropis dan negara yang sedang berkembang, sehingga penyakit infeksi merupakan penyakit yang dominan, yang dapat mengenai kulit, sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem saraf serta hematologi. Salah satu cara untuk menurunkan angka kejadian penyakit infeksi ini ialah salah satunya dengan penggunaan antibiotik untuk membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak jenis antibiotik digunakan di Indonesia, baik melalui resep dokter maupun tenaga kesehatan lain, bahkan pasien juga dapat membeli dengan bebas di apotek tertentu. Pengawasan dan pemakaian antibiotik di Indonesia memang belum diatur dengan baik, ditambah lagi dengan adanya penggunaan yang tidak rasional, dengan begitu resiko resistensi dan timbulnya efek samping sangat besar, sehingga saat ini banyak diproduksi antibiotik jenis baru misalnya jenisjenis β-laktam.1 Jenis-jenis obat yang ditemukan dari riwayat pasien drug eruption di RSU dr. Soedarso Pontianak, antara lain amoksisilin (13,7%), cefadroxil (33,7%), sulfadoksin (30,5%), piroksikam (16,8%) dan antikonvulsan (5,3%).1 Penelitian yang dilakukan Valeyrie, diperoleh jenis obat kotrimoksazol (22,2%), dapsone (17,8%), fenitoin (7,8%), karbamazepin (6,7%), aspirin (4,4%), parasetamol (4,4%), sodium diklofenak (3,3%), griseofulvin (3,3%), allopurinol (2,2%), metronidazol (2,2%), dan jenis lain (25,3%).4 43 Penelitian di RSU dr. Soedarso diperoleh golongan antibiotik merupakan yang terbanyak daripada jenis lainnya, begitu juga dengan penelitian lainnya yaitu sebesar 53 dari 90 kasus. Antibiotik menjadi golongan yang terbanyak menjadi penyebab drug eruption, hal ini dikarenakan penyakit infeksi masih cukup banyak di negara tropis dan negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.1
Kasus Ny. S, 51 tahun, datang dengan keluhan kulit melepuh yang terasa panas dan gatal, sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Satu bulan yang lalu pasien melakukan operasi amputasi pada jari kaki kanan. Pasca operasi pasien mengkonsumsi obat glibenklamid, metformin, cepadroxil dan paracetamol. Karna pasien merasa obat – obatan tidak mengurangi rasa nyeri di kaki, pasien mengkonsumsi obat warung, dua minggu setelah operasi timbul bintik – bintik berair sebesar jarum pentul yang makin lama semakin luas di seluruh tubuh. 1 minggu setelah bintik timbul bintik satu dengan yang lainya bersatu mulai terkelupas, terasa panas dan pedih sehingga tampak seperti luka bakar. Pasien juga mengeluhkan kedua mata merah dan berair serta nyeri pada tenggorokan, nyeri saat berbicara, dan nyeri saat menelan, yang makin terasa berat. Pasien di rujuk ke rumah sakit Abdul Moeloek. Keluarga mengatakan pasien sering mengonsumsi obat-obatan warung dan jamujamuan, obat/jamu yang sering dikonsumsi adalah Dua Singa. Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit serupa sebelumnya, pasien juga tidak memiliki riwayat alergi makanan atau obat – obatan. Riwayat diabetes melitus sejak 10 tahun yang lalu, dan jarang meminum obat. Dan tidak memiliki riwayat hipertensi. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang memliki 2 anak, 1 laki-laki dan 1 perempuan, serta memiliki 1 suami. Bentuk keluarga pasien adalah keluarga extended yaitu terdiri dari suami, istri, dua orang anak, serta 1 keponakan laki-laki yang tinggal dalam 1 rumah. Hubungan antar anggota keluarga baik, penyelesaian masalah dengan diskusi keluarga. Keluarga mendukung untuk segera berobat jika terdapat anggota keluarga yang sakit. Perilaku berobat keluarga memeriksakan diri ke layanan kesehatan karena sakit dianggap dapat menggangu kegiatan sehari-hari. Keluarga pasien berobat ke puskesmas atau praktek dokter swasta. Jarak rumah ke puskesmas ± 500 meter. Selama ini keluarga berobat ke layanan kesehatan jika keluhan sudah benarbenar mengganggu dan tidak teratasi dengan obat warung. Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi, digunakan konsep Mandala of Health.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|21
Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat. Status gizi preobesitas. Berat badan 59 kg, tinggi badan 155 cm. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72 kali permenit dengan pulsasi lemah dan reguler, pernafasan 16 kali permenit. Temperatur 36,80C. Status generalis, kulit wajah tampak hiperpigmentasi sebagian eritematosa disertai skuama halus kasar, pada mata tampak konjungtiva hiperemis, sekret purulen, dan hiper lakrimalis. Pada bibir terdapat krusta kehitaman, dan pus kehijauan pada sudut bibir, serta pada mulut ditemukan stomatitis “oral trush”. Status dermatologik: di seluruh tubuh ditemukan bula, vesikel multipel berukuran noduler hingga plakat hiperpigmentasi sebagian eritematosa serta terdapat erosi dan ekskoriasi yang ditutupi krusta merah kehitaman. Diagnosis pasien merupakan StevenJonshon Syndrom dengan riwayat diabetes melitus tipe 2. Tatalaksana yang diberikan selama perawatan adalah IVFD RL:D5:Nacl 0,5% = 1:1:1 20 tts/menit, Injeksi Metil prednison 2x1 amp iv/12 jam, Injeksi Ranitidin 2x1 amp iv/12 jam, Catirizin 2 x10 mg, Urea 10% lotion 2x1 obat luar di kulit kering, Asam Fusidat 2%, Kompres terbuka Nacl 0,9% /8 jam pada kulit lecet, Kanalog in oral base 2x1 obat luar di bibir. Pembahasan Ny. S, 51 tahun, datang dengan keluhan kulit melepuh yang terasa panas dan gatal, mata merah berair dan nyeri pada tenggorokan. Pasien didiagnosa menderita Steven-Johnson Syndrome yang dicurigai berasal dari alergi terhadap obat/jamu Dua Singa.1,8-10 Diagnosa Steven-Johnson Syndrome dikemukakan atas dasar keluhan pasien yaitu kulit melepuh yang terasa panas dan gatal, mata merah berair, serta nyeri pada tenggorokan. Dan pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit wajah tampak hiperpigmentasi sebagian eritematosa disertai skuama halus kasar, pada mata tampak konjungtiva hiperemis, sekret purulen, dan hiper lakrimalis. Pada bibir terdapat krusta kehitaman, dan pus kehijauan pada sudut bibir, serta pada mulut ditemukan stomatitis “oral trush”. Di seluruh tubuh terdapat bula, vesikel multipel berukuran noduler hingga plakat J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|22
hiperpigmentasi sebagian eritematosa serta terdapat erosi dan ekskoriasi yang ditutupi krusta merah kehitaman.1,8 Pengemukaan diagnosis Steven-Johnson Syndrom dilakukan atas dasar terpenuhinya 3 gejala khas, yaitu (1) Kelainan Kulit, terdiri atas eritema, vesikel dan bula jika pecah. Akan terjadi erosi yang luas. (2) Kelainan Selaput Lendir di Olivisium. (3) Kelainan pada mata berupa hiperemis, sekresi sampai pus. Dalam perawatan pasien di Rumah Sakit, pasien mendapatkan perawatan berupa: Metil prednisolon 2x1 amp iv/12 jam.1,8 Apakah kortkosteroid dapat digunakan pada pasien Steven-Johnson Syndrome ? Metil prednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, anti inflamasi dan imunosupresan.10 1. Adrenokortikoid Sebagai adrenokortikoid, metil prednisolon berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).10 2. Efek Glukokortikoid Anti-inflamasi (steroidal) Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metil prednisolon juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor
Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat 10 mempengaruhi efek antiinflamasi. 3. Immunosupresan Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metil prednisolon juga menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.10 Patofisiologi Steven-Johnson Syndrome belum sepenuhnya dijelaskan, meskipun kemajuan yang signifikan telah dibuat. Besar apoptosis dipercepat telah diusulkan sebagai mekanisme utama kematian yang mendasari adalah keratinocytic pada SJS/TEN. Beberapa jalur dapat menyebabkan apoptosis, CD8positif Sel T dan makrofag berperan penting dalam nekrosis epitel yang luas dan subepitel. Berbagai sitokin inflamasi termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α mungkin berkontribusi terhadap kematian sel epidermis, serta demam dan malaise. Ia telah mengemukakan bahwa, apoptosis dimediasi terutama melalui aktivasi reseptor cepat oleh peningkatan ekspresi Fcepat ligand, tetapi yang lain telah menyarankan bahwa itu dimediasi terutama oleh TNF-α, perforin dan granzim B. Interferonγ upregulation keratinosit juga memainkan peran. Pada SJS fungsi lapisan kulit hilang karena nekrosis epitel dengan ketebalan penuh. Terjadi gangguan cairan, protein, dan keseimbangan elektrolit yang menyebabkan syok hipovolemik serta infeksi lokal dan sistemik yang mengancam terjadinya sepsis yang akhirnya menimbulkan kegagalan multiorgan. Hal tersebut merupakan penyebab
paling banyak kematian dalam SJS. Titik utama dalam menangani SJS pasien adalah untuk mengembalikan fungsi lapisan kulit dan mukosa secepat mungkin serta pengetahuan tentang pengobatan SJS.1,5 Beberapa pilihan pengobatan khusus telah diusulkan atas dasar teoritis. Beberapa dengan hasil yang menjanjikan, misalnya thalidomide, dengan peningkatan mortalitas, karena dianggap meningkatkan produksi TNFα. Alasan yang seharusnya adalah kemampuannya untuk menghambat aktivasi reseptor kematian dengan Fas-blocking antibodi, namun hasil klinis yang bertentangan. Penggunaan kortikosteroid pada SJS menjadi kontroversial tindakan tepat kortikosteroid pada penyakit inflamasi masih belum dipahami dengan baik. Karena memiliki pleomorfik kekebalan modulasi efek, misalnya melalui penghambatan banyak sitokin. Saat ini penggunaan kortikosteroid di SJS biasanya tidak dianjurkan karena kemungkinan penyembuhan tertunda dan risiko infeksi. Namun, pendapat ini didasarkan pada beberapa seri kasus. Selain itu, beberapa kasus menyatakan bahwa hasil yang lebih baik terkait dengan penghindaran kortikosteroid, sebenarnya kortikosteroid diambil untuk ratarata 3-5 hari sebelum rujukan. Pandangan negatif umum mengenai kortikosteroid mungkin karena mereka sering diberikan terlambat, terlalu rendah dosis, dan untuk terlalu lama selama proses tersebut. Selama fase penyembuhan kortikosteroid memang dapat mengganggu penyembuhan luka dan sepsis. Namun, kasus singkat dosis tinggi kortikosteroid pada SJS awal memiliki alasan yang baik, mekanisme kekebalan tubuh secara langsung bertanggung jawab pada kaskade kejadian yang menyebabkan apoptosis.4,5,6 Menantang pendapat umum kortikosteroid yang merugikan dalam pengobatan SJS. Deksametason adalah glukokortikoid kuat (sekitar 7 kali lebih kuat dari dosis Metil prednisolon) dengan tingkat tindakan terus-menerus, karena waktu paruh relatif (36-54 jam). Memiliki pleomorphic efek pada sistem kekebalan tubuh dan dapat menghambat epidermal apoptosis melalui beberapa mekanisme: penghambatan T-sel diaktifkan dengan menekan apoptosis berbagai sitokin seperti TNF-α; penghambatan interferon γ menginduksi apoptosis; dan penghambatan dengan cepat dimediasi J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|23
Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
keratinosit apoptosis. Kami memberikan DPT 1,5 mg/kg i.v. dalam 30-60 menit pada 3 berturut-turut sehari, sehingga menghindari penggunaan jangka panjang kortikosteroid. Siklofosfamid, ditambahkan dalam pemfigus yang rejimen untuk mencegah kambuh, hal itu dihilangkan karena kambuh yang tidak diharapkan setelah penarikan obat . Kami melihat tidak ada perubahan yang signifikan dari hasil waktu penyembuhan. Pasien 5 dan 7 memiliki tumor otak metastatik, dan pasien 9 memiliki lupus eritematosus sistemik, yang kronis menerima kortikosteroid.7 Pasien-pasien yang mengidap SJS / TEN ini memberikan reaksi setelah waktu yang relatif lama lag (waktu antara pemberian obat pertama dan blister pertama). Fenomena ini telah dijelaskan sebelumny; namun demikian, pada pasien 5 dan 7 mungkin juga disebabkan oleh obat fenitoin, yang dikenal memiliki jeda waktu berpotensi panjang. Leukopaenia, teratur ditemui dalam TEN, terjadi di pasien 5 dan 1, di neutropaenia terakhir juga hadir. Kedua pasien mengalami sepsis dan infeksi HSV, mungkin berhubungan dengan tertundanya penyembuhan luka. Kemanjuran DPT dievaluasi sesuai dengan penangkapan epidermal lebih lanjut atau pelepasan mukosa, penyembuhan waktu dalam hari, hasil dan gejala sisa. Pasien stabil setelah rata-rata 2-3 hari, sedangkan total reepithelialization dicapai setelah 9-13 hari. Meskipun SCORTEN memprediksi kematian 4 pasien, namun hanya satu pasien yang meninggal.4 Gejala sisa akhir yang serius dari mukosa, terutama pada mata tidak ditemukan. Pembandingan dengan hasil yang dipublikasikan sulit untuk dilakukan. Catatan percobaan terapeutik pada TEN adalah serangkaian kasus tanpa kontrol. Kami menghitung SCORTEN sebagai divalidasi skor prediksi untuk hasil di SJS. Dalam, berbagai sumber besar, studi epidemiologi yang periode rata-rata untuk stabilisasi adalah 4 hari untuk SJS dan 5-8 hari untuk TEN. Penyembuhan hampir selesai setelah 20-30 hari rawat inap.4,5 Dalam studi lain, terapi dengan IVIG dimulai 1-4 hari setelah dimulainya penyakit dan penyembuhan selesai 18 hari setelah masuk. SCORTEN diprediksi 2-8 kematian, sementara yng sebenarnya terjadi adalah 11 kematian. Para penulis menyimpulkan IVIG tidak bisa direkomendasikan sebagai pengobatan standar untuk SJS / TEN. Dilain sisi, J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|24
beberapa studi menyebutkan IVIG memiliki stabilisasi jangka pendek yang mengejutkan dan / atau penyembuhan. Dalam menafsirkan hasil ini, kita juga harus mempertimbangkan waktu selang sebelum pengobatan dimulai, karena tanpa Pengobatan periode perkembangan dapat berlangsung 7-10 hari. Mulai pengobatan terlambat dalam proses menyiratkan bahwa sulit untuk mengukur efek pengobatan terhadap stabilisasi. Sejak awal kami mulai, kami cukup percaya dari data kami bahwa DPT tidak menghasilkan hasil relatif cepat dalam stabilisasi dan penyembuhan dan menunjukkan bahwa DPT bahkan mungkin telah menghentikan proses apoptosis.6 Meskipun hasil penelitian ini tidak memiliki relevansi secara statistik karena jumlah pasien yang sedikit, kami menyimpulkan bahwa penggunaan jangka pendek DPT, pada tahap awal penyakit, dapat berkontribusi untuk mengurangi angka kematian pada SJS / TEN tanpa meningkatkan waktu penyembuhan. Sebuah uji coba yang lebih besar dan terkontrol perlu dilakukan dalam rangka untuk menyelidiki dan memajukan penggunaan DPT pada SJS.6 Simpulan Pada beberapa studi penggunaan kortikosteroid pada pasien Steven-Johnson Syndrome dapan dilakukan pada awal masa terjadinya SJS (3-5 hari pertama) untuk menurunkan potensi kematian meski tidak mempengaruhi masa penyembuhan, dan pada penelitian lain penggunaan kortikosteroid tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan terjadinya infeksi dan sepsis. Dalam mengaplikasikan penggunaan kortikosteroid pada pasien Steven-Johnson Syndrome harus memastikan bahwa pasien tersebut berada pada masa awal (3-5 hari) setelah itu pemberian kortikosteroid tidak dianjurkan lagi. Daftar Pustaka 1. Hamzah, M. Erupsi Obat Alergi. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. Ed 5. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2007. hlm. 154-8. 2. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. Dalam Bolognia Dermatology. Elserve limited, Philadelphia. United States of America: 2003; 1 (2) : 333-52.
Permatasari, Anggun | Menilai Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien Steven-Johnson Syndrom
3. 4. Riedl, M.A., Casillas, A.M. Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. Dalam American Family Physician. 2003. 5. Valeyrie AL, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008. hlm. 34955. 6. Foster CS, Letko E. Stevens-Johnson Syndrome. eMedicine. 2007; 1-11. 7. Andrew JM, Sun. Cutaneous Drugs Eruption. Dalam: Hong Kong Practitioner. Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Car. U.K. 1993. Access on: November 28, 2010.
8. Rosen EJ, Quinn FB. 2000. Microbiology, infections, and antibiotic therapy. 9. World Health Organization. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistence. World Health Organization, 2001: 1– 55. 10. Venereol, acta derm. 2007. Dexametason pulse therapy for stevens johnson syndrome/ toxic epidermal necrolysis. Clinical report. 11. Katzung, BG. 2011. Basic And Clinical Pharmacology.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|25