ISSN 1978-6506
Vol. 5 No. 1, April 2012
MENGUJI TAFSIR KEADILAN
Jurnal Yudisial
Vol 5
No.1
Hal. 1-116
I
Jakarta April 2012
ISSN 1978-6506
DISCLAIMER
J
urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal. Alamat Redaksi: Gedung Komisi Yudisial Lantai 3 Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email:
[email protected]
II
MITRA BESTARI
Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)
2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum
3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum
4. Prof. Dr. Meila Rahayu, S.H., M.H.
(Pakar Hukum
5. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.
(Pakar Hukum
6. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
(Pakar Hukum
7. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.
(Pakar Hukum
8. Laode M. Syarif, S.H., LL. M., Ph.D
(Pakar Hukum
9. Rm. Dr. Alexius Andang Listya Binawan. (Pakar Hukum
III
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
: Muzayyin Mahbub.
Pemimpin Redaksi
: Patmoko
Penyunting/Editor
: 1. Hermansyah
2. Onni Roeslani
3. Heru Purnomo
4. Imron
5. Asep Rahmad Fajar
6. Suwantoro
Redaktur Pelaksana
: Dinal Fedrian
Sekretariat
Arnis Duwita Purnama : 1. Sri Djuwati
2. Yuni Yulianita
3. Romlah Pelupessy.
4. Ahmad Baihaki
5. Arif Budiman.
6. Adi Sukandar
7. Aran Panji Jaya
8. Nur Agus Susanto
Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra
IV
PENGANTAR
A
MENGUJI TAFSIR KEADILAN dakah keadilan di muka bumi ini? Kepada siapa keadilan diperoleh? Jawaban dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah khususnya bagi ahli hukum lantaran membutuhkan proses perdebatan mendalam berdasarkan beragam teori
hukum.
Secara sederhana, keadilan terbagi dalam tiga kelompok besar. Yaitu, keadilan berdasarkan hukum, keadilan berdasarkan suara mayoritas, dan keadilan berdasarkan ketuhanan. Kelompok di atas masing-masing memiliki alasan yang berbeda satu dengan lainnya. Bagi kelompok pertama, keadilan akan diperoleh berdasarkan hukum yang berlaku sehingga dikenal sebagai kelompok aliran positifisme. Bagi kelompok ini keadilan melalui proses peradilan yang diputuskan oleh hakim. Sementara kelompok kedua memandang keadilan diperoleh melalui suara mayoritas yang mendengungkan semboyan “vox populi vox de” atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Adapun bagi kelompok terakhir, keadilan baru bisa diperoleh apabila bersumber pada kitab suci dan keyakinan terhadap Tuhan. Negara hukum seperti Indonesia lebih cenderung menganut kelompok pertama. Alhasil, keadilan diperoleh mayoritas berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan, sebagai representasi pemberi keadilan adalah hakim yang berada dalam lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman). Di Indonesia, kekuasaan kehakiman bertumpu pada Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konsitusi (MK). Keduanya memiliki wewenang berbeda guna memberikan keadilan. Berbeda dengan hakim di MA yang memiliki Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim dan pengawasan internal melalui jejang pengadilan yang lebih tinggi/atau kasasi, MK tidak memiliki pengawas ekternal dan jejang putusan yang lebih tinggi karena putusannya terakhir dan mengikat, final and binding. Putusan MK Nomor 49/PUUIX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK telah mentasbihkan hal itu. Dalam negara hukum yang mengedepankan check and balances maka tidak ada satu pun kekuasaan yang tidak dapat diawasi, termasuk kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu check and balances kekuasaan kehakiman agar mampu mewujudkan keadilan. Kalimat sederhana yang melukiskan hal itu ialah hakim sama seperti manusia lainnya yang dapat salah atau tergoda dengan kehidupan duniawi. Bila terjadi, maka hakim akan melahirkan putusan yang jauh dari nilai keadilan. Berdasarkan pemikiran di atas “Menguji Tafsir Keadilan” menjadi tema besar dalam jurnal edisi ini. Sebagai akhir kata, ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang membantu kehadiran jurnal kali ini. Semoga jurnal ini memberikan manfaat. Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
V
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506
Vol. 5 No. 1, April 2012
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.5
UDC: 658.114.6
Chandranegara IS (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Jakarta)
Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara
Perluasan Tafsir Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/ PN.JKT.PST
Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUUVII/2009
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 51-63
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 1-16
Karangan ini membahas komentar atas putusan hakim dalam perkara “P” dkk v. KPPU No. 34/ Pdt.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini bermula dari Putusan KPPU terhadap PT “P” (Persero) dan tiga perusahaan lainnya yang mempersalahkan mereka melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU memutuskan bahwa keempat perusahaan tersebut telah melakukan persekongkolan dan diskriminasi dalam pemilihan partner strategis. KPPU berpendapat, bahwa pemilihan partner itu yang dilakukan melalui “beauty contest” sama dengan pengadaan barang dan jasa. KPPU menghukum PT “P” dan tiga perusahaan lainnya membayar denda. Namun proyek tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua terhukum tidak setuju dengan Putusan KPPU tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU. Karangan ini membahas putusan PN Jakarta Pusat dimana penulisnya tidak sependapat
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu adalah kewenangan yang tidak didapatkan melalui Undang-Undang Dasar namun melalui praktik peradilan. Kewenangan untuk menguji Perppu sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan adanya potensi sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara yakni dengan DPR selaku pemegang kewenangan konstitusional untuk menguji Perppu dan Presiden selaku pemegang kekuasaan mutlak legislasi dalam ihkwal kegentingan memaksa. Oleh karena itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat atau tidak dapatnya menguji Perppu perlu diatur di dalam Undang-Undang Dasar. (Chandranegara IS) Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, Perppu, supremasi konstitusi.
VI
UDC: 349
dengan putusan KPPU dan PN Jakarta Pusat.
Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas Islam, Bandung)
(Erman Rajagukguk)
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan ClassAction Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah
Kata kunci: pengadaan barang dan jasa, pemilihan mitra strategis, persekongkolan dan diskriminasi, bukti tidak langsung.
Kajian Putusan PN.Bdg
UDC: 608.3
Nomor
145/Pdt.G/2005/
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 17-35
Purwaningsih E (Fakultas Universitas Yarsi, Jakarta)
Hukum,
Dalam perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis hakim memutuskan berlandaskan pada akta perjanjian yang dibuat oleh para penggugat dan tergugat. Berdasarkan aspek sosial, putusan tersebut dirasakan adil karena memenuhi tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi kasus longsor TPA ini menyisakan persoalan tersendiri karena terjadi ketidakadilan ekologis. Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ekologis yang dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini dan tidak memerintahkan para tergugat untuk menangani TPA tersebut sesuai dengan nilai-nilai ekologis. Pada hakekatnya, semua makhluk hidup yang ada di alam semesta memiliki nilai sehingga harus diperlakukan sama walaupun dengan pembobotan perlakuan yang berbeda-beda. Alam semesta dan kehidupannya masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral manusia sehingga keberadaannya tidak selalu dikorbankan hanya untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu perlu adanya kepedulian, tanggung jawab dan kewajiban moral dari manusia sebagai pelaku moral.
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt. Sus/2009 Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 84-98 Paten sebagai konstruksi hukum memberikan perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan; langkah inventif yang terkandung dalam penemuan; serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut di seluruh dunia, juga function-way-result test, terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan. Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan, sehingga untuk menilai pelanggaran paten VII
tergantung pada interpretasi klaim, filing date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).
(Rahayu MIF) Kata kunci: class action, keadilan ekologis
(Endang Purwaningsih)
UDC: 347.956.6
Kata kunci: paten, worldwide function-way-result test.
Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Keadilan Subtantif yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan
novelty,
UDC: 608.3 Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas Yarsi, Jakarta)
Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 36-50
Penerapan World Wide Novelty dan FunctionWay-Result Test Pada Paten
Tujuan dari kajian putusan ini adalah untuk menguji apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat banding sudah mencerminkan putusan yang adil baik secara prosedural maupun substantif. Hasil kajian menunjukkan bahwa putusan hakim sudah mengikuti prosedur hukum acara secara memadai, bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Namun demikian putusan majelis hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa yang didasarkan pada hukum materiil. Putusan ini belum menyentuh substansi atau pokok perkara yang disengketakan, sehingga belum mencerminkan keadilan substantif. Putusan hakim ini terasa kering dan belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim, akibatnya kepentingan Para Terbanding belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dan imbang secara substansial. Padahal keadilan substantif itulah yang harus diwujudkan hakim pada akhir putusannya.
Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009 Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 84-98 Paten sebagai konstruksi hukum memberikan perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan; langkah inventif yang terkandung dalam penemuan; serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut di seluruh dunia, juga function-way-result test, terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsurunsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan. Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan, sehingga untuk menilai pelanggaran paten tergantung pada interpretasi klaim, filing
VIII
date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).
(Syamsudin M) Kata kunci: keadilan substantif, putusan banding, sengketa sita jaminan.
(Endang Purwaningsih) Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-way-result test.
UDC: 343 Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto) Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal 99-116 Penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus pencurian kakao sudah sesuai dengan pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat. Pemikiran dasar pemberian pidana bersyarat tersebut pada intinya terdiri dari empat aspek: Pertama, pidana bersyarat dijatuhkan untuk menolong terpidana agar belajar hidup produktif. Kedua, pidana bersyarat menjadi lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati hakim maupun masyarakat. Ketiga, pidana bersyarat menjadi sarana koreksi yang bermanfaat bagi terpidana dan masyarakat. Keempat, pidana bersyarat berorientasi pada perbuatan dan juga pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat ini telah sesuai dengan prinsip hukum pidana yang mengutamakan pencegahan. (Haryanto Dwiatmodjo) Kata kunci: keadilan.
pidana bersyarat, pencurian,
IX
JOURNAL OF YUDISIAL ISSN 1978-6506
Vol. 5 No. 1, April 2012
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.5
UDC: 658.114.6
Chandranegara IS (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Jakarta)
Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)
The Review of Government Regulation in Lieu of Law Regarding Constitutional Authority Dispute Among The State Institutions
An Extensive Interpretation On Article 22 Of The Law Number 5 Year 1999 An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/ KPPU/2011/PN.JKT.PST
An Analysis of Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 51-63
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 1-16
This article is aimed to share some comments on a court decision over the case of PT “P” c.s. v. KPPU. The KPPU has delivered a decision against PT “P” and three other companies blaming them to commit an unlawful practice as stated in Article 22 of Law No. 5 Year 1999.
The authority of the Constitutional Court to review the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) is not obtained through the judicial practice, instead of the constitution. In theory such an authority should not given to the constitutional court since the existance of potental disputes between the court and other hight rangked state entity like punishment and/or house of representatives. In term of the state circumstances of the state of emergency, the President has the exclusive power to produce th Perppu. Thus, it is of great importance that the constitutional court showed have this authority strictly regulated in the coming amamded constitution.
KPPU decides that the four companies have performed conspiracy and discrimination in selecting strategic partner. KPPU is of the opinion that the way of partner selection being conducted through “beauty contest” is the same way with that of procurement of goods and services. KPPU ordered the four companies to pay a fine and the decision was supported later on by the Jakarta Central Distric Court. The author of this article has different opinions with the decisions.
(Chandranegara IS)
(Erman Rajagukguk)
Keywords: constitutional review, constitutional authority dispute, the government regulation in lieu of law (Perppu), rule of law.
Keywords: procurement, selection of strategic partners, conspiracy and discrimination, indirect evidence.
X
UDC: 349
UDC: 347.918
Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas Islam, Bandung)
Hikmah M (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)
The Ecological Justice in Class Action Lawsuit of Leuwigajah Final Disposal Landfill
The Refusal Of International Arbitration Decision In The Case Of Astro All Asia Network PLC (ASTRO)
An Analysis of Decision Number 145/ PDT.G/2005.PN.BDG
An Analysis of Decision Number 05/Pdt/ ARB-INT/2009/PNJP
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 17-35
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, 64-83
In a class action lawsuit on the case of Leuwigajah Final Disposal Landfill, the panel of judges has passed a decision in favor of the residents based on a deed of agreement made by the plaintiffs and defendants. According to the contract, the plantiffs as the class members are entitled to get compensation. In the social point of view, the court ruling is considered fair enough. But in term of ecology, the decision leaves its own problems, i.e. the ecological injustice, since the judges never weighed up the ecological values of nature and environment as their main concerns. In the perspective of ecology, every single creature in the universe has the right to exist. In many cases like the Leuwigajah incident, both human beings and their environmental should be correspondingly taken into account. The decision is supposed to emphasize the involvement, responsibility, and obligation of human beings as the moral actors in such cases.
Even though Indonesia has already had the Arbitration Law, refusals of the international arbitration decisions still happen. One of which is the object of analysis in this article, that is the case of Astro All Asia Network Plc. The application of the international arbitration decision from Singapore was refused by the Central Jakarta District Court. This refusal is confirmed by the Supreme Court. This article discuss any court’s considerations for the refusal. It seems that some reasoning are not in accordance with the Arbitration Law, that come from both at the district court level and the Supreme Court. That such refusal, in consequence, could cause bad impact to the international bussiness climate. The Government was supposed to admit and implement the international arbitration decisions as a consequence of Indonesia’s membership of the 1958 New York Convention.
(Rahayu MIF) Keywords: class action lawsuit, ecological justice.
(Mutiara Hikmah) Keywords: Arbitration Law, international arbitration decision.
XI
UDC: 347.956.6
UDC: 608.3
Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas Yarsi, Jakarta)
The Overlooked Substantive Justice In A Case Of Sequetration Dispute
The Application Of Worldwide Novelty And Function-Way Result-Test On Patent
An Analysis of Decision Number 42/ PDT/2011/PT.Y
An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt. Sus/2009
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 36-50
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 84-98
The purpose of this study is to examine whether a decision of the Yogyakarta Court of Appeal has been procedurally and substantively just. The author of this article discloses that the
Patent as legal construction gives legal protection for the invention which fulfills requirements for a patentable invention, such as: novelty, non-obviousness/inventive steps and industrial applicability. In order to create legal certainty and justice, the judge should pay attention to the specification of patent (in the claim) and the application of worldwide novelty, also function way result test, especially in this case. In the claim, it is required to state and clarify precisely the elements of invention for which protection is sought. Thus, the claim should be composed of a description or explanation of the essence of the invention. The scope or the extent of patent protection is based on the claim. The essence of protection also depends on the claim; therefore the infringement depends on the interpretation of the claim, filing date, state of the art and prior art scope of the claim.
panel of judges who handled the case has strictly applied the procedural law as stated in the HIR and Rv so that the decision can be regarded as the procedural justice contained. However, the judges’ decision in this case does not reflect the substantive justice, since it has not reached the level of verifying the subject of disputes based on substantive law. The judges’ decision is too formalistic in checking and resolving the matter, so it only emphasizes the procedural fairness values instead of substantive justice values. In fact, substantive justice is of significance that must be upheld by judges at any kind of decision (Syamsudin M) Keywords: substantive justice, court of appeal decision, warranty-confiscation dispute.
(Endang Purwaningsih) Keywords: patent, worldwide function-way-result test.
XII
novelty,
UDC: 343 Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto) A Conditional Sentence Imposed Upon The Conviction Of Theft Of Cocoa An Analysis of Decision Number 247/ Pid.B/2009/PN. Pwt Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, page 99-116 The imposition of conditional penalties over criminal acts in case of theft of cocoa is in conformity with the main purpose of conditional penalties. The main purpose of conditional penalties essentially consists of four aspects. First, it is imposed to help the inmates learning to live productively. Second, it works as an implied law institution for the inmates better than the broad-mindedness of the judge or the public. Third, it becomes a medium for correction for the inmates and the society. Fourth, it is oriented to the action and also the criminals. Therefore, the imposition of conditional penalties over criminal acts has been in accordance with the principles of criminal law that prioritizes prevention. (Haryanto Dwiatmodjo) Keywords: justice.
conditional
penalties,
theft,
XIII
DAFTAR ISI
PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL ANTAR-LEMBAGA NEGARA .................................................................... Kajian Atas Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 Ibnu Sina Chandranegara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH ................................ Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg Mella Ismelina Farma Rahayu Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung KEADILAN SUBTANTIF YANG TERABAIKAN DALAM SENGKETA SITA JAMINAN ...................................................... Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y M. Syamsudin Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia PERLUASAN TAFSIR PASAL 22 UU NOMOR 5 TAHUN 1999 ........................................................................ Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST Erman Rajagukguk Fakultas Hukum Universitas Indonesia PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO) .......... Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP Mutiara Hikmah Fakultas Hukum Universitas Indonesia PENERAPAN WORLD WIDE NOVELTY DAN FUNCTION-WAY–RESULT TEST PADA PATEN .................................... Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009 Endang Purwaningsih Fakultas Hukum Universitas YARSI PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS PENCURIAN KAKAO .................................................. Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT Haryanto Dwiatmodjo Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
XIV
1
17
36
51
64
84
99
PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL ANTAR-LEMBAGA NEGARA Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 Ibnu Sina Chandranegara, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan Email:
[email protected]
THE Review of Government Regulation in Lieu of Law REGARDING CONSTITUTIONAL Authority Dispute among the State Institutions An Analysis of Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009 Ibnu Sina Chandranegara, Faculty of law of University of Muhammadiyah Jakarta Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan Email:
[email protected] ABSTRAK
Abstract
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
The authority of the
Perppu adalah kewenangan yang tidak didapatkan
review the
melalui Undang-Undang Dasar namun melalui
Law (Perppu) is not obtained through the judicial
praktik peradilan. Kewenangan untuk menguji
practice, instead of the constitution. In theory such
Perppu sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah
an authority should not given to the constitutional
Konstitusi dikarenakan adanya potensi sengketa
court since the existance of
kewenagan konstitusional lembaga negara yakni
between the court and other hight
dengan DPR selaku pemegang kewenangan
state entity like punishment and/or house of
konstitusional untuk menguji Perppu dan Presiden
representatives. In term of the state circumstances
selaku pemegang kekuasaan mutlak legislasi dalam
of the state of emergency, the President has the
ihkwal kegentingan memaksa. Oleh karena itu,
exclusive power to produce th Perppu. Thus, it is
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat
of great importance that the constitutional court
atau tidak dapatnya menguji Perppu perlu diatur di
showed have this authority strictly regulated in
dalam Undang-Undang Dasar.
the coming amamded constitution.
Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa
Keywords: constitutional review, constitutional
kewenangan
authority dispute, the government regulation in lieu
konstitusional
Perppu, supremasi konstitusi.
lembaga
negara,
Constitutional Court
to
Government Regulation in Lieu of
potental disputes rangked
of law (Perppu), rule of law.
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
|1
I.
PENDAHULUAN
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), yakni pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) saat ini telah mengalami perkembangan dalam praktik yang dilakukan oleh MK sendiri. Salah satunya adalah pengujian konstitusional peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terhadap UUD yang pernah dilakukan MK. MK pernah menguji Perppu sebanyak 2 (dua) kali, yaitu (i) Pengujian terhadap Perppu No. 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diputus oleh MK pada Putusan No. 138/PUU-VII/2009 dan (ii) Pengujian terhadap Perppu No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diputus oleh MK pada Putusan No. 145/PUU-VII/2009.
“Seberat apapun permasalahan yang terjadi di satu negara, sudah seharusnya dapat diatasi dengan instrumen hukum yang ada untuk tetap menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan yang melindungi kepentingan seluruh rakyat.” (Asshiddiqie, 2010: 57-58)
II.
Konstitusi sepatutnya mengakomodasi ketentuan-ketentuan prosedur-prosedur penyelenggaraan negara sebagaimana dinyatakan oleh Wiliam G. Andrews (i) the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government, (ii) the basis of government, (iii) the form of institutions and procedures (Andrews,1968: 9). “Prosedures” disini dimaksudkan bahwa konstitusi tidak hanya mengatur mengenai penyelenggaraan negara dalam ordinary condition atau normal condition namun konstitusi sepatutnya mengatur penyelenggaraan negara dalam keadaan yang tidak normal (emergency condition).
RUMUSAN MASALAH
Negara diartikan oleh R. Kranenburg sebagai suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia atau bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama (Soehino, 2001: 184). Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi kekuasaan, maka negara akan memiliki sebuah konstitusi sebagai pondasi negara dalam menjalankan kekuasaannya sebagaimana diungkapkan oleh Brian Thompson bahwa “a constitution is a document which contain the rules for the operation of an organization.” (Thompson, 1997: 3).
Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK tersebut menjadi polemik dikalangan para ahli hukum, politisi bahkan masyarakat. Persoalan yang muncul adalah “apakah MK memang berwenang menguji Perppu?”. Selain itu, timbul juga persoalan lain yaitu “apakah dengan adanya pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK, akan timbul potensi sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara (SKLN) antara MK dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?”. Tulisan ini bermaksud meneliti pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK dalam perspektif SKLN dan dampak yang ditimbulkan terhadap unsur Jika emergency condition itu terjadi, maka “darurat” dalam Perppu apabila pengujian Perppu organ-organ negara akan melakukan respon untuk dapat pula dilakukan oleh MK selain DPR. mengatasi keadaan tersebut. Akibat timbulnya 2|
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
keadaan darurat tersebut maka akan terjadi dua kemungkinan yaitu (i) organ negara dan pemerintahan mengalami syndroma disfunctie (tidak berfungsi sebagaimana mestinya), atau (ii) penguasa negara berubah menjadi tiran (dictator by accident) yang dapat memanfaatkan keadaan darurat itu untuk dijadikan alat kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan perangkat hukum positif dalam rangka mencegah dan menanggulangi keadaaan yang bersifat darurat tersebut (Hamidi dan Lutfi, 2009: 41-42). Salah satu pengaturan UUD NRI Tahun 1945 mengenai keadaan darurat adalah apa yang disebutkan dalam Pasal 22 sebagai berikut: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah harus dicabut.” Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan seperti ini memang diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.” Ni’ matul Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan
suatu keadaan bahaya dan darurat (Huda, 2003: 140). Pasal 22 tersebut menggunakan istilah “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang dapat ditafsirkan bahwa adanya suatu kegentingan yang memaksa pihak tertentu untuk menanggulangi suatu kegentingan tersebut dengan cara-cara yang dibuat melalui prosedur tidak biasanya. Kemudian frasa “Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang” menjelaskan bahwa pihak tertentu yang mempunyai kompetensi untuk menanggulangi kegentingan memaksa tersebut adalah Presiden dan hal yang dapat dilakukan oleh Presiden dalam upaya menanggulangi kegentingan tersebut adalah dengan kekuasaan legislatif sepenuhnya tanpa melibatkan DPR yakni membuat sebuah undang-undang yang berbajukan peraturan pemerintah. Konstruksi pemikiran tersebut bersifat subjektif, hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kegentingan tersebut hanya sepihak oleh penilaian Presiden semata. Kedudukan Perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie: “Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu)” (Asshiddiqie, 2010: 209) Perppu sebagai produk hukum darurat
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
|3
menurut Presiden sesungguhnya belum tentu mengandung unsur darurat sebagaimana ditentukan pada pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 yang dinyatakan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang”. Hal tersebut dikarenakan kelahiran Perppu yang didasarkan pada unsur “kegentingan memaksa” dalam sebuah Perppu belum tentu mengandung unsur “keadaan bahaya”, dikarenakan keadaan bahaya yang diatur di dalam Pasal 12 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan kegentingan memaksa secara gramatikal mempunyai unsur subjektif. JimlyAsshiddiqie menyatakan bahwa segala sesuatu yang “membahayakan” tentu memiliki sifat yang menimbulkan “kegentingan yang memaksa”, tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perppu tidak selalu membahayakan atau bernilai dangerous threat (Asshiddiqie, 2010: 208) Jadi apabila dibedakan, ketentuan deklarasi bahaya yang dicantumkan oleh Presiden sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 adalah refleksi dari kewenangan seorang kepala negara sedangkan ketentuan Pasal 22 yang memberi hak kepada Presiden untuk melahirkan Perppu pada saat kegentingan yang memaksanya adalah refleksi dari kewenangan kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden untuk menerbitkan Perppu juga tidak tergantung pada keadaan bahaya yang sedang melanda. Penilaian subjektif Presiden untuk mencegah sesuatu yang akan “membahayakan” juga dapat dijadikan unsur mengapa Perppu dilahirkan oleh Presiden. Kelahiran Perppu ini sangat tidak tergantung oleh deklarasi keadaan bahaya sebagaimana ditentukan pada Pasal 12. Bahkan Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam kondisi negara yang 4|
normal sekalipun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perppu (Asshiddiqie, 2010: 207). Seharusnya Pasal 22 juga menentukan secara limitatif mengenai unsur-unsur lain mengenai dilahirkannya sebuah Perppu oleh Presiden selain adanya unsur tunggal “kegentingan memaksa”. Kedudukan Perppu sendiri sering menimbulkan perdebatan yang pada umumnya dikarenakan beberapa hal, antara lain: (Isra, 2010: 165) 1.
Perppu dapat dikatakan sebagai peraturan yang bersifat sementara, sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada Dewan Perwakilan Rakyat yaitu pada masa sidang berikutnya setelah Perppu tersebut dibentuk. Walaupun bersifat sementara namun dampak pemberlakuan Perppu dapat saja berlangsung lama, sekalipun Perppu itu telah dicabut.
2.
Proses politik di DPR yang kadangkala memunculkan kontroversi sehingga sangat diperlukan ketegasan DPR apakah akan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut. Kadangkala pengesahan Perppu menjadi ajang tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan dari segi substansi hukum tidak penting.
3.
Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perppu tersebut menjadi undangundang. Dalam hal DPR menyetujui Perppu tersebut kadangkala pengesahan Perppu menjadi ajang
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan dari segi substansi hukum tidak penting. 4.
mengatasi keadaan, sehingga dengan penerbitan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undangundang. Dalam hal ini DPR menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Proses ini kadangkala berlangsung lama akibat dari dinamika di DPR yang sangat tidak menentu.
Dari ketiga unsur di atas, unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat) lebih berorientasi pada Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, khususnya mengenai “keadaan bahaya”, meskipun ada pula Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat). (Asshidiqie, tanpa tahun). Contohnya yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dimana dalam Penjelasan Umumnya menegaskan bahwa penggunaan Perppu untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Perppu guna segera Hingga saat ini unsur lain hanya ditemukan dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi oleh doktrin-doktrin para ahli seperti Jimly pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa Asshiddiqie dan Bagir Manan. Jimly Asshiddiqie meninggalkan prinsip-prinsip hukum. menyatakan ada tiga unsur penting membentuk pengertian keadaan bahaya yang dapat Contoh Perppu yang dilatarbelakangi menimbulkan kegentingan yang memaksa yaitu, oleh unsur kebutuhan yang mengharuskan (i) adanya unsur ancaman yang membahayakan (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3 (dangerous threat), (ii) adanya unsur kebutuhan Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undangyang mengharuskan (reasonable necessity), dan Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang (iii) adanya unsur keterbatasan waktu (limited Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah time) yang tersedia. Atas dasar unsur tersebut Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai Jimly menyatakan adanya 3 (tiga) syarat materiil tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh untuk adanya penetapan suatu Perppu, yaitu (i) negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan ada kebutuhan mendesak untuk bertindak atau paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku yang diistilahkan olehnya sebagai “reasonable secara internasional dijadikan sebagai ukuran necessity”, (ii) waktu yang tersedia terbatas “kegentingan yang memaksa”, sehingga (limited time) atau terdapat kegentingan waktu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya dan (iii) tidak tersedia alternatif lain atau menurut yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat haji tetap dapat dilaksanakan. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
|5
Adapun contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum yang baru.
republik-indonesia.html) Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency). Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan (Manan, 1999: 158-159).
Baru semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 138/ PUU-VII/ 2009, pengujuan Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Perpu Nomor 9 tahun 2009, ditentukannya syaratRakyat Republik Indonesia sedang syarat bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu mempersiapkan Rancangan Undang-Undang berdasarkan putusan peradilan bukan hanya tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk melalui dokrtin. Dengan ditetapkannya syaratmenggantikan ketentuan yang saat ini berlaku syarat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 ini juga masih terus menimbulkan perdebatan Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota dikarenakan nilai subjektif dari sebuah Perppu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan berubah menjadi objektif melalui putusan MK. Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perubahan ini didasari oleh pertimbangan hakim Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden yang menyatakan bahwa Berdasarkan Putusan berpendapat syarat hal ihwal kegentingan yang MK Nomor.138/PUU-VII/2009, Peraturan memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila: tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota 1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan mendesak untuk menyelesaikan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masalah hukum secara cepat (Febriansyah, http://djpp.depkumham.go.id/htnberdasarkan Undang-Undang; dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan2. Undang-Undang yang dibutuhkan perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negaratersebut belum ada sehingga terjadi 6|
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
kekosongan hukum, atau ada UndangUndang tetapi tidak memadai;
MK dalam sesuatu perubahan norma UUD 1945. Harusnya MK menjalani amanah UUD 1945 bukan justru malah mengoreksi UUD 3. Kekosongan hukum tersebut tidak 1945. Penulis beranggapan ada maksud baik dapat diatasi dengan cara membuat dalam pertimbangan majelis MK tersebut yakni Undang-Undang secara prosedur mencegah Presiden berbuat sewenang-wenang biasa karena akan memerlukan terhadap pelaksanaan kewenangan legislasi waktu yang cukup lama sedangkan Presiden pada saat keadaan darurat. Namun, keadaan yang mendesak tersebut upaya itu seharusnya dilakukan dalam perubahan perlu kepastian untuk diselesaikan; UUD hal ini ditakutkan akan mengaburkan posisi Dengan perubahan ini maka jelas muncul MK sebagai pengawal konstitusi. norma baru yang merubah konstruksi norma yang Di dalam putusan No.138/PUU-VII/2009, terdapat di dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan tampak bahwa MK tidak saja menggunakan ini maka bisa dikatakan bahwa terjadi perubahan UUD 1945 sebagai batu uji terhadap apa yang konstitusi tanpa melalui Pasal 37 UUD 1945 dimohonkan, tetapi MK juga menggunakan namun melalui praktek peradilan. Syarat bagi UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Presiden yang sebelumnya diberi kekuasaan Peraturan Perundang-Undangan sebagai batu mutlak untuk menafsirkan apa makna “hal uji lainnnya sebagaimana tercantum di dalam ikhwal kegentingan memaksa” yang bercorak Pertimbangan Mahkamah terntang kewenangan subjektif menjadi objektif dikarenakan terdapat Mahkamah pada poin 3.5 di dalam putusan No. syarat kumulatif lainnya bagi Presiden yakni 138/PUU-VII/2009: sebagaimana ditentukan oleh MK di atas. Hal ini jelas memperketat kewenangan Presiden dalam menentukan hal ikhwal kegentingan memaksa. Apa yang dilakukan oleh MK ini jelas menimbulkan kerancuan, yakni apakah apabila Presiden membentuk Perppu namun tidak memenuhi syarat yang ditentukan maka Perppu tersebut menjadi tidak mengikat? Atau apakah Presiden dapat dijustifikasi telah melanggar konstitusi dikarenakan melanggar pertimbangan MK di dalam putusan a quo apabila Perppu bentukan Presiden tidak mendasari pada putusan a quo? Keadaan ini seolah-olah menjadi kacau dikarenakan ketika MK sedang mempertimbangkan kewenangannya di dalam putusan a quo tetapi “tidak disengaja” MK membentuk norma baru yang justru menjebak
Bahwa dasar hukum dibuatnya Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang”. Kemudian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu sejajar dengan Undang-Undang Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004 menyatakan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
|7
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; c. ... dst”; Penulis menilai bahwa pertimbangan ini tidak tepat. Penulis beranggapan bahwa sepatutnya MK tidak menggunakan undangundang sebagai dasar pertimbangan dalam menilai apakah MK berwenang atau tidak dalam menguji Perppu. Seharusnya MK menarik pandangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dengan pertimbangan yang demikian ini menunjukan bahwa MK tidak menguji UU secara vertikal namun secara horizontal. Di sisi lain pertmbangan yang demikian ini menunjukkan bahwa MK menunjukkan karakter kelembagaan yang semestinya, yakni pengadilan norma hukum dan produk hukum. Sejarah terbentuknya MK sendiri didasari kebutuhan akan peradilan yang mampu mengadili norma hukum dan produk hukum yang mengikat secara umum, sehingga supremasi hukum (konstitusi) dapat dijaga, mengingat produk hukum yang lahir belum tentu sesuai dengan konstitusi ataupun dengan sistem hukum yang terbangun dalam suatu negara. Salah satu sebab dikatakannya Perppu sebagai produk hukum Presiden dalam keadaan darurat/genting, dikarenakan kontrol dan pengujian konstitusionalitasannya berada di DPR melalui mekanisme political review. Sedangkan produk hukum Presiden dalam keadaan normal ialah UU yang telah dibahas dan disetujui bersama DPR dan mekanisme pengujiannya dapat dilakukan oleh dua cara yakni (i) political review/ legislative review dan (ii) judicial constitutional review. Namun apabila MK berwenang menguji Perppu, berarti Perppu yang dikeluarkan saat waktu tertentu (keadaan genting) oleh Presiden 8|
maka saat itulah Perppu dapat diuji oleh MK. Apabila demikian konstruksinya maka nilai darurat/genting pada suatu Perppu menjadi hilang. Pengujian UU dilakukan oleh MK karena UU merupakan produk hukum legislator saat negara dalam keadaan normal tanpa mempertimbangkan adanya kegentingan, sehingga UU tersebut tidak terdapat unsur darurat yang bersifat sementara yang dimaksudkan untuk menanggulangi kedaruratan tersebut. UU yang dibuat pada saat keadaan normal dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan umum (tindakan kenegaraan) sedangkan pembentukan Perppu dikeluarkan Presiden pada saat negara dalam keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception). Kim Lane Scheppele sebagaimana dikutip Jimly menyatakan bahwa “state of exception” ialah: The situation in which is confronted by mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable in normal times, given the working principles the state. The state of exception uses justifications that only work in extremis, when the state is facing a challege so severe that it must violate its own principles to save it self.” (Asshiddiqie, 2010: 58-59). Oleh karena itu, pembentukan Perppu yang dilakukan Presiden sesungguhnya dilakukan untuk kepentingan menanggulangi keadaan genting (tindakan kepemerintahan) sehingga memaksa Presiden untuk membuat peraturan pemerintah namun materi muatannya adalah undang-undang yang mekanisme pengawasannya dan pengujiannya menurut UUD NRI Tahun 1945 berada di tangan DPR. Buruk atau salahnya suatu Perppu bukan berarti ada niat dari Presiden
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
untuk melakukan kesalahan dalam legislasi, namun karena konstitusi menentukan demikian. Apabila melihat kondisi kekinian setelah MK mampu menyatakan keberwenangannya untuk menguji Perppu maka Presiden berada di dalam kondisi yang abu-abu apabila ingin mengeluarkan Perppu. Hal ini dikarenakan apabila Presiden melanggar tafsiran MK mengenai “kegentingan memaksa” maka Presiden secara tidak langsung telah melanggar konstitusi dan mengabaikan eksistensi MK itu sendiri karena konstitusi menyatakan bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Namun perlu dicermati concurring opinion oleh salah satu hakim yang juga Ketua MK yakni Mahfud MD. Ia sesungguhnya setuju bahwa MK tidaklah mempunyai kewenangan untuk menguji Perppu, namun dikarenakan menurutnya konstitusi bukanlah suatu produk hukum yang mati, melainkan sebagai suatu the living constitusion, maka ia mempertimbangkan beberapa hal sebelum menyatakan kesetujuannya bahwa MK dapat menguji Perppu dalam Putusan MK No.138/PUU/2009, yakni 1.
Akhir-akhir ini timbul perdebatan, apakah penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perppu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya dalam arti kapan saja DPR sempat sehingga pembahasannya dapat diulur-ulur. Dalam kenyataannya Perppu yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perppu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perppu
a quo diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perppu a quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perppu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perppu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perppu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perppu; 2.
Timbul juga polemik tentang adanya Perppu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyatanyata disetujui dan tidak nyatanyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perppu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perppu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR ”mestinya” tidak dapat
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
|9
dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perppu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini bahwa ”kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah Perppu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perppu;
10 |
3.
Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perppu oleh DPR ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perppu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perppu yang tidak mendapat persetujuan DPR;
4.
Dapat terjadi suatu saat Perppu dibuat secara sepihak oleh Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti itu ada Perppu yang melumpuhkan lembagalembaga negara tertentu secara
sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada Perppu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memerhatikan kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perpu. Penulis menilai pendapat tersebut didasari oleh karena ketakutan konstitusional apabila keadaan yang semacam itu terjadi. Sehingga MK memutuskan tidak berdasarkan UUD yang sebenar-benarnya namun berdasarkan asumsi mengenai sesuatu hal yang ideal bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan secara rigid oleh UUD. Pemikiran yang demikian, seharusnya berada di dalam kepala seorang politisi yang sedang menyusun perubahan UUD. Dengan keputusan yang demikian ini, maka dampak yang dapat ditimbulkan adalah adanya potensi sengketa kewenangan konstitusional lembaga yang justru akan melibatkan MK sendiri, dan ini secara logika hukum dapat terjadi dan tidak dapat dihindari.( Asshiddiqie, konpres, 2006, hal.4). Argumentasi ini disusun dengan konstruksi bahwa mekanisme munculnya suatu Perppu akan diawali oleh adanya pandangan subjektif Presiden sendiri sebagai kepala negara serta pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam melihat sesuatu yang dikategorikan “hal ikhwal kegentingan memaksa”, Pasal 10 UUD 1945. Pandangan subyektif lahir dikarenakan Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, sehingga yang lebih mengetahui keadaan suatu negara ialah si pemegang kekuasaan untuk “memerintah” negara tersebut dalam hal ini Presiden. Sehingga untuk Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
menanggulangi keadaan genting yang memaksa tersebut Presiden diberi kekuasaan sepihak oleh konstitusi untuk membuat undang-undang tanpa melalui proses yang ditetapkan pada Pasal 20 UUD NRI 1945 agar tindak tanduk Presiden dalam menanggulangi keadaan memaksa tersebut tidak hanya berdasarkan kekuasaan namun berdasarkan hukum.
bahwa ada beberapa alasan substantif yang biasa dipakai dalam membatalkan produk hukum pada pengujian konstitusional, antara lain: (i) the ultra vire rule (excess of power), (ii) abuse of discretional powers, yaitu berupa: (ii.a) irrelevant consederations, (ii.b) improper purposes, (ii.c) error of law, (ii.d) unauthorised delegation, (ii.e) discretion may not fettered, (ii.f) breach of a local authority’s financial duties, (ii.g) unreasonableness (irrationality), (ii.h) proportionality, (iii) failure to perform statutory duty, (iv) the concept of juricdiction, (v) mistake of fact, (vi) acting incompatibly with convention rights (Asshiddiqie, 2006: 150).
Setelah keluarnya Perppu, DPR diberikan amanah oleh konstitusi untuk melakukan legislative/political review terhadap Perppu yang dikeluarkan Presiden tersebut pada persidangan DPR yang berikutnya. Pada tahapan inilah norma subyektif yang diterbitkan dalam rangka menanggulangi keadaan genting yang memaksa Maka yang menjadi pertanyaan, diuji konstitusionalitasannya. Masalah akan Bagaimanakah nasib kewajiban yang dimiliki timbul ketika MK berwenang menguji Perppu DPR untuk menguji Perppu pada persidangan yang belum disidangkan dan direview oleh DPR. berikutnya apabila Perppu tersebut sudah diuji MK? Hal ini yang akan menjadi masalah. Apabila MK menguji Perppu maka muncul Sesungguhnya sifat putusan MK adalah final dan konsekuensi logis yakni akan dapat dibatalkannya mengikat jadi seharusnya apa yang diputus oleh Perppu tersebut, khususnya apabila (i) bertentangan MK maka mengikat kesemua pihak termasuk ke dengan konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), dan/ DPR itu sendiri namun disisi lain putusan MK atau (ii) terbukti mengancam dan/atau merugikan yang final dan mengikat itu dapat pula membawa nilai-nilai hak asasi manusia khususnya yang akibat hukum dalam makna negatif sebagaimana diberikan oleh konstitusi (hak konstitusional), dijelaskan oleh Malik bahwa akibat hukum sehingga apabila sesaat berlakunya Perppu dalam makna negatif putusan MK yang final dan ada paling tidak seorang warga negara yang mengikat, antara lain: (Malik, 2009: 92-95) dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Perppu tersebut, maka warga negara tersebut 1. Membatalkan sebuah keputusan memiliki legal standing untuk mengujinya di politik dan atau sebuah undangMK. Selain itu, ada pula kemungkinan Perppu undang hasil politik. tersebut dinyatakan null and avoid apabila jelas 2. Terguncang rasa keadilan pihak-pihak dan terbukti bertentangan dengan konstitusi dan yang tidak puas terhadap putusanmengancam serta merugikan nilai-nilai hak asasi putusan Mahkamah Konstitusi yang manusia khususnya yang diberikan oleh konstitusi final dan mengikat. (hak konstitusional). 3. Dalam perspektif ke depan dapat Keadaan ini juga didukung oleh A.W Bradley dan K.D. Ewing yang menguraikan
membawa pembusukan hukum dari dalam hukum itu sendiri.
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
| 11
Dengan adanya akibat hukum dalam makna yang negatif tersebut, maka ada kemungkinan pula bahwa DPR bisa tidak merasa terikat oleh putusan MK apabila MK menyatakan telah membatalkan suatu Perppu yang telah diujinya. Hal yang kemungkinan akan timbul yakni (i) DPR tetap akan membahas Perppu tersebut pada sidang berikutnya dan (ii) DPR mempunyai legal standing untuk menggugat MK pada sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara di MK sendiri.
diuraikan sebelumnya bahwa terbentuknya Perppu dikarenakan adanya pandangan subyektif Presiden selaku kepala negara serta pimpinan tertinggi angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara dalam menanggulangi “kegentingan yang memaksa”. Sehingga untuk bertindak cepat, Presiden mengeluarkan Perppu untuk melakukan tindakan yang didasarkan oleh hukum bukan oleh karena kekuasaan belaka. Pada hakikatnya kekuasaan membentuk norma subyektif ini diberikan konstitusi kepada Presiden adalah dikarenakan Presiden dianggap satu-satunya lembaga negara yang mampu cepat mengatasi kegentingan memaksa daripada main state organ lainnya. Jadi apabila disaat dikeluarkannya Perppu oleh Presiden kemudian MK mengujinya dan membatalkannya sebelum diuji oleh DPR, maka ada potensi Presiden tidak mematuhi putusan MK tersebut dikarenakan Presiden dapat masih beranggapan bahwa kegentingan masih berlangsung dan masih membutuhkan Perppu tersebut.
Pada kemungkinan yang pertama akan menjadi masalah apabila pembahasan di DPR menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan apa yang diputuskan MK. Hal ini akan mengakibatkan merosotnya kewibawaan MK. dan yang kedua, masalah tampak jelas bahwa dengan telah diujinya Perppu oleh MK sebelum adanya persetujuan DPR, maka DPR dapat berpandangan bahwa kewenangannya (dan kewajibanya) yang diamanahkan konstitusi di “ambil alih” oleh lembaga lain dalam hal ini MK. Sehingga akan terjadi perseteruan antara DPR dan Adanya unsur noodrecht dalam hukum MK, sedangkan MK sendiri lah yang merupakan menyebabkan hukum itu sendiri jutru lembaga pemutus sengketa kewenangan menghalalkan segala perbuatan yang tidak konstitusional lembaga negara. berdasar atas hukum atau onrecht. Di dalam Apabila keadaan sebagaimana yang hukum pidana unsur keadaan terpaksa atau diuraikan di atas terjadi maka akan menjadi overmacht dan keadaan pembelaan diri secara dilematis. Disatu sisi MK menguji Perppu terpaksa dalam hukum pidana menjadi dasar dikarenakan diberikan amanah oleh konstitusi untuk adanya penghalalan serta pembenaran. untuk mengawal nilai-nilai konstitusi, demokrasi, Keadaan overmacht atau terpaksa, dalam bidang dan hak asasi manusia di lain pihak DPR juga hukum perdata juga dikenal, yakni ketika suatu mempunyai alasan konstitusional (constitutional keadaan terpaksa yang menyebabkan seseorang reason) bahwa DPR berwenang untuk menguji tidak wajib melakukan perbuatan yang wajib Perppu tersebut. dilakukan dalam keadaan yang normal. Kapal laut yang membuang sebagian muatannya di Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK tengah laut karena keharusan mengutamakan dapat pula berpotensi mengakibatkan konflik keselamatan penumpang (zeeworp), dalam hukum kelembagaan dengan Presiden. Sebagaimana dagang juga dapat dibenarkan karena alasan 12 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
keterpaksaan. Ketentuan sejenis juga tercantum Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 pun telah didalam Al-Qur’an surrah Al-Baqarah ayat 173 menentukan bahwa terdapat 7 (tujuh) jenis hak yang menyatakan: asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yaitu (i) hak untuk hidup, (ii) hak untuk tidak disiksa, (iii) hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, (iv) hak beragama, (v) hak untuk tidak diperbudak, (vi) hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, (vii) hak untuk tidak “SesungguhnyaAllah hanya mengharamkan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Meskipun terdapat keadaan “genting” dan mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu, konstitusi sendiri telah memberikan batasan secara tegas bahwa hak asasi tersebut tidak dapat dilanggar sehingga terdapat unsur obyektif yang ditentukan pada pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 dan harus dipatuhi dalam penerbitan Perppu yang sarat dengan unsur subyektif. Sehingga walaupun MK mempunyai putusan yang final dan mengikat dalam melakukan pengujian konstitusionalitasan Perppu maka dengan adanya potensi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara yang ditimbulkan justru akan dapat menjadikan adanya kekacauan konstitusi karena akan selalu ada kemungkinan untuk DPR dan Presiden tidak mematuhi putusan MK dan/atau menggugat MK karena adanya sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara tersebut.
Berlakunya suatu keadaan bahaya atau keadaan darurat dalam hukum tata negara menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan hukum (onrecht) dapat dibenarkan untuk dilakukan karena adanya kebutuhan yang mengharuskan yang sulit tercapai apabila menggunakan norma objektif. Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi menyatakan bahwa meskipun ketentuan-ketentuan yang ada di dalam bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dan Al-Quran menunjuk kepada kepentingan Pengujian Perppu oleh MK justru mampu individu yang diperkenankan menyimpang jika merubah original intent yang terdapat di dalam terdapat keadaan darurat yang membahayakan, konstitusi sendiri yang bisa berakibat apa yang hal tersebut juga berlaku bagi negara. dicantumkan oleh konstitusi menjadi tidak Oleh karena itu, Jazim Hamidi dan Mustafa bermakna (Saldi Isra, 2010: 62). Sesungguhnya Lutfi menyimpulkan bahwa manakala timbul hal tersebut sudahlah diingatkan oleh Muhammad keadaan darurat yang membahayakan, negara Alim yang pada saat itu mengajukan dissenting harus tegas bertindak dan bahkan, apabila perlu opinion (pendapat berbeda) dengan cara kekerasan yang melanggar hak asasi manusia sekalipun (Hamidi dan Lutfi, 2009: 4142)
“Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Kewenangan
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
| 13
yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perppu, menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD”. (Muhammad Alim, Disenting Opinion, Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009, 31) IV. SIMPULAN Pada saat sekarang ini perkembangan ketatanegaraan Indonesia menjadi dinamis pasca kehadiran MK. Jimly Asshiddiqie merumuskan bahwa dengan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya MK mempunyai 6 (enam) fungsi penting, yakni sebagai (i) pengawal konstitusi, (ii) pengendali dan penyeimbang demokrasi mayoritarian, (iii) penengah dalam hubungan antar lembaga atau antar cabang kekuasaan negara (constitutional arbitrase between and among state organs), (iv) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (protector of the citizens’ constitutional rights), (v) pelindung hak asasi manusia (protector of human rights), dan (vi) penafsir akhir atau final atas norma konstitusi (the final interpreter of the constitution).(Asshidiqie, Creating A Constitutional in A New Democracy, tanpa tahun)
Perppu terhadap UUD. Namun, terobosan MK kali ini justru merubah nilai tekstual dari UUD NRI Tahun 1945 yang berpotensi terjadinya kekacauan konstitusional khususnya munculnya potensi sengketa kewenangan yang ditimbulkan akibat adanya pengujian Perppu oleh MK. Potensi sengketa yang kemudian terjadi adalah sengketa kewenangan menguji Perppu dengan DPR dan potensi diabaikannya putusan MK oleh Presiden atas pengujian Perppu yang diterbitkan Presiden. Sesungguhnya gagasan untuk menguji konstitusionalitasan Perppu merupakan gagasan yang baik dikarenakan Indonesia sendiri telah memiliki MK sebagai pengawal konstitusi. Namun, pengaturan bahwa MK dapat menguji Perppu harus secara tegas diatur di dalam UUD itu sendiri sehingga MK tidak melakukan penafsiran yang “menurut UUD”. Penafsiran secara progresif dan bebas merupakan sesuatu yang baik dikarenakan hakim melihat kesegala arah untuk mencapai titik keadilan dan kemaslahatan itu sendiri. Namun, penafsiran yang tidak “menurut UUD” justru dapat berakibat mengacaukan nilai UUD itu sendiri.
Sehingga untuk mengakomodir adanya peran dari kekuasaan judicial dalam mengawas norma-norma yang dikeluarkan legislator dalam keadaan genting (Presiden), MPR perlu meninjau ulang mengenai prosedur dan subjek yang dapat me-review Perppu kedepannya. Hal itu menjadi perlu diagendakan untuk dibahas apabila adanya perubahan UUD kelima nantinya mengingat Salah satu terobosan yang dilakukan MK dalam keadaan normal ataupun darurat, MK akan dalam menjaga supremasi konstitusi adalah mengawal konstitusi demi menjaga hak asasi menyatakan keberwenangan MK dalam menguji manusia dan menyeimbangkan demokrasi.
14 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an: Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1986. Buku: Andrews, William G. 1968. Constitutions and Constitutionalism. New Jersey: Van Nostrand Company. Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konpress. -----------------------. 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konpress. -----------------------. 2006. Perihal UndangUndang. Jakarta: Konpress. -----------------------. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta: Konpress. -----------------------. 2010. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers. Fadjar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Konpress dan Citra Media. Harun, Refly, et al (editor). 2004. Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan, serta Setangkup Harapan, dalam Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi: Menjaga Denyut Konstitusi. Jakarta; Konpress.
Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif). Jakarta: Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas. Kelsen, Hans. 2007. Teori Umum Hukum dan Negara. Judul Asli: General Theory of Law and State. Alih Bahasa Somardi. Jakarta: Bee Media. Lijphart, Arend. 1999. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press. Mahfud. MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontrovesi dan Isu. Jakarta: Rajawali Pers. Manan, Bagir. 1999. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: PSH-FH UII dan Gama Media. Palguna, I Dewa Gede. 2008. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna. Jakarta: Konpress. Schwartz, Herman. 2000. The Struggle for Constitutional Justice In Post-Communist Europe. Chicago: The University of Chicago Press. Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Pemikiran. Bandung: Refika Adhitama.
Stone, Alec. 1992. The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective. New YorkOxford: Oxford University Press. Isra, Saldi, et al. 2010. Perkembangan Pengujian
Huda, Ni’matul. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)
| 15
Thompson, Brian. 1997. Textbook On Constitutional Law And Administrative Law. London: Blackstone Press ltd. Makalah dan Artikel Internet: Jimly Asshiddiqie. Creating A Constitutional Court In A New Democracy, bahan ceramah di Australia. Moh. Mahfud MD. The Role of Constitutional Court in The Development Democracy in Indonesia, bahan presentasi pada World Conference on Constitutional Justice. Cape Town, Afrika Selatan, 23- 24 January, 2009. Reza Fikri Febriansyah. Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu Dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, http:// djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/75eksistensi-dan-prospek-pengaturanperppu-dalam-sistem-norma-hukumnegara-republik-indonesia.html, diakses tanggal 30 Januari 2011.
16 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16
KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg Mella Ismelina Farma Rahayu, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 Email:
[email protected]
THE Ecological Justice in Class Action Lawsuit of Leuwigajah Final Disposal Landfill An Analysis of Decision Number 145/PDT.G/2005.PN.BDG Mella Ismelina Farma Rahayu, Faculty of law of University of Islam Bandung Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan Email:
[email protected] Abstract
ABSTRAK tempat
In a class action lawsuit on the case of Leuwigajah
pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis hakim
Final Disposal Landfill, the panel of judges has passed
memutuskan berlandaskan pada akta perjanjian yang
a decision in favor of the residents based on a deed
dibuat oleh para penggugat dan tergugat. Berdasarkan
of agreement made by the plaintiffs and defendants.
aspek sosial, putusan tersebut dirasakan adil karena
According to the contract, the plantiffs as the class
memenuhi tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan
members are entitled to get compensation. In the
oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi kasus
social point of view, the court ruling is considered fair
longsor TPA ini
menyisakan persoalan tersendiri
enough. But in term of ecology, the decision leaves
karena terjadi ketidakadilan ekologis. Majelis hakim
its own problems, i.e. the ecological injustice, since
sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ekologis
the judges never weighed up the ecological values of
yang dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai hal
nature and environment as their main concerns. In
yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini dan
the perspective of ecology, every single creature in
tidak memerintahkan para tergugat untuk menangani
the universe has the right to exist. In many cases like
TPA tersebut sesuai dengan nilai-nilai ekologis. Pada
the Leuwigajah incident, both human beings and their
hakekatnya, semua makhluk hidup yang ada di alam
environmental should be correspondingly taken into
semesta memiliki nilai sehingga harus diperlakukan
account. The decision is supposed to emphasize the
sama walaupun dengan pembobotan perlakuan yang
involvement, responsibility, and obligation of human
berbeda-beda. Alam semesta dan kehidupannya masuk
beings as the moral actors in such cases.
Dalam
perkara
gugatan
class
action
dalam pertimbangan dan kepedulian moral manusia sehingga keberadaannya tidak selalu dikorbankan
Keywords: class action lawsuit, ecological justice
hanya untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu perlu adanya kepedulian, tanggung jawab dan kewajiban moral dari manusia sebagai pelaku moral. Kata kunci: class action, keadilan ekologis
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 17
I.
PENDAHULUAN
menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. Perkiraan kerugian untuk materiil mencapai Tulisan ini akan menguraikan dan Rp18,6 miliar dan Rp. 40 triliun kerugian menganalisis aspek keadilan terkait keadilan immateriil. ekologis dalam putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/ PN.Bdg terkait perkara di Pengadilan Negeri Sebelum terjadinya peristiwa longsor TPA Bandung tentang class action Tempat Pembuangan Leuwigajah tanggal 21 Februari 2005, TPA Akhir (TPA) Leuwigajah (http://news.detik.com/ Leuwigajah pernah mengalami longsor pada read/2006/02/23/180323/546137/10/korban- tahun 1992 dengan kondisi tujuh rumah tertimbun longsor-tpa-leuwigajah-hanya-diganti-rugi- sampah namun pada saat itu penanganannya tidak jutaan-rupiah?nd9922036, 18 Februari 2012, maksimal dan dibiarkan bertahun-tahun. Ketika 12.00 wib). terjadi longsor pada tahun 1992 tidak ada upaya Gugatan tersebut diajukan pada tanggal 28 April 2005. Pihak penggugat adalah warga korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan tergugat adalah Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. Tiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/ RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan, TPA Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, Kec. Batujajar, dan TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan massal. Besaran nilai gugatan untuk kerugian materiil mencapai Rp18,6 miliar dan Rp40 triliun untuk kerugian immateriil. Karenanya, jumlah ganti rugi yang diminta sebesar Rp41 triliun. Jumlah itu harus dibayar secara tunai, sekaligus, dan seketika saat putusan dibacakan. Seandainya terlambat, pihak tergugat harus membayar uang paksa (dwangsom) sekira Rp1. 000.000,- per hari.
membangun benteng pengaman longsor dan pada saat itu diprediksikan pembuangan sampah dengan sistem open dumping di TPA Leuwigajah sudah cukup mengkhawatirkan namun PD Kebersihan tidak serius dalam menangani permasalahan ini sehingga terjadilah kembali longsor pada tanggal 21 Februari 2005 tersebut sekitar pukul 02.30 WIB. Sebelum terjadi longsor, ketinggian sampah hampir 100 meter, sedangkan jarak antara TPA dengan pemukiman penduduk hanya 1,5 kilometer sehingga pada saat sampah bergeser karena hujan, langsung menimbun rumah-rumah di Kampung Cilimus dan Pojok. Longsoran sampah tingginya lebih dari 50-60 meter lebar sekitar 600 meter.
Kondisi ketiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan kondisi lapangan tampak tidak ada tembok pembatas sampah, buffer zone serta Sampah TPA Leuwigajah longsor pada dini pengelolaan sampah dan air di lokasi itu, TPA hari tanggal 21 Februari 2005 dengan memakan Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, korban jiwa mencapai kurang lebih 147 orang. Kec. Batujajar dari lokasi ini banyak barang Luas sawah dan pemukiman yang tertimbun bukti yang tidak bisa dibawa ke persidangan, dan diduga lebih dari 18 ha dan ratusan warga TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan Kec. Batujajar kehilangan harta benda serta massal telah tertimbun sampah. Secara umum mata pencahariannya. Longsor tersebut telah kondisi di lapangan adalah tidak adanya dinding
18 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
pembatas TPA, buffer zone (lapis penahan kedua) sehingga memungkinkan sampah akan mudah bergeser dan menimpa rumah penduduk, tidak ada sistem drainase dan sanitasi air serta pengelolaan sampah yang memadai. Pengelolaan sampah yang dilakukan adalah kumpul, angkut dan buang. Sampah yang datang hanya didorong, yang kemudian ditumpuk lagi dengan sampah yang baru datang. Pengelolaan sampah melalui sistem sanitary landfield (sistem penumpukan sampah yang diselingi tanah) hanya dilakukan dalam jangka waktu pendek yaitu satu tahun saja selanjutnya sistem pembuangan sampah itu hanya dengan open dumping (timbunan sampah tanpa diselingi tanah). Hal tersebut yang memudahkan sampah bergeser, dan ini bukti yang mengakibatkan terjadinya longsor yang sangat besar. Putusan dari kasus ini adalah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung menghukum para tergugat untuk tunduk dan mentaati persetujuan yang telah disepakati. Putusan tersebut disampaikan dalam sidang perkara class action, yang diajukan para korban longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi. Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut mengambil putusan dengan mempertimbangkan akta perdamaian yang disepakati para pihak yang berperkara dan ditandatangani 8 Februari 2006. Para tergugat terdiri dari Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, masing-masing sebagai tergugat I, II, III, IV, dan V bersepakat dengan penggugat Tdy, S.H. dkk. yang bertindak untuk dan atas nama MM dkk. sebagai penggugat untuk membuat akta perdamaian dalam rangka penyelesaian perkara perdata No. 145/Pdt.G/ 2005/PN.Bdg. dengan jalan damai. Kedua pihak
yang berperkara sepakat untuk mengakhiri perkara perdata yang sedang diproses oleh PN Kelas IA Bandung dengan beberapa ketentuan dan syarat, di antaranya tergugat mengupayakan pemberian santunan berupa uang yang besarnya disepakati pihak pertama dan pihak kedua setelah tersedianya anggaran yang mendapat persetujuan DPRD Prov. Jabar, DPRD Kota Bandung, DPRD Kab. Bandung, dan DPRD Kota Cimahi kepada ahli waris korban, korban, dan pemilik tanah bangunan yang terkena bencana longsor TPA Leuwigajah. Dalam persidangan tersebut majelis hakim memutuskan kepada 4 pemimpin pemerintah daerah dan PD Kebersihan Kota Bandung untuk mengganti rugi sebesar Rp. 30.000.000,- tiap korban jiwa, Rp. 50.000,- tiap meter untuk tanah dan ladang, Rp. 1.100.000,- untuk bangunan dan Rp. 20.000.000,- untuk mengganti harta benda yang terkubur (akan ditanggung oleh Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi, Pemkab Bandung, dan Pemprov Jawa Barat sendiri). Perhitungan jumlah sebesar itu berdasarkan jumlah sampah yang dibuang ke TPA Leuwigajah. Pemprov Jabar akan membayar Rp16 miliar, Pemkot Bandung (Rp29 miliar), Kota Cimahi (Rp3 miliar), dan Pemkab Bandung (Rp. 6.000.000.000 ,-.) ganti rugi Rp 1.100.000,-/meter. Sedangkan untuk rumah semipermanen akan diganti Rp. 700.000,-/ meter dan rumah panggung Rp. 400.000,-/ meter. Sedangkan untuk lahan tanah atau sawah, pihaknya akan memberikan ganti rugi dengan harga berdasarkan kepada nilai jual objek pajak (NJOP) di daerah itu. Majelis hakim menilai 4 pemimpin pemerintah daerah, yakni Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung terbukti telah melawan hukum dengan
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 19
mengabaikan pengelolaan TPA Leuwigajah dalam bidang keamanan bagi masyarakat sekitar serta terbukti bahwa TPA Leuwigajah tersebut tidak disertai dengan adanya tanggul pengamanan.
hukum serta environmental leadership yang perlu ada dalam jiwa seorang hakim dan pejabat publik dalam konteks perwujudan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang ujungnya menimbulkan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungan itu sendiri. Hal tersebut menjadi menarik untuk dikaji mengingat orientasi putusan yang diambil oleh hakim lebih cenderung hanya memperhatikan aspek sosial saja sedangkan aspek ekologis yang juga mempunyai peran yang penting bagi kehidupan manusia luput dari kajian dalam putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan diidentifikasikan sebagai berikut:
Persetujuan tertuang dalam akta perdamaian yang dibuat berdasarkan proses mediasi yang dijalani sejak September 2005 dan akta perdamaian disepakati pada tanggal 8 Februari 2006. Akta perdamaian yang dihasilkan dari mediasi itu merupakan upaya untuk mengakhiri perkara perdata yang sedang diproses oleh PN Bandung. Sementara para tergugat, masing-masing Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan 1. Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, juga menyetujui untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 730.000,-. Hakim menjelaskan, putusan atas class action yang diajukan oleh korban longsor sampah setahun silam, berisi tentang pemberian uang santunan terhadap warga yang terkena longsor, baik ahli waris korban maupun pemilik tanah dan bangunan yang tertimpa longsor. Dalam perdamaian itu kedua pihak menyetujui agar gugatan class action yang dilakukan warga terhadap empat pemerintah daerah dicabut. Penandatanganan akta perdamaian dari masyarakat TPA Leuwigajah diwakili tim pengacara Tdy, sedangkan dari pemerintah ditandatangani Wakil Gubernur NAH, Wakil Bupati Bandung YS, Sekda Kota Bandung MS, Walikota Cimahi IT, dan Dirut PD Kebersihan Kota Bandung AG. II.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada aspek keadilan ekologis, komunikasi hukum dan budaya hukum yang terjalin dalam interaksi hakim dengan 20 |
Sejauhmanakah aspek keadilan ekologis menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menangani perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah?
2.
Bagaimanakah komunikasi hukum pada proses penanganan gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah yang dibangun oleh majelis hakim dalam konteks kontruksi budaya hukum?
3.
Bagaimanakah persoalan environmental leadership dalam kajian putusan perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Menimbang Keadilan Ekologis Akhir-akhir ini berkembang dan mulai banyak muncul gerakan atau kelompok yang memandang dan memperlakukan alam semesta ini secara keseluruhan dan bukan parsial. Selama tiga puluh tahun terakhir, krisis lingkungan mendorong berlangsungnya proses “penghijauan
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
pemikiran religius ketika para pemikir religius dari berbagai tradisi mulai memberikan tanggapan secara bermakna pada semakin besarnya kesadaran tentang makhluk yang begitu rapuh, mudah rusak, dan saling bergantung (Chapman. Et.al., 2007: 153). Meskipun banyak tradisi religius memiliki cukup banyak sumber, namun belum banyak yang telah mengembangkan sepenuhnya etika lingkungan yang sistematis yang relevan dengan masalah-masalah kontemporer. Lynn White, seorang sejarawan yang mengkhususkan diri pada abad pertengahan, mengatakan bahwa sain dan teknologi modern sebagai sumber masalah lingkungan kontemporer yang saling terkait satu sama lain (White Jr, 1967: 1203-1207). Banyak hal yang muncul dan krisis yang luar biasa besar dari hal yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, menjelang tahun 1970-an sebuah gerakan eko-keadilan yang berupaya mengintegrasikan ekologi, keadilan (masyarakat) dan hal yang religius mulai mengungkapkan pemikiran mereka dalam berbagai telaah teologis, etis, historis, biblikal dan kebijakan umum yang berlangsung di belahan Amerika (Bakken. Et.al., 1995: 6-8). Salah satu konsep yang relevan dengan kajian putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg ini adalah “ecoliteracy”. Konsep ”ecoliteracy” ini sebenarnya perlu ada dalam pandangan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kasus lingkungan. “Ecoliteracy”, merupakan perpaduan dari dua kata, yakni “ecological dan “literacy.” Pengertian “ecological” diartikan sebagai “terkait dengan prinsip-prinsip ekologi” sedangkan pengertian “literacy” memiliki arti “melek huruf” dalam pengertian sebagai situasi seseorang yang telah faham atau memiliki pengertian atas suatu hal. Dengan demikian, “ecoliteracy” bisa diartikan sebagai situasi
melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi. “Ecoliteracy” merupakan tahap dasar atau tahap pertama dalam pembangunan komunitaskomunitas berkelanjutan. Selanjutnya tahap kedua adalah “ecodesign” (perancangan bercorak ekologis) dan tahap ketiga atau tahap terakhir adalah terbentuknya komunitas-komunitas berkelanjutan. Konsep “ecoliteracy” dapat dikatakan sebuah strategi untuk menggerakkan masyarakat luas agar bisa memeluk secepatnya pola pandangan baru atas realitas kehidupan bersama mereka di planet bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa kehidupan bersama di planet bumi harus dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis serta sistemik. Jadi apa yang perlu dipahami dari “ecoliteracy” adalah wisdom of nature (kebijaksanaan alam) yang digambarkan oleh Fritjof Capra (2004) sebagai kemampuan sistem-sistem ekologis planet bumi mengorganisir dirinya sendiri melalui cara-cara halus dan kompleks. Cara sistem-sistem ekologis ini mengorganisir diri sendiri telah teruji sangat handal untuk melestarikan kehidupan di planet bumi (Purwadianto, 2004: 42-45). Kemampuan “ecoliteracy” yang perlu dimiliki oleh para hakim yang menangani kasus lingkungan tentu perlu pula didukung dengan pemahaman hakim tentang etika lingkungan. Hal ini menjadi penting bagi seorang hakim agar dalam memutus perkara lingkungan dapat memutus dengan pandangan yang holistik dan komprehensif. Berdasarkan pandangan etika biosentrisme, manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 21
manusia utuh tidak hanya dalam komunitas sosial saja tetapi juga dalam komunitas ekologis yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta (Keraf, 2010: 5). Dengan kata lain, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas dalam perannya juga sebagai makhluk ekologi. Kehidupan manusia tidak saja ditentukan oleh komunitas sosialnya tetapi juga komunitas ekologis yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta (Keraf, 2010: 5). Manusia dengan unsur-unsur lingkungan lainnya yaitu biotik dan abiotik satu sama lain saling ketergantungan dan saling berinteraksi membentuk suatu keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan. Dalam berinteraksi tersebut tentu manusia tidak ditempatkan lebih unggul dibandingkan unsur-unsur lingkungan lainnya dalam pencapaian segala apa yang dibutuhkannya. Dengan demikian, posisi manusia adalah sejajar dengan alam, manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dengan alam. Manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam semesta bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Sejalan dengan hal tersebut, Aldo Leopold, salah seorang holisme lingkungan menganggap bahwa kita harus meninggalkan etika antroposentrik dan berpandangan bahwa semua makhluk baik manusia maupun dunia fauna dan flora berhak memperoleh martabat yang sama sebagai sesama warga komunitas biotik (Wilardjo, Kompas, 13 Januari 2002).
adalah apakah hanya manusia saja yang dianggap bermoral sedangkan makhluk lainnya tidak pantas diperlakukan secara bermoral? Terdapat beberapa argumen mengenai hal tersebut antara lain argumen dari Aristoteles, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa hanya manusia yang mempunyai kemampuan moral berupa akal budi dan kehendak bebas untuk melakukan pilihan moral secara bebas dan rasional, karena makhluk hidup atau spesies lain tidak mempunyai kemampuan ini, maka etika tidak berlaku bagi mereka (Keraf, 2010: 5). Argumentasi yang sama disampaikan oleh John Passmore. Passmore mendasarkan argumennya pada reciprocity assumption. Suatu asumsi yang beranggapan bahwa kewajiban moral hanya berlaku kalau ada kewajiban timbal balik diantara para pihak yang terlibat dalam sebuah relasi moral (Keraf, 2010: 81).
Argumen tersebut benar jika melihat hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek moral karena hanya manusia yang mempunyai kemampuan moral dan manusia lah pelaku moral. Namun argumen tersebut tidak menjawab mengapa makhluk hidup lainnya yang bukan merupakan subyek moral tidak perlu diperlakukan secara moral oleh manusia sebagai pelaku moral dan hal itu sering kita lakukan ketika kita berinteraksi dengan alam dan lingkungan hidup kadangkala kita menganggap alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri sehingga alam tidak pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian Adalah menjadi tidak bermoral jika manusia moral. memandang rendah unsur lingkungan hidup yang Etika biosentrisme berupaya melakukan lainnya karena pada hakekatnya manusialah yang sebuah revolusi dan loncatan moral yang menuntut banyak menggantungkan pemenuhan hidup dan agar komunitas biotis dan ekologis diperlakukan kehidupannya pada alam dan lingkungannya. juga sebagai komunitas moral. Dasar moral dari Berbicara tentang moral yang menjadi pertanyaan 22 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
perluasan perlakuan moral itu adalah keluhuran kehidupan (baik pada spesies manusia dan spesies lainnya) pada dirinya sendiri (Keraf, 2010: 81).
dan menghargai atas keberadaan unsur-unsur lingkungan hidup dan timbul sikap ingin menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan pandangan biosentrisme, tidak hanya manusia saja yang mempunyai nilai tetapi alam pun mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia sehingga alam pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral. Yang menjadi titik berat dari etika biosentrisme adalah kehidupan sehingga setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga perlu dilindungi dan diselamatkan. Konsekuensi dari pandangan ini adalah alam semesta adalah sebuah komunitas moral, di mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun alam samasama mempunyai nilai moral. Dengan demikian, terdapat perluasan lingkup keberlakuan etika dan moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di alam semesta tidak hanya berlaku bagi komunitas manusia saja (Keraf, 2010: 66).
Ada hal yang perlu diperhatikan pula ketika kita membahas teori biosentrisme yaitu pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subjek moral (moral subjects). Kedua hal tersebut dapat menjawab pertanyaan mengapa manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mahkluk lain dan alam semesta. Menurut Paul Taylor, pelaku moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan berupa akal budi, kebebasan dan kemauan yang dapat digunakannya untuk bertindak secara moral sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dan dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya (accountable beings). Melalui kemampuan tersebut, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral sebelum bertindak agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku moral juga dapat memahami mana yang baik dan buruk secara moral (Keraf , 2010: Melalui pandangan tersebut, etika tidak 70). lagi dibatasi hanya bagi manusia tetapi berlaku bagi semua makhluk hidup dan tuntutan moral Berlainan dengan pelaku moral, subjek tidak hanya berlaku pada komunitas sosial saja moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan tetapi berlaku pula terhadap komunitas ekologis. secara baik atau buruk dan pelaku moral Demikian pula dengan persoalan tanggung mempunyai kewajiban dan tanggung jawab jawab moral manusia tidak dibatasi terhadap moral terhadapnya. Keadaan subjek moral untuk sesama manusia saja tetapi juga terhadap semua lebih baik atau buruk sangat ditentukan oleh kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan sikap dan perilaku pelaku moral. Yang termasuk di bumi memiliki status moral yang sama. Hal subjek moral menurut teori biosentrisme adalah tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh semua organisme hidup dan kelompok organisme Singer dan Rachels, semua spesies mempunyai tertentu, sedangkan benda-benda abiotik bukan kedudukan dan status moral yang sama. Oleh termasuk pada subjek moral tetapi keberadaannya karena itu, diantara semua spesies harus berlaku juga penting dalam interaksi dengan manusia dan prinsip moral perlakuan yang sama (equal subjek moral dalam mewujudkan keseimbangan treatment) (Keraf, 2010: 86). Melalui pandangan kehidupan sehingga perlu pula diperlakukan seperti itu, diharapkan manusia dalam berinteraksi secara baik dan etis oleh pelaku moral (Keraf, dengan lingkungan hidupnya, timbul rasa hormat 2010: 71). Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 23
Bias Penyelesaian dan Pengelolaan Sampah
Penyelenggaraan
Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, administrasi negara diserahi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (”bestuurszorg”) yang dilakukan pemerintah yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan. Adanya ”bestuurszorg” tersebut menjadikan tanda adanya suatu ”welfare State”. Dalam kasus perkara gugatan class action tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah ditemukan beberapa hal yang terkait tindakan administrasi negara yang bertugas melakukan pelayanan publik dalam konteks pelayanan kepada masyarakat, yang tidak dilakukan oleh para tergugat sebagai pejabat publik yang menjadi pertimbangan hakim.
timbang, penataan sampah yang memadai, dan alat pengolah sampah, dan tidak pernah dibangunnya fasilitas keamanan bagi kampung yang terletak di bawah TPA Leuwigajah. Berdasarkan hal di atas, nampak bahwa orientasi dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh para tergugat masih berorientasi pada paradigma antroposentrisme. Cara pandang antroposentrisme tersebut membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia saja dan hanya manusia saja yang mempunyai nilai dan kepentingan yang harus dihargai (Keraf, 2010: 85-86). Hal tersebut terungkap di mana tergugat tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung TPA Leuwigajah dan persyaratan Amdal yang tidak dipenuhi. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya longsor.
Pandangan antroposentrisme juga nampak ketika hakim hanya memfokuskan pada pemberian ganti rugi kepada para korban tanpa upaya penanganan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi serta upaya perubahan dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi. Penekanan yang dilakukan lebih pada gejala dari sebuah isu lingkungan hidup bukan pada akar permasalahannya karena yang pertama dilihat Ada beberapa hal yang luput dari adalah dampak langsung dari kasus longsor yaitu pengawasan dan pengamatan yang sebenarnya kerugian yang dialami oleh para korban longsor harus dilakukan oleh tergugat sebagai pejabat TPA Leuwigajah sedangkan pencemaran dan publik yaitu terkait kajian daya dukung dan kehancuran sumber daya alam kurang menjadi daya tampung TPA Leuwigajah, persyaratan perhatian yang serius. Amdal yang tidak dipenuhi, tidak dilakukannya Jadi dalam kasus ini, majelis hakim belum evaluasi kerja atau pemeriksaan secara berkala melihat permasalahan lingkungan hidup dalam mengingat sebelumnya juga telah terjadi longsor suatu perspektif relasional yang lebih luas dan di TPA Leuwigajah, tidak terdapat batas wilayah holistik serta tidak memusatkan perhatian pada pembuangan sampah Kota Bandung, Cimahi, dampak lingkungan hidup yang terjadi secara dan Kabupaten Bandung. Kemudian tidak ada keseluruhan ekosistem dan mengatasi dampak tanggul penahan (retaining wall), penampung tersebut secara teknis dan parsial. air lindi, zona pengaman (buffer zone), jembatan
Kejadian longsoran sampah ini merupakan kelalaian dari para tergugat yang berawal dari ketidakpedulian dan ketidakpatutan mereka melaksanakan tanggung jawab. Tugas perencanaan, koordinasi dan pengawasan hingga proses pengelolaan pembuangan sampah ke TPA Leuwigajah yang merupakan tanggung jawab tergugat tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
24 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
Penanganan kasus longsor TPA Leuwigajah membutuhkan sudut pandang yang lebih komprehensif dan holistik dengan memperhatikan relasional yang lebih luas dengan memandang kasus ini secara keseluruhan ekosistem. Penanganan kasus ini tidak cukup dengan hanya memberikan ganti rugi pada para korban longsor, mencari teknologi untuk mencegah dan mengatasi meluasnya pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi, dan membuat undangundang terkait pengelolaan sampah saja tetapi diperlukan upaya penanganan yang seimbang antara aspek sosial, ekonomi dan ekologi sehingga terjadi keseimbangan antara keadilan sosial dan keadilan ekologis. Keadilan ekologis akan tercapai apabila manusia memandang alam semesta beserta isinya dalam perspektif yang lebih luas. Di mana alam semesta beserta isinya tidak direduksi dan dilihat semata-mata dari segi nilai dan fungsi ekonomisnya saja tetapi dilihat pula nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual dan religius, medis dan biologis. Dalam pandangan ini alam semesta beserta isinya mempunyai nilai yang lebih luas tidak hanya sekedar nilai ekonomis.
terhadap sikap atau perilaku manusia, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya dapat dilihat dari isi hukum dan tujuan hukum. Kaum positivistik umumnya melihat bahwa ketaatan seseorang terhadap hukum diukur seberapa jauh orang itu bersikap sesuai dengan harapan pembentuk hukum yang tercermin dalam isi hukum dan tujuan hukum. Tujuan hukum dianggap tercapai apabila hukum berhasil mengatur tingkah laku manusia sesuai dengan tujuan hukum tertentu, Mengenai hal tersebut, Friedman menyatakan bahwa (Soekanto, 1989: 5-6 & 10): “Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bends toward the legal act that evokade it. Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior in the middle, one important type might be called evasion. Evasive behavior frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability.”
Atas dasar pendapat Friedman tersebut, maka dalam kaitan pengaruh hukum dengan sikap tindak Komunikasi Hukum dan Budaya Hukum manusia dapat diklasifikasikan ke dalam ketaatan Dalam bagian ini pembahasan lebih (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan difokuskan pada interaksi manusia dengan (deviance) dan pengelakan (evasion). Klasifikasi hukum dalam konteks komunikasi hukum dan tersebut berkaitan dengan hukum yang berisikan budaya hukum yang dibangunnya. Hal tersebut larangan atau suruhan. Namun untuk hukum menjadi penting untuk dibahas dikarenakan para yang yang berisi kebolehan, klasifikasinya adalah hakim dalam memutus sebuah perkara tidak akan penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse) terlepas dengan persoalan komunikasi hukum dan penyalahgunaan (misuse). dan apa yang dibangun dalam komunikasi hukum Berkaitan dengan tujuan dari kaidah hukum, tersebut akan bermuara pada kontruksi budaya Gusfield membedakannya antara tujuan kaidah hukum tertentu. hukum yang bersifat simbolis dengan yang bersifat Untuk menjelaskan pengaruh hukum instrumental dalam sebuah artikel yang berjudul
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 25
“Moral Passage: The Symbolic Process in Public Designations of Deviance”. Suatu kaidah hukum bersifat instrumental apabila tujuannya terarah pada suatu perilaku konkret, sehingga efek hukum akan kecil sekali apabila tidak diterapkan dalam kenyataannya, sedangkan kaidah hukum simbolis tidak tergantung pada penerapannya tetapi lebih diarahkan pada sikap seseorang. Tujuan dari kaidah hukum simbolis ini dapat ditemukan di dalam penjelasan suatu peraturan (Soekanto, 1989: 5-6 & 10). Di sisi lain, pandangan yang lebih kontemporer melihat bahwa ketaatan masyarakat berkaitan dengan seberapa jauh masyarakat mampu mengaktualisasikan kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Artinya, isi hukum tidak dilihat semata-mata sebagai harapan pembentuk undang-undang tetapi juga mengakomodasi harapan dan cita masyarakat. Agar perilaku manusia dapat selaras dengan tujuan hukum, dibutuhkan kondisi-kondisi pendukung diantaranya proses komunikasi atau interaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, Friedman menegaskan bahwa “A legal act (rule, doctrine, practice) whatever functions it serves, is a message” (Soekanto, 1989: 17). Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan lambanglambang yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan dari komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama dengan maksud agar terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku. Namun, komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap. Oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan mental (predisposition) sehingga seseorang mempunyai kecenderungankecenderungan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata. Dengan demikian, sikap mempunyai komponen kognitif, afektif maupun 26 |
konatif. Komponen kognitif menyangkut persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang antara lain mencakup pengetahuan. Komponen afektif berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang. Komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak atau berbuat terhadap sesuatu. Ketiga komponen tersebut berkaitan erat dengan komunikasi hukum (Soekanto, 1989: 18). Kadangkala komunikasi hukum yang dilakukan tidak dapat berjalan dengan lancar disebabkan karena apa yang diatur dalam hukum tidak erat hubungannya dengan masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh masyarakat, akibatnya mungkin hukum tidak mempunyai pengaruh sama sekali atau mempunyai pengaruh yang negatif terhadap sikap masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, maka masyarakat dapat bersikap acuh tak acuh atau bahkan melawan hukum. Hal tersebut disebabkan oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan tidak dipahami, sehingga kemungkinan besar mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan atau bahkan konflik. Oleh karena itu, dalam proses komunikasi hukum senantiasa harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut (Soekanto, 1989: 19) : 1.
Komunikasi langsung, peningkatan kepercayaan kepada komunikator, daya tarik maupun kewibawaan.
2.
Besar-kecilnya jumlah penerima pesan, semakin kecil jumlah penerima pesan, semakin efektif komunikasi hukumnya.
3.
Isi pesan adalah sekhusus mungkin. Sebaiknya digunakan jalan pikiran yang bersifat induktif.
4.
Memperhatikan relevansi pesan dari sudut penerima pesan.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
5.
Kesadaran bahasan dan pemahamannya. Gunakan bahasa yang dipergunakan oleh sasaran komunikasi.
Komunikasi hukum yang berkaitan dengan suatu keputusan hukum, maka dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat sasaran melalui tatap muka sehingga dapat langsung diketahui apakah pesannya diterima dan dimengerti oleh si penerima pesan atau tidak. Komunikasi langsung harus dapat dilakukan dalam masyarakat-masyarakat kecil yang mendasarkan pola interaksinya pada komunikasi tatap muka.
Di samping persoalan hukum harus dikomunikasikan, perlu pula diperhatikan mengenai subyek hukum, apakah ia dapat melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang diatur oleh hukum. Oleh karena itu, perlu diperhatikan faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi manusia untuk berperilaku Berlainan jika sasaran komunikasi tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, faktorhukum adalah masyarakat luas, maka pembuat faktor pendorong seseorang patuh terhadap hukum harus dapat memproyeksikan saranahukum karena (Soekanto, 1989: 19) : sarana yang diperlukan, agar kaidah hukum 1. Perhitungan untung rugi, artinya yang dirumuskannya mencapai sasaran dan kalau dia patuh pada hukum maka benar-benar dipatuhi, sedangkan kaitan dengan keuntungannya lebih banyak masalah dan relevansi suatu kaidah hukum, maka daripada kalau dia melanggar hukum semakin khusus ruang lingkup suatu kaidah, (konsekuensinya maka penegakan semakin efektif kaidah hukum tersebut dari hukum senantiasa harus diawasi sudut komunikasi hukum. Demikian pula dalam penggunaan bahasa harus digunakan bahasa yang secara ketat. 2. Hukumnya sesuai dengan hati dapat dipahami oleh masyarakat. Penentuan nuraninya (seseorang memilih masyarakat yang menjadi sasaran perundanghukum adat untuk menyelesaikan undangan pun perlu diperhatikan. sengketanya karena menganggap lebih sesuai dengan hati nurani). 3.
Untuk menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa.
4.
Adanya tekanan-tekanan tertentu.
5.
Dianggapnya hal yang paling praktis untuk patuh pada hukum.
Apabila hukum telah dikomunikasikan kepada masyarakat, maka kepatuhan terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di masyarakat di mana hukum itu akan diimplementasikan.
Istilah budaya hukum muncul seiring dengan perkembangan lebih lanjut dari studi Dalam komunikasi hukum, peranan hukum dan masyarakat serta kebudayaan. ahli hukum sangat diharapkan untuk dapat Pembahasan budaya hukum dapat bertitik tolak menjelaskan hukum kepada masyarakat dengan dari pendapat Philip Selznick yang menyatakan berpegang pada dasar-dasar komunikasi maupun bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan psikologi agar masyarakat dapat memahami serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu dan latar belakang susunan masyarakat tertentu, mematuhi hukum. sedangkan Montesquieu dalam bukunya Spirit
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 27
of Law berpendapat bahwa hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Hukum merupakan hasil dari beberapa faktor dalam masyarakat seperti adat istiadat, lingkungan fisik dan perkembangan masa lampau, sehingga hukum hanya dapat dimengerti di dalam kerangka kehidupan masyarakat di mana hukum itu berkembang (Sismarwoto, 2004: 419). Bermula dari telaahan mengenai hal tersebut kemudian dikajilah mengenai konsep tentang budaya hukum. Hubungan antara kebudayaan dan hukum digambarkan oleh Koentjaraningrat sebagai suatu sistem nilai budaya yang terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang mereka harus anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus, semua berpedoman kepada sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1987: 25).
sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (Budimanta. Et.al., 2005: xxv). Terkait hal tersebut, Friedman menyatakan bahwa budaya hukum itu mengacu kepada bagian-bagian dari budaya pada umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berperilaku dan berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Kemudian Podgorecki menggunakan istilah subbudaya hukum untuk menunjukkan relevansi antara hukum dengan kebudayaan. Menurut pandangan Podgorecki, gagasan subbudaya hukum dimulai dari pembahasan tentang kebudayaan yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat.
Kebudayaan dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai sosial umum seperti gagasan-gagasan, pengetahuan, seni, lembagalembaga, pola-pola sikap, pola-pola perilaku dan hasil-hasil material (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 145). Podgorecki membedakan tiga jenis subbudaya hukum menurut fungsinya bagi sistem hukum, yaitu subbudaya hukum positif, Thurnwald seperti yang dikutip oleh subbudaya hukum negatif, dan subbudaya hukum Soekanto mengemukakan bahwa hukum harus netral. Subbudaya hukum menjadi sangat penting dianggap sebagai ekspresi suatu sikap kebudayaan, karena menjadi penyebab atau penentu tipe-tipe artinya tertib hukum harus dipelajari dan dipahami sikap dan perilaku hukum masyarakat (Riswandi secara fungsional dari sistem kebudayaan. dan Syamsudin, 2004: 145-146 & 153). Kebudayaan menurut Spradley, seperti dikutip Jika kita melihat sistem hukum, maka Bambang Rudito, adalah pengetahuan yang budaya hukum merupakan salah satu faktor yang diperoleh, yang digunakan oleh manusia untuk menentukan dalam sistem hukum suatu negara menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan selain struktur dan substansi hukum. Konsep tingkah laku (Budimanta et.al., 2005: xxiv) budaya hukum sebagai salah satu komponen dari atau dengan kata lain, kebudayaan merupakan sistem hukum, mulai diperkenalkan pada tahun serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, enam puluhan oleh Friedman dalam artikel yang resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi berjudul “Legal Culture and Social Development” yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 154). yang dipunyai manusia dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya Menurut Friedman, hukum itu tidak 28 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan substansinya saja melainkan juga dari segi budaya hukum. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu tidak akan berdaya karena budaya hukum menentukan bekerjanya sistem hukum. Komponen budaya adalah komponen yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum di tengah-tengah budaya bangsa secara keseluruhan. Jadi, budaya hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum (lihat lebih lanjut, Soekanto dan Abdullah, 1980: 9-24). Budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan (Friedman, 2001: 8). Istilah budaya hukum pertama kali dikemukakan oleh Friedman untuk menyebut kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat, yang berupa elemen-elemen nilai dan sikap masyarakat yang berhubungan dengan institusi hukum. Friedman membedakan budaya hukum secara internal dan eksternal. Budaya hukum internal adalah budaya hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus sedangkan budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 147-148).
digunakan untuk menunjukkan suatu kekuatan sosial yang ikut menentukan terhadap bekerjanya suatu sistem hukum. Faktor sosial tersebut berproses bersamaan dengan bekerjanya sistem hukum dalam sebuah konteks kebudayaan. Faktor sosial tersebut dapat mendukung atau menghambat bekerjanya sistem hukum, hal itu bergantung pada unsur adat istiadat, nilai, sikap masyarakat berkaitan dengan hukum (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 149). Friedman mencoba untuk menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Dia menganalisis budaya hukum nasional yang dibedakannya dari subbudaya hukum yang mungkin berpengaruh secara positif atau negatif terhadap hukum nasional. Selanjutnya Friedman membedakan budaya hukum internal dari yang eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya (Lumbuun, 2002: 30).
Lebih lanjut, Friedman berpendapat bahwa budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu pertama, unsur adat istiadat organis yang berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh dan kedua, unsur nilai dan sikap sosial (Lumbuun, 2002: 148). Daniel S. Lev memerinci budaya hukum ke dalam nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Nilai-nilai hukum prosedural Friedman merumuskan budaya hukum mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang masyarakat dan manajemen konflik sedangkan berhubungan dengan hukum, bersama-sama nilai-nilai hukum substantif dari budaya hukum dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai dengan tingkah laku yang berhubungan dengan distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan positif maupun negatif (Rahardjo, 1980: 82). tidak oleh masyarakat dan sebagainya (Lumbuun, Dengan demikian, istilah budaya hukum 2002: 87). Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 29
Menurut Lawrence M. Friedman, budaya hukum berfungsi sebagai motor penggerak keadilan yang menjembatani antara sistem hukum dengan sikap-sikap manusia dalam masyarakatnya. Pendapat yang senada dilontarkan pula oleh Esmi Warassih bahwa faktor budaya hukum memegang peranan penting karena merupakan jembatan antara sistem hukum dengan tingkah laku masyarakatnya (HZ, 2004: 10 dan Salman dan Susanto, 2004: 52). Perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada gilirannya berimbas kepada perubahan dalam bidang hukum. Perubahan dalam bidang hukum itu dapat terjadi disebabkan karena hukum digunakan atau tidak digunakan dalam masyarakat atau terjadi kekeliruan dan penyalahgunaan hukum oleh masyarakat dalam kehidupannya.
dalam mewujudkan tujuannya tergantung pada budaya hukum masyarakat yang hendak dikenai hukum. Dalam upaya mencapai tujuan hukum, maka hukum yang dibuat harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup (living law) dalam masyarakat atau dengan kata lain, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan budaya hukum masyarakat dan merupakan pencerminan modelmodel masyarakatnya, sehingga perilakuperilaku masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku (Raharjo, 1980: 49).
Untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan hukum, maka dibutuhkan adanya kesadaran hukum dalam masyarakat. Menurut Esmi Warassih, kesadaran hukum merupakan jembatan Konsep budaya hukum digunakan untuk yang menghubungkan antara peraturan-peraturan menjawab pertanyaan bagaimana sesungguhnya hukum dengan tingkah laku hukum masyarakat. masalah-masalah hukum itu diselesaikan oleh Sedangkan kesadaran hukum masyarakat masyarakat dan mengapa terdapat perbedaan dipengaruhi oleh budaya hukum yaitu nilai-nilai, dalam jalannya kehidupan hukum di antara pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi masyarakat yang satu dengan masyarakat yang bekerjanya hukum (Raharjo, 1980: 49). lainnya. Hukum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan sebagai sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk perundang-undangan. Setiap kebijakan yang dibuat selalu mencerminkan nilai-nilai dari pembuat kebijakan sehingga kadangkala hukum yang dibuat tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat atau tidak sejalan dengan kesiapan masyarakat dalam menerima hukum itu. Hukum yang dijalankan dalam masyarakat banyak ditentukan oleh nilainilai, sikap-sikap serta pandangan-pandangan yang telah dihayati oleh anggota-anggota masyarakat (Salman dan Susanto, 2004: 125). Dengan demikian, keberhasilan suatu peraturan 30 |
Lebih lanjut, Darmodiharjo dan Shidarta mengungkapkan bahwa budaya hukum identik dengan pengertian kesadaran hukum, yaitu kesadaran hukum dari subyek hukum secara keseluruhan. Kesadaran hukum merupakan abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu subyek hukum. Indikator-indikator kesadaran hukum tersebut adalah pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, pengetahuan tentang isi pengaturan hukum, sikap terhadap peraturanperaturan hukum dan pola perilaku hukum (Riswandi & Syamsudin, 2004: 158). Sementara itu, Soekanto dan Taneko mengemukakan bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai, yaitu konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 158). Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat di mana hukum merupakan penjelmaan dari nilai-nilai budaya atau sistem nilai-nilai budaya suatu masyarakat. Environmental Leadership Pembahasan environmental leadership menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini karena terjadinya kasus longsor TPA Leuwigajah tersebut tidak lepas dari kurang kepedulian pemimpin termasuk para hakim (penegak hukum) terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut mengindikasikan lemahnya pemahaman dan komitmen pemimpin dan para penegak hukum kita di dalam mengimplementasikan gagasan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan kata lain, telah terjadinya kegagalan kepemimpinan lingkungan (environmental leadership). Di sisi lain, kebijakan desentralisasi pemerintah di tahun 2000 membawa implikasi semakin terabaikannya isu-isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan oleh isu-isu yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi dan politik (Budimanta. Et.al., 2005: iv). Setiap bencana alam yang terjadi tidak jarang memakan korban yang tidak sedikit seperti korban longsor TPA Leuwigajah. Namun hal tersebut sepertinya tidak membuat sadar para pemimpin dan penegak hukum untuk lebih memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan dalam setiap kebijakan dan putusan yang diambilnya. Ketidakefektifan
pengaturan
dan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak terlepas dari rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola, memfasilitasi, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan kepentingan dan membangun kerjasama antar stakeholders. Dengan demikian, persoalan yang muncul adalah persoalan kapasitas leadership serta persoalan integritas moral. Selain itu, dalam kenyataannya dalam setiap pembangunan yang dilakukan pengintegrasian antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial belum terintegrasi dalam setiap kebijakan pembangunan selama ini. Dengan demikian, persoalan ini merupakan persoalan mendasar yang harus dicari jalan keluarnya. Kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) pada prinsipnya adalah sebuah proses membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Berkaitan dengan hal tersebut, Rachmat Witoelar menyatakan bahwa kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) merupakan kapasitas, sikap dan pengalaman praktis seseorang dalam mewujudkan usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan manusia dan keadilan lingkungan, melalui kemampuan memperkuat nilai-nilai demokrasi, kepekaan terhadap potensi dan persoalan lingkungan, serta keterbukaan pada pendekatan interdisciplinary dalam pengelolaan lingkungan (Budimanta. Et.al., 2005: v). Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam menumbuhkan sifat kepemimpinan lingkungan adalah dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan melalui program pelatihan yang berkaitan dengan lingkungan dan kepemimpinan lingkungan. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan lingkungan hidup tersebut menjadi penting
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 31
guna menumbuhkan kesadaran dan motivasi serta membentuk visi dan misi lingkungan bagi kepemimpinan lingkungan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tindakan-tindakan mereka yang diwujudkan oleh kelembagaan lingkungan yang dipimpinnya. Kepemimpinan lingkungan yang dikehendaki adalah seseorang yang memiliki kapabilitas yang integratif dalam penanganan permasalahan lingkungan, memahami aturanaturan hukum mengenai lingkungan dan memahami manajemen pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dengan baik. Selain itu, seorang pemimpin diharapkan mampu mengintegrasikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologi) dalam setiap kebijakan yang dibuatnya sehingga terlihat ada keterkaitan antara lingkungan dan good governance. Upaya mewujudkan prinsip-prinsip good governance haruslah sejalan dengan perjuangan mewujudkan kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik (Santosa. Et.al., 2000: 41).
adalah eksploitasi sumber daya alam di mana manusia adalah subjek dan sumber daya alam adalah objek pembangunan. Sumber daya alam diartikan sebagai sumber kehidupan sehingga pengelolaan sumber daya alam lebih berkonotasi pemanfaatan untuk kehidupan bukan merupakan asset alam yang perlu dikelola dengan bijak (Budimanta. Et.al, 2005: xi). Berlainan dengan pembangunan konvensional, pembangunan berkelanjutan lebih mengutamakan pembangunan yang memberlanjutkan kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan. Keberlanjutan ekonomi bisa dijamin apabila ketimpangan pendapatan antar manusia bisa diminimalkan dan kemiskinan diberantas. Keberlanjutan sosial memerlukan ditingkatkannya kualitas sumber daya manusia dan modal sosial dalam perikehidupan sosialpolitik, sedangkan keberlanjutan lingkungan dimungkinkan apabila daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan terjaga dengan baik sehingga ekosistem penopang kehidupan terlestarikan (Budimanta. Et.al, 2005: x). Selain itu, paradigma pembangunan berkelanjutan menempatkan ekosistem sebagai subsistem pembangunan juga menempatkan posisi manusia bukan sebagai makhluk yang dominan tetapi menempatkan manusia sebagai makhluk sosial dalam hubungan harmonis dengan Tuhan, alam dan masyarakat.
Dalam konteks kepemimpinan lingkungan, maka ada keperluan untuk merubah paradigma pembangunan dari pembangunan konvensional menuju ke pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Budimanta. Et.al., 2005: x). Selama kepemimpinan pembangunan masih berpegang pada paradigma konvensional maka malapetaka lingkungan akan semakin Dengan konsep seperti itu, maka terdapat besar. perubahan nilai interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang semula bersifat transenden Pembangunan konvensional pada menjadi holistik di mana manusia menempati umumnya lebih mengarah kepada pandangan posisi yang sejajar dengan lingkungannya hidup yang lebih berorientasi ekonomi yang sehingga ada saling ketergantungan antara menekankan nilai-nilai yang bersifat egomanusia dengan lingkungannya di mana manusia sentris individualistis. Berdasarkan paradigma membutuhkan lingkungan untuk pemenuhan pembangunan konvensional, pembangunan kebutuhan hidupnya sedangkan lingkungan 32 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
membutuhkan peran manusia untuk menjaga keseimbangan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terjadi perubahan nilai dari pandangan manusia sebagai subyek pembangunan dan lingkungan sebagai obyek pembangunan menjadi pandangan atau nilai saling membutuhkan diantara manusia dan lingkungan. Namun dalam perubahan nilai atau pandangan tersebut tidak hanya dibutuhkan pola pikir manusianya saja tetapi harus lebih melibatkan hati nurani dalam kepemimpinan lingkungan.
semesta. Hal itu karena manusia adalah pelaku moral yang mempunyai kemampuan bertindak secara moral. Kewajiban dan tanggung jawab moral tersebut yaitu menghargai dan menghormati alam dengan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan dampak negatif terhadap alam semesta dan lingkungan hidup serta kewajiban dan tanggung jawab untuk memulihkan kembali kondisi alam semesta yang telah tercemar dan rusak kepada keadaan semula agar fungsi lingkungan tetap termanfaatkan dengan baik. Putusan majelis hakim dalam kasus longsor TPA Leuwigajah yang mendasarkan putusannya hanya pada kesepakatan para pihak yang tertuang dalam akta perdamaian dari sisi keadilan sosial mungkin telah terpenuhi karena para penggugat telah memperoleh ganti rugi sesuai dengan yang disepakati bersama. Namun di sisi lain, ada hal yang perlu diperhatikan juga yaitu terkait dengan keadilan ekologis. Hal ini menjadi penting karena pelestarian fungsi lingkungan juga merupakan hal yang harus diperhatikan bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu, permasalahan lingkungan tidak dapat diselesaikan secara parsial dan terkotak-kotak tetapi permasalahan lingkungan hidup hanya bisa teratasi melalui pendekatan yang holistik, multidisipliner dan interdisipliner.
Pada akhirnya, paradigma pembangunan berkelanjutan itulah yang kini harus ada di setiap kepemimpinan. Khusus berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup maka, pola kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) yang diperlukan adalah kepemimpinan yang memiliki visi terhadap masa depan yang berkelanjutan, berpikir holistik dan integratif dan dapat berperan sebagai komunikator yang baik sehingga mampu menjembatani kepentingan seluruh pihak serta mempunyai integritas moral lingkungan (Budimanta. Et.al, 2005: xvii). Selain itu, dukungan politik sangat perlu bagi berkembangnya kapasitas kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) di Indonesia. Politik menjadi penting dalam memberikan ruang bagi berkembangnya good Demikian pula dalam kasus longsor TPA governance dalam pengelolaan sumber daya Leuwigajah, penyelesaian kasus tersebut harus alam dan lingkungan. dilakukan secara holistik dengan memperhatikan semua kepentingan baik kepentingan para korban IV. SIMPULAN juga kepentingan ekologis agar daya dukung Kasus longsor TPA Leuwigajah dan daya tampung lingkungan TPA Leuwigajah menyadarkan kita bahwa alam semesta beserta dapat dipulihkan kembali sehingga fungsinya isinya memiliki nilai yang harus dihargai, dan dapat digunakan kembali sesuai dengan rencana manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang akan menggunakan moral terhadap makhluk hidup lain dan alam kembali TPA Leuwigajah sebagai pembuangan sampah setelah ganti rugi pada para korban selesai Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 33
dilakukan. Dengan kajian yang holistik terhadap Jakarta: PT. Tata Nusa. kasus lingkungan maka diharapkan adanya Edi Setiadi, HZ. 2004. “Reformasi Sistem Hukum keseimbangan antara kepentingan pelestarian Indonesia”. Makalah Diskusi Rutin Dosen fungsi lingkungan dan pemanfaatan lingkungan Fakultas Hukum Unisba. Bandung. hidup. Selain itu, adanya environmental leadership menjadi hal yang penting untuk ditumbuhkan Keraf, A.Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. pada setiap pemimpin dan penegak hukum kita Jakarta: Kompas. agar setiap kebijakan dan putusan yang diambil Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas selalu berpatokan pada konsep pembangunan dan Pembangunan. Cetakan ke 13. Jakarta: berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. PT. Gramedia. Lumbuun, T. Gayus. 2002. Confucianisme DAFTAR PUSTAKA dan Lingkungan Hidup, Budaya Hukum Masyarakat Pasiran. Jakarta: Program Bakken, Peter W., Joan Gibb Angel & J. Ronald Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Engel. 1995. A Critical Survey dalam Indonesia. Ecology, Justice and Christian Faith:A Critical Guide to The Literature. Westport, Purwadianto, Agus. Et.al. 2004. Jalan Paradoks; Conn, Greenwood Press. Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan kehidupan Modern. Bandung: Teraju, Budimanta, Arif. Et.al. 2005. Seri Kajian Mizan. Sustainable Future, Environmental Leadership. Jakarta: Indonesia Center for Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Sustainable Development (ICSD). Bandung: Angkasa. Capra, Fritjof. 2004. Hidden Connection; Strategi Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. 2004. Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Jogyakarta: Jalasutra. Hukum. Jakarta: Rajawali Press. ------------------. 2004. Titik Balik Peradaban, Rudito, Bambang. 2005. “Pentingnya Sain, Masyarakat dan Kebangkitan Environmental Leadership Sebuah Kebudayan. Jogyakarta: Bentang. Pengantar”, dalam Budimanta, Arif. Et.al. Seri Kajian Sustainable Future, Chapman, Audrey R. Rodney L. Petersen & Environmental Leadership. Jakarta: ICSD. Barbara Smith Moran. 2007. Bumi yang terdesak; Perspektif Ilmu dan Agama Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004. mengenai Konsumsi, Populasi, dan Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Keberlanjutan. Bandung: Mizan. Bandung: Alumni. Friedman, Lawrence M. 2001. “American Santosa, Mas Achmad. Et.al.. 2000. Membentuk Law an Introduction”. Second Edition. Pemerintahan Peduli Lingkungan Dan Diterjemahkan Wishnu Basuki. Hukum Rakyat. Jakarta: Indonesia Center for Amerika Sebuah Pengantar. Cet, Pertama. Environmental Law (ICEL). 34 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35
Soekanto, Soerjono. 1989. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soerjono, Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1980. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. White Jr, Lynn. 1967. The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Science 155. Sumber lain: Eddy
Sismarwoto. 2004. Celah-Celah Pemberdayaan Hukum dalam Masyarakat (Analisis Teoritis Hukum dan Masyarakat). Jurnal Hukum. Vol.14, No.3.
L. Wilardjo, Ekologi dalam, Kompas, 13 Januari 2002. http://news.detik.com/read/2006/02/23/18 0323/546137/10/korban-longsor-tpaleuwigajah-hanya-diganti-rugi-jutaanrupiah?nd9922036, 18 Februari 2012, 12.00 wib.
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)
| 35
KEADILAN SUBSTANTIF YANG TERABAIKAN DALAM SENGKETA SITA JAMINAN Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y M. Syamsudin, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta Email:
[email protected]
THE OVERLOOKED SUBSTANTIVE JUSTICE IN A CASE OF SEQUESTRATION DISPUTE An Analysis of Decision Number 42/PDT/2011/PT.Y M.Syamsudin, Faculty of law of the islamic university of Indonesia Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan Email:
[email protected] ABSTRAK
Abstract
Tujuan dari kajian putusan ini adalah untuk menguji
The purpose of this study is to examine whether a
apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat
decision of the Yogyakarta Court of Appeal has been
banding sudah mencerminkan putusan yang adil
procedurally and substantively just. The author of
baik secara prosedural maupun substantif. Hasil
this article discloses that the panel of judges who
kajian menunjukkan bahwa putusan hakim sudah
handled the case has strictly applied the procedural
mengikuti prosedur hukum acara secara memadai,
law as stated in the HIR and Rv so that the decision
bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam
can be regarded as the procedural justice contained.
menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR
However, the judges’ decision in this case does not
dan Rv. Namun demikian putusan majelis hakim
reflect the substantive justice, since it has not reached
ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa
the level of verifying the subject of disputes based on
yang didasarkan pada hukum materiil. Putusan ini
substantive law. The judges’ decision is too formalistic
belum menyentuh substansi atau pokok perkara
in checking and resolving the matter, so it only
yang disengketakan, sehingga belum mencerminkan
emphasizes the procedural fairness values instead of
keadilan substantif. Putusan hakim ini terasa kering dan
substantive justice values. In fact, substantive justice
belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
is of significance that must be upheld by judges at any
Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya
kind of decision.
faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim,
Keywords: substantive justice, court of appeal
akibatnya kepentingan Para Terbanding belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai
decision, warranty-confiscation dispute
dan imbang secara substansial. Padahal keadilan substantif itulah yang harus diwujudkan hakim pada akhir putusannya. Kata kunci: keadilan substantif, putusan banding, sengketa sita jaminan.
36 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
I.
PENDAHULUAN
Kasus ini diawali oleh adanya hubungan hukum pinjam meminjam sertifikat tanah hak milik (SHM) oleh Ny. E dan DS kepada Ny. SR dan SAH. Ny. E dan DS adalah anak kandung dari Ny. SR dan SAH. Peminjaman SHM tersebut dituangkan dalam bentuk Akta Notariil Nomor 4, tanggal 6 April 2005 di hadapan Notaris/PPAT BHS, S.H berkedudukan di Yogyakarta. Tujuan peminjaman adalah untuk dijadikan agunan oleh peminjam di Bank Mandiri Cabang Kebon Sirih Jakarta. Akan tetapi kenyataannya peminjaman tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perjanjian dalam akte notariil tersebut, yakni untuk agunan di Bank Mandiri Cabang Kebon Sirih Jakarta, justru dijaminkan kepada Drs. IK dan GS, S.H untuk jaminan hutangpiutang di antara mereka.
Sleman No.02/Pdt.E.Del/2007/PN.Slmn tentang Pelaksanaan Sita Jaminan. Selanjutnya, para tergugat I dan II dan turut tergugat III dan IV melakukan perlawanan dan mengajukan gugatan perlawanan kepada para penggugat I dan II ke PN Sleman. Hasilnya putusan PN Sleman memenangkan para pelawan (tergugat I, II, III dan IV). Atas putusan tersebut pihak terlawan (penggugat I dan II) tidak menerima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hasilnya PT Yogyakarta memenangkan pihak pembanding (para terlawan I dan II). Sampai saat ini posisi perkara ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena pihak terbanding mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Secara substansial, kasus yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta ini merupakan Dalam perjalanan hutang-piutang antara perkara perlawanan terhadap eksekusi putusan Drs. IK dan GS, S.H dengan Ny. E dan DS yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam mengalami masalah dan berakhir pada gugatan kasus ini terkandung beberapa masalah yaitu yang dilakukan oleh Drs. IK dan GS, S.H di satu sisi pelawan memiliki kepentingan (penggugat I dan II) menggugat Ny. SR dan kepemilikan terhadap tanah yang akan dilelang SAH (tergugat I dan II) serta Ny. E dan DS oleh terlawan I dan II yang tentu harus dilindungi (turut tergugat III dan IV) ke Pengadilan Negeri oleh hukum. Cibinong, Bogor. Hasilnya Pengadilan Negeri Di sisi lain dalam perlawanan tersebut juga Cibinong memenangkan gugatan penggugat I terjadi pelanggaran hukum acara yang dilakukan dan II. Disebabkan tidak ada upaya banding dari oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Sleman. para tergugat dan turut tergugat, maka putusan Bentuk pelanggarannya adalah alamat terlawan PN Cibinong mempunyai kekuatan hukum tetap. III dan IV yang merupakan anak dari para Oleh karena itu untuk melaksanakan/ pelawan yang juga merupakan pihak yang telah eksekusi putusan tersebut, Ketua PN Cibinong menjaminkan sertifikat tersebut kepada terlawan meminta bantuan untuk melaksanakan Sita I dan II dicantumkan dalam gugatan perlawanan Jaminan kepada Ketua PN Sleman, DIY oleh para pelawan dengan alamat yang tidak valid, dikarenakan objek sengketanya ada di wilayah padahal majelis hakim seharusnya menilai tentang kompetensi PN Sleman. Permohonan Ketua PN keabsahan panggilan itu dengan membaca relaas Cibinong tersebut dipenuhi oleh Ketua PN Sleman panggilan yang telah ditandatangani oleh Kepala dengan diterbitkan Surat Penetapan Ketua PN Desa atau Lurah Ciangsana, yang menyatakan
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 37
bahwa terlawan III dan IV telah 5 (lima) tahun diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (Luthan, pindah dari tempat tinggal semula. 2009: 2). Inilah yang dinilai oleh majelis hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta telah terjadi pelanggaran hukum acara dalam perkara ini, karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi cacat formil. Sementara itu, dilihat dari pihak terlawan I dan II adalah kreditur yang telah menyerahkan dana sebesar 2 (dua) milyar rupiah kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan.
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A.
Studi Pustaka
Putusan hakim adalah hukum yang sebenar-benarnya (the real law). Asumsi dasar itu dikemukakan oleh aliran realisme hukum yang menyatakan bahwa all the law is judge made law, artinya semua hukum itu pada hakikatnya adalah putusan hakim, sehingga posisi dan kedudukan hakim menjadi pusat lahirnya hukum (Gray dalam Darmodiharjo dan Shidarta, 2004: 138). Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum yang sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat 3 II. RUMUSAN MASALAH (tiga) tujuan hukum itu yaitu keadilan, kepastian Berangkat dari latar belakang masalah yang dan kemanfaatan (Ali, 1996: 84-96). telah diuraikan di bagian pendahuluan, dapat Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, dirumuskan permasalahan hukum dalam bentuk pertanyaan akademik yaitu: ”Apakah putusan kemanfaatan dan kepastian) dalam praktik sulit majelis hakim di pengadilan tingkat banding diwujudkan secara bersamaan sekaligus. Dalam dalam kasus ini sudah mencerminkan putusan praktik sering terjadi benturan atau ketegangan yang adil, baik dilihat secara prosedural maupun antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian, dan pula substantif?” keadilan dengan kemanfaatan. Menurut Radbruh Untuk mengukur hal tersebut akan (dalam Ali, 1996: 96), jika terjadi hal seperti digunakan konsep keadilan prosedural dan itu disarankan agar digunakan asas prioritas, di substantif sebagaimana dikemukakan oleh Salman mana prioritas pertama jatuh pada keadilan, baru Luthan yang dielaborasikan dengan konsep- diikuti kemanfaatan dan kepastian. Achmad Ali konsep keadilan lainnya. Keadilan prosedural sendiri menyarankan menggunakan asas prioritas adalah keadilan terkait dengan perlindungan yang kasuistis. Artinya ketiga tujuan hukum itu hak-hak hukum para pihak (penggugat, tergugat diprioritaskan sesuai dengan konteks kasusnya dan para saksi) dalam setiap tahapan proses yang dihadapi. Oleh karena itu dapat saja kasus peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, kasus B prioritasnya pada kepastian, dan kasus C mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus prioritasnya pada keadilan (Ali, ibid: 96). dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran, Keadilan dalam konteks putusan hakim objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa 38 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
dapat dilihat dari dua sisi yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak hukum para pihak (tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban, serta penggugat dan tergugat) dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara harus dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran, objektif, tidak memihak (imparsiality), tanpa prasangka, diskriminasi dan sesuai dengan hati nurani. Sepanjang putusan hakim dibuat berdasarkan pertimbangan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai adil secara substantif (Luthan, 2009: 3). Jujur artinya, hakim dalam membuat putusan atas perkara yang disengketakan tidak menyembunyikan kebenaran. Fakta-fakta (buktibukti) yang terungkap dalam persidanganlah yang dijadikan dasar pembuatan putusan. Objektivitas berarti bahwa fakta-fakta yang digunakan dalam suatu kasus adalah fakta-fakta yang sesuai dengan objek perkara yang disengketakan. Tidak memihak berarti bahwa hakim tidak bersikap berat sebelah kepada pihak yang bersengketa maupun terhadap fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya. Tanpa prasangka artinya bahwa hakim tidak membuat kesimpulan atas seseorang tanpa mendengarkan keterangan atau penjelasannya (Luthan, 2009: Ibid). Proses pembuatan putusan oleh hakim di pengadilan, merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Menurut Artidjo Alkostar, sebagai figur sentral penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional untuk
menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical capacity dan kapasitas moral yang standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan teknis, para hakim dalam memutus suatu perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) tentang hal-hal yang relevan secara yuridis dan sah muncul di persidangan, maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan menimbulkan matinya akal sehat (the death of common sense). Putusan pengadilan yang tidak logis akan dirasakan pula oleh masyarakat yang paling awam, karena putusan pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah budak kata-kata yang dibuat pembentuk undangundang, tetapi lebih dari itu mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dan akal sehat (Alkostar, 2009: 3). Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum, khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (i) merumuskan masalah hukum (legal problem identification); (ii) memecahkannya (legal problem solving); dan (iii) mengambil putusan (decision making). Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran hukum yang tepat dalam proses memecahkan masalah hukum itu (Mertokusumo, 1990: 4). Setidak-tidaknya terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu: pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 39
kasus yang riil terjadi. Kedua, menghubungkan (mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan indah membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat’. Artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan keadilan substantif (Ridwan, 2008:170). aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam B. Analisis aturan hukum itu (the policies underlying those Analisis hukum adalah kegiatan penelaahan rule), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren. Keempat, menghubungkan dan interpretasi atas fakta-fakta hukum yang telah struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, dikemukakan, dikaitkan dengan bahan-bahan mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang hukum yang relevan. Penelaahan dan interpretasi mungkin, dan keenam, menetapkan pilihan ini didasarkan pada isu atau masalah hukum yang atas salah satu alternatif untuk kemudian telah diajukan untuk dicari pemecahannya atau diformulasikan sebagai putusan akhir (Shidarta, 2004: 177, penjelasan detail dari langkah-langkah tersebut baca hlm. 199-229). Penalaran hukum tersebut perlu memberikan ruang kepada pendekatan-pendekatan socio legal. Dengan pendekatan socio legal akan dapat memahami persoalan hukum dalam masyarakat lebih konstektual terkait dengan kondisi sosiokultural masyarakatnya Hal-hal demikian itulah yang dianggap melahirkan keadilan substantif. Keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat (Umar, 2011: 44).
penyelesaiannya dari segi hukumnya. Bahanbahan hukum tersebut berfungsi sebagai patokan dan dasar yang dipergunakan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat ditemukan hukumnya dari pertanyaan hukum yang diajukan. Jika isu atau masalah hukum itu sudah dapat ditemukan hukumnya, berarti masalah hukum itu sudah terpecahkan atau sudah terjawab (Syamsudin, 2008: 40).
Jawaban atas isu atau masalah hukum itu ada kemungkinan benar atau salah. Benarsalahnya jawaban masalah hukum yang dipecahkan, sangat tergantung dari kejelian, kekritisan, dan kemahiran penulis (baca hakim) dalam mengemukakan fakta-fakta hukum dan bahan-bahan hukum yang diajukan. Jika penulis (baca hakim) salah atau keliru dalam melakukan Putusan keadilan substantif tidak hanya analisis hukum, maka akan berakibat pula pada mengakomodir aturan yang berlaku dalam kesalahan atau kekeliruan dalam pengambilan tahapan penemuan keadilan yang paling kesimpulan nantinya. Pengambilan kesimpulan sosial. Menurut Roscoe Pound, keadilan bukan yang salah atau keliru, akan berakibat pula pada semata-mata persoalan yuridis semata, akan pembuatan pendapat hukum (legal opinion) tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal yang salah atau keliru. Oleh karena itu dalam disoroti oleh sosiologi hukum (Umar, 2011: 44). proses analisis ini dituntut ketelitian sekaligus 40 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
kecerdasan dalam memaknai fakta-fakta hukum konsep-konsep hukum. Pada level hukum positif, dengan sumber-sumber hukum yang relevan. konsep-konsep hukum pada umumnya sudah terumuskan secara jelas dan pasti dalam bahasa Dengan mengacu pada bahan-bahan perundang-undangan. hukum yang ada, hakim dapat menemukan pengertian, konsep, asas, ajaran atau teori yang Indikator-indikator perilaku atau perbuatan dapat digunakan untuk menilai fakta-fakta yang dilarang, dibolehkan dan diperintahkan pada hukum yang ada, sehingga akan dapat diketahui umumnya sudah terumuskan dalam perundangstatus hukumnya, hubungan hukumnya, unsur- undangan. Peneliti tinggal menafsirkan faktaunsurnya, akibat hukumnya, sanksinya, dan juga fakta atau kejadian atau disebut peristiwa itu kategori-kategori hukum yang lainnya. Oleh dengan patokan atau ukuran atau indikatorkarena itu dalam melakukan analisis hukum, indikator yang ada dalam norma undang-undang dibutuhkan perspektif yang luas sehingga akan itu. Jika perilaku itu memenuhi unsur-unsur atau menambah luas dan mendalamnya makna hukum masuk dalam kualifikasi konsep hukum tersebut yang dapat diberikan atau dijawab oleh hakim. maka implikasinya perbuatan itu akan membawa Untuk melakukan analisis hukum, berikut ini diuraikan langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu dimulai dari mengemukakan fakta hukum, melakukan telaah atas fakta hukum dengan bahan-bahan hukum yang relevan, dan yang terakhir menentukan hukumnya. Langkah awal dalam proses analisis hukum ini adalah mengemukakan fakta-fakta hukum atau kejadian yang revelan dengan norma-norma hukum. Oleh karena itu langkah awal dalam analisis ini adalah mengumpulkan fakta-fakta hukum selengkaplengkapnya. Fakta-fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatam hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum dan di bawah umur adalah suatu keadaan. Fakta-fakta hukum ini diuraikan secara obyektif dan naratif sesuai dengan urutan kejadian atau peristiwanya.
akibat hukum. Akibat hukum itu dapat berupa sanksi hukum, yang dapat berupa kurungan, denda ganti rugi dan sebagainya.
Contoh misalkan pada Pasal 1365 BW: Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian. Dalam pasal tersebut konsep utama yang harus dijelaskan adalah: (i) Konsep perbuatan. Dalam konsep ini harus dijelaskan secara gamblang sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Misalnya apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan. Jika termasuk perbuatan, itu perbuatan siapa? dan bisakah perbuatan itu dipertanggungjawabkan?; (ii) Konsep melanggar hukum. Konsep ini harus dimaknai secara jelas terutama unsur-unsurnya. Dalam Yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban Dalam tradisi civil law seperti Indonesia, hukumnya, melanggar kepatutan, dan melanggar hukum utamanya adalah perundang-undangan kesusilaan; (iii) Konsep kerugian. Konsep (legislasi). Oleh karena itu setelah mengumpulkan kerugian meliputi: kerusakan yang diderita, fakta-fakta hukum secara lengkap, langkah keuntungan yang diharapkan dan biaya yang selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan atau telah dikeluarkan. telaah perundang-undangan untuk menemukan
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 41
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis langsung diterapkan pada fakta hukumnya. Rumusan norma sifatnya abstrak dan konsep pendukungnya dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dalam kondisi yang demikian maka dibutuhkan adanya kegiatan penemuan hukum, rechtsvinding.
pada konsep keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Salman Luthan yang membagi dalam dua macam yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak (penggugat, tergugat dan para saksi) dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan Penemuan hukum sendiri dapat dilakukan pertimbangan kejujuran, objektivitas, tidak dengan 2 (dua) teknik, yaitu: (i) Interpretasi, memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan dan (ii) Konstruksi hukum yang meliputi: berdasarkan hati nurani. analogi, penghalusan atau penyempitan hukum dan argumentum a contrario. Fungsi penemuan Dari konsep keadilan prosedural ini hukum adalah menemukan norma konkret untuk indikator yang digunakan adalah apakah putusan diterapkan pada fakta hukum terkait. Setelah hakim tersebut telah mengikuti prosedur hukum menemukan norma konkret langkah berikutnya acara secara tepat. Dari indikator tersebut adalah menentukan hukumnya atas fakta hukum dijabarkan lebih rinci menjadi poin-poin kriteria tersebut. Sebagaimana contoh di atas, setelah sebagai berikut, pertama, apakah putusan hakim menemukan norma konkret dari perbuatan tersebut sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam konteks Pasal 1365 BW, dapat dijadikan dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana parameter untuk menjawab pertanyaan apakah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 gempa bumi merupakan perbuatan? (Ibid). Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG, yang Analisis di sini dimaksudkan adalah cara untuk memilah-milah, mengurai dan mengelompokkan data atau informasi yang didapat agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori-kategori data yang satu dengan lainnya, sehingga data tersebut mempunyai makna. Tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala /unsur tertentu dengan variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ.
mencakup: (i) Kepala putusan; (ii) Identitas para pihak; (iii) Ringkasan nyata gugatan & jawaban; (iii) Alasan atau pertimbangan hakim dalam putusan; (iv) Amar putusan; (v) Hari/tanggal musyawarah dan pembacaan putusan; (vi) Biaya perkara.
Kedua, apakah putusan hakim tersebut sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam putusan hakim PN, yang mencakup: (i) surat; (ii) saksi; (iii) persangkaan; (iv) pengakuan; (v) sumpah; Untuk menganalisis apakah putusan majelis (vi) pemeriksaan setempat; (vii) keterangan ahli; hakim di pengadilan tingkat banding sudah (3) Apakah hakim tersebut telah menggunakan mencerminkan putusan yang adil baik secara alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam prosedural maupun substantif akan didasarkan putusan hakim PN?; (4) Apakah penerapan 42 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/ undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?; (5) Apakah hakim tersebut sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya?; (6) Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan? Untuk konsep keadilan substantif indikator yang digunakan adalah: (i) Apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur yang digugat (terkait dengan hukum materiil)?; (ii) Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis)?; (iii) Apakah putusan hakim telah menggali nilainilai yang hidup dalam masyarakat (aspek nonyuridis)?; (iv) Apakah hakim telah berlaku profesional dalam penyelesaian perkara? Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 42/PDT/2011/PT.Y dan hasil penggalian data berdasarkan wawancara dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini. Mengenai aspek putusan hakim memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG, isi putusan menunjukkan sudah terpenuhinya unsur-unsur yang harus termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 dan pasal 184 HIR/195 RBG, yaitu: (1) kepala putusan tertulis DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; (2) Identitas para pihak, Drs IK dan GS sebagai para pembanding dan Ny. SR dan SAH sebagai para terbanding serta Ny. E dan DS sebagai para turut terbanding; (3) Ringkasan nyata gugatan & jawaban sudah tercantum dalam pertimbangan
hanya saja pihak terbanding dan turut terbanding tidak mengajukan jawaban atau kontra memori banding; (4) alasan atau pertimbangan hakim dalam putusan sudah tercantumkan; (5) Amar putusan sudah diantumkan; (6) Hari/tanggal musyawarah dan pembacaan putusan sudah dicantumkan; (7) Biaya perkara sudah dicantumkan. Mencermati tentang alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, dalam putusan tidak terlihat majelis hakim mencermati alat-alat bukti seperti pada pasal-pasal tersebut, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. Dalam pertimbangan hakim hanya dikemukakan bahwa para pihak telah mengajukan bukti-bukti yang cukup. Apabila dianalisis apakah hakim tersebut telah menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim PN, dalam putusan tidak terbaca hakim menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim. Sementara, dari ukuran apakah penerapan hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/ undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi, dalam putusan terlihat bahwa hakim dalam penerapan hukum pembuktian bersesuaian dengan perjanjian, doktrin dan yurisprudensi. Ini dibuktikan dengan pencantuman: (1) Perjanjian Pinjam Meminjam Sertifikat Tanah Hak Milik antara para turut terbanding – semula terlawan III dan IV (Ny. E dan DS) dengan para terbandingsemula pelawan I dan II (Ny. SR dan SAH) yang dituangkan dalam akte notariil No. 4 tanggal 6 April 2005; (2) Perjanjian Pinjam Uang antara para pembanding – semula terlawan I dan II dengan para turut terbanding –semula terlawan III dan IV yang diputus oleh PN Cibinong No. 51/Pdt.G/2006/PN.Cbn; (3) Yurisprudensi MA
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 43
No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak harus ada hubungan hukum; (6) Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv; panggilan harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat; dan (7) Undang-Undang No. 20 Tahun 1947. Dari segi perimbangan dan proporsionalitas antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya, dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah berupaya menampilkan secara berimbang argumen penggugat (pembanding) akan tetapi karena pihak terbanding tidak mengajukan kontra memori banding maka jawaban terbanding tidak terbaca dalam putusan tersebut. Majelis hakim lantas mengacu pada jawaban para pelawan pada saat sidang di pengadilan tingkat pertama.
hukum?; (5) Apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan?; (6) Apakah hakim mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan yang digunakan dalam putusan PN?; (7) Apakah amar putusan hakim PT ini menguatkan, menolak, memperbaiki atau lainnya; (8) Adakah dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan? Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini: Dari ukuran dasar gugatan/jawaban yang digunakan para pihak, dalam putusan terbaca bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding) yang digunakan pihak pembanding adalah sangat keberatan dan sangat tidak sependapat dengan seluruh pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/ PN.Slm. Akan tetapi dalam putusan tidak terbaca bahwa pihak terbanding mengajukan kontra memori banding/jawaban pengajuan banding tersebut.
Dilihat dari ukuran apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/ tanggal putusan diucapkan, dalam putusan terbaca bahwa hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan Ditelaah dari ukuran apakah dasar gugatan yakni musyawarah dilakukan pada hari Kamis, diputuskan secara berbeda oleh hakim, dalam 3 November 2011 dan putusan dijatuhkan pada putusan terlihat bahwa putusan majelis hakim hari Senin, 7 Nopember 2011. di tingkat banding mengabulkan permohonan Selanjutnya, untuk menganalisis tentang banding dari para pembanding dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm 42/PDT/2011/PT.Y apakah putusan tersebut yang dimohonkan banding tersebut. Dilihat telah dapat membuktikan unsur yang digugat, dari ukuran apakah hakim juga menggunakan akan didasarkan pada kriteria: (1) Apa dasar yurisprudensi, dalam putusan terlihat bahwa hakim gugatan/jawaban yang digunakan para pihak?; menggunakan yurisprudensi dalam membuat (2) Apakah dasar gugatan diputuskan secara pertimbangan hukum yaitu Yurisprudensi MA berbeda oleh hakim?; (3) Apakah hakim juga No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j. menggunakan yurisprudensi?; (4) Apakah hakim No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak juga menggunakan sumber hukum berupa doktrin harus ada hubungan hukum. Dari ukuran apakah
44 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
hakim juga menggunakan sumber hukum berupa doktrin hukum, terbaca dalam putusan bahwa hakim menggunakan doktrin dalam pertimbangan hukumnya yaitu ajaran tentang gugatan kumulasi subjektif yakni gugatan yang terdiri dari beberapa orang penggugat dan beberapa orang tergugat. Sayangnya ajaran tersebut tidak dijelaskan secara memadai.
sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah dan cacat/malanggar hukum serta mengikat para terbanding, sehingga permohonan lelang eksekusi yang diajukan oleh para pembanding tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, sehingga telah terjadi kesalahan obyek sita dan lelang dalam perkara ini?
Apabila diteliti apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan, dalam isi putusan tidak terlihat bahwa hakim menggunakan Untuk menganalisis apakah Putusan sumber hukum berupa nilai-nilai yang hidup Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/ dalam masyarakat, berupa hukum adat, hukum PT.Y telah dapat membuktikan unsur yang lokal dan/ atau kebiasaan. digugat, akan didasarkan pada kriteria, yaitu: (1) Apakah hakim tersebut memberikan analisis Hal lainnya, dari ukuran apakah hakim yang secara tuntas terhadap fakta dan hukumnya mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan (sebelum menjatuhkan amar)?; (2) Apakah amar yang digunakan dalam putusan, dalam putusan putusan hakim tersebut merupakan kesimpulan terlihat bahwa hakim sudah mempertimbangkan yang logis terkait dengan fakta dan hukum?; semua unsur dasar pengajuan permohonan banding (3) Apakah fakta hukum (judex facti) yang dari para pembanding yang berkonsekuensi pada diungkapkan dalam putusan hakim tersebut ini dikabulkannnya permohonan banding dari para disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah pembanding. Dilihat dari ukuran apakah amar dipahami?; (4) Apakah dalam menjatuhkan putusan hakim PT ini menguatkan, menolak, putusan, hakim tersebut melakukan penafsiran memperbaiki atau lainnya, dalam putusan terbaca terhadap hukum dan/atau klausula perjanjian bahwa putusan hakim mengabulkan permohonan dengan menggunakan metode penemuan hukum banding para pembanding dan membatalkan penafsiran di luar penafsiran gramatikal dan Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/ otentik?; (5) Apakah dalam menjatuhkan putusan, PN.Slm yang dimohonkan banding. Mengenai hakim tersebut melakukan penemuan hukum dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan, dengan menggunakan metode konstruksi hukum?; nampak dalam putusan diuraikan dasar-dasar (6) Apakah teridentifikasi bahwa konklusi pertimbangan hakim sebelum memutuskan dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan perkara. sistematis yang didukung oleh pertimbangan Dasar-dasar pertimbangan tersebut pada fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi intinya dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa yang dipaksakan? yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah: apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM)
Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 45
Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini.
Dilihat dari analisis terhadap fakta dan hukumnya (sebelum menjatuhkan amar), dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah memberikan analisis yang tuntas terhadap fakta dan hukumnya sebelum menjatuhkan amar. Hal itu ditunjukkan dengan dasar-dasar pertimbangan yang disusun sebagai berikut: (i) Permohonan banding dari para pembanding; (ii) Isi memori banding dari para pebanding, yang pada intinya adalah keberatan atas putusan PN No. 106/Pdt. Plw/2010/PN.Slm; (iii) Para terbanding, yang tidak mengajukan kontra memori banding; (iv) Pertimbangan-pertimbangan hukum hakim pada putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/ PN.Slm; (v) Pertimbangan hukum majelis hakim PT dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah: apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM) sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826 M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah dan cacat/malanggar hukum serta mengikat para terbanding, sehingga permohonan lelang eksekusi yang diajukan oleh para pembanding tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, sehingga telah terjadi kesalahan obyek sita dan lelang dalam perkara ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut majelis mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a.
46 |
Peminjaman sertifikat untuk Agunan di Bank antara para terbanding dengan para turut terbanding. Hubungan hukum tidak langsung terjadi antara para terbanding dengan para turut terbanding didasarkan pada perjanjian pinjam uang yang telah diputus oleh PN Cibinong Nomor: 51/Pdt.G/2006/PN.Cbn. Hubungan ini dalam teori hukum disebut bentuk gugatan kumulasi subjektif (terdiri dari beberapa orang penggugat dan beberapa orang tergugat) yang berdasar Yurisprudensi MA No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/ Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975 di antara pihak-pihak harus ada hubungan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka peranan para turut terbanding mempunyai kedudukan dan peran yang penting/sentral dalam menyelesaikan pokok sengketa dalam perkara ini.
dapat
Terdapat dua bentuk hubungan hukum yaitu hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung terdapat pada Akta Notariil No. 4, tanggal 6April 2005 tentang Perjanjian
b.
Majelis hakim di PT tidak sependapat dengan pertimbangan majelis hakim di tingkat pertama (PN) khusus untuk para terbanding yang menyatakan bahwa para turut terbanding tidak pernah hadir di persidangan meski telah dipanggil secara sah dan patut. Menurut majelis hakim, pemanggilan tersebut tidak dilakukan dengan tata cara pemanggilan yang sah menurut hukum, sehingga dapat dianggap tidak pernah ada. Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv, bahwa panggilan harus disampaikan di tempat tinggal atau domisili pilihan tergugat.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
c.
Bahwa menurut majelis hakim, peranan para turut terbanding sangat penting dan menentukan dalam penyelesaian pokok sengketa secara adil dan manusiawi, sedangkan alamat atau tempat tinggal para turut terbanding salah atau tidak benar sehingga mengakibatkan gugatan/ perlawanan para terbanding menjadi cacat formil. Dengan demikian panggilan sidang termasuk relaas pemberitahuan putusan kepada turut terbanding selama persidangan di PN dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilakukan secara sah, maka menurut majelis dengan tanpa mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok sengketa dalam perkara ini, gugatan/perlawanan para terbanding harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanklijke verklaard). Dengan demikian putusan majelis hakim di tingkat pertama tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan.
runtut sehingga mudah dipahami, dalam putusan tidak nampak karena putusan di tingkat banding tersebut tidak memeriksa fakta hukum dan yang diperiksa hanya penerapan hukum oleh majelis hakim di tingkat pertama. Dari ukuran apakah dalam menjatuhkan putusan, hakim tersebut melakukan penafsiran terhadap hukum dan/atau klausula perjanjian dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik? Dalam putusan tidak terlihat bahwa hakim melakukan penafsiran hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik. Selanjutnya, dari ukuran apakah teridentifikasi bahwa konklusi dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan? Dalam putusan dapat dikatakan bahwa konklusi dalam putusan sudah runtut dan sistematis dan didukung oleh pertimbangan fakta dan hukumnya sehingga tidak nampak konklusi yang dipaksakan.
Untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/ Dilihat dari ukuran apakah amar putusan PT.Y apakah putusan hakim telah menggali nilaihakim tersebut merupakan kesimpulan yang logis nilai yang hidup dalam masyarakat (aspek nonterkait dengan fakta dan hukum, dalam putusan yuridis), akan didasarkan pada kriteria, yaitu: (1) terlihat bahwa amar putusan hakim tersebut apakah teridentifikasikan adanya pertimbangan merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial, fakta dan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan ekonomi, edukatif, lingkungan, religius)?; (2) penalaran hukum yang logis, yakni sinkron Apakah faktor-faktor tersebut sejalan dengan antara dasar pertimbangan dengan amar putusan. bunyi amar putusan tersebut? Namun putusan ini belum menyentuh substansi atau pokok perkara disengketakan, sehingga Berdasarkan data atau informasi yang belum mencerminkan keadilan substantif. terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat Dilihat dari ukuran apakah fakta hukum dikemukakan bahwa dalam putusan tidak (judex facti) yang diungkapkan dalam putusan nampak hakim mempertimbangkan faktor-faktor hakim tersebut ini disusun secara sistematis/ Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 47
non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius). Putusan hakim ini masih sangat kering dan belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor nonyuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius) dalam pertimbangan hakim. Akibatnya kepentingan para terbanding (pemilik SHM) yang dipinjam oleh para turut terbanding dan SHM tersebut ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti yang tercantum dalam perjanjian pinjam-meminjam sertifikat semula, belum mendapatkan perlindungan yang memadai secara substansial. Dikarenakan majelis hakim tidak nampak mempertimbangkan faktor-faktor nonyuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius) maka konsekuensi logisnya faktor-faktor tersebut tidak dapat diukur apakah sejalan atau tidak dengan bunyi amar putusan. Untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y apakah hakim telah berlaku profesional dalam penyelesaian perkara, akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut: (1) Apakah hakim tersebut telah berlaku profesional dalam menjalankan tugasnya?; (2) Apakah penilaian tersebut sejalan dengan deskripsi umum dari hasil pengkajian data primer?
hakim masih ditunjukkan sebatas profesional artian yang formal dan belum menyentuh hal-hal yang substansial, padahal yang dibutuhkan para pihak pada akhirnya adalah keadilan substansial. Penilaian tersebut sejalan dengan hasil pengkajian data primer (hasil wawancara) yang menunjukan bahwa responden sebagai hakim mengetahui dan menyadari bahwa kasus ini merupakan perkara perlawanan terhadap eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, di mana dalam kasus ini terkandung beberapa masalah yaitu di satu sisi pelawan memiliki kepentingan kepemilikan terhadap tanah yang akan dilelang oleh terlawan I dan II yang tentu harus dilindungi. Di sisi lain dalam perlawanan tersebut juga terjadi pelanggaran hukum acara oleh majelis hakim di tingkat pertama di mana alamat terlawan III dan IV yang merupakan anak dari para pelawan yang juga merupakan pihak yang telah menjaminkan sertifikat tersebut kepada terlawan I dan II dicantumkan dalam gugatan perlawanan oleh para pelawan dengan alamat yang tidak valid, padahal majelis hakim seharusnya menilai tentang keabsahan panggilan itu dengan membaca relaas panggilan yang telah ditandatangani oleh Kepala Desa atau Lurah Desa Ciangsana, yang menyatakan bahwa terlawan III dan IV telah lima tahun pindah dari sana. Inilah yang oleh majelis dinilai telah terjadi pelanggaran hukum acara dalam perkara ini, karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi cacat formil (hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi (H) pada Hari Rabu, 14 Maret 2012 di Fakultas Hukum UII, Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta).
Berdasarkan data atau informasi yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat dikemukakan hal-hal bahwa dari segi profesionalisme, majelis hakim masih terkesan sangat positivistik dan formalistik dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara, sehingga terkesan hanya mengedepankan nilai keadilan prosedural dan mengesampingkan nilai keadilan Sementara itu, majelis juga menyadari substantif. Oleh karena itu nilai profesionalisme bahwa dari segi moral majelis hakim menilai 48 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
bahwa terlawan I dan II adalah kreditur yang telah menyerahkan dana sebesar dua milyar kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan. Dari fakta-fakta yang telah diuraikan, yang patut dipertanyakan dari profesionalisme hakim dalam menangani perkara ini adalah: mengapa majelis hakim yang sudah mengetahui pokok perkara seperti itu tidak membuat pertimbangan hukum yang lebih substansial dan tidak hanya mendasarkan pada segi formalitas belaka? Bukankah setiap putusan hakim itu harus mencerminkan dua keadilan sekaligus yaitu keadilan prosedural dan keadilan substantif. IV. SIMPULAN Putusan majelis hakim PT Yogyakarta sudah mencerminkan putusan yang mengandung keadilan prosedural. Hal ini ditunjukkan oleh majelis hakim dalam menangani perkara sudah mengakomodir hak-hak tergugat dan penggugat secara berimbang dalam prosedur hukum acara. Bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Putusan majelis hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa yang didasarkan pada hukum materiil. Unsur-unsur yang dibuktikan sebatas pada unsurunsur yang terdapat pada hukum acaranya, yaitu ketidakhadiran para turut terbanding yang pada persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama dianggap tidak dipanggil secara patut dan benar berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang mengakibatkan perlawanan para terbanding cacat formil. Dalam putusan tersebut terbaca bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding)
yang digunakan pihak pembanding adalah sangat keberatan dan sangat tidak sependapat dengan seluruh pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/ PN.Slm. Dalam pertimbangannya, tidak terlihat bahwa hakim menggunakan sumber hukum berupa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, berupa hukum adat, hukum lokal dan/atau kebiasaan. Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim. Akibatnya kepentingan para terbanding (pemilik SHM) yang dipinjam oleh para turut terbanding sebagaimana SHM tersebut ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti yang tercantum dalam perjanjian sebelumnya, belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai secara substansial. Dari segi penalaran hukum, putusan ini telah menunjukkan penalaran hukum yang logis, yakni sinkron antara dasar pertimbangan dengan amar putusan. Dalam putusan ini tidak terlihat bahwa hakim melakukan penafsiran hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal dan otentik. Konklusi dalam putusan sudah runtut dan sistematis dan didukung oleh pertimbangan hukum yang cukup sehingga tidak nampak konklusi yang dipaksakan, akan tetapi lagi-lagi putusan ini tidak menyentuh substansi dari pokok sengketa sehingga belum memberikan keadilan yang sebenar-benarnya (keadilan substansi). Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa majelis hakim masih terkesan sangat formalistik dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara ini, sehingga terkesan hanya mengedepankan nilai keadilan prosedural dan mengabaikan nilai keadilan substantif. Oleh
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)
| 49
karena itu nilai profesionalisme hakim masih Mertokusumo, Sudikno. 1990. Pendidikan ditunjukkan sebatas profesional dalam artian Hukum di Indonesia dalam Sorotan. Harian yang formal dan belum menyentuh hal-hal yang Kompas. 7 Nopember 1990. substansial. Shidarta. 2004. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: CV.Utama. DAFTAR PUSTAKA Luthan, Salman. 2009. Aksesibilitas Pencari Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Keadilan Miskin Mendapatkan Bantuan Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Hukum di Pengadilan. Makalah dalam Chandra Pratama. Rangka Seleksi Hakim Agung 2009. Alkostar, Artidjo. 2009. Peran dan Upaya Mahkamah Agung dalam Menjaga dan Menerapkan Hukum yang Berkepastian Hukum, Berkeadilan dan Konsisten melalui Putusan-Putusan MA. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional PROSPEK POLITIK PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Pemberdayaan Peran Institusi Penegakan Hukum dan HAM dalam Menjunjung Tinggi Peradilan Bermartabat, Berwibawa, dan Berkeadilan oleh Center for Local Law Development Studies UII di Auditorium UII Lt. 3, Jl Cik Dik Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu, 7 Maret 2009.
---------------------. 2009. Mewujudkan Putusan Hakim Agung Berkeadilan Substantif. Makalah disampaikan pada Fit and Proper Test Hakim Agung di Gedung DPR RI. Syamsudin, M. Cet.2 2008. Mahir Menulis Legal Memorandum. Jakarta: Prenada Media Group. Umar, Sholehudin. 2011. Hukum & Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang. Ridwan. 2008. “Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantif”, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol.26 No.2,
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2004. PokokPokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 42/PDT/2011/PT.Y Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta (H) pada Hari Rabu, 14 Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2011. Paradigma Maret 2012 di Fakultas Hukum UII, Jl. Profetik Sebuah Konsepsi. Makalah Tamansiswa No. 158 Yogyakarta. disampaikan dalam “Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik”, di Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 18 Nopember 2011. diselenggarakan oleh Fakultas Hukum - UII, Yogyakarta, 18 November 2011.
50 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50
PERLUASAN TAFSIR PASAL 22 UU NOMOR 5 TAHUN 1999 Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST Erman Rajagukguk, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok 16424 Email:
[email protected]
An extensive interpretation on aRTICLE 22 OF the Law NUMBER 5 Year 1999 An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST Erman Rajagukguk, Faculty of law of the University of Indonesia Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan Email:
[email protected] ABSTRAK
Abstract
Karangan ini membahas komentar atas putusan
This article is aimed to share some comments on a
hakim dalam perkara “P” dkk v. KPPU No. 34/Pdt.G/
court decision over the case of PT “P” c.s. v. KPPU.
KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini bermula dari
The KPPU has delivered a decision against PT “P”
Putusan KPPU terhadap PT “P” (Persero) dan tiga
and three other companies blaming them to commit an
perusahaan lainnya yang mempersalahkan mereka
unlawful practice as stated in Article 22 of Law No.
melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU
5 Year 1999. KPPU decides that the four companies
memutuskan bahwa keempat perusahaan tersebut
have performed conspiracy and discrimination in
telah melakukan persekongkolan dan diskriminasi
selecting strategic partner. KPPU is of the opinion
dalam pemilihan partner strategis. KPPU berpendapat,
that the way of partner selection being conducted
bahwa pemilihan partner itu yang dilakukan melalui
through “beauty contest” is the same way with that
“beauty contest” sama dengan pengadaan barang
of procurement of goods and services. KPPU ordered
dan jasa. KPPU menghukum PT “P” dan tiga
the four companies to pay a fine and the decision was
perusahaan lainnya membayar denda. Namun proyek
supported later on by the Jakarta Central Distric
tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua terhukum
Court. The author of this article has different opinions
tidak setuju dengan Putusan KPPU tersebut dan
with the decisions.
mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta
Keywords: procurement, selection of strategic
Pusat, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU. Karangan
partners, conspiracy and discrimination, indirect evidence.
ini membahas putusan PN Jakarta Pusat dimana penulisnya tidak sependapat dengan putusan KPPU dan PN Jakarta Pusat. Kata kunci: pengadaan barang dan jasa, pemilihan mitra strategis, persekongkolan dan diskriminasi, bukti tidak langsung.
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 51
I.
PENDAHULUAN
beberapa faktor tertentu menunjukkan bahwa beauty contest dilaksanakan untuk memenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pemohon, yaitu fakta bahwa Term of Reference tingkat banding telah memperkuat putusan KPPU yang digunakan dalam beauty contest dibuat yang menyatakan PT P dkk telah melanggar Pasal mengambang, bahwa terdapat perbedaan sistem 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang penilaian yang digunakan oleh PT ”P” dan PT Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan ”M”, dan bahwa permintaan atas proposal yang Usaha Tidak Sehat. Pasal 22 tersebut menyatakan, mengikat (binding proposal) dibuat setelah bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol pemberian pertanyaan tambahan kepada Mitsui dengan pihak lain untuk mengatur dan atau dan pemohon (Putusan KPPU No. 35/KPPUmenentukan pemenang tender sehingga dapat I/2010: 222-223). mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Putusan Komisi Pengawas Persaingan Kelima, tindakan diskriminatif yang Usaha (KPPU) menyatakan, terlapor I PT ”P” mengarah pada dinyatakannya pemohon sebagai (Persero), terlapor II PT ”M”., terlapor III PT pemenang dalam beauty contest merupakan M&P T dan terlapor IV MC terbukti secara sah tindakan yang tidak jujur atau melawan hukum dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU No. 5 atau menghambat persaingan usaha sehingga Tahun 1999. menyebabkan terjadinya persaingan usaha Pertimbangan hukumnya sebagaimana dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010, antara lain, pertama, beauty contest yang diadakan PT ’’P’’ dan PT ”M” memiliki tujuan menciptakan “persaingan untuk pasar” dan dengan demikian merupakan suatu bentuk “tender” dalam arti yang dimaksudkan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010: 215. Kedua, beauty contest dilakukan dengan cara diskriminatif karena tidak semua peserta beauty contest diberikan kesempatan yang halnya dengan pemohon yang dapat memberikan presentasi kepada PT ”P” dan PT ”M” pada tanggal 7, 23, dan 24 Februari, 16 Maret dan 4 September 2006 dan membahas hal-hal terkait dengan proyek Donggi Senoro sebelum dan selama beauty contest berlangsung. Ketiga, terdapat indikator-indikator atau bentuk persekongkolan sesuai dengan pedoman Pasal 22, antara pemohon, PT ’’P’’, PT ”M” karena adanya kesempatan eksklusif dan penciptaan persaingan semu demi keuntungan pemohon Keempat, 52 |
tidak sehat. Keenam, permintaan pemohon atas informasi tentang data hulu dan hilir kepada PT ’’P’’ dan PT ”M” menyebabkan PT ”M” memfasilitasi peninjauan oleh pemohon atas informasi yang terkait dengan pekerjaan awal LNGI. Ketujuh, pemohon menggunakan informasi hasil due diligence dalam mempersiapkan proposalnya di mana informasi tersebut masuk dalam definisi rahasia dagang dengan merujuk pada definisi yang ditemukan dalam UU No. 30/2000. Kedelapan, terdapat indikator-indikator atau bentuk-bentuk persekongkolan antara PT ”M” dan pemohon karena PT ”M” memfasilitasi Mitsubishi dalam meninjau data milik LNGI dan data tersebut digunakan oleh pemohon untuk tujuan bisnisnya sendiri dan demi kepentingannya sendiri. Kesembilan, pemohon membuat proposalnya berdasarkan hasil due diligence tersebut, di mana merupakan tindakan yang tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha sehingga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
KPPU menghukum terlapor I PT ’’P’’ untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah), menghukum terlapor II PT ”M” membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), menghukum terlapor III PT MPT Sulawesi membayar denda sebesar Rp. 1. 000.000.000,- (satu milyar rupiah), dan menghukum terlapor IV MC membayar denda sebesar Rp 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Dalam Tingkat Banding Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010. Pada tingkat banding, pemohon PT P menyatakan tidak terbukti Pasal 22 UndangUndang No. 5 Tahun 1999 dalam pemilihan mitra yang dilakukan dalam proyek Donggi Senoro. Alasannya antara lain, termohon dalam hal ini KPPU telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum yang menganggap proses pemilihan mitra yang dilaksanakan oleh pemohon sebagai proses tender dalam lingkup pengertian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 22 tersebut jelas-jelas mengatur mengenai tender untuk pengadaan barang dan jasa, dan sangat tidak relevan untuk diterapkan pada proses pemilihan mitra.
lain, bahwa pertimbangan hukum yang dibuat termohon keberatan, KPPU tersebut telah tepat dan benar. Pengadilan mengambil seluruh pertimbangan itu untuk menguatkan putusan KPPU (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST.: 275). Para pemohon tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. II.
RUMUSAN MASALAH
Paling sedikit ada tiga hal yang menjadi pokok analisis sehubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/Pdt.G/ KPPU/2011/PN.JKT.PST.: a.
Apakah pemilihan partner usaha adalah sama dengan pengadaan barang dan jasa seperti yang dimaksud Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999?
b.
Apakah KPPU berwenang untuk memperluas pengertian Pasal 22 tersebut?
Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, c. Apakah pembuktian Pasal 22 untuk mengadakan barang-barang atau untuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyediakan jasa. Bahwa dalam proses boleh menerapkan pembuktian tidak pemilihan mitra proyek Donggi Senoro, calon langsung (indirect evidence)? mitra tidak mengajukan penawaran harga. Tujuan pemilihan mitra bukan dimaksudkan untuk memilih kontraktor atau pembeli barang (Putusan III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/ 1. Studi Pustaka KPPU/2011/PN.JKT.PST.: 61). Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan pertimbangan hukumnya menyatakan, antara
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 53
Persaingan Usaha Tidak sehat menyatakan: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
direncanakan. Manipulasi lelang menghancurkan proses kompetitif ini. Mekanisme manipulasi lelang dapat berupa tekanan penawaran, penawaran pelengkap, dan rotasi penawaran (Anderson. Et.al., : 28).
Ketentuan ini adalah mencakup konspirasi tender, yaitu suatu hambatan persaingan yang sering kali dianggap sangat serius. Jika hasil pengumuman tender menguntungkan salah satu peserta yang mengambil bagian, maka tender tersebut secara tersirat mengandung pembatasan persaingan harga. Tender kolusif terjadi bila para pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura saja (Hansen. Et.al., 2002: 312-313). Maksud diadakannya tender untuk mendapatkan barang yang murah dan baik tidak terpenuhi. Persekongkolan ini adalah persekongkolan horisontal antara para pelaku usaha.
Persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa, ataupun dalam mekanisme tender dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Kolusi dalam tender dapat terjadi melalui kesepakatan antara para pelaku usaha, antara pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Sebenarnya persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa tidaklah terjadi hanya pada saat penetapan pemenang tender semata. Sebagai contoh, terjadinya kolusi antara penyedia dana atau pembuat anggaran dengan produsen atau supplier barang dan jasa (Pardede, 2010: 162-163).
Tender adalah memborongkan pekerjaan/ menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong pekerjaan-pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum pemborongan itu dikerjakan. Kegiatan tender melebar kepada kegiatan pengadaan barang dan jasa (Lubis. Et.al., 2009: 148-150). Tender adalah sama dengan lelang. Manipulasi lelang adalah kesepakatan antara para pihak agar pesaing memenangkan suatu lelang. Kesepakatan ini dapat dicapai oleh satu atau lebih peserta lelang yang sepakat menahan diri untuk tidak mengajukan penawaran, atau oleh para peserta lelang yang menyepakati satu peserta dengan harga lebih rendah dan kemudian menawarkannya di atas harga perusahaan yang
54 |
Pada permulaan abad ke-21, banyak pemerintahan di Eropa mengalokasikan hak untuk memakai frekuensi telepon mobil kepada pihak swasta. Mekanisme alokasi yang diterapkan berbeda dari negara ke negara. Suatu negara memilih untuk menggunakan satu atau lain bentuk dari lelang untuk mengalokasikan hak, sementara negara lainnya menggunakan beauty contest, di mana pelaku usaha dipilih berdasarkan proposal yang diajukannya. Ini adalah salah satu metode dalam memilih penyedia jasa yang berhak atas frekuensi telepon mobil. Pengalihan hak ini meluas kepada operasi angkutan umum seperti bus dan kereta api, pompa bensin, dan lain sebagainya (Janssen, Edt., 2004 : xii). Dari studi kepustakaan di atas, beauty contest dipraktikkan dalam penyediaan jasa. 2.
Pembahasan dan Analisis
Istilah beauty contest tidak terdapat dalam Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Istilah ini berasal dari kepustakaan Hukum Persaingan di luar negeri (Dykstra dan Windt, 2004: 85). Beauty Contest tidak sama dengan pemilihan mitra untuk mendapatkan calon partner guna mengembangkan suatu proyek. Pemilihan mitra tidak sama dengan tender pengadaan barang/jasa.
tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barangbarang, atau untuk menyediakan jasa. Pasal 22 tersebut berkenaan dengan persekongkolan tender yaitu suatu bentuk kerjasama antara para pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan. Dengan demikian Pasal 22 memiliki unsur:
Pemilihan mitra adalah pemilihan calon partner untuk mengembangkan suatu proyek, a. pelaku usaha; bukan mengenai pelaksanaan pengadaan barang/ b. persekongkolan; jasa. Dalam konteks ini PT ”P ” dan PT ”M” c. pihak lain; mencari partner usaha yang akan menanamkan d. barang/jasa; investasi, mempunyai kemampuan teknologi, e. pasar bersangkutan. mempunyai akses terhadap pasar internasional (dalam konteks penjualan gas), dan calon partner Ad. a. Pelaku Usaha. akan menanggung risiko kerugian usaha. PT ”P ” dan PT ”M” tidak mencari supplier atau Yang dimaksud pelaku usaha di sini adalah pemasok barang dan jasa. pelaku usaha yang mengikuti tender bukan pelaku usaha penyelenggara tender. Pelaku usaha Ruang Lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. penyelenggara tender tidak berkepentingan untuk 5 Tahun 1999 bekerjasama dengan pelaku usaha peserta tender, karena pelaku usaha penyelenggara tender Pemilihan mitra tersebut tidak masuk menyelenggarakan untuk mendapatkan hasil yang dalam ruang lingkup Pasal 22 Undang-Undang efisien, yaitu harga yang semurah-murahnya dan No. 5 Tahun 1999 karena pemilihan mitra adalah barang/jasa yang sebaik-baiknya. pemilihan calon partner untuk membangun suatu usaha, bukan mengenai pengadaan barang/ Ad. b. Persekongkolan. jasa. Pemilihan partner sebagai mitra strategis dalam membangun suatu usaha didasarkan Menurut Pasal 1 butir 8 persekongkolan kepada kemampuan permodalan, keahlian, atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama dan pengalaman calon partner tersebut untuk yang dilakukan pelaku usaha dengan pelaku mengadakan investasi, bukan mengenai usaha lain dengan maksud untuk menguasai pengadaan barang/jasa. pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Penjelasan pasal ini berbunyi, tender adalah
usaha yang bersekongkol. Dalam hal ini menurut penulis persekongkolan itu dilakukan antara para pelaku usaha dalam tingkat horisontal, untuk menghilangkan persaingan di antara mereka, bukan persekongkolan vertikal karena antara pelaku usaha penyelenggara tender dan pelaku usaha peserta tender tidak ada persaingan.
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 55
Pasal 22 berasumsi bahwa persekongkolan terjadi di antara para pelaku usaha. Pihakpihak tersebut harus menyepakati suatu persekongkolan untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura saja. Misalnya dengan penawaran harga tinggi dan satu-satunya yang terkoordinasi dengan pengharapan pihak yang tidak menang tender yang bersangkutan akan mendapat giliran menang pada tender yang akan datang berdasarkan kegiatan kolusif.
atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.Pemilihan partner strategis yang ikut berinvestasi tidak termasuk dalam klasifikasi barang dan atau jasa. Ad. e. Pasar bersangkutan.
Persekongkolan dalam tender diperlukan untuk menentukan pasar bersangkutan, karena tujuan persekongkolan tersebut adalah untuk menguasai pasar. Tidak ditentukannya pasar bersangkutan menyebabkan tidak terpenuhinya Tender kolusif biasanya bermaksud untuk semua unsur dari Pasal 22. meniadakan persaingan harga dan menaikkan Pasar bersangkutan adalah pasar yang harga. Persekongkolan ini bertujuan untuk berkaitan dengan jangkauan atau daerah menaikkan harga tender. Dalam pemilihan pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang mitra, kegiatan pemilihan partner adalah menilai dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi kemampuan calon partner, umpamanya dalam dari barang dan atau jasa tersebut sebagaimana permodalan maupun pengalaman. Hal ini dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 5 berlainan dengan pengadaan barang/jasa. Tahun 1999. Persekongkolan harus ditujukan untuk menghambat persaingan berdasarkan suatu Ad. c. Pihak lain. pertukaran informasi antar para peserta tender. Menurut penulis adalah pelaku usaha lain Dalam hal ini harus ada pertukaran dalam tingkat horisontal untuk menghindarkan informasi yang relevan bagi persaingan, informasi persaingan di antara mereka, bukan dalam tingkat tersebut harus berhubungan dengan strategi vertikal. persaingan rahasia yang dimiliki para pesaing. Hal tersebut tidak akan terjadi di dalam pelaku Ad. d. Barang/Jasa. usaha untuk memilih mitra, seperti dalam kasus ini. Pelaku usaha yang memilih mitra adalah berdasarkan kemampuan calon mitra, yaitu kemampuan permodalan karena mitra ikut jadi pemegang saham dan kemampuan berdasarkan pengalaman.
Ketentuan umum Pasal 1 butir 16 dan butir 17 telah menerangkan secara jelas sekali apa yang dimaksud dengan barang/jasa. Pasal 1 butir 16 menyatakan barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat Dalam hal pemilihan mitra ini, tidak diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. ada persekongkolan pertukaran informasi dari Sementara Pasal 1 butir 17 menyatakan jasa para pelaku usaha yang membuat pelaku usaha adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan bersikap pura-pura sehingga ia terpilih. Tender adalah bertujuan untuk mencari penawar dengan 56 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
harga terendah atau best value (kombinasi harga dan kualitas). Sedangkan Pemilihan Mitra adalah bertujuan untuk mencari mitra yang akan menanggung risiko bisnis bersama-sama (sharing risk). Dalam proses pemilihan mitra harus dilakukan diskusi dengan pihak yang berminat untuk berinvestasi. Diskusi tersebut adalah tentang maksud dan tujuan investasi serta untuk mendapat informasi dari peminat investasi.
1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender tidak bisa memperluas penafsiran Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Peraturan KPPU bukanlah sumber hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Sebagai kesimpulan Pasal 22 Undang- Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang No. 5 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan KPPU kepada pelaku usaha yang memilih mitra untuk No. 2 Tahun 2010 telah memperluas penafsiran pengembangan suatu proyek. Pemilihan mitra persekongkolan tender dari persekongkolan bukan merupakan pengadaan barang/jasa, horizontal, memasukan juga persekongkolan tetapi mitra untuk menyertakan modal sebagai vertikal. pemegang saham dan mempunyai pengalaman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun serta kemampuan. 1999 sudah sangat jelas menyatakan bahwa Pemilihan mitra yang dilakukan oleh PT tender adalah mengenai barang dan jasa. ”P” bersama-sama PT ”M” untuk monetisasi Memberikan jasa yaitu mengerjakan sesuatu lapangan gas Area M dan Blok S melalui bisnis dengan mendapat upah. Pemilihan partner yang LNG dengan skema hilir bukanlah merupakan dilakukan oleh PT ”P” adalah suatu kegiatan pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud investasi yang mengandung unsur untung dan pada SK Direksi No. Kpts-036/C00000/2004- rugi suatu perusahaan yang nantinya berbentuk SO tanggal 24 Agustus 2004 tentang Manajemen joint venture. Pengadaan Barang/Jasa. Perluasan pengertian tersebut dikatakan Pada waktu Undang-Undang ini diajukan berdasarkan pendapat Maarten C.W. Janssen oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, saya dalam kata pengantar bukunya. Maarten C.W. ingat benar sebagai Wakil Ketua Tim Pemerintah Janssen sebagai editor dalam buku Auctioning dalam pembahasan Undang-Undang ini di DPR, Public Asset: Analysis and Alternatives, pada waktu itu tidak terpikirkan penerapan Pasal sebenarnya menguraikan pemilihan penyedia 22 ini kepada hal-hal di luar pengadaan barang barang atau jasa dengan cara antara lelang dan jasa, apalagi sampai kepada pemilihan partner (auction) dan beauty contest, bukan mengenai usaha. Menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemilihan partner usaha. KPPU boleh memperluas pengertian barang dan In the beginning of the 21st century, many jasa tersebut sampai kepada pemilihan partner European governments have allocated usaha? the right to use third generation mobile telephony (UMTS-) frequencies to private Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang telecom parties. The allocation mechanism Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 57
that was adopted differed widely between countries. Some countries chose to use one or another from of aution for allocating the rights, whereas others chose a Beauty Contest in which market players were selected on the basis of the proposals they had submitted how to use the frequencies (Janssen (Ed), 2004: xii). … Auctions and their alternatives are ways to select the private parties that get a license to operate the market. The efficiency of the market, one of the most important goals from an economic point of view, defends to a large extent on the way the market is designed (how is the license defined and how many license are allocated) (Janssen, 2004: 9).
pembuat undang-undang sendiri yaitu DPR RI bersama Pemerintah. Di samping itu, hakim pengadilan dapat menafsirkan suatu undangundang, tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukan hakim sebagai lembaga yudikatif yang boleh menafsirkan suatu undang-undang. Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 48 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelanggaran Pasal 22 diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,(lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 5 (lima) bulan. Berdasarkan ketentuan tersebut pembuktian bahwa pelaku usaha melanggar pasal ini harus dilakukan dengan menggunakan pembuktian pidana sebagaimana dimaksud Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Jelas sekali uraian dalam buku tersebut tetap mengenai pengadaan barang dan jasa, dan bukan mengenai pemilihan partner untuk suatu Dalam hal ini KPPU menggunakan alat usaha seperti yang dilakukan oleh PT ”P” dan bukti lain, yaitu dugaan, penafsiran, asumsi yang PT ”M”. menurut saya adalah alat bukti tidak langsung KPPU tidak berwenang untuk memperluas (indirect evidence). Hal ini tidak boleh dilakukan ruang lingkup suatu undang-undang. Peraturan untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha KPPU No. 2 Tahun 2010 telah memperluas sebagaimana diuraikan berikut ini. penafsiran pengadaan barang dan jasa kepada Pelanggaran terhadap Pasal 22 Undangpemilihan partner untuk melaksanakan suatu usaha. Selain itu KPPU telah memperluas Undang No. 5 Tahun 1999 diancam dengan pengertian persekongkolan tender dari hukuman pidana sebagaimana disebut dalam persekongkolan horizontal, memasukan juga Pasal 48 ayat (2). Pembuktian tentang adanya pelanggaran pasal tersebut haruslah memakai persekongkolan vertikal. alat-alat bukti sebagaimana dimaksud oleh Pasal KPPU tidak dapat memperluas penafsiran 42, yaitu: suatu undang-undang, apalagi dengan mengutip a. keterangan saksi, pendapat ahli luar negeri. Pendapat ahli luar negeri tidak dapat dipakai untuk menafsirkan undang-undang Indonesia berdasarkan azas kedaulatan (soveregnity). Yang bisa merubah isi penafsiran undang-undang tersebut adalah 58 |
b.
keterangan ahli,
c.
surat dan atau dokumen,
d.
petunjuk,
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
e.
keterangan pelaku usaha.
Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan di KPPU Pemakaian alat bukti lainnya seperti alat telah menyatakan juga bahwa Majelis Komisi bukti tidak langsung (indirect evidence) yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti terdiri dari antara lain (OECD, 2007: 2): dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan 1. Penafsiran atau interpretasi, dugaan kesesuaian sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.Sedangkan Undang-Undang No. dan asumsi. 5 Tahun 1999 telah menyebutkan secara rinci 2. Logika. atau limitatif alat-alat bukti yang sah menurut tidak dikenal dalam hukum pembuktian undang-undang yaitu: persaingan usaha di Indonesia. a. keterangan saksi, Alat-alat bukti tersebut dalam Undangb. keterangan ahli, Undang No. 5 Tahun 1999 sama dengan alat-alat c. surat dan atau dokumen, bukti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang d. petunjuk, Hukum Acara Pidana Pasal 184, dengan mengganti e. keterangan pelaku usaha. Keterangan Terdakwa menjadi Keterangan Pelaku Usaha, dan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun Di luar ini, tidak dapat dipergunakan 2006 diubah menjadi Keterangan Terlapor. sebagai alat bukti yang sah. Dengan demikian di Dengan demikian pelanggaran pidana dalam luar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menganut untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha/ prinsip yang sama dengan Kitab Undang-Undang terlapor. Hukum Acara Pidana (KUHAP). Azas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha atau dengan kata lain, azas pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya pelaku usaha. Untuk menjelaskan masalah ini, titik tolak berpijak berdasarkan prinsip Pasal 183 KUHAP, yaitu tidak boleh menjatuhkan pidana kepada pelaku usaha/terlapor kecuali dengan sekurangkurang dua alat bukti yang sah, harus diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa pelaku usahalah yang melakukannya.
Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mempunyai sanksi pidana, maka semestinya pembuktian pelanggaran tersebut mengikuti prinsip Hukum Acara Pidana yang lazim, seperti yang disebutkan oleh Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut ini: Ad.a. Keterangan saksi
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, Pasal 64 ayat (2) Peraturan Komisi harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 59
keterangan itu dipercaya.
1.
Harus mengucapkan sumpah atau janji.
2.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
3.
Keterangan saksi harus diberikan di sidang KPPU. Ad.b. Keterangan ahli
4.
Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup untuk membuktikan bahwa terlapor bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
5.
Keterangan beberapa saksi yang
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan.
berdiri sendiri-sendiri tentang Ad.c. Surat suatu kejadian atau keadaan dapat Surat sebagaimana tersebut dibuat atas digunakan sebagai suatu alat bukti sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yang sah apabila keterangan saksi itu adalah: ada hubungannya satu dengan yang a. berita acara dan surat lain dalam lain sedemikian rupa, sehingga dapat bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat membenarkan adanya suatu kejadian umum yang berwenang atau yang atau keadaan tertentu. dibuat dihadapannya, yang memuat Baik pendapat maupun rekaan, yang keterangan tentang kejadian atau diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keadaan yang didengar, dilihat atau merupakan keterangan saksi. Dalam menilai yang dialaminya sendiri, disertai kebenaran keterangan seorang saksi, KPPU harus dengan alasan yang jelas dan tegas dengan sungguh-sungguh memperhatikan: tentang keterangannya itu;
60 |
a.
persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.
persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.
alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
d.
cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
b.
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
d.
keahliannya mengenai sesuatu hal saksi, surat dan keterangan pelaku usaha/terlapor atau sesuatu keadaan yang diminta sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan secara resmi dan padanya; hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga surat lain yang hanya dapat berlaku alat bukti yang lain tersebut. jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Ad. d. Petunjuk
Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan KPPU, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk. Sebaliknya alat bukti yang lain bisa saja ada tanpa kehadiran alat bukti petunjuk di sidang KPPU. Tanpa alat bukti petunjuk, sidang KPPU mungkin saja mencapai nilai pembuktian yang cukup dari alat bukti yang lain. Akan tetapi, alat bukti petunjuk tidak akan pernah mampu mencukupi nilai pembuktian tanpa adanya alat bukti yang lain.
Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud di atas menurut prinsip Pasal 188 ayat (2) hanya Ad.e. Keterangan pelaku usaha/terlapor dapat diperoleh dari: Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan: a. keterangan saksi; b.
surat;
c.
keterangan pelaku usaha.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu seharusnya dilakukan dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan. Alat bukti petunjuk pada umumnya, baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang ditentukan undang-undang. Alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti yang lain. Petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk ”substansi tersendiri”. Dia tidak mempunyai ”wadah” sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Petunjuk sebagai alat bukti adalah ”asessor” (tergantung) pada alat bukti keterangan
1.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 61
Kata-kata terdakwa dalam pasal ini diganti Nasional Indonesia. dengan kata-kata pelaku usaha dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1999 kemudian diganti lagi IV. SIMPULAN dengan kata “terlapor” dalam Peraturan KPPU Sebagai kesimpulan dari uraian di atas No. 1 Tahun 2006, sehingga prinsip dalam Pasal 189 KUHAP dapat diterapkan untuk pembuktian adalah sebagai berikut: keterangan pelaku usaha/terlapor. 1. Beauty contest bukan istilah Undang-Undang No. 5 Tahun Pembuktian tidak langsung tidak sama 1999 tetapi istilah sarjana luar dengan alat bukti menurut Pasal 42 Undangnegeri. Hukum asing tidak dapat Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan dipakai untuk menafsirkan undangPraktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak undang Indonesia berdasarkan azas Sehat, karena pembuktian tidak langsung kedaulatan (soveregnity), kecuali menggunakan prinsip lain. Misalnya: telah ditetapkan sebagai undang1. Penafsiran atau interpretasi, suatu undang Indonesia oleh pembentuk yang terlarang dalam pembuktian undang-undang. Oleh karena itu pidana menurut prinsip Hukum Acara beauty contest tidak sama dengan Pidana. Pendapat atau rekaan yang tender. Begitu pula tender tidak sama diperoleh bukan merupakan bukti. dengan pemilihan mitra. Sementara 2. Logika, tidak membuktikan apa ruang lingkup Pasal 22 Undangyang dilihat, didengar, atau dialami Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sendiri. mengenai penawaran barang dan jasa, dan persekongkolan tender adalah Sebagai kesimpulan, pembuktian tidak persekongkolan antara para pelaku langsung tidak sama dengan alat bukti dalam usaha para peserta tender (horisontal), Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan bukan persekongkolan antara tidak dikenal dalam peraturan perundang-undang peserta tender dan penyelenggara di Indonesia. Pembuktian tidak langsung (indirect tender (vertikal). Pemilihan mitra evidence) tidak sama dengan alat bukti Petunjuk. tidak masuk ruang lingkup Pasal 22 Petunjuk harus diperoleh dari keterangan saksi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. surat maupun keterangan pelaku usaha/terlapor; sedangkan pembuktian tidak langsung bisa 2. KPPU tidak dapat memperluas ruang berdasarkan dugaan, penafsiran atau interpretasi lingkup suatu Undang-Undang. dan logika. Ketiganya itu dilarang dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun pembuktian tindak pidana di Indonesia. 2010 tentang Pasal 22 UndangPrinsip pembuktian yang diterapkan dalam putusan-putusan kasus-kasus luar negeri baru bisa dipergunakan di Indonesia, bila prinsip-prinsip tersebut sudah dianut oleh Undang-Undang
62 |
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Persekongkolan dalam Tender, telah memperluas penafsiran Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang bukan wewenang KPPU. Yang Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63
boleh merubah penafsiran undangundang adalah pembentuk undangundang dan hakim. KPPU bukan hakim sebagai organ yudikatif. 3.
Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 harus mengikuti pembuktian pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 42 UndangUndang No. 5 Tahun 1999, bukan berdasarkan dugaan, penafsiran, dan asumsi.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Robert. Et.al., Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-Undang Kebijakan Persaingan. Terjemahan Pahala Tamba. Washington D.C.: Bank DuniaOECD Paris.
Sumber lain: Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/ Pdt.G/KPPU/2011/ PN.JKT.PST. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hansen, Knud. Et.al. 2002. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Jakarta: Katalis Publishing-Media Services. Janssen, Maarten C.W. Edt. 2004. Auctioning Public Assets, Analysis and Alternatives. New York: Cambridge University Press. Lubis, Andi Fahmi. Et.al. 2009. Hukum Persaingan Usaha, Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ. OECD. 2007. “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement”. Pardede, Soy Martua. 2010. Persaingan Sehat & Akselerasi Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)
| 63
PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP Mutiara Hikmah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok 16424 Email:
[email protected] atau
[email protected]
THE REFUSAL OF INTERNATIONAL ARBITRATION DECISION IN THE CASE OF ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO) An Analysis of Decision Number 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP Mutiara Hikmah, Faculty of law of University of Indonesia Kampus Baru UI, Depok 16424 Email:
[email protected] atau
[email protected] ABSTRAK
Abstract
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang
Even though Indonesia has already had the Arbitration
Arbitrase, penolakan keputusan arbitrase internasional
Law, refusals of the international arbitration decisions
masih terjadi. Salah satunya adalah objek analisis
still happen. One of which is the object of analysis in
dalam artikel ini, yaitu kasus Astro Jaringan
this article, that is the case of Astro All Asia Network
Semua Plc Asia. Penerapan keputusan arbitrase
Plc. The application of the international arbitration
internasional dari Singapura ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penolakan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung. Artikel ini membahas seksama pertimbangan pengadilan untuk penolakan tersebut. Terdapat beberapa alasan yang tidak sesuai dengan UU Arbitrase, baik di tingkat pengadilan maupun Mahkamah
Agung.
Penolakan
tersebut
dapat
menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan perdagangan
internasional,
khususnya
terhadap
pengusaha asing. Pemerintah seharusnya mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase internasional sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di Konvensi New York tahun 1958. Kata kunci: UU Arbitrase, keputusan arbitrase
decision from Singapore was refused by the Central Jakarta District Court. This refusal is confirmed by the Supreme Court. This article discuss any court’s considerations for the refusal. It seems that some reasoning are not in accordance with the Arbitration Law, that come from both at the district court level and the Supreme Court. That such refusal, in consequence, could cause bad impact to the international bussiness climate. The Government was supposed to admit and implement the international arbitration decisions as a consequence of Indonesia’s membership of the 1958 New York Convention. Keywords: Arbitration Law, international arbitration decision.
internasional.
64 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
I.
PENDAHULUAN
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan Indonesia telah menjadi anggota Konvensi di luar negeri (Gautama (a), 2004: 1). Walaupun New York 1958 (Convention on The Recognition dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958) yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa, melalui Keputusan Presiden RI (Keppres) No. namun pelaksanaan pemeriksaan arbitrasenya 34 Tahun 1981 dan diterbitkan dalam Lembaran dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan Negara RI Tahun 1981 No. 40 (Gautama, 1981: pemeriksaan dan proses arbitrase berlangsung di 214). Dengan ikut sertanya negara Indonesia luar negeri, ketika putusan arbitrase diucapkan dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di pihak dari Indonesia, maka hal ini akan berakibat dalam konvensi tersebut mengenai pengakuan pihak yang menang dalam proses arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase (Rajagukguk, 2001: 65). internasional tersebut di Indonesia. Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti model penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya (Simanjuntak, 2002: 85).
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan (Prodjodikoro, 1954: 74). Pengadilanpengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut (Rajagukguk, 2001: 4).
Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan pelaksanaan putusannya (Zuraida, 2009: 222), melainkan lembaga pengadilan yang harus Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan pada akhir-akhir ini, dalam kontrak-kontrak yang putusan arbitrase tersebut. Dalam prakteknya, ditandatangani oleh Badan Usaha Milik Negara pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan (BUMN) atau perusahaan negara di satu pihak dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang dengan pihak asing, baik dalam bentuk Kerja Sama berjalan. Operasi (KSO)/Joint Operation Contract (JOC) atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi bersifat ”internasional”, dipakai klausul mengenai New York 1958 pada tahun 1981, pada kurun
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 65
waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan ”Perma”), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam hierarki perundangundangan di Indonesia, pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat dengan UU Arbitrase) terdiri dari XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Kanada). Pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASITINT/2002, tanggal 8 Maret 2004. Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta penolakan tersebut kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Kasus tersebut merupakan salah satu kasus arbitrase internasional yang juga diajukan banding ke Mahkamah Agung adalah kasus antara AAAN dengan PT APM, anak perusahaan. PT APM sebagai pemilik PT DV bersama dengan AG, di mana A memiliki saham sebanyak 49%. Dan sisanya dimiliki Silver Concord sebesar 51%. APM sendiri, dimiliki oleh PT FM, sebanyak 99% dalam bentuk nilai penyertaan sebesar Rp.34,54 juta dan PT MVC dengan nilai penyertaan Rp.35 ribu (1%).
Gugatan bermula dari perselisihan terkait kerja sama televisi swasta AAAN dengan LG Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu- melalui PT DV. Kerja sama ini mewajibkan LG satunya putusan arbitrase internasional yang menanamkan 50 persen saham mereka di Astro, dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tidak dipenuhi. Akhirnya, keputusan adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss pengadilan arbitrase menetapkan PT DVharus (tanggal 18 Desember 2000), yaitu pada perkara membayar US$230 juta. Sementara FM dan PT KBC vs. PT P dan PL (Putusan No. 86/Pdt-G/2002, APM, juga anak perusahaan milik LG, diwajibkan tanggal 19 Agustus 2002 dengan Ketua Majelis membayar sejumlah US$95 juta. Hakim HS, S.H). Kasus tersebut mengundang Menurut keterangan dari kuasa hukum pihak perhatian berbagai pihak dari dalam dan luar AAAN, PT APM telah gagal dalam menyelesaikan negeri, karena selain melibatkan beberapa saksi rencana kerjasama antara AAAN dan LG di ahli dari berbagai negara, juga putusan arbitrase dalam PT DV, sehingga AAAN menggunakan tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak haknya dengan mendaftarkan masalah tersebut KBC di beberapa negara, sehubungan dengan ke persidangan arbitrase di Singapura, SIAC. aset pihak PT P yang terdapat di beberapa negara Majelis arbitrase SIAC memutuskan bahwa pihak (antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan 66 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
PT APM harus membayar denda sebesar US$ 230 juta kepada AAAN, dengan putusan SIAC No. 62 of 2008 tanggal 7 Mei 2009. Oleh kuasa hukum pihak AAAN, putusan arbitrase asal SIAC tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor pendaftaran No. 05/2009, tanggal 1 September 2009. Pada keesokan harinya, secara terpisah PT DV mengajukan permohonan pembatalan atas putusan Arbitrase SIAC dengan Register Nomor: 177/PDT.P/2009/PN.JKT. PST, tanggal 2 September 2009. Demikian pula dengan PT APM, juga mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional asal SIAC dengan Register Nomor: 178/PDT.P/2009/ PN.JKT.PST. Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 28 Oktober 2009, permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh pihak AAAN tersebut ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2.
Bagaimana analisis mengenai pertimbangan Mahkamah Agung RI yang telah menguatkan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional pada kasus AAAN?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS 1.
Studi Pustaka
Kajian mengenai putusan arbitrase internasional merupakan salah satu kajian di bidang Hukum Perdata Internasional (untuk selanjutnya disingkat dengan HPI), karena adanya unsur-unsur asing (foreign elements) dalam suatu putusan arbitrase internasional. Perumusan yang diberikan oleh ahli HPI Inggris Chesire, adalah “That part of English Law known as Private International Law comes into operation whenever the court is seized of a suit that contains as foreign element”. (Terjemahan bebas dari penulis: Bagian dari Hukum Inggris yang dikenal II. RUMUSAN MASALAH dengan Hukum Perdata Internasional adalah Pada kasus AAAN di atas, Pengadilan berasal dari hubungan-hubungan yang memiliki Negeri Jakarta Pusat telah menolak pelaksanaan unsur asing). putusan arbitrase asal Singapore International Adanya unsur-unsur asing tersebut, Arbitration Center, dan penolakan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Dengan ditandai dengan adanya hal-hal atau keadaan terikatnya Indonesia pada Konvensi New York yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel 1958, Pemerintah RI seharusnya berhati-hati hukum. Hal ini disebut juga sebagai suatu titikdalam menolak putusan arbitrase internasional titik pertalian, yang dalam pembahasan tentang yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia. HPI, terdiri dari Titik-titik Pertalian Primer (untuk selanjutnya disingkat dengan TPP), Titik-titik Berdasarkan pemaparan latar belakang Pertalian Sekunder (untuk selanjutnya disingkat tersebut di atas, maka terdapat beberapa masalah dengan TPS), serta Titik-titik Pertalian Lebih yang dapat dirumuskan, antara lain: Lanjut. 1.
Bagaimana analisis mengenai pertimbangan pengadilan yang memberikan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional pada kasus AAAN?
Yang dimaksud dengan TPP adalah halhal dan keadaan-keadaan yang melahirkan atau menciptakan suatu hubungan HPI. Karena terdapatnya TPP ini, maka lahirlah hubunganhubungan HPI. Macam-macam TPP dalam
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 67
HPI antara lain (Gautama, 1986: 24-62): kewarganegaraan, bendera kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan badan hukum, dan pilihan hukum. Selain TPP, juga ada TPS, yaitu hal-hal atau keadaan yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam suatu peristiwa HPI. Macam-macam TPS terdiri dari: kewarganegaraan, bendera kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan badan hukum, pilihan hukum, tempat letaknya benda, tempat dilangsungkannya perbuatan hukum, tempat dilaksanakannya perjanjian, tempat terjadinya perbuatan melawan hukum. Sedangkan yang termasuk ke dalam Titiktitik Pertalian Lebih Lanjut, adalah (Gautama 1986: 63-72): Titik pertalian kumulatif, adalah terdapat suatu kumulasi (penumpukan) dari titiktitik pertalian. Kumulasi ini dapat berlangsung dalam dua bentuk tertentu. Salah satu dari stelsel hukum yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel hukum nasional dan yang lainnya adalah stelsel hukum asing. Bentuk yang lainnya adalah stelsel hukum yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel hukum yang kebetulan dipertautkan. Titik pertalian alternatif, yaitu adanya lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum yang berlaku. Salah satu dari dua atau lebih faktorfaktor ini dapat merupakan faktor yang berlaku. Titik pertalian pengganti, adalah titik-titik pertalian yang diperlakukan apabila titik taut yang seharusnya dipergunakan tidak terdapat. Titik pertalian tambahan, bahwa titik taut penentu yang harus berlaku adanya tidak mencukupi. Dalam hal ini diperlukan titik taut tambahan. Titik pertalian accessoir, adalah penempatan suatu hubungan hukum di bawah satu stelsel hukum yang sudah berlaku untuk lain hubungan hukum yang lebih utama. 68 |
Mengenai titik pertalian ini, Chesire memberikan uraian dengan mengemukakan bahwa ”connecting factor” merupakan ”some outstanding fact which establishes a natural connection between the factual situation before the court and a particular system of law”(Chesire dan North, 1992: 10). (Terjemahan bebas dari penulis: ”Beberapa faktor utama yang timbul sebagai hubungan antara keadaan sesungguhnya yang menyangkut sistem hukum yang khusus”). Pembahasan tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia berhubungan dengan salah satu teori HPI, yaitu teori tentang hak-hak yang telah diperoleh (vested rights theory) ). Istilah hak-hak yang telah diperoleh dalam bidang HPI tidak hanya mencakup hakhak kebendaan, hak-hak kekeluargaan dan status personal, tetapi juga mencakup hak-hak yang timbul dari tiap-tiap hubungan hukum atau keadaan hukum (Gautama, 1986: 257-258). Jika mempelajari sejarahnya, teori tentang hak-hak yang telah diperoleh, merupakan teori yang sudah tua usianya (Gautama, 2008: 274). Dalam abad pertengahan, teori ini sudah ditemukan di dalam pemikiran-pemikiran sarjana hukum pada saat itu. Hal ini dapat dilihat pada pendapat-pendapat sarjana asal Belanda dan Jerman. Dalam abad ke-18 teori tentang hakhak yang telah diperoleh ini disandarkan pada teori hukum alam (natuurrecht). Terutama di Jerman teori ini telah memperoleh banyak pengikut dalam permulaan abad ke-19. Jika terdapat “pertemuan” (“kollisie”) kaidah-kaidah hukum, maka diberikan prioritas kepada kaidahkaidah hukum negara di mana hubungan hukum bersangkutan telah tercipta. Dengan demikian dikedepankan pengertian tentang “hak-hak yang telah diperoleh”.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
Beberapa penulis seperti Frankenstein, telah menerima prinsip hak-hak yang telah diperoleh. Menurut pendapatnya, bahwa jika diadakan perubahan kewarganegaraan seseorang atau perubahan letaknya benda karena terdapat hubungan hukum dengan sistem hukum lain, maka hak-hak yang telah diperoleh itu tetap berlaku (Frankenstein, 1926: 132). Pendapat tersebut juga didukung oleh Raape dan Martin Wolff (Wolff, 1950: 2). Martin Wolff memberikan penjelasan bahwa tidak ada suatu negara dalam HPI-nya akan boleh mengatur sesuatu sedemikian rupa hingga kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya berkenaan dengan hak-hak orang asing dapat dilanggar begitu saja. Dalam hubungan ini beliau menunjuk kepada apa yang dinamakan teori tentang “hak-hak yang diperoleh”. Menurut beliau, jika suatu hubungan hukum telah terjadi di negara asing antara warga negara dari negara itu menurut hukum yang berlaku di sana, maka lain-lain negara akan mengakuinya sebagai tercipta secara sah, sekalipun dalam hal bahwa kemudian hubungan ini telah dipindahkan ke dalam negeri dan menurut hukum dalam negeri ini harus dipandang sebagai tidak sah adanya (Wolff, 1950. :1).
hukum yang telah memberikan inspirasi kepada pembuat undang-undang daripada suatu kaidah hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige regel), pengakuan status personil orang asing pemakaian lex rei sitae, pengakuan sahnya suatu perbuatan yang sesuai dengan syarat-syarat formal di luar negeri, semua ini boleh dianggap disandarkan atas asas “hak-hak yang diperoleh” itu. Asas ini dapat dianggap telah “tersirat” (“verwerkt”) dalam kaidah hukum bersangkutan (Gautama, 1998: 307).
Dicey merupakan sarjana HPI Inggris yang telah mengedepankan teori tentang “vested rights”. Dalam pandangan Dicey dikemukakan lagi perbedaan antara kaidah-kaidah hukum asing (laws) dan hak-hak (rights) yang telah diperoleh di luar negeri. Yang hendak diberikan perlindungan ialah hak-hak yang disebut terakhir ini. Atas dasar apakah dianggap perlu untuk menghargai hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri ini? Dasarnya menurut pandangan Dicey bukan semata-mata “courtoisie” (“comity”). Tidaklah tergantung kepada kehendak sendiri pihak negara yang berdaulat untuk memperhatikan hak-hak yang telah diperoleh di negara-negara lain. Yang menjadi dorongan ialah kenyataan bahwa jika tidak dihargai “hak-hak yang telah diperoleh” di luar negeri ini akan timbullah banyak kesulitan Ahli HPI Belanda yang kenamaan seperti dan “inconveniences” serius serta ketidak-adilan Meijers dan Van Brakel juga menerima teori yang sangat, hingga dengan demikian ini akan tentang “hak-hak yang telah diperoleh”. Menurut diperlambat atau dihalang-halangi perkembangan Van Brakel, harus diadakan pengakuan terhadap hubungan dalam HPI. hak-hak yang telah tercipta di luar negeri. Tanpa pengakuan itu tidak akan mungkin hubungan lalu Jika mempelajari perkembangan teori lintas internasional HPI akan dapat berkembang. hak-hak yang telah diperoleh di Indonesia, Pengakuan hak-hak yang telah diperoleh, Mahkamah Agung RI (di bawah Ketua Prof. merupakan salah satu pikiran fundamental di Wirjono Prodjodikoro) menganggap lebih mana gedung HPI telah dibangun. Menurut beliau tepat untuk mempergunakan istilah ”pelanjutan doktrin tentang “hak-hak yang telah diperoleh” keadaan hukum”. Prof. Wirjono menjelaskan: lebih banyak harus dilihat sebagai suatu asas ”Dalam perkataan-perkataan recht, right atau Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 69
droit tidak berarti sebagai hak hukum, melainkan keadaan hukum atau perhubungan hukum. Beliau menambahkan, bahwa sebetulnya tidak berarti melindungi hak-hak atau kekuasaan hukum, melainkan berarti melanjutkan suatu keadaan hukum. Menurut beliau, dalam banyak peristiwa, untuk mana hukum perdata asing harus berlaku, memang alasannya dapat diketemukan pada suatu pelanjutan keadaan hukum. Akan tetapi, menurut beliau pelanjutan keadaan hukum ini bukan satusatunya alasan untuk menunjuk kepada hukum perdata asing (Gautama, 1998: 312). Secara hukum positif ditunjuk pula kepada ketentuan yang termaktub pada Pasal 16 A.B. yang berhubungan dengan Pasal 3 A.B. Pasal ini menunjuk kepada hukum perdata bagi orang-orang asing yang berada di Indonesia. Pasal ini mengedepankan prinsip nasionalitas (nationaliteits-beginsel) untuk status personal seseorang. Pasal 16 A.B. ini secara letterlijk hanya mengenai status para warga negara Republik Indonesia yang berada di luar negeri. Secara analogi, juga status personal orangorang asing yang berada di Indonesia tetap takluk di bawah hukum nasionalnya, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 A.B. bahwa hukum perdata dan hukum dagang pada pokoknya adalah sama, baik untuk para warga negara maupun untuk orang asing. Menurut Wirjono Prodjodikoro kata-kata dalam Pasal 16 A.B. “mengandung penafsiran pelanjutan keadaan”. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan seolah-olah prinsip “pelanjutan keadaan hukum” atau penghormatan terhadap “hak-hak yang telah diperoleh” termasuk pula dalam peraturan-peraturan tertulis yang berlaku untuk Indonesia (Gautama, 1998: 313). Teori tentang “hak-hak yang telah diperoleh” 70 |
mempunyai hubungan erat dengan masalah ketertiban umum. Menurut pandangan berbagai sarjana hukum tujuan daripada “hak-hak yang diperoleh” ini justru adalah sebaliknya daripada tujuan ketertiban umum dalam HPI. Ketertiban umum internasional merupakan dasar kuat untuk melakukan hukum perdata nasional sang hakim, padahal menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim sendiri, kaidah-kaidah hukum perdata asing yang harus dipergunakan. Ajaran “hak-hak yang diperoleh” justru menghendaki kebalikannya, bukan hukum asing yang dikesampingkan, tetapi justru hukum asing inilah yang diakui dan dipergunakan. Prinsip hakhak yang diperoleh ini dalam prakteknya dapat dipergunakan untuk memperbaiki pelaksanaan prinsip ketertiban umum. Di mana pemakaian prinsip ketertiban umum ini akan menghasilkan dikesampingkannya hukum perdata asing, padahal hukum asing ini perlu diperhatikan juga demi terpenuhinya rasa keadilan para pihak. Pemakaian prinsip “hak-hak yang diperoleh” dapat memperbaiki dan melembutkan pelaksanaan prinsip ketertiban umum. Dalam kajian Hukum Perdata Internasional, tidak ada definisi khusus yang dirumuskan untuk istilah ketertiban umum. Tetapi pada esensinya, hakim suatu negara dapat mengenyampingkan berlakunya kaidah hukum asing, jika hukum asing tersebut bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum sang hakim. Relativitas merupakan sifat dari ketertiban umum, artinya ketertiban umum bersifat relatif, berlakunya tergantung pada faktor-faktor waktu, tempat dan intensitas (dalam bahasa Jerman Inlandsbeziehungen) (Gautama 1998: 142). Juga dalam hubungan “hak-hak yang telah diperoleh” pembahasan asas resiprositas adalah
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
penting. Prinsip saling harga-menghargai juga harus diperhatikan dalam hubungan ini. Memang tidak dapat disangkal bahwa soal timbal balik memegang peranan penting dalam seluruh bidang HPI. Jika timbal-balik penting baik untuk ketertiban umum maupun untuk “hak-hak yang telah diperoleh”, perlu diperhatikan pula bahwa dalam wujudnya terdapat perbedaan tertentu.
sedemikian rupa, sehingga pelanjutan keadaan hukum itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, ditambahkan oleh beliau bahwa jika inconcreto harus disebutkan suatu alasan tertentu untuk membatasi pengakuan prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” ini, maka akan kembali lagi kepada alasan berdasar atas ketertiban umum negara awal.
Dalam wujudnya, timbal balik ini adalah berlainan dalam hal ketertiban umum dan dalam hal “hak-hak yang telah diperoleh”. Letak perbedaannya adalah, dalam hal ketertiban umum resiprositas mengakibatkan bahwa hakim menjaga supaya berhati-hati dalam menggunakan asas ini sebagai alasan untuk mengutamakan hukum nasional, sedangkan dalam hal “hak-hak yang telah diperoleh” resiprositas adalah mendorong hakim supaya mengetahui seberapa boleh memperhatikan hak-hak yang telah diperoleh (atau melanjutkan keadaan hukum).
Ketertiban umum dalam hal ini merupakan pembatasan dari berlakunya hak-hak-yang telah diperoleh. Mengenai hal tersebut, Konvensi New York 1958 pun mengatur mengenai ketertiban umum yang dapat dijadikan dasar untuk penolakan terhadap berlakunya putusan arbitrase internasional di suatu negara. Konvensi New York 1958 merupakan konvensi internasional yang diprakarsai oleh PBB mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Indonesia merupakan salah satu negara peserta dari 145 jumlah negara yang menjadi anggota Konvensi New York 1958.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hubungan mengenai hak-hak yang telah diperoleh ini: “jika suatu negara kurang memperhatikan hak perlanjutan keadaan hukum ini terhadap lain negara, maka tidak boleh diharapkan, bahwa negara lain itu akan memperhatikan hal perlanjutan keadaan hukum itu sepatutnya terhadap negara yang tersebut pertama tadi”.
Dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut. Salah satu pasal dari konvensi tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa apabila terdapat suatu klausul arbitrase (Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York 1958), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dalam hal timbul sengketa, mereka akan menyelesaikan sengketa ini dengan jalan arbitrase, maka pihak hakim dari pengadilan harus menyatakan dirinya tidak berwenang serta mempersilahkan para pihak untuk melanjutkan perkara mereka di hadapan forum arbitrase.
Sebagai kelanjutan tinjauannya beliau telah menjelaskan lebih jauh persoalan sampai di manakah negara masing-masing akan memperhatikan prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” itu. Paling tegas hanya dapat dikatakan, bahwa suatu negara akan mungkin menghentikan perhatian prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” ini, jika ternyata, bahwa dengan diakuinya hakBadan-badan peradilan dari negara peserta hak yang telah diperoleh di luar negeri ini, rasa konvensi, apabila diminta untuk mengadili suatu keadilan rakyat sang hakim akan tersinggung perkara di mana para pihak telah mengadakan
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 71
persetujuan secara tertulis untuk memilih forum arbitrase, para pihak dipersilahkan untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase. Kecuali apabila badan peradilan yang berwenang menganggap bahwa perjanjian arbitrase yang telah dibuat oleh para pihak telah dianggap batal adanya atau tidak dapat dilaksanakan. Prinsip dalam Konvensi New York 1958 ini, dikenal dengan istilah Limitation of Court Involvement. Di mana menurut prinsip ini, terdapat pembatasan campur tangan pengadilan di dalam proses arbitrase. Dengan kata lain, jika para pihak sudah sepakat memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka pengadilan harus menolak untuk memeriksa sengketa tersebut. Hal ini seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York 1958. Prinsip dalam Konvensi New York 1958 tersebut merupakan penghormatan terhadap asas kebebasan berkontrak. 2.
Analisis
LLC (perseroan terbatas yang berkedudukan di UEA). Para pihak tersebut secara keseluruhan disebut sebagai pemohon pada arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pemohon kasasi terhadap penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009 pada Mahkamah Agung RI, melawan pihak: PT APM, PT FM Tbk dan PT DV/PT DV (perseroan terbatas yang berkedudukan di Indonesia). Para pihak tersebut secara keseluruhan disebut sebagai termohon pada arbitrase SIAC, termohon penetapan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan termohon kasasi terhadap penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/ Pdt/ARB-INT/2009 pada Mahkamah Agung RI. B. Intisari Kasus
AN adalah stasiun televisi satelit 2.1. Analisis Terhadap Penolakan Putusan berlangganan di Indonesia yang beroperasi sejak Arbitrase Internasional asal SIAC oleh 28 Februari 2006 hingga 19 Oktober 2008. AN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. dioperasikan oleh PT DV, dimana kepemilikan Dalam sub bahasan ini akan diuraikan sahamnya adalah 49% oleh PT APM dan 51% oleh beberapa hal sehubungan dengan kasus posisi, Silver Concord Holding Limited (Badan Hukum antara lain: BVI), keduanya adalah anak perusahaan milik LG. PT DV memperoleh pasokan siaran dari AAAN A. Para Pihak PLC, operator televisi satelit berlangganan Astro di Malaysia dan Brunei Darussalam, dan juga Para pihak yang bersengketa adalah: ANI berhak menggunakan nama ”A” melalui suatu B.V., ANH B.V., AMC N.V., AM N.V. (adalah perjanjian lisensi penggunaan merek dagang beberapa perseroan terbatas yang berkedudukan (Trademark License Agreement). Kedua pihak di Belanda), AOL (perseroan terbatas yang juga menyepakati Subsciption and Shareholder berkedudukan di Bermuda), AAAN PLC Agreement (untuk selanjutnya disingkat dengan (perseroan terbatas yang berkedudukan di SSA) dalam waktu dua tahun AAAN akan turut Inggris), MBNS Sdn Bhd (perseroan terbatas serta menjadi pemegang saham di PT DV. yang berkedudukan di Malaysia) dan AAMN FZ72 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
Pada tanggal 11 Maret 2005 diadakan penutupan SSA antara pihak pemohon dan PT DV. Berdasarkan SSA, Astro harus melakukan penyetoran modal sebesar tiga puluh sembilan juta Dollar Amerika ditambah dukungan teknis sebesar seratus tiga puluh enam juta Dollar Amerika kepada PT DV. Pada 26 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia memberlakukan UndangUndang Penyiaran yang mewajibkan semua operator, termasuk yang telah memiliki ijin multimedia seperti PT DV untuk mengajukan ijin penyelenggaraan penyiaran berdasarkan UndangUndang Penyiaran yang membatasi kepemilikan asing menjadi 20%.
Negeri Jakarta Selatan, dengan AAAN, MBNS, Sdn Bhd, AAMN FZ-LLC, MSS Sdn Bhd, RM, SD, NM, LT, PT AKV, TAS (pemilik PT AKV), PT KMA (perusahaan yang berkedudukan di Indonesia, penyelenggara jasa penyiaran televisi berlangganan dengan merek dagang Aora), PT AB (perusahaan yang berkedudukan di Indonesia yang diperkenalkan oleh AAN sebagai pemegang saham sebesar tiga puluh satu persen pada PT DV), sebagai tergugat dan PT DV sebagai turut tergugat. Gugatan didasarkan atas perbuatan melawan hukum berkenaan dengan pendanaan dan pengaturan PT DV dengan petitum pada AAAN, MBNS, Sdn Bhd, All Asia MN FZ-LLC untuk meneruskan pendanaan dan jasa pada Konsekuensinya, L dan A kemudian PT DV serta membayar US$1,62 miliar atas membicarakan lebih lanjut untuk restrukturisasi pencemaran nama baik PT APM. PT DV agar dapat memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran yang baru. Badan Sementara itu, AAAN mengajukan perkara Koordinasi Penanaman Modal kemudian mengenai SSA pada SIAC tanggal 6 Oktober memberikan ijin, bahwa hingga tahun 2010 Astro 2008. Pengajuan perkara pada SIAC didasarkan diperbolehkan memiliki hingga 51% saham. pada Pasal 17.4 SSA. Pada tanggal 7 Mei 2009 Perundingan dilanjutkan kembali pada bulan Mei 2007. Hingga akhir Mei 2007, perkiraan biaya yang telah dikeluarkan pihak Astro adalah US$107,6 juta dalam bentuk pendanaan awal dan jasa. Hingga akhir Agustus 2007, tidak ada tanda bahwa SSA akan ditutup, namun para pihak mulai memikirkan pilihan untuk keluar. Astro menyatakan tidak akan melanjutkan pemberian dukungan berupa dana maupun jasa pada PT DV. Pada bulan Juli dan Agustus 2008, pemohon menerbitkan dan mengirimkan tagihan pada PT DV atas jasa dan meminta pengembalian atas dana yang telah diberikan. Di lain pihak, Lippo bersikeras bahwa Astro berkewajiban memberi dana dan jasa pada PT DV. Tanggal 4 September 2008, PT APM mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan
SIAC mengeluarkan Putusan Arbitrase SIAC No. 062 Tahun 2008. Salah satu isi Putusan Arbitrase SIAC adalah memerintahkan PT APM menghentikan proses perkara di Indonesia selama berkaitan dengan AAAN, MBNS Sdn Bhd, AAMN FZ-LLC, dan RM. C. Putusan Arbitrase Putusan arbitrase yang dimintakan pelaksanaannya di Indonesia adalah Putusan Arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL). Putusan ini dikeluarkan oleh lembaga arbitrase SIAC yang berkedudukan di Singapura. Ketika para pihak memilih SIAC sebagai forum penyelesaian sengketa berdasar Pasal 17.4 SSA, maka ada beberapa hukum yang berlaku, yaitu: 1.
Hukum
Singapura
sebagai
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
lex
| 73
arbitri (hukum tempat arbitrase berlangsung).
pihak memilih SIAC sebagai institusi arbitrase serta menyatakan bahwa SIAC Rules akan berlaku dalam proses arbitrase. Sesuai dengan asas pacta sunt servanda (perjanjian bersifat mengikat bagi para pembuatnya) maka mahkamah arbitrase dalam menjalankan proses arbitrase tunduk pada SIAC Rules tahun 2007. SIAC sendiri juga mengadopsi Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration.
Singapura memiliki dua undangundang arbitrase, satu yang berlaku untuk arbitrase nasional dan satu lagi untuk arbitrase internasional. Untuk perjanjian-perjanjian arbitrase internasional, undang-undang yang berlaku adalah International Arbitration Act (untuk selanjutnya disebut IAA), Chapter 143 A, yang berlaku untuk arbitrase internasional maupun arbitrase non-internasional apabila para pihak memperjanjikan secara tertulis bahwa Part II IAA dan Model Law akan berlaku. IAA memberikan Model Law kekuatan berlaku di Singapura, dengan pengecualian Chapter VIII (tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan). Hukum Singapura merupakan lex arbitri, mengingat SIAC merupakan institusi arbitrase yang berkedudukan di Singapura. Maka ketentuan IAA berlaku pula untuk arbitrase antara PT APM dan Astro. SIAC sebagai lembaga yang berwenang, selain harus tunduk pada procedural law dan menerapkan substantive law dalam penyelesaian sengketa, juga tunduk pada ketentuan arbitrase internasional Singapura dalam IAA. 2.
SIAC Rules tahun 2007 sebagai procedural law (hukum yang mengatur tatacara dalam proses berarbitrase). Berdasarkan Pasal 17.4 SSA, para
74 |
3.
Hukum Singapura sebagai substantive law (hukum yang mengatur mengenai materi perjanjian). Berdasarkan Pasal 18.5 SSA, “This Agreement shall be governed by and construed in accordance with the laws of the Republic of Singapore.” sesuai dengan asas pacta sunt servanda, maka mahkamah arbitrase ketika memeriksa sengketa antara para pihak yang timbul berdasarkan SSA, memperlakukan hukum Singapura.
D.
Penetapan Pengadilan
Setelah memperoleh Putusan Provisi Arbitrase SIAC, pihak Astro mendaftarkan putusan tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2009 untuk dimintakan eksequatur di Indonesia. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009 Dalam Internasional Nomor: 062 2009, Ketua
Penetapan Putusan Arbitrase berdasarkan Peraturan SIAC Tahun 2008 tanggal 07 Mei Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
berpendapat bahwa substansi Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukanlah substansi dalam bidang perdagangan; bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC merupakan intervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia; dan bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukanlah merupakan putusan final mengenai pokok perkara; oleh karenanya menetapkan bahwa Putusan Provisi Arbitrase SIAC tidak dapat dilaksanakan. Dalam kasus PT A di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC yang diajukan oleh pihak PT A . Adapun yang menjadi alasan ketua pengadilan dalam menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional asal SIAC tersebut adalah:
dalam Pasal 66 butir (b) UndangUndang No. 30 Tahun 1999; -
Bahwa untuk mencegah kekeliruan yang timbul di kemudian hari, apabila permohonan eksekuatur tersebut tetap dilaksanakan, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memandang perlu untuk menyatakan bahwa Putusan Arbitrase SIAC tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).
Atas penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap putusan Arbitrase SIAC, dalam hal ini penulis tidak sependapat. Adapun beberapa alasannya adalah: 1. Bahwa putusan arbitrase tersebut telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia. Hal tersebut kurang tepat, mengingat di dalam UndangUndang Arbitrase dinyatakan di dalam Pasal 3, bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.
-
Bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan SIAC, telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, maka Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak dapat dijalankan (Non Eksekutorial);
-
Bahwa setelah diteliti dan dipelajari permasalahan dalam berkas perkara Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan SIAC yang diputus 2. Bahwa adalah ternyata Putusan Arbitrase tanggal 7 Mei 2009, adalah ternyata Internasional tersebut bukan merupakan Putusan Arbitrase Internasional putusan akhir/final. Hal tersebut kurang tersebut bukan merupakan putusan tepat, mengingat prinsip umum dalam akhir/final; perjanjian arbitrase, bahwa putusannya Bahwa sengketa dalam putusan bersifat final dan binding. Hal ini seperti arbitrase SIAC, bukanlah sengketa yang diatur di dalam Undang-Undang mengenai ruang lingkup hukum Arbitrase Pasal 60 dan di dalam Konvensi perdagangan sebagaimana ditentukan New York 1958, Pasal 3.
-
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 75
3. Bahwa sengketa dalam putusan arbitrase SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 butir (b) UndangUndang No. 30 Tahun 1999. Menurut penulis hal ini kurang tepat, mengingat kerjasama di bidang penyiaran televisi adalah kerjasama di bidang jasa, dalam hal ini termasuk ke dalam bidang perniagaan. Di samping itu kerjasama mengenai permodalan yang berupa saham, juga termasuk dalam bidang keuangan, sehingga ruang lingkup putusan arbitrase SIAC tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdagangan, sesuai dengan penjelasan Pasal 66 butir (b) UU Arbitrase. 2.2. Analisis Putusan Mahkamah Agung RI, menguatkan penolakan putusan SIAC Astro mengajukan kasasi terhadap penetapan Putusan Provisi Arbitrase SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/ 2010 berpendapat bahwa penolakan pemberikan eksequatur oleh pengadilan negeri sudah benar dan tepat, karena perintah dalam Putusan Provisi Arbitrase SIAC untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia adalah melanggar asas sovereignty Negara Republik Indonesia, bahwa tidak ada suatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini dipandang melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia; materi yang termuat dalam Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukan termasuk dalam bidang perdagangan tetapi termasuk dalam hukum acara.
hukum, dari segi hukum acara dan dari segi hukum materiil. Kedua, bahwa dari segi hukum materiil, penolakan pemberian eksekuatur oleh Judex Facti adalah sudah benar dan tepat. Ketiga, bahwa perintah dalam putusan arbitrase SIAC, untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignty dari Negara Republik Indonesia. Tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum di Indonesia dan materi yang termuat dalam Putusan Arbitrase SIAC tersebut bukan termasuk dalam bidang perdagangan, tetapi termasuk dalam hukum acara. Menurut penulis penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung RI, adalah kurang tepat. Sehubungan dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung RI, dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa: seharusnya, hakim pada instansi ini lebih cermat lagi memeriksa penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diteliti dan diterapkan dengan seksama. Selain itu, apakah dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar penolakan yang diatur di dalam Konvensi New York 1958.
Dalam hal penolakan putusan arbitrase internasional, Konvensi New York 1958 memberi kesempatan kepada negara peserta konvensi untuk melakukan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, jika memenuhi syaratBeberapa pendapat yang dijadikan alasan syarat seperti yang diatur di dalam Pasal V (1) oleh Mahkamah Agung RI adalah, pertama Judex Konvensi, antara lain: Facti (pengadilan negeri) tidak salah menerapkan a. Para pihak dalam perjanjian seperti yang 76 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
diatur dalam Pasal II, menurut hukum yang berlaku, tidak mempunyai kapasitas, atau perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku, atau tidak ada petunjuk bahwa perjanjian tersebut sah, berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dibuat; b. Pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tidak mendapat pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para arbitrator atau dalam proses arbitrase ia tidak dapat menyampaikan kasusnya; c. Putusan berkenaan dengan hal yang berbeda atau tidak sesuai dengan hal-hal yang diajukan kepada arbitrator, atau putusan mengandung hal-hal di luar ruang lingkup pengajuan arbitrase; d. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, atau persetujuan itu gagal, jika tidak sesuai dengan hukum negara di tempat arbitrase berlangsung;
SIAC, maka dapat diketahui bahwa Singapura dan Indonesia adalah sesama anggota Konvensi New York 1958. Keanggotaan Singapura pada konvensi tersebut, terhitung sejak 21 Agustus 1986. Jika mempelajari, bahwa kedua negara adalah sesama anggota Konvensi New York 1958, maka hal ini telah memenuhi asas resiprositas, seperti yang diatur di dalam Pasal 66 butir (a) Undang-Undang Arbitrase. Berdasarkan Pasal 66 butir (b) UndangUndang Arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase internasional hanya berlaku terbatas pada bidang hukum perdagangan. Jika mempelajari lebih jauh mengenai penjelasan pasal tersebut, bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Berdasarkan Hukum Indonesia, pendirian perusahaan patungan merupakan bentuk penanaman modal secara langsung di Indonesia. Bila mempelajari ruang lingkup sengketa, maka sengketa pada perkara ”A” termasuk ruang lingkup hukum perdagangan. Sehingga putusan arbitrase tersebut seharusnya dapat dilaksanakan di Indonesia.
e. Putusan belum mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak, atau telah dikesampingkan atau ditangguhkan oleh Berdasarkan Pasal 66 butir (c) Undangotoritas yang berwenang di negara atau berdasarkan hukum negara di mana putusan Undang Arbitrase, putusan arbitrase yang dapat dilaksanakan di Indonesia adalah putusan yang itu dibuat. tidak bertentangan dengan ketertiban umum Pada prinsipnya, putusan arbitrase di Indonesia. Mahkamah Agung berpendapat, internasional seharusnya mendapat pengakuan bahwa jika pelaksanaan putusan arbitrase asal dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini SIAC di atas diberikan, maka akan melanggar disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981, ketertiban umum di Indonesia. Pertanyaan Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian selanjutnya adalah, ketertiban umum yang mana Internasional yang mengatur tentang pengakuan yang dilanggar, apabila putusan arbitrase tersebut dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. dilaksanakan di Indonesia. Mengingat sampai Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal saat ini, tidak ada batasan yang jelas mengenai dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu ketertiban umum. Hal ini dikarenakan sifat Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 77
ketertiban umum yang bersifat sangat relatif. Pada Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, mengenai Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia, dikatakan yang dimaksud dengan Ketertiban Umum adalah sendi-sendi asasi dan susila sang hakim. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan masih abstraknya konsep ketertiban umum. Hal ini akan membuat hakim menafsirkan konsep tersebut berbeda-beda. Mengenai penolakan terhadap putusan arbitrase internasional seperti yang disebutkan dalam Pasal V ayat (2) butir (b) karena alasan bertentangan dengan ketertiban umum, banyak dilakukan dalam praktek pengadilan di negaranegara lain. Dapat dilihat penerapan Pasal V ayat (2) butir (b) yang membolehkan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional karena alasan ketertiban umum dalam beberapa putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dan bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat menafsirkan konsep ketertiban umum. Hal ini seperti terlihat dalam perkara antara Bremen melawan Zapata Off-Shore (5th Circuit, 1972). Dalam perkara antara Vimar Seguros y Reaseguros, S.A. melawan M/V Sky Reefer (1995), Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa klausula arbitrase dalam sebuah bill of lading dapat dilaksanakan berdasarkan Federal Arbitration Act, sekalipun klausula tersebut mencakup penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Jepang berdasarkan Hukum Jepang dan dalam Underlying Contract terdapat klausula yang menyimpangi hukum Amerika Serikat, yaitu Carriage of Goods by Seas Act (COGSA).
bahwa putusan arbitrase yang memenangkan pihak kontraktor New Zealand atas sub-kontraktor AS dapat dilaksanakan. Pihak termohon eksekusi (perusahaan AS) mengajukan argumen bahwa putusan arbitrase ini bertentangan dengan ketertiban umum AS karena adanya benturan kepentingan antara pihak penasehat hukum perusahaan AS itu dengan pihak kontraktor New Zealand. Benturan kepentingan ini terjadi karena penasehat hukum tersebut pernah mewakili sebuah perusahaan joint venture salah satu anggotanya adalah pemerintah New Zealand dan operator mesin yang sedianya akan mengoperasikan mesin yang seharusnya dibangun oleh perusahaan AS tersebut. Namun argumentasi ini ditolak oleh pengadilan karena pihak termohon eksekusi dianggap kurang dapat membuktikan bahwa benar penasehat hukum tersebut pernah mewakili perusahaan joint venture. Selain itu, pengadilan berpendapat bahwa pihak termohon eksekusi tidak dapat membuktikan bagaimana sesungguhnya hubungan antara penasehat hukum tersebut dan perusahaan joint venture akan dapat mempengaruhi hasil putusan arbitrase (Andrew M. Campbell “Refused to Enforce Foreign Arbitral Awards on Public Policy Grounds”. https://web2.westlaw.com/find/ default.wl?care.html, 1 November 2010).
Jika memperhatikan tentang teori hakhak yang telah diperoleh, seharusnya hakim di pengadilan maupun di Mahkamah Agung RI, menghormati tentang hak-hak yang telah diperoleh pihak ASTRO yang memenangkan perkara di hadapan lembaga arbitrase SIAC. Dalam perkara antara Fitzroy Engineering, Menurut penulis, penolakan putusan arbitrase Ltd. v. Flame Engineering, Inc., 1994 (N.D. 1994), internasional asal SIAC di atas, hanya menambah Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan deretan panjang mengenai kurang kondusifnya
78 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
negara Indonesia bagi pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
pelaksanaan proses peradilan di Indonesia. Hal tersebut kurang tepat, mengingat di dalam Undang-undang Arbitrase dinyatakan di dalam Pasal 3, bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.
Hal ini bisa berakibat menjadi preseden buruk bagi pelaku usaha-pelaku usaha asing yang akan memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Berdasarkan data di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per 31 Desember 2011, sejak ditolaknya putusan arbitrase internasional asal SIAC pada perkara ASTRO, belum ada lagi pendaftaran permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu pakar dan praktisi hukum menilai, bahwa dengan ditolaknya putusan arbitrase internasional tersebut, memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kepercayaan investor asing atau pelaku usaha asing di Indonesia (Lubis, Media Indoneasia. com, 23 Februari 2010).
b.
Putusan arbitrase internasional tersebut bukan merupakan putusan akhir/final. Hal tersebut kurang tepat, mengingat prinsip umum dalam perjanjian arbitrase, bahwa putusannya bersifat final dan binding. Hal ini seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase Pasal 60 dan di dalam Konvensi New York 1958, Pasal 3.
c.
Sengketa dalam putusan arbitrase SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan
IV. SIMPULAN Dari pemaparan tulisan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan oleh penulis sehubungan dengan penolakan putusan arbitrase internasional asal SIAC, antara lain: 1. Bahwa penolakan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase internasional asal SIAC dalam perkara PT A , adalah kurang tepat, mengingat dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim masih belum berpedoman dengan konvensi New York dan Undang-Undang Arbitrase; Adapun beberapa alasannya adalah: a.
Putusan arbitrase tersebut telah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 butir (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Menurut penulis hal ini kurang tepat, mengingat kerjasama di bidang penyiaran televisi adalah kerjasama di bidang jasa, dalam hal ini termasuk ke dalam bidang perniagaan. Di samping itu kerjasama mengenai permodalan yang berupa saham, juga termasuk dalam bidang keuangan, sehingga ruang lingkup
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 79
putusan arbitrase SIAC tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdagangan, sesuai dengan penjelasan Pasal 66 butir (b) UndangUndang Arbitrase. 2. Putusan Mahkamah Agung RI yang menguatkan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional asal SIAC dalam perkara PT A, adalah kurang tepat, mengingat peran Mahkamah Agung sebagai Guardian of The Awards. Seharusnya penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung mengenai penolakan putusan arbitrase internasional tersebut dilakukan secara seksama dan mendalam. Menurut penulis penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung RI, adalah kurang tepat. Sehubungan dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung RI, dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa: Seharusnya, hakim pada instansi ini lebih cermat lagi memeriksa penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase diteliti dan diterapkan dengan seksama. Selain itu, Apakah dasar-dasar penolakan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar penolakan yang diatur di dalam Konvensi New York 1958. Pada prinsipnya, putusan arbitrase internasional seharusnya mendapat pengakuan dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981, Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian Internasional yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 80 |
Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu SIAC, maka dapat diketahui bahwa Singapura dan Indonesia adalah sesama anggota Konvensi New York 1958. Keanggotaan Singapura pada konvensi tersebut, terhitung sejak 21 Agustus 1986. Jika mempelajari, bahwa kedua negara adalah sesama anggota Konvensi New York 1958, maka hal ini telah memenuhi asas resiprositas, seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abrurrachman A. 1991. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan. Jakarta: Pradnya Paramita. Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa. Cetakan pertama. Jakarta: PT Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Press. -----------------. 1990. Pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Komersil Intenasional Menurut Konvensi New York 1958. Varia Peradilan, No.58, Juli 1990. Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia. -----------------. 1994. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Radjagrafindo. -----------------. 2008. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Cetakan kedua. Bandung: Refika Aditama. Black, Henry Campbell. 1968. Black’s Law
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
Dictionary. Revised fourth edition. St.Paul, Minnesota: West Publishing Co.
Internasional Indonesia. Jilid II bagian 4, buku kelima. Bandung: Alumni.
Cheshire & Norths. 1992. Private International Law. Twelfth edition. London: Butterworths.
-----------------. 1995. Indonesian Business Law. Cetakan I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Elkouri, Frank & Edna Elkouri. 1974. How Arbitration Works. Washington D.C.
-----------------. 1996. Aneka Hukum Arbitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 1979. Arbitrase Dagang Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni. -----------------. 1982. Soal-soal Aktual Hukum Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni. -----------------. “Konsep Rancangan UndangUndang Hukum Perdata Internasional Indonesia”, disajikan dalam Lokakarya Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, di Jakarta 29 September 1983. -----------------. 1985. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung: Alumni. -----------------. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional Di Indonesia. Bandung: PT. Eresco. -----------------. 1991. Hukum Dagang Dan Arbitrase Internasional. Cetakan I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. -----------------. 1992. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid I, buku 1. Cetakan V. Bandung: Alumni. -----------------.
1995.
Hukum
Perdata
-----------------. 1998. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cetakan ketiga. Jilid III bagian 2. Buku ke-8. Bandung: Alumni. Hartono, Sunarjati. 1976. Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cetakan I. Bandung: Binacipta. -----------------. 1982. In Search of New Legal Principles. Bandung: Binacipta. -----------------. 1976. Kapita Seleka Hukum Ekonomi. Jakarta: Binacipta. Janvan Den Berg, Albert. 1981. The New York Arbitration Convention of 1958. Netherlands: Kluwer Law & Taxation Publishers. Kusumah Atmadja, Asikin Z. 1973. Commercial Arbitration, Present and future Role of Commercial. Jakarta: The Law Association for The Asia And The Western Pacific. -----------------. 1998. Arbitrase Perdagangan Internasional. Bunga Rampai Eksekusi Putusan Arbitrase Asing. Jakarta: Mahkamah Agung RI. Longdong, Tineke Tuegeh. 1998. Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 81
Prodjodikoro, Wirjono. 1954. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional. Cetakan kedua. Jakarta: Van Dop & Co.
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan di Indonesia”. Surabaya: Disertasi Universitas Airlangga.
Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo. 1991. Zuraida, Tin. 2006. ”Prinsip Eksekusi Putusan Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori (Suatu Orientasi). Cetakan III. Jakarta: dan Praktek Yang Berkembang”. Surabaya: Rajawali Pers. Disertasi Universitas Airlangga. Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase Dalam Internet: Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Budidjaja, Tony. ”Pembatalan Putusan Arbitrase Pratama. di Indonesia”. Akses 30 Oktober 2007. Sumampouw, Mathilde. 1958. Pilihan Hukum http://cms.sp.co.id/hukumonline/detail. Sebagai Titik Pertalian Dalam Hukum asp?id=13217&cl=Kolom>. Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi Blum, George L. ”Setting Aside Arbitration award Doktor FHUI. on Ground of interest or bias arbitrators, Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase commercial,bussiness”. Akses 1 November dalam Sengketa Komersial Untuk 2007. https://web2.westlaw.com/find/ Penegakan Keadilan. Jakarta: Tatanusa. default.wl?care.html. Yuhassarie, Emmy. (editor). 2003. Proceedings, Campbell, Andrew M. “Refused to Enforce Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Pusat Foreign Arbitral Awards on Public Policy Pengkajian Hukum. Grounds”. Akses 1 November 2007. https:// web2.westlaw.com/find/default.wl?care. Zuraida, Tin. 2009. Prinsip Eksekusi Putusan html. Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek Yang Berkembang. Surabaya: ”Hakim Dan Mafia Peradilan”. Akses 17 Maret PT Wastu Lanas Grafika. 2008. http://www.kompas.com/31 Agustus 2007. Karya Ilmiah/Disertasi: Mathilde, Sumampouw. 1958. Pilihan Hukum Sebagai Titik Pertalian dalam Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi Doktor FHUI.
Hukum Online,” Pengguna SIAC Asal Indonesia Terus Meningkat, Bagaimana nasib BANI?,”(Jakarta, 28/11/2006). Akses 24 Januari 2008. http://hukumonline.com/ detail.asp?id.
Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Parish, Matthew. “The Proper Law of an Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Arbitration Agreement”. Akses 25 Penegakan Keadilan. Semarang: Disertasi November 2010. http://login.westlaw. Universitas Diponegoro. co.uk/maf/wluk/app/delivery?&docguide. Wibowo, Basuki Rekso. 2007. ”Arbitrase 82 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83
Rosenhouse, Michael.A. “Confirmation of Agung RI tentang Tata Cara Pelaksanaan Foreign Arbitral Awards Under Convention Putusan Arbitrase Asing di Indonesia. on Recognition and Enforcement of Foreign Perma RI No. 1 Tahun 1990. Arbitral Awards”. Akses 1 November 2007. Geneva Convention on The Execution of Foreign https://web2.westlaw.com/find/default. Arbitral Awards 0f 1927. wl?care.html. New York Convention on The Recognition and Rubins, Noah.”The Enforcement and Annulment Enforcement of Foreign Arbitral Awards of of International Arbitration in Indonesia”. 1958. Akses 1 November 2007. https://web2. westlaw.com/World Journals/default. United Nation Commission on International wl?n=top&rs.html. Trade Law. Model Law on International Commercial Arbitration. UNCITRAL. “UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration”. Akses 30 Oktober 2010.
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)
| 83
PENERAPAN WORLD WIDE NOVELTY DAN FUNCTION-WAY–RESULT TEST PADA PATEN Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009 Endang Purwaningsih, Fakultas Hukum Universitas YARSI Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta Email:
[email protected] atau
[email protected]
the application of worldwide novelty AND function-way result-test ON PATENT An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt.Sus/2009 Endang Purwaningsih, Faculty of law of University of YARSI Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta Email:
[email protected] atau
[email protected] Abstract
ABSTRAK memberikan
Patent as legal construction gives legal protection
perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi
for the invention which fulfills requirements for a
persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan;
patentable invention, such as: novelty, non-obviousness/
langkah inventif yang terkandung dalam penemuan;
inventive steps and industrial applicability. In order
serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam
to create legal certainty and justice, the judge should
industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan
pay attention to the specification of patent (in the
keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi
claim) and the application of worldwide novelty, also
paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut
function way result test, especially in this case. In the
di seluruh dunia, juga function-way-result test,
claim, it is required to state and clarify precisely the
terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten
elements of invention for which protection is sought.
diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-
Thus, the claim should be composed of a description
unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan.
or explanation of the essence of the invention. The
Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis
scope or the extent of patent protection is based on
deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang
the claim. The essence of protection also depends on
lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung
the claim; therefore the infringement depends on the
pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan,
interpretation of the claim, filing date, state of the art
sehingga untuk menilai pelanggaran paten tergantung
and prior art scope of the claim.
Paten
sebagai
konstruksi
hukum
pada interpretasi klaim, filing date, state of the art dan cakupan klaim paten terdahulu (prior art).
Keywords: patent, worldwide novelty, function-wayresult test.
Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-wayresult test.
84 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
I.
PENDAHULUAN
atas barang berupa dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup keran, di Indonesia Dalam rangka mendapatkan paten, barang dispenser tersebut diperoleh dari eksportir suatu penemuan harus memenuhi syarat di Cina. substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty), bisa dipraktekkan dalam industri (industrial Penggugat telah mendistribusikan dan/atau applicability) mempunyai nilai langkah memperdagangkan barang berupa dispenser yang inventif (inventive step), juga memenuhi syarat dilengkapi dengan pintu tersebut di Indonesia formal. Penentuan bahwa suatu penemuan sejak tahun 2004 dan setelah menjalankan yang dimintakan paten dapat diberi atau tidak usahanya tersebut selama sekitar 5 (lima) tahun, dapat diberi paten dilakukan antara lain dengan penggugat baru mengetahui bahwa SE (tergugat) mempertimbangkan: (1) kebaruan penemuan telah memiliki paten sederhana atas dispenser (novelty); (2) langkah inventif yang terkandung yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup dalam penemuan (inventive step); (3) dapat atau keran tersebut tertanggal 4 Januari 2005 dengan tidaknya penemuan diterapkan atau digunakan nomor Pendaftaran ID 0 000553 S. Penggugat dalam industri (industrial applicable); (4) merasa berkepentingan terhadap masalah ini, penemuan yang bersangkutan tidak termasuk sehingga mengajukan gugatan pembatalan paten dalam kelompok penemuan yang tidak dapat sederhana tersebut; dengan alasan bahwa invensi diberikan paten; (5) penemu atau orang yang tersebut tidak memiliki kebaruan lagi karena menerima lebih lanjut hak penemu berhak atas sudah diungkapkan sebelumnya. paten bagi penemuan tersebut; dan (6) penemuan Sebaliknya dalam eksepsinya tergugat (SE) tersebut tidak bertentangan dengan peraturan mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio perundang-undangan, ketertiban umum serta Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur kesusilaan. Jadi pada hakikatnya, sebuah Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya penemuan dapat dikatakan Ppatentable bila sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan memenuhi ketiga syarat substantif tersebut, yaitu kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya novelty, dapat diterapkan dalam industri, dan juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi mengandung langkah inventif. dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan Berdasarkan fictie hukum, maka sejak gugatan kabur serta prematur. Menurut tergugat, diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 invensinya merupakan invensi baru terbukti telah Tahun 2001 tentang Paten, maka berlakulah dilakukan pemeriksaan substantif di Direktorat materi yang tertuang dalam UU tersebut. Dalam Paten dengan dokumen pembanding US-5 348 kasus SE versus PT NEI diketahui bahwa SE 192 dan US 5 718 261. selaku tergugat pada kasus patent infringement ini Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat telah dikalahkan oleh PT NEI selaku penggugat, melalui putusan nomor 42/PATEN/2008/ baik pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) PN.NIAGA.JKT.PST telah mengabulkan gugatan maupun pada tingkat kasasi (Mahkamah Agung) penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa sehingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor yang akhirnya tetap memenangkan penggugat ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur (PT NEI). PT NEI adalah pabrikan dan distributor Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 85
kebaruan yang disyaratkan oleh UU Paten serta membatalkannya. Demikian pula Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt. Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut, yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat (SE).
yang diajukan tergugat (pemohon Kasasi) bukan merupakan invensi baru. Mahkamah Agung dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004, UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta memperhatikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 maka telah memutuskan untuk menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon PK (SE) tersebut dan menghukum pemohon PK untuk membayar biaya perkara pemeriksaan PK sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Selanjutnya tergugat (SE) mengajukan peninjauan kembali atas kasus tersebut dengan bukti baru (novum) berupa surat tembusan Buku Register Hak Paten nomor Hak Paten 0234861.5 tanggal 19 September 2002 dan gambar Mesin Air Minum (dispenser) tanpa dilengkapi dengan pintu yang dikeluarkan Direktorat HKI RRC dengan nomor klasifikasi 3100 dan hak paten telah berakhir pada 19 September 2003 dikarenakan tidak melunasi iuran tahunan dalam waktu II. RUMUSAN MASALAH yang ditentukan. Dalam hal ini SE mendalilkan Dari uraian latar belakang di atas, menurut bahwa Sertifikat Paten dari RRC tersebut cacat hukum sehingga menjadi batal hukum dan tidak Hukum Paten, diajukan rumusan masalah sebagai berikut: berkekuatan hukum.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa (1). Apakah syarat patentability invention khususnya worldwide novelty diterapkan alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak secara tepat pada kasus tersebut oleh dibenarkan karena bukti yang diajukan SE (sebagai hakim? pemohon kasasi) bukanlah novum. Bukti yang diajukan pemohon kasasi ternyata telah diajukan (2). Bagaimanakah seharusnya penerapan function-way-result test pada kasus sebagai bukti pada peradilan tingkat pertama di tersebut? Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sehingga bukti tersebut tidak bersifat menentukan karena telah dipertimbangkan oleh hakim di PN tersebut. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Demikian pula ternyata produk model dispenser yang didistribusikan/diperdagangkan oleh SE merupakan produk terbaru tahun 2003 yang telah beredar di pasaran Medan dan Palembang pada bulan Maret 2004, sedangkan pendaftaran Paten Sederhananya dengan judul ”Dispenser yang dilengkapi dengan pintu penutup keran” adalah pada tanggal 15 April 2004, sehingga MA berpendapat bahwa invensi
86 |
A.
Studi Pustaka
Telah diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dalam rangka memperoleh paten maka suatu penemuan harus memenuhi syarat substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty), bisa dipraktekkan dalam perindustrian (industrial applicability), mempunyai nilai langkah inventif
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
(inventive step/non obviousness), juga memenuhi penemuan (invensi) tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas (Purwaningsih, syarat formal. 2005: 221). Menurut Saidin (2010: 127) bahwa Invensi bisa saja dihasilkan oleh masyarakat kelemahan inventor Indonesia itu terletak pada ketidakmampuannya untuk melakukan langkah umumnya, maupun oleh masyarakat kampus. inventif terhadap invensi yang sudah ada Invensi yang patentable harus memenuhi sebelumnya. Di AS dan Jepang di Kantor Paten novelty, non obviousness/inventive step, dan setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli industrial applicable. Dosen dan mahasiswa peneliti untuk mempelajari formula paten yang dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah, jadi telah ada dan mereka mencari langkah inventif bisa saja menghasilkan produk tangible seperti untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. mesin atau robot, ataupun formula obat dan Merujuk pendapat tersebut, kelengkapan online sebagainya. Pembukaan wawasan tentang HKI digital library atau fasilitas discovery search mutlak diperlukan, serta akses ke Ditjen HKI juga harus digalakkan baik di Ditjen HKI maupun di penting untuk mengetahui apakah invensi yang dihasilkan oleh dosen dan mahasiswa ini tidak lembaga riset dan kampus. anticipated by patented invention. Kesadaran Khusus mengenai kebaruan, sifat baru hukum akan perlunya perlindungan terhadap pada penemuan mutlak akan hilang apabila ada invensi dan eksploitasi terhadap invensi tersebut publikasi dengan cara bagaimanapun, dan di harus ditanamkan bersama dengan pembangunan negara manapun, atau pernah diketahui dengan budaya paten (Purwaningsih, 2009: 30). cara bagaimanapun, dan di negara manapun Banyak perguruan tinggi yang menghasilkan sebelum aplikasi diajukan. Kebaruan relatif berarti sifat baru dari suatu temuan itu akan akademisi yang handal. Lembaga penelitian, hilang apabila ada publikasi di negara manapun pengembangan dan penerapan teknologi disesaki atau penggunaan setempat yang diketahui umum oleh peneliti yang hebat. Banyak kegiatan riset sebelum aplikasi diajukan. Jadi, Indonesia yang dilakukan. Anggaran sudah dikucurkan dalam hal syarat kebaruan menganut sistem walaupun perlu diakui juga tidak terlalu besar kebaruan yang luas (world wide novelty), hal jumlahnya oleh pemerintah, tapi kontribusinya itu dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum terhadap pembangunan berbagai sektor belum dalam peraturan perundang-undangan mengenai optimal (Lakitan, 2009: 179). Demikian pula paten, baik pada peraturan yang lama maupun menurut Endang (2012: 64) tanpa adanya pada peraturan perundang-undangan yang baru. perlindungan hukum maka kegiatan dalam Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang tentang Paten, bidang penelitian dan pengembangan tidak akan menunjukkan syarat kebaruan yang luas, yaitu: bergairah, juga diperlukan insentif serta jaminan bahwa suatu penemuan tidak dianggap baru, jika dari pemerintah agar setiap hasil kreativitas pada saat pengajuan permintaan paten, penemuan intelektual tidak mudah ditiru oleh pihak lain. tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di Landasan pembenaran paten antara lain adalah luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan insentif untuk kegiatan R&D, rewarding dan paten atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang sebagai sumber informasi bagi improvement and memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan improvement on the improvement. Jadi merujuk Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 87
pendapat tersebut, pembenaran terhadap peranan paten dalam pertumbuhan industri dan teknologi masih dipertanyakan, perlu diterapkan supaya lebih berperan potensial sesuai prinsip-prinsip paten. Prinsip-prinsip umum dalam UU Paten antara lain: (1) asas teritorial, (2) paten diberikan atas dasar permohonan (di Indonesia dengan first to file system); (3) kewajiban mengungkapkan penemuan (disclosure clause) dan (4) jangka waktu perlindungan. Dihubungkan dengan patentablility invention dan pemenuhan syarat tersebut, sebenarnya syarat kebaruan (novelty) dapat ditentukan berdasarkan pembatasanpembatasan tertentu, misalnya daerah (territory), kapan penemuan itu diketahui, dan cara pengumuman penemuan itu kepada masyarakat. Syarat kebaruan (novelty), yaitu bahwa penemuan yang dimintakan paten tidak boleh lebih dahulu diungkapkan di manapun dan dengan cara apapun. Mengenai syarat kebaruan, bisa bersifat mutlak atau relatif, bersifat mutlak atau dikenal dengan world wide novelty. Di lain pihak, karena kondisi dan kepentingan negara berkembang ada bentuk novelty lokal atau national novelty yang bersifat relatif (Purwaningsih, 2005: 222).
dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi. 2.
invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.
Invensi juga dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 bulan sebelum penerimaan ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut. Suatu penemuan mengandung langkah inventif jika penemuan tersebut bagi seorang yang mempunyai keahlian biasa dalam bidang teknik yang bersangkutan merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (non obviousness). Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, penilaiannya dengan mengacu pada kriteria bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas.
Sebuah penemuan agar dilindungi paten harus memenuhi syarat bahwa penemuan itu dapat diterapkan dalam industri. Penemuan yang bersangkutan dapat diproduksi atau digunakan di dalam berbagai jenis industri. Pengertian industri merupakan pengertian yang luas, misalnya apa yang sekarang dipandang sebagai agrobisnis juga merupakan bidang industri. Salah satu hal yang penting dan perlu mendapat perhatian invensi tersebut telah dipertunjukkan adalah sangat terbatasnya data, dokumentasi, dan dalam suatu pameran internasional informasi mengenai pengetahuan tradisional yang di Indonesia atau di luar negeri yang sebenamya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, resmi atau diakui sebagai resmi atau
Kebaruan yang disyaratkan di Indonesia sebenarnya bersifat luas (world wide novelty), akan tetapi dalam UUPaten Indonesia, syarat kebaruan luas (Pasal 3 UU Paten) ini kemudian diterapkan secara relatif (dibatasi), ini dapat dilihat dari Pasal 4 UU Paten, yaitu: suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan: 1.
88 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
habis penemuan menjadi public domain. Sebagai public domain eksploitasi terhadap penemuan itu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum. Dengan kata lain, paten juga memungkinkan pengembangan teknologi atau sebagai insentif Dengan merujuk pada disclosure clause pengembangan industri. yang terdapat pada prinsip hukum paten, UndangUndang tentang Paten memungkinkan terjadinya Menurut pendapat Haryani (2010: 161pengembangan teknologi melalui improvement 162), di samping perlindungan hukum terhadap dan improvement on the improvement. Artinya paten, juga dikenal adanya perlindungan hukum bahwa pengungkapan teknologi melalui terhadap Paten Sederhana. Paten Sederhana hanya publikasi sesuai dengan first to file diharapkan diberikan untuk satu invensi yang dapat terdiri mampu menjadi pendobrak jumlah paten. Selain dari beberapa klaim. Jika menyimak pendapat ini itu, technological interest dan economic interest maka bisa saja rancu antara pengertian paten biasa mempunyai hubungan saling ketergantungan sebagai perlindungan hukum terhadap invensi dengan paten. Suatu penemuan muncul karena (bisa mungkin beberapa invensi yang merupakan kepentingan untuk mengembangkan teknologi dan satu kesatuan/patent family) berhadapan dengan memajukan perekonomian (industri), sebaliknya paten sederhana yakni satu invensi dengan hasil dari penemuan tersebut juga menghasilkan beberapa klaim. Perlu ditegaskan baik dalam teori keuntungan di bidang teknologi dan ekonomi, atau praktek, sebenarnya UU Paten Indonesia bahkan merangsang inovasi selanjutnya untuk menganut pendapat yang mana. makin maju. Dalam aplikasi paten, fungsi klaim Masalah yang paling memerlukan keuletan adalah menentukan seberapa jauh luasnya hak dan ketekunan serta keterampilan adalah membuat atau sempitnya perlindungan paten diberikan, supaya invensi dapat memenuhi syarat dapat yang sangat tergantung pada seberapa luas dipatenkan; yakni novelty, inventive step dan atau sempitnya suatu klaim dibuat. Klaim industrial applicable. Selain itu juga pembuatan yang terlalu luas belum tentu menguntungkan klaim pada spesifikasi invensi yang didaftarkan. penemunya sebab mungkin kurang spesifik Dalam permohonan paten harus disertai dengan atau bahkan melanggar klaim paten lainnya. spesifikasi penemuan yang mengandung deskripsi Demikian pula klaim yang terlalu sempit akan lengkap tentang penemuan tersebut. Jika deskripsi merugikan penemu baik dari segi kepentingan itu layak untuk mendapatkan paten, negara lalu ekonomi maupun kepentingan teknologi, karena memberi paten untuk penemuan tersebut. Dengan cakupannya terlalu sempit. diberikannya paten, pemegang paten merasa Mengenai sempit atau luasnya perlindungan terlindungi, dengan demikian akan memacu yang didasarkan pada klaim ini terdapat berbagai pemegang paten itu untuk mengembangkan aturan ataupun doktrin yang berbeda, yang industrinya. dicerminkan baik dari perundangan-undangan Oleh karena, pemberian paten hanya dalam paten maupun putusan pengadilan. Jadi Klaim waktu 20 tahun, maka bila jangka waktu telah dibuat guna mencakup kepentingan teknologi telah menjadi salah satu sebab diberikannya paten oleh Kantor Paten dengan pertimbangan tidak adanya dokumen pembanding (prior art) yang dapat menggugurkan invensi yang bersangkutan.
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 89
dan kepentingan ekonomi si inventor yang ingin Demikian pula ada teori yang bermaksud untuk diraup dalam dunia industri, yang nantinya mengetes fungsi, cara dan hasil, yang dikenal berwujud monopoly patent right. dengan tes ‘function-way-result’ yang pertama kali diperkenalkan pada kasus Graver Tank tahun Pieoroen dalam Beschermingsomvang van 1950. Intinya, bahwa jika secara substansial invensi Octrooien in Nederland, Duitsland en Engeland milik seseorang sama atau mirip dengan fungsi, (1988) menyatakan bahwa dimungkinkan cara dan hasil yang (terkover klaim) dilindungi terjadi ‘discrepancy’ antara the words of the paten, maka telah terjadi infringement. claim dan the extent (scope) of protection. Kesulitan pembuatan rumusan klaim dipahami B. Analisis memungkinkan terjadinya perlindungan melebihi Memahami bahwa esensi dan luasnya kata-kata klaim. Jadi terdapat penafsiran secara luas (broad interpretation) dan penafsiran secara perlindungan paten merupakan sesuatu yang sempit (narrow interpretation), yang kesemuanya substansial, maka scope of claims sangat bertujuan menciptakan keadilan dan kepastian berpengaruh terhadap pelaksanaan paten itu sendiri dalam dunia industri. Dari segi teknologi, penafsiran hukum. yang terlalu luas terhadap klaim akan menyebabkan Sehubungan dengan esensi dan batas setiap perbaikan atau penyempurnaan terhadap lingkup perlindungan itulah, pengadilan sangat penemuan yang dipatenkan dianggap sebagai penting peranannya untuk menerangkan makna pelanggaran, sebaliknya apabila terlalu sempit sebenarnya isi peraturan perundang-undangan, akan bermunculan teknologi yang mirip-mirip juga untuk menggali dan menginterpretasikannya. dan sangat mempersempit hak monopoli pemilik Misalnya mengenai pelanggaran paten, luas paten. sempitnya scope paten dan lain-lain, peraturan Dari segi ekonomi, sempit atau luasnya perundangan tidak mengatur secara detail atau kurang jelas, sehingga pengadilan lah yang perlindungan akan menimbulkan persaingan, baik berperan besar menentukan arti klaim, batasan pada saat aplikasi maupun pada saat pelaksanaan pelanggaran dan lain-lain; guna mencapai paten di pasar industri. Demikian juga klaim kepastian hukum, keseimbangan dan keadilan. merupakan substansi yang dapat memicu Di dalam prakteknya, ketiga hal tersebut sangat terjadinya sengketa, antara para penemu dengan sulit diwujudkan bahkan saling bertentangan satu penemuan yang mirip, yang terdahulu maupun yang kemudian, juga antara berbagai negara yang sama lain (Purwaningsih, 2005: 25). mengadakan transaksi paten. Untuk menentukan perbedaan secara Dengan demikian, inti ruang lingkup substantif antara pelbagai invensi, bisa dilakukan dengan pelbagai metode. Banyak teori juga perlindungan paten tidak sama antara berbagai sudah dikemukan oleh banyak ahli misalnya negara, ada yang didasarkan pada kata-kata dalam teori equivalensi, means plus function, history klaim dan ada pula yang berdasarkan makna/ estoppel/wrapper estoppel dan teori yang telah intisarinya. Jadi perlu dikaji mengenai esensi dikemukakan Pieroen mengenai The qualifying perlindungan paten, penentuan batas-batasnya principle of due care, risk and predictability. dihubungkan dengan technological interest
90 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
dan economic interest, serta akibat luasnya perlindungan tersebut.
putusan nomor 42/PATEN/2008/PN.NIAGA. JKT.PST yang telah mengabulkan gugatan penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa Paten dari sudut pandang kepentingan invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor teknologi, melibatkan berbagai kepentingan ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur yakni dari teknologinya sendiri dan fungsinya, kebaruan yang disyaratkan oleh UUPaten serta cara kerja, novel atau tidak, applicable atau tidak membatalkannya. Demikian pula Mahkamah dan bagaimana improvementnya. Di Jepang untuk Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt. mengkualifikasi suatu teknologi dapat dipatenkan Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut, atau tidak; dikenal tes Way, Result and Function. yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat Di Amerika juga dikenal discovery system untuk (SE), bahkan selanjutnya peninjauan kembali mengecek semua teknologi terdahulu yang pernah (PK) pun ditolak. dipatenkan. Di Indonesia juga telah dimulai Jika mencermati eksepsi tergugat (SE) penelusuran paten melalui web-site, dan sedang dipelajari kemungkinan sistem online aplikasi mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur paten diterapkan. Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya Dari segi ekonomi, menyangkut berbagai sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan kepentingan khususnya cakupan luasnya monopoli kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya pada saat pemasaran produk, lisensi, persaingan juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi dan sebagainya. Di samping kepentingan antara dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan individu (penemu) dan pihak lain yang bertransaksi, gugatan kabur serta prematur. kepentingan nasional dan masyarakat umum patut Menurut tergugat, invensinya merupakan dipertimbangkan. Setelah mengkaji esensi dan batas perlindungan paten, secara filosofis perlu invensi baru terbukti telah dilakukan pemeriksaan pula untuk mengkaji penyelesaian hukum atas substantif di Direktorat Paten dengan dokumen terjadinya sengketa paten yang mungkin timbul pembanding US-5 348 192 dan US 5 718 261. antara para pihak, yang dalam penelitian ini dikaji Memang perlu dikaji kenapa tergugat berani penyelesaian sengketa melalui litigasi. Selain menyampaikan bahwa kurang pihak, karena itu perlu dikaji secara mendalam bahwa dengan perlu diingat bahwa Ditjen HKI adalah instansi adanya paten akan mendorong pengembangan yang bertanggungjawab terhadap pendaftaran teknologi di Indonesia, yang antara lain dan pemberian sertifikat paten. meliputi penguasaan teknologi dan usaha untuk menciptakan penemuan. 1.
Penerapan Syarat Patentability Invention oleh Hakim Khususnya Novelty
Tergugat (SE) dalam peradilan tingkat pertama telah dikalahkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat melalui
Jika mencermati pertimbangan hakim PN, hakim PN selanjutnya memutuskan untuk memenangkan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor ID 0000 563 S, tertanggal 4 Januari 2005 atas nama tergugat tidak memenuhi unsur kebaruan sebagaimana dipersyaratkan oleh UUPaten serta menyatakan batal pendaftaran atas
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 91
data invensi berpaten yang selalu up to date, jadi Ditjen HKI harus mengikuti perkembangan paten dunia dan memberi akses seluas-luasnya bagi perkembangan teknologi Indonesia. Jangan sampai ketika seorang WNI bersusah payah melakukan R&D, dengan makan biaya dan waktu banyak, ternyata karena kekurangan informasi dan rujukan, ternyata di luar negeri sudah ada patennya, maka invensinya tidak mungkin bisa mendapatkan paten, apalagi jika pihak asing menggunakan hak prioritas dengan mendasarkan filing date di negara pertama pemberi paten.
paten tersebut dengan memerintahkan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk membatalkan paten sederhana yang berjudul “Dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup keran” tersebut. Merujuk pada putusan tersebut, maka terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan baik oleh Ditjen HKI maupun ilmuwan/teoritisi bahwa: 1.
2.
92 |
State of the art harus dinilai secara fungsional substantif oleh skilled in the art dengan dokumen pembanding yang cukup (prior art), artinya seharusnya semakin banyak pembanding maka akan semakin tipis kesalahan penafsiran klaim terjadi, apalagi kalau sampai terjadi literal infringement di mana judulnya pun sama (atau terkover). Dengan digital library/ online yang ada di dunia ini, Ditjen HKI bisa mencari data tentang paten secara tak terbatas, jangan hanya USPTO (paten Amerika) dan JPO (paten Jepang). Dengan mengemukannya kasus ini terbukti bahwa online system (di USA discovery system) perlu dibenahi, penjelajahan situs web paten kurang luas maupun informasi paten kurang menjangkau lapisan masyarakat, baik aparat Ditjen HKI (yang senyatanya tidak tahu sudah ada paten terdahulu yang mirip/sama tersebut), maupun pihak yang berkepentingan; Ditjen HKI juga bertanggungjawab atas terbitnya paten sederhana tersebut, sehingga untuk selanjutnya Ditjen HKI harus lebih berhati-hati dan menghidupkan akses online yang berguna bagi calon inventor terhadap
3.
Demikian pula hubungan dengan penerapan novelty, bahwa untuk saat ini dan seterusnya, jika memang novelty tidak dibatasi teritorialnya, harus dinyatakan secara tegas dalam UUPaten, bahwa Indonesia menganut syarat kebaruan luas yang bersifat mutlak. Artinya bahwa mungkin dengan alasan mendukung terciptanya WTO-TRIPS, dan persaingan industri dan teknologi.
Indonesia tidak perlu membatasi novelty secara teritorial, akan tetapi ingin melahirkan teknologi (berpaten) yang tidak kalah canggihnya secara internasional. Jadi unsur kebaruan luas (world wide novelty) layak diterapkan di Indonesia ketika sudah tersedia akses yang signifikan terhadap informasi paten seluruh dunia, di dukung fasilitas online yang selalu di-update oleh Ditjen HKI. Memang Pasal 3 UU Paten telah menyatakan Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
secara jelas tentang hal tersebut, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 3 perlu diperhatikan karena hanya memuat sebagai berikut: Penjelasan Pasal 3 ayat (3)…..yang dimaksud dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya pada ayat ini mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia dan dipublikasikan pada atau setelah tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dari permohonan yang sedang diperiksa substantifnya.
4.
Tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dokumen yang dipublikasikan tersebut lebih awal daripada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dari permohonan yang substantifnya sedang diperiksa. Jika diperhatikan kata-kata yang tercetak tebal dari penulis di atas, dikembalikan pada Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) tentu tidak sinkron, karena pada Pasal 3 ayat (2) tertera: teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum: a. tanggal penerimaan atau tanggal prioritas. Dalam kasus tersebut terdapat keganjilan bahwasanya utuk kelas dispenser seharusnya memang masuk ke dalam peralatan sederhana atau rumah tangga sehingga lebih
tepat dikualifikasi ke dalam paten sederhana, bukan paten biasa (dalam kasus tersebut di Cina peralatan ini masuk ke dalam paten biasa). Diketahui bahwa paten biasa memiliki teknologi lebih rumit/canggih daripada paten sederhana, selain itu pada paten sederhana yang diperiksa dalam pemeriksaan substantif hanya meliputi kebaruan (novelty) dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable). Dalam paten biasa selain kedua hal itu masih ditambah lagi dengan langkah inventif (inventive step/non obviousness).
Demikian pula pada paten sederhana hanya terdapat satu klaim. Jadi seharusnya, jika memang Ditjen HKI mengkualifikasi invensi semacam dispenser tersebut dan peralatan rumah tangga yang lain, untuk lain waktu (setelah kasus ini) tidak perlu diadakan pemeriksaan substantif mengenai inventive step/non obviousness, serta harus memperhatikan apakah klaim ada satu atau banyak. Ketika mencermati kasus tersebut di mana dikualifikasi oleh Ditjen HKI sebagai paten sederhana, ternyata terdapat enam klaim, padahal seharusnya untuk paten sederhana hanya terdapat satu klaim.
5.
Dalam pemeriksaan substantif seharusnya juga diperhatikan clarity dan unity (jika paten biasa) dari klaim, selain novelty, inventive step (paten biasa) dan industrial applicable. Lebih khusus tentang novelty, invensi yang dipatenkan harus merupakan
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 93
94 |
sebuah penemuan baru yang tidak persyaratan untuk mendapatkan pernah ada sebelumnya, karena justru pengecualian, jika orang lain telah akan menjadi suatu hal yang buruk, mengajukan sebuah aplikasi paten bukannya baik bagi masyarakat untuk untuk penemuan yang sama, penemu memberikan hak eksklusif berupa terdahulu tidak bisa mendapatkan paten kepada sebuah penemuan yang paten karena aplikasinya diajukan telah dikenal luas. UUPaten tidak akan lebih kemudian daripada orang lain memberikan paten bagi penemuan itu (Purwaningsih, 2005: 30). yang kurang memiliki unsur kebaruan. Demikian pula hakim pada tingkat kasasi Jadi jika sebuah penemuan kurang sebagi judex yuris seharusnya lebih jeli terhadap unsur kebaruannya, maka penemuan penerapan hukum yang telah diputuskan oleh tersebut dikatakan kekurangan unsur hakim PN sebagai judex factie, apakah benar dan ‘kebaruan’. tepat penerapan hukumnya pada kasus tersebut. Masalah ‘Kebaruan’ hilang ditentukan Jadi sebaiknya Judex Yuris mempertimbangkan, berdasarkan atas waktu aplikasi paten kenapa terhadap dispenser tersebut bisa dikategori diajukan, yang mungkin saja dalam hal pada kelas yang berbeda, kenapa bisa jadi paten ini jam, menit dalam aplikasi tersebut biasa dan paten sederhana, kenapa kalau paten diajukan sama pentingnya dengan sederhana ‘kok’ Ditjen HKI membolehkan tanggal. Ketika sebuah penemuan banyak klaim, dan sebagainya, kenapa prior art telah kehilangan ‘kebaruan’penemuan yang di Cina terlewati dari kacamata Ditjen HKI, tersebut bisa mendapatkan bantuan bagaimana pemeriksaan substantif dilakukan, atau hukum eksepsional (pengecualian mungkin kenapa Ditjen HKI tidak dipersalahkan terhadap kurangnya kebaruan) dengan (sebagai tergugat II) oleh penggugat. syarat tertentu dengan alasan bahwa Jika merujuk pada tulisan Haryani (2010: penemuan tersebut dianggap belum 161-162), maka sebenarnya pada paten sederhana kehilangan kebaruannya. Setiap orang pun boleh dengan banyak klaim, hanya saja yang ingin mengajukan permohonan dibatasi untuk satu invensi. Jadi dimaksudkan untuk memperoleh pengecualian bahwa paten biasa adalah banyak invensi (dalam harus mengajukan aplikasi paten satu kesatuan) dan banyak klaim dan paten bagi penemuan tersebut dalam sederhana adalah satu invensi dengan boleh jangka waktu 6 bulan terhitung mulai lebih dari satu klaim. Dengan banyak pendapat tanggal ketika kebaruannya hilang yang berbeda tersebut, seharusnya kembali pada dan menyerahkan sebuah pernyataan ketentuan dalam UUPaten. tertulis berkaitan dengan permasalahan tersebut dan dokumentasi lainnya Merujuk pada alasan-alasan peninjauan untuk membuktikan permasalahan kembali (PK) yang menurut MA tidak dibenarkan tersebut dalam jangka waktu yang karena bukti yang diajukan SE (sebagai pemohon telah ditentukan. Meskipun aplikasi kasasi) bukanlah novum, maka sudah tepatlah paten yang demikian memenuhi kiranya putusan MA tersebut. Memang benar,
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
jika bukti yang diajukan pemohon kasasi ternyata telah diajukan sebagai bukti pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka seharusnya pun si pemohon kasasi mengetahui tentang hal tersebut. Jadi ketika terbukti produk model dispenser yang didistribusikan/diperdagangkan oleh SE merupakan produk terbaru tahun 2003 yang telah beredar di pasaran Medan dan Palembang pada bulan Maret 2004, sementara pendaftaran Paten Sederhananya (filing date) dengan judul ”Dispenser yang dilengkapi dengan Pintu Penutup Keran” adalah pada tanggal 15 April 2004, sehingga MA secara jelas berpendapat bahwa invensi yang diajukan tergugat (pemohon Kasasi) memang bukan merupakan invensi baru. Mengenai pemakai terdahulu, sebenarnya dalam UUPaten Indonesia mengenal pemakai terdahulu, akan tetapi dengan syarat asalkan tidak merugikan kepentingan si pemilik/pemegang paten. Berdasarkan bahasan di atas, secara hukum memang putusan baik pada tingkat pertama, maupun kasasi adalah tepat, hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu dipertimbangkan beberapa hal penting khusus mengenai penerapan novelty yang luas secara mutlak ini antara lain: 1.
Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana, yang ternyata telah dipatenkan di Cina sebelum paten sederhana tersebut diberikan (bahkan sebelum filing date) dan bagaimana iktikad baik dapat dibuktikan ketika ternyata dokumen di Cina tersebut tidak digunakan sebagai prior art atau sebagai dokumen pembanding pada saat pemeriksaan substantif. 2. Penerapan Function-Way-Result oleh Hakim
Test
Berkenaan dengan infringement; suatu pelanggaran membutuhkan 2 langkah: (1) pengadilan harus menafsirkan klaim-klaim yang dinyatakan sebagai telah dilanggar menurut hukum; untuk menetapkan maksud dan scope klaim-klaim tersebut; dan (2) klaim-klaim sebagaimana telah ditafsirkan, dibandingkan dengan pelanggaran yang telah ditetapkan baik alat maupun proses. Dalam menafsirkan klaim, reference (prior art yang dilanggar) pertama-tama dibuat menjadi bukti intrinsik yakni: spesifikasi paten, prosecution history, dan klaim-klaim lain dalam paten. Hanya jika terjadi ambiguitas mengenai maksud klaim-klaim , diperbolehkan untuk menggunakan extrinsic evidence yakni expert testimony (saksi ahli), perjanjian (treaty),
2.
Pertimbangan hukum tentang penerapan worldwide novelty seharusnya dinyatakan secara tegas, dictionary (kamus), dan prior art sejenis lainnya. demi menjamin kepastian hukum dan Ekstrinsik evidence demikian tidak boleh digunakan untuk merubah meaning of a claim keadilan. term, seperti yang ditentukan oleh intrinsik Hakim harus bisa memilah mana yang evidence yang ini sudah menjadi catatan umum. benar secara hukum, kenapa Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat Penelitian kedua (perbandingan alat dan paten sederhana terhadap invensi proses) meliputi membandingkan produk atau dengan lebih satu klaim, yang tentu metode tergugat dengan klaim invensi. Pelanggaran menyalahi UUPaten. terhadap patent claim bisa digambarkan secara
3.
Hakim juga harus bisa menilai kenapa harfiah (literal infringement) suatu produk atau
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 95
melalui doktrin equivalen. Dalam menentukan literal infringement, masing-masing elemen dalam suatu klaim dipertimbangkan secara material dan esensial. Untuk terjadinya literal infringement masing-masing pembatasan klaim yang ditunjukkan harus ditemukan dalam metode ataupun dengan alat tergugat. Oleh karena klaimklaim paten merupakan sekumpulan bagian yang tidak terpisahkan dan membatasi invensi, klaim-klaim yang dipersengketakan (yang telah ditafsirkan) harus dibandingkan dengan metode atau produk tergugat. Infringement tidak ditentukan oleh suatu perbandingan hanya oleh produk atau proses tergugat dan embodiment yang digambarkan dalam sebuah paten, atau oleh suatu perbandingan dengan commercial product pemilik paten. The tripartite test ‘function-way-result’ menyatakan bahwa infringement melalui doktrin equivalen bisa ditemukan ketika alat-alat tergugat dan klaim invensi menunjukkan secara substansial fungsinya sama, secara substansial memiliki cara yang sama dan secara substansial menghasilkan produk yang sama pula. Jadi doktrin ini didasarkan pada tes tersebut pada invensi khusus yang disengketakan dan bagaimana cara pembuatan klaim itu sendiri. Dalam membandingkan suatu alat tergugat dengan klaim invensi, tes equivalensi harus digunakan pada elemen per elemen pokok, di mana perbandingan antara masingmasing elemen klaim paten dan masing-masing elemen alat tergugat dibuat lebih daripada hanya perbandingan invensi secara keseluruhan dan alat tergugat secara keseluruhan. Beberapa faktor untuk mengidentifikasikan adanya ‘substantially of differences’ adalah: (1) interchangeability (dapat dipertukarkan) antara
96 |
elemen tergugat dengan elemen klaim, yang harus menunjukkan insubstantially of differences, (2) evidence of copying (bukti peniruan) yang menunjukkan insubstantially of differences dan (3) evidence of designing around the patent claims (bukti design yang tercakup klaim), yang menunjukkan insubstantially of differences (Purwaningsih, 2005: 97-98). Mengingat kasus dispenser tersebut di Cina dikualifikasi/didaftar sebagai paten biasa (dan dengan banyak klaim), sementara di Indonesia ternyata milik tergugat (SE) didaftarkan sebagai paten sederhana dan Ditjen HKI memberikan paten sederhana (dengan banyak klaim), maka perlu diperhatikan sebagai berikut: 1.
Dispenser sebenarnya hanyalah peralatan rumah tangga, apalagi jika hanya ditambah dengan penutup keran, tentu bisa dimasukkan ke dalam paten sederhana, akan tetapi tentu mengubah banyak klaim menjadi satu klaim. Dengan menilai bahwa segala macam dispenser bisa terkualifikasi (terkover) dengan kata ‘dispenser’, maka meskipun ditambah keran atau apa (misal kipas angin dan sebagainya), yang secara substansial tidak berbeda jelas, tetap saja dikategorikan dengan dispenser, sehingga invensi milik tergugat (meskipun paten sederhana) terantisipasi (terkover) oleh invensi berpaten penggugat.
2.
Perlunya pemeriksa substantif menerapkan tes/pemeriksaan tentang fungsi, cara dan hasil, apakah mirip/ sama secara substansial atau tidak. Hal ini sangat menentukan pokok invensi yang terlihat dalam klaim. Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
Jadi antara penemuan terdahulu dan kesimpulan sebagai berikut: penemuan baru dipersandingkan, 1. Secara hukum putusan baik pada tingkat jika nampak mirip (equivalen), pertama, maupun kasasi adalah tepat, maka demi kepastian hukum tetap hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu diadakan tes mengenai fungsi, cara dipertimbangkan beberapa hal penting dan hasil, apakah memang benar khusus mengenai penerapan novelty yang sama/mirip secara substansial, karena luas secara mutlak ini antara lain: (1) paten mendasarkan diri pada aspek Pertimbangan hukum tentang penerapan fungsionalitas, bukan estetis atau pun worldwide novelty seharusnya dinyatakan tampilan. secara tegas, demi menjamin kepastian 3. Pemeriksa substantif (pada saat hukum dan keadilan; (2) Hakim harus bisa pemeriksaan di Ditjen HKI) dan hakim memilah mana yang benar secara hukum, (pada saat litigasi) seharusnya juga Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat berpedoman pada bukti yang nyata paten sederhana terhadap invensi dengan dilandasi oleh iktikad baik para pihak. lebih satu klaim, perlu dikembalikan pada Diskresi hakim memang dibolehkan ketentuan UUPaten; harus ditegaskan baik sepanjang tidak mengesampingkan dalam penjelasan UUPaten maupun aturan bukti yang nyata serta jangan sampai organik serta prakteknya; dan (3) Hakim terjadi ‘kurang update’ informasi atau juga harus bisa menilai kenapa Ditjen ketinggalan informasi, khususnya bagi HKI bisa memberikan sertifikat paten Ditjen HKI dalam hal pendaftaran sederhana, yang ternyata telah dipatenkan paten di dunia, karena Ditjen HKI di Cina sebelum paten sederhana tersebut merupakan gerbang utama terbitnya diberikan (bahkan sebelum filing date) dan sertifikat paten. bagaimana iktikad baik dapat dibuktikan ketika ternyata dokumen di Cina tersebut Dari bahasan di atas, bahwa meskipun tidak tidak digunakan sebagai prior art atau tertera hakim menerapkan tes atau pemeriksaan sebagai dokumen pembanding pada saat terhadap fungsi, cara dan hasil pada invensi pemeriksaan substantif; berpaten tersebut, tercermin bahwa berdasarkan pertimbangan khususnya mengenai interpretasi 2. Meskipun tidak tertera hakim menerapkan klaim (claim interpretation) dan judul serta tes atau pemeriksaan terhadap fungsi, cara klaim invensi yang mirip (dan terkover), maka dan hasil pada invensi berpaten tersebut, sudah tepatlah putusan hakim menerapkannya tercermin bahwa berdasarkan pertimbangan pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi literal khususnya mengenai interpretasi klaim infringement juga lebih substansial infringement (claim interpretation) dan judul serta klaim pada fungsi, cara dan hasil. invensi yang mirip (dan terkover), maka sudah tepatlah putusan hakim menerapkannya pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi IV. SIMPULAN literal infringement juga lebih substansial Dari uraian analisis di atas, dapat ditarik infringement pada fungsi, cara dan hasil. Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)
| 97
Perlunya pemeriksa substantif menerapkan tes/pemeriksaan tentang fungsi, cara dan hasil, apakah mirip/sama secara substansial atau tidak. Hal ini sangat menentukan pokok invensi yang terlihat dalam klaim. Jadi antara penemuan terdahulu dan penemuan baru dipersandingkan, jika nampak mirip (equivalen), maka demi kepastian hukum tetap diadakan tes mengenai fungsi, cara dan hasil, apakah memang benar sama/ mirip secara substansial, karena paten mendasarkan diri pada aspek fungsionalitas, bukan estetis atau pun tampilan. Pemeriksa substantif (pada saat pemeriksaan di Ditjen HKI) dan hakim (pada saat litigasi) seharusnya juga berpedoman pada bukti yang nyata dilandasi oleh iktikad baik para pihak. DAFTAR PUSTAKA
Domestik dalam Buku Sains & Teknologi 2. Jakarta: Gramedia. Oda, Shigeaki. 2003. Usage of information on IPR”, Internet, patent Abstracts of Japan. JIII/AOTS. Pieroen, A.P. 1988. Beschermingsomvang van Octrooien in Nederland, Duitsland en Engeland. Kluwer-Deventer. Purwaningsih, Endang. 2005. Paten sebagai Konstruksi Hukum Perlindungan Invensi dalam Bidang Teknologi dan Industri. Jurnal Pro Justitia. UNPAR. -----------------------------. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Jakarta: Ghalia Yudistira. -----------------------------. 2006. Paten sebagai Penentu Besarnya Monopoly Patent Rights dalam Dunia Industri. Jurnal Gloria Yuris. Unika Atmajaya.
European Patent Office. 2000. Case Law of The Boards of Appeal of The EPO 1987-1992. -----------------------------. 2009. Model EPO. Pengembangan Budaya Paten di Kampus dalam rangka Menumbuhkembangkan Haryani, Iswi. 2010. Prosedur Mengurus HAKI Indigenous Technological Capabilities. yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Laporan Hibah Penelitian DIKTI. JPO. 1990. Comparative study of patent practices in the field of biotechnology related mainly -----------------------------. 2012. HKI DAN LISENSI. Bandung: CV Mandar Maju. to microbiological inventions (EPO, JPO, USPTO). Japan. Saidin, O.K. 2010. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Press. JPO. 1998. Comparative Study on The Japanese The United States and The European Patent Sumber lain: Systems. Japan: Japan Institute of Invention Direktori Putusan MA RI. Akses 20 Februari and Innovation. 2012. putusan.mahkamahagung.go.id. JPO. 2000. Drafting Claim and Specification. Dirjen Paten. Akses 20 Februari 2012. http:// Japan. www.dgip.go.id. Lakitan, Benyamin. 2009. Teknologi Berorientasi 98 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98
PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS PENCURIAN KAKAO Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT Haryanto Dwiatmodjo, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122 Email:
[email protected]
a conditional sentence imposed upon the conviction of theft of cocoa An Analysis of Decision Number 247/Pid.B/2009/PN. Pwt Haryanto Dwiatmodjo, Faculty of law of Jenderal Soedirman University, Purwokerto Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122 Email:
[email protected] ABSTRAK
Abstract
Penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus pencurian
The imposition of conditional penalties over criminal
kakao sudah sesuai dengan pemikiran dasar pemberian
acts in case of theft of cocoa is in conformity with
pidana bersyarat. Pemikiran dasar pemberian pidana
the main purpose of conditional penalties. The main
bersyarat tersebut pada intinya terdiri dari empat
purpose of conditional penalties essentially consists
aspek: Pertama, pidana bersyarat dijatuhkan untuk
of four aspects. First, it is imposed to help the inmates
menolong terpidana agar belajar hidup produktif.
learning to live productively. Second, it works as an
Kedua, pidana bersyarat menjadi lembaga hukum
implied law institution for the inmates better than the
yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati hakim
broad-mindedness of the judge or the public. Third,
maupun masyarakat. Ketiga, pidana bersyarat menjadi
it becomes a medium for correction for the inmates
sarana koreksi yang bermanfaat bagi terpidana dan
and the society. Fourth, it is oriented to the action
masyarakat. Keempat, pidana bersyarat berorientasi
and also the criminals. Therefore, the imposition of
pada perbuatan dan juga pelaku tindak pidana. Oleh
conditional penalties over criminal acts has been in
sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat ini telah sesuai
accordance with the principles of criminal law that
dengan prinsip hukum pidana yang mengutamakan
prioritizes prevention.
pencegahan.
Keywords: conditional penalties, theft, justice.
Kata kunci: pidana bersyarat, pencurian, keadilan.
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 99
I.
PENDAHULUAN
Setiap penjatuhan sanksi pidana setidaknya harus mendasarkan pada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku maupun keadaankeadaan yang ada dalam diri pelaku. Kenyataan dalam praktik banyak variasinya sehingga dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai apa yang dinamakan pemidanaan yang konsisten (consistency of sentencing). Sekalipun demikian yang harus dicapai adalah konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan (consistency of approach to sentencing). Hal ini dibutuhkan mengingat kegagalan dalam menciptakan konsistensi ini menimbulkan rasa injustice. Karena seorang pelaku tindak pidana mungkin akan memperoleh pidana yang lebih berat dari yang lain dan sebaliknya. Demikian pula pandangan masyarakat terhadap persamaan hak dalam peradilan akan terganggu apabila terjadi fluctuation in sentencing (Muladi, 1995: 111).
Pembahasan Hukum Pidana dengan segala aspeknya (sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana) akan selalu menarik berhubung dengan sifat dan fungsinya yang istimewa. Muladi (2002: 15) bahkan menyatakan hukum pidana itu memotong darah dagingnya sendiri serta memiliki fungsi ganda yang rasional (sebagai bagian dari politik kriminal) dan sekunder sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Sedangkan esensi jaminan perlindungan hak seorang justru terletak pada tahap ajudikasi. Sebab pada tahap sidang pengadilanlah terdakwa (dan juga pembelanya) dapat berdiri tegak sebagai pihak yang sama derajatnya berhadapan dengan penuntut umum (Lestijono, 2005: 96). Hal ini bermakna bahwa pengadilan wajib sepenuhnya menjamin hak-hak kedua belah pihak, baik Beberapa waktu yang lalu Pengadilan penuntut umum sebagai pendakwa maupun Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor 247/ terdakwa dalam membela dirinya. Pid.B/2009/PN.Pwt telah menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada seorang perempuan tua usia Pemidanaan merupakan bagian penting 55 tahun, Mbok Mnh namanya yang didakwa dalam hukum pidana karena merupakan puncak telah mencuri 3 (tiga) kilogram buah Kakao dari seluruh proses mempertanggungjawabkan (bukan hanya tiga biji sebagaimana diberitakan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak di beberapa media massa). pidana. Chairul Huda (2006: 125) menyatakan “A criminal law without sentencing would morely be Kasus ini menjadi menarik bukan hanya a declaratory system pronouncing people guilty karena banyaknya tanggapan masyarakat yang without any formal consequences following berempati pada peristiwa yang dialami Mnh that guilt”. Hukum pidana tanpa pemidanaan karena dianggap melukai hati masyarakat serta berarti menyatakan seorang bersalah tanpa melukai rasa keadilan rakyat yang akhirnya ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya. oleh majelis hakim dinyatakan terbukti bersalah Dengan demikian konsepsi tentang kesalahan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pidana pencurian sebagaimana diatur Pasal 362 pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga Jika kesalahan dipahami sebagai “dapat di cela” hakim menjatuhkan sanksi berupa pidana maka pemidanaan merupakan “perwujudan dari penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari celaan“. walaupun pidana tersebut tidak perlu dijalaninya 100 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang konsekuensi dan implikasi, sebagai berikut: menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena 1. semua subsistem akan saling telah melakukan tindak pidana sebelum habis tergantung (interdependent) karena masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi II. RUMUSAN MASALAH subsistem lainnya, Dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dibatasi: Apakah penjatuhan pidana dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/Pn.Pwt telah sesuai dengan ide dasar pemberian pidana bersyarat?
2.
pendekatan sistem mendorong adanya interagency consultation an co-operation yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya-upaya penyusunan strategis dari keseluruhan sistem; dan
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
3.
kebijakan yang diputuskan yang diputuskan dan dijalankan oleh suatu subsistem akan berpengaruh pada subsistem lain.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai salah satu implementasi nyata dari teori sistem pada dasarnya merupakan open system akan selalu mengalami interface (interaksi, koneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya serta subsistem-subsistem yang ada di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri secara terpadu sehingga sistem peradilan pidana tidak hanya dapat dilihat dari sudut pendekatan sosial. Dengan demikian sistem peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial lainnya (sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya) yang berlaku di negara tersebut. Adapun ciri-ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana antara lain berfokus pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana, pengawasan dan pengendalian pengggunaan kekuasaan peradilan pidana, efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari pada efisiensi penyelesaian perkara dan penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice (Atmasasmita, 1996: 9-10). Kajian Tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2001: 25) terhadap sistem peradilan pidana pada umumnya memiliki
Sifat saling ketergantungan di antara tiap-tiap subsistem dalam sistem peradilan pidana (pembuat undang-undang, kepolisian, kejaksaan, kehakiman/ peradilan, advokat, lembaga pemasyarakatan dan masyarakat) maka konsultasi dan kerjasama terpadu merupakan suatu conditio sine qua non guna mewujudkan suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Salah satu prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana terpadu adalah equality before the law, merupakan prinsip yang dijamin konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Implementasi asas equality before the law dalam sistem peradilan pidana selama ini pada umumnya hanya berorientasi pada masyarakat sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perkara pidana baik sebagai saksi, pelaku maupun korban khususnya bagi mereka yang dikenakan status sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana (sehingga idealnya tidak perlu ada pembedaan perlakuan hukum terhadap tiap-
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 101
tiap warganegara). Padahal asas equality before the law seharusnya juga berorientasi terhadap para aparat penegak hukum khususnya hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Implementasi asas equality before the law bagi para hakim sangat penting karena dengan diterapkannya sistem majelis hakim dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman maka ada persamaan hak dan kewajiban di antara para hakim dalam suatu majelis guna menghindari adanya pengaruh internal (yang berasal dari dalam kekuasaan kehakiman itu sendiri) yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Salah satu implementasi nyata dari asas equality before the law bagi para hakim adalah terjaminnya kebebasan tiap-tiap anggota majelis hakim untuk mengemukakan pertimbangan dan pendapatnya dalam menghasilkan putusan. Dalam proses peradilan pidana ekspresi equality before the law digambarkan Kaligis (2006: 131) mengutip pendapat Trapman: “Het standpunt van de verdachte karakteriseerde hij als de subjectieve beoordeling van een subjective positie dat van de raadsman als de objective beordeling van een subjective positie, dat van de openbare minister als de subjective beoordeling van een objective positie, dat van de rechter als de objective beoordeling van een objective positie”.
sedangkan hakim mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang obyektif pula). Pertimbangan obyektif yang dilakukan dalam posisi obyektif oleh seorang hakim hanya dapat dilakukan manakala kemandirian dan kekuasaan kehakiman di negara itu telah dilaksanakan secara baik. Posisi obyektif hakim didasarkan pada tugasnya dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, sedangkan suatu pertimbangan obyektif hakim merupakan sesuatu yang amat sulit untuk dicapai karena dalam setiap pertimbangan-pertimbangannya untuk menentukan keputusan manusia akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif yang bersifat internal (dari dalam dirinya sendiri) seperti pengalaman hidup, pola pemikiran, wawasan, tingkat pendidikan, keyakinankeyakinan subyektif dan sebagainya, sehingga jika dalam suatu perkara terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dari hakim maka dapat dipastikan hakim tersebut tidak akan mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang obyektif. Oleh karena itu aspek-aspek psikologis hakim akan sangat mempengaruhi hasil dan kualitas putusan pengadilannya. Peran hakim dalam mengembangkan konsep-konsep dasar (hukum pidana) sangat signifikan melalui putusan-putusannya. Hakim juga harus mampu bersifat a-politik, sehingga hakim akan memiliki kepekaan terhadap rasa keadilan masyarakat. Seorang hakim tidak mungkin berinisiatif mengadakan perkara melainkan sebaliknya harus bersifat pasif menunggu perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya dalam suatu sidang pengadilan.
(bahwa dalam peradilan pidana terdakwa mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang subyektif, penasehat hukum mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang subyektif, Proses pembentukan hukum dan penuntut umum mempunyai pertimbangan pengambilan putusan menurut Roeslan Saleh yang subyektif dalam posisi yang obyektif, 102 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
sebagaimana dikutip Mudzakir (2001: 166) adalah suatu proses pemositifan asas-asas hukum materiil melalui institusi yang berwenang untuk itu. Putusan pengadilan terhadap perkara tindak pidana merupakan hasil dari suatu proses panjang dan kompleks yang memerlukan teknik-teknik tertentu dari aparat penegak hukum khususnya hakim sehingga putusan pengadilan harus mengandung suatu proses pemikiran hakim yang dapat diikuti oleh orang lain secara baik, khususnya oleh terdakwa sebagai pihak yang paling berkepentingan atas putusan pengadilan.
sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikan sebagai melawan hukum (Sudarto, 1986: 111). Di Indonesianpun terdapat masalahmasalah yang universal yaitu ketidakpuasan masyarakat terhadap perampasan kemerdekaan yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana maupun terhadap masyarakat.
Salah satu cara mengatasinya antara lain dalam bentuk peningkatan pemidanaan yang bersifat non-institusional seperti pendayagunaan Karakter produk hukum atau pengambilan pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal keputusan hukum (putusan pengadilan) umumnya 14a-14f Kitab Undang-undang Hukum Pidana sangat dipengaruhi oleh pandangan dasar tentang (KUHP) berikut peraturan pelaksanaannya keadilan dan teori hukum yang diikuti penegak Staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan Januari hukum (khususnya hakim) meskipun berpijak 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad pada ketentuan hukum yang sama (Mudzakir, No. 172 (Muladi, 2002: vii). 2001: 167). Adanya ketentuan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Dalam tingkatan penggunaan hukum secara Kekuasaan Kehakiman menuntut para hakim agar sadar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang menjadi manusia hukum yang cinta keadilan, dikehendaki seperti yang dialami oleh negaramembenci ketidakadilan serta berani mengambil negara modern sekarang ini maka persoalannya keputusan atas keyakinannya berdasar hati bergeser kepada ketegangan antara idekepastian nurani yang murni sehingga berani menghadapi hukum dan penggunaan hukum untuk siapapun kecuali terhadap Tuhan Yang Maha melakukan perubahan-perubahan. Idekepastian Esa. Dengan demikian hakim diharapkan dapat hukum menghendaki adanya stabilitas di memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dalam masyarakat sedangkan pengggunaan dan rasa keadilan masyarakat. secara instrumental adalah untuk menciptakan Norma atau kaidah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu si pelaku pelanggar yang nyata-nyata berbuat bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan. Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menempatkan apa yang diharuskan ataupun yang diperbolehkan dan sebaliknya. Hukum dapat mengkualifikasikan
perubahan melalui pengaturan tingkah laku warga masyarakat menuju kepada sasaran yang dikehendaki (Rahardjo, 1986: 113). Pidana bersyarat menurut Muladi (2002: 62) bukan merupakan pidana pokok melainkan cara penerapan pidana sebagaimana pidana yang tidak bersyarat. Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP, yang terdapat dalam:
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 103
Pasal 14a KUHP:
itu ada.
5. Perintah tersebut dalam ayat (1) harus 1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara disertai hal-hal atau keadaan yang menjadi paling lama satu tahun atau kurungan, alasan perintah itu. tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan Pasal 14b KUHP: pula di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena 1. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 492, terpidana melakukan suatu perbuatan 504, 505, 506 dan 536, paling lama adalah pidana sebelum masa percobaan yang tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya ditentukan dalam perintah tersebut di atas paling lama dua tahun. habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang 2. Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan mungkin ditentukan dalam perintah itu. kepada terpidana menurut cara yang 2. Hakim yang mempunyai kewenangan ditentukan dalam undang-undang. seperti di atas kecuali dalam perkaraperkara yang mengenai penghasilan dan 3. Masa percobaan itu tidak dihitung selama terpidana dihilangkan kemerdekaannya persewaan negara apabila menjatuhkan karena tahanan yang sah. pidana denda tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau Pasal 14c ayat (1) KUHP: perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. 1. Dalam perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, Dalam menerapkan ayat ini kejahatan dan selain menetapkan syarat umum bahwa pelanggaran candu hanya dianggap sebagai terpidana tidak akan melakukan perbuatan perkara mengenai penghasilan negara, jika pidana, hakim dapat menetapkan syarat terhadap kejahatan dan pelanggaran itu khusus bahwa terpidana dalam waktu di tentukan bahwa dalam hal dijatuhkan tertentu, yang lebih pendek daripada masa pidana denda tidak diterapkan ketentuan percobaannya, harus mengganti segala atau Pasal 30 ayat 2. sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh 3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perbuatan pidana tadi. perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. 4. Perintah tersebut dalam ayat 1 hanya diberikan jika hakim berdasarkan penyelidikan yang teliti yakin bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat dipenuhinya syarat umum yaitu bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan sysratsyarat khusus jika sekiranya syarat-syarat 104 |
2. Apakah hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau kurungan atas salah satu pelanggaran tersebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka boleh ditetapkan syarat khusus yang lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama bagian dari masa percobaan. 3. Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik terpidana. Pasal 14d KUHP: 1. Yang diserahi mengawasi supaya supaya syarat-syarat dipenuhi ialah pejabat yang berwenang yang akan menyuruh menjalankan putusan. 2. Jika ada alasannya hakim dalam perintahnya boleh mewajibkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimimpin suatu rumah penampung atau kepada pejabat tertentu supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
di atas, atas usul tersebut Pasal 14d ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan perbuatan pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak terpenuhi atau jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap karena melakukan perbuatan pidana sebelum masa percobaan mulai berlaku. Dalam memerintah pemberian peringatan, hakim harus menentukan juga bagaimana cara memberi peringatan itu.
3. Aturan-aturan lebih lanjut mengenai 2. Setelah masa percobaan habis, perintah pengawan dan bantuan tadi serta mengenai supaya dijalankan tidak dapat diberikan penunjukkan lembaga dan pemimpin rumah lagi kecuali jika sebelum masa percobaan penampung yang dapat diserahi memberi habis, terpidana dituntut karena melakukan bantuan itu diatur dengan undang-undang. perbuatan pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir Pasal 14e KUHP:
dengan pemidanaan yang menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan perbuatan pidana tadi.
1. Atas usul pejabat tersebut Pasal 14d ayat (1) atas permintaan terpidana hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama selama masa percobaan, dapat mengubah Usaha untuk menerapkan pidana bersyarat syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlaku syarat-syarat khusus di dalam menurut Muladi (2002: 197) harus diarahkan masa percobaan. Hakim juga boleh pada manfaat: memerintahkan orang lain daripada orang a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus yang diperintahkan semula, supaya meberi dapat meningkatkan kebebasan individu, bantuan kepada terpidana dan juga boleh dan di lain pihak mempertahankan tertib memperpanjang masa percobaan satu kali, hukum serta memberikan perlindungan paling banyak dengan separo dari waktu kepada masyarakat secara efektif terhadap yang paling lama dapat ditetapkan untuk pelanggaran hukum lebih lanjut; masa percobaan. b. Pidana bersyarat harus dapat dapat meningkatkan persepsi masyarakat Pasal 14f KUHP: terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara 1. Tanpa mengurangi ketentuan tersebut pasal Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 105
memelihara kesinambungan hubungan Tani, Pendidikan Kelas 1 Sekolah Dasar. antara narapidana dengan masyarakat b. Dakwaan secara normal; c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat;
Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S pada
hari Minggu, tanggal 2 Agustus 2009 sekitar jam 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di tahun 2009, bertempat di areal perkebunan cokelat atau kakao Blok A9 milik PT RSA IV Darmakradenan ikut D ”D”, Kecamatan d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya Aji, Kabupaten B atau setidak-tidaknya di suatu yang harus dikeluarkan oleh masyarakat tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan untuk membiayai sistem koreksi yang Negeri Purwokerto, mengambil suatu barang berdaya guna; yang sama sekali atau sebagian termasuk e. Pidana bersyarat diharapkan dapat kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk membatasi kerugian-kerugian dari pidana dimiliki barang itu dengan melawan hukum. pencabutan kemerdekaan khususnya Pada waktu dan tempat tersebut di atas terhadap mereka yang kehidupannya ketika terdakwa berada di areal perkebunan tergantung kepada si pelaku tindak pidana; cokelat atau kakao Blok A9 milik PT RSA IV f. Pidana bersyarat diharapkan dapat Darmakradenan ikut Desa D kemudian saat itu memenuhi tujuan pemidanaan yang melihat buah-buah kakao atau cokelat yang bersifat integratif dalam fungsinya sebagai bergelantungan di pohonnya maka seketika saja sarana pencegahan (umum dan khusus) timbul niat terdakwa untuk mengambil buah perlindungan masyarakat, memelihara kakao milik PT RSA IV Darmakradenan tersebut solidaritas masyarakat dan pengimbalan. tanpa ijin. Sebagaimana telah disebutkan di atas Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT telah menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada Mbok Mnh yang didakwa mencuri 3 (tiga) kilogram buah kakao atau cokelat. Dari putusan tersebut dapat dikemukakan fakta hukum sebagai berikut:
Selanjutnya terdakwa melaksanakan niatnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan pemiliknya mengambil 3 (tiga) biji buah cokelat atau kakao berat sekitar 3 (tiga) kilogram dengan cara dipetik dengan menggunakan tangan terhadap buah cokelat yang masih berada di pohonnya dan terdakwa juga membawa 1 (satu) buah kandi untuk menaruh buah kakao atau a. Identitas cokelat tersebut, tapi belum sempat terdakwa Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S. Tempat membawanya meninggalkan tempat kejadian, lahir Banyumas, umur 55 tahun, tahun lahir ternyata perbuatan terdakwa diketahui oleh 1955. Jenis kelamin Perempuan. Kebangsaan mandor perkebunan yaitu saksi T bin S dan saksi Indonesia. Tempat tinggal desa ”D” Kecamatan R alias D bin A yang sedang melakukan patroli Aji, Kabupaten B. Agama Islam, Pekerjaan rutin telah memergoki dan menangkap basah
106 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
terdakwa setelah buah kakao atau cokelat tersebut berada di tangan terdakwa. Akhirnya terdakwa diamankan oleh pihak kepolisian Polsek Aji untuk proses selanjutnya. Akibat perbuatan terdakwa maka pihak PT RSA IV Darmakradenan mengalami kerugian sekitar Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). c.
Barang Bukti dan Keterangan Saksi
1. Barang Bukti Untuk memperkuat pembuktiannya, jaksa penuntut umum mengajukan barang bukti ke persidangan berupa:
Darmakradenan mengambil 3 (tiga) biji buah cokelat atau kakao yang bila dijual di pasaran hanya seharga Rp2.100,- (dua ribu seratus rupiah) namun menurut pihak PT RSA IV mengalami kerugian Rp30.000,- (tiga puluh ribu rupiah); -
Saksi Mandor T bin S dan saksi R alias D bin A yang ikut menangkap terdakwa dilakukan dengan niat agar ada efek jera saja;
-
Terdakwa mengambil untuk bibit karena tidak mampu untuk membeli;
-
Terdakwa menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut, terdakwa baru pertama kali melakukan hal tersebut.
a.
3 (tiga) kilogram basah buah cokelat e. Tuntutan Jaksa atau kakao berikut biji dan kulitnya. Setelah didengar keterangan para saksi b. 1 (satu) buah kandi. dan keterangan terdakwa selanjutnya hakim 2. Keterangan Saksi memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutannya. Jaksa Untuk membuktikan dakwaannya jaksa penuntut umum dalam tuntutan hukumnya yang penuntut umum juga telah mengajukan 3 (tiga) dibacakan yanggal 12 Nopember 2009, Nomer orang saksi yakni: Saksi J bin WS, saksi T bin S Reg. Perk. PDM.147.PKRTO/Ep.1/10.09 yang dan saksi R alias D bin A, yang masing-masing pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim telah memberikan keterangannya di bawah Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa sumpah di persidangan. dan mengadili perkara ini memutuskan: d. Keterangan Terdakwa
1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S binti S terbukti secara sah dan meyakinkan Terdakwa memberikan keterangannya bersalah melakukan tindak pidana di persidangan yang pada pokoknya sebagai “pencurian” sebagaimana diatur dan berikut: diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP; - Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S, pada 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hari Minggu pahing 2 Agustus 2009 Mnh alias Ny. S binti S dengan pidana sekitar pukul 13.00 WIB tertangkap penjara 6 (enam) bulan dikurangi selama basah Petugas PT RSA IV Blok A9 terdakwa ditahan dengan perintah agar
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 107
menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar majelis hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;
terdakwa tetap ditahan; 3. Menyatakan barang bukti: a.
b.
3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan pada pihak PT RSA IV Darmakradenan ikut desa Darmakradenan. 1 (satu) kandi dirampas untuk dimusnahkan.
4. Memetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa mengajukan pembelaan atau pledoi pada tanggal
3.
Pendapat
pakar
Hukum
Pidana
dari Fakultas Hukum Unsoed yang menyatakan “Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat dan individu bukan hanya yuridis normatif saja”.
Menimbang bahwa terhadap pembelaan atau pledoi atau permohonan terdakwa tersebut dan pemberitaan media massa yang disampaikan Terdakwa menyesali perbuatannya dalam persidangan, penuntut umum menyatakan dan berjanji tidak akan mengulangi tetap pada tuntutan pidananya sedangkan terdakwa tetap pada pembelaannya atau pledoinya atau lagi; Terdakwa baru pertama kali permohonannya. Terhadap hal-hal yang relevan sebagaimana termuat dan tercatat dalam berita melakukan perbuatan tersebut; acara persidangan diambil alih dan dianggap Terdakwa mohon maaf atas termuat dalam putusan ini. perbuatannya;
19 Nopember 2009 yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
Terdakwa mohon hukuman yang Untuk memidana seseorang harus seringan-ringannya dan seadil- dibuktikan tentang adanya tindak pidana dan adilnya. terdakwalah yang harus bertanggung jawab atas tindakan pidana tersebut. Mengenai hal f. Pertimbangan Hukum Hakim adanya perbuatan pidana harus dibuktikan dengan dipenuhinya semua unsur pasal-pasal Menimbang bahwa di media massa dimuat dari peraturan perundang-undangan yang secara luas, pemberitaan yang pada pokoknya didakwakan kepadanya dan tidak ditemukan mengemukakan: adanya alasan pembenar, sedangkan mengenai 1. Simpati dan dukungan kepada pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana Mnh atau Ny. S (55 tahun) warga tersebut dan ditemukan alasan pemaaf yang dapat Darmakradenan, Kecamatan menghapus pertanggungjawaban pidana. Ajibarang terus mengalir; Sehubungan dengan hal tersebut majelis 2. Sejumlah penggiat gender hakim terlebih dahulu mempertimbangkan 108 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera.
mengenai ada tidaknya tindak pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa, apabila terpenuhi semua unsur maka terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan kepadanya, selanjutnya akan dipertimbangkan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana dengan cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada dengan semua unsur pertanggungjawaban pidana.
Terhadap fakta-fakta tersebut dihubungkan dengan unsur-unsur dari perundang-undangan yang didakwakan kepada terdakwa untuk dianalisa apakah fakta-fakta tersebut semua unsur pasalnya dari peraturan perundangan yang didakwakan kepada terdakwa terpenuhi atau tidak. Dalam perkara ini terdakwa oleh penuntut umum didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 362 KUHP: ”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau Berdasar keterangan saksi-saksi dan sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud terdakwa yang telah memberikan keterangan di untuk dimiliki secara melawan hukum diancam persidangan, dihubungkan pula dengan barang karena pencurian, dengan pidana paling lama 5 bukti yang telah disita secara sah dan telah (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa, yang sembilan ratus rupiah”. satu dan lainnya saling berhubungan, terdapat Pasal 362 KUHP memuat unsur-unsur fakta-fakta hukum sebagai berikut: sebagai berikut: 1.
2.
3.
4. 5.
Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S, perempuan tua, umur 55 tahun kelahiran Banyumas, bertempat tinggal di Desa Darmakradenan RT 04/RW 09, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas;
1.
Barang siapa;
2.
Mengambil;
3.
Yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain;
4.
Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum.
Terdakwa Mnh sebagai petani terpaksa mengambil 3 (tiga) buah kakao untuk bibit diladangnya pada Ad. 1) Barang siapa 2 Agustus 2009, Minggu siang pukul Yang dimaksud barang siapa adalah 13.00 WIB; orang sebagai pendukung hak dan kewajiban 3 (tiga) buah kakao tersebut yang identitasnya jelas diajukan ke persidangan tumbuh di pohon pada Perkebunan karena telah didakwa melakukan tindak pidana PT RSA IV Darmakradenan ikut dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan desa Darmakradenan, Kecamatan kepadanya. Penuntut umum telah menghadapkan Ajibarang, Kabupaten Banyumas; seorang terdakwa bernama: Mnh alias Ny. S binti PT RSA IV Darmakradenan dirugikan S yang identitas selengkapnya seperti dalam surat Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah); dakwaan penuntut umum. Penangkapan
terdakwa
Mnh
Setelah
mendengar
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
keterangan
saksi| 109
saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, didapat fakta-fakta hukum bahwa tidak ada kekeliruan orang (eror in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Mnh alias Ny. S binti S. Berdasarkan pertimabangan hukum tersebut di atas maka unsur kesatu ini telah terbukti.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau cokelat seberat lebih 3 (tiga) kilo gram yang seluruhnya milik PT. RSA IV Darmakradenan dan terdakwa mengambil barang tersebut di Ad. 2) Mengambil sesuatu barang atas tanpa ijin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu PT. RSA IV Darmakradenan dengan Yang dimaksud “mengambil sesuatu maksud akan memiliki untuk bibit tanaman dan barang” adalah memindahkan barang ke suatu perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan PT. tempat ke tempat lain, dan berdasarkan faktaRSA IV Darmakradenan menderita kerugian Rp. fakta yang terungkap di persidangan terdakwa 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Berdasarkan Mnh alias Ny. S binti S pada hari Minggu Pahing pertimbangan hukum tersebut di atas, maka unsur tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB keempat terpenuhi. telah mengambil 3 (tiga) buah kakao/cokelat dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan Oleh karena semua unsur-unsur yang PT RSA IV di Blok A9 Darmakradenan di desa terkandung dalam Pasal 362 KUHP telah terpenuhi Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten maka hakim berkeyakinan bahwa terdakwa Mnh Banyumas dan hingga tertangkap tangan oleh alias Ny. S binti S dinyatakan terbukti secara sah saksi mandor T bin S dan saksi R alias D dan akibat dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan terdakwa PT. RSA IV Darmakradenan sebagaimana dakwaan melanggar Pasal 362 KUHP mengalami kerugian Rp. 30.000,-. Berdasarkan karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan pertimbangan hakim maka unsur kedua ini telah perbuatannya tersebut. Terhadap hal tersebut di terpenuhi. atas majelis hakim mempertimbangkan apakah ada alasan pembenar yang dapat meniadakan/ Ad.3) Yang sama sekali atau sebagian termasuk menganulir tindak pidana yang telah dilakukan kepunyaan orang lain oleh terdakwa tersebut; bahwa alasan pembenar Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang yang tertulis sebagaimana ditentukan dalam Pasal dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 oleh keterangan terdakwa di muka persidangan ayat (1) KUHP. maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa Karena telah terbukti semua unsur tindak benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah pidana dari delik yang didakwakan kepada kakao atau cokelat seluruhnya milik PT. RSA terdakwa yang ternyata diatur dalam KUHP IV Darmakradenan bukan milik terdakwa Mnh. sebagai Hukum Pidana Materiil, maka tindakan Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di yang dilakukan terdakwa tersebut telah terbukti atas, maka unsur ketiga inipun telah terbukti. sebagai tindakan yang melawan hukum, dengan Ad.4) Dengan maksud memiliki barang dengan demikian tidak ditemukan alasan pembenar melawan hukum “ketiadaan sifat melawan hukum materiil”. 110 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
Terdakwa bukanlah dokter maupun berprofesi sebagai paramedis, tindakan yang dilakukan terdakwa tersebut tidak terkait dengan masalah kedokteran dengan demikian tidak ditemukan alasan pembenar “eksepsi kedokteran”; berdasarkan hal-hal yang telah dipertimbangkan di atas, tidak ditemukan alasan pembenar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (keadaan sifat melawan hukum materiil dan eksepsi kedokteran).
tertulis adalah “Avas” atau “tidak tercela”.
Sepanjang persidangan berlangsung menurut pengamatan majelis, terdakwa dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani, mampu mengikuti jalannya persidangan dengan baik dan diperoleh fakta bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa atas kehendak sendiri, bukan karena perintah jabatan yang tidak sah, dikira sah dan tidak pernah diketemukan alasan pembelaan Setelah terbukti adanya tindak pidana darurat, sehingga menurut majelis hakim tidak tersebut dan tidak ditemukan alasan pembenar, diketemukan alasan pemaaf sebagaimana selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan ditentukan dalam Pasal 44 KUHP, Pasal 48 mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap KUHP, Pasal 48 ayat (2) KUHP dan Pasal terdakwa yang mengandung unsur-unsur sebagai 51 ayat (2) KUHP, sehingga terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang berikut: dilakukannya. 1. Barang siapa (pelaku subjek Fenomena “kasus Mnh” ini menjadi menarik hukum). 2. Kesalahan (sengaja/dolus atau masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat “dimejahijaukan” ambil kealpaan/culpa). 3 (tiga) biji kakao/cokelat senilai Rp21.999,-. 3. Tidak ada alasan pemaaf. “Aktivis Dukung Ny. Mnh dibebaskan”… mestinya polisi, jaksa dan majelis hakim bisa Ad. 1 dan 2: melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan Unsur kesatu dan kedua telah si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu dipertimbangkan sebagaimana tersebut di atas merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak dan kedua unsur ini telah terbukti dan terpenuhi. korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, tidak terus semua diproses pidana. Ad. 3: Perbuatan terdakwa merupakan gejala tidak Alasan pemaaf yang tertulis dalam KUHP diberdayakannya masyarakat setempat sekitar PT. ada 4 (empat) macam, yaitu: RSA IV Darmakradenan sehingga menimbulkan 1. Tidak mampu bertanggung jawab ketimpangan dan kecemburuan sosial. Lebih jauh lagi bahwa yang terpenting putusan haruslah (Pasal 44 KUHP) membawa makna, makna itu disiratkan melalui 2. Daya paksa (Pasal 48 KUHP) fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan fantasi 3. Pembelaan darurat yang melampaui dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP) peradaban. Ketentuan pidana yang tercantum 4. Sedangkan alasan pemaaf yang dalam pasal perundangan yang didakwakan
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 111
kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu perkara dan di hadapkan ke pengadilan, maka hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan roh keadilan kepada pencari keadilan di dalam kasus melalui putusannya.
dijatuhkan terhadap diri terdakwa sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini adalah sudah sesuai dengan kadar kesalahan terdakwa dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan rakyat.
Oleh karena terdakwa ditahan maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa haruslah Sebelum hakim menjatuhkan hukuman dikurangkan seluruhnya dari pidana yang kepada terdakwa, maka perlu dikemukakan hal-hal dijatuhkan. yang meringankan dan memberatkan terdakwa, Menimbang, bahwa mengenai barang bukti selain itu dalam mempertimbangkan berat akan dipertimbangkan statusnya masing-masing ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sebagai berikut: pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa yang dipertimbangkan sebagai berikut: 1. 3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan ke PT. RSA IV Darmakradenan melalui saksi T bin S.
Hal-hal yang memberatkan:
Tidak dijumpai pada terdakwa Mnh.
Hal-hal yang meringankan:
2.
1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan.
1.
Terdakwa Mnh sudah lanjut usia;
2.
Terdakwa Mnh adalah petani yang g. Amar Putusan tidak punya apa-apa;
3.
Tiga buah kakao, sangatlah berarti bagi petani Mnh, buat benih untuk ditanam kembali, sedang dari sisi perusahaan perkebunan tidak terlalu merugi;
4.
Semangat terdakwa Mnh, haruslah diapresiasi, menghadiri persidangan tepat waktu mesti letih tertatih-tatih;
5.
Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka harus dibebani membayar biaya perkara (Pasal 222 ayat (1) KUHAP, mengingat Pasal 362 KUHP, Pasal 197 KUHAP serta perundang-undangan lain yang berlaku. Selanjutnya majelis hakim yang memeriksa perkara ini telah mengambil putusan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Kamis, tanggal 19 Nopember 2009, putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh majelis hakim tersebut, putusannya sebagai berikut:
Terdakwa mengambil kakao tiga buah, bagi Mnh selaku terdakwa sudah merupakan hukuman baginya, mengganggu ketenangan jiwa, melalui 1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S binti hati, menguras tenaga dan harta serta S yang lengkap dengan segala identitasnya membuat keropos jiwa raga. tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Mempertimbangkan hal-hal tersebut di pidana pencurian; atas menurut majelis hakim pidana yang akan 112 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah terdakwa jalani kecuali apabila dikemudian hari ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 3 (tiga) bulan; 3. Memerintahkan supaya barang bukti: a.
3 (tiga) kilo gram buah cokelat atau kakao berikut biji dan kulitnya dikembalikan pada PT. RSA IV Darmakradenan melalui saksi T bin S;
b.
1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan;
c.
Membebankan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah).
Alasan yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT menurut penuturan salah seorang hakim yang menyidangkan perkara tersebut bertujuan untuk membimbing atau memberi peringatan pada terpidana agar tidak mengulangi tindak pidana dan untuk sarana edukasi agar pelakunya sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan tercela yang mengakibatkan pemidanaan.
Terdakwa seperti mbok Mnh yang sudah tua hanya gara-gara mencuri buah kakao yang nilainya tidak seberapa itu harus dipenjara. Oleh karena itu demi rasa keadilan masyarakat dan demi keadilan serta kepentingan terdakwa sendiri penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim sudah tepat. Penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT dengan segala pertimbangan hukumnya juga sudah sesuai dengan ide dasar atau pemikiran dasar dari ketentuan pidana bersyarat sebagaimana dikemukakan Muladi yakni bahwa pemikiran dasar yang melandasi sanksi pidana bersyarat sangat sederhana. Pidana yang dijatuhkan secara keseluruhan untuk menghindari tindak pidana lebih lanjut dengan cara menolong terpidana agar belajar hidup produktif dalam mayarakat yang telah dirugikan olehnya. Cara yang sebaikbaiknya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan cara mengarahkan pelaksanaan sanksi pidana dalam masyarakat, daripada mengirim ke lingkungan yang bersifat buatan tidak normal dalam bentuk perampasan kemerdekaan.
Hal ini tidak berarti bahwa sanksi pidana bersyarat bisa digunakan untuk semua kasus atau akan selalu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sanksi pidana pencabutan kemerdekaan. Yang harus ditekankan dalam hal sanksi pidana bersyarat adalah bahwa sanksi pidana bersyarat harus dapat menjadi suatu lembaga hukum yang lebih baik dari sekedar merupakan suatu kebaikan atau Di samping itu tujuan penjatuhan pidana kelonggaran atau kemurahan hati sebagaimana bersyarat pada terdakwa karena adanya keyakinan dihayati oleh sebagian besar masyarakat dewasa hakim bahwa pidana tersebut dapat memperbaiki ini dan menjadi sarana koreksi yang tidak hanya perilaku terdakwa. Selain itu menurut Dr. bermanfaat bagi terpidana melainkan juga Noor Aziz Said, S.H, M,S pengajar Magister bermanfaat bagi masyarakat (Muladi, 2002: 175). Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Lebih jelas lagi penjatuhan pidana berpendapat bahwa penjatuhan pidana bersyarat bersyarat oleh hakim dalam perkara Nomor 247/ untuk mengurangi dampak buruk pidana penjara. Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 113
Pid.B/2009/PN. PWT, dapat diketahui dari amar putusan hakim yang antara lain menyatakan: a.
Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S yang lengkap dengan segala identitas tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian;
b.
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah terdakwa jalani kecuali apabila di kemudian hari ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.
1.
Simpati dan dukungan kepada Mnh atau Ny. S (55 tahun) warga Desa «D», Kecamatan Aji terus mengalir;
2.
Sejumlah penggiat gender menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar majelis hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;
3.
Pendapat salah seorang akademisi Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Unsoed yang menyatakan “Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat dan individu bukan hanya yuridis normatif saja”.
c. Fenomena “kasus Mnh” ini menjadi menarik masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat “dimejahijaukan” ambil 3 (tiga) biji kakao/ cokelat senilai Rp 21.999,-. “Aktivis a. Pembelaan atau pledoi tanggal 19 Nopember Dukung Ny. Mnh dibebaskan”…mestinya 2009 yang pada pokoknya dikemukakan: polisi, jaksa dan majelis hakim bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan 1. Terdakwa menyesali perbuatannya si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu dan berjanji tidak akan mengulangi merugikan masyarakat secara luas termasuk lagi; pihak korban itu bisa ditangani dengan 2. Terdakwa baru pertama kali pendekatan lain dulu, tidak terus semua melakukan perbuatan tersebut; diproses pidana. 3. Terdakwa mohon maaf atas perbuatanya; d. Di samping itu perbuatan terdakwa Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, juga didasarkan pada pertimbanganpertimbangan:
4.
Terdakwa mohon hukuman yang seringan-ringannya dan seadiladilnya.
merupakan gejala tidak diberdayakannya masyarakat sekitar PT. RSA IV Darmakradenan sehingga menimbulan ketimpangan dan kecemburuan sosial.
b. Media masa juga memuat secara luas pemberitaan yang pada pokoknya e. Lebih jauh lagi bahwa yang terpenting putusan haruslah membawa makna, makna mengemukakan: 114 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
itu disiratkan melalui fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan fantasi dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah peradaban.
institusional) kecuali terdapat faktor-faktor yang memberatkan dalam kasus-kasus tertentu. Di dalam konteks ini pemanfaatan sanksi pidana bersyarat akan meningkatkan daya pencegahan hukum pidana dengan segala keuntungan-keuntungannya dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan;
f. Ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal perundangan yang didakwakan kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala e. Pidana bersyarat sesuai dengan variabel terjadi suatu perkara dan dihadapkan hukum pidana yang berperikemanusiaan, ke pengadilan, maka hakimlah yang yaitu sebagai hukum pidana yang berkewajiban untuk memberikan roh bercirikan: mengutamakan pencegahan, keadilan kepada pencari keadilan melalui tidak hanya berorientasi kepada perbuatan putusan pengadilan. tetapi juga kepada orang yang melakukan Sedangkan penjatuhan pidana bersyarat tindak pidana. dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, dalam hubungannya dengan ide dasar penjatuhan IV. SIMPULAN
pidana bersyarat telah sesuai dengan pemikiran Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dasar yang melandasi pidana bersyarat, ini dapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa disimpulkan dari hal-hal berikut: penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara a. Pidana bersyarat untuk menghindari Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, telah sesuai terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan dengan ide dasar penjatuhan pidana bersyarat cara menolong terpidana agar belajar hidup karena telah didasarkan pada pertimbanganproduktif dalam masyarakat yang telah pertimbangan: Sanksi tersebut untuk menghindari terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan dirugikan olehnya; b. Pidana bersyarat harus menjadi lembaga cara menolong terpidana agar belajar hidup hukum yang lebih baik dari sekedar produktif dalam masyarakat yang telah dirugikan merupakan suatu kebaikan atau kelonggaran olehnya; dan menjadi sarana koreksi yang tidak atau kemurahan hati dari hakim maupun hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat. masyarakat; c. Pidana bersyarat dapat menjadi sarana koreksi yang tidak hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat; d. Adanya premis yang menyatakan bahwa tanggapan terhadap kejahatan yang utama adalah sanksi pidana bersyarat (pidana non
Putusan ini sesuai dengan variabel hukum pidana yang berperikemanusiaan, yaitu sebagai hukum pidana yang bercirikan: mengutamakan pencegahan, tidak hanya berorientasi kepada perbuatan tetapi juga kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)
| 115
DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli. 1996. Cet. Ke-2. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksestialisme dan Abolisionisme). Bandung: Binacipta. Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Tim). 2001. Sinkronisasi Ketentuan Perundangundangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asasasas Umum. Jakarta. Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media. Kaligis, O.C. 2006. Edisi Pertama. Cet. Ke-1. Perlindungan Hukum Atas Hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: PT Alumni. Lestijono, Agus Dwi. 2005. Telaah Konsep Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, hal. 96. Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni. Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
116 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116
BIODATA PENULIS Ibnu Sina Chandranegara, adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Bagian Hukum Tata Negara, lahir di Jakarta, pada tanggal 11 Oktober 1989. Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan saat ini masih melanjutkan studi pada Program Magister Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara. Penulis juga merupakan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Di samping itu Penulis juga merupakan Anggota Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015. Email:
[email protected]. HP: +6281311075760. Mella Ismelina FR, adalah Dekan dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung sekaligus pengajar pada Pascasarjana Universitas Islam Bandung dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Gelar kesarjanaan diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, gelar magister diperoleh dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung dan gelar doktor ilmu hukum diperoleh dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang serta memperoleh jabatan Guru Besar di bidang Ilmu Hukum. Beliau aktif melakukan penelitian dan menulis di jurnal ilmiah. M. Syamsudin, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 4 September 1969. Menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang 1994, Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 2002, dan Program Doktor Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, 2010. Bekerja sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Program S1, S2 dan S3) mengampu matakuliah: Hukum Adat, Antropologi Hukum, Metode Penelitian Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum. Jabatan yang pernah dipegang Kepala Pusat Penelitian Sosial Lembaga Penelitian UII Yogyakarta (2002-2005), Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII (2010-sekarang), Sekretaris Senat FH UII (2005-2010), Konsultan Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (2002-sekarang), Ketua Penyunting Jurnal Fenomena Pusat Penelitian Sosial UII (2003-2005). Peserta pada Training on Social-Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rigths: A Harmonization between Modern Law and Customary Law in Indonesia, 15 March – 1 April 2010, di Van Vollenhoven Institute, Leiden University Belanda. Peserta Program Sandwich Like di School of Law, Flinders University, Adelaide South Australia, September-Desember 2008. HP: 08562880013.
Erman Rajagukguk, lahir di Padang 1 Juni 1946. Mendapat S.H. (Sarjana Hukum) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1975). Melanjutkan studi ke Amerika Serikat (1982– 1988) dan mendapat LL.M dari University of Washington, School of Law, Seattle (1984) dan Ph.D dari universitas yang sama (1988). Pada tahun 1997 diangkat sebagai Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setahun kemudian diangkat menjadi Direktur Jenderal Hukum & Perundang-Undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia (1998). Delapan bulan kemudian diangkat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai dengan April 2005. Ditunjuk sebagai Wakil Ketua Team Pemerintah dalam penyusunan dan pembahasan RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan DPR. Sekarang selain mengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (2005–sekarang). Buku yang telah diterbitkan antara lain “Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, dan Kebutuhan Hidup” (Jakarta: Ghalia, 1990), “Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan” (Jakarta: Chandra Pratama, 1998), ”Nyanyi Sunyi Kemerdekaan: Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2006), ”Hukum Investasi di Indonesia” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2007), “Perseroan Terbatas, Keuangan Negara, Dan Tindak Pidana Korupsi” (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2009), “Butir-Butir Hukum Ekonomi” (Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2011). Mutiara Hikmah, lahir di Jakarta pada 21 Januari 1970. Berkarir sebagai Dosen Tetap di Fakultas Hukum UI sejak Mei 1996. Saat ini menjabat Lektor Kepala dengan Pangkat/Golongan IV-b. Gelar Sarjana Hukum dengan skripsi di Bidang Hukum Perdata Internasional, dicapai pada tahun 1995. Kemudian Gelar Magister di bidang Hukum Ekonomi pada tahun 2002. Mengikuti Program Doktor Pada Program Pasca sarjanaa FHUI pada tahun 2003, dan pada tahun 2010 memperoleh Gelar Doktor dari Universitas Pelita Harapan. Matakuliah yang diasuh di Fakultas Hukum UI adalah Hukum Antar Tata Hukum/ HATAH, Hukum Perdata Internasional, Konvensikonvensi Hukum Perdata Internasional, Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional, serta mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di Fakultas Ekonomi UI mengajar untuk Kelas Khusus Internasional, sejak tahun 2006 pada mata kuliah Economics and Business Law in Indonesia. Dosen yang aktif dalam menulis, meneliti dan juga mengikuti training, workshop dan konferensi baik yang bersifat nasional maupun internasional. Penulis juga aktif memuat tulisannya di dalam jurnal-jurnal ilmiah, antara lain Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jurnal Keadilan dan Jurnal Hukum Internasional. Buku-buku yang pernah ditulis, antara lain ”Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Pada Perkara-Perkara Kepailitan” (Penerbit Refika Aditama, 2007) dan Bunga Rampai Hukum Antar Tata Hukum dan Hak Asasi Manusia (Penerbit Fakultas Hukum UI, 2011).
Endang Purwaningsih, lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 04 September 1968, menamatkan pendidikan dasar dan menengah di SDN Kaligondang I Pituruh, SMPN Pituruh dan SMAN Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah; lulus S1 Ilmu Hukum (Hukum Keperdataan) Universitas Diponegoro/UNDIP 1991 dengan Skripsi: “Pelaksanaan Joint Venture Indonesia dan Jepang di Indonesia”; lulus S2 Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi) Universitas Gadjah Mada/ UGM 1998 dengan Tesis: “Peranan Lisensi Paten dalam Pertumbuhan Teknologi dan Industri Indonesia”, dan lulus S3 Ilmu Hukum (Hukum Hak Kekayaan Intelektual) Universitas Airlangga/ UNAIR 2005, dengan Disertasi: “Perlindungan Paten Menurut Hukum Paten Indonesia” (Studi Komparatif). Saat ini Penulis menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta (2009-2013). Pengalaman penelitian Penulis antara lain Penelitian Hibah Kompetensi DIKTI 2011/2012 tentang Traditional Knowledge (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2009 tentang Perlindungan Tapis Lampung (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008 tentang Patentability Invention di Kalangan Kampus se-Provinsi Lampung dalam rangka menumbuhkembangkan Indigenous Technological Capabilities (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008-2010 tentang Perlindungan Foklor Jawa oleh Masyarakat Transmigran Jawa di Lampung (sebagai anggota), Penelitian Fundamental DIKTI 2008 tentang Kawin Lari Sebambangan sebagai Media Pembelajaran Sosial Mayarakat Adat Lampung (sebagai anggota); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2007 (sebagai Ketua) mengenai Patent Culture Building di Sentra Industri Kecil dan Menengah Jawa Timur; Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008 (sebagai anggota) mengenai Model Rehabilitasi Napi Wirogunan Yogyakarta; Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2007 (sebagai anggota); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2006 mengenai Konflik PT Freeport dan Masyarakat Adat Timika (sebagai anggota); Penelitian tentang Pengaruh Kesadaran Hukum, Sosialisasi Pemerintah tentang BIO-PIRACY, dan Budaya hukum terhadap Motivasi Produsen Jamu dan Obat Tradisional untuk Memperoleh Perlindungan Hukum HKI, 2006 (sebagai Ketua) dan lain lain. Buku cetak yang telah diterbitkan antara lain “Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights” (Ghalia Yudistira, 2005) dan “Kapita Selekta Hukum Ekonomi” (Jenggala Pustaka Utama, 2009); “Hukum Bisnis” (Ghalia Yudistira, 2010); dan “Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi” (Mandar Maju, 2012). HP: 081280400620 Haryanto Dwiatmodjo, lahir di Yogyakarta tanggal 25 Februari 1957 adalah Staf Pengajar di Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto dan sekarang menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Pidana di Fakultas Hukum UNSOED. Pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Lulus tahun 1985 dan Pendidikan S2 di Universitas Diponegoro Semarang Lulus tahun 1997.
PEDOMAN PENULISAN Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. FORMAT NASKAH Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA NASKAH I. JUDUL NASKAH Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh: PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG A. Nama dan identitas penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh: Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email
[email protected].
b. Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf. II. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. III. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya. IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. V. SIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.
PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10). Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:
Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010.
. PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.