1
Mengkritisi Salafi Sebagai Sebuah Potret Masa Ke-emasan Bukan Sebagai Madzhab Menurut Ramadhan al-Buthi Oleh : Dr. H. Zainul Arifin, M.Ed, MA Dosen STAI Ma’arif Jambi Abstrak Kata-kata salaf adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, karena banyak ulama‟ memberikan definisi yang kongkrit serta detail mengenai makna salaf seperti Imam al-Ghozali dalam bukunya Iljamul Awwam „Anil Kalam, alBajuri dalam kitabnya al-Jauharoh (Silsilah Isdarot Haiati Ulama‟is Sudan) dan juga Prof. DR. Imaroh dalam bukunya Izalatus Subhat „Anil Ma‟aniyul Mustholahat. Serta melalui kajian secara panjang lebar sehingga tidak terjadi kesalahfahaman dalam memahaminya baik makna maupun subtansinya. Para salafus-shalih berhasil menjawab tuntutan zaman. Mereka telah melakukan adaptasi dan mengakulturasi budaya satu dengan yang lainnya, dengan tetap berpedoman teguh kepada dalil qath‟i yaitu al Qur'an dan as-sunnah. Bukan semata mata tekstual, kontraktif, ekskluif dan terpaku pada redaksi (nash) sumber hukumnya dan bisa dikatakan memahami agama hanya sebagai sebuah dogma belaka. Kata Kunci: Salafi dan Madzhab Ramadhan al-Buthi
A. Pendahuluan Masa Nabi Muhammad SAW merupakan poros serta sumber sejarah. Sebab, di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk menggugah peradaban masyarakat. Kalau kita melihat masa umat terdahulu, masa Rosul SAW bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa Beliau adalah masa salaf (yang sudah lewat). Salaf berasal dari kata " "سلفyang berarti dahulu. Secara etimologi, kata salaf sepadan dengan kata " "قبلyang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yaitu tiga generasi yang telah mendapat penyaksian langsung dari Rosulullah Saw sebagai periode ummat yang terbaik. Hal ini terdapat pada salah satu hadis Nabi dari riwayatnya Abdullah bin Mas`ud: "Sebaik-baiknya
2
manusia (khair al-nas) adalah di masaku (qarni), kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya…" (1). Dari hadis yang dikemukakan di atas, memberikan indikasi serta memunculkan beberapa pertanyaan. Apa yang dimaksud al-qurun al-tsalatsah (tiga abad) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khairiyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berurutan? Apakah al-khairiyyah diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin) yang hidup pada masa itu? Atau, apakah alkhairiyyah itu diperuntukkan bagi personal (al-afrad) dari kaum Muslimin? Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara para Ulama‟, mayoritas (Jumhur) ulama memandang bahwa, al-khairiyyah diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibn Abdulbar (363-463 H) berpendapat bahwa, al-khairiyyah hanya diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin). Menurutnya, alkhairiyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan digunakan kata afdlal (lebih utama), yang mana di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.(2) Tidak diragukan Rasulullah menyebut orang-orang yang hidup pada tiga masa itu sebagai umat terbaik (al-khairiyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka bagaikan lingkaran mata rantai terdekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Periode pertama adalah masa para sahabat, yang memang mendapat bimbingan secara langsung dari nabi Muhammad Saw. Sehingga aqidah dan akhlak Mereka (Ridhwanullahi „alaihim) tertanam kokoh dan bersih dari berbagai macam bentuk bid‟ah. Periode kedua adalah masa para tabi`in (pengikut para sahabat Rasul), di mana mereka memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian yang terakhir adalah masa tabi`i al-tabi`in. Periode ini merupakan pemungakas dari abad „keemasan‟ yang memegang teguh puritas ajaran islam dan terbebas dari penyelewengan internal. Namun kemudian di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang 'kurang memuaskan'.
1
M. Ibn Futuh al-Humaidi, al-Jam‟u Bainas Shohihaini al-Bukhori wa Muslim, Vol. 1. Hal. 120, Hadits ke-261 . 2 Lihat fathul Bari „Ala sohih Al-bukhori 7/4 cet. Al-maimuniyah lihat As-salafiyah, hal 10.
3
Jadi Salafu as-shalih adalah para sahabat yang hidup semasa Rosulullah Saw, serta para tabi‟in dan atbau tabi‟in. Namun pada perkembangan selanjutnya, karena ada perbedaan dalam mengejawantahkan sunnah-sunnah Rosulullah Saw, muncul satu sekte bernama salafi yang mengklaim sebagai penerus salafus sholeh tersebut. Yang kemudian, pandangan dan ajaran kaum salafi itu terkesan sebagai sebuah madzhab tersendiri dalam islam. Periode keemaasan islam itu pun mulai terkikis dengan munculnya sektesekte yang menyimpang dan terus berlanjut hingga kini. Hal ini menunjukkan kebenaran hadits dari riwayat Anas bin Malik yaitu, Rosulullah Saw bersabda(3) : ". . . ال يأتي عليكم سمان إال الذي بعده شز منو. . . " “. . . tidak akan datang kepadamu zaman kecuali yang lebih jelek dari zaman sebelumnya . . .” Adapun „ibrah yang dapat kita ambil dari adanya hadits ini adalah satu invitasi kepada kita agar dapat mengkolaborasikan antara akal fikiran dan tingkah laku dengan adanya loyalitas kepada para salaf dengan mengikuti jejak mereka. Syaikh Prof. Dr. Said Ramadhan Al-Buthi menerangkan bahwa cara “Meneladani salafu as-shalih” bukan hanya sebatas mengkuti ucapan, perilaku, serta kebiasaan yang ditetapkan dan dijalankan oleh para pendahulu kita secara literalis, tanpa penambahan maupun pengurangan. Bahkan ulama salaf sendiri tidak berpendirian se-„rigid‟ itu. Akan tetapi, para salafus-shalih menginterptretasikan pemikiran yang telah tetap ini kepada ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum yang telah diturunkan kepada mereka dengan jelas dan qath‟i di dalam kitab Allah dan hadits Rasulullah Saw. Kemudian mereka mengolahnya sesuai dengan sebab-sebab („illat) hukum, perkembangan zaman serta kemajuan intelektualitas menuju tatanan masyarakaat dari “as-shalih” (baik) menuju “al-ashlah” (yang lebih baik dan terbaik).(4) Salah satu contoh fleksibilitas ajaran islam yang telah dipraktekkan langsung oleh Rasullullah Saw dan para Sahabat. Ketika berada di mekkah, Rosul Saw dan para Sahabat mempunyai suatu kebiasaan dan adat tersendiri. Setelah mereka hijrah 3
M. Ibn Futuh al-Humaidi, al-Jam‟u Bainas Shohihaini al-Bukhori wa Muslim, Vol. 2. Hal.479, Hadits ke-2086 . 4 Lihat As-salafiyah, hal 14-15
4
ke Madinah, mereka menemukan kebiasaan baru yang belum mereka temui di Makkah. Baik mengenai tata cara berpakaian, bentuk rumah maupun friksi-friksi yang lain sebagai implikasi dari interaksi antara satu sama lainnya. Semasa di Makkah mereka belum mengerti baju yang berjahit, maka ketika mereka sudah tinggal di Madinah mereka memakai baju yang berjahit dan perhiasan dari yaman. Dulu mereka juga tidak mengunakan perabotan dapur (mangkuk dan piring) yang terbuat dari beling. Yang mana sebelum itu mangkuk yang dipakai Rosulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dalam hadits sohih adalah terbuat dari kayu yang tebal. setelah para sahabat mengetahuinya maka mereka mengambil mangkok itu dan menggunakannya untuk minum. (5) Nabi juga mulai menggunakan stempel dari perak yang bertuliskan “Muhammad Rosulullah” dalam setiap surat yang dikirim kepada raja-raja semenjak tinggal di Madinah (6). Kemudian selama sekitar tujuh tahun Nabi SAW berkhotbah dengan bersandar kepada ranting kurma. Kemudian ada seorang wanita dari golongan Anshar yang menawarkan untuk membuatkan sebuah mimbar, karena wanita itu memiliki seorang budak yang menjadi tukang kayu. Kemudian nabi menerima tawaran wanita itu. Semenjak itu, nabi memakai mimbar itu untuk melakukan khotbah.(7) Ini hanyalah sedikit sampel dari fenomena-fenomena perkembangan yang bervariasi di era kehidupan salafus-salih Ridlwanullahi alaihim. Bahkan fenomena seperti ini justru sudah banyak terjadi sejak abad pertama dari tiga abad yang merupakan masa keemasan (golden century) islam dengan penyaksian dari Rasulullah SAW (8). Dan hal ini sangat kontradiktif dengan keadaan sekarang, di mana tengah berkembang biak satu gerakan yang mengklaim dirinya adalah pengikut salafusshalih. Tetapi ajaran-ajaran yang diusung tidaklah se-fleksibel para salaf tersendiri. Oleh karena itu Dr. Said Ramadhan Al-bouti memandang bahwa penyematan kata “salafiyah” atau Ancestralisme tidaklah relevan dijadikan sebuah madzhab tersendiri. Karena itu hanya sebatas fase sejarah atau kurun waktu yang telah lampau. 5
Adapun Rosulullah, tidak ditemukan hadits yang sohih bahwa beliau minum menggunakan tempat dari kaca. 6 Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari riwayat Anas Ra. (lihat Assalafiyah hal 16) 7 lihat As-salafiyah hal 16 8 Ibid hal 18
5
Adapun eksplikasi lebih lanjut dipaparkan oleh Dr. Said Ramadhan Al-bouti dalam tiga pembahasan besar secara eksplsit. Berikut ini penulis mencoba memaparkan sedikit khulasohnya: B. Pembahasan 1. Faktor-Faktor Yang Mendorong Munculnya Al-Manhaj Al-‘Ilmi (Metodologi ‘Ilmiyah) Bersubstansikan karakteristik para Sahabat (radliyallahu „anhum), serta kondisi-kondisi yang memicu perkembangan masyarakat muslim ditinjau dari pelbagai aspek kehidupan. Beberapa faktor tersebut adalah : Pertama, meluasnya wilayah ekspansi Islam ke luar jazirah arab. Sebagaimana kita ketahui islam telah mengadakan ekspansinya pada masa “khulafa ar-rasyidin”. Perluasannya mencakup seluruh semenanjung arab hingga Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Setelah era khulafa ar-rasyidin berakhir, ekspansi islam jilid dua berlanjut di bawah kepimimpinan dinasti umayah. Pada era inilah Islam menjadi sebuah imperium besar, wilayahnya meluas sampai ke eropa. Berbeda bangsa dengan aneka ras dan suku di pelbagai pelosok dunia bernaung dalam satu aristokrasi Islam. Sudah tentu dengan adanya perluasan wilayah ini berimplikasi pada perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Baik itu pada level cultural yang mencakup adat kebiasaan, arsitektur bangunan, serta kondisi social ekonomi yang baru. Begitu juga pada level ilmiah, muncul halaqoh-halaqoh ta‟lim sebagai pusat pendidikan pertama. serta berkembangnya wacana-wacana literatur keagamaan yang “debatable”. Faktor kedua, banyaknya pemeluk agama lain yang masuk islam dari mulai penganut yahudi, maniisme(9) , zoroastrianisme(10) dan sebagainya. Dimana mayoritas para muallaf (new comers) itu diantaranya merupakan para pemuka agama.
9
Maniisme adalah salah satu aliran keagamaan yang bercirikan Gnostik. Maniisme dikenal juga dengan sebutan Manikheisme, lebih lanjut kunjungi : http://id.wikipedia.org/wiki/Maniisme 10 Zoroastrianisme adalah sebuah agama dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster. lebih lanjut kunjungi : http://id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme
6
Faktor ketiga juga tidak lain sebagai bentuk keberhasilan islamisasi, yaitu berbondong-bondongnya ribuan bahkan jutaan orang dari pelbagai negeri masuk ke dalam agama Allah. Dan faktor keempat, menyebar ruaknya sekte-sekte yang menyimpang seperti “Al-Zindiqoh” atau kaum atheis yang mencela agama. Dari sinilah terbuka lebar pintu perdebatan serta pertikaian internal yang kemudian juga menjadi pembuka jendela ijtihad. Kalau dilihat dengan telaah historis era sahabat dan tabiin keempat faktor di atas muncul pada satu kurun waktu. Dan tentunya hal ini merupakan pemicu para salafus-shalih untuk mengembangkan metodologi ilmiah dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu kini golongan yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus salafus-shalih malah “mangkir” dari manhaj yang dipakai oleh para salaf sendiri. Mereka memakai system yang ekslusif sehingga terkesan tidak dinamis dan bahkan melahirkan paradigma yang radikal dan fundamental. Meski perkembangan ini membawa kepada masa kejayaan islam namun tidak dapat dipungkiri dampak negatifnya. Berbagai macam problematika muncul sebagai ancaman yang juga merupakan efek dari keempat faktor tersebut di atas. Kesulitan krusial ini dipandang sebagai satu cakrawala yang tidak terarah dan tanpa batas. Hal ini merupakan sebab yang primordial atas munculnya berbagai sekte dan golongan. Namun para salafus-shalih tidak saling menjatuhkan atau merasa “benar sendiri” dalam mensikapi perbedaan. Mereka justru langsung mencari solusi yang terbaik. Manhaj para salafus-shalih ini patut kita teladani untuk menyelesaikan setiap problematika yang membutuhkan penyelesaian (solving). Dan untuk mengimplementasikan ajaran islam yang kaffah, penulis menjelaskan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mampu melewati tiga langkah di bawah ini (11) : 1. Merekonfirmasi keabsahan nash-nash yang disabdakan oleh Rosulullah Saw baik Al-quran maupun Al-hadits. 2. Memahami makna substansial nash-nash tersebut secara konperhensif sehingga memberikan satu keyakinan yang teguh pada diri kita.
11
Lihat as-salafiyah hal 63.
7
3. Mengaplikasikan makna-makna serta tujuan ilahi yang tekandung dalam nashnash tersebut. Untuk lolos dari ke tiga langkah di atas maka seorang muslim harus mempunyai sebuah perangkat, dan perangkat itulah yang dinamakan manhaj. Dan ini merupakan manhaj yang menyeluruh untuk merekognisi ajaran islam dari mulai yang bersifat prinsipil maupun yurispundensnya. 2. Implementasi Dari Metodologi Universal Penulis mengeksplikasikan influence (pengaruh) dari manhaj jaami‟ (metodologi universal) pada kehidupan seorang muslim baik dari segi spiritual maupun intelektualnya. Dengan ringkas penulis memaparkan tiga hal sebagai resultan dari manhaj itu, adalah: A. Prinsip-prinsip primordial yang tidak dapat menimbulkan kontradiksi di dalamnya. Beberapa hal yang harus diaplikasikan dari manhaj yang telah kita ketahui di atas diantaranya merupakan perkara yang disepakati. Dan dalam bukunya Penulis menjelaskan enam belas poin secara ringkas. Diantaranya adalah, pertama meyakini bahwa islam adalah agama Allah yang harus kita peluk. Kedua, meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa pada dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Kemudian juga meyakini bahwa agama islam yang hakiki terdiri dari iman, islam dan ihsan(12). B. Penyimpangan atau penyelewengan yang tidak diragukan kebathilannya. Di sini dijelaskan segala macam bentuk penyimpangan baik itu yang berkaitan dengan akidah, hukum maupun attitude (perilaku) yang disepakati kesesatannya. Namun hal-hal yang menyimpang ini bukanlah suatu keniscayaan yang dapat menjadikan seseorang menerima label “kafir” begitu saja. Tapi ada juga beberapa penyimpangan yang menjadikan seseorang berada pada level ibtida‟, fasik, junuh (pelaku kejahatan), atau pada level antara kekufuran dan kefasikan. Adapun contoh syudzudz yang dapat menjadikan seseorang keluar dari ajaran islam ialah segala bentuk syirik atau menyekutukan Allah. Sementara perilaku ke dua yaitu seperti segala hal (ilustrasi, keyakinan, atau perilaku) yang menjurus kepada
12
Selengkapnya lihat as-salafiyah hal 99-104.
8
penginterpretasian nash secara bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah bahasa dan ilmu tafsir. C. Perkara-perkara yang memiliki beberapa sudut pandang antara benar atau salah. Contoh beberapa permasalahan pada pembahasan ini kembali kepada tiga perkara ushul, yaitu pertama nash-nash mutasyabih yang mencakup ayat-ayat sifat dan hadits-hadits al-musyabahat. Seperti pentakwilan Imam Ahmad atas kata ()جاء dalam surat Al-fajr ayat 22(13) bermakna: telah datang perintah Allah, atau senada dengan firman-Nya dalam surat An-nahl ayat 32)14(. Kemudian juga Al-baghawi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mentakwilkan kata“Istawa” dalam surat Thaha ayat 5 dengan makna irtafa‟a (Maha tiinggi). Para ulama salaf dan khalaf telah berijma‟ dalam mengeksegesi ayat mutasyabih ini kepada dua metode: 1. Tafwidh, maksudnya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT, karena dikhawatirkan jika difahami sesuai zahir lafaznya akan merusak aqidah. Salah satu ulama yang menggunakan metode ini adalah Imam Ibnu katsir. 2. dengan cara mentakwil ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil Qath‟i dari Alquran dan hadits. Perkara ushul yang kedua adalah, bid‟ah definisi dan hukumnya. Ini merupakan yang paling luas serta kompleks pebahasannya. Sebagaimana kita ketahui al-ibtida‟ dalam agama merupakan satu kesesatan sebagaaimana sabda Rasulullah Saw : "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, (sebab) sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Namun apakah perubahan dan perkembangan baru dinyatakan bid‟ah? Di sini Al-bouti menjelaskan ada dua hal yang memungkinkan adanya diferensiasi pandangan dalam menyematkan kata bid‟ah, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan pengaplikasian definisi bid‟ah itu sendiri pada realita kehidupan yang ada.
13 14
()وجاء ربك و الملك صفا صفا ()أو يأتي أمز ربك
9
Dan ushul yang ketiga, tasawuf serta permasalahan-permasalahan di dalamnya. Dimana tujuan tasawwuf (misistisme) itu adalah untuk memperoleh hubungan langsung dengan sang Khaliq. Kesimpulannya ialah : kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Sang Pencipta melalui proses berkotemplasi. Namun sebagian orang memandang bahwa hal ini adalah satu bentuk kekeliruan. Dan Al-bouti menjawab statement itu dengan menyuguhkan dalil-dalil kepada kita. 3. Mengklaim Diri Bermadzhab Salaf Adalah Bid’ah Bab terakhir ini merupakan inti dari grand theme yang diangkat oleh AlBouti. Pada bab ini dijelaskan secara eksplisit bahwasannya bermadzhab (tamadzhub) pada satu madzhab baru yang dinamakan “As-salafiyah” adalah bid‟ah. Dan perlu diunderline perbedaan antara bermadzhab dengan berittiba‟ seperti apa yang telah dijelaskan pada dua bab sebelumnya yaitu keharusan meneladani salafus-shalih (ittiba‟ as-salaf). Kemudian Beliau berkata bahawa istilah yang digunakan oleh para ulama‟ untuk menamakan kedudukan para ulama‟ yang benar adalah Ahli Sunnah wal Jama‟ah. a. Sejarah kemunculan gerakan salafiyah Dilihat dari sisi historisnya, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa kolonial Inggris, dimana bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan (harakah al-ishlah al-dini) yang dipimpin oleh orang-orang sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi sosial masyarakat Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat Al-Azhar dengan seluruh ulamanya, dan juga gerakan keilmuan di sekitarnya, bahkan di seantero Mesir. Akan tetapi, pada saat itu juga tengah marak berbagai macam bid`ah dan khurafat yang sudah mulai berkembang dengan sangat pesat dan signifikan. Di lingkungan al-Azhar sendiri, berbagai aktifitas keilmuan, berubah menjadi formalitas-formalitas yang stagnan. Yang ada hanyalah kontroversi verbalistik (mumahakat lisaniyyah) dan “folklore” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realita masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli dengan masyarakat,
10
bahkan juga tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (al-ishlah) dan perubahan (taghyir). Di tengah kondisi ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama, berkeinginan untuk membaur dengan peradaban barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Kelompok kedua, berkeinginan untuk mereformasi kaum Muslimin, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid`ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi dari pada melebur bersama masyarakat, untuk kemudian diikat dengan roda kehidupan modern guna dicarikan alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang (al-hadlarah al-wafidah)(15). Akan tetapi, Salafiyah pada masa itu, semata-mata hanya digunakan sebagai syi`ar saja, tidak dijadikan sebagai salah satu madzhab Islam yang harus diikuti dan dianggap sebagai madzhab yang diyakini paling benar, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jadi, sebenarnya, walaupun gerakan reformasi tersebut menggunakan istilah Salafiyah sebagai syi`ar, itu hanya merupakan sebuah upaya untuk mendekati salafusshalih pada satu sudut padang tertentu, yaitu yang berkenaan dengan penjauhan dari segala macam bid`ah dan khurafat. Gerakan reformasi keagamaan inilah yang agaknya telah membawa pengaruh besar bagi regulasi kata Salafiyah di tengahtengah kultur dan sosial secara umum. b. Bermadzhab Salafy adalah bid’ah Al-bouti menegaskan, “Dan apabila seorang muslim mengklaim bahwa dirinya condong kepada sebuah mazhab yang kini dikenal dengan as-salafiyyah, maka tidak diragukan lagi ia adalah seorang ahli bid‟ah”(16). Hal ini dikarenakan para salafus-shalih pun tidak pernah menyematkan kata „salafi‟ apalagi menjadikannya sebuah madzhab. Dalam kondisi seperti ini, kita perlu melakukan diferensiasi antara al-ashalah (orisinilitas) dan al-salafiyyah, yang selama ini bercampur aduk sehingga mencapai 15 16
Lihat as-salafiyah halaman 231-232. Ibid halaman 236.
11
titik bias yang kabur. Al-ashalah mempunyai konotasi positif dinamis. Dalam hal ini kita bisa mengambil sebuah contoh, misalnya, seorang Steve Jobs melakukan riset orisinil (bahts ashil) dalam bidang teknologi, yang kemudian berhasil menjadikan CEO (Chief Executive Officer) Apple dengan menghasilkan sejumlah produk inovatif, seperti iPod, iPhone, MacBook, dan kini komputer tablet iPad. Kita katakan riset orisinil, artinya bahwa ilmuan tersebut telah melakukan semacam kreasi dan inovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, riset yang ia lakukan, tidak berangkat dari angka nol. Namun berdasarkan penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang teknologi (akar-akar). Ini yang berkenaan dengan al-ashalah (orisinilitas). Sedangkan al-salafiyyah, pada pemahamannya saat ini, adalah seruan untuk meneladani jejak al-salaf . Artinya bahwa, terdapat fase historis cemerlang, di mana pada masa itu segala problematika ekonomi, sosial dan politik dapat terpecahkan. Sehingga mereka mampu menerapkan keadilan dan membangun sebuah dinasti yang kokoh dan berdaulat. Jadi, yang patut dijadikan panutan adalah al-salaf yang dianggap telah menjaga nalar dari berbagai kerancuan berfikir dan memahami nash. Maka dari itu, kita harus mengikuti jejaknya, menirunya serta tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan. C. Epilog “…Pengalaman sejarah bangsa Arab, pengalamannya bersama peradaban kontemporer saat ini, tidak cukup hanya mencontoh model salafus-shalih saja. Model ini sudah cukup bagi kita manakala sejarah itu adalah sejarah kita, manakala dunia secara universal, berada di bagian dalam dunia kita...” (Abid Al-Jabiri)17 Di era modern ini sudah banyak terjadi kontroversi, Salafiyah tidaklah efektif dan relevan untuk dijadikan role model (panutan) alternatif. Keektifitasannya akan terasa ketika kita sedang uzlah dalam sebuah dunia, yaitu dunia kita sendiri seperti apa yang dikemukakan oleh Al-Jabiri di atas. Akan tetapi, manakala kita sudah 17
Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari`ah, Markaz Dirasat alWihdah al-Qaumiyyah, halaman 136.
12
menjadi salah satu bagian dari semua, maka jalan satu-satunya untuk menjaga eksistensi dan kepribadian kita adalah menjalin hubungan dengan semuanya. Dan pengalaman sejarah di masa keemasan islam itu harus dikontekstualkan agar lebih dinamis pada masa kontemporer ini. Menciptakan new round (babak baru) yang mampu beradaptasi dengan zaman modern sekarang ini. Buku karya Dr. Said Ramadhan Al-bouti ini memiliki surplus dalam memberi kritik dan saran, disertai pemaparan dalil-dalil yang eksplisit baik itu dalam ranah kebangkitan islam maupun ranah eksternal. Dan buku ini juga memberikan benefit (manfaat) kepada para penganut faham yang mengatasnamakan dirinya adalah salafi untuk bisa merenungkan kembali pemahaman-pemahaman manhaj salafus-shalih secara konprehensif. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk menjawab serangan-serangan bersenjata “ibtida‟” dan “takfir”. Namun demikian tulisan ini, tidak bertujuan untuk mendiskreditkan satu golongan tertentu atas yang lainnya. Sebagaimana disampaikan oleh Al-Bouti sendiri pada kalimat sebelum prolog di dalam buku As-salafiyah ini. Tidak pula membenarkan atau menyalahkan setiap perbedaan tetapi mencoba merenungkan hal yang lebih urgen dari itu.
13
Daftar Pustaka Al-Qur‟an al-Karim Fakhrurrazi, Tafsir al-kabir, Darul Fikr Suria tahun. 2009 Silsilah Isdarot Haiati Ulama‟is Sudan. M. Ibn Futuh al-Humaidi, al-Jam‟u Bainas Shohihaini al-Bukhori wa Muslim, Vol. 1. Ibn Hajar al-Asqolani, fathul Bari „Ala sohih Al-bukhori. Darul Al-maimuniyah, Suria. 2005 Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari`ah, Markaz Dirasat al-Wihdah al-Qaumiyyah,. Ramadhan al-Buthi, al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid'atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah. Darul Fikr. Suriah 2005. Ramadhan al-Buthi, Assalafiyyah. Darul Fikr. Suriah 2005. Ibn Faris, Maqoyisil Lughoh. Darul Hadits. Mesir 1988. Imam al-Ghozali, Iljamul Awwam „Anil Kalam. Darul Hadits, Mesir. 2004. al-Bajuri, al-Jauharoh. Darul Kutub al-Islamiyyah, Mesir 1987. Prof. DR. Imaroh, Izalatus Subhat „Anil Ma‟aniyul Mustholahat. Darul Kutub alIslamiyyah, Mesir 2009.