1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa balita disebut juga sebagai "masa keemasan" (golden period), "jendela keemasan" (window of opportunity), dan "masa kritis"(critical period) (Depkes RI.2006). Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak, kecepatan pertumbuhan anak balita mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik kasar dan halus. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Depkes RI.2006). Infeksi masih merupakan masalah kesehatan di dunia, terutama di negara berkembang. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah infeksi saluran pernafasan Pneumonia yang saat ini 20%-30% kematian bayi dan balita disebabkan oleh penyakit ini. Pneumonia merupakan proses radang akut pada jaringan paru (alveoli) akibat infeksi kuman yang menyebabkan gangguan pernapasan. Pneumonia berbahaya karena dapat menyebabkan kematian, karena paruparu tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mendapatkan oksigen bagi tubuh menurut Departement Kesehatan Republik Indonesia, (Depkes RI 2007).
1
2
Bakteri patogen penyebab pneumonia, yaitu streptococcus pneumoniae, menyerang anak-anak usia dibawah 5 tahun yang sistem kekebalan alaminya lemah
dan
mengakibatkan
infeksi
pada
sistem
saluran
pernafasan
(Kartasasmita, 2009). Menurut WHO, semakin dini gejala pneumonia dideteksi, dan semakin cepat ditangani hasilnya akan lebih baik dan dapat menyelamatkan jiwa. Untuk mencapai hal ini ada tiga langkah penting yang harus dicapai tepat waktu dalam pengelolaan anak yang sakit yaitu pengenalan penyakit oleh pengasuh, mencari pelayanan dari tempat yang sesuai, dan pemberian obat dengan dosis yang benar (Hildenwall, 2009). Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Penyakit infeksi saluran pernafasan Pneumonia pada balita juga dipengaruhi oleh pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI. Pada bayi yang telah diberikan makanan sebelum usia 4-6 bulan atau beberapa saat setelah kelahiran dapat menyebabkan bayi mudah terserang penyakit infeksi Pneumonia (LIPI, 2004). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO, 2005) memperkirakan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19 persen atau berkisar 1,6 – 2,2 juta, dimana sekitar 70 persennya terjadi di negara-negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara. Dilaporkan di kawasan Asia - Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak setiap jam. World Pneumonia Day (WPD) melaporkan Indonesia menjadi negara dengan kejadian pneumonia urutan ke-6 terbesar di dunia. Di Indonesia, pneumonia
3
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Angka kematian pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21%. Adapun angka kesakitan diperkirakan mencapai 250 hingga 299 per 1000 anak balita setiap tahunnya (Unicef, 2006) . Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya dan pemeriksaan penunjang rontgen dan laboratorium (Wilson, 2006). Pada usia anak-anak, Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Angka kematian Pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 % (Unicef, 2006). Adapun angka kesakitan diperkirakan mencapai 250 hingga 299 per 1000 anak balita setiap tahunnya. Fakta yang sangat mencengangkan. Karenanya, kita patut mewaspadai setiap keluhan panas, batuk, sesak pada anak dengan memeriksakannya secara dini (Setiowulan, 2000). Pada umunya penyakit pneumonia menyebabkan bendungan cairan, nanah pada rongga paru-paru sehingga penderitanya mengalami kesulitan bernafas dan demam. Kesulitan bernafas berarti tidak normalnya proses inspirasi dan ekspirasi. Sehingga oksigen yang masuk tidak sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Respiratory rate pada kondisi Pneumonia akan meningkat karena kesulitan bernafas. Respiratory rate adalah frekuensi seseorang mengambil napas dalam satu menit (Misnadiarly, 2008). Faktor yang dapat menyebabkan pneumonia antara lain penderita penyakit paru kronis seperti asma, penyakit paru obstruktif menahun seperti
4
cystic fibrosis, penderita cerebral palsy, orang berusia 65 tahun atau bayi yang berusia kurang dari 5 tahun. Kedua kelompok ini memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah mengalami infeksi selain penderita penyakit kronis seperti gagal jantung dan diabetes, serta perokok dan peminum alkohol (Misnadiarly, 2008). Peran fisioterapi secara lansung maupun tidak lansung terhadap manusia mulai dari sejak dalam kandungan sampai usia lanjut baik dalam bentuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, seperti tertera pada Permenkes no. 80, 2013: “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditunjukan kepada individu dan kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penangana
secara
manual,
peningkatan
gerak,
peralatan
(fisik,
elektroterpeutis dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi. (Permenkes no.80 2013). Ada beberapa cara untuk mencegah dan mengembalikan fungsi paru pada pneumonia. Cara untuk mencegah pneumonia antara lain cuci tangan sesering mungkin, mintalah vaksinasi pneumonia atau flu. Dan cara mengobati pneumonia diantaranya dengan nebulizer dan breathing exercise, serta nebulizer dan postural drainage. Nebulizer adalah alat untuk membantu kelancaran pernapasan bagi pasien. Obat yang diberikan kepada anak penderita pneumonia melalui oral kurang efektif, diantaranya carapengobatan yang tidak menyenangkan (anak-
5
anak tidak suka rasa obat), tidak efisien waktu (membutuhkan waktu yang lama), resiko tersedak, dan belum lagi efek samping bagi anak yang diberikan obat melalui oral dalam jangka waktu lama. Sementara, terapi dengan nebulizer, tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengobatannya. Juga tidak perlu memaksa anak untuk memakan obat yang rasanya tidak disukai mereka. Terapi nebulizer sebenarnya sama saja dengan memakan obat, namun tidak melalui oral yang pada umumnya tidak disukai oleh anak-anak. Obat yang biasanya berbentuk sirup, kapsul, tablet maupun serbuk yang cara mengkonsumsinya tidak efisien. Dalam terapi nebulizer, obat-obat tersebut berbentuk cair yang akan diubah menjadi aerosol atau uap sehingga mudah untuk dimasukkan ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan (dihirup). Obat yang biasa digunakan terapi menggunakan nebulizer adalah : Bisolvon : untuk mengencerkan dahak Atroven : untuk melonggarkan saluran nafas Berotec : untuk melonggarkan saluran nafas Inflamid : untuk anti radang Combivent : kombinasi untuk melonggarkan saluran nafas Pulmicort : kombinasi anti radang dengan obat yg melonggarkan saluran nafas NaCl : air garam, bisa untuk mengencerkan dahak. Breathing execise adalah merupakan latihan aktivasi paru dengan teknik nafas dalam dan batuk efektif untuk meningkatkan ventilasi oksigenasi. Tujuan pemberian breathing exercise adalah untuk memperbaiki ventilasi, meningkatkan kapasitas paru dan mencegah kerusakan paru. Postural drainage adalah pembersihan secret jalan napas dan
jalan
segmen bronkus dengan pengaruh gravitasi. Jika cairan atau mukus yang
6
berlebihan didalam bronkus tidak dapat dikeluarkan oleh aktivitas silia normal dan batuk. Memposisikan anak untuk mendapatkan manfaat maksimal dari grafitasi akan mempermudah pengeluaran sekret. Dalam penelitian
ini,
penulis
akan
membandingkan
efektivitas
penanganan pasien anak penderita pneumonia antara nebulizer dan breathing exercise dengan nebulizer dan postural drainage. Kedua metode tersebut dipilih karena mudah dan aman untuk diberikan pada anak. Kasus pneumonia pada anak lebih banyak terjadi dibandingkan pada usia dewasa. Hal ini dikarenakan daya tahan tubuh mereka yang masih lemah. Maka dari itu peneliti lebih tertarik pada kasus ini. Selain itu, penanganan pasien anak lebih ditekankan pada pengobatan yang beresiko seperti pemberian obat pada umumnya melalui oral. Dari kedua terapi nebulizer yang akan dibandingkan, akan diidentifikasi mana yang lebih efektif dalam menurunkan repiratory rate. Tingkat respirasi biasanya diukur ketika seseorang dalam posisi diam dan hanya menghitung jumlah nafas selama satu menit dengan menghitung berapa kali dada meningkat (Djojodibroto, 2009). Berdasarkan rasionalisasi tersebut di atas, pemberian terapi dengan nebulizer penulis pilih sebagai alternative pengobatan bagi anak pederita pneumonia. Sehingga penulis memilih penelitian dengan judul “Perbedaan antara pemberian terapi nebulizer dan postural drainage dengan nebulizer dan breathing exercise terhadap penurunan respiratory rate pada anak dengan kondisi pneumonia”.
7
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, banyaknya anak-anak yang terserang pneumonia, dan banyaknya kasus kematian karena pneumonia terjadi dinegara berkembang, maka peneliti mengajak untuk lebih memahami dan mencegah sedini mungkin supaya anak-anak tidak terkena penyakit pneumonia. Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantong udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen akan membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Karena inilah, selain penyebaran infeksi keseluruh tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan sesak,karena paru meradang secara mendadak. Pneumonia dapat terjadi karena virus dan bakteri menyerang alveolus dan menyebabkan radang. Peradangan pada alveolus akan menyebabkan terbentuknya eksudat dalam alveolus dan menyebabkan oksigen ke vena alveolar terlambat. Jika oksigen terlambat , maka akan menyebabkan kerusakan jaringan paru(gangguan pola nafas). Terbentuknya eksudat akan memproduksi sputum yang bau dan kental serta bersihan jalan nafas tidak efektif. Eksudat adalah sel yang rusak dari pembuluh darah ke jaringan, biasanya
akibat
radang.
Sehingga
proses
pernafasan
menurun
dan
8
mengganggu proses difusi. Proses difusi yang terganggu akan menyebabkan respiratory rate meningkat yang ditandai dengan napas cepat. Untuk menurunkan respiratory rate maka peneliti memberikan nebulizer, breathing exercise dan postural drainage.
C. Perumusan Masalah Berdasarkan pertimbangan diatas maka penulis merumuskan masalah yaitu: 1. Apakah ada pemberian terapi nebulizer dan postural drainage terhadap penurunan respiratory rate pada anak dengan kondisi pneumonia? 2. Apakah ada pemberian terapi nebulizer dan breathing exercise terhadap penurunan respiratory rate pada anak dengan kondisi pneumonia? 3. Apakah ada perbedaan antara pemberian terapi nebulizer dan postural drainage dengan terapi nebulizer dan breathing exercise terhadap penurunan respiratory rate pada anak dengan kondisi pneumonia?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan antara pemberian terapi nebulizer dan postural drainage dengan terapi nebulizer dan breathing exercise dalam menurunkan respiratory rate pada anak penderita pneumonia. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui apakah pemberian terapi nebulizer dan postural drainage dapat menurunkan pneumonia.
respiratory rate pada anak penderita
9
b. Untuk mengetahui apakah pemberian terapi nebulizer dan breathing exercise dapat menurunkan
respiratory rate pada anak penderita
pneumonia.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti : a. Memberikan wawasan baru dan meningkatkan ilmu pengetahuan serta dapat menganalisa permasalahan-permasalahan yang ada. b. Dapat dijadikan sebagai literature untuk penderita pneumonia. 2. Bagi Sejawat Fisioterapi Agar dapat menjadi bahan tambahan dan masukan bagi rekan sejawat fisioterapi, mengenaiperbedaan antara pemberian terapi nebulizer dan postural drainage dengan nebulizer dan breathing exercise untuk menurunkan respiratory rate pada anak dengan kondisi pneumonia. 3. Bagi Rumah Sakit : Sebagai pertimbangan dalam memberikan terapi yang efektif untuk anak penderita pneumonia.