MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB Arifah Jauhari Syams Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Hukum Keluarga Islam STAIN Jember Abstrak
Statemen yang menyatakan bahwa umat Islam telah mengalami kemunduran di berbagai bidang telah sering sekali terdengar di zaman ini. Barangkali kemunduran ini dapat secara gampang dilihat dari kejatuhan Islam setelah runtuhnya kerajaan Turki Uthmani. Dalam sejarah dikisahkan bahwa pada abad pertengahan, peradaban muslim pernah menjadi kiblat peradaban di dunia. Hal ini ditandai dengan lahirnya para pemikir, ilmuan, dan seniman muslim yang lebih dahulu dikenal di dunia daripada tokoh-tokoh Barat. Namun di masa kini, peradaban Islam seolah “kalah pamor” oleh peradaban Barat. Beberapa negara-negara muslim memiliki predikat negara dunia ketiga, untuk menggambarkan negara yang tertinggal dari negara-negara maju di kawasan Amerika dan Eropa. Statemen kemunduran Islam, tentu saja memasuki ranah fikih. Lebih jauh, muncul statemen lain yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini rupanya menarik perhatian kaum cendikiawan muslim sehingga mereka menyerukan terbukanya kembali pintu ijtihad. Fenomena yang tampaknya problematik ini kemudian menarik untuk dikaji lebih jauh. Apakah masa empat imam madzhab fikih---yakni Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Ahmad ibn Idris al-Syafi’i, serta Ahmad ibn Hanbal---merupakan masa keemasan fikih? Apakah setelah keempat imam madzhab tersebut, bidang fikih mengalami kemunduran? Apakah setelah keempat imam madzhab tersebut, tidak ada lagi para mujtahid mandiri (mujtahid muthlaq) dalam bidang fikih? Tulisan ini disusun untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kata Kunci : Keemasan Fikih, Imam Madzhab Pendahuluan Pernahkan kita bertanya, kapan statemen yang menyatakan bahwa umat Islam telah mengalami kemunduran di berbagai bidang itu mulai terdengar? Kapan kita sadar bahwa umat Islam telah mengalami
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 91
Arifah Jauhari Syams kemunduran? Kapan statemen yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup dalam dunia Islam? Dan siapa yang mengemukakan statemen tersebut? Dari berbagai buku, banyak ulama modern berasumsi bahwa aktivitas ijtihad telah terhenti sejak + akhir abad ke-3 H/9 M.1 Proses ini kemudian dikenal sebagai “tertutupnya pintu ijtihad (insidad bab alijtihad)”. Secara mengejutkan, asumsi ini tidak hadir dengan sendirinya; melainkan muncul dari kesimpulan para Orientalis Islam klasik. Joseph Schacht, misalnya, menggambarkan keadaan tersebut sebagai:
Pada awal abad ke-4 Hijriyah (+ 900 Masehi), telah tercapai titik ketika para sarjana di semua madzhab merasa bahwa semua masalah esensial telah didiskusikan sepenuhnya dan akhirnya dianggap rampung dan konsensus---secara berangsur-angsur---telah mengukuhkan diri dengan konsekuensi bahwa sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang dapat dianggap memiliki kualifikasi yang diperlukan bagi pemikiran yang independen dalam hukum. Dan bahwa semua aktivitas di masa depan akan terbatas pada penjelasan, atau paling jauh pada penafsiran yang telah dirumuskan sekali dan untuk selamanya. ‘Penutupan pintu ijtihad’ ini, sebagaimana ia dikenal, berakibat pada tuntutan untuk bertaklid.2
J.N.D. Anderson, sebagaimana banyak peneliti lainnya, menyatakan bahwa + akhir abad ke-3 H/9 M, secara umum diterima bahwa pintu ijtihad telah tertutup.3 Lebih jauh, H.A.R. Gibb menyatakan bahwa para ulama Islam awal berpendapat bahwa: “pintu (ijtihad) telah tertutup, tidak akan dibuka kembali”.4 Berbeda dengan Orientalis klasik lainnya, W.M. Watt tampaknya menyadari bahwa terdapat ketidak-
1
Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?,”International Journal of Middle East Studies, 16 (1984), pp. 3;ulama Islam dari kalangan Shi‘ah, Seyyed
Hossein Nasr, menulis bahwa di dalam aliran Sunni abad pertengahan, ijtihad dianggap telah tertutup. Namun di abad modern, para pemikir Sunni sepakat untuk membuka kembali pintu ijtihad. Lih. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003), 50. 2 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1964), 70-71. 3 J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: Athlone, 1976), 7. 4 H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: The University of Chicago, 1947), 13.
92 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB akuratan dalam uraian tentang topik tertutupnya pintu ijtihad ini, namun ia tidak menawarkan pandangan alternatif tentangnya.5 Pernyataan Schacht mengandung makna bahwa para imam madzhab fikih terkemuka --Abu Ḥanifah, Malik ibn Anas, al-Syafi’i, dan Aḥmad ibn Ḥanbal---adalah para mujtahid mutlak yang produktif menciptakan fatwa-fatwa hukum. Sepeninggal mereka, tidak ada faqih yang dianggap memiliki kualitas yang mumpuni untuk melakukan ijtihad. Dan sebagai gantinya, ulama-ulama sepeninggal empat imam madzhab tersebut harus melakukan taqlid. Sebagai buktinya, Schacht menyatakan bahwa aktivitas keilmuan para imam empat madzhab fikih adalah melakukan ijtihad, sebagai satu-satunya cara untuk menciptakan sebuah hukum baru. Sementara aktivitas para ulama sepeninggal mereka hanya terbatas pada menulis penjelasan dan penafsiran yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab (syarḥ). Penalaran ini dapat dipahami karena sebagaimana telah terbukti dalam sejarah, banyak ulama yang nota bene merupakan murid dari para imam madzhab fikih ini yang kemudian menulis penjelasan-penjelasan dari guru-gurunya. Beberapa ulama lain juga menulis syarḥ atau penjelasan dari fatwa-fatwa gurunya. Dan tak sedikit pula yang menulis mukhtaṣar (ringkasan) dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh gurunya sendiri. Meninjau Ulang ‘Penutupan Pintu Ijtihad’ Kajian para Orientalis Islam klasik, dalam beberapa bagian, memang logis, namun terlalu simplifikasi. Benarkah penalaran tentang tipe penulisan para ulama di masa klasik dapat dijadikan pembacaan untuk menyimpulkan bahwa fikih mengalami kemunduran pasca empat imam madzhab, dan bahkan tidak ada satu orang pun ulama yang patut untuk melakukan ijtihad? Menanggapi para pengkaji Islam dari kalangan Orientalis klasik ini, Wael B. Hallaq menulis dalam disertasinya bahwa studi para Orientalis klasik yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tertutup adalah tanpa landasan dan sama sekali tidak akurat. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa ijtihad selalu terbuka dan eksis di setiap zaman; baik dalam tinjauan teori maupun praktinya.6 Dalam teori hukum Islam, ijtihad merupakan satu-satunya alat yang dengannya hukum Islam dapat selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebab al-Qur’an dan sunnah Nabi, sebagai sumber 5
W.M. Watt, “The Closing of the Door of Iğtihad,” Orientalia Hispanica,I (1974), 675-678. 6 Hallaq,“Was the Gate of Ijtihad Closed?,” 4.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 93
Arifah Jauhari Syams hukum Islam yang qaṭh’i, sebagian besar tidak menetapkan hukum dalam satu kitab hukum khusus; namun hanya memuat beberapa aturan (baca: hukum) dan petunjuk (dalalah) yang menunjukkan sebab-sebab (‘illat) dari terciptanya hukum tersebut. Dari teori ini, jelas sekali bahwa ijtihad merupakan hal yang esensial di dalam hukum Islam. Sementara itu dalam praktiknya, selalu terdapat mujtahid di setiap masa; baik dari kalangan mujtahid mandiri maupun yang berafiliasi dengan suatu madzhab hukum. Terlepas pro-kontra tentang kapan tepatnya praktik ijtihad dimulai, namun mayoritas ulama muslim (jumhur ulama) sepakat bahwa ijtihad dimulai sejak masa Rasulullah hidup dan dilakukan oleh beliau sendiri.7 Mereka mendasarkan hal tersebut pada kebijakan Rasulullah yang sering terjadi di dalam permasalahan umat Islam pada waktu itu. Akgunduz menyebutkan bahwa Rasulullah pernah berijtihad di bidang: ibadah--tentang azan, permasalahan hukum---tentang hasil ijtihad, permasalahan perang---tentang tawanan perang, dan persoalan duniawi (mu’amalat)— tentang vaksinasi pohon kurma di Madinah.8 Selain Rasulullah, para sahabat juga terbukti pernah melakukan ijtihad. Ijtihad sahabat yang juga terkenal adalah ijtihad ‘Amr ibn ‘Ash dan Mu‘adz ibn Jabal. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ‘Amr ibn ‘Ash bertayammum sebelum bershalat pada waktu cuaca dingin walaupun saat itu terdapat air. Hal ini ia lakukan karena khawatir sakit. Sementara ijtihad Mu‘adz ibn Jabal adalah mengenai jawabannya ketika ditanya oleh Rasulullah tentang apa yang akan ia gunakan untuk memecahkan permasalah ketika ia diutus menjadi gubernur di Yaman. Berbeda dengan jumhur ulama, kaum Asy’ariah mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan ijtihad. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada surah alNajm (53) ayat 3-4. Jika kita merunut pendapat jumhur ulama, metode ijtihad Nabi adalah qiyas---contohnya dalam kasus menghajikan nazar orang lain diqiyaskan dengan membayarkan hutang orang lain tersebut---dan menemukan hukum baru, contohnya dalam kasus tawanan perang di atas.9 7
Beberapa studi tentang teori dan praktik ijtihad di wilayah-wilayah Islam lazim dilakukan oleh para peneliti; salah satunya adalah tentang praktik ijtihad di Saudi Arabia, lihat Frank E. Vogel, Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia (Leiden: Brill, 2000). 8 Ahmed Akgunduz, Islamic Law: in Theory and Practice: Introduction in Islamic Law (Rotterdam: IUR Press, 2010), 117-118; bdk. ‘Ali Muḥammad alMu’awwad dan ‘Âdil Aḥmad Abdulmaujud, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Jilid I (Beirut: Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, 2000), 343-359. 9 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009), 245-259.
94 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB Terdapat banyak ijtihad yang dipraktikkan oleh para sahabat selepas Rasulullah wafat. Beberapa yang terkenal adalah ijtihad para sahabat dalam pengangkatan Abu Bakr sebagai khalifah, ijtihad Abu Bakr dalam memerangi orang-orang yang tidak bersedia membayar zakat, dan--yang paling menonjol di antara ijtihad para sahabat adalah---ijtihad Umar ibn Khattab. Metode ijtihad para sahabat adalah qiyas dan ijma’.10 Sedangkan bidang ijtihad para sahabat adalah dalam peraturan ekonomi, pelayanan publik, administrasi negara, serta tentang persoalan qira’ah alQur’an.11 Di masa tabi‘in mulai muncul aliran-aliran ahl al-sunnah dan ahl al-ra’y. Dalam tipologi yang dibuat oleh sejarawan, Madinah terkenal sebagai kawasan ahl al-sunnah; dan Kufah terkenal sebagai kawasan ahl alra’y. Jika di masa sebelumnya telah muncul ijtihad individual dan kolektif, di masa ini juga muncul ijtihad geografis dengan dikenalnya istilah fikih Irak, fikih Madinah, dan lain sebagainya. Perkembangan signifikan lain yang juga muncul di masa ini adalah terbentuknya madzhab atau aliran fikih; yaitu Ḥanafi, Maliki, Syafi’i, Ḥanbali---sebagai 4 madzhab Sunni yang paling terkenal, Dhahir, Za’idi--madzhab dari kalangan Syi’ah,serta Auza’i dan Thabari---yang pengikutnya sedikit.12 Selain qiyas, pada masa ini juga muncul beberapa metode ijtihad yang dipopulerkan oleh para imam madzhab; yaitu ijma’, istiḥsan, maṣhlaḥah al-mursalah, istiṣḥab, ‘urf, dan lain sebagainya. Pada abad ke-4 H/ke-10 M, terdapat sejumlah mujtahid mandiri yang terkemuka; seperti Ibn Surayj (w. 306 H/918 M), al-Thabarī (w. 310 H/922 M), Ibn Khuzaymah (w. 311 H/923 M), dan Ibn Mundzir (w. 316 H/928 M).13 Semua mujtahid ini pada akhirnya menganut madzhab Syafi’i; kecuali al-Thabari yang membangun madzhabnya sendiri.14 Pada abad ke-4 H/ke-10 M, muncul madzhab Ḥanbalī yang terpisah dari madzhab Shāfi’ī. Pada abad ini juga terdapat penganut suatu madzhab yang memiliki ijtihad yang berbeda dengan dokrin madzhab mereka sendiri yang telah mapan; seperti Ibn Ḥasan al-Tanukhī (w. 318 H/930 M)---seorang faqih Ḥanafiyah yang dalam beberapa kasus berbeda
10
Akgunduz, Isamic Law, 122-123. Ibid., 127-130. 12 Ibid., 262-266. 13 Taj al-Din al-Subki, Thabaqat al-Syafi‘iyyah al-Kubra(Kairo: Dar al-Fikral‘Arabi, t.t.), 1: 105, 244. 14 Ibid., 126. 11
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 95
Arifah Jauhari Syams pendapatnya dengan Abū Ḥanīfah, Abū Yūsuf, dan Shaybanī15; ‘Alī alḤusayn ibn al-Harbawayh (w. 319 H/931 M)---seorang faqih Shāfi’iyyah yang dalam sejumlah kasus berbeda pendapat dengan Shāfi’ī; Abū Sa’id alIstakhrī (w. 328 H/939 M)---seorang faqih Shāfi’iyyah yang mengelaborasi sejumlah kasus furū‘ dalam suatu varian, tidak hanya dengan doktrin Shāfi’ī, tapi juga dengan doktrin madzhab-madzhab lain; dan sejumlah faqih lainnya.16 Pada abad ke-5 H/ke-11 M, para ulama seperti al-Ghazali, mengelompokkan beberapa madzhab yang termasuk dari golongan Sunni; yaitu madzhab Abu Ḥanifah, madzhab Malik ibn Anas, madzhab Syafi’i, madzhab Sufyan al-Tsauri, serta madzhab Daud al-Dhahiri. Terdapat pula madzhab Ḥashawiyyah yang menolak ijtihad. Namun, ulama Sunni--seperti Ibn Aqil dari kalangan Ḥanabilah---pada akhirnya mengeluarkan golongan Ḥashwiyyah dari Sunni karena mereka mendeklarasikan bahwa salah satu ajaran mereka adalah menolak penalaran manusia. Karena itu, berdasarkan sejarah, jelas tidak ada aliran atau madzhab di dalam Sunnī yang menolak ijtihad sebagai sebuah prinsip penemuan hukum. Mayoritas para fuqaha pada abad ini cenderung mengikuti ijtihad suatu madzhab mengenai suatu kasus tertentu. Dan sebagaimana diketahui, orang yang mengikuti ijtihad orang lain disebut taqlid. Akan tetapi taqlid disini hanya digunakan oleh golongan awam (‘ammi) yang tidak mampu untuk berijtihad sendiri.17 Pada abad ini juga terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal ijtihad; yaitu bahwa ijtihad memasuki ranah politik. Dengan kata lain, ijtihad tidak hanya dilakukan di dalam bidang hukum, tapi juga politik. Dengan demikian, ulama memainkan peran yang sangat penting bagi pemerintahan Islam abad pertengahan. Dalam teori politik Islam, sebagaimana telah dikemukakan oleh para ulama muslim, salah satu syarat pemimpin adalah memiliki kemampuan berijtihad di dalam hukum Islam. Hal ini bisa dibuktikan dari kemampuan ijtihad Nabi Muḥammad, Abu Bakr, ‘Umar ibn al-Khattab, dan ‘Utsman ibn ‘Affan. Sementara para pemimpin sepeninggal khulafa’ alRashidun, bani Ummayyah dan Abbasiyah, tidak semuanya memiliki kemampuan berijtihad. Karena itu, mereka mengangkat ulama sebagai 15
Ibn Abi al-Wafa’ al-Qurasyi, Al-Jawahir al-Muḍi’ah fī Thabaqat alḤanafiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi. tt.), 2: 137-138. 16 Al-Subki Thabaqat,303-307; 193-205. 17 Muḥammad ibn ‘Ali al-Bashri, Al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fikih (Damaskus: Institut Francais de Damas, 1964), 2: 934.
96 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB penasehat, atau sebagai qadli, untuk menyelesaikan fungsi mereka di bidang hukum. Hal ini terus berlangsung dan dipelihara oleh pemimpin muslim sesudahnya. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan ‘Utsmani, ketika kekuasaan dibagi atas khalifah (rabb al-Sayf) dan ulama (sayh alIslam).18 Dengan adanya usaha tersebut, aktivitas hukum, baik di dalam teori maupun praktik, berlanjut meningkat. Banyak fatwa muncul pada masa ini. Banyak produk hukum dikembangkan/dihasilkan dari aktivitas ijtihad para mujtahid. Yang paling menonjol di antara adalah al-Juwayni, al-Ghazali, dan Ibn ‘Aqil. Topik-topik yang menarik dan penting kembali didiskusikan, walaupun hal tersebut sudah dibahas oleh para fuqaha sebelumnya. Kitab al-Funun karangan Ibn ‘Aqil dan Iḥya’ ‘Ulum al-Dīn karangan al-Ghazali adalah contoh yang representatif dalam hal ini. Dengan kata lain, di dalam kitab-kitab tersebut membahas sejumlah masalah yang muncul dan hukum masalah tersebut ditafsirkan kembali. Al-Subki mencatat di dalam Thabaqat-nya, terdapat ratusan opini hukum baru terhadap masalahmasalah hukum yang berlangsung sejak abad ke-4 H. Hingga abad ini, tidak ada istilah insidad bab al-ijtihad atau ekspresi semacamnya yang menyatakan ijtihad telah ditutup. Sebagaimana telah lazim di dalam diskusi-diskusi hukum, istilah ‘bab’ diartikan sebagai ‘jalan’ atau ‘cara’. Karena itu, insidad bab al-qiyas dapat diterjemahkan sebagai ‘cara berqiyas telah ditutup’ atau ‘prosedur untuk menjalankan qiyas terhenti’. Maka, klausa insidad bab al-ijtihad bukan hanya bisa diartikan sebagai ketertutupan atau ketiadaan ide, namun siapa yang tertutup untuk melakukan ijtihad.19 Jika mencermati sejarah ijtihad, baik dari segi teori maupun praktik, arti kedua—bahwa ijtihad tertutup bagi orang-orang tertentu—adalah yang lebih valid dan lebih mungkin benar. Arti kedua ini pulalah yang disetujui oleh Hallaq; sebagaimana dia menulis: ijtihad mungkin terhenti hanya ketika tidak ada mujtahid.20
18
Lihat Ira M. Lapidus, “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society,” International Journal of Middle East Studies, 6 (1975), 363-385; bdk. Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (New York: Cambrigde University Press, 2005), mengenai hubungan antara hukum Islam dan politik. 19 Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?,” 20. 20 Ibid.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 97
Arifah Jauhari Syams Periodisasi Madzhab Fikih Sebagaimana telah disebut di muka bahwa menurut Schacht, aktivitas keilmuan para imam empat madzhab fikih adalah melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Sementara aktivitas para ulama sepeninggal mereka hanya terbatas pada menulis penjelasan dan penafsiran yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab (syarḥ). Aktivitas penjelasan dan penafsiran fatwa ini dianggap lebih rendah oleh Schacht daripada aktivitas para imam fikih sebelumnya. Namun jika mengkaji langsung pada kitab-kitab primer yang ditulis langsung oleh para ulama klasik dan dihubungkan dengan sejarah keilmuan mereka, akan jelas terlihat bahwa kesimpulan Schacht ini oversimplifikasi. Imam madzhab fikih yang paling senior, Abu Ḥanifah, merupakan murid dari Hammad ibn Abi Sulayman. Abi Sulayman sendiri merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i, yang merupakan murid dari Anas ibn Malik, A’isyah binti Abu Bakr, dan Ibn Mas’ud; yang ketiganya mendapatkan ilmu dari Rasulullah sendiri.21 Dari silsilah keilmuan ini, dapat disimpulkan bahwa Abu Hanifah merupakan tabi’ al-tabi’in, karena ia menuntut ilmu dari Abi Sulayman dan al-Nakha’i, yang merupakan dua tabi’in. Sementara itu, Anas ibn Malik dan Ibn Mas’ud merupakan sahabat Rasulullah yang terkemuka. ’Aisyah binti Abu Bakr juga merupakan salah satu istri Rasulullah. Walaupun Abu Ḥanifah secara luas dikenal sebagai imam madzhab fikih, akan tetapi tidak ditemukan satu karya pun yang pernah ia tulis.22 Hal ini kemungkinan karena dua faktor: a) Abu Ḥanifah memang tidak pernah menulis sebuah buku, atau b) Abu Ḥanifah menulis sebuah buku namun belum pernah ditemukan karena kendala rentang sejarah yang sangat lama dari masa modern ini. Ajaran-ajaran fikih Abu Ḥanifah sendiri diketahui dari tulisan beberapa muridnya; yang terkemuka adalah Abu Yusuf dan al-Syaybani. Dalam Atsar-nya, Abu Yusuf menulis hadits-hadits yang ia dapatkan dari Abu Ḥanifah tanpa penjelasan, penafsiran, ataupun pemikiran pribadi dari Abu Yusuf sendiri.23 Penjelasan, penafisran, dan
21
Susan A. Spectorsky, Women in Classical Islamic Law: a Survey of the
Sources (Leiden: Brill, 2010), 10. 22 Ibid. 23
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshri, Kitab al-Atsar (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, tt.), 1-2.
98 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB pemikiran pribadi ini baru tampak dalam kitab Mushannaf yang ditulis oleh al-Syaybani.24 Di kemudian hari, al-Syaybani memiliki murid dari Makkah, yaitu Muḥammad ibn Idris al-Syafi’i. Selain menimba ilmu dari al-Syaybani, alSyafi’i juga tercatat sebagai murid imam madzhab fikih yang kedua, yaitu Malik ibn Anas. Al-Syafi’i sendiri, kemudian merumuskan pemikiran fikihnya dalam kitab al-Umm.25 Dalam kitab ini, al-Syafi’i tidak hanya menulis penjelasan-penjelasan guru-gurunya, melainkan juga menulis ijtihad hukumnya sendiri yang berbeda dengan hasil ijtihad guru-gurunya.26 Lebih jauh, al-Syafi’i tidak hanya berhasil menulis syarḥ terhadap fatwa gurugurunya; melainkan ia juga berhasil merumuskan suatu teori penalaran hukum (ushul al-fiqh). Kitab al-Syafi’i, al-Risalah, merupakan kitab tentang metodologi hukumnya.27 Syarḥ yang mereka tulis merupakan pemikiran (baca: ijtihad) orisinil yang boleh jadi sama dengan hasil pemikiran gurunya atau boleh jadi berbeda dan benar-benar baru. Dengan kata lain, syarḥ yang ditulis oleh para ulama tidak semata-mata merupakan penjelasan an sich dari fatwa atau produk hukum gurunya; melainkan juga hasil dari ijtihad mereka sendiri yang semakin sempurna, semakin sistematis, dan berpijak pada metodologi yang semakin mapan. Jika menilik dari sejarah madzhab fikih dan membaca dari kitabkitab hukum primer mereka, akan tampak dengan jelas bahwa sejatinya, masa keempat imam madzhab fikih besar tersebut---yakni Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Ahmad ibn Idris al-Syafi’i, serta Ahmad ibn Hanbal--adalah masa formatif madzhab. Sebab di masa ini, fatwa-fatwa hukum para fuqaha tersebut belum sistematis dan belum memiliki suatu metodologi yang mapan. Justru para fuqaha penganut madzhab tersebut yang terusmenerus menyempurnakan metodologi dan doktrin-doktrin hukum madzhab mereka sendiri. (kemukakan tentang masa keemasan fikih, tokohtokohnya, alasannya, dan sumber-sumber yang mendukung demikian) Ironisnya, masa inilah yang oleh para Orientalis klasik seperti Schacht dan rekan-rekannya dianggap sebagai masa kemunduran fikih.
24
Abu Bakr ‘Abd Allah ibn Muḥammad ibn Ibrahim ibn Syaybah al-‘Absi, alMushannaf li-ibn Abi Syaybah (ttp.: al-Faruq al-Ḥadits li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, tt.), 6. 25 Muḥammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz I (Kairo.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1961), 3. 26 Ibid., Juz IV, 197. 27 Muḥammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Beirut: Dar el-Fikr, tt.).
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 99
Arifah Jauhari Syams Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi fikih, sebuah hukum tentang suatu persoalan dalam suatu madzhab merupakan hasil ijtihad para mujtahid yang terus-menerus diupayakan dan disempurnakan di setiap zaman. Pada akhirnya, sebuah madzhab tidak dapat eksis hanya dari ijtihad seorang faqih yang membangun madzhab itu semata. Akan tetapi kelangsungan hidup sebuah madzhab juga ditentukan oleh para fuqaha dan para mujtahid di dalam madzhab itu di setiap zaman. Penutup Munculnya statemen ‘tertutupnya pintu ijtihad’ justru muncul pada + abad ke-19 M, dan dipopulerkan oleh para Orientalis Barat klasik; seperti Schacht, Anderson, Watt, dan Gibb. Para Orientalis Barat klasik ini mengartikan klausa insidad bab al-ijtihad sebagai tertutupnya jalan untuk melakukan ijtihad. Jika menilik dari karya-karya para Orientalis tersebut, hal ini dapat dipahami; sebab mayoritas mereka memang meneliti sejarah kemunculan Islam. Hal ini berarti, kajian mereka terbatas pada masa Islam awal. Mereka tidak meneliti perkembangan ijtihad di masa pertengahan, modern, dan pascamodern. Sehingga kesimpulan yang mereka hasilkan pun terbatas. Dalam perspektif kaum muslim, baik Sunni maupun Syi’ah, pintu ijtihad tetap terbuka. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah bahwasanya ijtihad selalu dipraktikkan oleh para ulama-fuqaha di setiap zaman. Dalam perspektif kaum muslim, klausa insidad bab al-ijtihad lebih diartikan sebagai ijtihad tertutup bagi orang-orang tertentu. Ijtihad tidak dapat dipisahkan dari fikih. Ijtihad merupakan salah satu hal yang menjadikan madzhab fikih tetap eksis dari masa klasik hingga masa posmodern ini. Dalam tradisi fikih, sebuah hukum tentang suatu persoalan dalam suatu madzhab merupakan hasil ijtihad para mujtahid yang terus-menerus diupayakan dan disempurnakan di setiap zaman. Pada akhirnya, sebuah madzhab tidak dapat eksis hanya dari ijtihad seorang faqih yang membangun madzhab itu semata. Akan tetapi kelangsungan hidup sebuah madzhab juga ditentukan oleh para fuqaha dan para mujtahid di dalam madzhab itu di setiap zaman.
100 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MELACAK MASA KEEMASAN FIKIH PADA MASA EMPAT IMAM MADZHAB Daftar Pustaka Akgunduz, Ahmed, Islamic Law in Theory and Practice: Introduction in Islamic Law. Rotterdam: IUR Press, 2010). Al-‘Absi, Abu Bakr ‘Abd Allah ibn Muḥammad ibn Ibrahim ibn Syaybah. tt. Al-Mushannaf li-ibn Abi Syaybah (ttp.: al-Faruq al-Ḥadits li alThaba’ah wa al-Nasyr). Al-Anshari, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim. tt. Kitab al-Atsar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.). Al-Bashri, Muḥammad ibn ‘Ali, Al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fikih (Damaskus: Institut Francais de Damas, 1964). Al-Mu’awwad, ‘Ali Muḥammad, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, 2000). Al-Qurasyi, Ibn Abi al-Wafa’, Al-Jawahir al-Mudli’ah fī Thabaqat alḤanafiyyah. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t). Al-Syafi’i, Muḥammad ibn Idris, Al-Umm (Kairo: Maktabah al-Kulliyat alAzhariyyah, 1961). ________, Al-Risalah (Beirut: Dar el-Fikr, t.t). Al-Subki, Taj al-Din, Thabaqat al-Syafi’iyya al-Kubra (Kairo: Dar alFikral-‘Arabi, t.t). Anderson, J.N.D., Law Reform in the Muslim World (London: Athlone, 1976). Gibb, H.A.R., Modern Trends in Islam (Chicago: The University of Chicago, 1947). Hallaq, Wael B. “Was the Gate of Ijtihad Closed?,”International Journal of Middle East Studies, 1984 _______, The Origins and Evolution of Islamic Law (New York: Cambrigde University Press, 2005.). Lapidus, Ira M., “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society,” International Journal of Middle East Studies, 6: 1975. Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003). Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1964). Spectorsky, Susan A., Women in Classical Islamic Law: a Survey of the Sources (Leiden: Brill, 2010). Syarifuddin, Amir, Ushul Fikih (Jakarta: Kencana, 2009).
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 101
Arifah Jauhari Syams Vogel, Frank E., Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia (Leiden: Brill, 2000). Watt, W.M. “The Closing of the Door of Igtihad,” Orientalia Hispanica, I, 1974.
102 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013