BAB 1
Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik yang Berpihak pada Kepentingan Masyarakat
1.
Dinamika Implementasi Perda Pelayanan Publik di bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA yang berpihak kepada Masyarakat Miskin, Perempuan dan Anak, serta Masyarakat Tertinggal di Provinsi Lampung dan Jawa Tengah Enny Nurbaningsih, SH, MH, dan H.S. Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti KRISIS Semarang, Universitas Lampung dan Universitas Gadjah Mada
2.
Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia Stefan Nachuk dan Susannah Hopkins Leisher, Senior Poverty Specialist Bank Dunia, Indonesia. Dipresentasikan oleh Maulina Cahya Ningrum
3.
Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus di Beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia Agus Pramusinto, MDA, Ph.D., Staf Pengajar UGM
4.
Diskusi dan Tanya Jawab
1. Dinamika Implementasi Perda Pelayanan Publik di bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA yang Berpihak kepada Masyarakat Miskin, Perempuan dan Anak, serta Masyarakat Tertinggal di Provinsi Lampung dan Jawa Tengah
Abstrak Tulisan yang merupakan rangkuman penelitian “Dinamika Implementasi Perda di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung,” dimaksudkan untuk memotret cerminan manifestasi otonomi dengan mengkaji koherensi isi dan implementasi Perda pelayanan publik pasca UU No. 22/1999 yang sangat desentralistik, terutama yang terkait dengan pengaturan isu kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA (Sumber Daya Alam) yang berpihak pada sasaran masyarakat miskin, perempuan, anak, serta kelompok marjinal lainnya. Temuan penelitian menunjukkan kekuasaan baru di bawah rezim desentralistik ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan dalam regulasi daerah yang berorientasi memberikan pelayanan pada sektor isu, yang berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semua Perda didominasi oleh pengaturan terhadap kelembagaan dan retribusi. Banjir Perda kelembagaan sebagai dampak silih berganti PP (Persatuan Pemerintah) hanya bertujuan memapankan institusi yang diberi mandat menyelenggarakan pelayanan publik terhadap isu, sedangkan muatan pelayanan yang dirumuskan dalam Perda retribusi bersifat artifisial sehingga tidak berdampak secara yuridis, kecuali pungutan yang masuk kas daerah untuk menambah APBD dari Pendapatan Asli Daerah. Sekali pun sulit mendapatkan Perda APBD, APBD di beberapa daerah memperlihatkan rendahnya pos anggaran terhadap sasaran, dengan sebaran pada program yang selalu berubah-ubah. Terkait dengan isu kesehatan setiap daerah penelitian memiliki Perda retribusi pelayanan kesehatan, tapi masalah ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan dihadapi oleh semua daerah. Adanya Perda JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) pun tidak memberi jaminan hak atas kesehatan kepada sasaran akibat kurang transparansi dalam pengelolaannya. Implementasi isu ketenagakerjaan lebih memprihatinkan karena keterbatasan akses baru untuk memperoleh perlindungan hak-haknya. Perda yang ada hanya beraksentuasi pada retribusi dan izin kerja, sehingga memberatkan investasi yang menyerap tenaga kerja. Dalam isu SDA tingkat overlapping antara satuan daerah otonom yang ingin mengelola sangat tinggi, diikuti dengan Perda SDA yang didominasi pungutan tanpa mempertimbangkan kualitas fungsi lingkungan. Dalam keseluruhan Perda retribusi yang mendominasi regulasi daerah pasca UU No. 22/1999 merupakan stereotip UU No. 5/1974. Perbedaan mendasar hanya pada rumusan dasar mengingat. Oleh karena itu
Inovasi otonomi luas yang berdampak pada masyarakat miskin tidak terumuskan dengan jelas, karena tingginya delegating provisio kepada Kepala Daerah. Akibat kurang maksimalnya fungsi kontrol DPRD terhadap implementasi muatan delegating provisio dalam Perda, sampai sekarang Keputusan/Peraturan Kepala Daerah yang memberikan kemudahan/keringanan terhadap kelompok sasaran hampir tidak diketemukan. Kepatuhan pelaporan Perda oleh Pemda di daerah penelitian kepada pusat sangat minim, sehingga menyulitkan pusat dalam menjalankan mekanisme pengawasan represif. Oleh karena itu pusat tidak dapat melakukan executive review secara maksimal bahkan terkesan diskriminatif terhadap berbagai Perda yang inkonsistensinya tinggi dalam mengelaborasi peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam rangka mewujudkan manifestasi otonomi daerah yang mengatur isu dan keberpihakannya pada sasaran, sangat urgent dilakukan rekonstruksi muatan Perda terkait retribusi isu dengan menguatkan aspek pelayanan, sehingga Perda menjadi lebih fungsional. Penyusunan skala prioritas yang koordinatif antara satuan daerah otonom, merupakan langkah yang solutif.
1. Pengantar Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara formal mengubah format penyelenggaraan pemerintahan yang monolitik ke arah keberagaman (diversity). Daerah diberi kewewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Dengan kewenangan luas ini daerah dapat membuat berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat tanpa perlu lagi menunggu pusat, sebagaimana yang pernah berlangsung sepanjang era orde baru. Sangat wajar jika kewenangan ini diberikan kepada daerah karena daerah yang mengetahui secara persis kondisi kebutuhan faktual (riil) masyarakat. Dengan mekanisme yang sangat desentralistik ini diharapkan Pemda memiliki kepekaan membentuk kebijakan yang mengatur berbagai masalah yang terkait dengan kebutuhan masyarakat sehingga dapat menghilangkan tuna akses masyarakat daerah yang mereka rasakan selama rezim sentralistik. Namun kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di bawah rezim UU No. 22 Tahun 1999 tidak serta-merta membawa berkah perubahan bagi kehidupan masyarakat. Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada pemerintah daerah tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses: perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok marjinal. Hal ini disebabkan oleh orientasi kebijakan pemerintah daerah yang cenderung bersifat budgeter. Perda-Perda ini yang kemudian menimbulkan masalah sehingga menuntut pusat untuk melakukan executive review, bahkan MPR pernah meminta MA untuk melakukan yudicial activism. Kebanyakan muatan Perda tersebut merupakan peraturan yang tidak terkait dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat tapi justru
memberatkan kehidupan mereka karena dampak ekonomi biaya tinggi yang muncul dari Perda tersebut. Bertitik tolak pada fenomena di atas penelitian ini menitikberatkan kajian pada dinamika implementasi Perda yang terkait dengan pengaturan sektor kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA, yang dipandang memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat dan berdampak luas pada kelompok sasaran perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal. Masalah yang dimunculkan adalah: Apakah Perda yang ada telah mengatur aspek pelayanan publik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA? Sejauh mana Perda-Perda tersebut memuat aturan yang memberikan akses pelayanan kepada masyarakat miskin, Perempuan, Anak, dan kelompok marginal? Apakah ada kesesuaian antara pengaturan dalam Perda di bidang kesehatan, ketenagakerjaan dan SDA dengan pelaksanaannya? Dengan menggunakan metode purposive sampling penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Lampung dengan masing-masing 10 (sepuluh) kabupaten/kota, yang penentuannya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek demografi, geografis, geopolitik dan geososial-ekonomi, sehingga hasilnya dipandang dapat mencerminkan dinamika pengaturan terhadap sasaran perempuan, anak, orang miskin, dan kaum marjinal di kedua Provinsi. Kesepuluh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah adalah Pekalongan, Purbalingga, Sragen, Semarang, Blora, Cilacap, Kudus, Surakarta, Kebumen, dan Wonosobo. Sedangkan kesepuluh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung meliputi Bandar Lampung, Kota Metro, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Utara, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tanggamus dan Tulang Bawang. Penelitian ini menggunakan kombinasi penelitian pustaka dan lapangan yang disusun secara kronologis dimulai dari langkah awal berupa desk study, kemudian penelitian lapangan dan penajaman serta verifikasi data dilakukan melalui FGD. Selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis komparatif-kualitatif, content analysis, dan analisis isi media untuk mendapatkan korelasi antara isi dan tujuan Perda dengan implementasi Perda di lapangan.
2. Kondisi Perda 2.1 Provinsi Jawa Tengah Perda yang berhasil terkoleksi sebagai data penelitian adalah Perda yang diterbitkan pasca berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Di Provinsi Jawa Tengah Perda yang diteliti berjumlah 698 Perda, dengan sebaran: 66 Perda Provinsi, 44 Perda Kota Semarang, 59 Perda Kabupaten Kudus, 50 Perda Kabupaten Pekalongan, 33 Perda Kabupaten Blora, 47 Perda Kota Surakarta, 77 Perda Kabupaten Sragen, 64 Perda Kabupaten Purbalingga, 85 Perda Kabupaten Kebumen, 121 Perda Kabupaten Wonosobo, dan 52 Perda Kabupaten Cilacap. Kategorisasi isi Perda tertinggi mengatur soal retribusi 199 Perda, selanjutnya
kelembagaan 192 Perda, perizinan/perencanaan 141 Perda, keuangan/APBD 121 Perda dan pajak 45 Perda. Sejumlah 698 Perda yang menjadi data penelitian ini bukan merupakan total Perda yang diterbitkan setiap daerah penelitian. Tim Peneliti menemukan hambatan untuk memperoleh seluruh Perda terutama yang mengatur soal keuangan/APBD dan lampirannya, untuk dapat mengetahui komitmen anggaran dengan regulasi 3 isu penelitian. Tidak dapat dipungkiri dalam era keterbukaan ini ternyata masih ada pandangan di kalangan birokrasi bahwa Perda “tertentu”, merupakan barang yang disakralkan, bukan sebagai bagian dari konsumsi publik, sekalipun untuk kepentingan kajian ilmiah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 698 Perda yang diproduksi rezim desentralistik tidak memotret kondisi faktual demografi, geografi atau geo sosial ekonomi setempat, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999 melalui prinsip otonomi riil. dari 698 Perda terdapat 84 Perda yang berkorelasi dengan isu, tetapi tidak sepenuhnya mengatur pelayanan kepada kelompok sasaran. Kekuasaan baru di bawah rezim desentralistik ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan dalam regulasi daerah yang berorientasi memberikan pelayanan publik. Prioritas utama regulasi daerah baru seputar pemapanan kelembagaan. Oleh karena itu pengaturan terhadap isu sepanjang diberikannya kekuasaan baru hanya terdapat dalam Perda kelembagaan yang berbentuk uraian tugas instansi, dan Perda retribusi yang berbentuk penentuan tarif untuk setiap orang (umum) dalam wilayah berlakunya Perda tersebut, tanpa memberikan pengecualian. Rumusan normatif akses bagi sasaran yang tidak mampu dilakukan secara ritual formalistis dengan membuat pasal keringanan atau pembebasan. Sangat sulit untuk mendeteksi secara materiil sejauhmana komitmen pembentuk Perda terhadap keringanan atau pembebasan yang diberikan kepada kelompok sasaran karena pengaturan tersebut bersifat delegating provisio. Materi muatan Perda sektor kesehatan, tenaga kerja maupun SDA yang secara substantif mengatur soal sasaran (perempuan, anak, orang miskin dan kelompok marjinal) tidak diketemukan. Sifat pengaturan terhadap sasaran dalam Perda hanya bersifat norma komplemen atau accessories, tidak mengandung konsekuensi yuridis jika tidak dilaksanakan, kecuali Perda Irigasi tapi muatannya lebih berorientasi pada kelembagaan Petani. Untuk 66 Perda Provinsi hanya terdapat 7 Perda yang mengatur isu. Sesuai dengan kondisi kategori isi, 5 Perda mengatur retribusi dan 2 kelembagaan. Di antara 5 Perda retribusi diketemukan Perda yang bersifat retribusi terselubung, karena Perda tersebut sesungguhnya tidak diberi judul Perda Retribusi, tetapi di dalamnya bermuatan penuh pungutan, dengan maksud melindungi kualitas lingkungan (Perda No. 21 Tahun 2001). Bahkan dalam era desentralisasi ini Pemprop tidak patuh dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, sehingga penuh improvisasi dalam merumuskan Perda. Menariknya dalam perumusan Perda retribusi Pemprop ditentukan alokasi anggaran retribusi berupa
”Uang Perangsang” kepada leading sector sebesar 5% dari realisasi penerimaan yang disetor ke kas daerah. Rumusan semacam ini tidak ditemukan untuk Perda retribusi serupa di kabupaten/kota. Muatan yang sama juga terdapat di Provinsi Lampung tapi diatur dalam Perda khusus tentang “Upah Pungut”. Perda Kota Semarang tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lainnya. Dari 44 Perda yang diteliti hanya terdapat 6 Perda terkait dengan isu. 4 Perda berkorelasi dengan pelayanan kesehatan adalah 1 Perda retribusi dan 3 Perda kelembagaan. Berdasarkan kategori isi Perda terlihat jelas bahwa Pemkot Semarang belum intens mengatur isu kesehatan. Sedangkan untuk Perda ketenagakerjaan dan isu sumber daya alam, tidak diketemukan. Dimasukkannya Perda PKL karena dampak pengaturan pekerja sektor informal yang dapat mengurangi pengangguran. Tidak berbeda dengan Kota Semarang, dari 59 Perda di Kudus hanya terdapat 8 Perda yang mengatur pelayanan terhadap isu. Untuk isu kesehatan berupa 3 Perda retribusi dan 1 kelembagaan. Selebihnya merupakan pengaturan tidak langsung. Untuk isu ketenagakerjaan berupa Perda PKL. Perda yang intens mengatur SDA terkait dengan kelompok sasaran petani adalah Perda Irigasi. Kedudukan Petani sebagai adresat dalam Perda Irigasi telah mendapatkan perlindungan secara memadai dan memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan pengairan melalui lembaga P3A. Perda serupa dengan muatan yang sama juga terdapat di Pekalongan, Sragen dan Cilacap. 50 Perda Pekalongan yang diteliti tidak jauh berbeda dengan kondisi Perda di daerah lainnya, tidak terdapat satu Perda pun yang mengatur akses masyarakat terhadap kemudahan pelayanan isu. 7 Perda terkait, berupa 4 Perda isu kesehatan dengan titik berat 2 Perda retribusi dan 2 kelembagaan. Untuk ketenagakerjaan hanya ada 1 Perda tentang kelembagaannya. 2 Perda SDA tidak sepenuhnya mengatur akses masyarakat terhadap SDA. Blora jauh lebih memprihatinkan dari 33 Perda yang diteliti tidak sepenuhnya mengatur isu. Dari 6 Perda terkait, 5 Perda kesehatan tidak sepenuhnya mengatur pelayanan kesehatan yang memberikan akses kemudahan kepada masyarakat, aksentuasi muatan retribusi dan kelembagaan. Untuk pengaturan terkait pelayanan ketenagakerjaan tidak diketemukan, kecuali yang bersifat kelembagaan. Sekalipun Blora kaya sumber minyak dan SDA lainnya, tapi pengaturan terhadap SDA yang membuka kemudahan akses pelayanan kepada masyarakat, sangat minim. Terdapat 1 Perda yaitu Perda No. 15/2001 tentang Retribusi Izin Penebangan Dan Atau Pengangkutan Kayu Rakyat/Milik Dan Kayu Bongkaran Bangunan. Menariknya Perda yang sama untuk daerah Sragen telah dicabut, tapi untuk Kabupaten Blora sampai sekarang masih tetap berlaku, menunjukkan adanya diskriminasi executive review. Kondisi di Kota Surakarta sama dengan di Blora dari 47 Perda hanya terdapat 4 Perda yang berkaitan dengan isu. Sepanjang era UU No. 22 Tahun 1999, tidak diterbitkan Perda yang mengatur isu kesehatan. Perda retribusi pelayanan kesehatan yang ada masih mendasarkan pada Perda lama. Untuk isu ketenagakerjaan hanya
berupa Perda kelembagaan, sedangkan untuk isu SDA terdapat 3 Perda yang terkait soal kelembagaan. 77 Perda di Sragen yang diteliti, terdapat 10 Perda yang bersentuhan secara tidak langsung dengan isu. 4 Perda kesehatan berupa 3 Perda retribusi dan 1 kelembagaan. 1 Perda terkait dengan retribusi ketenagakerjaan, dan 5 Perda isu SDA, yang lebih berorientasi retribusi. Di Purbalingga dari 64 Perda terdapat 9 Perda berkait dengan isu. 3 Perda kesehatan hanya berupa retribusi dan kelembagaan, termasuk di dalamnya 1 Perda JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Purbalingga merupakan satu-satunya daerah penelitian yang memiliki Perda JPKM. Di Kebumen dan Wonosobo untuk muatan yang sama diatur dalam Peraturan Bupati. 2 Perda ketenagakerjaan, dan 4 Perda SDA lebih berorientasi pada kelembagaan dan retribusi. Di Kebumen dari 85 Perda hanya ada 12 Perda terkait isu. 4 Perda mengatur soal kesehatan dengan tekanan muatan kelembagaan dan retribusi. 1 Perda ketenagakerjaan dan 7 Perda SDA. Kebumen merupakan satu-satunya daerah penelitian yang mempunyai Perda partisipatif tapi tidak implementatif. Untuk Kabupaten Wonosobo kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dari 121 Perda yang diteliti hanya ada 2 Perda terkait isu. 1 Perda kesehatan (retribusi), sedangkan soal ketenagakerjaan hanya tentang kelembagaan rutin. Sebagai daerah yang kaya SDA Pemda tidak membuat kebijakan yang memberikan kemudahan akses bagi rakyat terhadap SDA, karena tidak ada Perda soal SDA. Semula terdapat Perda No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) yang dibuat untuk kepentingan mengatur akses masyarakat tapi muatannya bertentangan dengan UU Kehutanan, yang saat ini sudah dibatalkan pusat. Dari 53 Perda Cilacap yang diteliti terdapat 14 Perda terkait. 4 mengatur isu kesehatan yang seluruhnya soal retribusi. 2 Perda ketenagakerjaan juga berkait retribusi. Berbeda dengan daerah lain yang kaya SDA (Blora) di Cilacap terdapat 8 Perda SDA yang berkait dengan SDA. Dua di antaranya cukup intens mengatur perlindungan ekosistem (Perda No. 17 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kawasan Segara Anakan dan Perda No. 20 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), selebihnya mengatur aspek retribusi. 2.2 Provinsi Lampung Jumlah Perda Provinsi Lampung dari tahun 1999-2005 yang diteliti sebanyak 647 Perda, dengan rincian kategori 94 Perda APBD, 44 Perda pajak, 220 Perda retribusi, 144 Perda institusi dan 145 Perda lain-lain. Sebaran per kabupaten/kota, untuk Kota Bandar Lampung 59 Perda, Kota Metro 57 Perda, Kabupaten Lampung Timur 69, Kabupaten Lampung Barat 71 Perda, Kabupaten Lampung Utara 50 Perda, Kabupaten Lampung Selatan 61 Perda, Kabupaten Lampung Tengah 65
Perda, Kabupaten Wy Kanan 60 Perda, Kabupaten Tanggamus 57 Perda, Kabupaten Tulang Bawang 58 Perda. Perda APBD merupakan Perda yang setiap tahun wajib dibuat pemda karena berkaitan dengan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Permasalahan mendasar dari Perda-Perda APBD ini adalah keterbukaan pemda terhadap alokasi anggaran dan keberpihakan pemda terhadap kelompok sasaran. Akses kelompok sasaran dalam penentuan program dan alokasi anggaran sangat terbatas. Secara normatif terbuka peluang kelompok sasaran untuk ikut serta dalam proses penetapan APBD melalui penjaringan aspirasi masyarakat. Namun demikian, dalam implementasinya kesempatan tersebut tidak dapat diakses oleh kelompok sasaran karena sikap tertutup dari aparat pemda. Proses advokasi anggaran banyak dilakukan oleh kalangan NGO baik di tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Dalam penelitian ini Perda APBD tidak dapat dikaji secara mendalam karena sangat sulit diperoleh. Seperti halnya pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di Lampung Perda retribusi paling banyak dibuat, sesuai dengan tuntutan terhadap kemandirian pemda untuk membiayai rumah tangganya sendiri. Daerah berlomba untuk menggali sumber pendapatan asli daerah melalui pembentukan Perda-Perda retribusi dengan melupakan filosofi dasarnya yaitu pelayanan. Aspek pelayanan yang seharusnya inheren dalam penarikan retribusi sering dilupakan karena pemda lebih mengedepankan fungsi “budgeter”. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan Perda tentang pajak daerah. Akibat dari semua itu, pelaku usaha merasa dibebani dan sehubungan dengan hal tersebut ada 16 Perda kabupaten/kota yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena membebani pelaku usaha. Dinamika Perda tentang institusi mempunyai dampak yang sangat besar dalam penyelenggaraan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemda. Jumlah Perda institusi yang cukup banyak tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan sistem otonomi yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, serta dinamika penataan institusi daerah dengan standar norma yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Hal pertama yang dapat dicatat terhadap keberadaan institusi adalah adanya pemecahan kecamatan yang dilakukan oleh semua kabupaten kota. Pemekaran kecamatan dilakukan atas pertimbangan untuk memperpendek rentang kendali sehingga pelayanan publik dapat lebih efektif. Namun demikian, pemekaran yang dilakukan lebih mengarah pada upaya untuk memenuhi jenjang jabatan PNS yang jumlahnya telah melebihi kapasitas yang ada karena ada pelimpahan PNS pusat ke daerah. Perda tentang struktur organisasi baik pemda provinsi dan kabupaten/kota pada umumnya tidak sesuai dengan filosofi miskin struktur dan kaya fungsi. Hal ini dapat ditunjukkan dari jumlah dinas/instansi yang dibentuk yaitu minimum 18 dinas/instansi. Selain itu, perumusan tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas seringkali tidak secara spesifik menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok sasaran penelitian.
Selain itu, proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berlandaskan pada UU No. 22 Tahun 1999 mendorong masyarakat dan elit politik lokal pada kesadaran terhadap karakter khas pemerintahan adat. Sehubungan dengan hal tersebut di beberapa kabupaten lahir berbagai Perda yang mengatur tentang pemerintahan desa yang muatannya sama dengan Perda sebelumnya hanya berganti format judul menjadi penyelenggaraan pemerintahan pekon. Dari 647 Perda di atas bila dikaitkan dengan bidang isu penelitian, ada 35 Perda yang mengatur isu kesehatan, 21 Perda mengatur isu ketenagakerjaan, dan 42 Perda mengatur isu SDA. Di tingkat provinsi, terdapat 2 Perda yang mengatur tentang retribusi pelayanan kesehatan RSAM dan RSAJ. Tidak ditemukan Perda yang mengatur peran pemerintah provinsi di bidang kesehatan, terutama dalam penetapan standar norma pelayanan kesehatan. Walaupun provinsi mempunyai kewenangan di bidang ketenagakerjaan namun tidak ada Perda yang berkait dengan bidang ketenagakerjaan. Sementara itu Perda yang berkaitan dengan sumber daya alam hanya ditemukan 1 Perda, yang tidak mencerminkan kondisi Provinsi Lampung yang kaya SDA (hutan, tambang). Produktivitas DPRD Kota Bandar Lampung selama 5 tahun cukup tinggi dapat dilihat dari jumlah Perda terkoleksi yaitu 59 Perda. Dari 59 Perda di atas, terdapat 8 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 3 Perda berkenaan dengan isu kesehatan, 2 Perda berkenaan dengan isu tenaga kerja dan 3 Perda berkenaan dengan isu SDA. Perda tersebut pada umumnya lebih mengarah pada fungsi budgeter dalam upaya menghimpun pendapatan asli daerah. Keberadaan Perda-Perda retribusi ini tentunya menimbulkan beban bagi masyarakat. Salah satu contohnya adalah Perda nomor 10 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang melahirkan 6 jenis izin. Oleh karena itu dibatalkan oleh Mendagri karena dinilai membebani pelaku usaha. Selain itu terdapat satu Perda tentang pajak penerangan jalan yang juga dibatalkan oleh mendagri dengan alasan yang sama. Jumlah Perda yang terkumpul di Kota Metro adalah 57 Perda. Data di atas menunjukkan bahwa jumlah Perda retribusi adalah yang paling banyak. Hal ini dapat dimengerti karena Kota Metro baru dibentuk pada tahun 1999, sehingga mulai tahun 1999 Pemkot mulai menata Perda-Perda warisan dari Kabupaten Lampung Tengah. Penataan Perda tersebut juga dilakukan terhadap Perda yang berkaitan dengan pajak, institusi maupun Perda lainnya. Dalam kebijakan pemungutan retribusi lebih mengedepankan upaya intensifikasi yang diharapkan tidak memberatkan masyarakat. terdapat 8 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 4 Perda berkenaan dengan isu kesehatan, 2 Perda berkenaan dengan isu tenagakerja dan 2 Perda berkenaan dengan isu SDA. Di Kabupaten Lampung Timur terdapat 69 Perda yang terdiri dari 6 Perda APBD, 6 Perda Pajak, 26 Perda retribusi, 12 Perda institusi dan 19 Perda lainnya. Dari jumlah tersebut yang berkaitan dengan isu penelitian hanya 9 Perda yang terdiri dari 2 Perda berkenaan dengan isu kesehatan, 3 Perda berkenaan dengan isu tenaga kerja dan 4 Perda berkenaan dengan isu SDA. Seperti daerah lain, Perda
retribusi paling banyak jumlahnya (26 Perda). Menariknya APBD Kabupaten Lampung Timur dapat dinilai sebagai APBD yang tidak ramah untuk bidang kesehatan. Alokasi dana kesehatan tahun 2002 hanya 3,41 persen dari total APBD, sedangkan pada tahun 2003 hanya 6,42 persen dari total APBD. Alokasi ini menunjukkan ketidakberpihakan pemda terhadap pembangunan kesehatan. Perda yang mengatur institusi tidak ada yang secara spesifik berkaitan dengan kelompok sasaran khususnya perempuan dan anak, baik Perda Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas/instansi maupun sekretariat daerah. Di Kabupaten Lampung Barat terkumpul 71 Perda yang terdiri dari 13 Perda APBD, 4 Perda Pajak, 19 Perda retribusi, 14 Perda institusi dan 21 Perda lainnya. Dari jumlah tersebut terdapat 8 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 3 Perda berkenaan dengan isu kesehatan, 2 Perda berkenaan dengan isu tenagakerja dan 3 Perda berkenaan dengan isu SDA. Seiring dengan semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, upaya untuk meningkatkan PAD melalui pajak dan retribusi juga dilakukan baik melaui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Berkenaan dengan upaya tersebut maka lahir beberapa Perda retribusi yang kemudian dibatalkan oleh Mendagri, yaitu: 1. Perda tentang Pengendalian Penebangan dan Peremajaan Tanaman Kelapa 2. Perda tentang Pajak Huller yang telah dicabut 3. Perda tentang Retribusi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Akan tetapi terhadap Perda-Perda dengan judul dan materi muatan yang sama di kabupaten Lampung Selatan hingga saat ini tidak dibatalkan. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi dalam melakukan executive review. Selain itu, ada satu Perda yang cukup khas di Kabupaten Lampung Barat yaitu Perda No 14 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan Lembaga Adat. Perda ini merupakan suatu upaya untuk pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Peranan nilai-nilai adat istiadat dan lembaga adat di daerah diberdayakan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan serta mendorong upaya mensejahterakan warga masyarakat setempat. Adat istiadat dan lembaga adat digunakan mendorong, menunjang dan menungkatkan partisipasi masyarakat guna kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat di daerah khususnya di Pekon. Di Kabupaten Lampung Utara terdapat 50 Perda, terdiri dari 14 Perda APBD, 2 Perda Pajak, 15 Perda retribusi, 10 Perda institusi dan 9 Perda lainnya. Dari jumlah tersebut terdapat 6 Perda isu penelitian, terdiri dari 2 Perda isu kesehatan, 1 Perda isu tenagakerja dan 3 Perda isu SDA. Dari jumlah Perda di atas menunjukkan bahwa Perda retribusi adalah yang paling banyak. Dengan berlandaskan pada argumentasi kemandirian daerah, terutama kemandirian di bidang keuangan, pemda mengembangkan berbagai pungutan retribusi. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi dilakukan baik dari sistem pemungutan maupun dari sisi peraturan perundangannya. Penataan institusi sesuai dengan semangat
10
UU Nomor 22 tahun 1999 dilakukan dengan berdasarkan pada Perda Nomor 09 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Pasal 13 Perda tersebut terdapat 13 dinas teknis. Dari 13 dinas teknis tersebut tidak ada satu dinas pun yang penamaannya secara spesifik berkaitan berkaitan dengan kelompok sasaran penelitian. Pengaturan tentang kelembagaan yang mengurusi masalah perempuan dan anak terdapat pada sekretariat pemerintah daerah dibawah koordinasi Asisten sekretaris Bidang Administrasi Umum (Asisten III) yang membawahi bagian Pemberdayaan Perempuan. Bagian tersebut meliputi 3 bidang yaitu Sub Bagian Gender; Sub Bagian Kualitas Organisasi Perempuan dan Peran aktif Kemasyarakatan; Sub Bagian Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Kedudukan instansi tersebut berimplikasi pada kemampuannya untuk melakukan pelayanan yang sifatnya teknis menjadi lebih sulit atau tidak leluasa. Perda yang terkumpul di Kabupaten Lampung Selatan adalah 61 Perda, dari jumlah tersebut terdapat 24 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian yang terdiri dari 6 Perda isu kesehatan, 5 Perda isu tenaga kerja dan 13 Perda isu SDA. Dari 61 Perda tersebut di atas Perda retribusi yang paling banyak. Kabupaten Lampung Selatan melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi guna mendapatkan sumber pendapatan daerah. Upaya yang dilakukan seringkali tidak mendasar baik dari segi isi maupun implementasinya. Dari segi isi Perda terjadi tumpang tindih obyek pengaturan satu dengan yang lain. Sebagai contoh Perda No. 40 Tahun 2000 tentang Izin Usaha Perikanan Dan Pungutan Hasil Perikanan, Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Perda No. 39 Tahun 2000 Tentang Izin Usaha Perikanan Dan Retribusi Atas Usaha Pengkapan Ikan Dengan Alat Bagan Tancap/Apung Atau Sejenisnya, Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, yang mengatur obyek yang sama yaitu izin usaha perikanan. Contoh tumpang tindih pengaturan lainnya adalah antara Perda No. 14 tahun 2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan Perda No. 19 Tahun 2001 Tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Sektor Ketenagakerjaan. Ketentuan ini berakibat terjadinya pajak ganda yang harus dibayar oleh pelaku usaha karena obyek pengaturannya sama yaitu izin penggunaan tenaga kerja asing. Demikian pula dalam perumusan pengaturan Perda No. 40 Tahun 2000, dalam Pasal 4 diatur Izin Usaha Perikanan yang meliputi 7 jenis perizinan. Jumlah izin yang demikian banyak ini sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 izin saja yaitu izin penangkapan dan izin budidaya. Pengaturan yang demikian akan sangat memberatkan pelaku usaha yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat. Dari segi implementasi, Perda terminal merupakan contoh implementasi Perda yang salah. Pemungutan retribusi terminal dilakukan pada setiap kendaraan yang melewati satu wilayah tanpa adanya pelayanan terminal yang disediakan oleh Pemda. Secara substansi Perda terminal sudah benar namun pada tingkatan implementasi retribusi dilakukan tanpa adanya pelayanan terminal sebagai
11
prasyarat pemungutan retribusi. Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat 65 Perda dari jumlah tersebut terdapat 3 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, yaitu 1 Perda isu tenagakerja dan 2 Perda isu SDA. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa Perda yang paling banyak adalah Perda tentang institusi. Pola pengaturan Dinas/Instansi masingmasing diatur dalam satu Perda mandiri, oleh karena itu dapat dipahami bila jumlah Perda institusi yang paling banyak. Pengaturan yang demikian sangat tidak efisien karena sebenarnya dapat diatur dengan 3 Perda saja seperti di Kota Bandar Lampung. Perda institusi yang cukup banyak antara lain meliputi juga pengaturan tentang institusi pemerintahan desa. Pengaturan tersebut mulai dari penggantian penyebutan nama desa menjadi kampung, pengaturan kelembagaannya, pengaturan tentang keuangan, dsb. Perubahan ini merupakan suatu bentuk kesadaran pemerintah daerah terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan desa yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi lokal. Walaupun demikian bentuk dan struktur pemerintahannya tidak berubah hanya penyebutannya saja yang berubah. Dari 60 Perda di Kabupaten Way Kanan yang diteliti, terdapat 9 Perda berkait dengan isu penelitian, terdiri dari 4 Perda isu kesehatan, 2 Perda isu tenagakerja dan 3 Perda isu SDA. Perda retribusi adalah Perda yang paling banyak dan semua dibentuk pada tahun 2002 termasuk juga Perda tentang pajak. Dari 57 Perda di Kabupaten Tanggamus, terdapat 9 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, yaitu 6 Perda isu kesehatan, 1 Perda isu tenagakerja dan 2 Perda isu SDA. Data tersebut di atas menunjukan bahwa jumlah Perda retribusi yang paling banyak. Upaya ekstensifikasi dengan menerbitkan Perda guna mendapatkan sumber pendapatan daerah justru membebani masyarakat misalnya: 1. Perda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Ternak 2. Perda tentang Retribusi Penanganan Rabies 3. Perda tentang Retribusi Pemeriksaan Kesehatan Anak Ayam Umur Satu Hari Perda No. 13 tahun 2000 sangat membebani masyarakat karena pungutan yang dilakukan menimbulkan beban bagi peternak. Sedangkan Perda No. 14 Tahun 2000, idealnya menjadi kewajiban bagi Pemda untuk melakukan pemberantasan penyakit rabies, bukan justru menjadi lahan sumber PAD. Upaya menggali pendapatan daerah hanya difokuskan pada retribusi, tidak ada satu pun Perda yang mengatur tentang pajak. Untuk pengaturan organisasi dinas/instansi dibuat masing-masing dalam satu Perda, sehingga tidak efisien karena sebenarnya dapat diatur dalam 2 atau 3 Perda saja. Dari 58 Perda di Kabupaten Tulang Bawang, terdapat 10 Perda yang berkaitan dengan isu penelitian, terdiri dari 2 Perda isu kesehatan, 2 Perda isu tenaga kerja dan 6 Perda isu SDA.
12
2.3 Komparasi Kondisi Perda Sekalipun UU No. 22/1999 menganut prinsip otonomi riil, tidak termanifestasi dalam pembentukan Perda yang diproduksi oleh Pemda. Sama halnya dengan kondisi di Provinsi Jawa Tengah, di Lampung Perda retribusi yang paling banyak diproduksi. Hal ini tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri serta adanya tuntutan untuk kemandirian daerah dalam bidang keuangan daerah. Perda-Perda yang berkaitan dengan isu umumnya hanya mengatur kelembagaan daerah (rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan) dan retribusi pelayanan kesehatan. Belum ada regulasi daerah yang secara komprehensif mengatur penyelenggaraan kesehatan (aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), termasuk di dalamnya perizinan tenaga kesehatan, pembinaan pengawasan, sistem pelayanan, sistem pembiayaan, dan lain sebagainya, hanya terdapat di Kabupaten Purbalingga. Rumusan ketentuan dalam Perda memberikan pengaturan kepada masyarakat miskin, perempuan, anak, dan masyarakat marjinal lainnya, berupa pemberian keringanan atau pembebasan tarif rumah sakit atau puskesmas bagi masyarakat miskin. Di kedua Provinsi tidak ditemukan Perda yang mengatur pelayanan yang memberikan akses ketenagakerjaan, padahal jumlah perusahaan dan tenaga kerja di daerah ini cukup banyak. Sedangkan Perda kabupaten/ kota yang mengatur aspek ketenagakerjaan umumnya hanya mengatur aspek retribusi sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Regulasi daerah mengenai isu SDA baik yang dikeluarkan pemerintah provinsi maupun kabupaten/ kota secara umum lebih banyak mengatur retribusi dan pajak atas pemanfaatan SDA dibanding dengan aspek pengelolaan dan perlindungan SDA itu sendiri. Namun demikian, ada dua kabupaten yang sudah memiliki Perda yang secara khusus mengatur pengelolaan SDA. Pertama, Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 dan Perda Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002. Perda ini sangat penting karena wilayah pesisir dan pantai timur di daerah ini kerusakannya sudah cukup parah, dan umumnya yang hidup di daerah ini adalah kelompok miskin dan marjinal, seperti petani tambak (penggarap) dan nelayan. Jika dikaitkan dengan kondisi dan potensi daerah yang memiliki sumber daya alam cukup banyak tetapi kerusakannya juga cukup parah, maka regulasi daerah yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Hal yang sama terdapat di kabupaten Cilacap dengan adanya Perda Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Segara Anakan, dan Perda Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perda-Perda yang berkaitan dengan kelompok sasaran tidak satupun yang secara spesifik mengatur tentang akses pelayanan kepada masyarakat miskin, perempuan, anak, dan masyarakat marjinal lainnya. Pengaturan yang membuka peluang akses pelayanan pada umumnya berkaitan dengan pemberian keringanan dan pembebasan tarif yang dikenakan serta pengaturan tentang prinsip pengenaan
13
tarif yang berlandaskan pada kemampuan masyarakat. Selain itu juga ada pengecualian atau perlakuan khusus seperti misalnya pengaturan dalam Perda SDA, yang mengatur tentang pengecualian untuk pengambilan rumah tangga. Pengaturan tersebut sifatnya sangat abstrak dan sulit untuk dioperasionalkan, karena dirumuskan dalam suatu pengaturan yang sangat formal dan birokratis. Pengaturan seperti itu akan sangat tergantung pada good will dari pejabat yang berkuasa karena ada pada wilayah diskresi. Perda yang dihasilkan oleh kedua Provinsi memiliki muatan yang sama untuk pengaturan terhadap isu, yang ditunjukkan dengan: 1. format Perda yang terkait dengan retribusi di bawah rezim UU No. 22/1999 merupakan “regenerasi sentralistik”. Kedua daerah penelitian tidak berkreasi menciptakan norma baru di luar yang telah ditentukan oleh Perda produksi UU No. 5/1974. 2. delegating provisio sangat mendominasi muatan Perda. 3. sifat keberpihakan terhadap masyarakat miskin dirumuskan secara ritual formalistik berupa: a. Gubernur/Bupati/Walikota dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi. b. Pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat diberikan dengan memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi. c. Tata cara pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Gubernur Bupati/Walikota. Namun, tidak diketemukan satu regulasi derivasi yang dimandatkan oleh Perda. Lebih menariknya lagi untuk persoalan pemberian keringanan/pembebasan ini dilakukan dengan prosedur persetujuan DPRD, yang jelas tidak efektif dibandingkan dengan nilai keringanan yang akan diberikan. selain itu terdapat formulasi yang sama mengenai dasar penetapan tarif retribusi yaitu kemampuan masyarakat, yang dalam implementasinya tidak pernah terwujud. d. executive review pusat dilakukan secara diskriminatif untuk Perda yang sama (Blora- Sragen dan Lampung Selatan – Lampung Barat). Kalaupun beberapa daerah mulai berkreasi membuat regulasi sektor-sektor terkait isu penelitian, tapi muatannya adalah perizinan. Mencermati lebih jauh muatan perizinan yang dimaksud kebanyakan hanya berimplikasi pada pungutan, karena ujung-ujungnya Perda sejenis ini sering dijadikan “payung hukum” (umbrella act) untuk membentuk Perda derivasi dengan berlindung di balik kategori Retribusi Perizinan Tertentu.
3. Strategi Implementasi Perda Sebagai konsekuensi tidak ada hubungan hirarki antara satuan pemerintahan
14
daerah otonom, pembentukan Perda antara Provinsi dengan Kabupaten/ Kota tidak terkoordinasi. Satu sama lain membuat sesuai dengan kekuasaan besar yang diberikan UU. Gubernur sekalipun sebagai wakil pusat tidak memiliki kewenangan mengendalikan Kabupaten/ kota dalam mengimplementasikan kewenangan mengatur, karena ketentuan 15 hari setelah Perda berlaku disampaikan ke pusat bukan norma imperatif, sehingga tidak dipatuhi. Hal ini ditunjukkan dari fenomena executive review yang diskriminatif, yang terjadi karena adanya permohonan dari pihak yang dirugikan sehingga belum mencerminkan sepenuhnya inisiatif pusat. Sebagai dampak tafsir sempit terhadap hubungan hirarki antar satuan daerah otonom, telah terjadi ketidaksinkronan antara Perda Kabupaten/ Kota dengan Perda Provinsi terutama dalam pengaturan tentang retribusi. Provinsi menerbitkan Perda Retribusi yang berlaku untuk seluruh wilayah Provinsi. Perda dengan substansi yang sama juga diterbitkan oleh Kabupaten/ Kota dengan judul yang sama atau berbeda tapi dengan maksud yang sama sehingga mengakibatkan double pungutan. Inkonsistensi Perda dengan peraturan yang lebih tinggi terjadi antara UU Pajak dan Retribusi serta PP No. 66 Tahun 2001. Baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota melakukan tindakan over elaboration dalam memaknai kategori retribusi perizinan tertentu, sehingga tidak sejalan dengan spirit UU Pajak dan Retribusi, yang sangat jelas menyebutkan fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang pada dasarnya tidak harus dipungut biaya. Apabila dalam pelaksanaan fungsi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sepenuhnya ter-cover dalam sumber-sumber penerimaan daerah, maka daerah memiliki diskresi untuk memunggut sesuatu sepanjang sesuai dengan skema retribusi perizinan tertentu. Inkonsistensi terdapat pula pada Perda ketenagakerjaan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perda dimaksud tidak bertujuan untuk mengatur pengurangan tingkat pengangguran tapi memberi beban kepada pencari kerja. Pembentuk Perda sesungguhnya mengetahui adanya pertentangan ini tapi karena pada era otonomi luas tidak mengatur secara jelas hubungan hirarki antara satuan otonomi daerah, yang terjadi Perda dibiarkan tetap berlaku sampai pada akhirnya dicabut oleh Pusat.
4. Implementasi Perda dan Keberpihakkannya 4.1 Kondisi di Provinsi Jawa Tengah 4.1.1 Provinsi Jawa Tengah
Kesehatan Pemprop Jateng telah mengalokasikan anggaran bidang kesehatan dalam APBD yang besarannya satu lapis di bawah alokasi bidang Pendidikan. Salah satu program yang telah diluncurkan oleh Pemprop Jateng yang menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat miskin adalah Pondok bersalin desa dan poliklinik kesehatan desa. Bagi masyarakat program yang ada dianggap masih bersifat insidentil
15
-reaktif kurang preventif. Masyarakat juga masih menemui adanya praktik pelayanan yang diskriminatif dari pelayanan yang diberikan Pemprop Jateng. Selain itu RS Provinsi masih ditemukan adanya ketidaktepatan dalam penarikan biaya yang melebihi tarif sesuai Perda, ketidakramahan petugas pelayanan, ketidaktepatan waktu pelayanan dan kewajaran biaya pelayanan. Di sisi lain, Respon Pemprop Jateng seringkali terlambat dalam menangani kondisi kesehatan di masyarakat. Ketenagakerjaan Sekali pun tidak ada Perda khusus ketenagakerjaan, Pemprop Jateng selalu berusaha melakukan penyelesaian konflik perburuhan dengan dialog antara pengusaha dan pemilik modal. Selama ini tuntutan buruh berkisar kepada persoalan normatif seperti upah, pesangon, keselamatan kerja serta pelayanan kesehatan pekerja dan perlindungan bagi buruh terutama bagi buruh perempuan. Meski sudah ada beberapa terobosan berkaitan dengan perlindungan bagi pekerja namun kebijakan dan upaya Pemprop ini dinilai masih terkesan hanya untuk pekerja formal. Baru Juni 2006 Pemprop bekerja sama dengan Jamsostek memfasilitasi jaminan kesehatan dan keselamatan bagi tenaga kerja informal. Buruh juga masih melihat bahwa pengusaha masih berlaku tidak konsisten dan cenderung sewenangwenang. Lebih dari itu masih terjadi kasus pelecehan seksual, kerja lembur yang tak jelas aturannya dan jaminan keselamatan kerja dan kesehatan yang tidak memadai. Sumber Daya Alam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa Tengah lebih didominasi oleh bagaimana mengakomodasi adanya kepentingan terhadap peningkatan PAD. Akibatnya muncul banyak pungutan-pungutan terhadap pengelolaan SDA ini. Salah satunya pungutan terhadap penebangan hutan rakyat yang bernuansakan”sharing” kue dari kekayaan alam. Pada akhirnya pengelolaan hutan belum bernafaskan perlindungan dan pelestarian namun lebih bernafaskan ”keuntungan” Temuantemuan illegal logging di beberapa wilayah di Jawa Tengah membuktikan bahwa ”pemilik kuasa” telah diduga berkongsi dengan ”pemilik modal”. Di sektor pertanian, bagi petani biaya tanam dan produksi lebih besar daripada biaya pendapatan yang diterima dari hasil panen. Perlindungan yang nyata kepada petani dan nelayan dalam regulasi untuk mengendalikan pasar yang berpihak kepada kelompok sasaran masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin. Adanya eksplorasi migas Blok Cepu sebelum penandatanganan MoU antara Perusahaan minyak raksasa dari AS, Exxon dengan Pertamina tidak signifikan memberikan keuntungan yang memadai kepada masyarakat miskin khususnya yang ada di Blora. Pemerintah Provinsi juga belum mampu mengatasi dan mengkoordinasikan penanganan konflik pengelolaan SDA antara pemerintah Kota/Kabupaten dengan pemerintah pusat.
16
4.1.2 Kota Semarang Kesehatan Pelayanan kesehatan di kota Semarang telah didukung melalui sistem pelayanan yang dapat menjamin kepastian masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan karena ada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Kesehatan Kota Semarang. SPM mengatur semua hal yang berkaitan dengan bagaimana pelayanan dapat diakses kepada masyarakat di antaranya tentang prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, jadwal pelayanan, biaya pelayanan, hak dan kewajiban baik petugas pelayanan maupun pengguna layanan kesehatan itu sendiri, yaitu masyarakat. Peluncuran Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) di kantor pelayanan terpadu untuk menampung dan menindaklanjuti atas pengaduan dan temuan yang ada dari masyarakat juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Pemkot Semarang juga mengeluarkan kebijakan “one way ticket” untuk pengguna layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan dan bantuan lain yang diberikan dari pemerintah. Namun dalam tataran implementasinya masih ditemukan masyarakat miskin yang mengalami kesulitan dalam memperoleh keringanan biaya pelayanan. Sikap petugas yang kurang ramah dan sopan, ketepatan waktu dan adanya tambahan biaya diluar tarif resmi juga masih ditemukan dan diakui oleh pihak penyedia pelayanan kesehatan di kota Semarang. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah penelitian yang lain. Ketenagakerjaan Sektor informal dan PKL memberi kontribusi pendapatan daerah yang tinggi, ibarat sebagai tangan panjang sektor formal. Pemkot belum memiliki kebijakan tentang pemberdayaan PKL dan sektor informal, sebagai tindak lanjut Perda PKL. Kebijakan pengaturan dan penertiban PKL dengan relokasi tanpa penggusuran telah dilaksanakan oleh Pemkot Semarang. Disnaker telah menyiapkan terobosan program yang terdiri dari pemberlakuan sistem informasi manajemen dengan komputer, penyediaan informasi lowongan pekerjaan (bursa kerja) dengan memanfaatkan fasilitas on line melalui internet dan fasilitas SMS (Short Message Service) serta memulai pembuatan database bagi pencari kartu kuning di Disnaker Kota Semarang. Namun demikian upaya-upaya pemberdayaan pengangguran di Kota Semarang dianggap masih kurang dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan melalui Disnakertrans Kota Semarang belum memberikan efek pemerataan dan menjangkau masyarakat luas. Sumber Daya Alam Terkait pengelolaan SDA ke depan akan diupayakan pemberian ijin oleh Pemerintah Kota tanpa campur tangan Pemprop. Untuk Perda galian C dalam
17
implementasinya telah berdampak pada masyarakat miskin dan kelompok marginal. Pemegang izin secara kesewenang-wenangan melakukan penambangan tanpa terkontrol efektif Pemkot, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan seperti yang terjadi pada awal tahun 2003 hingga 2005. Padahal wilayah sekitar penambangan merupakan lokasi perumahan sangat sederhana sehat (RSSS) yang notabene dihuni oleh masyarakat miskin.
4.1.3 Kabupaten Kudus
Kesehatan Keberadaan Puskesmas yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Kudus sebenarnya telah dapat menjangkau pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, terpusatnya pelayanan di kecamatan menyulitkan masyarakat di pedesaan yang jauh dari kota Kabupaten maupun kecamatan karena transportasi yang ada justru lebih mahal daripada biaya pendaftaran untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas. Prosedur pengurusan Askeskin juga rumit dan cenderung bertele-tele dan sangat kaku bagi masyarakat miskin. Biaya pelayanan kesehatan juga masih dirasa mahal dan cenderung memberatkan bagi masyarakat yang tidak mampu meski sudah ada pelayanan Askeskin. Masyarakat menilai bahwa program-program yang selama ini dijalankan oleh Dinas Kesehatan cenderung tidak tepat sasaran dan hanya menjalankan proyek pemerintah pusat semata serta kurang terkoordinasi dengan instansi terkait. Diskriminasi masih terjadi dalam pelayanan kesehatan, masyarakat yang memiliki uang banyak mendapatkan pelayanan yang lebih baik, sementara masyarakat miskin terabaikan, “masyarakat miskin dilarang sakit”. Ketenagakerjaan Keberadaan Perda PKL dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan pekerja sektor informal tersebut. Penanganan sektor pekerja formal di Kabupaten Kudus bagi masyarakat miskin dilakukan dalam kerangka fasilitator dan mediator antara pekerja dengan perusahaan yang menjadi tempat bekerja. Penegakan hukum kurang begitu terwujud terhadap perlindungan pekerja (khususnya buruh) di antaranya adalah masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Masalah pemberdayaan angkatan kerja di Kudus disebabkan keterbatasan BLK, kursus-kursus/pelatihan. Di Kabupaten Kudus sekitar 80 % tenaga kerja adalah buruh perempuan tetapi ironisnya tenaga kerja perempuan selama ini belum mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah. Beberapa masalah yang dihadapi para buruh adalah masih banyak buruh perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif dan buruh borongan yang dapat diganti secara sepihak oleh mandor karena alasan cuti hamil. Akses informasi yang tidak sampai ke buruh menyebabkan buruh tidak melakukan tuntutan akan hak-haknya sehingga menjadikan buruh perempuan tuna akses. Sistem pengawasan yang dilakukan oleh Disnakertrans selama ini juga diangap masih
18
lemah terhadap tenaga kerja salah satu bukti adalah terjadinya pelecehan seksual. Sumber Daya Alam Kabupaten Kudus merupakan kabupaten yang tidak memiliki sumber daya alam yang lebih, kecuali dari sektor pertaniannya. Sebagai kota industri (Rokok), banyak sekali masyarakat yang bekerja di sektor formal terutama menjadi buruh-buruh pabrik dan sebagian juga mengelola pertaniannya. Adanya Perda pengaturan tentang irigasi kurang berjalan dengan efektif karena kurang terlibatnya partisipasi aktif dari masyarakat yang ada di Kabupaten Kudus terutama yang menggeluti sektor pertanian ini. Dukungan terhadap keberadaan pertanian di Kabupaten Kudus juga masih kurang dilihat dari jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi sektor pertanian. 4.1.4 Kabupaten Pekalongan Kesehatan Meski Kabupaten Pekalongan belum memiliki beberapa program yang menjadi pendamping bagi program askeskin namun Kabupaten Pekalongan telah memberikan pembebasan biaya pelayanan kesehatan bagi semua anak TK/RA/SD/MI dan anak pondok pesantren. Masih banyaknya jumlah miskin yang ada di Kabupaten Pekalongan juga menjadi penyebab program askeskin belum menjangkau seluruh masyarakat miskin yang ada di Kabupaten Pekalongan ini. Masyarakat masih menganggap tarif pelayanan kesehatan di Kabupaten Pekalongan relatif tinggi dan mekaniskme pengaduan juga belum berjalan dengan baik. Masih ada masyarakat yang mengeluhkan pelayanan mendapatkan obat di Puskesmas, karena untuk semua penyakit mendapatkan obat yang sama. Penanganan pengaduan masih lamban dan bukan menjadi prioritas program yang dapat memberikan kepuasan pelayanan. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat miskin menilai tidak ada pengaruh yang baik dalam penanganan pengaduan di pelayanan kesehatan. Ketenagakerjaan Keberadaan sektor ketenagakerjaan kerajinan batik lebih bersifat ”rumahan” atau home industry. Buruh di industri rumahan batik ini dapat berkerja karena lebih didasarkan atas kedekatan dengan pemilik industri batik ini. Oleh karena itu persoalan perburuhan yang dialami buruh batik ini cenderung lepas dari pantauan dinas tenaga kerja di Kabupaten Pekalongan ini seperti persoalan upah, perlindungan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta pesangon. Masyarakat miskin berada dalam posisi yang tidak berdaya dalam menghadapi kesewenangwenangan pemilik modal. Pemerintah Kabupaten seakan tidak berdaya dalam menghadapi situasi semacam ini karena ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten dalam menjangkau banyaknya sentra industri batik dan terbatasnya jumlah
19
petugas dinas ketenagakerjaan. Untuk ketenagakerjaan sektor formal, Pemerintah Kabupaten lebih sering terlibat dalam penanganan konflik perburuhan yang memiliki jumlah tenaga kerja besar dan pabrik. Kegiatan pemberdayaan angkatan kerja di Kabupaten Pekalongan melalui pelatihan masih kurang karena minim sekali frekuensi pelatihan yang bisa menunjang keterampilan tenaga kerja dan juga belum memberikan manfaat pemerataan kepada potensi pekerja yang ada terutama sektor informal. Sumber Daya Alam Secara geografis Kabupaten Pekalongan termasuk daerah agraris dan sebagian besar petani adalah petani buruh, bukan pemiliki lahan pertanian. Adanya Perda irigasi di Kabupaten Pekalongan pun tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan buruh pertanian ini. Namun bagi pemilik lahan pertanian keberadaan Perda ini sangat berpengaruh terhadap distribusi pengelolaan air irigasi. Keberadaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menjadikan pengelolaan SDA air bagi pertanian lebih bersifat partisipatif karena menempatkan petani sebagai subjek/pengelola air irigasi yang digunakan secara bersama-sama yang dapat menguntungkan dan menyejahterakan petani. Adanya P3A juga dapat menjadi wahana bagi petani dalam menanggapi berbagai persoalanpersoalan yang muncul yang dialami oleh petani. 4.1.5 Kabupaten Blora Kesehatan Ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan di Kabupaten Blora dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau bentuk lainnya kecuali jaminan retribusi, menyebabkan masyarakat tidak terlayani dengan baik. Hal yang sering dikeluhkan adalah prosedur dan persyaratan pelayanan yang berbelit-belit, adanya diskriminasi dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Di RSU perlakuan terhadap pemegang kartu Askeskin masih kurang baik terbukti dengan adanya persyaratan yang dianggap oleh masyarakat masih mengada-ada dan cenderung menyulitkan. Keterjangkauan akses untuk obat bagi masyarakat miskin masih belum terjangkau dikarenakan harga obat masih terlalu tinggi. Pemerintah Kabupaten Blora tidak memberikan dampingan secara khusus terhadap program Askeskin dan programprogram yang dicetuskan selama ini hanya meneruskan program dari pemerintah pusat saja. Ketenagakerjaan Program yang dibuat Disnaker sebagai bentuk implementasi UU sesuai fungsi yang ada seperti Program Perlindungan Tenaga Kerja, Program hubungan Industrial dan kelembagaan, Perluasan kesempatan kerja dan usaha serta pembentukan tenaga kerja yang mandiri dan profesional, Menyelenggarakan penyebaran penduduk
20
secara merata melalui transmigrasi. Namun demikian, masyarakat Blora justru hanya menjadi penonton dari “pemain-pemain yang memiliki modal besar” untuk melakukan eksploitasi di Blora. Harapan akan terserapnya tenaga kerja dalam pengelolaan kekayaan hutan dan minyak masih belum terealisasi hingga sekarang. Masyarakat masih menunggu untuk hanya sekadar menjadi “tenaga kasar” dari “kue” yang bernama pengelolaan migas Blok Cepu. Pemkab Blora juga masih lamban dalam mengantisipasi bagaimana masyarakat miskin yang ada di Blora untuk dapat merasakan kue kekayaan alamnya. Pendekatan-pendekatan yang terjadi masih bersifat formalistik dan simbolistik semata dan belum menyentuh aspek substansial dalam mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan. Sumber Daya Alam Wilayah Blora terdiri dari 49,66 % hutan dan 25,38 % merupakan lahan pertanian. Hampir separuh wilayah kabupaten merupakan kawasan hutan (hutan negara). Blora juga telah tercatat sebagai salah satu daerah yang memiliki cadangan minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia. Masyarakat Blora berharap bahwa dengan telah ditunjuknya pengelola migas di Cepu akan dapat meningkatkan taraf kesejahteraannya. Sebagai daerah kaya hutan dan minyak seharusnya masyarakat Blora memiliki kesejahteraan yang jauh lebih baik dan memiliki jumlah masyarakat miskin yang sedikit. Namun dalam kenyataannya masyarakat kesulitan dalam mengakses kekayaan alam dari dua sektor tersebut yaitu hutan dan minyak. Adanya community development dalam pengelolaan SDA yang ada di Blora juga tidak serta merta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena dalam beberapa hal masyarakat justru kesulitan dalam mengakses adanya community development tersebut. Perda yang mengatur tentang retribusi penebangan hutan rakyat lebih bersifat “sharing” pendapatan daripada pengelolaan yang lebih menjamin kelestarian alam padahal Perda yang sama di Kabupaten Sragen telah dicabut karena alasan lebih untuk melindungi kelestarian alam tersebut. Maraknya illegal logging pasca reformasi justru diduga lebih banyak dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kuasa dan modal yang besar di Kabupaten Blora. Sekali lagi, masyarakat pun hanya menjadi penonton dalam “penjarahan” kekayaan alamnya. 4.1.6 Kota Surakarta Kesehatan Berbagai upaya dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang ada di Surakarta salah satunya adalah Program Dasolin (Dana Sosial Ibu Bersalin) yang berbasis partisipasi masyarakat. Namun beberapa program yang ada di Kota Surakarta masih mendapat kritikan karena hanya bersifat simbolistik dan kurang menyentuh permasalahan kesehatan masyarakat.
21
Apalagi masih ditemukan adanya masyarakat yang mengalami gizi buruk. Pemerintah Kota Surakarta juga masih dinilai kurang “jemput bola” dalam penanganan kesehatan yang ada. Tiadanya dampingan bagi program askeskin dari pemerintah pusat juga menyebabkan masih ditemukannya masyarakat yang tidak terlayani dengan baik dalam memperoleh pelayanan askeskin. akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di kota Surakarta cukup mudah terjangkau karena persebaran akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ada kecenderungan pemerintah kota masih sering lempar tanggung jawab terhadap adanya permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat. Masalah lain yang muncul Askeskin tidak dapat di akses oleh masyarakat yang berasal dari luar kota meski berdomisili di Surakarta Ketenagakerjaan Sama dengan beberapa kota/kabupaten yang ada di Jawa Tengah, Upaya pemberdayaan bagi pekerja sektor informal masih dirasa kurang. Pelatihanpelatihan yang ada pun juga masih diarahkan kepada sektor formal dan belum merata kepada pencari kerja dan pengangguran. Namun Pemkot Surakarta juga memberikan dukungan terhadap sektor usaha kecil dan menengah seperti pembebasan biaya retribusi terhadap keberadaannya. Dalam hal penanganan terhadap PKL yang notabene adalah pekerja informal dari masyarakat miskin, pemerintah kota Surakarta seperti kota-kota besar lainnya mengedepankan upayaupaya persuasif dan preventif. Namun demikian penggusuran PKL masih terjadi atas nama penertiban dan penataan kota. Berbagai temuan pelanggaran terhadap pekerja lebih sering berkaitan dengan hak normatif yang diperjuangkan oleh para pekerja yang meliputi upah yang belum sesuai UMK, cuti haid, cuti hamil dan pesangon. Sumber Daya Alam Kota Surakarta tidak menonjol dalam isu Sumber Daya Alam. Pemerintah Kota Surakarta dalam pengelolaan SDA dilakukan dengan upaya terpadu dengan melibatkan masyarakat yaitu melalui penghijauan dan pengawasan pengendalian pencemaran lingkungan langsung pada sumbernya (misal: pabrik) dan sosialisasi langsung kepada masyarakat. Konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih fokus pada hutan dengan reboisasi yang tambal sulam. Substansi aturan tentang upaya konservasi ditentukan dalam Perda. Pemkot sedang melakukan pembiakan karamba seperti aqua fanen di wadaslintang, yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Pemanfaatan SDA lainnya adalah pemanfaatan aliran sungai dengan pembuatan keramba yang melibatkan masyarakat secara langsung. Untuk konservasi SDA yang dilakukan Pemkab lebih fokus pada hutan dengan reboisasi, dan mencegah illegal logging.
22
4.1.7 Kabupaten Sragen
Kesehatan Sekalipun Perda kesehatan sangat minim, bagi masyarakat Kabupaten Sragen, peningkatan pelayanan publik yang ada juga dirasakan dalam sektor kesehatan seperti adanya pendampingan program askeskin dari pemerintah pusat. Namun demikian keluhan masyarakat masih ditemukan berkaitan dengan prosedur, persyaratan yang masih dianggap belum sederhana serta kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan juga masih mendapat penilaian kurang baik di mata masyarakat. Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen telah melaksanakan beberapa program yang berpihak kepada masyarakat miskin yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat miskin dan stimulan sarana sanitasi bagi keluarga miskin. Kabupaten Sragen juga telah melakukan program untuk mendampingi kebijakan Askeskin pemerintah pusat berupa penerbitan kartu gakin yang dapat digunakan untuk mendapatkan bantuan tidak hanya dalam bidang kesehatan saja, juga pendidikan dan bantuan beras. Namun demikian keluhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih ditemukan salah satunya mengenai pelayanan kesehatan secara prosedural di Puskesmas terlalu rumit, sehingga perlu ada penyederhanaan prosedural atau administratif khususnya bagi kaum marjinal atau masyarakat miskin. Berkaitan dengan adanya penanganan pengaduan, masyarakat masih menilai bahwa respon pemkab masih belum optimal. Akses untuk dapat memperoleh obat bagi masyarakat miskin juga masih dirasa kurang mudah. Ketenagakerjaan Perda yang mengatur ketenagakerjaan sebenarnya dikhawatirkan dapat menimbulkan higt cost economy akibat retribusi yang muncul dalam ijin ketenagakerjaan. Hanya karena Sragen sangat konsen dalam mengimplementasikan one stop service, sehingga adanya retribusi tersebut tidak berpengaruh dalam hal pelayanan publik terhadap isu. Kabupaten Sragen juga tercatat sebagai daerah yang memberikan dukungan terhadap penciptaan iklim investasi yang baik dengan harapan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap lapangan kerja. Upaya-upaya formal dalam melindungi kepentingan tenaga kerja baik domestik maupun yang bekerja di luar negeri juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Pemkab Sragen juga telah membentuk UPTD dalam hal pengawasan PJTKI dan mengawal TKI asal Sragen ke Luar Negeri. Hal ini diatur secara seksama oleh pemerintahan Kabupaten Sragen dalam retribusi ijin ketenagakerjaan. Sumber Daya Alam Sebagai daerah agraris Kabupaten Sragen mencoba mengoptimalkan
23
pengembangunan di bidang pertanian di antaranya dengan mengeluarkan Perda Nomor 26 Tahun 2003 Tentang Irigasi dalam Perda ini petani diposisikan sebagai subyek dalam hal pengairan sawah-sawah, peran pemerintah dalam hal ini adalah dinas pengairan adalah sebagai pembina. Perda Kab. Sragen Nomor 26 Tahun 2002 ini memerlukan sinergi dengan Perda kabupaten yang bersebelahan dengan Kabupaten Sragen, karena masalah Irigasi di kabupaten Sragen yang diambil dari Sungai Bengawan Solo merupakan aset yang lintas kabupaten sehingga pengaturannya memerlukan sinergi antar kabupaten yang dilalui oleh aliran irigasi dari Sungai Bengawan Solo. Di Kabupaten Sragen telah memiliki Perkumpulan Pengguna Air (P3A) yang hampir merata di semua desa yang ada di Sragen. Keberadaan P3A merupakan bentuk pelibatan secara aktif masyarakat dalam pengelolaan irigasi yang ada di Sragen dimana petani ditempatkan sebagai subjek dalam pengelolaan ini. Sebagai bentuk komitmen untuk lebih melindungi hutan dari penebangan yang mengancam kelestarian alam, Pemkab pernah mengeluarkan Perda penebangan hutan.
4.1.8 Kabupaten Purbalingga
Kesehatan Purbalingga merupakan satu-satunya kabupaten yang secara inovatif telah memiliki Perda yang berkorelasi langsung dengan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, yaitu Perda No. 15 tahun 2003 tentang JPKM (Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat), berikut peraturan derivasinya, Keputusan Bupati No. 5 tahun 2003 tentang petunjuk pelaksanaan JPKM. Konsep di dalam Perda ini ditujukan untuk mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang bertumpu pada terbentuknya kemandirian masyarakat. Program JPKM merupakan salah satu model peningkatan pelayanan kesehatan yang berbasiskan kepada partisipasi masyarakat. Masyarakat terlibat secara langsung dalam pembiayaan yang menekankan kepada subsidi dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang miskin. Program ini juga diharapkan menjadi sistem yang komprehensip mulai dari aspek preventif, kuratif, promotif, maupun rehabilitasi secara berkelanjutan. Namun, pelaksanaan JPKM juga masih menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kurang transparansi pengelolaan dana yang tergalang dari masyarakat serta profesionalisme pengelola program tersebut. Ketenagakerjaan Purbalingga sudah berkembang pesat dengan pertumbuhan industri termasuk juga PMA, bahkan tercatat sebagai salah satu kabupaten yang memiliki iklim investasi yang baik. Hal ini terbukti pada tahun 2006 realisasi nilai investasi yang di torehkan merupakan investasi yang paling banyak di bandingkan dengan 34 kota/kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah.
24
Dengan adanya realisasi investasi ini tentu akan dapat menciptakan lapangan kerja yang baru dan dapat mengurangi pengangguran yang saat ini menjadi beban bangsa. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam mendorong investasi ini juga bagian dari komitmen terhadap peningkatan kepada potensi tenaga kerja yang masih membutuhkan lapangan pekerjaan. Namun demikian dari data yang ada bahwa sekitar 20% perusahaan di Purbalingga belum membayar upah sesuai dengan UMK yang telah di tetapkan pemerintah Kabupaten sebesar Rp. 499.500,00. Pelatihan dan pembinaan yang selama ini ada juga belum sebanding dengan total angkatan kerja yang ada. Permasalahan pemerataan bagi para pencari kerja yang masih menganggur juga masih menjadi persoalan yang belum tuntas. Adanya Perda retribusi izin ketenagakerjaan belum berkorelasi positif untuk mengurangi tingkat pengangguran. Sumber Daya Alam Dalam pengelolaan SDA Pemkab telah melibatkan masyarakat terkait proses pembangunan dan perawatannya. Persoalan yang kini dihadapi Pemkab dengan adanya Perda penambangan galian C adalah kerusakan lingkungan. Jumlah pendapatan yang dihasilkan dari pemberian ijin penambangan galian C tidak sebanding dengan resiko kerusakan alam yang ditimbulkannya. Sebagai kabupaten yang memiliki daerah pertanian yang cukup luas maka sektor ini menjadi perhatian Kabupaten Purbalingga dengan mengembangkan konsep agropolitan.
4.1.9 Kabupaten Kebumen
Kesehatan Kondisi daerah yang luas dan masih minim infrastruktur mengakibatkan masyarakat masih kesulitan dalam menjangkau akses-akses pelayanan kesehatan dan bahkan diperparah dengan masih tingginya biaya transportasi untuk menjangkaunya. Adanya program JPKM menunjukkan komitmen kuat pemerintah Kabupaten dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana kesehatan yang dapat mensubsidi masyarakat miskin. Kebijakan Askeskin pusat terhadap masyarakat miskin secara khusus tidak ada pendampingan program secara langsung dari pemerintah Kabupaten Kebumen, sehingga menyebabkan adanya temuan tentang ketidak tepatan sasaran serta pemerataan penerima kartu Askeskin ini. Masyarakat menilai bahwa pengelolaan rumah sakit sudah semakin baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi pengurusan Askeskin di RSUD masih dipersulit. Ketenagakerjaan Keberadaan Perda-Perda yang berkaitan dengan ketenagakerjaan memunculkan masalah di kemudian hari karena bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Seperti yang disampaikan oleh bagian hukum Pemkab
25
Kebumen Perda ini akhirnya dicabut melalui kepmendagri lewat rekomendasi Menkeu. Disisi lain pihak LSM juga menganggap bahwa lahirnya Perda Perda ketenagakerjaan di kabupaten kebumen dalam prosesnya tidak melibatkan masyarakat padahal Kebumen memiliki Perda partisipatif. Sebenarnya Kabupaten Kebumen yang merupakan daerah agraris memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan jika Pemkab tanggap dan peduli terhadap potensi itu. Kepedulian Pemkab akan dapat mendorong pekerja sektor informal seperti petani dan peladang dapat meningkatkan produksi dan terbantu dalam pemasaran produk-produk pertaniannya. Sayang sekali Pemkab Kebumen belum optimal mengembangkannya seperti masih kurangnya memfasilitasi akses modal dan pemasaran juga pengembangan teknologi sehingga ketergantungan menjadi perantau masih belum dapat terkurangi dengan baik. Dinas Tenaga kerja juga telah melakukan beberapa upaya untuk peningkatan kualitas kerja tenaga kerja yang ada salah satunya dengan membangun tempat BLK yang disertai dengan program-program yang dijalankan bagi masyarakat bahkan sebagian program gratis dan telah disosialisasikan di Ratih TV dan Informasi. Sumber Daya Alam Persoalan pengelolaan SDA di Kabupaten Kebumen yang paling menonjol adalah persoalan penambahan galian C yang memiliki potensi dapat merusak kelestarian alam dan hampir sama dengan kota/kabupaten yang lain bahwa pendapatan dari penambangan galian C ini tidak sebanding dengan potensi kerusakan alam yang ditimbulkan. Pemerintah Kabupaten juga terus melakukan sosialisasi dalam penanganan penambangan galian C ini melihat dari potensi kerusakan alam yang ditimbulkannya.
4.1.10 Kabupaten Wonosobo
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Wonosobo juga mendorong partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan melalui program JPKM. Dengan adanya program ini maka diharapkan adanya subsidi silang dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang tidak mampu. Perda UKS juga mendorong kesadaran peningkatan derajat kesehatan melalui bangku sekolah kepada anak-anak dengan harapan dapat menjadi bekal bagi penerapan pola hidup sehat dan penanganan gangguan kesehatan yang menimpa masyarakat. Namun, upaya-upaya pemkab Wonosobo masih diwarnai dengan adanya temuantemuan masyarakat yang kurang terlayani dengan baik oleh petugas pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun di RSUD. Walaupun sebagian besar masyarakat sudah memiliki persepsi yang baik terhadap pelayanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo, namun masih ditemukan masyarakat yang mengalami
26
adanya diskriminasi pelayanan antara masyarakat pengguna layanan JPKMM dengan masyarakat yang tidak menggunakannya. Begitu juga dengan pasien yang berobat tanpa menggunakan askes, mereka masih beranggapan bahwa biaya berobat mahal. Ketenagakerjaan Sebagai daerah yang berbasis pengelolaan sumber daya alam agraris dan hutan, masyarakat Wonosobo lebih banyak mengandalkan mata pencahariannya dari pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam seperti penambangan pasir dan perkebunan. Untuk mengurangi beban pengangguran Pemkab Wonosobo mendorong warganya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan. Salah satu faktor yang mendorong kebijakan ini adalah kegagalan dalam pengelolaan pertanian dan perkebunan di Wonosobo, petani menjual hasil pertaniannya yang tidak sesuai dengan harapan petani sehingga menyebabkan biaya produksi yang dialami oleh petani menjadi semakin besar. Kondisi ini berdampak pada bertambanhnya jumlah pengangguran di Wonosobo. Memprihatinkan lagi dampingan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga kerja di Wonosobo terhadap upaya petani yang mengganggur untuk menggunakan lahan konservasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya bencana alam dibiarkan. Sumber Daya Alam Masih ditemukannya praktik illegal logging di Kabupaten Wonosobo menyebabkan menurunnya jumlah lahan konservasi. Ketika masyarakat hanya menjadi penonton dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada maka masyarakat melakukan inisiatif untuk melakukan pengelolaan sumber daya hutan yang telah terlanjur gundul karena terjadinya illegal logging. Bahkan dalam beberapa hal atas nama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat masyarakat berbondong-bondong menggunakan lahan konservasi yang ada seperti dataran tinggi dieng untuk lahan pertanian kentang. Bagi petani di daerah lain di Wonosobo yang menggunakan lahan untuk perkebunan tembakau pun ternyata produksinya tidak cukup memiliki kualitas yang baik karena kalah bersaing dengan produk dari Temanggung. Pemerintah Kabupaten Wonosobo telah berbuat maskimal untuk membantu keberadaan petani tembakau ini namun tidak berdaya menghadapi mekanisme pasar yang ada. Pengelolaan sumber daya alam di Wonosobo juga terjadi dalam hal penambangan pasir karena memiliki jenis dan karakteristik yang cukup baik dan dilakukan oleh penambang pasir rakyat. Namun keberadaan penambangan pasir yang tidak terkendali juga akan menyebabkan kerusakan lingkungan di Wonosobo.
27
4.1.11 Kabupaten Cilacap Kesehatan Tiadanya program pendampingan bagi kebijakan dari pemerintah pusat yaitu program askeskin menyebabkan masih ditemukannya masyarakat yang tidak terlayani dengan baik seperti diskriminasi bagi pemegang kartu askes. Temuantemuan berkaitan dengan pelayanan yang kurang berpihak kepada masyarakat miskin terjadi karena adanya prosedur yang masih berbelit dan kurang mudah. Perbedaan standar pelayanan kesehatan yang ada di RS atau Puskesmas terjadi karena adanya perbedaan kelas atau tingkatan pelayanan yang ada. Bagi masyarakat miskin akan dapat di bebaskan dari biaya kesehatan dan menikmati pelayanan di kelas yang paling rendah fasilitasnya (Kelas III). Ketenagakerjaan Pemerintah Kabupaten Cilacap selama ini telah melaksanakan program-program yang dapat mengangkat derajat kehidupan masyarakatnya melalui programprogram yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Namun program-program tersebut lebih tepat untuk mendorong kepada tenaga kerja formal. Pemberdayaan tenaga kerja informal masih sangat kurang sekali meskipun ada dan belum menyentuh aspek substansial ketenagakerjaan. Pemberdayaan berupa pelatihanpelatihan masih kurang merata bagi potensi pencari kerja. Sebagai daerah pantai sebagaian besar profesi masyarakat di Cilacap adalah nelayan. Sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi hasil laut yang tinggi di Jawa Tengah, Cilacap tidak memiliki pelabuhan yang dapat menjadi pemasaran untuk tujuan ekspor maupun untuk kebutuhan nasional yang ada Indonesia. Potensi inilah yang pada akhirnya menyebabkan taraf kehidupan masyarakat Cilacap masih banyak yang miskin meskipun kaya akan hasil laut. Sumber Daya Alam Potensi-potensi sumber daya alam yang ada di Kabupaten Cilacap belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat karena masih tersentralisasinya pengelolaan sumber daya alam yang ada seperti yang terjadi di pulau Nusa Kambangan. Potensi itu di antaranya adalah kawasan Segara Anakan yang tergolong sebagai kawasan penghasil ikan paling banyak di Jawa Tengah. Tanpa banyak menikmati kekayaan alam yang ada di sekitar kehidupan masyarakat. masyarakat saat ini disuguhi kondisi kerusakan alam sebagaimana terdapat di kawasan hutan mangrove Segara Anakan, yang diperparah lagi dengan adanya sedimentasi kawasan ini. salah satu faktor yang mendukung kerusakan ini adalah banyaknya pencurian kayu di hutan mangrove. Ditambah lagi dengan masih digunakannya jaring Apong dalam penangkapan ikan di Kawasan Segara Anakan sehingga terjadi pemijahan berbagai jenis ikan dan berakibat berkurangnya produktifitas di Kawasan Segara Anakan.
28
4.2 Kondisi di Provinsi Lampung 4.2.1 Provinsi Lampung
Kesehatan Kewenangan provinsi di bidang kesehatan dibatasi oleh PP No. 25 Tahun 2000 dan bila dicermati kewenangan provinsi yang bersifat pelayanan sangat terbatas. Selain itu, pelaksanaan kewenangan tersebut masih menggunakan standar norma dari pusat. Desentralisasi kesehatan belum didukung oleh instrumen peraturan di tingkat daerah yang memadai. Standar norma yang paling mendasar untuk pelayanan kesehatan, yaitu Standar Pelayanan Minimal (SPM) hingga kini belum ada di Provinsi Lampung. Permasalahan mendasar pelayanan kesehatan di Provinsi Lampung adalah ketersediaan sumber daya kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) serta pemerataannya. Kondisi yang demikian ini tentunya akan menghambat akses pelayanan kepada masyarakat, apalagi bila dihadapkan pada buruknya kondisi infrastruktur. Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Paradigma pembangunan kesehatan hanya berorientasi pada upaya kuratif dan rehabilitatif yang pada akhirnya berimplikasi pada pola penyakit yang berkembang yaitu antara lain DBD, gangguan gizi, ISPA, malaria, diare, dsb. Peran pemerintah provinsi sesuai dengan sifat kewenangan yang dimilikinya lebih fokus pada upayaupaya penanggulangan penyakit yang sifatnya telah mewabah, seperti misalnya penanggulangan penyakit malaria. Provinsi Lampung merupakan daerah endemik malaria terutama di Lampung Selatan, Tanggamus, dan Tulang Bawang. Selain itu masalah angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Lampung juga masih tinggi. Ketenagakerjaan Isu ketenagakerjaan yang paling mendasar di Provinsi Lampung adalah ketersediaan lapangan kerja. Sehubungan dengan hal ini maka investasi harus lebih ditingkatkan agar dapat membuka kesempatan kerja. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, investasi yang telah ada justru hengkang dari Provinsi Lampung. Selain itu tingkat ketrampilan tenaga kerja juga rendah, sementara jumlah Balai Latihan Kerja (BLK) di Provinsi Lampung hanya 8 buah. Jumlah ini masih sangat kurang, idealnya jumlah BLK di Provinsi Lampung adalah 18 buah. Daerah Lampung merupakan sumber buruh migran, baik yang sifatnya antar daerah maupun antar negara. Peran pemerintah provinsi untuk melakukan pengawasan terhadap PJTKI belum dapat dilakukan secara maksimal. Kabupaten yang menjadi sumber buruh migran antara lain adalah Kabupaten Lampung Timur, Tanggamus, Lampung Selatan.
29
Salah satu bentuk keberpihakan terhadap buruh migran dari pemerintah Provinsi adalah alokasi dana APBD sebanyak 15 M sebagai dana talangan bagi buruh yang akan bekerja di luar negeri. Melalui dana tersebut calon buruh migran dapat mendapatkan pinjaman untuk membiayai keberangkatannya ke luar negeri dan mengembalikan dengan cara mengangsur melalui PJTKI yang mengirimnya. Namun demikian akses masyarakat terhadap keberadaan dana tersebut masih sangat kurang. Hal ini dapat ditunjukkan dari penyerapan dana tersebut yang masih rendah. Sumber Daya Alam Kedudukan Provinsi sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administratif diarahkan pada upaya memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Namun, pada praktiknya bupati/walikota tidak mau tunduk atau tidak mau datang memenuhi undangan gubernur untuk melakukan koordinasi program. Bahkan ada bupati yang membuka “front perlawanan” secara terbuka. Seringkali terjadi perseteruan antara kabupaten dengan provinsi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh perebutan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan Pemerintah Provinsi. Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan SDA sangat strategis karena berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya makro dan lintas kabupaten. Lemahnya peran pemerintah provinsi berakibat sangat fatal terhadap keberlanjutan SDA. Sebagai contohnya adalah keberadaan areal hutan dan kawasan lindung di Provinsi Lampung yang di atas kertas jumlahnya masih mencapai satu juta hektare lebih, dipastikan kini telah mengalami kerusakan cukup parah dan terancam hancur, tanpa diimbangi tindakan cepat dalam mengatasinya.
4.2.2 Kota Bandar Lampung
Kesehatan Kebijakan kesehatan belum berorientasi pada masyarakat miskin yang ditunjukkan dari alokasi APBD untuk pembiayaan kesehatan masih rendah. Kemampuan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan puskesmas masih rendah yaitu 42.5 persen. Subsidi biaya pelayanan kesehatan cukup banyak tersedia, seperti dana keluarga miskin dan dana kompensasi BBM, namun seringkali masyarakat tidak tahu bagaimana mekanisme pengurusannya. Kota Bandar Lampung belum mempunyai Standar Pelayanan Minimal (SPM), sehingga sulit sekali untuk mengukur efektifitas kinerja penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Walaupun sumber daya kesehatan di kota Bandar Lampung cukup, baik dalam arti jumlah maupun sebarannya, namun angka gizi buruk dan rawan gizi masih tinggi. Berkenaan dengan hal itu, pemerintah kota lebih meningkatkan peran pelayanan di luar puskesmas (upaya preventif dan promotif).
30
Permasalahan mendasar bagi masyarakat marjinal untuk bidang kesehatan berkaitan dengan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Sanitasi dan kesehatan lingkungan yang tidak baik berdampak pada pola penyakit yang berkembang di beberapa lokasi slum area seperti DBD, diare, dsb. Berkenaan dengan hal itu sudah semestinya isu kesehatan seharusnya menjadi mainstream dalam pembangunan kesehatan Ketenagakerjaan Permasalahan yang paling mendasar dalam bidang ketenagakerjaan adalah tingginya angka angkatan kerja dan pengangguran serta sempitnya kesempatan kerja. Selain itu tingkat kualitas pekerja yaitu berkaitan dengan keahlian dan keterampilan pekerja masih rendah. Pelayanan bidang ketenagakerjaan bagi masyarakat miskin tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja tetapi juga dinas lain. Kesemrawutan dan kegagalan Kota Bandar Lampung untuk meraih Penghargaan Adipura, mendorong pemerintah kota untuk menerbitkan program ”Ayo BersihBersih”. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah penertiban terhadap pedagang kaki lima dengan berlandaskan pada Perda No. 8 Tahun 2000. Penertiban dilakukan dengan melakukan relokasi ke wilayah yang ditunjuk yaitu Plaza Bambu Kuning lantai 3. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari para pedagang yang tergabung dalam wadah Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) karena tempat relokasi dianggap tidak strategis. PKL merasa disudutkan atau menjadi kambing hitam karena mereka dianggap sebagai penyebabnya. Sumber Daya Alam Isu Sumber daya alam yang mencuat di Kota Bandar Lampung adalah bekenaan dengan isu Pengelolaan lereng, bukit dan gunung di Kota Bandar Lampung. Dalam Perda ditentukan ada 18 lereng, bukit dan gunung yang ditetapkan sebagai catchment area. Namun, karena kebijakan kebijakan Pemda yang tidak konsisten dan tidak tegas menyebabkan sulitnya berbagai pelanggaran.
4.2.3 Kota Metro
Kesehatan Kota Metro merupakan potret contoh pengelolaan pelayanan kesehatan yang baik. Partisipasi masyarakat dan keberpihak Pemda melalui alokasi APBD terhadap kesehatan sangat baik. Ketersediaan sumber daya kesehatan dan sebarannya pun cukup baik sehingga mudah diakses baik dari segi jarak maupun biaya. Akses masyarakat miskin dalam pembiayaan kesehatan menjadi perhatian Pemda baik melalui dana subsidi yang disediakan oleh pemerintah maupun melalui JPKM. Akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
31
fasilitas dana Gakin cukup bagus. Kemampuan akses yang baik tersebut sering tidak diikuti dengan kualitas pelayanan untuk itu Dinas Kesehatan cukup tanggap dengan membentuk Tim Safe Guarding sebagai antisipasi atas keluhan dan kesulitan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Tingkat partisipasi masyarakat Kota Metro dalam penentuan kebijakan kesehatan cukup tinggi dengan daya kritis masyarakatnya juga relatif baik. Hal ini bisa tergambar dengan adanya Majelis Kesehatan Kota di Kota Metro. Selain itu, Kota Metro juga menjadi tujuan bagi masyarakat dari kabupaten lain yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Ketenagakerjaan Salah satu permasalahan yang sangat mendasar adalah Metro merupakan kota transit bagi mereka yang akan menjadi TKI. Di Kota Metro terdapat 18 PJKTKI, namun yang terdaftar di Disnaker hanya 2 buah. Kondisi yang demikian ini menyebabkan dinas tidak mampu memonitor jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri dan dengan demikian maka pemerintah kota tidak mampu memberikan perlidungan pada para TKI. Metro tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah penduduknya. Penduduk kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, Lampung Tengah dan Lampung Timur, mencari nafkah dengan berdagang dan menjual jasa. Karena itu, diperlukan adanya kerjasama dalam pelayanan dengan daerah tetangganya yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Lampung Selatan.
4.2.4 Kabupaten Lampung Timur
Kesehatan Pelayanan kesehatan kepada perempuan dan anak seharusnya menjadi prioritas Pemda, karena derajat kesehatannya yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kematian ibu dan bayi serta kasus gizi buruk dan rawan gizi. Selain itu ketersediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang tidak merata juga menjadi permasalahan tersendiri. Namun demikian, bila melihat alokasi prosentase APBD untuk kesehatan yang rendah, maka dapat dikemukakan keberpihakkan Pemda untuk bidang kesehatan rendah. Kemampuan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan baik dari segi dana maupun jarak tempuhnya masih sangat rendah. Hal ini tentunya sangat menjadi beban masyarakat miskin yang jumlahnya sangat tinggi. Ketenagakeraan Kelompok masyarakat miskin dan kelompok marjinal harus berjuang keras untuk dapat mengakses permodalan. Susahnya akses ini tentu menjadi kendala dalam
32
menciptakan usaha kecil produktif yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Kemudian, tentang perlindungan buruh migran oleh Pemda, serta penciptaan lapangan kerja bagi kelompok perempuan juga belum medapat perhatian dari pemda secara layak. Pertanian adalah sektor yang paling dominan namun pertumbuhannya relatif rendah di banding dengan sektor lain. Meskipun sektor ini menjadi program unggulan, orientasi Pemda dalam membantu petani miskin tidak maksimal. Keluhan yang sama terus terjadi pada setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana produksi tani dan stabilitas harga panen. Sumber Daya Alam Salah satu bentuk upaya Pemkab Lampung Timur untuk menjaga sumber daya alamnya (laut dan pesisir) dilakukan dengan menerbitkan Perda, namun implementasi Perda tersebut masih jauh dari harapan. Selain itu, upaya konservasi juga dilakukan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan melaui partisipasi rakyat dengan menanam minimal 5 hektar dan 200 batang dengan sistem bagi hasil. Namun hal ini sampai hari ini belum dirasakan efektifitasnya. Sedangkan, pengelolaan usaha bahan galian C yang dilandaskan pada Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD) sering tidak diikuti dengan aspek pengawasan. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan diwilayah penambangan. Bekas lokasi galian yang seharusnya ditutup kembali, menjadi danau-danau buatan yang tidak produktif.
4.2.5 Kabupaten Lampung Barat
Kesehatan Permasalahan mendasar di bidang kesehatan adalah ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber daya kesehatan. keterbatasan tersebut sangat mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan, dan lebih parahnya lagi tidak didukung oleh alokasi APBD yang cukup, yakni hanya berkisar antara 5 – 6 persen saja. Sementara itu, Perda bidang kesehatan hanya mengatur tentang retribusi atau tarif kesehatan sedangkan fungsi pelayanan menjadi terabaikan. Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan sangat rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber daya kesehatannya. Beberapa daerah terpencil bahkan tidak terdapat sarana maupun tenaga kesehatan sama sekali. Ketenagakerjaan Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan namun orientasi Pemda dalam membantu petani miskin tidak maksimal. Keluhan yang sama terus terjadi pada
33
setiap tahunnya yaitu ketersdiaan sarana produksi tani dan stabilitas harga panen. Selain itu upaya peningkatan kualitas ketenagakerjaan yang dilakukan juga tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan tidak mengarah pada bidang pertanian yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan SDA Sebagian besar wilayah Kabupaten Lampung Barat adalah wilayah TNBBS yang merupakan hutan suaka. Selain itu, juga terdapat kawasan hutan damar yang dimiliki oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Sehubungan dengan hal itu, Pemda melakukan upaya konservasi sesuai dengan kewenangan dengan membentuk Perda pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat. Melalui Perda tersebut tebuka peluang bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam.
4.2.6 Kabupaten Lampung Utara
Kesehatan Persoalan pokok yang terjadi di bidang kesehatan adalah rendahnya akses masyarakat, terutama masyarakat marjinal dan miskin dalam mengakses kesehatan baik dari segi pembiayaan kesehatan maupun dari segi jarak tempuhnya. Hal ini disebabkan karena ketesediaan dan sebaran sumber daya kesehatan yang tidak merata. Akses dana gakin juga dirasakan sangat sulit karena informasi dan panjangnya birokrasi yang harus ditempuh dan tidak dipahami dengan baik oleh mereka. Selain itu bagi masyarakat gakin dan JPK baru diurus ketika anggota keluarga ada yang sakit. Karena ada anggapan bahwa mengurus GAKIN-JPK ketika sakit. Pemda belum memiliki standar pelayanan minimum kesehatan sendiri. Artinya masih menyesuaikan dengan standar pelayanan kesehatan minimal kabupaten/kota yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI. Ketenagakerjaan Ketersediaan lapangan kerja merupakan faktor dominan yang mendorong tingginya banyaknya tenaga-tenaga kerja produktif yang mencari kerja di luar Lampung Utara. Kebanyakan mereka yang ada di desa lebih senang mencari kerja di Bandar Lampung, Jakarta, Tangerang dan daerah lain dengan bekal ketrampilan yang rendah. Namun demikian perhatian Pemda terhadap persoalan tenaga kerja melalui berbagai programnya dirasakan masih sangat kurang. Sumber Daya Alam Secara umum masalah utama masyarakat miskin adalah penguasaan lahan sebagai landasan usaha pertanian mereka yang sangat terbatas. Namun, perhatian
34
Pemda yang lebih ditekankan pada penarikan pajak dan retribusi, sementara pelayanan untuk masyarakat umumnya diabaikan dan tidak terurus. Dalam hal kerusakan hutan, pemerintah banyak menyalahkan masyarakat sebagai perambah hutan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan kebijakan yang berorentasi pada pemberdayaan dan aspiratif. Program Hutan Kemasyarakatan juga dijadikan sebagai salah satu upaya untuk melindungi hutan dari bahaya kerusakan serikali tidak aspiratif sehingga tidak efektif.
4.2.7 Kabupaten Lampung Selatan
Kesehatan Sama dengan kabupaten lain, Lampung Selatan juga menghadapi permasalahan atas ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan, serta keterbatasan sumber daya kesehatan. Selain itu Pemda juga kurang ramah dalam pembangunan bidang kesehata yang dapat dilihat dari prosentase alokasi APBD yang yang relatif rendah. Akses masyarakat miskin dan marginal terhadap pelayanan kesehatan sangat rendah baik dari segi pembiayaannya maupun dari ketersediaan sumber daya kesehatannya. Di daerah terpencil bahkan tidak terdapat tenaga kesehatannya walaupun Puskes/ Pustu telah tersedia. Respon dari instansi kesehatan yang berwenang sendiri masih condong reaktif dalam menangani kasus-kasus tersebut. Hal ini diketahui dari informasi yang terkumpul dari para orang tua anak penderita, yang menyatakan bahwa pada mulanya hampir tidak ada perhatian dari pemda Kabupaten Lampung Selatan (khususnya instansi kesehatannya) terhadap problem gizi anak-anak mereka. Ketenagakerjaan Lampung Selatan adalah basis industri, sehingga jumlah buruh di Lampung Selatan cukup tinggi. Sehubungan dengan itu aspek perlindungan lebih dikedepankan oleh Pemda melalui regulasi penentuan batas jam kerja, upah lembur, hak cuti dan jamsostek (kesehatan, hari tua dan kecelakaan). Selain itu juga dilakukan upaya pembinaan dan pelatihan yang sifatnya memberikan keterampilan praktis dan wawasan kewirausahaan, dengan sasarannya adalah kaum perempuan, penganggur dan umumnya kelompok menengah ke bawah. Terkait dengan isu perlindungan buruh migran, Disnakertrans memang memiliki concern dalam penanganan isu tersebut. Bahkan skup penanganannya cukup luas melalui program pengawasan dan penanganan antar kerja lokal, antar kerja daerah dan antar kerja negara. Antar kerja lokal dilakukan terhadap tenaga kerja dalam mobilitasnya dalam provinsi. Antar kerja daerah bersifat lintas provinsi dan antar kerja negara bersifat lintas negara.
35
Sumber Daya Alam Kabupaten Lampung Selatan memiliki beberapa potensi SDA yang sangat tinggi, diantaranya bahan galian “C”, yaitu batu andesit dan marmer. Terdapat 16 perusahaan yang mengantongi izin. Selain itu juga terdapat usaha penambangan batu split oleh masyarakat secara tradisional. Namun, pada perkembangannya usaha masyarakat tersebut terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar yang ada. Pada tataran implementasi Perda-Perda yang mengatur bidang perikanan menimbulkan pungutan ganda yang dibebankan kepada masyarakat sehingga menjadi pangkal terjadinya biaya tinggi pada sektor usaha perikanan. Berkenaan dengan hal itu asosiasi petambak mengajukan keberatan kepada pemda namun belum mendapat tanggapan.
4.2.8 Kabupaten Tulang Bawang
Kesehatan Tidak adanya Perda yang berkaitan atau mengatur tentang kesehatan bukan berarti pemda tidak menyelenggarakan pelayanan. Bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan. Selain itu, Pemda juga menghadapi permasalahan yang serupa dengan kabupaten lain yaitu keterbatasanya sumber daya kesehatan (sarana dan tenaga kesehatan). Kondisi tersebut berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi yang disebabkan oleh kemampuan akses terutama jarak dan infrasturktur yang buruk. Selain itu , kasus rawan gizi pun juga marak terjadi, namun upaya penanggulangan yang dilakukan masih bersifat kuratif dan rehabilitatif. Progam JPK-Gakin diperuntukkan bagi masyarakat miskin, menghadapi kendalanya minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat tentang tersebut. Ketenagakerjaan Dalam hal penciptaan lapangan kerja, pemerintah Kab. Tulang Bawang memiliki program pelatihan bagi angkatan kerja baru dengan memberikan pelatihan keterampilan khusus dan memberikan motivasi kepada pengusaha kecil dan menengah untuk lebih bersemangat dalam menjalankan usahanya serta memberikan pelatihan teknik dan manajemen. Untuk mendukung berjalannya program ini juga disediakan fasilitas yang diberikan biasanya berupa alat/sarana produksi yang mereka butuhkan. Akses masyarakat di bidang pekerjaan masih sangat minim. Selain itu, pembinaan terhadap PKL belum dilakukan secara maksimal. Sumber Daya Alam Kabupaten Tulang Bawang mempunyai potensi yang sangat tinggi di bidang perikanan. Namun, peran pemerintah dalam pembinaan, pengawasan dan
36
pengembangan industri perikanan pada masyarakat masih belum maksimal. Bahkan dapat dikatan, telah terjadi penurunan pertumbuhan/perkembangan di bidang tersebut. Selain itu, walaupun Kabupaten Tulang Bawang mempunyai wilayah hutan namun tidak memiliki program yang khusus dalam upaya melakukan konservasi hutan. Akses masyarakat miskin terhadap sumber daya lahan yang merupakan basis ekonomi semakin terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut sering terjadi konflik yang bersumber dari penguasaan lahan. Baik konflik antar penduduk maupun antara penduduk melawan pengusaha serta antara penduduk melawan pemerintah.
4.2.9 Kabupaten Lampung Tengah
Kesehatan Pemda Kabupaten Lampung tengah belum memiliki SPM bidang pelayanan kesehatan. Seperti kabupaten lain, Orentasi pelayanan kesehatan lebih pada upaya yang sifatnya rehabilitatif dan kuratif. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih terkendala dengan keterbatasan sumber daya kesehatan. Selain itu, aspek legitimasi izin praktek pelayanan oleh bidan dan perawat sering menjadi kendala bagi mereka sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kepastian hukum. Ketenagakerjaan Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah agro industri yang dapat dilihat dari keberadaan perusahaan besar. Sehubungan dengan hal itu aspek perlindungan kepada buruh semestinya lebih dikedepankan oleh Pemda melalui upaya fungsi pengawasan. Berkenaan dengan hal itu dibutuhkan tenaga fungsional pengawasan ketenagakerjaan. Namun demikian, jabatan sebagai tenaga fungsional tidak menarik bagi PNS yang lebih suka menduduki jabatan struktural. Kenyataan yang terjadi tenaga fungsional pengawasa banyak yang “eksodus” ke jabatan struktural yang lebih menjanjikan. Sumber Daya Alam Hampir semua Perda mengatur mengenai penarikan retribusi atas pelayanan yang diberikan. Pengelolaan potensi SDA (batu andesit dan pasir) banyak dikelola langsung oleh masyarakat yang umumnya berasal dari kelompok miskin sebagai sumber penghidupan pokok. Hal ini mereka lakukan karena kepemilikan lahan ada pada mereka. Hingga saat ini masyarakat tidak melakukan pengurusan izin dalam menjalankan aktivitas penambangan. Pemda membiarkan proses penambangan rakyat yang selama ini terjadi meski telah terdapat regulasi yang tegas. Basis ekonomi Lampung Tengah adalah pertanian sesuai dengan visinya yang akan mengembangkan agropolitan. Namun demikian, terjadi kekhawatiran dari berbagai kalangan program tersebut akan memarginalkan petani miskin.
37
Sehubungan kekhawatiran itu, salah satu program Kabupaten Lampung Tengah adalah Beguai Jejama Wawai (berbuat yang baik bersama-sama) sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. 4.2.10 Kabupaten Tanggamus Kesehatan Pemda kabupaten Tanggamus menghadapi masalah rendah derajat kesehatan yang dapat dilihat dari tingginya angka kematian ibu dan bayi, pola penyakit, dan kasus gizi buruk. Selain itu juga menghadapi keterbatasan sumber daya kesehatan. Sehubungan dengan hal itu Dinas Kesehatan dalam mengelola ketersediaan tenaga medik berupaya untuk menyeimbangkan distribusi dan rasio tenaga kesehatan dengan masyarakat. Hal itu antara lain dilakukan dengan Penempatan tenaga medik disesuaikan dengan tingkat pendidikannya masing-masing. Alokasi APBD Kabupaten Tanggamus untuk pos kesehatan masih kecil yang berkisar sekitar 8 persen dari total APBD. Ketenagakerjaan Kabupaten Tanggamus juga merupakan daerah transit bagi mereka yang akan menjadi TKI. Namun, Disnaker tidak mampu mengawasinya secara maksimal karena keterbatas tenaga fungsional dan kewenangan. Dampak dari tinggi angka buruh migran diiringi dengan meningkatnya jumlah korban traffickking Kabupaten Tanggamus. Selain itu, sebagai daerah dengan basis ekonomi pertanian, keluhan petani akan ketersediaan sarana produksi pertanian dan stabilitas harga panen terus terjadi pada setiap tahunnya. Sumber Daya Alam Orentasi pemda pealayan bidang SDA lebih ditujukan pada PAD, dengan melupakan upaya konservasi. Selaini itu juga tidak ada upaya pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan di tingkat lokal. Berbagai retribusi yang dibebankan kepada masyarakat berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam misalnya menyangkut: a) pengambilan air mineral b) pengelolaan dan pengambilan hasil hutan c) penggunaan jaring ikan dan keramba.
4.2.11 Kabupaten Way Kanan
Kesehatan Permasalahan krusial yang dihadapi oleh Pemda adalah rasio ketersediaan sumber daya kesehatan, terutama tenaga kesehatan yang belum memadai (kurang). Hal
38
ini sangat berpengaruh pada kemampuan akses masyarakat terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerah yang terpencil. Upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pedalaman pemda menyediakan puskesmas keliling dengan biaya berobat dan obat murah. Terdapat kerjasama antar dinas/ instansi lainnya dengan Disnakersos dalam pelaksanaan program Kesalamatan Kesehatan Kerja (K3) dan penyediaan perawatan gratis bagi keluarga tidak mampu. Pemda sangat ramah dalam pembangunan kesehatan yang ditunjukkan dari alokasi Anggaran untuk tahun 2005 sebesar 15 persen dari total APBD, atau sekitar Rp 19 milliar. Sasaran layanan yang terfokus pada kaum perempuan (ibu-ibu) ditujukan untuk menekan angka kematian kaum ibu akibat proses persalinan. Ketenagakerjaan Isu ketenagakerjaan di Kabupaten Way Kanan kurang dinamis, karena basis ekonomi yang paling dominan adalah pertanian tanaman keras. Namun Terdapat program Diskoperindag yang mendukung penciptaan kesempatan kerja seperti penyelenggaraan pelatihan bagi industri kecil (home industri). Contoh keterampilan pembuatan keramik, batu bata, genting dan keterampilan kerajinan rumah tangga lainnya. Program pembinaan Diskoperindag selama ini sasarannya bersifat umum, yakni terhadap pengusaha menengah, pengusaha kecil dan pengrajin (tanpa pembedaan laki-laki dan perempuan). Sumber Daya Alam Kabupaten Way Kanan mempunyai potensi SDA yang cukup tinggi, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Akses masyarakat terhadap potensi SDA masih terbatas. Sebagai contoh, bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, diantaranya partisipasi masyarakat dalam GNRHL, pendistribusian dan penanaman bibit kayu jati, sengon, durian, karet, kelapa sawit, kakao, serta pembinaan dan pemanfaatan hutan rakyat. Walaupun sumber daya hutan di Kabupaten Way Kanan cukup tinggi, namun tidak ditemukan kebijakan khusus pemda dalam melakukan upaya konservasi atas isu SDA.
5. Studi Kasus Implementasi Perda 5.1 Penertiban PKL Kota Semarang
Untuk menunjukkan implementasi Perda yang mengatur sasaran di Provinsi Jawa Tengah diangkat kasus Perda No. 11 Tahun 2000 tentang PKL, yang tergolong berhasil dilaksanakan. Meski relokasi PKL tahap awal mendapat kritikan karena lokasi relokasi tergolong sepi dan sulit terjangkau oleh akses angkutan umum serta termasuk lokasi yang rawan banjir. Pemerintah Kota tetap memiliki komitmen untuk memanfaatkan daerah tersebut yang selama ini terbengkalai untuk digunakan sebagai lahan PKL, dengan memberikan dukungan perbaikan infrastruktur menuju akses ke pasar Waru. Implementasi ini pada awalnya
39
menimbulkan konflik, tapi karena ketekunan Pemkot Semarang menjalankan secara konsisten Perda No. 11 Tahun 2000, pada akhirnya dapat berjalan lancar. Namun demikian masih menyisakan kepedihan akibat tindakan represif Satpol PP terhadap PKL.
5.2 Pengawal Pelayanan Kesehatan dan Penertiban PKL di Lampung 5.2.1 Regulasi Safeguarding dan Partisipasi Masyarakat: Mengawal pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin
Yayasan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kota Metro telah melakukan kegiatan advokasi yang intensif pada berbagai kelompok masyarakat, sehingga mendorong daya tawar masyarakat dalam Daya mengakses pelayanan Publik. Kelompok-kelompok masayarakt tersebut sangat berperan aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan Pemkot dan mampu menembus rumitnya birokrasi pelayanan. Upaya untuk membantu masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh organisasi keagamaan yaitu Muhamaddiyah dengan menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi anggotanya. Muhamaddiyah dengan berdasarkan Surat Keputusan Walikota ditunjuk sebagai badan pelaksana JPK. Sekalipun tidak ada Perda partisipatif, Kepala Dinas Kesehatan atas inisiatifnya telah membentuk beleidsregel tentang Tim safe guarding, yang bertujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini didorong oleh faktor meningkatnya partisipasi dan daya kritis masyarakat terhadap pelayanan publik. Tim tersebut mempunyai tugas membantu masyarakat dalam kepesertaan JPK Gakin, menerima keluhan masyarakat, masalah pendanaan, dan membantu permasalahan administrasi.
5.3 Perda Kota Bandar Lampung No. 8 Tahun 2000 sebagai Perda Sapu Jagad untuk menggusur PKL
Pemkot tidak memiliki Perda khusus tentang PKL sebagaimana yang terdapat di berbagai kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Dalam upaya penertiban PKL yang saat ini sangat marak digunakan Perda No. 8 Tahun 2000 tentang Pembinaan Umum, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan dan Keapikan Dalam Wilayah Kota Bandar Lampung. Bila dicermati dengan baik maka substansi ini tidak sesuai dengan kondisi sosiologis yang ada di masyarakat kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adalah Pasal 22 yang menentukan bahwa dilarang “menjual bensin/premium dan solar sepanjang jalan arteri selain pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan menjual gas di rumah-rumah tempat tinggal selain pada tempat-tempat yang ditentukan untuk itu”. Ketentuan ini tentu saja akan kontra produktif bagi masyarakat bila melihat realita yang ada di masyarakat yang menunjukkan bahwa banyak sekali orang berjualan bensin eceran. Selain itu perumusan tentang ketentuan larangan dalam
40
dalam Bab III Pasal 15 sampai dengan Pasal 24, tidak memberikan kejelasan maksud dari pasal-pasal tersebut. Perda ini menjadi pemberitaan di mass media sehubungan dengan upaya penggusuran PKL yang dianggap menjadi sumber kesemrawutan, ketidaktertiban, ketidakindahan sehingga Kota Bandar Lampung mendapat julukan 5 kota paling kotor di Indonesia. Upaya membersihkan kota dengan jargon “ayo bersihbersih” menjadikan PKL sebagai kambing hitamnya. Perda ini hanya mengatur tentang larangan dan kewajiban bagi masyarakat saja dengan melupakan fungsi pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan kata lain perda ini merupakan instrumen untuk memarginalkan kelompok yang sudah marginal seperti PKL. Padahal dari aspek asas pembentukan peraturan perundangundangan, Perda ini tidak sesuai baik dari aspek formal maupun materiel.
6. Kesimpulan Dalam era desentralisasi yang bertujuan untuk mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, tidak terdapat implementasi Perda yang berpihak kepada sasaran. oleh karena itu sangat urgent untuk dilakukan rekonstruksi muatan Perda yang terkait retribusi isu dengan memasukkan aspek pemberian pelayanan. Untuk lebih memfungsionalkan Perda yang diproduksi sangat perlu dilakukan penyusunan skala prioritas regulasi. Hal terpenting lain yang harus dibangun kembali oleh satuan daerah otonom adalah melakukan koordinasi yang sinergis dan intensif dalam pembentukan Perda karena selama berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 mekanisme ini terabaikan.
41
2. Mengefektifkan pelayanan bagi Masyarakat Miskin : Sintesis dari Sembilan Studi Kasus di Indonesia
Abstrak Kesembilan Studi Kasus MSWP (Making Services Work for the Poor) atau dalam bahasa Indonesia MPMM (Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin) yang dirangkum dalam laporan ini, mengkaji inovasi di bidang penyediaan pelayanan publik tingkat kabupaten/kota di Indonesia menyusul berlakunya desentralisasi. Sintesis ini diharapkan akan bisa bermanfaat bagi pihak donor, pemerintah Indonesia, maupun pemerintah negara lain; dalam mempelajari gagasan praktis untuk memperbaiki penyediaan pelayanan publik tingkat daerah. Kurang lebih separuh dari semua kasus dalam laporan ini menyorot inovasi-inovasi yang digagas pihak luar; sementara setengah lainnya merupakan gagasan lokal; lebih jauh lagi, semua Inovasi pada kasus-kasus MPMM terbukti telah memberikan dampak positif bagi sekitar setengah juta orang yang menjadi kelompok sasarannya . Metode yang digunakan dalam proses studi kasus adalah wawancara semi terstruktur (SSI), dan diskusi kelompok terfokus (FGD); dilakukan terhadap 600 orang di 25 desa dan kota yang menjadi lokasi peneitian, selama 80 hari antara bulan Februari dan April 2005. Kajian ini menemukan bahwa desentralisasi dan kepemimpinan merupakan faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik yang inovatif. Sebagian besar dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan perundangan nasional dan kebijakan yang mengalihkan kewenangan ke tingkat daerah. Beralihnya kewenangan terutama di bidang keuangan dan administrasi, telah memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi internal tanpa bantuan donor. Hal ini sedikit banyak membantu terciptanya kesinambungan dibidang keuangan, sejak awal. Kewenangan kabupaten yang lebih besar juga kemudian mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat umum, dan lembaga donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good governance. Namun, ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam ketika hukum dan peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut, lemah atau kurang menunjang. Ditemukan pula bahwa kendati inovasi atau pendanaannya berasal dari luar daerah, inovasi dalam penyediaan pelayanan publik lebih tergantung pada kepemimpinan daerah dibandingkan kepemimpinan luar. Gaya kepemimpinan daerah yang menekankan keterlibatan pribadi dan fleksibilitas, merupakan faktor kunci dalam mewujudkan dampak positif. Para pemimpin daerah berhasil membangun kepercayaan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran akan kekurangan penyediaan pelayanan publik. upaya untuk meningkatkan kesadaran, dilakukan
42
dengan menambah dukungan mereka dikalangan pegawai negeri daerah, juga memanfaatkan kerjasama dengan ormas dan pemberdayaan metode-metode lokal. Ditemukan pula bahwa kesinambungan pendanaan proyek yang bersumber dari luar masih tidak bisa dipastikan. Sementara, reformasi lokal yang diterapkan dengan mengalihkan beban biaya baru kepada penerima pelayanan (klien), ternyata juga mengalami kendala pendanaan. Peluang kesinambungan dana hanya terlihat pada dua kasus, dimana pada kedua kasus tersebut reformasi yang ada merupakan gagasan lokal, biayanya rendah dan pendanaannya bersifat swadana masyarakat. Dari proses penelitian, ditemukan bahwa sistem pengumpulan data pada semua kasus ternyata tidak efektif. Hal ini tentu saja menyulitkan upaya penyesuaian atau perbaikan pada periode pertengahan proyek yang seharusnya bisa memperkuat dampak positif reformasi tersebut. Kasus-kasus yang dipelajari juga membuktikan bahwa dampak reformasi akan dapat lebih dirasakan apabila inovasi penyediaan pelayanan publik diterapkan secara fleksibel. Kemudian ditemukan juga bahwa pada sebagian besar kasus, pemimpin daerah terbukti mampu menciptakan strategi-strategi baru, baik untuk meningkatkan dampak positif maupun untuk mengubah dampak negatif menjadi sebaliknya. Pada lima kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan sebagai kelompok sasaran utama, masyarakat miskin cenderung menjadi tidak diuntungkan oleh penerapan inovasi pelayanan publik. Sebaliknya, pada kasus dimana masyarakat miskin merupakan kelompok sasaran khusus, terlihat adanya dampak positif. Hasil temuan kesembilan studi kasus ini menggarisbawahi pentingnya pelaksanaan best practices di bawah ini bagi para penyedia layanan juga lembaga donor: 1. Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat kegiatan. 2. Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat. 3. Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik. 4. Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik. 5. Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik . 6. Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat dampak positif, maupun mengatasi dampak negatif. 7. Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat mendukung reformasi.
43
1. Pendahuluan Pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan publik dari tingkat pusat ke pemerintah daerah. Titik pusat inovasi pun beralih ke tingkat daerah, dimana pemerintahnya memiliki lebih banyak kewenangan untuk membuat perubahan (baik yang positif, maupun negatif). Bagi sebuah negara dengan populasi 220 juta jiwa, yang terdiri dari 440 kabupaten dan kota, peralihan wewenang ini merupakan potensi besar untuk melakukan inovasi di bidang penyediaan pelayanan publik. Proyek “Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin,” atau “Making Services Work for the Poor” (MSWP) dari Bank Dunia, diadakan untuk memberikan dukungan analitis bagi upaya Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki akses dan mutu pelayanan dasar untuk masyarakat miskin paska penerapan desentralisasi. Tujuan dari proyek ini selain untuk memberikan gambaran mengenai keadaan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di Indonesia, juga mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor kunci yang berdampak terhadap hasil terkini dari reformasi bidang pelayanan publik ditingkat daerah, dan memberikan usulan kerangka analisis juga langkah-langkah praktis untuk meningkatkan penyediaan pelayanan pro-poor. Analisis MSWP serupa dengan pendekatan “Pendorong Perubahan” atau “Drivers of Change “ (yang digunakan DFID pada beberapa tahun terakhir) yang bertujuan mengungkapkan faktor-faktor pendorong perubahan sosio-politis yang sistematis. Analisis “Pendorong Perubahan” terfokus pada pelaku, institusi dan struktur. Pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peluang, kendala dan insentif dasar yang berdampak pada perubahan pro-poor. Walaupun memiliki potensi manfaat yang besar, pendekatan ini masih belum disosialisasikan maupun digunakan secara luas. Hingga saat ini, tulisan-tulisan tentang desentralisasi di Indonesia, yang sebenarnya jumlahnya cukup banyak, ternyata belum memuat analisis mengenai bagaimana daerah menggunakan “ruang” baru yang dimungkinkan oleh desentralisasi, untuk merencanakan dan membuat perubahan dalam penyediaan pelayanan. Kesembilan kasus MSWP yang ada dalam laporan ini, dilaksanakan untuk mengisi beberapa lubang tersebut di atas. Kasus-kasus ini menggambarkan langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki penyediaan pelayanan di tingkat daerah yang telah dilakukan pada masa awal desentralisasi. Laporan ini juga memberikan penilaian mengenai dampak awal, faktor-faktor yang memacu atau membatasi dampak, serta peluang-peluang replikasinya dimasa yang akan datang. Diharapkan agar sintesis yang bertujuan menarik “benang merah” dari sembilan kasus MSWP ini, akan dapat bermanfaat bagi lembaga donor, Pemerintah Indonesia, maupun Dahl-Ostergaard, Tom et al., Lessons Learned on the Use of Power and Drivers of Change Analyses
in Development Cooperation, DFID: Sussex (September 2005).
44
Pemerintah negara lain yang berminat mempelajari gagasan praktis untuk memperbaiki pelayanan publik.
2. Rangkuman Kasus Kasus yang dijadikan obeyek studi MSWP dipilih dari berbagai kasus yang dikumpulkan oleh Bank Dunia baik yang berasal dari donor, LSM, maupun pemerintah daerah. Ada pun kriteria pemilihan meliputi: memiliki kemungkinan tinggi untuk memperbaiki penyediaan pelayanan dasar, faktor-faktor kunci keberhasilannya cenderung mudah diidentifikasi dan dianalisa, dan yang terakhir, potensi kesinambungannya tinggi. Pelaksanaan studi kasus MSWP mencakup 8 dari 32 provinsi dan daerah perkotaan Indonesia; dimana lima (5) dari provinsi yang terpilih tingkat kemiskinannya lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional atau berada di bawah 16,7% (2004), sementara ketiga kasus lainnya memiliki tingkat kemiskinan antara 20-29%, atau jauh lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional. Setengah dari inovasi tingkat daerah yang disorot di dalam laporan ini diprakarsai oleh institusi luar, termasuk Bank Dunia, UNICEF, USAID dan Departemen Pemerintah, sementara setengah lainnya digagas oleh daerah itu sendiri, termasuk oleh bupati dan LSM setempat. Mayoritas kasus inovasi didanai oleh sumber eksternal dan internal, sementara tiga (3) inovasi didanai secara penuh oleh daerah, dan satu (1) didanai sepenuhnya oleh pihak luar. Penelitian kesembilan kasus dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (SSI) dan diskusi kelompok terfokus yang diikuti sekitar 600 orang. Selain itu, hasil temuan penelitian juga memasukkan pendapat dan pandangan dari sekitar 100 orang yang didapat dari kunjungan lapangan ketiga tim peneliti; mereka melakukan studi lapangan di 25 desa dan kota selama 80 hari pada periode bulan Februari hingga April 2005.
Inovasi-inovasi dalam hampir semua kasus selain memberikan dampak positif dibidang penyediaan pelayanan publik, juga telah menjangkau setidaknya 500,000 orang.2 Tanah Datar (Kasus 1) adalah sejumlah reformasi dibidang pendidikan, yaitu pembatasan jumlah siswa per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Selama pelaksanaan programdi Kabupaten Tanah Datar, sebanyak 4 persen guru dan 10 persen kepala sekolah di kabupaten tersebut telah melakukan kunjungan belajar ke luar negeri. Program ini juga memangkas hampir setengah dari jumlah siswa perkelas di sekolah menengah atas di Tanah Datar. Motivasi para pendidik yang telah melakukan kunjungan belajar juga meningkat. Metodologi dan pelayanan pendidikan di sekolah yang lebih berkualitas juga meningkat. Namun di sisi lain, akses pendidikan menengah atas bagi sekelompok siswa menjadi berkurang, terutama siswa yang tidak terlalu berprestasi. Program ini juga memperbesar
2 Asumsi Kurs US$1 = Rp. 10,000.
45
kesenjangan antara SMU yang berkualitas dengan SMU yang kurang berkualitas. Pemalang (Kasus 2) adalah sebuah proyek kesehatan di Jawa Tengah yang menyediakan kupon perawatan kehamilan bagi perempuan hamil yang miskin. Proyek ini telah berhasil mencapai tujuannya, meningkatkan akses pelayanan bidan bagi perempuan hamil yang miskin. Selama pelaksanaan proyek tersebut, jumlah bidan di kabupaten meningkat dan jangkauan pelayanan para bidan di desa mencapai 95%. Proyek ini dihentikan ketika pemerintah daerah menggantinya dengan sistem kontrak bidan yang didanai oleh pemerintah pusat. CLCC (Kasus 3) adalah sebuah proyek pendidikan di Sulawesi Barat yang berupaya menciptakan metode belajar mengajar yang aktif dan staf sekolah yang lebih handal. CLCC (Creative Learning Communities for Children) menciptakan metode-metode pengajaran yang lebih aktif, juga meningkatkan partisipasi orang tua dan anak. Namun, program ini hanya berhasil meningkatkan akuntabilitas pengelolaan di sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya mendukung. Lebih lanjut lagi, nilai-nilai ujian di sekolah yang mengikuti proyek ini tidak meningkat jika dibandingkan dengan sekolah yang tidak ikut serta dalam proyek. Sebanyak 35 persen sekolah dasar yang ada di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat telah mereplikasi metode CLCC, baik secara formal maupun spontan; sekitar sepertiga dari jumlah tersebut mendanai penerapan CLCC di sekolahnya secara swadaya. BIGS (Kasus 4) adalah sebuah LSM lokal di Jawa Barat yang bergerak dibidang tata pemerintahan, dengan fokus utamanya transparansi APBD. BIGS (Bandung Institute of Governance Studies) telah berhasil mempublikasikan informasi seputar APBD maupun draft APBD Kota Bandung itu sendiri, melalui buku, poster dan buletin. BIGS juga telah menyelenggarakan pelatihan tentang bagaimana memahami dan menggunakan secara maksimal informasi anggaran; pelatihan ini diikuti kurang lebih 100 orang, termasuk wartawan, politisi dan lainnya. Program-program BIGS juga telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya transparansi anggaran. Salah satu dampak nyata dari programnya, BIGS telah berhasil membantu DPRD memperkuat fungsi pengawasannya terhadap lembaga eksekutif. Keberhasilan pemberdayaan DPRD berujung pada penghapusan sejumlah mata anggaran yang dinilai tidak jelas atau rentan terhadap penyalahgunaan; kemudian juga pengajuan dakwaan korupsi terhadap anggota DPRD yang menjabat pada masa bakti sebelumnya. Walaupun kegiatan BIGS masih belum bisa menghasilkan anggaran kota yang lebih pro-masyarakat miskin, sejumlah LSM di beberapa kota lain sudah mulai menerapkan program dan metode BIGS. WSLIC-2 (Kasus 5) adalah sebuah proyek pengadaan air bersih dan kesehatan di Jawa Timur, yang sangat menekankan partisipasi masyarakat pada tiap tahap proyeknya. WSLIC-2
46
(Second Water and Sanitation for Low-Income Communities Project) telah berhasil meningkatkan akses air bersih bagi warga di dua puluh empat desa (lebih dari separuh jumlah desa yang ditargetkan, dan saat ini, antara 85-100% warga di dusun yang dikunjungi sudah memiliki akses ke sarana air bersih. Hasil yang sudah terlihat adalah meningkatnnya kualitas hidup warga di sejumlah besar desa, serta rasa kepemilikan terhadap sarana air bersih. Jembrana (Kasus 6) adalah sebuah skema jaminan kabupaten di Bali. Skema ini telah berhasil memperluas akses pelayanan kesehatan masyarakat miskin, karena mencakup penyedia pelayanan swasta maupun pemerintah. Persentase orang sakit yang berobat naik dari 29% ke 80% pada tahun pertama pelaksanaan proyek ini. Jumlah bidan di kabupaten yang dikunjungi juga telah bertambah, disertai juga dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan tingkat kepuasan pengguna layanan. Namun demikian, karena sistem rujukan dokter diperketat, masyarakat miskin tidak lagi dapat menerima pelayanan kesehatan primer dari bidan dan petugas medis yang selama ini merupakan sumber pelayanan kesehatan utama bagi masyarakat miskin dipedesaan. Blitar (Kasus 7) adalah proyek pemerintah di Jawa Timur yang menyediakan dana block grant bagi proposal yang diajukan oleh kecamatan. Masyarakat kota Blitar sangat terlibat dalam proses pemilihan proyek senilai Rp. 3,6 – 6,1 milyar (US$360,000610,000) yang berasal dari dana APBD; dalam pelaksanaan proyek ini masyarakat memberikan kontribusi bak berupa uang maupun in-kind. Hasil temuan ternyata mengungkapkan bahwa proyek ini tidak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat miskin, selain adanya anggaran khusus untuk perbaikan rumah kumuh. Maros (Kasus 8) adalah proyek dibidang pemerintahan di Sulawesi Selatan, yang terfokus pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan program dan anggaran pembangunan. Dalam proyek Maros, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan telah dilakukan di 19 persen desa yang ada di kabupaten tersebut. Hasil proyek ini dinilai tidak sepenuhnya baik: banyak orang terlibat dalam perencanaan, namun banyak juga yang tidak mengetahui keberadaan proyek tersebut atau merasa pesimitis terhadap proyek tersebut. Partisipasi perempuan juga sangat terbatas dan dampak perencanaan desa terhadap perencanaan kabupaten tidak diketahui secara jelas. Penambahan anggaran kabupaten berdasarkan usulan proyek desa pada tahun 2004 didorong oleh upaya advokasi LSM setempat yang bernama Forum Warga. Penyandang dana dari luar, USAID, telah menghentikan keterlibatannya sesuai jadwal (yang telah ditentukan sebelumnya).
47
Boalemo (Kasus 9) adalah langkah-langkah reformasi pemerintahan di Gorontalo yang terfokus pada peningkatan kinerja dan akuntabilitas PNS. Dalam proyek tersebut, gaji pegawai negeri dinaikkan 80%, namun perbaikan kinerja pegawai negeri hanya terlihat pada membaiknya tingkat kehadiran (absensi). Penerapan sistem denda untuk memperbaiki kinerja juga terbukti tidak efektif karena tidak ada denda bagi pelanggaran pegawai pemda yang terkait dengan bidang pelayanan publik. Dihapuskannya tunjangan-tunjangan tertentu mengakibatkan timbulnya masalah finansial bagi sejumlah pegawai. Namun demikian, proyek ini menghasilkan transparansi dalam tender proyek skala kecil. Proyek ini juga telah meningkatkan peluang masyarakat yang tinggal di sekitar ibukota kabupaten untuk menyampaikan keluhan mengenai pelayanan pemerintah yang kurang baik. Hambatan dalam pelaksanaan studi kasus. Beberapa faktor membatasi kemampuan tim peneliti dalam menganalisis data lapangan. Studi kasus pengontrol tidak dilakukan dan ukuran sampel terlalu kecil. Data yang ditersedia pun kurang atau tidak memadai. Tim peneliti juga tidak memiliki standar pertanyaan penelitian. Secara khusus, dapat dikatakan bahwa fokus penelitian di bidang kemiskinan dan keuangan tidak seimbang. Studi kasus dilakukan secara paralel padahal komposisi dan keahlian anggota tim peneliti berbeda. Hal-hal ini merupakan faktor utama yang menyebabkan tercapainya hasil yang tidak seimbang. Namun, sejumlah besar upaya telah dilakukan setelah penelitian lapangan untuk melengkapi data yang kurang, juga untuk melakukan standarisasi hasil penelitian.
48
3. Desentralisasi dan Kepemimpinan merupakan Faktor Kunci Kesuksesan Sejumlah Sistem Penyediaan Pelayanan yang Inovatif Sebagian besar reformasi-reformasi yang termasuk kedalam studi kasus tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya desentralisasi dari tingkat pusat yang mengalihkan sejumlah kewenangan pemerintah pusat ke tingkat daerah. Krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998, termasuk lengsernya Presiden Soeharto, menyebabkan keluarnya UU. No. 22/1999 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. UU tersebut meletakkan dasar-dasar bagi program desentralisasi administratif, keuangan dan politik. Pada tahun 2001, serangkaian kebijakan dan perundangan nasional diberlakukan sehingga desentralisasi menjadi suatu realitas. Kendati banyak keberhasilan yang telah dicapai, tidak konsistennya dukungan Pemerintah Pusat terhadap desentralisasi telah merusak reformasi-reformasi yang digagas pemerintah daerah dan dirintis lembaga donor. “Resentralisasi” jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin pada tahun 2004 telah menggagalkan upaya reformasi pemerintah Jembrana untuk menjamin warganya secara langsung. Sementara itu, keputusan mendadak pemerintah pusat untuk meresentralisasi perekrutan pegawai negeri daerah telah mengakibatkan sentimen apatis terhadap reformasi dinas sipil di Boalemo. Kemudian, sebagai contoh terakhir, meskipun program kupon bidan dari bank Dunia di Pemalang (yang meningkatkan akuntabilitas bidan dan memperluas akses pelayanan bagi masyarakat miskin) telah membuahkan dampak yang positif, program tersebut dibatalkan dan digantikan oleh program penyediaan bidan yang dibiayai oleh pemerintah pusat. Kewenangan baru pemerintah daerah di bidang keuangan dan administrasi telah memberikan kekuatan bagi sejumlah pemimpin daerah untuk mendanai reformasi yang dirintis sendiri tanpa bantuan donor dari luar. Hal ini turut membantu terciptanya kesinambungan dana sejak awal proyek. Paska desentralisasi, daerah menjadi penerima dana dari Pemerintah Pusat yang jumlahnya cukup signifikan (sekitar 80-90% anggaran daerah) dan pemimpin daerah dapat mengalokasikan dana tersebut secara bebas sesuai kebutuhan daerah. Bupati Tanah Datar menggunakan kesempatan ini untuk merasionalisasi jumlah institusi kabupaten dari 22 menjadi 8, sehingga menghemat Rp. 10 milyar dana APBD yang kemudian dialihkan ke sektor pendidikan melalui kebijakan pembatasan jumlah siswa per kelas dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan. Untuk membiayai program jaminan kesehatannya, Bupati Jembrana menggunakan dana ASKES dari pemerintah pusat dan tabungan kabupaten sebanyak Rp. 2-3 milyar yang berasal dari efisiensi puskesmas, restrukturisasi pemerintah kabupaten dan mengurangi jumlah pegawai dinas kesehatan kabupaten. Di Blitar, pemimpin daerah memperoleh pendapatan lebih sebesar 20% dari anggaran sepanjang 20022004 melalui reformasi birokrasi, yang kemudian digunakan untuk mendanai
49
dirintis oleh daerah dapat dilaksanakan tanpa adanya pengalihan kewenangan bidang keuangan dan administratif yang dimungkinkan oleh desentralisasi. Perpanjangan desentralisasi hingga tingkat kecamatan dan desa memungkinkan reformasi disesuaikan dengan kondisi setempat melalui gagasan dan kelompok baru serta partisipasi warga yang lebih tinggi. Pada kasus CLCC, kebijakan Manajemen berbasis Sekolah dan Kurikulum berbasis Kompetensi (School-Based Management and Competency-Based Curriculum Policies) memungkinkan staf pengajar untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan setempat juga untuk merancang, mengembangkan dan mengelola penyediaan pelayanan. Para guru mulai menghasilkan banyak ide yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan pengawas sekolah menyusun rencana di mana para kepala sekolah dan guru dapat saling mengevaluasi masing-masing sekolah melalui mekanisme pertemuan kelompok kerja kepala sekolah. Kebijakan nasional mengenai pengelolaan air bersih berbasis masyarakat memungkinkan adanya pengelolaan sarana air bersih oleh warga desa di bawah naungan proyek WSLIC-2. Warga desa dapat menentukan sendiri jumlah dan lokasi tangki air yang harus dibangun, untuk menjamin jangkauan dan akses. Sementara itu, Tim Kerja Proyek dan Unit Pengelola Sarana yang dipilih secara langsung, menjamin keterlibatan warga desa dalam pelaksanaan proyek. Pada banyak kasus, kelompok baru yang dibentuk terbukti sangat penting dan bahkan sangat menentukan dampak positif dari reformasi yang terjadi. Contohnya, BIGS yang didirikan oleh seorang individu dengan semangat dan idealisme tinggi, pada saat ruang gerak politik terbuka lebar sehingga individu tersebut dapat “membuat perubahan” terhadap kualitas pemerintahan yang rendah di kota Bandung. Dimana LSM daerah seperti BIGS sudah pasti akan mendapat masalah politik yang besar pada sebelum desentralisasi.
50
Keterlibatan masyarakat merupakan faktor utama dalam WSLIC-2, selain membantu terciptanya kesinambungan sarana air bersih, juga memberdayakan sejumlah kelompok masyarakat, selain itu proyek ini juga telah membantu masyarakat memperbaiki aspek kehidupannya yang lain. Proyek Maros mengutamakan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan – termasuk kehadiran warga dalam proses musrenbang dimana warga wajib menyampaikan pendapatnya. Di Boalemo, warga yang tinggal dekat ibukota kabupaten memiliki lebih banyak peluang untuk menyampaikan keluhan, dan ternyata memang menjadi lebih sering melakukan hal tersebut. Bahkan, salah satu laporan masyarakat mengakibatkan pemecatan seorang pejabat yang terbukti korup. Kewenangan daerah yang besar mendorong politisi daerah, warga dan lembaga donor untuk menjadi lebih memperhatikan isu Good Governance. Keterbukaan baru memberikan keberanian bagi BIGS untuk mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD kota Bandung. Bupati Blitar melihat program CBG sebagai peluang bagi pemerintah daerah untuk memberdayakan kewenangan barunya dan memungkinkan para pegawai untuk mengembangkan kapasitas organisasi dan administratif. Di Maros, adanya keterbukaan sejak awal mengakibatkan perubahan hubungan tradisional hierarkis antara pemerintah dan masyarakat. Dampak reformasi terancam oleh peraturan dan ketentuan daerah yang lemah atau kurang efektif. Tanpa adanya dokumen resmi m e n g e n a i kebijakan inovatif bidang pendidikan di Tanah Datar, tenaga pendidik cenderung meremehkan kebijakan tersebut, apalagi sosialisasi tidak dilakukan secara efektif. Di Maros, sebuah Perda mengenai perencanaan yang partisipatif disahkan pada 2003, namun tidak adanya petunjuk pelaksanaan
51
mengakibatkan kerancuan peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan, memantau dan membiayai reformasi tersebut. Di Boalemo, Perda No. 6/2004 tentang Transparansi Pelayanan Publik dalam Pemerintahan dengan peraturan progresif dan jelas disahkan pada tahun 2004, namun petunjuk pelaksaan belum dikeluarkan hingga bulan Maret 2006. Di Jembrana dan Blitar, para peserta proyek kesehatan dan CBG khawatir bahwa dasar hukum kebijakan (pada kedua kasus, dasar hukumnya hanya SK Bupati, bukan Perda) dapat dianulir oleh Bupati baru yang menggantikan. Di sisi lain, pada kasus dimana keberadaan peraturan daerah mendukung perubahan penyediaan pelayanan, dampak yang dihasilkan menjadi lebih baik. Pada kasus WSLIC-2, peraturan penggunaan air telah menurunkan potensi konflik, meningkatkan kepemilikan dan meningkatkan peluang kesinambungan. Di Blitar, sebuah peraturan daerah memberdayakan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) untuk mengambil alih kewenangan dan bertanggung jawab terhadap penggunaan dana block grant. Di Pemalang, peraturan penggunaan kupon (dan bukan uang) yang dapat digunakan perempuan hamil yang miskin untuk membayar bidan telah memberi insentif lebih bagi para bidan untuk melayani masyarakat miskin. Pelaksanaan inovasi tetap lebih bergantung pada pemimpin lokal daripada pemimpin luar, terlepas dari apakah pendanaan atau gagasan inovasi berasal dari pihak luar atau bukan. Bupati dan tokoh reformis pemerintah daerah lainnya bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi reformasi pendidikan Tanah Datar, skema jaminan kesehatan Jembrana, Program Block Grant masyarakat Blitar, dan reformasi dinas sipil di Boalemo. BIGS didirikan oleh
52
seorang warga yang bisa dibilang merupakan tulang punggung dan penanggung jawab dari semua kegiatan BIGS di bidang transparansi anggaran. Sementara CLCC dan WSLIC-2 lebih bergantung kepada jenis pemimpin yang lain, misalnya kepala desa dan kepala sekolah. Dari kedua kasus dimana kepemimpinan luar berperan besar dalam pelaksanaan reformasi, proyek kupon pelayanan bidan di Pemalang telah dihentikan dan keberhasilan reformasi di Maros ternyata sangat terbatas. Maros mempunyai kelompok pendukung reformasi yaitu LSM Forum Warga, namun dalam kepemimpinan LSM tersebut masih belum bisa menghilangkan “jarak sosial” dengan masyarakat sebagai klien. Sistem Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat, memungkinkan kelompok pencetus reformasi yang mempunyai semangat tinggi untuk dapat menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan. Pada empat kasus, yaitu Tanah Datar, Jembrana, Blitar dan Boalemo, bupatilah yang menjadi tokoh pencetus reformasi. Para bupati ini juga merupakan pejabat kabupaten yang dipilih secara langsung, dan mempunyai reputasi sebagai pemimpin yang mengedepankan kepentingan publik: program-program yang dipromosikan tidak hanya menguntungkan secara pribadi tetapi sebagian besar kasus, para bupati tersebut rela untuk menanggung risiko politis dengan melakukan perampingan institusi pemda demi membiayai reformasi yang digagasnya. Lebih jauh lagi, tidak satu pun dari para bupati tersebut memiliki latar belakang dibidang politik – Bupati Jembrana adalah seorang dokter, Walikota Blitar adalah mantan dosen administrasi publik, dan Bupati Tanah Datar adalah seorang pengusaha yang kembali ke kampung asalnya dengan harapan untuk dapat membawa perubahan bagi masyarakatnya. Gaya kepemimpinan para pemimpin daerah, yang lebih menekankan keterlibatan pribadi dan fleksibilitas merupakan faktor kunci terciptanya dampak positif. Bupati kabupaten Tanah Datar memperkenalkan perubahan secara fleksibel, alih-alih mendorong perubahan melalui mekanisme legislasi yang beliau khawatirkan tidak akan efektif. Pemimpin BIGS menggunakan pendekatan trial and error untuk menentukan metode atau mekanisme mana yang dapat diterapkan. Kepemimpinan Bupati Jembrana menciptakan perubahan dengan memperjuangkan reformasi secara aktif, berbicara kepada publik, menggalang dukungan di DPRD, dan terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walikota Blitar pernah mengatakan bahwa “inti dari Program community block grant adalah pembelajaran sosial, bukan kesempurnaan; masyarakat masih boleh melakukan kesalahan untuk kemudian mengambil pelajaran agar bisa bangkit dan memperbaiki diri.” Sedangkan pelaksanaan reformasi di Boalemo terbantu oleh antusiasme Bupati dalam membuka rumahnya dimana masyarakat bisa bertemu langsung dengan beliau dan kesediaannya untuk menerima masukan mereka. Sebagai catatan, beliau adalah pegawai negeri pertama yang tunjangan perjalanan dinasnya dipotong setelah adanya reformasi insentif (yang beliau rintis sendiri).
53
Besarnya dampak yang dialami sekolah CLCC juga tergantung kepada kepemimpinan kepala sekolahnya. Kepala sekolah yang terbuka dan memiliki semangat partisipatif tinggi, akan lebih berhasil dibanding yang otoriter. Banyak pemimpin dengan reputasi sebagai individu yang dapat dipercaya. Bupati Boalemo membongkar pagar rumahnya dan mengundang warga untuk acara morning coffee setiap pagi. Selain itu, beliau memublikasikan nomor telepon genggam miliknya dan milik sekretarisnya agar warga dapat menghubungi secara langsung untuk melaporkan kinerja pegawai negeri. Bupati juga mengharuskan setiap pejabat tinggi untuk menempel informasi jumlah gaji di pintu kantornya masing-masing! Pemimpin BIGS terkenal karena selalu menolak sistem “komisi” yang biasanya diterdapat pada proyek Pemda. Unit Pengelola Sarana WSLIC-2 berhasil menggalang kepercayaan karena anggota organisasi adalah warga desa itu sendiri dan dalam waktu singkat berhasil menunjukkan keahlian teknisnya. Ironisnya, peran penting pemimpin daerah justru membuat upaya yang telah dirintisnya menjadi rentan. Bupati Tanah Datar kalah dalam pemilihan berikutnya, dan pemimpin BIGS berjanji untuk mengundurkan diri pada akhir tahun 2005 (meskipun hal tersebut belum terealisir hingga bulan Mei 2006). Pada kedua kasus, tidak ada jaminan apakah penggantinya akan mempunyai komitmen atau efektifitas yang sama kuatnya untuk mendorong reformasi. Bupati Boalemo merupakan tokoh inti dalam upaya reformasinya: saluran warga untuk menyampaikan keluhan adalah rumahnya sendiri. Warga yang tinggal terlalu jauh atau yang tidak mengetahui kesibukannya dirugikan oleh kondisi tersebut. Reformasi lain di Boalemo juga sangat tergantung dimana Bupati berada: tingkat kehadiran petugas puskesmas dekat rumahnya memang meningkat, namun di puskesmas yang jaraknya satu jam dari rumah Bupati tidak demikian kondisinya. Apakah reformasi yang sepenuhnya bersifat lokal memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dibanding reformasi yang, baik pencetus maupun penyandang dana, berasal dari luar? Kasus reformasi yang digagas dan didanai secara lokal – Tanah Datar dan Blitar – relatif cukup sukses. Tanah Datar berhasil meningkatkan motivasi dan kinerja para pendidik dan meningkatkan pelayanan di beberapa sekolah. Sementara di Blitar, reformasi meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan proses seleksi proyek pembangunan. Sedangkan proyek yang digagas dan didanai pihak luar, seperti WSLIC-2, Pemalang, CLCC dan Maros, seringkali dirancang di Jakarta dan diterapkan pada tingkat kabupaten sebagai proyek utuh tanpa basis dukungan institusi setempat. Hal ini kadang membatasi terwujudnya dampak positif.
54
4. Ketidakpastian Kelanjutan Pendanaan bagi Sejumlah Reformasi Kesinambungan pendanaan program-program yang didanai pihak luar tidak dapat dipastikan. Sebagai contoh, kesinambungan pendanaan reformasi di Maros tidak dapat dipastikan setelah kepergian USAID sebagai penyandang dana utama, meskipun biaya proyek relatif murah (dibutuhkan kira-kira hanya dibutuhkan sekitar 5 % dari APBD, untuk menjangkau sisa wilayah pelaksanaan program). Dana untuk mempertahankan CLCC setelah berakhirnya dukungan UNICEF juga tidak dapat dijamin. Kabupaten yang menerapkan CLCC berupaya untuk memakai sistem tersebut di 70 sekolah baru dan 30 sekolah lainnya telah mengadopsi sistem tersebut dan akan membiayai versinya sendiri. Namun demikian, di sekolah yang mempunyai dana minim atau yang mempunyai kepala sekolah yang kurang termotivasi, “replikasi spontan” sistem CLCC diperkirakan tidak akan berhasil. Sejumlah reformasi lokal yang diterapkan dengan mengalihkan biaya baru kepada klien juga menghadapi kendala keuangan. Pengeluaran di Jembrana naik sebesar 2,5 kali dari 2003 hingga 2004. Hal ini disebabkan oleh dimasukannya warga non-miskin dalam skema jaminan. Sementara, pendapatan asli daerah turun sebesar 12%. Karena ketergantungan skema terhadap pendanaan kabupaten, bupati terpaksa mengalihkan biaya kepada pemakai melalui proses pembaruan kartu kesehatan yang harus dilakukan setiap tahun. Tindakan ini selain tidak akan efektif untuk menutupi kekurangan dana, juga berakibat pada semakin tidak tercakupnya masyarakat miskin, yang justru merupakan target utama reformasi tersebut. Biaya reformasi pendidikan di Tanah Datar relatif rendah (sekitar 1,5% dari total APBD, penghematan dilakukan setelah restrukturisasi pemda) namun kabupaten tetap harus membiayai senagian besar biaya kunjungan belajar ke luar negeri bagi para praktisi pendidikan untuk dua tahun pertama. Sekolah yang ingin tetap mengirim tenaga pendidiknya ke luar
55
negeri (Malaysia, Singapura dan Australia) harus membayar setengah dari biaya yang dibutuhkan, yang mana biaya tersebut kemungkinan akan dialihkan ke kepala sekolah, guru dan Komite Sekolah. Kelanjutan pendanaan lebih terjamin pada dua kasus, dimana reformasi digagas secara lokal, biayanya relatif murah dan didanai oleh daerah itu sendiri. Program community block grant Blitar biayanya tidak mencapai 2% dari total APBD setiap tahun, sementara itu reformasi birokrasi telah meningkatkan pendapatan pemkot sebesar 20% antara tahun 2002 dan 2004. Masyarakat telah memberikan kontribusi antara 13% dan 22% dari anggaran tahunan dalam bentuk tunai, dan kontribusi in-kind sebesar 5% hingga 10%. Singkatnya, biaya pelaksanaan program tersebut relatif murah, sumber pendanaan meningkat dan kontribusi masyarakatpun cukup signifikan. Reformasi Boalemo, walau hasilnya tidak terlalu sukses, biayanya tidak terlalu tinggi dan dana bersumber dari realokasi dana salah satu departemen. Namun demikian, realokasi tunjangan dinas telah membebani pegawai pemda karena diputuskan bahwa beberapa biaya dinas resmi dihapuskan.
5. Kurangnya Diseminasi Informasi menjadi Penghambat Upaya Membangun Kepercayaan Masyarakat Pemimpin membangun kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kekurangan pemberian pelayanan. Di Tanah Datar, Blitar dan Jembrana, pemimpin reformis menyuarakan himbauan tentang kebutuhan akan reformasi dan pentingnya hal tersebut. Para bupati menyampaikan pesan ini berulang-kali, dan berhasil untuk meletakkan reformasi sebagai salah satu agenda politik teratas. Pada saat yang sama, mereka meningkatkan kesadaran warga akan kelemahan pelayanan yang ada. Pemimpin membangun kepercayaan dengan menggalang dukungan untuk mereformasi pegawai negeri. Bupati Jembrana menunjuk para pendukungnya untuk memimpin puskemaspuskesmas setempat dan melibatkan DPRD secara aktif. Walikota Blitar mengangkat birokrat muda yang berprestasi untuk menduduki posisi-posisi pemerintahan yang strategis, dan melibatkan pemimpin di setiap tingkat dalam proses proyek yang dilakukan. Di Boalemo, dimana lingkungan reformasi terasa sulit, Bupati setempat telah berupaya untuk menggalang dukungan di antara pegawai negeri untuk mengimbangi para birokrat yang resisten. Pemimpin membangun kepercayaan melalui kerjasama dengan organisasi lokal dan dengan memanfaatkan proses lokal. Walikota Blitar menggunakan proses perencanaan lokal (Musrenbang) sebagai acuan Program Community Block Grant, dan meningkatkan partisipasi warga. Meskipun sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan, Bupati Pemalang akhirnya menempatkan puskesmas kecamatan sebagai bagian inti dari proyek kupon pelayanan bidan. CLCC bekerja melalui
56
Kelompok Kerja Guru dan Kepala Sekolah, serta Komite Sekolah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan. Proses persiapan yang lama memungkinkan tumbuhnya kepercayaan. CLCC berhasil membantu meningkatkan kesadaran akan kebutuhan reformasi dengan mewajibkan sekolah proyeknya untuk mengirimkan tenaga pendidiknya mengikuti sesi pelatihan dan lokakarya. Selama 4 tahun BIGS menjajal berbagai pendekatan untuk memperbaiki penyediaan pelayanan publik sebelum akhirnya menetapkan satu pendekatan; dan di saat yang sama BIGS membangun reputasi sebagai suatu organisasi jujur dan teladan. Program Community Block Grant Blitar dikembangkan selama bertahun- tahun. Proyek ini dimulai dengan proses “penjaringan aspirasi masyarakat” (jaring asmara) yang membantu pemerintah daerah mengetahui serta memahami keinginan dan kebutuhan warga. Bukti anekdot menunjukkan adanya proses penerimaan dari pihak penyedia pelayanan. Guru dan kepala sekolah yang kembali dari kunjungan belajar ke luar negeri menjadi yakin bahwa tujuan bupati mereformasi bidang pendidikan merupakan tindakan yang benar, dan mereka juga mempromosikan inovasi lainnya (yang didanai sekolah) seperti pengadaan kunjungan belajar bagi guru matematika. Keberhasilan reformasi di Blitar telah mengurangi resistensi dari pihak pemerintah sendiri, dan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menanggapi kebutuhan warga.
57
Motivasi bidan di Pemalang untuk melayani masyarakat miskin meningkat dengan keikutsertaan mereka dalam program kupon, namun jumlah gaji yang lebih rendah daripada bidan non-proyek sedikit banyak mengurangi motivasi para bidan. Bukti anekdot menunjukkan adanya penerimaan dari pihak pengguna jasa. Manfaat yang jelas bagi pengguna jasa (klien) biasanya terlihat dari makin besarnya penerimaan pihak klien. Kepercayaan para ibu di Pemalang terhadap bidan yang terhimpun dalam proyek kupon meningkat berdasarkan pernyataan dari teman-teman dan tetangga-tetangganya bahwa pemanfaatan jasa bidan dapat “mengurangi rasa sakit dan waktu yang dihabiskan dalam proses melahirkan.” Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat, pemakaian pelayanan bidan juga bertambah. Di pertemuan desa di Blitar, “orang berdesakan sampai keluar pintu dan banyak yang duduk di luar.” Hal ini mencerminkan kepercayaan warga bahwa kehadiran mereka akan dapat membawa perubahan. Orangtua di Tanah Datar secara swadaya menggalang dana untuk kunjungan belajar para guru di luar negeri setelah adanya penghentian dana Pemkab. Meskipun hasil ujian CLCC tidak membaik, namun metode pengajaran baru disambut positif oleh murid dan orangtua, hal ini dibuktikan oleh penerapan CLCC secara spontan oleh berbagai sekolah. Sarana air bersih di Lumajang berdampak baik kepada desa-desa yang terhimpun dalam proyek, hal ini tercermin dari kesediaan warga untuk membayar biaya pemeliharaan secara reguler. Di Jembrana, tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan telah meningkat. Ketika diminta pendapatnya terhadap kemungkinan dibatalkannya skema jaminan, salah satu kelompok perempuan menjawab secara serentak, “Jangan, jangan dihentikan.” Para klien di Maros, sebaliknya, tidak melihat manfaat apapun dari proyek yang dilaksanakan dan mengganggap pertemuan perencanaan sebagai hal “sama saja dengan yang lama” dan merasa “tidak mempunyai harapan, dan merasa pesimis” tentang prospek perubahan. Tidak heran jika antusiasme mereka untuk menghadiri pertemuan, sangat rendah, dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai proyek, terbatas .
58
Sosialisasi yang kurang mengurangi dampak reformasi. Di Jembrana, sedikit sekali informasi tertulis mengenai program yang dibagikan kepada warga. Hal ini mengakibatkan penyebaran informasi hanya dari “mulut ke mulut atau melalui pertemuan ad hoc dengan para pemimpin desa atau tenaga kesehatan. Beberapa warga miskin juga tidak sadar bahwa mereka berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sekunder dan tersier, sehingga kelompok tersebut tidak sepenuhnya dapat menggunakan pelayanan ini. Di Blitar, terdapat banyak masalah dengan transparansi pengeluaran dana block grant; walaupun sebagian besar warga merasa puas dengan program tersebut, hanya sedikit warga yang memiliki akses informasi dana proyek. Di Boalemo tidak jelas apakah warga setempat mengetahui tentang reformasi birokrasi yang terjadi pada saat itu. Di Maros, perda baru tentang perencanaan yang partisipatif mempunyai dampak terbatas karena warga tidak sepenuhnya memahami baik perda tersebut maupun ketentuan mengenai partisipasi dalam perencanaan daerah. Kebijakan “Penguatan Insentif” di Tanah Datar untuk mengirim guru dan kepala sekolah ke luar negeri tidak disebarluaskan, hal ini merugikan transparansi dan membatasi dampak positif. Di Pemalang, bidan yang kewalahan sering tidak dapat memenuhi perannya untuk menyosialisasikan sistem kupon sehingga perempuan miskin yang seharusnya dapat menggunakan jasanya tidak mengetahui tentang adanya sistem kupon . Sebaliknya, program CLCC bisa menjangkau orangtua miskin karena banyak jalur digunakan untuk menyebarluaskan informasi, baik cara formal seperti pertemuan Komite Sekolah maupun cara informal seperti program radio dan pembicaraan murid dengan orangtuanya. BIGS, yang misi utamanya adalah diseminasi informasi, menggunakan berbagai jalur, seperti melalui lokakarya, buku, poster, jurnal, pers dan acara radio.
6. Fleksibilitas Pelaksanaan Kegiatan-Kegiatan Reformasi Akan Memperkuat Dampak Kegiatan Tersebut Pada sebagian besar kasus, strategistrategi baru dikembangkan untuk meningkatkan dampak positif atau membalikkan dampak negatif. Kebijakan Pembatasan jumlah murid per kelas di Tanah Datar berdampak pada berkurangnya akses pendidikan bagi beberapa murid, karena tidak disertai dengan penambahan jumlah kelas. Untuk menanggapi hal tersebut, pemkab mendirikan tiga sekolah baru antara tahun 2003-2005. Sistem “report card”
59
oleh BIGS tidak ditanggapi oleh penyedia pelayanan. Fleksibilitas BIGS dalam menjalankan misinya, memperbaiki pemerintahan, dicerminkan dari penjajalan yang dilakukan BIGS terhadap berbagai pendekatan sebelum akhirnya menetapkan transparansi anggaran sebagai fokus utamanya. BIGS mendapatkan sorotan positif ketika organisasi tersebut tidak hanya menyebarluaskan informasi mengenai distorsi APBD tahun 2002, lebih jauh lagi, mereka melaporkan kasus korupsi ditubuh DPRD. Pejabat-pejabat di Pemalang bertekad untuk mempertahankan akses perempuan hamil miskin dalam program bidan setelah masa proyek berakhir dan memutuskan untuk melanjutkan skema kupon pada tahun berikutnya. Di Lumajang, terdapat kendala bahasa dalam komunikasi antara fasilitator dengan warga desa. Untuk menyikapi masalah ini, seorang fasilitator yang fasih dalam bahasa Madura direkrut. Revisi tahunan protap Program CBG Blitar memungkinkan adanya banyak perubahan dalam pelaksanaan, termasuk pembentukan Tim Pengawas Independen dan membatasi jumlah dana yang dipakai dalam proyek infrastruktur non-produktif. Di Jembrana, cakupan jaminan kesehatan diperkenalkan untuk kelahiran anak dan biaya pelayanan dikurangi. Bupati Boalemo, ketika menyadari bahwa keputusannya untuk menghilangkan beberapa tunjangan dinas berdampak secara negatif kepada bawahannya, memperkenalkan kembali tunjangan khusus untuk mengatasi masalah tersebut. Ketika fleksibilitas tidak berjalan dengan baik. Jumlah perempuan miskin yang mendapatkan pelayanan bidan di Pemalang tidak merata karena peraturan program selalu berubah dan pelaksanaan program tidak konsisten. Hal ini mencerminkan ketidakjelasan kelompok sasaran mana yang ingin diutamakan oleh kabupaten dan mekanisme untuk menjangkau kelompok tersebut. Dalam program WSLIC-2, karena warga desa diberikan wewenang untuk menetapkan skema pembayaran unit pengelola sarana, hal ini secara tidak langsung mengurangi motivasi unit pengelola sebagaimana tercermin dari situasi dimana para anggota hanya dibayar ketika sebuah masalah muncul. Kendala keuangan di Jembrana menjadi alasan untuk menetapkan skema pendaftaran baru. Hal ini bermanfaat dalam mengisi kekurangan anggaran namun berdampak negatif terhadap akses pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Di Maros, terjadi perubahan dalam perencanaan partisipatif setelah implementasi di 6 (dari 20) desa, mengurangi proses dari 5 menjadi 2 hari per desa dan menghentikan pemberdayaan warga desa sebagai fasilitator proyek.
60
7. Terbatasnya Dampak karena Data yang Kurang Tidak ada satupun kasus yang memiliki sistem pengumpulan data yang efektif, sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah perjalanan proyek. Sebagai contoh, kendala dalam identifikasi dan kualifikasi kelompok sasaran di Pemalang (perempuan miskin) mungkin telah mengurangi akses proyek kupon pelayanan bidan bagi sekelompok warga miskin. Namun demikian, karena pengumpulan dan analisis data yang kurang, menjadi mustahil untuk mengetahui sejauh mana kelompok sasaran tersebut telah dijangkau oleh program kupon. Pengumpulan data proyek di Blitar juga lemah untuk mengetahui dampak proyek, seperti dana hibah mana yang dinilai sukses. Keberhasilan proyek di Maros tidak bisa diketahui karena data mengenai pendanaan dan dampak tidak memadai, terutama untuk mengetahui apakah ada hubungan antara upaya perencanaan daerah, kualitas upaya tersebut dan alokasi dana dari kabupaten. Indikator pada program CLCC juga nampaknya kurang, padahal tanpa adanya indikator yang sesuai atau tepat, sulit untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan proyek agar dampak positif bisa optimal dampak positif. Dalam proyek WSLIC-2, kurangnya informasi dasar dan pengawasan mengakibatkan sulitnya membuat penilaian mengenai dampak proyek terhadap kesehatan. Pengelola proyek WSLIC-2 baru mulai untuk mengumpulkan informasi kesehatan secara terstruktur 5 (lima) tahun setelah proyek dimulai. Di Jembrana, tidak ada pengumpulan data secara reguler dan analisis topik-topik tertentu, termasuk berapa jumlah warga miskin yang terdaftar dalam skema jaminan kesehatan.
8. Peningkatan Penyediaan Pelayanan akan lebih Menguntungkan Masyarakat Miskin jika sejak Awal Mereka Ditetapkan sebagai Kelompok Sasaran Dalam studi kasus dimana masyarakat miskin tidak ditargetkan dalam reformasi, mereka cenderung lebih dirugikan daripada diuntungkan. Kebijakan pembatasan jumlah siswa dan penguatan insentif bagi praktisi pendidikan di Tanah Datar mempunyai dampak yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu mengurangi tempat di SMU unggul serta menurunkan akses pendidikan bagi siswa miskin, juga memperluas kesenjangan antar sekolah. CLCC, meskipun tidak menargetkan masyarakat miskin, mempunyai dampak positif terhadap siswa miskin, namun mempunyai dampak yang lebih lemah terhadap siswa yang lebih berada secara ekonomi. BIGS tidak memfokuskan misi transparansinya untuk membantu masyarakat miskin, meskipun tujuan umumnya adalah untuk menjadikan APBD menjadi lebih pro-masyarakat miskin. Di Maros, beberapa warga miskin, seperti warga desa lain, sekarang lebih terlibat dalam perencanaan pembangunan daerah namun jangkauannya masih tidak merata. Di Boalemo, warga yang tinggal di daerah terpencil atau miskin tidak memiliki peluang yang besar untuk menyampaikan masukan tentang kinerja pegawai pemda.
61
Dalam keempat kasus dimana masyarakat miskin dijadikan kelompok sasaran, dampak terhadap kelompok tersebut positif. Kupon pelayanan bidan di Pemalang meningkatkan akses pelayanan bidan bagi warga miskin. Sarana air bersih dalam WSLIC-2 di kabupaten miskin Lumajang jelas-jelas meningkatkan akses air bersih bagi warga desa, dan telah meningkatkan taraf hidup mereka. Jaminan kesehatan di Jembrana telah secara nyata meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program CBG Blitar mewajibkan kecamatan untuk mendukung renovasi rumah kumuh yang kemudian memberikan dampak positif kepada masyarakat miskin. Namun, dampak positif dalam kasus-kasus tersebut terbatas. Di Pemalang, kendala dalam mengidentifikasi, melakukan sosialisasi, dan pengawasan akses masyarakat miskin dinilai telah mengurangi dampak positif. Di WSLIC-2, beberapa desa miskin tidak diikutsertakan dalam proyek karena kepadatan penduduk yang rendah, jarak desa proyek yang jauh dan faktor-faktor lain karena berpotensi untuk menaikkan biaya proyek. Di Jembrana, pembengkakan biaya, yang terjadi karena masuknya klien non-miskin dalam skema, berakibat pada perubahan sistem pendaftaran yang merugikan kelompok miskin. Oleh karena itu, keanggotaan masyarakat miskin dalam skema jaminan kesehatan menurun lebih dari 50%. Di Blitar, meskipun ada bias pendanaan terhadap warga miskin di beberapa kecamatan, tidak ada data untuk membuktikan apakah ini disertai oleh dampak positif terhadap warga miskin tersebut. Kasus
Menargetkan masyarakat miskin?
Dampak terhadap masyarakat miskin
Pemalang
Ya
+ Meningkatkan, namun secara tidak rata, akses pelayanan bidan bagi warga miskin.
WSLIC-2
Ya
+ Meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan akses air bersih. - Beberapa desa miskin tidak disertakan karena jarak atau pertimbangan lain. - Rasio tangki berbanding rumah tangga yang relatif tinggi dapat mengurangi akses rumah tangga miskin.
Jembrana
Ya1
3
+ Akses pelayanan kesehatan bagi kelompok miskin meningkat, terutama penyandang jaminan kesehatan. - Sistem registrasi baru dan fleksibilitas sistem mungkin telah mengurangi akses warga miskin.
3 Asuransi kesehatan Jembrana tidak dibentuk untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
semua warga. Penargetan masyarakat miskin sama dengan warga Jembrana lainnya, namun jaminan manfaat bagi masyarakat miskin bukan aspek yang terpenting dalam program tersebut.
62
Blitar
Ya
+ Meningkatkan dana untuk rumah kumuh ? Bias pendanaan pro-masyarakat miskin di beberapa desa, namun implikasi terhadap masyarakat miskin tidak diketahui.
CLCC
Tidak
+ Meningkatnya jumlah metode pengajaran yang lebih aktif, meningkatnya partisipasi murid dan orangtua baik dari masyarakat miskin maupun non-miskin.
Maros
Tidak
+ Keikutsertaan masyarakat miskin dalam proses perencanaan pembangunan desa. - Tidak ikutsertanya sejumlah dusun termiskin dalam proses perencanaan pembangunan desa.
Tanah Datar
Tidak
- Mengurangi akses terhadap SMU bagi beberapa murid miskin, terutama di daerah terpencil dan biaya naik di beberapa sekolah.
Boalemo
Tidak
- Ketidakikutsertaan kelompok miskin dalam kesempatan untuk menyampaikan keluhan mengenai pegawai negeri.
9. Kelangsungan Sebagian Besar Program Terancam oleh Adanya Permasalahan dengan Mitra, Kepemimpinan, dan Pendanaan Kesinambungan CLCC terancam oleh pilihan untuk menjalin kemitraan dengan
Badan Perencanaan Kabupaten alih-alih dinas Pendidikan. CLCC juga terancam oleh pendanaan yang tidak jelas di sekolah-sekolah dimana sebagian besar orangtua siswa adalah warga miskin, juga dimana kepala sekolah yang bersangkutan tidak mendukung pelaksanaan proyek. Sedangkan BIGS terancam oleh rencana pemimpinnya untuk mengundurkan diri. Pemimpin baru dalam proyek tersebut sebaiknya mempunyai bakat yang sama dan inspirasi yang sebanding. Kesinambungan proyek Maros juga dipertanyakan, namun untuk membuktikan hal tersebut masih dibutuhkan banyak data. Meskipun biaya proyek ini rendah, keengganan kabupaten untuk menjamin dan menyediakan dana berarti bahwa kesinambungan proyek masih tidak pasti. Ketergantungan kepada satu pendorong utama yaitu LSM Forum Warga, yang selain kurang dikenal di tingkat desa, juga memiliki kelemahan institusional, dinilai telah mengancam prospek kesinambungan institusional reformasi di Maros; selain itu, keterlibatan warga desa yang terbatas (yang merupakan proyek perencaan yang terfokus pada desa) juga melemahkan potensi kesinambungan dari segi sosial. Kesinambungan proyek WSLIC-2 juga belum bisa diketahui. Meskipun rasa kepemilikan warga atas sarana air bersih telah meningkatkan potensi
63
kesinambungan, sarana-sarana air bersih di desa-desa yang dikunjungi tim peneliti baru beroperasi maksimum selama dua tahun, dan dua sistem lainnya baru beroperasi selama satu tahun; sehingga sulit untuk mengatakan apakah proyek ini akan berlanjut. Lebih jauh lagi, hasil temuan di salah satu desa dalam proyek ini mengindikasikan bahwa hanya dengan perubahan besar, seperti menjamin terkumpulnya iuran pemeliharaan dan mencari pengganti fasilitator dari luar, kelanjutan proyek ini mungkin akan dapat terjadi. Reformasi di Jembrana akan sulit berlanjut. Pengeluaran Pemkab pada skema jaminan kesehatan meningkat pesat, karena masuknya warga non-miskin, akibatnya, pejabat Jembrana sedang menjajaki mekanisme pembiayaan yang kemungkinan besar justru akan merugikan masyarakat miskin. Investasi yang kurang dalam kerangka administratif dan ketidakjelasan dasar hukum juga mengurangi potensi kelangsungan proyek. Namun, terpilihnya kembali Bupati Jembrana pada tahun 2005, mungkin akan meningkatkan peluang politis kelanjutan proyek untuk masa yang akan datang. Sebaliknya, reformasi di Blitar, dilihat dari berbagai sudut pandang, sepertinya akan berlanjut. Masyarakat merasa bahwa secara teknis, proyek yang didanai CBG lebih efisien dan mempunyai kualitas lebih tinggi dari proyek-proyek pemerintah sebelumnya. Selain itu, karena diintegrasikan dengan proses perencanaan pembangunan lokal yang sudah dijalankan, dan kerjasamanya dengan ormas lokal, juga adanya dukungan dari pegawai pemkab, nampaknya program ini secara institusional akan berkelanjutan. Terpilihnya kembali walikota Blitar juga mengindikasikan bahwa secara politis program ini akan berkelanjutan. Sedangkan kelanjutan di bidang sosial, nampaknya dapat terwujud dengan adanya keterlibatan pendanaan dari masyarakat, baik selama tahap perencanaan dan masa pelaksanaan, serta fleksibilitas bupati dalam menjalankan program. Rendahnya biaya program, adanya swadana masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah, sepertinya akan menjamin bahwa secara finansial program ini akan berkelanjutan. Satusatunya ancaman terhadap kelanjutan program adalah dasar hukum yang kurang kuat.
10. Pelaksanaan di Masa yang akan Datang: Memanfaatkan Hasil Temuan Studi Kasus MPMM untuk Memperkuat Sistem Penyediaan Pelayanan di Daerah Lain Menargetkan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama reformasi pelayanan publik, agar kelompok tersebut benar-benar menerima manfaat kegiatan. Kasus-kasus yang diketengahkan telah menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memastikan masyarakat miskin menerima manfaat program, adalah dengan menjadikan kelompok tersebut sebagai kelompok sasaran khusus.
64
Kendati dalam proyek-proyek yang tidak secara khusus menargetkan masyarakat miskin, penyesuaian di tengah berjalannya program masih dapat dilakukan untuk menekan dampak negatif serta meningkatkan dampak positif bagi masyarakat miskin. Contohnya, di Tanah Datar, seharusnya dapat disediakan dana untuk menambah jumlah guru dan ruang kelas agar bisa mengakomodir kelebihan siswa pada sekolah-sekolah di daerah miskin. Hal ini juga dapat mengurangi persaingan untuk mendapatkan tempat yang tidak tersedia bagi murid miskin. Dalam CLCC, metode outreach yang didesain untuk kebutuhan orangtua miskin dapat dimasukkan dalam implementasi dari satu sekolah ke sekolah lain. BIGS dapat mengimplementasikan kegiatan khusus, seperti publikasi poster informasi anggaran yang sudah teruji dapat dipahamii oleh masyarakat miskin, atau penyelenggaraan lokakarya yang dapat mengakomodir warga miskin, dengan harapan bahwa upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih promasyarakat miskin. Menggunakan mekanisme diseminasi informasi atau sosialisasi program yang efektif, untuk membangun kepercayaan masyarakat. Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa sosialisasi yang kurang mengakibatkan berkurangnya dampak reformasi karena kurangnya kesadaran maupun kemampuan kelompok sasaran memberdayakan reformasi. Hal ini terjadi di Maros, Boalemo, Tanah Datar dan Pemalang. Sebagai contoh, kurangnya informasi tertulis memaksa warga Jembrana untuk mengandalkan informasi dari mulut ke mulut atau kontak dengan pemimpin lokal, untuk mendapatkan informasi proyek. Siklus yang akan berulang terus menerus adalah ketika rendahnya penerimaan mengurangi potensi efektivitas sosialisasi (seperti yang terjadi di Boalemo) dan sosialisasi yang tidak efektif dapat berakibat pada merosotnya tingkat penerimaan. Hubungan kepercayaan dan sosialisasi yang baik merupakan perpaduan yang tepat. Ada banyak jalan untuk meningkatkan sosialisasi, antara lain membuat informasi tertulis dalam bentuk dokumen legal atau surat edaran, mengirimkan informasi melalui pemimpin setempat dan menyiarkan informasi di radio, televisi atau dalam surat kabar. Sebagai catatan, informasi mengenai CLCC menjangkau orangtua miskin karena program tersebut menggunakan banyak jalur untuk melakukan sosialisasi. BIGS, dimana misinya sendiri adalah upaya sosialisasi, juga menggunakan banyak jalur. Pelajaran yang dapat diambil adalah: gunakanlah berbagai pendekatan untuk diseminasi informasi. Kurangnya transparansi anggaran, bahkan dalam proyek yang menekankan partisipasi warga (Blitar) masih kurang transparan . Transparansi pendanaan seyogyanya juga menjadi salah satu fokus upaya sosialisasi.
65
Mendukung pemimpin baik di kalangan pemerintah maupun LSM lokal untuk melaksanakan reformasi kebijakan penyediaan pelayanan publik. Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa inovasi dalam penyediaan pelayanan tergantung pada pemimpin setempat dan bukan yang dari luar, walaupun inovasi tersebut digagas secara lokal atau tidak. Sehingga sebaiknya dilakukan suatu pencarian sistematis untuk mengidentifikasi pemimpin-pemimpin yang berpotensi dalam reformasi peyediaan pelayanan, termasuk pemimpin “alternatif” seperti pengawas sekolah, guru yang sudah senior, kepala Komite Sekolah, dukun bayi, dan tokoh informal desa. Pencarian bisa dilakukan dengan bantuan beberapa instrumen, antar lain dengan kontak langsung, kuestioner yang dikirimkan kepada Kementerian terkait atau Asosiasi Bupati se-Indonesia serta survei LSM dan donor. Selain itu, perlu juga menyediakan pelatihan kepemimpinan. Berikan dukungan bagi pemimpin yang berupaya keras meningkatkan pelayanan. Sedikit bantuan sebenarnya bisa menguntungkan sebagian besar inovator studi kasus, terutama dalam untuk pelaksanaan, memublikasikan reformasi, mendapatkan feedback dan mengukur dampak. Contohnya, para pelaksana reformasi di Maros akan diuntungkan dengan adanya bantuan untuk mengintegrasikan antara proses perencanaan pembangunan desa dan kabupaten dengan anggaran. Mungkin dapat dipertimbangkan untuk memberikan apresiasi bagi inovasi yang sukses dengan menganugrahkan penghargaan, atau menunjukkan dukungan masyarakat kepada kegiatan yang reformis atau yang tidak biasa dilakukan. Hal ini akan dapat meredam resistensi dari kekuatan lama yang masih bertahan. Selain itu perlu juga diciptakan ruang legal untuk inovasi, seperti melalui “dispensasi bagi pilot project” yang memungkinkan uji coba di tingkat kabupaten, walaupun mungkin akan bertentangan dengan perundangan nasional. Proyek yang menggunakan pemimpin luar harus dipastikan memiliki rencana untuk meminimalisir ketergantungan kepada pemimpin-pemimpin tersebut, dan untuk melakukan peralihan kepada pemimpin lokal ketika dukungan luar berhenti. Memastikan adanya kesinambungan dana proyek reformasi pelayanan publik. Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa pendanaan proyek, termasuk semua proyek yang didanai dari luar, tidak dapat dipastikan kelanjutannya, padahal kelanjutan pendanaan sangat terkait erat dengan kesinambungan sosial: partisipasi akan terwujud jika keterlibatan seseorang dihargai dengan hasil yang lebih baik dimasa depan. Untuk proyek yang didanai lembaga donor, pastikan bahwa akan ada kesinambungan dana setelah donor menarik diri, antara lain dengan mengkorporasikannya kedalam struktur perencanaan proyek dan pengambilan keputusan.
66
Beri dukungan kepada para reformis, untuk menjamin kesinambungan dana reformasi penyediaan pelayanan. Berikan dukungan kepada mereka dalam menjajaki opsi-opsi swadana (dan potensi dampak negatif yang mungkin terjadi), meningkatkan kemampuan perencanaan finansial, meningkatkan pendapatan daerah, dan merencanakan rasionalisasi pemda untuk menekan pengeluaran. Sediakan sumber dana yang tidak mengikat untuk jangka waktu beberapa tahun bagi Pemda dan LSM lokal, sebaiknya sumber dana lebih menekankan hasil dan bukan project-specific atau yang terikat waktu. Hal ini penting karena pada hakekatnya, reformasi pemerintahan biasanya tidak menghasilkan hasil seketika, bahkan lebih buruk lagi, reformasi pemerintahan dalam jangka waktu pendek cenderung memojokkan elit politik dengan tuntutan akan perubahan sikap dan akuntabilitas terhadap publik. Pendanaan reformasi pemerintahan seharusnya bercermin pada kenyataan bahwa dibutuhkan waktu untuk hasil yang baik. Perlu diajurkan reformasi biaya rendah: secara relatif reformasi yang tidak mahal (seperti CLCC atau Blitar) akan berpotensi menggalan dukungan politik yang lebih besar serta dapat menarik minat daerah lain untuk mereplikasi. Pertimbangkan alternatif yang mempunyai biaya rendah: Untuk Tanah Datar, tenaga pendidik bisa saja dikirim ke pusat pelatihan dan pendidikan yang baik di Indonesia untuk menekan biaya. Untuk CLCC, bisa dipertimbangkan untuk menggunakan bahan baku alternatif yang lebih murah, dan tersedia secara luas. Pertimbangkan kegiatan proyek yang dapat menjangkau pengguna layanan dengan biaya tambahan rendah atau yang tanpa biaya (“efek ombak”). “Efek ombak” Tanah Datar, sebagai contoh, dapat diperkuat dengan jaminan bahwa pelajaran yang diperoleh pada kunjungan belajar ke luar negeri dapat diteruskan kepada mereka yang tidak ikut pergi. Jangan terlalu hemat dengan kebutuhan dasar: investasi bagi administrasi dan manajemen dapat memberikan manfaat yang besar. Badan Pengelola Proyek di Jembrana sangat kewalahan, penambahan jumlah pegawai akan dapat membantu mempersingkat keterlambatan pembayaran kepada penyedia jasa, hal ini penting karena keterlambatan tersebut dapat berdampak buruk kepada kinerja penyedia jasa. Memastikan bahwa komponen pemantauan (monitoring) yang efektif, sudah tercakup pada semua proyek penyediaan pelayanan publik. Satu hal yang tidak membaik sejak diberlakukannya desentralisasi adalah sistem pengumpulan data. Sistem sebelumnya, yang dikelola pada tingkat provinsi telah dihilangkan, dan belum digantikan oleh sistem pada tingkat kabupaten. Perlu dicatat bahwa tidak ada satu pun kasus yang memiliki sistem pengumpulan
67
data yang efektif, sehingga akan sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah perjalanan proyek yang sebenarnya bermanfaat untuk memperkuat dampak. Penentuan indikator yang tepat adalah hal yang mutlak. Misalnya, apakah yang disebut pendidikan bermutu tinggi? Dapat dipertimbangkan untuk menjajaki definisi variabel kunci dari kelompok-kelompok stakeholder terkait. Variabel proses (seperti Komite Sekolah yang partisipatif) mungkin akan menjadi sama pentingnya dengan variabel keluaran (misalnya, seperti hasil ujian yang lebih tinggi) bagi dampak yang dihasilkan. Pengumpulan indikator sama pentingnya dengan penggunaan indikator. Sebagaimana dilihat di kasus-kasus lain, koleksi data di Blitar nampaknya kurang lengkap untuk menunjukkan dampak proyek, sehingga juga kurang untuk dipakai sebagai acuan perbaikan program. Jika, misalnya, salah satu tujuan program adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, lalu pengawasan program juga seharusnya menyertakan pengumpulan data mengenai klasifikasi jenis kelompok (perempuan, warga miskin, manula, anak-anak, pemilik usaha kecil, kelompok elit lokal, dan lain-lain) yang berpartisipasi; tahap partisipasi (pengusulan, perencanaan, pemilihan, pelaksanaan, pendanaan, pengawasan, pengelolaan); wilayah partisipan (dari daerah yang lebih memiliki ciri perkotaan, atau dari daerah yang lebih memiliki ciri pedesaan); cara berpartisipasi (berbicara di rapat, berbicara kepada pejabat setempat, menghadiri pertemuan); dan seberapa sering (sesekali, rutin, pada malam hari, dan lain-lain) Revisi rancangan program, untuk meningkatkan efektivitasnya, hanya akan berhasil jika data mengenai topiktopik yang relevan dengan tujuan proyek sudah cukup akurat dan bisa dianalisa dengan baik. Sistem pengawasan seharusnya dapat mengumpulkan informasi mengenai lokasi kontrol, dimana variabel-variabel sosio-ekonomi sudah serupa namun reformasi yang terkait belum dilakukan. Mewujudkan fleksibilitas kedalam peraturan proyek, untuk memperkuat dampak positif, maupun mengatasi dampak negatif. Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa strategi untuk memperkuat dampak positif dan mengatasi dampak negatif, dapat dikembangkan apabila aturan program bersifat fleksibel. Contohnya, proyek yang terdiri dari modul-modul yang dapat ditambahkan atau dikurangi tergantung pada kondisi lokal dapat menjadi lebih efektif daripada suatu model kaku, selama semua modul didesain untuk memenuhi tujuan umum proyek dimaksud. Dalam CLCC, meskipun komponen pengelolaan sekolah tidak efektif di sekolah yang mempunyai kepala sekolah yang kurang mendukung, komponen pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan (PAKEM) memberikan dampak positif bagi para siswa, guru dan orangtua. Hal ini menunjukkan kemajuan menuju sasaran CLCC untuk memperbaiki kualitas pendidikan.
68
Mendorong implementasi hukum dan peraturan daerah yang bersifat mendukung reformasi. Kasus-kasus MPMM menunjukkan bahwa dampak reformasi terancam jika peraturan dan regulasi daerah yang menjadi dasarnya cenderung lemah atau kurang menunjang. Pengesahan peraturan daerah yang progresif mungkin mempunyai dampak minim tanpa adanya petunjuk pelaksanaan. Perda di Maros mengenai partisipasi warga, misalnya, belum berdampak besar terhadap masyarakat. Peraturan transparansi Boalemo sangat progresif sebagaimana tertuang di atas kertas namun implementasinya yang akan menentukan apakah dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Penyusunan atau pengesahan petunjuk pelaksanaan adalah kunci dalam penciptaan kondisi legal yang mendukung reformasi penyediaan pelayanan. Replikasikan inovasi penyediaan pelayanan yang berhasil. Inovasi di bidang penyediaan pelayanan yang telah direplikasi pada tingkat daerah adalah pilihan yang baik. Sekurang-kurangnya 4 (empat) organisasi masyarakat telah mengambil manfaat dari pelatihan dan layanan informasi untuk menjajaki dan memfokuskan kegiatannya pada transparansi anggaran. Sementara itu, warga dari kota lain sudah mulai mendesak pemerintahnya untuk memublikasikan anggaran daerahnya. CLCC juga telah menyebar secara formal ke 70 sekolah baru pada tahun 2004 dan secara sporadis di 30 sekolah. Dengan menghitung penerapan sporadis, CLCC sekarang telah menjangkau 35% SD di kabupaten yang dikunjungi. Di Tanah Datar, 150 guru telah mendaftarkan dan mendapatkan bagian dana kinjungan belajar ke Malaysia dari Dinas Pendidikan kabupaten pada tahun 2004. Hal ini dilakukan kendatipun tahun anggaran proyek telah berakhir dan bahkan lebih banyak guru mendaftarkan diri pada tahun 2005. Inovasi penyediaan pelayanan dengan hasil sampingan yang tinggi (meningkatkan jumlah penerima manfaat tanpa menaikkan biaya) juga merupakan pilihan yang baik. Reformasi Tanah Datar menghasilkan
69
perubahan yang tidak terencana sebelumnya di beberapa sekolah, seperti pengiriman anggota Komite Sekolah ke Jakarta untuk melakukan kegiatan pertukaran anggota serta pemberian penghargaan Komite Sekolah untuk guru yang berkinerja tinggi. Salah satu perubahan kreatif yang dihasilkan oleh CLCC adalah penyelenggaraan program radio sekolah tentang informasi PR dan penyajian prestasi teladan murid. Salah satu desa WSLIC-2 mecontoh skema iuran pemeliharaan sarana air, untuk mengumpulkan dana bagi pembuatan jalan sepanjang 2 km. Di desa yang lain, unit pengelola sarana setempat merencanakan pembuatan WC untuk setiap rumah tangga. Inovasi penyediaan pelayanan dengan peluang kelanjutan yang tinggi juga sepatutnya didukung. Dampak positif CBG di Blitar terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, selain prospeknya yang baik terhadap kesinambungan teknis, institusional, sosial dan pendanaan, juga patut dianggap sebagai contoh proyek yang baik untuk dipelajari dan diadopsi. Gunakan hasil temuan MSWP untuk mengusahakan terwujudnya lingkungan kebijakan tingkat nasional yang kondusif bagi reformasi penyediaan pelayanan daerah. Kerangka peraturan yang jelas, sangat penting untuk pemimpin daerah. Meskipun ruang lingkup kebijakan nasional di Indonesia sangat mendukung secara umum, tidak konsistennya pelaksanaan kebijakan desentralisasi mengurangi dampak inovasi pemberian pelayanan. Kasus Jembrana dan Pemalang memberikan contoh dimana kebijakan kesehatan nasional dapat merugikan upaya yang potensial di daerah untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat miskin. BupatiBoalemo, yang memiliki antusiasme tinggi terhadap keputusan Pemerintah Pusat yang mengalihkan rekrutmen pegawai negeri, berupaya keras untuk memastikan bahwa proses rekrutmen PNS dilakukan setransparan mungkin. Satu tahun kemudian, Pemerintah Pusat menghentikan kebijakan tersebut. Banyak daerah memandang hal ini sebagai salah satu bentuk ketidak seriusan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan desentralisasi.
70
3. Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus di Beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia
1. Pendahuluan Sistem pemerintahan yang sentralistis yang berjalan selama 32 tahun dianggap sebagai pemerintahan yang tidak kondusif bagi pembangunan regional. Kebijakan pembangunan pemerintah pusat telah menciptakan pola pembangunan yang seragam yang tidak memenuhi tuntutan lokal yang sangat bervariasi. Selain itu, kebijakan pembangunan selama itu telah menciptakan ketergantungan pemerintah daerah dan pejabatnya pada pola ”mohon petunjuk ke- dan menunggu instruksi dari pusat”. Pada gilirannya, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menciptakan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mampu merespon kebutuhan lokal. Pemberlakukan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 nampaknya mendapatkan reaksi berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sayangnya, banyak orang hanya melihat sisi negatif dari pemberian otonomi daerah. Pertama, otonomi dianggap melahirkan raja-raja kecil di daerah yang cenderung menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak berhasil diturunkan sampai ke masyarakat pada tingkat bawah (grassroot level) melainkan telah dibajak oleh elit-elit lokal (elite capture). Kedua, otonomi daerah dianggap telah membiakkan benih-benih baru yang kemudian menghasilkan pelaku-pelaku korupsi baru. Selama masa pelaksanaan otonomi daerah banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat baik eksekutif maupun legislatif daerah. Ketiga, otonomi daerah dianggap telah menghidupkan kembali semangat primordialisme antar daerah. Dalam kenyataan, memang, beberapa daerah mempraktikkan seleksi pegawai ataupun promosi jabatan atas dasar ikatan kedaerahan. Sementara itu, sisi positif otonomi tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Memang, sisi negatif di atas banyak terjadi dalam praktik otonomi daerah yang secara efektif berlaku sejak 2001. Akan tetapi, sisi negatif selama berlangsungnya otonomi di tahap awal, semestinya harus dipahami sebagai fenomena transisi dan sebagai gejala yang wajar terjadi di negara manapun. Sebaliknya, hanya sedikit orang yang menyoroti aspek-aspek positif yang muncul bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Beberapa daerah dengan kewenangan yang ada telah melakukan banyak inovasi dengan menciptakan peraturanperaturan daerah yang diharapkan bisa memperbaiki pelayanan publik. Karena itu, tulisan ini akan menyoroti beberapa aspek positif dari pemberlakuan otonomi daerah, terutama dari sisi peningkatan inovasi oleh pemerintah daerah dalam
71
memberikan pelayanan publik yang mendorong iklim berinvestasi lebih baik. Beberapa kasus akan diangkat untuk memberikan ilustrasi bagaimana perubahanperubahan positif tersebut terjadi di lapangan. Untuk mempertajam pembahasan, diskusi akan diarahkan pada kasus pembaruan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Proses pembentukan dan implementasi Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu dan Komisi Transparansi dan Partisipasi dikaji secara detil untuk menjadi pelajaran bagi daerah lain.
2. Otonomi Daerah dan Pembangunan Lokal Ada banyak argumen positif terkait dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu argumen penting dari pelaksanaan desentralisasi adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya dan daya tanggap pemerintah. Efisiensi alokasi merupakan efisiensi ekonomi di mana pemerintah akan mampu memproduksi segala yang dibutuhkan oleh konsumen. Desentralisasi kewenangan akan membawa pemerintah lebih dekat dengan warganya. Dalam hal ini, pemerintah daerah dianggap memiliki informasi yang lebih baik mengenai preferensi dari masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Karena akses kepada konstituen lebih tinggi, pejabat lokal diharapkan bisa meningkatkan responsivitasnya. Melalui desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya mampu merespon kebutuhan-kebutuhan warga, tetapi juga mampu mendorong warga untuk memiliki kemauan untuk membayar (willingness to pay for services) pelayanan publik yang sesuai dengan keinginan mereka; serta mendorong warga agar memiliki kemauan untuk mempertahankan pelayanan publik yang telah diberikan (maintain services that match their demand) utamanya jika mereka telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyediaan pelayanan publik tersebut. Selain itu, desentralisasi memungkinkan bagi para pejabat lokal lebih efektif melakukan monitoring dibandingkan pejabat pemerintah pusat. Pejabat lokal lebih mudah memperoleh informasi, sementara itu pejabat pemerintah pusat perlu menyediakan investasi lebih besar untuk memperoleh informasi yang sama. Karena itu, dari sisi efektivitas pembangunan, desentralisasi memberikan peluang yang besar agar program-program yang disusun benar-benar lebih mencerminkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, program yang telah disusun tersebut juga akan dengan mudah dimonitor oleh pejabat daerah yang memiliki kedekatan jarak sehingga bisa mengontrol day-to-day activities.
Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P., and Rutherford, D., 1999. ”Decentralisation,
Governance and Public Services, The Impact of Institutional Arrangements: A Review of the Literature”, IRIS Working Paper: 3
Andrews, M & Schroeder, L., 2003. ”Sectoral Decentralisation and Intergovernmental Arrangements
in Africa”, Public Administration and Development, 23: 29-40.
72
Prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dalam pelayanan publik akan dicapai melalui desentralisasi kewenangan apabila memenuhi beberapa syarat berikut ini: 1. Tuntutan lokal akan pelayanan berbeda antar wilayah. 2. Tidak ada kaitan signifikan antara pelayanan yang diberikan dan skala ekonomi untuk memproduksi pelayanan publik yang disediakan. 3. Tidak ada spillovers of costs and benefits dari pelayanan publik yang diberikan oleh suatu wilayah. 4. Pelayanan publik yang diberikan akan disediakan melalui sebagian dari pajak atau retribusi daerah tersebut. 5. Pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk memberikan (deliver) pelayanan publik yang disediakan. 6. Pelayanan publik tersebut dimaksudkan untuk redistribusi pendapatan3 Desentralisasi kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat telah merubah paradigma yang selama ini berjalan. Dengan kewenangan yang dimiliki, daerah memiliki ruang yang lebih longgar untuk membuat kebijakan-kebijakan terobosan. Kerjasama antardaerah dan kerjasama dengan pihak swasta untuk pembangunan daerah lebih mudah dilaksanakan. Kalau sebelumnya kerjasama antardaerah lebih menekankan pada instruksi pemerintah pusat, sekarang inisiatif bisa muncul dari bawah. Kehadiran pemerintah pusat hanya sebagai fasilitator yang memayungi kerjasama tersebut.
3. Otonomi Daerah dan Inovasi Pelayanan Publik Sejak digulirkannya otonomi, banyak sekali pemerintah daerah yang telah melakukan berbagai pembaruan dalam pelayanan publik. Daerah-daerah banyak yang mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak semata-mata bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana mereka menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah mereka. Pemerintah Daerah Gorontalo, misalnya, pada 12 Mei 2006 justru mengeluarkan Peraturan Gubernur No 8 Tahun 2006 untuk membebaskan pungutan retribusi daerah. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pungutan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan akhir kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan minat usaha masyarakat, pertumbuhan ekonomi daerah dan pengembangan usaha produktif masyarakat. Selain itu, di beberapa tempat banyak sekali kita temukan contoh pelayanan publik baru yang mendapatkan respon sangat positif baik dari masyarakat maupun dari pemerintah daerah lainnya dan pemerintah pusat.
3 Centre for Development Studies, Review of One Stop Shops in Indonesia, Bogor Agricultural
University, 2004
73
Studi yang dilakukan oleh Centre for Development Studies IPB menunjukkan bahwa beberapa daerah telah mengadopsi kebijakan untuk memberikan pelayanan perijinan dengan bentuk yang bervariasi. Pemerintah daerah berusaha memberikan pelayanan perijinan bisa semudah, semurah dan secepat mungkin. Beberapa daerah sudah memulai membentuk pelayanan terpadu sejak awal pelaksanaan otonomi daerah. Kota Malang, Kabupaten Gianyar, Kota Pare-Pare, dan Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan Perda yang terkait dengan pelayanan perijinan sejak tahun 2001. Sragen dan Pontianak baru mulai pada tahun 2002. Sementara itu Lebak baru memulai pada tahun 2005 melalui Perda No 3/2005. Dilihat dari waktu pembentukannya, daerah tertentu memang melakukan adopsi dari daerah yang lain. Sidoarjo dan Sragen, misalnya, termasuk kabupaten yang sering dikunjungi sebagai tempat studi banding. Dilihat dari bentuk kelembagaan organisasi, ada variasi antar daerah. Beberapa daerah mengambil bentuk Dinas (Malang, Sidoarjo), Kantor (Sragen, Gianyar, Pontianak, dan Lebak), dan Unit (Pare-Pare). Bentuk kelembagaan organisasi yang berbeda-beda tersebut berimplikasi pada jumlah personil yang harus ditempatkan untuk memberikan pelayanan. Untuk skala Dinas, personil yang dibutuhkan sangat besar, yakni sekitar 60an orang. Sedangkan untuk ukuran Kantor dan Unit, kebutuhan personilnya jauh lebih sedikit, yakni berkisar antara 20-30 orang.
Tabel 1: Daerah yang Membentuk Pelayanan Perijinan Terpadu Daerah
Bentuk
Status Hukum
Jumlah Staf
Sragen
Kantor
Perda No 17/2002 dan No 15/2003
29
Malang
Dinas
SK Walikota No 19/2001
62
Gianyar
Kantor
SK Bupati No 759/1994; Perda No 4/2001
33
Pontianak
Kantor
SK Walikota No 16/1999; Perda No 7/2002
25
Pare-Pare
Unit
SK Walikota No 102/2001
20
Sidoarjo
Dinas
Perda No 2/2001; SK Bupati No 16/2001
66
Lebak
Kantor
Perda No 3/2005
20
Sumber: sebagian diambil dari Centre for Development Studies, IPB, 2004
74
Selain inovasi dalam bentuk pelayanan publik terpadu yang dimaksudkan untuk menarik investor, sejumlah daerah melakukan pembaruan dengan membentuk peraturan daerah mengenai transparansi informasi dan partisipasi. Transparansi informasi telah menjadi salah satu masalah yang mengakibatkan banyak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Dalam dokumen Kebijakan Tata Kelola Asian Development Bank disebutkan bahwa ”akses terhadap informasi yang akurat dan tepat waktu tentang perekonomian dan kebijakan pemerintah dapat menjadi vital bagi perumusan kebijakan oleh sektor swasta.” Transparansi diperlukan agar masyarakat memperoleh akses informasi mengenai apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah. Perlu dipahami bahwa penguasaan informasi adalah sebagai bentuk dominasi kekuasaan oleh pihak yang memiliki informasi terhadap mereka yang kurang memiliknya. Selama ini, penguasaan informasi sangat didominasi oleh Pemerintah (executive). Pihak legislatif yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol tidak memiliki kemampuan cukup karena akses terhadap informasi sangat lemah. Pada kondisi seperti ini, peran yang dimainkan oleh lembaga legislatif menjadi sangat kurang. Lebih dari itu, di tingkat masyarakat, akses terhadap informasi juga sangat lemah. Ketika legislatif tidak bisa bekerja dengan maksimal dan masyarakat tidak bisa memberikan masukan terhadap wakil rakyatnya, Pemerintah bekerja dalam kondisi yang tidak terkontrol. Sementara itu, partisipasi diperlukan agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah menjadi legitimate. Partisipasi masyarakat untuk setiap kebijakan publik adalah proses mengekspresikan gagasan sekaligus menyalurkan keluhan terhadap pelayanan pemerintah yang dianggap kurang memuaskan. Sarana partisipasi dimaksudkan agar masyarakat: bisa didengar (to be heard), bisa dipahami (to be understood), bisa dihormati (to be respected), bisa mendapatkan penjelasan (an explanation), bisa mendengarkan permintaan maaf (an apology) dari pemerintah dan bisa mendapatkan informasi mengenai perbaikan (remedial actions) atas kesalahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Daerah-daerah yang telah mengeluarkan Perda tentang transparansi dan partisipasi antara lain: Kabupaten Solok (Perda No 5 Tahun 2004), Kota Gorontalo (Perda No 03 Tahun 2002), dan Kabupaten Lebak (Perda No. 6 Tahun 2004). Dalam praktik, ternyata tidak semua daerah bisa melaksanakan Perda tersebut secara konsisten. Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota Yogyakarta saat ini sedang menunggu penggodokan Raperda Transparansi Informasi dan Partisipasi yang sudah diserahkan ke DPRD. Naskah akademik sudah disusun dan disosialisasikan kepada berbagai stakeholders. Raperda yang disusun atas dasar naskah akademik juga sudah disosialisasikan baik kepada eksekutif maupun legislatif.
75
4. Studi Kasus Kabupaten Lebak Lebak adalah sebuah kabupaten miskin yang ada di ujung barat Pulau Jawa. Dulu ketika masih bagian dari Provinsi Jawa Barat, Lebak menduduki ranking 24 dari 24 kabupaten yang ada. Ketika 4 kabupaten dan 2 kota memisahkan diri dan membentuk Provinsi Banten, Lebak tetap berada pada urutan terakhir. PDRB per kapitanya hanya sebesar Rp 3.174.960,00 pada tahun 2002. Sebuah angka yang jauh dibandingkan dengan Kota Tangerang yang besarnya Rp. 15.260.365,00, apalagi dengan Kota Cilegon yang besarnya Rp 30.499.086,00. Menurut Drs. Robert Chandra, MPP yang menjabat Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, dari 300 desa yang ada, sebanyak 148 adalah dalam kategori Desa Tertinggal . Untuk mengejar ketertinggalan karena kemiskinan yang melilit masyarakat Lebak, Pemerintah Daerah Lebak berusaha memperbaiki berbagai kebijakan pembangunan. Upaya itu akan diwujudkan melalui paradigma baru visi pembangunannya, yakni: ”Kabupaten Lebak Menjadi Daerah yang Menarik untuk Berinvestasi pada tahun 2009”. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam misi: ”Mewujudkan Lebak sebagai daerah yang kondusif dalam berinvestasi untuk percepatan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat berlandaskan iman dan taqwa”. Untuk itu, sejumlah terobosan telah dilakukan: 1. pembangunan infrastruktur dasar penunjang investasi seperti jalan, air bersih, listrik dan telekomunikasi 2. efektivitas sistem dan prosedur pelayanan perijinan (tepat waktu dan biaya jelas) 3. penerapan kaidah-kaidah tata pemerintahan yang baik seperti transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Realisasi tersebut dilakukan antara lain dengan pembangunan infrastruktur jalan yang rusak agar memberikan kemudahan bagi investor. Saat ini kondisi jalan di Lebak 72,98% dalam kondisi rusak (666.06 Km) dan hanya 27,02% (912,7 Km) dalam kondisi baik. Pemerintah Lebak juga membangun Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu untuk mempermudah proses perijinan yang selama ini dianggap sebagai penghambat utama masuknya investor. Bersamaan dengan itu, Pemerintah Lebak juga membentuk Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) agar bisa mendorong terciptanya pembuatan dan implementasi kebijakan-kebijakan daerah yang baik.
5. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu 5.1 Proses Pembentukan
Awalnya Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati pada 31 Desember 2004. Melalui Perda No 3 Tahun 2005 yang disahkan pada 28 Juni 2005 Pemerintah Kabupaten Lebak mempertegas keberadaan KPPT. Sebelum dibentuk, Pemerintah Kabupaten Lebak menempatkan seorang stafnya selama 2 minggu di Kabupaten Sragen untuk belajar bagaimana menerapkan pelayanan perijinan terpadu. Setelah itu, Pemerintah Lebak kembali
76
mengirim 2 stafnya untuk belajar selama 1 minggu. Beberapa anggota DPRD juga pernah melakukan studi banding ke Sragen. Dari pengalaman tersebut, Kabupaten Lebak mengadopsi pelayanan perijinan terpadu. KPPT dibentuk untuk menyederhanakan perijinan yang sebelumnya terpencar-pencar di 8 (delapan) dinas sektoral. Dengan model perijinan yang lama, seseorang harus mendatangi instansi sebanyak 3-5 untuk menyelesaikan satu perijinan. Dengan KPPT, kepastian waktu, biaya dan persyaratan lainnya yang dulunya kurang jelas, sekarang telah dipertegas melalui ketentuan yang sudah diinformasikan secara jelas kepada para pengusaha. Dengan pembentukan KPPT, visi Kabupaten Lebak diterjemahkan melalui pelayanan perijinan terpadu yang bervisikan ”Handal dan Profesional dalam Pelayanan Perijinan”. Adapun misi pelayanan perijinan terpadu tersebut adalah: 1. meningkatkan kualitas pelayanan perijinan 2. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pelayanan perijinan 3. meningkatkan citra aparatur pemerintah dengan memberikan pelayanan yang mudah, cepat, aman dan transparan; dan 4. meningkatkan kompetensi dan profesionalisme SDM di bidang perijinan. 5.2 Penyiapan Sumber Daya Manusia Untuk memberikan pelayanan yang baik, faktor sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting. Kepala KPPT yang baru adalah pegawai yang awalnya dikirim ke Sragen untuk belajar tentang pelayanan perijinan. Selanjutnya, sebagai kepala KPPT dia diberikan kewenangan yang memadai untuk menentukan SDM yang dibutuhkan untuk melayani publik. Penentuan personil yang akan melayani di KPPT dianggap sangat krusial sehingga perlu seleksi secara hati-hati dan mendapatkan yang terbaik. Karena mengintegrasikan 8 dinas secara bersamasama, personil yang ditugaskan diambil yang terbaik dari masing-masing dinas. Saat ini jumlah personil KPPT sebanyak 20 orang. Dengan jumlah personil tersebut mereka harus melayani perijinan yang jumlahnya sebanyak 14 jenis. Mereka juga harus melakukan sosialisasi ke daerah-daerah di Kabupaten Lebak. Dalam memberikan pelayanan, personil KPPT menampilkan diri secara berbeda dibandingkan dengan personil pegawai Pemda pada umumnya. Mereka tidak memakai seragam birokrasi Pemda yang berwarna coklat-coklat, melainkan berbaju putih lengan panjang dan berdasi. Dengan penampilan tersebut diharapkan merubah paradigma pelayanan yang mereka terapkan dari yang ingin dilayani menjadi yang selalu melayani. Karena mereka banyak melayani dunia swasta, maka citra sebagai pelayan publik lebih kuat daripada citra sebagai penguasa. Bagaimana dengan insentif personil? Sebelum diberlakukan KPPT dengan pelayanan yang transparan, pada umumnya para pegawai bisa mendapatkan tambahan pendapatan melalui pungutan-pungutan tidak resmi. Mereka menjadi sangat rentan terhadap godaan apabila tidak ada insentif pengganti. Menurut
77
Kepala KPPT, seluruh staf di KPPT dan pimpinan memperoleh tambahan penghasilan dalam bentuk insentif pelayanan. Kepala mendapatkan Rp 450 ribu, eselon IV mendapatkan Rp 350 ribu dan pelaksana memperoleh Rp 250 ribu. Ketika saya tanyakan apakah insentif sebesar itu cukup aman dari godaan ”amplop tak resmi” yang mungkin diberikan oleh mereka yang ingin mendapatkan pelayanan, mereka mengatakan bahwa tambahan uang tersebut walaupun tidak terlalu besar sudah bagus. Karena uang itu betul-betul diperoleh secara resmi, mereka juga merasa nyaman dalam menggunakannya. 5.3 Implementasi dan Hasil Mengukur dampak pelayanan memang tidak bisa langsung. Faktor yang menentukan berinvestasi bersifat multidimensional. Akan tetapi adalah sangat penting untuk melihat bagaimana kepastian pelayanan itu sendiri. Tabel 2 di bawah menunjukkan berbagai jenis ijin yang diberikan oleh KPPT beserta dengan lama waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis ijin. Menurut Kepala KPPT, ijin-ijin yang dikeluarkan pada umumnya diputuskan di tingkat KPPT. Hanya perijinan tertentu saja yang memerlukan persetujuan dari Bupati Lebak. Misalnya, untuk pendirian SPBU maka KPPT harus meminta persetujuan dari Bupati apakah diijinkan atau tidak. Dengan demikian perijinan yang dijanjikan waktunya sebagaimana tertulis dalam brosur bisa betul-betul dilaksanakan sesuai dengan waktunya. Kalau semua perijinan bisa diproses dengan cepat, diharapkan Lebak menjadi daerah yang kondusif bagi investor dalam negeri maupun asing.
Tabel 2: Jenis dan Waktu Pelayanan Perijinan di Kabupaten Lebak No.
Jenis Ijin
Lama Penyelesaian
1.
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
7 Hari
2.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
12 Hari
3.
Ijin Tempat Usaha (SITU)/Ijin Gangguan (SIGA)
6 Hari
4.
Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
6 Hari
5.
Tanda Daftar Perusahaan
6 Hari
6.
Tanda Daftar Gudang
6 Hari
7.
Tanda Daftar Industri (TDI)/Ijin Usaha Industri (IUI)
6 Hari
8.
Ijin Pertambangan Umum
15 Hari
9.
Ijin Penebangan Kayu
7 Hari
10.
Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet
7 Hari
11.
Ijin Kesehatan
15 Hari
12.
Ijin Reklame
6 Hari
13.
Ijin Kepariwisataan
7 Hari
14.
Ijin Usaha Jasa Konstruksi
7 Hari
Sumber: wawancara dan brosur KPT Kabupaten Lebak 2006
78
Sebagai sebuah kabupaten kecil, Lebak memiliki potensi penanaman modal bagi investor berupa pertanian, peternakan dan perhutanan/perkebunan. Akan tetapi, sampai dengan 17 Juli, ijin yang dikeluarkan pada tahun 2006 mencapai sebanyak 4.488 buah. Dengan asumsi bahwa masih ada separuh waktu dari Juli sampai Desember, diperkirakan capaian sampai akhir tahun sekitar 9.000 buah ijin. Ini berarti bahwa jumlah pelayanan per staf dalam setahun adalah 450. Dari sisi pendapatan, sampai dengan 31 Mei 2006 KPPT telah berhasil mengumpulkan Rp 1.252.420.525 atau sebesar 75% dari total target setahun yang besarnya Rp 1.668.965.000. Bukan tidak mungkin bahwa kemudahan pelayanan yang diberikan justru meningkatkan PAD jauh lebih banyak. Kontribusi KPPT atas dasar target penerimaan terhadap PAD adalah sebesar 6%. Kalau sisa 6 bulan berikutnya bisa memperoleh hasil yang sama, maka kontribusi KPPT bisa mencapai 11% (total target PAD untuk Tahun Anggaran 2006 adalah: Rp 29.278.760.000). Angka ini bisa dibandingkan dengan daerah lainnya yang juga menerapkan pelayanan perijinan terpadu: Gianyar (5,5%); Malang (13,5%), Pare-pare (7,3%), Pontianak (10,3%) dan Sragen (3,4%).
Tabel 3: Laporan Realisasi Pendapatan Retribusi Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak s/d 31 Mei 2006 No.
Uraian
1.
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
2.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
3.
Ijin Gangguan (SIGA) dan Ijin Tempat Usaha (SITU)
4.
Target
Realisasi
Persentase
1.000.000.000
915.174.425
91,52%
300.000.000
57.429.250
19,14%
95.215.000
78.018.500
81,94%
Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
28.900.000
30.550.000
105,71%
5.
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
17.800.000
11.071.400
62,20%
6.
Tanda Daftar Gudang (TDG)
2.300.000
450.000
19,57%
7.
Tanda Daftar Industri (TDI) dan Ijin Usaha Industri (IUI)
5.000.000
2.425.000
48,50%
8.
Ijin Pertambangan Umum Iuran Tetap Pertambangan Umum Pencadangan Wilayah Pertambangan Umum
13.000.000 19.000.000 22.000.000
16.450.000 27.858.500 16.500.000
126,54% 146,62% 75,00%
9.
Surat Ijin Jasa Konstruksi (SIUJK)
5.000.000
4.700.000
94,00%
10.
Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet
25.750.000
29.250.000
113,59%
11.
Ijin Penebangan Kayu
125.000.000
59.093.450
47,27%
12.
Ijin Kesehatan
10.000.000
3.450.000
34,50%
1.668.965.000
1.252.420.525
75,00%
Jumlah Retribusi Sumber: Pemerintah Kabupaten Lebak 2006
79
6. Komisi Transparansi dan Partisipasi 6.1 Proses Pembentukan
Keinginan berbagai pihak di Kabupaten Lebak yang difasilitasi oleh Initiative for Local Governance Reform (ILGR) telah menghasilkan diskusi panjang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Setelah melalui sosialisasi dan penggalangan opini melalui talkshow di radio dan publikasi di media cetak, maka terbentuk Forum Multi Stakeholder (FMS) yang diketuai oleh Drs. H. Ikhwan Hadiyyin, MM. FMS adalah gabungan dari berbagai komponen: PNS, anggota DPRD, wartawan, mahasiswa, tokoh LSM, masyarakat, aktivitas perempuan dan lain-lain, yang kesemuanya terdiri atas 17 orang yang dibagi menjadi 3 kelompok kerja (Pokja): Pokja Transparansi dan Partisipasi; Pokja Analisis Partisipasi Kemiskinan; dan Pokja Persaingan Usaha. Pokja Transparansi dan Partisipasi merupakan yang paling dinamis dan mampu melahirkan usulan kongkrit. Pada tahapan berikutnya, Pokja ini berhasil menyusun naskah akademik rancangan perda transparansi yang kemudian diajukan ke DPRD. Selanjutnya, DPRD membuat panitia khusus (Pansus) untuk membuat Raperda Transparansi yang dilanjutkan dengan diskusi publik untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak. Pada 1 Juni 2004 DPRD berhasil mengesahkan gagasan tadi menjadi Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak. Dari proses tersebut nampak sekali bahwa upaya penciptaan good governance hanya mungkin kalau ada kemauan politik dari semua pihak. Dari wawancara dengan berbagai responden, awalnya memang muncul krontroversi mengenai perlu tidaknya perda semacam itu.4 Berharap langsung dari birokrasi Pemda untuk memulai rasanya agak sulit karena tidak semua aparat birokrasi memiliki persepsi yang berbeda mengenai transparansi.5 Proses kebijakan publik dan penguasaan informasi seringkali masih merupakan barang mewah yang dimiliki oleh pejabat publik. Memberikan sebagian informasi dan melibatkan partisipasi kepada publik sering dipandang sebagai hilangnya privilege bagi sebagian kalangan anggota DPRD yang tidak paham.6 6.2 Struktur dan Sumber Daya Sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas, fasilitator dan mediator berkenaan dengan penerapan Perda No. 6 Tahun 2004 dan dilantik pada 12 September 2005, KTP memiliki personalia yang berasal dari para aktivis. Mereka diseleksi dari calon sebanyak 152 orang pelamar yang kemudian 4 Wawancara dengan Sekretaris Bappeda Kabupaten Lebak, 6 Juni 2006. 5 Wawancara dengan Ketua Fraksi PDIP, anggota Fraksi PKS dan anggota Fraksi PKB, 7 Juni 2006. 6 Lihat “Buah Perda No. 6 Tahun 2004 Seharga Rp 18 milyar”, Lebak 1928.
80
disaring melalui wawancara dan pembuatan makalah. Dari 40 orang yang tersaring dipilih 10 orang nama untuk diusulkan kepada DPRD. Nama-nama tersebut kemudian dipanggil untuk menjalani fit and proper test, yang nantinya akan diambil 5 orang untuk diusulkan dan ditetapkan oleh Bupati. Personalia KTP tersebut dibagi dalam lima jabatan: Ketua, Sekretaris merangkap pejabat Bidang Hukum dan Tata Pemerintahan, Pejabat Bidang Ekonomi Pembangunan merangkap anggota, Pejabat Bidang Pendidikan dan Kesejahteraan merangkap anggota dan Pejabat Bidang Keuangan dan Perijinan merangkap anggota. Masing-masing pengurus memiliki wilayah yang menjadi tanggungjawab mereka. Para pengurus KTP tersebut juga didukung oleh 6 PNS dan 3 tenaga kerja sukarela (Sudi 2006). Untuk menunjang kegiatan operasional, KTP mendapatkan dana dari APBD sebesar Rp 250 juta per tahun. Karena KTP bukan sebuah dinas, maka anggaran yang diberikan oleh APBD masih menempel di Bagian Hukum Pemda Lebak. Anggaran tersebut disamping untuk menggaji pengurus yang terdiri atas 5 orang, juga dipergunakan untuk kegiatan operasional seperti sosialisasi baik di tingkat kecamatan maupun desa. Dengan keterbatasan anggaran serta personalia, sampai saat ini KTP baru memberikan sosialisasi ke 23 kecamatan. Sementara itu sosialisasi di tingkat yang lebih rendah baru menjangkau 10 desa. Walaupun anggaran masih kecil untuk sebuah KTP dengan beban yang sangat besar, dukungan Bupati H. Mulyadi Jayabaya maupun anggota DPRD serta masyarakat menjadi sebuah dorongan semangat bagi para pengurus KTP. Dalam berbagai wawancara dengan birokrat, anggota DPRD maupun warga masyarakat, nama KTP tidak pernah luput dalam perbincangan yang mengesankan bahwa mereka bangga dengan keberadaan lembaga tersebut. Namun demikian, bukan berarti keberadaan KTP tanpa tantangan. Sebagian anggota masyarakat masih mempertanyakan kelangsungan KTP itu sendiri. Mungkinkah KTP cukup independen ketika penganggarannya juga tergantung dari Pemda? Mereka juga khawatir KTP menjadi lembaga yang sekedar sebagai tukang back up berbagai kebijakan Pemda Lebak; atau KTP hanya bisa memilah dan memilih untuk kepentingan penguasa; atau KTP hanya menunggu laporan arus dari bawah tetapi tidak bersikap pro aktif. 6.3 Implementasi dan Efektivitas Bagaimana sebetulnya efektivitas KTP? Jawaban untuk itu dapat dilihat dari 2 indikator: pertama, bagaimana respon instansi Pemda terhadap isu transparansi. Selanjutnya kedua, bagaimana masyarakat memanfaatkan lembaga yang ada untuk menyampaikan keluhan mengenai persoalan pemerintahan dan pembangunan. Dalam kaitannya dengan respon Pemda, pejabat Pemda Lebak ternyata lebih welcome kepada warga yang ingin mendapatkan informasi. Secara umum, para pejabat lebih mudah ditemui dan dengan senang memberikan pelayanan kepada
81
tim peneliti. Itu terjadi bukan hanya pada level birokrasi, melainkan juga para wakil rakyat yang duduk di DPRD Lebak. Beberapa kali saya mencoba bertemu dengan pejabat birokrasi. Di Bappeda saya bisa langsung bertemu dengan Sekretaris Bappeda dan melakukan wawancara selama 1,5 jam. Ketika saya masuk ke kantor Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) saya langsung bisa wawancara dengan Kepala Kantor tersebut. Begitu juga ketika saya bertemu dengan pejabat di Bawasda, Kepala Kantornya langsung bersedia diajak wawancara selama 1 jam lebih. Di wilayah DPRD, saya langsung bisa bertemu dengan 2 orang anggota untuk memberikan informasi seputar pelayanan publik di Lebak. Keterbukaan tersebut tentu saja tidak lepas dari pengaturan dalam Perda tersebut dimana seseorang yang dengan sengaja mempersulit pemberian informasi akan diancam hukuman maksimal 5 tahun atau denda maksimal sebesar 5 juta rupiah. Kehadiran KTP juga cukup mendapatkan respek dari pejabat lainnya. Dengan berbekal kewenangan yang mereka miliki, anggota KTP dengan mudah memperoleh data yang dibutuhkan untuk klarifikasi dan verifikasi atas keluhan yang diajukan oleh warga masyarakat. Banyak sekali contoh masalah yang muncul dan memerlukan data dari berbagai instansi yang ada di daerah. Kasus penerima CPNS merupakan isu yang paling hangat dan belum selesai. Banyak sekali CPNS yang merasa proses rekrutmen tidak terbuka. Untuk kasus ini, pengurus KTP harus memperoleh data dan jawaban dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk diinformasikan kepada pemohon. Kasus yang lain menyangkut penggunaan Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang seringkali tidak sesuai dengan yang digariskan oleh Pemerintah. Selain itu, masalah-masalah pembangunan seperti sekolah, jalan dan pasar yang dianggap menyimpang dari ketentuan juga menjadi keluhan yang datang dari warga masyarakat (lihat Tabel 4 dan Tabel 5). Dari kriteria yang kedua, yakni respon masyarakat, juga sangat tinggi. Dari catatan buku tamu, pada bulan Mei terdapat sebanyak sekitar 100 tamu yang mengunjungi KTP baik hanya untuk mengenal KTP maupun mengadukan masalah mereka yang terkait dengan kebijakan Pemda. Kehadiran warga tersebut juga semakin meningkat. Untuk bulan Juni, sampai dengan 6 Juni 2006 sudah terdapat 129 warga yang memanfaatkan lembaga tersebut. Anggota DPRD pun banyak yang merasa perlu untuk mengunjungi kantor KTP untuk memperoleh informasi mengenai problem yang dihadapi masyarakat. Mereka memanfaatkan aspirasi yang masuk ke KTP tetapi mungkin tidak masuk ke anggota DPRD. Kalau kita lihat respon birokrasi ataupun anggota DPRD dan juga masyarakat, keduanya sangat positip. Selain itu, keuntungan yang didapat dengan adanya Perda mengenai KTP tersebut adalah munculnya dukungan finansial dari Bank Dunia yang bersedia mengucurkan bantuan sebesar Rp 18 milyar. Kucuran dana tersebut tidak terlepas dari adanya jaminan transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan kebijakan publik.
82
Tabel 4: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi Publik pada Komisi Transparansi dan Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2005 No.
Permasalahan
Tindakan KTP
1.
Kinerja Kepala Desa
Dicatat sebagai bahan masukan
2.
Fresh Money
Klarifikasi ke lapangan; klarifikasi ke Kades dan Camat Wr Gunung dan diteruskan ke Bupati
3.
Pembangunan SD Sindang Ratu III Kec. Panggarangan
Dicatat sebagai bahan masukan
4.
Stiker Penerima BLT: foto Bupati dan Ketua DPRD dan anggaran stiker
Diteruskan ke Bupati dan Ketua DPRD; Jawaban Bupati surat No. 463/919-Pem/2005 tanggal 22 Desember 2005 sudah diteruskan kepada pemohon
5.
Fresh Money
Surat diteruskan ke Kabag Pemerintahan
6.
Keselarasan Data Gakin dari kabupaten Lebak/BPS
Konsultasi dengan BPS Lebak
7.
Ganti Rugi Bangunan SLTP II Curugbitung
Mempertemukan pihak-pihak terkait; hasil kesepakatan ditandatangani keduabelah pihak
8.
Ketidaktransparanan dalam pembanguDicatat sebagai bahan masukan nan Dana BOS dan Rehabilitasi SD Muncang
9.
Penjualan Raskin yang dijual oleh 9 Kepala Desa kepada tengkulak beras di Pandeglang Kecamatan Cikulur Lebak
Investigasi ke lapangan (Kecamatan, Polsek, Kelurahan); menyampaikan surat ke Bupati Lebak
10.
Penjelasan mengenai Dana Fresh Money dan Perimbangan dan Raskin
Investigasi ke lapangan (Kelurahan dan Warga)
11.
Pengaduan BLT Desa Majasari Kecamatan Sobang
Mengadakan investigasi ke lapangan (Camat, Penerima BLT, Kades, Sekdes dan Warga)
12.
Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Lebak
Diteruskan ke Bupati Lebak dan Bawasda
Sumber: dokumen KTP 2005
83
Tabel 5: Daftar Pengaduan dan Permohonan Informasi Publik pada Komisi Transparansi dan Partisipasi Kabupaten Lebak tahun 2006 No.
Permasalahan
Tindakan KTP
1.
Untuk mendapatkan penjelasan tentang pembangunan jalan dari dana fresh money dan PKPS BBM-IP di Desa Parakan Besi Kecamatan Bojongmanik
Meminta data PKPS BBM-IP kepada Dinas PU Cipta Karya (selaku kepala satker sementara) dan menyerahkannya ke pihak pemohon
2.
Kepala Desa Gunung Kencana; realisasi dana tidak sesuai dengan pelaksanaannya
Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak pemohon
3.
Meminta informasi berkaitan dengan pembangunan Pasar Rangkasbitung
Meminta informasi kepada Pemkab (Asekda II) kemudian disampaikan kepada pihak pemohon
4.
Meminta informasi beras raskin karena tersendatnya distribusi beras Raskin di Curugbitung
Menyarankan kepada pemohon agar mngkonfirmasi langsung ke Dolog. Apabila tidak ada apresiasi yang baik maka Komisi Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya
5.
BLT BBM tahap I tidak tepat sasaran di Curugbitung
Mengadakan investigasi ke lapangan, mengadakan konfirmasi ke BPS
6.
Mengenai distribusi jatah susu untuk Balita
Menyarankan kepada pemohon agar mengkonfirmasi langsung ke pihak Puskesmas. Apabila tidak ada apresiasi maka Komisi Transparansi dan partisipasi yang akan menindaklanjutinya
7.
Mengenai dana fresh money tahun 2005 dan dana perimbangan tahun 2005 di Wanasalam
Meminta data ke bagian Pemerintahan Setda, kemudian memberikannya ke pihak pemohon
8.
Permohonan RAB pembangunan SMPN II Curugbitung
Meminta RAB ke pihak komite sekolah dan memberikannya ke pihak pemohon
9.
Data rencana kegiatan Gunung Kencana tahun 2005
Meminta informasi ke Dinas PU Lebak dan memberikannya ke pihak pemohon
10.
Mengenai pemotongan Dana BLT sebesar Rp 100.000,0 per oang dengan alasan pembuatan Komisi Transparansi dan Partisipasi dan Kartu Keluarga
Mengadakan investigasi ke lapangan (kepada Gakin yang menerima BLT), mengkonfrontir dengan penjelasan Kepala Desa
11.
Permintaan harga ruko Pasar Rangkasbitung
Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)
12.
Rincian bestek untuk semua tipe bangunan pasar, RAB dan angsuran kredit
Meminta data yang terkait kepada pihak Pemkab (Asekda II)
Sumber: dokumen KTP 2006
84
7. Catatan Penutup Otonomi daerah telah memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan. Pembaruan yang telah dilakukan oleh beberapa daerah cukup memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya arah kecenderungan yang positif. Kasus Kabupaten Lebak menjadi pelajaran yang menarik. Sebagai sebuah daerah yang miskin, Lebak tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan PAD melalui pungutan-pungutan baik pajak daerah maupun retribusi daerah sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian besar pemerintah daerah. Lebak membangun dengan melakukan banyak terobosan untuk meningkatkan pelayanan publik. Pembentukan KPPT dan KTP merupakan upaya yang pantas ditiru oleh daerah-daerah lainnya. Kemudahan, kecepatan, dan kemurahan pelayanan yang ditawarkan oleh KPPT akan menjadi daya tarik bagi dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga memiliki sarana apabila dalam praktik pemberian pelayanan perijinan mengalami kelambatan. KTP sebagai lembaga penyalur aspirasi merupakan bagian penting yang bisa mendampingi proses kebijakan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh dinas-dinas lainnya. Hasil dari KPPT maupun KTP memang belum bisa dilihat, utamanya kalau harus mengacu angka-angka kuantitatif seperti peningkatan investasi daerah, pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan pendapatan masyarakat. Yang penting untuk dipahami adalah bagaimana proses yang mengikuti inovasi pelayanan publik itu sendiri. Dalam kasus Lebak, baik KPPT maupun KTP terlihat bahwa keduanya dikelola secara serius. Perbaikan sistem pelayanan perijinan dicoba diaplikasikan dengan sungguhsungguh agar bisa memberikan kepastian pelayanan dan kepuasan masyarakat. KTP sebagai lembaga yang mengontrol proses kebijakan publik juga menunjukkan arah positif sebagaimana terlihat dari respon masyarakat untuk memanfaatkan lembaga tersebut dalam menyalurkan aspirasinya. Variasi isu dan kelompok yang menyampaikan keluhan menjadi bukti bahwa lembaga tersebut berfungsi efektif. Dengan bekerjanya lembaga-lembaga pemerintah daerah secara bersih, transparan dan akuntabel akan berujung pada terciptanya daerah yang kondusif bagi investasi. Yogyakarta, 18 Juli 2006
85
4. Diskusi Sesi 1: Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik yang Berpihak pada Kepentingan Masyarakat
Tanya Jawab ◊
Pertanyaan
1. Sofiati Mukadi dari Yayasan Bina Lingkungan Terpadu. Saya akan menanyakan kepada Bp. Agus Pramusinto. Dari hasil yang Bapak sampaikan mengenai problem investasi daerah apakah ini sudah merupakan urutan, yaitu kondisi sosial politik keamanan, banyaknya pungutan pajak, banyaknya pungutan liar, kualitas infrastruktur dan lamanya perijinan ini, apakah urutan-urutan itu merupakan kesulitan-kesulitan yang terbanyak? Karena sering kami ini para pekerja atau buruh menjadi korban daripada tuduhan investasi tidak masuk ke Indonesia ini, yaitu yang di tadi itu. Padahal saya kira itu adalah hasil, misalnya tadi Bapak sampaikan bahwa adanya pemogokan atau pun kerusuhan yang dilakukan oleh buruh dan pekerja, karena akibat saja. Kalau bapak bandingkan di Vietnam, saya juga pernah ke Vietnam dan ke Cina, mereka itu berbeda karena semangat kerjanya berbeda, karena jaminan sosial itu di jamin oleh pemerintah, sedangkan kalau buruh Indonesia itu dari upah itulah jaminan segala-galanya, hanya ada jamsostek sedikit dari pengusaha, tapi itupun sulitnya kewajiban membayar lebih dahulu tetapi mendapatkan fasilitas terakhir. Yang kedua adalah mengenai program pelayanan bagi masyarakat miskin. Bagi masyarakat miskin yang terbanyak adalah kaum wanita, kaum perempuan, maka untuk mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia daripada lembah kemiskinan itu adalah kita fokuskan juga kepada yang perlu menerimanya yang pada umumnya adalah perempuan, yang dimarginalisasikan baik buruh migran maupun pekerja-pekerja termasuk pedagang-pedagang di sektor informal, ini kami sangat minta perhatian, karena dalam perijinan yang kami lakukan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan-perempuan ini ternyata dari pemerintah daerah itu banyak kesulitan yang kami hadapi, contohnya untuk pelatihan misalnya mereka yang drop out itu atau tidak bisa melanjutkan sekolah menjadi pekerja rumah tanggal di Indonesia saja ataupun baby-sitter ataupun nanies dsbnya, itu harus ada seperti mendirikan industri, ijin gangguan yang harganya di daerah wilayah Jakarta Selatan itu bernilai 18 s/d 25 juta. Itu lebih baik uang itu untuk mendidik mereka daripada masuk ke kantong. Dengan adanya variasi harga saja kita sudah mempertanyakan apakah ini selalu mereka itu tidak berpikir untuk jangka panjang, ya pejabat-pejabat ini, apalagi jangka
86
menengah atau jangka panjang, tetapi mereka selalu berpikir untuk jangka pendek dan jangka imah. Jangka imah itu sudah bahasa kami adalah untuk rumah. Jadi tolong untuk perda-perda ini agar keperpihakan bagi yang miskin terutama bagi pendidikan jangan sampai disamakan dengan industri yang memang mengganggu lingkungan, limbahnya, ataupun suaranya, ataupun hasil debu-debunya. Tetapi kalau pendidikan kan tidak menghasilkan yang demikian, tetapi menghasilkan SDM yang berkualitas, insya Allah. Terimakasih dan Ass. Wr. Wb. 2. Zulfa dari Pusat Studi Asia Pasifik, UGM. Saya mencermati beberapa perda yang keluar setelah diberlakukannya otonomi daerah. Saya menemukan banyak perda yang menurut saya berasal dari negeri antah berantah. Dikatakan demikan karena 1. ketika masih menjadi rancangan masyarakat tidak tahu, tidak ada perbincangan publik yang mengarah pada hal-hal yang diatur oleh rancangan tersebut sehingga tahu-tahu ada perda itu dan soal sosialisasinya juga tidak banyak yang tahu; 2. banyak perda yang tidak mencerminkan karakter lokal daerah itu sendiri, sehingga tentu saja menurut saya tidak dapat menyelesaikan problem nyata yang dialami masyarakat itu. Dua hal yang bisa dicontohkan, perda di Cilacap.
a. tentang perda yang mengatur keindahan bahwa setiap orang itu diwajibkan memagar rumahnya setinggi 1.5 meter. Saya kira ini perda yang sangat tidak realistis, karena masyarakat Cilacap sendiri tidak semua mempunyai rumah ada yang tinggal numpang di pekarangan orang, ada yang bahkan tidak punya sama sekali dan kalau harus memagar rumahnya dengan pagar permanen setinggi 1.5 meter ukurannya dan beberapa teknis diatur dalam perda itu saya kira ini sangat tidak mungkin dan mencerminkan bias kelas sosial tertentu yang memang bisa melaksanakan itu dan hanya cocok untuk masyarakat kota sama sekali tidak mencerminkan karakter pedesaan. b. perda air, perda yang mengatur soal pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Cilacap sebagaimana diketahui sangat rawan kekurangan air terutama pada musim kemarau, karena kondisi alamnya juga airnya banyak yang berkualitas buruk. Tapi perda itu sama sekali tidak mengatur jaminan terhadap masyarakat miskin terutama yang tidak bisa mengakses air bersih sehingga mereka nasibnya walaupun sudah ada perda itu tidak berubah soal kebutuhan air. Saya ingin bertanya kepada Ibu Maulina terkait dengan presentasi yang disampaikan bahwa inovator dari daerah-daerah yang mempunyai perda yang katakan relatif positif kebanyakan dari bupati atau pemerintah, saya ingin tanya apakah ada pengalaman yang kabupaten atau kota yang sekarang mempunyai perda yang relatif positif tetapi
87
pada awalnya inovatornya bukan pemerintah, misalnya pemerintahnya sebenarnya punya inisiatif yang tidak cukup berpihak tapi karena partisipasi dan tekanan dari berbagai pihak kemudian perda itu menjadi perda yang relatif positif, saya ingin diberi pengalaman soal itu. Yang kedua soal dokumen mati. Banyak perda yang tidak bisa diimplementasikan sehingga menjadi dokumen mati. Bagaimana sebaiknya kita mensikapi ini, pertama kalau perda itu ternyata menguntungkan atau merugikan pihak-pihak tertentu semestinya dia menguntungkan pihak-pihak tertentu tetapi karena tidak bisa dilaksanakan itu menjadi tidak punya efek apa-apa, apakah ini harus dibatalkan atau dicuekin saja. Terimakasih. 3. Muardi Roso Djatmiko dari LBBM Unisba Bandung. Saya terfokus pada pembicara terakhir. Tapi sebelumnya dari pembicara yang tadi mengemukakan pendapat terkesan banyak perda yang tidak berpihak pada kepentingan saya kira ini musti mendapatkan perhatian, oleh karena begini, saya kuatir mungkin 2 atau 3 perda bermasalah tetapi lalu dari 2 dan 3 tadi itu digeneralisir sehingga perda-perda banyak yang bermasalah yang tidak berpihak kepada masyarakat, ini saya pikir musti dikritisi hal tadi dan saya melihat tentang retribusi, sesungguhnya kalau itu dikemukan itu kan larinya juga ke arah PAD yang larinya juga bagaimana pengumpulan tadi itu ditujukan kepada kepentingan masyarakat setempat. Sepanjang perda itu tidak bertentangan dengan kebijakan dalam bentuk PP, ini musti dicermati betul. Saya kuatir bahwa forum besar seperti ini lalu kesimpulannya banyak perda yang tidak produktif untuk kepentingan masyarakat. Tentunya harus jeli kita menghadapi hal tadi. Tentang sumber daya alam dari pembicara terakhir. Sumber daya alam yang dimaksud itu yang mana, ini tentang hutan, pertambangan, minyak dan gas bumi, kebetulan saya tadi punya waktu banyak saya sempat baca makalah Ibu dan Bapak itu bias. Apa yang dimaksud sumber daya alam, hutan kah, minyak kah, pertambangan yang mana. Khusus tentang hutan ini ada 2 aturan. Untuk Jawa dan Madura pengaturannya berbeda dengan luar Jawa dan Madura, ini sudah ratusan tahun dan khusus Jawa dan Madura ini mempunyai peraturan khusus. Ini ada hal penting terkait sumber daya alam kiranya oleh panitia bisa dicatat sumber daya alam ini ada kontradiksi mendasar, konkrit antara Pasal 33 ayat 3 dengan Pasal 18 ayat 5, terjadi atau saya sebutkan dua pasal yang tidak konsisten. Sumber daya yang satu dikuasai oleh negara, Pasal 33 ayat 3; sementara Pasal 18 ayat 5, daerah mempunyai kekuasaan mengacu pada otonomi daerah yang seluasluasnya. Kalau didalam aturan dasar sudah tidak konsisten bagaimana
88
akan tampil didalam PP maupun dalam bentuk peraturan daerah, pasti itu tidak konsisten. Paling tidak ini satu agenda yang kita perjuangkan bersama sehingga 2 pasal ini kita bisa menjadikan konsisten demi produktivitas untuk negara kita. Saya pikir itu saja. Terimakasih. 4. Eri dari Sanitasi Program. Kita bicara tema besarnya adalah public service for the poor. Pertama tadi saya setuju bahwa semua perda itu harus kena pada isu sasaran. Lalu kita tahu sasaran kita adalah the poor tapi dalam prakteknya kita tahu bahwa ada masyarakat miskin yang memiliki tanah dan ada juga yang tinggal di daerah-daerah yang ilegal. Disisi lain bahwa perda-perda itu nanti akan terkait dengan proses administrasi perencanaan dan pengelolaan. Pertanyaan saya ini sangat terkait dengan perbincangan yang sedang ada didalam program kami yaitu sanitasi, bagaimana perda-perda ini harus melayani kelompok sasaran yang ada di daerah ilegal, dari daerah-daerah yang seharusnya tidak boleh ditempati tapi ditempati, itu banyak sekali di daerah-daerah urban perkotaan. Bagaimana pelayanan publik ini harus sampai kepada sasaran yang pada daerahdaerah ilegal dalam kasus ini saya fokus kan pada pelayanan air bersih dan sanitasi. Terimakasih. 5. Kurniawan dari Ombusman dan juga Peneliti, Lembaga Hukum HAM dan Demokrasi. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kebetulan ini saya melihat dari penelitinya yang dari Jogya, saya melihat penelitiannya kenapa koq kita lebih condong kepada dampak-dampak atau inkonsistensi dari perda itu sendiri, tetapi tidak melihat bagaimana para pembuat undang-undang dalam hal ini legal drafter yang ada di daerah. Sementara padahal di tingkat Nasional pun legal drafternya juga mungkin juga masih sedikit, selama ini kita mungkin sering melihat siapa yang mengesahkan atau siapa yang membuat dan beberapa ahli tentang legal drafter disini biasanya merujuk pada ketentuan yang landasan yuridis daripada landasan filosofis ataupun landasan sosiologis dalam pembuatan legal drafting itu. Pelayanan publik di berbagai sektor, mungkin kesehatan, selama ini mungkin memang akses masyarakat kecil, masyarakat yang marginal susah untuk bisa menikmati pelayanan publik. Saya melihat adanya ketidakberpihakkan sendiri dari aparat pelayanan publik di daerah. Saya juga melihat sandaran dari pelayanan publik itu sendiri belum ada karena dalam hal ini RUU Pelayanan Publik yang
89
kebetulan sedang hangat-hangatnya dibahas dan sudah dicanangkan oleh pemerintah tentang peningkat pelayanan publik sejak tahun 2004, tapi koq dalam seminar ini dalam hasil penelitian atau tulisan-tulisan dari para pemateri tidak melibatkan bagaimana posisi dari RUU Pelayanan Publik sendiri terhadap yang bisa dikaitkan dengan hasil penelitian tersebut. Demikian terimakasih ◊ Jawaban 1. Agus Pramusinto Memang agak sulit untuk melihat apakah ini tuntutan atau dampak sehingga pengusaha merasa bahwa kondisi sekarang ini memang harus berubah. Memang kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain jaminan sosial yang diberikan oleh pemerintah hampir kita katakan nol. Misalnya ada problem mengenai pengangguran itu harus menjadi tanggungjawab siapa, orang miskin jadi tanggungjawab siapa. Kalau pemerintah punya uang cukup untuk memberikan itu tentu saja ketika orang itu misalnya dipecat dari perusahaan tentu saja akan dengan mudah minta jaminan kepada pemerintah tetapi kita tidak memiliki itu. Jadi kalau misalnya saya bekerja kemudian perusahaan juga kira-kira mau efisiensi kemudian saya harus dipecat yaitu satu-satunya sumber hidup saya, sehingga saya mau tidak mau kemudian demonya ke perusahaan. Sebetulnya kalau pemerintah bisa mengambil alih sebagian social-security itu sendiri tentunya itu akan menjadi lebih baik. Memang banyak hal yang sudah ditarik ke pemerintah misalnya dalam bentuk PAD. Tadi ada ijin gangguan segala. Di Jawa Timur itu ijin gangguan bahkan sampai perusahaan besar itu membayar 80 juta sampai 150 juta. Tetapi kalau kita melihat pak Djatmiko tadi, kenapa yang dilihat hanya yang negatif. PADkan akhirnya kembali ke masyarakat. Ini pertanyaan yang saya kira perlu dipertanyakan juga, karena memang retribusi-retribusi yang ditaruh oleh pemerintah daerah seringkali juga akhirnya hanya untuk kepentingan birokrasi. Contohnya saja, kalau dibandingkan dulu sebelum otonomi, itu anggaran yang digunakan untuk pembangunan itu masih 40%, tetapi setelah otonomi saya lihat dibeberapa daerah itu kurang dari 15%, artinya apa?, apa yang ditarik oleh pemerintah daerah itu hanya untuk kepentingan internal birokrasi, untuk gaji, untuk kesejahteraan birokrasi. Kalau kita lihat peraturan standard penggajian DPRD tahun 2001 dari situ kan gaji DPRD akan sangat tergantung dari PAD, semakin tinggi PADnya gajinya semakin tinggi. Artinya bahwa kalau kita meyakini bahwa PAD akan kembali ke masyarakat kenyataan itu masih ada bahwa artinya itu kembali untuk kepentingan birokrasi dan saya kira itu yang tidak kita inginkan. Yaitu contoh tadi misalnya kalau kita tarik uang retribusi dari rumah sakit, dari orang-orang sakit tetapi kemudian yang menikmati adalah anggota dewan dalam
90
bentuk kesejahteraannya meningkat, untuk beli jas, untuk beli asuransi kesehatan yang sebetulnya sudah dijamin yang lain tetapi masih menambah dengan tuntutan macam-macam. Saya kira itu saja, karena waktunya terbatas. 2. Enny Nurbaningsih Pertanyaan mengenai perda yang proses tidak partisipatif. Saya kira kalau prosesnya mungkin sekali partisipatif. Karena kami dalam penelitian tidak melihat pada aspek proses pembuatan perda, tetapi yang kami lihat adalah bagaimana rumusan muatan didalam perda itu dan bagaimana pula implementasinya di lapangan apakah sesuai dengan apa yang terumuskan di dalam muatan perda. Tetapi dari beberapa FGD yang kami lakukan itu memang proses-proses yang harusnya partisipatif dan kemudian isinya aspiratif itu dalam kenyataannya memang masih jauh dari yang kita harapkan. Sebagai contoh ada salah satu perda mengenai retribusi sapi perah di salah satu daerah, itu yang sudah dibatalkan oleh pusat, itu tetap saja dijalankan oleh pemerintah daerah setempat, mereka beralasan bahwa toh masyarakat juga tidak ada yang bergejolak dengan adanya perda tersebut. Kemudian kami tanyakan kepada masyarakat, lha masyarakatnya juga tidak tahu kalau ada perda tentang hal itu. Jadi ini sebetulnya ada tidak kesinkronan antara apa yang diinginkan masyarakat kemudian apa yang dituangkan dalam regulasinya. Kemudian yang terkait dengan kondisi kemudian banyak perda-perda yang pada akhirnya menjadi dokumen mati, itulah real yang ada yang kita temukan didalam penelitian ini. Bahwa seperti tadi dikemukakan ada beberapa daerah yang kemudian perda partisipatif, kemudian ada perda yang terkait keindahan, kemudian di situ ada larangan menjemur pakaian sementara lahannya sangat sempit dan harus bikin pagar, itu ada di daerah penelitian kami juga. Dan itu kemudian tidak jalan, pemerintah ya biarkan saja. Sama dengan contoh di Yogya kalau saya bisa gambarkan ada perda PKL. Disitu ada tulisan disepanjang jalan “Dilarang berjualan Perda No.6 Tahun 2000”, dibawah itu juga ada tenda PKL. Ini menggambarkan sebetulnya buat apa bikin aturan kemudian kalau tidak ditegakan, itukan juga bagian dari pelecehan kepada pejabat publik sebetulnya yang menerbitkan aturan tersebut. Kemudian yang terkait dengan SDA. Sebetulnya didalam laporan kami cukup lengkap kami paparkan itu secara sederhana SDA itu apa saja yang terkait dengan Pasal 33 tentunya kita jabarkan disitu menyangkut air bumi dan udara sebetulnya. Kemudian kita lakukan identifikasi dari keseluruhan perda yang kita kumpul itu ternyata pengaturan terbesar memang terkait dengan pertambangan galian C, kemudian hutan. Yang terkait dengan hutan ini memang terus terang saja di daerah seperti di provinsi itu mengatur soal yang tadi saya katakan flora fauna itu isinya retribusi, kemudian ada lagi perda yang didalamnya itu sebetulnya duplikasi dari peraturan diatasnya bahkan keputusan menteri karena Tap 3/2000 tidak mengatakan ada tata urut keputusan menteri kemudian
91
supaya tidak dikatakan bertentangan mereka caplok kemudian jadikan perda disitu. Inikan sebetulnya bukan itu yang dimaksudkan didalam pembentukan regulasi daerah. Apakah kemudian regulasi daerah itu masih memerlukan itu atau itu harus langsung dilaksanakan, karena keputusan menteri pun sebetulnya menjadi acuan didalam pembentukan perda sepanjang itu adalah bersifat pengaturan dan direvasi dari pengaturan yang lebih tinggi. Sehingga kalau kita mempermasalahkan aspek SDA, disini yang muncul memang didalam laporan kami, kami katakan nuansa sentralistiknya sangat tinggi karena apalagi dengan UU 32 mengatakan berbagai undang-undang sektoral itu seharusnya sudah mulai dilakukan pengharmonisasian dengan undang-undang otonomi daerah, tetapi sampai sekarang ya undang-undang kehutanan juga tetap jalan seperti ketentuan di dalam rezim yang lama sehingga sifat sentralistiknya muncul. Disinilah kemudian terjadi pertentangan didalam pembentukan-pembentukan perda yang terkait dengan SDA khususnya menyangkut hutan. Kemudian menyangkut pembentukan perda, apakah ini kesalahan pada legal drafting. Saya kira bukan semata-mata legal drafting yang menjadi fokus kesalahan, tetapi adalah karena dari awal tidak ada perencanaan. Itu kami tanyakan kepada anggota dewan ketika misalnya kami melakukan pelatihan apakah perencanaan dari bapak/ibu sekalian setelah duduk di kursinya ini ke depan didalam rangka membangun regulasi untuk otonomi daerah. Tidak ada satu pun mereka yang bisa menjelaskan kami harus melakukan apa. Demikian juga di tingkat eksekutif, kami juga pernah menanyakan, rencana seperti apa Bapak/ibu lakukan dengan adanya otonomi daerah, juga mereka masih ada kebingungan. Jadi saya kira memang menjadi suatu kemendesakan bagi kita sekarang ini mari kita rencanakan dengan baik sebenarnya kita mau melakukan apa dengan adanya kekuasaan baru ini. Kemudian bagaimana the art of drafting-nya, lha itu baru urusan berikutnya. Tetapi perencanaannya harus matang dulu, jangan sekarang bikin kemudian perda tentang retribusi pelacuran, besoknya bikin yang lain, ini kan ga nyambung. Ini gambaran juga bagian dari legislasi keseluruhan di negeri kita, bahwa di Jakarta ini undang-undang juga simpang siur, hari ini RUU APP, besok ganti lagi RUU BHP, besok lagi yang lain lagi, seakan-akan ini kacau sekali prosesnya, karena perencanaannya tidak jelas disitu. 3. Maulina Cahya Ningrum Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan, sintesis dari 9 studi kasus ini sendiri itu sebenarnya kami tidak menyoroti masalah perda tapi kami secara khusus mempelajari atau meneliti mengenai inovasi atau reformasi-reformasi yang dilakukan di tingkat daerah dan inovasi-inovasi ini memang secara langsung dipicu oleh atau diawali dengan proses desentralisasi. Jadi seperti tadi yang Bpk. Alit katakan saya perlu meluruskan mengenai masalah dampak desentralisasi terhadap timbulnya inovasi-inovasi yang bersifat lokal, itu sebenarnya mungkin bukan dampak negatif tetapi memang inovasi dan reformasi yang kami teliti itu di tingkat lokal atau di tingkat kabupaten kota.
92
Dalam menjawab beberapa pertanyaan yang sekiranya berhubungan dengan apa yang saya paparkan, saya akan kembali kepada konteks inovasi atau reformasi jadi bukan kepada konteks perda, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertanyaan pertama dari Zulfa. Kalau Mba Zulfa itu difoldernya ada materi sintesis 9 studi kasus di Indonesia, di halaman 21 akan temukan daftar lokasi berikut dengan inovator dan lengkap dengan penyandang dananya. Ada banyak sekali inovasi-inovasi dan reformasi yang bukan digagas, atau dirintis oleh pihak lokal, misalnya di Kabupaten Polman, SLCC yang disana itu merupakan program Unicef, dan di Kabupaten Pemalang sistem kupon bidan disana itu merupakan program Bank Dunia bekerjasama dengan Departemen Kesehatan, ada juga program di Kabupaten Lumajang “WSLIC-2” itu juga sebenarnya bukan program yang digagas oleh lokal, cuma yang kami teliti di sana adalah bagaimana daerah melaksanakan program-program tersebut dan peran pemimpin daerah baik di tingkat kabupaten kotanya atau bahkan hanya sampai di tingkat dusunnya itu sangat signifikan dalam pelaksanaan program ini. Dan kemudian saya akan mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lain, bahwa ketika kita melihat ada sekian banyak perda yang ternyata tidak bisa mengakomodir atau memfasilitasi kepentingan masyarakat atau lebih khususnya disini masyarakat miskin, saya ingin mencoba menunjukan dari studi-studi disini bahwa kita bisa melihat upaya alternatif atau upaya-upaya yang dilakukan masyarakat di daerah-daerah yang kalau misalnya Bapak/Ibu periksa ditingkat kemiskinannya itu sebagian besar dari lokasi studi kasus ini merupakan daerah yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional. Dan populasi masyarakat miskin di daerah tersebut itu juga otomatis tinggi.
Tapi di tengah kondisi yang seperti itu mereka tetap bisa untuk memfasilitasi diri sendiri atau setidaknya berusaha, tentu saja dibutuhkan juga keterbukaan dari pihak pemerintah daerahnya seperti yang kita lihat di kasus Blitar. Ketika walikota Blitar pertama kali menerapkan program community block grant, atau ketika pertama kali beliau menjabat, itu beliau bukannya tidak menghadapi resistensi bahkan dari tubuh pemerintah daerahnya sendiri, cuma keinginan beliau atau kemampuannya untuk merubah pola pikir bahwa pemerintah itu itu harus mendengarkan masyarakat dan semua proses penerapan kebijakan itu seharusnya merupakan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat, jadi prosesnya lebih ke menjaring aspirasi masyarakat itu sendiri. Kalau ternyata perda-perda yang ada sekarang itu masih belum bisa memfasilitasi masyarakat, solusinya apa? Masyarakat kemudian akan melakukan tindakan apa untuk mengatasi masalah itu? Itulah yang kami paparkan disini. Sembilan studi kasus ini memang bukan tentang perda, sekali lagi bukan tentang perda, ini tentang inovasi atau pembaharuan yang digagas ditingkat lokal yang ternyata bisa memberikan dampak positif dan memecahkan masalah-masalah yang timbul di lokasi tersebut.
93
4. Tisnanta Saya menambahkan saja dari semuanya, kalau ada perda yang diusulkan bukan oleh DPRD maupun pemerintah daerah itu ada sebagai good practices di sini dari Lampung Barat yaitu KaPerda Kabupaten Lampung Barat No.18/2004 tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis masyarakat. Ini merupakan sebuah perda yang dibuat dengan proses partisipasi publik ada mekanisme konsultasi publiknya, kemudian ada proses konsultasi publik di dalam sebuah mekanisme, kemudian proses ini melalui inisiatif DPRD menjadilah sebuah perda yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa kelompok masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari segi proses bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum kelihatan, itu perda. Demikian juga yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat dan beberapa kelompok masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Namun dari segi proses bagus, tetapi sampai hari ini saya menunggu impelementasinya belum kelihatan, itu perda. Demikian juga di Lampung Timur ada Perda No.3/2002, kalau di Lampung Barat tadi merupakan di fasilitasi atau inisiatornya itu adalah sebuah NGO yang namanya WATALA, di Lampung Timur ada juga yaitu perda No.3/2002, tentang rehabilitasi pesisir pantai dan laut dalam wilayah Lampung Timur. Pantai timur provinsi Lampung itu adalah pantai yang penuh dengan tadinya merupakan areal hutan bakau, namun ini banyak sekali rusak dan Lampung Timur itu mempunyai concern yang cukup tingggi untuk merehabilitasi areal hutan bakau yang sudah hancur tadi. Sedangkan implementasinya disini juga pada tingkatan perda ini cukup bagus, pada tingkatan implementasinya untuk Lampung Timur itu belum masif begitu, belum sebanding antara apa yang harus dikerjakan dan yang sudah dikerjakan. Kemudian dari penanya pertama Ibu yang mengemukakan bahwa perijinan tentang ketenagakerjaan. Di beberapa lokasi penelitian ada perda-perda yang mengatur tentang ijin ketenagakerjaan itu pada akhirnya dibatalkan oleh Mendagri. Seperti misalkan di Bandar Lampung ada Perda No.10/2004 tentang ketenagakerjaan, yang melahirkan enam jenis ijin, dan bahkan orang baru mau cari kerja saja sudah kena retribusi. Ini akhirnya dicabut, tetapi itu substansinya memang salah. Ada yang substansinya benar pada tingkatan implementasinya salah, yaitu perda terminal. Perda teriminal, karena setiap mobil itu lewat kecamatan, bikin talang di pinggir jalan tinggal ngasih karcis terus, tidak ada pelayanannya tetapi suruh bayar retribusi. Ketika dulu Fisal Tamin lewat sudah marah-marah, kemarin pak Hatarajasa lewat juga marah-marah, tapi sampai hari ini pun juga tidak berhenti, tetap ditarik. Ada banyak perda di provinsi Lampung khususnya yang saya tahu ada 16 perda yang dibatalkan oleh Mendagri, pemerintah pusat, tetapi itu tetap saja jalan. Karena pembatalan Mendagri itu harusnya diikuti dengan pencabutan, ada praktek yang
94
baik di Kabupaten Lampung Barat itu ada 3 perda dibatalkan, yaitu perda tentang pengendalian penebangan dan peremajaan tanaman kelapa, kemudian perda tentang pajak haler, kemudian perda retribusi tandan buah segar kelapa sawit, dibatalkan dan itu pemerintah daerah langsung mencabut. Ini sebuah sikap yang responsif di Lampung Barat. Kemudian apakah semua perda jelek? Saya juga didalam penelitian ini kita juga menarik beberapa contoh-contoh yang baik. Ada beberapa contoh yang baik. Seperti di Kota Metro itu ada kepala dinasnya walaupun tidak ada peraturan bupati, tidak ada perdanya bikin safe guarding. Mekanisme keberatan yang pada umumnya konvensional sebagaimana dikemukakan oleh kawan peneliti di Jawa Tengah misalkan, di Kota Metro karena cukup responsif dan daya tawarnya masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik itu tinggi, kepala dinas membuat safe guarding membuat tim yang isinya bidan-bidan yang sudah sepuh yang sudah tua yang bisa marah pada bidan-bidan muda pada ktenaga kesehatan yang masih muda untuk menasihati membantu orang miskin ketika bagaimana sih mendapatkan kartu Gakin jadi tidak hanya sekedar kotak saran masukan disitu kemudian dibuang. Ini merupakan sebuah contoh yang baik dalam mengawal pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dari 10 kabupaten kota di provinsi Lampung ini hanya Lampung Tengah dimasa otonomi ini yang tingkat kemiskinannya turun, dan ini juga signifikan dengan beberapa program yang dibuat di Lampung tengah antara lain ada Gerbang Beguei Jejamu Wawai, itu bahasa Lampung artinya “berbuat bagus bersama-sama”. Ini merupakan sebuah contoh yang baik, tetapi cilakanya contohcontoh yang baik ini, itu tidak muncul dari perda, ini yang menjadi problem. Kemudian untuk sumber daya alam, saya setuju dengan yang dikemukakan. Inkonsistensi aturan-aturan pemerintah pusat di daerah itu juga sering membuat agak sulit untuk pengelolaan sumber daya alam di tingkatan daerah. Kalau orang Jawa bilang di Lampung luas lawannya masih cukup banyak, tetapi ternyata tidak. Pak Joni sejak tahun 1980 sudah membela masyarakat Purwokencono untuk mendapatkan lahan dan baru saja register 47 terpaksa harus melawan dengan kekerasan untuk mempertahankan lahannya. Dan kebijakan di tingkatan perda seringkali juga tidak ramah dan bahkan ketika itu ke tingkatan internasional itu kena ecolabelling seperti perda IHH (Iuran Hasil Hutan), Perda No.16/2000 Provinsi Lampung, dimana -- oke silahkan saja tanam kopi di daerah hutan, tapi boleh nanam asala ada iurannya -- akhirnya produk kopi Lampung kena ecolabelling dari negara-negara penerima atau negara-negara tujuan ekspor. Kemudian bagaimana perda itu apakah juga harus melayani orang-orang yang tinggal di daerah illegal. Subyek dari perda itu orang atau badan hukum. Walaupun kita tinggal di daerah illegal, selama saya masih orang saya harus dilayani, dan selama saya masih warga Bandar Lampung saya harus dilayani. Saya ingin menjadikan sebuah garis bawah bahwa didalam proses pelayanan publik itu
95
kayaknya daya tawar masyarakat itu harus ditingkatkan dulu, harus diperkuat dulu. Untuk mendapatkan pelayanan publik kita kayaknya harus menggertak si pelayan publik itu baru mendapatkan sebuah pelayanan, oleh karena itu bagaimana merubah ini seharusnya perda harus mampu untuk memberikan jamin terhadap perda hal ini. Mungkin saya sudah dilihatin pak Alit, saya kembalikan waktunya. Terimakasih. 5. Moderator (Alit) Sebetulnya masih banyak waktu yang kita perlukan untuk membahas 3 makalah yang disajikan tim panelis, namun karena waktu kita dan rasanya saya kurang bijak kalau masih terus mengambil waktu istirahat ibu/bapak sekalian, karena jam saya sudah menunjukan pukul 13:20 dan ini sudah melampaui waktu kita untuk istirahat makan siang. Namun demikian kami mohon maaf sekali lagi atas keterlambatan dimulainya sesi ini karena tadi kita sedikit mundur, tanpa mengurangi keinginan Ibu/Bapak untuk menyampaikan pikiran-pikiran, saran dan juga pengalaman mungkin mohon bisa dituliskan saja nanti panitia akan mengkonsultasikan pada panelis untuk bisa diberikan jawaban. Namun demikian Ibu dan Bapak sekalian masih bisa melakukan interaksi pada panelis melalui e-mail yang tertera pada data Beliau di makalah yang kami sediakan dan juga substansi ini bisa Ibu/Bapak akses melalui www.perdaonline maupun Clearinghouse CLGI. Atas segala perhatian Ibu dan Bapak sekalian dan sekali lagi mohon maaf bagi rekan-rekan yang tidak berkesempatan untuk memberikan masukannya melalui tanya jawab, kami mohon maaf sekali lagi, dan mari kita berikan applause kepada Beliau-beliau panelis. Ass. Wr. Wb.
96
BAB 2
Penyusunan dan Implementasi Perda
1.
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Perda dan Implementasi Perda tentang APBD Tahun 2006 Kota Tarakan Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D, Kepala Bappeda Kota Tarakan
2.
Implementasi Perda di Kota Gorontalo (Sebuah Kajian dan Telaahan Mengenai Perda No. 2, 3, 4 Tahun 2002) HI. Medi Botutihe, Walikota Gorontalo
3.
Potensi Penyimpangan Substansi Dalam Proses Legislasi Peraturan Daerah Ari Nurman, ST, M.Sc, Diding Sakri, ST dan Saeful Muluk, S.Sos, Perkumpulan INISIATIF, Bandung
4.
Partisipasi Intsrumental, Transformatif dan Elite Capture: Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus Perda Partisipasi Kabupaten Lebak) Wawan Sobari, IFP Fellow-Ford Foundation, Indonesia - MA Student at Institute of Social Studies (ISS), The Hague, the Netherlands
5.
Diskusi dan Tanya Jawab
97
1. Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Perda dan Implementasi Perda tentang APBD Tahun 2006 Kota Tarakan
1. Latar Belakang Dalam kurun waktu yang relatif singkat Pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mendesentralisasikan berbagai kewenangan dan fiskal dari pusat ke daerah, Kota Tarakan telah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi berbasis perdagangan dan jasa. Dengan pembenahan infrastruktur perkotaan yang relatif cepat, Kota Tarakan semakin memperkuat posisinya sebagai pusat transit perdagangan antar pulau di Kalimantan Timur bagian Utara. Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000, selama periode 2001-2005, pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dengan migas rata-rata sebesar 8,82 persen per tahun dan tanpa migas sebesar 9,57 persen per tahun. Secara time series pertumbuhan ekonomi Kota Tarakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Kota Tarakan Berdasarkan Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2000 Dengan Dan Tanpa Migas Tahun 2001-2005 (Persen) Pertumbuhan Ekonomi
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dengan Migas
10,87
6,91
11,49
7,18
7,63
Tanpa Migas
10,72
8,65
12,71
8,33
7,46
Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006
Sejalan dengan pertumbuhan sektor ekonomi, pendapatan regional per kapita penduduk juga menunjukkan peningkatan selama periode tahun 2001-2005, sebagaimana Tabel 2 berikut:
98
Tabel 2 : Agregat Pendapatan Regional Perkapita (Rupiah) Dengan Migas Tahun 2001-2005 Agregat
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dengan Migas 1. Atas Dasar Harga Berlaku 2. Atas Dasar Harga Konstan 2000
8.406.586 7.631.181
9.685.770 7.858.038
10.846.164 8.441.825
11.957.691 8.806.760
14.709.422 9.129.293
Tanpa Migas 1. Atas Dasar Harga Berlaku 2. Atas Dasar Harga Konstan 2000
7.850.762 7.077.169
9.230.414 7.409.146
10.403.126 8.048.956
11.451.314. 8.489.676
13.749.330 8.786.129
(1)
Sumber Data: BPS Kota Tarakan Juni 2006
Selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berbagai prestasi dan penghargaan dalam berbagai bidang pelayanan publik dan pembangunan lingkungan telah didapatkan Kota Tarakan melalui kepemimpinan H. Jusuf S.K (selaku Walikota) dan H. Thamrin A.D (selaku Wakil Walikota), antara lain: 1. E-Government Award 2003 diberikan kepada Kota Tarakan sebagai Lembaga Pemerintah Pengaplikasi E-Government Terbaik Pertama Untuk Katagori Kabupaten/Kota diberikan oleh Majalah Warta Ekonomi Jakarta pada tanggal 26 Agustus 2003, 2. Otonomi Award 2005 dianugerahkan kepada Kota Tarakan sebagai Kota Terbaik 2005 diberikan oleh Majalah Media Otonomi pada tanggal 12 Juli 2005, 3. Habitat Award diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum RI atas prestasi yang diraih dalam rangka Hari Habitat Sedunia tahun 2005 untuk kategori Karya Pengelolaan Kota 2005 dengan kriteria peningkatan akses air bersih dan penanggulangan pemukiman kumuh pada tanggal 3 Oktober 2005, 4. Penghargaan dari Secretary-General of ASEAN atas kepedulian yang luar biasa terhadap Generasi Muda pada 28 Oktober 2005, 5. Certificate of Recognition dari Division for Social Policy and Development, United Nations atas Perhatian yang Luar Biasa pada Kegiatan Kepemudaan di Tingkat Komunitas pada tanggal 28 Oktober 2005, 6. Otonomi Award Bidang Pendidikan dan Pelayanan Publik Terbaik Se-Propinsi Kaltim oleh Jawa Pos News Network (JPNN) pada Bulan Mei 2006, 7. Anugrah Penghargaan Kalpataru dengan Kategori Pembina Lingkungan dan Piagam Adipura Tahun 2006 oleh Menteri Lingkungan Hidup RI pada tanggal 12 Juni 2006.
99
Sederetan penghargaan yang telah diraih Pemerintah Kota Tarakan dalam berbagai bidang pembangunan merupakan salah satu bukti nyata keberhasilannya dalam mengelola otonomi daerah. Namun demikian, dirasakan oleh berbagai stakeholders pembangunan Kota Tarakan bahwa pemihakan kepada kepentingan rakyat perlu ditingkatkan secara lebih signifikan (Hasil Observasi Penulis). Salah satu persoalan yang menyebabkan kurang terakomodirnya kepentingan rakyat secara optimal dalam APBD adalah belum terintegrasinya proses perencanaan dan penganggaran. Pada dasarnya, proses penyusunan Perda APBD merupakan proses panjang dan berjenjang yang diawali dari (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) Musrenbang Kelurahan sampai Musrenbang Nasional. Hasil dari proses Musrenbang yang berjenjang tersebut adalah tersusunnya Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA dan SP), Plafon Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Rencana Anggaran SKPD (RASK) dan Raperda APBD. Dengan demikian, untuk menjamin terintegrasinya proses perencanaan dan penganggaran dalam konteks penyusunan Rancangan APBD 2006, maka Pemerintah Kota Tarakan melakukan perbaikan proses dan mekanisme Musrenbang. Sehingga, diharapkan bahwa Musrenbang dapat menghasilkan rumusan kegiatan prioritas yang secara substansial lebih memihak pada pelayanan publik. Pasca Musrenbang, proses penganggaran yang diawali perumusan KUA dan SP sampai pembahasan Raperda APBD dengan DPRD dilakukan secara cermat, transparan dan partisipatif. Apabila keseluruhan proses perencanaan dan penganggaran dilakukan secara integratif, terbuka dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi masyarakat, maka instrumen APBD akan dapat berperan secara optimal didalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Sebagai muara dari keseluruhan proses perencanaan pembangunan yang hirarkis, komperhensif dan integratif baik yang sifatnya top down planning (RPJM dan RPJMD Propinsi, RKP dan RKPD Propinsi maupun bottom up planning (Musrenbang Kelurahan dan Kecamatan), Perda No 2 Tahun 2006 tentang APBD Kota Tarakan memainkan peranan kunci dalam mewujudkan good governance dan clean government. Dari 10 prinsip good governance, yang relevan dalam perumusan dan implementasi Perda APBD adalah prinsip-prinsip: Partisipasi Masyarakat, Transparansi, Akuntabilitas serta Efektifitas dan Efisiensi. Musrenbang Kelurahan dilaksanakan pada Bulan Februari dan dilanjutkan secara berjenjang
sampai Musrenbang Nasional pada Bulan April, kemudian dilanjutkan proses penganggaran dimana APBD tahun berikutnya diharapkan sudah dapat disahkan pada Bulan Desember tahun berjalan (PP 58 Tahun 2005.). Dalam rangka menjamin terjadinya integrasi perencanaan dan penganggaran, Pemerintah telah mengundangkan UU 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. UU 25 Tahun 2004 mengatur perencanaan berjenjang yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP, 20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 5 tahun), Rencana Tahunan (RKPD).
100
Telah menjadi isu nasional bahwa salah satu ekses dalam implementasi Otonomi Daerah adalah adanya sinyalemen bahwa pembelanjaan APBD Kabupaten/Kota tidak diperuntukkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih difokuskan untuk belanja aparatur. Lebih jauh, terdapat stigma bahwa otonomi daerah identik dengan memindahkan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dari pusat ke daerah. Dr. Syahrir dalam Kongres ISEI 2006 mengatakan bahwa ”Desentralisasi sebagai kelanjutan dari semangat demokratisasi, ternyata menghasilkan prioritas anggaran daerah yang tidak memihak rakyat. Kecenderungan APBD I dan II adalah meningkatnya pengeluaran rutin dan berkurangnya pengeluaran pembangunan.” (Kompas, 21 Juni 2006)
2. Perumusan Masalah Telah menjadi pembicaraan umum bahwa di Era Otonomi Daerah, alokasi belanja APBD dianggap kurang memihak pada pelayanan publik. Hal ini tercermin dari alokasi anggaran belanja pembangunan yang lebih kecil dibanding belanja aparatur. Lebih jauh lagi terdapat anggapan bahwa desentralisasi kewenangan 4 dan fiskal ke daerah melalui UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999 identik dengan desentralisasi KKN dari pusat ke daerah. Berdasarkan analisis terhadap proses penyusunan Perda No. 2 tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan dan kajian terhadap komposisi anggaran belanjanya, makalah ini membantah anggapan tersebut. Sekaligus, makalah ini juga berargumen bahwa jika proses untuk menyepakati prioritas program dan kegiatan pembangunan secara partisipatif, cermat dan konsisten, dibarengi dengan proses penganggaran yang transparan dan akuntabel, maka APBD justru merupakan instrumen yang sangat penting peranannya dalam melakukan pemihakan pada kepentingan rakyat dan juga pemberantasan KKN.
3. Analisis Untuk menganalisis seberapa jauh Perda No. 2 Tahun 2006 tentang APBD Kota Tarakan memihak pada kepentingan rakyat dan konservasi lingkungan hidup, maka dilakukan analisis dengan menggunakan tiga kriteria utama dimana masingmasing dijabarkan menjadi beberapa sub kriteria dan indikator sebagai berikut: 3.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat Melalui Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Mendagri No. 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ tertanggal 20 Januari 2005 diatur Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005. Namun demikian, selama ini dalam pelaksanaannya, Musrenbang sering dijalankan 4 Di amandemen oleh UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004
101
secara kurang sungguh-sungguh dan terkesan sekedar menjalankan formalitas rutin. Sehingga muncul perasaan skeptis di masyarakat yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya Musrenbang karena usulan masyarakat tidak pernah diakomodir dalam APBD. Merespon tuntutan masyarakat tersebut, Pemkot Tarakan berusaha memperbaiki mekanisme musrenbang yang merupakan titik awal proses penganggaran APBD. Agar proses Musrenbang betul-betul menghasilkan output yang diharapkan yaitu menjaring aspirasi masyarakat, maka perbaikan mekanismenya dibagi menjadi Pra Musrenbang, Musrenbang dan Pasca Musrenbang. 3.1.1 Pra Musrenbang Pelatihan Bagi Stakeholders Musrenbang Kelurahan Dan Kecamatan
1. Sebelum pelaksanaan Musrenbang Kelurahan, agar masyarakat dapat mengembangkan kapasitas partisipasinya secara optimal, sebagai langkah awal, dilaksanakan Training of Trainers (TOT) Pengembangan Masyarakat dan Perencanaan Partisipatoris kepada para stakeholders Musrenbang (aparat kelurahan/kecamatan dan pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan/Kecamatan). 2. Pelatihan (TOT) ini dimaksudkan: a. sebagai upaya pembekalan dan persiapan/pra-Musrenbang bagi stakeholders pelaksana Musrenbang b. tersedianya tenaga fasilitator lokal yang memiliki kompetensi dalam pengembangan masyarakat dan perencanaan partisipatoris. 3. Tujuan akhir pelatihan antara lain: a. dipahami dan dilaksanakannya mekanisme Musrenbang, sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Surat Edaran Bersama Kepala Bappenas dan Mendagri tentang Juknis Pelaksanaan Musrenbang b. dilaksanakannya pemberdayaan partisipatoris bagi segenap unsur stakeholders Musrenbang; dan c. sinkronisasi dan realisasi hasil-hasil perencanaan pembangunan yang bersifat bottom up and top down planning. 4. Substansi materi pokok pelatihan yang diajarkan, meliputi: a. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang b. Pembangunan Sosial Dan Pengembangan Masyarakat c. Aset-aset Komunitas d. Assessment and Participatory Rural Appraisal (PRA) e. Penyiapan Instrumen PRA (Diskusi Kelompok) f. Praktek Lapangan (Pengumpulan Data Lapangan) g. Pembahasan Hasil Lapangan h. Pengembangan Rencana Program Aksi
102
i. j.
Presentasi Kelompok; dan Evaluasi Kegiatan.
5. Sebagai fasilitator ahli, sengaja di datangkan Pakar Pemberdayaan Masyarakat dari Universitas Indonesia Jakarta, yang dibantu oleh beberapa praktisi community development, dan ahli regional planning dari Bappeda Kota Tarakan. 6. Setelah mengikuti pelatihan (TOT) para stakeholders Musrenbang tersebut, berkewajiban mentransformasikan semua pengetahuan dan keterampilan tentang Musrenbang kepada masyarakat. Melakukan berbagai tindakan upayaupaya penyadaran terhadap masyarakat, agar mereka dapat terlibat secara aktif merumuskan program/ kegiatan pembangunannya dalam Musrenbang Kelurahan/ Kecamatan.
3.1.2 Musrenbang
1. Musrenbang Kelurahan Musrenbang Kelurahan merupakan titik awal dari proses perencanaan berjenjang. Oleh karena itu, Pemkot Tarakan berpendapat bahwa jika ingin mengharapkan output perencanaan yang peka terhadap aspirasi publik, Musrenbang Kelurahan harus dilakukan secara cermat dan serius. Musrenbang Kelurahan diikuti oleh segenap komponen masyarakat baik individu atau kelompok seperti: Ketua RT/RW, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Ketua Adat, Kelompok Perempuan dan Pemuda, Pengusaha, Kelompok Tani/Nelayan dan Komite Sekolah. Musrenbang Kelurahan dilaksanakan secara bergantian di 20 Kelurahan. Hasil Musrenbang Kelurahan terdiri dari: a. Daftar Prioritas Kegiatan yang akan dilaksanakan sendiri oleh Kelurahan yang bersangkutan, b. Daftar Prioritas Kegiatan yang akan diusulkan ke Kecamatan, c. Daftar nama anggota delegasi yang akan membahas hasil Musrenbang Kelurahan pada forum Musrenbang Kecamatan. 2. Musrenbang Kecamatan Tujuan utama diselenggarakannya Forum Musyawarah Kecamatan ini adalah untuk menyepakati kegiatan lintas Kelurahan di masing-masing Kecamatan sebagai dasar untuk diusulkan pada Forum SKPD. Hasil Musrenbang Kecamatan antara lain: a. Daftar kegiatan prioritas yang diusulkan untuk dilaksanakan tahun 2006 di masing-masing Kecamatan. Daftar Kegiatan tersebut diklasifikasikan sesuai SKPD dan atau gabungan SKPD yang membidangi, b. Daftar nama delegasi Kecamatan yang ditunjuk untuk mewakili Kecamatan masing -masing di Forum SKPD dan Musrenbang Kota.
103
3. Forum SKPD Untuk memastikan diakomodirnya hasil Musrenbang Kecamatan ke dalam Program/ Kegiatan Badan/ Dinas terkait maka diselenggarakan Forum SKPD. Dalam Forum ini, masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mempresentasikan Rancangan Program/ Kegiatan dihadapan utusan Musrenbang Kecamatan. Sehingga, apabila ada usulan Program/ Kegiatan hasil Musrenbang Kecamatan yang belum terakomodir dalam Program/ Kegiatan SKPD maka dapat dilakukan klarifikasi dan sinkronisasi. Hasil utama Forum SKPD adalah Rencana Kerja SKPD yang sudah disinkronkan dengan hasil Musrenbang Kecamatan 4. Musrenbang Kota Musrenbang Kota adalah forum kesepakatan stakeholder pembangunan pada tingkat Kota Tarakan untuk mematangkan Rancangan RKPD 2006, berdasarkan hasil Forum SKPD. Hasil pokok Musrenbang Kota adalah Daftar Prioritas Kegiatan yang dipilah menurut sumber pendanaan: APBD Kota Tarakan, APBD Provinsi Kaltim dan APBN. Hasil ini dipergunakan sebagai bahan masukan untuk finalisasi Draft RKPD Kota Tarakan 2006. 3.1.3 Pasca Musrenbang
1. Penyusunan RKPD, Kebijakan Umum Anggaran dan Strategi Prioritas (KUA dan SP), Plafond Anggaran (PPA) dan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) Tahun 2006 Hasil Musrenbang secara berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai Kota, setelah melalui sinkronisasi dengan Program Provinsi melalui Musrenbang Provinsi dan Program Nasional melalui Musrenbang Nasional, kemudian dirumuskan menjadi dokumen RKPD 2006. Proses berikutnya adalah perumusan Draft KUA dan SP. Masing-masing SKPD berdasarkan RKPD mengusulkan Program/ Kegiatan disertai target yang terukur. Usulan Program/ Kegiatan masing-masing SKPD disertai sasaran yang rinci dan pagu anggaran indikatif, kemudian dikompilasi menjadi Draft KUA dan SP 2006. Penyerahan Draft KUA dan SP 2006 kepada Tim Anggaran Legislatif dilakukan secara terbuka melalui Sidang Paripurna DPRD yang dihadiri semua stakeholders pembangunan dan diliput oleh media cetak dan TV lokal. Hal ini dimaksudkan agar publik mengetahui secara transparan setiap tahapan proses penyusunan APBD. Setelah itu dilakukan pembahasan bersama antara Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif melalui forum dengar pendapat yang menghadirkan Kepala SKPD masing-masing. Pada forum ini Tim Anggaran Legislatif berkesempatan menguji konsistensi usulan Program/ Kegiatan SKPD terhadap usulan masyarakat, baik hasil Musrenbang maupun hasil kegiatan reses anggota DPRD. Program/Kegiatan yang tidak konsisten dengan usulan masyarakat akan dieliminir.
104
Setelah KUA dan SP disepakati, maka dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman KUA dan SP antara Walikota dan Ketua DPRD dalam forum Sidang Paripurna DPRD yang diliput media cetak dan TV secara luas. Inti dari KUA dan SP adalah memberikan arah kebijakan serta prioritas utama pembelanjaan APBD 2006, disesuaikan dengan aspirasi masyarakat. Dokumen ini menjadi dasar penentuan plafond anggaran tiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Tarakan. Setelah Plafond Anggaran ditetapkan, masingmasing SKPD yang kemudian menjabarkannya menjadi Rencana Anggaran SKPD (RASK). 2.
Dengar Pendapat seluruh SKPD dalam Pembahasan Raperda APBD di Panggar legislatif Proses berikutnya adalah penysunan Draft APBD Kota Tarakan Tahun 2006. Kemudian dilanjutkan dengan Penyampaian Nota Keuangan APBD 2006 dalam Sidang Paripurna DPRD. Setelah itu dilakukan pembahasan secara detail, yang menghadirkan setiap Kepala Dinas/ Badan dalam rapat kerja dengan Tim Anggaran Legislatif. Pembahasan ini sangat transparan, dimana masingmasing pengusul anggaran dalam hal ini masing-masing Kepala Dinas/ Badan menjalani semacam ujian oleh Tim Anggaran Legislatif dan Eksekutif terhadap semua usulan proram masing-masing Dinas/ Badan. Kriteria utama untuk menguji apakah suatu usulan dapat disetujui atau dibatalkan adalah seberapa jauh usulan anggaran masing-masing SKPD menerapkan prinsip efektif dan efisien serta bagaimana konsistensinya terhadap aspirasi masyarakat. Proses ini memakan waktu cukup panjang sekitar 50 hari kalender. Setelah verifikasi akhir bersama antara Tim Anggaran Eksekutif dan Legislatif, maka Final Draft APBD dikirim ke Provinsi Kaltim untuk mendapatkan evaluasi. Proses evaluasi di Provinsi menghabiskan waktu lebih kurang 10 hari. Akhirnya, APBD Kota Tarakan Tahun 2006 disahkan menjadi Perda melalui Sidang Paripurna DPRD pada tanggal 21 Februari 2006. 3.2 Komposisi Anggaran Belanja yang Berpihak pada Kepentingan Rakyat dan Konservasi Lingkungan
Total Anggaran Belanja Kota Tarakan Tahun 2006 sebesar 494 Milyar Rupiah. Komposisi Belanja Aparatur adalah 37 % dan Belanja Publik mencapai 63 %. Rincian lebih detail dapat dilihat sebagai berikut:
3.2.1 Pemihakan pada Kepentingan Rakyat
Anggaran yang dikategorikan memihak pada kepentingan rakyat adalah yang mengemban fungsi pelayanan dasar meliputi pendidikan dasar, kesehatan, infrastruktur dan dukungan kegiatan ekonomi masyarakat. Anggaran yang masuk dalam kategori ini mencapai 49,5 % yang meliputi anggaran belanja Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan dan Tanaman Pangan, Dinas
105
Perikanan dan Kelautan, Dinas Perdagangan dan Koperasi dan Dinas Pekerjaan Umum. Perlu dicatat bahwa untuk pertama kalinya pada APBD 2006, dialokasikan secara khusus anggaran Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sebesar 0,5 % dari APBD sebagai pilot project. Telah disepakati bersama dengan Tim Anggaran Legislatif bahwa jika pilot project ini berhasil, maka anggarannya akan dinaikkan secara signifikan. Berbagai program proritas yang dapat dikategorikan ke dalam pemihakan pada kepentingan rakyat antara lain adalah sebagai berikut: 1. Program Pengembangan Usaha Koperasi, Usaha Mikro dan Usaha Kecil 2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun 3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat 4. Program Perbaikan Gizi Masyarakat 5. Program Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin 6. Program Lingkungan Sehat Perumahan 7. Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan 8. Program Pemberdayaan Komunitas Perumahan 9. Program Pengembangan Usaha Perikanan 10. Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dan Peternakan 11. Program Pembangunan Prasarana Jaringan Utilitas 12. Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai 13. Program Pengembangan Sarana Prasarana Transportasi Darat, Laut dan Udara 14. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 15. Program Pembangunan Jalan, Jembatan dan Drainase 16. Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan
3.2.2 Konservasi Lingkungan Hidup
Alokasi anggaran ini diasumsikan untuk mengukur komitmen dan kepedulian Pemerintah Kota Tarakan terhadap isu lingkungan hidup. Anggaran Urusan Lingkungan Hidup secara total mencakup 7.5%, meliputi anggaran Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Mineral, Dinas Kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kependudukan dan Dinas Tata Kota. Anggaran tersebut untuk membiayai berbagai Program Prioritas sebagai berikut: 1. Program Rehabilitasi dan Perlindungan Hutan 2. Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang 3. Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup 4. Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau 5. Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut 6. Program Pengendalian Penduduk 7. Program Peningkatan Kinerja Pengelolaan Sampah dan Drainase
106
3.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Anggaran Pada tahap implementasi Perda No.2 Tahun 2006 Tentang APBD Kota Tarakan, secara rutin setiap bulan dilaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap semua pelaksanaan kegiatan pembangunan Kota Tarakan. Rekapitulasi hasil monev untuk keseluruhan kegiatan pembangunan dalam setiap kuartal, kemudian dirangkum dalam satu agenda Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal) Pembangunan. Hal ini untuk memastikan bahwa implementasi APBD tersebut dapat berjalan dengan konsisten sesuai rencana dan mampu meminimalisir terjadinya inefisiensi atau kebocoran anggaran. Sebagai ilustrasi, pada pelaksanaan APBD 2005, tidak dilakukan kegiatan monev secara rutin, sehingga kendala-kendala yang bersifat birokrasi administrasi yang menghambat pencairan anggaran tidak dapat di deteksi secara dini. Pada akhirnya, terjadi keterlambatan penyerapan anggaran yang berakibat pada pencairan anggaran secara besar-besaran menjelang akhir tahun. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas output kegiatan karena pelaksanaannya dilakukan secara terburu-buru pada akhir tahun. Dengan cara melakukan monev secara rutin, dapat dideteksi secara dini, apabila ada kendala-kendala pelaksanaan pembangunan dan dapat segera dicarikan solusinya, sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan secara tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu. Oleh karenanya, dengan monev dapat dicapai: 1. peningkatan efektifitas koordinasi baik internal maupun eksternal dalam rangka memantapkan akuntabilitas kinerja sistem pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan 2. pelaksanaan kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan secara tepat waktu, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
4. Kesimpulan/ Temuan Pokok 4.1 Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Partisipasi Masyarakat Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa berbagai perangkat peraturan dan planning tools yang tersedia untuk melakukan bottom up planning sesungguhnya bukan hal baru bahkan sudah ada Permendagri No. 9 Tahun 1982 yang mengatur tentang perencanaan berjenjang dari bawah. Namun demikian, akibat kuatnya pengaruh centralised planning di Era Orde Baru, mekanisme perencanaan dari bawah tersebut tidak berjalan. UU 25 Tahun 2004 yang ditindak lanjuti dengan SE Bersama Meneg PPN/Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/ M.PPN/1/2005 telah memberikan payung regulasi yang kuat bagi pelaksanaan participatory planning process. Namun demikian, substansi perencanaan yang dihasilkan masih belum banyak berubah dimana masyarakat tetap merasa dipinggirkan dan usulannya tidak
107
terakomodir dalam APBD. Melalui perbaikan mekanisme pada semua alur proses dari Musrenbang sampai pembahasan Raperda APBD, Pemerintah Kota Tarakan membuktikan bahwa telah terjadi pemihakan kepada kepentingan rakyat dan juga perlindungan lingkungan hidup pada komposisi APBD 2006. Hal ini dikarenakan, Pemkot Tarakan mengimplementasikan berbagai perangkat regulasi tersebut secara cermat dan sungguh-sungguh dan tidak sekedar menjalankan Musrenbang secara formal prosedural belaka. Demikian halnya pada saat Penetapan KUA dan SP serta pembahasan Raperda APBD, keterlibatan Tim Anggaran Legislatif serta masyarakat luas sangat intensif. 4.2 Komposisi Anggaran Belanja Proses penyusunan Perda APBD Tahun 2006 Kota Tarakan dilaksanakan dengan sangat partisipatif, transparan serta dengan sangat cermat menempatkan asas efektif dan efisien dalam menilai setiap usulan program/ kegiatan pembangunan. Dari total pembelanjaan 494 Milyar Rupiah, secara umum komposisi belanja aparatur dialokasikan sebesar 37 persen dan belanja publik mencapai 63 persen. Penting untuk dicatat juga bahwa anggaran bidang pendidikan telah mencapai angka 23 %. Secara keseluruhan Anggaran yang dipergunakan untuk melakukan pemihakan pada pelayanan publik mencapai 49,5 % dan untuk konservasi lingkungan mencapai 7,5 %. 4.3 Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Melalui kegiatan monev rutin setiap bulan dan Rakordal tiap kuartal dapat dipastikan bahwa implementasi APBD tersebut dapat berjalan dengan konsisten sesuai rencana dan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran. Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa makalah ini membantah anggapan umum bahwa prirotas anggaran daerah tidak dipergunakan bagi pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena terdapat kombinasi yang cukup ideal antara kepemimpinan Walikota yang komit pada pelayanan publik, dukungan politik DPRD yang kondusif, partisipasi masyarakat yang kritis konstruktif dan perencana Pemkot yang profesional.
5. Rekomendasi Integrasi Perencanaan dan Penganggaran dalam proses penetapan suatu Perda APBD merupakan intrumen yang potensial untuk mendorong tercapainya good governance dan clean government, jika prosesnya dilakukan secara cermat dan sungguh-sungguh dan tidak sekedar melaksanakan prosedur formal. Dalam pelaksanaan Musrenbang berjenjang dari tingkat Kelurahan sampai Nasional, dirasakan waktunya terlalu pendek, sehingga seringkali dalam
108
merumuskan prioritas kegiatan dilakukan secara terburu-buru. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas APBD, perlu dirancang suatu system monev dan pengawasan legislative yang efektif.
6. Referensi 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 7. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 8. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas dan Mendagri No 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/SJ tentang Petunjuk Teknis Musrenbang Tahun 2005
109
2. Implementasi Perda di Kota Gorontalo (Sebuah Kajian dan Telaahan Mengenai Perda No. 2, 3, 4 Tahun 2002)
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan otonomi daerah yang dijiwai semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mendorong terjadinya perubahan paradigma pelayanan Pemerintah Daerah baik di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mekanisme dan sistem pelayanan pemerintah di hampir semua aspek dan bidang pembangunan yang dulunya bersifat sentralistik, kini telah berubah dan dilandasi oleh asas desentralisasi dimana daerah-daerah diberikan porsi secara lebih luas mengatur dan menata sendiri daerahnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pemberian kewenangan sesuai azas desentralisasi tersebut, maka Pemerintah Kota Gorontalo dalam menyikapi kondisi realitas terutama yang berkaitan dengan penataan dan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan sekaligus sebagai upaya mewujudkan kondisi pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance) telah melahirkan beberapa produk Peraturan Daerah (PERDA), yaitu: 1. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat; 2. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo; dan 3. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo. Ketiga PERDA tersebut diatas secara umum dalam kehidupan masyarakat Kota Gorontalo dikenal dengan nama PERDA “Dji Sam Soe”. Manifestasi dari ketiga peraturan daerah ini pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance). 1.2 Sistimatika Peraturan Daerah Sistimatika Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002, dapat diuraikan sebagai berikut:
110
1. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 Peraturan daerah ini terdiri dari 9 bab 32 pasal dan ruang lingkup materinya mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Azas dan Tujuan, Bab III Hak/ Kewajiban Masyarakat dan Kewajiban Badan Publik, Bab IV Pendekatan dan Proses P2BM, Bab V Tahapan Pelaksanaan P2BM, Bab VI Badan Pengawas Konsistensi P2BM, Bab VII Badan Koordinasi P2BM, Bab VIII Sanksi, Bab IX Ketentuan Penutup 2. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 Peraturan daerah ini terdiri dari 11 bab 40 pasal dan ruang lingkup materinya mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Kewajiban dan Hak, Bab III Hak Masyarakat Terhadap Badan Publik Informasi, Bab IV Informasi Yang Dikecualikan, Bab V Komisi Transparansi, Bab VI Tugas, Fungsi dan Kewenangan, Bab VII Keberatan, Bab VIII Anggaran dan Biaya, Bab IX Sanksi Pidana, Bab X Ketentuan Peralihan, dan Bab XI Ketentuan Penutup. 3. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 Peraturan daerah ini terdiri dari 13 bab 23 pasal dan ruang lingkup materinya mencakup; Bab I Ketentuan Umum, Bab II Ruang Lingkup Pengawasan, Bab III Pelaksanaan Pengawasan, Bab IV Sasaran Pengawasan, Bab V Cara Pengawasan, Bab VI Tenggang Waktu Pengawasan, Bab VII Koordinasi Pengawasan, Bab VIII Pelaporan, Bab IX Tindak Lanjut Hasil Pengawasan, Bab X Sanksi, Bab XI Ketentuan Lain-Lain, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.
2. Gambaran Umum Kota Gorontalo Kota Gorontalo terletak diantara wilayah Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango dan Teluk Tomini. Luas wilayah Kota adalah 64,79 Km2. Wilayah Kota ini terbagi atas 6 Kecamatan dan 46 Kelurahan. Kota Gorontalo sejak tahun 2001 berubah fungsi dan peran menjadi Ibukota Propinsi Gorontalo, seiring dengan ditetapkannya Gorontalo sebagai Propinsi. Melalui fungsi ini, Kota Gorontalo menjadi bagian dari jaringan sistem kota, baik secara Regional maupun Nasional. Topografi wilayah relatif datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 – 5 meter. Wilayah kota Gorontalo dilalui 3 (tiga) buah sungai besar yaitu sungai Bone, sungai Bolango dan sungai Tamalate. Ketiga sungai ini bermuara diTeluk Tomini Gorontalo. Perkembangan penduduk Kota Gorontalo dalam kurun waktu dari Tahun 2000-2004 rata–rata 2,44 % pertahun, yaitu dari jumlah 134.931 Jiwa pada Tahun 2000 manjadi 148.080 Jiwa pada Tahun 2004. Data populasi dan kepadatan penduduk Tahun 2004 seperti terlihat pada tabel berikut.
111
No.
Kecamatan
Luas (Km2)
Populasi 2004 (Jiwa)
Kepadatan %
1.
Kota Barat
11,68
17,257
11,65
1,138
2.
Dungingi
5,03
15.500
10,30
3,780
3.
Kota Selatan
14.39
33,073
22,33
2,298
4.
Kota Timur
14.43
38,182
25,78
2,551
5.
Kota Utara
12,58
24,552
16,58
1,710
6.
Kota Tengah
4,13
20.886
14,10
4,211
TOTAL
64.79
148.080
100,00
2,201
Sumber: BPS Kota Gorontalo, 2005
Sarana dan prasarana yang tersedia relatif diperhadapkan dengan kebutuhan masyarakat. Namun jika dikaitkan dengan peran dan fungsi kota sebagai pusat pelayanan multi jasa di Provinsi Gorontalo dan sekitarnya, terlebih lagi bila dikaitkan keberadaannya sebagai ibukota Provinsi, maka ketersediaan sarana dan prasarana ini sesungguhnya masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut karena munculnya krisis moneter dan krisis ekonomi. Pada Tahun 1998 pertumbuhan minus sebesar 2,29%, dan pada Tahun 1999 mulai tumbuh lagi menjadi sebesar 5,76%, kemudian naik menjadi 5,85% pada Tahun 2000. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 6,41 %, Tahun 2003 meningkat menjadi 6,59%, Tahun 2004 sebesar 6,61%, dan pada Tahun 2005 menjadi 6,81%. No.
Lapangan Usaha
Pertumbuhan 2002
2003
2004*)
1.
Pertanian
2.29
1,11
2,27
2.
Pertambangan
1.74
1,03
8,53
3.
Industri
2.63
3,63
5,59
4.
Listrik/gas/air
5.18
6,46
10,54
5.
Konstruksi
5.35
5,01
12,41
6.
Perdagangan
9.84
7,55
6,13
7.
Angkutan
6.68
8,05
1,59
8.
Keuangan
6.22
12,23
27,94
9.
Jasa
3.80
5,43
8,52
PDRB
6.41
6,59
6,61
Sumber: BPS Kota Gorontalo – PDRB Kota Gorontalo, 2005 Catatan: *) merupakan angka sangat sementara.
112
2005**)
Kondisi sosial budaya Kota Gorontalo didominasi oleh pola kehidupan keseharian masyarakat yang bernafaskan Islami, karena mayoritas penduduk kota beragama Islam (98 %) dan selebihnya penduduk beragama Kristen Protestan, Katholik, Budha dan Hindu. Walau didominasi masyarakat beragama Islam, namun aktifitas kehidupan antar dan inter umat beragama cukup harmonis. Hal ini merupakan modal utama daerah dalam menjaga keamanan dan kestabilan pembangunan. Gorontalo termasuk salah satu dari 19 Daerah Adat di Indonesia, dimana daerah ini terkenal pula dengan falsafah adat budayanya yaitu ”Adat Bersendikan Syara dan Syara Bersendikan Kitabullah”. Penerapan hidup bersih dan sehat masyarakat Kota Gorontalo tercermin dalam peningkatan derajat kesehatan, antara lain dapat dilihat pada tabel perkembangan Usia Harapan Hidup, AKB, AKI, Status Gizi Kurang, Status Gizi Baik, Gizi Buruk, dan KEP Tahun 2003-2005 berikut: No.
URAIAN
TAHUN 2003
1.
Usia Harapan Hidup a. Laki-laki b. Perempuan
2004
2005
64 Thn 65 Thn
65 Thn 65 Thn
65 Thn 65 Thn
2,52 Orang
4,22 Orang
3,24 Orang
144,04 Orang
76,78 Orang
161,81 Orang
2.
Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1000 kelahiran hidup)
3.
Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan (per 100.000 kelahiran hidup)
4.
Kurang Energi Protein (KEP)
8,8 %
5,9 %
6,39 %
5.
Gizi Buruk (%)
0,5 %
0,5 %
1,3 %
6.
Gizi Kurang (%)
8,4 %
5,4 %
5,1 %
7.
Gizi Baik (%)
90,0 %
93,5 %
91 %
8.
Gizi Lebih (%)
0,6 %
0,7 %
2,2 %
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, 2006.
113
3. Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kota Gorontalo 3.1 Visi, Misi Kota Periode 2003 - 2008 Visi harus dirumuskan dan ditetapkan dalam batas waktu yang jelas, sebagai implementasi dan tindak lanjut dari pasal 37 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000. Visi itu adalah ”Terwujudnya Masyarakat Kota Gorontalo yang Sejahtera dan Berkualitas”, dengan Misi diemban adalah: 1. Peningkatan profesionalitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan disemua sektor kehidupan. 2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun rohani. 3. Meningkatkan pendapatan masyarakat. 3.2 Strategi Pembangunan Kota Gorontalo Strategi pembangunan Kota Gorontalo dilakukan melalui pendekatan: 1. Mengopimalkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Kota Gorontalo, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan pembangunan. 2. Mengoptimalkan potensi sumber daya dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, dalam mengakselerasi pwembangunan. 3. Mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, sebagai salah satu modal utama dalam mengakslerasikan pembangunan daerah. 4. Menjadikan supremasi Hukum, Etika Moral dan HAM sebagai pilar utama pembangunan Kota Gorontalo.
4. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 di Kota Gorontalo 4.1 Gambaran Pelaksanaan Perda Nomor 2, 3, 4 Tahun 2002 Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 di Kota Gorontalo antara lain didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: 1. Memenuhi tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang baik disemua bidang pembangunan 2. Mewujudkan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hak azasi manusia dan etika moral 3. Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengasan pembangunan
114
Dengan pertimbangan pelaksanaan ketiga Peraturan Daerah tersebut diatas, maka tujuan akhir yang ingin dicapai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kota Gorontalo adalah terwujudnya kondisi pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance). Guna mewujudkan Good Governance ini maka syarat utama yang dikedepankan adalah terciptanya Pemerintah (eksekutif), Legislatif dan Yudikatif yang baik. Oleh karena itu Pemerintah Kota Gorontalo memiliki komitmen yang kuat telah menetapkan bahwa strategi pembangunan berbasis pada masyarakat. Dengan demikian Inti dari pembangunan berbasis pada masyarakat adalah pelibatan masyarakat sebagai stakeholders dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/evaluasi pembangunan. Penerapan Perda No. 2, 3, 4 Tahun 2002 dalam mengiringi proses penyelenggaraan pemerintahan di Kota Gorontalo, pada hakekatnya adalah: 1. Adanya kewajiban Pemerintah Daerah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasanb pembangunan 2. Pemerintah Daerah memiliki kewajiban memenuhi hak-hak fundamental masyarakat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan 3. Pemerintah Daerah memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat baik dalam hal pelayanan, maupun dalam upaya mengetahui secara pasti proses, pelaksanaan dan hasil-hasil pembangunan di daerah 4. Mewujudkan sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat sebagai stakeholders mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan pembangunan di daerah.
4.1.1 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat pada gilirannya merupakan proses penjabaran yang lebih bersifat operasional serta dijiwai semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, paradigma perencanaan pembangunan yang dulunya bersifat topdown telah diubah dan prosesnya berlangsung secara bottom up. Kondisi ini telah ditegaskan secara lebih operasional dalam Perda Nomor 2 Tahun 2002 dimana mekanisme perencanaan pembangunan melibatkan masyarakat sebagai Stakeholders mulai dari penyusunan rencana sampai dengan proses pengambilan keptusan strategis. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan tidak semata-mata bersifat obyek tetapi juga lebih bersifat subjek perencana yang turut menentukan prioritas kegiatan pembangunan baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan dan tingkat Kota Gorontalo. Oleh karena dengan adanya Perda No. 2 Tahun 2002 ini masyarakat memperoleh
115
jaminan dan kepastian atas hak-haknya dalam proses pertencanaan, maka tujuan yang dicapai dalam penerapan Perda ini, yaitu: 1. Terwujudnya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana dan proses pengambilan keputusan publik. 2. Tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk mengefektifkan fungsi-fungsi perencanaan yang ada pada masyarakat ke dalam proses perencanaan pembangunan Kota Gorontalo. 3. Terwujudnya peningkatan kualitas aspirasi masyarakat dalam memberikan input bagi pengambilan kebijakan publik. 4. Adanya kepastian dan jaminan bahwa setiap orang (masyarakat) mengetahui alasan dan pertimbangan bahwa suatu agenda pembangunan menjadi prioritas bersama. Meskipun pada kondisi awalnya upaya mencapai tujuan tersebut di atas belum berjalan secara optimal, namun dalam perkembangan selanjutnya warga masyarakat di Kota Gorontalo telah menyadari bahwa melalui forum Musrenbang mereka telah dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan rencana di tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota. Keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka penentuan prioritas kegiatan di tingkat Kelurahan melibatkan segenap potensi masyarakat sehingga keputusan itu telah menggambarkan adanya keputusan partisipatif. Dengan demikian disinilah substansi dari Perda Nomor 2 Tahun 2002 yaitu untuk memberikan dan menjamin hak setiap orang baik secara individu maupun kelompok untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses perencanaan baik ditingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo.
4.1.2 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 pada hakekatnya mengatur tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo. Salah satu pertimbangan diwujudkannya Perda tersebut adalah dalam rangka memenuhi berbagai tuntutan masyarakat atas Penyelenggaraan Pemerintahan diberbagai bidang pembangunan di wilayah Kota Gorontalo. Lahirnya Perda Nomor 3 Tahun 2002 ini merupakan wujud sikap dari Pemerintah Kota Gorontalo bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, untuk mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat yang dalam kehidupannya diliputi oleh semangat keterbukaan dan kebebasan mengemukakan pendapat. Karakteristik masyarakat yang ditempah dan telah melalui proses arus reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, mendorong Pemerintah Kota Gorontalo untuk menyikapi secara sungguh-sungguh dinamika perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Perda Transparansi ini lahir sebagai jawaban atas semua kehendak warga masyarakat yang dibingkai dalam aturanaturan yang jelas dan terukur. Dengan adanya Perda No. 3 Tahun 2002 maka beberapa aspek yang wajib
116
disampaikan oleh Pemerintah Kota Gorontalo kepada masyarakat, antara lain: 1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi) mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota 2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan pembahasan dan penetapan 3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo 4. Informasi proses pengawasan yang mencakup obyek yang diawasi sampai hasil-hasil audit 5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing badan publik Untuk keperluan perolehan informasi tersebut diatas, maka masyarakat Kota Gorontalo memiliki hak untuk mendapat informasi selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah adanya permintaan informasi dari masyarakat. Di dalam Perda No. 3 Tahun 2002 diatur pula ketentuan informasi yang dikecualikan untuk diketahui oleh masyarakat. Pengecualian informasi ini didasarkan pada pertimbangan penegakan hukum, stabilitas keamanan dan hak-hak warga negara. Beberapa informasi yang dikecualikan itu apabila dibuka dan diberikan kepada masyarakat akan berdampak pada hal-hal sebagai berikut: 1. Terhambatnya proses penegakan hukum. 2. Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual 3. Mengganggu perlindungan terhadap timbulnya persaingan usaha tidak sehat. 4. Merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional. 5. Melanggar kerahasiaan pribadi Untuk menjamin penerapan transparansi dalam pelaksanaan/ pengelolaan keuangan, maka dalam Perda Nomor 3 Tahun 2002 ini diatur mengenai pembentukan Komisi Transparansi. Oleh karenanya di Kota Gorontalo telah terbentuk sebuah Komisi Transparansi yang anggota-anggotanya dipilih oleh DPRD atas usulan warga masyarakat dan ditetapkan dengan keputusan Walikota Gorontalo. Tugas utama dari Komisi Transparansi ini yaitu melakukan pengawasan terhadap kewajiban badan publik dan mengkaji, mengembangkan kapasitas badan publik untuk melaksanakan transparansi. Sedangkan fungsi dari Komisi ini antara lain melakukan evaluasi terhadap penggunaan hak masyarakat sebagai bahan penyempurnaan kebijakan publik. Di sisi lain Komisi ini pula memiliki kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24 yaitu diantaranya adalah dapat meminta informasi, catatan atau bahan-bahan dari pejabat yang bertanggung jawab tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
4.1.3 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 mengatur tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo. Beberapa pertimbangan dicetuskannya Perda ini diantaranya bahwa dalam rangka penyelenggaraan
117
Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maka dipandang perlu menekankan prinsip-prinsip demokratisasi, keadilan dan pemerataan bagi segenap warga masyarakat Kota Gorontalo. Selain itu guna mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahaan Daerah yang baik dan bersih serta mampu menjalankan fungsi dan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, maka diperlukan peran serta masyarakat untuk melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Substansi hukum dari Perda dimaksud tetap saja dijiwai oleh berbagai peraturan perundangan diatasnya mengenai Sistem Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dengan memperhatikan pasal-pasal dalam Perda No. 4 Tahun 2002, sangat jelas ditegaskan bahwa ruang lingkup pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di Kota Gorontalo terdiri dari Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif dan Pengawasan Masyarakat. Dalam hal pengawasan ini, kedudukan Walikota Gorontalo dapat melakukan pengawasan fungsional kepada Unit/ Badan/ Dinas sebagai Penyelenggara Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Daerah Kota Gorontalo. Kedudukan Badan Pemeriksa Daerah dalam amanat Perda ini dinyatakan secara tegas selain bertanggungjawab terhadap Walikota, juga bertanggungjawab terhadap masyarakat melalui DPRD Kota Gorontalo dalam hal melakukan pengawasan. Selanjutnya DPRD Kota Gorontalo berwenang melakukan pengawasan legislatif atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh FraksiFraksi, Komisi-Komisi dan alat kelengkapan Dewan lainnya yang dibentuk sesuai dengan Tata Tertib DPRD Kota Gorontalo. Suatu hal yang dinilai lebih spesifik terhadap Perda No. 4 Tahun 2002 ini sebagai produk aturan lokal adalah diberinya ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat meliputi pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintah Daerah dan DPRD Kota Gorontalo. Selain itu masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan saran mengenai perbaikan dan penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah yang berkembang. Untuk keperluan pengawasan yang lebih maksimal, maka upaya yang dilakukan dalam rangka pemberian ruang dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan, diantaranya adalah: 1. Pembukaan Kotak Saran di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 2. Pelaksanaan Hearing di tingkat badan legislatif (DPRD) 3. Dibukanya rubrik informasi melalui SMS di media cetak 4. Pelaksanaan dialog baik secara langsung dan terbuka maupun melalui media elektronika dengan program “Kopi Lolango” 5. Adanya kewajiban semua Instansi/Badan Publik menerapkan sistem CT4 (Cepat Temu, Cepat Tanggap, Cepat Tindak dan Cepat Tuntas)
118
Dari hasil pengamatan tentang kondisi pengawasan yang berlangsung diperoleh gambaran bahwa implementasi Perda No. 4 tahun 2002 dinilai telah banyak memberikan kontribusi positif bagi setiap Unit/ Badan/ Dinas sebagai Penyelenggara Pemerintahan di Daerah untuk melakukan penataan dan perbaikan terhadap kinerja aparaturnya. Hasil-hasil temuan atas penyimpangan yang terjadi tidak sekedar menjadi bahan informasi dalam perbaikan kebijakan pengawasan, melainkan dalam proses pembenahan kinerja aparatur pemerintah hasil temuan tersebut menjadi bahan tindak lanjut dalam pemberian sangsi. Sesuai Pasal 17 Perda Nomor 4 Tahun 2002 dengan tegas dinyatakan bahwa tindak lanjut hasil temuan dapat berupa; 1. Tindakan administratif sesuai Peraturan Perundangan 2. Tindakan tuntutan perbendaharaan atau ganti rugi 3. Tindakan tututan perdata 4. Tindakan tuntutan perbuatan pidana, dan 5. Tindakan penyempurnaan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan. 4.2 Implikasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2, 3, 4 Tahun 2002 Bila dikaji lebih jauh implementasi Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 Kota Gorontalo, sangat jelas termuat dalam peraturan tersebut masyarakat Kota Gorontalo diberi peluang dan ruang yang lebih luas untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses pembangunan daerah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002, kedudukan warga masyarakat mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Tingkat Kota Gorontalo memiliki peran strategis dalam penentuan prioritas kegiatan pembangunan daerah. Ruang yang demikian luas itu tampak dari keterlibatan warga masyarakat dalam proses penyusunan rencana sampai dengan pengambilan keputusan strategis mengenai penentuan prioritas kegiatan dalam pembangunan. Keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat mulai dari Tingkat Kelurahan, Kecamatan sampai dengan Tingkat Kota Gorontalo turut mewarnai setiap pengambilan kebijakan publik yang diakumulasi melalui hasil-hasil musyawarah perencanaan pembangunan. Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang digelar di semua tingkatan wilayah baik Kelurahan, Kecamatan dan Kota adalah sebuah representasi dari adanya kemauan dan keinginan yang kuat Pemerintah Kota Gorontalo untuk mendorong terwujudnya peningkatan partisipasi masyarakat. Kondisi ini pada hakekatnya merupakan amanat konstitusi (PERDA) yang mengandung makna agar warga masyarakat menyadari bahwa prioritas kegiatan pembangunan yang sudah ditetapkan melalui Musrenbang adalah benar-benar lahir dari sebuah kesepakatan bersama, adil dan merata. Mengingat demikian besarnya ruang yang diberikan kepada masyarakat sesuai amanah Perda tersebut diatas, maka masyarakat pun menghendaki perlunya
119
transparansi dalam proses penyelenggaraan pembangunan daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah bekerja sama dengan DPRD Kota Gorontalo dalam menyikapi kondisi eksternal yang berkembang di masyarakat berupaya melahirkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo. Dalam Perda Transparansi ini, peran serta warga masyarakat Kota Gorontalo tampak menjadi prioritas utama yang dikedepankan dalam mengawal Proses Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Dengan terbentuknya Komisi Transparansi di Kota Gorontalo sesuai amanat Perda No. 3 Tahun 2002, maka hal tersebut merupakan bukti konkrit dari sebuah keinginan kuat Penyelenggara Pemeritahan di Daerah Kota Gorontalo dalam mendorong tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat. Meskipun Komisi Transparansi ini ditetapkan oleh Walikota Gorontala atas usulan masyarakat melalui DPRD Kota Gorontalo, dalam kiprahnya Komisi tersebut menjalankan tugas dan fungsinya tetap berpijak pada prinsip independensi, terbuka dan berkeadilan. Oleh karena itu eksistensi tugas dari Komisi Transparansi ini terhindar dari adanya unsur intervensi dan tekanan dari pihak manapun. Guna memperkuat tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance), serta untuk mengawasi jalannya pelaksanaan pembangunan di daerah, maka Pemerintah Daerah bersamasama dengan DPRD Kota Gorontalo menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo. Dalam peraturan daerah ini selain diatur mengenai pengawasan fungsional dan legislatif, dinyatakan pula dengan tegas bahwa masyarakat Kota Gorontalo diberi porsi secara khusus mengawasi proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Masyarakat dalam melakukan pengawasan dapat secara perorangan maupun melalui sebuah organisasi memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memberi dan menerima informasi mengenai hasil penyelenggaraan pemerintahan serta kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat itu. Ini berarti warga masyarakat Kota Gorontalo memiliki peran strategis dan ditempatkan pada posisi yang sesuai hak dan kewajibannya dalam pengawasan pembangunan di daerah. Berdasarkan kondisi realitas sebagaimana yang diuraikan diatas, maka penerapan Perda No. 2, 3, 4 Tahun 2002 berimplikasi pada: 1. Tumbuhnya sinergitas antara Pemerintah Daerah dengan warga masyarakat dalam mewujudkan kondisi pemerintahan Kota Gorontalo secara lebih baik dengan mengedepankan kepentingan masyarakat 2. Penyelenggara pemerintahan secara terus menerus dapat melakukan koreksi dan instrospeksi terhadap setiap permusan rencana dan kebijakan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan 3. Meningkatnya partisipasi masyarakat yang dapat dilihat dari adanya kontribusi pemikiran, saran dan pendapat dalam proses pembangunan daerah mulai dari perumusan rencana, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan 4. Adanya komitmen yang kuat bagi penyelenggara pemerintahan dan warga masyarakat dalam mewujudkan Good Governance
120
5. Penutup Berdasarkan hasil telaahan dan kajian tentang Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan peraturan yang bersifat mengikat bagi keseluruhan Penyelenggara Pemerintahan Daerah dan Masyarakat Kota Gorontalo dalam mewujudkan suatu kondisi Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang berkeadilan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Governance. 2. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 2, 3 dan 4 Tahun 2002 merupakan jaminan terhadap hak dan kewajiban warga masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam pembangunan daerah mulai proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan kemasyarakatan. 3. Bahwa dengan keberadaan Peraturan Daerah tersebut diatas, setiap Penyelenggara Pemerintahan, Pejabat Publik lainnya dan warga masyarakat dapat secara sinergis mewujudkan suatu tata Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan secara lebih baik dan berkeadilan. Gorontalo, Juni 2006
121
3. Potensi Penyimpangan Substansi dalam Proses Legislasi Peraturan Daerah
Abstrak Dalam proses penyusunan peraturan perundangan (peraturan daerah/ perda) secara partisipatif, masyarakat dapat terlibat dari mulai penelitian dan penyusunan naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di parlemen (DPR-D). Lebih dari itu, tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahapan terakhir proses legislasi tersebut adalah sebuah black box, yaitu proses pengajuan draft raperda untuk dibahas dalam Sidang Paripurna sampai penulisannya dalam lembaran daerah. Pada tahapan ini, proses bersifat politis dan sangat menentukan nasib dari peraturan yang diajukan tersebut. Pada setiap tahapan legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan substansi perda. Penyimpangan substansi ini terkait dengan kepentingan stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumen dan pendekatan yang baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpangan tersebut dapat dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar. Tapi kemudian penyimpangan yang paling sulit untuk dihalangi adalah setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan pada sidang paripurna sampai perda tersebut ditempatkan dalam lembaran daerah. Pada tahapan tersebut, masyarakat tidak lagi dapat berperan. Pengawalan terhadap substansi perda hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang memungkinkan terlibat didalam sidang paripurna dan penempatan perda dalam lembaran daerah. Seperti diantaranya anggota DPRD dan pihak eksekutif (misalnya staf sekretariat dewan, staf sekretariat daerah, bupati). Untuk melihat ada atau tidaknya perubahan, kita melakukan analisis dengan membandingkan isi (content analysis) draft raperda sebelum dan sesudah blackbox, yaitu diantaranya setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan dalam sidang paripurna sampai perda tersebut selesai ditempatkan dalam lembaran daerah. Logikanya, bila ada penyimpangan maka akan terlihat dari adanya perubahan dalam draft (baik raperda maupun perda-nya). Sekecil apapun perubahan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/kerangka logis atau pun substansinya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut berpotensi menjadikan perda yang disahkan menjadi sulit atau tidak operasional. Kemungkinan paling buruk adalah kemudian, perda tersebut dibatalkan karena cacat substansi.
122
Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan Inisiatif dalam menginisiasi peraturan daerah. Perkumpulan Inisiatif pernah menginisiasi dan terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa. Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang menyediakan suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik dasar dan implementasinya. Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa perjuangan stakeholder dalam pembahasan rancangan peraturan daerah, baik yang pro maupun yang kontra, tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja. Diharapkan dari kajian ini akan dapat mengidentifikasi proses dalam blackbox yang memberikan peluang untuk terjadinya penyimpangan (perubahan draft raperda) serta strategi apa yang harus dilakukan agar potensi penyimpangan dapat dihilangkan. Sehingga nanti, rekomendasi yang mungkin diajukan adalah 1. usulan revisi peraturan perundangan yang mengatur mengenai prosedur penyusunan produk hukum daerah dan prosedur lainnya yang terkait (misalnya tata tertib dewan, dll) jika ternyata ada black box yang berpotensi terjadinya penyimpangan dan 2. perlunya peningkatan kapasitas bagi stakehoder (terutama masyarakat marginal) sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam penyusunan peraturan daerah dan mengawal keseluruhan prosesnya.
1. Pendahuluan Secara sederhana, kebijakan publik pemerintah dapat dibagi berdasarkan bentuknya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bentuknya penyediaan barang dan jasa. Sementara kelompok kedua adalah yang bentuknya regulasi. Lebih jauh lagi, kebijakan publik yang bentuknya regulasi juga dikategorikan menjadi dua, yaitu regulasi yang sifatnya infrastruktur dan yang sifatnya suprastruktur. Yang termasuk kategori infrastruktur misalnya regulasi tentang pelayanan publik dasar, alokasi anggaran (APBD), pengentasan kemiskinan, standar pendidikan, dll. Sementara yang termasuk kategori suprastruktur misalnya regulasi tentang transparansi, akuntabilitas, proses perencanaan, dan lain-lain. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, baik penyediaan barang dan jasa maupun regulasi, sangat diperlukan. Hal ini untuk menjamin bahwa kebijakan yang disusun akan mengakomodir kepentingan masyarakat serta tidak akan merugikan. Namun sampai saat ini masyarakat belum dapat berpartisipasi secara penuh. Hasilnya dapat dilihat dari masih banyaknya kebijakan publik di daerah yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat.
123
Usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik daerah agar lebih berpihak pada masyarakat telah diusahakan oleh banyak pihak. Salah satu diantara usaha-usaha tersebut adalah melalui advokasi untuk mereformasi regulasi daerah. Dengan adanya advokasi di tingkatan regulasi daerah diharapkan adanya pelembagaan kebijakan publik yang lebih pro-rakyat. Namun usaha untuk mereformasi regulasi di daerah pun masih menghadapi banyak kendala. Seperti misalnya konflik kepentingan, lemahnya kapasitas berjejaring, pengetahuan hukum, keterbatasan pengetahuan akan substansi yang diadvokasikan, dll. Kendala terbesar yang dihadapi sampai saat ini adalah belum jelasnya ruang/prosedur yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah. Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah saat ini masih harus mengandalkan “kesadaran dan kebaikan hati” para birokrat pemerintahan dan anggota DPRD. Advokasi kebijakan publik yang lebih pro-rakyat melalui penyusunan peraturan daerah saat ini baru dapat dilakukan secara tidak langsung. Partisipasi masyarakat baru dapat dilakukan sebatas mengajukan usulan penyusunan peraturan daerah (tentu saja untuk substansi tertentu) pada aparat pemerintahan atau anggota DPRD. Setelah itu sulit bagi masyarakat untuk melihat apakah usulannya diterima atau tidak. Kalau pun usulan penyusunan peraturan daerah tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintah atau anggota DPRD, dari proses penyusunan sampai legislasi dan pengesahan peraturan daerah, masyarakat tetap tidak dapat mengontrol substansi yang diusung dalam peraturan daerah tersebut. Ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah tentu saja akan memperbesar resiko adanya penyimpangan dalam substansi yang diusulkan. Tulisan ini dibuat untuk menunjukan bahwa ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah akan memperbesar resiko adanya penyimpangan substansi yang diusulkan. Kami berasumsi bahwa: 1. Proses penyusunan kebijakan publik apapun, termasuk diantaranya peraturan daerah, akan selalu menghadapi pro dan kontra dari berbagai pihak. 2. Baik pihak pro maupun kontra, akan selalu berusaha mempengaruhi proses kebijakan publik untuk memasukkan agenda dan kepentingan mereka. Mereka akan memanfaatkan berbagai celah yang mungkin dipergunakan, termasuk diantaranya adalah prosedur formal. 3. Ketika ada celah yang tidak dapat dimanfaatkan salah satu pihak, maka pihak yang lain akan mengeksploitasi celah tersebut semaksimal mungkin. Disini kita mempunyai kekhawatiran bahwa bila ada penyimpangan, maka sekecil apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/ kerangka logis atau pun substansinya. Konsekuensi yang mungkin terjadi adalah penyimpangan tersebut berpotensi menjadikan peraturan daerah yang disahkan menjadi sulit atau tidak operasional. Kemungkinan paling buruk adalah peraturan daerah tersebut cacat substansi.
124
Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan INISIATIF dalam menginisiasi dan mengadvokasi peraturan daerah di Kabupaten Bandung. Perkumpulan INISIATIF pernah menginisiasi dan terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa. Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang menyediakan suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik dasar dan implementasinya. Proses advokasi kedua peraturan daerah dilakukan dalam konteks prosedur penyusunan peraturan daerah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
2. Metode Analisis Sebelum membuktikan adanya potensi penyimpangan substansi dalam proses legislasi, terlebih dahulu kita mengkaji prosedur penyusunan peraturan daerah yang berlaku saat itu: Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 23 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Kajian ini dilakukan untuk melihat celah-celah yang memungkinkan (atau tidak memungkinkan) adanya partisipasi masyarakat dalam prosedur tersebut. Tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam kajian ini. Untuk membuktikan adanya potensi penyimpangan substansi dalam proses legislasi kita langsung pada kedua studi kasus. Untuk setiap studi kasus, pertama-tama kita akan membahas konteks advokasi kedua peraturan daerah tersebut. Dari pembahasan tersebut diharapkan kita akan memahami latarbelakang serta urgensi advokasinya. Kedua, kita membahas mengenai proses yang dilalui oleh INISIATIF pada saat advokasi. Seperti sebelumnya, tidak ada teknik khusus yang digunakan selain dari content analysis biasa. Dari pemahaman tentang proses yang dilalui ini kita mengetahui langkah-langkah advokasi yang dilakukan, mengerti alasan dan tujuan setiap langkah, serta menempatkannya dalam prosedur formal penyusunan peraturan daerah. Output dari analisis ini diharapkan kita akan mengetahui apa saja dampak dari proses yang terjadi pada kemungkinan partisipasi, pada substansi peraturan daerah yang diusulkan, serta mengidentifikasi potential black box dalam prosedur formal yang berlaku. Terakhir, untuk membuktikan bahwa prosedur penyusunan produk hukum daerah yang berlaku memungkinkan adanya penyimpangan substansi yang diusulkan Perkumpulan INISIATIF memang bukan stakeholder di Kabupaten Bandung. Tapi posisi INISIATIF
adalah pelaku action research.
125
masyarakat, dilakukan juga content analysis dengan membandingkan draft-draft yang dihasilkan dalam proses penyusunan perda tersebut. Fokus utama adalah membandingkan draft usulan, draft hasil pembahasan, serta dokumen peraturan daerah yang telah disahkan.
3. Hasil Analisis Hasil analisis berikut dipaparkan sesuai urutan analisis yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Yang pertama adalah hasil kajian mengenai Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berikutnya adalah hasil kajian kasus pertama yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dan terakhir dipaparkan hasil kajian kasus kedua mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa. 3.1 Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah Pada saat INISIATIF melakukan advokasi kedua peraturan daerah, setidaknya ada dua peraturan yang terkait dengan prosedur penyusunan peraturan daerah. Peraturan yang pertama adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2 (DPRD). Menurut peraturan tersebut DPRD dapat: 1. melalui Pemandangan Umum anggota, mengajukan usul perubahan Rancangan 3 Peraturan Daerah (Ranperda) yang diajukan oleh Kepala Daerah; dan 4 2. mengajukan Ranperda yang diusulkan setidaknya oleh lima orang anggota dari lebih satu fraksi, untuk kemudian dibahas bersama dalam Rapat Paripurna DPRD dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya serta Pemda untuk membahasnya. Peraturan yang kedua adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor 23 Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Kepmendagri ini mengatur secara rinci proses penyusunan produk hukum, baik yang peraturan daerah maupun yang produk hukum yang sifatnya penetapan (Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah). Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini juga menyediakan ruang untuk hak inisiatif DPRD untuk mengajukan dan membahas Rancangan Peraturan Daerah.5 2 Saat itu telah muncul Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai mengganti Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2001. Namun rupanya DPRD Kabupaten Bandung masih belum mengganti Tata Tertib-nya dan masih berpedoman pada PP No.1 tahun 2001. 3 Pasal 12 huruf d yang dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) 4 Pasal 12 huruf f yang dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (9) 5 Pasal 17 dan pasal 18 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor 23 tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
126
Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah (Berdasarkan Kepmendagri No. 23/2001) P IMP . U NIT K E R J A (Inis ia tor*) (1) R encana P engajuan P roduk H uk um dan P ok ok -P ok ok P ik iran
S E K R E T A R IS DA E R A H (3) P ersetujuan untuk harm onisasi dan sink ronisasi
(2)
(8)
K E P A L A DA E R A H
(4)
(7) P ersetujuan aw al untuk penyusunan draft dan pem bahasan
B IR O /B A G H U K U M
DP R D
(5) H arm onisasi m ateri dan sink ronisasi pengaturan
(34) H ak Inisiatif: R encana P engajuan P roduk H uk um dan P ok ok -P ok ok P ik iran
(6)
(37)
(36) K oordinasi (12)
(9) P enyusunan draft (15) P araf persetujuan hasil pem bahasan
(13) P enyusunan draft
(10)
(11) P em bahasan draft
(14) (16)
(17) K oordinasi paraf
(18)
(38) T im A sistensi (19) P ersetujuan
(20)
(22)
(21) P ersetujuan (26) (27) P enetapan (29) P engesahan
(31)
(39)
(23) P em bahasan (24) (25) P ersetujuan
(28) (30) (32) P enom oran, P enggandaan, P endistribusian dan P endok um entasian (33) D isem inasi (bersam a dengan pengusul/U nit K erja)
3.2 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah Latar belakang penyusunan raperda ini adalah munculnya Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa perlu adanya peraturan daerah yang mengatur tentang tata cara penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan pelaksanaan Musrenbang 6 Daerah. Kemudian pada awal tahun 2005, tepatnya di bulan Januari, muncul Surat Edaran Bersama (SEB) antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005. SEB tersebut disusun mengacu pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan adanya penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran 6 Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 27
ayat (2).
127
nasional, baik pada aspek proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan musyawarah perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Menanggapi amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 serta SEB tersebut, DPRD Kabupaten Bandung menggunakan hak inisiatifnya untuk menyusun rancangan peraturan daerah Kabupaten Bandung tentang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Raperda tersebut diharapkan dapat memberikan arahan praktek sistem perencanaan dan penganggaran di daerah dalam hal proses, mekanisme serta tahapan-tahapannya.7 Keterlibatan INISIATIF pada penyusunan Perda Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 ini dimulai dari permintaan asistensi dari DPRD Kabupaten Bandung. INISIATIF diminta untuk menganalisis draft Raperda yang telah disusun sebelumnya oleh panmus DPRD dan tim Asistensi dari pihak eksekutif. Draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk memberi masukan pada draft raperda tersebut, INISIATIF mengacu 8 pada hasil analisis Pokja FPPM terhadap kerangka regulasi yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran. Hasil kajian Pokja FPPM tersebut kemudian dimasukkan dalam draft raperdan dalam bentuk beberapa tambahan, modifikasi dan pengurangan terhadap beberapa pasal-pasalnya. Selanjutnya atas permintaan panmus DPRD, INISIATIF diminta mendampingi proses legislasi, terutama dalam beberapa sesi pembahasan draft raperda. Pembahasan dalam proses legislasi ternyata tidak selancar yang diharapkan.
Ada beberapa hal yang krusial yang memerlukan pembahasan yang panjang dan melelahkan. Hal-hal tersebut diantaranya terkait dengan klausul yang mensyaratkan adanya kewenangan desa dan serta klausul mengenai konsultasi publik. Setelah serial pembahasan yang melelahkan, banyak perubahan yang terjadi dan disepakati oleh panmus DPRD juga tim Asistensi dari pihak eksekutif. Versi terakhir hasil pembahasan di panmus DPRD dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah pembahasan di tingkat panmus DPRD, ruang partisipasi telah tertutup. Inisiatif tidak lagi dapat terlibat. Draft raperda hasil pembahasan tersebut kemudian dibahas dalam sidang paripurna DPRD. Hasil proses pembahasan di sidang paripurna dan disahkan menjadi peraturan daerah yang dokumennya dapat dilihat pada Lampiran 3. Apakah kemudian seluruh substansi hasil pembahasan pada tingkat panmus, yang didalamnya memungkinkan adanya pelibatan stakeholder terkait, diterima seluruhnya? Ataukah ada perubahan pada substansi setelah disahkan menjadi peraturan daerah? Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. 7 Sebagai informasi, pada saat disusunnya peraturan daerah ini, di Kabupaten Bandung telah ada
Peraturan Bupati Bandung tentang Musyawarah Perencanaan Kegiatan Tahunan (MPKT) yang mengatur proses perencanaan tahunan dimulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten. Dilihat dari prosedurnya, MPKT sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prosedur Musrenbang yang diamanatkan dalam UU25/2004. Sehingga tidak sulit bagi stakeholder Kabupaten Bandung untuk menerima konsep Musrenbang. 8 Pokja Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) yang terdiri dari Sri Mastuti, Diding, Dedi Haryadi pada tahun 2005 membuat tulisan yang berjudul “Isu-Isu Strategis Dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Daerah: Suatu Analisis Terhadap Kerangka Regulasi”. Tulisan tersebut disusun sebagai bahan diskusi dalam acara Lokakarya Nasional FPPM, Lombok NTB, 28-29 Januari 2005.
128
Tabel 1: Perbandingan Raperda tentang Tatacara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Perubahan yang Terjadi RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 5
Pasal 5
(3) Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(3) Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangnan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pasal 8
Pasal 8
(3) Penyusunan RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan: 1. Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan Prioritas; 2. Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk SKPD dan Desa; 3. Penyiapan rancangan rencana kerja; 4. Musyawarah perencanaan pembangunan; dan 5. Penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah.
(3) Penyusunan RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan : 1. Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan Prioritas; 2. Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk SKPD dan Desa; 3. Penyiapan rancangan rencana kerja; 4. Penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah.
PERUBAHAN YANG TERJADI
Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sementara pada draft yang disahkan, Perda 8/2005, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangnan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pada pasal 8 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa penyusunan RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan: 1. Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan Prioritas; 2. Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk SKPD dan Desa; 3. Penyiapan rancangan rencana kerja; 4. Musyawarah perencanaan pembangunan; dan 5. Penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah. Sementara pada draft yang telah disahkan, Perda 8/2005, salah satu urutan kegiatan keempat, musyawarah perencanaan pembangunan, tidak ditemukan.
129
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 26
Pasal 26
(1) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Delegasi Masyarakat Kecamatan, dan peserta dari unsur masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2.
(1) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintah daerah, delegasi masyarakat kecamatan, dan peserta dari unsur masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2;
Pasal 42
Pasal 42
Hanya ada satu ayat.
Ditambahkan ayat kedua: (2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan.
Pasal 44
Pasal 44
Peserta Forum SKPD Kabupaten terdiri dari para Delegasi Masyarakat Kecamatan dan delegasi dari kelompok-kelompok masyarakat di tingkat kabupaten yang berkaitan langsung dengan fungsi SKPD atau gabungan SKPD yang bersangkutan.
Peserta Forum Kabupaten terdiri dari para Delegasi Masyarakat Kecamatan dan delegasi dari kelompok-kelompok masyarakat di tingkat kabupaten yang berkaitan langsung dengan fungsi SKPD atau gabungan SKPD yang bersangkutan.
130
PERUBAHAN YANG TERJADI
Pada pasal 26 ada juga perubahan kecil yang cukup mengganggu. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang akan diikuti oleh unsurunsur penyelenggara pemerintahan daerah..... Sementara pada perda 8/2005, kata pemerintahan daerah berubah menjadi pemerintah daerah
Pada pasal 42 dalam draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, hanya ada satu ayat. Tapi kemudian pada perda 8/2005 ada tambahan satu ayat, yaitu ayat (2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan.
Pasal 44 juga ada perbedaan antara draft hasil pembahasan panmus dengan perda 8/2005 yang telah disahkan. Pasal tersebut asalnya berbunyi Peserta Forum SKPD Kabupaten terdiri dari .... Sementara pada perda 8/2005 berbunyi Peserta Forum Kabupaten terdiri dari.....
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR: 4 TAHUN 2005 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
PERUBAHAN YANG TERJADI
Pasal 47 (1) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Satuan Kerja Perangkat Daerah periode sebelumnya. (2) Kepala Bapeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan Daerah untuk periode berikutnya.
Pasal 47 (1) Kepala Satuan Perangkat Daerah (2) Kepala Bappeda (3) Hasil evaluasi
Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat hilang.
Pasal 50 (3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Pasal 50 Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan (3) Kepala Satuan Perangkat Daerah Kerja Perangkat Daerah menjadi menyelenggarakan perencanaan Kepala Satuan Perangkat Daerah pembangunan daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya;
Pasal 51
Pasal 51
Hanya ada dua ayat.
Ditambahkan ayat ketiga (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung 2001 – 2005.
Pada pasal 51 draft hasil pembahasan di panmus DPRD, hanya ada dua ayat. Namun setelah disahkan menjadi perda 8/2005, ada tambahan ayat (3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung 2001 – 2005.
131
3.3 Advokasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa Agak berbeda dengan advokasi Perda No. 8 Tahun 2005, keterlibatan INISIATIF dalam advokasi Perda No. 2 Tahun 2006 dimulai dari gagasan IPGI Bandung9 untuk mengembangkan otonomi desa yang diawali dengan sebuah penelitian sejak tahun 2001. Gagasan pengembangan kemandirian dan otonomi desa muncul untuk menindaklanjuti munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ini karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 merupakan tonggak baru bagi proses demokratisasi di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan UndangUndang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dianggap jauh dari semangat otonomi di masing-masing daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah mengilhami reformasi di daerah dengan mendorong proses restorasi penyelenggaraan pemerintahan daerah “as extensive autonomy as possible” sebagaimana dulu diamanatkan oleh para founding father negara ini.10 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan kesempatan bagi daerah dan desa untuk secara otonom mengelola wilayahnya sesuai dengan yang diinginkan oleh warganya. Otonomi desa dianggap sebagai cara yang ideal untuk dapat mendekatkan proses pembuatan kebijakan publik dan pelayanan publik pada masyarakat desa. Otonomi desa dianggap strategis karena desa adalah pemerintahan pada tingkatan paling rendah dan paling dekat dengan masyarakat. Untuk terwujudnya otonomi desa, desa harus mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menyediakan pelayanan publik. Hal ini dapat dicapai bila desa sebagai pemerintah pada tingkat paling rendah di”kembalikan” hak otonominya dengan mewujudkan pemerintahan yang lebih desentralistis. Yaitu dengan pelimpahan kewenangan urusan tertentu pada desa yang selama ini dikuasai tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Implikasi dari pelimpahan kewenangan pada desa adalah beban kewajiban atau tanggung jawab desa yang bertambah. Untuk itu diperlukan adanya perimbangan keuangan (transfer fiskal) dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Perimbangan keuangan merupakan manifestasi dari hak yang semestinya diperoleh oleh pemerintahan desa sebagai sumber daya untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik pada 9 IPGI Bandung adalah pendahulu Perkumpulan INISIATIF. Program IPGI Bandung salah satunya adalah mengembangkan otonomi desa. 10 Sidang Umum yang diselenggarakan beberapa saat setelah Presiden Soekarno ditumbangkan dari kepresidenannya berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang terkait pada penataan penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan. Salah satunya adalah Ketetapan No. XXI/MPRS/1966 mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Sejumlah pokok ketentuan yang dimuat secara ringkat memandatkan antara lain: (1) memberikan otonomi selus-luasnya kepada daerah; (2) penyerahan urusan disertai aparatur dan keuangannya; (3) pemberian tanggung jawab dan wewenang pengaturan kepegawaian di lingkungan pemerintah daerah; (4) pengaturan perimbangan keuangan; (5) peninjauan kembali UU no. 18 tahun 1965 dan UU no. 19 tahun 1965.
132
tingkat desa. Hasil akhir pengembangan konsep tersebut adalah sebuah naskah akademik beserta dua draft raperda yaitu raperda mengenai desentralisasi kewenangan dan raperda mengenai desentralisasi fiskal. Usaha advokasi yang dilakukan INISIATIF sendiri telah dimulai sejak tahun 2002. Saat itu INISIATIF telah mencoba melibatkan Bagian Pengembangan Otonomi Daerah (Bag. OTDA) - Kabupaten Bandung dalam proses pengembangan konsep otonomi desa. Saat itu resistensi mereka terhadap konsep otonomi desa sudah mulai terlihat. Resistensi tersebut berlanjut pada saat pengusulan konsep tersebut agar diadopsi menjadi peraturan daerah di Kabupaten Bandung. Usulan tersebut disampaikan pada Bag. OTDA. Hal ini karena menurut Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001, pengusul rencana produk hukum dan pokok-pokok pikirannya adalah Pimpinan Unit Kerja terkait, yang dalam hal ini tentu saja pimpinan Bag. OTDA. Hasilnya, naskah akademik beserta draft rancangan raperda desentralisasi kewenangan dan desentralisasi fiskal dari kabupaten ke desa yang diajukan oleh INISIATIF ditolak. Tidak berhenti sampai disitu, dalam usaha agar konsep yang telah dikembangkan tersebut dapat diadopsi menjadi peraturan daerah, INISIATIF kemudian mencoba meyakinkan Bappeda Kabupaten Bandung sebagai calon pengguna usulan peraturan daerah ini. Bappeda sangat terbuka menerima konsep ini. Bahkan kemudian mereka yang mengambil alih proses pengusulan dengan mencoba mengusulkan naskah akademik beserta kedua draft rancangan raperda. Pengusulan tersebut, tentu saja sesuai Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001, harus melalui instansi yang paling terkait yaitu Bag. OTDA. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda: ditolak. Pertengahan tahun 2004, usaha advokasi dilanjutkan dengan memperkenalkan konsep otonomi desa langsung pada stakeholder di desa melalui Tiga Pilar Desa,11 yaitu Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD. Hasilnya, mereka juga sangat tertarik. Bahkan mereka meminta agar proses advokasi dilanjutkan oleh mereka, dan menempatkan INISIATIF sebagai nara sumber. Tentu saja INISIATIF menyambut gembira tawaran ini. INISIATIF menggunakan kesempatan tersebut untuk memperbaiki konsep otonomi desa, dengan mengadaptasikannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang muncul sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Tiga Pilar Desa, juga, mengajukan Naskah akademik beserta kedua draft raperdanya pada Bag. OTDA. Harapan agar konsep ini diterima sangatlah besar, mengingat ketiga asosiasi tersebut adalah stakeholder sekaligus nantinya akan menjadi penerima manfaat langsung dari peraturan daerah yang muncul. Hasilnya memang tidak ada penolakan, tapi tindak lanjut yang kongkrit pun tidak ada. Tentu saja hal ini mengecewakan. 11 Istilah Tiga Pilar Desa adalah istilah yang tidak resmi di Kabupaten Bandung. Istilah ini muncul dari Asosiasi Kepala Desa (APDESI), Asosiasi LKMD, dan Asosiasi BPD dengan menyebut diri mereka sebagai Tiga Pilar Desa.
133
Advokasi tidak berhenti sampai disitu. INISIATIF kemudian memanfaatkan jalur DPRD sebagai pengusul. Hal ini dimungkinkan ketika ada satu kesempatan yang memungkinkan INISIATIF untuk berinteraksi dengan DPRD Kabupaten Bandung. Selama ini memang INISIATIF tidak mempunyai sedikitpun akses ke DPRD. Berhasil memperkenalkan konsep pengembangan otonomi desa melalui desentralisasi kewenangan dan fiskal dari kabupaten ke desa ini pada salah satu anggota DPRD, kemudian beliau memperjuangkannya di DPRD agar konsep tersebut diadopsi. Hasilnya, konsep tersebut diterima oleh DPRD dan diusulkan untuk dibahas dengan menggunakan hak inisiatif DPRD. Proses legislasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten pada Desa (desentralisasi kewenangan) dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perimbangan Keuangan antara Kabupaten dan Desa (desentralisasi fiskal) pun dimulai. Pembahasan di DPRD berjalan tidak selancar yang diharapkan. Tidak sedikit hambatan yang dihadapi, mulai dari belum dikenalnya konsep otonomi desa, perbedaan persepsi diantara anggota DPRD, munculnya surat palsu yang berisi penolakan dari APDESI, bentrok dengan momen Pilkada, dan lain-lain. Hambatan terbesar adalah, seperti juga yang terjadi sebelumnya, resistensi dari Bagian Otonomi Daerah (yang juga tergabung dalam Tim Asistensi). Dari tiga kali Bagian Otonomi Daerah diundang panmus DPRD dalam pembahasan kedua raperda, mereka secara eksplisit menolak konsep otonomi desa. Selain itu, mereka juga selalu berusaha untuk menghilangkan substansi-substansi penting dari kedua raperda tersebut yang mengancam hilangnya roh otonomi desa yang diakomodasi di dalamnya. Namun apapun perubahan substansi, penghilangan atau pun penambahan, yang terjadi pada saat pembahasan, baik yang melibatkan Bagian Otonomi Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Masyarakat, Kepala Desa, atau pun Akademisi Perguruan Tinggi, selalu dapat diakhiri dengan kesepakatan tanpa menghilangkan esensi pengembalian otonomi desa dari kedua raperda tersebut. Setelah pembahasan yang panjang dan melelahkan, yang diwarnai dengan beberapa kali deadlock pada saat terakhir pembahasan dengan Tim Asistensi, akhirnya pada tanggal 14 Januari 2006 pembahasan pada tingkat panmus diakhiri. Hasil akhir pembahasan dalam kedua draft tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Setelah saat itu, INISIATIF tidak lagi terlibat karena ”bola telah bergulir ke lapangan lain”. Pada tanggal 23 Januari 2006 kedua raperda tersebut diajukan oleh Panmus DPRD dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Bandung untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah. Sidang paripurna DPRD tersebut merupakan saat paling menentukan nasib kedua raperda. Seperti juga pada saat pembahasan, pada pembahasan kedua raperda dalam sidang paripurna berjalan alot. Sidang paripurna berjalan cukup alot dan melelahkan. Pada sidang tersebut, yang pertama dibahas adalah Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa. Selain masalah dasar hukum,
134
tidak banyak perdebatan dalam hal substansi. Tapi hal tersebut tidak berarti proses pengesahan berjalan lancar. Sebelum pengesahan, kata mufakat tidak dicapai setelah beberapa anggota DPRD menentangnya. Akhirnya pengambilan keputusan dilakukan dengan pemungutan suara. Hasil dari pemungutan suara tersebut adalah empat fraksi mendukung pengesahan dan dua fraksi menolak. Peraturan Daerah yang telah disahkan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada pembahasan mengenai Raperda Penyerahan Sebagian Kewenangan Kabupaten Pada Desa, sidang paripurna kembali berjalan alot. Perdebatan yang terjadi adalah mengenai rincian kewenangan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah seluruh urusan pemerintahan yang ada dalam rincian dari Depdagri tersebut akan diadopsi atau dipilih terlebih dahulu. Sidang paripurna gagal membuat keputusan tersebut. Perdebatan lainnya adalah mengenai dasar hukum. Sampai saat sidang dilakukan, semua mengetahui bahwa secara umum dasar hukum yang mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sudah kuat. Namun yang melemahkan adalah belum adanya dasar hukum yang menyatakan secara eksplisit rincian urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan kabupaten. Hal ini menjadi krusial karena urusan pemerintahan tersebut yang nantinya sebagian akan didesentralisasikan ke desa. Sementara saat itu ada kabar beredar bahwa rincian urusan pemerintahan daerah (propinsi dan kabupaten) sedang dalam proses penyusunan peraturan perundangannya oleh Depdagri. Sidang paripurna yang membahas Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa akhirnya buntu. Di akhir sidang, dilakukan pemungutan suara dengan pilihan pertama, menerima dan setuju mensahkan raperda tersebut menjadi perda. Dan pilihan kedua, menolak dan menunda pengesahan raperda menjadi perda untuk menunggu selesainya penyusunan peraturan perundangan dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten. Dari hasil pemilihan, ternyata hanya satu fraksi yang memilih pilihan pertama sementara ke lima fraksi lainnya sepakat menolak pengesahan raperda, dan menunda pembahasan selanjutnya sampai adanya perundangan dari Depdagri tentang kewenangan kabupaten. Pembahasan yang panjang dalam sidang paripurna, menyerahkan pembahasan dan perdebatan hanya antara anggota DPRD, sangat mungkin akan menyebabkan adanya perubahan substansi. Hal ini karena bukan tidak mungkin, antara anggota DPRD yang pro dan kontra akan melakukan negosiasi dan kompromi berkaitan dengan pasal-pasal yang diperdebatkan. Selain itu, pihak eksekutif yang kontra, yang diwakili oleh Bagian Otonomi Daerah yang juga tergabung dalam Tim Asistensi pada proses pembahasan di tingkat panmus, bukan tidak mungkin akan terus mencoba mempengaruhi proses tersebut dengan mempengaruhi anggota dewan yang sejalan dengan mereka. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
135
Tabel 2: Perbandingan Raperda tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa dan Perubahan yang Terjadi REVISI KE 9 ( SABTU 14 JANUARY 2006) DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN BANDUNG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN BANDUNG
PERUBAHAN YANG TERJADI
Mengingat: UU 10/2004 tidak dirujuk. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor......,) 10. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor.......Tahun 2006 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa
Mengingat: Rujukan ditambah dengan UU10/2004. 5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembantukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389) rujukan PP72/2005 dihilangkan rujukan pada raperda yang satu paket, yaitu raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemeirntahan Kewenangan Kabupaten pada Desa
Di sini terjadi perubahan substansi. Pada draft yang disepakati panmus untuk diusulkan pada sidang paripurna, UU10/2004 tidak termasuk sebagai perundangan yang dirujuk. Tapi pada draft yang telah disahkan, perda 2/2006, UU10/2004 ditambahkan sebagai suatu rujukan. Selain itu pada perda 2/2006, rujukan pada PP72/2005 dan rujukan pada raperda yang satu paket, yaitu raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemeirntahan Kewenangan Kabupaten pada Desa dihilangkan.
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah;
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirubah dari asalnya: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah; menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
Pasal 3 (4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa.
Pasal 3 (4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur.
Pasal 3 ayat (4) juga mengalami perubahan substansi. Pengecualian pada ayat tersebut yang asalnya hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dirubah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur.
136
REVISI KE 9 ( SABTU 14 JANUARY 2006) DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN BANDUNG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DI KABUPATEN BANDUNG
PERUBAHAN YANG TERJADI
Pasal 14 (2) Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa kegiatan fisik dan non fisik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No......tahun...... tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa di Kabupaten Bandung.
Pasal 14 (2) Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa kegiatan fisik dan non fisik dilaksanakan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundangundangan yang berlaku.
Pasal 14 pada draft yang diajukan panmus juga mendapat perubahan. Rujukan pada paket perda yang dibahas bersamaan dihilangkan dan diganti.
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR :................. TANGGAL :................. TENTANG ALOKASI DANA PERIMBANGAN DESA DIAGRAM SUMBER PENDAPATAN DESA
Pada perda 2/2006, ternyata lampirannya tidak ada. Padahal dalam pasal 3 ayat (5) disebutkan: (5) Diagram sumber pendapatan desa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
3.4 Temuan Analisis dan Diskusi 3.4.1 Tiada ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah Dari hasil kajian pada Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah dapat disimpulkan bahwa prosedur yang ada sama sekali belum memberi ruang bagi adanya partisipasi masyarakat. Dalam peraturan tersebut hanya memberi ruang pada Pimpinan Unit Kerja (biasanya pimpinan SKPD) sebagai inisiator, serta pada DPRD yang menggunakan hak inisiatifnya. Apabila masyarakat hendak mengusulkan untuk penyusunan sebuah produk hukum daerah, mereka harus terlebih dahulu mengajukannya pada kedua lembaga tersebut. Disini terlihat bahwa posisi masyarakat termarjinalkan karena sistem yang ada hanya memberikan ruang yang sangat sempit untuk partisipasi. Hanya usulan-usulan yang tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah atau DPRD yang mungkin untuk diterima dan ditindaklanjuti.
137
Apabila pun usulan masyarakat untuk penyusunan suatu produk hukum daerah diterima, tidak ada jaminan bahwa masyarakat dapat terlibat dalam pembahasan dan proses legislasinya. Kepmendagri-otda No.23 Tahun 2001 ini tidak mengharuskan institusi yang mengajukan usulan untuk melibatkan stakeholder dalam pembahasan usulan produk hukum daerah. Masyarakat yang awalnya mengusulkan hanya bisa berharap pada “kesadaran dan kebaikan hati” Pimpinan Unit Kerja atau DPRD untuk dapat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan. Lebih jauh lagi, kalaupun masyarakat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan, mereka tidak mendapat jaminan bahwa pendapat mereka akan diadopsi. Bila dilihat dari prosedur formal menurut Kepmendagri, proses penyusunan produk hukum daerah melalui jalur eksekutif (pemerintah daerah) harus melalui urutan tahapan yang sangat rumit dan panjang. Sebaliknya, bila proses penyusunan produk hukum daerah dimulai atas inisiatif legislatif (DPRD), jalurnya akan sangat pendek. Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk mengusulkan produk hukum daerah. Tentu saja, masyarakat yang hendak mengajukan harus bisa meyakinkan Anggota DPRD untuk mengadopsi usulan mereka dan mengajukannya menjadi produk hukum daerah dengan menggunakan hak inisiatifnya. Yang mungkin menjadi kelemahan dalam pembahasan usulan produk hukum daerah melalui jalur inisiatif legislatif (DPRD) adalah keberadaan Tim Asistensi dari pemerintah daerah. Bukan tidak mungkin, Tim Asistensi yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu DPRD dalam menyusun produk hukum daerah, malah menjalankan “fungsi” lain. Dikhawatirkan, Tim Asistensi mengawasi dan memonitor perkembangan proses penyusunan produk hukum dengan tujuan dapat sedini mungkin mencegah adanya klausul-klausul yang merugikan pemerintah daerah pada implementasinya nanti.
3.4.2 Sempitnya ruang partisipasi masyarakat dalam prosedur penyusunan produk hukum daerah dikhawatirkan akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan
Terlepas dari apakah penyimpangan tersebut disengaja ataupun tidak, dengan atau tanpa tujuan, untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan masyarakat. Yang pasti, sekecil apapun penyimpangan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/kerangka logis atau pun substansinya. Perubahan tersebut bisa berakibat baik bisa juga berakibat buruk pada produk hukum daerah yang disusun. Bukti-bukti pertama ditemukan dari studi kasus proses advokasi dan content analysis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah. Walaupun secara prosedur tidak ada ruang untuk pelibatan masyarakat, ketika pada praktek pembahasan pada tingkatan Panmus DPRD masyarakat diundang dan dilibatkan dalam proses pembahasan, masyarakat dapat memberikan
138
masukan, kritikan, perbaikan terhadap substansi usulan produk hukum daerah. Mereka dapat mengawal substansi yang terkait dengan kepentingan mereka. Tapi ketika pembahasan di Panmus DPRD selesai, dan pembahasan memasuki sidang paripurna, tidak ada lagi ruang bagi masyarakat. Padahal dalam ruang tersebut sangat mungkin ada negosiasi dan kompromi antara anggota dewan yang pro dengan yang kontra, yang menyebabkan adanya perubahan substansi. Selain itu, bukan tidak mungkin ada kesalahan yang tidak disengaja dalam proses penyaduran, penulisan dan penempatan dalam lembaran daerah. Dari analisa isi kita melihat bahwa: • Pada pasal 5 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sementara pada draft yang disahkan, Perda No. 8 Tahun 2005, disebutkan bahwa Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Di sini perubahan yang terjadi memang hanya satu kata, yaitu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bila perubahan ini tidak mendapat perhatian serius, perbedaan kecil ini telah mengaburkan maksud awal pasal tersebut. Pada draft hasil pembahasan di Panmus DPRD, kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Ayat ini menegaskan bahwa kegiatan yang menjadi bagian kewenangan desa harus dibiayai dari sumber daya desa. Ketika ternyata kalimatnya berubah menjadi kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, ini berarti kegiatan dalam RKP Desa, yang merupakan bagian dari kewenangan desa dan bukan kewenangan kabupaten, yang merupakan program kerja desa, dibiayai dari sumber daya kabupaten. Pengertian kalimat ini berpotensi melanjutkan ketergantungan desa pada sumberdaya kabupaten. Sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya tidak akan memberdayakan desa dan menjadikan beban pada kabupaten. • Pada pasal 8 ayat (3) ada perubahan substansi. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa penyusunan RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan Prioritas, Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk SKPD dan Desa, penyiapan rancangan rencana kerja, musyawarah perencanaan pembangunan dan penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah. Sementara pada draft yang telah disahkan, Perda No. 8 Tahun 2005, kegiatan keempat, musyawarah perencanaan pembangunan, tidak ditemukan.
139
Perubahan ini, baik disengaja atau pun tidak, berpotensi berakibat fatal. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang merupakan sarana masyarakat untuk berpartisipasi telah hilang, dan tidak menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakannya. • Pada pasal 26 ada juga perubahan kecil yang cukup mengganggu. Pada draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, disebutkan bahwa musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang akan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah..... Sementara pada Perda No. 8 Tahun 2005, kata pemerintahan daerah berubah menjadi pemerintah daerah. Perubahan yang terjadi hanya dua huruf. Namun hal ini cukup mengganggu karena pengertiannya menjadi sangat berbeda. Pada draft disepakati pada pembahasan di tingkat Panmus DPRD disebutkan bahwa unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yaitu unsur dari pemerintah daerah dan unsur dari DPRD, hadir dan mengikuti musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD. Sementara dengan adanya perubahan menjadi hanya pemerintah daerah, berarti yang hadir dalam musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD tidak akan melibatkan unsur dari DPRD. • Pada pasal 42 dalam draft hasil pembahasan pada tingkat panmus DPRD, hanya ada satu ayat. Tapi kemudian pada Perda No. 8 Tahun 2005 ada tambahan satu ayat, yaitu ayat (2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan. Pada pasal 42 ini terjadi penambahan. Secara substansi memang penambahan ini telah menyebabkan perubahan substansi, namun dalam arti yang positif. Hal ini karena perubahan yang terjadi, diluar pembahasan di panmus, ternyata melengkapi dan menyempurnakan draft yang ada. • Pasal 44 juga ada perbedaan antara draft hasil pembahasan panmus dengan Perda No. 8 Tahun 2005 yang telah disahkan. Pasal tersebut asalnya berbunyi Peserta Forum SKPD Kabupaten terdiri dari .... Sementara pada Perda No. 8 Tahun 2005 berbunyi Peserta Forum Kabupaten terdiri dari..... Perbedaan yang terjadi antara draft hasil pembahasan pada tingkat panmus dengan yang tertulis dalam Perda No. 8 Tahun 2005 ini sebenarnya hanya satu kata. Namun dengan tidak adanya kata SKPD mungkin membuat pengertian Forum Kabupaten sangat luas. Hal ini karena forum pada tingkat kabupaten tidak hanya forum SKPD. • Pada pasal 47, rincian isi tiga ayat hilang. Tidak diketahui mengapa isi tiga ayat pada pasal 47 hilang. Terlepas dari unsur keteledoran, hilangnya isi tiga ayat ini menyebabkan Perda No. 8 Tahun 2005
140
cacat dan perlu ada perbaikan • Pada pasal 50 ayat 3, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadi Kepala Satuan Perangkat Daerah Pada pasal 50 ayat 3, memang terjadi perubahan dengan hilangnya satu kata. Namun sepertinya hal ini tidak akan mengganggu karena pengertian Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah pengertian yang umum dan dapat dimengerti. • Pada pasal 51 draft hasil pembahasan di panmus DPRD, hanya ada dua ayat. Namun setelah disahkan menjadi Perda No. 8 Tahun 2005, ada tambahan ayat (3) yaitu (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung 2001 – 2005. Pada pasal 51 ini juga terjadi perubahan. Perubahan yang terjadi berupa perbaikan yang melengkapi. Bila dibaca dengan baik, pengertian pada ayat tambahan ini menunjukan bahwa ada proses transisi yang diwadahi dan diantisipasi dengan baik. Kemudian bukti-bukti berikutnya dapat dilihat pada hasil advokasi dan content analisis Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa. Agak sedikit berbeda dengan proses advokasi Perda No. 8 Tahun 2005, proses advokasi ini diusulkan oleh INISIATIF, yang kemudian diterima dan ditindaklanjuti oleh DPRD dengan diadakan pembahasan pada tingkat Panmus DPRD. Beruntung, walaupun dalam prosedur tidak mensyaratkan adanya keterlibatan pihak luar selain DPRD dan Tim Asistensi, INISIATIF dilibatkan hampir secara penuh dalam proses pembahasan. Hal ini menguntungkan dalam tujuan mempertahankan substansi. Baik pihak yang pro maupun yang kontra dapat dihadapi langsung dan argumen-argumennya bisa dipatahkan. Walaupun banyak mengalami perubahan dari draft awal yang diusulkan sampai draft akhir yang telah disepakati pada tingkatan Panmus DPRD, setidaknya secara substansi INISIATIF dapat mengawal proses pembahasannya dan mempertahankan substansinya. Yang kemudian menjadi masalah adalah pada proses setelah pembahasan di tingkat Panmus DPRD, yaitu ketika Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa dan Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa yang telah disepakati diangkat pada sidang paripurna. Pada sidang tersebut, INISIATIF tidak lagi dapat berperan. Disana pembahasan terjadi antara anggota dewan, baik yang pro maupun yang kontra. Hasilnya yang mengecewakan adalah ternyata Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi peraturan daerah. Sementara
141
Raperda Alokasi Dana Perimbangan Desa berhasil disahkan menjadi Peraturan Daerah dengan Nomor. 2 Tahun 2006. Gagalnya Raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten Pada Desa gagal disahkan menjadi peraturan daerah telah menyebabkan usaha desentralisasi untuk mengembangkan otonomi desa yang telah lama diperjuangkan INISIATIF menjadi berjalan pincang. Hal ini karena logikanya, Perda Alokasi Dana Perimbangan Desa baru dapat diimplementasikan setelah ada kepastian mengenai apa-apa saja urusan pemerintahan kewenangan kabupaten yang diserahkan pada desa dan menjadi beban desa. Dana perimbangan desa adalah kompensasi yang diberikan atas bertambahnya beban pelayanan publik di desa dengan adanya kewenangan desa yang lebih luas. Kemudian dari analisa isi kita melihat bahwa: • Pada konsideran mengingat, terjadi perubahan substansi. Pada draft yang disepakati panmus untuk diusulkan pada sidang paripurna, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai perundangan yang dirujuk. Tapi pada draft yang telah disahkan, Perda No. 2 Tahun 2006, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 ditambahkan sebagai suatu rujukan. Selain itu pada Perda No. 2 tahun 2006, rujukan pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan rujukan pada raperda yang satu paket, yaitu raperda Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa dihilangkan. Di sini kita melihat bahwa perubahan rujukan perundangan (pada konsideran mengingat) berimplikasi berbeda. Perubahan dengan adanya penambahan konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembantukan Peraturan Perundang-undangan telah memperbaiki dokumen peraturan yang disahkan. Namun perubahan yang menghilangkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2006 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa sebagai konsideran, yang dibahas pada saat yang bersamaan, telah mencederai semangat desentralisasi untuk pengembangan otonomi desa. Hal ini karena perda yang dirujuk ini disusun untuk saling melengkapi dalam rangka pencapaian tujuan bersama memberdayakan desa melalui desentralisasi kewenangan dan fiskal. • Pada pasal 1 huruf c, definisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirubah dari asalnya: c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah; menjadi c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah; Di sini perubahan yang terjadi juga sifatnya memperbaiki. Pada draft yang disepakati hasil pembahasan di tingkat Panmus DPRD, pengertian DPRD masih mengacu pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara perbaikannya, sebagaimana terdapat pada Perda No. 2 tahun 2006, telah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
142
• Pasal 3 ayat (4) juga mengalami perubahan substansi. Pengecualian pada ayat tersebut yang asalnya hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dirubah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur. Pada pasal 3 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah “c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten untuk desa minimal 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional”. Yang kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 3 ayat 4). Penjelasan pada draft yang disepakati pada tingkatan Panmus DPRD disebutkan bahwa (4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa. Ini berarti pengertiannya secara matematis adalah: DPdes = (DPkab - DAKdes)x10% Yang mana: DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan ke desa DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa. Dengan adanya perubahan pada draft yang disahkan, pada Perda 2/2006, menjadi (4) Prosentase yang dimaksud tersebut pada ayat (1) huruf c tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa dan belanja aparatur, maka pengertiannya secara matematis menjadi: DPdes = (DPkab - DAKdes-Baparat)x10% Yang mana: DPdes = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten yang dibagikan ke desa DPkab = Bagian Dana Perimbangan dari Pusat untuk Kabupaten Baparat = Belanja aparatur DAKdes = Dana Alokasi Khusus dari kabupaten ke desa. Dari pengertian pada Perda No. 2 Tahun 2006 Pasal 3, maka bagian dana perimbangan yang diterima kabupaten dari pusat yang dibagikan pada desa jumlahnya semakin sedikit. Perubahan diatas terjadi tanpa ada stakeholder dari desa terlibat pada pembahasan karena dilakukan pada ruang yang tertutup bagi stakeholder. • Pasal 14 pada draft yang diajukan panmus juga mendapat perubahan. Rujukan pada paket perda yang dibahas bersamaan dihilangkan dan diganti. Asalnya (2)
143
Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa kegiatan fisik dan non fisik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No......tahun......tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kewenangan Kabupaten pada Desa di Kabupaten Bandung menjadi (2) Bentuk penyediaan pelayanan publik sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa kegiatan fisik dan non fisik dilaksanakan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Perubahan pada pasal 14 ayat (2) ini juga termasuk perubahan yang mengecewakan. Perubahan ini terjadi merubah klausul awal, yang secara langsung membatalkan persyaratan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan kabupaten pada desa. Perubahan ini menyebabkan skenario pengembangan otonomi desa melalui desentralisasi berjalan pincang, karena yang terjadi hanya desentralisasi fiskal saja. • Pada Perda No. 2 Tahun 2006, ternyata lampirannya tidak ada. Padahal dalam pasal 3 ayat (5) disebutkan: (5) Diagram sumber pendapatan desa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini. Baik pada draft hasil pembahasan yang disepakati pada tingkat Panmus, juga pada Perda No. 2 Tahun 2006, disebutkan pada pasal 3 ayat (5) bahwa pada bagian lampiran peraturan daerah ini dilampirkan diagram sumber pendapatan desa. Lampiran tersebut dapat ditemukan pada draft hasil pembahasan yang disepakati pada tingkat Panmus. Namun pada Perda No. 2 Tahun 2006, ternyata tidak ada bagian lampirannya. Apapun penyebab tidak adanya bagian lampiran pada Perda No. 2 Tahun 2006, secara substansi tidak menjadikan perda ini cacat. Ini karena secara tertulis, gambaran sumber pendapatan desa sudah cukup jelas. Diagram gambar yang sedianya harus dilampirkan, kalaupun ternyata tidak ada, tidak mengurangi kejelasan substansi.
4. Kesimpulan Dan Rekomendasi 4.1 Kesimpulan 1. Sampai saat ini tidak ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan produk hukum daerah. Secara prosedural formal, seluruh proses dalam prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah black box bagi masyarakat yang ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam penyusunan suatu produk hukum daerah. Masyarakat dapat memberikan usulan untuk penyusunan produk hukum daerah secara formal dengan mengusulkannya melalui Unit Kerja (SKPD) terkait di pemerintah daerah atau melalui DPRD. Dari pengalaman yang ada, mengusulkan penyusunan produk hukum daerah melalui DPRD adalah jalan yang paling pendek dan tidak rumit. Yang diperlukan adalah
144
kemampuan untuk meyakinkan anggota DPRD untuk mengakomodasi mereka. Sebenarnya bila ada “kesadaran dan kebaikan hati” pihak eksekutif maupun legislatif, black box prosedural ini dapat dibuka sedikit demi sedikit. Namun black box yang sampai saat ini tidak menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat adalah proses setelah pembahasan di Panmus DPRD sampai menjadi Perda yang telah disahkan. 2. Bila ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengikuti proses pembahasan dalam proses penyusunan produk hukum daerah, sudah selayaknya kesempatan tersebut dimanfaatkan sebaik baiknya. Hal ini karena, stakeholder lain yang kontra, yang mempunyai konflik kepentingan dengan kepentingan masyarakat umum, yang ingin memanfaatkannya hanya untuk kepentingan kelompok atau pribadinya saja, mereka pun akan terus berjuang untuk memasukkan agenda atau kepentingan mereka dalam produk hukum yang sedang disusun. Bahkan perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai saat akhir pembahasan saja, kalau memungkinkan, mereka akan berusaha mempengaruhi anggota DPRD untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu, perjuangan masyarakat dalam proses penyusunan produk hukum daerah tidak boleh berhenti begitu saja setelah diusulkan atau setelah selesai dibahas di Panmus DPRD. Sudah seharusnya mereka pun mencoba untuk menitipkan agenda mereka pada anggota DPRD, bekerjasama dengan mereka, dan memberi mereka pengertian. Diharapkan ketika tahap penyusunan produk hukum daerah memasuki black box, masyarakat yang mengusulkan tidak perlu khawatir karena di dalam black box tersebut ada anggota DPRD yang berjuang untuk kepentingannya. 3. Siapapun yang kontra dengan substansi yang dicoba diwujudkan dalam produk hukum daerah, akan terus berusaha untuk merubahnya demi kepentingan mereka. Dari studi kasus yang telah dibahas, ditemukan bahwa sekecil apapun perubahan yang terjadi (bahkan hanya dua huruf) sangat potensial untuk merubah substansi produk hukum. Perubahan tersebut bisa menjadikan produk hukum yang disusun menjadi yang lebih baik, atau bisa juga lebih jelek. Setidaknya, sesedikit apapun perubahan yang terjadi potensial untuk merubah struktur, logika atau substansi produk hukum. Dalam seluruh proses penyusunan produk hukum daerah, menuntut adanya kapasitas pemahaman yang cukup tentang substansi yang dicoba diatur dalam produk hukum, proses dan prosedur penyusunan produk hukum, serta pemahaman tentang tata aturan hukum. Sehingga bagi masyarakat yang mengusulkan, atau siapapun, bila berkesempatan terlibat dalam proses legislasi, dapat dengan mudah beradu argumentasi mempertahankan substansi yang diusung dalam produk hukum daerah. 4.2 Rekomendasi 1. Dari kesimpulan di atas disebutkan bahwa masyarakat yang mengusulkan penyusunan produk hukum daerah, masyarakat yang ingin terlibat dalam
145
pembahasan, anggota DPRD yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi penyusunan produk hukum, diharuskan mempunyai kapasitas pengetahuan yang cukup untuk menyusun, membahas, memperbaiki, dan mempertahankan substansi yang ingin diatur. Untuk itu, rekomendasi pertama adalah agar adanya capacity building bagi mereka yang potensial untuk terlibat dalam penyusunan produk hukum. Selama ini proses penyusunan produk hukum daerah selalu didominasi oleh pihak eksekutif/pemerintah daerah, baik secara langsung ataupun melalui Tim Asistensi yang diperbantukan untuk pembahasan produk hukum di DPRD. 2. Prosedur formal yang ada untuk penyusunan produk hukum daerah belum memberikan ruang yang cukup bagi adanya partisipasi masyarakat didalamnya. Namun saat ini telah muncul Permendagri 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah sebagai pengganti Kepmendagri-otda No. 23 Tahun 2001. Rekomendasi kedua adalah harus ada kajian lagi apakah Permendagri ini telah menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan produk hukum daerah. Bila ternyata masih belum mengakomodasi adanya partisipasi masyarakat didalam prosedur penyusunan produk hukum, sudah selayaknya Permendagri yang baru ini pun direvisi dan diperbaiki.
146
Referensi Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, (2002), Otonomi dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Devas, Nick, Brian Binder, Anne Booth, Keneth Davey, Roy Kelly, (1989), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Kartohardikoesoemo, Soetardjo, (1984), Desa, PN. Balai Pustaka, Jakarta Nurman, Ari, Yuke Ratnawulan (2006), Jalan Panjang Pengembalian Otonomi Desa-Pengalaman Eksperimen Desentralisasi di Kabupaten Bandung, INISIATIF (ISBN: 979-25-2101-1) Parker, Andrew N., (June 1995), Decentralization – The Way Forward for Rural Development?, Policy Research Working Paper, No. 1475, The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK, Washington D.C., USA. Prud’homme, Remy (1994), On the Dangers of Decentralization, Policy Research Working Papers, No. 1112, The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK, Washington D.C., USA. Silverman, Jerry M., (November 1992), Public Sector Decentralization: Economic Policy and Sector Investment Programs, The World Bank, Washington DC., USA. Widjaya, HAW, (2003), Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah: Suatu Telaah Administrasi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zakaria, R. Yando, (2003), Memulihkan Desa, Beberapa Catatan tentang UpayaUpaya Pengembalian Otonomi Desa, Yogyakarta. ••••
Desa Miskin di Kabupaten Kaya, Harian Umum Kompas, 5 Juli 2001 Hubungan Desa-Kabupaten di Era Otonomi Daerah, Ibarat Termos Berisi Air Panas, Harian Umum Kompas, 3 Agustus 2002 Memposisikan Rakyat dalam Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini (6/9/00), Bambang P. Soeroso, Anggota DPR Otonomi dan Kemandirian Masyarakat Lokal, Media Indonesia - Opini (9/7/00), Fahruddin Salim, Anggota tim ahli di DPR RI
147
Persoalan Mendasar Implementasi Otonomi Daerah, Media Indonesia - Opini (2/23/00 dan 2/24/00), Dr. Syarif Hidayat, Staf peneliti pada PEP-LIPI •••• Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Desa Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tanggal 22 Maret 2005, nomor 140/640/SJ, perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Kepmendagri) Nomor 23 Tahun 2001 tanggal 18 Juli 2001 mengatur Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor. 8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah
148
4. Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture: Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus Perda Partisipasi Kabupaten Lebak) Abstrak Implementasi desentralisasi telah membawa arah baru hubungan antara pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal. Masyarakat yang sebelumnya hanya merupakan stempel legitimasi bagi sebuah proses kebijakan, berubah menjadi komponen “vital” yang dijamin pengaruhnya agar terakomodasi dalam kebijakan dan arah pembangunan daerah. “Partisipasi”, kata yang kemudian menjadi mainstream baru dalam merepresentasikan perubahan dalam prosesproses pembangunan di daerah. Untuk itu, beberapa daerah dengan bersemangat melembagakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ke dalam perda, seperti yang dilakukan di Kabupaten Lebak dan beberapa daerah lainnya. Dengan kata lain, melalui lahirnya perda partisipasi, pemerintah daerah memberikan garansi bagi keterlibatan masyarakat secara langsung ataupun tidak dalam proses pembuatan perda, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daerah. Studi ini menggunakan metode analisis argumen kebijakan dengan menerapkan “Scriven-Toulmin-Gasper Approach” (Gasper, 2000). Analisis structures and meanings atas argumen-argumen dalam perda-perda partisipasi masyarakat dalam pembangunan difokuskan dalam tiga hal, pertama, substansi partisipasi, yang di dalamnya juga termasuk tujuan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Kedua, metode partisipasi yang dikembangkan. Terakhir, implikasi atas kerangka partisipasi yang digunakan. Hasil kajian terhadap isi perda cukup positif bahwa, secara normatif partisipasi yang digagas di Kabupaten Lebak cukup maju, hingga dikatakan mampu menjawab keraguan akan partisipasi sebatas instrumen saja. Artinya, partisipasi bukan dipersepsi sebagai means untuk melibatkan masyarakat, melainkan sebuah proses transformasi atau perubahan dalam masyarakat sebagai hasil akhir yang menjadi tujuan partisipasi. Selain itu, metode-metode partisipasi masyarakat yang digunakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan di Kabupaten Lebak, memiliki prospek untuk mampu menangkal kepentingan elit lokal. Selain itu, perda ini sementara bisa menjadi model atas hubungan kekuasaan (power relation) antar masyarakat, juga hubungan masyarakat-pemerintah daerah, yang sudah cukup seimbang. Terakhir, perda ini layak untuk direkomendasikan sebagai smart practices bagi perda-perda sejenis, karena substansinya yang sudah mengarah pada partisipasi yang transformatif dan cukup mampu menghindari bahaya elite capture.
149
1. Latar belakang Konsep partisipasi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam praktikpraktik pembangunan di Indonesia, karena konsep ini sudah banyak digunakan terutama sejak era Orde Baru. Pada saat itu kita mengenal istilah bottom-up approach sebagai jargon utama dalam perencanaan pembangunan. Praktiknya terutama bisa ditemukan dalam rapat-rapat perencanaan pembangunan di semua level pemerintahan, yang “seolah-olah” menerapkan prinsip-prinsip partisipasi. Pada saat itu, lembaga seperti LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa) menjadi ikon partisipasi di tingkat bawah, meskipun dalam praktiknya lebih banyak didominasi elit desa. Contoh lain bisa pula ditemukan dalam praktik pembangunan dalam arti sempit, seperti dalam program ABRI Masuk Desa (AMD), di sini masyarakat dan anggota ABRI berkolaborasi membangun sarana-sarana fisik di tingkat desa hingga kecamatan. Perubahan politik di tahun 1998 menjadi tonggak perubahan dalam tata pemerintahan Indonesia, mulai dari perubahan regim hingga banyaknya aturanaturan baru yang pada era sebelumnya sangat sulit untuk berubah. Salah satu contoh yang paling kongkrit adalah keluarnya paket undang-undang pemerintahan daerah, yang kemudian menjadi arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Aturan-aturan baru ini cukup berdampak luas, terutama dalam arah hubungan pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat di tingkat lokal. Berangkat dari realitas ini, konsep partisipasi kembali mendapatkan tempat sebagai mainstream baru yang merepresentasikan perubahan dalam proses-proses perencanaan pembangunan di Daerah. Di tingkat Pusat, kita bisa menemukan setidaknya tiga kebijakan baru tentang model partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang menambah hal-hal baru atas Kepmendagri No. 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Program dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D), yaitu Surat Edaran (SE) Mendagri No. 080/1160/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Rapat Koordinasi Pembangunan tingkat propinsi, kabupaten dan kota tahun 2002 dan penyusunan Repetada 2003, SE Mendagri No. 050/987/SJ Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif dan Surat Edaran bersama dan Meneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas No. 0259/ M.PPN/I/2005 Mendagri No. 050/166/SJ Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang tahun 2005. Sementara itu, di tingkat lokal muncul pula perda-perda partisipasi masyarakat dalam perencanan pembangunan seperti yang bisa ditemukan di Kota Probolinggo, Kabupaten Sumenep, Gowa, Lebak, dan Lampung Timur. Pada intinya, aturanaturan baru ini berusaha memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, ada pula Perda yang tidak secara spesifik mengarahkannya pada perencanaan pembangunan, namun tetap berkaitan langsung dengan pelaksanaan partisipasi.
150
Secara empiris, perubahan arah partisipasi masyarakat di Indonesia telah diteliti dan dikaji melalui Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang dilakukan oleh The Asia Foundation (TAF) dan mitra-mitra lokalnya. Studi ini menjadikan partisipasi sebagai salah satu kajian dalam implementasi desentralisasi, terutama mengenai dampak desentralisasi terhadap perubahan arah partisipasi. Secara ringkas temuan-temuan studi ini dimuat dalam tabel berikut: Tabel 1. Partisipasi setelah Desentralisasi IRDA
Temuan utama
Pendekatan thd Citizenship
Lokus/level Partisipasi
1
Adanya peningkatan kesadaran dan apresiasi thd partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah
Partisipasi mulai disadari sebagai sesuatu yg penting bagi Pemda, terutama yg tumbuh dari inisiatif masyarakat
Pemerintahan, melalui lahirnya forum warga dan keterlibatan media lokal, dengar pendapat
2
Partisipasi masyarakat semakin memperlihatkan peningkatan, meski membutuhkan perbaikan dari segi transparansi dan akuntabilitas
Partisipasi sebagai sebuah keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program pembangunan, dan taraf keterlibatan beragam untuk setiap daerah. Mulai muncul akan kebutuhan jaminan Perda untuk melembagakan partisipasi
Pemerintahan, khususnya untuk perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan pembangunan
3
Desentralisasi belum membawa perubahan terhadap proses perencanaan pembangunan di daerah
Partisipasi masih dipahami dalam Pemerintahan, pendekatan top-down, namun pada saat yg dalam perencanaan sama memahami beberapa Pemda memahami pembangunan di daerah partisipasi dengan adanya keterlibatan CSO
Sumber: IRDA 1 (Mei, 2002), IRDA 2 (Nop., 2002), IRDA 3 (Juli, 2003)
Meskipun tema partisipasi yang diusung tidak seluruhnya berkaitan dengan praktik dan perencanaan pembangunan, namun pada umumnya tema-tema partisipasi di tingkat lokal sangat berkaitan erat dengan isu ini, seperti partisipasi dalam perencanaan pembangunan, pengaggaran. Secara umum studi ini mengungkap temuan menarik tentang evolusi partisipasi masyarakat setelah desentralisasi secara masif dijalankan di Indonesia. Pertama, tiga tahun implementasi desentralisasi masih jauh dari cukup bagi daerah untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi masih bersifat incremental atau sangat berorientasi pada kebijakan masa lalu dan terlalu lamban untuk sebuah kebijakan radikal seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, desentralisasi ternyata belum mampu mengubah lokus partisipasi yang masih didominasi pemerintah. Belum terjadi pergeseran posisi pemerintah sebagai determinan utama dalam menentukan maju atau tidaknya partisipasi di tingkat Dua poin di kolom dua dan tiga tabel ini, diadaptasi dari Hickey dan Mohan ( 2004) yang berbicara
tentang partisipasi dalam teori dan praktik pembangunan. Dalam karya mereka konsep citizenship dipahami sebagai sebuah tujuan normatif partisipasi yang secara fleksibel berubah mengikuti arah perkembangan tertentu. Sementara Lokus/level partisipasi merupakan tingkatan di mana partisipasi secara substansial dijalankan dan bermakna bagi perubahan partisipasi itu sendiri.
151
lokal, kalaupun muncul lokus partisipasi di tingkat masyarakat masih sebatas pemicu (trigger) saja. Ketiga, munculnya temuan IRDA 2 tentang adanya daerah yang mulai melembagakan partisipasi masyarakat ke dalam Perda, cukup mengejutkan untuk desentralisasi yang baru berjalan dua tahun dan kenyataan bahwa belum ada kerangka nasional tentang partisipasi. Bukan itu saja, Perda No. 13 Tahun 2002 tentang Sistem Dukungan (SISDUK) Kabupaten Takalar2 ternyata mampu menginspirasi daerah-daerah lain untuk melembagakan partisipasi kedalam Perda. Meskipun masih membutuhkan sebuah klarifikasi yang valid tentang snowball effect dari Perda Kabupaten Takalar terhadap Perda-Perda di daerah lain, kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa setelah itu beberapa kabupaten lain mulai mengikuti upaya yang sama. Sebagai contoh, di Jawa Timur 2 Kabupaten berhasil melembagakan partisipasi di tahun yang sama, yaitu Kota Probolinggo yang membuat Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Partisipasi dan Kabupaten Sumenep yang mengeluarkan Perda No. 4 Tahun 2003 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan. Menariknya, pada tahun yang sama pula dua Kota, yaitu Kota Kediri dan Blitar, sedang berusaha membuat perda jaminan partisipasi masyarakat. (Sobari dkk, 2004:94). Setelah itu beberapa perda sejenis menyusul dikeluarkan, di antaranya Perda Kabupaten Lampung Timur No.5 Tahun 2003 tentang Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat, Perda Kabupaten Lebak No. 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak dan Perda No. 4 Tahun 2004 Kabupaten Gowa tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten Gowa. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa perda-perda ini cukup kontroversial, namun ini merupakan bukti empiris yang menguatkan bahwa tengah terjadi arus perubahan partisipasi masyarakat, khususnya dalam praktik-praktik pembangunan di daerah. Pertanyaan yang kemudian muncul, sejauh mana perubahan partisipasi terjadi? Ke arah mana perubahan substansi partisipasi? Radikalkah?. Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, makalah ini akan mengkaji Perda bersubstansi partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kabupaten Lebak. Perda ini dipilih karena memiliki cakupan partisipasi yang lebih luas dibanding yang lainnya, sehingga hasil kajiannya diharapkan merekomendasikan sebuah smart practices yang bisa diadopsi daerah lainnya. Sementara itu, kajian lebih diarahkan pada substansi dan argumen yang digunakan dalam Perda ini, terutama yang menyangkut partisipasi masyarakat. Setelah menyampaikan latar belakang tentang kajian, paper ini kemudian merumuskan sejumlah masalah yang akan menjadi arahan dalam pembahasan Perda ini menjadi garansi legalitas bagi keterlibatan LSM dan Masyarakat dalam pembangunan
Lihat Laporan IRDA 2 (2002:38).
152
berikutnya, kemudian diikuti pemaparan kerangka teoretis dan metodologis yang digunakan dalam mengkaji perda ini. Selanjutnya dalam poin keempat disajikan tentang temuan dan analisisnya, dan diakhiri dengan poin-poin kesimpulan dan rekomendasi.
2. Perumusan Masalah Paper ini akan membahas tiga hal utama yang difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Kerangka (framework) partisipasi apa yang dikembangkan dalam perda tersebut? 2. Bagaimana metode partisipasi yang dikembangkan dalam perda tersebut? 3. Bagaimana kemungkinan implikasi dari kerangka (framework) partisipasi yang digunakan dalam perda tersebut?
3. Metode Pendekatan/Analisis Dalam bagian ini akan dibahas dua hal utama yaitu tentang pendekatan teoretis yang digunakan untuk menganalisis isi tiga perda dan kerangka teknis untuk mengkaji argumen kebijakan dalam perda. 3.1 Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture: Sebuah Kerangka Analisis Dalam makalah ini definisi partisipasi yang digunakan tidak merujuk pada satu bidang ilmu khusus, karena definisi partisipasi memiliki arti yang berbeda-beda berdasarkan konteks dan ahli yang mendefinisikannya (Mayer, 1997:9). Namun, secara umum partisipasi bisa dipahami dalam dua pandangan utama, yaitu perspektif teori pluralisme dan demokrasi langsung. Dalam perspektif pertama, konsep partisipasi lebih difokuskan pada representasi kepentingan, terutama melalui kelompok-kelompok kepentingan dan struktur politik lainnya. Sementara untuk yang kedua, partisipasi merupakan sebuah bentuk keterlibatan dan pengaruh langsung individu atas pengambilan sebuah keputusan (Mayer, 1997:9). Sementara itu, dalam diskursus teori pembangunan, pendekatan terhadap partisipasi ternyata lebih luas lagi, yaitu sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efiisiensi dan efektifitas pembangunan dan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan Kothari, 2002:36). Kedua pendekatan ini, juga banyak dikenal sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan/transformasi (ends). Lebih kongkrit lagi Cleaver menambahkan, dalam argumen efisiensi, partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/proyek/kebijakan yang lebih baik. Sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan,
153
partisipasi adalah sebuah proses sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas individu-individu sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37). Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap, pertama, hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif. Kedua, cara bagaimana komunitas target mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak terjadi, dengan kata lain tidak ada interaksi antar kedua pihak. Sehingga desain program/atau kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elit lokal (community leader). Sementara masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program/ kebijakan, atau hanya menjadi tukang yang mengerjakannya (Parfitt, 2004:539). Sebaliknya, pendekatan transformatif memandang bahwa hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat target itu sendiri. Sehingga harus ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program/kebijakan pembangunan. Masyarakat target harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt, 2004:539). Oleh karena itu, pengertian partsipasi instrumental dan transformatif dalam makalah ini, mengacu pada referensi yang telah dipaparkan di atas. Konsep ketiga dalam kerangka analisis makalah ini adalah elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi. Lebih jauh dari itu, terjadi pengambilan keputusan dan implementasi program sepihak dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat individual yang tidak sejalan dengan tujuan program yang partisipatif. Dalam proses yang partisipatif, elite capture merupakan implikasi negatif dari hubungan kekuasaan dan upaya mendapatkan manfat dari proses tersebut, yang tentunya lebih pada kerugian bagi masyarakat penerima manfaat. Platteau memberikan kategori kongkrit tentang praktik elite capture berdasarkan studi kasusnya di Afrika Barat, yang dikategorikan ke dalam beberapa kondisi dan konteks hubungan antara lembaga pelaksana program dan lembaga pemberi bantuan (donor). Pertama, elite capture terjadi pada suatu konteks di mana kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak donor didominasi atau terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit saja. Sementara daya tawar masyarakat biasa atau calon penerima manfaat sangat lemah, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak pada saat distribusi dari manfaat program dilakukan (2004:227).
154
Berikutnya, adanya dampak situasi pertama terhadap manfaat program yang diterima masyarakat target. Karena tidak terjadinya tranparansi atau hubungan informasi yang asimetris, maka sekecil apa pun manfaat yang diterima masyarakat target, tentunya akan dimaknai dengan rasa terima kasih terhadap pelaksana program. Meskipun pada saat yang sama, pelaksana program menikmati keuntungan yang lebih besar dari program yang dieksekusinya untuk kepentingan pribadi atau organisasinya, dan masyarakat tidak mengetahuinya.
Terakhir, terjadinya upaya untuk mengubah tujuan awal program yang sudah ditetapkan dan disepakati dengan lembaga pemberi dana (domestik maupun asing). Sehingga posisi pelaksana program tidak lebih dari sekedar “makelar pembangunan” (development broker) (Platteau, 2004:227-229). Konsep ketiga akan digunakan terutama untuk mengkaji metode partisipasi yang digunakan sekaligus hubungan antara masyarakat dan pelaksana program pembangunan, juga kemungkinan-kemungkinan implikasinya.
3.2 Analisis Argumen Kebijakan: Sebuah Pendekatan Praktis melalui Analisis Structures and Meanings
Analisis argumen kebijakan sebenarnya lebih difokuskan pada upaya awal sebelum kebijakan dibuat, yang tujuannya adalah untuk memberikan dukungan argumen yang kuat, sehingga diharapkan sebuah kebijakan akan berdampak positif atau memberikan manfaat ketika diimplementasikan. Menurut Dunn, argumen kebijakan digunakan dalam sebuah analisis kebijakan ketika informasi-informasi yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information) sudah didapat. Berdasarkan informasi inilah maka proses debat dan argumentasi dimulai untuk mengkaji secara kritis dan mengkomunikasikan nilai-nilai argumentatif sebuah kebijakan publik (1994:89). Selain itu, Gasper menambahkan argumentasi kebijakan ditujukan untuk membuat klaim-klaim yang secara logika memiliki alasan kuat, khususnya dalam policy talk and writing. Maka, argumentasi dalam sebuah analisis kebijakan merupakan sebuah aktifitas yang melibatkan pengkajian dan persiapan argumen-argumen yang mana ide-ide tentang nilai, tujuan dan prioritas dikombinasikan dengan klaim-klaim tentang fakta dan hubungan sebab akibat, untuk tujuan menghasilkan penilaian tetang kebijakan (dan implementasinya) di masa lalu dan akan datang (2000:3). Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan sering dikaitkan dengan text-focused analysis. Oleh karena itu, makalah ini akan mengakaji perda-perda partisipasi terbatas pada teks kebijakannya, bukan pada konteks perda itu diterapkan.2 Dalam praktiknya, analisis argumen kebijakan saat ini lebih banyak menggunakan dua tehnik yang dikembangkan oleh Toulmin dan Dunn (Toulmin-Dunn model) dan Scriven (Scriven format). Metode pertama digunakan untuk menganalisis 2 Fokus pada teks Perda lebih merupakan pengembangan dari metode analisis argumen kebijakan
yang dilakukan oleh penulis.
155
struktur logika argumen dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kontra argumennya, atau dalam hal ini dikenal sebagai Structures. Metode kedua atau yang disebut sebagai meanings adalah metode untuk mengkaji teks-teks argumen, atau dalam makalah ini teks kebijakan, untuk mengetahui arti/maknanya, hubungan antar teks dan secara hati-hati menarik kesimpulan dan asumsi yang tidak ternyatakan secara langsung dalam sebuah kebijakan. Kemudian, Gasper menggabungkan dua metode ini sebagai analisis structures and meanings, dengan tujuan untuk lebih mampu menangkap argumen sebuah kebijakan dan secara kritis mengkajinya. Selain itu Gasper juga mengembangkan metode yang lebih mudah dipahami dan digunakan melalui penggunaan tabel analisis untuk mengkaji meanings dan tabel sintesis untuk mengkaji structures. Dalam model Toulmin-Dunn yang sudah sedikit dimodifikasi oleh Gasper, terdapat empat komponen utama untuk menganalisis struktur logika kebijakan. Pertama, claim (klaim) sebagai konklusi yang diajukan dalam argumen/kebijakan. Untuk itu sebuah klaim dimaknai sebabai sesuatu yang bisa diperdebatkan, sehingga dibutuhkan argumen. Kedua, ground atau data, yang dipresentasikan untuk mendukung klaim, yang bisa lebih dari satu data. Ketiga, warrant, komponen ini dilihat sebagai sebuah aturan atau prinsip yang relevan dengan kasus atau argumen. Warrant akan sangat berguna terutama ketika klaim tidak secara otomatis mengikuti data, sehingga dibutuhkan warrant sebagai pernyataan yang menghubungkannya. Keempat, Rebuttal adalah sebuah kontra argumen yang digunakan untuk menguji klaim atau semua elemen, termasuk data dan warrant (2000:5-6). Sementara itu untuk mengkaji meanings dari argumen/kebijakan Scriven mengembangkan tujuh langkah untuk analisis argumen (Gasper, 2000:9), yaitu: 1. Mengklarifikasi meanings dari terminilogi/teks 2. Mengidentifikasi kesimpulan, baik yang ternyatakan maupun tidak secara langsung dalam teks 3. Menggambarkan struktur, yaitu hubungan kesimpulan terhadap data-data dan warrants 4. Memformulasikan asumsi-asumsi yang tidak ternyatakan, yaitu sebagai syarat untuk bergerak atau merubah dari data ke klaim 5. Mengkritisi inferensi dan premis 6. Mempertimbangkan argumen-argumen relevan yang lain, termasuk kemungkinan kontra-argumen 7. Evaluasi secara keseluruhan, berdasarkan pada keseimbangan antara kekuatan dan kelemahan, dan mengkomparasikannya dengan pendapat alternatif yang mungkin juga bisa dipertimbangkan. Berdasarkan dua model inilah, analisis argumen terhadap perda partisipasi dilakukan. Namun dalam praktiknya tidak semua langkah, terutama untuk scriven format, dilakukan, karena menyesuaikan dengan teks. Untuk itu modifikasi melalui Gasper model lebih banyak diterapkan.
156
4. Analisis dan Temuan Pokok
4.1 Framework Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah
Berikut ini adalah analisis meanings and strcutures atas kerangka partisipasi yang dikembangkan di Kabupaten Lebak berdasarkan analisis teks definisi partisipasi dan pelibatan masyarakat.
Teks1: Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar dan nyata dalam serangkaian proses pembangunan dari tingkat perencanaan, perumusan kebijakan, implementasi sampai pengawasan dan evaluasi sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat lebih aspiratif, transparan dan akuntabel (Bab I ketentuan umum, pasal 1 No. 7).
Tabel 2: Tabel Analisis Definisi Partisipasi Step 0. Identify components
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar dan nyata dalam serangkaian proses pembangunan dari tingkat perencanaan, perumusan kebijakan, implementasi sampai pengawasan dan evaluasi sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat lebih aspiratif, transparan dan akuntabel
Step 1. Clarify meanings of terms
Kriteria tindakan, menolak bentuk-bentuk mobilisasi. Setiap keterlibatan masyarakat harus terbebas dari paksaan. Partisipasi juga harus kongkrit, jelas dan terukur
Step 2. Identify conclusions Step 4. Identify assumptions
Stated conclusion: Partisipasi adalah cara masyarakat terlibat dalam proses pembangunan dengan tujuan agar terjadi perubahan jalannya pemerintahan, sesuai prinsip-prinsip tertentu. Perubahan bukan hanya untuk masyarakat
Keterlibatan masyarakat meliputi proses pembangunan secara komprehensif, bukan sekedar perencanaan saja Tujuannya agar terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai prinsip/ karakter tertentu. Contoh, good governance
Berdasarkan analisis teks dalam tabel 2 di atas, maka dilakukan analisis structure dari kerangka partisipasi yang diajukan dalam Perda.
157
Tabel 3: Tabel Sintesis untuk Kerangka Partisipasi Policy Position [Claim:] I propose that Partisipasi dilakukan bukan untuk mentransformasi masyarakat saja, tetapi juga pemerintah (daerah)
Rebuttal • Dalam praktiknya dominasi pemerintah (daerah) bisa lebih kuat, bila tidak terjadi penguatan kapasitas di tingkat masyarakat
Given That [Data] • Tujuan Partisipasi: Meningkatkan daya tanggap Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap keterlibatan masyarakat… (pasal 3 ayat 2 a) • Tujuan Partisipasi: Juga untuk, ...Meningkatkan kesadaran peran serta dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan pembangunan di daerah (pasal 3 ayat 2 b ) • Hak masyarakat untuk berpartisipasi merupakan jaminan bagi proses transformasi partisipasi masyarakat (pasal 8) • Kewajiban mengikat bagi pemerintah untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam seluruh proses kebijakan (pasal 9 ayat 1) • Dibentuknya komisi partisipasi daerah (Bab VIII)
And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that • Bagian dari pelaksanaan Renstra Kabupaten Lebak 2004-2009 • Adanya aturan yang mendukung keterlibatan dalam pembangunan , yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
• Peran serta masyarakat bisa saja menjadi sumber legitimasi semata
• Masyarakat wajib pula meningkatkan kapasitasnya untuk bisa tetap berpartisipasi
• Hak pemerintah juga untuk meminta masyarakat terlibat dalam selurus proses kebijakan
• Aturan bisa membelenggu partisipasi
Berikut adalah analisis meanings and structures atas definisi pelibatan masyarakat:
Teks 2: Pelibatan masyarakat adalah suatu kondisi yang mensyaratkan adanya peran serta atau kontribusi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu pengambilan kebijakan publik (Bab I ketentuan umum, pasal 1 No. 8)
158
Tabel 4: Tabel Analisis definisi Pelibatan Masyarakat Step 0. Identify components
Pelibatan masyarakat adalah suatu kondisi yang mensyaratkan adanya peran serta atau kontribusi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu pengambilan kebijakan publik
Step 1. Clarify meanings of terms
Menyaratkan, prakondisi yang harus dipenuhi untuk sebuah kegiatan partisipatoris
Step 2. Identify conclusions Step 4. Identify assumptions
Stated conclusion: Partisipasi adalah cara masyarakat terlibat dalam proses pembangunan dengan tujuan agar terjadi perubahan jalannya pemerintahan, sesuai prinsip-prinsip tertentu. Perubahan bukan hanya untuk masyarakat
“Maupun”, mengakui dua bentuk keterlibatan
Kebijakan publik, istilah netral yang merepresentasikan suara otoritatif pemerintah untuk tujuan tertentu
Tabel 5: Tabel Sintesis Pelibatan Masyarakat Policy Position [Claim:] I propose that Proses pembuatan kebijakan publik (daerah) menjadi wilayah peran serta masyarakat
Rebuttal • Proses pembuatan kebijakan hanyalah salah satu dari seluruh proses kebijakan
Given That [Data] • Masyarakat sekurang-kurangnya terlibat dalam (pasal 16): a. Perumusan visi, misi dan rencana strategis daerah; b. Penyusunan program pembangunan tahunan; c. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah; d. Penyusunan maupun revisi tata ruang; e. Penyusunan setiap Peraturan Daerah; f. Pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan suatu kebijakan atau program; g. Perumusan keputusan / kebijakan publik lainnya yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak; • Hak masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan, perumusan, implementasi, pengawasan, dan evaluasi kebijakan publik
• Masyarakat juga berhak untuk bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan, daripada sekedar keterlibatannyadi tahap pengysusnan dan pengumpulan informasi yang relevan untuk kebijakan • Pengawasan dan evaluasi sudah berada di luar proses formulasi
159
Berdasarkan hasil analisis terhadap dua definisi yang menjadi bagian utama dalam Perda Partisipasi (dan transparansi) Kabupaten Lebak, perlu dijelaskan bahwa perda ini cukup layak untuk dikatakan memiliki framework partisipasi transformatif, khususnya dari sisi substansi. Partisipasi ternyata tidak hanya diarahkan sebagai instrumen untuk menggali dan mendapatkan suara masyarakat. Lebih jauh lagi, partisipasi dan pelibatan masyarakat menjadi tujuan bagi perubahan terhadap posisi masyarakat itu sendiri, menjadi lebih berdaya. Hal ini memberikan gambaran cukup utuh tentang upaya-upaya menyeimbangkan perubahan dari sisi masyarakat. Berdasarkan data yang menjadi bagian dalam perda itu sendiri, dimuat secara kongkrit sejumlah strategi dan mekanisme agar terjadi power relations yang seimbang. Berikutnya, ketika partisipasi tidak hanya dilakukan pada saat implementasi program-program pembangunan, tetapi lebih awal lagi sejak proses formulasi kebijakan, maka telah muncul upaya mentransformasi masyarakat. Keterlibatan sejak tahap perumusan yang termuat dalam pasal 16 perda ini, mementahkan asumsi bahwa masyarakat hanyalah menjadi bagian dari eksekutor program pembangunan. Namun satu hal yang menjadi ganjalan dalam substansi dan argumen perda ini adalah, masyarakat diposisikan sudah memahami dan mampu menjalankan start untuk berpartisipasi. Tidak menonjol ditemukan, argumen tentang upaya-upaya untuk memprinsipkan kapasitas masyarakat. Di kemudian hari kekurangan ini akan menjadi ganjalan serius, tatkala terjadi perbedaan kapasitas yang menonjol antar masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah daerah (dan DPRD). Terakhir, argumen-argumen partisipasi dalam teks dan struktur logika perda ini cukup kuat untuk menangkal bahaya elite capture. Jaminan hak masyarakat dan kewajiban pemerintah dan DPRD dalam partisipasi, merupakan modal utama untuk menangkal terjadinya situasi ini. Diperkuat lagi dengan keberadaan komisi partisipasi (dan transparansi) yang bisa menjadi mediator sekaligus wakil masyarakat yang dekat dan kredibel untuk menjalankan fungsi penyeimbang dalam partisipasi kebijakan dan program pembangunan. Juga, pendirian lembaga independen seperti ini, bisa diharapkan untuk memberikan prospek yang baik bagi masa depan partisipasi masyarakat. 4.2 Metode Partisipasi Untuk bahasan metode partisipasi, analisis langsung dilakukan melalui structure, mengingat teks yang lebih kongkrit, yang justru bisa diposisikan sebagai data. Untuk bagian ini, analisis difokuskan pada bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses kebijakan dan/atau pembangunan.
160
Tabel 6: Tabel Sintesis untuk Metode Partisipasi Policy Position [Claim:] I propose that Metode partisipasi yang digunakan cukup memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Rebuttal Semakin luas ruang yang diberikan, berdampak pada semakin tidak efisien dan mahal-nya pengambilan kebijakan bagi policy maker.
Given That [Data] • Metode partisipasi (pasal 17): 1. Masyarakat berhak menyampaikan pikiran dan pendapatnya secara langsung dengan lisan maupun tulisan dan secara perorangan maupun kelompok; 2. Untuk terlaksananya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dalam perumusan kebijakan publik harus disiapkan dan diumumkan mekanisme pelibatan masyarakat terlebih dahulu oleh badan publik. 3. Mekanisme pelibatan masyarakat sekurangkurangya berisi tentang: a. Kebijakan publik yang akan diambil dan penyampaian konsepnya kepada masyarakat b. Jadwal perumusan kebijakan publik yang akan diambil, prosedur pelibatan masyarakat dan media penyampaian aspirasi c. Periode dan mekanisme tanggapan masyarakat terhadap prosedur pelibatan masyarakat d. Periode penyampaian aspirasi masyarakat e. Periode perumusan tanggapan masyarakat f. Penyampaian tanggapan kepada masyarakat yang memberikan pendapat/aspirasi g. Periode kesempatan pengajuan keberatan masyarakat terhadap tanggapan yang diberikan h. Periode perumusan kebijakan final dan hasilnya i. Periode kesempatan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan karena tidak dilakukannya pelibatan masyarakat j. Periode pembahasan kebijakan publik di DPRD dengan melampirkan semua dokumen terkait termasuk aspirasi masyarakat dan tanggapan terhadap aspirasi masyarakat k. Kesempatan akhir masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dalam pembahasan di DPRD
• Standar penyampaian pendapat/pikiran masih belum terumuskan dengan baik • Mekanisme belum menjawab persoalan standar metode partisipasi • Penyusunan mekanisme tidak bisa hanya didominasi oleh badan publik, tetapi membutuhkan kolaborasi dengan masyarakat
161
Policy Position
Rebuttal
l. Penepatan kebijakan publik m. Pengumuman hasil penetapan kebijakan publik • Pengaduan dan keberatan (pasal 20): (1) Setiap masyarakat berhak untuk mengajukan keberatan kepada Badan Publik berkenaan dengan: a. b. c. d.
tidak setuju terhadap prosedur pelibatan masyarakat, tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat; tidak ada tanggapan terhadap pendapatpendapat yang disampaikan; atau sebab lain yang mengakibatkan tersumbatnya aspirasi yang ingin disampaikan masyarakat.
• Menjawab kontra-argumen pasal 17 ayat 2 (rebuttal bullet 2) • Masih dibutuhkan standar tentang pengajuan keberatan • Seleksi terhadap keberatan-keberatan bersifat individual tetap dibutuhkan, untuk memberikan jaminan terhadap validitas dan reliabilitas sebuah keberatan
(2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendapat tanggapan dari badan publik yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 hari sejak diajukannya keberatan secara tertulis, maka masyarakat dapat mengajukan pengaduan kepada Komisi Transparansi dan Partisipasi.
And given the rule (s)/principle(s) [warrant(s)] that • pendekatan transformatif: hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif harus mengarah pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat target itu sendiri. • Kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program/kebijakan pembangunan. • Masyarakat target harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt, 2004:539)
Secara teknis metode-metode yang digunakan dalam partisipasi, cukup memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya atas sebuah kebijakan. Kekhawatiran akan dominasi elit bisa dikurangi dengan adanya jaminan partisipasi baik langsung maupun tidak oleh masyarakat. Selain itu keberadaan komisi partisipasi dan transparansi sebagai organisasi independen, bisa menjadi penengah yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan partisipasi. Berdasarkan tabel di atas, perlu juga diperhatikan bahwa semakin luas ruang partisipasi yang dibuka oleh pemerintah daerah, perlu dipertimbangkan pula
162
efektifitas pengambilan kebijakannya. Semakin besar partisipasi, akan berdampak pada semakin banyak waktu dan biaya yang dibutuhkan. Meskipun bukan berupaya menegasikan arti pentingnya partisipasi, namun dalam hal waktu dan anggaran akan menjadi beban yang cukup bagi daerah untuk terus menjalankan mekanisme ini. Artinya, perlu dikembangkan mekanisme khusus agar luasnya ruang partisipasi yang dibuka tidak berkorelasi positif dengan besarnya biaya dan waktu yang harus dikeluarkan. Secara kongkrit bisa dikembangkan standar penyampaian pendapat dan tanggapan yang efisien, tanpa mengurangi makna partisipasi. Satu pertanyaan sederhana tetapi cukup penting, mengapa perda ini relatif baik mengatur ruang partisipasi masyarakat. Jawaban yang mungkin diajukan adalah karena perda ini dibuat dengan menggandeng transparansi sebagai bagiannya. Perubahan hubungan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah daerah tidak akan bermanfaat bagi penciptaan ruang partisipasi, tanpa ada kerelaan dari pemerintah daerah untuk membuka pintu bagi akses informasi publik yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai dasar (bahan) partisipasi. Karena selama ini akses terhadap dokumen publik begitu menjadi masalah bagi masyarakat yang ingin mengetahui jalannya pemerintahan dan pembangunan. 4.3 Implikasi dari Framework Partisipasi Mengingat substansi perda yang mengalami perubahan cukup radikal, terutama bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi dan desentralisasi, maka satu hal yang mungkin dihadapi oleh pemerintah daerah dalam menjalankan perda progresif ini adalah menyangkut situasi kultur di tingkat lokal, baik di kalangan elit lokal maupun masyarakat. Di tingkat elit, munculnya benturan kepentingan antara arus perubahan yang dibawa oleh Perda ini dan kepentingan untuk mempertahankan budaya politik lama yang berakar pada patronase, merupakan hal yang mungkin terjadi. Di tingkat masyarakat, keberadaan perda ini tentunya membutuhkan setting budaya politik baru yang tidak hanya sekedar menerima, tetapi memberi kontribusi dan mempengaruhi. Oleh karena itu, implikasi teknis yang juga akan muncul adalah belum siapnya masyarakat di awal-awal implementasi Perda ini, dan sebagai jalan keluar bukan hanya sosialisasi tetapi juga perlunya peningkatan kapasitas masyarakat tentang makna, cara dan etika berpartisipasi. Implikasi prospektif lainnya berkaitan dengan pola-pola elite capture yang selama ini kental dalam proses-proses pembangunan. Substansi perda yang secara normatif berusaha menangkal polapola ini, ke depan akan berdampak positif bagi perbaikan tingkat korupsi. Secara normatif, ketika masyarakat diberi kesempatan terlibat langsung, berhubungan dengan pengambil kebijakan dan mempengaruhi serta secara detail mengetahui kebijakan pembangunan yang akan dijalankan tentunya akan mengurangi dan menghentikan praktik-praktik elite capture. Apalagi pada saat yang sama akses terhadap informasi publik juga dibuka cukup lebar.
163
Berikutnya berkaitan dengan kesiapan material untuk menjalankan perda ini. Sebagaimana teori kebijakan yang menganut posisi rational decision-making, semakin rasional informasi yang relevan untuk kebijakan berusaha diperoleh baik melalui metode ilmiah maupun metode demokrasi, maka konsekuensinya adalah pada ketersediaan waktu dan biaya untuk menggalinya. Pendekatan partisipatoris yang sangat kental dalam Perda ini, menyaratkan perubahan cukup besar dalam cara-cara bagaimana input kebijakan pembangunan diperoleh dan diakomodasi untuk menjadi kebijakan yang sesuai harapan masyarakat. Implikasinya tentunya hal ini berpengaruh terhadap waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan proses-prosesnya. Sebagai contoh, participatory budgeting yang cukup populer dikembangkan di Porto Alegre, Brasil, prosesnya memakan waktu hampir setahun penuh hingga sebuah program pembangunan benar-benar mengakomodasi suara sektoral dan kewilayahan di masyarakat. Selain itu tidak kalah pentingnya, kesiapan kapasitas pemerintah daerah dan DPRD sendiri, tentunya harus lebih dari sebelumnya, dalam hal kemampuan mengatur strategi dalam mengakomodasi keterlibatan masyarakat, dari mulai kapasitas pengumpulan informasi yang relevan buat kebijakan, kemampuan berargumen secara normatif dan empiris hingga kemampuan melakukan manajemen dan resolusi konflik yang mungkin terjadi.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kajian tekstual terhadap isi dan argumentasi perda ini menunjukkan bahwa secara normatif partisipasi yang digagas sudah lebih dari sekedar sebagai instrumen untuk berpartisipasi. Lebih dari itu perda ini secara progresif mengembangkan pendekatan transformatif, karena partisipasi juga merupakan bagian dari upaya untuk memberdayakan masyarakat dan menyeimbangkan power relations. Selain itu, kekhawatiran akan bahaya elite capture yang mungkin lebih menonjol, secara substansi terjawab dalam perda ini. Sebagai rekomendasi akhir, secara normatif perda ini layak dikatakan sebagai salah satu smart practices yang bisa dirujuk oleh daerah lainnya, tentunya dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang berbeda. Selain itu perlu juga dilakukan studi-studi lainnya yang lebih mengarah pada temuan-temuan empiris dari implementasi perda ini. Pada saat yang sama juga dicatat kendala dan kemudahan dalam implementasinya, untuk semakin menyempurnakan perda partisipasi ini dan dampaknya terhadap keterlibatan masyarakat dalam prosesproses pembangunan dan hasil-hasilnya.
164
Referensi Cleaver, Frances., dalam Cooke, Bill dan Kothari, Uma (2002) Participation: the New Tyranny?. London: Zed Books Dunn, William N. (1994) Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Gasper, Des (2000) ‘Structures and Meanings: A Way to Introduce Argumentation Analysis in Policy Studies Education’, Working Paper 317. The Hague: Institute of Social Studies (ISS). Hickey, S. Dan Mohan, G (eds.) (2004) Participation: from Tyranny to Transformation: Exploring New Approaches to Participation in Development. London: Zed books Mayer, Igor S. (1997) Debating Technologies: A Methodological Contribution to the Design and Evaluation of Participatory Policy Analysis. Tilburg: Tilburg University Press. Parfitt, Trevor. (2004) ‘The Ambiguity of Participation: a Qualified Defence of Participatory Development’, Third World Quarterly 25 (3):537-556. Platteau, Jean-Philippe (2004) ‘Monitoring Elite Capture in Community-Driven Development’, Development and Change 35(2):223-246. The Asia Foundation (2002a) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Pertama, Mei 2002. Jakarta: The Asia Foundation _______(2002b) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Kedua, JuniNovember 2002. Jakarta: The Asia Foundation _______(2003) Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Ketiga, Juli 2003. Jakarta: The Asia Foundation Sobari, W. dkk. (2004) Referensi Baru Otonomi: Kumpulan Beragam Inovasi Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur dalam Implementasi Otonomi Daerah. Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)-Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Peraturan Daerah: Republik Indonesia (2003) Perda Kabupaten Lampung Timur No.5 tahun 2003 tentang Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat. ______________(2004) Perda Kabupaten Lebak No. 6 tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak. _______________(2004) Perda No. 4 Tahun 2004 Kabupaten Gowa tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten Gowa.
165
5. Diskusi Sesi Paralel 1: Penyusunan dan Implementasi Perda Tanya Jawab ◊
Pertanyaan
1. Gatot (LBH Bandung) Apa yang disampaikan tadi sebenarnya cukup jelas buat kami tapi ada beberapa hal yang mungkin bisa diperjelas terutama oleh narasumber dari Tarakan dan Bpk. Walikota Gorontalo, itu hal-hal yang berkenan dengan mekanisme. Bagaimana mekanisme penuang akses informasi publik berkenan dengan beberapa informasi yang disediakan oleh institusi pemerintahan baik kota Tarakan maupun Gorontalo. Kemudian apakah di kedua wilayah ini ada juga ketentuan yang memberikan satu ruang yang cukup baik buat publik untuk melakukan komplain misalnya, mekanisme komplain, seandainya informasi tadi menurut Bapak Walikota Gorontalo diberi waktu satu minggu selambat-lambatnya informasi pada publik itu bisa diberikan, jika lebih dari satu minggu atau ternyata sama sekali informasi itu tidak bisa diberikan, kira-kira mekanisme komplain yang disediakan bagi publik ini sebenarnya terkait dengan kepentingan pemerintah untuk memberikan ruang akses bagi masyarakat yang bersangkutan seperti apa. Kemudian memang pada tataran praktis implementatif di beberapa daerah pasti terjadi perbedaan-perbedaan. Karena pada prinsipnya akses informasi, akses partisipasi dan akses pada keadilan itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain, menurut pandangan kami. Kemudian juga implementasi tiga akses ini (informasi, partisipasi dan keadilan) betul sangat membutuhkan satu sikap konsistensi dari unsur penyelenggara negara terutama karena dari aspek HAM merupakan kewajiban pemerintah untuk bisa memenuhinya dengan sebaikbaiknya. Kemudian pertanyaan yang ke-3 untuk Bapak-bapak dari Tarakan dan Gorontalo, masyarakat mengetahui bahwa usulan-usulan yang mereka berikan itu betul-betul diakomodir dalam tahapan proses pengambilan sebuah keputusan. Tadi bapak juga menjelaskan, Walikota dari Gorontalo, bahwa ada perda tentang perencanaan pelaksanaan dan pengawasan, bagaimana mekanisme pelibatan partisipasi publik dalam proses pelaksanaan implementasi dari kebijakan tadi dan pengawasannya seperti apa. Kalau yang disampaikan oleh kawan Diding saya pikir memang kondisinya di Bandung memang seperti itu, belum sebagus dengan apa yang terjadi dan diinisiasi oleh kawan-kawan dari Tarakan maupun dari Gorontalo.
166
2. Ayu Pramusinto Sedikit untuk Pak Djoko, tadi digambarkan di layar tentang pembangunan SMP yang menghabiskan 15 milyar, saya kuatir ini menjadi kecenderungan di daerahdaerah juga. Dan saya memang melihat bahwa pembangunan fisik menjadi kebanggaan, bangun sekolah mewah, bangun gedung mewah, tetapi isi dari kegiatan itu sendiri terabaikan, dan tentu saja ini jangan sampai terjadi seperti itu, jadi konsentrasikan secara benar kalau ingin membangun, apa fisik memang masih perlu kita cenderung seperti itu ingin sesuatu yang kelihatan ada tinggalan monumental nanti kalau ganti Bupati bisa dibandingkan Bupati dulu bangun apa, Bupati sekarang bangun apa. Yang kedua, tadi ada masalah tahapan musrenbang sampai ketemu APBD itu banyak sekali aspirasi yang terpotong-potong, sehingga apa yang muncul dari bawah sampai akhir ketika APBD sebetulnya berapa persen yang terserap dari aspirasi masyarakat, dan ini ada berapa potongan, dipotong mulai musren kelurahan, kecamatan kemudian tim anggaran di eksekutif juga bikin potonganpotongan, kemudian masuk di legislatif di potong lagi akhirnya berapa persen yang masuk dari bawah itu. 3. Restu Karlina Rahayu (Bandung Advisory Group) Saya sangat tertarik dengan pemaparan kota Tarakan dan Gorontalo. Terkait dengan keluarnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang pedoman penyusunan pelayanan perijinan satu pintu. Apakah di kota Bapak sudah ada unit atau kantor atau dinas tentang pelayanan perijinan satu pintu.Ini terkait dengan pertanyaan berikutnya karena seperti sekarang yang kami sedang asistensi teknis di kota Cimahi, salah satu kesulitan yang dihadapi adalah ketika ada peraturan atau perangkat hukum diatasnya sehingga daerah itu tidak mampu untuk mengeluarkan ijin. Karena untuk mengeluarkan ijin tetap harus ada ijin dari Pusat terlebih dahulu. Apakah sebelumnya Bapak pernah mengalami ketika daerah menginisiasi suatu peraturan terbentur dengan peraturan diatasnya, selama ini kalau daerah Bapak, bagaimana mengatasinya. Dalam proses penyusunan peraturan daerahnya sendiri Pak, tadi diceritaikan tampak sangat partisipatif. Sedangkan proses politiknya sendiri ketika legislatif bertemu dengan eksekutif itu seperti apa, apakah legislatifnya sangat bisa bekerja sama juga dengan eksekutif?
167
◊
Jawaban
1. Walikota Mekanisme informasi dari publik, kami jelaskan bahwa dalam peraturan daerah tentang perencanaan pelaksanaan dan pengawasan itu sudah jelas terurai oleh karena itu maka mudah-mudahan dari Bapak moderator bisa. Mekanisme itu orientasinya atau dasarnya masyarakat bisa memanfaatkan media apa saja untuk bisa menyampaikan aspirasinya kepada pimpinan daerah, tetapi seperti perencanaan tentu ada aturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, musrenbang kemudian lokakarya tingkat kecamatan kemudian tingkat kota kemudian kita bahas lagi di tingkat provinsi baru di tingkat nasional. Jadi mekanismenya seperti demikian, tetapi prinsipnya apa yang diinginkan oleh masyarakat segera salurkan jangan ditutup-tutupi.
Complain yang cuma satu minggu. Kalau lebih dari 1 minggu sudah tidak ada complain, teorinya berarti sudah baik itu. Ini dimaksudkan untuk agar mereka segera mengajukan aspirasi mereka, apa yang mereka tidak inginkan. Sarananya yaitu tadi boleh melalui sms, melalui telpon langsung. Di kota Gorontalo ada posko untuk ini yang kita namakan Posko 4-CT yaitu cepat temu (masalah), cepat tanggap (begitu diketemukan permasalahan, aparat itu tanggap, diapakan ini), sehingga cepat tindak, sehingga akhirnya tuntas tidak ada masalah lagi. Tapi orang tambah 1-CT lagi supaya kita cepat temu, cepat tanggap, cepat tindak, cepat tuntas, sehingga kita cepat tidur, sebab tidak ada beban lagi jadi tidur enak tidak stress, itu 24 jam berfungsi. Baru-baru ini banjir, baru ada tanda-tanda mau banjir kita sudah warning kepada masyarakat, seperti beberapa waktu yang lalu ada gempa bumi di Gorontalo yang sengaja terlalu di blow up sehingga di media elektronik muncul seolah-olah Gorontalo sudah kiamat, padahal saya sendiri tidak merasakan gempa yang begitu besar, hanya masyarakat terpancing dengan isu dari media bahwa akan terjadi tsunami di Gorontalo, sehingga masyarakat yang ada di pesisir pantai lari. Ini segera ditangani oleh Posko 4-CT. Kemudian bagaimana masyarakat tahu bahwa usulan-usulan mereka itu tertampung, tentu saja karena melalui proses musrenbang ke tingkat kecamatan, ke tingkat kota, kita susun mana yang utama diantara unsur yang sama. Keinginan kita begitu banyak, tapi mana dari keinginan-keinginan itu yang utama, tentu keinginan pribadi saya kalau sudah dibicarakan dengan suatu lingkungan sudah turun dia punya, demikian juga. Itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat bahwa tidak semua yang kalian sampaikan itu akan tertampung. Kita akan melihat kepentingan yang lebih besar lagi selain dari anda. Biasanya kemauan bertolak belakang dengan kemampuan, kemampuan itu menurut deret hitung, dan kemauan itu menurut deret ukur, maka dia laksanakanlah perencanaan mana yang utama diantara yang sama, tentu tidak semua tertampung.
168
Kemudian di kota Gorontalo tidak melayani satu pintu, yang ada satu atap tapi banyak pintu, tapi di dalam satu kantor itu, pintunya ada pintu depan, pintu samping dan pintu belakang. Jadi pelayanan di kota Gorontalo satu atap ada unit pelayanan satu atap sebelum keluar instruksi mendagri, jauh-jauh sebelumnya sudah ada pelayanan satu atap. Prinsipnya yaitu efisiensi. Efisiensi orang yang mengurus ijin. Biasanya pengalaman rakyat mengurus ijin itu harus menghubungi beberapa instansi, pakai uang kendaraan ke instansi A, uang kendaraan ke instansi B, bolak-balik dia. Ini dia cuma satu kali mengeluarkan uang, antarkan di unit satu atap, dan unit satu atap itu yang memproses ke dinas-dinas lain, dan dia diberi waktu tiga hari kemudian kembali. Itu sudah lama berlangsung di kota Gorontalo, dan masih merupakan unit pelaksana tugas, belum dinas, belum kantor. Sebab kalau dia sudah dinas atau kantor berarti dia menghilangkan peranan dinas-dinas lain, seperti IMB, itu kan melibatkan pertanahan, melibatkan PU dan melibatkan unit-unit lain, nanti akan tersinggung yang lain-lain, jadi Unit Pelaksana Tugas. Kita rekruit petugas-petugas yang melaksanakan itu di dinas-dinas yang sekian banyak itu dan mereka itu yang memproses di satu tempat, jadi bukan rakyat lagi, jadi pelayanan satu pintu, kami tidak melakukan pelayanan satu pintu tapi satu atap dalam satu kantor. Kalau peraturan daerah itu prinsip tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan lebih tinggi. Jangan sampai daerah otonomi menjadi daerah ototomi, sudah main kuasa-kuasaan, daerah-daerah itu main kuasakuasaan. Seperti misalnya masalah kelautan, itu kan peraturan yang mengatur itu bagaimana retribusi kepada nelayan dan sebagainya. Pernah ada yang mengusulkan katanya Pak Wali perlu dibatasi nelayan dari daerah lain yang beroperasi di perairan di kota. Sebab di kota itu juga ada wilayah pantainya. Saya bilang jangan, kita usahakan supaya ikan-ikan itu ada KTP. Jadi nelayan di kota Gorontalo, kalau tangkap ikan, ditanya kepada ikan, “Hai ikan KTP-mu mana?”, “Ini Pak”, “Oh kalau dia dari kabupaten oh lepas lagi”, demikian juga kalau misalnya ikan yang dari kota Gorontalo tertangkap di kabupaten Gorontalo tanya KTP, kalau dari kota, kabupaten lepas. Jadi masalah ini harus diatur oleh daerah itu secara regional, provinsi, ada yang nasional. Jadi inilah peraturanperaturan daerah tidak bertentangan tetapi dia sebagai pelaksanaan kebijakan nasional, sebab kita dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses politiknya kita terapkan budaya lokal. Budaya lokal itu ada yang disebut Dulo Hupa, kalau disini “lobby”. Misalnya anak saya ingin dikawinkan dengan anak bapak, saya belum datang secara resmi meminang anak bapak, kita dulo hupa dulu, “Bagaimana Pak, anak saya itu saya ingin jodohkan dengan anak Bapak, kira-kira anak Bapak itu sudah ada pilihannya atau belum”, Bapak jawab “Saya katakan ada tapi tidak ada, saya katakan tidak ada tapi ada”; berarti ada stop tidak usah dilanjutkan dulo hupa itu, lobby itu, jelas-jelas anak bapak itu sudah ada pilihannya.
169
Antara eksekutif, legislatif dan masyarakat itu yang kita gunakan. Jadi saya dengan ketua dewan atau ketua komisi atau ketua fraksi baku-baku telpon, aparat birokrat baku-baku telpon dengan anggota dewan, bagaimana ini, seperti hari ini saya harus ada di Gorontalo hari ini sebab besok itu pembahasan kebijaksanaan yang dulu AKU (Arah Kebijaksanaan Umum) sekarang jadi KUA (Kebijaksanaan Umum Anggaran) itu saya harus sampaikan kepada dewan, jadwalnya pagi, dengan perhitungan bahwa kalau acara ini sesuai dengan waktu maka saya akan berangkat jam 3 tadi, tiba malam, besok paginya saya bisa hadir, saya telpon tadi ketua dewan, “Saya mohon maaf kira-kira saya tidak bisa berangkat sore ini, nanti besok pagi subuh, jadi boleh ditunda acara dewannya jam 10”, “Oh boleh Pak”. Jadi tidak formal tapi dulo hupa, jadi hubungan keakraban kekeluargaan ini sehingga tidak ada hambatan-hambatan yang berarti, ada pun pembicaraan itu tinggal melegal-kan, bikin peraturan daerah tetapi diantara kita sudah ada lobby-lobby secara tidak mengikat. Itu sesuai dengan budaya Gorontalo, dulo hupa itu. 2. Djoko Enaknya kalau bersama dengan Pak Walikota, saya pikir jawabannya sudah dijawab Pak Walikota. Pak Gatot barangkali nuansa yang saya presentasikan agak berbeda, artinya sudah pasti dibanding dengan yang Pak Walikota karena saya sudah langsung fokus ke masalah APBD. Kalau APBD tadi sudah disampaikan Pak Wali juga. Masalah akses publik itu sudah sangat cukup detail sebenarnya diatur oleh surat edaran Kepala Bappenas. Kalau itu saja kita kerjakan betul, sebenarnya sudah memadai. Hanya selama ini persoalannya yang saya amati tadi, sering-sering apa yang terlihat mudah di atas kertas, jadi ini teman-teman di Bappenas juga, pada waktu merumuskan SE Bappenas itu sepertinya enak saja gambar-gambar apa panah-panah setelah ini, tapi giliran diterapkan di lapangan itu susahnya setengah mati tidak mudah. Artinya kalau untuk akses informasi publik masalah perda APBD saya membaginya menjadi pramusrenbang, musrenbang, pasca musrenbang. Yang pra sama musrenbang sudah jelas. Mungkin yang menarik dipersoalan pasca-nya. Setelah musrenbang kan kita susun menjadi rencana kerja pemerintah daerah kota. Kemudian itu kita ambil, kebijakan-kebijakan itu kita rumuskan, tadi yang disampaikan pak Walikota, kebijakan umum anggaran sekarang (KUA). Pada saat kita menyampaikan KUA ke dewan saja artinya melalui suatu mekanisme sidang paripurna, publik semua tahu, diliput media masa secara luas. Setelah paripurna kita melakukan pembahasan dengan dewan, itu publik bisa ngasih input. Memang terus terang di Tarakan belum kami perdakan akses informasi ini, mudah-mudahan ini saya bisa didukung Bu Diani untuk memfasilitasi Tarakan menjadikan perda akses informasi ini. Jadi mulai dari penyampaian KUA sampai nanti KUA diterjemahkan menjadi rencana anggaran, itu publik masih openly can access, sampai tadi yang saya sampaikan. Kepala-kepala dinas itu semacam menjalani sidang sarjana itu, pertanyaannya lebih-lebih keras, lebih campur aduklah, yah situasi di dewan kita tahu, itu betul-betul kritis, dan masyarakat itu bisa ikut memberikan pendapatnya sampai akhirnya pengesahan.
170
Memang kalau kita bicara masalah public participatory planning, ini memang sebenarnya isu yang sejak pemerintahan orde baru sebetulnya sudah punya namanya Permendagri No. 9/1982, tetapi karena waktu itu konteksnya adalah sangat sentralistik Permendagri ini tidak jalan. Ini sebenarnya dulu mengatur mekanisme buttom up planning juga, tapi kata orang Jawa yang seringnya kan “mboten” up, jadi tidak pernah naik. Saya klarifikasi, anggaran yang kami alokasikan 17% itu sudah kami ambil, artinya tidak termasuk aparat, kalau sama aparat itu 23%, 17% murni betul untuk bangun sekolah, untuk meningkatkan kesejahteraan guru, dsbnya, dsbnya. Kekuatiran Pak Agus, masalah yang ada SMP sampai 30 milyar, Jadi terimakasih Bapak tidak perlu kuatir karena kami sudah punya masterplan pendidikan. Di situ kami sudah petakan sekian SMP ke depan itu mau seperti apa, tidak semua SMP kita bangun seperti itu. Yang kami perlihatkan itu SMP Negeri I yang memang kami proyeksikan akan jadi SMP internasional, tentunya yang lain tidak seperti itu, cukup ada yang kita renovasi, kita cat-cat pagarnya, dsbnya, dsbnya. Itu sengaja saya perlihatkan, karena pada waktu teman saya dosen planologi ITB mengunjungi kami di Tarakan saya ajak ke situ dia bilang “Ini di Bandung aja tidak ada”. Mengenai aspirasi masyarakat terukur berapa persen yang terakomodir. Tadi sudah saya sampaikan bahwa pramusrenbang itu kami mengadakan pelatihan kepada stakeholderstakeholder di kelurahan, kami datangkan seorang pakar pemberdayaan masyarakat dari UI, kami latih bagaimana mereka bisa memformulasikan persoalan-persoalan kemudian mampu juga memprioritaskan. Sehingga yang ada di kami bukan sekedar list dari usulan tetapi mereka sudah bersepakat. Karena sudah kami latih dulu, fasilitatornya juga kami datangkan profesional, sehingga sejak di musrenbang kelurahan mereka sudah mengidentifikasi apa usulan disitu. Namun pun demikian ada hal-hal kecil memang misalnya jalan masuk di kampung, selokan, dlsbnya itu biasanya kita cover dengan block grant, kita alokasi anggaran khusus ke kelurahan. Itu kita biarkan camat dan lurah mengatur dana tadi, kita beri kebebasan untuk meng-cover yang sifatnya kecil-kecil di masyarakat. Kemudian Bu Restu, tadi sebagaimana saya sampaikan waktu saya menjawab pertanyaan Pak Gatot, sama juga Bu Restu. Kami ini memang terus terang masih ketinggalan dalam hal perda-perda, tetapi selama ini kami sudah melaksanakan, tadi Pak Moderator menggarisbawahi itu, kami belum perdakan tapi sudah laksanakan. Makanya disini ada Ibu Direktur Hukum dan HAM Bappenas saya mohon dukungan untuk memfasilitasi saya memperdakan apa-apa yang sudah kami lakukan. Masalah satu pintu yang kata Pak Walikota Gorontalo, bukan satu pintu tapi satu atap. Sebetulnya yang penting juga mengsimplifikasi mejanya ya, kalau satu atap mejanya masih banyak juga percuma. Sebagai gambaran saja kami memang belum punya satu pintu satu atap, tetapi ada satu ilustrasi kami deal dengan satu investor malaysia mau membangun cold storage di Tarakan hanya dalam waktu 3 ½ jam deal investasi 3.5 juta US$ waktu itu dan sekarang dia sudah bangun cold storage-nya dan sudah mengekspor sekian kali. Jadi memang belum ada tetapi kami sudah melakukan.
171
Kemudian SOP kami terhadap investor adalah biasanya kami jemput kalau ada investor, kita dengar, kita jemput ke Bandara kita traktir makan, jadi kita tidak minta ditraktir makan, hal-hal seperti itu. Cuman memang tadi kami akui belum jadi suatu sistem yang diperdakan, ini masukan terus terang akan saya sampaikan ke pak Wali saya untuk hal-hal ini. Kemudian proses politiknya seperti apa. Tadi saya sampaikan karena fokus saya adalah APBD, kita ketahui bahwa hak budget dewan itu dijamin undang-undang, sehingga kita memang mau tidak mau dalam arti ada ruang, ruang-ruang yang memang kita dalam tanda petik negosiasikan dengan dewan. Tetapi saya punya kriteria itu sepanjang untuk kepentingan konstituen masih saya tolerir, kalau untuk kepentingan pribadi misalnya supaya tanah dia jadi harganya naik, dia minta jalan disitu, saya tolak. Karena saya punya kebijakan umum anggaran yang sudah kita sepakati. Saya pikir itu, jadi proses politik kalau khusus untuk APBD, selama ini alhamdullilah tadi saya sampaikan di kesimpulan juga bahwa situasinya memang kondusif, tadi tentunya sebagaimana Pak Wali itu ada suatu proses-proses lobby dsbnya. Ini yang saya selalu mengatakan bahwa intervensi politik didalam APBD tidak bisa kita eliminer tetapi bisa kita minimalisir, kita kunci di KUA. Pada waktu pembahasan APBD saya selalu bawa, kalau ada anggota dewan mau macam-macam, mau nitip ini-itu, ga ada disini pak (KUA), saya berani seperti itu. 3. Moderator Bapak/Ibu sekalian ini baru ada 3 kajian/makalah, dan tiga-tiganya memiliki kesimpulan atau temuan-temuan yang berbeda pemaparannya, ada yang diperdakan tetapi tidak berjalan baik, ada yang tidak diperdakan tapi berjalan baik, dan kemudian ada yang diperdakan dan berjalan baik. Ini baru tiga contoh kasus dari 400 lebih kabupaten kota di Indonesia, dan kalau kita melihat dari dua kasus di Gorontalo dan Tarakan sebenarnya tergantung pada orangnya siapa di situ. Kalau orangnya di situ punya goodwill yang baik, tentu saja hasilnya akan seperti tadi yang kita lihat bersama. Persoalannya apakah 400 daerah atau kabupaten kota yang lain memiliki orang-orang yang sama seperti yang ada disamping saya ini atau tidak. Mungkin nanti kita bisa melakukan survei bersama, atau mungkin survei kasar dari 400 daerah itu mana yang sudah punya best practices yang itu bisa kita tularkan untuk daerah yang lain. Saya kira itu, saya mohon maaf karena keterbatasan waktu yang kita punyai. Terimakasih untuk partisipasinya mohon untuk memberikan applause kepada tiga pembicara kita. Selamat sore, Ass. Wr. Wb., terimakasih untuk semua pembicara.
172
BAB 3
Perda Pelayanan Publik : Kesehatan, Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam 1.
Kebijakan Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan Pendekatan Perkotaan (Studi Kasus di Kota Surakarta) Dr. Absori, SH,MHm, Staf Pengajar Univ Muhammadiyah Surakarta
2.
JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi Kasus Perda. No. 15 Tahun 2003 serta Realisasinya di Lapangan Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si, Staf Pengajar UNDIP Semarang
3.
Dapatkah Perda Menjamin Komitmen Kerjasama Antar Wilayah? Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat Hikmat Ramdan, Staf Pengajar Univ Winaya Mukti, Sumedang dan Ahmad Dermawan, CIFOR, Bogor
4.
Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya Hutan: Kajian Atas Perda-Perda Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Tiga Daerah Imam Subkhan
5.
Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan Kesehatan (Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Perempuan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta) Yusnita Ike Christanti dan Tenti Novari Kurniawati
6.
Air Berkualitas Baik Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap Zulfatun Ni’mah dan Tri Lindawati
7.
Diskusi dan Tanya Jawab
173
1. Kebijakan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Perkotaan Dengan Pendekatan Partisipatif (Studi Kasus di Kota Surakarta) 1. Pendahuluan Para penentu kebijakan di berbagai daerah dihadapkan pada persoalan yang pelik berkaitan dengan keberadaan sektor informal, yang dikenal sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Para PKL dianggap sulit diatur, mengganggu pemandangan kota, membanjiri sudut-sudut kota, bahkan jalan protokol tanpa mengindahkan lokasi yang ditempati dibolehkan atau tidak untuk berjualan. Keberadaan PKL di perkotaan tidak lepas dari adanya fenomena yang timbul sebagai akibat ekses kebijakan pembangunan yang hanya bertumpu di perkotaan dan tidak merata sampai ke perdesaan. Akibatnya menurut Loekman Sutrisno (1995 :163) terjadi apa yang dikenal dengan run away urbanization ditandai dengan terjadinya eksodus penduduk dari desa ke kota dengan harapan akan memperoleh pekerjaan di kota yang lebih baik. Akan tetapi sesampai di kota mereka kecewa, karena tidak mendapatkan pekerjaan sesuai yang diinginkan, akhirnya mereka melakukan pekerjaan apa saja, termasuk menjadi PKL untuk mempertahankan hidup sehari-hari. Keadaan pengangguran masyarakat kota yang datang dari masyarakat pendatang dan penduduk kota yang semakin bertambah yang tidak semuanya dapat terserap pada sektor formal, sehingga terjadilah pengangguran yang melimpah. Ketika masyarakat pengangguran mencari jalan sendiri dengan terjun menjadi PKL harus berhadapan kenyataan ketidakpahaman sikap pemerintah dan kelas pemilik modal dan masyarakat urban yang tidak begitu mau mengakui keberadaan mereka. Karena itu tidak heran apabila kemudian muncul kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan PKL yang tidak menguntungkan PKL. Kebijakan Pemerintah sering tidak mencerminkan sebagai kebijakan yang aspiratif dan akomodatif terhadap keberadaan mereka, bahkan terabaikan, tidak tersentuh para penentu kebijakan untuk memikirkannya. Sebagian masyarakat menganggap sebagai sumber gangguan yang harus ditertibkan dan tindak secara tegas dengan pendekatan legal yang mengedepankan kekuatan. Dunia mereka tidak begitu saja bisa dipahami, sehingga muncul kebijakan-kebijakan yang amat mengherankan dalam pandangan PKL. Akibatnya timbul persoalan yang berkepanjangan yang tidak pernah tuntas dalam mengatur keberadaan PKL. Dalam kondisi seperti itu dibutuhkan langkah-langkah penanganan dalam bentuk kebijakan yang mempertimbangkan tidak hanya dari kaca mata pemilik modal
174
dan masyarakat urban, tapi mempertimbangkan keberadaan mereka, dan mendorong untuk mematuhi peraturan yang ada. Dengan demikian keberadaan PKL tidak lagi dipandang sebagai sampah kota yang harus dibersihkan, tapi benar-benar diakui dan dibutuhkan. Sebab bagaimana pun mereka juga telah berjasa untuk melayani golongan masyarakat menengah ke bawah yang menginginkan standar harga yang lebih murah dibandingkan harga yang dijual pedagang permanen. Demikian juga, apa yang terjadi di Kota Surakarta, Pemerintah Daerah mengalami kesulitan untuk melakukan pemberdayaan melalui penataan dan pembinaan PKL. Keberadaan PKL yang mulai menjamur sejak krisis ekonomi pasca kerusuan Mei 1998 dan saat sekarang tercatat lebih dari tiga ribu PKL tersebar di berbagai sudut kota. Wali Kota Surakarta dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan beberapa Surat Keputusan Wali Kota berusaha melakukan pemberdayaan melalui penataan dan pembinaan PKL. Dalam praktek program pemberdayaan lebih mengarah pada upaya untuk melakukan pembinaan dan penertiban dengan memerintahkan PKL yang menempati lokasi tertentu, seperti di trotoar jalan, taman kota, tepian sungai dan tanah negara untuk pindah. Sementara para petugas di lapangan mengaku amat dilematis dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, satu sisi keberadaannya amat dibutuhkan tetapi pada sisi lain dapat menggangu keindahan kota, dan kadang kala bertindak nekad ketika diusik keberadaannya. Dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, Pemda seringkali melakukan tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Aparat gabungan melakukan operasi dan penyisiran tidak hanya siang hari tapi juga dini hari di lokasi-lokasi yang dianggap jalur yang tidak boleh ditempati PKL. Dalam melakukan operasi tidak jarang, aparat melakukan penggarukan dan merobohkan bangunan semi permanen yang menempati trotoar jalan dan tempat-tempat lain yang tidak perbolehkan untuk berjualan. Permasalahan, pertama, bagaimana keberadaan PKL, kenapa kecenderungannya selalu dimarjinalkan dalam kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah? Kedua, bagaimana perumusan kebijakan pemberdayaan PKL, apakah sudah mengakomodasi aspirasi secara partisipatif ? Metode penelitian, dilakukan di Kota Surakarta, tepatnya di beberapa lokasi PKL, seperti di Manahan, dan Banjarsari. Responden berupa Pemkot dan DPRD, LSM Kompit. Data berupa data primer yang diperoleh dari wawancara, dan data sukender berupa Perda dan SK Walikota tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Analisis data, dilakukan dengan mendeskripsikan data, mendiskusikan dengan pendekatan kritis dan mendalam dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan instrumen teori, sehingga akan diperoleh gambaran utuh kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Surakarta.
175
2. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 2.1 Profil Keberadaan PKL
Karakteristik pedagang kaki lima di kota Surakarta berdasarkan jenis usaha yang dilakukan berupa pedagang oprokan, usaha semi permanen, permanen, menggunakan gerobak dorong, warung tenda, gerobak bongkar pasang (knock down). Berdasarkan lokasi usaha pedagang kaki lima tersebar di beberapa kawasan, seperti di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, mereka menempati trotoar, jalur hijau dan taman jalan. Di kawasan monumen perjuangan 1945, Banjarsari, para pedagang barang bekas (loak), alat olah raga, sepeda dan elektronik menempati pinggir jalan dan taman sekitar monumen. Sementara di kawasan Alun-alun Utara, para PKL menempati trotoar jalan dengan menggelar barang dagangan berupa kacamata, pakaian, sauvenir, sepatu dan lain-lain. Di sekitar Pasar Klewer, PKL berjualan dilakukan pada siang hari, disamping menempati trotoar jalan juga sebagian menempati badan jalan, sehingga mengganggu para pengguna jalan, dan menimbulkan kemacetan lalu lintas, terutama pada jam-jam sibuk antara jam 10.00-17.00 WIB. Pada waktu malam hari PKL banyak dijumpai berjualan makanan dan minuman di sekitar Kota Barat, sepanjang Stadion Manahan, dan sepanjnag jalan Adisucipto sampai Colomadu, Para PKL kebanyakan menempati trotoar dan tepi jalan dengan menggunakan warung tenda yang dapat dibongkar pasang (knockdown). Aktivitas mereka dilakukan sekitar jam 18.00-23.00 WIB. Pada waktu hari Minggu pagi aktivitas PKL di sekitar Stadion Manahan laksana pasar tiban dan menimbulkan kemacetan lalu lintas. Keberadaan PKL di Kota Sala dilihat dari struktur sosioekonomi menunjukan posisi yang marjinal dan tidak tersentuh kebijakan yang mengarah pada upaya pemberdayaan PKL yang diperhitungkan sebagai aset yang dapat menyumbangkan pendapat ekonomi daerah. Kehadirannya selalu disalahkan dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah di perkotaan, padahal sumbangan sektor informal terhadap sektor formal dan perekonomian daerah amat besar. Kondisi seperti itu berbeda dengan studi yang dilakukan Hernado De Soto (1992) di Peru, yang menyatakan bahwa sektor informal dapat didayagunakan dan perperan untuk mencapai keberhasilan dalam mendukung perekonomian di negara Peru. Aktivitas sektor informal telah menjadi lahan penghidupan bagi 48 persen penduduk Peru, dan 61, 2 persen jam kerja diabdikan pada kegiatan sektor informal yang memberikan sumbangan sebesar 38,9 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang tercatat dalam neraca pendapatan negara. Sektor informal dan pedagang kecil yang banyak bertebaran di sudut dan pinggiran kota Surakarta, dan menjamur semenjak krisis ekonomi sebenarnya membawa harapan cerah untuk dikembangkan, karena berpotensi menyumbangkan pendapatan yang lebih besar bagi kebanyak masyarakat menengah ke bawah, bahkan dapat menjadi penopang berkembangnya sektor formal. Hernando De Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi Di Negara Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hal 14., hal 14.
176
Studi yang dilakukan Diane Wolf di Sukoharjo (1986), menunjukkan banyak perusahaan besar (formal), membayar gaji lebih rendah, terutama pekerja wanita yang dianggap sebagai suplemen, karena mereka masih ditanggung keluarganya yang bekerja di sektor lain, seperti sektor informal atau pertanian. Usaha sektor informal dan gaji pekerja di perusahaan pembuatan batu bata, industri genting dan pembuatan meubel rakyat justru mampu membayar gaji yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan besar. Sementara menurut El-Shakhs sifat dan komposisi kegiatan ekonomi cenderung berbeda menurut skala kegiatan ekonomi. Keberdayaan sektor informal di kota-kota besar cenderung menunjang kegiatan 2 ekonomi modern, yakni berfungsi melayani kebutuhan sekunder atau tersier, menggunakan pekerja upahan, dan tergantung pada pasar kerja. Sebaliknya di kota-kota sedang dan kecil kegiatan sektor informal masih berkait dengan kebutuhan dasar sektor pertanian, dan belum terpengaruh pasar kerja. Dalam hal ini, keberadaan PKL di Surakarta dalam menunjang perekonomian di Kota Surakarta menggambarkan karakteristik yang dapat memberikan kontribusi berarti terhadap kegiatan ekonomi sektor informal maupun sektor formal yang 3 berkait dengan pasar kerja. Lebih dari itu keberadan PKL sebenarnya juga mampu menyumbangkan pendapat, dan mampu menawarkan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan, yakni pengangguran, terutama pada masa krisi ekonomi karena kemampuan sektor formal hanya mampu menyerap kesempatan kerja dalam jumlah yang terbatas. 2.2 Kebijakan Pemberdayaan PKL Kebijakan pemberdayaan PKL yang dilakukan Pemda Surakarta dilakukan dengan mendasarkan pada Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Melalui kebijakan tersebut Pemda Kota Surakarta mempunyai kewenangan untuk memberdayakan PKL dengan menempatkan PKL pada lokasi-lokasi tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam menetapkan tempat usaha mempertimbangkan faktor lain seperti sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan serta tata ruang (Pasal 2). Dalam hal ini PKL dibebani tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, kerapihan, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan (Pasal 3), dengan persyaratan yang ditentukan oleh Wali Kota. Dengan kewenangan yang dimiliki Wali Kota Surakarta berupaya melakukan penempatan, penataan dan penertiban keberadaan PKL sebagai upaya untuk memberdayakan PKL di Kota Surakarta melalui mekanisme perizinan yang di keluarkan oleh Pemda Surakarta. Ketentuan perizinan secara garis besar berisi pertama perizinan diperoleh setelah melalui mekanisme pendaftaran, dengan ketentuan persyaratan yang telah ditentukan Wali Kota Surakarta. Ketentuan perizinan tidak boleh dipindahtangankan kepada siapapun tanpa persetujuan pejabat yang berwenang (Pasal 4). 2 Lihat Diane Wolf dalam Hana-Dieter Evera, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995, hal 201. 3 El-Shakhhs dalam Tadjuddin Noer Effendi dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996, hal 262-263.
177
Kedua, untuk kepentingan pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraan PKL dilakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.(Pasal 7). Kepada para PKL yang telah memperoleh perizinan tempat usaha, dikenakan Retribusi Kebersihan Kota yang besarnya ditentukan berdasarkan Peraturan Daerah Pemda Kota Surakarta. (Pasal 8) Pengawasan pelaksanaan Perda tersebut dilakukan oleh Inspektorat wilayah, bagian Perekonomian, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Unit Pelaksana Daerah Perparkiran dan Bagian Tata Pemerintah Kota Surakarta (Pasal 9). Kebijakan pemberian perizinan atas dasar kewenangan yang dimiliki Wali Kota disertai beban kewajiban dan tangung jawab kepada PKL sebagaimana yang diatur dalam Perda No. 8 tahun 1995 tersebut terdapat kesalahan yang mendasar dalam pembuatan sebuah peraturan. Karena dalam Perda tersebut tidak mencantumkan asas dan tujuan, sehingga filosofis Perda dan capaian yang akan dijadikan tujuan tidak jelas. Kondisi seperti itu dapat mendorong munculnya kewenangan Walikota yang berlebihan yang didasarkan pada kekuasaan yang dimiliki, berakibat Walikota dapat melakukan apa saja kepada PKL, termasuk menggusur atau menyita barang dagangan PKL dengan alasan menjalankan kewenangan. Karena dalam hukum administrasi Pemda dapat saja melakukan tindakan yang salah dengan berdasar pada asas disparitas. Kondisi semacam itu, dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (5) Perda tersebut, menyebutkan bahwa Wali Kota dapat mencabut izin PKL yang menempati tempat usaha yang sudah tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha PKL, tanpa ada kewajiban Pemda untuk memberikan ganti rugi. Padahal kesalahan letaknya bukan pada PKL tetapi pada kebijakan Pemda yang melakukan perubahaan lokasi yang dibolehkan untuk PKL. Demikian juga upaya untuk melakukan penegakan hukum terhadap PKL yang menjual barang dagangan tetapi belum mendapat izin hanya diperingatkan satu kali. Kalau tidak menghiraukan peringatan maka Pemda dapat melakukan penyitaan terhadap barang dagangan dan atau alat yang digunakan (Pasal 6 ayat 1 dan 2). Atas dasar alasan-alasan tersebut, dalam tataran pelaksanaan sering kali muncul karakteristik pembinaan PKL yang cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang. Hal ini dapat dilihat seringnya dilakukan operasi penertiban disertai perintah untuk melakukan pindah atau bahkan melakukan penyitaan barang-barang dan peralatan dagang milik PKL. Pelanggaran terhadap ketentuan perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 diancam dengan hukum pidana berupa kurungan 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.50.000,- (Pasal 10). Pejabat penyidik penyidikan tindak pidana dilakukan oleh Pejabat Penyidik Umum dan Pejabat Penyidik PNS dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11). Ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 Perda tersebut menunjukan adanya pencampuran antara tindak pidana umum dan tindak pidana administrasi .Mestinya dalam suatu kebijakan yang sifatnya publik pejabat penyidik cukup dilakukan oleh Pejabat Penyidik PNS Pemda setempat tanpa melibatkan Pejabat
178
Penyidik Umum. Demikian juga sanksinya pelanggaran cukup dengan menggunakan sanksi pidana administrasi dengan hukuman yang lebih menekankan pada aspek pembinaan atau berupa denda bukan kurungan. Kekurangan lain, Perda tersebut tidak menyebutkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak secara jelas, baik PKL maupun Pemerintah Daerah. Kalaupun ada, hanya mengatur kewajiban Pemda untuk melakukan pembinaan dalam bentuk bimbingan teknis dan penyuluhan (Pasal 7). Sementara PKL diwajibkan untuk membayar retribusi tanpa disebutkan hak-hak yang melekat setelah menjalankan kewajibannya. (Pasal 8). Di sini, terlihat jelas bahwa keberadaan PKL kurang dihargai eksistensinya, sehingga ketika terjadi penertiban, para PKL tidak memperoleh perlindungan hukum secara jelas, karena tidak adanya rumusan secara rinci hak-hak yang mestinya dimiliki PKL setelah membayar restribusi. Upaya untuk melakukan pembelaan diri terhadap tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Pemda menempatkan PKL pada posisi yang lemah. Karena dalam Perda tersebut tidak mengatur kebaradaan organisasi PKL, sebagai wadah untuk menghimpun aspirasi dan kekuatan para PKL terutama yang berkaitan dengan upaya untuk melindungi hak-haknya ketika terjadi penertiban. Ketentuan tentang pembolehan PKL membentuk organisasi atau pagayuban ditemukan dalam Pasal 9 ayat (3) Keputusan Wali Kota No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Secara keseluruhan isi Perda tersebut terlampau sederhana dan tidak rinci. Hal ini membuka peluang bagi pemegang kebijkan untuk menafsirkan ketentuan pasal-pasal yang diatur dalam Perda sesuai dengan kemauannya sendiri, dengan menggunakan legitimasi yang diatur melalui Surat Keputusan Walikota. Dilihat fungsinya, belum menunjukkan karakter produk peraturan yang responsif dan partisipatif. Hal ini disebabkan karena dalam pembuatan Perda tersebut masih didominasi peran Pemda dan tanpa melibatkan partisipasi publik, terutama para PKL. Produk Perda semacam itu menunjukkan suatu bentuk produk hukum yang tidak responsif dan partisipatif. Karena itu keberadaan dan fungsinya baru sebatas alat legitimasi untuk mengesahkan tindakan Pemda dalam melakukan penataan dan penertiban PKL. Disini terlihat jelas bahwa kebijakan Pemda dalam memberdayakan PKL belum mampu menjadikan hukum sebagai instrument of regulation, tapi baru bisa menjadikan hukum sebagai alat legitimasi untuk menjalankan kewenangannya (ego birokrasi), dalam penataan dan penertiban PKL di Kota Surakarta. Sikap Pemda tampak pertama, kurang mempunyai visi keberpihakan pada wong cilik. Kedua, Pemda kurang pro-aktif dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapi PKL. Ketiga, selama ini dalam menyelesaikan masalah keberadaan PKL, Pemda lebih mengedapankan pendekatan kewenangan dalam melakukan penataan, penertiban dan relokasi PKL.
179
2.3 Kebijakan Pemberdayaan PKL Partisipatif Upaya untuk melakukan pemberayaan PKL di Kota Surakarta dapat dilakukan dengan jalan mengkaji kembali keberadaan Perda sebagai landasan kebijakan Pemda Surakarta dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, agar lebih memperhatikan aspirasi PKL secara partisipatif. Sebagai upaya untuk membuat produk Perda yang partisipatif di kalangan PKL telah membentuk paguyuban “Panca Manunggal” dan “Gudang Kalimas”, yang meminta Pemda untuk meninjau kembali keberadaan Perda PKL No. 8 tahun 1995 yang dianggap tidak partisipatif. Upaya yang dilakukan dengan berinisiatif untuk membuat Rancangan Perda PKL yang akan diajukan ke Pemda untuk selanjutnya diharapkan dapat dibahas di DPRD Kota Surakarta. Untuk mewujudkan keinginannya, paguyuban PKL didampingi sejumlah LSM Konsorsium Monitoring Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip), bertugas untuk membantu pembuatan rancangan Perda PKL yang akan diajukan ke DPRD. Respon PKL terhadap Perda tidak lepas dari sikap Pemda Surakarta, yang selama ini dengan dalih menegakkan Perda PKL telah berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penataan dan penertiban PKL, yakni melakukan operasi ketertiban dengan disertai pembongkaran dan penyitaan aset property PKL, tanpa dibicarakan terlebih dahulu dengan para PKL atau paguyuban yang mewakili keberadaan PKL. Langkah yang dilakukan, pertama, dengan mengoptimalkan aspirasi dan peran serta kalangan PKL dalam melakukan perubahan Perda PKL. Model seperti itu diharapkan akan dapat dijadikan aturan main (rule of game) yang berimbang dan adil yang selama ini tidak dijumpai dalam Perda PKL yang lama. Kedua, dengan berhimpun dalam organisasi atau paguyuban yang dibentuk para PKL dan didampingi LSM, mereka berharap akan memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih kuat dengan Pemda Surakarta atau pihak lain (pemilik modal besar). Ketiga, melakukan jalinan dan komunikasi yang seimbang antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan keberadan PKL, dengan suatu harapan bisa mencairkan ketegangan yang selama ini sering memanas, sehingga kejadian-kejadian yang mengarah pada konflik sosial (anarkis) tidak akan terjadi dalam penataan dan penertiban PKL di Kota Surakarta. Keinginan seperti itu juga dikemukakan oleh para aktivis LSM pemberdayaan PKL yang memandang perlunya antara Pemkot dan PKL duduk bersama, membicarakan langkah-langkah yang lebih baik dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang saling terkait, sehingga akan tercipta kesepakatan dan kesadaran perihal hak dan kewajiban masing-masing. PKL harus memahami rencana tata ruang kota dan peruntukan sarana publik sebagai public space, sedang warga masyarakat dan Pemkot Surakarta juga harus menyadari akan kesulitan yang sedang dihadapi PKL. Rancangan Perda pemberdayaan PKL yang patisipasif secara garis besar berisi dengan mendasarkan pada pertama, asas yang mengedepankan aspek ideologi
180
negara dan kemanusiaan (HAM). Kedua, tujuannya adanya Perda mengarah pada apa yang akan dicapai, yakni pemberdayaan PKL, di dalamnya terdapat pembinaan yang mengarah pada adanya rasa aman dan perlindungan PKL dalam melakukan kegiatan usaha. Keberadaannya dihargai dan diakui sebagai bagian dari pelaku ekonomi yang amat dibutuhkan dan merupakan aset ekonomi daerah. Ketiga, perlu diatur rumusan keberadaan organisasi PKL yang tergabung dalam suatu wadah atau paguyuban yang berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi PKL, terutama dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak agar mempunyai daya tawar yang lebih diperhitungkan. Keempat, terdapat rumusan hak dan kewajiban PKL secara lebih rinci, sehingga keberadaan PKL dalam melakukan aktivitasnya akan terjamin legilitasnya termasuk kalau terjadi penertiban. Hak-hak yang perlu diatur seperti hak atas memperoleh penghidupan yang layak, informasi, partisipasi dalam perumusan kebijakan yang menyangkur PKL, rasa aman dalam menjalankan usahanya, pembinaan dan pelatihan kewirausahaan, dan perlindungan hukum. Kelima, perlu adanya ketentuan lembaga penyelesaian sengketa, yang berfungsi sebagai media untuk memfasilitasi apabila terjadi konflik, baik antar PKL maupun dengan pihak lain, terutama Pemda agar dapat diselesaikan secara adil dan dalam waktu yang singkat. Keenam, pejabat penyidik cukup dilakukan oleh pejabat penyidik PNS yang dalam menjalankan tugasnya dalam rangka menjalankan kewenangan Pemda yang bersifat adminstratif. Sementara rumusan ketentuan pidana tidak perlu diarahkan pada pidana umum yang bersifat pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan, tetapi lebih menekankan pada pidana administratif yang menekankan pada tindakan prepentif dengan pendekatan kemanusiaan atau denda. Dari beberapa pemikiran secara lebih jelas dapat diperoleh argumentasi bahwa keberadaan sektor informal dalam banyak kajian dan temuan menunjukan karakteristik yang beragam dan kasuistik. Karena itu dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk mensintesakan berbagai kajian atau temuan untuk sampai pada suatu perumusan konsep yang bersifat mendasar dan operasional. Dalam hal ini yang terpenting untuk dicari adalah pendekatan kebijakan dan pemecahan-pemecahan secara operasional yang dapat diterapkan dalam rangka memberdayakan PKL. Pendekatan partisipatif memberi harapan yang lebih baik dalam memberdayakan keberadaan PKL.4 Paul dan Dias manawarkan konsep yang disebut sebagai pendekatan partisipatif. Konsep tersebut menekankan pada otonomi masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah sebagai pemegang peran penting dalam proses pembentukan hukum yang berkenaan dengan kepentingan rakyat. Termasuk juga kesempatan rakyat untuk mengakses lebih besar dalam pembuatan dan penegakan hukum, dan mendirikan lembaga-lembaga baru yang berfungsi menjebatani kepentingan kelompok masyarakat dengan lembaga birokrasi, sehingga masyarakat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.5 4 Poerbo dalam De Soto, Op Cit, hal viii. 5 Paul dan Dias dalam Abdul Hakim garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,
1988, hal 44-45.
181
Model partisipatoris dalam perumusan kebijakan publik, dikenal apa yang disebut human action model atau human action planning model (Poerba, 1995) . Model ini menurut Esmi Warrasih melihat masyarakat, termasuk keberadaan PKL sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial-budaya dan dinamis. Masyarakat bukan sub sistem yang tersubordinasi melainkan merupakan subsistem yang mandiri. Model ini bertujuan untuk menimbulkan keserasian antara sistem mikro dan makro.6 Model ini amat penting karena nilai-nilai dan norma masyarakat lokal terlibat dalam proses pembangunan hukum yang menentukan tindakantindakan selanjutnya dalam pencapaian tujuan hukum. Pendekatan partisipasi dapat memberikan tempat kepada masyarakat untuk melakukan negosiasi dengan pemegang kekuasaan serta gagasan mereka merupakan bahan dalam pembentukan hukum atau perumusan kebijakan publik hingga tingkat implementasinya.
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Profil keberadaan PKL di Kota Surakarta dilihat dari eksistensinya dalam struktur sosio-ekonomi menunjukkan posisi marjinal dan tak tersentuh kebijakan yang mengarah pada upaya pemberdayaan dengan memperhitungkan sebagai aset penyumbang pendapatan ekonomi daerah. Kehadirannya selalu disalahkan dan menjadi sasaran tudingan penyebab masalah perkotaan, padahal sumbangan sektor informal berupa PKL terhadap sektor formal dan perekonomian daerah amat besar . 2. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan PKL lewat Perda belum mampu menunjukkan posisi sebagai instrumen administrasi yang dapat menjadi alat untuk mengatasi persoalan PKL. Kebijakan Pemda Surakarta dalam memberdayakan lewat kegiatan penataan dan penertibkan PKL lebih mengedepankan pendekatan kewenangan melalui legitimasi Perda dan Surat Keputusan Wali Kota yang sifatnya top down dan tidak partisipatif. Hal ini disebabkan karena kebijakan dengan pendekatan hukum formal lebih mudah dilakukan dan diyakini mampu membentuk tatanan masyarakat yang diingini oleh pembentuk kebijakan. 3. Kebijakan dengan pendekatan partisipatif memberi harapan lebih baik dalam memberdayakan keberadaan PKL di Surakarta. Perumusan kebijakan partisipatif harus mengatur ketentuan berkaitan dengan pengakuan eksistensi dan hak PKL, organisasi PKL, akses dan partisipasi PKL dan model penyelesaian sengketa yang menekankan kemanusiaan. Dalam hal ini model partisipatif perumusan kebijakan publik menekankan human action model, masyarakat termasuk keberadaan PKL sebagai sesuatu yang penuh nilai sosial-budaya dan dinamis, harus diakomodasi dalam pembentukan kebijakan, termasuk dalam pemberdayaan lewat penataan dan penertiban PKL. 6 Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdaayaan Masyarakat dalam Meweujudkan Tujuan Hukum,
(Proses Penegakan Hukum dan persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001, hal 33.
182
3.2 Rekomendasi 1. Keberadaan PKL, hendaknya dilihat sebagai bagian dari subsektor lain dalam kegiatan ekonomi yang harus diakomodasi dalam merumuskan kebijakan pembangunan Kota Surakarta. Karena keberadan PKL sebagai sektor informal, telah mampu menjadi penopang kehidupan sektor formal. Lebih dari itu keberadaan PKL ternyata dapat mengatasi gejok sosial-ekonomi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan terbatasnya daya tampung sektor formal dalam menyerap tenaga kerja. 2. Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan melalui penataan dan penertiban PKL, perlu memperhatikan dan mengakomodasi masukan para PKL atau paguyuaban PKL. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menciptakan produk kebijakan yang partisipatif dan mempunyai legitimasi kuat dalam masyarakat yang akan diaturnya, yakni para PKL; 3. Model kebijakan partisipatif dengan pendekatan human action model, yang menekankan pada pendekatan partisipasi PKL dapat dijadikan masukan untuk Pemda dalam mengatasi problem pemberdayaan melalui penataan dan penertiban PKL yang selama ini eksistensi sering dianggap menimbulkan masalah dalam penataan dan pembangunan kota.
183
Daftar Pustaka De Soto, Hernando, Pertumbuhan Ekonomi Bawah Tanah di Peru, Prisma, No. 5 XX, Jakarta, Mei, 1991. Effendi, Tadjuddin Noer dkk, Struktur Pekerjaan Sektor Informal dan Kemsikinan di Kota, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1996 Evera, Dieter, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP#ES, Jakarta, 1995 Garuda Nusantara, Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988, Ronald Claphman, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1991. Nonet, Philippe and Selznik, Philip, Law and Society in Transition, to Ward Responsive Law, Harper and Row Publishers, 1978, New York. Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipasif, Kanisius, Yogyakarta, 1995. Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Obor, Jakarta, 1994. Soetomo, Masalah sosial dan Pembangunan, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995. Warassih, Esmi P., Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum, (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Undip, 14 April 2001 Yetty Sarjono, Interelasi Antara Sektor Ekonomi Formal dan Sektor Ekonomi Informal, Studi tentang Formalisasi Pedagang Kaki Lima (Ringkasan Disertasi), Unaer, Surabaya, 2004. Wardiono, Kelik, Pedagang Kali Lima, Antara Penataan Ruang Kota dan Kegitan Usaha, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas Hukum, Vol 2 No. 1 Juni 2001.
184
2. JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi Kasus Perda. No. 15 Tahun 2003 serta Realisasinya di Lapangan
Abstrak Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan inovasi Pemerintah Kabupaten Purbalingga dalam mengatasi keterbatasan pembiayaan pemeliharaan kesehatan terutama bagi Keluarga miskin (strata 1) dan Keluarga Pasca Keluarga Miskin (strata 2). Sementara keluarga Non Keluarga Miskin (Gakin)/mampu (strata 3) lebih banyak mensubsidi strata 1 dan 2, melalui premi oleh peserta JPKM yang akan digunakan untuk kapitasi kepada pelaku pelayanan kesehatan (polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah Sakit). Prinsip yang dianut dalam program ini, setiap anggota keluarga merupakan anggota JPKM yang pengelolaannya menggunakan ala sistem asuransi kesehatan. Setiap anggota berhak dapat berobat dan memelihara kesehatannya di RS, Puskesmas, atau dokter yang telah ditunjuk atau bekerja sama (akreditasi) dengan pengelola, yang dalam pelaksanaannya ditangani BUMD yang dibentuk khusus untuk itu. Ketentuan premi strata 1 dibebaskan dari pembayaran (premi gratis), strata 2 diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata 3 diwajibkan membayar penuh. Kartu JPKM berlaku bagi satu keluarga inti (suami, istri dan anak kandung) selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab dapat menyiapkan secara terencana subsidi kepada peserta JPKM khususnya strata 1 dan strata 2 yang besarannya semakin menurun sejalan meningkatnya jumlah peserta dan meningkatnya nilai premi keluarga non-gakin setiap tahunnya. Oleh karena itu, Pemkab Purbalingga adalah penerbit sekaligus perintis penjaminan atas kesehatan bagi warga masyarakat Purbalingga. Program ini jauh-jauh hari sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (2005). Terbukti pula lebih dari 95 Kab/Kota di Indonesia tercatat pernah studi banding program ini di Purbalingga. Dengan filosofi ”Si Kaya Membantu Si Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”.
1. Pendahuluan Keterpurukan sektor kesehatan memang wajib diatasi agar segera tercapai derajat kesehatan yang memungkinkan bagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bila sektor kesehatan ini terus dirundung keterpurukan, maka jangan harap peningkatan kualitas kehidupan dapat memadai. Hal ini karena sektor kesehatan merupakan dasar proyeksi bagi dua elementasi sekaligus. Selain proyeksi elementasi horisontal bagi gambaran Indeks Peningkatan Manusia (IPM) dan
185
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), juga proyeksi elementasi vertikal bagi sektor pendidikan dan sektor pangan, sandang, dan papan, serta dunia usaha pada umumnya. Terpenuhinya kedua elementasi tersebut menjadi prasyarat minimal bagi keberhasilan sektor-sektor pembangunan berikutnya. Oleh karena itu, bila berhasil dalam mengentaskan keterpurukan kesehatan, maka dapat dikatakan berhasilnya sebuah pemerintahan bekerja. Demikian pula sebaliknya. Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan, pembangunan kesehatan bersama pembangunan pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia. Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja penduduk, yang berarti meningkatnya pendapatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan juga berpengaruh terhadap bidang pendidikan. Sejak tahun-tahun pertama dekade ini, Pemkab Purbalingga berjuang keras untuk mengentaskan keterpurukan kesehatan rakyatnya. Melalui kajian mendalam yang dilakukan sebelumnya, Pemkab Purbalingga berhasil mengidentifikasi 4 (empat) problematika mendasar bidang kesehatan. Keempatnya dijadikan referensi kebijakan, berikut solusinya. Pertama, perilaku masyarakat yang kurang menunjang perikehidupan yang menyehatkan. Kedua, kondisi lingkungan yang kurang menunjang terhadap syarat-syarat kesehatan, seperti terlalu dekatnya tempat/jamban buang air besar dari rumah tempat tinggalnya. Ketiga, layanan kesehatan yang dinilai masih minimum bagi rakyat banyak, terutama rakyat dari keluarga miskin (Gakin). Keempat, kondisi demografis masyarakat yang kurang favourable bagi pemajuan kualitas kemandirian sehingga bisa ke luar dari belit elementasi kesehatan. Keempatnya dinilai biang kualitas kesehatan masyarakat Purbalingga kebanyakan. Satu per satu persoalan diurai. Solusi diusahakan dicari, dengan satu tujuan agar ia dapat diatasi—atau paling tidak dapat dirintis kapan suatu kala akan bisa diakhiri. Kalau sekadar karena perilaku yang kurang sehat, bisa diatasi dengan jalan himbauan yang disokong para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Bila persoalannya adalah sekadar lingkungan yang belum mendukung, pengembangan infrastruktural merupakan jalan keluarnya. Jika karena faktor demografis yang kurang menunjang syarat perikehidupan bagi warga Purbalingga, toh dapat dicari cara lain melalui program-program Keluarga Berencana (KB). Intinya, selama bisa diatasi dengan jalan lain maka dicarikan jalan lain dimaksud. Tapi persoalannya menjadi lain bila problematika menyangkut layanan kesehatan. Ini jauh lebih rumit, karena menyangkut performa birokrasi kesehatan pula. Pemkab Purbalingga akhirnya menemukan solusi dalam seluruh jawaban merosotnya derajat kesehatan. Solusi ini berbasis pada langkah komprehensif atau paripurna, prinsip promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif. Yang jelas konsepsi ini harus sistemik, terstruktur, dan merupakan jaminan pembiayaan. Inilah program yang kemudian dikenal sebagai Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga. Gagasan model JPKM Purbalingga ini jauh mendahului program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperkenalkan pusat berdasar UU No. 40 Tahun 2004. Bila JPKM mulai dirintis sejak 16 Februari 2001 ketika Bupati Purbalingga Drs. Triyono Budi
186
Sasongko, M.Si. menerbitkan Surat Bupati No. 460/453/2001 yang dilanjutkannya dengan terbitnya Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM dengan Puskesmas No. 145/JPKM/PBG/VII/02 tentang Pemberian Pelayanan Kesehatan bagi Peserta JPKM tanggal 31 Juli 2002, maka Pemerintah Pusat baru mengundangkan UU No. 40 Tahun 2004 pada 19 Oktober 2004. Kedua surat keputusan yang diterbitkan bupati tersebut masih diikuti surat-surat sejenis hingga akhirnya terbit Perda No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM serta Keputusan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/JPKM. Langkah Pemkab Purbalingga dibilang istimewa. Selain dimensi sosialnya yang cukup kuat, pula perguliran dananya yang ternyata terjangkau bagi setiap peserta JPKM. Tak lain karena JPKM terbukti efektif dalam upaya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang paripurna berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaannya dilakukan secara pra upaya. Digagasnya program JPKM menjadi bukti betapa karya inovasi yang mereka implementasikan dalam 4 (empat) tahun lebih ini dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Purbalingga. Pemkab layak mendapat apresiasi karena kepeloporannya. Suatu kepeloporan dalam usahanya mengentaskan kesehatan. Disebut kepeloporan, mengingat daerah-daerah lain, instansi vertikal, kalangan luar negeri, serta kalangan peneliti dan partikelir lainnya—yang jumlahnya lebih dari 95 subjek—sudah pernah melakukan studi banding Program JPKM di Purbalingga ini. Tentu muskil didatangi untuk objek studi banding bila Program JPKM di Purbalingga dinilai tidak berhasil. Karena terbukti benar bahwa indikatorindikator kuantitatif menunjukkan ke arah keberhasilan program ini. Lambat laun beberapa indikator kesehatan menuju arah perbaikan, antara lain : 1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun 2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, tahun 2004 tercatat 7 menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2 3. Menurunya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada tahun 2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan (4) Menurunnya jumlah balita kurang gizi yang pada tahun 2003 tercatat 4,32 persen menjadi 27,6 persen pada tahun 2004.
2. Perumusan Masalah Sekali lagi muskil bila Program JPKM di Purbalingga dijadikan objek kajian keberhasilan bagi banyak pihak, yang tercatat lebih 95 subjek telah pernah studi banding ke Purbalingga, bila program itu sendiri dinilai tidak berhasil. Selain kepeloporannya itu karena bahkan mendahului program sejenis di tingkat nasional, program JPKM ini memperlihatkan trend kemajuan dan perbaikan. Bertitik tolak dari deskripsi di atas, selayaknya dapat ditelusuri : 1. Bagaimana profil Program JPKM versi Purbalingga ini sebenarnya?
187
2. Mengapa JPKM di Purbalingga dinilai memiliki kepeloporan sementara daerahdaerah lain dinilai belum berhasil sehingga lebih 95 subjek perlu-perlunya studi banding ke Purbalingga ini? 3. Temuan apa saja yang dapat dipetik sehingga program sejenis dapat diterapkan di banyak tempat di daerah lain? 4. Bagaimana Program JPKM versi Purbalingga ini memiliki pengaruh bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat? 5. Dimensi-dimensi apa sajakah keterpengaruhan dimaksud? Sebelum jauh menjawab pertanyaan di seputar cerita sukses (success story) Program JPKM Purbalingga ini, terlebih dahulu disinggung profil Purbalingga, latar belakang JPKM, Profil JPKM, dan juga metode penyusunan kertas kerja serba singkat ini, agar kita dapat membaca konteksnya mengapa JPKM ini lahir.
3. Metode Pendekatan Penyusunan kertas kerja serba singkat ini diusahakan sebagaimana layaknya sebuah penelitian dilakukan. Diusahakan agar penelitian ini berpegangan pada metoda analisis deskriptif kualitatif, dengan metoda penggalian data dari 2 (dua) sumber utama. Pertama, penelusuran atas sumber-sumber data sekunder. Mengkaji hasil riset, berita-berita yang memuat persoalan penanganan kesehatan di Purbalingga, membuka situs yang dikelola baik oleh Pemerintah Kab. Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, maupun membandingkannya dengan situs yang dikelola Direktorat JPKM Departemen Kesehatan R.I., juga mempelajari banyak brosur yang sengaja diterbitkan Pemkab Purbalingga ihwal Program JPKM ini, serta kajian atas beberapa sumber data sekunder lainnya.
Kedua, penelusuran atas sumber-sumber data primer dengan jalan melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh kunci (key informan) di balik suksesnya program JPKM Purbalingga ini. Untuk ini saya berterima kasih kepada Bagian JPKM Sie Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Muslim Mahmud, SKM, atas bantuan data-datanya. Demikian pula kepada penggiat demokrasi lokal Mudrik Zamzami, penulis amat berterima kasih, yang katakanlah sebagai field research, atas bantuannya memutakhirkan beberapa data sehingga tetap relevan, selain bersedia menjadi pewawancara kepada sejumlah informan terpilih: 1. Kasi Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kab. Purbalingga Drg. Hanung Wikanto, MPPM; dan 2. Ketua Badan Pelaksana (Bapel) JPKM/Direktur P.T. Sadar Sehat Mandiri Dr. Sutanto. Berkat Bung Mudrik pula kesempatan untuk mengorek nilai manfaat JPKM bagi peserta Strata I (Keluarga Miskin) seperti Sudarti (18 tahun), Rusmini (40 tahun), dan Sayuti (53 tahun); di samping kepada Peserta JPKM Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53 tahun) dan Peserta Strata III (Non Gakin, keluarga mampu) Yuli Nikmatin (34 tahun).
188
4. Temuan Pokok dan Analisis 4.1 Sekilas Purbalingga 4.1.1 Kondisi Objektif
Kabupaten Purbalingga yang secara administratif terbagi menjadi 18 kecamatan dengan 239 desa dan kelurahan memiliki jumlah penduduk 843.814 jiwa dan 193.347 Rumah Tangga, dengan kepadatan penduduk 1.274 jiwa/km2 dan pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir (1990-2000) sebesar 0,71%. Jumlah angkatan kerja sebanyak 38,911 orang dengan tingkat pendidikan : 1. Tidak tamat SD (termasuk yang tidak sekolah) adalah 264.669 orang 2. Tamat SD 230.408 orang 3. Tamat SLTP 54.992 orang 4. Tamat SMU 29.490 orang 5. Sarjana 2.653 orang; sementara penduduk miskin sebanyak 36.650, terdiri atas yang bermukim di kota sebanyak 15.200 dan di desa 21.450 orang. Angkatan Kerja sebanyak 381.252 orang, dengan jumlah yang bekerja 231.339, mencari pekerjaan 5.706 dan mempersiapkan usaha baru 802 orang, dan mayoritas bekerja di sektor pertanian (40%), serta 64% penduduk bekerja selama 35 jam seminggu. Penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaannya sebagai berikut : 1. Di bidang pertanian, kehutanan dan peternakan/perikanan 148.615 orang 2. Pertambangan dan penggalian 3.809 3. Industri Pengolahan kesukaan 53.127 4. Konstruksi 31.877 5. Transportasi dan Komunikasi 14.327 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel 69.999 7. Lembaga Keuangan 6.570 8. Jasa Kemasyarakatan 35.748. Secara geografis, Purbalingga diapit oleh Kabupaten Banyumas di sebelah Barat, pegunungan gamping Kabupaten Kebumen di sebelah Selatan, Kabupaten Banjarnegara di sebelah Timur, dan kawasan gunung Slamet Kab. Pemalang di sebelah Utara. Jalur yang membelah di antara Purbalingga di antara daerah yang lain adalah jalur transportasi jalan tengah pulau Jawa—jalur yang padat namun kurang ramai bila dibandingkan dengan jalur selatan Pulau Jawa apalagi jalur transportasi utara Pulau Jawa (Pantura). Bagi masyarakat di Jawa Tengah pada umumnya, daerah Purbalingga sebelum proses dinamikanya seperti sekarang sering dijuluki sebagai “kota pensiunan”—sesuatu yang secara anekdotal menyiratkan tidak dinamisnya daerah ini.
4.1.2 Permasalahan Pembangunan di Purbalingga
Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang dilaksanakan selama ini di satu sisi telah menghasilkan kemajuan yang sangat berarti, tetapi di sisi lain juga menyisakan beberapa masalah, baik permasalahan yang mendasar
189
yang lain juga masih menyisakan beberapa permasalahan, baik permasalahan yang mendasar maupun permasalahan yang berkembang dewasa ini sebagai akibat dari kompleksitas permasalahan dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah. Beberapa permasalahan mendasar yang masih menuntut perhatian khusus dari pemerintah dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang antara lain adalah : 1. masih relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran 2. masih relatif rendahnya kualitas hidup manusia 3. masih adanya kesenjangan pembangunan baik kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan, serta kesenjangan pendapatan per kapita masyarakat 4. belum terwujudnya prinsip-prinsip good governance secara penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara lebih rinci, permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi oleh Kabupaten Purbalingga ke depan antara lain sebagai berikut : Pertama, masih rendahnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan masalah-masalah sosial yang mendasar belum terpecahkan. Data statistik menunjukan bahwa selama lima tahun terakhir ekonomi Kabupaten Purbalingga terus mengalami pertumbuhan, akan tetapi pertumbuhan tersebut masih relatif rendah. Seiring dengan mulai pulihnya perekonomian nasional, pada pertengahan tahun 1999, ekonomi Kabupaten Purbalingga menunjukan pertumbuhan positif sebesar 1,1 persen, dimana tahun sebelumnya terjadi pertumbuhan minus 8,28 persen. Tahun 2000 perekonomian purbalingga tumbuh 2,79 persen, tahun 2001 : 2,98 persen, tahun 2002 : 3,14 persen dan tahun 2003 : 3,98 persen. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai terlihat masih terlalu rendah untuk dapat membuka dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja baru yang cukup dalam mengatasi pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat sebesar 14.796 atau 3,66 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 18.564 jiwa atau 4,95 persen. Apabila dibandingkan dengan tingkat pengangguran di tingkat regional, terlihat bahwa tingkat pengangguran di Purbalingga lebih rendah daripada Propinsi Jawa Tengah yang mencapai 5,66 persen. Tingkat pengangguran terdidik yang menunjukkan rasio jumlah pencari kerja berpendidikan SLTA keatas terhadap besarnya angkatan kerja pada kelompok tersebut tahun 2003 tercatat 12,53 persen, menurun dari tahun 2002 yang mencapai 17,88 persen. Pendapatan per kapita penduduk dari tahun ketahun terus meningkat. Pada tahun 2003 tercatat pendapatan per kapita masyarakat sebesar Rp 2.284.873,-, meningkat sebesar Rp. 298.139,- atau sebesar 10,02% dari tahun 2002 yang baru mencapai Rp 2.076.734,-. Angka pendapatan per kapita tersebut masih rendah dan masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita Propinsi Jawa Tengah yang mencapai Rp 4.741.547,77. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk diduga sangat erat kaitannya dengan struktur ekonomi Kabupaten Purbalingga yang masih didominasi oleh sektor primer. Dari data statistik terlihat bahwa kontribusi terbesar PDRB berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 30,98 persen,
190
kemudian diikuti dengan sektor industri pengolahan menyumbang 11,57 persen, perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 17,81 persen. Adapun lapangan usaha jasa mendukung 22,8 persen total PDRB yang umumnya didominasi oleh jasa pemerintahan. Sedangkan sumbangan lapangan usaha keuangan dan persewaan, listrik, gas dan air minum, bangunan serta pertambangan dan penggalian ratarata di bawah 3 persen. Penduduk miskin di Purbalingga selama 5 tahun terakhir menunjukan penurunan baik dari segi jumlahnya maupun persentasenya. Tahun 1999 tercatat penduduk miskin sebanyak 255.531 jiwa (33,29 persen) dan pada tahun 2003 tercatat menurun menjadi 173.100 jiwa atau sekitar 20,13 persen dari total penduduk. Ini merupakan kondisi yang cukup berimbang dengan persentase penduduk miskin propinsi Jawa Tengah yakni 21,93 persen. Masih besarnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Purbalingga tersebut menuntut perhatian yang lebih besar dari pemerintah dan semua pihak untuk terus berusaha menanggulangi sebab-sebab kemiskinan sehingga dapat mengentaskan penduduk miskin, mencegah terjadinya pewarisan kemiskinan, serta mencegah terjadinya kemiskinan baru. Dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat Purbalingga yang sebagian besar merupakan petani dan buruh tani, dengan mendorong pembangunan sektor pertanian dihadapkan pada permasalahan pokok berupa : meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya ketersediaan air dan daya dukung prasarana irigasi, rendahnya produktivitas dan mutu komoditas pertanian, serta rendahnya kemampuan dan akses petani terhadap sumber daya produktif. Kedua, kualitas sumber daya manusia masih rendah. Pembangunan pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan pendidikan di antaranya adalah indikator angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka buta huruf. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 6,1 tahun, sementara itu angka buta aksara sebesar 7,6 persen. Sedangkan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang berpendidikan SLTP keatas baru sekitar 26,47 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun mencapai 109,31 persen, APS penduduk usia 13-15 tahun sebesar 92,17 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar 32,94 persen.
Tabel 1: Indikator Derajat Kesehatan di Kabupaten Purbalingga Angka Kematian Bayi (AKB) No.
Tahun
Jumlah Kematian
Jumlah Kelahiran Hidup
AKB Jumlah Kematian/Jumlah kelahiran hidup x 10.000
1.
2001
?
?
?
2.
2002
243
15,111
16,08 0/00
3.
2003
110
15,247
7,16 0/00
4.
2004
150
14,511
10,33 0/00
5.
2005
109
14,670
7,43 0/00
Sumber : DKK Purbalingga, 2005
191
Hal tersebut adalah tantangan menjadi makin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat yang cukup tinggi, seperti disparitas pendidikan antar penduduk kaya dan miskin, antar penduduk laki-laki dan perempuan, dan antar penduduk di perkotaan dan pedesaan. Kualitas pendidikan masih relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Itu terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik, secara kuantitas maupun kualitas serta kesejahteraan pendidik yang masih rendah. Di samping itu, fasilitas belajar belum tersedia secara memadai dan masih banyak peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran. Ketiga, pengelolaan sumber daya alam yang kurang ramah lingkungan. Kualitas manusia dipengaruhi oleh kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup. Masalah pokok dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, hingga sering melahirkan konflik antar kepentingan ekonomi dengan lingkungan. Kebijakan ekonomi cenderung memberi insentif terlalu besar pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam hingga mengakibatkan lemahnya kelembagaan pengelolaan dan penegakan hukum. Kualitas lingkungan terus menurun dengan meningkatnya pencemaran air, udara dan atmosfer. Umumnya pencemaran air dari kegiatan manusia disebabkan oleh kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan dan pertanian. Perubahan kualitas udara dan atmosfer secara berkelanjutan dapat mengakibatkan akumulasi berbagai unsur dan senyawa yang membahayakan kelangsungan kehidupan ekosistem. Selain itu, degradasi tanah dan hutan yang disebabkan berbagai kegiatan penebangan dan pengolahan tanah yang tidak ramah lingkungan mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis di kabupaten Purbalingga. Degradasi hutan dan lahan yang terus berlanjut menyebabkan daya dukung ekosistem terhadap pertanian dan pengairan makin menurun dan mengakibatkan kekeringan dan banjir. Keempat, masih terdapat kesenjangan pembangunan antarwilayah, baik antar wilayah maupun antara kota – desa. Kesenjangan antar wilayah dan antar desa dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi di perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal. Kelima, kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari dukungan infrastruktur dalam pembangunan. Kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur meliputi transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumber daya air, perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan, mengalami penurunan kuantitas dan kualitasnya. Pembangunan infrastruktur mendatang dihadapkan pada terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menyediakan. Pada sebagian infrastruktur, pemerintah bertanggungjawab terhadap pembangunan dan pemeliharaannya, misalnya pembangunan jalan dan jembatan, jaringan irigasi, air bersih dan fasilitas sanitasi di perdesaan, serta listrik pedesaan.
192
4.1.3 Latar Belakang Lahirnya JPKM Purbalingga
Meski upaya pembangunan kesehatan menunjukan hasil yang cukup menggembirakan, upaya-upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat harus terus dilakukan agar hasil yang telah dicapai terus dipertahankan dan beberapa sisi yang masih menunjukan kelemahan ditingkatkan. Pembangunan kesehatan saat ini dihadapkan pada beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian terutama pemenuhan, pemerataan, dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan jangkauan dan kualitas tenaga kesehatan masih belum mencukupi, prasarana pelayanan dan fasilitas rawat inap masih kurang dan belum menjangkau seluruh wilayah secara memadai. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang makin berkualitas maka kebutuhan prasarana, sarana dan tenaga kesehatan harus terus diupayakan dan peningkatan kualitas termasuk pembangunan Poliklinik Kesehatan Desa (Polindes). Permasalahan lain yang sangat penting, karena akan sangat penting menentukan dan menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah masalah kecukupan gizi. Masih munculnya kejadian kurang gizi dan gizi buruk terutama pada anak-anak dari tahun ke tahun menjadi perhatian. Upaya peningkatan kualitas manusia sulit diwujudkan apabila masalah kekurangan gizi pada anak belum bisa teratasi. Di samping faktor kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap gizi, hal tersebut terutama disebabkan masih rendahnya kemampuan ekonomi sebagian masyarakat yang menyebabkan kekurangmampuan ekonomi sebagian masyarakat. Intervensi pemerintah daerah secara sistematis dalam mengatasi masalah kurang gizi ini mutlak diperlukan baik dalam bentuk bantuan langsung maupun melalui upaya dalam rangka pencegahan dan penaggulangannya. Dalam rangka penanggulangan gizi buruk ini peranan posyandu harus terus didorong dan ditingkatkan melalui upaya revitalisasi. Salah satu kunci dapat mempertahankan dan meningkatkan peran posyandu adalah kader kesehatan masyarakat. Pembangunan Bidang Kesehatan dan Sosial Budaya di Kab. Purbalingga terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui : 1. Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang berkualitas 2. Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu melahirkan 3. Peningkatan status gizi masyarakat 4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta kualitas lingkungan 5. Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam rangka menurunkan jumlah keluarga miskin.
193
Bagan I
Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Sosial Purbalingga
Pembangunan Bidang Kesehatan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup terutama diarahkan bagi peningkatan perlindungan kesehatan bagi penduduk miskin melalui pemberian fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan paradigma pembangunan manusia pembangunan kesehatan memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan kualitas manusia. Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas dalam pembangunan tahun 2004, pembangunan Kesehatan bersama dengan pembangunan Bidang Pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia. Meningkatnya kapasitas dasar manusia akan meningkatkan kemampuannya dalam mengakses berbagai sumber daya baik sumber daya ekonomi maupun sumber daya sosial guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktifitas kerja penduduk, meningkatnya produktivitas kerja akan meningkatkan produksi, dan meningkatnya produksi berarti meningkatnya pendapatan. Dengan meningkatnya pendapatan berarti akan meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatnya daya beli berarti akan meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberhasilan pembangunan kesehatan juga akan berpengaruh terhadap pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang yang sehat yang akan dapat mengikuti proses belajar dengan baik. Pembangunan bidang kesehatan terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Purbalingga dan keluarga sehat sejahtera melalui:
194
1. Meningkatkan kualitas, pemerataan dan jangkauan pelayanan kesehatan : a. Penyediaan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Prasarana dan Sarana Kesehatan; b. Penyediaan, pemerataan dan peningkatan profesionalisme tenaga kesehatan; dan c. Pemantapan Fungsi Manajemen Kesehatan 2. Meningkatkan upaya pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit serta keracunan a. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit. b. Peningkatan Kualitas Kesehatan Lingkungan c. Pengawasan Obat dan Makanan 3. Meningkatkan upaya peningkatan kesehatan keluarga a. Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Usila b. Pelayanan Kesehatan Perorangan 4. Meningkatkan kemandirian dan peranserta masyarakat dalam bidang kesehatan 5. Pembinaan PHBS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan a. Meningkatkan status gizi masyarakat b. Perbaikan Gizi Masyarakat Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan mampu mengantarakan Purbalingga sehat 2010, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan evaluasi terhadap program pembangunan kesehatan yang telah berjalan yang dirasakan masih belum efektif baik ditinjau dari sisi upaya, pelayanan, pembiayaan maupun pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi praktik penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah antara lain : 1. Belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan; 2. Belum optimalnya jangkauan kesehatan bagi masyarakat miskin; 3. Model JPS BK khususnya kartu sehat kurang dapat membangun kemandirian masyarakat dan tidak terjamin kelestariannya; 4. Pengalokasian dana pemerintah yang terbatas masih diutamakan untuk upaya kuratif; 5. Pengalokasian dana masyarakat masih bersifat perorangan dan digunakan out of pocket; 6. Pelayanan kesehatan terasa mahal bagi masyarakat karena menggunakan sistem free for service; dan 7. Pembiayaan kesehatan belum dapat mengungkit terjadinya subsidi silang. Dengan filosofi “peserta yang sehat membantu peserta yang sakit, peserta yang kaya/mampu membantu peserta yang miskin/tidak mampu” program JPKM Purbalingga ini telah banyak membantu keluarga miskin dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kesehatan.
195
4.2 Deskripsi JPKM Purbalingga Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Purbalingga adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat Purbalingga yang paripurna berdasarkan asas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilakukan secara praupaya. Tujuan JPKM adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimum melalui : 1. Pembudayaan perilaku hidup sehat 2. Penciptaan kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan secara mandiri 3. Penyelenggaraan pemeliharaan yang paripurna dengan mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit 4. Pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dengan pelayanan yang paripurna, berkesinambungan, bermutu, dan disusun dalam bentuk satu paket pemeliharaan kesehatan melalui JPKM. Sementara tujuan khusus dari kegiatan JPKM Purbalingga ini adalah : 1. meningkatkan akses pelayanan kesehatan 2. meningkatkan knowledge, attitude, serta practice pada masyarakat dan provider dalam program JPKM di Purbalingga ini 3. menumbuhkan peran swasta dalam pengelolaan kesehatan, terutama tahap pemandirian 4. masyarakat dalam menjaga dan memelihara kesehatannya. Sasaran JPKM adalah seluruh masyarakat dalam wilayah Purbalingga, yang merupakan peserta yang terbagi atas tiga kelompok : 1. Strata I yang merupakan Keluarga Miskin (Gakin) 2. Strata II yang merupakan Keluarga Pasca Gakin 3. Strata III yang merupakan Keluarga Non Gakin atau keluarga mampu. Kepesertaan JPKM digunakan untuk Keluarga Inti, dalam mana setiap peserta membayar dalam setiap tahunnya. Namun tidak setiap peserta JPKM harus membayar. Hanya yang digolongkan sebagai Strata II dan Strata III saja yang dikenakan pembayaran preminya. Sementara keluarga dengan klasifikasi Strata I, preminya dibayarkan atau disubsidi oleh Pemerintah Daerah yang ditetapkan Keputusan Bupati Purbalingga. Betapa pun Keluarga Gakin tidak membayar premi, namun mereka berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dalam paket pemeliharaan kesehatan dasar dan pemeliharaan kesehatan tambahan sesuai dengan kesepakatan. Mereka berhak pula mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan yang diajukannya baik yang menyangkut pelayanan oleh Badan Penyelenggara maupun oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan. Mereka memiliki hak yang sama, tidak dipungut biaya tambahan, dan tidak mendapat perlakuan diskriminasi oleh para pemberi pelayan kesehatan. Inilah filosofi JPKM Purbalingga ini: “Si Sehat Menolong Si Sakit, Si Kaya Menolong Si Miskin”,
196
dengan asas kebersamaan dan kegotongroyongan. Selain itu, juga kepada peserta keluarga mampu, keluarga miskin mendapatkan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. 1. Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM ini dilakukan pada sarana Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), antara lain : a. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas; b. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap serta sebagai pusat rujukan; c. Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan; d. Dokter keluarga, sebagai rawat jalan. 2. Pelayanan kesehatan sebagaimana disebut di atas, terdiri atas : a. Pemeriksaan dan tindakan medis, meliputi : pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan yang tersedia pada sarana pelayanan Pemberi Pelayanan Kesehatan tersebut atau Pemberi Pelayanan Kesehatan yang menjadi rujukan sesuai dengan paket pemeliharaan kesehatan, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, dan pemberian pelayanan kesehatan pencegahan termasuk imunisasi yang diberikan sesuai kebutuhan; b. Perawatan; c. Pelayanan Obat; dan d. Pemeriksaan penunjang diagnostik. Kelembagaan Badan Penyelenggara (Bapel) JPKM Purbalingga ini ditangani oleh PT Sadar Sehat Mandiri berdasarkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63 Tahun 2003—yang diketuai dr. Sutanto. Fungsi dari Bapel ini adalah : 1. menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan yang paripurna, terstruktur, bermutu, dan berkesinambungan; 2. melakukan pengelolaan keuangan secara cermat; 3. melakukan pengelolaan kepesertaan; dan 4. melakukan pengelolaan sistem informasi manajemen. Kepada para peserta, Bapel ini wajib memberikan kemudahan-kemudahan: 1. Memberikan kartu anggota yang dapat digunakan untuk memperoleh pemeliharaan kesehatan; 2. Menyediakan sarana pelayanan pemberi pelayanan kesehatan yang dapat dipilih peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan; dan 3. Memberikan informasi secara jelas tentang jenis pelayanan yang dapat diperoleh peserta untuk paket pemeliharaan kesehatan.
197
Dasar hukum penyelenggaraan JPKM Purbalingga didasarkan atas : 1. Perda No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM; 2. Keputusan Bupati No. 05 Tahun 2001 tentang Juklak Penyelenggaraan JPKM; 3. Keputusan Bupati No. 440/40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Bapim JPKM; 4. Keputusan Bupati No. 40/63 Tahun 2001 tentang Penunjukan Pra Bapel “Sadar Sehat Mandiri” sebagai Bapel JPKM; 5. Surat Edaran Bupati Purbalingga No. 460/453 tanggal 16 Februari 2001 perihal Kriteria Gakin; 6. Keputusan Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria Gakin. Program ini akan dikembangkan hingga sebagian masyarakat terjangkau (coverage) bagi program ini. Tahapan Pengembangan JPKM Purbalingga : 1. Tahap Inisiasi dan Sosialisasi (2001-2005); 2. Tahap Penguatan Instalasi (2006-2009); 3. Tahap Pemantapan (2010-2012); dan 4. Tahap Kemandirian (2012-...). Diharapkan dalam jangka waktu setelah program tahap ini mencapai Tahap Kemandirian yang dicanangkan 2012, maka di situlah visi Purbalingga yakni “Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat untuk Mencapai Purbalingga Sehat 2010” yang sudah dicanangkan dapat tercapai. Para pengelola program JPKM, dari Bupati hingga Dinas-dinas terkait dengan program ini, sama-sama optimis bahwa program ini akan mampu terealisasi dengan baik. Oleh karena itu, langkah-langkah kegiatan yang sudah ditetapkan selalu digalakkan penerapannya di lapangan. Langkah-langkah itu adalah : Promosi JPKM di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan, penggalakan di segenap Sekolah Dasar (SD) hingga Taman Kanak-kanak (TK). Kemudian penggalakan Temu Kader yang sudah terbentuk dari tingkat kabupaten hingga tingkat desa terus digalakkan. Berkat langkah ini maka perluasan perkaderan di bidang kesehatan menemukan dukungannya. Sembari menggalakkan promosi, rekruitmen anggota baru dibuka, dan pendaftaran kepada anggota baru dapat dilaksanakan segera di tempat di mana promosi dilakukan. Dalam pemdaftaran ini pembuatan kartu bersama pembagiannya dapat dilakukan beberapa hari berikutnya. Evaluasi yang dilakukan secara rutin dalam kurun tertentu juga dijalankan. 4.3 Temuan Pokok Sejak diterapkannya Program JPKM di Purbalingga ini, maka kehidupan kesehatan masyarakat Purbalingga semakin membaik. Deskripsi di bawah ini mengemukakan beberapa pokok gambaran akan kemajuan dimaksud.
4.3.1 Membaiknya Indikator Kesehatan dan Indikator Sejenis
Dalam lima tahun terakhir ini beberapa indikator bidang kesehatan di
198
Purbalingga mengalami perkembangan yang membaik. Sebelumnya, masih cukup banyak masyarakat miskin di sana yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sarana dan layanan kesehatan. Beberapa indikator kesehatan menunjukkan semakin membaiknya derajat kesehatan masyarakat, antara lain : 1. Meningkatnya usia harapan hidup dimana Tahun 2004 adalah 68,7 tahun yang meningkat dari tahun sebelumnya 68 tahun; 2. Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran, dalam mana pada Tahun 2004 tercatat 7 menurun dari tahun sebelumnya yakni 7,2; 3. Menurunnya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran dari 82 pada Tahun 2003 menjadi 55 pada tahun 2003; dan 4. Menurunya jumlah balita kurang gizi yang pada Tahun 2003 tercatat 4,32 persen menjadi 27,6 persen pada Tahun 2004.
Tabel 2: Indikator Derajat Kesehatan di Purbalingga Angka Kematian Ibu (AKI) No.
Tahun
Jumlah Kematian
Jumlah Kelahiran Hidup
AKB Jumlah Kematian/Jumlah kelahiran hidup x 10.000
1.
2001
?
?
?
2.
2002
17
15,111
112,5 00/000
3.
2003
15
15,347
97,73 00/000
4.
2004
16
14,511
110,26 00/000
5.
2005
16
14,670
109,07 00/000
Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga
Memang masih terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan. Demikian pula fasilitas rawat inap baik di rumah sakit maupun puskesmas, kurangnya peralatan kesehatan di puskesmas, dan perlunya pembentukan Poliklinik Kesehatan Desa sebagai upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas, namun dengan meningkatnya keempat indikator di atas setidaknya mewakili perbaikan derajat perikehidupan kesehatan bagi masyarakat Purbalingga, yang langsung maupun tidak langsung berkat diterapkannya program JPKM. Pembangunan sumberdaya manusia (human resources) Kabupaten Purbalingga yang diukur dengan parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM), setidaknya dapat mempresenstasikan keberhasilan pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Simak saja pada Tahun 2000, dimana IPM Kabupaten Purbalingga sebesar 64,9, yang merupakan peringkat 33 di Jawa Tengah, namun pada Tahun 2003 IPM Kabupaten Purbalingga 67,9 berada pada peringkat 16 Jawa Tengah. Menurut catatan yang ada bahwa angka IPM ini pada Tahun 2002 sebesar 67,6, pada Tahun 2003 sebesar 68, dan pada Tahun 2004 sebesar 68,5. Dalam hal indikator, dikenal istilah Human Development Index atau Index Pembangunan Manusia (IPM) dimana merupakan salah satu indikator tingkat pembangunan suatu daerah. IPM memiliki 4 (empat) kriteria penilaiannya, yakni :
199
1. 2. 3. 4.
Angka harapan hidup; Angka melek huruf; Rata-rata lama sekolah; dan Paritas /ketimpangan daya beli masyarakat. Kriteria ini telah diakui oleh UNDP sebagai alat analisis untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah atau negara.
Dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini, setiap tahunnya Kabupaten Purbalingga menunjukkan kenaikan nilai IPM, seperti diilustrasikan berikut ini : No.
Tahun
Skor
Rangking Se-Jateng
1.
2001
64,9
33
2.
2002
65,61
22
3.
2003
67,02
19
4.
2004
67,9
16
5.
2005
67
15
Keterangan Skor IPM 2004 turun akibat dari perubahan cara perhitungan
Sumber : Dinkes Jateng dan Dinkes Kesehatan & Kesejahteraan Purbalingga, 2005
Sekadar diketahui bahwa kualitas manusia Indonesia dapat dinilai masih relatif rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data Tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Secara rinci, angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230; sehingga secara keseluruhan HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara. Sulit kiranya bila beberapa kemajuan dalam indikator kesehatan di Purbalingga tersebut dipisahkan dari Program JPKM tersebut, mengingat visi yang dibangun dalam mewujudkan derajat kesehatan di Purbalingga tersebut tidak dengan mengaitkannya dengan Program JPKM dimaksud. Upaya pengurangan beban pengeluaran keluarga miskin melalui pemberian bantuan kebutuhan hidup pokok yang dilakukan secara simultan bersamaan dengan berbagai upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat mempercepat upaya penangggulangan kemiskinan atau setidaknya sedikit mencegah agar kondisi keluarga miskin menjadi semakin parah yang dikuatirkan akan menurunkan keturunan yang lemah sehingga akan mewarisi kemiskinannya. Pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya terutama diarahkan bagi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan terwujudnya keluarga yang sehat dan sejahtera, melalui :
200
1. Peningkatan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang berkualitas; 2. Penurunan angka kesakitan dan angka kematian terutama bayi dan ibu melahirkan; 3. Peningkatan status gizi masyarakat; 4. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat serta Kualitas Lingkungan; dan 5. Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama dalam rangka menurunkan jumlah keluarga miskin.
4.3.2 Membuka Akses Layanan Kesehatan Kaum Miskin
Sebagaimana diketahui bahwa peserta program JPKM ini dibagi ke dalam 3 (tiga) Klasifikasi: 1. STRATA I untuk Keluarga Miskin (GAKIN); 2. STRATA II untuk Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN); dan 3. STRATA III untuk KELUARGA MAMPU. Program JPKM di Kabupaten Purbalingga untuk kali pertama dikembangkan pada Tahun 2001 dengan mengakomodasi peserta dari keluarga miskin yang preminya dibayar oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui APBD Pembangunan.
Bagan III G r a fik P e r k e m b a n g a n K e p e s e r ta a n J P K M 140.000 123.303
120.000 100.184
100.000 80.000
73.494
67.707
57.362
60.000 40.000
36.879 22.707
20.000
8.171
0
42.944
50.217 28.418
18.072 12.478
47.929
42.533
40.299 24.120
23.408
2002/2003 S tra ta I
12.197
0
2005 2001/2002
28.102
23.809
21.549
0
2006
2003/2004 2004/2005 S tra ta II
S tra ta III
J u m la h
Sumber : Dinkes dan KK Purbalingga
201
Premi JPKM di Kabupaten Purbalingga tahun 2001/2002 sebesar Rp 25.000/KK/ tahun, tahun 2002/2003 naik menjadi Rp 30.000/KK/tahun, tahun 2003/2004 menjadi Rp 40.000/KK/tahun, dan pada tahun 2005 sebesar Rp 50.000/KK/tahun. Besarnya premi ditetapkan dari utilitasi pelayanan kesehatan di PPK, kecukupan biaya JPKM yang dihitung dengan tarif subsidi dan kemampuan masyarakat. Perincian subsidi yang diberikan untuk peserta JPKM adalah: 1. Keluarga Miskin (GAKIN) disubsidi 100% dari premi; 2. Keluarga Paska Miskin (PASCA GAKIN) disubsidi 50% dari premi 50% dibayar oleh peserta; dan 3. Keluarga Mampu tidak disubsidi, premi dibayar 100% oleh peserta.
Tabel 4: Premi dan Subsidi Program JPKM di Purbalingga Dalam Empat Tahun Anggaran STRATA
2001/2002
2002/2003
Premi
Subsidi
2003/2004
Premi
Subsidi
Premi
Subsidi
2004/2005 Premi
Subsidi
I
-
25.000
-
30.000
-
40.000
-
50.000
II
10.000
15.000
15.000
15.000
20.000
20.000
25.000
25.000
III
25.000
-
30.000
-
40.000
-
50.000
-
Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006
Dukungan Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada JPKM dibuktikan dari alokasi dana APBD. Contoh: premi JPKM dari APBD Purbalingga per tahun 2001 Rp 1.263.000.000,00; tahun 2002 Rp 1.268.000.000,00; tahun 2003 Rp 2.080.000.000,00; sedang pada tahun 2004 premi yang harus dibayar Pemkab Purbalingga Rp 2.500.000.000,00. Hakikat penyelenggaraan JPKM adalah cara pemeliharaan kesehatan masyarakat paripurna berdasar asas bersama dan kekeluargaan berkesinambungan dengan mutu terjamin dan pembiayaan dilakukan pra-upaya. Pelaksanan program berdasarkan Perda No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM dan Keputusan Bupati Purbalingga No. 5 Tahun 2003 tentang Juklak Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/ JPKM telah memberi beberapa manfaat kepada masyarakat Purbalingga. BAGAN III I LU S TR A S I G R A FI K S U B S I D I D A LA M P ELA K S A N A A N J P K M
5
4
Ideal Realita
3
2
1
Sumber : Dinkes Purbalinga
202
01
02
03
04
05
06
07
Tahun K e-
08
09
10
11
12
Nilai manfaat ditempuhnya program JPKM ini antara lain adalah dalam rangka : 1. Memperoleh pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu dan berkelanjutan; 2. Mengeluarkan biaya ringan bahkan digratiskan bagi kalangan tak mampu, atas asas kebersamaan, kekeluargaan/kegotongroyongan (subsidi silang); 3. Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan dengan lebih merata bagi masyarakat Purbalingga, terutama masyarakat keluarga miskin.
Bagan IV DA N A J P K M 2006
1,546,000
2005
2,099,840
1,372,215
2004
3,348,918
2,500,000
2003
1,560,449
2,080,000
2002
1,268,000
2001
1,263,000
717,380
2,233,725
2,583,000
697,801
1,430,320
645,420
2,264,666
430,845 Ribuan Rp
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
APBD KAB
4,000,000
APBN
5,000,000
6,000,000
7,000,000
DANA MASY
Sumber : Dinkes dan Kesejahteraan Purbalingga
Respon masyarakat Purbalingga atas program JPKM amat bagus. Terbukti dari antusiasme anggota masyarakat untuk menjadi peserta sampai tahun 2004 (Tahap Inisiasi dan Sosialisasi dalam Time Table penggalakkan program), jumlah kepesertaan JPKM Purbalingga mencapai 123.303 KK atau 65% jumlah penduduk Purbalingga (Jumlah penduduk Purbalingga per Tahun 2004 adalah 846.323 jiwa atau 193.347 KK).
Tabel 5: Perkembangan Kepesertaan JPKM Purbalingga No.
Tahun
STRATA I
STRATA II
STRATA III
Jumlah
1.
2001
36.879 KK
22.657 KK
8.171 KK
67.707 KK
2.
2002
42.944 KK
18.072 KK
12.088 KK
73.104 KK
3.
2003
50.217 KK
28.418 KK
21.549 KK
100.184 KK
4.
2004
57.362 KK
42.533 KK
23.408 KK
123.303 KK
16
14,670
65.216 KK
4.298 KK
Jumlah Sumber : Bapel JPKM Purbalingga, 2006
203
4.3.3 Menekan Risiko Dasar Kaum Miskin
Sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa keberhasilan program JPKM di Purbalingga ini adalah kemampuannya membuka akses pelayanan kesehatan kebanyakan masyarakat yang selama ini tertutup akses pelayanan kesehatan, terutama bagi kalangan keluarga miskin di Purbalingga. Berikutnya adalah permasalahan dasar dapat diurai dan dijadikan sasaran bagi pemajuan berikutnya, baik kualitas hidup masyarakat bawah, sehingga keluarga miskin semakin tertolong atau terkurangi beban hidupnya. Rute yang menjadi dasar bagi program JPKM ini tentu tidak hanya karena kenyataan pengangguran semata-mata. Latar belakang berikutnya berkait dengan persoalan pengangguran di Purbalingga. Sebagaimana diketahui, pengangguran bertali-temali dengan problem kemiskinan. Karena miskin maka derajat kesehatan masyarakat Purbalingga menjadi rendah. Derajat kesehatan yang rendah inilah yang hendak mau diangkat. Dalam fase berikutnya diharapkan produktivitas menjadi meningkat, antara lain yang pada akhirnya dapat dibuktikan pendapat per kapita masyarakatnya. Bila persoalan tersebut dapat diatasi, maka pertumbuhan ekonomi akhirnya tidak lambat. Sumber pembiayaan lain di luar kesehatan sehingga produktivitas dapat ditingkatkan serta karena kualitas SDM dan moralitas pada akhirnya dapat diangkat dari problem mendasarnya seperti selama ini. Dapat dicermati bahwa pembangunan bidang Kesehatan dan Sosial Budaya dilaksanakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup terutama diarahkan bagi peningkatan perlindungan kesehatan bagi penduduk miskin melalui pemberian fasilitas kemudahan bagi penduduk miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan. Di samping itu, dari sisi kesejahteraan sosial, yang merupakan satu kesatuan dengan bidang kesehatan di Purbalingga, maka diarahkan dalam rangka perlindungan bagi keluarga miskin melalui penurunan beban pengeluaran keluarga miskin dengan berbagai treatment yang menyentuh langsung kebutuhan pokok keluarga miskin. Sebagaimana bidang pendidikan, pembangunan Bidang Kesehatan dan Sosial Budaya juga memiliki kedudukan yang strategis. Seiring dengan perubahan paradigma pembangunan manusia pembangunan kesehatan memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan kualitas manusia. Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas dalam pembangunan tahun 2004, pembangunan kesehatan bersama dengan pembangunan bidang Pendidikan akan meningkatkan kapasitas dasar manusia. Meningkatnya kapasitas dasar manusia akan meningkatkan kemampuannya dalam mengakses berbagai sumberdaya baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya sosial guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Meningkatnya kesehatan akan meningkatkan produktivitas kerja penduduk, sementara meningkatnya produktivitas kerja berkorelasi dengan meningkatnya produksi, berakibat pula pada mengingkatnya pendapatan (income).
204
Dengan meningkatnya pendapatan berarti meningkatkan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli berarti meningkatkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan berpengaruh pada pembangunan bidang pendidikan karena hanya orang sehat yang dapat mengikuti proses belajar dengan baik. Sedangkan melalui pembangunan kesejahteraan sosial akan memberi perlindungan dan advokasi ke penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama keluarga miskin lewat pemenuhan kebutuhan hidup pokok karena pemenuhan kebutuhan hidup pokok tak dapat menunggu sampai keluarga miskin dapat dientaskan dan secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendorong terwujudnya asas adil dan merata, peserta JPKM dibagi tiga strata. Strata I adalah keluarga yang memenuhi kriteria Gakin sesuai Surat Edaran Bupati, strata II adalah keluarga yang saat didata tidak memenuhi kriteria Gakin namun di tahun sebelumnya mereka menjadi sasaran JPS-BK, atau disebut pula sebagai Pasca Gakin. Strata III adalah keluarga yang sejak program JPS-BK diluncurkan sampai saat pendataan tidak termasuk kriteria Gakin (Non Gakin) atau masyarakat mampu. Penentuan masyarakat masuk dalam kestrataan dilakukan langsung oleh Kader Kesehatan Desa yang notabene anggota masyarakat biasa guna menjaga obyektivitas. Pembagian strata ini terkait erat dengan ketentuan pembayaran premi oleh peserta JPKM yang digunakan untuk kapitasi kepada pelaku pelayanan kesehatan (Polindes/PKD, PUSTU, PUSKESMAS dan Rumah Sakit).
Tabel 6: Kapitasi JPKM
K A PI T A SI J PK M ALOKASI P REM I
2001 / 2002
2002 / 2003
2003 / 2004
2004 / 2005
2005 (5 Bl )
2006
POLI NDES/ PKD, PUSTU & PUSK
9.500
10.000
11.75 0
20.000
13.000
30.500
RAW AT I NAP PUSKESM AS
1.500
1.000
1.500
2.000
1.000
3.500
11.500
14.000
20.75 0
21.500
15.000
39.000
3.000
5.000
6.000
6.500
4.750
7.000
25.000
30.000
40.00 0
50.000
33.750
80.000
RSU D BAPEL JPKM JUM LAH
Sumber : Dinkes Purbalingga 2006
Ketentuan premi adalah strata I dibebaskan dari pembayaran premi/gratis, strata II diwajibkan membayar 50% dari nilai premi, dan strata III diwajibkan membayar penuh. Kartu JPKM berlaku untuk 1 keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak kandung selama 12 bulan pelayanan. Dengan ketentuan ini, Pemkab menyiapkan subsidi terencana ke peserta JPKM khususnya strata I dan strata II yang besarnya makin menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta dan meningkatnya nilai premi keluarga non gakin setiap tahunnya.
205
Dengan model semacam ini pada tahun ke-7, pembiayaan pelayanan kesehatan dasar masyarakat diharapkan mengalami titik keseimbangan, dimana 50% dibiayai pemerintah dan 50% swasta/masyarakat. Sedangkan tahun-tahun selanjutnya subsidi pemerintah semakin menurun hingga titik nol pada tahun ke-12.
Tabel 7: Premi JPKM PR E M I JPK M 2001 / 2002 STR ATA
Premi
Subsi di
I
-
II III
2002 / 2003
Premi
Subsi di
25.00 0
-
10.00 0
15.00 0
25.00 0
-
2003 / 2004
2004 / 2005
2005 (5 Bl)
Premi
Premi
Subsi di
30.00 0
-
40.00 0
-
50.00 0
-
-
-
-
15.00 0
15.00 0
20.00 0
20.00 0
25.00 0
25.00 0
10.00 0
33.75 0
40.00 0
40.00 0
30.00 0
-
40.00 0
-
50.00 0
-
20.00 0
-
80.00 0
-
Premi
Subsi di
2006
Subsi di
Premi
Subsi di
Sumber : Dinkes Kab. Purbalingga
Oleh karenanya, pelaksanaan JPKM dibagi dalam beberapa fase. Fase I adalah Tahap Sosialisasi dan Inisiasi tahun 2001-2005, Fase II Tahap Penguatan Instalasi tahun 2006-2009; dan Fase III Tahap Pemantapan tahun 2010-2012. Perkembangan kepesertaan JPKM sejak dicanangkan telah mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2001 peserta 67.707 KK. Tahun 2002 menjadi 73.494 KK atau naik sebesar 10,8%. Tahun 2003 menjadi 100.184 KK atau naik sebesar 13,6%. Tahun 2004 peserta meningkat menjadi 123.303 KK atau 65% dari total penduduk Purbalingga sejumlah 191.277 KK. Pada tahun 2005, pelaksanaan JPKM terintegrasi dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang secara keseluruhan mampu melayani sejumlah 102.002 KK atau setara dengan 408.008 jiwa.
4.3.4 Kepeloporan Kemajuan Daerah
Dari sisi pengembangan pelayanan kesehatan, apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Purbalingga, dengan program JPKM tersebut, sebagai salah satu contoh bagaimana sebuah daerah dapat merupakan pelopor bagi kemajuan dan usaha menuju kesejahteraan rakyat. Argumentasi kepeloporan bagi Purbalingga dengan program JPKM dimaksud, paling tidak dapat dikemukakannya 2 (dua) hal penting berikut ini. Pertama, kepeloporan karena paling awal serta yang secara kronologis mendahului implementasi gagasan serupa yang berasal dari Pemerintah (Pusat) sekalipun. Mungkin ini semata-mata kronologis waktu, tapi karena
206
kronologi waktu ini sebenarnya membuktikan beberapa hal yang berkaitan dengan keluhuran niat menyejahterakan rakyatnya, dan risiko mengambil keputusan. Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis ini tentu mengundang heroikisasi—sesuatu yang tentu membedakannya dengan imitasi kebijakan yang dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak lain. Secara kronologis, apa yang dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi JPKM tersebut mendahului untuk program yang sejenis dari Pemerintah Pusat. Perhatian Pemerintah Pusat atas jaminan sosial ini dapat dilacak dari keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pada pasal 66 ayat (1)-(4) secara tersurat dan tersirat adanya program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Indonesia. Pemerintah memang berhasil dalam membangun komitmen namun konkretnya komitmen tersebut baru benar-benar dijalankan ketika Pemerintah Pusat mengundangkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diterbitkan 19 Oktober 2004, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kiranya dapat dibandingkan bahwa Kabupaten Purbalingga sudah merintis program JPKM ini ketika Bupati Purbalingga menerbitkan Surat Bupati Purbalingga No. 460/453/2001 yang ditujukan kepada : 1. Kepala Dinas/Kantor/Bagian Unit Kerja di lingkungan Pemda Purbalingga; 2. Camat se-Kabupaten Purbalingga; dan 3. Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Purbalingga tentang Kriteria Keluarga Miskin (GAKIN), yang diterbitkan pada 16 Februari 2001. Berikutnya, dan ini langkah konkret, bahwa Pemerintah Purbalingga mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) pada 31 Juli 2002 (MoU) antara Dr. Sutanto sebagai Ketua Penyelenggara JPKM dengan Dr. Bambang Sidik T., Kepala Puskesmas Kutasari dalam rangka Pemberian Pelayanan Kesehatan Peserta JPKM Purbalingga, dengan Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM Dengan PUSKESMAS No. 145/JPKM/PBG/VII/02. Dalam rangka memperjelas posisi JPKM di depan pemerintah, maka perlu kiranya bila diterangkan tentang Pembentukan Badan Pembina JPKM. Akhirnya diputuskan bahwa sesuai aturan maka pada 13 Februari 2003 menerbitkan Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Badan Pembina JPKM. Dilanjutkan berikutnya adalah Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pra Badan Penyelenggara “SADAR SEHAT MANDIRI” untuk menyelenggarakan JPKM di Kab.Purbalingga, yang ditandatangani—sebagaimana keputusankeputusan yang dikemukakan di atas ditandatangani oleh Bupati Purbalingga Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.SI., pada 7 April 2003. Demi memantapkan posisi kebijakan Bupati tentang JPKM masih dalam lingkup wilayah kebijakan dari seorang bupati. Kala itu dia masih dianggap belum penting dan belum mendesak bila diterapkan di Purbalingga. Ini sekaligus untuk mengokohkan bahwa langkah yang dilakukan bupati akan diteruskan dan merupakan kebijakan daerah. Kalau ditempatkan sebagai kebijakan daerah maka ia memiliki kekuatan hukum kuat. Suka tidak suka program ini akan bisa
207
diabadikan di Purbalingga. Karena itulah Perda No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM, yang ditandatangi 24 Juni 2003 menjadi penting. Secara berturut-turut penerbitan keempat Keputusan Bupati Purbalingga tersebut penting karena merupakan inti penyelenggaraan JPKM. Keempat Keputusan tersebut adalah : 1. Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria GAKIN, 31 Juli 2004; 2. Keputusan Bupati No. 33 Tahun 2003 tentang Juklak Penggunaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit tentang Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Hasil Pendapatan Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah Bersalin Daerah, dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Kab. Purbalingga Tentang Penetapan Peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Purbalingga Tahun 20032004, yang diundangkan 23 November 2003; 3. Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/108 Tahun 2003 dan Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/190 Tahun 2003; 4. Penunjukan Pra Badan Pelaksana (BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT MANDIRI” Purbalingga Sebagai Pengelola Dana Premi JPKM dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab. Purbalingga. Purbalingga, 15 November 2003.
Tabel 8: Peraturan Perundang-undangan JPKM Dikutip Berdasarkan Urutan Waktu dan Perbandingan Pusat dengan Kab. Purbalingga No.
Nama Peraturan
Tentang
Diundangkan
Undang-Undang 1.
UU No. 23 Tahun 1992
Kesehatan
Jakarta, 17 September 1992 Soeharto
2.
UU No. 40 Tahun 2004
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Jakarta, 19 Oktober 2004 Megawati Soekarnoputri
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. 1.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 003A/MENKES/SK/I/2003
Unit Desentralisasi
Jakarta, 6 Januari 2003 Dr. Achmad Sujudi
2.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 560/MENKES/SK/IV/2003
Pola Tarif Perjan Rumah Sakit
Jakarta, 25 April 2003 Dr. Achmad Sujudi
3.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 639/MENKES/SK/V/2003
Pedoman Umum Pengadaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar 2003
Jakarta, 12 Mei 2003 Dr. Achmad Sujudi
4.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 1457/MENKES/SK/X/2003
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kab./Kota
Jakarta, 10 Oktober 2003 Dr. Achmad Sujudi
208
No.
Nama Peraturan
Tentang
Diundangkan
Surat/Keputusan Bupati Purbalingga 1.
Surat Bupati Purbalingga No. Kriteria Keluarga Miskin (Gakin) 460/453/2001 yang ditujukan kepada : (1) Kepala Dinas/Kantor/ Bagian Unit Kerja di lingkungan Pemda Purbalingga; (2) Camat se-Kabupaten Purbalingga; dan (3) Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Purbalingga.
Purbalingga, 16 Februari 2001 Drs. Triyono Budi Sasongko
2.
Surat Perjanjian Penyelenggaraan JPKM Dengan PUSKESMAS No. 145/ JPKM/PBG/VII/02
Pemberian Pelayanan Kesehatan Purbalingga, bagi Peserta JPKM Kab. Purbalingga 31 Juli 2002 - dr. Sutanto, Ketua Penyelenggara JPKM - dr. Bambang Sidik T., Kepala Puskesmas Kutasari
3.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/40 Tahun 2003
Pembentukan Badan Pembina JPKM
4.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 40/63 Tahun 2003
Pembentukan Pra Badan Purbalingga, 7 April 2003 Penyelenggara “SADAR SEHAT Triyono Budi Sasongko MANDIRI” untuk menyelenggarakan JPKM di Kab.Purbalingga
5.
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga No. 15 Tahun 2003
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Purbalingga, 24 Juni 2003 - Triyono Budi Sasongko, Bupati - Sutjipto, B.A., Ketua DPRD
6.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003
Kriteria Keluarga Miskin
Purbalingga, 31 Juli 2003 Triyono Budi Sasongko
7.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 33 Tahun 2003
Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Hasil Pendapatan Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah Bersalin Daerah, dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Kab. Purbalingga
Purbalingga, 6 Oktober 2003 Triyono Budi Sasongko
Purbalingga, 13 Februari 2003 Triyono Budi Sasongko
209
No.
Nama Peraturan
Tentang
Diundangkan
Surat/Keputusan Bupati Purbalingga 8.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/108 Tahun 2003
Penetapan Peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Purbalingga Tahun 2003-2004
Purbalingga, 23 November 2003 Triyono Budi Sasongko
9.
Keputusan Bupati Purbalingga No. 440/190 Tahun 2003
Penunjukan Pra Badan Pelaksana (BAPEL) JPKM “SADAR SEHAT MANDIRI” Purbalingga Sebagai Pengelola Dana Premi JPKM dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-GAKIN) Kab. Purbalingga
Purbalingga, 15 November 2003 Triyono Budi Sasongko
Sumber : Data Diolah dari Berbagai Sumber
Kedua, kepeloporan substansi gagasan dapat dibuktikan dari seringnya para pihak mengadakan kunjungan untuk kaji dan studi banding ke Purbalingga berkait dengan program JPKM. Bila menyimak tabel di bawah, pihak yang mengadakan kunjungan ke Purbalingga terdiri atas tiga pihak. Pertama, secara vertikal merupakan kunjungan instansi di atas struktur pemerintahan di atas derajat sebuah kabupaten/kota, yakni Pemda Provinsi, Staf Ahli Menkes, Depdagri, dan seterusnya, yang intinya adalah gambaran struktur pemerintahan lebih dari kabupaten/kota. Kedua, secara horisontal merupakan kunjungan dari instansi di samping/setara/sederajat dengan sebuah kabupaten/kota, yakni Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota. Ketiga, pihak lain dengan latar belakang akademisi, sebagaimana Universitas Indonesia (UI) Jakarta ataupun Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Berdasarkan deskripsi di atas, ketiga bentuk kaji banding yang dilakukan pihak lain dapat berbentuk pengembangan makna konotatif. Pertama, makna deordinasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan pihak yang lebih tinggi dengan struktur pemerintahan, bisa jadi sedang melakukan supervisi atau evaluasi. Bisa pula karena benar-benar ingin belajar atas program yang sedang dirancang kemudian ingin agar daerah lain melakukan hal yang sama atau mengikuti jejak daerah lain. Kedua, makna equitas. Bahwa kaji banding dilakukan pihak yang sederajat dengan Kabupaten Purbalingga, itu artinya kunjungan mereka memiliki motivasi membandingkan, antara apa yang sedang dikerjakannya atau yang sudah dikerjakan namun belum yakin atau belum merasa sebaik yang di Purbalingga, maka dengan kaji banding diharapkan adanya perbedaan, kelebihan, dan kelemahan yang sedang dikerjakannya, dengan yang sudah dikerjakan Purbalingga. Ketiga, makna eksperimentasi. Bahwa kaji banding yang dilakukan kalangan akademis ke Purbalingga tentu motifnya berkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga kelak dari kajian yang dilakukannya hasilnya dapat direkomendasikan bagi kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan, umumnya disiplin ilmu sosial serta khususnya disiplin ilmu kesehatan.
210
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah No.
Tanggal Kunjungan
Asal Tim Kaji Banding
1.
29 Januari 2002
Pemda Propinsi Lampung
2.
04 Februari 2002
Staf Ahli Menteri Kesehatan RI
3.
28 Februari 2002
Pemkab Gunung Kidul Prop. DIY
4.
29 Juni 2002
Pemkab Pati Prop. Jateng
5.
06 Juli 2002
Pemkab Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan
6.
02 Oktober 2002
Pemkab Kebumen Prop. Jateng
7.
30 November 2002
Pemkab Jeneponto Prop. Sulawesi Selatan
8.
21 Januari 2003
Pemkab Karanganyar Prop. Jateng
9.
21 Mei 2003
Pemkot Metro Prop. Lampung
10.
10 Juni 2003
Pemkot Sawahlunto Prop. Sumatera Barat
11.
16 Juni 2003
Tim Diklat Kepemimpinan Tk. IV Depdagri Jakarta
12.
19 Juni 2003
Pemkab Pemalang Prop. Jateng
13.
02 Juli 2003
Pemkot Magelang Prop. Jateng
14.
5 Juli 2003
Pemkot Surakarta Prop. Jateng
15.
7 Juli 2003
Pemkab Cilacap Prop. Jateng
16.
9 Juli 2003
Pemkab Wonosobo Prop. Jateng
17.
28 Agustus 2003
Dinkes Kab. Semarang Prop. Jateng
18.
11 September 2003
Dinkes Kab. Magelang Prop. Jateng
19.
15 September 2003
Pemkab Gorontalo
20.
25 September 2003
Pemkab Lombok Tengah Prop. NTB
21.
25 September 2003
Pemkab Temanggung Prop. Jateng
22.
25 September 2003
Pemkot Salatiga Prop. Jateng
23.
20 Oktober 2003
Pemkab Sleman Prop. Jateng
24.
23 Oktober 2003
Pemkab Kendal Prop. Jateng
25.
24 Nopember 2003
Direktorat JPKM Depkes RI
26.
20 Nopember 2003
Pemkab Banjarnegara Prop. Jateng
27.
7 Januari 2004
Pemkot Pekalongan Prop. Jateng
28.
14 Januari 2004
Pem Prop Kal Sel
29.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Banjar
30.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Barito Kuala
Ket.
211
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah No.
Tanggal Kunjungan
Asal Tim Kaji Banding
31.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Hulu Sungai Selatan
32.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Hulu Sungai Tengah
33.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Hulu Sungai Utara
34.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Kota Baru
35.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Tabalong
36.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Tanah Laut
37.
14 Januari 2004
Dinkes Kab. Tapin
38.
14 Januari 2004
Dinkes Kota Banjar Baru
39.
14 Januari 2004
Dinkes Kota Banjarmasin
40.
14 Januari 2004
Dinkes Kota Tanah Bumbu
41.
14 Januari 2004
Pemkab Brebes Prop. Jateng
42.
26 Pebruari 2004
Universitas Indonesia Jakarta
43.
26 Pebruari 2004
Dinas Kesehatan Prop. Jawa Barat
44.
23 Maret 2004
Dinkes Kab Way Kanan Prop. Lampung
45.
22 Mei 2004
Dinkes Kota Magelang Prop. Jateng
46.
16 Juni 2004
Pemkab Kudus
47.
21 Juni 2004
Pemkab Semarang
48.
22 Juni 2004
Pemkab Mamuju Sulawesi Selatan
49.
21 Juli 2004
Pemkab Tegal
50.
21 - 22 Juli 2004
Gajahmada Medical Center Yogyakarta
51.
21 - 22 Juli 2004
Dinas Kesehatan Prop. Jawa Tengah
52.
21 - 22 Juli 2004
Pemda Kota Semarang Prop. Jateng
53.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Klaten Prop. Jawa Tengah
54.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kota Semarang Prop. Jawa Tengah
55.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kota Pekalongan Prop. Jawa Tengah
56.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kota Surakarta Prop. Jawa Tengah
57.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kab. Banjarnegara Prop. Jawa Tengah
58.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Kudus Prop. Jawa Tengah
59.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Blora Prop. Jawa Tengah
60.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Banyumas Prop. Jateng
212
Ket.
Tabel 9: Daftar Daerah Yang Pernah Kunjung Kaji dan Studi Banding Berkait dengan Program JPKM Purbalingga Jawa Tengah No.
Tanggal Kunjungan
Asal Tim Kaji Banding
61.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng
62.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Kendal Prop. Jawa Tengah
63.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah
64.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Sragen Prop. Jawa Tengah
65.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah
66.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah Kabupaten Pati Prop. Jawa Tengah
67.
21 - 22 Juli 2004
Pemerintah kabupaten Rembang Prop. Jawa Tengah
68.
Ket.
Dinkes Kab. Way Kanan Prop. Lampung
69.
27 Juli 2004
Dinkes Kab. Klaten Prop. Jateng
70.
27 Juli 2004
Dinkes Kab. Karo Prop. Sumut
71.
5 - 7 Agustus 2004
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
72.
15 September 2004
Pemerintah Kabupaten Cianjur Jawa Barat
73.
6 Desember 2004
Pemerintah Kota Bogor Jawa Barat
74.
6 Desember 2004
UI Jakarta
75.
9 Desember 2004
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara
76.
22-23 Desemb 2004
Pemerintah Kota Surabaya Prop. Jawa Timur
77.
31 Januari 2005
Pemerintah Kota Medan Prop. Sumatera Utara
78.
31 Jan-2 Feb 2005
Pemerintah Propinsi Papua
79.
31 Jan -2 Feb 2005
Dinas Kesehatan Kota Lampung
80.
12 Februari 2005
Pemerintah Kabupaten Wonosobo Prop. Jateng
81.
22 Februari 2005
Pemerintah Kabupaten Magelang
82.
Juni 2005
Pemerintah Kabupaten Tegal Prop. Jawa Tengah
83.
Juli 2005
Pemerintah Kota Jakarta Selatan
84.
Juli 2005
Pemerintah Kota Tegal
85.
23 Agustus 2005
Dinas Kesehatan Kota Pekalongan
86.
27 September 2005
Pemerintah Kabupaten Brebes
87.
27 September 2005
Pemerintah Kabupaten Sukabumi Prop. Jabar
88.
27 Oktober 2005
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
89.
5 - 7 Desember 2005
Pemerintah Kabupaten Tanggamus Prop. Lampung
90.
23 Juni 2006
Pemerintah Kabupaten Toba Sumatera Utara
Sumber : Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Kab. Purbalingga, 2006
213
Melalui program JPKM tersebut, sejumlah kabupaten mengakui Purbalingga pantas menjadi guru pelayanan kesehatan. Sejak program ini diluncurkan tahun 2001, sudah lebih 86 kabupaten/kota dan lembaga pendidikan di Indonesia studi banding JPKM ke Purbalingga. Tidak hanya itu, menutup akhir tahun 2005 lalu, Purbalingga juga mampu meraih sebagai penghargaan Swasti Saba dari Presiden sebagai kabupaten bersih dan sehat, serta anugerah Ksatria Bhakti Husada Arutala dari menteri Kesehatan RI yang diberikan kepada Bupati dan Karya Bhakti Husada Arutala untuk Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Purbalingga. Rangkuman kepeloporan atas gagasan sisi kronologis serta gagasan sisi substantif mengundang nilai heroik bagi khalayak—sesuatu yang tentu membedakannya dengan imitasi kebijakan yang dilakukan setelah gagasan berikutnya ditiru pihak lain. Secara kronologis, apa yang dilakukan Purbalingga dalam mengintroduksi JPKM tersebut mendahului untuk program yang sejenis dari Pemerintah Pusat. Secara substansif apa yang dilakukan merupakan succes story buat Purbalingga, yang pada akhirnya mengarahkan pihak di luar Purbalingga untuk mengenang arti kepeloporan. 4.4 Analisis 4.4.1 Cerita Sukses Otonomi Daerah Otonomi Daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Peluang untuk menyejahterakan rakyat memang lebih ideal bila konsep otonomi daerah dijalankan sungguh-sungguh. Hal ini berkait dengan problem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia kini sebenarnya dapat ditilik dari kepentingan desentralisasi administratif (administrative decentralization), yang sekadar dimaknai sebagai otonomi pelimpahan wewenang dari pusat ke pemerintah lokal (the transfer of authority from central to local government.) Bahwa otonomi daerah sekadar ditempatkan sebagai langkah administratif belaka—sesuatu yang pada akhirnya bermanfaat juga demi berdaya guna dan berhasil guna. Berikutnya bahwa otonomi dipandang sebagai pemberian ruang politik yang memadai (political decentralization) bagi daerah untuk benar-benar berkembang demi mencapai arah kemakmuran, karena otonomi tidak melulu dipahami lebih sebagai pelimpahan wewenang, daripada kekuasaan. Di sini tersurat benar bahwa otonomi merupakan instumen berharga bagi daerah untuk berkembang dan yang memungkinkan baginya berkarakter sebagai aktor berbasis korporasi dalam memajukan daerahnya. Hal ini karena otonomi yang dimaknainya adalah otonomi bukan sekadar sebagai pelimpahan wewenang melainkan penyerahan kekuasaan (the devolution of power from central to local government). Bagi pengelola daerah yang kreatif, otonomi daerah merupakan basis dasar dari tujuan yang mendorongnya untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Adalah suatu kunci keberhasilan bila penerapan pembaharuan yang dilakukan para praktisi otonomi daerah mengembangkan kapasitas dengan mengangkat gagasan-gagasan kreatif
214
dan eksklusif berbasis local content sehingga pada akhirnya rakyat di daerahnya mengambil sebesar-besarnya manfaat. Pada dasarnya politik desentralisasi yang berlaku di mana pun merupakan bagian dari solusi struktural yang penting artinya bagi kemajuan daerah. Strukturalisasi ini bisa merupakan pelembagaan baru, bisa pula destrukturalisasi. Namun baik strukturalisasi maupun destrukturalisasi adalah otoritas untuk menjalankan eksperimentasi kebijakan yang sia-sia belaka bila bagi pemegangnya tidak menggunakan sebaik mungkin. Bagi kepala daerah yang mengerti betul makna otonomi daerah serta lingkup yang lebih luas dari politik desentralisasi, era sekarang ini merupakan kesempatan untuk mengukur sukses dan prestasi, mengingat otonomi daerah hakikatnya merupakan realisasi bagi daerah untuk mewujudkan prestasi. Ukuran paling telanjang dari prestasi adalah apresiasi atau penghargaan. Seorang Bupati Purbalingga Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si. beruntung sekali karena menjadi bupati pada suatu situasi yang justru berada pada posisi yang serba sulit. Daerahnya tidak begitu menguntungkan bila ditilik dari sisi geografis, demografis, dan ekonomis. Baginya kondisi semacam itu tidak dikeluhkannya, namun justru mengartikan kesempatan dalam mengembangkan daerahnya melalui siasat otonomi daerah. Dalam kata hatinya otonomi daerah merupakan kebebasan mengembangkan daerah untuk bergerak maju bersama rakyatnya. Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas. Dalam kata progresif inilah inovasi menjadi pendorong bagi praktisi pemerintah di daerah untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan elite birokrasi dengan dukungan rakyatnya di Purbalingga. Lebih tepatnya bahwa jajaran Pemda Purbalingga tidak boleh pasrah bongkokan karena seringkali banyak orang yang merasa ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang berpikiran progresif tadi, maka aturan bukanlah halangan. Justru halangan menjadi tantangan penaklukan. Penulis sepakat bahwa inilah inovasi dalam otonomi daerah. Inovasi adalah kearifan lokal dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Inovasi adalah gambaran sebuah kemajuan yang terupaya secara terlembagakan itu. Pada yang namanya inovasi, tersirat terobosan dan kreativitas. Pimpinan daerah yang mengerti betul akan inovasi tidak akan menyerah atas keadaan. Apalagi ratapan atas keadaan, hanya gara-gara sekadar kekakuan karena aturan. Contoh JPKM dari Pemerintah Pusat belum mengemuka. Namun itu tidak menjadikan kepala daerah yang ingin maju menghalanginya untuk mencanangkan suatu visi pembangunan Purbalingga yang “mandiri dan berdaya saing menuju masyarakat sejahtera yang berakhlakul karimah”. Untuk mewujudkan visi tersebut, telah disepakati adanya prioritas utama pada empat pilar pembangunan, yakni : 1. pendidikan dan agama; 2. kesehatan; 3. ekonomi kerakyatan; dan 4. pembangunan pedesaan; yang ditopang oleh pembangunan sektor-sektor lainnya secara sinergis.
215
Arah pembangunan sektor kesehatan adalah terpenuhinya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas dan berkesinambungan yang diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karenanya Pemda Purbalingga berupaya memperbaiki keadaan: peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, penambahan dan peningkatan kualitas ketenagaan kesehatan yang diimbangi dengan pembiayaan untuk operasionalisasi pelayanan kesehatan. Namun yang terpenting adalah dengan dilakukannya inovasi dalam perbaikan sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan melalui Program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat /JPKM dan pengembangan Program Desa Sehat Mandiri. Program JPKM adalah sebuah jawaban dalam menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dengan filosofi “Si Kaya Membantu Si Miskin dan Si Sehat Menolong Si Sakit”, dengan topangan penuh dari pemerintah daerah. Dengan sistem tersebut didorong terjadinya subsidi silang sebagai pengejawantahan azas kekeluargaan. Hal ini perlu ditempuh karena masalah kesehatan tidak akan pernah selesai bila hanya menggantungkan kemampuan pemerintah saja. Model JPKM merupakan mengemukanya kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam mewujudkan pelayanan kesehatan dasar sesuai standar terapi dan pengobatan rasional. Manfaat JPKM antara lain masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu, masyarakat mengeluarkan biaya ringan karena adanya azas kekeluargaan. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perencanaan biaya pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif karena adanya pembayaran pra upaya, serta terselenggaranya pelayanan kesehatan secara komprehensif dan berkelanjutan melalui rintisan model pelayanan dokter keluarga.
4.4.2 Karya Inovasi dari Pemerintah Daerah
Ukuran paling konkret bagi keberhasilan otonomi daerah adalah inovasi. Menilai kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam menyiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang dimiliki. Ini berarti, inovasi tidak sekadar inisiatif. Ia adalah sebuah terobosan. Jika inisiatif menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli, terobosan menggambarkan paduan kreativitas dan kecerdasan untuk ke luar dari kebuntuan; entah itu kebuntuan karena keterbatasan sarana, atau kebuntuan karena kecenderungan mengupayakan segala sesuatu secara biasa biasa saja. Berlawanan dengan komitmen yang ‘ala kadarnya’, baik inisiatif maupun terobosan, pada dasarnya, adalah gambaran komitmen kuat terhadap kemajuan. Karena itulah, selain cerdas, sebuah inovasi semestinya penuh dengan nuansa
216
progresivitas. Pada gilirannya, betapa pun bagus sebuah inovasi, ia tidak akan berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif serta berkelanjutan. Sebuah inovasi dikatakan strategis manakala ia tampil sebagai jawaban atas kebutuhan daerah yang paling krusial. Sedangkan inovasi dikatakan produktif manakala mampu beroperasi di lapangan sebaik yang diharapkan. Inovasi dikatakan berkelanjutan manakala tersusun secara skematik, bukan hasil respon reaksioner, dan bervisi jauh ke depan. Kombinasi kualitas kreatif, strategis, produktif dan keberlanjutan suatu inovasi di tingkat gagasan maupun praktik, dalam efek jangka pendek maupun jangka panjang, merupakan penentu derajat dan kualitas sebuah kemajuan. Pada saat kita bicara kreativitas dalam otonomi daerah, prinsipnya adalah terobosan demi kemajuan. Juga jangan pernah menyerah dengan keadaan. Apalagi menyerah karena aturan yang kurang mendukung kreativitas. Keadaan ini yang kami baca dapat menimbulkan bias otonomi daerah. Program JPKM Purbalingga merupakan karya inovatif yang bahkan monumental. Ini mengingat, pertama, ia adalah gagasan kreatif. Dalam karya inovasi, JPKM sudah barang pasti adalah kreatif, yang memperlihatkan implementasi-implementasi positif di lapangan, cerdas dari segi gagasannya, serta memiliki potensi yang dapat menghasilkan efek jangka panjang dan sudah melewati jangka pendek, yang semuanya dalam arti positif. Dalam karya inovasi, kiranya harus bisa lepas atau tidak sekadar strategis. Baik brilian dari segi gagasan, memiliki potensi jangka pendek dan jangka panjang yang positif namun belum dapat dibuktikan implementasinya di lapangan. Sementara dalam karya inovasi gagasan tersebut harus cerdas dan berhasil menghasilkan efek jangka pendek, karena terbukti implementatifnya di lapangan, meski dapat kita katakan bahwa strategis belum cukup meyakinkan untuk jangka panjang; sementara yang disebut berkelanjutan sudah barangpasti tidak hanya cerdas dari segi gagasan serta memiliki potensi menghasilkan efek jangka pendek dan jangka panjang yang baik namun terbukti di lapangan. Karena yang dinilai adalah loncatan kemajuannya, daerah harus mempunyai terobosan inovatif. Inovasi itu harus kreatif, strategis, produktif, dan berkelanjutan. Untuk membuat terobosan itu, daerah harus bisa membuat kebijakan atau program yang khas yang tidak dipunyai pemerintah daerah lain. Maksudnya, kebijakan/ program tersebut bukan kegiatan rutin dan sekadar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat. Membuat program “loncatan kemajuan” inilah yang dianggap berat dilakukan oleh pemerintah daerah, pengangguran terbuka, dan naik turunnya indeks pembangunan manusia (IPM). Otonomi diharapkan menjamin secara lebih baik tidak saja tumbuhnya kemandirian daerah tetapi juga prakarsa dan kearifan lokal yang lebih berbobot dalam mengupayakan kemajuan.
217
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Program inovasi dan modifikasi model pelayanan kesehatan masyarakat ini dilaksanakan tahun 2001, jauh hari sebelum Pemerintah Pusat menerbitkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kabupaten Purbalingga melaksanakan jaminan kesehatan seluruh warga masyarakat Purbalingga dengan program JPKM. Lebih dari 95 kabupaten/kota di Indonesia studi banding ke Purbalingga untuk belajar JPKM. JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan paripurna, terstruktur yang dijamin kesinambungan dan mutunya, dimana pembiayaan secara praupaya. Proses pembangunan di Kabupaten Purbalingga yang telah dan sedang dilaksanakan di satu sisi menghasilkan kemajuan berarti, tetapi di sisi lain juga menyisakan beberapa masalah, yang mendasar maupun yang berkembang akibat kompleksitas masalah dan kebutuhan pembangunan yang terus berubah. 5.2 Rekomendasi Di samping kelebihan Program JKPM Purbalinga, sejumlah kendala dihadapi dalam pengembangannya. Contohnya, Pemerintah Pusat menerbitkan Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun berlaku pula konsep dan implementasi JPKM versi Purbalingga. Masalah terjadi bila tidak diadakan sinkronisasi dan sinergisitas pihak pengelola dan Pemerintah. Pemeliharaan kesehatan dalam JPKM dilakukan pada sarana Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), antara lain : 1. PPK I, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap bagi Puskesmas yang menyediakan fasilitas; 2. PPK II, untuk pelayanan kesehatan dengan rawat jalan dan/atau rawat inap serta sebagai pusat rujukan; 3. Polindes, untuk pelayanan kesehatan persalinan normal dan rawat jalan; dan 4. Dokter keluarga, sebagai rawat jalan. Berikutnya, kendala yang harus dibenahi antara lain : 1. Ada kesan dari masyarakat pelayanan JPKM dibedakan; 2. Peserta menghendaki seluruh pelayanan ditanggung oleh JPKM; 3. Keluhan dari masyarakat mengenai adanya kenaikan premi setiap tahun; 4. Premi belum real cost sehingga kapitasi yang diterima oleh PPK belum mencukupi pelayanan kesehatan; dan 5. Adanya SK Menkes ttg penunjukan PT ASKES sehingga Bapel JPKM tidak lagi mengelola Gakin Pada galibnya pimpinan daerah mewakili pikiran dan tindakan progresivitas. Dalam kata progresif, inovasi menjadi pendorong praktisi pemerintah di daerah untuk tidak menyerah pada keadaan—sebagaimana yang ditunjukkan elit birokrasi dengan dukungan rakyat Purbalingga. Lebih tepatnya, jajaran Pemda Purbalingga tidak boleh pasrah karena sering kali banyak orang yang merasa ditutup peluangnya berkreativitas. Namun bagi yang berpikiran progresif tadi maka aturan bukanlah halangan.
218
Sumber Penulisan Wawancara dengan key informan 1. Wawancara dengan Kasi Kesehatan Kabupaten Purbalingga Drg. Hanung Wikanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006; 2. Wawancara dengan Ketua Badan Pelaksana/PT Sehat Sarana Mandiri JPKM Dr. Sutanto, MPPM, Purbalingga 29 Juni 2006; 3. Wawancara dengan Bagian Penanganan JPKM Purbalingga, Muslim Mahmud, Semarang 28 Juni 2006; 4. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I (Keluarga Miskin), Sudarti (18 tahun), 28 Juni 2006; Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Rusmini (40 tahun), 29 Juni 2006; 5. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata I Sayuti (53 tahun), 28 Juni 2006; 6. Wawancara dengan Peserta JPKM Strata II Pasca Gakin Ari Kusmiran (53 tahun), 29 Juni 2006; 7. Wawancara dengan Peserta Strata III JPKM (Non Gakin, keluarga mampu) Yuli Nikmatin (34 tahun), 29 Januari 2006. Buku-buku 1. Kemajuan Berkebebasan Kebebasan Berkemajuan Otonomi Award dan Otonomi Daerah di Jawa Timur. Surabaya: JPIP. 2003 2. Inovasi Sebagai Referensi Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : JPIP. 2003. Dokumen Resmi 1. Kebijakan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Purbalingga Tahun 20012005, 15 Januari 2006; 2. JPKM bagi peserta RPJM Purbalingga Tahun 2005-2010; 3. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2003 4. Brosur “JPKM Sebagai Salah Satu Pilar Penanggulangan Kemiskinan” 5. Kumpulan Peraturan Bidang Kesehatan di Kaupaten Purbalingga; 6. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 7. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 8. www.purbalingga.go.id 9. www.jawatengah.go.id 10. www.depkes.go.id 11. www.jpkm.go.id
219
3. Dapatkah Perda Menjamin Komitmen Kerjasama Antarwilayah? Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat
Abstrak Salah satu dampak penting dari desentralisasi adalah berubahnya struktur hubungan antarwilayah di Indonesia. Sebelumnya, hubungan antara dua kabupaten diselesaikan di tingkat propinsi, tetapi desentralisasi telah memungkinkan kedua kabupaten menyelesaikan sendiri urusannya. Satu tantangan dalam masa desentralisasi yang memerlukan perhatian yang serius adalah adanya potensi konflik antara kawasan hulu dan hilir dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas wilayah. Tulisan ini menganalisis dinamika hubungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon di Jawa Barat dalam penyediaan air minum. Selama ini, penduduk di Kota Cirebon menikmati air minum yang mata airnya berasal dari Kabupaten Kuningan, tanpa memberikan imbalan kepada Kabupaten Kuningan atas penyediaan jasa air minum tersebut. Proses negosiasi antara kedua daerah menghasilkan kesepakatan antara lain bahwa Kota Cirebon akan memberikan kompensasi sejumlah tertentu kepada Kabupaten Kuningan atas jaminan ketersediaan air minum bagi wilayahnya. Untuk menjawab hal ini, Kabupaten Kuningan menerbitkan Perda Nomor 38/2002 tentang Rencana Tata Ruang Gunung Ciremai. Perda ini digunakan sebagai sertifikat komitmen Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi kawasan tersebut sebagai sumber mata air. Tulisan ini juga membahas peluang dan tantangan dari penerapan Perda tersebut serta menganalisa pembelajaran bagi kemungkinan penerapan mekanisme yang serupa di wilayah lain.
1. Latar Belakang Pada skala global, isu yang berkembang tentang konservasi kawasan hutan tropis sejak dekade lalu, khususnya setelah adanya Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, adalah bahwa tren kegiatan-kegiatan konservasi hutan lebih berorientasi kepada rakyat. Gagasan mengenai pembayaran atas jasa lingkungan (payment for environmental services – PES) merupakan salah satu gagasan terpenting. Dalam beberapa tahun terakhir PES telah mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagai upaya untuk membiayai konservasi, terutama di Amerika Latin . Program-program PES pada umumnya dilakukan untuk mengaitkan manfaat yang disediakan oleh jasa lingkungan kepada para pengelola yang menghasilkan jasa tersebut untuk meningkatkan insentif bagi mereka untuk senantiasa melaksanakan konservasi atas jasa lingkungan yang disediakan (Pagiola et al., 2005, Wunder,
220
2005). Di Indonesia, gagasan mengenai PES belum banyak berkembang. Pengelolaan hutan di Indonesia selama ini lebih menekankan kepada pengelolaan berbasis kayu yang menitikberatkan kepada perolehan nilai ekonomi melalui eksploitasi sumberdaya hutan, baik kayu maupun non kayu. Pada prakteknya, yang terjadi adalah pengelolaan hutan yang tidak lestari. Pada tingkat nasional, permintaan kayu yang jauh melebihi tingkat produksi kayu hutan alam yang lestari, ditambah dengan rendahnya produksi kayu dari hutan tanaman, telah menjadi pemicu pembalakan liar (illegal logging). Setelah lima tahun pelaksanaannya otonomi daerah masih menyisakan sederet tantangan. Salah satunya adalah mengenai kerjasama antardaerah, terutama wilayah yang mempunyai keterkaitan ekologis. Walaupun UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah menekankan pentingnya kerjasama antardaerah (Bab IX), masih belum banyak daerah yang menerapkan hal tersebut. Kerjasama antardaerah tersebut juga semakin sulit ketika hubungan tersebut terkait dengan kondisi alam, misalnya antara kawasan hulu dan hilir pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Sudah umum terjadi bahwa daerah hilir enggan memberikan imbal balik atas jasa lingkungan yang telah diberikan oleh daerah hulu. Akan tetapi, terdapat perkembangan yang menggembirakan dalam tiga tahun terakhir, ketika daerah-daerah mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi sumberdaya alam, termasuk hutan. Beberapa kabupaten di Kalimantan telah menyatakan sebagai kabupaten konservasi, yang konsepnya antara lain menjaga keseimbangan antara proses pembangunan dengan konservasi hutan, yang antara lain menerapkan konsep PES pada skala besar, yang mencakup kabupaten tetangga sampai dunia internasional. Walaupun demikian, masih banyak proses yang harus ditempuh daerah-daerah tersebut untuk secara nyata menuai hasil pemberian dana kompensasi yang mereka perlukan untuk melaksanakan konservasi hutannya. Pada skala yang lebih kecil, PES sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia pasca otonomi daerah. Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran adalah kasus yang melibatkan hubungan bilateral antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Kawasan Gunung Ciremai, yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan, adalah salah satu kawasan pegunungan dengan potensi sumber mata air yang cukup besar. Sebagai daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan ini memiliki sejumlah mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Sumber air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang berasal dari mata airnya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan dan sebagian lagi dimanfaatkan oleh daerah-daerah di hilirnya, antara lain Kota Cirebon. Hubungan antara keduanya menjadi penting karena adanya saling ketergantungan antara kedua daerah dalam menyediakan air minum bagi penduduknya, serta menjamin ketersediaannya dalam jangka panjang.
221
2. Perumusan Masalah Hubungan antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan air minum sudah berjalan sejak lama. Hampir semua kebutuhan air minum di Kota Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota Cirebon hingga tahun 2015 diperkirakan mencapai 1.382 l/detik atau 43,58 juta m3 per tahun (Ramdan, 2006; Wahyudin, 2000). Penyediaan air untuk keperluan minum merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain. Kebutuhan air minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003). Kebutuhan air minum yang lebih besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah menciptakan kondisi kelangkaan (scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air minum. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan air dan kawasan hilir dalam pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua wilayah di sepanjang DAS tersebut. Kekurangpedulian pengguna air di hilir terhadap kelestarian sumber airnya di hulu dapat memicu konflik antardaerah. Dalam kasus antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, tuntutan Pemda Kabupaten Kuningan untuk memperoleh dana kompensasi konservasi dari Kota Cirebon atas penggunaan mata airnya muncul menjadi salah satu kasus sengketa air lintas wilayah yang terungkap pasca pemberlakuan otonomi daerah (otda) di Propinsi Jawa Barat. Dua pertanyaan pokok yang mengemuka dari latar belakang tersebut yang juga sangat relevan sebagai bahan bagi proses pembelajaran adalah 1. Bagaimanakah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dapat menyelesaikan konflik sekaligus dapat mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak? 2. Apakah kandungan Perda Tata Ruang yang dikeluarkan oleh Kabupaten Kuningan mampu menjadi bahan pengikat kerjasama khususnya dengan Kota Cirebon?
3. Metode Pendekatan/Analisis Pendekatan atas studi ini meliputi dua hal. Pertama, analisis mengenai proses terjadinya konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang terkait dengan konsumsi air minum serta upaya resolusi konfliknya. Kedua, analisis isi Perda Tata Ruang Kabupaten Kuningan yang digunakan sebagai sertifikat komitmen Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung Ciremai yang pada akhirnya dapat memberikan jaminan pasokan air minum kepada Kota Cirebon. Analisis kandungan Perda dilakukan dengan menganalisis kandungan Perda Tata Ruang dan Perda lainnya yang terkait. Yang menjadi
222
perhatian adalah klausula-klausula dalam Perda Tata Ruang tersebut yang baik secara eksplisit maupun implisit menunjukkan komitmen Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan konservasi kawasan Gunung Ciremai sekaligus menjamin ketersediaan pasokan air minum bagi Kabupaten Cirebon, lubang-lubang yang dapat diidentifikasi dari Perda, serta saran-saran bagi perbaikan Perda di masa mendatang.
4. Analisis dan Temuan Pokok Penerapan skema PES mengandung dua komponen penting, yaitu adanya proses terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh pihak lain, serta bentuk dari skema PES itu sendiri. Dalam kasus konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon atas sumber daya air minum, kedua komponen tersebut adalah proses terjadinya kesepakatan antara kedua daerah mengenai adanya pembayaran oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan, serta Perda Tata Ruang Gunung Ciremai yang dijadikan sertifikat komitmen oleh Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi di kawasan Gunung Ciremai. Kedua aspek tersebut menjadi inti dalam bagian pembahasan.
5. Proses tercapainya kesepakatan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon Mata air Paniis, salah satu mata air di kawasan Gunung Ciremai, berada pada ketinggian 375 m di atas permukaan laut. Air yang berasal dari mata air Paniis ini memasok air minum untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon. Pada saat ini air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul ke instalasi pengolahan di Plangon yang berjarak sekitar 8,2 Km dari Paniis. Debit air total mata air Paniis saat ini 860 l/detik dan di musim hujan dapat meningkat di atas 1.000 l/detik. Mata air Paniis adalah sumber air minum utama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Alternatif sumber air minum lainnya yang berasal dari air tanah dalam di sekitar Kota Cirebon dari jumlah dan kualitasnya kurang memenuhi standar air minum bagi masyarakat (Wahyudin, 2000). Oleh karena itu sumber air minum dari mata air di kawasan Gunung Ciremai merupakan prioritas pertama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon. Mata air Paniis dikelola oleh PDAM Kota Cirebon untuk melayani penduduk Kota Cirebon dan beberapa daerah wilayah Kabupaten Cirebon dengan 51.344 pelanggan air minum sampai bulan Maret tahun 2003. Kapasitas terpasang yang dimanfaatkan oleh PDAM Kota Cirebon adalah 860 l/detik, tetapi debit yang diijinkan oleh Pemda Kabupaten Kuningan adalah sebesar 750 l/detik berdasarkan Surat Ijin Pengambilan Air (SIPA) yang dikeluarkan oleh Kantor Sumberdaya Air dan Mineral Kabupaten Kuningan Nomor 616/039/SDAM/2003. Pengambilan air yang melebihi SIPA memicu konflik antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004.
223
Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas tingkat yang diijinkan. Di sisi lain Pemda Kabupaten Kuningan pun merasa bahwa perhatian Pemda Kota Cirebon untuk memelihara kelestarian kawasan sumber air minumnya dianggap kurang, padahal tanpa upaya untuk melestarikan kawasan sumber air tersebut maka pasokan air minum dari wilayah Paniis akan terganggu kesinambungannya. Pemda Kabupaten Kuningan berupaya mengajak Pemda Kota Cirebon untuk bekerja sama dalam memelihara kelestarian Gunung Ciremai sebagai kawasan resapan air dari sejumlah mata air yang selama ini digunakan oleh masyarakat Kota Cirebon. Upaya rehabilitasi dan konservasi kawasan Gunung Ciremai selama ini menjadi tugas dari Pemda Kabupaten Kuningan yang berada di bagian hulunya, sedangkan manfaat hidrologis dari kegiatan konservasi dirasakan juga oleh masyarakat yang ada di hilirnya, sehingga kelestariannya menjadi tanggung-jawab bersama dari semua pengguna air. Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang kuat. Komitmen politik diantara dua Pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat, DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan. Dalam beberapa pertemuan antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon untuk membahas penyelesaian konflik penggunaan air dari Paniis, isu utama yang menjadi pembahasan adalah kontribusi konservasi daerah resapan sumber mata air. Pertemuan antara kedua Pemda yang difasilitasi oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon telah mendorong adanya kesepahaman antara kedua belah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kesamaan visi untuk berbagi (shared vision) dalam mengalokasikan air minum di kawasan tersebut telah mendorong pemahaman dari pihak-pihak yang bersengketa akan pentingnya tanggung-jawab pengelolaan bersama sumber air tersebut. Visi untuk berbagi tersebut dibangun dengan mengintegrasikan pentingnya aspek kelestarian lingkungan dalam pengelolaan air berkelanjutan. Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama antar daerah diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan (memorandum of understanding) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon
224
yang ditandatangani tanggal 17 Desember 2004, yaitu Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan. Perjanjian kerjasama itu bertujuan mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air dan untuk kesejahteraan masyarakat kedua daerah. Perjanjian mengatur kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuningan diantaranya adalah: 1. menjaga/melindungi sumber air mata air agar menjamin kelancaran distribusi air; dan 2. menerima dan menggunakan dana konservasi pengguna air minum di Kota Cirebon untuk kepentingan konservasi yang dapat menjamin kelestarian sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat. Adapun kewajiban Pemerintah Kota Cirebon adalah : 1. memanfaatkan sumber mata air Paniis sesuai ijin dari Pemerintah Kabupaten Kuningan; dan 2. membantu kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam perlindungan dan pelestarian daerah tangkapan air (catchment area) sumber mata air. Dalam perjanjian itu disepakati besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan mempertimbangkan produksi air sumber air, tarif yang berlaku sebelum diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan besaran dana kompensasi konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon dari rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005. Institusionalisasi pemahaman lingkungan itu didukung ketersediaan data kuantitas dan kualitas air yang tersedia, kondisi fisik dan ekonomi kawasan sumber mata air, tekanan kelestarian ekosistem kawasan sumber mata air, dan kebijakan Pemda untuk menjaga resapan air. Salah satu Perda penting adalah Perda Kabupaten Kuningan No. 38 Thn. 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung Ciremai. Perda RUTR Gunung Ciremai itu selain berfungsi mengalokasikan ruang kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas stabil sepanjang tahun. Karena itu RUTR Gunung Ciremai adalah sertifikat komitmen Pemda dan masyarakat Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air pemasok kebutuhan air minum bagi wilayah sekitar. Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih aman bila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen menjaga kawasan resapan air, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar air yang digunakannya diperkirakan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai dari wilayah hilir berkaitan dengan komitmen jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.
225
6. Kandungan Perda Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai Secara umum, ada dua bentuk keluaran yang menjadi indikator apa yang pemerintah ingin lakukan, yaitu anggaran dan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Tata ruang menjadi salah satu bagian peraturan yang secara visual sering digunakan sebagai indikator preferensi pemerintah. Tata ruang dapat mengungkapkan ke mana arah pembangunan akan berlangsung, sektor apa yang menjadi prioritas pembangunan, dan secara keruangan (spasial) juga dapat menunjukkan dampak pembangunan terhadap struktur ruang. Bagi Pemda Kabupaten Kuningan, Perda RUTR Gunung Ciremai disusun dengan pertimbangan antara lain bahwa Pemda Kuningan menyadari keberadaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air, yang kesemuanya mempunyai nilai ekologis, ekonomi dan sosial, dan mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat Kabupaten Kuningan. Hal lain yang menjadi pertimbangan keluarnya Perda tersebut adalah bahwa semakin pesatnya pembangunan fisik disekitar kawasan Gunung Ciremai dikhawatirkan akan mempengaruhi fungsi utama Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan resapan air sehingga akan mengalami degradasi. Pada dasarnya, Perda tersebut dilakukan untuk mengatur pengelolaan kawasan Gunung Ciremai oleh Pemda Kabupaten Kuningan, masyarakat dan Pihak Ketiga, sehingga tidak secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh Perda ini bahwa kawasan Gunung Ciremai juga dapat menyediakan jasa lingkungan kepada daerah-daerah di luar Kabupaten Kuningan, khususnya Kota Cirebon. Walaupun demikian, Pemda Kabupaten Kuningan menyadari bahwa kawasan Gunung Ciremai juga memberikan jasa lingkungan kepada daerah lainnya, khususnya Kabupaten dan Kota Cirebon, sebagaimana dinyatakan dalam paragraf pertama dalam penjelasan umum Perda tersebut.RUTR Gunung Ciremai dimaksudkan sebagai dasar petunjuk bagi aparat Pemda dan masyarakat dalam melakukan pengaturan ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya sesuai dengan fungsinya. Sementara RUTR Gunung Ciremai bertujuan untuk mengembangkan pola pemanfaatan ruang serta meningkatkan fungsi kawasan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air melalui upaya-upaya konservasi, observasi, penelitian, wisata alam dan kegiatan lain sejenisnya yang dipandang tidak akan mengurangi fungsi kawasan tersebut pada saat ini dan masa akan datang di dalam Pola Pembangunan Daerah berkelanjutan. Perda tersebut menerangkan bahwa fungsi RUTR Gunung Ciremai adalah untuk memberikan bahan kebijakan pokok dalam pengelolaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah-wilayah yang dimiliki. Selain itu, Perda RUTR juga memberikan arahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Gunung Ciremai yang menjamin keterpaduan dan keseimbangan antara sistem ekologis dan hidrologis kawasan dengan sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berkembang dinamis.
226
Wilayah perencanaan RUTR Gunung Ciremai mencakup 11 kecamatan dengan luas areal 38.856,61 Ha. Rencana pemanfaatan ruang Kawasan Gunung Ciremai, dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona budidaya. Penggunaan lahan di zona inti terdiri atas hutan, perkebunan, kebun campuran dan tegalan. Penggunaan lahan di zona penyangga terdiri atas kebun campuran, tegalan, sawah dan sebagian keciI permukiman penduduk. Penggunaan lahan di zona budidaya secara umum merupakan tegalan, kebun campuran, sawah dan permukiman. RUTR Gunung Ciremai ditinjau dan dievaluasi kembali setiap lima tahun, guna mendapat bahan-bahan masukan sebagai bahan penyempurnaan selanjutnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi maupun perkembangan yang akan terjadi dan yang akan datang. Secara umum, Perda tersebut menjelaskan bahwa pembangunan di sekitar kawasan Gunung Ciremai yang menjadi daerah penyangga Kabupaten dan Kota Cirebon, sampai saat ini berlangsung sangat pesat. Pesatnya pembangunan fisik ini diduga sebagai pengaruh perkembangan wilayah sekitarnya, terutama Kabupaten dan Kota Cirebon, serta peningkatan jumlah penduduk. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat Kawasan Gunung Ciremai secara alami memiliki karakteristik yang khas sebagai kawasan konservasi alam dan zona resapan air. Kawasan Gunung Ciremai sendiri memasok sebagian besar air bersih dan irigasi yang menjadi andalan utama masyarakat Kabupaten Kuningan, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta daerah-daerah Iain sekitamya. Dengan demikian keberadaan kawasan tersebut sangat vital dan strategis, yang karenanya untuk mengelola dan mengendalikan kawasan Gunung Ciremai diperlukan suatu pola ruang yang mengatur peruntukan lahan dan upaya pengembangan wilayahnya sesuai dengan kemampuan dan karakteristik wilayah tersebut. Mengingat Perda itu digunakan sebagai sertifikat komitmen dalam kerjasama antar wilayah, penting untuk menyatakan secara eksplisit dalam Perda itu baik dalam batang tubuh maupun penjelasan bahwa Perda dapat digunakan sebagai sertifikat komitmen dalam kerjasama antar wilayah, misalnya dengan manambahkan 1 bab khusus tentang hal ini. Adanya klausa seperti itu akan memperkuat kedudukan Perda sebagai alat ‘menjual’ sertifikat komitmen sebagai imbalan atas pembayaran yang diterima Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi hutan di kawasan tersebut. Hal penting lain adalah penjelasan bahwa mekanisme PES yang diterapkan seandainya dilaksanakan kerjasama antar wilayah akan tergantung hasil kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam nota kesepahaman berkekuatan hukum serta mengikat kedua pihak. Termasuk dalam bagian ini adalah penentuan klausa pembayaran. Lebih jauh, mengingat yang menjadi ujung tombak pelaksanaan konservasi sumber air minum adalah masyarakat di sekitar mata air, Perda tersebut perlu menjelaskan bahwa penerimaan dari kerjasama antar wilayah yang terkait dengan konservasi sumber air minum, baik sebagian atau seluruhnya, akan diberikan ke masyarakat yang penggunaannya semata-mata untuk kegiatan konservasi dan tidak untuk kegiatan lain. Jika klausul ini dibuat, implikasinya adalah perlunya pemantauan berkesinambungan atas penggunaan dana tersebut, baik oleh masyarakat maupun bagian dana yang dikelola oleh Pemda.
227
7. Pembahasan Kasus di atas menjadi contoh aktual dan menarik yang menjawab kekhawatiran bahwa pada masa otonomi daerah, setiap daerah akan cenderung mementingkan daerahnya sendiri. Hal tersebut akan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama apabila terdapat sumber daya yang bersifat mengalir lintas wilayah (Dermawan, 2004; Kliot et al., 2001). Keberhasilan Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dalam mencapai resolusi atas konflik sumber air minum menunjukkan bahwa hal yang sama bisa saja dilakukan di tempat lain di Indonesia. Akan tetapi, terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan serupa bisa dilakukan di tempat lain. Pengelolaan air lintas wilayah akan efektif berjalan apabila didukung oleh adanya inisiatif (kebijakan) dari pemerintah daerah di bagian hulu tempat dimana sumber-sumber air berada. Peran penataan ruang dalam pengelolaan sumber daya air adalah untuk : 1. menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan konservasi dan pengendalian kualitas air, 2. koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama, dan 3. mencegah eksternalitas yang merugikan masyarakat secara luas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001). Di pihak lain, daerah hilir pun mempunyai kewajiban yang sama untuk senantiasa bekerjasama dengan daerah hulu dalam pengelolaan sumber daya air, dengan peran yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Daerah hilir tidak dapat begitu saja melaksanakan free-riding atas manfaat yang telah disediakan oleh daerah hulu. Visi untuk berbagi merupakan kunci pertama bagi terselenggaranya pengelolaan air minum lintas wilayah yang adil dan efisien, sebaliknya tanpa adanya visi untuk berbagi manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka air yang lintas wilayah akan tetap menjadi sumber konflik berkepanjangan antar pihak yang bersengketa. Konflik air dapat pula memicu konflik lainnya yang lebih luas, dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa. Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumberdaya alam yang keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya. Lebih lanjut Rahaman dan Vorris (2004) menyebutkan bahwa air adalah kehidupan dan air merupakan simbol umum dari kemanusian (humanity), pemerataan sosial (social equity), dan keadilan (justice).
8. Kesimpulan dan Rekomendasi Tulisan ini telah menunjukkan bahwa Perda yang dihasilkan oleh satu kabupaten tidak hanya bermanfaat di dalam kabupaten yang bersangkutan, tetapi juga bisa menjadi alat negosiasi dan jaminan kepada kabupaten lain. Dalam konteks hubungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, Perda Kabupaten
228
Kuningan tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai telah menjadi sertifikat komitmen yang mempunyai kedudukan penting dalam mencapai resolusi konflik dan merekatkan hubungan antara kedua daerah. Kegiatan konservasi membutuhkan sejumlah dana yang selain berasal dari pemerintah, juga dapat diperoleh dari pengguna jasa lingkungan (environmental services-users) sebagai bentuk tanggung-jawab dan partisipasi konservasi kawasan yang telah memberikan jasa lingkungannya. Dalam paper ini sebagaimana dibahas sebelumnya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi umum untuk menata kebijakan pengelolaan air minum lintas wilayah khususnya di Indonesia. Dalam menata kebijakan pengelolaan air (minum) lintas wilayah ada beberapa tahapan kegiatan yang perlu ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumber daya air tersebut, yaitu : 1. Melakukan inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum masyarakat dan menganalisis kemungkinan terjadinya konflik diantara penggunanya. Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air dapat memicu terjadinya konflik antar daerah. Inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum merupakan langkah pertama untuk mendeskripsikan potensi konflik antar daerah. Apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi ketersediaan air minum yang ada, maka potensi konflik antar daerah cenderung meningkat. Apabila kondisi tersebut terjadi maka daerah-daerah perlu segera melakukan langkah-langkah resolusi konflik melalui proses negosiasi. 2. Daerah yang memiliki sumber air minum melakukan inisiatif kebijakan untuk melindungi kawasan sumber airnya. Potensi sumber air minum yang ada perlu dilindungi oleh daerah dimana sumber air tersebut berada. Upaya perlindungan sumber air dapat dilakukan dengan menetapkan kawasan sumber air minum termasuk daerah resapannya sebagai kawasan lindung. Kawasan sumber air minum tersebut dilindungi dengan perangkat peraturan perundangan, misalnya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur tata ruang kawasan tersebut. Perda tersebut selain mengatur alokasi ruang sesuai dengan fungsinya sebagai resapan air, juga menjadi bukti dari komitmen pemerintah dan masyarakat untuk melindungi sumber air yang ada di wilayahnya. Dalam proses negosiasi antar daerah, perda RUTR tersebut dijadikan sebagai sertifikat atau jaminan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat di bagian hulu untuk menjamin pasokan air minum ke wilayah hilirnya, sehingga apresiasi pengguna air minum untuk memberikan dana kompensasi konservasi ke daerah hulu meningkat. 3. Melakukan proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air minum yang sama. Dalam proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air minum yang lintas wilayah dilakukan pembahasan mengenai : (a) mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai; dan (b) menetapkan besaran nilai PES dari pengguna air minum terhadap daerah hulu yang memiliki sumber air minum. Kedua proses tersebut diajukan setelah terlebih dahulu dilakukan riset
229
tentang prioritas model mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai kesediaan membayar pengguna air minum untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber air minum. Dengan disepakatinya mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai PES diantara daerah yang memanfaatkan sumber air minum, maka resolusi konflik pun tercapai. Selama proses negosiasi dilakukan, fasilitator selalu mendorong pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap berpikir bahwa pembagian manfaat lebih berguna dari hanya pembagian air semata. Proses negosiasi yang berkaitan dengan PES dapat dilakukan apabila syarat-syarat utamanya terpenuhi dengan baik, yaitu : 1. Adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider) yang mampu mengelola dan menjamin kelestarian jasa lingkungan secara baik kepada pihak pengguna jasa lingkungan; 2. Adanya pengguna jasa lingkungan (environmental srvices users) yang memiliki pemahaman dan apresiasi yang memadai terhadap nilai jasa lingkungan, sehingga motivasi untuk memberikan dana kompensasi konservasi akan berjalan dengan baik; 3. Jasa lingkungan berupa jasa hidrologis mampu diidentifikasi dengan baik oleh penyedia jasa lingkungan, sehingga pengguna jasa lingkungan memiliki persepsi dan pemahaman yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh penyedia jasa lingkungan. Selain ketiga syarat tersebut, beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya transfer dana kompensasi konservasi di kawasan Gunung Ciremai adalah sebagai berikut : 1. Kedua pemerintah daerah memiliki kesamaan visi untuk memanfaatkan sumber air yang lintas wilayah secara adil dan menghindari terjadinya konflik yang lebih luas diantara pengguna air; 2. Kedua pemerintah daerah memiliki komitmen politik dan dukungan publik yang kuat dalam menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan adil; 3. Kedua pemerintah daerah mendorong proses kemitraan yang kuat untuk melindungi dan melestarikan sumber air minum melalui kesepakatan kerjasama pemanfaatan air sumber air yang lintas wilayah; 4. Kedua pemerintah daerah melalui perjanjian kerjasama antar daerah menyepakati perlunya dana kompensasi konservasi yang harus diberikan oleh pengguna air di bagian hilir kepada penyedia air di bagian hulu dengan jumlah yang mencukupi untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber airnya. Masyarakat dan pemerintah daerah hulu yang memiliki sumber air minum perlu menetapkan kebijakan perlindungan kawasan sumber airnya yang memiliki kekuatan hukum formal. Perlindungan kawasan sumber air minum terkait langsung dengan kebijakan penataan ruang di kawasan tersebut. Dana kompensasi konservasi yang diberikan oleh pengguna air minum, terutama yang berada di luar Kabupaten Kuningan agar difokuskan untuk mendukung kegiatan konservasi sumber resapan air di kawasan Gunung Ciremai.
230
Daftar Pustaka Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Air Melalui Pendekatan Penataan Ruang. Makalah Semiloka dan Pelatihan Penataan Ruang Universitas Islam Bandung. Bandung, 2-3 Mei 2003. Dermawan, A.2004. Has the Big Bang Hit the Trees and People? The Impacts of Indonesia’s Decentralization on Forest Conservation and the Livelihood of Communities. Department of Economics and Resource Management. Aas, Norway, Agricultural University of Norway. Kliot, N., et al.2001. Institutions for Management of Transboundary Water Resources: Their Nature, Characteristics and Shortcomings. Water Policy 3: 229255. Pagiola, S., et al.2005. Can Payments for Environmental Services Help Reduce Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America. World Development 33(2): 237-253. Rahaman, M.M, and O. Voris. 2004. The Ethics of Water : Some Realities and Future Challenges. Working Paper of The Water Resources Laboratory, Helsinki University. Tietotie. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor, 27 Septemeber 2003. Wahyudin, 2000, Potensi Cekungan Airtanah Cirebon, Jawa Barat. Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Wunder, S.2005. Payments for Environmental Services: Sume Nuts and Bolts. CIFOR Occasional Paper 42. Bogor, Indonesia; CIFOR.
231
4. Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya Hutan: Kajian Atas Perda-Perda Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Tiga Daerah
1. Latar Belakang Sebutan “Rich Forest Poor People” dari Nancy Peluco (1992) untuk menggambarkan kondisi yang bertolak belakang antara kemiskinan masyarakat desa hutan di Jawa dengan kondisi hutan jati yang mendatangkan banyak pundi sangatlah relevan sampai sekarang. Bahkan bukan hanya di Jawa, namun telah menjadi fenomena umum di negara-negara yang kaya dengan hutan tropis, yang oleh kelompok Greenpeace disebut sebagai surga hutan tropis (paradise forests). Hutan tropis yang begitu kaya dan telah banyak memberikan keuntungan ekonomi bagi negara dan aparaturnya sama sekali tidak memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Mereka tetap dimiskinkan dengan ketiadaan dan keterbatasan akses terhadap sumber daya hutan (SDH) yang diklaim sebagai milik negara. Jangankan menikmati kayu, sekedar mengambil ranting, rencek dan dedaunan yang jatuh pun selama ratusan tahun harus dilakukan dengan mengendap penuh ketakutan. Menurut catatan Perhutani (2001), pulau Jawa yang luasnya mencapai 12.524.357 ha, hampir seperempatnya merupakan lahan hutan negara. Sekitar sepertiga lahan hutan negara yang luasnya mencapai 2.881.949 ha itu, sepertiganya ditumbuhi pohon jati. Pulau Jawa merupakan penghasil kayu jati terbesar di dunia, setelah Thailand dan Burma (Peluso, 1992:141). Semenjak zaman kolonial hingga saat ini, hutan jati di Jawa sepenuhnya dikuasai dan dikelola oleh negara. Nama dan bentuk pengelolanya mungkin saja berubah, namun fungsi dan ideologinya sebagai representasi kekuasaan negara dalam bidang kehutanan tidak banyak mengalami pergeseran substansial. Bahkan kontrol yang dilakukan oleh negara orde baru lebih ketat dibandingkan dengan negara kolonial Belanda (Peluso dalam Poffonberger, 1990: 27-53). Politik sumber daya hutan yang diintrodusir negara dalam kerangka menjamin kepentingan ekonominya menempatkan MSH (Masyarakat Sekitar Hutan) selalu dalam posisi marjinal. Dalam sejarah, tragedi awal dari proses marjinalisasi ini adalah dilansirnya reglemen hutan pertama yang menganggap semua hutan jati di Jawa adalah kepunyaan negara, tidak terkecuali yang ada di daerah Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta . Reglemen ini semakin kokoh dengan keluarnya Staatsdomein; Staatsblad no 118 tahun 1870 dimana di dalamnya ada pasal yang memuat keterangan bahwa semua lahan yang di atasnya tidak bisa dibuktikan hak miliknya atau tanah kosong (woeste gronden), menjadi domain negara. Lahan yang dimaksud salah satunya adalah lahan yang ditumbuhi hutan jati di Jawa Gagasan tentang hutan sebagai domain negara sebenarnya sudah diintrodusir oleh Gubernur
Dandeles pada tahun 1808
232
yang saat itu belum serusak sekarang. Kontrol negara atas akses hutan Jawa itu mencakup tiga hal, yaitu kontol terhadap lahan atau tanah, kontrol terhadap tanaman dan kontrol terhadap tenaga kerja (Peluso, 1992: 17). Setelah Indonesia merdeka, model pengelolaan ala kolonial di atas bukannya dilakukan pembaharuan, namun justru dilestarikan. Bahkan penerapannya bukan hanya di Jawa, namun juga dioperasikan untuk mengelola hutan di luar Jawa2. Model pengelolaan hutan di zaman Orde Baru juga tidak banyak mengalami perubahan, bahkan lebih mundur dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam berbagai kesempatan, Hasanu Simon3 mengkritik model pengelolaan hutan di luar Jawa yang dilakukan oleh Orde Baru dengan menyebutnya sebagai model penambangan kayu (timber extraction). Hutan dipandang sebagai sumber ekonomi yang dieksploitasi tanpa memikirkan kelestarian dan kehidupan masyarakat setempat. Sementara Belanda telah memperkenalkan model timber management dalam mengelola hutan di Jawa yang sangat disiplin memperhatikan daur dan kelestarian hasilnya dengan menerapkan ilmu teknik kehutanan, meskipun tidak pernah memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat. Negara tetap memandang masyarakat setempat yang bermukim di sekitar dan di dalam hutan sebagai ancaman. Mereka dituduh dan dicitrakan sebagai perusak hutan. Padahal keberadaan mereka jauh sudah ada sebelum perusahaanperusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) masuk dan mengeksploitasi hutan. Kebijakan negara Orde Baru dalam bidang kehutanan yang sangat tidak berpihak pada masyarakat setempat bertumpu pada Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No.5 tahun 1967. UUPK ini memberikan mandat hukum kepada negara untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan penguasaan hutan serta menggunakan pengaturan sesuai wewenangnya. Dalam Pasal 17 dinyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hutan, selama hak tersebut tidak mengganggu tujuan dari UUPK, seperti yang diartikan oleh Menteri (Thiesenhuen dkk, 1997). Tafsir ”tidak mengganggu tujuan UUPK” tentu saja dimaknai oleh negara tidak mengganggu kepentingan negara dalam hal ini kepentingan perusahaan HPH. Perusahaan-perusahaan HPH mulai menyerbu hutan-hutan di luar Jawa yang masih rimbun dan perawan sejak dikeluarkannya PP no 21 tahun 1970 tentang HPH dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan PP no 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Secara bersama-sama UUPK dan PP tersebut memberikan kerangka bagi eksploitasi sumber daya hutan oleh perusahaan besar. Semua kebijakan ini dirumuskan berdasarkan citra masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan masyarakat lokal yang memanfaatkan hutan yang digambarkan sebagai perusak hutan nasional dan perambah lahan milik negara atau perusahaan. Masyarakat sebagai ancaman, bukan mitra, menjadi dasar kebijakan kehutanan. Citra ini semakin dikokohkan dengan SK Menteri Pertanian No 251/1993 yang 2 Istilah luar Jawa merujuk pada pulau-pulau di Indonesia selain pulau Jawa dan Bali (Geertz, 1963) 3 Hasanu Simon merupakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dia
merupakan salah seorang yang sangat getol mengkampanyekan pengelolaan hutan bersama masyarakat.
233
mengidentifikasi masyarakat dalam dan sekitar hutan sebagai ancaman potensial bagi perusahaan perkayuan; padahal SK tersebut bertujuan melindungi hak-hak masyarakat atas HHNK (hasil Hutan Non Kayu) dan pemanfaatan kayu untuk tujuan non komersial. SK bersama 3 departemen (Pertanian, Dalam Negeri, Transmigrasi dan Perambah Hutan) nomor 480/Kpts-II/1993 juga menggambarkan MSH yang melaksanakan perladangan berpindah sebagai perusak SDH. Model pembangunan kehutanan ala Orde Baru yang tidak mempedulikan dan memperhatikan kelestarian SDH dan memberangus akses MSH tidak sepi kritik. Dimulai pada tahun 1978 saat diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta yang mengambil tajuk ”forest for people”, hutan untuk rakyat. Salah satu rekomendasi penting konggres ini adalah perlunya pembangunan kehutanan yang lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dengan cara melibatkan mereka dalam kegiatan kehutanan. Asumsi yang dikembangkan adalah MSH sebagian besar dalam kondisi miskin, karena itu mereka melakukan tindakan merusak hutan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Sejak saat itu mulai dilansir gagasan pembangunan kehutanan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), maksudnya menjadikan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai basis dan tujuan pengelolaan hutan. Oleh Perhutani gagasan itu diterjemahkan dalam bentuk program Inmas Tumpangsari (Intensifikasi Massal Tumpangsari) di hutan Jawa. Sayangnya program ini kurang menyentuh persoalan yang hakiki, yaitu akses SDH. Alih-alih mensejahterakan masyarakat, justru yang terjadi adalah eksploitasi tenaga kerja murah demi kepentingan perhutani. Masyarakat hanya mendapatkan lahan andil untuk ditanami palawija sembari diberi kewajiban memelihara tanaman pokok (jati) hingga 2-3 tahun. Mereka sama sekali tidak diperkenankan menikmati hasil tanaman kayu yang mereka tanam. Padahal hasil dari tumpangsari itu sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Setelah program Inmas Tumpangsari muncul program-program lain yang mencoba mengintegrasikan isu-isu kehutanan dan isu-isu pembangunan MSH, mulai dari MALU (Mantri dan Lurah), PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), PS (Perhutanan Sosial) hingga yang terbaru adalah PHMB (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Di luar Jawa integrasi isu kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan relatif terlambat, setelah banyak muncul protes dan konflik penduduk setempat dengan HPH. Sebagai jawaban, tahun 1992 pemerintah meluncurkan kebijakan HPH Bina Desa Hutan yang mewajibkan setiap HPH membina paling sedikit 1 desa dalam setahun. Bentuknya adalah program-program comunity development, seperti memberikan bantuan dana untuk kegiatan ekonomi rakyat, pembangunan sarana dan infrastruktur dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat sosial. Namun berbagai upaya itu sepertinya tidak banyak membawa perubahan bagi kehidupan ekonomi MSH. MSH tetap dijauhkan dari akses SDH. Program dan proyek yang berlabel “sosial” itu lebih bersifat charity, sebagaimana politik etis yang dilakukan pada zaman kolonial daripada benar-benar memberikan kesempatan dan membuka ruang kepada MSH untuk mengelola dan mengakses
234
SDH. Negara sepertinya tak pernah ikhlas dalam proses pengelolaan SDH dengan MSH. Pasca reformasi 1998 terjadi perubahan dalam kebijakan kehutanan, terutama dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 41 thn 1999 yang mengatur peran serta dan hak masyarakat dalam pembangunan kehutanan. Dalam UUPK ini ada beberapa peluang untuk pengembangan perhutanan sosial dalam bentuk hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan dengan tujuan khusus. Misalnya dalam Pasal 67 diakui hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pemungutan hasil hutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan mendapatkan pemberdayaan untuk kesejahteraanya. Pasal ini juga menyatakan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan peraturan daerah. Kebijakan dan peraturan yang mengarah ke upaya perbaikan, peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara dikembangkan dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKM) dimulai di awal tahun 1995 melalui Kepmen Kehutanan No. 622/1995. Keputusan ini menekankan ijin pemanfaatan hutan. Hak masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Keputusan ini kemudian diperbaiki SK Menteri No.677/Kpts-II/1998 di mana masyarakat bisa mengambil keputusan pengelolaan hutan dan pemerintah sebagai fasilitator saja dan masyarakat harus membentuk koperasi. Ijin pemanfaatan diganti menjadi ijin pengusahaan. Keputusan ini kemudian diganti lagi dengan SK No. 865/Kpts-II/1999 di mana ijin pengusahaan diganti menjadi ijin pemanfaatan dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi tetapi bisa kelompok apa saja. Sebelum sempat beredar di masyarakat, SK ini diganti lagi dengan SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 yang memberi wewenang pada Bupati untuk memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat. Saat ini kebijakan di tingkat pusat yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan Perda adalah Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III Tahun 2000 bukan SK Menteri atau Keputusan Menteri (Kepmen). Berangkat dari ini, pemerintah membuat PP No. 34 thn 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. PP 34 menetapkan kegiatan pemanfaatan hutan dalam berbagai bentuk pemanfaatan kawasan baik hutan lindung maupun hutan produksi dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemanfaatan jasa lingkungan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai peluang kebijakan di atas makin diperkuat dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu dikeluarkannya UU No. 22 thn 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan proses desentralisasi dan otonomi ini, di beberapa daerah muncul upaya membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau perhutanan sosial. Upaya ini sudah mulai dirintis di Lampung Barat, Kutai Barat, NTB dan Wonosobo. Di Wonosobo ada Perda no. 22 thn 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang sampai saat ini masih terkatung sejak dibatalkan Kepmendagri no. 9 thn 2005. Di Kutai Barat ada Perda no. 31 thn. 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat. Di NTB ada Perda no. 6 thn. 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
235
2. Perumusan Masalah Sejak awal semangat otonomi daerah dihikmatkan pada kesejahteraan masyarakat. Asumsi yang dikembangkan sebenarnya sederhana, yaitu dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan segala kewenangan dan sumber daya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya tidak semua pemerintah daerah mampu mengambil manfaat dari kesempatan dan peluang ini. Tidak jarang kewenangan lebih yang dimiliki oleh daerah ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pejabat dan politisi lokal untuk memperkaya diri. Demikian juga bagi hasil pendapatan yang mereka peroleh dari pusat justru untuk membangun proyek mercusuar yang jauh dari manfaat publik. Tidak terkecuali dalam sektor kehutanan. Dengan adanya otonomi daerah, justru pemerintah daerah ramai-ramai mengeluarkan ijin pemanfaatan hutan dalam skala kecil.4 Keluarnya ijin-ijin usaha pemanfaatan hutan di daerah terutama sejak era otonomi, mendorong tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Tidak berbeda dengan pemerintah pusat, banyak pemerintah daerah hanya menganggap dan melihat hutan sebagai sumber pendapatan yang harus dieksploitasi secepat mungkin dengan mengabaikan kelestariannya. Pemerintah daerah seolah menjadi raja-raja kecil dengan kewenangan yang dimiliki mengkapling-kapling lahan hutan untuk dieksploitasi tanpa mempedulikan kelestarian dan kepentingan konservasi. Otonomi bukannya memperbaiki sistem pengelolaan hutan, namun sebaliknya semakin memperparah kondisi kerusakan hutan. Kewenangan seluas-luasnya pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola sumber daya nasional terbukti tidak berimplikasi positif. Bahkan sebaliknya, sumber daya hutan cenderung mengalami tekanan yang sangat serius berupa laju deforestasi yang lebih besar melampaui 2,5 juta hektar/tahun dari rata-rata sebelumnya 1,6 juta hektar.5 Dalam rangka mendongkrak perolehan PAD, banyak daerah kaya hutan berusaha memperbesar bagian kabupaten dari iuran, provisi dan dana yang dibayarkan perusahaan kayu yang beroperasi di wilayahnya. Tidak heran bahwa banyak peraturan daerah tentang kehutanan yang diterbitkan kabupaten di masa otonomi ini lebih berorientasi pada pengaturan mekanisme perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dan atau retribusi dan pajak yang dipungut atas pemanfaatan, pemungutan dan pengangkutan hasil hutan.6 4 Sebagai contoh, sejak era otonomi Di Kabupaten Malinau, misalnya, sampai bulan Februari 2004
telah dikeluarkan 39 IPPK (ijin pemungutan dan pemanfaatan kayu) dengan luas keseluruhan 56,000 ha, dan di Kabupaten Kutai Barat sampai Agustus 2000 telah dikeluarkan 223 ijin meliputi luas 22,300 hektar. Lihat Warta Kebijakan No 7 November 2002 5 Lihat Otonomi Ancam Pengelolaan Hutan, Kompas 1 Juni 2002. 6 Sebagai contoh adalah Perda No 2/2000 Kabupaten Barito Selatan mengatur tentang Retribusi Hasil Hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu dan Hasil Perkebunan, Perda No 5/2000 Kabupatan Kapuas mengatur tentang Tata Cara Pemungutan Hasil Hutan berupa Kayu, Perda No. 10/2000 Kabupaten Kapuas mengatur tentang Pungutan Daerah atas Pengangkutan dan Penjualan Kayu ke luar Kabupaten Kapuas, dan Perda No. /2001 Kabupaten Malinau mengatur Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu. Lihat “Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hutan dan Masyarakat Hutan” dalam Warta Kebijakan no 7 November 2002
236
Lantas bagaimana dampak otonomi dan desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok miskin? Kita dapat melihat dampak itu dari dua nalar, yaitu nalar anggaran dan nalar kebijakan.7 Sebagaimana diungkap di atas, pada era otonomi daerah di banyak tempat sumber daya hutan menjadi sapi perahan untuk menaikan PAD. Asumsinya jika PAD naik maka semestinya berimplikasi pada alokasi anggaran bagi peningkatan kualitas layanan publik, khususnya kelompok miskin. Namun asumsi ini hanya berlaku jika pemerintah daerah setempat memiliki komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Inilah yang saya maksud dengan nalar anggaran. Dampaknya tidak langsung dan mensyaratkan komitmen pemerintah daerah. Sementara nalar kebijakan bentuknya lebih mudah kita raba, yaitu kebijakan-kebijakan daerah yang memberikan peluang bagi akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan, khususnya kelompok miskin. Ada hubungan khusus antara penduduk miskin dan hutan. Hal ini disebabkan karena hutan biasanya ditemukan di wilayah yang tidak terjangkau, jauh dari pelayanan pemerintah, jalan, dan pasar (pusat kegiatan ekonomi). Maka dari itu, tidak mengherankan jika masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam kondisi miskin. Hutan bagi mereka merupakan penyangga utama kehidupan ekonomi keluarga. Memberangus akses terhadap hutan, sama saja mematikan dapur kehidupan keluarga mereka. Berangkat dari persoalan di atas, makalah ini ingin menguji dan menganalisis sejauh mana kebijakan daerah di bidang kehutanan memberikan akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang masih terbelit kemiskinan. Tiga contoh kebijakan daerah dalam bentuk perda (peraturan daerah) dihadirkan di sini sekedar untuk menunjukan bahwa di beberapa daerah ada inisiatif pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat yang perlu kita apresiasi dan berdampak nyata bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan. Tiga perda yang dimaksud adalah Perda nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo; Perda nomor 31 tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Kutai Barat. Perda nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
3. Metode Pendekatan dan Analisis Ada 2 istilah yang menjadi kata kunci dalam analisis tiga perda yang memberikan peluang peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan, yakni perhutanan sosial dan akses sumber daya hutan. Dua kata kunci ini perlu kita bedah yang nantinya akan kita jadikan pisau analisis untuk melihat sejauh mana perda-perda yang dimaksud mengandung semangat pengelolaan model perhutanan sosial (selanjutnya disebut perda perhutanan sosial) yang memberikan peluang bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengakses sumber daya hutan. 7 Sebenarnya penggunaan dua nalar ini hanya sekedar simplifikasi karena terkadang nalar anggaran
itu masuk dalam domain nalar kebijakan
237
Sampai saat ini tidak ada definisi tunggal tentang social forestry atau perhutanan sosial dari para ahli8. Demikian juga ada seribu macam nama bentuk pengelolaan hutan yang berpaku pada prinsip perhutanan sosial. Sehingga sering para pakar menyebut perhutanan sosial menjadi payung dari berbagai macam bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat seperti hutan kemasyarakatan (HKM) dan kehutanan masyarakat (community forestry), wanatani (agroforestry) dan upaya penanaman hutan di lahan milik pribadi seperti hutan rakyat, hutan milik atau hutan keluarga maupun hutan adat serta pengelolaan hutan kerjasama perusahaan swasta dan masyarakat. Di beberapa negara ada yang menggunakan istilah sendiri seperti kehutanan masyarakat (Community forestry) di Cina, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest management atau CBFM di Filipina ) dan Pengelolaan Hutan Bersama (Joint forest management atau JFM di India). Di Indonesia digunakan berbagai istilah seperti hutan kemasyarakatan, hutan kerakyatan, kehutanan masyarakat, kehutanan sosial dan social forestry. Selain itu ada pula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), ada juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh masyarakat (PHOM). Belum ada istilah yang disepakati bersama dan diterima secara luas. Namun semakin meningkat kesamaan pandangan dan keinginan untuk menegaskan prinsip-prinsip tujuan dan cara pencapaiannya bukan pada namanya (CIFOR, 2003). Singkatnya perhutanan sosial dapat kita konseptualisasikan sebagai sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial ada yang sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Berdasarkan pada kriteria partisipasi dan derajat keterlibatan organisasi kehutanan dan masyarakat, ada 4 hal khusus yang dapat diidentifikasi di bawah payung social forestry (Awang, 2005; Wiersum, 1984), yaitu: 1. Kehutanan partisipasi, dengan karakteristik sebagai berikut: a. ada partisipasi positif dari masyarakat b. tanggung jawab pengelolaan ada pada instansi kehutanan 8 Negara juga punya definisi sendiri tentang social forestry seperti yang tercantum dalam Permenhut
No 1 tahun 2004 tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry. Social forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan
238
2. Kehutanan desa, dengan karakteristik sebagai berikut: a. instansi kehutanan hanya tidak lagi sebagai pengawas, namun hanya penasehat b. perencanaan, pelaksanaan pengelolaan hutan dilakukan oleh masyarakat atau organisasi masyarakat 3. Kehutanan masyarakat, dengan karakteristik sebagai berikut: a. sebagai salah satu bentuk dari hutan desa b. pengelolaan hutan sepenuhnya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat secara komunal c. memilik aturan, norma dan nilai sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal 4. Pertanian hutan, dengan karakteristik sebagai berikut: a. pengelolaan hutan pada lahan milik petani b. pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani c. instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan Akses (access) 9, merujuk pada Merriam-Webster (1993:6) adalah ”kebebasan atau kemampuan untuk memperoleh atau mengambil manfaat atas sesuatu”. Istilah akses berhubungan erat dengan istilah kepemilikan (property) yang dicirikan oleh MacPershon (1978:3) sebagai “...suatu hak atas sebuah klaim untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari sesuatu”. Disini perbedaan krusial antara akses dan kepemilikan adalah pada istilah ”kemampuan” dan ”hak”. Istilah ”hak” mengandung implikasi sebuah klaim yang diakui dan masyarakat mendukungnya (baik melalui hukum, norma atau konvensi). Hak merupakan konsep preskriptif, sedangkan kemampuan merupakan konsep deskriptif. Kepemilikan hanya mencakup de jure, sedangkan akses meliputi de jure dan de facto atau ekstra legal. Namun demikian, dalam kajian perda ini saya hanya memfokuskan pada akses yang legal yang termaktub dalam tiga perda yang saya kaji. Dengan demikian, mengkaji peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat dalam sebuah perda adalah dengan melihat akomodasi perda tersebut terhadap kebebasan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh atau mengambil manfaat atas sumber daya hutan. Akomodasi itu dalam 4 bentuk, yaitu 1. rekognisi negara atas hak dan bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat baik di lahan milik maupun di lahan negara; 2. pelibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pengelolaan hutan; 3. pemanfaatan hasil hutan (baik hasil kayu maupun non kayu) secara adil terutama di hutan-hutan yang status lahannya milik negara; 4. fasilitasi negara dalam penguatan kapasitas kelembagaan lokal khususnya dalam pengelolaan lahan dan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Empat bentuk akomodasi dalam perda inilah yang dapat menjadi indikasi kuat bahwa perda itu meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan yang miskin terhadap sumber daya hutan. 9 Kajian mendalam tentang teori akses dapat di lihat Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, A Theory of
Access, Rural Sociaology volume 68, Issue 2, 2003
239
Pendekatan yang dipakai dalam analisis perda ini adalah pendekatan normatif dengan tetap memperhatikan konteks atau milieu munculnya perda tersebut. Analisis akan difokuskan pada isi perda yang mengandung muatan perhutanan sosial yang memberikan peluang akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan. Analisis akan ditampilkan secara deskriptif dengan melakukan pembandingan tiga perda yang dikaji. Dari analisis ini, diharapkan kita akan memperoleh gambaran yang lebih kaya tentang model-model akses sumber daya hutan di tiga daerah yang diteguhkan melalui perda.
4. Analisis Dan Temuan Pokok Ada tiga perda yang akan dianalisis dalam makalah ini, yaitu dua perda tingkat kabupaten masing-masing Perda nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo (selanjutnya disebut perda Wonosobo) dan Perda nomor 31 tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kutai Barat (selanjutnya disebut perda Kutai Barat); satu perda tingkat propinsi Perda nomor 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi NTB (selanjutnya disebut perda NTB). Ketiga perda di atas saya namakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya berisi pengaturan pengelolaan hutan yang mengandung karakteristik perhutanan sosial. Perda Kutai Barat mengatur perhutanan sosial yang ada di lahan milik, yaitu hutan rakyat. Dalam pasal 2, dinyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa hutan yang tumbuh secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau hak lainnya. Dalam kategori Wiersum (1984), model pengelolaan hutan yang diatur dalam perda Kutai Barat merupakan bentuk pertanian hutan. Berbeda dengan perda Kutai Barat, model pengelolaan hutan yang diatur dalam perda Wonosobo dan perda NTB lebih tepat masuk kategori kehutanan masyarakat yang dilaksanakan pada lahan milik negara. Perda Wonosobo menyebutnya dengan istilah Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Dalam pasal 1 Perda Wonosobo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan PSDHBM adalah sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan masyarakat setempat di kawasan hutan negara berdasarkan fungsi dan peruntukkannya. Perda NTB yang merupakan perda tingkat propinsi lebih merupakan petunjuk teknis peraturan di tingkat pusat yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan (HKm). Sebagaimana kita ketahui, kebijakan HKm mulai digulirkan pemerintah sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan nomor 622/1995. Kebijakan ini telah mengalami beberapa kali revisi terutama setelah reformasi. Revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Pengertian HKm yang ada di perda NTB memiliki kemiripan dengan yang ada dalam SK 31. Dalam pasal 1 perda NTB dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan HKm adalah kawasan hutan yang dikelola oleh kelompok usaha masyarakat setempat dan bertujuan untuk
240
memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan. Selanjutnya dalam pasal 4 dipertegas bahwa status kawasan HKm adalah hutan negara. Untuk melihat bagaimana tiga perda perhutanan sosial di atas mampu meneguhkan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan, perlu dilihat akomodasi masing-masing perda terhadap persoalan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. 4.1 Perda Wonosobo Dalam bagian menimbang dijelaskan ada 3 latar belakang munculnya perda ini: 1. desakan masyarakat untuk memperoleh manfaat yang optimal dari seluruh kawasan, 2. peluang desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumber daya hutan yang ada dalam UU No. 22 thn 1999 dan juga peluang pemanfaatan hutan bagi masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 41 thn 1999, 3. gagalnya pengelolaan hutan negara oleh Perhutani yang bertolak belakang dengan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi keniscayaan bagi kelestarian hutan. Perda Wonosobo terdiri dari IX bab, 48 pasal. Secara garis besar perda ini mengatur enam hal utama berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat di Kabupaten Wonosobo, yaitu a. penetapan lokasi, b. penyiapan dan perencanaan masyarakat, c. proses perijinan, d. pengelolaan, e. pengendalian, f. ketentuan dan prosedur pencabutan ijin. Namun demikian, pada intinya perda ini hanya mengatur dua hal pokok, yaitu 1. bahwa perda ini mengatur tentang kegiatan pengelolaan hutan dengan pendekatan PSDHBM yang ada dalam kawasan hutan negara di Kabupaten Wonosobo, 2. pemberian sanksi administratif berupa pencabutan ijin PSDHBM bagi pemegang ijin yang tidak mampu melaksanakan PSDHBM sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Perda ini dapat dikatakan cukup revolusioner karena secara tegas ada pengakuan negara (pemerintah daerah) terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat. Bentuk pengakuan hak pengelolaan dinyatakan di pasal 14, bahwa bentuk pengesahan PSDHBM diberikan oleh Bupati sebagai jaminan kepastian hukum pemegang hak PSDHBM. Menariknya, hak PSDHBM ini dialokasikan pada kawasan hutan yang selama ini diklaim negara, dalam hal ini adalah Perhutani10. 10 Menurut angka yang dikeluarkan Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani mengelola 19.695 ha
lahan hutan negara di Kabupaten Wonosobo yang terbagi dalam dua kesatuan pemangkuan hutan (KPH), yaitu KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu utara
241
Dengan adanya perda ini, maka otoritas pengelolaan hutan negara di Kabupaten Wonosobo bukan lagi ditangan Perhutani. Kelompok masyarakat yang mampu memenuhi persyaratan untuk mengajukan ijin PSDHBM juga punya peluang akses yang lebar untuk mengambil manfaat dan mendapatkan hak kelola hutan negara. Ijin PSDHBM sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat 3 bukan merupakan pemilikan atas tanah dan kawasan hutan negara. Dengan demikian, ijin PSDHBM lebih merupakan ijin pemanfaatan kawasan hutan negara baik di hutan lindung maupun di hutan produksi. Jangka waktu ijin PSDHBM paling lama 30 tahun dan dapat diperpajang lagi. Selain pengakuan negara atas hak kelola masyarakat, perda ini secara eksplisit juga merupakan sebuah rekognisi atas praktek-praktek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang terbukti berhasil. Pengelolaan hutan negara oleh Perhutani Wonosobo telah terbukti gagal yang terlihat dari kerusakan hutan dan kemiskinan yang membelit kehidupan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat dalam perda ini ditempatkan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Istilah ”berbasis masyarakat” artinya kesejahteraan dan pelibatan masyarakat menjadi orientasi utama dalam perda Wonosobo ini. Masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan PSDHBM sejak dari perencanaan, pengelolaan sampai pemungutan hasil. Misalnya dalam penetapan lokasi PSDHBM melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi oleh Pemda Kabupaten Wonosobo harus melibatkan warga desa setempat dan ”Forum Hutan Wonosobo” (pasal 7). Bahkan masyarakat berhak memberikan tanggapan atas hasil inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan itu. Demikian juga dalam pengelolaan PSDHBM, masyarakat sendiri yang melakukannya mulai dari penataan areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan sampai perlindungannya. Di sisi lain kelompok masyarakat yang diberi ijin PSDHBM juga punya kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian hutan, turut memelihara dan menjaga kawasan hutan di luar areal kerjanya dari gangguan dan perusakan, dan berkordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam pelaksanaan perlindungan hutan. Dalam menetapkan kriteria dan standar kelompok masyarakat yang layak mendapatkan ijin PSDHBM juga harus memperhatikan masukan dari masyarakat melalui ”Forum Hutan Wonosobo” (pasal 11). Forum ini bersifat multipihak yang mencakup semua stakeholder penyelenggaran PSDHBM. Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, perda ini menegaskan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan baik di hutan produksi maupun di hutan lindung, seperti budidaya tanaman baik kayu maupun non kayu, usaha potensi jasa lingkungan , pengusahaan tanaman kayu (pasal 30, 31). Namun begitu semua bentuk pemanfaatan sumber daya hutan itu harus tetap memperhatikan fungsi lindung dan tutupan tajuk hutan tersebut. Oleh karena kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat adalah milik negara, maka tidak semua hasil pemanfaatan hutan itu diberikan kepada masyarakat penggarap. Bagi hasil dari pemanfaatan hutan ini didasarkan pada kontribusi masing-masing pihak dalam proses produksi. Proporsi yang sampai saat ini berkembang adalah 50:50 sampai 80:20, 80 persen untuk masyarakat penggarap dan 20 persen untuk pemerintah.
242
Bagian dari pemerintah ini dibagi lagi untuk pemerintah kabupaten dan pemerintah desa. Pemerintah juga masih mendapatkan provisi sumber daya hutan (PSDH) dari hasil hutan kayu yang diperdagangkan yang diperoleh dari PSDHBM. Sebagian dari PSDH ini selanjutnya menjadi pendapatan asli daerah (pasal 33). Pemerintah dalam perda PSDHBM lebih berfungsi sebagai fasilitator. Dengan demikian lebih berfungsi sebagai mitra yang membantu masyarakat dalam penyelenggaraan PSDHBM. Fasilitasi pemerintah dimulai dari proses pengajuan ijin sampai dengan pengelolaan hutan itu sendiri. Dalam proses pengajuan ijin, pemerintah wajib memfasilitasi penyiapan kelompok masyarakat yang akan mengajukan ijin bersama dengan LSM pendamping (pasal 12) yaitu dalam kegiatan pemetaan partisipatif. Selain itu, pasal 20 juga ditegaskan bahwa dalam pengelolaan PSDHBM masyarakat juga berhak meminta fasilitasi pemerintah dalam rangka pengembangan kelembagaan, permodalan, sumber daya manusia, jaringan mitra kerja dan atau pengembangan pemasaran dan usaha. Sayang sekali perda revolusioner ini sudah dimentahkan oleh Mendagri melalui Kepmendagri No. 9 Tahun 2005. Alasan pembatalan Perda Wonosobo ini adalah karena dianggap bertentangan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 dan Pasal 2 ayat 3) angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan, bukan Bupati. Kini masyarakat petani hutan Wonosobo tengah melakukan gugatan “judical review” kepada Mahamakah Agung yang sampai sekarang belum ada keputusan. 4.2 Perda Kutai Barat Sengaja perda Kutai Barat saya pilih sebagai kasus tentang perda perhutanan sosial yang memberikan akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang miskin. Perda ini barangkali lebih bersifat pengaturan terhadap praktek pengelolaan hutan rakyat yang sudah dilakukan oleh masyarakat Kutai Barat selama ratusan tahun. Dalam bagian menimbang dijelaskan penetapan perda Kutai Barat ini dipandang perlu dengan melihat bahwa hutan rakyat merupakan salah satu pendapatan bagi masyarakat, maka kebijakan tentang pengelolaannya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkualitas dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestariannya. Terdapat tiga hal utama yang diatur dalam perda yang berisi XI bab dan 12 pasal ini, yaitu 1. keberadaan hutan rakyat, 2. pengelolaan hutan rakyat, 3. pembinaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat. Pengakuan negara terhadap hak dan bentuk pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat terlihat jelas dalam pasal 2. Hutan rakyat yang dimaksud dalam perda ini adalah hutan yang dibudidayakan berupa hutan tanaman dan dapat berupa
243
hutan yang tumbuh secara alami di atas tanah yang dibebani hak milik dan atau hak lainnya. Hak milik itu dibuktikan dengan sertifikat tanah dari instansi yang berwenang. Sementara yang dimaksud dengan hak lainnya mencakup hak guna usaha, hak guna bangunan, dan atau di tanah garapan yang keberadaan hutan rakyat dan kepemilikannya diakui oleh warga setempat dan oleh aparat desa dan camat. Sebagaimana diungkap dimuka, hutan rakyat dapat kita kategorikan sebagai praktek perhutanan sosial dalam jenis pertanian hutan (Awang, 2005; Wiersum, 1984) dengan 3 ciri: 1. pengelolaan hutan pada lahan milik petani sebagaimana tercantum dalam pasal 2, 2. pelaksanaan dan pengelolaan hutan oleh petani. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ”pengelolaan hutan rakyat yang telah ada dilaksanakan oleh penduduk setempat, tetap diperhatikan dalam rangka kelestarian dan peningkatan produktifitas hasil hutan”. 3. instansi kehutanan tidak ambil bagian dalam pengelolaan hutan. Dalam perda Kutai Barat ini peran pemerintah dijelaskan dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan wajib untuk memfasilitasi pengelolaan hutan rakyat yang biayanya dibebankan pada APBD Kabupaten Kutai Barat. Pengelolaan hutan rakyat itu mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan. Khusus untuk pemanfaatan, masyarakat berhak untuk mengambil semua manfaat dari hutan yang ada di lahan garapan milik mereka baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk diperdagangkan. (pasal 5) dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi dan aspek kelestarian. Namun demikian, masyarakat tetap diwajibkan mengantongi ijin pemungutan kayu hutan rakyat (IPKHR) dari Bupati dan atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu terhadap hasil hutan yang mereka pungut dikenakan pungutan iuran kehutanan untuk hutan rakyat yang berasal dari hutan tanaman dan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) untuk hutan rakyat yang berasal dari hutan alami. Dengan melihat perda Kutai Barat ini sepertinya memang isinya lebih banyak memperkuat peran dan posisi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan rakyat. Peran dan posisi pemerintah sangat terlihat jelas dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai dan atau Cabang Kehutanan setempat. Sementara upaya untuk melakukan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat tidak begitu tampak. Justru aroma yang sangat kuat dari perda ini adalah dalam rangka peningkatan PAD melalui berbagai pungutan yang dikenakan pada masyarakat dalam mengelola hutan rakyat. Setidaknya ada 5 pungutan dari pengelolaan hutan rakyat, yaitu IPKHR, DR, PSDH, dan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Dalam rangka
244
memastikan pemasukan PAD ini, setiap pemilik hutan rakyat diwajibkan melaporkan realisasi produksi kayu setiap bulannya kepada Dinas Kehutanan. Berbagai bentuk pungutan dan pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan hutan rakyat sebenarnya tidak menjadi masalah dalam konteks melakukan pengendalian hutan agar fungsi pokoknya tidak berubah. Mungkin saja The tragedy of the commons11 bisa terjadi kalau pemanfaatan hutan rakyat tidak memperhatikan aspek kelestarian. Namun argumentasi ini justru semakin memperjelas bahwa pandangan pemerintah terhadap masyarakat belum banyak berubah; bahwa rakyat tidak mampu mengelola hutan dan hanya merusak hutan. Semestinya perda hutan rakyat di Kutai Barat lebih diorientasikan bagaimana melakukan pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola hutan secara lestari dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. 4.3 Perda NTB Perda NTB memiliki dua spesifikasi yaitu pertama perda ini merupakan perda propinsi sehingga jangkaun dari perda ini mencakup semua kabupaten dan kota yang ada di NTB. Kedua, perda ini secara eksplisit menggunakan istilah Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang merupakan bentuk dari perhutanan sosial di kawasan hutan negara. Istilah HKm diintroduksi pertama kali oleh negara dalam SK Menhut No.622/1995 yang awalnya lebih memfokuskan pada keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam rehabilitasi lahan hutan rusak di hutan produksi serta hutan konservasi dan dalam penanaman kayu campuran serta jenisjenis pohon multiguna. SK ini membatasi hak masyarakat hanya atas produk hutan non kayu, mereka tidak punya suara dalam pengelolaan hutan secara keseluruhan dan tidak punya hak untuk memungut kayu. Setelah mendapatkan banyak kritik, terutama menyesuaikan perubahan kebijakan pasca reformasi, SK 622 direvisi menjadi SK No 677/1998. Dalam Sk baru ini untuk pertamakalinya masyarakat diberi hak untuk mengambil manfaat di seluruh kawasan hutan yang tidak dibebani hak konsesi kayu jangka panjang. Untuk mendapatkan hak pemanfaatan dalam jangka panjang masyarakat harus terlebih dahulu membentuk koperasi. Sayangnya dalam SK ini, belum ada keikhlasan dari negara untuk memberikan ”hak pengelolaan” pada masyarakat. Hal ini disebabkan masih kuatnya pandangan keliru di kalangan birokrat kehutanan bahwa penyerahan ”hak kelola” berarti melepaskan kendali atas hutan. Baru pada revisi terakhir yaitu SK No. 31/2001, negara memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam HKm. Perda NTB sangat tegas telah memberikan ”hak kelola” kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan HKm, bukan hanya ”hak mengambil manfaat”, kepada masyarakat. 11 The tragedy of the commons adalah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena hancurnya dan
punahnya sumber daya publik akibat pemanfaatan oleh manusia yang tidak terkendali. Istilah ini sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh William Forster Lloyd pada tahun 1833 dalam buku “On Population”dan dipopulerkan oleh Garrett Hardin dalam artikelnya di majalah Science 162, 12431248 (1968).
245
Sebelum perda ini lahir, pengelolaan hutan dengan sistem HKm justru telah menyebabkan meningkatnya deforestasi di NTB.12 Apalagi saat itu, daerah sedang merayakan ”masa otonomi daerah”. Otonomi daerah ditafsirkan sesuai selera masing-masing daerah. Daerah diberikan wewenang untuk membuka lahan hutan kemasyarakatan (skala kecil 100 hektar) dan izin pengambilan kayu kebun (IPK). Maka izin pun bertaburan. IPK lalu menjadi alasan untuk menebang kayu hutan. Akibatnya, hutan semakin cepat gundul. Contohnya di Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Dari izin itu Pemkab Dompu memungut retribusi Rp 50.000 per meter kubik untuk pendapatan asli daerah. Selama empat tahun Pemkab Dompu mendapatkan Rp 500 juta-Rp 600 juta. Akibatnya, pada 3 Februari 2005 terjadi banjir yang menghancurkan infrastruktur irigasi. Puluhan rumah hanyut, sekolah, dan rumah sakit tertimbun lumpur. Kerugian diduga mencapai miliaran rupiahtidak sebanding dengan hasil retribusi dari IPK (Kompas, 18/5/2005). Perda NTB terdiri dari XI bab dan 33 pasal. Ada lima hal utama yang diatur dalam perda ini, yaitu: 1. penetapan wilayah pengelolaan, 2. penyiapan masyarakat, 3. perijinan, 4. pengelolaan hutan, 5. pembinaan dan pengendalian. Rekoginisi negara atas hak kelola masyarakat dilegalkan dalam bentuk pemberian ijin kegiatan HKm kepada kelompok masyarakat (pasal 9). Ijin kegiatan HKm yang dimaksud di sini adalah ijin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota kepada masyarakat setempat untuk mengelola HKm.13 Sedangkan penetapan wilayah pengelolaan HKm ada pada Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri.14 Oleh karena masyarakat memiliki hak kelola dalam kegiatan HKm, maka masyarakat menjadi pemain utama dalam pengelolaan HKm. Pengelola HKm itu mencakup penataan kawasan, perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan pemeliharaan hutan dan perlindungan hutan. Dalam pemanfaatan hutan, masyarakat berhak mengambil produksi hasil hutan kayu dan non-kayu, mengambil manfaat air permukaan dan air tanah, pengusahaan jasa wisata alam dan penangkaran flora dan fauna yang tidak dilindungi, dan mengambil hasil tumpangsari (pasal 14). Namun demikian semua hasil di atas tidak sepenuhnya milik masyarakat. Ada pembagian hasil antara masyarakat yang memegang ijin kegiatan HKm dengan pemerintah. Dalam perda ini tidak dijelaskan secara spesifik berapa proporsi bagi hasilnya. Pasal 23 hanya menyatakan bahwa pembagian hasil didasarkan pada kesepakatan antara pemegang ijin kegiatan HKm dengan pemberi ijin kegiatan HKm yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerja sebagai lampiran dari surat keputusan pemberian ijin HKm. 12 Degradasi hutan di NTB telah melahirkan lahan kritis, dari 250.000 ha tahun 1998, meluas jadi
350.000 ha tahun 2002: 100 ha di kawasan hutan dan 250.000 di luar kawasan hutan. 13 Bandingkan dengan SK 31/2001 yang hanya memberikan kewenangan izin kegiatan HKm kepada Bupati/Walikota, tidak kepada Gubernur. 14 Dalam SK 31/2001 yang berhak menetapkan adalah Menteri, sedangan dalam perda ini ditetapkan Gubernur dan dikukuhkan oleh Menteri
246
Sementara untuk bagian pemerintah secara eksplisit sudah diatur yang dibagi masing-masing menjadi bagian pemerintah propinsi 20%; pemerintah kabupaten/ kota 45%; dan bagian pemerintah desa 35%. Disamping dari bagi hasil, pemerintah juga mendapatkan hasil dari retribusi dan atau iuran dari layanan perijinan, pengesahan rencana dan tata usaha hasil hutan, PSDH dan DR. Semua penerimaan ini masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Dalam penyelenggaraan HKm, pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat untuk mempersiapkan kelembagaan, pelayanan perijinan, pelayanan tata usaha hasil hutan, penyuluhan, bimbingan dan pengendalian teknis, pengawasan dan evaluasi terhadap pemegang ijin kegiatan HKm (pasal 24, ayat 2). Sementara pemerintah propinsi lebih pada pengembangan dan kajian teknologi, kebijakan, pengendalian perijinan, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan HKm.
5. Kesimpulan Dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan
Dari analisis tiga perda di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ketiga perda, yaitu perda Wonosobo, perda Kutai Barat dan perda NTB merupakan perda perhutanan sosial karena di dalamnya mengakomodasi keragaman bentuk dan model praktek perhutanan sosial. Bentuk perhutanan sosial yang diakomodasi dalam perda Wonosobo dan perda NTB masuk dalam kategori model kehutanan masyarakat yang bercirikan pengelolaan hutan oleh masyarakat di kawasan hutan negara yang dilakukan secara komunal atau bersama-sama. Sedangkan perda Kutai Barat masuk dalam kategori model pertanian hutan yang bercirikan pengelolaan hutan di lahan milik oleh masyarakat 2. Peluang akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan yang miskin yang diatur dalam perda Kutai Barat tidak menjadi persoalan, karena kawasan hutan yang diatur di sini adalah lahan milik. Perda ini lebih bersifat mempertegas dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat agar tetap lestari. Maka dari itu perlu ada kebijakan IPHKR dan pelaporan hasil produksi tahunan kepada pemerintah. Ada kesan kuat perda ini lebih diorientasikan untuk meningkatkan PAD Kutai Barat daripada memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan rakyat. 3. Perda Wonosobo meskipun sudah dibatalkan oleh Mendagri merupakan satusatunya perda yang paling revolusioner dalam konteks perhutanan sosial yang memberikan akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Di dalamnya bukan hanya mengandung muatan pengakuan akses dan pemberian hak kelola kepada masyarakat, namun juga kental dengan semangat partisipasi publik dalam setiap tahapan penyelenggaraan PSDHBM. 4. Sementara perda NTB lebih merupakan petunjuk teknis dari program HKm yang dintroduksi oleh pusat. Semangat penyerahan hak kelola kepada
247
masyarakat sudah ada, namun sayangnya tidak diimbangi dengan fasilitasi penguatan kelembagaan lokal secara eksplisit. Hampir mirip dengan perda Kutai Barat, perda ini juga kuat dengan orientasi peningkatan PAD melalui serangkaian iuran, retribusi yang dibebankan kepada masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan HKm. 5.2 Rekomendasi 1. Semangat dan inisiatif daerah untuk mereproduksi kebijakan yang diorientasikan bagi peneguhan akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan perlu diapresiasi. Bahkan sudah semestinya inisiatifinisitaif seperti ini dapat menjadi sebuah gerakan masif sehingga semua pemerintah daerah dapat mengadopsi dan mengembangkannya sesuai dengan kondisi sosial, politik dan budaya masing-masing daerah 2. Keinginan untuk meningkatkan PAD melalui kebijakan berbagai retribusi, iuran yang diakomodasi dalam perda-perda perhutanan sosial semestinya diimbangi dengan penguatan kelembagaan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan. Dan perlu ada upaya lain juga untuk memastikan bahwa PAD yang meningkat itu dibelanjakan untuk peningkatan kualitas layanan publik, terutama kelompok miskin 3. Untuk mengantisipasi terjadinya cerita sukses di Wonosobo yang tertunda dengan dibatalkannya perda Wonosobo, maka sebaiknya dalam penyusunan kebijakan daerah di bidang kehutanan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundangan di atasnya. Ini juga sekaligus menjadi perhatian pemerintah pusat agar konsisten dalam mengeluarkan berbagai kebijakan sehingga tidak saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Aspirasi masyarakat dan daerah jangan sampai tersumbat oleh ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan kebijakan yang diproduksi oleh pusat.
248
Daftar Pustaka Adi, N. Juni dkk. 2005. Hutan Wonosobo: Keberpihakan Yang Tersendat, Jawa Tengah Indonesia. Yogyakarta: BP Arupa Anonim. 2002. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestri Di Era Desentralisasi: Intisari Lokakarya Nasional Sosial Forestri Cimacan, 10 – 12 September 2002. Bogor: CIFOR Awang, San Afri. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Christanty, Linda. 2004. Decentralization and the Forestry Sector: Opportunities and Challenges. The CSIS Working Paper Series. Jakarta: CSIS Fuadi, Firman dan Rahman, Zain Noor (Peny). 2004. Desentralisasi versus Deforestasi: Proseding Semiloka Pengelolaan HKm di Gunung Kidul dan Konsultasi Publik Raperda Tentang Pengelolaan HKm. Yogyakarta: KP HKm Kompas, Jumat, 16 Agustus 2002. Hutan Dikuras, “Mangkok” Dibelah _______, Rabu, 18 Mei 2005 Otda NTB, Aplikasi Sesuai “Selera” Peluso,Nancy Lee. 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, Berkeley: University of California Press Resosudarmo, Ida A.P. dan Colfer, Carol J.P (peny). 2003. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Raharjo, Diah Y dan Ujjwal Pradhan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat : Wacana Atau Pilihan? Dalam Sekapur Sirih Studi Kolaboratif FKKM: Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Kehutanan Masyarakat Ribot, Jesse C. dan Nancy Lee Peluso,. 2003. A Theory of Access, Rural Sociaology volume 68, Issue 2, 2003 Simon, Hasanu. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika Peraturan Perundangan Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
249
_______.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan _______. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat _______. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom _______. 2000. TAP MPR No. III/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan _______. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo _______. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/Kpts-Ii/2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan _______. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2002 tentang Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan _______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-Ii/2004 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry _______. 2004. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Provinsi Nusa Tenggara Barat _______. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah _______. 2005. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo
250
5. Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan Kesehatan (Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Perempuan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta)
1. Pendahuluan Filosofi keberadaan negara salah satunya adalah menjalankan fungsi sebagai agen pelayan publik (public services). Negara atau pemerintah (dalam arti government), secara tradisional melalui sistem birokrasi adalah pemegang monopoli atas pelayanan publik. Fakta menunjukkan, pemerintah sebagai pemegang monopoli hingga saat ini belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bahkan pada tingkat paling dasar; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pemukiman dan ekonomi. Kasus gizi buruk, kelumpuhan akibat folio, penyakit demam berdarah, busung lapar, kematian ibu melahirkan dan beberapa kasus lainnya merupakan bukti bahwa pemerintah atau negara belum mampu menjalankan fungsi layanan kebutuhan dasar masyarakatnya. Dalam banyak kasus tersebut, kelompok marginal seperti perempuan dan anak adalah korban terbesar dari kasus-kasus kesehatan, terutama perempuan dan anak dari keluarga miskin baik di desa maupun kota. Padahal dalam konstitusi telah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada kelompokkelompok marginal seperti perempuan dan anak serta masyarkat miskin. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, saat ini angka kematian ibu melahirkan sebesar 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Keadaan anak-anak di Indonesia juga tidak lebih baik, karena kurang terjaminnya gizi sejak dalam kandungan, 1,7 juta dari sepuluh juta balita di Indonesia menderita gizi buruk. Dari jumlah tersebut, 170.000 jiwa berada dalam tingkat parah dan terancam kematian. Keadaan yang demikian mengundang sebuah pertanyaan; bagaimana sesungguhnya pemerintah sebagai pelayanan masyarakat mengelola pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak? Salah satu persoalan pengelolaan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memberikan layanan pada masyarakat adalah rendahnya sumber daya keuangan pemerintah. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan lebih kecil dari riil kebutuhan masyarakat. Ditambah persoalan dimana dana yang kecil tersebut diperebutkan oleh masing-masing sektor selain sektor kesehatan. Dengan minimnya dana, bagaimana pemerintah penyusun anggaran layanan kesehatan agar mampu memenuhi kebutuhan perempuan dan anak semaksimal mungkin? Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2003. Dalam, Wasingatu Zakiyah ”Sehat Tak Tergapai”. Diterbitkan oleh IDEA Yogyakarta tahun 2005,.
hal. 10
251
2. Governance, Penganggaran Kinerja dan Anggaran Berbasis Gender untuk Sektor Kesehatan Negara atau pemerintah adalah pemegang monopoli fungsi pelayanan pada masyarakat. Melalui birokrasinya, pemerintah menjalankan fungsi tersebut. Namun hingga saat ini, banyak persoalan-persoalan muncul justru karena watak pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi. Sifatnya yang hierarkis, kaku, stabil dan sentralistik justru menyulitkan mereka dalam melakukan pelayanan pada masyarakat dan menyesuaikan diri dengan perubahan (Kaufmann, 1977). Birokrasi juga memiliki watak yang massif dan ineffisien dalam pengelolaan sumber (Pratikno, 2005). Sementara itu, dengan berkembanganya persoalan yang ada dalam masyarakat seperti adanya proses pemiskinan secara srtuktural, peran birokrasi dituntut dapat mengatasi dampak dari persoalan tersebut. Salah satu fungsi birokrasi dalam melakukan pelayanan adalah fungsi pengelolaan anggaran dimana birokrasi dituntut dapat mempertemukan antara apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dengan besaran dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Fungsi ini adalah fungsi kunci yang diemban birokrasi karena fungsi inilah yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pemerintahan dan menentukan legitimasi pemerintahan dihadapan rakyatnya. Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, saat ini birokrasi sedang mengembangkan sistem anggaran berbasis kinerja dengan prinsip-prinsip visioner, berwawasan kedepan; responsif, sesuai dengan keadaan; berorientasi pada outcomes dan output; indikator kinerja yang jelas; efisiensi, dengan input anggaran minimum dapat melakukan output maksimum; mendukung efektivitas, dengan income minimum dapat memberikan outcomes maksimum; dan mendukung akuntabilitas, dapat digunakan stakeholder untuk melakukan monitoring dan pengawasan. Semua prinsip-prinsip ini ditekankan pada pencapaian maksimalisasi pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan kesempatan kerja (Pratikno, 2005). Catatan penting dalam proses penyusunan kebijakan anggaran dan proses pengelolaannya adalah dengan menggunakan perspektif anggaran berbasis gender yang tercermin dengan adanya; pertama, anggaran yang spesifik dialokasinya untuk perempuan; kedua, akses yang sama antara laki-laki dan perempuan atas anggaran untuk pegawai; ketiga, memikirkan dampak alokasi dan program anggaran terhadap perempuan (Debbie Budlender, 1998). Sebagai sintesis dari kedua hal tersebut, dalam pengelolaan kebijakan anggaran, harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut; pertama, pemikiran visioner dengan menempatkan perempuan sebagai aset yang melahirkan generasi penerus bangsa; kedua, kebijakan anggaran harus mencerminta apa yang saat ini dibutuhkan oleh perempuan dan anak; ketiga, efisien untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan anak, dimana dengan alokasi yang minim dapat memenuhi kebutuhan perempuan dan anak secara maksimal; keempat, kemanfaatan dan dampak dari kebijakan anggaran harus memperhitungkan keberadaaan dan keberlangsungan
252
hidup perempuan dan anak-anak; kelima, perempuan dapat ikut melakukan pengawasan dan monitoring atas kebijakan anggaran; keenam, indikator-indikator yang diterapkan dalam penyusunan anggaran dan evaluasinya harus memasukkan keberadaan perempuan dan anak. Dalam kerangka alokasi anggaran untuk kesehatan perempuan dan anak pemerintah harus menampatkan perempuan dan anak sebagai aset kesehatan bangsa yang harus diperhatikan kondisinya baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Paradigma ‘Perempuan dan Anak Sehat’ harus selalu menjadi dasar penetapan kebijakan kesehatan. Karena perempuan memegang peran penting dalam fungsi reproduksinya sebagai yang melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Kesehatan anak, sangat tergantung dari kesehatan ibunya sejak dari sebelum di lahir hingga beranjak dewasa. Selain itu, hampir sepanjang hidupnya perempuan berada dalam kondisi rawan kesehatan karena proses reproduksi yang diembannya. Pada intinya perempuan dan anak yang sehat adalah modal bangsa dan negara. Untuk memenuhi hak perempuan dan anak dalam berbagai sektor, terutama sektor kesehatan, perjuangan keadilan serta kesetaraan gender terus disuarakan dan diperjuangkan oleh berbagai pihak. Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan aturan tentang Pengarusutamaan Gender dalam Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No 132 tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta dalam keputusan Menteri Dalam Negeri No.109 Tahun 2000. Dalam Kepmendagri no.109 tahun 2000 tersebut, BAB 111 pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa:
“Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing masing Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang kurangnya minimal sebesar 5 % (lima persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota.” Artinya kebutuhan perempuan harus mendapatkan alokasi anggaran berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jika tidak, maka pemerintah dipandang tidak mampu memberikan layanan pada perempuan di negara ini.
3. Kondisi Perempuan Pedesaan di Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul, terletak di bagian selatan Propinsi DIY, dengan jarak sekitar 15 km dari Kota Yogyakarta. Kecamatan di Bantul berjumlah 17, serta terdiri dari 75 desa. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2004, laki-laki sebanyak 390.534 jiwa (49%), dan jumlah penduduk perempuan 406.329 jiwa (51%). Sementara itu, jika melihat jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bantul pada tahun 2004 adalah sebanyak 100.997 orang atau sebanyak 29.306 KK dari jumlah penduduk sebanyak 796.821 orang. Kondisi tersebut, mendorong perempuan di Bantul untuk membantu ekonomi keluarga demi memenuhi kebutuhan rumah
253
tangga. Hampir di banyak negara dan berbagai strata sosial, perempuan mengontrol lebih sedikit aset produktif dibanding laki-laki, meskipun perempuan sebenarnya menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar keluarga (Jacobson, 1989). Fenomena di Bantul, pada musim panen terlihat ibu-ibu atau perempuan desa beramai ramai dereb3 di sawah. Di saat musim tanam atau tandur, perempuan desa juga bersamasama menanam padi. Di sisi lain, bakul-bakul di pasar juga perempuan, di mana mereka berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Fenomena yang cukup unik, pagi jam 8.00 berbondong-bondong perempuan Bantul mengayuh sepeda dengan ceria menuju kota bekerja sebagai buruh pabrik atau sektor informal lain. Menjelang sore hari sekitar pukul 4 sore, fenomena “bersepeda” juga menjadi ciri kehidupan sehari-hari masyarakat terutama perempuan Bantul. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan menghasilkan 40-100% kebutuhan dasar keluarga. Peran double burden (domestic dan public) lekat pada perempuan. Sesampainya di rumah, perempuan harus menjalankan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan suami sampai menjelang tidur. Hal yang sering dilupakan masyarakat adalah bahwa perempuan juga mememiliki peran ketiga, yaitu peran reproduktif. Sejak lahir, perempuan memiliki kodrat untuk menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Fungsi tersebut tak tergantikan, dan fungsi vital akan berpengaruh pada kehidupan perempuan. Sudah rahasia umum bahwa perempuan menempati posisi kelas dua, marginal, tersubordinat, dan minim terhadap akses sumber daya. Kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan dan gizi keluarga terutama perempuan dan anak. Bantul, dengan wilayah yang hampir semuanya pedesaan dan jumlah penduduk perempuan lebih dari separuh, menyimpan banyak persoalan kondisi kesehatan perempuan dan anak. Indikator kesehatan secara umum adalah angka kematian ibu melahirkan (maternal mortality rate), usia harapan hidup, dan angka kematian bayi (infant mortality rate). Tahun 2000, Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) tercatat 126/100.000 kelahiran hidup dan di tahun 2004 adalah 97/100.000 kelahiran hidup. Sementara angka kesakitan ibu sebesar 0,34/1.000 penduduk. Angka kematian bayi (AKB) di tahun 2000 sebesar 10,2/1.000 kelahiran hidup dan di tahun 2004 adalah 9,87/1.000 kelahiran hidup. Untuk usia harapan hidup di tahun 2000 adalah 70 tahun untuk pria dan 72 tahun untuk wanita, sementara pada di 2004 mencapai 70 tahun untuk pria dan 70 tahun untuk wanita. Kondisi kesehatan balitanya juga bermasalah, kasus kekurangan gizi balita (KEP atau Kekurangan Energi Protein) adalah 23,42% di tahun 2000 dan 13,90% di tahun 2004 dengan konsentrasi terbesar di wilayah kecamatan Dlingo, Bantul, Kasihan, Sewon, Banguntapan, sedangkan konsentrasi gizi buruk Balita di wilayah Dlingo dan Sewon. Angka kesakitan diare di tahun 2000 mencapai 15,25/1.000 penduduk dan di tahun 2004 mencapai 15,10/1.000 penduduk. (lihat Gambar). 3 dereb: istilah dalam bahasa Jawa ketika sedang memanen padi
254
Gambar 1 : Status Gizi Balita
S tatus G izi B alita 450
BURUK KEP
400 350 300 250 200
Jumlah 150 100 50 0 Srand Sanden Kretek Bantul PundongBblipuro Pandak
Jetis
Imogiri Dlingo
Pleret Pyngan Bgtapan Sewon Kasihan Pjngan Sedayu
K ec amatan
Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Bantul, menempati posisi terendah Di Bantul, terdapat puskesmas sebanyak 26 unit, RSUD 1 unit, dan 2 unit umah sakit jiwa swasta. Dalam rangka menuju Bantul Sehat 2005, pemerintah Kabupaten Bantul berusaha mewujudkan 17 puskesmas berfasilitas rawat inap, 6 puskesmas unggulan/spesialis, serta rumah sakit umum menjadi rumah sakit mandiri. Melihat data kesehatan diatas, berdasarkan analisis rasio ketersediaan sarana prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk terlihat bahwa satu rumah sakit digunakan untuk melayani 265.607 jiwa. Sedangkan untuk layanan Puskesmas, satu puskesmas untuk melayani sekitar 200.000 lebih jiwa. Fakta-fakta yang ada di Bantul tersebut menuntut upaya serius terutama Pemerintah daerah, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pemenuhan hak dasar masyarakat, terutama di bidang kesehatan. Angka kematian ibu melahirkan yang relatif tinggi, balita gizi buruk serta angka KEP yang juga tinggi, menjadi persoalan yang harus segera dipecahkan. Komitmen pemerintah daerah kabupaten Bantul terhadap persoalan kesehatan tersebut dapat dilihat dalam kebijakan anggaran. Anggaran adalah sebagai wujud nyata tanggungjawab pemerintah terhadap rakyatnya dalam rangka pemenuhan hak dasar masyarakat. Untuk melihat sejauh mana komitmen pemerintah tentang kebijakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar kesehatan, perlu ditelaah dan dianalisis kecenderungan APBD Kabupaten Bantul. Perlu dilihat apa saja sumbersumber pendapatan pemerintah untuk membiayai kegiatan setiap tahun.
255
Tabel 1. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul tahun 2004-2006 Tahun
Rangking I
Rangking II
Rangking III
2004
Retribusi. Kesehatan (Rp.10,3 Milyar)
PPJU (Pajak Penerangan Jalan Umum) (Rp.6,1 Milyar)
Rekreasi (Rp.2,71 Milyar)
2005
Retribusi. Kesehatan (Rp.11,156 Milyar)
PPJU (Pajak Penerangan Jalan Umum) (Rp.6,35 Milyar)
Rekreasi (Rp.2,46 Milyar)
2006*
Retribusi. Kesehatan (Rp.15,68 Milyar)
PPJU (Pajak Penerangan Jalan Umum) (Rp.8 Milyar)
Rekreasi (Rp.2,625 Milyar)
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005 *Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006
Data pada tabel 1 menunjukkkan jika retribusi kesehatan menjadi penyumbang pendapatan tertinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bantul. Hal tersebut mengindikasikan bahwa orang sakit atau orang menggunakan jasa pelayanan kesehatan justru berkontribusi terhadap pendapatan, dan akhirnya pemerintah daerah pun berlomba-lomba untuk menaikkan retribusi kesehatan demi meningkatkan pendapatan asli daerah. Di sisi yang lain, rata-rata pengguna layanan kesehatan di Kabupaten Bantul adalah perempuan (ibu hamil, lansia), serta balita yang sakit dimana mayoritas mereka adalah masyarakat miskin. Seharusnya, pendapatan yang diperoleh dari masyrakat tersebut juga dialokasikan untuk masyarakat kembali. Ironisnya, kesehatan sebagai sebuah hak dasar yang wajib dipenuhi oleh pemerintah hanya mendapatkan porsi yang sedikit.
Tabel 2. Alokasi anggaran kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2004-2006 Tahun
Total Anggaran Kesehatan (Rp)
Rasio thd.total APBD (%)
2004
11.282.020.700
2,9
2005
26.779.071.600
6,3
2006*
33.371.457.400
6
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2004 dan 2005 *Sumber: Dokumen RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2006
256
Adanya fakta di atas, menunjukkan bahwa pemerintah Bantul, khususnya dinas kesehatan tidak cukup tergugah pikirannnya untuk menyusun alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Bahkan dalam tiga tahun ini, alokasi anggaran kesehatan untuk perempuan dan anak terus menurun seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 : Anggaran Kesehatan untuk Perempuan dan Anak A n g g a r a n k e s e h a ta n u n tu k p e r e m p u a n d a n a n a k d a l a m A P BD b a n tu l 2 0 0 4 - 2 0 0 6
800.000.000,00
706.700.000,00 581.630.000,00
600.000.000,00 400.000.000,00
165.520.000,00
200.000.000,00 2004
2005
2006
Sebaliknya, untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menyentuh kepentingan hak dasar kesehatan masyarakat, Pemkab Bantul mengalokasikan anggaran yang sangat besar. Tahun 2004 dan 2005, Pemkab Bantul memiliki proyek mercusuar pembangunan GOR (gedung olahraga) yang menelan biaya Rp.11 milyar lebih. Sementara itu, untuk kegiatan PERSIBA (Persatuan Sepakbola Bantul), menelan biaya Rp.4,5 milyar tahun 2005, serta Rp.6,5 milyar pada tahun 2006. Dampak dari minimnya alokasi kesehatan untuk perempuan dan anak serta pengelolaan dana yang tidak matching dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah; pertama penurunan derajat kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dalam jangka panjang; kedua, ancaman matinya pos-pos layanan kesehatan dasar masyarakat seperti Puskesmas Pembantu dan Posyandu; ketiga, dengan adanya bisnis kesehatan pada masa sekarang menyebabkan masyarakat miskin, terutama perempuan miskin tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik, karena perempuan selama ini selalu menduduki posisi second line dalam rumah tangga. Banyak agenda pemerintah Bantul yang harus segera dikerjakan dan diselesaikan berkaitan dengan layanan kesehatan pada perempuan dan anak. Namum, semua tak luput dari dilema dan keterbatasan yang juga menjadi persoalan bagi pemerintah Bantul. Pertama, ketersediaan dana yang minim dan adanya praktek politik untuk memperebutkan anggaran, membuat kue (dana) untuk kesehatan lebih sedikit dari kebutuhan. Kedua, adanya paradigma berfikir lama dalam menyusunan anggaran kinerja, dimana anggaran yang berbasis kinerja masih disusun dengan pola lama yang menempatkan alokasi anggaran untuk aparatur dalam porsi yang besar. Ketiga, anggaran kesehatan masih disusun dengan paradigma upaya kuratif, belum pada aspek promotif dan preventif. Keempat, ketidaksesuaian antara kebutuhan layanan kesehatan perempuan dan anak dengan alokasi anggaran menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan riil
257
perempuan dan anak. Kelima, selama ini kelompok perempuan tidak memiliki akses atas proses kebijakan anggaran, sehingga perempuan tak dapat memberi kontribusi informasi atas persoalan yang dihadapi perempuan dan anak. Keenam, hingga kini, pemerintah belum memberi ruang partisipasi perempuan dalam proses anggaran. Kalau pun ada belum mampu mewakili kelompok perempuan dan kebutuhan mereka. Bahkan keberadaan kelompok perempuan, seperti PKK hanya sekedar formalitas mekanisme pengambilan keputusan.
5. Kesimpulan Beragamnya persoalan kesehatan perempuan, lansia dan anak menuntut upaya sistematis dan komprehensif. Kabupaten Bantul, masih belum memiliki upaya serius untuk mengatasi persoalan perempuan dan kesehatan di Bantul. Alokasi anggaran untuk kesehatan yang minim, apalagi kesehatan perempuan dan anak, adalah tolak ukur kurangnya perhatian pemerintah kabupaten Bantul terhadap persoalan kesehatan dan perempuan. Saatnya perempuan merebut hak atas anggaran melalui upaya advokasi anggaran kesehatan. Untuk merebut hak tersebut, hal yang harus dilakukan adalah; pertama, perlunya upaya pengorganisasian kelompok-kelompok perempuan terutama perempuan miskin dalam menuntut hak atas anggaran. Kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai warga negara serta kesadaran atas hak politik seperti hak bicara dan mendapatkan kesempatan serta perlakukan adil sangat diperlukan sebagai dasar gerakan perjuangan perempuan. Kedua, penguatan organisasi kelompok perempuan sebagai wadah dan alat perjuangan kepentingan perempuan, seperti kelompok kader posyandu, kelompok tani perempuan dan kelompok yang berdiri atas dasar kepentingan.
Ketiga, adanya jaringan antar kelompok perempuan yang bersama-sama berjuang memperebutkan kepentingan bersama. Keempat, keterlibatan kelompok perempuan atau jaringan dalam pengambilan keputusan, terutama kebijakan penganggaran dalam forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) di tingkat desa, kecamatan, serta kabupaten harus mengikutsertakan perempuan.Kelima, bagi pihak pemerintah, sudah saatnya untuk tidak rezim dan memonopoli kebijakan yang ada. Mengembalikan hak dan kedaulatan rakyat kembali ke tangan rakyat sebagai wujud pemerintahan demokratis harus segera dilakukan. Melibatkan perempuan bukan hanya sekedar formalitas atas kuota pelibatan perempuan, tetapi merupakan upaya sistematis untuk membuat rumusan kebijakan yang memberikan manfaat besar bagi kemajuan masyarakat terutama perempuan. Hal yang harus dilakukan adalah membuat instrumen hukum melalui perda partisipatif yang menjamin keberadaan kelompok perempuan, bukan berdasar formalitas lembaga tetapi berdasar kebutuhan dan kepentingan perempuan. Bukan hanya PKK yang diundang, tetapi juga kelompok perempuan berdasarkan aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Langkah selanjutnya adalah menciptakan indikator-indikator yang menciptakan instrumen kebijakan dengan perspektif gender, sebagai acuan birokrat dalam taraf penyusunan dan pengimplementasian sehingga distorsi atas kebijakan yang maskulin dapat diminimalisir.
258
Bahan bacaan Cornelis Lay, Good Governance dan Pelayanan Publik, , Jurnal Ilmu Pemerintahan Volumen 2 tahun 2006 Dokumen APBD Bantul Tahun 2004 Dokumen APBD Bantul Tahun 2005 Dokumen RAPBD Bantul Tahun 2006 Fatimah, Makalah Perempuan dan Anggaran, IDEA 2005. Jacobson, J., 1997, Kesehatan Wanita: Harga dari Sebuah Kemiskinan, dalam Buku Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global oleh Merge Koblinsky, dkk. (eds.), (terjemahan) Gamapress, Yogyakarta. Pratikno, Anggaran Berbasis Kinerja, Makalah Kuliah Polokda UGM. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2003 Purwo Santoso, Demokrasi dan Pelayanan Public, Makalah Kuliah Polokda UGM Tenti, dkk, Korupsi Telanjang di Mata Perempuan, IDEA, Yogyakarta, 2005 Zakiyah, Sehat tak Tergapai, Menyoal Kesehatan dan Anggaran, IDEA, Yogyakarta, 2004
259
6. Air Berkualitas Baik Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap 1. Pengantar : Air Merupakan Kebutuhan Dasar Setiap Manusia Air merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara Indonesia sehingga jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat akan air menjadi pemikiran penting pada saat penyusunan konstitusi. Dengan gemilang, gagasan ini dituangkan secara tersurat pada Pasal 33 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Meskipun telah empat kali UUD 1945 diamandemen, ketentuan ini tidak mengalami perubahan. Artinya bahwa secara prinsip, siapapun mengakui pentingnya air bagi kehidupan manusia dan keharusan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan air bagi rakyatnya. Pencantuman ketentuan ini, dalam tinjauan ilmu politik, merupakan kontrak sosial antara negara dan rakyat. Pada tingkat global, pemenuhan kebutuhan akan air bagi setiap manusia juga ditegaskan melalui berbagai upaya hukum, diantaranya adalah Deklarasi PBB yang dicetuskan oleh Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada November 2002. Deklarasi ini menyebutkan bahwa akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right) setiap manusia. Bahwa air adalah benda sosial dan budaya, bukan hanya komoditi ekonomi. Berkenaan dengan hal tersebut, Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses terhadap air secara setara tanpa diskriminasi. Walaupun Deklarasi PBB ini tidak menyebut secara eksplisit tentang privatisasi,-guna menghindari konflik terbuka dengan negara maju yang mendukung privatisasi-, namun tetap memiliki makna bahwa penyediaan kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumberdaya yang terbatas serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan, termasuk sumber daya air. Perhatian tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia diikuti dengan perbincangan mengenai berbagai turunan tema tentang air antara lain pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, konservasi sumber air dan sebagainya. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dalam perkembangannya banyak diatur oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Dengan alasan otonomi daerah yang diartikan bahwa daerah berhak mengatur rumah tangganya sendiri, beberapa pemerintah daerah di Indonesia membuat Peraturan daerah yang mengatur persoalan air. Namun, belum ada jaminan bahwa substansi Perda yang (Social Watch Report, 2003).
260
ada mencerminkan karakter lokal daerah yang bersangkutan, mengakomodasi kepentingan rakyat lokal serta dapat memecahkan persoalan air yang nyatanyata dialami rakyatnya. Euforia otonomi daerah dalam pelaksanaannya sering dimaknai sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa lokal. Hal ini tentu tidak sejalan dengan amanat otonomi daerah itu sendiri yang pada awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan. Ironisnya, eksploitasi sumberdaya alam oleh pemerintah daerah itu seringkali dilegitimasi dengan peraturan-peraturan daerah sehingga secara prosedur birokrasi dan hukum terkesan memiliki kekuatan hukum.2 Oleh karena itu, kajian mendalam akan akuntabilitas suatu Perda yang mengatur tentang pengelolaan kualitas air dan pencemaran air merupakan kebutuhan penting yang mendesak untuk dilakukan. Makalah ini merupakan hasil penelitian terhadap akuntabilitas penerapan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap. Disusun sebagai salah satu upaya menjawab kebutuhan akan Perda yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pihak-pihak tertentu semata.
2. Latar belakang Cilacap adalah salah satu dari 35 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak pada 108 4’30”-109 30’30” BT dan 7 30’-7 45’ 20” LS. Luas wilayahnya adalah 225.360.360,840 ha termasuk Pulau Nusakambangan yang memiliki luas 11.510,55 ha3. Batas-batas wilayah kabupaten Cilacap adalah sebagai berikut : - sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen - sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas - sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Kuningan - sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia4 Secara administratif, wilayah Cilacap dibagi menjadi 23 kecamatan, 268 desa dan 15 kelurahan. Jumlah penduduk Cilacap menurut data per Desember adalah 1.707.790 jiwa5. Dibanding kabupaten lain di Jawa Tengah, Cilacap memiliki curah hujan tertinggi yaitu hujan terbesar, yakni rata-rata 3396mm per tahun6. Bentang alam Cilacap terdiri dari daratan, pegunungan dan rawa-rawa. Luas daerah rawarawa mencapai 239,810 ha tersebar di beberapa kecamatan yaitu, Kawunganten, 2 Kasus Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau dapat dijadikan contoh Perda produk
otonomi daerah yang cenderung berpihak pada kepentingan penguasa lokal. Selengkapnya baca: Rully Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap RTRWP Riau 2001-2015, dalam www.walhi.or.id 3 PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan yang Berperspektif Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, halaman: 12. 4 Atlas Indonesia, 2005, PT Intan Pariwara, Klaten, halaman 10. 5 Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cilacap, halaman 206. 6 Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, Semarang, halaman 7.
261
Cilacap Tengah, Nusawungu, Kroya, Adipala, Kesugihan, Gandrungmangu, Bantarsari, Patimuan dan Kedungreja7. Sumber air di sekitar daerah rawa-rawa ini pada umumnya payau, keruh dan lengket sehingga tidak nyaman untuk mandi dan tidak enak untuk diminum atau dimasak . Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi penduduk yang tinggal di daerah tersebut terutama apabila musim kemarau tiba8. Setidaknya ada 44 desa setiap tahun rawan air bersih yang tersebar di kecamatankecamatan tersebut. Keseluruhan warga yang terancam kekurangan air bersih adalah 29.720 kepala keluarga atau 115.869 jiwa9. Persoalan lain terkait dengan air di Cilacap adalah pencemaran air. Persoalan ini tidak lepas dari keberadaan industri-industri besar di Cilacap seperti pelabuhan niaga, PT Pertamina, PT Semen Cibinong, Pemintalan, Perusahaan Tepung Terigu, pengolahan ikan, pengolahan kayu dan industri lain yang membuat kota ini dijuluki kota industri. Limbah industri sangat berpeluang untuk mencemari sumber air yang berada di sekitar tempat pembuangan limbah itu berada. Kasus pencemaran yang pernah terjadi antara lain dilakukan oleh PT Juifa, sebuah industri pengolahan ikan yang terletak di kecamatan Cilacap Selatan pada tahun 200010. Berkenaan dengan persoalan air Bupati Cilacap dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap pada tanggal 1 Agustus 2003 menetapkan Peraturan daerah No 27 tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Perda ini terdiri dari 10 bab dan 36 pasal. Sesuai judulnya, perda ini pada pokoknya mengatur tentang klasifikasi dan kriteria kualitas air, pengendalian pencemaran air, pembuangan air limbah dan retribusinya dilengkapi ketentuan mengenai sanksi administrasi dan ketentuan pidana bagi pelanggarnya. Menurut Perda ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik dan mendapat informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air (Pasal 22). Sebagai sebuah produk hukum Perda mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk lingkup daerah yang diaturnya11 . Artinya bahwa, jika Perda mengatur bahwa air adalah hak setiap orang untuk memanfaatkannya, maka pemerintah daerah yang bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dalam ilmu hukum, apa yang tertera dalam aturan hukum adalah kondisi ideal yang diharapkan atau apa yang semestinya (das solen). Hampir genap tiga tahun Perda tersebut diundangkan. Namun pengamatan dan pengalaman tim penulis yang merupakan warga Cilacap menunjukkan bahwa pada kenyataannya masyarakat Cilacap, khususnya di kecamatan-kecamatan yang jauh dari pusat pemerintahan kabupaten sampai saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kesulitan ini sangat terasa terutama untuk keperluan makan, minum, mencuci 7 Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id. 8 Pada musim hujan penduduk dapat memanfaatkan air hujan yang ditampung di tandon besar untuk
keperluan makan dan minum. 9 Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus 2005 10 Informasi ini diperoleh dari wawancara sambil lalu dengan Rasino, seorang nelayan, pada tanggal 23 Juni 2006 11 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, halaman 58.
262
dan mandi yang adalah kebutuhan utama orang. Di Kecamatan Kawunganten misalnya, ribuan orang dari beberapa desa tidak punya pilihan selain mengkonsumsi air payau keruh untuk kebutuhan sehari-harinya dari sumber air yang tercemar oleh kotoran manusia dan binatang peliharaan. Keadaan serupa dialami warga masyarakat di Desa Cisumur, Gintungreja, dan Sidaurip di Kecamatan Gandrungmangu, serta beberapa desa di Kecamatan Patimuan, Nusawungu, Jeruklegi dan Kampunglaut yang terletak tidak begitu jauh dari pantai. Keadaan yang nyata ini dalam wacana hukum disebut das sein.
3. Permasalahan Kesenjangan antara keadaan yang semestinya (das solen) dengan keadaan yang nyata terjadi (das sein) terkait dengan persoalan air yang dialami warga Cilacap menarik untuk dikaji. Berpijak pada uraian dalam latar belakang, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana akuntabilitas penerapan Perda Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?
4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan di atas, yakni untuk mengetahui dan menguji akuntabilitas penerapan Perda Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap?
5. Metode Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian kepustakaan (library research) didukung penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan yuridis sosiologis, mengkaji aspek hukum ketentuan Perda serta mengkonfirmasikan penerapan perda pada kenyataannya di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Desa Bringkeng dan Bojong Kecamatan Kawunganten, Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu dan Kelurahan Tegal Kamulyan Kecamatan Cilacap Selatan. Alasan pemilihan lokasi di desa Bringkeng dan Bojong karena pengetahuan sementara akan kondisi air di kedua desa tersebut. Pemilihan kelurahan Cilacap Selatan didasari oleh banyaknya industri di dalamnya. Bahan penelitian terdiri dari 3 macam: data primer, sekunder dan tersier. Data primer berupa informasi dari kontak langsung dengan subjek penelitian di lokasi. Studi kepustakaan dilakukan terhadap beberapa peraturan perundangan. Data sekunder berupa data dari dokumen studi kepustakaan. Data tersier diperoleh dari kamus dan internet. Metode pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Informan penelitian adalah masyarakat di Kabupaten Cilacap dan pejabat yang berkompeten dalam persoalan yang dikaji. Pejabat dipilih dari kalangan DKLH (Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup) Pemerintah Kabupaten Cilacap, Pegawai pada PDAM Cilacap. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan pendekatan kualitatif.
263
6. Hasil Penelitian dan Pembahasan Seiring dengan derasnya arus demokratisasi, kebijakan otonomi daerah di Indonesia digulirkan melalui Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan efektif mulai 1 Januari 2001. Kebijakan ini disambut dengan antusias oleh rakyat Indonesia. Antusiasme ini dapat dilihat dari maraknya diskusi publik yang diselenggarakan untuk membicarakan otonomi daerah, mulai dari soal urgensinya, harapan rakyat, peluang meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah sampai pada implikasi negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu isu yang cukup populer dalam perbincangan otonomi daerah adalah soal partisipasi, yakni pelibatan rakyat dalam perumusan kebijakan sehingga aspirasinya dapat terserap dengan baik, pelaksanaan kebijakan, pengawasan dan penerimaan manfaat dari kebijakan tersebut12. Partisipasi dinilai sangat penting dalam konteks ini karena dengan partisipasi inilah akan terasa perbedaan otonomi dan tidak otonomi. Artinya, jika sebelum otonomi diberlakukan, kebijakan lebih banyak –untuk tidak menyebut seluruhnya- bersifat sentralistis, top down, maka di era otonomi daerah rakyat ingin gagasannya didengarkan, ruang publik diperlebar, pemerintahan lebih transparan agar rakyat dapat ikut mengawasi, akses terhadap sumber daya dipermudah dan dapat merasakan manfaat kebijakan itu lebih besar. Secara umum, masyarakat berharap dengan diberlakukannya otonomi daerah, rakyat bisa lebih sejahtera dengan asumsi bahwa pendapatan daerah akan dialokasikan lebih banyak untuk pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyatnya dan lebih mengetahui kebutuhan rakyatnya dibanding Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, akan terwujud pemerintahan yang lebih demokratis, yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sisi lain Pemerintah Daerah, terutama yang memiliki sumber daya potensial tak mau berdiam diri menangkap wewenang mengelola daerahnya sendiri yang sebelumnya harus seijin pemerintah pusat. Ada bermacam-macam respon pemerintah daerah atas diberlakukannya kebijakan otonomi daerah ini. Secara sederhana respon ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Respon positif merujuk pada kebijakan pemerintah daerah yang memanfaatkan sebaik mungkin dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Sekedar menyebutkan contoh, menyambut otonomi daerah Kabupaten Jembrana membuat kebijakan membebaskan biaya pendidikan bagi rakyatnya untuk tingkat SD hingga SLTA13 . Kebijakan ini mendasarkan pada kesadaran pentingnya membangun kemampuan sumber daya manusia sebagai subjek perubahan. Adapun respon negatif merujuk pada kebijakan pemerintah daerah yang justru mengeksploitasi sumberdaya yang dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa memberi manfaat yang seimbang pada rakyat. Satu contoh yang dapat dikemukakan adalah kebijakan Provinsi Riau yang menetapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang eksploitatif tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis dan penerimaan manfaat.14 12 Otonomi Daerah, Antara Konsep dan Realitas. Majalah Millah, edisi Oktober 2001. 13Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001. 14 Rully Syumanda , Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif Terhadap
RTRWP Riau, dalam
264
Penelitian terhadap akuntabilitas Perda No 27 tahun 2003 memperoleh beberapa temuan yang mengindikasikan bahwa Perda ini tidak mampu menjawab persoalan air yang dialami oleh rakyat Cilacap. Selengkapnya temuan-temuan tersebut adalah : 1. Ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam Perda tersebut belum membuka ruang partisipasi publik dalam upaya penanggulangan pencemaran air. Pasal 24 mengatur : 1. Setiap usaha dan /atau kegiatan yang memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati 2. Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan Bupati 3. Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini didasarkan pada kajian analisis air limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan. Rumusan ketentuan dalam Pasal 24 di atas memberikan kesan “bupati centris”. Ketentuan ini mengatur bahwa ijin tertulis bupati hanya diberikan atas dasar hasil kajian analisis limbah sesuai baku mutu yang ditetapkan. Tidak disebutkan bahwa persetujuan atau keberatan masyarakat di sekitar tempat pembuangan air limbah sebagai pertimbangan yang penting. Dalam pelaksanaannya, ketentuan ini membuka peluang merugikan masyarakat, yakni tidak didengarnya aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pengalaman di berbagai tempat, ijin seringkali merupakan hasil kompromi dan negosiasi pihak birokrasi dan pengusaha tanpa melibatkan masyarakat untuk ikut memutuskan. Kemungkinan manipulasi dalam hal ini cukup besar. Ijin dalam bahasa birokrasi acapkali identik dengan penarikan retribusi. Artinya apabila pemerintah menetapkan syarat dan tata cara ijin suatu kegiatan, maka berarti pihak yang diberi ijin harus membayar uang retribusi. Demikian pula pemberian ijin dalam Perda ini tidak dapat dipisahkan dari keinginan Pemerintah Kabupaten Cilacap untuk menarik retribusi ijin dari pemrakarsa kegiatan.15 Hal ini terlihat jelas dari ditetapkannya Keputusan Bupati Cilacap No 61 tahun 2004 tentang retribusi Ijin Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air Limbah di Kabupaten Cilacap. Konsideran Keputusan Bupati ini menyebutkan Perda No 27 Tahun 2003 sebagai salah satu dasar penetapanya. Dalam Keputusan Bupati ini disebutkan dengan rinci jumlah uang yang harus dibayar para pemrakarsa kegiatan yang berkepentingan untuk membuang limbah di wilayah Kabupaten Cilacap. Lampiran Keputusan ini mencontohkan penghitungan besarnya retribusi yang harus dibayar Pabrik Aci dengan modal Rp. 20.000.000,00 dengan volume limbah 50m kubik perhari. Retribusi yang harus dibayarkan pabrik ini adalah Rp. 1.263.600,00 meliputi biaya pembinaan, biaya pemeriksaan lapangan, biaya pemeriksaan berkas dan biaya pengawasan. Sebagai kota industri, perihal ijin ini tentu dipandang sangat potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 15 Pemrakarsa kegiatan adalah istilah yang dipakai Perda dalam tafsir otentik untuk menyebut orang
atau badan hukum yang bertanggungjawab terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan.
265
2. Perda ini belum cukup akomodatif terhadap kepentingan masyarakat di daerahdaerah yang sulit mendapatkan air bersih. Pasal 3 ayat (7) ketetapan MPR No. III/MPR/2000 menyebutkan, “Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan, terdiri dari Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa16 . Berdasarkan ketentuan Tap MPR tersebut, seharusnya Perda yang dibuat Kabupaten Cilacap tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air di Kabupaten Cilacap mengakomodir kondisi khusus yang nyata-nyata ada di Cilacap. Bahwa beberapa bagian daerah Cilacap, karena kondisi alamnya, sangat rawan terhadap kekurangan air berkualitas baik, terutama pada musim kemarau. Bahwa kekurangan air berkualitas baik tersebut memberikan dampak terhadap timbulnya berbagai penyakit, seperti diari, disentri, muntaber, gatal-gatal dan infeksi kulit . Menyimpang dari pengertian Perda dalam Tap MPR tersebut, Perda No 27 Tahun 2003 ternyata belum cukup akomodatif terhadap kepentingan masyarakat di daerah-daerah yang sulit mendapatkan air berkualitas baik. Perda ini mengatur klasifikasi air menjadi 4 kelas, yakni: 1. kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk minum dan/peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dalam kegunaan tersebut. 2. kelas dua, yakni air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/ sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3. kelas tiga, air yang peruntukannya untuk kegiatan pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan lain sebagainya; 4. kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Selanjutnya Perda ini membagi status mutu air ke dalam dua kategori, yakni : 1. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air 2. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air Akan tetapi, penggolongan klasifikasi mutu air dan status mutu air yang diatur dalam Pasal 9 sampai 12 tidak diikuti oleh penegasan jaminan dari pemerintah untuk rakyat memperoleh air yang sesuai baku mutu air bagi setiap warga Cilacap dan air yang berdasarkan kelas peruntukannya. Hal ini menjadi masalah besar bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan yang keadaan alamnya tidak memungkinkan mereka memperoleh air dengan kualitas baik. Padahal ketika Perda ini dibuat persoalan kesulitan mendapatkan air berkualitas baik merupakan 16 821 Warga Terserang Penyakit Diare, Daerah Rawan Pangan Diwaspadai, Suara Merdeka, Kamis,
28 Agustus 2003.
266
persoalan nyata yang dialami warga Cilacap secara massal. Artinya bahwa Perda ini tidak dapat menjawab satu persoalan yang ada. Terbukti sampai saat ini masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Gandrungmangu, Patimuan, Kampunglaut, Jeruklegi, Nusawungu dan Cilacap Tengah masih mengkonsumsi air dengan kualitas tidak baik. Di desa Cimrutu, Kecamatan Patimuan, masyarakat mandi bersama itik di sumber air yang tidak terjamin kebersihannya, karena suplai air bersih yang diberikan pemerintah kabupaten sangat minim, sehingga masyarakat memilih mengutamakan air bersih bantuan tersebut untuk keperluan makan dan minum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perda ini tidak mencerminkan karakter lokal Cilacap itu sendiri. Klausul bahwa Bupati sesuai kewenangannya dapat menunjuk instansi yang bertanggungjawab untuk melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air sesuai dengan peruntukannya dan mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas air sesuai dengan peruntukannya sebagaimana tersurat dalam Pasal 12 ayat (3) tidak banyak menolong masyarakat untuk memperoleh hak atas air berkualitas baik. Penggunaan kata dapat (bukan wajib) menunjukkan bahwa kebijakan penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air hanya merupakan wewenang yang pelaksanaannya sangat tergantung kebaikan Bupati semata, bukan tuntutan kewajiban. Bagi masyarakat ini merupakan klausul yang melemahkan dalam hal penuntutan dipenuhinya hak atas air bersih yang diatur pada Pasal 22 (1). Pada waktu permasalahan ini dikonfirmasikan kepada pemerintah, diperoleh keterangan bahwa untuk pengelolaan mutu air diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah sudah berusaha mensosialisasikan tentang baku mutu air dan klasifikasi air terkait dengan peruntukannya. Jadi, apabila sudah diberitahu air di desa tertentu merupakan air kelas dua yang peruntukannya untuk peternakan dan perikanan –bukan untuk minum- maka dengan pertimbangan kesehatan, masyarakat seharusnya tidak memakai air tersebut untuk minum. Apabila masih dimanfaatkan untuk minum juga, maka itu bukan tanggungjawab pemerintah yang telah berusaha memberikan informasi yang benar. Menurutnya, air berkualitas baik memang merupakan hak setiap manusia. Oleh karena hak selalu terkait dengan kewajiban, maka pengelolaan air agar berkualitas baik adalah kewajiban manusia tersebut. Keterangan ini memberikan kesan bahwa seolah-olah Pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan air berkualitas baik untuk masyarakat. Persoalan yang timbul dari pandangan semacam ini adalah bagaimana mungkin masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi dan keilmuan dibebani kewajiban mengelola air agar berkualitas baik dan layak konsumsi? Untuk ukuran masyarakat desa Bringkeng di Kecamatan Kawunganten dan dusun Cihaur Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu hal ini sungguh mustahil. Tiadanya infrastruktur yang dimiliki, kesibukan bekerja dengan hasil yang tidak memadai serta minimnya informasi yang bisa diakses kurang memungkinkan mereka berinisiatif mengelola air agar berkualitas baik. 17 Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006 18 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup
Kabupaten Cilacap, 30 Juni 2006.
267
Problem lain dari perumusan pasal tentang klasifikasi air dalam Perda ini adalah tidak ada pembeda yang jelas antara air kelas dua dengan air kelas tiga baik dalam batang tubuh Perda maupun dalam penjelasannya. Dari sini dapat timbul kesan pembuatan Perda tidak cukup serius. 3. Pemantauan kualitas air yang seharusnya dilakukan 6 bulan sekali sebagaimana bunyi Pasal 11 (2) tidak pernah dilakukan di daerah sulit air. Pasal 11 mengatur bahwa : 1. Pemantauan kualitas air pada sumber air yang berada di wilayah Kabupaten Cilacap dilaksanakan oleh instansi yang bertanggungjawab 2. Pemantauan kualitas air sebaaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali. 3. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini disampaikan secara tertulis kepada Bupati. Melalui pengamatan dan wawancara dengan beberapa warga di desa-desa yang sulit mendapatkan air bersih, sepengetahuan mereka tidak pernah dilakukan pemantauan kualitas air sebagaimana diatur dalam Pasal 11 tersebut. Bahkan informasi tentang status mutu air dan kriteria mutu air yang oleh Perda ini diatur menjadi hak setiap orang (Pasal 22) juga tidak pernah didapatkan. Seorang ibu di desa Bringkeng mengatakan tidak tahu apa itu kelas air dan perbedaan peruntukan tiap kelas. Sehari-harinya ibu tersebut, mengambil air dari sumur yang kondisinya tercemar oleh binatang peliharaan dan kotoran manusia karena letaknya berjarak tidak lebih dari 2 meter dari tempat membuang kotoran manusia dan kandang kambing serta biasa dipakai untuk berenang itik-itik peliharaannya. Keadaan memprihatinkan ini juga terjadi di beberapa desa lain di Kecamatan Kawunganten, seperti Bojong dan Rawajaya. Ribuan hektar sawah sejak 20 tahun terakhir tidak bisa difungsikan akibat kesalahan struktur saluran irigasi yang menyebabkan genangan dan banjir air sepanjang tahun di sawah-sawah mereka. Keadaan ini berakibat pada semakin buruknya kualitas air di pedesaan sekitar sawah mati itu berada. Warga yang sudah lelah berusaha meminta perbaikan pada pemerintah pada akhirnya menganggap bahwa kesulitan mendapat air bersih merupakan takdir yang harus mereka alami dan tidak bisa dirubah. Bagi kaum yang cukup berada, masalah ini bisa dipecahkan dengan membuat sanitasi sehat yang dilengkapi sistem penyaringan air. Akan tetapi bagi kalangan miskin, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memakai air tersebut. Jangankan untuk membangun sanitasi yang sehat secara mandiri, untuk memenuhi kebutuhan 19 primer saja seringkali harus berhutang pada tengkulak gula merah. Pasal 11 ini hanya efektif berlaku bagi kalangan industri. Bahwa pemantauan terhadap kulaitas air memang dilakukan setiap 6 bulan sekali, bahkan ada yang setiap 3 bulan sekali. Perusahaan (pemrakarsa kegiatan) harus melaporkan 19 Wawancara dengan ibu-ibu di desa Bringkeng, Bojong dan Rawajaya pada Mei 2006. Membuat gula
merah
268
keadaan air yang menjadi tanggungjawabnya secara periodik dan pemerintah akan menindaklanjuti bila ditemukan indikasi pencemaran air oleh perusahaan tersebut. Tindaklanjut yang biasa dilakukan adalah teguran dan pembinaan. Sampai hari ini belum ada pemberian sanksi, baik administratif maupun pidana terhadap perusahaan karena semua persoalan pencemaran air yang muncul selalu 20 dapat diselesaikan melalui teguran dan pembinaan. 4. Tidak ada kepastian bagi masyarakat miskin memperoleh air bermutu baik yang menjadi haknya. Selain dialami oleh mereka yang berada di desa-desa sulit air yang telah disebutkan di atas, ketidakpastian memperoleh air bersih juga dialami oleh penduduk miskin di kota maupun di desa yang tidak memiliki kemampuan mengakses air berkualitas baik dari PDAM. Yang dimaksud dengan ketidakpastian adalah apakah air yang mereka konsumsi tercemar atau tidak secara pasti tidak diketahui. Hal ini dikarenakan uji laboratorium yang semestinya dilakukan pada sumber air yang berada di sekitar sumber pencemaran tidak dilakukan oleh setiap warga. Upaya sosialisasi dari Pemerintah tentang pentingnya mengujikan air di laboratorium serta pemberian informasi mengenai biaya masih sangat kurang berakibat pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengujikan air di laboratorium. Di samping itu, warga miskin di daerah yang sebenarnya mempunyai sumber air bermutu baik, namun karena tidak mempunyai lahan yang cukup untuk membuat sumur. Dalam keadaan normal, mereka dapat menumpang pada tetangga. Akan tetapi dalam keadaan kemarau, air menjadi masalah besar. Keadaan ini tidak diatur oleh Perda ini, dalam arti bagaimana masyarakat miskin untuk mendapat jaminan memperoleh air bersih karena tidak cukup mampu untuk membeli air sebagaimana yang biasa dilakukan orang yang berkecukupan. Mereka tidak cukup berdaya untuk mengakses air bersih dari PDAM karena biaya yang mereka rasakan cukup mahal. Untuk pemasangan instalasi baru dibutuhkan biaya Rp. 809.750,00 jika dibayar kontan. Apabila diangsur biayanya adalah 6x 247.250 ditambah biaya tambahan bila pipa yang dibutuhkan lebih dari 6 meter atau letak 21 rumah di seberang jalan saluran utama PDAM. Di samping itu, belum semua desa di Kabupaten Cilacap dapat dijangkau oleh instalasi PDAM. 5. Ketiadaan air berkualitas baik yang dapat dinikmati oleh masyarakat di daerah sulit air dan masyarakat miskin secara langsung membawa dampak terhadap derajat kesehatan masyarakat tersebut, terutama perempuan dan anak-anak. Aktivitas domestik rumah tangga di Cilacap mayoritas didominasi kaum perempuan, baik yang berstatus istri maupun lajang.22 Artinya, pekerjaan-pekerjaan domestik 20 Wawancara dengan Anjas Kartiko Pramono S. Si, dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan hidup
Kabupaten Cilacap, 30 Juni 2006. 21 Wawancara dengan Arif, staf Bagian Langganan PDAM Cilacap pada tanggal 1 Juli 2006. 22 Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun 2004
269
seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci perkakas rumah tangga, memandikan anak, mengepel lantai, menyetrika, menyapu halaman, adalah tanggungjawab perempuan. dalam pelaksanaannya pekerjaan-pekerjaan tersebut banyak bersentuhan dengan air. Apabila air yang dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah air berkualitas tidak baik maka kemungkinan besar mereka adalah penderita terbesar penyakit-penyakit yang ditimbulkan olehnya. Selain itu, air berkualitas tidak baik juga sangat membahayakan kesehatan reproduksi 23 perempuan. Selain kaum perempuan, kelompok yang rentan mengalami resiko penggunaan air berkualitas tidak baik adalah anak-anak. Mereka yang lahir dari ibu yang organ reproduksinya kurang sehat akan menerima resiko tertular penyakit yang diderita ibunya. Mereka juga terancam tumbuh tidak sebaik anak-anak pada umumnya serta rentan terserang berbagai penyakit, seperti diare, disentri, muntaber, malaria dan penyakit kulit. Dalam jangka panjang tentu keadaan ini mengancam kelangsungan kualitas generasi yang akan datang.
7. Kesimpulan Temuan-temuan diatas mengantarkan pada perumusan kesimpulan bahwa penerapan Perda no 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Cilacap tidak memiliki akuntabilitas terhadap pemecahan permasalahan air di Kabupaten Cilacap. Sampai saat ini hak menikmati air yang berkualitas baik bagi warga miskin dan warga di desa yang sulit air hanyalah mimpi belaka. Perda yang ada tidak cukup mengakomodir kepentingan mereka. Ditetapkannya Perda tersebut beserta Keputusan Bupati No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin Pembuangan dan/atau Pemanfaatan Air Limbah dapat dikatakan merupakan upaya merespon peluang Otonomi Daerah dengan cara meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi dengan pemberian manfaat kepada rakyat.
8. Rekomendasi Menindaklanjuti hasil penelitian ini, tim penulis memberikan rekomendasi kepada: 1. Pemerintah Kabupaten Cilacap, untuk merevisi isi Perda agar dapat menampilkan kondisi lokal yang nyata-nyata ada di Cilacap terkait dengan persoalan air yang dialami warga dan menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dengan memberikan jaminan pemenuhan air berkualitas baik bagi setiap orang di Kabupaten Cilacap. 2. Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, hendaknya semakin intensif dalam membantu mendorong terwujudnya pemerintahan lokal yang kuat dan memiliki keberpihakan pada rakyat. Khusus dengan Pemerintah Kabupaten Cilacap, hendaknya YIPD berinisiatif memfasilitasi perumusan Perda.
23 Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.
270
Daftar Pustaka Kelompok Peraturan Perundangan Undang-undang Dasar 1945. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Keputusan Bupati No 61 Tahun 2004 tentang Retribusi Ijin pembuangan dan/atau Pemanfaatan air Limbah di Kabupaten Cilacap. Kelompok Buku Atlas Indonesia. 2005. PT Intan Pariwara. Klaten. Cilacap dalam Angka 2005. Biro Pusat Stastik Kabupaten Cilacap. Jawa Tengah dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Semarang. Ni’matul Huda. 2005. Negara Hukum, demokrasi dan Judicial Review. UII Press. Yogyakarta. Kelompok Laporan Penelitian PM. Laksono dkk. 2001.Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan yang Berperspektif Lingkungan. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Social Watch Report, 2003 Laporan Hasil Penelitian Jaringan Gerakan Gender PMII Jawa Tengah Tahun 2004 Kelompok Media Massa Rully Syumanda ,Menabur Eksploitasi SDA Menuai Bencana: Kritik Konstruktif terhadap RTRWP Riau 2001-2015. www.walhi.or.id.
271
Homepage Daerah Kabupaten Cilacap dalam www.deptan.go.id Kekurangan Air Bersih di Cilacap Meluas. www.suaramerdeka.com. 26 Agustus 2005 Jembrana Gratiskan Biaya Pendidikan, Kompas 9 April 2001. 821 Warga Terserang Penyakit Diare,Daerah Rawan Pangan Diwaspadai. Suara Merdeka, Kamis. 28 Agustus 2003. Masyarakat Biasa Mandi Bersama Bebek, Kompas, 28 Juni 2006. Merawat Daerah Rahasia Kita, Kompas, 18 Juli 2003.
272
7. Diskusi Sesi Paralel 2: Perda Pelayanan Publik: Kesehatan, Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam Tanya Jawab
◊ Pertanyaan 1. Stanley dari LSM HUMA Langsung saja ke pertanyaan ke Bapak Absory. Sebagian besar konsep Bapak saya setuju yang menyangkut partisipatif, tapi saya agak kurang setuju kalau kemudian PKL itu disebut sebagai salah satu pihak yang diperdayakan. Karena setahu saya konsep pemberdayaan itu sendiri sudah banyak dikritisi. Jadi, saya lebih setuju kalau kemudian menggunakan konsep partner atau kerjasama. Kalau pemberdayaan itu dalam beberapa kritik dia lebih cenderung melihat sebuah wilayah sosial tertentu yang menjadi rekanan atau kerjasama sebagai objek. Kalau sebagai objek maka kira-kira dia akan terus-terus menerus diminta untuk berpartisipasi dan dalam hal itu partisipasi yang kira-kira dibicarakan disana itu adalah partisipasi yang given (diberikan). Sementara kalau soal partner/kerjasama maka PKL itu sendiri dilihat sebagai kelompok yang memiliki hak. Partisipasi disana bukan lagi given tetapi partisipasi yang utama/partisipasi sebagai hak. Saya kira UU No.10/2004 itu partisipasi sebagai hak. Dalam hal itu maka saya kira konsep hukum responsif yang Bapak Absori gunakan itu menjadi sangat relevan tapi kalau kemudian partisipasi sebagai given tidak relevan menggunakan hukum responsif sebagai salah satu argumentasi hukum yang di-explore untuk menjelaskan soal PKL. Yang kedua, saya langsung ke Bapak Hikmad Ramdan. Ada 3 hal:
Pertama eksplorasi bapak tidak berbicara banyak soal keterlibatan swasta dan masyarakat dalam membangun kerjasama lintas daerah di Ciremai sana. Setahu saya ada beberapa swasta yang memanfaatkan mata air Gunung Ciremai itu untuk kepentingan komersial (aqua salah satunya saya kira) di situ tidak eksplorasi secara jelas salah satu pihak yang terlibat. Yang kedua berkaitan dengan pendekatan normatif, saya kira tata ruang untuk kawasan konservasi Gunung Ciremai dalam hal itu menurut UU No.22/1999 dan juga diganti dengan UU No.32/2004 konservasi itu masih merupakan kewenangan pusat. Saya agak kuatir kalau pemberian informasi ini sampai ke tangan Pusat itu kemudian menjadi bahan eksekutif review. Pengalaman dibeberapa daerah pengolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat sudah dieksekutif review padahal itu merupakan kebijakan-kebijakan daerah untuk merespons situasisituasi lokal yang sangat-sangat mengharapkan pendekatan-pendekatan yang berbasis masyarakat.
273
Yang terakhir, berkaitan dengan masyarakat tadi itu, apakah tidak ada misalnya eksplorasi lebih jauh mengenai masyarakat di wilayah hulu yang memang kemudian dinilai oleh rekan-rekan di wilayah hilir sebagai kelompok-kelompok yang memanfaatkan sebagian hutan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Gimana konfliknya untuk antar masyarakat sendiri? Itu perlu dieksplorasi karena seringkali di tingkat daerah kelihatan clear dan jelas tetapi pada level masyarakat itu tidak clear. Konflik kemudian terjadi malah secara horizontal, terimakasih. 2. Yusnita Ike Christanti dari IDEA (Yogja) Satu pertanyaan saja khususnya untuk Bapak Hikmat. Saya tertarik dengan Perda tentang mengenai Tata Ruang itu karena ini juga jadi persoalan di Yogja khususnya antara Kab. Sleman dengan kota yang mereka juga berkonflik berkenaan dengan wilayah hulu dan hilir tersebut dan sampai sekarang Pemkot pun belum mampu mengatasi konflik ini dengan baik dengan Pemerintah Kab. Sleman. Satu pertanyaan saja, sebetulnya kalau saya tadi agak melihat penjelasan Bapak Hikmat bahwa Perda ini adalah hasil dari deal-deal politik/dari komitmenkomitmen politik. Saya agak mencurigai bahwa ada kepentingan dari pihak hulu dengan adanya otonomi daerah bahwa mereka dengan cara memproduksi Perda tersebut dia akan mendapatkan income untuk PADnya dengan cukup besar karena penggunaan air. Terus kemudian apakah di Perda tersebut ada memuat sangsisangsi apabila deal-deal atau komitmen-komitmen tadi dilanggar oleh pihak Pemerintah Kuningan? 3. Koko dari URDI Pertanyaan ke Bapak Nur. Soal JPKM ini sifatnya klarifikasi saja. Tadi ada grafik kepesertaan JPKM tahun 2005/2006 itu jumlah kepesertaan dari Strata-1 – 0. Lalu Premi JPKM 2005/2006 dari tabel-7 Strata 1 juga 0. Apa artinya golongan-1 itu akhirnya sama sekali tidak ikut serta lagi dalam JPKM atau bagaimana? Untuk Bapak Hikmat, saya tertarik sebenarnya kerjasama antar daerah, saya juga lagi menggeluti soal itu tapi sebenarnya begini, yang menurut saya yang bisa menjadi benar-benar bisa mengikat ketika kalau ada MoU antar Pemda sebagai Badan Hukum itu harusnya bisa diperdatakan. Jadi kalau misalnya hanya MoUMoU yang sifatnya sangat ceremonial saja yang seperti tadi disampaikan oleh Ibu Yuni tidak akan ada jaminannya. Mungkin sekarang sama-sama dari induk basis politik yang sama mungkin Kepala Daerahnya. Nanti ke depannya mungkin tidak seperti itu. Dan masalah transparasi seperti tadi dana-dana tersebut 1,65 milyar itu benar-benar masuk ke konservasi bukan buat nge-cat Rumah Bupati, segala macam itu jelas harus ada mekanisme. Menurut saya dalam hal ini benar-benar MoU itu memang harus mencakupkan klausul-klausul yang bisa diperdatakan. Mengenai PKL di Surakarta, saya agak menemukan ada sedikit missed-match dari abstrak yang saya baca di sini dengan pemberdayaan yang sebagai salah satu
274
solusi bagi PKL sekarang karena problem permasalahan Bapak sampaikan di abstrak ini PKL itu karena bias kebijakan/bias urban jadi maksudnya kenapa ada penduduk desa yang dia tidak dapat lagi mendapatkan hasil yang cukup dari desa dia perlu ke kota untuk cari kerja, gagal jadi PKL. Padahal sumber permasalahannya itu bukan di kota. Tapi kalau dari Bapak tulis tadi sumber permasalahannya dari desa berarti sebenarnya mungkin pemberdayaan lebih tepat sasaran kalau dilakukan di desa, mungkin kalau dari presentasi Bapak, Bapak lebih pada analisis judicial terhadap Perda tersebut, jadi kurang relevan dalam hal ini. Terimakasih.
275
◊
Jawaban
1. Absori Dari Bapak Stanley, saya mengucapkan terimakasih atas beberapa pemikirannya. Konsep parispatif pada intinya setuju, cuma ada beberapa yang mengganjal tentang PKL yang perlu diberdayakan karena konotasinya kalau pemberdayaan itu menempatkan PKL sebagai objek. Ini barangkali satu persoalan konsep pemberdayaan dan konsep partnership atau kemitraaan. Ini barangkali kalau dilihat dari pengalaman menggeluti lapangan dalam konteks sosiologis kita harus melihat satu realitas atau data bahwa dalam fakta memang struktur masyarakat itu beragam. Masyarakat pengambil kebijakan dan masyarakat PKL itu berada dalam satu struktur yang berbeda sehingga untuk mengangkat jadi satu mitra dalam pola partnership tidak gampang. Tapi dalam kajian-kajian normatif maka konsep partnership dan kerjasama itu merupakan satu konsep yang ideal. Konsep ini bisa disatukan dari pemberdayaan yang menjadi terkesan objek sekalipun saya tidak bermaksud ke sana tetapi saya maksud dalam pemberdayaan dalam posisi menempatkan dia sebagai subjek. Cuma dalam tataran realitas dia memang struktur sosial antara keduanya memang berbeda. Antara pihak-pihak lain memang berbeda tapi dalam tataran normatif memang ini bisa kita katakan bahwa konsep yang ideal adalah partnership. Harus kita akui bahwa proses kesana membangun satu masyarakat yang partnership yang legaltarian memang butuh waktu yang panjang dan kita harus melihat realitas bahwa struktur masyarakat kita memang belum terbentuk seperti itu. Karena itu kalau kita mencoba mendisain satu model bagaimana menempatkan PKL sebagai mitra dalam rangka kerjasama sudah barang tentu ini harus butuh waktu proses yang panjang. Tetapi, saya setuju kalau konsep partnership ini ditempatkan pada satu tataran ideal kalau memang nanti posisi Perda ditempatkan satu produk hukum yang responsif. Saya tidak keberatan karena kajian responsif dari Phillip Nonette dan Jill Need. pun menempatkan masyarakat dalam posisi subjek dalam penentuan kebijakan. Karena itu saya yakin dimasa mendatang konsep-konsep ini akan menjadi satu kebutuhan dalam pengambilan kebijakan. Dalam tanda petik sebagai bagian dari bagaimana membuat satu produk hukum. Masyarakat sendiri yang mendesain, masyarakat sendiri yang kemudian berpandangan bahwa saatnya kami yang menentukan bukan anda yaitu yang mengambil kebijakan tapi kami juga termasuk mengawasi mengimplementasinya. Gagasan-gagasan semacam ini kan dalam wacana perdebatan itu sadah menjadi menu kita sehari-hari tapi dalam tataran implementasi ini yang memang perlu harus kita dorong, karena itu keberadaan kita seperti HUMA, mungkin perguruan tinggi menjadi pilar sebagai interest group untuk mendorong supaya muncul konsep partnership dalam tataran real atau dalam realitas.
276
Dan yang kedua, maksud saya tentang sumber masalah PKL di kota atau di desa saya hanya mengambil back-ground dari pemikiran Bapak Lukman Sutrisno (Alm.) Sosiolog dari Gajah Mada bahwa sebenarnya sumber masalah dari PKL itu di pedesaan iya, karena tidak tersentuh kebijakan. Karena kita beda, pembangunan kita hanya terfokus di masyarakat perkotaaan sementara desa tidak tersentuh dengan kebijakan. Di kota pun demikian problemnya sektor formal terbatas, informal mencari jalan sendiri tapi kemudian harus berhadapan dengan persepsi yang beragam. Maksud saya hanya latar belakang tapi fokus kajian kita memang review Perda itu sendiri. Jadi karena itu saya lebih mengfokus bagaimana mereview Perda PKL yang menurut saya amat sangat ketinggalan. Justru dari situlah kewenangan bermain. Kalau kewenangan bermain cenderung ini lebih banyak tergantung pada pengambil kebijakan. Kalau pengambil kebijakannya ketika sebelum tahun 2006 itu disorot amat jelek. Karena dimana-mana terjadi anarkis kalau terjadi penertiban, pasti anarkis. Dan terjadilah kemudian perusakan, kemudian-kemudianlah termasuk pressure dengan kekuatan fisik. Tapi yang 2006 ini Walikota yang baru tidak. Ini sekalipun pendekatannya budaya dan ekonomi juga sosial tapi akan lebih lengkap lagi seandainya juga hukum memainkan peran. Kalau kita percaya dengan hukum juga bisa didisain sebagai sosial engineering, sebagai perekayasa masyarakat sekalipun konteks itu tidak tepat untuk diterapkan di berbagai kesempatan di Indonesia tetapi paling tidak sebagaian besar orang Indonesia percaya bahwa hukum bisa ditampilkan pada posisi terdepan. Sekalipun dalam kajian sosiologis ternyata tidak mampu. Maksud saya begitu, jadi saya tidak permasalahkan background. Background itu barangkali itu sebagai penangkal dalam rangka mendorong atau memberikan alur pikir dalam rangka mengantarkan pokok persoalan itu pada perumusan kebijakan melalui Perda. Dan keinginan saya, bagaimana sih Perda partisipatif yang merupakan pokok pikiran itu menjadi Perda betulan setelah nanti kebijakan pemberdayaan PKL itu dimulai dari budaya, kemudian ekonomi sosial, dan kemudian hukum. Ini memang kebalik, dalam tataran formatif memang hukum dulu. Terbukti dalam berbagai kajian orang getol dengan Perda tidak begitu getol tentang implementasinya tapi di Solo terbalik yang muncul justru pendekatan budaya, kemudian sosial dan ekonomi baru hukum. Karena pendekatan hukum yang dilakukan pada waktu masa lalu, gagal. Dan pengalaman dari kegagalan ketika masyarakat PKL mau merevisi Perda ini juga menghadapi persoalan yang cukup kuat sehingga sampai sekarang ngambang tidak terealisasikan. Saya rasa itu mungkin sedikit komentar dari saya, terimakasih. 2. Nur Hidayat Pak Koko, ini mulai tahun 2005 itu kan satu ada mulai diterapkannya sistem Jaminan Sosial Nasional yang agak rapi. Lalu kedua di musim-musim ini lalu ada bantuan-bantuan yang sifatnya derma dari pemerintah seperti macam
277
dana-dana habis krisis dan segala macam itu mulai disini. Di Lampiran-1 realisasi dari semuanya dari Pemerintah Pusat sehingga misalnya sebenarnya cukup mengganggu proses sehatnya program ini karena kemudian ada logika-logika dana yang di drop saja dari Pusat. Menurut saya di satu sisi memberi manfaat tertentu disisi lain merusak terhadap bangunan program ini. Kira-kira begitu, nanti saya akan tunjukkan beberapa slide yang sudah ada di sini. 3. Hikmat Ramdan Jadi memang dalam Perda itu dalam kajian yang 1,75 milyar kita hanya baru menghitung sebetulnya dari sumber air yang ada dari Kuningan itu digunakan untuk beberapa kegiatan baik itu domestik, pertanian, kemudian juga ada industri, air kemasan dan lain sebagainya. Ini hanya baru satu MoU yang ditandatangani oleh Pemda Kuningan dengan user/pengguna air minum dan kita kemarin akan mencoba juga dengan kegiatan-kegiatan yang lain yang seperti pabrik Aqua dan lain sebagainya. Kita ada arah kesana memang ini mungkin Pemda juga mungkin ketika membuat MoU dengan stakeholder yang menggunakan jasa air dari situ juga mungkin perlu waktu untuk melakukan negosiasi. Tapi paling tidak tata-ruang yang dibuat disini sebetulnya dalam konteks penata ruang itu dia disini dijadikan sebagai satu dasar bagaimana tata ruang ini sebagai bagian daripada pengelolaan air lintas wilayah itu menjadi satu bagian ekosistem yang mampu akan dijadikan satu jaminan bahwa pasokan air itu ada. Kemudian masalah konservasi alam atau lain sebagainya sebetulnya ini terkait dengan perlindungan ekosistem, jadi bukan hanya ini tugas Pemerintah atau lain sebagainya. Pola pikir kita kan seperti itu ada pembagian-pembagian kalau hutan itu kalau ada kawasan konservasi lindung dan produksi sebetulnya. Sebetulnya tahap implementasi tanggung jawab semua juga, tidak mungkin diatur oleh Departemen Kehutanan atau lain sebagainya. Ada inisiatif Pemda ini bagus sebetulnya. Dan saya kira Depdagri maupun Departemen Kehutanan sudah tau masalah Perda 38/2002 itu tidak ada masalah. Inisiatif Perda ini dihargai sebagai bagian, karena tadi, bahwa pengurusanpengurusan kawasan lindung, kawasan hutan dan sebagainya itu tidak hanya menjadi urusan Pemerintah Pusat. Dan aturan-aturan yang di itu kan tetap jelas. Bahkan sebagian dari kawasan ini sekarang menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai sejak 19 Oktober 2004. Kebetulan saya menjadi salah satu Tim Penyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai ini agak beda dengan Taman Nasional Gunung Merapi yang ramai. Di situ kita masih menghargai adanya partisipasi publik. Jadi sekarang ini ada yang namanya tim pengkaji, saya sebagai tenaga penyusun, kalau buat baju hanya membuat pola, ini polanya begini, baju ini mau begini, yang ngisi terserah itu orang masyarakat lokal disitu. Tapi kita berikan rambu-rambu yang harus diisi, termasuk yang ini juga, yang Perda juga,
278
mereka tetap menyadari bahwa ini adalah bagian daripada itu. Departemen tidak ada masalah, semestinya. Cuman saya juga masih menemukan kalau misalnya itu ditetapkan menjadi Taman Nasional, kemudian disitu ada Perda, bagaimana posisi Perda ini secara hukum? Saya masih belum dapat jawaban, nanti saya akan diskusi dengan Bapak Suroso di belakang bagaimana kalau masalah itu. Menyangkut masalah deal, jadi begini. Tata ruang ini bukan deal-deal politik. Sebelum MoU antara Kab. Kuningan yang ditanda-tangani 17 Desember 2004. Perda tata ruang ini sudah ada. Jadi itu dibangun atas dasar kebutuhan, atas dasar keinginan dsbnya. Jadi itu prosesnya hampir 2-tahun, jadi tidak hanya langsung dibuat Perda, tidak. Kita membuat adanya satu yang disebut academic-draft. Ini di inisiasi oleh Bappeda Kab. Kuningan pada tahun 2000. Di situlah dibuat academicdraft posisi daripada sumber mata air yang ada di Kab. Kuningan itu sudah sejauh mana? Ada 2-kegiatan waktu itu zona resapan air dari disitu kemudian disusunlah kerangka-kerangka legal, kerangka-kerangka tehnis sehingga keluarlah Perda 38/2002. Waktu itu kita belum berpikir ini bahwa ini akan jadikan jaminan, belum. Jadi ceritanya belum. Tapi ketika 2003, 2004 mulai ramai tentang masalah air ini, disitulah baru dibangun bahwa ternyata kita punya alat untuk negosiasi dengan orang, sebetulnya kronologis seperti itu. Jadi ini bukan deal-deal yang dilakukan. MoU ini berjalan tiap tahun, jadi tiap tahun dihitung, karena ada rumusan tertentu. Jadi rumusannya itu menghitung daripada produksi air dari sumber air, kemudian tarif yang berlaku sebelum diolah ditingkat user, dan juga tingkat kebocoran disitu. Jadi ini sifatnya dinamis. Misalnya sekarang 2006, 2006 itu sudah menghitung dari data terakhir Desember 2005, dibuat lagi MoU dan sebagainya. Menyangkut masalah hak dan kewajiban diantara dua daerah itu disitu jelas didalam MoU yang sudah ditandatangani antar dua wilayah. Karena saya bukan orang hukum, saya orang forestry, saya dari kehutanan, saya tidak mengerti juga. Ketika ini harus di Perdakan bentuknya Perda Propinsi atau bagaimana. Tapi yang penting disitu ada satu bagian dari komitmen. Komitmen yang masing-masing mau untuk saling menerima dan saling memberi. Sebetulnya ini adalah satu inisiatif, yang penting itu disitu. Kalau masalah legal-legalnya kan saya kira kalau dengan MoU kerjasama sudah ada gambar Garuda Pancasilanya. Diperjanjiannya kalau misalnya Kuningan tidak punya (di MoUnya bukan di Perdanya) kalau misalnya dia berselingkuh atau lain sebagainya, bisa diperkarakan. Dan mungkin ini suau pesan yang bisa dilihat, sebetulnya Perda satu daerah itu harus kita sadari tidak eksis secara tunggal tapi dia berkaitan juga dengan terkait dengan sektor yang lain. Kalau kita buat tentang satu sektor bisa terkait dengan sektor yang lain atau mungkin juga terkait dengan daerah yang lain kita harus sadari dalam pembuatan regulasi Perda jadi tidak itu. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan.
279
4. Ahmad Dermawan Yang dipresentasikan tadi studi mengenai Kab. Kuningan dan Cirebon adalah salah satu contoh yang berhasil untuk kasus pengelolaan sumber daya alam secara umum untuk sumber daya lintas wilayah. Untuk studi kasus yang gagal/ yang belum berhasil itu saya melakukan banyak studi di Kalimantan terutama Kaltim, kabupaten-kabupaten yang meng-klaim sebagai kab. konservasi, Kapuas Hulu, Malinau, Pasir di Sumatera juga dan sampai saat ini setelah tiga tahun lebih prosesnya malah belum mendapatkan kompensasi itu. Saya kira satu kalimat saya, itu saja. 5. Moderator Terima kasih Bapak/Bapak sekalian juga Bapak-Bapak penyaji, marilah kita berikan applause kepada para penyaji. Bapak/Ibu sekalian ini nanti masih ada demo Perda On-line di Ruang Birawa, tapi sebelumnyua jangan lupa mengisi lembar konfirmasi untuk workshop besok kita masih diskusi lagi besok panjanglebar ditempat yang sama mengenai topik yang sama. Mohon juga lembar evaluasi, mohon diisi dan dikembalikan dan sekarang kita ke Ruang Birawa untuk rehat kopi dan juga demo database Perda On-line. Terimakasih.
280
BAB 4
Evaluasi dan Analisis Kebijakan: Menuju Perda yang Partisipatif & Komprehensif
1.
Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional: Studi Terhadap Implementasi Perda No.19 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Puslit KP2W Lemlit UNPAD
2.
Menuju Perda yang Realistis, Partisipatif dan Progresif: Kasus Kaum Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan IGPA Rhama Wijaya, Tim IR-BTN, Jakarta
3.
Diskusi dan Tanya Jawab
281
1. Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional : Studi terhadap Implementasi PERDA No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung
Abstrak Eksistensi pasar tradisional tengah menghadapi tantangan berat akibat keterbatasan kemampuan untuk bersaing dengan pasar-pasar modern. Padahal, pasar tradisional masih tetap diperlukan terutama oleh masyarakat kelas menengah ke bawah yang daya belinya terbatas. Di sisi lain, hilangnya pasar-pasar tradisional juga dapat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi suatu daerah karena dapat menyebabkan bertambahnya pengangguran dan meluasnya kemiskinan. Kondisi ini mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk menerapkan Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Melalui penerapan perda ini, diharapkan dapat media untuk merevitalisasi pasar tradisional agar mampu bersaing dengan pasar modern. Kenyataannya, upaya revitalisasi yang diterapkan tidak mencapai hasil optimal karena ketiadaan konsep yang jelas dan keterbatasan dana, sehingga yang muncul kemudian adalah ketergantungan pemerintah kepada pihak pengembang serta konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pihak pengembang. Oleh karena itu, upaya revitalisasi pasar tradisional perlu dirumuskan dalam desain kebijakan yang komprehensif, yang memuat paradigma pengelolaan pasar yang menempatkan pasar tradisional sebagai bentuk investasi sosial dan ekonomi; mengelola jalur distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar; serta menjalin kemitraan lintas stakeholders untuk membangun konsensus yang legitimate. Kata-kata kunci: revitalisasi, pasar tradisional, kebijakan
1. Latar Belakang Keberadaan pasar tradisional dalam beberapa tahun terakhir mulai menghadapi ancaman bahkan dikhawatirkan akan semakin banyak yang “gulung tikar” dalam waktu tidak lama lagi karena tidak mampu bersaing menghadapi semakin banyaknya pusat perbelanjaan atau pasar modern yang merambah hingga ke pelosok permukiman penduduk. Masyarakat pun tampaknya lebih memilih berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi, keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar
282
masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak memiliki daya beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di pasar-pasar modern. Hilangnya pasar-pasar tradisional akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah, seperti bertambahnya pengangguran, menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita yang semakin kecil, melemahnya sektor-sektor perdagangan informal, terhambatnya arus ditribusi kebutuhan pokok, dan lain-lain yang pada akhirnya bermuara pada marginalisasi ekonomi pasar tradisional. Menghadapi kondisi persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional dan pasar modern, Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut, dan tidak ada kepastian harga. Upaya renovasi pasar tradisional pun menjadi salah satu program Pemerintah Kota Bandung untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang hampir kehilangan pembeli. Dengan menjalin kerjasama bersama investor, Pemerintah Kota telah melakukan revitalisasi terhadap sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Kosambi, Pasar Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar Gedebage. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai. Ketidakpuasan juga muncul dari Koperasi Pasar (Koppas) yang merasa “tersingkirkan” karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang baru. Pengelola baru dinilai lebih berorientasi pada peningkatan laba, sehingga merugikan Koppas karena sumber-sumber pendapatan Koppas yang biasanya diperoleh melalui jasa kebersihan, pemeliharaan WC, dan listrik sekarang diambil alih oleh pengelola baru. Berbagai permasalahan tersebut menempatkan Koppas dalam posisi tidak berdaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, apalagi untuk memperjuangkan kepentingan para pedagang tradisional yang menjadi anggotanya. Alih-alih meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung. Secara normatif, kebijakan pengelolaan pasar telah diwadahi dalam Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Namun, perda ini belum memuat konsep pengelolaan pasar secara komprehensif karena belum semua permasalahan dalam pengelolaan pasar diatur dalam perda ini, misalnya pengaturan mengenai batas radius pasar modern dengan pasar tradisional; bongkar-muat komoditi; kemitraan swasta dan pedagang tradisional; pengaturan mengenai perdagangan informal yang masih bergabung dengan pasar tradisional yang maupun ketentuan standar kualitas komoditi yang akan dijual.
283
Pengelolaan pasar memerlukan desain kebijakan yang komprehensif dan multisektoral, karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan menggunakan metode analisis kebijakan (policy analysis method), sehingga hasil studi dapat menjadi pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Fokus analisis adalah kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung agar revitalisasi pasar tradisional tidak semakin memarginalkan para pedagang tradisional, tetapi justru meningkatkan daya saing mereka.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung. Secara rinci, fokus masalah tersebut dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan kajian sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep dan pemaknaan tentang pasar ? 2. Bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung ? 3. Bagaimana model revitalisasi pengelolaan pasar tradisional yang dapat meningkatkan daya saing dengan pasar modern?
3. Pendekatan Kajian Kajian ini menggunakan metode analisis kebijakan (policy analysis method)
yang mengarahkan hasil studi komprehensif menjadi pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Metode analisis kebijakan mengkaji kebijakan dan instrumen-instrumen yang digunakan oleh pemerintah, khususnya aspek jenis dan instrumen kebijakan yang bisa memecahkan masalah publik yang ada, dalam arti kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud secara efisien. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari suatu kebijakan, termasuk juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan, diubah, diperkuat atau diakhiri. Riswandha Imawan. 1999. Kebijakan Publik. Yogyakarta : Program Pascasarjana Magister Adminis-
trasi Publik UGM, hal. 4. James E. Anderson. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt, Rinehart and Winston, hal. 272.
284
Evaluasi biasanya didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Secara umum, evaluasi dapat didefinisikan sebagai3 … the systematic assessment of the extent to which:
1. Program inputs are used to maximise outputs (efficiency); 2. Program outcomes achieve stated objectives (effectiveness); 3. Program objectives match policies and community needs (appropriateness). 4
Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah: 1. Efisiensi : suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output atau outcomes) lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan hukum kebijakan tersebut. Artinya, yang digunakan adalah kriteria “costeffectiveness”, dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti “cost-effectiveness”, tetapi tidak sebaliknya. 2. Keadilan : yang dimaksud dengan keadilan adalah pembagian (penyebaran) keuntungan, yang diperoleh dari suatu kebijakan, di antara kelompok masyarakat (stakeholders). 3. Insentif untuk perbaikan : kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mendorong para “stakeholders” untuk mencari dan menerapkan pendekatan atau teknologi untuk perbaikan. 4. Kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) : dapat atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan. 5. Pertimbangan moral. Data diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan kepustakaan yang relevan dengan kajian, seperti artikel dan berita di surat kabar, peraturan perundang-undangan terkait, serta dokumen-dokumen perencanaan di Kota Bandung. Selain itu, data dan informasi juga dikumpulkan dan diverifikasi melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan Komisi B DPRD Kota Bandung, Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, dan Pengurus (Ketua dan Sekretaris) Koperasi Pasar di Kota Bandung. Teknik analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data hasil wawancara untuk menganalisis pemaknaan terhadap pasar, mengevaluasi pelaksanaan Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung, serta merumuskan model revitalisasi pasar tradisional. Teknik analisis data ini secara operasional dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penafsiran data, dan penarikan kesimpulan.
3 Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989, hal. 1 4 William N. Dunn. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2. Englewood Cliffs, New
Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company. Terjemahan dari : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
285
4. Temuan dan Analisis
4.1 Konsep dan Pemaknaan tentang Pasar
Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya, melainkan bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salahsatu implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk mendapatkan laba maksimum.5 Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua kategori masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom menentukan keputusan bebas. Dalam masyarakat seperti itu, pasar merupakan kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan konsumen6 dan kultural. Jika keputusan produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi pendapatan yang telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai kolektif yang dapat diraihnya. Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi masyarakat prakapitalistik yang ciri-cirinya tampak dalam kelompok masyarakat yang masih berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar (dalam arti tempat bertemunya penjual dan pembeli) masih sangat diwarnai oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal antara penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’), serta kedekatan hubungan sosial (yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam membeli barang atau konsep ‘berhutang’). Karakteristik semacam ini pada kenyataannya tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan sebagaimana ditesiskan Boeke, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar di Indonesia. 5 J.H. Boeke. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia.
N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon. 6 Komaruddin Sastradipoera. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan Kebudayaan Rancagé, hal. 101.
286
Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan dualisme sosial, yang tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial yang berasal dari luar masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di wilayah yang sama. Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak hanya merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat pertemuan warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal atas permasalahan kota7. Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan, kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang individualistis, “dingin”, dan anonim. Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak diimbangi oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya menampakkan ciriciri masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih menunjukkan kebiasaan masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi yang timpang di mana salah satu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun kultural. Friedma8 menjelaskan bahwa kesenjangan dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan dalam basis kekuasaan sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar di pasar terutama disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh modal atau aktiva produktif, ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial, ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja, dan ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi. Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni: 1. hilangnya harga diri (self-esteem) karena pembangunan sistem dan pranata sosial dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan; dan 2. lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari masyarakat yang berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian. 7 Pujo Sugeng Wahyudi dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya: Cermin Buruknya
Pengelolaan Pasar”. Kompas, 24 Maret 2003. 8 Dalam Sastradipoera, op.cit., hal. 112
287
Kondisi ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi salah satu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional dalam persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis. Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar tradisional. Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan melebihi standar minimal. Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat. Pembedaan kategori pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih sarat dengan makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas strata masyarakat. 4.2 Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung Kota Bandung memainkan peran strategis bukan hanya sebagai salahsatu kota besar di Propinsi Jawa Barat, tetapi juga menjadi “etalase” bagi Jawa Barat. Dalam kedudukan sebagai ibukota propinsi, kondisi Kota Bandung seringkali dijadikan cerminan bagi kondisi daerah-daerah lain di Jawa Barat. Dalam hal kapasitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi Kota Bandung banyak ditunjang oleh sektor perdagangan, sebagaimana diindikasikan dari kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kota Bandung sebesar 31,91% pada tahun 2003, yang menempati urutan pertama
288
9
dibandingkan sektor-sektor lainnya. Potensi inilah yang selanjutnya mendasari ditetapkannya visi Kota Bandung sebagai Kota Jasa. Dalam konsepsi ini, Kota Bandung akan dikembangkan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan dengan menekankan pada pengembangan infrastruktur, sarana, dan prasarana yang mendukung kemudahan dalam kegiatan jasa dan perdagangan. Dalam visi ini terkandung kepentingan untuk membentuk citra Kota Bandung sebagai kota jasa yang modern, sehingga perlu ada simbol-simbol modernisasi. Citra modern menjadi bagian proses pembangunan ekonomi yang dianggap dapat memacu kapasitas ekonomi daerah. Pabrik-pabrik atau perusahaan, pertokoan berkapasitas besar seperti mall (super dan hipermarket), pengembangan kawasan wisata, termasuk pengadaan perumahan elit (real estate) dan perkantoran menjadi pilihan Pemerintah Kota untuk menjadi mesin ekonomi. Pilihan terhadap sektor perdagangan dan jasa berkapital besar ini diharapkan dapat memberikan efek domino untuk merangsang tumbuhnya sektor ekonomi riil lainnya, seperti menyerap tenaga kerja, mendorong investasi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan lain-lain. Sebagai salah satu ciri sarana perekonomian perkotaan, keberadaan pasar menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup potensial, sehingga pengaturan tentang pengelolaan pasar kemudian diwadahi dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 17 Tahun 1996 tentang Pengurusan Pasar-Pasar di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, yang kemudian diubah dengan Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Perda No. 19 Tahun 2001 dibuat dengan maksud untuk mengelola perkembangan pasar agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus peningkatan perekonomian masyarakat. Namun, maksud ini belum sepenuhnya tercakup dalam materi muatan perda karena perda ini hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan dan jenis; ketentuan mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di areal pasar; retribusi; kewajiban dan larangan; sanksi; dan ketentuan penyidikan. Sekalipun penamaan perda ini adalah pengelolaan pasar, pada kenyataannya tidak tercantum konsep pengelolaan pasar yang diterapkan di Kota Bandung. Pengklasifikasian pasar tidak disertai dengan mekanisme pengelolaan bagi setiap golongan dan jenis pasar, padahal pengelolaan pasar induk tentu akan berbeda dengan pasar eceran, tapi dalam perda ini tidak dibahas mengenai perbedaan pengelolaan tersebut. Substansi perda juga tidak membahas mengenai pengelolaan pasar tradisional dan pasar modern, bahkan dalam perda sama sekali tidak termuat mengenai pasar modern, baik pengertian maupun pengelolaannya. Pendefinisian pasar yang digunakan dalam perda ini sangat limitatif, hanya bersumber dari dan pelaksanaan berbagai kebijakan. Kepentingan ini berlindung di balik jargon peningkatan PAD, yang dalam kasus pengelolaan pasar dijabarkan dan/atau ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai 9 Bandung Dalam Angka, 2003.
289
Pemerintah Daerah”. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah “pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar”. Kedua definisi di atas tidak menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial dalam suatu masyarakat, tapi sebatas tempat berjualan umum. Bahkan pendefinisian pasar tradisional semakin tereduksi dengan kriteria serba “marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil, modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma pengelolaan pasar yang terkandung dalam perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik. Paradigma inilah yang kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional yang diterapkan di Kota Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada penguasaan kapital. Paradigma ini berkembang sebagai konsekuensi dari pemahaman yang mengidentikan otonomi daerah dengan kemandirian secara finansial, sehingga kepentingan akumulasi kapital menjadi sangat berpengaruh dalam perumusan melalui kemudahan pemberian izin bagi pasar-pasar modern. Padahal, dalam berbagai peraturan, seperti Surat Keputusan Bersama Menperindag dan Mendagri No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, juga Keputusan Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 dan Keputusan Menperindag No. 420/MPP/Kep.10/1997 serta Surat Edaran Gubernur Jawa Barat sejak tahun 2004 kepada Bupati dan Walikota telah diatur mengenai pembatasan izin pasar modern berskala besar, tapi keberadaan peraturanperaturan tersebut seolah tidak dipatuhi oleh para walikota dan bupati, termasuk di Kota Bandung. Dalam kasus Kota Bandung, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada karena sebanyak 36 pasar tradisional di Kota Bandung merupakan sumber PAD yang sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana untuk merevitalisasi pasar. APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga Pemerintah Kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Anggaran yang disediakan pemerintah hanya biaya-biaya rehabilitasi ringan, penyediaan lahan, fasilitas umum dan sosial, seperti sarana jalan, kamar kecil atau MCK, drainase, sarana kesehatan, dan lain-lain. Pada anggaran tahun 2005, target PAD yang hendak diraih Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung adalah Rp 4.557.750.000,00. Target PAD itu berasal dari retribusi pasar, ketertiban, fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB), dan kontribusi pasar swasta. Anggaran biaya belanja Dinas Pengelolaan Pasar sendiri pada tahun 2005 mencapai 10 lebih dari Rp 5 milyar. 10 Hasil FGD dengan Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung, bertempat di Ruang Komisi B DPRD Kota
Bandung, 22 Mei 2006.
290
Kondisi keuangan ini menjadi pendorong sehingga Pemerintah Kota tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha yang menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan. Maraknya pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan secara meluas, karena melahirkan ketimpangan. Mal menyodot keuntungan pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Berdasarkan data AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradional memang terus merosot. Bila pada tahun 2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada 11 tahun lalu turun menjadi hanya 70%. Dengan demikian pasar tradisional juga kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasarpasar desa atau perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidak terjangkau oleh pedagang. Sejumlah upaya revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan Pemerintah Kota c.q. Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung mengalami kegagalan, bahkan berujung dengan konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah Kota. Konflik ini muncul karena sejumlah penyebab, pertama, Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota. Kasus revitalisasi Pasar Kosambi, misalnya. Sejak masa pemerintahan Walikota Bandung, Wahyu Hamidjaja hingga Dada Rosada, pasar ini telah berulang kali direnovasi. Namun, tidak ada satupun proyek renovasi itu tuntas. Terakhir kali, setelah direnovasi oleh P.T. Tirtobumi, pengembang mengembalikan pengelolaan pasar kepada pemerintah kota lewat Memorandum of Understanding bertanggal 30 November 2003. Namun renovasi pasar saat itu tidak seratus persen rampung. Padahal setahu pedagang, pihak pengembang menjanjikan pengelolaan pasar hingga tahun 2018. Setelah itu, tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan revitalisasi Pasar Kosambi. Pemerintah kota, lewat Dinas Pengelolaan Pasar, yang seharusnya mengelola kembali Pasar Kosambi, tidak kunjung menuntaskan revitalisasi pasar. Kedua, tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan. Alih-alih menjalin kemitraan, yang berkembang justru saling curiga antara pemerintah dengan pedagang dan koperasi pasar, dan antara pedagang dan koperasi pasar dengan pihak pengembang. Kasus revitalisasi Pasar Kosambi contohnya. 11 Arie Sujito. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24 Tahun 2005,
download dari www.ireyogya.org
291
Ketika pihak pengembang mengembalikan tanggung jawab pengelolaan pasar pada Pemerintah Kota, sementara pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk meneruskan revitalisasi, yang terjadi adalah kevakuman yang berakibat pada turunnya pendapatan sekitar 250 pedagang resmi di Pasar Kosambi. Para pedagang di pasar tersebut bersama dengan Koperasi Pedagang Pasar Kosambi menyatakan sepakat menata sendiri gedung pasarnya. Dana yang diperlukan sekitar Rp 1,6 milyar untuk menata pasar mulai dari basement sampai dengan lantai dua. Koppas tidak meminta bantuan dana dari pemerintah kota karena modal akan diperoleh dari penjualan kios. Namun izin tidak kunjung turun dari pemerintah kota, padahal semua dinas terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas Bina Marga, Dinas Perhubungan, dan Dinas Tata Kota sudah menyatakan menyambut baik rencana ini. Belum turunnya izin dari Walikota Bandung diperkirakan karena walikota ingin penataan itu diterapkan pada seluruh lantai, bukan hanya basement sampai dengan lantai dua, namun biayanya belum ada. Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung meragukan bisa terlaksananya rencana pedagang Pasar Kosambi untuk menata pasar dengan biaya sendiri yang diperoleh dari penjualan kios-kios. Hal ini berarti harus mengubah IMB yang sudah ada. Selain meragukan kemampuan para pedagang dan Koppas, Dinas Pengelola Pasar justru mulai mencurigai motif para pedagang tersebut. Dalam wawancara dengan media cetak lokal, Kepala Dinas Pengelola Pasar mengatakan, “Kami juga perlu mencari tahu, siapa sebenarnya yang menginginkan penataan dengan biaya sendiri itu. Apakah memang keinginan itu murni suara bulat pedagang? Apakah ini akan dimanfaatkan pihak-pihak lain dengan mengatasnamakan pedagang. Kami harus teliti. Saya sendiri tetap lebih memilih langkah membuat variasi barang dagangan di masing-masing lantai untuk menarik konsumen. Kemudian basement yang dijadikan lahan parkir ditata kembali.”12 Pernyataan ini secara eksplisit mengindikasikan adanya perbedaan persepsi dan kepentingan di antara pemerintah kota selaku pemegang otoritas dengan para pedagang. Namun, tidak ada upaya konkret yang dilakukan untuk menjembatani perbedaan kepentingan tersebut.
Ketiga, ketiadaan mekanisme untuk mencapai konsensus untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok. Konflik kepentingan merupakan kewajaran dalam proses kebijakan, namun harus direspon dengan baik oleh pengambil keputusan. Pemerintah Kota sebagai pemegang otoritas seyogyanya dapat berperan lebih besar dalam mencari konsensus untuk mengelola kepentingan pihak terkait dalam pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharui untuk memastikan misi kebijakan tercapai dan pihak penerima dampak dapat merelakannya. Pemerintah Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai alat peredam konflik kepentingan, namun dalam pelaksanaannya, perizinan dalam pendirian ataupun pengelolaan pasar hanya sebatas formalitas. Kewenangan untuk memberikan izin semestinya tidak hanya dimaknai secara legal-administratif, tapi juga secara politis. 12 Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005
292
Kewenangan secara legal administratif hanya dapat ditegakan manakala dianggap legitimate oleh mereka yang terkena dampak kebijakan, terutama oleh mereka yang terkena dampak negatif. Munculnya protes terhadap keputusan yang diambil pemerintah sesungguhnya mencerminkan bahwa keputusan tersebut tidak legitimate, meskipun memenuhi persyaratan administratif. Kasus revitalisasi Pasar Simpang Dago, misalnya. Dalam kasus ini, para pedagang pasar Simpang Dago yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), mendatangi Komisi B DPRD Kota Bandung untuk menolak revitalisasi Pasar Simpang Dago yang direncanakan pemerintah kota.13 Menurut para pedagang, pembangunan mal atau plasa yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung menyengsarakan masyarakat. Selama ini para pedagang sudah melakukan penataan Pasar Simpang secara swadaya, seperti membenahi pagar dan trotoar. Sementara itu, Kepala Dinas Pasar, mengatakan, jika pedagang tidak setuju dengan rencana pemerintah kota, otomatis nota kesepahaman antara pemerintah kota dengan pengembang tidak berlaku. Pernyataan ini terkesan terlampau menyederhanakan permasalahan sekaligus membuktikan lemahnya legitimasi konsensus yang dihasilkan. Bila nota kesepahaman dengan mudah dapat ditiadakan oleh protes kelompok lain, maka tidak ada kepastian hukum yang kuat untuk menjamin kepentingan kelompokkelompok yang terkena dampak dari revitalisasi pasar tradisional. Dalam kasus revitalisasi Pasar Cicadas, krisis kepercayaan pedagang pasar tradisional kembali muncul dalam bentuk penolakan terhadap rencana revitalisasi yang akan dilaksanakan pemerintah kota bersama pengembang. Dalam pernyataan sikapnya, Paguyuban Pedagang Pasar Cicadas Baru (P3C) mengeluhkan sikap pengembang, PT Tirta Marga Kencana (TMK), yang dianggap telah bertindak terlampau jauh dengan membuat TPPS (Tempat Penampungan Pedagang Sementara) di Jln. Cikutra, melakukan pengukuran projektif dan pelaksanaan awal amdal.14 Warga pedagang juga mengaku kaget dengan adanya surat edaran pada April 2005 dari Pemkot Bandung yang ditandatangani Kepala Dinas Pasar. Edaran itu menyebutkan, para pedagang harus menyerahkan Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB) yang masih berlaku kepada kepala pasar, karena revitalisasi akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2005. Kasus ini semakin memperkuat dugaan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan para pedagang di pasar tradisional. Dugaan keberpihakan Pemerintah Kota terhadap kepentingan pengembang selaku pemilik kapital semakin diperkuat ketika Pemerintah Kota kurang tegas menegakan ketentuan pengelolaan pasar tradisional yang telah disepakati dengan pihak pengembang. Dalam kasus revitalisasi Pasar Baru, misalnya, pihak pengembang mengubah penggunaan 2 (dua) basement Pasar Baru yang semula diperuntukan bagi lahan parkir menjadi tempat berjualan. Perubahan penggunaan ini dilakukan pengembang tanpa bermusyawarah dengan Koppas Pasar Baru, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pedagang lama.15 Sekalipun telah terjadi pelanggaran terhadap IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan IPPT 13 Pikiran Rakyat, 19 Januari 2006 14 Pikiran Rakyat, 30 Juni 2005 15 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Baru, bertempat di Ruang Komisi B DPRD
Kota Bandung, 22 Mei 2006
293
(Izin Peruntukan Penggunaan Tanah), Dinas Pengelola Pasar Kota Bandung tidak memberikan sanksi apapun terhadap pengembang Pasar Baru. Kompromi terhadap kepentingan kapital yang diwakili oleh para investor (pengembang) pasar juga diindikasikan dari inkonsistensi pelaksanaan Perda No. 19 Tahun 2001 dengan kebijakan lain yang terkait, misalnya sekalipun ada ketentuan bahwa pasar modern tidak boleh dibangun dalam radius 10 meter dari pasar induk,16 kenyataannya dalam radius 10 meter dari Pasar Induk Gede Bage hingga sekarang berdiri Hipermarket Makro17 . Dikaitkan dengan penataan kota, dalam Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), ditegaskan bahwa perkembangan pusat belanja dan pertokoan yang cenderung linier sepanjang jalan arteri dan kolektor harus dikendalikan. Pengembangannya didorong ke wilayah Bandung Timur. Peraturan itu secara normatif memang melindungi pedagang di pasar tradisional. Namun, ketidaktegasan dalam pelaksanaan hampir dapat dipastikan membuat pasar modern dengan segala keunggulannya menyulitkan pasar tradisional. Di Kota Bandung, pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan mal/hipermarket menjadi makin sepi pembeli. Hypermart hanyalah salah satu dari hipermarket yang menyerbu Kota Bandung. Sebelumnya, di kota ini sudah masuk hipermarket lainnya, seperti Carrefour, Giant, Alfa, Makro, Bandung Electronic Center, Cihampelas Walk, ITC Kebon Kelapa, dan ITC Pasar Baru. Tahun 2006 mulai dibangun empat mal/ hipermaket baru, yaitu Bandung Electronical Mal, Mal Parijs Van Java, Braga City Walk, dan Paskal Hyper Square. Semua pusat perbelanjaan modern yang sedang dibangun itu berlokasi di pusat kota, bukan di wilayah Bandung Timur seperti yang diamanatkan Perda RTRW Kota Bandung. 4.3 Model Revitalisasi Pasar Tradisional Konsep revitalisasi pasar tradisional lebih luas dari sekedar perubahan pada fisik bangunannya saja, tetapi juga harus ada konsep bagaimana mendinamiskan pasar. Kasus-kasus yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir setiap upaya revitalisasi pasar tradisional, yang salah satunya menyediakan pula lapak-lapak atau kios-kios baru bagi para pedagang pasar tumpah, berujung pada ketidakpuasan pedagang karena informasi mengenai rencana dan pelaksanaan revitalisasi pasar tidak menyentuh semua pedagang, hanya para perwakilannya saja. Buktinya, banyak pedagang di pasar-pasar yang direvitalisasi tidak mengetahui soal revitalisasi yang sedang atau akan dilaksanakan di pasarnya. Pedagang juga merasa harga kios atau lapak yang ditawarkan pengembang pasar dinilai terlalu tinggi, sehingga sulit dijangkau. Apalagi saat ini pedagang tradisional sangat tersaingi oleh pasar-pasar modern dari segi pendapatan. Pasar modern seperti pasar swalayan, minimarket, department store, dan sebagainya, selain dapat 16 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B
DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006 17 Hasil FGD dengan Ketua dan Sekretaris Koppas Pasar Gede Bage, bertempat di Ruang Komisi B DPRD Kota Bandung, 22 Mei 2006
294
menjual barangnya dengan harga lebih murah, tempatnya juga lebih nyaman karena fasilitas umum dan sosialnya terpenuhi, sehingga lebih banyak menarik pembeli. Akibat tingginya harga kios hasil revitalisasi, banyak pedagang yang tadinya mempunyai beberapa kios, terpaksa menjual kios-kiosnya hingga tersisa satu, untuk menutup uang muka pembelian kios, yang besarannya minimal 30% dari total harga jual. Pengelolaan potensi pasar seyogianya tidak hanya berorientasi pada peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari setiap pihak dapat terakomodasi dengan adil. Dengan demikian, materi muatan kebijakan pengelolaan pasar nantinya akan mengatur pula bagaimana potensi pasar tersebut dikembangkan, mulai dari jenis dan kualitas komoditi yang akan diperjualbelikan, mekanisme bongkar muat komoditi sehingga jalur distribusi produk menjadi lebih efisien dan efektif, serta model kemitraan yang perlu dikembangkan agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat renovasi pasar tradisional. Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma sebagai berikut. Pertama, paradigma dalam memandang pasar harus bergeser dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar, plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat mahal atau sulit, karena hak-hak “kepemilikan” terhadap barang-barang tersebut sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas. Oleh karena itu, ruang pasar lantas memiliki ciri inklusif. Kedua, model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasarpasar tradisional. Distribusi di sini mengandung makna yang luas, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar. Pemerintah kota dapat merumuskan kebijakan insentif untuk mendukung perbaikan jalur distribusi ini, misalnya dengan memperbaiki ketentuan bongkar muat. Dalam Perda No. 19 Tahun 2001, bongkar muat barang dagangan dari kendaraan pengangkut dilakukan di areal pasar. Praktik semacam ini justru menimbulkan kerugian karena menyebabkan kebersihan di sekitar areal pasar menjadi terganggu dan dapat menimbulkan kemacetan. Seyogianya pengaturan tentang bongkar muat dilakukan di luar areal tempat berjualan dan komoditas yang masuk ke pasar tradisional harus benar-benar diperiksa kualitasnya ketika bongkar muat.
Ketiga, pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan
295
properti kota (property development). Dengan kata lain, pembangunan pasar adalah proses yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan meredistribusikan kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dari sudut ini, secara paradigmatik pembangunan pasar lantas menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan keuntungan bagi masyarakat. Keempat, modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat. Pelebaran budaya produksi ke budaya dagang bukan saja akan memperkuat daya tahan harga (reservation price) untuk produk-produk yang dijual di pasar tradisional, tetapi juga mendorong lancarnya penjualan, dasar pertukaran yang lebih baik, dan perputaran barang dan uang yang lebih cepat. Melalui tahapan seperti itu, pasar pun akan berubah bukan hanya mempunyai fungsi ekonomis, tetapi juga menjadi identitas kebanggaan bagi daerah yang mampu mengubah citra pasar tradisional yang semula tidak menarik, jorok, busuk, dan tidak terorganisasi menjadi salahsatu pusat komunikasi ekonomi dan simpul perdagangan, penyebaran informasi, dan pertemuan kultural antarpenduduk, bagi setiap tingkatan status masyarakat.
Kelima, model kemitraan menjadi penting untuk dirumuskan bersama karena APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga mau tidak mau pemerintah kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Masalahnya adalah bagaimana agar pelibatan perusahaan pengembang ini tidak kemudian menyebabkan para pedagang tradisional yang semula berjualan di sana menjadi “tergusur”. Koppas sebagai intermediaries institution sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi penghubung antara kepentingan pengembang/pengelola pasar dengan pedagang tradisional, sehingga revitalisasi pasar tradisional tidak terjebak dalam arus kepentingan kapitalisme yang semakin ekspansif. Pemberdayaan Koppas penting untuk dilakukan karena selama ini posisi Koppas melemah akibat tidak adanya sumber dana bagi kegiatan Koppas. Konsep renovasi pasar yang diterapkan Pemerintah Kota menempatkan pihak pengembang sekaligus sebagai pengelola dan mengambil alih seluruh kegiatan pengelolaan pasar, seperti jasa listrik, parkir, dan kebersihan yang semula menjadi sumber penghasilan bagi Koppas. Pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang
296
lebih murah. Selain itu, pembinaan terhadap para pedagang pasar tradisional dan Koppas perlu dilakukan secara kontinyu agar nantinya Koppas dapat memenuhi syarat untuk menjadi mitra bagi pihak pengembang dalam pengelolaan pasar. Keenam, pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan persoalan ruang usaha bagi masyarakat. Pasar, tempat usaha rakyat harus diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah. Pengelolaan pasar dengan demikian adalah memberdayakan pasar secara lebih kreatif, terjangkau, manusiawi, kompetitif, dan nyaman bagi masyarakat.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan
Hasil temuan dan analisis di atas menunjukkan sejumlah poin penting sebagai kesimpulan, yakni: 1. Konsep dan pemaknaan pasar sesungguhnya sangat luas, mencakup dimensi ekonomi dan sosial-budaya. Dalam perspektif ekonomi, pasar merupakan tempat berlangsungnya transaksi barang dan jasa dalam suatu tempat tertentu. Sementara secara sosial-budaya, pasar merupakan ruang tempat berlangsungnya interaksi sosial lintas strata. Dikotomi tradisional dan modern yang dikenakan terhadap jenis pasar bersumber dari pergeseran pemaknaan terhadap pasar, yang semula menjadi ruang bagi berlangsungnya interaksi sosial, budaya, dan ekonomi kemudian tereduksi menjadi ruang bagi berlangsungnya transaksi ekonomi dan pencitraan terhadap modernisasi yang berlangsung dalam suatu masyarakat. 2. Paradigma kepentingan ekonomi-kapitalistik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan PAD menjadi paradigma yang dianut dalam Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis karena di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada sebagai sumber PAD yang sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana yang memadai dan konsep yang jelas untuk revitalisasi pasar, sehingga cenderung bersikap kompromistis dengan pengembang sebagai pemilik modal, sekalipun banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Perda Pengelolaan Pasar, misalnya kegagalan revitalisasi pasar tradisional, ketidaksesuaian penggunaan lahan, bahkan konflik antara pedagang lama dan Koppas dengan pengembang.
297
3. Model revitalisasi pasar tradisional seyogianya tidak hanya berorientasi pada peningkatan PAD, tetapi berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, dalam menggagas model pengelolaan pasar perlu melibatkan berbagai stakeholders yang terkait, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas Bangunan, Dinas Tata Kota, Dinas Perhubungan, Koppas, asosiasi pedagang tradisional, perusahaan pengembang, dan sebagainya agar kepentingan dari setiap pihak dapat terakomodasi dengan adil. 5.2 Rekomendasi Berdasarkan temuan tersebut, sejumlah langkah revitalisasi pasar tradisional yang direkomendasikan adalah: 1. Perubahan paradigma pengelolaan pasar, di mana revitalisasi pasar tradisional ditempatkan sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan properti kota yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, dan meredistribusikan kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, revitalisasi pasar menjadi sebuah instrumen untuk menciptakan keuntungan bagi masyarakat. 2. Memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjualbelikan di pasar tradisional, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar. 3. Menegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan pasar secara konsisten, misalnya yang menyangkut tata ruang, alihguna lahan, perizinan bagi pasar modern, ketentuan batas minimal jarak pasar modern dari pasar tradisional, pembatasan pembangunan pasar modern di lingkungan permukiman penduduk, pengaturan tentang bongkar musat barang, jaminan kontrol kualitas (quality control) komoditas, dll. 4. Merumuskan model kemitraan lintas stakeholders untuk memberdayakan para pedagang di pasar tradisional serta memperkuat posisi tawar pasar tradisional dalam persaingan dengan pasar modern, misalnya dengan: a. Merumuskan kebijakan kemitraan atau corporate social responsibility dari pasar modern terhadap pasar tradisional sebagai bentuk subsidi silang; b. Menerapkan ketentuan bahwa pengelola/pengembang harus memberikan kemudahan dalam kredit pemilikan kios bagi pedagang lama; c. Dinas Pengelola Pasar dapat bekerjasama dengan Bank Daerah atau bank lain untuk memberikan kredit kepemilikan kios dengan bunga lunak bagi pedagang lama. d. Pemerintah Kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait (misalnya Dinas Pengelola Pasar, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Dinas Industri dan Perdagangan) dapat melakukan pembinaan terhadap para pedagang pasar tradisional dan Koppas secara kontinyu agar nantinya Koppas dapat memenuhi syarat untuk menjadi mitra bagi pihak pengembang dalam pengelolaan pasar.
298
5. Modernisasi pasar untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil, dengan menerapkan manajemen pasar secara rasional, berorientasi pada standarisasi kualitas komoditas, standarisasi harga penjualan (fixed price), standarisasi fisik bangunan, dan lain-lain. 6. Mengembangkan kreativitas dalam pengelolaan pasar tradisional, misalnya dengan: a. Membangun pasar-pasar tematik bagi pengembangan pasar modern, seperti pasar yang khusus berjualan tekstil, elektronik, bahan bangunan, dan lainlain. Melalui model ini diharapkan pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah. b. Pengembangan pasar secara tersebar, tidak bersifat linier mengikuti arus jalan, yang diharapkan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di seluruh wilayah kota sekaligus meminimalkan penumpukan kegiatan ekonomi di satu wilayah yang dapat memicu terjadinya kesenjangan, kemacetan, dan melemahnya kapasitas lingkungan.
Cikapundung-Cisangkuy, Juni 2006
299
Daftar Pustaka Buku Anderson, James E. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt, Rinehart and Winston. Boeke, J.H. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia. N.V. Haarlem:HD Tjeenk Willink & Zoon. Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Edisi ke-2. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall, Inc., A Simon & Schuster Company. Terjemahan dari : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Imawan, Riswandha. 1999. Kebijakan Publik. Yogyakarta : Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik UGM. Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”, dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:Yayasan Kebudayaan Rancagé. Wibowo, Sunaryo Hadi (ed). 2005. Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE Press bekerjasama dengan Yayasan SET Jakarta. Sumber Lainnya Bandung Dalam Angka, 2003. Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005.
Commonwealth of Australia Department of Finance. 1989. Pikiran Rakyat, berbagai edisi. Sujito, Arie. “Mal dan Marginalisasi”. Artikel, dimuat dalam Flamma Edisi 24 Tahun 2005, download dari www.ireyogya.org Wahyudi, Pujo Sugeng dan Mukhlis Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo, Surabaya: Cermin Buruknya Pengelolaan Pasar”. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.
300
2. Menuju Perda yang Realistis, Partisipasif dan Progresif Kasus: Kaum Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan
1. Policy Otonomi Daerah Kebijakan nasional tentang otonomi daerah dan pemerintahan daerah telah diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada dasarnya otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek potensi dan keanekaragaman antardaerah. Implementasi otonomi daerah menjadi makin penting dengan meningkatnya dinamika sosial, ekonomi maupun budaya baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional hingga menuntut otonomi daerah dijalankan secara nyata dan bertanggungjawab namun proporsional. Implementasi otonomi daerah juga diperkuat oleh Ketetapan MPR IV/MPR/2000 tentang kebijakan dalam penyelenggaran otonomi daerah, dimana otonomi daerah harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan daerah-daerah otonom dalam penyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini dikukuhkan dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Beberapa perubahan mendasar tentang otonomi daerah didalam amandemen kedua UUD 1945 pasal 18 diantaranya (sumber: APKASI, 2003), 1. Adanya pembagian daerah otonom yang bersifat berjenjang (Propinsi, Kabupaten dan Kota). 2. Daerah otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintah daerah otonom memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Kepala daerah dipilih secara demokrasi. 5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah harus diupayakan melalui pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran
301
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antardaerah. Otonomi daerah juga harus memberdayakan warganya agar tumbuh menjadi masyarakat madani yaitu masyarakat yang mandiri, kreatif, berdaya dan partisipatif, dengan menempatkan Pemerintah Daerah hanya sebagai fasilitator dan regulator pembangunan yang akomodatif terhadap dinamika stakeholder di daerah.
2. Permasalahan Pemberdayaan dan Partisipasi Kaum Marginal Proses pembangunan daerah / kota selalu meninggalkan dampak akibat kesenjangan antara tuntutan ideal pembangunan dengan keterbatasan resources. Kompetisi dan kompetensi yang menjadi basis ekonomi pasar telah meminggirkan sebagian warga kota yang kurang bisa bersaing. Sebenarnya tidak ada warga yang mau tersisih, atau menjadi miskin, bodoh, bahkan terbelakang, hingga akhirnya menjadi kaum marginal (yaitu sebagian warga yang terpinggirkan/kurang memperoleh perhatian oleh lingkungannya akibat keterbatasan/ ketidakmampuan). Karena keadaan mereka terpaksa menerima atau terjerumus hidup sebagai pengemis, bekerja sebagai pelacur/prostitusi/tuna susila, anak-anak terlantar dan lainnya. Problematika sosial kaum marginal menimbulkan pertanyaan bagi kita, 1. Apakah di era otonomi daerah saat ini Pemda menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang sama bagi warganya? 2. Apakah bentuk pemberdayaan dan partisipasi kaum marginal? 3. Apakah Perda akomodatif terhadap kepentingan kaum marginal dan apa wujudnya? 4. Bentuk-bentuk jaminan sosial sebagai pra kondisi terhadap kehidupan kaum marginal? 5. Perlakuan equal treatment di bidang politik terhadap kaum marginal dalam setiap keputusan daerah yang terkait dengan masa depan mereka?. Semua pertanyaan itu menjadi siklus yang belum terjawab tuntas. Realitasnya, problem kemiskinan dan ketidakberdayaan kaum marginal makin besar dan Pemda secara sadar telah ‘mendisain’ dan membiarkan pembangunan berlangsung ‘kurang manusiawi’. Otonomi daerah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pihak di daerah, gejala yang jelas adalah munculnya berbagai friksi antara elit lokal dan kelompok/fraksi di masyarakat. Otonomi tidaklah secara otomatis memberi akses dan kontrol bagi kaum marginal untuk berpartisipasi atau memanfaatkan resources. Sehingga semangat partisipasi dan pemberdayaan mereka masih dipermainkan oleh kepentingan elit politik atau kekuatan kelompok/golongan didaerah. Pemerintah daerah menyadari bahwa dalam pengelolaan daerah perlu memberi kesejahteraan rakyatnya, tetapi belum ditemukan pendekatan dan instrumen yang tepat dan
302
memadai agar pengelolaan daerah secara optimal mensejahterakan warganya serta prosesnya dapat dikontrol. Isunya adalah Pemda kurang begitu peka mendefinisikan stratifikasi sosial di wilayahnya terkait dengan prioritas dan pemberdayaan resources. Peran pendampingan oleh LSM atau Lembaga independen yang berlangsung kurang intensif dapat menimbulkan masalah yaitu berbagai kepentingan di daerah secara riil kurang mendapatkan peran di dalamnya. Persoalan sosial yang muncul akibat ketidakmampuan pemerintah daerah membangun kesempatan kerja dan kualitas SDM yang rendah membuat daerah kurang mampu memberi pilihan yang baik bagi warganya berkompetisi dan hidup dilingkungannya. Semangat otonomi daerah masih dominan pada eksploitasi optimal sumber daya alam atau pembagian dana pembangunan pusat-daerah, namun kurang memberi perhatian pada pembangunan kualitas dan kesiapan manusia, apalagi terhadap kaum marginal yang tersisih karena keterbatasan pendidikan, kemiskinan, atau korban kekerasan rumah tangga, atau akibat tindak kriminal. Untuk itu ‘memanusiakan’ kaum marginal harus didekati melalui komitmen stakeholder didaerah yang tercermin dalam sistem / peraturan Daerah yang realistis, partisipatif dan progresif. Dimensi realistis dikembangkan melalui akses yang besar bagi kaum marginal di bidang pendidikan, ketrampilan dan modal usaha sebagai jaring pengaman sosial menjamin kelangsungan hidup maupun kesempatan berusaha. Transformasi paradigma kearah itu membutuhkan penguatan partisipasi warga (termasuk kaum marginal), melalui sikap menerima realita sosial, mendorong ke arah perbaikan kondisi dan bagaimana mengelola resources dalam semangat otonomi itu sendiri. Dimensi partisipasi dan progresif dikembangkan melalui pemberdayaan warga mewujudkan hak-hak mereka untuk terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan publik yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka di masa depan. Proses tersebut terutama untuk menjamin agar pelembagaan dan pengorganisasian kelompok marginal berjalan secara bertanggungjawab dan demokratis, kepentingan dan suara mereka dapat diperhitungkan secara berimbang. Bentuk praktis partisipasi warga diantaranya di bidang: 1. Kependidikan dan penanggulangan masalah sosial dan kemiskinan; 2. Advokasi dan kerjasama warga terhadap isu kesempatan kerja, lingkungan dan lain-lain; 3. Pendidikan dan kesadaran warga terhadap hak dan tanggung jawab; 4. Pengawasan terhadap mutu pelayanan publik seperti utilitas, perijinan, pajak, anggaran daerah, dan lain-lain; 5. Membangun sistem pemerintahan daerah yang transparan dan responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan warga. Lemahnya partisipasi kaum marginal dan peran LSM/lembaga independen menjadi indikasi macetnya pemberdayaan sosial. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap politik menjadikan mereka marginal dalam berpartisipasi.
303
Kaum marginal (khususnya pelacuran) merupakan resources daerah yang dapat diberdayakan secara positif. Mereka tidak sekedar obyek tapi menjadi bagian dari subyek yang turut menentukan keputusan. Menganggap mereka ’sampah masyarakat’ menjadi justifikasi bahwa Pemda tidak bijak dan equal treatment dalam mengelola resources daerah. Pemerintah daerah harus benar-benar menciptakan kondisi yang mendorong dan menjamin warganya untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan publik yang akan berdampak pada setiap warga. Oleh karenanya LSM dan kelompok yang mewakili kepentingan kaum marginal (pelacur, anak terlantar, pengemis, dan lain-lain) harus dilibatkan dalam merumuskan Perda dan keputusan penting di daerah. Mereka bisa menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap lembaga Eksekutif dan Legislatif di daerah / kotamadya.
3. Perda Yang Realistis, Partisipatif dan Progresif Dari sejumlah + 14 (empat belas) Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan kaum marginal (khususnya Pelacuran) dan yang terakhir adalah Perda No.8 Seri E Tanggal 23 November 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kodya Tangerang, secara umum belum dijumpai upaya pemberdayaan dan solusi komprehensif dalam penanganan kaum marginal (pelacuran) dan Pemda belum menempatkan diri menjadi fasilitator dan regulator yang bijak terhadap kaum marginal ini. Kaum marginal (pelacuran) secara kasat mata ada di kota/daerah, namun masih menjadi obyek hukum semata, sementara Hak hukumnya relatif diabaikan. Untuk melihat kondisi Perda yang ada, dilakukan Comparative Study terhadap 5 (lima) Perda yang menjadi sampel, khususnya Perda yang terkait peran kaum marginal (Pelacuran), (sumber data: Perdaonline.org) yaitu: 1. Perda Kota Kupang No. 39 Tahun 1999, Tentang Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang. 2. Perda Kodya Tangerang No. 8 E Tahun 2005, Tentang Pelarangan Pelacuran, 3. Perda 7 Tahun 1999, Tentang Prostitusi, di Kabupaten Dati II IndRhamayu 4. Perda 15 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila Dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, 5. Perda 3 Tahun 2002, Tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila dalam Kabupaten Lahat. Hasil comparative study menunjukkan adanya beberapa problematika mendasar terkait dengan proses maupun isi Perda khususnya dilihat dari sisi Substansi (Realitas), sisi Partisipatif dan sisi Progresif, diantaranya:
304
1. Substansi (Realitas) 1.1 Standarisasi dan Struktur Perda a. Belum dijumpai adanya kesamaan persepsi mengenai subyek Perda itu sendiri. Hal ini tercermin pada penamaan Perda dan Lingkup/pengertian obyek pembahasan khususnya tentang kaum marginal (pelacuran). b. Pertimbangan /Latar Belakang Perda merupakan awal atau basis dari pemikiran dan substansi isi Perda selanjutnya. • Pada daerah yang tidak akomodatif terhadap kaum marginal (dalam kasus ini adalah kegiatan pelacuran) norma agama, kesusilaan, nilai luhur dan pertimbangan ketertiban umum menjadi dasar penyusunan dan substansi Perda. • Pada daerah yang akomodatif, realita sosial menjadi dasar bahwa kegiatan ini bisa ada sehingga kegiatannya perlu diarahkan, dikendalikan, diatur di Perda. c. Dasar / Landasan Hukum Perda, sangat variatif tergantung landasan dan keterkaitan substansi Perda terhadap UU dan Perda yang telah ada di daerahnya. Namun terdapat Perda yang relatif komprehensif dibanding lainnya d. Struktur isi Perda, masih beragam (variatif) terkait akomodatif/tidaknya daerah. Namun substansi upaya pembinaan dan pemberdayaan terbatas dijumpai, hanya pada 2 Perda (yaitu: Perda Kupang dan Perda Lahat). 1.2 Ketentuan dan Isi a. Ketentuan Pelarangan Kaum Marginal (Pelacuran) • Pada daerah yang tidak akomodatif (Tangerang, IndRhamayu dan Bandar Lampung) terdapat unsur ‘praduga bersalah’ terutama adanya unsur mencurigai (dengan penekanan pada tingkah laku dan keberadaan di tempat umum) dan unsur penindakan berdasarkan kriteria diyakini (oleh Penyidik). Kriteria dan persepsi perlu dijelaskan dalam melakukan penegakan Perda. • Pada daerah yang akomodatif (Kupang) melihat pelarangan hanya sisi persyaratan pengunjung, sementara pada kota yang moderat (Lahat) Pelarangaan didasarkan pada perbuatan (yang nyata terjadi) b. Ketentuan Pidana, bervariatif masa hukumannya tergantung persepsi daerah, walaupun sama-sama menggunakan dasar hukum yang sama (ketentuan KUHAP) c. Penertiban dan Pengelolaan, pada kota yang tidak akomodatif lebih ditekankan pada pengendalian dan penindakan hukum. Sementara pada kota yang akomodatif diatur dengan tegas persyaratan: lokasi, jumlah, pembinaan dan persyaratan ketertiban dan lain-lain.
305
2. Partisipatif Kaum Marginal a. Tidak ada penjelasan bagaimana dan apa dikontribusi kaum marginal dalam Perda b. Terhadap sikap transparansi publik: • Pada daerah yang akomodatif: ada langkah pembinaan sesuai lokasi dan monitoring, yang diawasi Pemda. • Pada daerah yang tidak akomodatif: tidak ada solusi terhadap masa depan kaum marginal. Mereka hanya menjadi obyek yang harus ditertibkan /dihukum bila melanggar. tidak diatur bagaimana kondisi dan diarahkan kemana untuk keluar dari masalah yang ada. 3. Substansi Progresif a. Tidak ada peran LSM/lembaga independen dalam membangun maupun berperan dalam mendorong pengawasan terhadap implementasi Perda. b. Tidak ada langkah/upaya Pemda untuk mengembalikan kaum marginal kembali pada kehidupan normal, maupun upaya pemberdayaan mereka sebagai resources. Secara lengkap Comparative Study (Perbandingan Indikator) dan hasil kajiannya disajikan dalam Lampiran-1 (Data/Indikator) dan Lampiran-2 (Hasil Kajian). Bila dicermati secara lebih dalam terdapat beberapa critical point yang bisa diperoleh dari dalamnya, diantaranya: a. Belum ada standarisasi pola penyusunan Perda dan Kesamaan persepsi mengenai kaum marginal (pelacuran). Perda terkait pelacuran sangat variatif dan ini dapat berdampak pada: • Kesulitan (kebingungan) penyidik dalam menegakkan aturan lintas daerah, akibat persepsi dan struktur PERDA yang beda antardaerah. • Tiada adanya akuntabilitas dan transfaransi dalam kaitan menilai kualitas dan substansi PERDA antardaerah, terhadap obyek yang relatif sama. b. Sisi partisipatif dan pemberdayaan tidak diatur dalam PERDA. Kaum marginal (pelacuran) hanya menjadi obyek hukum dan dianggap “sampah masyarakat” yang harus dibersihkan dan digusur sejauh mungkin dari kota. Aspirasi mereka, hak hukum, hak hidup dan keberadaannya tidak diberi solusi yang komprehensif. Pemda tidak memberikan solusi sebagai upaya pengalihan ke kehidupan yang tidak menyalahi hukum. c. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Sosial/Pembelaan Hak Perempuan, tidak mendapat tempat, sehingga Perda lebih sebagai daftar pelarangan, penindakan, Ketentuan penyidikan/pidana. Membangun otonomi daerah seharusnya memberi peran masyarakat dalam berkontribusi, dan untuk kondisi ini Pemda dan DPRD masih dominan di sisi regulator dibanding sebagai fasilitator aspirasi/dinamika daerah.
306
d. Perda masih ‘dianggap’ menjadi media kepentingan politis lokal, sehingga kurang didukung oleh hasil penelitian yang cermat. Solusi yang ada dalam Perda kurang melihat aspek: realitas sosial (data dan fakta), partisipatif (peran serta dan tanggung jawab), dan progresif (solusi jangka panjang). e. Komunikasi antar kota-daerah (contoh: penyusunan Perda) masih lemah. Kerjasama antara daerah-kota di Indonesia (dalam asosiasi: APKASI, APEKSI, dan lainnya) masih terbatas, walaupun UU 22/1999 terkait otonomi daerah sudah berjalan lebih dari 7 tahun. Seharusnya dirancang pola kerjasama antara kota-daerah, dan checklist prinsip-prinsip umum, kriteria dasar, dan aspek keterkaitan antar di segala bidang pembangunan (tidak hanya Perda), sehingga dalam kegiatan antardaerah penyusunan (penyusunan Perda contohnya), terdapat standarisasi struktur bahasan yang sama, apabila ada hal khusus/nilai lokal yang perlu dicantumkan, maka hal itu bisa ditambahkan secara khusus atau dimuat dalam Ketentuan Khusus (Tambahan). Komunikasi antar kota/ daerah bisa dirancang melalui website, teleconference, atau media lain yang mudah di akses, aman dan update. Dalam membangun Paradigma Perda yang Realistis, Partisipatif dan Progresif terkandung makna bagaimana peraturan mampu menjawab dan mengakomodasi tantangan dan kebutuhan daerah dengan tujuan kemajuan, dengan meniadakan, meminimalisasi atau mengelola risiko/ konflik kepentingan. Tentu perlu dirumuskan apa kriteria dan bagaimana mekanisme mewujudkannya. Konsepnya, budaya partisipatif warga dibangun dengan memfokuskan perhatian pada keterlibatan seluruh warga. Pemda harus membangkitkan inisiatif warganya dalam kebersamaan melalui rasa tanggungjawab dan rasa memiliki dan komitmen yang tinggi terhadap kesepakatan. Rasa kepemilikan terhadap aturan (dalam hal ini Perda) dikembangkan melalui profit sharing yaitu dalam kemanfaatan dan keadilan mulai sejak proses penyusunan hingga implementasinya.
307
Gambar 1. Hubungan Antara Lingkungan dan Strategi Manajemen terhadap Budaya
Tak dapat dipungkiri, tidaklah semua anggota DPRD dan Pemda dalam penyusunan PERDA memilik kompetensi yang memadai karena memang sebagian besar anggota DPRD (diluar DPD) adalah wakil partai yang berasal dari beragam profesi, kepentingan, pendidikan, agama/pemahaman, kemampuan, dan PEMDA memiliki rutinitas/informasi terbatas sehingga Perda yang disusun kurang sempurna/terburu-buru. Untuk itu, dalam melihat realitas masyarakat diperlukan adanya niat dan hati nurani yang positif serta kejujuran terhadap permasalahan, informasi, data/hasil studi yang ada. Dalam membangun budaya partisipatif stakeholder terhadap Perda perlu ada keihlasan dan kepatuhan kita pada aturan, bahwa memang semua pihak yang terkait dengan Perda wajib diajak bicara, diakomodir aspirasinya agar terpenuhinya unsur keadilan. Menciptakan substansi Perda yang Progresif diperlukan kemampuan komprehensif dalam mengkaji kebutuhan dan trend masyarakat kedepan, alternatif relokasi/reposisi aktifitas, mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap Perda, serta kemampuan merumuskan kriteria dan indikator kinerja (performance indicator) dari Perda. Menuju Perda yang Realistis, Partisipatif dan Progresif minimal perlu memuat unsur-unsur: Preparation (penyiapan awal) meliputi kelayakan fakta dan informasi, adanya partisipasi stakeholder, sosialisasi, dan kajian kaitannya dengan UU/Peraturan yang lebih tinggi atau Perda ialah; • Enhancement (Pengayaan materi) yaitu unsur mendidik, memberdayakan dan mendorong kemajuan/ perbaikan daerah); • Action (Penindakan) yang mendefiniskan jenis dan kriteria penindakan jelas, transparan dan terukur; • Condition (Pengendalian dan Persyaratan) meliputi aktifitas yang boleh/tidak boleh, alternatif aktifitas yang dilarang, bagaimana relokasi/reposisi aktifitas ke depan, peran LSM/ organisasi sosial; • Addendum (unsur peralihan/ kondisional) yaitu kondisi/aturan peralihan, kriteria revisi, dll.
308
Gambar 2. Konsepsi Menuju Perda yang Realistis dan Progresif dengan Memperhatikan sisi Partisipasi Warga (Suatu Bentuk Penyederhanaan Solusi)
Yang perlu juga dikritisi adalah implementasi Perda dan upaya kita mengakomodasi
dan mengawasi berbagai ketentuan Perda agar sesuai dengan rencana yang ada (selengkapnya Konsepsi menuju Perda yang realistis, partisipatif dan progresif ditampilkan dalam Gambar 2.) Dari comparative study terhadap 5 (lima) buah Perda diatas nampak bahwa secara umum kemampuan PEMDA dan DPRD masih belum optimal, terutama dalam substansi partisipatisi publik dan bagaimana menterjemahkan realitas yang hidup ada di masyarakat. Perda tersebut juga belum memenuhi kaidah progresif yaitu mengantisipasi kebutuhan, memberdayakan, dan memenuhi rasa keadilan di masyarakat..
309
4. Penutup Otonomi daerah hakekatnya adalah otonomi pada rakyat di daerah, sehingga otonomi akan lebih bermakna pada keadilan dan kesejahteraan rakyat di daerah bila dijalankan bersama-sama dengan agenda demokratisasi didalamnya, yakni: upaya pemberdayaan rakyat di daerah, penegakan supremasi hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih, adil, transparan dan akuntabel, dan lainnya. Perda merupakan cermin dari realitas kebutuhan dan bagaimana masyarakat dan resources daerah dikelola secara sistematis. Perda hanya salah satu bagian dari sistem yang mengatur kehidupan di daerah/kota sehingga di era otonomi daerah saat ini penguatan substansi Perda saja tidaklah cukup. Efektifitas dan keberdayaan Perda sangat bergantung pada Kualitas Perda, Komitmen stakeholder dan Dukungan lingkungannya, 1. Kualitas Perda: substansi yang jelas, akuntabel dan diterima masyarakat 2. Kualitas Penegak Hukum: polisi/penyidik agar kompeten dan komitmen pada pengabdian pada tugas dan tanggung jawab 3. Masyarakat & Lingkungan Bisnis: memberi kontribusi, rasa memiliki, menerima, menjalani dan memberi umpan balik (feedback). 4. LSM / Social Watch, media cetak dan elektronika: memberi informasi/sosialisasi, permasalahan dan koreksi implementasi. 5. Pemda & DPRD: aspiratif dan akomodatif terhadap dinamika sosial sehingga PERDA menciptakan kondisi yang mendorong kemajuan, pemberdayaan dan keadilan sosial. 6. Pemda Tingkat I /Pemerintah Pusat: menciptakan pengawasan, harmonisasi UU/ Perda dan keterpaduan rencana dan program pembangunan antardaerah di segala bidang.
310
Daftar Pustaka Andrik Purwasito DR, DEA, Peran Masyarakat Dalam Mengontrol Eksekutif dan Legislatif, Jakarta, 2005. APKASI, Policy Paper Rakernas III, Jakarta, 2003. Rhenald Kasali Ph.D. Change, PT Gramedia, 2005. Pemda Kodya Tangerang, Perda 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelacuran, 2005. Website Perdaonline.org, Perda Yang Terkait Kaum Marginal (Pelacuran), 2005.
311
3. Diskusi Sesi Paralel 3: Menuju Perda yang Partisipasif & Komprehensif Tanya Jawab
◊ Pertanyaan 1. Dian Herry Sofyan, Konsultan, PT. Alam Media Kreasi, Bandung Ini mungkin langsung untuk kedua pemateri. Saya pikir sebagaimana kita ketahui sekarang itu yang masuk menjadi anggota legislatif di daerah itu sangat bervariasi, latar belakang, budaya, sosial, ekonomi dan pendidikannya. Sehingga kelihatannya semakin jauh ada kesenjangan yang pada akhirnya juga mengganggu produktifitas, salah satunya masalah perda tadi, masalah substansi. Cuma saya pikir ada satu contoh menarik di kota Bandung. Jadi ketika akan ada laporan pertanggungjawaban dari Walikota waktu itu salah satu partai mengadakan semacam kegiatan seminar lokakarya. Partai tersebut giat mengundang ahli-ahli di bidang yang bersangkutan yang dilakukan oleh Walikota. Jadi kalau masalah pendidikan yang diundang adalah pembicara dari UPI, IKIP, atau/dan dari LSM Pendidikan. 2. Fernandez
Pertama, saya kira juga saya setuju dikatakan bahwa harus mengenal kondisi masyarakat, saya melihat bahwa kasus kota Bandung tadi mengenai pasar karena memang tidak pernah ada kajian tentangada prinsip filosofi dasar daripada hukum itu, kedua ada pendekatan antropologis, sosiologis yang dibutuhkan. Nah, kita lupa semua itu dimakan oleh kapitalisme yang penting sekarang bangun mall besar yang bisa menghasilkan banyak uang dari kapital-kapital yang mudah ditarik uangnya dan mungkin mereka adalah orang-orang di belakang layar pembuatan perda-perda tentang pasar-pasar tradisional tadi. Jadi konversi-konversi seperti itu sangat merugikan masyarakat banyak. Saya mau mengambilkan contoh satu lagi ketika saya belajar, kebenaran di Amerika, proses peruntukan atau landuse satu daerah menjadi komersial itu membutuhkan perjuangan yang lama dan diskusi dari komunitas di situ. Karena apa? Karena punya dampak, jadi ada impact assessment. Masyarakat harus tahu punya dampak, kalau misalnya satu daerah pertanian diubah menjadi satu mall, maka ada dampak kriminal, ada dampak arus lalu-lintas, ada dampak run-off, ada dampak masalah kerusakan lingkungan karena aliran air dan sebagainya, karena pengerasan, dan sebagainya. Hal seperti itu diolah, didiskusikan antar kelompok masyarakat komunitas di balai kota, kita tidak punya mekanisme itu. Itulah sebabnya kenapa terjadi hal seperti tadi masalah pelacuran ada, di masyarakat pasar, ntah masalah-masalah lain yang semakin banyak. Saya ingin menambahkan saja mudah-mudahan panitia bisa membawa hal ini, menarik ini menjadi diskusi menjadi diskusi yang lebih jauh dengan Depdagri, Departemen Kehakiman dan HAM.
312
3. Ajasi dari Yayasan Kita Saya tertarik dengan yang diungkapkan Bapak Rhama Wijaya. Masalah variasi. Ada yang sebagian bervariasi dari Perda, kemudian ada yang kelihatannya idemditto karena copy-paste. Saya kira adanya ketidak bakuan atau variasi itu bukan suatu problem. Seandainya itu memang berpijak dari kondisi spesifik lokal, karena Perda ‘kan merupakan suatu penafsiran teknis dari undang-undang diatasnya atau peraturan yang diatasnya, disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Hanya kita melihat, juga menyayangkan, adanya proses yang sangat instan yaitu dengan cara copy-paste, karena itu saya rasa memang kalau ditarik berdasarkan apa yang menjadi keyakinan sebagian besar anggota DPRD mungkin mereka ingin simpel saja mengambil dari daerah tetangga, padahal kondisinya berbeda, itu justru yang merupakan masalah bagi masyarakat daerah tersebut. Untuk Tangerang, saya juga pernah melakukan kajian, tapi di kabupaten dan mereka juga bingung?! Kenapa? Tangerang sebenarnya kota, kenapa harus menerapkan Perda yang sebenarnya budaya rural. Mungkin ini terkait dengan peta politik yang ada di DPRD-nya dan itu suatu kondisi yang mungkin berbeda dengan kondisi yang ada di masyarakat, tapi itulah real-politik yang ada. Dan masalah ini saya kira bukan hanya PerdaPerda yang terkait dengan pelacuran, tapi juga Perda-Perda yang lain termasuk seperti salah satunya Perda Pamungkas yang dinamakan Perda Tramtib. Saya pernah melakukan kajian antara satu daerah, Tangerang dengan daerah lain dapat dikatakan hampir sama termasuk masalah hukumannya dan apa-apa yang dihukum. Dan ini kita juga melihat hukuman yang terlalu besar untuk hal-hal yang kecil seperti merokok dengan denda sekian juta itu kan menjadikan Perda mati, yang tidak efisien dan dapat dikatakan tidak jalan, tapi kenapa itu diberlakukan. Juga saya mungkin ingin menanyakan ke Bapak Rhama Wijaya yang mungkin lebih mengerti masalah hukum, apa yang menjadi tolak ukur dari penentuan sangsi dalam penyusunan Perda, ada tidak prosedur kajian itu yang menjadi pertimbangan rekan-rekan di daerah untuk menentukan untuk jenis ini hukumannya segini. Padahal kalau yang kita pernah tahu, untuk membuang sampah hanya 150-ribu tapi sekarang 5-juta, akhirnya timbul negosiasi dagang sapi; akhirnya daripada anda bayar 5-juta, sudah 100-ribu saja buat kantong saya. Kemudian ini, yang tidak saya lihat dari sekian banyak makalah adalah tentang urgensi pembuatan Perda itu sendiri. Apakah harus semuanya diatur dengan perda? Kenapa tidak pakai Surat Keputusan Bupati? Sampai-sampai untuk rehabilitasi lahan pesisir yang merupakan hal yang seharusnya terkait dengan Renstra, itu ada Perdanya juga, padahal Renstra itu sudah merupakan keputusan DPRD, harusnya dimasukkan di Renstra atau mungkin dengan SK Bupati. Kenapa selalu harus diatur dengan Perda? Yang kedua fungsi PPNS, belum ada yang mengkaji masalah fungsi PPNS padahal itu terkait dengan implementasi dari Perda. Yang terakhir kepada YIPD, apakah tidak mencoba untuk melakukan kajian terhadap peraturan-peraturan yang ada di Pemerintah Pusat. Karena ini konsistensi yang ada di pemerintah pusat itu akan menjadi suatu faktor yang membuat perda-perda yang di daerah itu jadi tumpang tindih atau tidak beraturan.
313
4. Novi, Mahasiswi dari STIFAN Pertanyaan mengenai makalah “Menggagas Model Repitalisasi Pasar Tradisional” . Di Merauke, ada pasar kemudian karena mengalami suatu musibah sehingga pasar itu dipindahkan ke suatu tempat yaitu di lapangan terbuka, sehingga masyarakat lebih cenderung ke pasar yang tradisional. Sekarang dengan adanya globalisasi dimana tingkat persaingan semakin tinggi sehingga masyarakat tradisional takut bahwa nantinya akan digeser keberadaan mereka dengan adanya pasar modern. Hal ini juga disebabkan karena masyarakat lebih terbiasa menggunakan pasar tradisional karena di Merauke cuma ada satu pasar yang sangat terkenal yaitu pasar yang kemarin mengalami musibah dimana masyarakat merasa dengan adanya pasar tradisional mereka lebih bisa mengekspresikan kegiatan jual beli mereka dimana mungkin mereka lebih mempertimbangkan karena dengan adanya pasar tradisional mudah, barang-barangnya lebih murah dan karena kenalannya lebih banyak sehingga mungkin barangnya bisa ditawar dengan harga yang lebih rendah. Yang ingin saya tanyakan disini. Jika pada akhirnya nanti pasar tradisional bergeser, apakah masyarakat untuk saat ini bisa menerima keberadaannya pasar modern karena masyarakat di Merauke kelihatannya masih sangat tradisional sekali sehingga untuk menerima kehadiran pasar modern mungkin masih agak terlalu minim. Bagaimana sikap dari pada pemerintah Kabupaten Merauke dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melakukan pengenalan atau apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar masyarakat tradisional ini bisa menerima adanya kehadiran pasar modern ditengah-tengah kehidupan masyarakat Merauke.
314
◊
Jawaban
1. Dede Mariana Pertama mengenai background anggota legislatif, saya kira itu bagian dari proses yang berjalan, mestinya pada institusi parpol itu sendiri ada upaya memperbaiki karena pintunya di partai. Sekarang ini kelihatannya sudah mulai ada kesadaran itu. Proses pembuatan Perda itu sendiri seperti tadi dikomentari oleh penanya kedua, saya kira memang saat ini kebiasaan perda itu lebih banyak inisiatif dari eksekutif atau birokrasi. Misalnya saja saya melihat di kota Bandung itu misalnya ada satu Perda yang sedang dipersiapkan, misalnya Perda tentang “X”, dari pihak legislatif menginginkan dibuka ruang partisipasi seluas-luasnya misalnya. Tetapi begitu bertemu dengan katakanlah sekarang ini kalau perda itu berasal dari usul prakarsa, ujung-ujungnya ada pembiayaan ditaruh di Setwan. Dan diberitahulah oleh birokrasi sekretariat dewan bahwa berdasarkan dokumen perencanaannya adalah seperti ini. Ini cukup 1-bulan, 2-bulan dengan proses administrasi. Sehingga disini kalau saya melihat justru di dalam membuat regulasi itu melalui Perda terjadi apa yang disebut proses birokratisasi. Birokratisasi bisa terjadi di eksekutifnya sendiri, bisa juga di legislatif, sehingga akan kesulitan bagaimana membuka ruang-ruang publik itu. Sehingga kalau tadi dikatakan naskah akademik dan seterusnya akhirnya tidak bisa sampai kesana, apalagi keterlibatan stakeholder. Kemudian mengenai ide revitalisasi saya kira yang kami coba tawarkan sebetulnya bukan menghadirkan sekedar penampilan fisiknya, saya sependapat kalau katakanlah sempat berkunjung ke satu tempat di Australia, misalnya ada pasar itu sudah ratusan tahun, tetapi dia bisa turuntemurun pelakunya, jadi yang jualan daging di kios itu adalah cucu-buyut yang pernah berjualan. Kalau di kota Bandung seperti Pasar Baru saya kira, wujud fisiknya saya senang sekarang tapi kalau melihat pelakunya sudah berganti kemudian kita juga tidak bisa menyalahkan pengembang, karena pengembang ujung-ujungnya dia bisa menjual kios itu supaya investasi yang ditanamkan itu kembali. Yang disayangkan pelibatan koperasi. Kalau koperasi dihadapkan kepada persoalan permodalan sebetulnya Perbankan belum didorong oleh Pemerintah untuk menjadi fungsi mediasi antara pedagang dengan organisasi koperasinya sehingga dia bisa memiliki kiosnya lagi. Memang di Pasar Baru ini kalau saya perhatikan sebagian besar mungkin masih berlaku prinsip-prinsip jual beli yang tradisional (Pelanggannya, dst.). Tetapi di Kebon Kelapa ITC bekas Pasar Lama sekarang kebanyakan sudah pedagang baru. Bahkan di Pasar Ciroyo misalnya di kota Bandung itu sekarang pedagang lama memblokir gedung sehingga pedagang barupun tidak bisa masuk, sementara gedung yang sudah direvitalisasi (pasar yang sudah direvitalisasi) tidak bisa digunakan, ini belum selesai sampai sekarang, sampai-sampai Satpol-PP juga tidak sanggup mengamankan, dan entah sampai kapan berhentinya negosiasi itu. Sehingga, maksud saya revitalisasi yang kita pertaruhkan itu, pengelolaannya dan sejak awal perencanaannya. Kalau tadi disinggung oleh penanya kedua, bahwa
315
ini jangan-jangan, dibalik itu ada siapa? Yah, para pemegang modal besar itu, sehingga di Bandung sekarang ini ada Jargon kota jasa-nya, kawasan Dago yang pemukiman dengan mudah saja berlindung di perda RT/RW yang 5-tahun bisa diadjust/disesuaikan. Jadi akhirnya bukan aturan hukum yang mengatur perilaku orang, tetapi perilaku dulu dibiarkan, setelah itu peraturan yang menyesuaikan. Jadi, misalnya kalau saya dengar kemarin diskusi dan Kadin itu biasanya triggertriggernya itu diceritakan, misalnya McDonald dulu masuk, kalau disitu sudah tercipta conditioning, keRhamaian, macam-macam dan rakyat seputarnya tidak protes, LSM juga tidak protes, baru setelah itu berdiri gedung yang tinggi. Misalnya ini untuk dipojokan Dago di kota Bandung kalau anda bisa melihat di sana sekarang sedang dibangun di sebelah MacDonald, selalu begitu motif-motifnya. Jadi, di sini sebetulnya yang tadi itu dalam beberapa kasus ketidak-mampuan anggota legislatif itu dimanfaatkan juga. Terus juga ada celah pada waktu UU No.22/1999 berlaku. Depdagri itu hanya diberi waktu 2-minggu untuk menelaah Perda, kalau 2-minggu tidak ada reaksi dari Depdagri, Perda itu berlaku. Setahu saya sekarang sebenarnya sudah diserahkan dengan UU No. 32 ini ke Propinsi. Tetapi, untuk Jawa Barat misalnya saya cek di Propinsi, Biro Hukumnya, “Ah Pak Dedek, jangankan untuk menelaah Perda dari Kabupaten Kota, ngurusi Perda kami juga, kami sulit!” Terus saya katakan: “Kenapa Anda tidak hire, menghimpun LSM untuk bikin desk (sama-sama), soal duitnya belakangan”. Mereka selalu berpikiran: kalaupun menarik orang, bayarnya berapa? Dan darimana? Kemudian, saya sepakat memang itu perlu dibuka ruang-ruang untuk partisipasi, tetapi juga yaitu tadi, saat ini banyak Perda lebih deras masih dari eksekutif, dari Biro Hukum, dari bagian Hukum karena memang legislatif merasa dia itu belum berkemampuan. Padahal sebetulnya mereka kalau mengembangkan organisasi jaringan mereka bisa join dengan beberapa LSM untuk menyiapkan itu. Hanya semangatnya tadi, apakah mau mengatur atau seperti tadi, perizinan itu kan seharusnya melindungi izin yang lain. Di Bandung yang namanya Carrefour itu sebetulnya yang dapat izin baru 1 (satu), yang baru akan didirikan di Sukajadi, tetapi yang sudah ada sekarang sudah beroperasi. Pemkot tidak berdaya, karena mengantongi izin dari Pusat langsung. Jadi ini juga ada persoalan di dalam pasarpasar modern, mereka juga bisa dapat izin dari Pusat. Waktu saya tanya ke Dinas Perdagangan maupun Dinas Pasar: “saya punya kewenangan hanya mengurus yang tradisional-tradisional”, kalau yang lainnya karena dia badan hukumnya PT bisa dapat mengantongi izin langsung dari Jakarta dan dia bisa beroperasi. Kalau dihambat oleh Pemkot dianggap menghambat investasi. 2. Caroline Paskarina Menambahkan sedikit saja. Saya juga sependapat bahwa sebenarnya kita tidak mencoba menyalahkan adanya pasar modern karena itu adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi. Dan banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya pasar modern itu. Ketika misalnya ada toko-toko modern yang masuk lingkungan
316
pemukiman ada banyak orang yang akan diuntungkan karena misalnya dia bisa punya usaha sendiri, kemudian mudah memperoleh barang dan sebagainya. Tetapi manakala kondisi persaingan itu tidak diatur, maka yang muncul pihak yang sangat kuat akan menindas yang lemah. Jadi pengaturannya harusnya bagaimana melindungi pihak yang lemah ini kemudian meningkatkan kemampuan dia bersaing sampai nanti mampu bersaing. Kalau misalkan dibiarkan saja yang kuat dibiarkan semakin kuat maka itu akan tidak adil. Ke depan seperti apa revitalisasi kongkritnya? Kongkritnya revitalisasi pasar tradisional itu harusnya perubahan manajemen pengelolaan yang lebih modern. Jadi kalau semula dikelola hanya dengan prinsip yang penting hari ini memperoleh uang cukup untuk hari ini, tapi tidak cukup misalnya untuk besok, yah harusnya diubah bagaimana agar keuntungan yang diperoleh bisa bertahan bahkan bisa berlipat. Jadi harusnya ada peningkatan kemampuan pedagang pasar tersebut. 3. Rhama Wijaya Mungkin tadi banyak sekali yang sifatnya menjadi masukan buat kami. Terimakasih dari Mas Dian, Mas Fernandez dari Depok, dan juga Bapak Ajazi. Memang benar, bahwa ke depan kita harus mulai bukan revitalisasi pasar tapi juga DPRD kita juga direvitalisasi. Artinya mereka harus diberikan informasi dan keterbukaan informasi, supaya mereka bisa memberikan sesuatu secara optimal di dalam proses kebijakan publik, karena apa? Kalau proses perumusan masalahnya saja sudah tidak benar, maka kebijakannyapun tidak akan kena pada realitas masyarakat. Artinya, kita harus bisa merumuskan masalah itu dengan benar sehingga obat yang diberikan akan cocok. Khusus mengenai bagaimana sumbangan kita di dalam kelembagaan itu, dalam partisipasi untuk yang Mas Dian bilang, memang perlu adanya suatu yang namanya di halaman-3 yang saya sampaikan itu ada suatu instrumen dalam Perda yang menjamin kelembagaan partisipasi. Artinya, didalam hasil utama di illustrasi tadi, warga masyarakat secara sistem memang dilindungi dan diberikan peran menyampaikan apa yang menurut mereka didalam kebijakan publik itu harus ada, dan apa yang memang perlu diakomodasi. Terus kemudian ada akses informasi bagi masyarakat juga harus memiliki akses terhadap informasi dan dokumen-dokumen yang memang dibutuhkan sehingga mereka tahu permasalahan itu. Jadi Pemda tidak menutup-nutupi informasi, tiba-tiba saja kata yang tadi di seminar yang lebih awal tadi. Tadi ada yang bertanya mengenai perda yang tiba-tiba ada, sekonyong-konyong ada. Karena ada proses menutupi informasi jadi tidak transparant, jadi lebih baik dilibatkan dari awal. Masalah waktu bagaimana kita membuat schedule atau bagaimana rancangan desain sebuah Perda itu disusun karena kalau kita buruburu, waktu mepet-mepet, biasa kalau kita ujian mepet-mepet kan kadang-kadang, iya kalau ngerti – kalau tidak ngerti! Mengatur masyarakat satu daerah itu tidak main-main, harus ada planning. Masalahnya kita harus membenahi sistem, jadi kita tidak membicarakan case yang sudah terjadi, tetapi bagaimana ke depan supaya sistem itu menjadi lebih baik. Mengenai Bapak Fernandez, memang
317
ada aspek-aspek, otoritik, income generating, mengenai suatu Perda ada unsur itu. Tetapi yang perlu kita tekankan di sini adalah bahwa prinsip-prinsip di dalam menyusun Perda itu harus melalui suatu pemahaman kondisi, realitas, terus fungsi Perda itu jelas, untuk apa Perda itu dibuat, indikatornya apa, untuk mengukur keberhasilannya. Karena kita kadang-kadang yang penting ada aturan, tetapi tidak tahu bagaimana mereview keberhasilan sebuah aturan. Justru di situ kelemahan kita. Kita tidak berani direview, kenapa? Karena kita takut, karena kita merumuskannya tidak benar. Coba kita orang yang benar, berarti kita berani direview, indikatornya apa? Berarti kalau kita berani, berarti bagus indikatorindikatornya. Karena apa? Kalau sesuatu tanpa indikator, sangat grey-area, sangat mudah dipermainkan mengenai performance dari sebuah perda. Apakah dia ada pandangan publik dalam setiap setahun sekali atau LSM memberikan suatu pendapat jadi ada satu penilaian-penilaian yang diukur. Artinya, bentuknya apapun dirumuskan nanti. Mengenai Mas Ajazi dari Yayasan Kita, memang spesifik lokal harus ada, saya setuju, tetapi di dalam makalah ini saya sebutkan ada ketentuan-ketentuan umum yang sifatnya baku dan ada yang ketentuan khusus mungkin buat teman kita misalnya yang dari Timur, ada ketentuan lokal itu menjadi ketentuan tambahan, tapi ada ketentuan dasar yang mungkin Bab 1 sampai Bab 3 itu sama, prinsipil sifatnya. Ketentuan mengarahkan bagaimana dia ke depan. Jadi, setiap undangundang berbeda-beda isinya. Ada yang menghukum saja semua isinya, dari 5 (lima) itu 4 (empat) menghukum, 1 (satu) memberikan solusi. Jadi, sebenarnya pemikiran itu ada dimana? Ada kadang-kadang orang yang perduli terhadap masyarakat memberi solusi dia – kalau tidak peduli, dia sikat saja. Ini kayaknya sampah harus dipotong saja, tidak usah hidup! Dia harus dihukum! Muncul di jalanan, tangkap! Jadi, ini kita bukan militer tapi kita mengelola sumberdaya. Karena Pemkot adalah mengelola/resource (manusia itu resource). Kalau dia mau kita kelola, kita mau dia dianggap tidak baik, kita harus beri jalan, kemana, mau ngapain dia, harus diberi dia solusi, dibina, tugas Depsos, tidak ada peran Depsos maupun apa disini tidak ada didalam Perda. Bisa lihat di Perda On-line, nanti klik saja www.perda-online lihat disitu Perdanya nanti pasti tidak ketemu peran LSM. Ada Dinas Sosial yang ada cuma di Lahat sama di Kupang, yang lain itu tidak ada. Bagaimana alternatif solusi, tidak ada. Semuanya fungsi penyidik, penangkapan, ciri-ciri orang yang dicurigai sama aturan peralihan itu saja isinya sebuah Perda, tidak ada. Bagaimana memperlakukan warga secara resource. Sebagai resource itu tidak ada didalam Perda, itu yang sangat disayangkan. Kemudian mengenai bagaimana hukum didalam UU No. 22/1999 pasal-71 itu, hukuman tertinggi adalah 6-bulan denda 5-juta. Apabila kita cermati di pasal ini di indikator Lampiran-1, ini lucu lagi. Kalau di Kupang 6-bulan tapi 6-juta – berbeda. Ada yang di Tangerang 3-bulan / 15-juta, kalau dari IndRhamayu 6-bulan / 6-juta, kalau dari Lampung 6-bulan / 6-juta. Kalau yang dari Lahat < 3-bulan / > 6-bulan denda < 2,5-juta / > 5-juta, jadi pakai range kalau di Lahat. Tapi kalau di Depok Raperda yang kemarin saya baca itu 3-bulan / 30 juta. Bagaimana sih,
318
nentuin hukuman? Ini sebenarnya terkait dengan definisi dari fakta faktor kriminal, kalau mereka dianggap sebagai hal kriminal, kita bisa mengklasifikasikan aktifitas. Saya bukan orang hukum, saya orang perencanaan tapi saya melihat dari proses. Kalau kita sering lihat tindak pidana ringan kalau kita sering nonton TV biasanya ada orang yang memang kalau narkoba itu ada pemakai lebih ringan daripada pengedar. Jadi, kita melihat daripada tingkat fungsi dia didalam tingkat kejahatan itu. Misalnya dia adalah action, dia yang menjual dirinya mungkin tindak pidana ringan 1-minggu misalnya. Kenyataan juga di lapangan ini tidak 6-bulan yang ditangkapin di Glodok itu yang kita tonton, paling 1-minggu di Depsos, pulangin lagi! Tindak pidana ringan istilahnya. Tapi kalau kita pakai proses, berarti kalau dia action lebih kecil daripada dia memperdagangkan dan merencanakan, lebih tinggi lagi kalau dia mengawasi dan mengorganize. Jadi, kita lihat dari klasifikasi itu saja. Mengenai klasifikasi hukum, kalau dia action berarti dia butuh masalah perut, atau masalah memang dia hobby, kita kasih hukumannya lebih. Tapi kalau dia ikut memperdagangkan, merencanakan itu mungkin substansinya lebih berat. Kalau dia mengorganize, mengawasi itu lebih orang yang mengawasi melakukan tindakan itu juga lebih berat lagi karena dia tahu tapi dia juga melakukan. Mungkin mengklasifikasikan bisa begitu ya Mas Ajazi yang dari Yayasan Kita karena saya bukan orang hukum. Karena ini pun Perda ini disusun oleh orang hukum, tidak ada yang sama, bagaimana? Orang hukum itu bisa berbeda kepala terus. Ada yang menganggap 6-bulan itu bagus, ada yang 3-bulan, cukup. Mungkin di daerah Timur, mungkin di daerah Lahat itu 2,5-bulan orang sudah cukup capek dipenjara. Kalau di Kupang mungkin 6-bulan belum cukup capek. Jadi, tergantung persepsi lokal, saya juga tidak tahu. Mohon maaf ini bukan menyinggung daerahnya, tapi ini mungkin persepsinya. Saya tidak bisa mengatakan itu, apa itu dasarnya ini 6-bulan, tapi yang saya lihat mungkin ini faktor “warning” nya. Ini hanyalah: eh, kalian berbahaya lho? Bisa denda sekian, kenyataannya paling 3-hari – seminggulah menurut berita yang di TV. 4. Caroline Menurut saya apabila memang masyarakatnya lebih cocok berbelanja di pasar tradisional, mereka akan memilih pasar tradisional itu walaupun nanti akan hadir pasar modern dan itu merupakan kecenderungan globalisasi tapi pada akhirnya preferensi orang berbelanja itu akan sangat ditentukan oleh orang per orang. Dia akan memilih berbelanja dimana akan sangat ditentukan oleh banyak indikator. Misalnya dia melihat disana ada orang yang saya kenal, sehingga dia lebih nyaman. Mungkin pemaknaan nyaman sendiri juga bisa berbeda-beda. Orang kota misalnya nyaman berbelanja ditempat yang bersih, harum, ber-AC, tapi kalau masyarakatmasyarakat yang tradisional mungkin akan merasa nyaman kalau misalnya berbelanja ditempat yang luas, barang-barang terlihat jelas semua, sehingga ada ikatan batin. Jadi, itu sangat tergantung pada preferensi, mereka kan memilih berbelanja dimana.
319
Tetapi tentu saja untuk menghadapi nanti kehadiran pasar modern, betul bahwa pemerintah khususnya Pemda harus lebih berperan sebagai fasilitator sehingga dia bisa membantu memberdayakan, baik memberdayakan masyarakatnya maupun memberdayakan pelaku usahanya (pedagangnya). Artinya, dari sisi masyarakat pun disiapkan, dikenalkan bahwa nantinya akan ada perubahan seperti ini. Kemudian mereka juga disiapkan bagaimana mengantisipasi perubahan tersebut. Memperhitungkan misalnya daya beli dengan kecenderungan yang berkembang sekarang. Karena berbelanja di pasar modern itu sekarang bukan hanya sekedar semata-mata untuk belanja tetapi juga untuk gaya hidup. Nah ini juga adalah suatu aspek sosial, aspek budaya, yang perlu dikelola nanti oleh Pemda bahwa berbelanja itu ada aspek sosial, ada aspek ekonomi, itu perlu dikelola juga oleh Pemda. Kemudian Pemda juga perlu memberdayakan pelaku usahanya/pelaku pasar itu sendiri baik itu pasar modern atau pasar tradisional. Pasar tradisional mungkin nanti perlu diperkenalkan ini ada konsep-konsep/model-model pengelolaan yang bisa lebih meningkatkan daya saing mereka. Misalnya bagaimana membuat kemasan produk yang dijual itu sehingga lebih menarik. Bagaimana misalnya memelihara kebersihan di tempat tersebut sehingga itu akan banyak mempengaruhi daya saing sehingga orang tidak beralih. 5. Moderator Terima kasih, saya kira waktu jua yang harus menghentikan diskusi kita. Semuanya akan kami rangkum dan nanti akan jadi masukan untuk lokakarya besok pagi. Jadi buat yang berminat tolong sekali lagi untuk mengembalikan lembar konfirmasi untuk besok di depan pintu. Untuk itu mari kita applause untuk pembicara berdua. Terimakasih banyak pak Rhama Wijaya, Ibu Karoline Paskarina dan Bapak Dede Mariana atas presentasinya yang cukup bagus. Semoga ini akan menjadi masukan lokakarya kita besok dan akan membuahkan satu rekomendasi apakah itu untuk Pemerintah Pusat maupun Pemda dan mungkin akan kita kumpulkan juga sebagai satu Kumpulan Best Practices yang bisa di replikasikan pada pemerintahpemerintah daerah lainnya. Untuk itu atas nama Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YIPD), saya mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan sebesarbesarnya kepada para hadirin peserta diskusi sore ini. Kemudian saya persilahkan untuk rehat kopi dibawah, sambil melihat demo database Perda On-line di bawah, terima kasih, Ass. Wr. Wb., Salam Sejahtera.
320
BAB 5
Perda Online
321
Gambar 1
CD PerdaOnline berisi program database berbasis teknologi web. Program ini bisa dipasang di server dengan koneksi internet maupun di dalam komputer pribadi yang berdiri sendiri (PC stand-alone). Untuk kepentingan informasi di internet, program ini siap untuk di-online-kan sebagai situs yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari pengembangan situs lain, misalnya menambah fitur internet yang dikembangkan masing-masing pemda. Untuk penggunaan di luar internet, program ini bisa dipakai sebagai database di dalam intranet untuk kepentingan intern lembaga, atau kios informasi yang disediakan bagi masyarakat. Saat ini PerdaOnline diluncurkan dalam 2 (dua) versi. Versi pertama (dikemas dalam warna kuning border hitam) telah berisi 2000an Perda dari 40 Kabupaten/ Kota di 15 Propinsi di Indonesia dengan Perda Provinsi dari Provinsi Lampung dan Jawa Tengah, dan sedang dilakukan update terus menerus, dengan penambahan jumlah perda pemda propinsi serta beberapa kabupaten. Versi kedua (dikemas dalam warna putih) hanya berisi program tanpa isi sama sekali. Disediakan sebagai pilihan, bilamana pemda atau lembaga tertentu ingin mengembangkan secara mandiri database perda serta referensinya (tidak memuat perda dari daerah lain). Oleh karenanya, versi ini memberi keleluasaan bagi administrator pengelola program ini nanti, mulai dari penamaan wilayah sampai pada penentuan kategori-kategori database yang akan dihasilkan. Selebihnya versi kedua sama dengan versi pertama. Dokumen dalam program database PerdaOnline ini berformat text, sehingga sangat memudahkan pencarian, mengingat pengguna program tinggal memasukkan kata/frase apapun yang
322
dikehendakinya. Bahkan untuk seri Perda Retribusi, Pajak serta Pembentukan Organisasi/Kelembagaan, program ini juga menyediakan ringkasan penting yang bisa dimunculkan dengan hanya mengklik tombol [detail] di dalam keterangan setiap perda tersebut. Fitur-fitur yang ada di PerdaOnline bagi pengguna: 1. Mesin Pencarian (Perda Search Engine), dengan berbagai tipe: • Pencarian dengan sembarang kata • Pencarian berdasarkan kategori • Pencarian berstruktur/lebih detil • Pencarian di dalam hasil pencarian (pencarian berlanjut) 2. Pengurutan hasil pencarian berdasarkan Tahun, Nomor, atau Judul Perda 3. Referensi peraturan perundangan berkenaan dengan pemerintahan daerah dan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) 4. Download perda 5. Print perda Alamat akses standar: http://localhost
Gambar 2
Gambar 3
Fitur-fitur yang ada di PerdaOnline bagi Administrator: 1. Otomasi program dengan content management system (CMS), dan juga berbasis teknologi web, sehingga bisa dilakukan di semua komputer yang terhubung dalam jaringan (local area network/internet) dan oleh banyak orang dalam waktu bersamaan 2. Berbagi akses pemasok data dengan membuat user access control, sehingga entri data menjadi lebih aman 3. Input Perda atau Referensi dengan kemudahan sebagaimana pengisian satu formulir sederhana (semua field telah disediakan)
323
4. Tanpa perlu menuliskan kata kunci pencarian (keyword) 5. Khusus versi kedua/kosong: • Memberi nama berdasarkan wilayah (Propinsi/Kabupaten/Kota) yang bersangkutan • Bebas menentukan kategori yang ingin ditampilkan di muka sesuai kebutuhan yang bersangkutan Alamat akses standar : http://localhost/cms User Name : admin Password: admin
324
BAB 6
Hasil Rekomendasi
Sesi lokakarya pada kegiatan ini dibagi menjadi tiga kelompok diskusi, membahas tiga tema yang berbeda, yaitu Penyusunan dan Implementasi Perda; Perda Pelayanan Publik: Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA; dan Evaluasi dan Analisis Kebijakan: Menuju Perda yang Partisipatif dan Komprehensif. Tujuan lokakarya ini adalah menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah terkait baik tingkat pusat maupun daerah serta masyarakat mengenai isu seperti yang tersebut pada tema diatas. Hasil yang diharapkan dari lokakarya ini adalah rekomendasi bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas dan fungsi Perda dalam pencapaian tujuan otonomi daerah.
325
Diskusi 1 : Penyusunan dan Implementasi Perda
Berikut ini hasil rekomendasi pada diskusi kelompok 1 : No.
Indikator
Masalah
Solusi/Rekomendasi
1.
Perencanaan
Kesulitan dalam merencanakan produk legislasi di daerah, dalam pengertian bahwa bagaimana menentukan agenda perda yang akan dibahas dalam satu waktu tertentu dalam hal ini pada rencana kerja tahunan, kemudian juga menentukan prioritasprioritas dari isu-isu di dalam kebijakan itu
Perlu adanya suatu pedoman yang bisa dipakai oleh DPRD, pemda, bahkan juga masyarakat untuk bisa memberikan masukanmasukan agenda perda apa yang akan dibahas pada satu tahun yang berjalan
2.
Penyusunan
Metodologi penyusunan perda yang baik. Selama ini metodologi yang dipakai dikebanyakan daerah masih menggunakan metodologi yang sangat konvensional bahkan diantaranya tidak melalui naskah akademik
Pasal partisipasi harus dimasukan pada seluruh level peraturan perundangan, baik di tingkat nasional misalnya contoh UU 10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun peraturan perundangan di level daerah atau mengenai pemda seperti UU 32/2004.
Belum melibatkan semua stakeholder. banyak kelompok-kelompok yang termarginalkan karena tidak ikut didalam proses-proses pembahasan perda
Harus ada political will dan action dari DPRD dan Pemda untuk mengakomodir sisi partisipasi masyarakat dan kepentingan masyarakat
Kapasitas masyarakatnya dalam memahami Pengembangan kapasitas persoalan yang diperdakan. masyarakat pemerintah dan DPRD itu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menjamin bagaimana aspirasi masyarakat pada akhirnya itu bisa dirumuskan dalam bentuk norma kebijakan
326
No.
Indikator
Masalah
Solusi/Rekomendasi
Kapasitas DPRD dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Karena merumuskan aspirasi masyarakat yang demikian banyak itu juga bukan persoalan mudah, bisa juga terjadi reduksi pembiasan dsbnya
Harus dijamin adanya mekanisme komplain dari stakeholder, supaya masukanmasukan yang sudah diberikan pada tahap awal penyusunan perda itu tidak kemudian dihilangkan/ dipotong karena masyarakat bisa mengecek apakah masukan saya itu betul-betul diakomodasi atau tidak
Kemudian juga berkaitan dengan mekanisme ini ada persoalan, secara impiris, mekanisme ini hanya dipakai sebagai hiasan saja legitimasi seolah-olah kalau secara prosedur itu sudah berjalan berarti sudah tidak ada persoalan dengan proses pembuatan perda padahal ternyata itu hanya pada tingkatan proses saja, namun secara substansi tetap saja aspirasi masyarakat itu tidak bisa diakomodir didalam kebijakan yang ada, sehingga disebut sebagai jebakan mekanisme
Dalam prosedur partisipasi masyarakat harus didahului analisis stakeholder. Jadi kalau membahas suatu kebijakan stakeholder yang dilibatkan itu betul-betul stakeholder yang berkepentingan dengan kebijakan itu bukan sebaliknya yang tidak berkepentingan malah dilibatkan
327
Diskusi 2 : Perda Pelayanan Publik Berikut ini hasil rekomendasi umum pada diskusi kelompok 2: 1. Perda dibuat jangan hanya menjadi produk hukum, dengan melalui proses manajemen yang partisipatif dan jelas 2. Perda tidak hanya berorientasi pada ekonomi tapi pada peningkatan pelayanan publik 3. Pembuatan perda harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat 4. Perda dibuat untuk menyelesaikan masalah publik bukan membuat/menambah masalah publik baru Sedangkan rekomendasi per sub tema terlihat pada tabel di bawah ini : No. 1.
Indikator Kesehatan
Masalah
Solusi/Rekomendasi
Sosialisasi perda bagi keluarga miskin kurang
Dalam kebijakan Pemda harus berorientasi kepada pencegahan dan bukan pengobatan
Materi Perda lebih berorientasi pada retribusi dibanding dengan peningkatan pelayanan
Mengalokasikan anggaran di bidang kesehatan yang lebih besar
Alokasi anggaran kesehatan masih rendah
Perda harus aspiratif seuai kehendak masyarakat
Kebijakan daerah tidak sinkron dengan kebijakan pusat
Disusun SPM untuk pelayanan kesehatan
Belum ada yang mengatur system kesehatan daerah
Hak-hak masyarakat secara jelas disebutkan dalam Perda
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda rendah
Pelayanan kesehatan harus meliputi fisik dan psikis
Akses masyarakat terhadap layanan kesehatan minim
Perda jangan tumpang tindih dan selaras dengan produk hukum lainnya
Belum ada perda yang mangatur insentif pada swasta untuk berperan di bidang kesehatan
Fungsi simpul pelayanan kesehatan di tingkat RTRW harus ditingkatkan Perlu kebijakan mengenai asuransi kesehatan bagi seluruh warga, yang tidak mampu dibiayai pemerintah
328
No. 2.
Indikator Tenaga Kerja
Masalah
Solusi/Rekomendasi
RPJMD belum memiliki visi yang jelas dalam pembangunan sumber tenaga kerja
Ada mekanisme partisipatif masyarakat dalam penyusunan perda
Perda Naker yang ada masih berpihak pada pengusaha
Membuat Perda ketenagakerjaan yang dapat memfasilitasi kepentingan pemerintah, pengusaha dan buruh
Kebijakan UMR belum mampu memberikan kehidupan yang layak bagi tenaga kerja
Penegakan hukum yang lebih jelas
Perda belum mengatur pembinaan sektor informal
Jaminan sosial tenaga kerja harus layak
Swasta memperlakukan karyawan sebagai mitra yang egaliter Ada klausa dalam Perda berupa sanksi bagi pengusaha yang melanggar hak2 pekerja, disertai penegakannya
Perlu dibuat kebijakan pemerintah mengenai insentif bagi pengusaha yang memberikan asuransi tunjangan dan training bagi peserta
Perlu dibuat perda yang memuat perlindungan pekerja
Pelayanan kesehatan harus meliputi fisik dan psikis
329
No. 3.
Indikator Sumber Daya Alam
Masalah Perda belum mencerminkan proses konservasi SDA yang lestari
Mencantumkan kewajiban pemungut untuk melaksanakan konservasi
Kebijakan pemerintah tentang SDA berorientasi laba, sehingga menguntungkan pengusaha dan merugikan masyarakat, kebijakan eksploitatif
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pemantauan
Aspirasi kelompok masyarakat belum terakomodasi secara memadai
Swasta tidak terlalu mengutamakan kepentingan ekonomi
Apresiasi stakeholder terhadap kelestarian SDA rendah
Perlu sosialisasi dan penegakan Perda mengenai pengendalian dan perlindungan lingkungan
Perlu peraturan tentang pengendalian pencemaran lingkungan Sosialisasi perda kurang sehingga substansi tidak banyak diketahui masyarakat Perda mengatur reklamasi pertambangan belum banyak
Pengakuan hukum dalam implementasi perda tidak didukung secara politis
330
Solusi/Rekomendasi
Diskusi Kelompok 3 : Evaluasi & Analisis Kebijakan: Menuju Perda yang Partisipatif & Komprehensif Dalam evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya untuk menuju Perda yang partisipatif dan komprehensif, terlibat semua stakeholder mulai dari DPRD, Pemda, LSM, Akademisi, dan Dunia Usaha. Masing-masing pihak memiliki peran berbeda, seperti yang terlihat pada tabel berikut : DPRD
PEMDA
LSM
AKADEMISI Naskah Akademik – sosiologis, filosofis, juridis teknis dan outcome
DUNIA USAHA
Mencari masukan dari berbagai media, masyarakat
Membuka Mewakili masyarakat kesempatan ruang tertentu publik – pemberdayaan masyarakat
Menimbang untung rugi – pajak, dll
Meminta penjelasan ke Pemda
Membangun komitmen dan koordinasi dengan stakeholder
Koordinasi dan Fasilitator aspirasi
Objektif
Inisiatif menerima evaluasi Perda bermasalah dan memberatkan masyarakat
Tindak lanjut dan masukan
Advokasi
Peran pers – pengawasan dan monitoring
Sosialisasi dan evaluasi Fasilitasi pertemuan stakeholder Mengecek ke lapangan – klarifikasi Akses masyarakat terhadap layanan kesehatan minim Belum ada perda yang mangatur insentif pada swasta untuk berperan di bidang kesehatan
Fungsi simpul pelayanan kesehatan di tingkat RTRW harus ditingkatkan Perlu kebijakan mengenai asuransi kesehatan bagi seluruh warga, yang tidak mampu dibiayai pemerintah
331
Sedangkan evaluasi dan analisis kebijakan, khususnya menuju Perda yang partisipatif dan komprehensif dapat dilihat dari sisi proses, substansi dan implementasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini : No. 1.
Indikator Proses
Masalah
Solusi/Rekomendasi
Kurang partisipatif – stakeholders
Ada sistem menjamin partisipasi publik
Elitis – dominasi parpol dan pemda
Pemberdayaan masyarakat untuk partisipatif
Inisiatif dari Pemda
DPRD meningkatkan kemampuan
Diskriminatif
Lembaga seperti BALEG untuk menelaah perda
pendapatan – cepat, pelayanan publik Pemda kadang tidak realistis – lambat dalam membuat Perda Konsistensi terhadap waktu Kesadaran politik masyarakat – pasif Pemda – Dinas terlalu ditonjolkan Masyarakat – tidak ada sistem partisipasi Tidak ada PROLEGDA 2.
Substansi
Bertentangan dengan peraturan di atasnya
Tidak mengabaikan hirarki perundang-undangan
Definisi KETENTUAN UMUM tidak aplikatif
Kejelasan akan kata – kata, supaya tidak salah tafsir
cenderung untuk copy paste – kurangnya pengertian
Buat standarisasi
Tidak implementatif Substansi kadang jadi pemicu konflik Kurang visioner Tidak ada standar struktur pokok Terlalu banyak Perda tentang retribusi / pungutan Tidak lengkap Menimbulkan distorsi / biaya ekonomi tinggi
332
No. 3.
Indikator Implementasi
Masalah
Solusi/Rekomendasi
Kurang sosialisasi
Tingkatkan sosialisasi
Kurang pengawasan
Ada mekanisme pengawasan
Tidak konsisten dalam pelaksanaan – pungli
Sanksi yang jelas bagi aparat
Banyak SK Walikota/Bupati yang bertentangan dengan Perda
Perda bermasalah harus segera dicabut dan tidak dilaksanakan
Gap/perbedaan antara pembuat dan pelaksanaan dan yang diatur Perda bermasalah mengganggu sistem hukum nasional
333
Biodata Penulis
334
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Utama
1. Stefan Nachuk, Senior Poverty Specialist Bank Dunia Jakarta Stefan Nachuk, Sarjana (B.S.) dalam bidang Hubungan Kerja (Buruh) dan Industrial dari School of Industrial and Labor Relations, Cornell University, Ithaca, New York pada tahun 1985, meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang hubungan internasional dengan konsentrasi pada Perubahan Sosial dan Pembangunan dan Ekonomi Internasional dari The Johns Hopkins University, The Paul H. Nitze School of Advanced International Studies (SAIS), Washington D.C. pada tahun 1993. Memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun bekerja dalam bidang kebijakan publik, pembangunan, manajemen strategis, kepemimpinan, baik sebagai peneliti, konsultan, manajemen program/proyek maupun advisor di berbagai negara seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, Bangladesh, Senegal dan Afrika Selatan. Ahli dalam bidang governance, analisis kelembagaan, program-program pemberantasan kemiskinan, keuangan mikro, pendidikan dasar dan menengah, transportasi perdesaan, hak anak, bidang usaha off-farm, penyediaan jasa, pertanian dan kehutanan serta capacity building. Lebih dari enam tahun bekerja di Vietnam dengan Oxfam Belgique sebagai Team Leader PRA, Savings Programme Advisor, dan Acting Country Representative & Program Coordinator, serta dengan sebagai konsultan dengan berbagai lembaga internasional seperti FAO, UNDP, ADB, Novib dan Oxfam Great Britain, UNICEF, World Bank, Ford Foundation, DFID, ActionAid di Vietnam, Thailand dan Kanada. Bekerja di Indonesia sejak tahun 2003 sebagai Konsultan governance dengan DFID dan World Bank, CARE, SIDA, dan menjabat sebagai Senior Poverty Specialist di Kantor Bank Dunia Jakarta sejak Agustus 2003. Aktif menulis berbagai publikasi baik dalam bentuk buku, artikel, makalah atau publikasi terbatas di berbagai lembaga internasional sejak tahun 1991, diantaranya Making Services Work for the Poor Case Studies: Nine Case Studies on Local Best Practice, World Bank, Jakarta. Memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, Vietnam, Perancis (intermediate) dan Pulaar (basic). Kontak: Stefan Nachuk Senior Poverty Specialist Kantor Bank Dunia Jakarta BEJ Tower 2, Lt. 12 Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta Phone: 021-52993000 e-mail:
[email protected],
[email protected]
335
2. Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Administrasi Publik dan Direktur Program Master Kebijakan Publik dan Administrasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D., Sarjana dalam bidang Administrasi Publik dari FISIP UGM tahun 1989, diploma dalam bidang Administrasi meraih gelar Master (MDA) dalam bidang Administrasi Pembangunan dari Australian National University (ANU), Canberra, Australia tahun 1997 dan Ph.D. dalam bidang kebijakan dan governance dari Asia Pasific School of Economics and Government, ANU, Australia tahun 2005. Direktur Program Master Kebijakan Publik dan Administrasi sejak tahun 2006 dan Peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Deputi Direktur Program Master Kebijakan Publik dan Administrasi tahun 2005-2006, Staf Pengajar Master Kebijakan Publik dan Administrasi UGM (1997-2001), Sekretaris Program Departemen Administrasi Publik UGM (1999-2000), Asisten Akademis Program Master Kebijakan Publik dan Administrasi UGM (1993-1997), Staf Pengajar di Departemen Administrasi Publik UGM (1991-2001), Peneliti di Lembaga Studi Pembangunan, LSM, Jakarta (1990-1991), Pelatih dan peneliti di Lembaga Pendidikan, Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LSM, Jakarta (19891991). Aktif menjadi pelatih dalam bidang kebijakan publik di berbagai lembaga sejak tahun 1989. Menjadi peneliti dan konsultan dalam bidang governance dan desentralisasi sejak tahun 1987. Menulis berbagai publikasi dan paper di berbagai jurnal serta artikel di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Republika pada tahun 2002 dan 2005. Kontak: Agus Pramusinto, Drs, MDA, Ph.D. Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Telp. 0274 - 563362 e-mail:
[email protected],
[email protected] e-mail:
[email protected],
[email protected]
336
3. Enny Nurbaningsih, SH, MM, Staf Pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Unila Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World Bank. Enny Nurbaningsih, SH, MM, meraih gelar master dalam bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, dan sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Staf Pengajar di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Universitas Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor – World Bank. Memiliki pengalaman intensif penelitian dalam bidang hukum dan perundang-undangan dalam lima tahun terakhir yaitu Implikasi Legal dari Reposisi TNI dan Polri - Tim Fakultas Hukum UGM dan USAID (2001), Rekontruksi Legal Undang-undang Keadaan Darurat - Tim Fakultas Hukum UGM dan USAID (2002), Merancang perubahan undangundang dan revisi undang-undang keadaan darurat – USAID (2002), Sebuah studi mengenai Kajian Materi dan Status Hukum Keputusan MPRS dan MPR tahun 1960 – 2002 Kerjasama antara Panitia Kerja PHA II MPR-RI dengan UGM (2003), Dampak Mengkaji Ketetapan MPR mengenai Reformasi Sektor Keamanan: sebuah penilaian hukum dan rekomendasi kebijakan) - Fakultas Hukum UGM dan USAID (2003), Keharmonisan Legislasi dalam bidang kehutanan - Kerjasama Departemen Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM (2004), Tim Perencana untuk Draft Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, MenPan - MAP UGM (2003-2004), Verifikasi Undang-undang Perijinan di Bidang Kehutanan - Kerjasama Departemen Kehutanan dan Program Magister Hukum UGM (2004) dan Implikasi Amendemen Konstitusi terhadap Rencana Undang-undang Pembangunan di Indonesia - Fakultas Hukum UGM dan Komisi Hukum Nasional (2005). Kontak: Enny Nurbaningsih, SH, MM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jl. Sosio Justitia No.1 Bulaksumur Yogyakarta 08164265246
[email protected]
337
4. H.S Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti Krisis Semarang, Unila Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor - World Bank H.S Tisnanta, SH, MH, meraih gelar master (strata dua) dalam bidang hukum dari Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya pada tahun 1985 dan Sarjana Hukum dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tahun 1998. Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung (UNILA), dengan konsentrasi mata kuliah Hukum Administrasi, Hukum Ketenagakerjaan, Filsafat Hukum dan Etika Profesi Hukum dan Tim Peneliti KrisiS Semarang, Universitas Lampung dan UGM Yogyakarta dengan Program Justice for the Poor – World Bank. Aktif melakukan penelitian dalam bidang hukum dan kebijakan publik, beberapa diantaranya: Perspektif Gender dalam Pembentukan APBD Provinsi Lampung (2002), Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (The Asia Foundation 20022004), Kebijakan Kesehatan dalam Pelaksanaan Otda di Provinsi Lampung (PHPDinkes Lampung, 2002), dan Pembuatan Based Data Perda 36 Kabupaten/ Kota di 15 Provinsi (The World Bank, 2004). Mengikuti berbagai pelatihan dalam bidang hukum di Surabaya. Jakarta dan Yogyakarta. Menulis karya ilmiah diantaranya: Money Politics dan kontroversi Pemilihan Gubernur Lampung 2003-2008 (Tifa 2003), dan Meniti Partisipasi Publik (KBH Lampung-Ford Foundation, 2003). Anggota Lampung Parliament Watch dan Anggota Dewan Penasehat Serikat Pengacara Indonesia (SPI). Kontak: H.S Tisnanta, SH, MH Universitas Lampung Jl. Prof Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedungmeneng – Bandar Lampung 08127953199
338
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 1 1. HI Medi Botutihe, Walikota Gorontalo Kontak: HI Medi Botutihe Kantor Walikota Gorontalo Jl. Jend Ahmad Yani No. 3 Gorontalo, Telp. 0435-821001, Fax: 0435-830412 2. Djoko Santoso Abi Suroso, Kepala Bappeda Kota Tarakan Djoko Santoso Abi Suroso, Sarjana Teknik Bidang Geologi dari Institut Teknologi Bandung tahun 1987, meraih gelar Master/Post Graduate Study in Development Studies dari University of Queensland, Australia tahun 1996 dan Ph.D. Research in Urban dan Regional Planning dari University of Queensland tahun 2000. Saat ini menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur. Kontak: Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D Bappeda Kota Tarakan Telp/Fax: 0551 32004 e-mail:
[email protected] 3. Ari Nurman, Peneliti, Manajer Program dan Staf Perkumpulan INISIATIF, Bandung Ari Nurman, Sarjana Teknik (ST) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung tahun 2001, meraih gelar Master of Science (M.Sc) dari Technische Universiteit Delft (TU Delft), Belanda, bidang Teknologi, Kebijakan dan Manajemen tahun 2004. Peneliti dan manajer program di Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM dalam bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik di Bandung, sejak tahun 2004. Menjadi staf pengajar paruh waktu di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung dan di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi dan Sains Bandung (ITSB) – Bandung sejak 2005. Peneliti di Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives (IPGI) pada Februari 2001 – Agustus 2002.
339
Aktif menjadi peneliti dan asisten teknis sejak masih kuliah di ITB Bandung (tahun 1998) diantaranya membantu Badan Perencanaan Daerah dan DPRD Kabupaten Bandung dalam pembuatan RPJMD dan ikut serta dalam monitoring program Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition of Communities, di bawah EIDHR programme dari European Commission. Mendapatkan Beasiswa STUNED, Pusat Pendidikan Belanda (NEC) – Jakarta tahun 2002 – 2004 dan beasiswa supersemar tahun 1997-1999. Kontak: Ari Nurman, ST, M.Sc Perkumpulan INISIATIF Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264 Telp. 08562383783 e-mail:
[email protected] 4. Diding Sakri, Sarjana Teknik bidang Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung tahun 2001 Direktur Eksekutif Perkumpulan INISIATIF, sebuah LSM di Bandung yang berfokus pada bidang local governance, perencanaan dan kebijakan publik sejak April 2005. Sebelumnya bekerja sebagai peneliti di IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives) Bandung (Januari 2001 – Maret 2005). Aktif melakukan penelitian, advokasi dan proyek-proyek konsultansi sejak tahun 2001, diantaranya untuk DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat draft Perda mengenai Perencanaan Partisipatif dan Anggaran di Kabupaten Bandung (MaretApril 2005), untuk Bapedda dan DPRD Kabupaten Bandung untuk membuat RPJMD, dan menjadi direktur proyek dari EIDHR Program Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition of Communities, dari European Commission (Des 2005 – Juni 2007). Menulis berbagai publikasi seperti buku dan artikel di antaranya dimuat di Harian Denpasar Pos. Meraih berbagai penghargaan (prestasi) diantaranya finalis National Policy Brief Competition in Indonesian Public Policy Forum (IPPF), join program PT Hickling dan Kedutaan Kanada (Agustus 2002), Beasiswa Depdiknas (1999/2000), Beasiswa Asosiasi alumni ITB (1998/1999), Beasiswa Supersemar (1997/1998), dan Beasiswa MPI (Indonesian Forestry Society) (1996/1997). Kontak: Diding Sakri, ST Perkumpulan INISIATIF (Institute for Innovation, Participatory Development & Governance) Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264 Telp. 08156089840 e-mail:
[email protected]
340
5. Saeful Muluk, Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung Saeful Muluk, Sarjana Sosial dalam bidang Komunikasi dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 2003. Staf Peneliti di Perkumpulan INISIATIF, Bandung sejak tahun 2005. Sebelumnya bekerja sebagai peneliti/konsultan untuk Water and Sanitation Program Unit Bank Dunia Jakarta (Feb – Mei 2005), Staf Asisten Teknis di Direktorat Perencanaan Ruang dan Manajemen Lahan - Bappenas, Jakarta untuk BKTRN (Mei 2004 – Feb 2005), Regional Co-facilitator untuk proyek Bank Dunia ILGR (The Initiatives of Local Governance Reform Project) (Juni 2003-April 2004), Guru Bahasa Indonesia di sebuah SMU swasta di Bandung (April 2002-Mei 2003), dan staf teknis di Paramedia Komunikatama, Event Organizer (Jan – Des 2000). Melakukan penelitian sejak tahun 2003 di berbagai lembaga, diantaranya Participatory Poverty Analysis (2003) Bappenas – ILGR dan Study to Support Operationalization of Sector Policy Reform in Water Supply and Sanitation Sector through Local Government (2006). Kontak: Saeful Muluk, S.Sos Perkumpulan INISIATIF (Institute for Innovation, Participatory Development & Governance) Jl. Guntursari IV No.16 Bandung 40264 Telp. 08156028295 e-mail:
[email protected]
341
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 2 1. Absori, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Absori, meraih gelar Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, S2 (Pascasarjana) Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro Semarang tahun 1998 dan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tahun 1989. Pengalaman penelitian pada tahun 2005-2006 diantaranya Kebijakan Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Surakarta (2005) dan Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan Pendekatan Partisipatif, Studi di Jawa Tengah (2006), Penelitian Hubah Bersaing Dirjen Dikti. Kontak: Dr. Absori, SH, Mhum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Telp. 0271-719483 ext 144, 42785, 08122639131 e-mail:
[email protected] 2. Nur Hidayat Sardini, Staf Pengajar FISIP Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Nur Hidayat Sardini, meraih gelar S2 Jurusan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2004 dan Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP Semarang tahun 1996. Peneliti di Pusat Studi dan Pengkajian Masyarakat Eropa (PSPME) UNDIP (19982002), Seksi Pelayanan Publik pada Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik (Puskodak) FISIP UNDIP (2000-2001), dan Koordinator Peneliti SosialPolitik-Budaya pada Pusat Studi Peisisir dan Laut Tropis (PSPLT) Lemlit UNDIP (1999-2001). Aktif di berbagai kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Komite Peduli Pemilihan Gubernur (KP2G) Jawa Tengah dan Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah tahun 2003, menjadi Direktur Institute for Social and Ethics Studies (ISES) tahun 1998-2003, Anggota Local Legislative Watch (LLW), Jawa Tengah tahun 1999-2000, Badan Pekerja Forum Kota Semarang (FKS) tahun 1999-2000, dan Kadiv Komunikasi Semarang Corruption Collution and Nepotism Watch (SCCNW) tahun 2000-2001. Anggota Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Cabang Semarang tahun 1997-2003 dan Ketua Panel Tahunan Masyarakat Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (MPIS) Jawa Tengah. Menjadi tenaga ahli DPR RI tahun 2002-
342
2003. Berpengalaman melakukan berbagai penelitian diantaranya Evaluasi Dampak Pelaksanaan Uji Coba Otonomi Daerah di Kabupaten Banyumas (1997) dan Kompilasi Janji Program Pemberdayaan Perempuan dan Isu-isu Gender ke-48 Partai Politik pada Kampanye Pemilu 1999 (2001/2002). Kontak: Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si. Fisip UNDIP Jl Imam Bardjo SH No 1 Semarang Telp. 0818451445 e-mail:
[email protected] 3. Hikmat Ramdan, staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Sumedang, Jawa Barat Hikmat Ramdan, meraih gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006, Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dan Sarjana Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 1995. Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Sumedang, Jawa Barat sejak tahun 1995, Konsultan proyek-proyek kehutanan dan lingkungan sejak tahun 1994, Kepala Departemen Lingkungan Hidup LSN RISSAPEL Kuningan sejak tahun 1999, Wakil Ketua Yayasan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia di Jakarta sejak tahun 2001, Ketua Forum Pemerhati Masigit Kareumbi sejak tahun 2003, DPW Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Jawa Barat sejak tahun 2003 serta Pembantu Dekan I dan III Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti sejak tahun 2005. Menjadi Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Kehutanan Universitas Winaya Mukti tahun 2002-2003. Berbagai kegiatan konsultansi yang dilakukan diantaranya adalah Penyusunan Zona Resapan Air Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan (Bappeda Kuningan dan LSM Rissapel, 2000), Penyusunan RUTR Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan (Bappeda Kuningan dan STIKKU Kuningan, 2002), Penyusunan RTRK Pengembangan Ekonomi Jagoibabang Kabupaten Bengkayang dan Jasa Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat (Ditjen Penataan Ruang PU dan PT Teknoplan Nusantara Consultant, 2005). Aktif menulis di berbagai jurnal dan majalah ilmiah dalam 10 tahun terakhir. Anggota Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dan Perhimpunan Profesional Pemanenan Hasil Hutan Indonesia.
343
Kontak: Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si Bantarjati Bogor Telp. 0251-356763, 08122368188 e-mail:
[email protected] 4. Ahmad Dermawan, Asisten Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor Ahmad Dermawan, meraih gelar M.Sc pada Department of Economics and Resource Management dari Agricultural University of Norway tahun 2004 dan Sarjana Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dari Insitut Pertanian Bogor tahun 1999. Bekerja sebagai asisten peneliti di CIFOR sejak Mei 2001. Sebelumnya menjadi asisten peneliti di LSM Bina Swadaya (Agustus – September 1999) dan Asisten Peneliti di Institut Pertanian Bogor (Mei 1998- April 2001) serta menjadi asisten doesn dan asisten penelitian dalam masa perkuliahan di IPB. Menjadi salah satu penulis buku “Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Community Livelihoods, and Economic Development”, CIFOR (terbit tahun 2006) dan “Kemana Hendak Melangkah: Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia”, tahun 2002, penerbit: Yayasan Obor Indonesia. Kontak: Ahmad Dermawan, M.Sc Center for International Forestry Research (CIFOR) Jalan CIFOR, Situgede, Sindangbarang, Bogor Barat Telp/Fax. 0251 – 622 622 / 622 100 e-mail:
[email protected],
[email protected] Lembaga Penelitian UNPAD Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung Telp. 022 – 7279435, 0818219170 e-mail:
[email protected]
344
Biodata dan Informasi Pemakalah Sesi Paralel 3 1. Dede Mariana, Staf Pengajar FISIP Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dan Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran (Puslit KP2W Lemlit UNPAD) Dede Mariana, peserta Program Doktor, Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi, Program Pascasarjana, UNPAD, Bandung sejak tahun 1998, meraih gelar Master Sains pada bidang yang sama dengan spesialisasi Pengembangan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat dari UNPAD, Bandung tahun 1998, Sarjana Ilmu Pemerintahan, FISIP tahun 1987 serta Sarjana Muda Ilmu Pemerintahan dari universitas yang sama tahun 1985. Kepala Puslit KP2W Lemlit UNPAD sejak tahun 2004, Ketua Kelompok Pengkajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Penelitian UNPAD, sejak tahun 2001, Ketua Pusat Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah, FISIP UNPAD sejak tahun 1995, Kepala Divisi Pengkajian dan Pengembangan Wilayah, LPM UNPAD tahun 2000-2002, menjabat sebagai sekretaris di Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM), UNPAD tahun 1991-1993, Anggota Pengelola Kuliah Kerja Nyata (KKN), LPKM UNPAD tahun 1990-2002, Koordinator Program Pengembangan Wilayah dan Penerapan Teknologi, LPKM UNPAD tahun 19971999. Berpengalaman melakukan penelitian di bidang kebijakan publik dan pengembangan wilayah terutama di wilayah Bandung dan Jawa Barat lebih dari sepuluh tahun terakhir. Aktif menulis buku, di berbagai media massa cetak, maupun jurnal ilmiah/majalah. Selain itu aktif juga dalam Pengabdian Kepada Masyarakat di Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat. Kontak: Dede Mariana, Drs., M.Si Pusat Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UNPAD Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung Telp. 022 – 7279435, 0818219170 e-mail:
[email protected],
[email protected]
345
2. Caroline Paskarina, Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dan Staf Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran (Puslit KP2W Lemlit UNPAD) Caroline Paskarina, Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD Bandung tahun 2000, dan Master bidang Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2004. Aktif melakukan penelitian sejak tahun 1997 terutama dengan Lembaga Penelitian UNPAD dan bekerja sama dengan lembaga lainnya seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, Dispenda Provinsi Jawa Barat, Bappeda Jawa Barat dan DIKS UNPAD. Beberapa penelitian yang dilakukan diantaranya: Evaluasi Kelembagaan Perangkat Daerah di Kabupaten Majalengka, Kajian Kelembagaan dan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Bandung Barat, Pengkajian Perda Provinsi Jawa Barat tetang Perizinan untuk Meningkatkan PAD, Pengkajian Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang Mengandung Sanksi, dsb. Aktif menulis berbagai artikel di media massa Jawa Barat seperti Harian Umum Pikiran Rakyat, buletin, jurnal dan majalah terbatas, serta menulis makalah yang disampaikan dalam berbagai acara seminar dan lokakarya sejak tahun 2000. Kontak: Caroline Paskarina, S.IP., M.Si. Pusat Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UNPAD Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung 3. I GPA Rhama Wijaya, Tim Implementasi Restrukturisasi BTN (IR-BTN) I GPA Rhama Wijaya, Sarjana Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung. Tenaga Ahli dan Perencanaan bidang Perencanaan Wilayah dan Kota pada PT. Prima Mitranata Consultan Jakarta, Tenaga Ahli bidang struktur dan manajemen organisasi pada PT. Prima Mitranata Consultan Jakarta, dan Tim Implementasi Restrukturisasi Bank Tabungan Negara (IR-BTN). Anggota Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Mengikuti berbagai kursus dan seminar diantaranya Peningkatan Peran dan Kemampuan Aparat Pemerintah Daerah dalam Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan, kerjasama Ditjen. Bangda dan INKINDO, Asset and Liability Management, Raxindo Consultan Jakarta (1998) dan Kursus Menilai dan Observasi kemampuan staf berbasis kompetensi, Hay Consultant, Jakarta (2005).
346
Kontak: Ir. I GPA Rhama Wijaya Menara BTN Up. Tim IR BTN Jl. Gajah Mada No. 1 Lt. 3 Jakarta 10130 Telp. 08159809284, 021-6336789 ext 8336 /8313 e-mail:
[email protected]
347