MENGHENTIKAN KEKERASAN DAN DISKRIMINASI TERHADAP ANAK DAN KELOMPOK MINORITAS DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA 1 Oleh Maria Ulfah Anshor 2
a. Pendahuluan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dari bulan Januari sampai Agustus tahun 2014, telah terjadi sebanyak 621 (enam ratus dua puluh satu) kasus kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 590 (lima ratus Sembilan puluh) kasus. Adapun kekerasan secara umum pada tahun 2013 tidak kurang dari 4.500 kasus, tahun 2012 sebanyak 4.358 kasus, tahun 2011 sebanyak 2275 kasus. Anak-anak khususnya anak perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan khususnya trafficking dan eksploitasi seksual. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain: kurangnya kesadaran masyarakat dan lemahnya penegakan hukum. Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tetapi mereka tidak menyadari adanya bahaya child trafficking bahkan mereka tidak mengetahui bagaimana cara-cara yang digunakan para trafiker untuk menipu atau menjebak mereka dalam berbagai bentuk di antaranya dengan iming-iming pekerjaan dan uang yang diselewengkan menjadi pekerjaan yang menyerupai perbudakan di era globalisasi ini. Kasus besar terkait kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan kekerasan terhadap anak termasuk di dalamnya kejahatan seksual yang dilaporkan ke KPAI pada 2014, antara lain pemenuhan hak dasar bagi warga Ahmadiyah di pengungsian di Transito Mataram dan Praya, Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 2006 hingga sekarang. Selain kasus JIS juga kasus kekerasan seksual terhadap anak atau sodomi yang dilakukan Andi Sobari alias Emon di Sukabumi, korbannya mencapai 110 anak; Kasus Pedofil di Tegal atau disebut dengan kasus ‘Samai’, korbannya tercatat kurang lebih ada 100 anak, rata-rata berumur 13-14 tahun, Samai menjebak korbannya dengan iming-iming akan mengajari ilmu sulap yaitu mengubah daun menjadi uang; 1
Disampaikan pada Konferensi INFID yang bertema “Re-demokratisasi Ekonomi, Sosial, dan Politik untuk Pembangunan Inklusif”. Jakarta, 14-15 Oktober 2014.
2
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), periode 2014-2017.
1
Kasus sodomi oleh penjaga Mesjid di Makasar, korbannya puluhan anak berusia antara 9 dan 11 tahun, yang dilakukan sejak 2013. Pelaku melakukan aksinya saat para santri selesai mengaji di TPA dan pelaku biasa melakukannya di ruang sekretariat panitia masjid. Selain kasus-kasus tersebut, ibarat fenomena gunung es dipastikan ribuan kasus lain yang tidak terlaporkan menghampiri anak-anak kita. Tingginya kasus kekerasan seksual tersebut memunculkan kesadaran publik, pentingnya penguatan regulasi terkait perlindungan anak. Terkait hal tersebut, Presiden memberikan respon politiknya melalui Inpres No.5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN Aksa), sebagai upaya untuk menutupi kekosongan perangkat hukum dalam perlindungan hak-hak anak. Namun hal tersebut dirasa belum sempurna bila peraturan utamanya yakni Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum di sempurnakan, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) periode 2009-2014 yang sudah kita dorong untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut sejak akhir 2011, baru berinisiatif untuk melakukan upaya revisi UU tersebut di akhir masa baktinya yang tinggal beberapa hari, yang disahkan pada tanggal 25 September 2014. KPAI mengappresiasi terhadap upaya pemerintah maupun DPR terhadap revisi UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, namun sangat disesalkan substansinya belum seperti diharapkan. Perspektif Konvensi Hak Anak (KHA) belum dijadikan kerangka berpikir oleh para pengambil kebijakan dalam pembuatan UU revisi tersebut, nampak sekali dari hasilnya bahwa KHA belum senafas dengan batang tubuh revisi UU Perlindungan Anak yang baru tersebut. Bahkan alih-alih menyempurnakan tetapi yang terjadi justru menghilangkan sejumlah pasal dan mengabaikan usulan yang kita ajukan bersama konsorsium sejumlah LSM peduli anak untuk mewujudkan cita-cita Indonesia ramah anak (IRA). Mari kita kritisi kembali kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak maupun kebijakan-kebijakan yang tidak mendorong terwujudnya kehidupan yang setara dalam berbangsa dan bernegara karena bertentngan dengan konstitusi. Sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 28B ayat (2) menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
2
b. Ruang Lingkup Kekerasan terhadap Anak Kekerasan yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat khususnya anak dan anak perempuan sebagai korbannya, ditemukan dalam berbagai bentuk dengan usia korban yang beragam, dari usia hitungan bulan hingga di bawah usia 18 tahun yang terjadi pada berbagai lapisan sosial. Begitu juga ruang lingkup dan waktu kejadiannya, tidak mengenal ruang dan waktu, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di tempat kerja, di tempat umum seperti terminal, di kendaraan umum dalam bis, kereta api, dalam situasi konflik, di tempat penampungan bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman bagi seluruh anggota keluarganya. Pelakunya pun beragam dari orang yang tidak dikenal, teman, saudara, pacar, orang tua bahkan aparat dan negara. Di sisi lain, prilaku masyarakat terhadap korban kekerasan khususnya jika korbannya perempuan cenderung menyalahkan, bahkan dengan stigma yang selalu menyudutkan korban, perempuan dianggap sebagai pihak yang memicu terjadinya kekerasan. Korban diposisikan sebagai pihak yang dipersalahkan. Contoh dalam kasus perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga, perempuan sebagai korbannya mengalami stess dan depresi berat bahkan trauma sepanjang hidupnya. Ketika melapor kepada keluarga,
keluarga menyalahkan,
ketika masyarakat mengetahui
mereka juga
menyalahkan korban dengan berbagai asumsinya, ketika melaporkan kepada polisi mereka juga tidak berempati pada korban. Sementara pelaku kekerasan dibiarkan, bahkan diposisikan sebagai pihak yang mendapat pembenaran dari lingkungan maupun tradisi pemahaman agama yang bias gender. Prilaku masyarakat dalam sejumlah kasus kekerasan tersebut di atas jika dikonfirmasi dengan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) yang dilakukan pada 2006, dan hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 di 9 propinsi, ada korelasi antara sikap dan prilaku keluarga dan masyarakat terhadap kekerasan dengan budaya dan pemahaman keagamaan yang diyakininya. Kedua hal tersebut di antaranya yang membentuk akar budaya patriarkhi yang kemudian mempengaruhi pemahaman keagamaan masyarakat yang bias gender, menjadi seolah pembenar seolah kekerasan bersumber dari agama. Padahal, tidak ada satu ajaran agama manapun khususnya Islam yang membenarkan terjadinya kekerasan apalagi terhadap perempuan dan anak.
3
Pengertian kekerasan memiliki arti yang beragam, tetapi dalam Deklarasi Beijing disebutkan bahwa, kekerasan terhadap perempuan berarti segala bentuk kekerasan yang berdasar gender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan, termasuk di dalamnya ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik terjadi di tempat umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang. Ruang lingkup Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) meliputi berbagai bentuk perbuatan, di antaranya sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak-anak perempuan dalam rumah tangga (termasuk di dalamnya nikah dini atau menikahi anak berusia di bawah 18 tahun), kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin yang tidak dibayarkan, perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik tradisional lain yang merugikan kaum perempuan, kekerasan yang terjadi di luar hubungan suami istri dan kekerasan lain yang berhubungan dengan eksploitasi. 2. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan ancamanancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan di mana saja, serta perdagangan perempuan maupun pemaksaan pelacuran. 3. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh negara di mana pun terjadinya. 3 Selain itu, tindakan-tindakan lain terhadap perempuan meliputi pelanggaran hakhak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata, terutama pembunuhan, perkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan paksa. Termasuk juga KTP adalah tindakan-tindakan pemaksaan seperti sterilisasi dan pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan, dan pemilihan jenis kelamin bayi pra kelahiran. 4 Gambaran tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan cakupan KTP meliputi fisik, psikis dan seksual serta semua tindakan yang berdampak langsung maupun tidak langsung pada pengertian di atas. Dampak tersebut dapat berupa gangguan-gangguan seperti kesakitan fisik, termasuk luka/ cidera, gangguan fungsional, keluhan fisik, cacat permanen. Gangguan psikis berupa gangguan kesehatan mental (jiwa) seperti rasa cemas, rasa rendah diri, depresi, 3
Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan. 1997:88-89. Konperensi Sedunia Keempat tentang Perempuan: Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing. 4 Ibid
4
fobia dan sebagainya. Gangguan seksual dapat berupa gangguan kesehatan reproduksi seperti komplikasi kehamilan, keguguran, berat bayi lahir rendah, gangguan seksual, infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual dan sebagainya. Adapun pelakunya, dapat dikategorikan meliputi individu, keluarga, masyarakat/ kelompok, maupun negara. Dari segi tempat kejadiannya kekerasan dapat terjadi di rumah tangga (domestic) atau di tempat umum (public). Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga (KDRT) selain berupa fisik, psikis dan seksual, juga berupa kekerasan ekonomi seperti tidak memberi nafkah kepada istri, memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupan istri, atau membiarkan istri kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami dan sebagainya. Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) kekerasan ekonomi termasuk penelantaran rumah tangga, sebagaimana pasal 9 menyebutkan: “(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”. C. Mengkritisi Fakta Kekerasan, Bentuk-bentuknya dan Pelakunya Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat selama lima tahun terakhir 2008-2012 Kasus KTP termasuk di dalamnya anak perempuan, jumlahnya terus meningkat. Sebagai ilustrasi sebagaimana tabel berikut: (sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012) Kategori 2012 2011 2010 2009 2008 subtotal
Privat 211,822 97.99% 113,878 95.61% 101,128 96.22% 136,849 95.31% 49,537 91.02% 287,514 94.85%
Publik 4,293 1.99% 5,187 4.35% 3,530 3.36% 6,683 4.65% 4,875 8.96% 15,088 4.98%
Negara 41 0.02% 42 0.04% 445 0.42% 54 0.04% 13 0.02% 512 0.17%
subtotal 216,156 119,107 105,103 143,586 54,425 303,114
5
Begitu juga kekerasan terhadap anak, fakta yang ditemukan KPAI pada pemantauan kekerasan terhadap anak di sekolah tahun 2012, menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Meskipun menurut statistik kedua tabel tersebut belum menggambarkan secara nasional namun bisa menjadi indikator bahwa Kekerasa terhadap anak termasuk anak perempuan jumlahnya cenderung meningkat. Data tersebut belum termasuk yang tidak dilaporkan, karena budaya masyarakat masih beranggapan bahwa melaporkan kekerasan yang dialaminya adalah aib keluarga, khususnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perkosaan maupun incest. Sehingga apabila ada korban yang mampu melaporkan diri kepada Pusat layanan krisis (Crisis Center) maupun kepada kepolisian dapat dipastikan kondisinya “gawat atau darurat” yakni korban membutuhkan pertolongan segera, cepat, terpadu dan komprehensif. Kekeraan terhadap anak termasuk anak perempuan hendaknya tidak dilihat hanya semata-mata berupa kekerasan langsung, tetapi dibalik kekerasan langsung perlu mencermati ada akar kekerasan kultural 5 yang bersumber dari budaya patriarkhi atau budaya yang berakar dari adanya ketimpangan relasi antara individu yang berkuasa
5
Kekerasan kultural adalah aspek-aspek budaya, wilayah simbolis eksistensi kita (agama, ideology, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal) yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung maupun kekerasan structural. (Johan Galtung. 1990. Cultural Violence, dalam Jurnal of Peace Research 27 no. 3 (1990): 291-305, dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, edisi 9 tahun III/ 2002, hal. 11.
6
dengan individu yang lemah atau tidak berkuasa, dan kekerasan struktural 6 yang menjadi sumber sebagai akar kekerasan dalam keluarga dan masyarakat. Johan Galtung menggambarkan bentuk kekerasan tersebut dengan menggunakan analogi teori gempa bumi yaitu antara gempa sebagai sebuah peristiwa (berupa kekerasan langsung), pergerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (berupa kekerasan struktural), dan alur retakan sebagai kondisi yang permanen (berupa kekerasan kultural) 7. Ilustasi Galtung menggambarkan sebuah bentuk segitiga kekerasan yang satu sama lain terkait dan memiliki arus sebab akibat di semua kaki segitiga tersebut, dan kekerasan dapat dimulai dari sisi yang mana saja di antara ketiga siku sama sisi segitiga tersebut. Jadi, jika kita menyaksikan sebuah tindakan kekerasan langsung yang dialami oleh anak termasuk anak perempuan, itu baru menunjukkan pada satu sudut dari ketiga sudut segitiga tersebut dan harus kita kenali sumbernya atau akibatnya pada dua sudut yang lain. Selain itu, pada kasus-kasus konflik kekerasan antar kelompok masyarakat yang terjadi di masyarakat maupun antara masyarakat dengan aparat, jika tidak ada penyelesaian yang berpihak pada kepentingan terbaik anak dan untuk penegakan keadilan maka negara dapat diidentifikasi sebagai pelaku kekerasan struktural. Hal tersebut dikarenakan aparat penegak hukum melakukan pembiaran terhadap para pelaku tidak diproses secara hukum. Ada atau tidak ada laporan tentang tindak kekerasan yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, aparat penegak hukum berkewajiban melakukan proses hukum, yang dilanjutkan pada proses peradilan hingga pelakunya bisa dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Dengan tidak menindak secara hukum terhadap para pelaku kekerasan baik individu maupun berkelompok artinya sama dengan Negara memberikan pembenaran/ pembolehan (melegitimasi) kepada pelaku untuk melakukan kekerasan.
D. Kekerasan dan Konflik Berbasis Pemahaman Keagamaan Kita bisa belajar dari sejumlah kasus konflik antar umat beragama maupun antara kelompok umat seagama yang terjadi dengan berbagai pemicu sebagaimana pada kasus 6
Kekerasan structural adalah proses pembiaran dari pihak yang berwenang terhadap terjadinya peristiwa kekerasan maupun dampaknya baik yang bersifat langsung maupun tidak, baik yang bersifat fisik maupun psikis. 7 Galtung, Johan. Ibid, hal. 4.
7
kekerasan publik yang dilakukan oleh milisi sipil (secara ekstrim ‘korban’ 8 menyebutnya polisi berjubah) yang mengatasnamakan atau menggunakan pembenaran pemahaman agama tertentu. Akhir-akhir ini sering terjadi di beberapa tempat, baik yang sifatnya ringan berupa ancaman, teror, penyesatan terhadap ajaran agama tertentu hingga pengrusakan tempat-tempat ibadah. Sejumlah kasus konflik yang mengatasnamakan agama tertentu dengan korban kelompok Ahmadiyah sebagaimana di NTB atau di Sampang dengan korban kelompok Syiah, dan sejumlah kasus dengan korban umat Kristiani yang yang dialami jamaat Yasmin di Bogor dan Philadelpia di Bekasi dan sebagainya, di mana peran Negara belum mampu menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara komprehensif dan sistemik. Hasil penelitian PPIM-UIN (2006) diantaranya menyebutkan berupa kekerasan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, merusak tempat-tempat minuman keras, tempat pelacuran dan tempat-tempat maksiat. Meskipun disebutkan yang pernah melakukan jumlahnya kurang dari 2% tetapi lebih dari 40% responden bersedia melakukan hal tersebut karena menganggap memperoleh dukungan dari ajaran agama. 20% di antara mereka meyakini bahwa serangan bom di Bali dibenarkan karena Bali dianggap sebagai sarang maksiat, lebih dari 40% mereka yang menyerang Ahmadiyah dengan alasan mengikuti fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap bahwa Ahmadiyah sesat sehingga ‘harus diluruskan’ atau kembali ke ajaran yang ‘benar’. Temuan PPIM lainnya, menyebutkan bahwa <50% pernah melakukan hal-hal seperti memukul istri yang tidak patuh pada suami, memukul anak (termasuk anak perempuan) berumur 10 tahun karena tidak shalat, memukul, menampar atau mencubit anak agar patuh pada orang tua. Dalam pemahaman keagamaan yang menyangkut relasi seksual suami istri, temuan PPIM juga menyebutkan; responden meyakini bahwa istri akan dikutuk oleh malaikat sampai subuh jika menolak ajakan suami untuk berhubungan intim. Temuan tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa ada korelasi antara Kekerasan Terhadap Anak (KTA) termasuk anak perempuan dengan pemahaman keagamaan yang bias gender. Selain fakta kekerasan, juga ada fenomena yang terjadi di kalangan sejumlah kelompok yang menginginkan Syari’at Islam diformalkan menjadi hukum positif. 8
Laporan masyarakat kepada KPAI terkait kasus jamaat Yasmin Bogor dan Philadelpia Bekasi
8
Dengan argument agar umat Islam Indonesia menjadi muslim yang mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh (kaaffah), sebagaimana dalam Al Quran surat AlBaqarah/2:208. Menurut hemat saya tidak ada yang salah dengan keinginan tersebut jika diterapkan secara individu, tetapi jika diformalkan menjadi hokum positif, artinya berhadapan dengan Negara dengan warganya yang terdiri dari berbagai agama, suku dan budaya yang berbeda-beda yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar Negara Indonesia yang dijamin oleh Konstitusi. Kita semua harus menyadari bahwa bangsa Indonesia tidak hanya didirikan oleh umat Islam tetapi oleh seluruh warganya yang menganut berbagai agama dengan keragaman budaya dan adat istiadatnya. Karenanya, harus kita jaga keutuhan kemajemukan tersebut dengan saling menghargai dan menghormati terhadap berbagai perbedaan yang ada. Itulah Indonesia. Beberapa pengalaman yang terjadi di negara-negara Islam diakui oleh Haideh Moghissi dari Iran bahwa ketika sebuah negara menerapkan sistem politik syari’ah, maka hak-hak perempuan selalu menjadi target pertama yang harus tunduk pada sistem syari’ah. Di Iran menurut sistem ini seorang perempuan (istri) harus tetap di dalam rumah, memakai hijab, taat kepada suami dan sebagainya. Begitu juga perempuan di Afghanistan, di bawah kekuasaan Mujahidin yang dipimpin oleh Borhan ul-Din Rabbani, perempuan secara resmi menjadi urusan nomor dua. Di bawah kekuasaan Taliban, kondisi tersebut menjadi semakin buruk. Perempuan dijadikan sebagai tahanan rumah, dilarang bersekolah, tidak boleh bekerja di luar rumah dan tidak boleh meninggalkan rumah kecuali ditemani oleh seorang kerabat laki-lakinya. Sementara kebijakan islamisasi di Sudan juga merugikan minoritas non-arab dan non-muslim. Mereka melakukan pembersihan etnis (etnic clinsing) dengan melakukan penculikan, pemerkosaan, pembunuhan, perbudakan dan kelaparan yang disengaja. 9 Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa pemberlakuan syariat Islam yang diformalkan berdampak secara struktural maupun kultural turut memperkokoh budaya patriarkhi dan budaya kekerasan dengan legitimasi yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat adalah bentuk nyata dari bukti adanya ketidakadilan terhadap perempuan, anak dan kelompok minoritas yang tidak berdaya dan tidak memiliki kekuasaan, yang muncul dalam berbagai dimensi sosial 9
Haideh Moghissi. 1999. Feminisme dan Fundamenalisme Islam, hal. 3-4.
9
keagamaan baik secara pisik maupun psikis, baik secara struktural maupun kultural dan terjadi di ruang domestik maupun publik. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut telah mengakar dalam masyarakat secara turun temurun sebagai konstruksi dari ideologi patriarkhi 10 maupun keyakinan yang merasa paling benar dengan agama yang dianutnya dan penganut lain dianggap salah. Kondisi tersebut tanpa disadari menjadi sebuah ‘ideologi’ pembenaran terjadinya kekerasan terhadap anak termasuk anak perempuan dan kelompok minoritas. Dalam perspektif Islam, secara teologis tidak ada satupun ayat maupun hadis yang membenarkan menjadikan perempuan, anak dan kelompok minoritasa sebagai objek kekerasan dan diskriminasi, apalagi negara sebagai subjeknya. Tuhan menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan kapasitas, potensi dan peluang yang sama dalam menerima mandat dari Tuhan baik sebagai hamba dengan kewajiban menyembah kepada Tuhan-Nya maupun sebagai representasi (khalifah) Tuhan di muka bumi. Dalam hal ini, manusia diperintahkan untuk berlaku adil baik sebagai pemimpin maupun sebagai orang yang dipimpin. Dalam relasi sosial, Tuhan memerintahkan kepada kita untuk bersikap egaliter kepada siapapun, tidak membeda-bedakan manusia karena jenis kelaminnya maupun kedudukan sosialnya. Bahkan kita diperintahkan Tuhan untuk saling menghargai, saling menghormati, saling tolong menolong di kala suka maupun duka dengan sesama manusia termasuk terhadap perempuan, anak, dan kelompok minorotas apapun agamanya dan di manapun keberadaannya. Terkait hal tersebut, aparat keamanan bukannya tidak mengetahui, pejabat dan aparat negara pun bukannya tidak mendengar, mereka saya kira tahu persis namun tidak mampu bertindak secara konstitusional. Penegakan terhadap hukum (law enforcement) yang didengungkan menjadi salah satu agenda saat reformasi, enam belas tahun yang lalu, kondisinya tidak berubah bahkan makin memburuk. Di sisi lain, para tokoh agama pun tidak berdaya berhadapan dengan penguasa atau mereka tidak menyadari bahwa ketika tidak ada penolakan terhadap kedzaliman tersebut dapat berarti melegitimasi adanya berbagai bentuk kekerasan publik. Artinya, secara struktural maupun kultural aparat negara dan tokoh agama ikut andil dalam proses terjadinya kekerasan publik 10
Ideologi patriarkhi ialah suatu system otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi social, politik, dan ekonomi. (Maggie Humm. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, hal 332).
10
tersebut. Dalam kasus-kasus tersebut nuansa politisnya kental sekali ‘mendominasi’ ketimbang penyelesaian secara hokum atau penerapan terhadap nilai-nilai agama agama mayoritas khususnya Islam yang damai. Bahkan terkesan mereduksi nilai-nilai Islam yang sesungguhnya sangat luas dan universal, yang memberikan keselamatan dan rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamiin), sehingga di manapun, siapa pun bisa hidup berdampingan yang saling menghormat dan menghargai apapun agama dan keyakinannya.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulannya, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, anak dan kelompok minoritas bersifat sistemik, meliputi aspek kebijakan, struktur dan budaya. Kekerasan dan diskriminasi pada aspek manapun dan sekecil apapun terhadap siapapun, khususnya perempuan, anak dan kelompok minoritas harus dihentikan. Untuk itu, saya merekomendasikan beberapa hal, antara lain: Pertama, mengkritisi kebijakan dan perundang-undangan yang tidak ramah atau mendiskriminasikan perempuan, anak dan kelompok minoritas untuk berorientasi pada solusi penghentian kekerasan dan diskriminasi kepada siapapun sesama warga Negara dan sesama manusia di muka bumi. Serangkaian kegiatan bisa dilakukan secara holistic dan komprehensif, mulai dari peninjauan kembali terhadap isi hukum (legal review), advokasi kepada para pengambil kebijakan hingga penyadaran kritis kepada masyarakat dengan multi perspektif; perspektif perlindungan anak, perspektif gender dan perspektif lain yang relevan untuk menghentikan kekerasan dan diskriminasi tehadap perempuan, anak dan kelompok minoritas dalam berbagai level. Kedua, terkait pemahaman agama yang tekstual harus ada upaya bersama untuk melakukan pemahaman yang kontekstual dan holistic dengan melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi) bahkan rekonstruksi terhadap semua hasil pemikiran keagamaan yang bias gender dan bias kepentingan politik dan golongan karena menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok rentan dan minoritas. Dengan memperbaharui wacana keagamaan yang kontekstual diharapkan tokoh agama mampu menjembatani antara realitas kehidupan yang dinamis dengan teks kitab suci yang menjadi wahyu Tuhan yang
11
secara pisik (texual) sudah final namun secara psikhis (kontextual) kita yakini mampu menjadi pedoman hidup sepanjang masa; Ketiga, memberikan penyadaran kritis kepada kader partai politik (belum banyak disentuh) sebagai suplayer pembuat kebijakan di legislative dan eksekutif, maupun tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan multi perspektif khususnya perspektif gender dan mainstreaming perlindungan anak. STOP KEKERASAN DAN DISKRIMINASI terhadap perempuan, anak dan kelompok minoritas sekarang juga, sekecil apapun dan di manapun di negeri ini.
Jakarta, 15 Oktober 2014
Daftar Pustaka
Khallaf, Abdul Wahab. 1972. Ilmu ushul Fiqh. Bandung: Risalah. Harb Ali. 1993. Heurmeneutika Kebenaran. Yogyakarta: LKIS, cetakan 1. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, cetakan 1. Moghissi, Heideh. 1999. Feminism and Islamic Fundamentalism the Limits of Postmodern Analysis, dalam bahasa Indonesia Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: LKIS, cetakan 1. Insist. 2001. Jurnal Ilmu Sosial dan Transformatif, Wacana Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Insist. Arkoun, Muhammed. 1992. Min Faisal Tafriqah ila Fasli al-Maqal, dalam bahasa Indonesia Membongkar Wacana Hegemonik. Surabaya: Al-Fikr, cetakan 1. Umar, Nazarudin. 1999. Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina, cetakan 1. Ash Shabuni, Muhammad Ali. 1980. Al-Tibyaan fi Ulum al-Qur’an. Makkah: Sayid Hasan Abbas. Misrawi, Zuhairi. 2003. Dari Syari’at Menuju Maqashid Syariat: Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: KIKJ bekerjasama dengan Yayasan Ford, cetakan 1.
12