Mengenal Jurnalisme Media Arus Utama
Para peserta pelatihan jurnalisme rakyat, saya ingin mengajak Anda memasuki dunia jurnalisme media arus utama1 lebih dalam lagi. Saya akan mulai dengan pertanyaan-‐pertanyaan. Apakah Anda pernah berhubungan dengan media? Apakah Anda pernah berinteraksi dengan jurnalis? Kalau pernah, apakah Anda sekedar sebagai konsumen media atau pernah diwawancara jurnalis atau bersahabat dengan jurnalis? Yang pasti, hubungan Anda dengan media adalah hubungan produsen dan konsumen. Anda adalah konsumen media. Ujung tombak sebuah media adalah jurnalis atau reporter. Merekalah yang mencari berita (meliput), menulis (untuk media cetak) atau menyusun suara (media audio – radio) atau menyusun gambar video (media televisi), mengedit. Hasil kerja reporter ini, seperti ban berjalan di industri, kemudian diserahkan ke editor (atau produser di radio atau televisi). Editor akan mengedit dan menentukan berita ini akan dimuat (cetak) atau disiarkan atau tidak. Kalau dimuat, berita ini akan diletakkan di mana (halaman berapa?) atau di acara apa (radio-‐televisi). Begitulah proses produksi sebuah media: Reporter Editor Cetak/siarkan Dikonsumsi Otoritas media Ada konsensus tidak resmi, konsumen media “percaya” bahwa media memiliki otoritas menentukan informasi atau berita yang baik dan penting bagi konsumennya. Tanpa sadar, Anda (dan saya juga) sebagai konsumen media percaya pada media bahwa berita/informasi yang mereka sajikan adalah yang penting buat kita. Coba Anda berpikir kritis ketika mengonsumsi media dan bertanya: apakah informasi atau berita media (yang Anda baca atau yang Anda tonton) sesungguhnya penting atau tidak? Bayangkan seandainya Anda tidak membaca koran atau menonton televisi selama seminggu. Apakah seminggu tidak membaca koran dan menonton televisi mempengaruhi hidup Anda? 1 Media arus utama atau mainstream media adalah media massa yang dikelola oleh para profesional media (jurnalis dan editor) tersedia bagi masyarakat umum di berbagai tempat (di kios-‐kios untuk media cetak). Televisi yang memiliki program berita umum termasuk media arus utama. Media massa yang bukan media arus utama antara lain media internal organisasi atau lembaga, media komunitas, media yang tidak dikelola oleh jurnalis profesional. Kemajuan teknologi informasi membuat perbedaan media arus utama dengan media yang non-‐arus utama menjadi kabur. Secara sederhana media massa yang dikelola oleh para profesional media yaitu para jurnalis yang memiliki pengetahuan dan keterampilan jurnalisme yang baik adalah media arus utama. Jadi dalam tulisan pembelajaran ini, istilah media mengacu pada media yang dikelola para profesional.
Sebenarnya informasi/berita apa yang penting bagi kehidupan Anda? Apakah berita mengenai korupsi proyek Hambalang penting untuk hidup Anda? Seandainya seminggu Anda tidak membaca atau menonton berita mengenai korupsi proyek Hambalang, hidup Anda terganggu? Jika jawabannya: “iya hidup saya terganggu” ada kemungkinan Anda terlibat dengan kasus itu. Betulkah? Jika jawabannya tidak betul, berarti Anda “pecandu” berita atau Anda sudah “terperangkap”situasi yang diciptakan media seakan-‐akan Anda tidak bisa tanpa berita. Tapi cobalah dipikirkan lagi lebih serius dan mendalam, apakah betul Anda membutuhkan berita korupsi proyek Hambalang? Mana lebih penting, informasi mengenai prestasi sekolah anak Anda atau berita korupsi proyek Hambalang? Atau. apakah berita korupsi proyek Hambalang lebih bermanfaat dibandingkan informasi atau berita mengenai merebaknya penyakit demam berdarah di lingkungan Anda? Bagaimana pekerja media menentukan informasi atau berita apa yang akan mereka siarkan? Media menyeleksi dan mengonstruksi Anda, konsumen media, kemungkinan tidak menyadari kalau media menyeleksi dan mengonstruksi informasi/berita yang layak buat konsumennya. TV-‐One akan menyeleksi dengan tidak menyiarkan berita protes korban lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo. Kalau pun TV-‐One menyiarkan berita lumpur Lapindo Brantas, para editor akan mengonstruksi beritanya dengan pesan khusus: keluarnya lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, perusahaan Lapindo Brantas tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab atas “bencana” itu. Berita dikonstruksi dan diarahkan dengan menyajikan kutipan atau wawancara dengan ahli yang mendukung teori “bencana alam.” Bandingkan dengan berita lumpur di MetroTV. Ketika pemilik MetroTV masih aktif di Partai Golkar, menggunakan istilah lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo Brantas ketika memberitakan lumpur di Jawa Timur itu. Sekarang, ketika pemiliknya beralih ke lain hati, MetroTV menggunakan istilah lumpur Lapindo Brantas. Begitulah media menentukan berita apa yang bisa disiarkan, menentukan kata-‐ kata atau istilah, dan mengonstruksinya sesuai dengan kebijakan redaksi. Kebijakan redaksi sering dipengaruhi oleh afiliasi politik dan bisnis lain pemilik media. Nilai berita dan cantolan berita
Sebenarnya media memiliki pedoman dalam menentukan berita apa yang bisa disiarkan dan yang tidak akan disiarkan. Media memiliki pedoman yang namanya nilai berita atau news values. Ada istilah klise di jurnalistik (old journalistic cliché) untuk mengilustrasikan cara berpikir pekerja media ketika mereka menentukan apa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak akan diberitakan yaitu “Anjing gigit orang bukan berita. Kalau orang gigit anjing baru berita.” Bagaimana jurnalis menentukan mana berita atau informasi yang penting diberitakan dan bukan berita? Jurnalis memiliki “insting” yang sudah terlatih untuk menentukan mana berita dan mana yang bukan berita. Insting itu terbentuk melalui pemahaman mengenai nilai berita (news values). Penelitian di AS: 12 editor televisi diminta mengklasifikasikan 64 berita berdasarkan nilai beritanya, hasilnya mereka mengklasifikasi berita-‐berita itu dengan cara serupa dan berita dengan nilai berita paling besar ditaruh pada posisi paling atas. Selain nilai berita, pegangan lain para jurnalis adalah news hook atau news peg. News hook atau news peg atau cantolan adalah suatu topik atau peristiwa yang hangat untuk mengkaitkan atau menempelkan berita. News peg atau news hook menjadi pertimbangan bagi jurnalis mengapa suatu berita harus diturunkan saat ini. Berikut ini nilai berita umum yang menjadi pedoman para jurnalis. Semakin banyak nilai beritanya yang ada pada satu informasi, maka semakin besar daya tarik berita itu bagi para konsumennya. 1. Sesuatu yang baru atau new: misalnya ditemukan spesies baru; 2. Human interest: cerita mengenai manusia dan kehidupannya yang menyentuh emosi; 3. Tren: kecenderungan perilaku, gaya hidup, dan perikehidupan manusia lainnya; 4. Prominence (orang terkenal): informasi memiliki nilai berita prominence jika menyangkut orang penting atau organisasi penting. “Man makes news.” Semakin terkenal atau semakin penting orang itu semakin tinggi nilai beritanya. Jika Anda terjatuh ketika jalan tidak ada nilai beritanya, tetapi jika Presiden SBY terjatuh adalah berita; 5. Konflik: perselisihan atau perbedaan pendapat dua orang atau kelompok; 6. Kontroversial: kasus-‐kasus perselisihan yang banyak mengundang perdebatan; 7. Proximity (kedekatan): berita harimau sumatera lebih memiliki nilai berita dibandingkan berita mengenai harimau india; 8. Drama: peristiwa atau kejadian yang membangkitkan emosi, seperti peristiwa penculikan anak balita;
9. If it bleeds it leads (jika berdarah jadi berita utama): berita kriminal di televisi ratingnya tinggi; 10. Seks: rasanya tidak perlu penjelasan. Majalah Playboy dengan sadar menggunakan nilai berita seks sebagai daya tarik utama; 11. Impact (dampak): peristiwa yang memberikan dampak besar pada audience lebih tinggi nilai beritanya. Peristiwa bisa dikeluarkannya kebijakan atau kejadian; 12. Timeliness (waktu): informasi yang baru bernilai berita tinggi. “Baru” sangat tergantung dari sifat medianya. Kejadian seminggu yang lalu adalah “baru” bagi terbitan mingguan. Tetapi bagi media harian kejadian 24 jam sebelum terbit adalah baru; 13. Aneh: orang gigit anjing; 14. Development (pembangunan): di negara dunia ketiga setiap kegiatan “pembangunan” memiliki nilai berita. Sekarang Anda paham mengapa ada berita dimuat di satu media tetapi tidak di media yang lainnya. Anda juga paham mengapa berita itu menjadi berita utama. Pertanyaannya, apakah media mengikuti nilai berita umum tradisional ini atau membuat kebijakan sendiri? Apakah nilai berita yang dianut oleh media yang Anda konsumsi sesuai dengan nilai-‐nilai yang Anda anut juga? Prinsip kerja jurnalis Para pekerja media, terutama jurnalis, sesungguhnya terikat dengan prinsip kerja media, selain nilai berita. Di bukunya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (Sembilan Elemen Journalisme)2 menulis sembilan elemen jurnalisme. Kesembilan elemen jurnalisme itu menjadi prinsip kerja media. 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; 2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga; 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi; 4. Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita; 5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; 6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga; 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan; 8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; 9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Dari sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang paling penting dan sangat mendasar adalah elemen nomor satu yaitu “kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.” Delapan elemen lainnya melengkapi elemen pertama yang utama ini. 2 Silahkan membaca ringkasan mengenai “Sembilan Elemen Jurnalisme”-‐nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel di referensi terpisah. Saya anjurkan Anda membeli buku itu
Setelah Anda memahami sembilan elemen jurnalisme ini, maka Anda bisa lebih kritis sebagai konsumen media. Apakah informasi atau berita yang mereka sajikan mengandung kebenaran atau lebih banyak hasil rekayasa atau ada sebagian kebenaran yang mereka hilangkan atau tutuptutupi? Apakah media yang Anda konsumsi bersungguh-‐sungguh mengikuti sembilan elemen itu? Kode etik Seperti dokter dan pengacara, jurnalis dikategorikan sebagai seorang profesional atau jurnalis adalah profesi. Profesi akan terikat dengan kode etik. Apa etika? Etika adalah bagaimana seseorang berperilaku atau bertindak ketika tidak ada orang lain melihatnya dalam bahasa Inggris “how one behaves when no one else is looking.” Etika adalah pedoman moral internal bagi seseorang terkait. Etika bukan hukum, sehingga ketika seseorang melanggar etika negara tidak bisa menghukum dia. Ketika negara mengenakan etika kepada profesi jurnalistik, maka etika itu disebut hukum moral. Organisasi profesi, misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menyusun kode etik masing-‐masing yang menjadi pedoman para anggotanya berpraktik. Ketika anggota AJI melanggar kode etik organisasi AJI, maka dia akan dikenakan sanki oleh organisasinya sesuai dengan peraturan AJI. Negara atau polisi tidak bisa menghukum anggota AJI yang melanggar kode etik AJI karena kode etik bukan hukum tapi pedoman moral. Society of Professional Journalists (SPJ)3 – organisasi profesional jurnalistik di Amerika Serikat menetapkan empat prinsip sebagai pedoman anggotanya, yaitu: 1. Report truthfully = melaporkan hal yang benar atau kebenaran 2. Act independently = bertindak secara independen atau mandiri 3. Minimize harm = meminimalisasi dampak buruk (kerusakan) 4. Be accountable = bertanggung jawab Prinsip No 3 termasuk yang diperdebatkan para jurnalis di Amerika, terutama karena terkait dengan No 1. Banyak jurnalis berpendapat ketika mereka menyampaikan kebenaran maka mereka tidak bertanggung jawab atas dampak buruk pada seseorang akibat penyampaian kebenaran itu. Jika mereka tidak menyampaikan kebenaran dengan alasan dampak merusak jika disiarkan, mereka telah menyensor kebenaran. Persoalan etika muncul bukan karena ketidaksepakatan mengenai perilaku benar dan salah. Persoalan etika muncul ketika terjadi dilema “benar-‐benar” (right-‐right dilemmas). 3 Baca referensi naskah kode etik SPJ yang lengkap
Ketidaksepekatan terjadi karena ada konflik antara kebenaran dan loyalitas, interes jangka pendek dan jangka panjang, atau hak-‐hak individual dan hak-‐hak komunitas. Dilema seperti ini seringkali tidak ada pemecahan yang jernih. Penyelesaiannya melalui kompromi. Meskipun ada perbedaan budaya dan peraturan dari satu negara dengan negara lainnya, para jurnalis di dunia sepakat mereka tidak boleh melakukan 10 hal yaitu: 1. Berbohong di koran atau saat siaran – lie in print or on the air; 2. Berbohong kepada nara sumber atau mengancam nara sumber – lie to or threaten a source; 3. Melaporkan rumor atau informasi yang belum diverifikasi – report rumors or other unverified information; 4. Menahan atau mengilangkan pendapat yang tidak disetujui – suppress or omit opinion one disagrees with; 5. Menunjukkan pilih kasih atau bias ketika melaporkan atau menulis mengenai seseorang – show favoritism or personal bias in one’s reporting or writing; 6. Memalsukan identitas diri atau menipu untuk mendapatkan cerita – misrepresent oneself or use deception to get a story; 7. Mencuri kata-‐kata atau ide seseorang sebagai ide sendiri (tanpa memberikan atribusi padanya) – plagiarize someone else’s words or ideas (without attribution); 8. Mengambil atau merekam percakapan (tanpa izin) – tap or tape conversations (without permission); 9. Memanfaatkan posisi jurnalis untuk keuntungan sendiri – use one’s position for personal gain; 10. Terlibat dalam aktivitas yang menimbulkan “conflict of interest” dengan kerja jurnalistik – engage in activities that constiture a “conflict of interest” with journalistic work. Anda semakin kritis lagi dalam mengonsumsi media dengan memeriksa 10 hal di atas ini. Setelah membaca tulisan ini, saya ingin memberikan tugas yaitu: 1. Pilih satu berita dari media cetak 2. Gunakan pengetahuan yang Anda dapat dari uraian ini dan dari referensi (menyeleksi, mengonstruksi, news peg-‐news hook, nilai berita, sembilan elemen jurnalisme, prinsip SPJ, dan 10 yang tidak boleh dilakukan jurnalis) untuk menganalisis berita itu 3. Hasil analisisnya dikumpulkan dengan mengunggah ke jurnalistik.net (Disusun oleh Harry Surjadi)