MENGATASI KESULITAN MENULIS PUISI PADA SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL SAVI Supriyadi Universitas Muhammasdiyah Malang Abstrak Penelitian ini didasari oleh kondisi kemampuan menulis pada siswa sekolah dasar yang masih mengalami kesulitan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya menulis puisi. Hasil observasi yang dilakukan menunjukkan selama ini, pembelajaran menulis puisi di sekolah dasar berlangsung sangat sederhana dan konvesional sehingga terkesan membosankan. Oleh sebab itu perlu diterapkan model pemelajaran SAVI dalam pembelajaran menulis puisi. Hubungannya dengan pembelajaran puisi, model SAVI sangat relevan karena materi menulis puisi tidak sematamata bersumber dari hal-hal yang fiktif dan imajitif. Melainkan juga bersumber dari hal-hal yang terjadi dalam realita dan ditangkap oleh indera, seperti hal yang ditangkap oleh indera pendengaran, penglihatan, gerak dan intelektual. Dalam menulis puisi, model pembelajaran SAVI yang melibatkan peserta didik secara langsung sangat efisien karena menulis puisi adalah kegaiatan yang dilakukan oleh individu sedangkan lingkungan dan orang lain hanyalah merupakan stimulus. Dengan kata lain, menulis puisi adalah menulis kembali apa yang dilihat, dirasakan, dilakukan dan dipikirkan ke dalam bentuk puisi. Kata Kunci: Model Savi, Menulis Puisi I. PENDAHULUAN Setiap anak normal terlahir dengan potensi, kemampuan dan keunikannya tersendiri. Lingkungan, orang tua dan lembaga pendidikanlah yang kemudian turut serta mengembangkan serta melejitkan potensi dan kemampuan anak. Akan tetapi, dalam perkembangan tersebut, tidak semua anak tumbuh secara sempurna. Sebagian anak ada yang mengalami kesulitan dalam menerima materi (in put) dan ada anak yang kesulitan dalam beradaptasi serta mensinergikan diri dengan lingkungannya. Maka tumbuhlah anak tersebut sebagai anak yang kurang pintar bergaul dalam pergaulan di masyarakat.
Keadaan serupa terdapat pula di sekolah yang nota benenya dihuni oleh bermacam-macam anak dengan tipe dan karakter yang beragam. Mulai dari anak yang pintar atau cerdas sampai anak yang sulit dalam mencerna pelajaran. Akan tetapi, keadaan tersebut harus disikapi secara bijaksana oleh para guru agar tercipta suasana pembelajaran yang harmonis dan agar tercipta suasana kekeluargaan yang erat antara guru dengan murid maupun antara murid dengan murid. Dalam arti lain, seorang guru harus mampu berlaku adil terhadap semua murinya dan harus mampumengantarkan muridnya menjadi manusia yang cerdas dan berbudi. Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|178
Berkait dengan anak yang kesulitan dalam belajar di sekolah, ada beberapa hal yang harus dipahami bersama dalam tulisan ini agar tercipta kesamaan pandangan dalam menyikapi anak kesulitan belajar yaitu bahwa anak yang mengalami kesulitan belajar itu adalah: (1) anak normal tetapi lambat dalam menerima materi pelajaran dan (2) anak yang sehat jasmani dan rohani. Artinya, anak tersebut hanya mengalami kesulitan dalam menangkap materi pelajaran yang sifatnya tidak permanen dan dapat diubah dengan jalan belajar. Kesulitan anak tersebut lebih dikhususkan lagi pada ketidakmampuannya menerima materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya menulis puisi. Dengan demikian, konteks kajian dalam tulisan ini menjadi lebih terarah. Adanya upaya pembatasan di atas karena adanya perbedaan perlakuan yang signifikan dalam interaksi pendidikan oleh praktisi pendidikan kepada anak normal dengan anak tidak normal (cacat). Anak normal (tapi lambat menerima materi) akan dimasukkan ke lembaga pendidikan formal yang normal seperti TK, SD, SMP, dst., sedangkan anak cacat akan dimasukkan ke sekolah khusus atau luar biasa seperti SLB (sekolah luar biasa) Dalam Wikipedia (www.wikipedia.org), anak cacat di golongkan pada Anak Kebutuhan Khusus (ABK) karena adanya karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat,
anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda Adapun anak yang lambat dalam menerima materi pelajaran tergolong pada anak normal yang memiliki kemungkinan perubahan. Hal itu sejalan dengan apa yang dijelaskan Semiawan (2008:41) bahwa normalitas mental adalah limit-limut akseptabilitas yang ditentukan oleh pendidikan. Anak yang normal mentalnya memiliki kemungkinan genius dalam dirinya, yang bila digali, bisa ditemukan yang paling baik (yang unggul tetapi belum tampak) pada diri anak (hidden excellen in personhood). Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar sangat berperan dalam memahamkan peserta didik terhadap pendidikan selanjutnya dan bahkan sangat berperan terhadap keberhasilan anak dalam kehidupan nyata (di luar sekolah). Oleh karena itu, seyogyanya pembelajaran bahasa Indonesia harus mendapat perhatian yang Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|179
serius dari kalangan praktisi dan perancang pendidikan guna terciptanya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang enjoyment dan excitement. Jika perhatikan secara seksama, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dewasa ini berbanding terbalik dengan keurgenan dan hakikatnya yang mencerdaskan. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dilaksanakan secara apa adanya, datar-datar saja, dan tidak ada usaha inovatif maupun kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga terkesan hanya sebagai pemenuhan tanggung jawab mengajar saja. Hal inilah, yang mengakibatkan matapelajaran bahasa Indonesia tumbuh menjadi pelajaran yang membosankan dan menakutkan bagi sebagian anak. Oleh karena itu, fokus kajian dalam tulisan ini lebih mengarah pada: (1) usaha guru dalam menciptakan pembelajaran yang mendidik (berkaitan dengan model, pendekatan dll), dan (2) pelajaran menulis puisi yang terkesan sangat sulit bagi siswa, khususnya siswa yang kesulitan dalam mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. II. KEBERADAAN MENULIS PUISI DI SEKOLAH DASAR Menulis puisi merupakan salah satu sarana untuk menuangkan pengalaman dan ekspresi bagi anak. Melalui puisi, anak-anak akan bebas menulis segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya seperti perasaan marah, benci, bahagia, duka dan bahkan cita-citanya. Selain menulis apa yang terjadi pada dirinya, anak-anak juga dapat menulis apa yang dilihat, dengar, saksikan dan bahkan yang dialaminya di lingkungan
sekitarnya dalam puisi. Anak-anak bisa menulis kemiskinan, pengemis, pengamen, sekolah, kebakaran, bajir dan lain-lain. Selain itu, menulis puisi juga bisa melatih daya nalar anak menjadi lebih selektif dalam menganalisis sesuatu dan melatih emosi menjadi lebih terarah ke hal yang positif dan empatif. Sejalan dengan hal itu, BSNP dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetisi Lulusan (SKL) merumuskan enam tujuan pokok mata pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdiknas, 2006). Hal tersebut mengidikasikan bahwa sastra sangat penting bagi perkembangan keperibadian anak. Sastra akan membantu anak menjadi lebih peka dan memiliki simpati serta empati terhadap kehidupan di lingkungan sekitarnya. Di samping itu, nilai pendidikan, ketuhanan dan sosial yang terdapat dalam sastra akan membantu memperluas pengetahuan anak sehingga anak mampu menjalani kehidupannya dengan seimbang. Dalam pengertian lain, tujuan pembelajaran sastra di sekolah sangat penting untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang bemartabat dan berbudi pekerti. Ironisnya, tujuan pembelajaran tersebut tidak sejalan dengan praktik pembelajarannya. Selama ini, pembelajaran menulis puisi di sekolah dasar berlangsung sangat sederhana dan konvesional sehingga terkesan membosankan. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut, peserta didik hanya Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|180
dituntut mengenal “Apa itu puisi”, peserta didik tidak pernah dibawa ke arah pemahaman “Bagaimana berpuisi”. Artinya, guru hanya mengajarkan konsep tentang puisi yang penuh dengan teori tenpa memberi kesempatan pada peserta didik untuk masuk ke “dunia puisi” yang sesungguhnya. Kegiatan pembelajaran yang kurang tepat itu akhirnya mempengaruhi sikap dan cara pandang peserta didik terhadap puisi, khususnya pembelajaran menulis puisi. Bahkan kegiatan menulis puisi yang menyenangkan berubah menjadi kegiatan yang rumit dan menyusahkan. Ketidaksenangan dan kekurangefektifan pembelajaran guru dalam membelajarkan puisi sebenarnya sudah berlangsung lama dan bahkan hampir menimpa semua lapisan lembaga pendidikan dari satuan yang paling rendah sampai satuan pendidikan tinggi. Ironisnya, hanya sebagian kecil pendidik yang perduli terhadap hal itu. Kebanyakan guru pengampu mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya menulis puisi masih berpusat pada metode ceramah dan penugasan yang bertumpu pada hasil (berbasis hasil) tanpa mempedulikan cara peserta didik itu mengerjakannya (proses pembuatannya). Dengan demikian, peserta didik tidak dapat berkreasi dengan baik karena sudah terdikte serta tertekan oleh kepentingan guru. Tidak adanya panduan dan bimbingan optimal yang harus diikuti peserta didik, menjadikan mereka semakin kehilangan arah untuk mewujudkan pemikiran mereka menjadi sebuah karya puisi. Dalam proses pembelajaran itu, guru hanya menerangkan pengertian puisi, ciri-
ciri, jenis-jenis puisi, bahasa puisi, gaya dan sebagainya yang bersifat teoritis di depan kelas tanpa memberi kesempatan pada peserta didik untuk membuat puisi secara langsung dengan gaya dan kreasi sendiri. Setelah pembelajaran dalam kelas usai, kemudian guru meminta peserta didik untuk membuat puisi di rumahnya masing-masing yang membuat mereka semakin tertekan dan jenuh terhadap puisi. Model pembelajaran seperti itu berlangsung terus menerus dari tahun ke tahun tanpa adanya usaha perubahan ke arah yang lebih baik. Praktik pembelajaran di dalam kelas tersebut jelas mengidikasikan bahwa guru berusaha mengejar ketuntasan materi ajar tanpa memperhatikan komptensi belajar yang diperoleh peserta didik, sehingga kemampuan menulis puisi tidak berkembang bahkan menjadi rendah. Bukti rendahnya kemampuan menulis puisi pada siswa SDN Tegalgondo dapat dilihat dari segi proses kreatif dan hasil penulisan puisi terutama dalam tataran pilihan kata (diksi) dan isi puisi yang mereka tulis. Pemakaian dan penempatan pilihan kata dalam puisi mereka masih kurang baik dan bakan ada yang tidak sesuai dengan isi pesan yang akan mereka sampaikan. Adapun isi puisi atau ide puisi yang mereka tulis masih terpusat pada persoalan yang tidak mengungkapkan dan menyiratkan unsur intelektual si penulis sehingga menjadi tidak begitu menggugah kepada pembaca. III MODEL SAVI MERUPAKAN MODEL PEMBELAJARAN ALTERNATIF Berdasarkan manfaat penulisan puisi yang begitu penting bagi pertumbuhan Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|181
pemikiran anak dan berangkat dari persoalan pembelajaran di dalam kelas yang begitu konvensional dan membosankan, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk menerapkan model pembelajaran SAVI (somatic, audio, visual dan intellectual) yang diduga mampu memberikan warna baru yang lebih kreatif dan menyenangkan dalam pembelajaran menulis puisi bagi siswa sekolah dasar. . Pada dasarnya, pembelajaran model SAVI (atau multi inderawi) merupakan bagian dari teori pembelajaran Accelerated Learning (AL), teori otak kanan/kiri; pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); teori kecerdasan ganda; pendidikan (holistic) menyeluruh; belajar berdasarkan pengelaman; dan belajar dengan symbol. Pembelajaran SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan belajar yang paling baik adalah melibatkan semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara yang berbeda. Mengkaitkan sesuatu dengan hakikat realitas yang nonlinear, nonmekanis, kreatif dan hidup (Roebyarto dalam http://www.roebyarto.multiply.com). Intinya, pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk memanfaatkan inderanya sebanyak mungkin dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik tidak hanya duduk diam di tempat mendengarkan penjelasan dari guru, akan tetapi mereka diajak bergerak secara aktif dan kreatif sehingga mereka turut terlibat atau mengalami sendiri peristiwa pembelajaran dan menemukan sendiri inti yang dipelajari.
Model pembelajaran SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning (AL), maka prinsipnya juga sejalan dengan AL yaitu: (1) Pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh, (2) Pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi, (3) Kerjasama membantu proses pembelajaran, (4) Pembelajaran berlangsung secara bertahap dan cenderung dilakukan secara simultan, (5) Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik, (6) Emosi positif sangat membantu pembelajaran, dan (7) Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis. Kaitannya dengan pembelajaran puisi, model SAVI sangat relevan karena materi menulis puisi tidak semata-mata bersumber dari hal-hal yang fiktif dan imajitif. Melainkan juga bersumber dari hal-hal yang terjadi dalam realita dan ditangkap oleh indera, seperti hal yang ditangkap oleh indera pendengaran, penglihatan, gerak dan intelektual. Dalam arti lain, semakin banyak indera seseorang yang aktif maka semakin banyak bahan tulisan yang diperoleh dan semakin mudah baginya untuk mencipta puisi. Mencermati hal itu, maka model SAVI sangat baik untuk dipraktikan dalam pembelajaran menulis puisi karena akan membantu menjembatani keterbatasan metode pembelajaran dengan kesulitan belajar menulis puisi pada peserta didik, menjadi model pembelajaran yang lebih inovatif dan pencapaian hasil maksimal menulis puisi.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|182
IV. KARAKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN SAVI Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu: 1) Somatic ”Somatic” berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh – soma. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatic adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung). 2) Auditori Belajar dengan berbicara dan mendengar. Pikiran kita lebih kuat daripada uyang kita sadari, telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa kita sadari. Ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif. Hal ini dapat diartikan dalam pembelajaran siswa hendaknya mengajak siswa membicarakan apa yang sedang mereka pelajari, menerjemahkan pengalaman siswa dengan suara. Mengajak mereka berbicara saat memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, membuat rencana kerja, menguasai keterampilan, membuat tinjauan pengalaman belajar, atau menciptakan makna-maknan pribadi bagi diri mereka sendiri. 3) Visual
Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program computer. Secara khususnya pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon dan sebagainya ketika belajar. 4) Intektual Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Tindakan pembelajar yang melakukan sesuatu dengan pikiran mereka secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, dan memecahkan masalah. IV. PENERAPAN MODEL SAVI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DI SEKOLAH DASAR Proses pembelajaran di sekolah dasar akan berjalan dengan baik jika guru tidak terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran tetapi melibatkan siswa secara aktif dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal itu akan mengubah cara pandang peserta didik terhadap pembelajaran di sekolah menjadi lebih baik sehingga mereka mampu menemukan, mengalami, menciptakan dan mengevaluasi sendiri matari yang dipejari dengan perasaan Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|183
nyaman dan aman. Kaitannya dengan menulis puisi, model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara langsung sangat efisien karena menulis puisi adalah kegaiatan yang dilakukan oleh individu sedangkan lingkungan dan orang lain hanyalah merupakan stimulus. Dengan kata lain, menulis puisi adalah menulis kembali apa yang dilihat, dirasakan, dilakukan dan dipikirkan ke dalam bentuk puisi. Berangkat dari pemahaman di atas, proses pembelajaran menulis puisi di sekolah dasar akan terlaksana dengan baik jika memperhatikan unsur internal siswa dan unsur lingkungan pembelajaran. Unsur internal siswa meliputi: (1) potensi. Pengetahuan atau wawasan yang luas terhadap lingkungan, pengalaman pribadi dan pengetahaun akademis, (2) semangat belajar dan kemauan untuk berubah, (3) kemandirian dan sikap empati terhadap lingkungan dan orang lain. Adapun unsur lingkungan pembelajaran meliputi: (1) menciptakan lingkungan fisik, emosional, dan sosial yang positif, (2) melibatkan peserta didik secara aktif, (3) merangsang rasa ingin tahu, (4) kaya informasi dan bermakna terhadap peserta didik. Pemaksimalan kedua unsur tersebut akan memudahkan guru dalam membimbing dan mendampingi siswa dalam menulis puisi. Secara terperinci hal yang dilakukan guru dalam pembelajaran sebagai berikut: sebelum guru memulai pembelajaran menulis puisi, guru terlebih dahulu menyiapkan media dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik terutama yang mengarah pada pemungsian indera pendengar, indera pelihat, gerakan atau tindakan dan intelektual atau pemikiran.
Media tersebut sangat bervariasi sesuai dengan kemampuan atau kelengkapan sarana yang dimiliki sekolah, mulai dari tape, vidio,VCD, DVD, film, rekaman pementasan pembacaan puisi gambar, poster dan lain sebagainya, termasuk lingkungan nyata yang kontekstual. Berkaitan dengan lingkungan nyata, guru harus menyeleksi atau memepersiapkan lingkungan nyata yang akan dijadikan kelas pembelajaran.. Dalam hal ini, guru harus memperhatikan segi positif dan negatif, keterjangkauan dan kebermaknaannya. Selain itu, tataran atau tingkat kekomplekan lingkungan juga harus diperhatikan, untuk itu guru harus memulai dengan memperkenalkan lingkungan yang sederhana dan dilanjutkan ke lingkungan yang lebih kompleks, seperti lingkungan tempat tinggal, sekolah, perpustakaan sekolah, pasar tradisional, super market, mal3l, dan lain-lain. Setelah menetapkan tempat, kemudian peserta didik diajak untuk terjun langsung ke lingkungan nyata dengan dengan memberikan pedoman atau aturan kerja yang harus mereka kerjakan selama berada di lapangan. Selanjutnya, mereka menuliskan apa yang mereka lihat dan dengar di lapangan menjadi beberapa bagian atau tema. Seetelah itu, mereka dibimbing menetapkan tema yang akan mereka bahas atau ditulis menjadi sebuah puisi. Pembimbingan terus dilakukan sampai peserta didik berhasil menciptakan sebuah puisi dan memublikasikannya ke teman-temannya. Konsep dasar materi pembelajaran menulis puisi dengan model SAVI , berangkat dari materi sederhana Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|184
menuju materi yang lebih kompleks, sehingga peserta didik tidak merasa terbebani, lebih bisa berkreasi bukan mengkonsumsi materi ajar. V. KESIMPULAN Sulitnya siswa dalam menangkap materi pelajaran setidaknya bersumber pada tiga faktor yaitu diri siswa sendirib yang tidak memiliki semangat dan motivasi untuk belajar, materi ajar yang tidak sesuai dengan tingkat pemikiran siswa dan model pembelajaran yang diterapkan guru. Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan
pengunaan semua indera dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan belajar seperti tersebut dinamakan dengan pendekatan SAVI. SAVI singkatan dari somatic, auditori, visual dan intektual Membawa anak untuk mencitai sastra terutama puisi tidaklah begitu mudah, memerlukan perencanaan yang matang dan membutuhkan kesabaran serta ketekunan guru. Dalam proses penulisan puisi, peserta didik tidak bisa langsung dapat menyusun puisi sesuai yang diharapkan. Pembelajaran menulis puisi membutuhkan proses pelatihan yang terus menerus sehingga frekuensi latihan sangat menentukan keberhasilan pembelajaran menulis puisi.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|185
DAFTAR PUSTAKA Afron, Ichyatul. 2008. Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi dengan Media Gambar pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Bangkuang Kabupaten Barito Selatan. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Bahasa Dan Sastra Indonesia SD Universitas Negeri Malang. Alfiah dan Yunarko Budi Santosa. 2009. Pengajaran Puisi Sebuah Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustak Pelajar. Ardiyan. Pendekatan SAVI. http://herdy07.wordpress.com. (diakses 10 November 2009) Depdiknas. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Roebyarto. Model Pembelajaran SAVI. http:/www./robyarto.multiply.com. (diakses 10 November 2009). Semiawan, Conny R. 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta:PT. Indeks Anggota IKAPI Wikipedia. Anak Berkebutuhan Khusus http://www.wikipedia.org (diakses 10 November 2009)
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|186