kontrol. Modul “Aku Anak Baik” dinyatakan valid untuk meningkatkan moral reasoning pada anak usia dini usia 5-6 tahun. Kata Kunci: moral reasoning, repeated interactive read aloud, validitas
Permasalahan moral yang terjadi di Indonesia saat ini terbilang cukup kompleks. Permasalahan moral adalah permasalahan yang berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dikatakan berperilaku baik secara moral apabila bertingkah
laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada di lingkungan
masyarakat. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidahkaidah yang ada, maka ia akan dikatakan buruk secara moral (Soenarjati & Cholisin, 1989). Penyimpangan perilaku secara moral tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak yang berada pada usia sekolah di Indonesia, baik pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Dasar (SD) juga sering melakukan perilaku yang kurang atau tidak bermoral. Sepanjang awal tahun sampai akhir bulan oktober tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) telah mencatat ada sejumlah 2.792 kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak usia sekolah di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut : 1) 1.424 kasus adalah kasus kekerasan, seperti pemerasan dan pencurian; 2)
229 kasus tawuran; 3) dan sisanya berupa kasus asusila,
penggunaan minuman keras dan obat-obatan terlarang (Ridwan, 2013). Banyaknya pelanggaran moral yang dilakukan oleh anak-anak di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lemahnya moralitas kolektif masyarakat. Lemahnya moralitas menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) dapat disebabkan oleh kurangnya pendidikan moral baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) pendidikan moral sebaiknya dimulai sejak usia dini.Pendidikan moral sejak usia dini merupakan upaya preventif agar kelak ketika dewasa mereka dapat mengontrol perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Seorang anak dapat memahami nilai-nilai moral dan membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai moral tersebut, jika mereka diberi kesempatan untuk dapat 2
mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat (Colby & Kohlberg, 1987). Salah satu lingkungan yang dapat memfasilitasi anak untuk dapat mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan untuk bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat adalah sekolah.
Dengan proses pendidikan moral di
sekolah, maka moral anak dapat berkembang lebih cepat (Colby & Kohlberg, 1987). Dalam hal pendidikan moral terhadap anak usia dini, maka pra-sekolah TK dapat menjadi lingkungan pertama di luar lingkungan keluarga yang dapat memfasilitasi berkembangnya moral anak (Rahim & Rahiem, 2012). Akan tetapi, belum semua pra-sekolah TK di Indonesia memberikan pendidikan moral di dalam proses pembelajarannya (Rahim & Rahiem, 2012). Berdasarkan pengamatan peneliti selama Praktek Kerja Profesi pada jenjang pendidikan prasekolah TK dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 12 orang guru TK di Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa guru belum memfasilitasi siswa untuk bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat dan alasan-alasan mengapa suatu perilaku dikatakan bermoral baik. Upaya yang selama ini dilakukan adalah dengan memberikan pengarahan, pembiasaan, dan larangan untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itulah pendidikan moral di lingkungan sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan pra-sekolah TK, masih dirasakan perlu untuk diberikan. Pembahasan mengenai pendidikan moral, menurut Gibbs (2003) akan melibatkan 3 konsep, yang masing-masing merupakan komponen terpisah, yaitu : 1) Moral behavior, adalah bagaimana seseorang bertingkahlaku, apakah tingkahlaku tersebut bermoral atau tidak. 2) Moral emotion atau moral feeling, melibatkan perasaan atau bagaimana seseorang merasakan, apakah merasa bersalah, sedih, dan lain-lain. 3) Moral judgement, adalah suatu keputusan yang melibatkan pikiran atau penalaran yang digunakan seseorang dalam bertindak atau alasan mengapa seseorang memilih sesuatu. 3
Dari ketiga komponen di atas, maka komponen yang terpenting dari pendidikan moral, adalah mengajarkan logika-logika dasar atau moral judgment untuk mengevaluasi mengapa suatu perilaku dikatakan baik atau buruk (Benoit, 2009; Mercier, 2011; Nunner & Winkler, 2007). Begitu pula menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987), bahwa hal terpenting dari pendidikan moral adalah pemberian pemahaman logika-logika dasar mengenai perilaku yang baik dan buruk. Suatu logika ideal dasar yang digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu perilaku bernilai baik atau buruk disebut oleh Kolhberg sebagai moral reasoning atau penalaran moral (Colby & Kohlberg, 1987). Dengan memiliki moral reasoning seseorang akan memiliki landasan berpikir yang kuat untuk membuat sebuah keputusan untuk berperilaku baik atau buruk. Dengan demikian, Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) menegaskan bahwa moral reasoning dapat disebut sebagai prediktor dalam berperilaku. Pernyataan Kohlberg (Colby& Kohlberg, 1987) yang menegaskan bahwa moral reasoning dapat dijadikan sebagai prediktor dalam berperilaku juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Malti, Gasser & Buchmann (2009). Melalui penelitiannya yang berjudul Aggressive and Prosocial Children’s Emotion Attributions and Moral Reasoning, Malti, Gasser & Buchmann (2009) mendapatkan hasil bahwa anak usia dini yang memiliki perilaku agresif cenderung memberikan moral reasoning yang berorientasi pada hukuman atau sanksi. Jika mengacu pada konsep moral reasoning Kohlberg, dapat disimpulkan bahwa anak usia dini yang memiliki perilaku agresif cenderung memiliki moral reasoning yang rendah (pada tahap punishment and obidience orientation) dibandingkan dengan anak yang menunjukkan perilaku prososial (Malti, Gasser & Buchmann, 2009). Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987), ada tiga tahapan moral reasoning yang dilalui manusia, yaitu : 1.
Moralitas Prakonvensional a. Tingkat I (Punishment and obedience orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh hukuman.
4
b. Tingkat II (Relativism-intrumental orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh imbalan yang didapatkan, alasan timbal balik, dan kepentingan pribadi. 2.
Moralitas Konvensional a. Tingkat 3 (Interpersonal norms orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh norma interpersonal. b. Tingkat 4(Social system morality orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial.
3.
Moralitas Pascakonvensional a. Tingkat 5 (Social legality/contract orientation). Baik dan buruk perilaku ditentukan oleh kontrak sosial, hak-hak bersama, dan ukuranukuran yang telah diuji dan disepakati oleh masyarakat. b. Tingkat 6 (Universal ethic principles orientation). Baik dan buruk ditentukan oleh keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, mengacu pada pemahaman logis universalitas dan konsistensi. Pada hakikatnya moral reasoning adalah sesuatu yang dapat dibentuk
dan berkembang melalui pertukaran pandangan dengan orang-orang di lingkungan sekitar (Colby & Kohlberg, 1987). Colby & Kohlberg (1987) juga meyakini bahwa semakin cepat anak diajarkan untuk memahami logika moral maka akan semakin cepat pula perkembangan logika moralnya sebagai dasar untuk berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Hasil penelitian mengenai perspective-taking menyatakan bahwa anakanak di atas empat tahun sudah mampu memahami pendapat orang lain, mampu mengungkapkan pendapatnya (Hong, 2004; Wu & Keysar, 2007). Begitupula menurut Thompson (2011), siswa taman kanak-kanak yang berumur di bawah lima tahun sudah cukup mampu untuk memahami nilai-nilai moral. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Hooli dan Al-Shammari (2009) menunjukkan bahwa siswa taman kanak-kanak sudah mampu memberikan pendapat atau penilaian terhadap situasi yang melibatkan nilai-nilai moral. 5
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
untuk mengajarkan seseorang
mengenai nilai-nilai moral dan logika moral (moral reasoning), sudah dapat dimulai sejak usia dini. Moral reasoning seorang anak dapat berkembang jika terjadi suatu proses dimana anak dapat berperan aktif dalam bertukar pendapat dengan teman sebaya mengenai nilai-nilai moral dan moral reasoning yang melandasinya, serta ada peran seseorang yang dapat mengungkapkan moral reasoning yang lebih tinggi tahapannya dari tahapan moral reasoning anak-anak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kolhberg (Colby & Kohlberg, 1987) bahwa lingkungan yang dapat memfasilitasi proses tersebut adalah sekolah. Hal ini dikarenakan lingkungan sekolah dapat memfasilitasi anak bertemu dengan teman sebaya untuk bertukar pendapat secara langsung mengenai nilai moral dan moral reasoning yang melandasinya, serta ada peran guru yang dapat memfasilitasi anak untuk melihat dan memahami moral reasoning yang tahapannya lebih tinggi daripada yang dimiliki anak. Kohn (dalam Heydenberk, Heydenberk & Bailey, 2003) menyatakan bahwa dengan memiliki pemahaman moral reasoning yang lebih tinggi maka seorang anak dapat memahami logika moral yang lebih baik pula berdasarkan nilai-nilai yang berlaku universal sehingga anak dapat berperilaku yang baik sesuai nilai-nilai tersebut. Selain itu, dengan moral reasoning yang lebih baik, maka ia akan cenderung mematuhi peraturan meskipun tidak diawasi oleh orangtua atau guru. Metode yang tepat dan menarik sangat dibutuhkan dalam mengajarkan dan mengembangkan moral reasoning kepada anak-anak. Dengan metode yang tepat, maka moral reasoning seorang anak yang mulanya berada pada tahapan prakonvensional, yaitu punishment & obedience orientation dan relativismintrumental orientation, dapat berkembang atau meningkat ke tahapan konvensional. Berdasarkan pengamatan peneliti selama Praktek Kerja Profesi pada jenjang pendidikan pra-sekolah TK dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 12 orang guru TK Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, diketahui bahwa 6
di dalam proses pendidikan moral di sekolah guru belum menggunakan metode yang dapat memfasilitasi anak untuk secara aktif mengetahui dan memahami berbagai nilai moral dan logika yang mendasarinya. Begitu pula menurut Rahim dan Rahiem (2012) bahwa masih sedikit pra-sekolah TK di Indonesia yang menggunakan metode yang tepat untuk melakukan pendidikan moral. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mencari metode yang tepat untuk memfasilitasi anak untuk secara aktif mengetahui dan memahami berbagai nilai moral dan logika yang mendasarinya Penelitian
yang sebelumnya
mengenai
metode
stimulasi
untuk
perkembangan moral reasoning pada anak usia pra-sekolah TK sudah pernah dilakukan oleh Rachmawati (2002), yaitu mengenai metode dongeng untuk meningkatkan penalaran moral pada anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat penalaran moral antara subjek yang diberi perlakuan dongeng dengan yang tidak mendapatkan perlakuan dongeng. Tidak adanya perbedaan tingkat penalaran tersebut disebabkan karena perlakuan mendongeng ini tidak dilanjutkan dengan sesi diskusi sehingga dongeng yang diberikan belum berhasil memberi stimulasi kognitif pada subjek. Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Hong (2003), yang berupaya mengajarkan moral reasoning pada siswa pra-sekolah TK di Korea melalui diskusi kelompok mengenai situasi problematik. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa siswa sudah dapat mengungkapkan pendapat dalam diskusi dan mampu menemukan solusi dari permasalahan moral yang mereka diskusikan. Dengan demikian Hong (2003) menyarankan agar sejak usia prasekolah TK anak-anak lebih sering dilibatkan dalam diskusi mengenai situasi yang problematik untuk meningkatkan perkembangan moral reasoning. Mengacu
dari
hasil
penelitian-penelitian
tersebut,
maka
untuk
meningkatkan moral reasoning anak-anak, selain dibutuhkan suatu metode yang tepat, juga harus diiringi dengan diskusi yang dapat menstimulasi kognitif anak. Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) diskusi yang dimaksud adalah diskusi dilema moral. Melalui diskusi dilema moral seorang anak belajar memahami bagaimana moral yang baik, melihat beberapa pilihan perilaku, alasan7
alasan untuk berperilaku, konsekuensi dari masing-masing pilihan, dan bagaimana membuat pilihan berdasarkan kesadaran akan pilihan perilaku dan konsekuensi yang menyertainya (Simon & Olds, dalam Hunter & Eder, 2010). Proses perkembangan moral reasoning ini dapat dijelaskan melalui equilibrium model (Colby & Kohlberg, 1987). Peningkatan moral reasoning terjadi karena adanya proses diskusi dilema moral. Pada diskusi tersebut seseorang diminta untuk seolah-olah menjadi tokoh utama di dalam cerita dilema moral. Dengan seolah-olah mengalami situasi moral yang dilematis (experiencing the moral dilemma), seseorang dapat menggunakan perannya secara lebih aktif untuk mengungkapkan sikap yang akan ia lakukan dan moral reasoning yang melandasinya. Di dalam proses tersebut seseorang akan melihat berbagai macam perspektif moral dengan moral reasoning yang berbeda pula tingkatannya, sehingga terjadilah kondisi disekuilibrium. Disekuilibrium berfungsi untuk menimbulkan konflik kognitif dan sosial. Konflik kognitif terjadi karena prinsip moral yang dimiliki tidak dapat digunakan lagi pada situasi baru, dan konflik sosial pun terjadi karena prinsip moral yang dimiliki berbeda dengan prinsip moral yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kondisi inilah seseorang akan menggunakan penalaran untuk memberikan penjelasan, dan ini merupakan usaha seseorang untuk mendapatkan suatu keadaan seimbang (ekuilibrium). Ekuilibrium tercapai karena pada individu ada proses pengaturan diri (self-regulatory process) untuk memelihara keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Pada kondisi yang demikian, Johnson & Johnson (dalam Heydenberk, Heydenberk, & Bailey, 2003) menyatakan bahwa seseorang dapat menangkap perspektif orang lain (taking other perspective) dan berpikir analitis untuk melihat logika-logika yang mendasari perspektif tersebut. Berikut adalah gambar proses perkembangan moral reasoning:
8
Diskusi dilema moral
Aware of other’s perspective
Sikap moral sama, serta logika moral sama
Sikap moral sama, serta logika moral berbeda
Sikap moral berbeda, serta logika moral berbeda
Disequilibrium Konflik kognitif & sosial
Self regulatory : Asimilasi dan akomodasi Equilibrium
Gambar 1. Proses Perkembangan Moral Reasoning Untuk melaksanakan diskusi yang bertemakan cerita dilema moral kepada anak-anak, maka dibutuhkan suatu media pengantar yang dapat menyampaikan cerita dengan menarik. Dengan cara yang demikian maka anakanak akan tertarik, mampu memusatkan perhatian, memahami isi cerita, berpikir logis untuk menyelesaikan suatu masalah atau tugas, dan mampu mengungkapkan pendapatnya (Hong, 2004). Cerita merupakan media pengantar yang potensial dan berkontribusi secara signifikan dalam pendidikan moral (Rahim & Rahiem, 2012). Melalui cerita seseorang dapat melihat contoh peran yang baik atau buruk, peraturan dan hukuman, belajar merefleksikan dirinya pada karakter di dalam cerita, belajar mengenai logika-logika moral dan belajar memecahkan suatu masalah (Hunter & Eder, 2010). Selain itu, melalui cerita seseorang dapat belajar memahami pendapat orang lain, berempati dan belajar keterampilan sosial (Verden, 2005; Wright, Bcigalupa, Black & Burton, 2008). 9
Agar suatu cerita lebih menarik, maka seorang pencerita dapat menggunakan media visual berupa gambar sehingga permasalahan yang dihadirkan tampak lebih nyata dan mudah dipahami oleh anak-anak (Hong, 2004). Selain itu, agar anak-anak dapat terlibat aktif dalam diskusi moral setelah sesi bercerita, maka tema cerita yang disajikan haruslah cerita yang biasa dialami, atau dilihat dan atau didengar oleh anak-anak di lingkungan kesehariannya (Hong, 2004; Muthukrishna & Govender, 2011). Tidak hanya media yang digunakan dalam bercerita dan tema cerita yang harus dipertimbangkan. Dalam bercerita pun harus menggunakan teknik yang tepat. Menurut Berk & Winsler (dalam Hong, 2003), untuk mengembangkan moral reasoning anak maka suatu teknik bercerita yang digunakan harus memberikan kesempatan kepada anak untuk menginterpretasi apa yang terjadi di dalam gambar, mengarahkan anak untuk melihat penyebab dari kejadian, memberikan pertanyaan yang membuat mereka dapat melihat perspektif seseorang dalam berperilaku, mengajak anak melihat akibat dari suatu perbuatan terhadap orang lain, serta mengajak anak untuk mencari solusi atas permasalahan. Ada berbagai macam teknik bercerita untuk anak-anak. Salah satu teknik bercerita yang sering digunakan di pra-sekolah TK untuk mengajarkan perilaku sosial yang baik adalah read aloud (Duursma, Augustyn, & Zuckerman, 2010). Selain itu, menurut Schickedanz (1999) dan Trelease (2011) read aloud dapat digunakan sebagai metode untuk menyampaikan masalah sosial, mengajarkan perilaku moral yang baik, dan cara memecahkan masalah sosial atau moral. Konsep mengenai read aloud , menurut Christenson (2009), adalah suatu kegiatan membacakan cerita dengan suara yang lantang, diiring intonasi dan mimik, menggunakan media buku cerita. Teknik berceritanya adalah pendengar diajak untuk menggunakan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) untuk memahami isi cerita dan pendengar diajak untuk berpikir analitis dalam menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lainnya (think aloud). Repeated interactive read aloud adalah salah satu metode pengembangan dari read aloud yang bertujuan untuk mengajak siswa terlibat aktif (interactive) di dalam cerita dengan cara menggunakan pengetahuan sebelumnya mengenai tema 10
cerita untuk mengintepretasi cerita, memahami isi cerita, sehingga terbentuklah pemahaman yang komprehensif mengenai suatu cerita. Tidak hanya itu, dengan adanya
pengulangan
(repeated)
maka
memungkinkan
pendengar
untuk
membangun pemikiran kritis dan analitisnya untuk melihat hubungan sebabakibat di dalam suatu cerita. Selain itu, melalui metode repeated interactive read aloud
anak-anak
diberi
kesempatan
untuk
berdiskusi
mengungkapkan
pendapatnya mengenai cerita, tokoh, dan alasan yang melandasi pendapatnya tersebut. Melalui diskusi tersebut anak-anak dapat belajar untuk memahami perspektif atau pandangan orang lain (Christenson, 2009; Mcgee & Schickedanz, 2007). Oleh karena itu, menurut Lane & Wright (2007), repeated interactive read aloud adalah salah satu metode yang dinilai paling efektif dalam menyampaikan pesan atau makna dari suatu cerita. Melalui teknik bercerita repeated interactive read aloud maka suatu cerita yang mengandung dilema moral akan lebih mudah dipahami. Selain itu, anak juga akan lebih mudah
menganalisis hubungan sebab dan akibat dari
perilaku yang dilakukan tokoh dalam cerita karena cerita disampaikan secara interaktif dan berulang-ulang. Metode repeated interactive read aloud juga memfasilitasi anak untuk berdiskusi. Pada diskusi tersebut anak diminta untuk seolah-olah menjadi tokoh utama di dalam cerita dilema moral. Dengan seolaholah mengalami situasi moral yang dilematis (experiencing the moral dilemma), anak dapat menggunakan perannya secara lebih aktif untuk mengungkapkan sikap yang akan ia lakukan dan moral reasoning yang melandasinya. Melalui diskusi ini anak dapat dihadapkan pada berbagai perspektif sehingga dapat menstimulasi terjadinya disekuilibrium. Pada kondisi disekuilibrium ini akan terjadi konflik kognitif, dimana prinsip moral yang dimiliki tidak dapat dipakai pada situasi baru di dalam cerita. Selain itu, terjadi pula konflik sosial, dimana prinsip moral yang dimiliki berbeda dengan teman di dalam kelompok diskusi. Untuk mengatasi hal ini maka anak melakukan self regulatory dengan cara menggunakan penalarannya untuk melakukan asimilasi atau akomodasi dalam rangka mencapai kondisi ekulibrium. Dalam kondisi yang demikian maka anak dapat memahami dan menangkap perspektif orang lain (taking other perspective) dengan moral 11
reasoning yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknike repeated interactive read aloud dapat meningkatkan moral reasoning anak. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merancang sebuah modul bercerita dengan teknik repeated interactive read aloud sebagai salah satu alternatif metode stimulasi. Untuk selanjutnya modul bercerita repeated interactive read aloud akan disebut dengan modul bercerita “Aku Anak Baik”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan validasi modul bercerita “Aku Anak Baik” untuk meningkatkan moral reasoning anak usia dini. Validasi dilakukan dengan meminta penilaian dari para ahli dan melakukan uji coba modul. Uji coba modul dilakukan di dua sekolah TK, dimana pada satu sekolah akan diberikan intervensi bercerita “Aku Anak Baik” dan di sekolah lain tidak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan TK untuk menanamkan nilai-nilai moral dan moral reasoning menggunakan metode bercerita repeated interactive read aloud. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perubahan peningkatan moral reasoning pada subyek yang mendapatkan perlakuan bercerita “Aku Anak Baik” (kelompok eksperimen) dibandingkan subyek yang tidak mendapatkan perlakuan (kelompok kontrol). Tingkat moral reasoning pada kelompok eksperimen akan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan bercerita.
METODE
Variabel Penelitian Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah : 1. Variabel tergantung : Moral reasoning Moral reasoning merupakan logika-logika yang digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu perilaku baik atau buruk, dan benar atau salah. Moral reasoning diukur menggunakan Instrumen Pengukuran Moral Reasoning dari Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987). Berikut ini adalah definisi moral reasoning pada tiap tahapan menurut Kohlberg :
12