1
MENGAMANKAN ALAM SURGA MELALUI MUSIK ‘GOTHIC BLACK METAL’ KEDJAWEN
Andamar Pradipta & Tony Rudyansjah Program Studi Sarjana (S1) Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia email:
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini membahas bagaimana dan mengapa sebuah grup musik „gothic black metal‟ mampu menggunakan musik mereka dan persona „setan‟ yang mereka gunakan untuk membawa pesan yang sifatnya justru melawan „setan‟. Penelitian dilakukan dengan meneliti salah satu grup „gothic black metal‟ lokal yang bernama Kedjawen. Para personil Kedjawen merasa bahwa dosa, alam baka, dan hari kiamat yang telah dijanjikan oleh kitab-kitab agama samawi merupakan hal-hal yang nyata ada. Lirik-lirik Kedjawen berisi pesan-pesan yang bersifat „mengingatkan‟ para pendengar akan hal-hal tersebut. Meskipun musik dan persona panggung yang digunakan para personil membawa penggambaran sifat-sifat „setan‟, Kedjawen tetap membawa pesan-pesan yang bersifat melawan „setan‟ dan berpihak kepada siapa saja yang menentang „setan‟. Ini disebabkan oleh ketakutan para personil Kedjawen akan janji-janji agama samawi mengenai dosa, alam baka, dan hari kiamat yang membuat mereka secara teleologis masih menantikan surga terlepas dari bagaimana mereka berekspresi.
Kata kunci: Ketakutan, nyata, „hauntology‟, „setan‟, „black metal‟, „gothic metal‟, musik.
SECURING THE HEAVEN REALM THROUGH KEDJAWEN’S ‘GOTHIC BLACK METAL’ MUSIC
ABSTRACT
This thesis examines how and why a „gothic black metal‟ band could possibly use their music and „demonic personas‟ to deliver messages that are actually against „demons‟. This research is done by examining a local (Indonesian) „gothic black metal‟ band called Kedjawen. The Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
2
members of the band feel that sins, afterlife, and the doomsday are real, as explained and promised by the celestial religions. The band‟s songs contain „reminding‟ messages about those things explained by the celestial religions. Even though the band‟s music and stage personas depict the characteristics of the „demons‟, the messages they deliver are strictly against and siding anyone who is against „demons‟. The members‟ fear of sins, afterlife, and doomsday make them teleologically still long for heaven regardless the way they express themselves. Key words: „hauntology‟; „demon‟; „black metal‟; „gothic metal‟; music.
PENDAHULUAN
Berbeda pemikiran, berbeda perasaan, berbeda pengalaman, berbeda pula wujud ekspresi seorang musisi yang muncul pada karyanya. Musisi-musisi tertentu membawa ekspresi mereka hingga ke ranah visual melalui aksi panggung dan dandanan dalam setiap penampilan mereka. Seperti yang telah dicontohkan melalui Anang Hermansyah, gestur menyilangkan kedua jarinya saat menyanyikan tiga kata terakhir dalam refrain lagu “Separuh Jiwaku Pergi” merupakan penegasan visual atas rasa kecewanya kepada sang mantan istri yang telah tertuang dalam lirik. Namun Anang tidak mengekspresikan rasa kecewanya melalui dandanan saat ia tampil, Anang kerap mengenakan kemeja (sesekali dilengkapi blazer) dan celana jeans ketika membawakan lagu tersebut. Dandanan flamboyan Anang Hermansyah di atas panggung berlanjut hingga sekarang, namun tidak ada lagi gestur khusus dalam pembawaan lagu-lagu Anang seperti yang bisa kita lihat di televisi. Anang kini berlanjut menjadi penyanyi dan pencipta lagu yang paling dikenal di skena musik populer. Penelitian ini berfokus kepada sebuah grup musik „gothic black metal‟ lokal yang bernama Kedjawen. Musik mereka mengacu pada grup-grup „black metal‟ senior asal Eropa seperti Dimmu Borgir, Gorgoroth, dan Behemoth. Di setiap penampilan mereka, penonton akan melihat sosok para personil Kedjawen yang memakai kostum serba hitam lengkap dengan riasan pucat dan eye liner hitam, persis seperti penampilan grup-grup „black metal‟ yang mereka jadikan acuan. Setiap personil memiliki nama panggung mereka masing-masing yang diberikan oleh sang vokalis, Gebyar, yang mana ia sendiri menyandang nama panggung
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
3
Sammael. Gebyar merupakan penggagas grup ini, ialah yang mengajak teman-temannya bergabung dalam Kedjawen. Berbeda dengan Anang Hermansyah yang memiliki lagu berjudul “Separuh Jiwaku Pergi”, salah satu contoh lagu yang dimiliki Kedjawen yang merupakan favorit penulis adalah “Dajjal Underconstruction”. Lagu tersebut merupakan single yang dirilis Kedjawen pada tahun 2012. Gebyar mengatakan bahwa lagu ini bercerita bahwa makhluk yang bernama „Dajjal‟ sedang membangun kekuatan di bumi. Berikut adalah penggalan lirik refrain lagu “Dajjal Underconstruction” tersebut. Here comes the warrior of the darkness flame Damnation for the life, awaken the beast Danu, sang gitaris, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan penulis bahwa kelima lagu dalam EP (extended play, atau yang biasa disebut mini album oleh khalayak) Kedjawen yang dirilis pada tahun 2011 yang berjudul “Bibit Kehancuran” secara keseluruhan berisi peringatan tentang hari kiamat, termasuk munculnya „Dajjal‟. “Jadi misalnya kayak “Bibit Kehancuran”, jadi kita ngasih tahu ke orang-orang bahwa Dajjal itu lagi pegen muncul, lagi siap-siap pengen muncul. Jadi kita peringatin kalian bahwa inget kiamat, inget ibadah, inget segala macem.” (Danu) Jika Anang Hermansyah menulis “Separuh Jiwaku Pergi” karena dikecewakan oleh Kris Dayanti, maka apa yang membuat Kedjawen menciptakan sekaligus membawakan lagu “Dajjal Underconstruction”? Pengalaman, pemikiran, dan perasaan apa yang mereka coba ungkapkan melalui kelima lagu mereka dalam EP “Bibit Kehancuran”? Tentu ada pula alasan mengapa Kedjawen memilih genre „gothic black metal‟ dan mengekspresikan apa yang ada dalam diri mereka melalui dentuman ritme yang lebih cepat dan pemilihan karakter „sound‟ yang lebih keras, lengkap dengan balutan teknik vokal „screaming‟ serta liukan „gothic voice‟. Gebyar pun memberikan nama-nama bagi alter ego teman-temannya pasti bukan tanpa alasan. Mengapa mereka harus menjadi orang lain yang jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan diri mereka sendiri untuk mengirimkan pesan-pesan yang ada dalam lagu-lagu mereka? Penelitian ini membahas tentang fokus dalam alam pikiran dan pengalaman materiil sehari-hari para personil Kedjawen yang muncul dalam lagu-lagu mereka. Akan dibahas pula latar belakang Kedjawen memilih alter ego yang menyeramkan yang menyerupai „setan‟ Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
4
serta sub genre „gothic black metal‟ dalam menyampaikan peringatan (yang justru bertentangan dengan „setan‟) kepada para pendengar. Selain itu, sejarah perjalanan Kedjawen hingga sekarang dari sudut pandang masing-masing personil juga akan dipaparkan untuk melihat bagaimana pemikiran mereka maisng-masing mempengaruhi lagu-lagu yang tercipta atau sebaliknya. Kedjawen merupakan salah satu grup musik ikonik di skena „bawah tanah‟ Indonesia, maka penelitian ini cukup memberi gambaran perilaku dan karakteristik para pelaku di skena ini bagi para pembaca. Gambar 1: Enam personil Kedjawen; (dari kiri ke kanan) Baong, Danu, Tatu, Gebyar, Ewing, dan Tatit
(Sumber: dokumentasi Acil (manajer Kedjawen))
Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Untuk menciptakan lagu-lagu seperti yang diciptakan Kedjawen dibutuhkan rasa ketertarikan, rasa kecemasan, dan pegetahuan atas hal-hal yang menjadi fokus dalam lagulagu tersebut. Dibutuhkan pula pengalaman dan referensi tersendiri dalam pemilihan genre „gothic black metal‟ dan alter ego sebagai media penyampaian pesan-pesan peringatan yang ada di dalam lagu-lagu Kedjawen. Semua itu saling mempengaruhi dan bersatu menciptakan apa yang nampak pada karya-karya dan penampilan Kedjawen. Untuk itu, penulis mengemukakan dua pertanyaan untuk menjawab permasalah-permasalahan tersebut. 1. Seperti apa rasa cemas para personil Kedjawen dan seluas apa pengetahuan mereka mengenai dosa, kematian, alam baka, dan hari kiamat sehingga hal-hal tersebut muncul pada lagu-lagu mereka? 2. Mengapa dan bagaimana mereka menggunakan genre „gothic black metal‟ dan alter ego masing-masing untuk menyampaikan pesan peringatan pada lagu-lagu mereka?
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
5
Untuk membantu menjawab kedua pertanyaan penelitian ini, penuis akan menggunakan kerangka konsep yang telah disusun sebagai kerangka untk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada diri para personil Kedjawen tersebut. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Penelitian ini mengkaji fenomena-fenomena mengenai rasa ketakutan atau kecemasan yang jarang terjadi pada sebuah grup musik, sehingga penelitian ini menjadi satu-satunya penelitian mengenai grup musik di Indonesia yang menggunakan konsep „hauntology‟ (Derrida) dan „the uncanny‟ (Freud) sebagai dua konsep utama. Penelitian yang dilakukan oleh Ingrid Monson pada beberapa musisi jazz di Amerika Serikat yang tertuang dalam bukunya “Saying Something; Jazz Improvisation and Interaction” (1996), lebih berfokus pada pengkajian ekspresi para musisi tersebut melalui analisa improvisasi mereka ketika memainkan instrumen dan bagaimana mereka bermain musik ketika bersama-sama di dalam grup. Penelitian yang dilakukan oleh Max M. Richter pada berbagai kalangan musisi di Yogyakarta yang tertuang dalam bukunya “Musical Worlds in Yogyakarta” (2012), lebih berfokus pada analisa seperti ruang musik, ekonomi, politik, gender, dan demografi saja. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut karena sangat erat hubungannya dengan alam pikiran yang menyangkut ketakutan atau kecemasan (berdasarkan apa yang diajarkan oleh agama-agama samawi) yang dirasakan oleh musisi-musisi bersangkutan, sehingga penelitian ini pun bisa menjadi referensi dalam kajian-kajian antropologi agama.
TINJAUAN TEORITIS
Dalam bukunya yang berjudul “Specters of Marx” (1993), Jacques Derrida mengemukakan sebuah konsep yang ia sebut hauntology. Sesuatu tidak harus menjadi sebuah keberadaan untuk menghantui seseorang. Hauntology tidak harus selalu berkaitan dengan konsep ontologi (pengkategorisasian makhluk, keberadaan, dan realita), namun hauntology bisa jadi sebuah pengontologisasian sesuatu yang tidak pernah ada atau konsep tertentu (halaman 9 & 10). “To haunt does not mean to be present, and it is necessary to introduce haunting into the very construction of a concept. Of every concept, beginning with the Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
6
concepts of being and time. That is what we would be calling here a hauntology.” (Derrida, 1993: 202)
Hauntology juga bisa berhubungan dengan ketakutan akan satu tempat atau efek-efek tertentu. Hauntology menjelaskan bagaimana suatu objek, kondisi, atau tempat bisa menjadi menakutkan ketika dipercaya secara nyata memiliki hubungan tersendiri dengan hal-hal yang memang benar-benar menakutkan. Konsep ini secara langsung akan dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam diri para personil Kedjawen dalam hubungan mereka dengan kecemasan yang mereka ekspresikan dalam lagu. Sigmund
Freud
dalam
essaynya
yang
berjudul
“The
Uncanny”
(1919),
mengemukakan sebuah konsep yang disebut uncanny. Secara harafiah, uncanny berarti asing (unfamiliar) (halaman 2). Konsep ini berarti seseorang melihat sesuatu yang terasa akrab baginya namun asing di saat yang bersamaan. Biasanya sesuatu tersebut termasuk ke dalam pikirannya yang ditekan karena rasa takut atau tidak nyaman (halaman 18). Meski dekat dengan kehidupan seseorang, hal-hal yang membuat seseorang mengalami fenomena uncanny tetap masih membuatnya takut. “It is undoubtedly related to what is frightening - to what arouses dread and horror; equally certainly, too, the word is not always used in a clearly definable sense, so that it tends to coincide with what excites fear in general.” (Freud, 1919: 1) Salah satu contohnya adalah ketika seseorang melihat jasad manusa di film horor, meskipun ia sering melihat hal serupa namun ia tetap merasa tidak nyaman ketika melihatnya. Konsep ini membantu penulis menjelaskan bagaimana Kedjawen membawa pesan peringatan mengenai dosa, kematian, alam baka, dan tanda-tanda kiamat yang sejalan dengan ajaran agama samawi namun menggunakan alter ego mereka yang berdandan seperti setan serta menyandang nama-nama figur yang dianggap buruk dalam Alkitab. Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “Interaction Ritual” (1967) mengatakan bahwa wajah merupakan media pendistribusian emosi di dalam suatu kelompok. Ekspresi wajah seseorang mampu mempengaruhi ekspresi wajah orang-orang lain di dalam kelompok, begitu juga sebaliknya. Dalam sebuah situasi, wajah seseorang akan selalu dipertahankan sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh para partisipan lain.
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
7
“A person may be said to have, or be in, or maintain face when the line he effectively takes presents an image of him that is internally consistent, that is supported by judgments and evidence conveyed by other participants, and that is confirmed by evidence conveyed through impersonal agencies in the situation. At such times the person's face clearly is something that is not lodged in or on his body, but rather something diffusely located in the flow of events in the encounter and becomes manifest only when these events are read and interpreted for the appraisals expressed in them.” (Goffman, 1967: 6-7)
Konsep wajah yang dikemukakan oleh Goffman ini akan membantu menjelaskan mengapa dan bagaimana Kedjawen memilih „gothic black metal‟ serta alter ego mereka untuk menyampaikan pesan kepada para pendengar dan para penonton konser mereka.
METODE PENELITIAN
Proses pengumpulan data dilakukan sejak September 2013 hingga April 2014. Pengamatan terlibat (participant obeservation) dilakukan setiap penampilan Kedjawen. Penulis terjun langsung di tengah-tengah penonton yang menyaksikan penampilan Kedjawen di atas panggung. Pengamatan tidak terlibat dilakukan saat mengamati proses rekaman album grup Kedjawen, penulis hadir di beberapa sesi rekaman mereka yang dilakukan di Xumber Maxmur Studio dan Kebvn Studio yang keduanya berlokasi di Bogor. Data paling banyak didapat dari wawancara dengan para personil Kedjawen dan seorang mantan personil Kedjawen. Penulis sudah mengenal para personil Kedjawen sejak menjelang perhelatan „Rockaddict Metalfest‟ pada Juni 2011. Ola, yang pernah mengisi posisi gitar di Kedjawen sejak awal 2012 hingga November 2013, memperkenalkan penulis dengan para personil Kedjawen. Penulis dan Ola sudah berteman sejak tahun 2011 dan menjadi rekan bermusik pada sebuah grup metal. Pertemanan penulis dengan para personil Kedjawen semakin erat setelah pada 2012, dua vokalis Kedjawen, Gebyar dan Tatu, ikut berkolaborasi pada sebuah lagu yang dimuat dalam album yang ketika itu sedang dikerjakan oleh grup musik penulis. Karena itu, penulis tidak perlu melakukan perkenalan dan pendekatan secara intens lagi dengan para personil Kedjawen.
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
8
Selain data primer yang diambil dari pengamatan, penulis juga mengumpulkan berbagai data sekunder dari berbagai sumber lain. Penulis membeli EP Kedjawen yang berjudul “Bibit Kehancuran” pada booth distro Forces saat mengamati penampilan Kedjawen pada perhelatan „Djarum Rockadventure‟, September 2013 lalu. Ke dua, penulis mengunduh single Kedjawen yang berjudul “Dajjal Undercostruction” dan “The Beast of Earth” yang memang diunggah secara gratis di situs reverbnation.com. Ke tiga, penulis meminta foto-foto dan dokumentasi-dokumentasi lain Kedjawen dari para personil dan manajer. Data-data tersebut dipakai untuk menunjang penulisan penelitian ini.
PENGENALAN KEDJAWEN
Kedjawen terdiri dari enam orang personil, yakni Gebyar (vokal), Tatu (vokal), Danu (gitar), Tatit (bass), Baong (keyboard), dan Ewing (dram). Pada awal tahun 2012 hingga tepatnya tanggal 20 November 2013, Kedjawen sempat memiliki seorang pemain gitar ke dua. Hingga penulis mengikuti penampilan Kedjawen di Rock in Solo 2013 pun Kedjawen masih memiliki dua orang gitaris. Ola, yang pada awalnya menjadi pemain gitar pengganti ketika Danu sedang berhalangan, kemudian sempat diangkat sebagai gitaris tetap mendampingi Danu. Ola meninggalkan Kedjawen karena memiliki kesibukan dengan grup musik lain sehingga tidak bisa membagi konsentrasinya. Semua personil Kedjawen lahir pada tahun 1993. Tahun 2010, tahun ketika Kedjawen terbentuk, semua personil Kedjawen berulang tahun ke-17. Pada tahun 2013, saat usia mereka 20 tahun, mereka sudah mencicipi tampil di panggung-panggung besar seperti Rock in Solo 2013. Ola sempat menjadi personil tertua Kedjawen sampai akhirnya mengundurkan diri pada akhir 2013. Ola lahir pada tahun 1992, satu tahun lebih tua dibandingkan para personil Kedjawen yang lain. Kedjawen memiliki basis massa penggemar yang tersebar di seluruh Indonesia. Per tanggal 18 Maret 2014, pukul 19.21, jumlah penggemar pada halaman facebook Kedjawen adalah 109.341 dengan mayoritas usia 18 sampai 24 tahun. Pada waktu yang sama, pengikut Kedjawen pada akun twitter „@Kedjawen666‟ mencapai 7.382 akun. „Putra-Putri Kedjawen‟
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
9
adalah sebutan bagi para penggemar Kedjawen. Di jejaring facebook, ada ratusan akun yang menyematkan nama „Putra Kedjawen‟ atau „Putri Kedjawen‟ pada nama akun mereka. Jika mencari „Putra Kedjawen‟ atau „Putri Kedjawen‟ pada situs facebook, akan ada kotak yang berisi pilihan-pilihan kategori untuk menyaring secara lebih spesifik akun-akun yang dituju, di bagian atas kotak tersebut terdapa tulisan “More Than 100 People” (itu berarti pencarian menghasilkan terlalu banyak akun sehingga perlu penyaringan yang lebih spesifik). Pada perhelatan-perhelatan musik keras yang saya datangi di Bogor pada sekitar tahun 2011 hingga 2012, di mana Kedjawen juga turut tampil, banyak para penonton yang memakai bandana batik. Pada masa-masa awal terbentuknya, para personil Kedjawen memakai bandana batik di kepala mereka, seperti pada ketika mereka pertama kali diundang untuk tampil di acara yang diadakan SMA Negeri 7 Bogor. Danu mengatakan bahwa bandanabandana tersebut dibeli di Yogyakarta. Pemakaian bandana batik pun pada sekitar tahun 2011 hingga 2012 menjadi penanda para „Putra-Putri Kedjawen‟. Diskografi Kedjawen Pada tahun 2011, Kedjawen secara resmi merilis EP (extended play) yang bertajuk “Bibit Kehancuran”. EP ini adalah karya Kedjawen berbentuk fisik pertama yang dijual kepada khalayak. Di dalam EP tersebut terdapat lima buah lagu yang secara berurutan sesuai penyusunan track: 1. Bibit Kehancuran 2. Pasukan Panji Hitam 3. Sirotol Mustakim 4. Surga Neraka 5. Alam Surga Kelima lagu ini direkam di studio Black Record, Cibinong, Kabupaten Bogor. Album ini sudah rampung dan dijual sejak akhir tahun 2010, tahun yang sama ketika Kedjawen terbentuk. Baru pada tahun 2011, album ini secara resmi dirilis melalui dua launching party yang dilakukan di Taman Ade Irma Suryani, Bogor, dan Gedung KNPI Cibinong, Kabupaten Bogor. Lagu “Surga Neraka” dan “Alam Surga” termasuk ke dalam lima lagu awal Kedjawen yang direkam melalui handycam di studio REF, Bogor. Tiga lagu lain adalah “Supported by Satan”, “Immortal Love”, dan “Sajak Putih”. Lagu “Sajak Putih” merupakan musikalisasi Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
10
dari sajak karya Chairil Anwar dengan judul yang sama. Melalui lima demo lagu yang direkam melalui handycam ini lah Kedjawen mulai memperkenalkan karya-karya mereka. Berkat lima lagu ini, Kedjawen pun berhasil diundang ke sebuah acara musik yang diadakan oleh SMA Negeri 7 Bogor. EP “Bibit Kehancuran” ini menjadi pengalaman pertama Kedjawen melakukan rekaman secara digital. Pada tahun 2012, Kedjawen merekam sebuah single yang berjudul “Dajjal Underconstruction” di studio Xumber Maxmur, Bogor. Single ini juga menjadi satu-satunya lagu yang direkam bersama Ola yang sempat mengisi posisi gitar ke dua. “Dajjal Underconstruction” menjadi lagu Kedjawen ke dua berbahasa Inggris setelah “Immortal Love”, meskipun lirik di dalam lagu “Immortal Love” hanya terdiri dari pengulangan dua kata yang tertera pada judulnya. Pada akhir tahun 2013, Kedjawen baru merilis lagi sebuah single berjudul “The Beast of Earth”. Lagu tersebut juga direkam di studio Xumber Maxmur, Bogor. Lagu “The Beast of Earth” direkam bersama sepuluh lagu lainnya yang dimasukkan ke dalam album perdana Kedjawen yang saat penulis melakukan penelitian direncanakan dirilis April 2014. Lagu ini masih membicarakan mengenai tanda-tanda kiamat seperti “Dajjal Underconstruction” dan tema keseluruhan EP “Bibit Kehancuran”. Gebyar mengatakan bahwa “The Beast of Earth” menandakan pergeseran genre Kedjawen dari „gothic black metal‟ menjadi „blackened-death gothic metal‟ karena penggunaan blast beat ala „death metal‟ pada lagu tersebut. Lagu “The Beast of Earth” menggambarkan musik Kedjawen secara keseluruhan pada album perdana mereka. Enam ‘Perwakilan Kegelapan’ Sosok para personil Kedjawen di atas panggung yang memakai kostum serba hitam dan riasan pucat menjadi representasi di benak para penggemar mereka atas lagu-lagu yang telah tercipta. Ratusan ribu orang Indonesia telah mengenal Kedjawen, sebagian dari mereka bahkan mengaku sebagai „putra-putri Kedjawen‟, „anak-anak‟ dari enam sosok yang mengingatkan kita akan „kegelapan‟. Keenam orang yang sejatinya merupakan pelajar tersebut menjadi magnet yang selalu mengundang „putra-putri‟ untuk datang ke pertunjukan Kedjawen menggunakan pakaian serba hitam. Sosok para personil Kedjawen menjadi sosok yang „agung‟ di mata para penggemar, stigma ini dikuatkan oleh perwujudan mereka yang menyerupai sesuatu yang bersifat „supranatural‟. Sejarah terbentuknya Kedjawen yang diceritakan oleh para personil seakan tidak sejalan dengan bagaimana kini mereka dilihat oleh Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
11
khalayak, akan terdengar lebih cocok apabila mereka mengaku diutus langsung dari langit untuk menyelesaikan sebuah misi. Pesan-pesan di dalam lagu-lagu Kedjawen merupakan „peringatan‟ kepada umat manusia atas apa yang akan menimpa mereka. Di saat sebagian besar musisi lain (khususnya yang seusia mereka) mencurahkan persaan jatuh cinta atau patah hati, Kedjawen memutuskan untuk berdandan menirukan „setan‟ dan memberi „peringatan‟ kepada sesama umat manusia. Bayangkan bagaimana sekelompok musisi muda, yang terlihat memiliki kehidupan sewajarnya orang-orang seusia mereka, mengekspresikan hal yang berbeda (yang sangat erat dengan ranah „spiritual‟) dengan cara yang berbeda. Penulis sangat terkesan dengan keramahan para personil Kedjawen dan kepandaian mereka dalam membuat penulis merasa nyaman ketika berinteraksi dengan mereka. Sebagian besar hal „beringas‟ dan „spiritual‟ yang terlihat ketika mereka berada di atas panggung tidak terlihat oleh penulis saat mereka berada di bawah panggung. Gambar 2: Penampilan Kedjawen pada perhelatan Jasad; Bhinneka Tunggal Ika Tour 2013
(Sumber: dokumentasi Gebyar)
PEMBAHASAN
Kedjawen telah menjadi sebuah grup „gothic black metal‟ yang mampu mengumpulkan perhatian dari ratusan ribu penggemar musik skena „bawah tanah‟. Sosok Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
12
para personil dan karya-karya mereka telah menjadi objek yang selalu terbayang oleh para „putra-putri Kedjawen‟. Segala sesuatu yang telah dihasilkan oleh Kedjawen yang dapat didengar dan dilihat khalayak merupakan hasil dari berbagai pengalaman dan proses pengambilan keputusan para personil. Penulis telah memaparkan bagaimana kematian, alam baka, dosa, dan hari kiamat bisa menjadi tema utama dalam karya-karya Kedjawen. Penulis juga sudah menjelaskan bagaimana Kedjawen secara audio dan visual mengekspresikan pandangan dan perasaan mereka mengenai hal-hal tersebut. Gebyar adalah orang di balik penentuan tema dalam lirik-lirik lagu Kedjawen. Bersama dengan Tatu, Gebyar pun juga menjadi penggagas grup ini. Ketertarikan Gebyar akan musik „black metal‟ juga menjadi asal mula tercetusnya genre „gothic black metal‟ yang digunakan Kedjawen untuk berekspresi. Melalui genre ini, Kedjawen mengekspresikan seluruh pandangan dan perasaan yang sebagian besar berasal dari kepala Gebyar. Lirik-lirik di dalam lagu-lagu Kedjawen bersifat „mengingatkan‟ khalayak akan apa yang telah diajarkan oleh kitab-kitab agama samawi, bukan untuk menentangnya kitab-kitab tersebut. Grup-grup „black metal‟ senior seperti Emperor (Norwegia) kerap menulis lirik yang berkaitan dan sejalan dengan „satanisme‟, akan tetapi Kedjawen menulis lirik yang bersifat sebaliknya. Meski para personil Kedjawen juga menirukan „setan‟ (melalui riasan, kostum, ekspresi, dan gestur tubuh) ketika di atas panggung seperti sebagian besar grup „black metal‟, Kedjawen justru memakai cara berekspresi tersebut untuk „melawan setan‟ dan memihak siapa pun yang menentang „setan‟. Terasa Nyata Ada “Fear of impending doom ruled my life. I convinced myself that if I stepped on the cracks in the pavement while I was running home, my mother would die. And when my dad was sleeping through the day, I‟d start freaking out that he was dead, and I‟d have to poke him in the ribs to make sure he was still breathing. He wasn‟t too fucking pleased about that, I can tell you. But all of these spooky things kept swirling through my head.” (Ozzy Osbourne, 2009: 14) Di dalam buku autobiografinya yang berjudul “I am Ozzy” (2009), Ozzy Osbourne mengaku bahwa dirinya sering memiliki pikiran-pikiran buruk yang terasa nyata baginya. Osbourne seringkali merasa bahwa akan ada malapetaka yang akan menghampiri dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dirinya merasa bahwa ibunya akan mati jika ia menginjak retakan pada trotoar, dirinya juga kerap merasa telah kehilangan ayahnya ketika sang ayah tidur terlalu lama.
Kedua contoh ketakutan yang dialami Osbourne tersebut bukan sebuah
ketakutan terhadap satu objek tertentu, Osbourne tidak takut kepada retakan trotoar karena Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
13
sifatnya yang jahat atau wujudnya. Ketakutan muncul dari hubungan sebab dan akibat yang terasa nyata bagi Osbourne, ketakutan bahwa ia bisa saja membunuh ibunya tanpa sengaja jika menginjak retakan pada trotoar. Ozzy Osbourne adalah vokalis dari grup Black Sabbath, grup yang menurut Gebyar sangat penting bagi munculnya „black metal‟, menurutnya tidak akan ada „black metal‟ jika tidak ada Black Sabbath. Gebyar, vokalis Kedjawen, juga memiliki ketakutan yang sifatnya sama dengan ketakutan yang dimiliki sang vokalis Black Sabbath. Gebyar takut, atau cemas, dengan dosa, kematian, alam baka, dan hari kiamat. Keempat hal tersebut bukan merupakan objek yang secara nyata menunjukkan Gebyar, atau sudah menunjukkan, keseraman dan sifat berbahaya. Osbourne takut dengan retakan pada trotoar dan takut jika ayahnya tidur terlalu lama, keduanya berhubungan dengan kematian yang merupakan salah satu ketakutan Gebyar. Kedua ketakutan Osbourne juga belum secara nyata memberikan gambaran keseraman kepada Osbourne, keduanya merupakan konsep yang ada di benaknya, Osbourne takut jika keduanya berujung kepada kematian yang mana juga merupakan sebuah konsep. Dosa, kematian, alam baka, dan hari kiamat merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep pengadilan bagi manusia di akhir perjalanan mereka. Semua konsep tersebut berujung pada satu hal, yakni ketakutan manusia jika pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam neraka dan disiksa. Agama-agama samawi menjanjikan bahwa manusia akan merasakan sakit yang bisa dirasakan secara material ketika mereka harus menempuh siksaan neraka, inilah yang membuat semuanya menjadi terasa menakutkan. Konsep-konsep di atas terasa sangat nyata dan dianggap nyata, membuat konsepkonsep tersebut menjadi hal yang ditakuti secara nyata. Ketakutan pada tataran konsep ini dijelaskan oleh Jacques Derrida melalui konsep hauntology seperti yang telah dipaparkan penulis pada Bab I. Menurut Derrida, sesuai yang dijelaskannya dalam bukunya “Specters of Marx” (1993), konsep hauntology merupakan konsep di mana sesuatu tidak harus menjadi sebuah keberadaan untuk menghantui seseorang. Derrida juga menjelaskan bahwa hauntology juga bisa berhubungan langsung dengan konsep yang dinamakan teleologi (teleology) dan eskatologi (eschatology). Kedua konsep tersebut bisa jadi mewakili bentuk ketakutan yang termasuk ke dalam konsep hauntology. “This logic of haunting would not be merely larger and more powerful than an ontology or a thinking of Being (of the "to be," assuming that it is a matter of Being in the "to be or not to be," but nothing is less certain). It would harbor
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
14
within itself, but like circumscribed places or particular effects, eschatology and teleology themselves.” (Derrida, 1993: 10) Richard B. Wells dalam bukunya “The Critical Philosophy and the Phenomenon Mind” (2006) menjelaskan bahwa „teleologi‟ merupakan sebuah konsep tentang pemikiran mengenai adanya „akhir‟ atau „tujuan akhir‟ dari segala sesuatu yang terjadi. “The word teleology derives from the Greek telos, which means “end” or “coming to pass” or “consummation.” That people make teleological pronouncements is an easily observed fact. That many such pronouncements are specious or absurd is perhaps less immediately obvious but is nonetheless also a fact that can be established without great difficulty. A teleological proposition is a proposition in which the cause of something has the character of a final cause. This more or less means that something happens so that something else may come to pass, and this something else is regarded as the cause of what happens. Teleological pronouncements presume some purpose or “reason why” that gives events which lead up to the consummation of an end what we commonly call a “unity of purpose.”” (Wells, 2006: 1412) Kata „teleologi‟ (teleology) berasal dari kata „telos‟ yang berarti „akhir‟, „sesuatu yang akan terjadi‟, atau „penyempurnaan‟. Sesuatu yang terjadi memiliki „akhir‟ atau „tujuan akhir‟ serta „alasan‟ tersendiri atas terjadinya. Konsep teleologi memiliki hubungan erat dengan konsep „eskatologi‟ yang juga disebutkan oleh Derrida dalam menjelaskan bentuk-bentuk ketakutan yang termasuk ke dalam logika hauntology. Di dalam tulisannya yang berjudul “The Doctrine of the Last Things: Eschatology” (1981), Geoffrey Bingham menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan „eskatologi‟. Bingham menjelaskan bahwa kata „eskatologi‟ (eschatology) berasal dari kata „eschatos‟ yang merupakan kata sifat yang berarti „terakhir‟. Hal-hal eskatologis menurutnya merupakan segala hal yang akan muncul di masa paling akhir kelak (halaman 1). Bingham kemudian menjelaskan mengenai bagaimana bentuk eskatologi versi Alkitab yang secara teleologis melihat sejarah kehidupan manusia yang bersifat linear dan memiliki akhir. “The Biblical view of history is what we call linear or teleological. We mean that the telos (end) is the actual consummation and goal of completion of that which has been along the linear line of history.” –Bingham, 1981: 1) Pada tulisannya yang berjudul “A Perverse Parody: Islamic Escatology” (2010), James D. Steinbach mengatakan bahwa eskatologi bagi penganut Kristen adalah datangnya sang penyelamat, sedangkan eskatologi bagi penganut Islam ditandai oleh datangnya sang „tokoh utama‟ yaitu Imam Mahdi (halaman 1). Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
15
Ajaran agama-agama samawi, khususnya Islam, telah memberikan Gebyar perspektif teleologis akan kehidupan di dunia yang akan diakhiri dengan apa yang telah dijelaskan oleh dalam eskatologi Islam, semua akan diakhiri oleh hari kiamat dan pertimbangan amal. Ketakutan dan kecemasan Gebyar akan dosa merupakan pertimbangan atas pemahaman teleologisnya bahwa setelah mati dosa-dosa yang diperbuat akan ditimbang. Rasa takut dan cemas muncul karena adanya janji siksa api neraka jika ternyata dosa yang diperbuat lebih banyak dari amal baik. Ketakutan dan kecemasan Gebyar akan kekacauan di hari kiamat dan tanda-tanda kedatangannya merupakan sifat „nyata‟ eskatologi Islam yang ada di dalam benak Gebyar, terlebih setelah dirinya melihat kecocokan antara kenyataan dan ramalan mengenai tanda-tanda kiamat. Kecemasan berbentuk „teleologi‟ dan „eskatologi‟ seperti yang dijelaskan Derrida melalui konsep hauntology telah terlihat di dalam diri Gebyar. Ketakutan dan kecemasan akan hal-hal yang tidak berwujud semakin nyata setelah bersama dengan para personil Kedjawen lainnya, Gebyar mengekspresikan apa saja yang menghantui pikirannya tersebut. Bukan tidak mungkin rasa takut dan cemas yang kemudian dimunculkan sebagai pesan di dalam lagu-lagu Kedjawen berpindah ke benak „putra-putri Kedjawen‟. Lagu-lagu Kedjawen membuat semuanya semakin menjadi nyata, bahkan bagi para pendengarnya baik sudah memiliki ketakutan serupa atau tidak. Gebyar sendiri memang mengaku bahwa lirik-lirik Kedjawen diharapkan bisa „mengingatkan‟ para pendengar. ‘Topeng Setan’ “The contemporary actor rarely wears a literal mask but he still creates a pattern of actions (behavior) that projects a persona. This pattern of actions becomes the "mask" of the created character, and when the actor puts on this mask he is literally impersonating in the root sense of that word: im-persona, "going into a new mask." He is trans-forming himself, "going into a new form." We who watch project unto his mask of actions an authentic identity.” (Benedetti, 1981: 264) Robert Benedetti dalam bukunya yang berjudul “The Actor at Work” (1981) menjelaskan mengenai bagaimana aktor menggunakan „topeng‟ (bisa diartikan secara harafiah dan tidak) sebagai sebuah kesatuan perilaku yang bisa „dipasang‟ dan „dilepas‟. „Topeng‟ digunakan para aktor untuk memperoleh sebuah „persona‟, membuat karakter sang aktor terlihat hilang di mata penonton dan digantikan karakter yang dibawa oleh „persona‟. Seperti halnya yang dilakukan para aktor, para personil Kedjawen juga melakukan hal serupa. Ketika „corpse paint‟ dan kostum dikenakan, mereka merubah ekspresi dan gestur merekang
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
16
tidak akan pernah terlihat di aktivitas biasa. Gebyar memang mengaku bahwa hal ini bermaksud agar penampilan mereka lebih „teatrikal‟. Para personil Kedjawen memakai „topeng‟ yang menurut Gebyar dimaksudkan untuk menyerupai „setan‟, maka dengan kata lain „topeng‟ yang mereka pakai adalah „topeng setan‟. Seabagian besar dari grup-grup „black metal‟ pendahulu memakai „topeng setan‟ ini sebagai ekspresi visual yang mendukung pesan yang dibawa di dalam lagu-lagu mereka, sebagian besar membawa pesan yang berkaitan dengan „satanisme‟. Grup-grup tersebut memakai „topeng setan‟ karena memang ingin berperan sebagai „setan‟. Kedjawen memakai „topeng setan‟ secara berbeda, Kedjawen tidak ingin menjadi „setan‟. Pesan yang ada di dalam lagu-lagu Kedjawen menentang „setan‟, „setan‟ adalah „musuh utama‟ di dalam lagulagu Kedjawen. „Topeng setan‟ justru merupakan salah satu senjata Kedjawen untuk melawan „setan‟. Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “Interaction Ritual” (1967, halaman 6-7) menjelaskan bagaimana pada kondisi tertentu, wajah seseorang sudah seperti terlepas dari raganya dan menjadi media pendistribusi emosi di dalam suatu kelompok. Wajah seseorang harus „dipertahankan‟ demi atau karena penilaian orang lain. Dalam kasus Kedjawen, „topeng setan‟ harus dipertahankan demi penilaian para penonton. „Topeng‟ tersebut menjadi media pendistribusian emosi para personil Kedjawen kepada para penonton. Bagaimana pun juga, Kedjawen tampil di depan khalayak penggemar musik yang telah berpengalaman mengikuti perkembangan musik „black metal‟. Untuk mendapatkan kesan yang baik di mata khalayak, khususnya mengingat juga tujuan Kedjawen yang ingin „mengingatkan‟ khalayak tentang ancaman dari „setan‟, „topeng setan‟ adalah media yang sangat dibutuhkan untuk mencapai semua itu. Para personil Kedjawen tentu membenci „setan‟, mereka membenci entitas (atau sifatsifat) yang mereka tirukan dalam setiap penampilan di atas panggung. Dari sini kita bisa melihat jelas maksud dari konsep „uncanny‟ yang dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam tulisannya yang berjudul “The Uncanny” (1919). Freud menjelaskan bahwa hal-hal yang bisa menimbulkan perasaan „uncanny‟ adalah hal-hal ‟menakutkan‟ yang ditolak oleh pikiran kita. Kendati demikian, hal-hal tersebut sebenarnya sangat tidak asing, perasaan „uncanny‟ terhadap hal-hal tersebut muncul karena pikiran kita selalu menolak memikirkannya.
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
17
“...for this uncanny is in reality nothing new or alien, but something which is familiar and old established in the mind and which has become alienated from it only through the process of repression.” (Freud, 1919: 15-16) Timbul perasaan „uncanny‟ setiap para personil Kedjawen memakai „topeng setan‟ di atas panggung. Lebih luas lagi, timbul perasaan „uncanny‟ di dalam diri para personil Kedjawen terhadap genre musik yang mereka mainkan, yaitu „gothic black metal‟. Genre dan persona yang mereka tampilkan identik dengan „setan‟ dan satanisme, dua hal yang mereka benci dan tolak. Meski begitu, „gothic black metal‟ dan „topeng setan‟ tetap menjadi dua hal yang sangat erat dengan kehidupan mereka meskipun dua hal tersebut membuat mereka tidak nyaman karena mengingatkan mereka terhadap „setan‟ dan satanisme. Bahkan secara langsung mereka berusaha menyerupai „setan‟ ketika berada di atas panggung. Perasaan „uncanny‟ yang mereka rasakan membuat genre musik pilihan mereka sendiri mengalami modifikasi. Tidak ada pesan yang mengandung nilai satanisme di dalam lagu-lagu Kedjawen, tidak ada pula hal-hal yang menyangkut ritual okultisme yang ditunjukkan melalui aksi panggung atau representasi visual karya-karya mereka. „Topeng setan‟ yang dipakai pun hanya digunakan untuk meniru ekspresi dan gestur amarah dan kebencian „setan‟ saja dan tidak lebih. Amarah dan kebencian tersebut pun tidak serupa dengan „setan‟ yang menentang kehendak Tuhan. Perasaan „uncanny‟ yang dirasakan oleh para personil Kedjawen berhasil menekan dan menolak semua unsur satanisme yang ada di dalam genre „gothic black metal‟, termasuk penghayatan „topeng setan‟ yang mengandung kebencian kepada Tuhan yang dibawa oleh genre tersebut. Di negara yang sebagian besar masyarakatnya hidup menggunakan aturan agama samawi, khsusnya Indonesia, untuk selalu setuju dengan Tuhan merupakan sebuah hal yang sangat lazim. Dalam bukunya yang berjudul “Fluid Genres; Popular Music in Indonesia, 1997-2001” (2008), Jeremy Wallach menceritakan temuannya di Indonesia mengenai bagaimana musisi lokal hampir tidak pernah luput dari beterima kasih kepada Tuhan pada seksi ucapan terima kasih di sampul album. Bahkan bagi musisi yang karyanya bertemakan satanisme dan okultisme, nama Tuhan tidak lupa disebutkan pada seksi ucapan terima kasih. “In almost every case, regardless of the particular underground subgenre (including those preoccupied with satanic and occult themes), the first thanks is to God. References to God vary depending on the religion of the musicians: sometimes Allah S.W.T. (Arabic, Allah Subhanahu Wa Taala, “Allah the Almighty and Most Worthy of Praise”), sometimes Tuhan Y.M.E. (Tuhan Yang Maha Esa, “God the All- Powerful”), and sometimes Tuhan Yesus Kristus (Lord Jesus Christ).” (Wallach, 2008: 228) Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
18
Fakta ini menjelaskan bagaimana bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, untuk menjadi setuju dengan „setan‟ (dan tidak setuju dengan Tuhan) merupakan hal yang selalu dicoba dihindari. Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat memegang teguh ajaran agama samawi, untuk merasakan „pertemanan‟ dengan „setan‟ dan bahkan mengakuinya adalah hal yang tidak lazim dilakukan. Maka perasaan „uncanny‟ yang dirasakan para personil Kedjawen terhadap „setan‟ merupakan hal yang tidak aneh bila melihat sebagian besar pandangan masyarakat di Indonesia.
KESIMPULAN
Tahun 1982 merupakan tahun perilisan sebuah film horor Indonesia yang mendapat predikat „kultus‟ dari para penggemar genre horor Asia. Film tersebut berjudul “Pengabdi Setan”. Film karya sutradara Sisworo Gautama Putra tersebut menceritakan tentang seorang remaja laki-laki yang mempelajari „ilmu hitam‟ setelah terpukul atas kematian ibunya. Remaja tersebut mempelajari „ilmu hitam‟ dari seorang wanita peramal yang ternyata merupakan seorang „penyihir‟. Pada akhir film, sang „penyihir‟ akhirnya dikalahkan oleh seorang ustadz yang datang bersama rombongan santrinya. Penulis mengingat pesan dari sang ustadz di akhir film yang pada intinya menganjurkan kita untuk selalu „berserah diri‟ kepada Tuhan. Adegan terakhir menunjukkan sang remaja laki-laki melakukan sholat berjamaah bersama sang ayah dan kakak perempuannya yang selama film digambarkan sebagai orang-orang yang „tidak religius‟ dan sangat „duniawi‟. Terlepas dari akhir ceritanya, film “Pengabdi Setan” tetap saja merupakan film horor dengan nuansa gelap yang menampilkan berbagai wujud entitas yang merupakan „lawan‟ dari Tuhan dan manusia, yaitu „setan‟. Begitu pula dengan Kedjawen, grup ini tetap saja merupakan grup „gothic black metal‟ yang membawakan musik bertempo cepat dan para personilnya menyerupai „setan‟ terlepas dari tujuan mereka yang ingin „mengingatkan‟. Karya-karya Kedjawen dan film “Pengabdi Setan” merupakan ekspresi ketakutan, atau kecemasan, atas apa yang sudah dijelaskan di dalam kitab-kitab agama samawi. Keduanya menjadi contoh bagaimana kesenian yang sarat akan „kegelapan‟ mampu dimodifikasi menjadi media persuasi untuk selalu berada di jalan Tuhan. Semua itu terjadi karena sebuah
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
19
pemikiran teleologis yang membuat mereka menanti alam lain setelah alam ini, yakni „alam surga‟.
DAFTAR PUSTAKA
Benedetti, Robert 1981 The Actor at Work (3rd ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Bingham, Geoffrey 1981 “The Doctrine of the Last Things: Eschatology”. Living Faith Studies vol. 4, no. 31. Chiodariu, Miriam 2011 “A Rough Guide to Musical Anthropology”. Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology vol. 2: 183-195. Cohen, Sara 1993
“Ethnography and Popular Music Studies”. Popular Music vol. 12, no. 2: 123-138.
Derrida, Jacques 1994 Specters of Marx. Trans. Peggy Kamuf. New York: Routledge. Trans. of Spectres de Marx, 1993. Freud, Sigmund 1994 “The Uncanny”. Trans. Alix Strachey. Sigmund Freud; Collected Papers vol. 4. New York: Basic Books. Trans. of Das Unheimliche, 1919. Goffman, Erving 1967 Interaction Ritual: Essays on Face-to-Face Behaviour. London: Cox & Wyman Ltd. Guiley, Rosemary Ellen 2009 The Encyclopedia of Demons and Demonology. Pensacola: Visionary Living, Inc. Hjelm, Titus, Kahn-Harris, K., & LeVine, M. 2012 “Heavy Metal as Controversy and Counterculture”. Popular Music History: 518. Jones, Karson 2011 Collecting Heavy Metal Music. Penulis & Canadian Association of Music Libraries. Kruger, Simone Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014
20
2008
Ethnography in the Performing Arts; A Student Guide. Liverpool: John Moores University.
Merriam, Alan P. 1964 The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press. Monson, Ingrid 1996 Saying Something; Jazz Improvisation and Interaction. Chicago: The University of Chicago Press. Montenegro, Marcia 2006 “The World According to Goth”. Christian Research Journal vol. 29, no. 1. Murphy, David Jo 2011 Hate Couture: Subcultural Fundamentalism and the Serbian Black Metal Music Scene. Disertasi. Maynooth: Department of Anthropology, National University of Ireland. Osbourne, Ozzy 2009 I am Ozzy. New York: Grand Central Publishing. Phillipov, Michelle 2012 “Extreme Music for Extreme People? ; Norwegian Black Metal and Transcendent Violence”. Popular Music History: 150-163. Phillips, William & Cogan, Brian 2009 Encyclopedia of Heavy Metal Music. Westport: Greenwood Press. Richter, Max M. 2012 Musical Worlds in Yogyakarta. Leiden: KITLV Press. Steinbach, James D. 2010 A Perverse Parody: Islamic Eschatology. Greenville: Bob Jones University. van der Velden, Daniel 2007 “Crypto Logo Jihad; Black Metal and the Aesthetics of Evil”. Art Papers: 3642. Wallach, Jeremy 2008 Modern Noise, Fluid Genres; Popular Music in Indonesia, 1997-2001. Madison: The University of Wisconsin Press. Wells, Richard B. 2006 The Critical Philosophy and the Phenomenon Mind. Moscow: University of Idaho.
Universitas Indonesia
Mengamankan alam..., Andamar Pradipta, FISIP UI, 2014