Menegakkan Kembali Citra Kekuasaan Kehakiman
20 1
MENEGAKKAN KEMBALI CITRA KEKUASAAN KEHAKIMAN: PERANAN PENGADILAN DALAM NEGARA INDONESIA BARU (Sebuah Saran Kepada Ketua Mahkamah Agung RI) Mardjono Reksodiputro Reformasi kekuasaan kehakiman tampaknya menjadi salah satu masalah pokok dalam pembaharuan hukum di Indonesia. Nanllm, menurut penulis arrikel ini, sorotan utama dari masalalz tersebut Izanya pada bagaimana korps kelzakimall menguasai manajemell personalia dan manajemen keuangan serra aset. Seharusnya, masalalz utamanya difokuskan pada bagaimana memperbaiki citra dan wibawa mereka sebagai penegak keadilan.
Pendahuluan Dua tallUn yang lalu (Oktober 1999) telah diselenggarakan Seminar Hukum Nasiona l Ketujuh. Tema seminar hukum ini sesua i dengan aspirasi masyarakat, yaitu: " Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani ". Seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman , dibuka di Istana Negara dengan amanat Presiden Republik Indonesia. KaIau kita melihat sekarang (2001) apa yang telah dilakukan selama dua tahun ini , kesa n umum adalah belum banyak pembaruan yang dilakukan. Tulisan ini akan mengetengahkan kembali apa yang telah disampaikan dalam suatu diskusi panel bulan Maret 1999 ya ng diselenggarakan Bappenas dan BPHN tentang keadaan pengadilan kita dan beberapa rekomendasi yang disampaikan penulis. Menurut pendapat penulis, catatan dan rekomendasi leb ih dari dua tahun yang lalu , masih patut dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung ,
Namar 3 Tahun XXXI
202
Hukum dan Pembangunan
komunitas kekuasaan hukum dan oleh Komisi Hukum Nasional (yang dibentuk pada bulan Pebruari 2000 oleh Presiden Republik Indonesia). Aspirasi Masyarakat Umum Aspirasi masyarakat adalah mengubah (baca:mereformasi) situasi kekuasaan kehakiman agar dapat mewujudkan secara nyata "suatu kekuasaan kehakiman yang benar-benar merdeka". lni bukan aspirasi baru, karena asas kemandirian kekuasaan kehakiman sudah diperjuangkan sejak 30 (tiga puluh) tahun yang lalu! Pada awal Orde Barn asas di atas telah disepakati dan diperjuangkan (sebagai reaksi atas keadaan di mas a Orde Lama: 19591968). Kita ingat Seminar Hukum Nasional Kedua tahun 1968 di Semarang, perubahan UU No.19/1964 tentang Kekuasan Kehakiman dengan UU No. 1411970. dan ingat pula pembaruan hukum acara pidana pad a tahun 1980. Ternyata pemerintahan Orde Baru tidak dengan sepenuh hati melaksanakan komitmennya untuk mewujudkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Apakah hal yang sama akan terjadi lagi dalam era reformasi yang dimulai oleh para mahasiswa Indonesia pada tahun 1998? Pengalaman yang dapat ditarik dari kenyataan dalam masa Orde Baru adalah, bahwa "pembaharuan undang-undang" (legislative reform) bukanlah yang utama dan tidak menjamin adanya reformasi. Hal yang menentukan dalam reformasi adalah konsistensi semangatnya, yaitu keyakinan akan kebenaran perlunya perubahan itu demi kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan kekuasaan kehakiman itu semata-mata. Pengalaman tiga tahun era reformasi dan dua tahun setelah Seminar Hukum Nasional Ketujuh, menunjukkan adanya semangat atau kemauan para hakim secara jujur mengakui adanya KKN dalam tubuh kekuasan kehakiman, dan untuk bekerja keras utuk mengatasi kendalakendala organisasi yang ada. Kemandirian sistem peradilan yang dicitacitakan masyarakat pencari keadilan adalah suatu sistem yang bersendikan hakim-hakim yang jujur, mempunyai integritas dan profesionalisme tinggi, sena memiliki pengetahuan hukum yang cukup untuk melakukan reformasi terhadap hukum yang tidak adil, melalui putusan-putusannya (penafsiran hukum - rechtveljijning dan penemuan hukum - rechtsvindillg).
luli - September 2001
Menegakkan Kembali Citra Kekuasaan Kehakiman
203
Isyu Selltral Reformasi Kekuasaall Kehakimall Ternyata isyu sentral bagi para hakim bukanlah bagaimana memperbaiki citra dan wibawa mereka sebagai penegak keadilan, melainkan bagaimana menguasai sendiri manajemen personalia dan manaJemen keuangan dan aset. Dengan lain perkataan, yang diperdebatkan dan diurus selama ini hanya pemisahan kewenangan atas hakim dan aset pengadilan, yaitu pemindahan kekuasaan dari Departemen (Eksekutit) ke Mahkamah Agung (Yudikatif). Tidak ba nyak waktu dan enerji yang diberikan pada masalah-masa lah KKN yang menggrogoti s istem peradilan Indonesia' Isyu "kemandirian" dengan imerpretasi di alas (dua-atap ke sa[Uatap) , mungkin benar tiga puluh rahun lalu (pada Seminar Nas ional Kedua - 1968) , tetapi sekarang telah berubah menjadi hakim yang tidak mandiri karena mendapat "suap" dari salah sa[U pihak yang berperkara. Dalam kenyataan "suap " ini dapat pula berupa "janji promosi" (dari pihak eksekutit) atau lebih parah lagi "perintah" atau " intimidasi" dari pihak eksekutif (Polisi, Jaksa, Hakim yang lebih tinggi atau pejabar departemen). Tetapi masalah yang lebih berat aclalah hakim yang menerima " hadiah" (sering melalui advokat) dari pihak yang ingin dimenangkan perkaranya. Mengenai yang terakhir ini timbul istilah dalam kalangan pencari keadilan, ya itu hakim yang "melelang" perkara-perkara yang akan diputusnya. Penyebaran "kanker KKN" ini suda h bukan hanya berada pada para hakim dan advokat. Tidak dapat dihindari bahwa seluruh organisasi kepaniteraan dan ketatausahaan pengadilan-pengadilan Juga sudah terkontam inasi. Melawan keseluruhan kegiatan koruptif inilah yang seharusnya merupakan isyu sentral reformasi kekuasaan kehakiman, ya itu : "KKN di lembaga penegak keadilan, yang telah menggrogori asas-asas proses peradilan yang baik". Reformasi Untuk Menghadapi Isyu Sentral Diakui kebenaran ungkapan , bahwa "Ieb ih mudah mengarakan daripada berbuat" dan "orang-Iuar mudah mengkritik, karena tidak perlu berbuat apa-apa". Namun, hal ini tidak boleh dipergunakan para hakim yang ingin melakukan reformasi tentang isyu sentral, sebagai alasan pembenar untuk "patah-semangat". Masalah KKN bukan monopoli
Nomor 3 Tahun XXXI
204
Hukum dan PembangUlUln
lembaga yudikatif, begitu pula "kekalahan" mereka yang ingin melakukan reformasi mendasar bukan pula hanya berada di bidang hukum saja. Citra profesi yang terpuruk di mata pengamat (dalam dan luar negeri). memang bukan hanya profesi hakim dan profesi advokat. Tetapi bolehkah kenyataan ini membuat komunitas hukum Indonesia mengambil sikap "anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu" (business as usual) ? Tulisan ini ingin menggugah seluruh komunitas hukum Indonesia untuk tidak berpangku tangan dan, bagaimanapun kecilnya, turut berpartisipasi melawan suatu kebudayaa hukum di Indonesia yang telah "diracuni" oleh ketidakjujuran (dishonesty), kecurangan (deceit) , dan penyuapan (bribery). Observasi oleh International Commission of Jurist mungkin dapat membangunkan kita: " ... Corruption within the ranks (j{ the judiciary, as well as among prosecutors and private lawyers, lVill have a self-perpetuating effect. Once it is accepted that bribely has become a ... feature of the judicial process, and that not to participate will be ro disadventage oneself.. a (legal) culture of deceit and canspiracy may develop. It now appears (tahat) ... such a (legal) culture is present in Indonesian legal and judicial circles n .
Sebuah Saran Untuk Mahkamah Agung Kita semua mengakui bahwa masalah yang kita hadapi bersama amat sangat berat. Apa yang dilihat dalam Seminar Hukum Nasional Ketujuh terutama sebagai isyu "politik hukum" yang perlu diubah. sekarang tidak lagi dirasakan demikian. Masyarakat mengharapkan bahwa Mahkamah Agung Indonesia memimpin reformasi di bidang kekuasaan kehakiman Int , mengembalikan peranan pengadilan dalam negara Indonesia Baru ini menjadi "benteng terakhir terhadap ketidakadilan " (the last bastion agaillSt injustices) . Pertanyaan mendasar perlu dijawab: mengapa etika profesi hukum dan standar kerja profesional di bidang hukum (profesional ethics and projesional standards) ahli hukum Indonesia begitu jauh terbelakang dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita: (Singapura, Malaysia, Brunai. Thailand dan Filipina)? U ntuk mulai melangkah dalam "perjalanan yang lama dan pasti melelahkan" ini, disarankan agar Ketua Mahkamah Agung segera melakukan hal-hal berikut: (I) Membentuk suatu komisi independen untuk melakukan studi , mencari jawaban atas pertanyaan:
luli - September 200J
Menegakkan Kembali Citra Kekuasaan Kehakiman
205
(a) apa yang senyatanya terjadi dalam sistem peradilan Indonesia; (b) mengapa hal itu dapat terjadi; (c) apa yang direncanakan dan dapat dilakukan bersama agar keadaan tidak bertambah buruk, dan bagaimana mencegahnya di kemudian hari? (2) Membentuk suatu badan pengawas profesi hukum yang independen untuk membantu Mahkamah Agung menertibkan profesi hukum. Badan ini dapal pula bertindak sebagai badan yang menerima pengaduan lentang perbuatan yang melanggar "asas-asas proses peradilan yang baik" (fair process). (3) Membentuk suatu komisi independen yang akan menyusun suatu rancangan "tata cara secara rinci lentang: rekrutmen, seleksi, evaluasi, mutasi dan promosl hakim. Rancangan 1111 akan disebarluaskan kepada para hakim untuk memperoleh kritik, saran dan tambahan-tambahan (amandemen). (4) Bekerjasama dengan satu atau lebih fakultas hukum untuk menyelenggarakan pertemuan berkala antara pengurus berbagai organisasi profesi hukum , dalam penyusunan program-program pemulihan kepercayaan masyarakat pada hukum dan penegakkan hukum . (5) Melakukan modernisasi proses peradilan dan bad an peradilan, melalui sejumlah program yang tersusun dalam suatu "cetak-biru" (blue print) rencana jangka pendek dan jangka panjang , untuk menegakkan kembali citra kekuasan kehakiman dan memulihkan kembali peranan peradilan dalam negara Indonesia Baru". (6) Pemberdayaan dan reformasi organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) , sehingga menjadi orgal1lsasl independen yang dapat membantu reformasi yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama dengan pemerintah dan DPR.
Nomor 3 Tahun XXXI
206
Hukllln dan Pembangllnan
Daftar Pustaka Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (Kerjasama dengan Mochtar, Karuwin & Komar) ([999). Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: CYBER consult. Atiyah, P.S. (1995), Law and Modern Society. New York: Oxford University Press (Second Edition). Badan Pembinaan Hukum Nasional (1999). "Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional ke-VII". Jakarta: 12-15 Oktober 1999. International Commission of Jurist (1999). Ruler's Law: Mission to Indonesia, Switzerland: ICJ. Komisi Hukum Nasional (2001). Laporan Kegiatan TalLun 2000. Jakana : KHN. Mardjono Reksodiputro (1999). "Kekllasaan Kehakiman Dafam Era Reformasi: Peranan Pengadilan Dalam Negara Berdasarkan Atas Hukum" Jakarta: 3 Maret 1999.
Iuli - September 200]