Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
Hendar Putranto, M.Hum
ikasikan Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan ndidikan Hendar Putranto, M.Hum Universitas Multimedia Nusantara erang Jl. Boulevard, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang 800 Telp. (021) 54220808 / 37039777, Fax. (021) 54220800 email :
[email protected] Abstracts: Play is an indispensable dimension to successful and integral education. Nevertheless, ion. N everthelesss, ourr al reasons behin bbehind be ehin hindd culture today tends to neglect play as its constitutive element. There are severa several the negligence of play within our educational realm. This writing would refresh ld ref fresh the way we GLWVLP PSRUWDQWUROHLQ WKLQNDERXWSOD\LWVDQWKURSRORJLFDODQGSKLORVRSKLFDOVLJQL¿FDQFHDQGLWVLPSRUWDQWUROHLQ shaping child’s character in positive and substantial ways before embarking years king into to o mature yea ars as an adult. We also look at why and how we should communicate values ues of play pllay to students studen nts (within the context of the classroom) and to larger audience (within thee context off daily lif life). fe). ) Some examples taken as role models of play in local context (Laskar Pelangi) and d in educational realm would strengthen the main argument of the writing. Kata Kunci: media communication, intellectual characters, education. Pengantar Tulisan ini berangkat dari pengamatan, pengalaman, dan keprihatinan penulis akan tiga hal berikut ini, yaitu (1) ruang bermain permainan tradisional bagi anak-anak di kota-kota besar nampak semakin menyempit dan sebagai gantinya menjamurlah ruang-ruang transaksi bisnis seperti pusat-pusat perbelanjaan, shopping mall, dan juga ruang-ruang bermain kontemporer seperti Dunia Fantasi, Time Zone, play station, dan warung internet; (2) berangkat dari pengalaman penulis yang mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya (periode 2003 – 2008), metode ‘bermain’ di dalam pelajaran nampaknya bukan lagi merupakan metode yang diakrabi oleh para siswa. Selain itu, keterlibatan siswa di dalam ‘bermain sebagai metode belajar’ juga terlihat kurang menunjukkan dimensi spontanitas serta keriangan yang alamiah; (3) tuntutan skor hasil belajar yang bagus (rapor) serta indeks prestasi yang tinggi, yang secara sedemikian sistematis dan konstan digenjot oleh lembaga-lembaga pen-
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
didikan sejak jenjang pendidikan endidikan formal yang paling rendah hingga jenjang enjang perguruan tinggi, ikut berperan memengaruhi engaruhi para peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang sisi ribaadi yan a g di satu u si isi teramat kompetitif dan cer cerdas dimensi rdas ddalam alam dim mensii kognisi dan kalkulasi. Nam Namun, mun, ddii sisi lain mis-kin dalam imajinasi, afeksi dan compassion fekssi da an compas ssion n terhadap lingkungan sekitarnya. kitaarnyaa. Untuk memahami sebaran pengalaami seba aran pen ngalaaman, pengamatan, sertaa kepr keprihatinan atas prihatin pr tiinan n ddii ata tas ta sekaligus menggali lebih alternatif h dalam al lter erna ernat natif nat iff yyang ang mungkin dikembangkan n untuk mengimbangi model pendidikan dengan skor serta an ori oorientasi ent n asi si sk kor o ser se e taa pencapaian akademis yang tetapi cendang ttinggi, ingg ggi, tet etapi a ce ap endmenssi afek aafeksi, fe si, i im majinas n i, erung mengabaikan dimensi imajinasi, dan bela rasa (compassion), on), penulis berikhtiar mengajukan sebuah tesis bahwa pensis yai yyaitu ya tu bah ah hwaa pen endidikan yang mengabaikan, kan n, ddalam alam ala m aarti rti ku kkurang ran ng dapat mengomunikasikan, kan, dimensi bermain, baik secara hakiki (by natu nature) maupun ure) re ma m up upu p n ssecara ecaaraa operasional (by practice), bukanlah wajah ce)), buk bu anl nlah waj jah pendidikan yang mampu mengembangkan mpu u me mengemba mbangkkan manusia menjadi sosok yang utuh dan manusiawi. Guna mengakui dan menerima pent 52
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
ingnya bermain dalam pendidikan, tidak bisa menerima, dan tidak kita harus mengenali, men sejumlah nilai yang termengomunikasikan se NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿NDQEDLNGDODPNRQVHS NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿ NDQ bermain itu sendiri. Oleh maupun pun un aktivitas ber karenanya, menguatkan tesis di atas, karenanya yaa, uuntuk ntuk me berturut-turut akan membahas penulis secara secaara r berturu antara bermain (play) dan games, (1) distingsi an ntara ber dan kompetisi ((2) 2) dimensi pembentukan bermain, karakter dari berm main, (3) dimensi antropoloJLVOHELKWHSDWQ\DDQWURSRORJL¿ORVR¿V GDUL JLVOHELKWHSDWQ\D DDQ bermain yang melihat melih ih hat kodrat manusia sebagai ludens), (4) upaya makhluk bermain (h ((homo o bermain yang sukontekstualisasi nilai-nilai nil illaidah dibahas di bagian bag gian (1), (2) dan (3), yang novel Laskar Pelangi, penulis temukan da da dalam catatan dan (5) sebuah cat atatan penutup yang berfungat si sebagai ekskursus ekskkursus sekaligus kesimpulan dari penulis. Bermain (Play), Games, Distingsi antara antara Ber Kompetisi dan Ko ompetisi KHPDW SHQXOLV PHQGH¿Q0HQXUXW KHP dan ‘permainan’ iisikan sikan ‘bermain’ (play) (p ¿ORVR¿V EXNDQODK KDO \DQJ JDPHV VHFDUD ¿ORVR mengatakan mustahil . mudah, untuk tidak m :LNLSHGLDPHQDZDUNDQGH¿QLVLEHULNXWXQWXN :LNLSHGLDPHQDZDUND permainan: “Permainan merupakan sebuah pe per m nan: “Per mai Permai Per m n aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenangaktivi viit rekre vitas easi den mengisi waktu senang,, m eng gisi w akt luang, atau berolahringan. Permainan ragaa ring r gan. a P erm main biasanya dilakukan sendiri Sementara itu, sendir dirii aatau tau au u bbersama-sama.” ersaamaGH¿QLVL GH¿Q QLVL EEHUPDLQ HUP PDLQ \\DQJ DQJ PXQJNLQ DGDODK µDNtivitas manusia yang melibatkan segi kognitif, tivit tas manu nusia yan nu ng m DIHNWLI GDQ DIHN NWLI GDQ Q NL NNLQHWLN QHWWLN DDWDX PRWRULN¶ 'H¿QLVL permainan di atas bisa jadi terlabbermain ber main dan permaina lu lebar, atau bahkan bbelum mengatakan apaapa apa. pa. Jika Jikaa di ddipersempit perrsem sempit llagi, ‘bermain’ mungkin ELVD GLGH¿QLVLNDQ VHEDJDL µNHJLDWDQ PDQXVLD ELV VD GLGH GH¿QL GH ¿Q VLN LNDQ LN DQ VHE DQ yang oleh aturan-aturan tertentu yang yan g dibatasi diba i tasi ol ib l h atur leh sifatnya mengikat para partisipan yang berada dalam ddii dal alam aarena al rena naa keg kkegiatan iat tersebut, dan hanya sejauh sej ejauh ej auh mereka meerek ka berada ber da di dalamnya dengan tubera (having fun).” juan untuk bersenang-senang bersenang 1DPXQVD\DQJQ\DGH¿QLVLVHPDFDPLQLSXQ 1 1DP XQ VD XQ V \DQJQ\ JQ\DGH JQ\ masih nampak ma mas m a ih h nam aam mpak ak kkurang uran memadai, terutama yang bberkenaan erk kenaan den ddengan ga tujuannya (yaitu bersenang-senang). Satu keberatan yang dapat
53
Hendar Putranto, M.Hum
PXQFXODWDVGH¿QLVL\DQJEDUXVDMDGLDMXNDQ adalah, bukankah bermain juga mempunyai tujuan pedagogis dan pembentukan karakter bagi para partisipannya, dan tidak hanya melulu untuk tujuan ‘bersenang-senang’? Seorang pemikir sosial kontemporer asal Polandia, Zygmunt Bauman (kelahiran 1925), mencoba menarik garis distingsi antara konsep bermain (play) dan permainan (games). Pembedaan play dengan games yang dibuatnya tidak bisa dilepaskan dari kerangka besar pembedaan antara modernitas dan pascamodernitas sebagai kerangka berpikir, merasa, bertindak, dan menilai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kolektivitas yang lebih luas. Menurut Bauman, dunia dan kerangka berpikir modern cenderung dipandu oleh hukum (law), yang ditengarai sebagai buah pencapaian dari kerja akal budi. Sementara itu, dunia dan kerangka berpikir pascamodern tidak lagi melulu diatur oleh hukum, tetapi juga oleh aturan (rule). Secara kualitatif, ada perbedaan antara hukum dan aturan. Hukum bersifat menekan, memaksa, dan melarang. Hukum merupakan benchmark (tolok ukur) yang tetap menyisakan ruang atau celah untuk dilanggar dan dilampaui (transgression), sekaligus diwacanakan kembali. Sementara, aturan tidaklah demikian. Aturan memang membatasi, tetapi ia tidak memaksa. Aturan diciptakan untuk membuat sebuah permainan (games) menjadi lancar dan menarik. Mengingat sifat permainan yang siklis dan berulang (tidak ada permainan yang dilakukan hanya sekali), maka yang ada hanyalah atau ‘berada dalam permainan’ (being in the game) atau ‘meninggalkan gelanggang permainan.’ Selain pengertian di atas, kita juga mengetahui bahwasanya hukum itu mengikat semua orang tanpa pandang bulu, sementara aturan hanya berlaku di dalam permainan dan mengikat pemain yang ikut bermain. Setelah permainan usai, para pemain tidak lagi terikat dengan aturan tersebut. Tidak ada aturan permainan yang sifatnya universal melampaui ruang dan waktu, adat dan kebiasaan, budaya dan konteks sosial. Aturan tidak berpretensi
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang (apalagi seluruh umat manusia) dalam terminologi dan terma persyaratan (terms of condition) universal, yang tidak bisa dirundingkan, yang memaksa dan mengeksklusi. Semesta aturan adalah kemajemukan permainan; banyak permainan dengan beraneka macam aturan. Dalam dunia kontemporer, yang oleh Bauman dilihat sebagai dunia pascamodern, kemungkinan seperangkat aturan untuk bersinggungan dan menghasilkan sesuatu yang baru amatlah besar. Permainan menjanjikan kesempatan untuk kembali (bermain) secara berulang-ulang. Contohnya: pertandingan tenis yang mempertemukan jagoan tenis tunggal putra era 90-an yang sudah ‘pensiun’ pada 2002, Pete Sampras, dengan kampiun tenis tunggal putra era 2000, Roger Federer, yang berlangsung di Madison Square Garden, New York (AS), pada Senin 10 Maret 2008 yang lalu, adalah contoh di mana permainan selalu menjanjikan kesempatan bagi para pemainnya untuk kembali secara berulang, meskipun yang satu (Pete Sampras) sudah cukup lama meninggalkan gelanggang permainan tenis tunggal putra profesional, sementara yang satunya (Roger Federer) sampai tulisan ini dibuat masih tetap aktif bermain sebagai pemain tenis profesional. Jika dilihat dari tujuannya, maka permainan bisa dilihat sebagai desain kegiatan yang tidak mendeterminasi tujuan-tujuannya secara objektif. Permainan adalah soal kelenWXUDQÀH[LELOLW\ GDQNHFDNDSDQ\DQJGLSHUDgakan (demonstrated skill). Para pemain tidak menentukan hasil akhir dari permainan yang mereka ikuti. Namun, setiap gerakan mereka tidak luput dari konsekuensi yang tidak bisa mereka prediksi dan rencanakan sebelum masuk ke gelanggang permainan. Dalam dunia permainan, kaitan sebab-akibat antara gugus tindakan dan hasil yang diharapkan amatlah longgar, atau bersifat ’tak tertentukan’ (undecidables). Dunia permainan memang tidak menjanjikan rasa aman karena sifat predictability and calculability–nya yang relatif rendah. Namun, dunia permainan tak pelak lagi menjanjikan dunia sensasi dan kesenangan
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Hendar Putranto, M.Hum
yang silih berganti . Meskipun berjasa asa dalam membedakan ’bermain’ dengan ’permainan’, Bauman tidak secara tegas menarik arik garis demarkasi dii ih menyoroti karakt akt kterkt antara keduanya. Ia lebih karakteristik permainan (games), tempatkan s), yang ia tem mpat patkan cok dijadika an pparadigaraddigsebagai model yang cocok dijadikan esar pascam amoderniitas am t . ma dalam kerangka besar pascamodernitas. 1RQNRQVHNXHQVLDOLVÀHNVLELOLWDVWHULNDWDWXHNVLELOLWDV DV WHULNDWDWXDV ran, tetapi tidak memaksa, menjanjikan ksa, dan m enjanjikan kesenangan serta sensasi beberapa si adalah be eberapa ciri khas permainan yang berhasi berhasil il di ddigarisbawahi igarisbaw bawahi baw ahii Bauman. Walaupun demikian, mikiann, bermainn seba-gai aktivitas dan permainan ainan n sebagai ben bbentuk entuk tuk k konkret dari aktivitas tersebut menurut ersebu ut m enurut hemat penulis bukan hanya menjanjikan enjanjik ikan kesenangan ik dan sensasi yang tak terkatakan datang erkatakaan serta data ang silih-berganti. Bermain juga mer merupakan ’patarupakan ’pa atahan’ (break) dari dunia rutinitas ddan regularian regular ariiar tas yang mencekik dan membosankan. n membosan an nkan. Bermain menawarkan saat ajaib bagi kkita itt untuk ita memulihkan diri dari hingar-bingar ngar-bingar kompetisi komp mpetisi mp dan hasrat akan pencapaian paian dengan ratusan an n target-target serta jejalan n jadwal dan appointment. Pengamatan yang ng tajam dari Al Gini kurang lebih merangkum um pokok ini, ”Untuk bisa melakukan segala sesuatunya denegalaa ssesu e atunya de den ngan baik, Anda harus punya waktu unyya wa aktu lepass darii apapun yang sedang Andaa kerjakan. keerjakan. Waktu Waktu u senggang untuk tidak te terus-menerus erus-m menerus mel-akukannya. Waktu untuk memulihkan tukk me emulihkan dirii dan berelaksasi. Waktu unt untuk melakukan nttuk m elakukan n hall lain. Waktu untuk melupakannya sejenak. elupa pakan pa nnya n ny se ejen je ak je k. k. Kita adalah orang-orang yang mencari ng yan an ng m encari sa ssaat at menjadi malas atau bermalas-malasan, rmalas-mallasan, untuk menikmati istirahat sebagai agai obat alamiah atas kelelahan dan frustrasi ker kerja. Menjadi malas, rja. j Me M nja jadii mal aallas, s,, tanpa beban tugas apapun harus dikerpunn yyang ang ng har ng arus ar uuss dik ik kerjakan, tidak melakukan apa-apa adalah n apaa apa adala l h prasyarat. Namun, bukan kondisi yang g memadai untuk mencapai waktu yang ktu u lu luang an ya ang ang ssejati, ejati at , at genuine leisure.” Dalam amatan Gini m am mata atann G at ini di d atas, as, ia melihat bermain sebagai agai aktivitas yang tak bisa dipisahkan dari bermalas-malasan rmal allas as-mal asm asa as n ((idle). idle). e)). e). Gini menempatkan bermain sebagai rmain ain in sse ebag gai bbagian agian an dari kodrat manusia sebagai makhluk bagai makhl luk k sosial i l an sesamanya. Waktu yang berinteraksi dengan
54
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
senggang adalah ruang di mana bermain mendapatkan tempatnya yang tepat, sementara waktu kerja cenderung berseberangan dengan bermain cenderung waktu senggang sehingga wak sehin dilihat distraksi saja. Keutamaan dari diliha at ssebagai ebagai distrak sebagai pengisi waktu sengaktivitas be bbermain ermain seba counter-balance dari keutamaan gang adalah h counter-b produktif, kompetitif, sekerja yang adalah ada d ah pro dal da ULXVH¿VLHQHIHNWLIWHUHQFDQDGDQWHUNRQWURO ULXVH¿VLHQHIHN HN NWLIWH dilakukan Penelitian yang di ilakuk oleh Maxine Sheetshakikat dan pentJohnstone mengeksplorasi mengek e pl eks ek bagi ingnya bermain ba agi anak-anak dan remaja juga menengarai adanya awal. Selain itu, iaa ju lanjut kebutuhan lebih lan njut untuk melindungi berprematur dunia kompetisi main dari serbuan pre yang menjadi ciri kkhas ha orang dewasa. MenuSheets-Johnstone, rut Sheets-Johnsto to one, dunia kompetisi adalah penyimpangan sebentuk penyim mpang dari hakikat bermain Mengikuti itu sendiri. Me engi n kut saran dari ahli etoloBlurton , Sheets-Johnstone gis Inggris Bl Blu rton Jones Jo PHQJD¿UPDVL GH¿QLVL ¶EHUPDLQ¶ URXJK DQG PHQJD¿UPD P VL GH¿QLVL PD tumblee pplay) lay) sebagai suatu aktivitas yang melibatkan mel e iba el ib b tkan tujuh pola gerakan khas, yaitu berOODULNHMDUNHMDUDQFKDVLQJDQGÀHHLQJ EHUDULNHMDUNHMDUDQFK (jumping gulat (wrestling), melompat-lompat melo both feet together), saling up and down with bot memukul dengan tangan tang terbuka, tetapi bukan benar-benar memukul ben benarena benar mem emukul (beating at each other em without actually hitting), with aan n open ha hhand nd dw memukul teman dengan menggunamemuku ku tem kul ku man bbermain erm kan oobjek, bjek k, ttetapi etaapi bbukan ukan benar-benar memukul (beating each (bea ating ng att eea eac ch oother ther with an object but not hitting) tertawa riang. hitti ing) dan da te da ertaw wa ria Dari pengamatan Sheets-Johnstone, Dar ari peng ar gama bermain jjenis jen iss bermai in rrough oug ug ugh g aand tumble ini, semakin mendapat tempat dalam iklim komkkurang kur ang menda patt tem petisi, seperti games game competition, sports competition, Bermain rough com compet omp iti tion, ti io da dan an sseterusnya. ete tumble and d tumbl mblee yyang mbl ang ti ttidak dak mengutamakan target dan tujuan tujua j n pencapaian, penc ncapaia cenderung semakin nc anak. Sheetsberkurang g dalam permainan per Johnstone prihatin melihat semangat berkomJoh o nst s onee priha hati ha tin me ti petisi sering disuntikkan ke dalam perpet etisi et isi yang n ser ng ering ing ng disu mainan anak, karena, menurutnya, kompetisi mempercepat motivasi m emper perce pe cepat mot ce mo ivas dan tingkat kepuasan yang anak melampaui usianya. Keya yan g diperoleh dipe iper eroleh h ana an km tika akan dominasi, mentik ka hhasrat asrat aka k n kkekuasaan, eku jadi nomor satu dan tak ta terkalahkan, menjadi
55
Hendar Putranto, M.Hum
tenar dan dipuja, mendasari motivasi seorang anak untuk bermain, maka kemenangan demi kemenangan menjadi tujuan sekaligus pembenaran rasa harga diri yang muncul melebihi teman-teman sepermainannya sekaligus rasa menjadi lebih tinggi (superioritas). Kompetisi yang dipaksakan masuk dalam dunia bermain anak pada gilirannya akan menciptakan atPRV¿U\DQJNXUDQJVHKDWGDODPXSD\DSHPbentukan karakter si anak tersebut, terutama karakter sosialnya. Berbicara tentang dimensi pembentukan karakter yang bisa kita dapat dari aktivitas bermain, ada baiknya penulis menyampaikannya secara tersendiri di bawah ini berdasarkan KDVLOSHQJDPDWDQSHQJXMLDQGDQUHÀHNVLSHnulis selama menjadi seorang pendidik. Dimensi Pembentukan Karakter dari Bermain Berdasarkan pengamatan dan uji coba di lapangan, baik di dalam maupun di luar ruang kelas, yang dilakukan oleh penulis selama kurang lebih 5 tahun, penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa sejumlah mata pelajaran pengembangan kepribadian (seperti agama, bimbingan konseling, kewarganegaraan, kajian lintas-budaya atau multikulturalisme) akan lebih efektif penyampaian pesannya jika menggunakan metode bermain atau dinamika kelompok. Mungkin kesimpulan yang penulis sebutkan di atas bukanlah suatu temuan yang baru dan bersifat terobosan. Namun, penulis WHWDS PHUDVD WHUJHUDN XQWXN PHUHÀHNVLNDQ sedikitnya lima nilai utama yang kerap muncul saat terjadi interaksi antara pengajar (guru, dosen, pelatih) dan siswa yang diajar dalam model permainan. Nilai yang pertama adalah keriangan (joy). Saat bermain, terutama bermain dengan penuh gerakan dan ekspresi suara maupun visual, para partisipan melebur dalam suatu suasana yang diwarnai keriangan. Keriangan adalah kondisi yang niscaya perlu ada dan diciptakan agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan nilai-nilai yang mau disampaikan lewat bermain dapat tertanam dalam benak partisipan atau peserta didik.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
Dengan menjadi riang, pesan-pesan yang mau disampaikan oleh pengajar akan terserap secara lebih efektif oleh peserta didik. Suasana hati yang riang-gembira akan membuka budi dan hati peserta didik sehingga aturan tidak lagi dirasakan mengekang dan tuntutan untuk menjadi lebih (lebih baik, lebih disiplin, lebih berbagi dengan temannya) tidak lagi dirasakan sebagai beban. Dengan belajar sambil bermain, keriangan niscaya akan menjadi atmosfer yang dominan, kecurigaan serta prasangka negatif menjadi terkikis dan partisipan menjadi lebih siap untuk diisi pengetahuannya maupun diasah ketajaman hati nuraninya. Nilai yang kedua adalah partisipasi yang lebih penuh. Acapkali dijumpai dalam proses belajar mengajar di ruang kelas, ada sejumlah siswa yang tidak mengikuti pelajaran dengan sepenuh hati. Ada sebagian siswa yang terkantuk-kantuk bahkan tidur, ada juga yang sibuk sendiri (corat-coret, menggambar, smsan), ada yang bengong, ada yang mengobrol dengan teman sebelahnya, ada juga yang membaca buku atau majalah yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran yang sedang diaMDUNDQ6DODKVDWXUHÀHNVLSHQXOLVWHQWDQJVLWuasi semacam ini adalah karena adanya ’jarak’ yang tercipta antara bahan ajar dengan hidup mereka sehari-hari. Yang dimaksud dengan ’jarak’ di sini bukanlah jarak dalam arti spaVLDOJHRJUD¿V WHWDSL MDUDN NRJQLWLI GDQ MDUDN dalam arti keterlibatan emosional-motorik. Menarik jarak, dalam arti tertentu, memang diperlukan agar seseorang dapat mengamati JHMDODGHQJDQOHELKFHUPDWGDQPHUHÀHNVLNDQnya (sebagaimana nampak dalam pelajaran sains yang dilakukan di laboratorium, ataupun dalam pelajaran-pelajaran ilmu sosial yang menganalisis gejala sosial-kemasyarakatan). Namun, keberjarakan yang terlalu lebar, tanpa adanya ikhtiar untuk menjembatani, dapat memunculkan perasaan bosan dan terasing dalam diri peserta didik sehingga mereka lalu cenderung mengacuhkan pentingnya pesan yang mau disampaikan oleh pengajar. Lewat bermain, keberjarakan yang dapat berefek pada keterasingan siswa didik dari materi ajar ini diharapkan dapat dijembatani. Setelah di-
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Hendar Putranto, M.Hum
jembatani, tentunya juga diharapkan ada peningkatan kadar partisipasi asi peserta didik dalam mengenali dan menguasai sai bahan ajar menjadi lebih penuh. ga adalah pengena nallan na la Nilai yang ketiga pengenalan tubuh, baik segi kerapuhan uhan maupun ke kkekuaekua k an kebertub buha u n aadadatannya. Nilai pengenalan kebertubuhan ngkin jaran an ng disad ddisadari dari lah sesuatu yang mungkin jarang dan dieksplisitkan oleh h para ppendidik. endidik. Tung asing da alam model buh menjadi sesuatu yang dalam kurikulum yang menekankan aspek ankan aspe ek pengemembangan af emb afekt ektif ekt iff bangan kognitif di atas penge pengembangan afektif dan volutif (dimensi psiko-motorik). Padahal, iko-m mo motorik). mo Pa adahal,, ain lebih m elibat-kita semua tahu bahwa berma bermain melibatkan aspek emosi dan gerakan. Lewat rakan.. L ewat bermain, k untu uk kkembali embali menpara peserta didik diajak untuk gan seg gala kerapuh han gakrabi tubuhnya, dengan segala kerapuhan atan (agilit ty), ataupun kekuatannya. Keceka Kecekatan (agility), PRE LOLWDV GGDQ DQ DQ VSRQWDQLWDV GDQ JHUDN UHÀHNV PR PRELOLWDV adi beberapaa to ttolok lok ukur ketangguhan bisa menjadi aga g imana bagi partisipan untuk mengenali bag bagaimana tubuh merespon aturan main dan tujuann ddari ari mbodied learning at tau u bermain itu sendiri. Embodied atau proses pembelajaran yang ang peka terhadap didalah suatu paradigma mensi kebertubuhan adalah psi dalam proses belayang baik untuk diadopsi jar. mpat ada adalah kerja sa ad ama m Nilai yang keempat sama erma main dal ddalam am ke elom-(team-work). Lewat bermain kelomtihkkan kkemampuan emampuaan se-pok, sekaligus juga dilatihkan am tim m atau ke elom-seorang untuk bekerja dala dalam kelomalam m pengertia an ” pok. Intelegensi sosiall da dalam pengertian up ru ukun n dengan oorang rangg Kemampuan untuk hidup rukun th ot thers) s)) dan m ampu amp mpu lain (get along well with others) mampu kerja sam sa a” denga n n nga mengajak mereka bekerja sama” dengan aja j m ddalam sendirinya akan diasah dan dipert dipertajam situasi bermain. Kerja sama dalam bermain orrtif t da ddalam lam am m ar rti t men m adalah kerja sama yang spor sportif arti men-ujuran ra da ddan n ppengakuan engaku en kuan ku junjung tinggi nilai kejujuran kkekalahan kallaha h n yang akan arti kemenangan dan ke tuasi dan suasana perfair. Berbeda dengan situasi am bi bbidang id ng ida id g kog o nit ittif saingan di ruang kelas dala dalam kognitif ukan an n ole olehh nila ol nnilai ilaii rapo ila rrapor) or) (misalnya: yang ditentukan ksklusi satu sama lain, yang cenderung mengeksklusi main in n me m njaadi akt aaktiviivi vivi kerja sama dalam bermain menjadi tuj ujuan uj u ya yyang ng g leb bih tas yang luhur karena ada ’’tujuan lebih ang mengarah hkannya, tinggi’ (a higher end) yang mengarahkannya, yaitu ide bahwa manusiaa adalah makhluk so
56
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
sial, dan bukan melulu makhluk individual. bermain akan nampak lebih Kerja sama dalam berm karakternya cemerlang dimensi pembentukan pe jika jik ikaa pprioritas rioritas diberikan pada permainan dalam kelompok. kelomp mpok. mp Nilai N Nil ai yang kkelima adalah otonomi otentisitas. Otonomi (dari akar kasekaligus ot tent e isitas. O artinya diri dan nomos yang arttanya auto- ar art rtiny i a di sini terutama dimengerti inya hukum) di sin dalam arti kemampuan kemam mpuan seorang individu yang membuat keputusan (decirasional untuk m em yang sion). Otonomi yan ng ddilatihkan dalam proses partisipan mengenali dibermain membuat pa rinya sendiri, mengenali menggena kapabilitasnya untuk Seseorang dilatih menjadi diri yang otentik. ote untuk berpegang tteguh egu pada prinsip-prinsip dibatinkannya (stay true to one’s yang sudah dibati tin inkan principles) ketika ketik ik ka ia ”dicemplungkan” ke dalam situasi bbermain ermain karena dalam bermain, diperkenankan ia tidak diper erkenanka untuk memanipulasi er bermainnya, maupun dirinya baik hasil, l,, rekan re berm Berhadapan dengan aturan main yang sendiri. i.. B erhadapan de tidak seorang partisipan dalam tid dak ia buat sendiri, se dalam matra otonomi dan bbermain ermain bergerak dal heteronomi. Disebut ootonomi karena dengan kemampuan rasional rasionalitasnya, pemain akan mengikuti koridor yang memutuskan untuk m sudah ditetapkan ia sendiri menjadi sud udah ud a ditetapka kann ttanpa ka an dilumpuhkan koridor tersebut. dilump mpuhkan ole mp ooleh h aadanya d Disebut Disebu ut heteronomi hetero onom mi kkarena aturan main dari permainan yang ikuti (kemungkinan besar) permai ma nan an yan ng iaa iku bukanlah aturan main bukanl anl nllah a at atu turaan m ain yang ia tetapkan sendiri, melainkan melai aiinka n n aatau tau u be berupa kesepakatan yang dibuat sebelum mulai dibu uat sebe be um m be bel ulai bermain, atau sesuatu yyang yan g sudah sudahh tterberi erbeeri ((given). Setiap momen kkeputusan kep utusan (apakah (apak kah itu berlari, atau mencegat pemain lawan, atau memberi operan, melompat ata atau t um elo lompa lompa mpatt atau ata tterjatuh sebagai strategi bermain) moment di mana si pemain ber rmain) n) ada aadalah d lah mo m m menjad di semakin ki otent kin menjadi otentik dengan memutuskan untuk dirinya sendiri. Dampak dari keputusan a ya an yang ddibuat ibuat at si s pem pemain akan memengaruhi baik bai aikk ddirinya ai n ssendiri, end ndiri, kelompoknya, maupun kelancaran bermain ba bagi semua yang terlibat bermain ddalam dal am m ber ermai er m n te ttersebut. ersebu Nilai yan Nil yangg kkeenam e adalah kebebasan. K ebeb b basan dii sini bisa dimengerti secara Kebebasan positif yaitu dalam arti penentuan diri (self-de-
57
Hendar Putranto, M.Hum
termination), alih-alih selalu diatur dan ditentukan dari luar dirinya (misalnya: oleh guru, oleh buku, oleh orangtua, dan oleh media). Kebebasan adalah sesuatu yang dirindukan (dimensi batin atau spiritual) sekaligus perlu diupayakan perwujudan atau materialisasinya dalam ruang maupun aktivitas bermain. Kebebasan menjadi conditio sine qua non (kondisi niscaya) dari para pemain untuk mengaktualisasikan dirinya dalam bermain. Kebebasan dalam arti nonintervensi juga harus dijaga baik sebelum, selama maupun sesudah bermain (sehingga nantinya tidak dijumpai lagi skandal pengaturan skor atau pemain yang disuap oleh sponsor untuk ’mengalah’). Kebebasan dalam bermain bukan berarti kebebasan semau gue karena matra kebebasan (individu) sudah selalu mengandaikan adanya kebebasan yang lain yang juga memunyai dan sedang mengaktualisasikan kebebasannya. Maka, lebih tepat jika dikatakan bahwa dalam bermain, kebebasan yang dianut dan dipraktikkan adalah kebebasan yang berlandaskan nilainilai tanggung jawab dan respek atau saling menghormati. Tanpa dilandasi nilai-nilai ini, kebebasan dapat menjadi senjata mematikan dan permainan adalah ajang kekacauan. .HHQDP QLODL \DQJ SHQXOLV UHÀHNVLkan di atas sifatnya saling melengkapi, dan bukan saling menegasi. Artinya, antara satu nilai dengan nilai yang lain ada dalam ikatan yang saling mengandaikan. Meskipun di permukaan mungkin nampak bertabrakan (misalnya, antara otonomi dan otentisitas dengan team-work). Namun, sejatinya mereka sudah saling mengandaikan dan saling menguatkan untuk membuat bermain menjadi sarana unggul bagi pengembangan karakter. Dalam pemikiran yang kurang lebih senada GHQJDQUHÀHNVLSHQXOLVGLDWDV%ULDQ(GPLVton dalam bukunya Forming Ethical Identities in Early Childhood Play (2008), berpendapat bahwa bermain bisa menjadi sebuah model alternatif pedagogis yang bertujuan untuk membentuk identitas diri anak yang sedang berkembang menuju dewasa. Edmiston mengatakan, ”Bermain sebagai sebuah pedagogi etis dalam konteks pengasuhan anak usia dini
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
(early childcare setting) menciptakan ruang yang mendukung kerja sama antara anak dan orang dewasa untuk membentuk identitas diri yang etis. Praktik yang bisa dikembangkan dari model pedagogi ini mensyaratkan adanya suatu kebiasaan mendengarkan dan berdialog.” Tentang kebiasaan mendengarkan dan berdialog ini, menurut penulis, adalah kunci untuk membuat kita tetap menjadi manusia yang sehat dan waras, yang terbuka terhadap masukan dan kritik, sejauh memang mengembangkan kemanusiaan kita, seperti disindir oleh puisi yang penulis jadikan rangkuman dari bagian ini. Puisi yang berjudul ”Brueghel’s Two Monkeys” ini merupakan karya pujangga perempuan kelahiran Polandia yang meraih penghargaan Nobel Sastra tahun 1996, Wislawa Szymborska. Dalam puisinya ini, Szymborska melukiskan suasana keterkekangan siswa yang berupaya menjawab soal ujian sejarah Umat Manusia, sampai ia harus disenggol (diberitahu) oleh seekor monyet yang dirantai. Nampak jelas dalam puisi ini bahwa Szymborska menyoroti secara ironis dimensi bermain dalam setting belajar dan ujian yang serius. Berikut larik puisinya, “Inilah yang kulihat dalam mimpiku tentang ujian akhir: Dua ekor monyet, dirantai ke lantai, duduk di selasar jendela, Langit di belakang mereka meningkah lincah dan segara sedang mandi Mata Ujiannya adalah Sejarah Umat Manusia Aku tergagap dan mengelak Seekor monyet menatap tajam dan mendengarkan dengan pandang mengejek Yang lainnya nampak sedang melamun Namun ketika sudah menjadi jelas aku tak tahu apa yang harus kukatakan Ia menyenggolku dengan lembut ditingkahi bunyi dencing rantainya.” 'LPHQVL$QWURSRORJLV)LORVR¿V%HUPDLQ Ada sebuah pepatah terkenal dalam bahasa Inggris yang berbunyi sebagai berikut, “all work and no play makes Jack a dull boy”. Kurang lebih bila terjemahannya ke dalam ba-
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Hendar Putranto, M.Hum
hasa Indonesia akan berbunyi sebagai berikut: “banyak bekerja dan kurang rang bermain membuat Jack menjadi seorang anak nak yang tumpul.” Dari pepatah tersebut, tersirat at sebuah pesan moral all ntingnya menjaga ke kkessyang menganjurkan pentingnya eimbangan antara ‘bekerja’ diartierja’ (bisa jugaa ddiar ia timain sehingga g seor rang kan, ‘belajar’) dan bermain seorang n nnurani urani ddan an anak tetap memunyai kebeningan kecerdasan budi yang memamp memampukannya puk ukannya meng lebih utuh h. jadi sosok manusia yang utuh. Dalam bukunyaa Homo Ludens: a ment inn cculture, ulture, l JJohan ohann oha study of the play element Huizinga menekankan pentin pentingnya unsur ngnya unsu ur ber-n masy yarakat (th he pplay lay y main dalam budaya dan masyarakat (the ewat sstudi tudi komparatif element of culture). Lewat lakukaanny n a, Huizinga lintas budaya yang dilakukannya, an beru upa teori bahw wa sampai pada kesimpulan berupa bahwa si primerr dan nisca aya bermain adalah kondisi niscaya n sendiriny ya bisa dik ka(meskipun tidak dengan sendirinya dikaad dai’) untuk takan sebagai ‘kondisi yang memad memadai’) urutnya, “Ber rmai m n itu lahirnya budaya. Menurutnya, “Bermain lebih tua daripada munculnya culnya budaya ka karena kar nya yaa budaya selalu sudah mengandaikan adanya ang tidak menunggu masyarakat, dan binatang arkan kepada mereka manusia untuk mengajarkan ain.” Berdasarkan tebagaimana harus bermain.” muan-temuan tersebut, tidak mengherankan at kod odrat od r manusia se sseejika Huizinga mendaulat kodrat erm main” (homo lud dens,, bagai “manusia yang bermain” ludens, deree yan ng berarti ““berber-dari akar kata Latin ludere yang ut H uizzinga, berm main n main”). Masih menurut Huizinga, bermain kok, yaitu (1) ber-mempunyai 3 ciri-ciri pok pokok, 2)) ber rmain itu ttidak idak k main adalah kebebasan,, (2) bermain harii’ atau au hidup upp yang n ng identik dengan ‘sehari-hari’ erbe rb da dar rb ddarii hidu idu idup du ‘nyata’ dan (3) bermain itu be berbeda hidup empatnya. sehari-hari dalam arti durasi dan ttempatnya. snya ciri nomor 1, suCiri-ciri di atas, khususnya ba a ian an se ebel belumn umnya, umn a, dah penulis singgung di bag bagian sebelumnya, eduaa ddan an ket an ettiga ig da apatt sementara ciri yang kedua ketiga dapat aran r selan l jut j nya di dilacak jejaknya dalam papa paparan selanjutnya bawah ini. zinga nga ga te tenta ntang n kkodrat odrat ra ra Pandangan Huizinga tentang luk yang yan ang bbermain erm rmain rm ai dan ain daan manusia sebagai makhluk bahwa bermain adalah aktivitas manusia yang belum um m la llah a ir dan n mu unprimer dan niscaya sebelum lahir munyarak ara rakat, diku kuuatk kan culnya budaya serta masy masyarakat, dikuatkan nson, pengarang buku k oleh pendapat Joe Robinson, nah mengatakan Work to Live, yang pernah
58
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
bahwa “Hidup yang dihayati tanpa bermain atau waktu-senggang adalah hidup yang mistanpa adanya penemuan, kin akan tindakan, ta unsur dasar yang nampapertumbuhan, dan un per knya sudah suda u h kita lupak lupakan yaitu bersenang-senDQJ´3HQGDSDW5RELQVRQLQLMXJDGLD¿UPDVL DQJ´ 3HHQQGD G SDW5RELQ oleh tesis yan ang diajuka an yang diajukan Al Gini, yang mengatakan bahwa ““...juga ...juga meskipun kita mencintai pekerjaan kkita it dan dalam pekerjaan kita it ita menemukan kreativitas, sukses, tersebut kita men nemu Namun kita juga sangat dan kesenangan. Na menginginkan dann but butuh untuk tidak bekerja. apapun Tidak peduli apapu un yyang kita lakukan untuk memperoleh pengh hasi penghasilan, kita juga mencari relaksasi, dan moment diam waktu senggang, re elak sejenak. Kita semu mu m ua bbutuh lebih banyak lagi semua hidup bermain dalam hid id dup iini.” Dalam kkonteks ontek pengalaman estetis (experience off art), Hans-Georg Gadamer juga menggar ariisbawahi sentralitas konsep berar menggarisbawahi main. Den ngan mengg Dengan menggunakan metode hermeQHXWLND D ¿ D ¿ORVR¿V XQWX XQWXN VDPSDL SDGD SHPDhaman dan menyeluruh tentang ham am man yang tepat da manusia, Gadamer dalam pengalaman hidup ma bukunya Wahrheit und un Methode (Kebenaran dan Metode) meliha melihat bahwa ”Jika bermain hanya dimengerti sebagai seb bermain, ia tidakrelasi khusus lah ah serius. Bermain Bermai ma n mempunyai m dengan an keseriu usan n. Ke keseriusan. Keseriusanlah yang mempada sebagaimana dikaberi ’tujuan’ ’tuj ujju ’ pa ujuan ada bbermain, erm Aristoteles, takan an n olehh A riistoteeles, kita bermain ’untuk rekreasi’. Namun, bukan krea asii’. ’. Nam a un am un, bu ukan hanya tujuan ini yang membuat menjadi serius. Bermain mem mbuaat bbermain erm rmain rm n m dirinya sendiri mengandung keseriusan, padaa diriny nya ya sendi iri m bahkan keseriusan yang suci. Dalam bermain, bahk bah kan keser errius i an iu n yan yang menentukan eksemua relasi be bbertujuan rtujuan t sistensi aktif dan pedu peduli daripadanya ditunda, buk bukann ukan ya men en nghi gh lang Bermain memenuhi bukannya menghilang. tujuan u nya hanya nya ji jjika ka si pemain kehilangan tujuannya diri inya dala l m bbermain. ermain Keseriusan bukanlah dirinya dalam sesuatu yyang ang menjauh menjauhkan kita dari bermain. Namu Nam un seb e alikny eb knya, ke kny Namun sebaliknya, keseriusan dalam bermain ada dalah da lah ha al yyang an nniscaya ang isca untuk membuat beradalah hal main menjadi sungg sungguhan.” Dengan penuh kketelitian ket elitia tiann ddan tia ti an til tilikan yang mendalam, Gadam ame en enc n oba baa me m nye amerr m mencoba menyelamatkan konsep ”berPDLQ´ ´ EDL LN N GDUL GGDUL ´M ´´MDMDKDQ´ MDMD EDLN ¿OVDIDW NHVDGDUDQ rasionalistis yang suda sudah selalu menempatkan
59
Hendar Putranto, M.Hum
bermain sebagai ”efek dari intensi kesadaran VL SHPDLQ´ PDXSXQ GDUL WDQJNDSDQ ¿OVDIDW pascamodern yang cenderung menempatkan dan memperlakukan bermain sebagai ”mainmain.” Untuk merangkumnya, ada tiga hal yang secara eksplisit dapat kita tangkap dari paparan Gadamer tentang bermain, yaitu bahwa (1) Gadamer memberikan prioritas ontologis pada ”bermain” di atas ”kesadaran” dari ”yang bermain” (2) Gadamer juga menggarisbawahi pentingnya dimensi tujuan (telos) dari bermain, dan (3) dengan mempunyai tujuan dan status ontologis yang primer, maka bermain adalah aktivitas manusiawi yang serius sekaligus bermakna. Dari kedua tokoh di atas (Huizinga dan Gadamer) kita menemukan setidaknya dua pondasi untuk bermain, yang dicapai dengan menggunakan dua metode yang berbeda. Yang pertama adalah antropologis – kultural (Huizinga) dengan metode historis-kultural, yang kedua ontologis – estetis (Gadamer) GHQJDQ PHWRGH KHUPHQHXWLV¿ORVR¿V 3HQgukuhan pentingnya ”bermain” baik dalam ranah yang dekat dan sehari-hari maupun GDODP UDQDK DEVWUDN¿ORVR¿V PHPDPSXNDQ kita untuk bergerak melihat lebih jauh lagi tentang dimensi pedagogis dari bermain. 'DODP NRQWHNV ¿OVDIDW SHQGLGLNDQ konsep ”bermain” mendapatkan tempat yang cukup istimewa, khususnya dalam setting pendidikan di tahun-tahun awal (misalnya, di tingkat Taman Bermain dan Sekolah Dasar). Seorang pedagog kenamaan asal Amerika, R. F. Dearden, dalam bukunya Philosophy of Primary Education (1968) , mengatakan bahwa bermain memiliki tiga ide mendasar yang berbeda, tetapi saling terkait, yaitu (1) secara hakiki, bermain sifatnya tidak serius sehingga bermain kurang memunyai nilai etis dan kultural yang sungguhan, (2) bermain sifatnya cukup-diri (self-contained) sehingga ia berbeda dan terpisah dari dunia ’kewajiban, pertimbangan serta projek yang menyusun jejaring tujuan-tujuan yang serius dalam hidup seharihari’, (3) segi menarik dari bermain terletak pada unsur kesegeraannya (immediate in its
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
attractiveness). Dari ketiga ide besar yang mencirikan bermain di atas, yaitu tidak serius, cukup-diri serta menarik dalam kesegeraannya, Dearden nampak kurang mempertimbangkan dimensi nilai atau aksiologis dalam aktivitas bermain, juga dimensi keseriusan seperti disarankan oleh Gadamer, sebagaimana sudah penulis paparkan di bagian sebelumnya. Temuan yang kurang lebih sama, tetapi cenderung lebih bersifat personal dan individual, GLVDPSDLNDQ ROHK DKOL SHQGLGLNDQ ¿VLN GDQ rekreasional bernama Luther Halsey Gulick (1865 – 1918) dalam bukunya The Philosophy of Play . Dalam studinya tentang bermain, Gulick menemukan bahwa lewat bermain, ia dapat menemukan pintu masuk untuk mempelajari kemanusiaan itu sendiri. Menurutnya, bermain adalah ”Sesuatu yang baru terjadi jika orang sudah mempunyai makanan, tempat berlindung dan pakaian, juga terbebas dari rasa cemas, ketika kebutuhan-kebutuhan hidup jasmaniah untuk sementara dipindah dan roh manusia bebas untuk mencari pemenuhan kepuasannya. Itulah saat seseorang menjadi yang terbaik dari dirinya.” Gulick percaya bahwa ketersingkapan manusia akan menjadi lebih penuh lewat bermainnya, atau pada bagaimana ia menggunakan waktu luangnya. Inilah parameter yang diacu Gulick untuk melihat dan memahami kodrat manusia. Sejajar dengan pemahaman di atas, tetapi dengan menyertakan analisis yang lebih substanVLDO GDQ PHQGDODP VHRUDQJ ¿OVXI EHVDU -HUman G. W. F. Hegel pernah menyatakan dalam bukunya Philosophy of Right (Grundlinien der Philosophie des Rechts) bahwa anak adalah agen yang memiliki kehendak bebas, dan kehendak itu dimanifestasikan pertama-tama dalam keluarga, lalu dalam ranah masyarakat sipil. Mengenai ciri yang asali, yaitu kebebasan, Hegel mengatakan bahwa “Secara potensial, anak adalah makhluk yang bebas, dan hidup adalah perwujudan langsung dari kebebasan potensial ini. Karenanya, anak bukanlah benda atau barang, dan tidak bisa dikatakan bahwa anak menjadi milik orang tuanya atau siapapun yang lain. Namun demikian, kebebasan yang mereka miliki masih bersifat po-
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Hendar Putranto, M.Hum
tensial. Pendidikan anak yang terkait dengan kehidupan keluarga mempunyai empunyai dua tujuan yang saling terkait. Tujuannya ujuannya yang positif adalah untuk mengangkat at kodrat etis yang adaa dalam diri setiap anak menjadi sebuah pers perseprseeprs si langsung yang terbebas bas dari segalaa bbentuk en uk ent oposisi, dan karenanya memperoleh kedamah kedam maian pikiran, yang menjadi hidup jadi basiss ddari ari hi idup etis. Anak melewati tahun-tahun un-tahunn aawal wal hidupnya dalam cinta, kepercayaan, ayaan, dan kepatuhan. Tujuannya yang negatif mengangkat if adalah m engangkat si anak dari keadaan kodratinya sederodratin nya yang se ny seder derder hana, the natural simplicity, icity, menjadi ppribadi ribadii yang mandiri dan bebas, gilirans, dan ini pada ggi iliran-nya akan memampukan si ana anak ak meninggalkan kesatuan yang alamiah yang merupakan ciri khas keluarga.” Dari kutipan di atas, kitaa bisa langsu langsung ung menangkap bahwa Hegel menempatkan dinael menem mpat p kan dina nana mika aktualisasi kebebasan (yang asan anak (ya yan ya a g masih bersifat potensial) dalam am keluarga sebagai aanak k kondisi yang niscaya ada sebelum sii ana merealisasikan kebebasannya sannya dalam ruang ng g as, yaitu ruang publik kolektif yang lebih luas, bernama masyarakat sipil pil (civil society). Sewa cinta, kepercayaan, lain itu, sudah jelas bahwa dan kepatuhan adalah tiga keutamaan hidup keluarga yang memampukan tumbuh pukan an n si s anak tum mbuh bu ap dal a am men ngak-menjadi pribadi yang caka cakap dalam mengaktualisasikan kebebasannya. Secara implisit, nyaa. Se ecara imp plisit,, takaan bbahwa ahwa da alam m penulis dapat mengatakan dalam masyarakat sipil, kebebasan menasan n si aanak nak akan m en-m empunyai ’r ruang jadi semakin penuh jikaa ia mem mempunyai ’ruang bermain’ untuk mengaktualisasikan gaktu ualisas a kan ssetiap asi etiaap i-poten ens en n i dirinya. N abakat-bakat dan potensi-potensi Namun, bagaimana jika ’ruang bermain’ uang bermai in’’ ttersebut ersebut asyarakat kita? Mungtidak tersedia dalam masyarakat ebagai g man m a ddigambarma iga g mba ga mb b rkin ilustrasi dystopia sebagaimana kan oleh novelis P. D. Jame James mees ddalam alam m nnovelnya oove velny ln a ), dan an yang sud dah h diChildren of Men (1992), sudah angkat ke layar lebar pada da 2006 oleh sutradara n judu udu dul yyang du ang ssama ang ama m bis is a Alfonso Cuaron dengan judul bisa PHQMDGLJDPEDUDQVHNLODVXQWXNNLWDUHÀHNVLODV XQWXN XQQWXN WXNNLWD WDDUHÀ WD D UHÀ UHÀHNVVLkan. Dalam novel Children Men,, JJames hildr drreen n of o Men M ame mees menuturkan visi agungnya ngnya y te ya ttentang entaang ssituasi ituas asii as umat manusia di masa yang akan datang (setk datan t g (set tting tahun 2027) yang dicekam icekam ketakutan ber-
60
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
global karena umat manusia nyaris punah, mengingat tidak ada lagi la bayi yang dilahirkan selama kurun waktu hhampir 20 tahun. Dalam GLLQVSLUDVLNDQ ROHK QRYHOQ\D VH¿OP \DQJ GLLQVSLUDVLN ¿OP cara aamat m dramatis ddan tragis digambarkan mat “kegemaran” manusia dewasa unbagaimana na “kegemara na berperang, bentrok senjata, menyingkirtuk berperan an ng, g bentro berbeda (misalnya, kaum kan yang lain n yyang ang be destruktif imigran) dan ke kkegiatan-kegiatan giat membuat lainnya telah mem em ua planet bumi ini menemb jadi tanah yang ggersang ersa dan senantiasa beGedung-gedung yang hanraroma kekerasan. Ged peluru nyasar dan cur, jalanan yang ddipenuhi ipe ledakan, sekolah-sekolah puing-puing bekas le kehadiran siswa dan guru, yang kosong tanpaa keh yang sepi nir pekik canda serta taman bermain bermai aiin ya tawa anak-anak aadalah dala pemandangan suram situasi yang lahir dari si ituasi anarkis yang dibungkus Kejar-tangkap-tembak adalah ketercekaman. K ejar-t keseharian yang mengisi relung namantra keseh eh harian ya sesak napas mereka yang pas kota, membuat membuat se dalam a game called surtak bisa saa bertahan dal YLYDORIWKH¿WWHVW7LGDNQDPSDNODJLVHQ\XP YLY LY YDO DORIWKH¿WWHVW7LG wajah para penduduk kota, mengembang di waja yang terpancar dari sorot so mata mereka adalah sekaligus keinginan balas denrasa takut dan sekaligu dam. Semakin keras semakin baik, semakin kas kasar asa semakin ppenuh en h ssorak-sorai. enu Pelajaran Pelajar ran yyang ra ang bisa kita petik dari setvisioner semacam ting visi isi sioner se si emaacam ini adalah bahwa untuk membangun masyarakat mem mban b gu gun m asyyarak yang humanis, yang mencintai men ncin in ntai t da ddamai mai dan menjauhi kekerasan, diperlukan suatu setting dipe erluka kaan suat uatu se ua ettin dan desain sosial-kultural-politis tura al-politi tiis yyang ang rrasional asio serta memadai yang untuk anak-anak. mem memberikan m n rruang uangg bbermain er Tanpa T Tan pa adanya ja jjaminan minan dan keberpihakan dari kebijakan terorang tua dan para pengambil pe penciptaan had hadap adap pen enciptaa en taa a n rruang aa aan uan bermain yang membebaskan mengaktualkan yang terbaik beb bask askan an dan me menga dalam dal lam ddiri irii aanak, nak ak, k visi dystopia P. D. James digambarkan dalam novelnya sebagaimana digamba Children bukan tidak mungkin terjadi C Ch Chi h ldr dren ooff Men buka dr dalam waktu dekat ini. dal alam al am wak ak dek ak aktu deka at ini bermain di Setelah mendiskusikan mend WDWDUDQ WWDW D DUDQ Q NNRQVHS RQVHS S GDQ S GGDQ JJDJDVDQ \DQJ ¿ORVR¿V saatnya menghantar sidang tibalahh ssa tib aatnya ya ppenulis enu sampai pada bagian kontekpembaca untuk sampa stualisasi nilai-nilai yyang berhasil kita petik
61
Hendar Putranto, M.Hum
dari kegiatan bermain, di bawah ini. Mengomunikasikan Nilai-nilai Kehidupan dalam Aktivitas Bermain: Sebuah Upaya Kontekstualisasi Laskar Pelangi adalah sebuah novel karya Andrea Hirata yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Bentang (Yogya) pada September 2005. Dalam novel ini diceritakan kisah hidup sepuluh anak yang berasal dari keluarga miskin yang menimba ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan hidup di sebuah sekolah bernafaskan prinsip-prinsip keagamaan (Muhammadiyah) di Pulau Belitong (Sumatera). Nama kesepuluh anak tersebut adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek (Samson), Trapani dan Harun. Karena keterbatasan dana dan minimnya anak yang mendaftar, sekolah Muhammadiyah hanya mampu membuka satu kelas saja sehingga kesepuluh anak yang disebut di atas berada di kelas yang sama sejak SD hingga SMP. Ketangguhan karakter, kebeningan nurani, dan kecerdasan otak kesepuluh anak di atas diasuh dan digembleng oleh Pak Harfan dan Bu Muslimah. Di tengah segala keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, juga keterbatasan kemamSXDQ ¿QDQVLDO GDUL SDUD RUDQJ WXD NHVHSXOXK siswa tersebut, SDN Muhammadiyah berhasil mencetak prestasi yang mengagumkan yaitu kemenangan di lomba Cerdas Cermat (mengalahkan dua tim dari sekolah PN Timah, yang langganan juara) dan kemenangan di lomba karnival seni dalam rangka 17 Agustusan (mengalahkan marching band dari sekolah PN yang sebelumnya juga langganan juara). Demikian ringkasan umum dari novel Laskar Pelangi. Ada tiga pokok yang hendak penulis UHÀHNVLNDQGDULQRYHO/DVNDU3HODQJL\DLWX (1) Tentang keberhasilan para guru dan murid SD Muhammadiyah dalam menerapkan nilainilai bermain (di luar ruang kelas) dan belajar (di dalam ruang kelas) dan mengomunikasikan nilai-nilai tersebut kepada penduduk sekitar, kepada sesama insan pendidikan yang ada di sekolah PN Timah (dan sekolah lain
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
nya), pejabat pemerintahan di pulau Belitong, maupun sidang pembaca Laskar Pelangi di manapun mereka berada. Menurut penulis, kunci keberhasilan dari Pak Harfan dan Bu Mus dalam mengomunikasikan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, keterbukaan, toleransi dan kegigihan berjuang kepada para murid yang belajar di SD-SMP Muhammadiyah adalah karena mereka amat memerhatikan pentingnya dan mempraktikkan secara sungguh-sungguh ”kebiasaan mendengarkan dan berdialog” seperti sudah disebutkan oleh Brian Edmiston di atas. Kebiasaan mendengarkan ini nampak misalnya ketika pelajaran seni suara, Bu Mus memberikan kesempatan kepada semua murid untuk menunjukkan kualitas vokal dan pemahaman notasi musiknya. Meskipun tidak semua siswa seberbakat Mahar dalam olah vokal, Bu Mus tetap menyimak penampilan satu per satu muridnya, juga meskipun ia harus menahan tawa dan kejengkelan . Juga saat-saat di mana ”Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspresi.” Kebiasaan mendengarkan dan berdialog yang dipraktikkan para guru ”Laskar Pelangi” membuat Bu Mus dan Pak Harfan menjadi ”ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.” yang tidak ragu menegur kemusyrikan tetapi juga tidak sungkan dan ragu memuji pencapaian dan kreativitas anakanak . (2) model bermain ”rough and tumble play” sebagaimana disinggung oleh Maxine SheetsJohnstone di atas ternyata juga ditemukan dalam Laskar Pelangi . Di bab 15, ”Euforia Musim Hujan”, anak-anak SD Muhammadiyah mengubah dinginnya suhu udara dan derasnya curah hujan menjadi setting permainan yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang. Rasa nyeri, kulit yang terkelupas, benjolan di kepala Ikal karena terantuk, Syahdan yang ”pura-pura mati” ternyata semakin menambah kadar keriangan (joy) bermain mereka. Seperti ditulis sendiri oleh Andrea Hirata, ”justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang menciderai, lalu
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Hendar Putranto, M.Hum
disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap ap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah lepah pinang ... pesta musim hujan adalah sebuah buah perhelatan merin oleh alam bagi kam ka ah yang diselenggarakan kamii anak-anak Melayu tak mampu.” erius dan bbertujuan” ertuju uan” (3) ”Bermain yang serius dalam bingkai pengalaman sebagaimaman estetiss se ebaga g im mana disinggung oleh Gadamer dalam damer dal a am paparanal nya di atas juga tergambar bar dalam ppengalaman engalaman Mahar, dkk. saat menyiapkan apkan pestaa dan lomba nial i lM ahar ar ya yang ng g karnival 17 Agustusan. Ide jen jenial Mahar menyiapkan teman-temannya mannyya untuk tampill DOVXNNX0DVDLG GDUL$IIGDODP´NRUHRJUD¿PDVVDOVXNX0DVDLGDUL$Iungkin n tampak seperti rika” pada awalnya mungkin mun, ke etika dieksekusi ”main-main saja”. Namun, ketika ka-sangk gk penampil gka lan on stage , tak disangka-sangka penampilan an ang n gup mem mamereka amat fenomenall dan san sanggup memanangan ma arching ban andd an tahkan dominasi kemenangan marching band mah. nan rapi dan teratur darii SD PN Tim Timah. Sebuah Catatan Penutup tup Apa yang kita temukan bermain? kan setelah bermai in? Siapakah diri kita setelah lah bermain? Menjadi sosok manusia macam m apakah setelah kita mendalami dan menghayati ayati bermain dengan segala kompleksitas dimensi mensi maknanya? Satu jawaban yang mungkin menarik menann men en enari nar ar k dan men nan anWDQJ XQWXN GLMDGLNDQ EDK EDKDQ DGDODK KDQ UH UUHÀHNVL HÀHNVL DG GDODK K ”jati diri yang lebih utuh, manusiawi”. h, yyang ang m anusiaw wi”. Untuk menguatkan jawaban ini, abaan ini i, kita bisaa be-lajar dari pengalaman (da (dan penemuan!) an pe enemuan!)) se-RUDQJ¿OVXI3HUDQFLVWHUNHPXND-HDQ-DFTXHV NHP PXNDD-HDQ-DFFTXHVV Rousseau, ketika ia sedang berjalan-jalan dangg ber rjal j an-jal ja jal allan a di di keheningan hutan di St. Germain (Perancis). t. Ger errmai m n (Per P anccis is). Berikut deskripsi singkat pengalaman at dari pengal laman itu, sebagaimana dituturkan n oleh Robert C. Solomon, ”Ketika sedang berjalan-jalan dalam kehenn-jal a an al n dal lam m keh heningan di hutan rimbun St Ge Germain, G Germai e in, ddii awal lahir dan berkembangnya nya era modern,, JeanJacques Rousseau menemukan sesuatu emuk muk ukan uk an n sesuat u u yyang ang n ajaib. Sesuatu itu adalah Namun h ddirinya. iriinya irinya nya. N amun ddiri amu iri yang ditemukan Rousseau eau bukanlah diri kurus yang melulu berpikir secara logis kir se ecar caara logi og s ((sebasebbagaimana ditemukan Descartes), juga bukan escar a tes es)), jug u a buka ug kan ka an diri yang skeptis dan ragu-ragu (sebagaimana gu-ragu (seb bagaimana ditemukan Hume) melainkan inkan diri yang sangat
62
Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
kaya y dan substansial,, yyang disarati aneka perjuga pelbagai pemikiran asaan yang baik dan ju begitu ekspansif, alamiah yang baik, diri yang be dan berdamai dengan alam semesta, diri yang merta Rousseau sebagai sesuaserta me mer e ta dikenali R dirinya yang tunggal. Diri tu yang melebihi mele e bihi dirin jiwa dari kemanusiaan.” semacam itu u ada aadalah lah jiw bahwa ’diri’ yang ditemuPatut dicatat ddii ssini ini ba adalah kan Rousseau ad dala a h ddiri yang kita (harapkan) dapat ditemukan juga dalam aktivitas berhomo ludens berarti menjadi main. Menjadi hom o omo om lengkap, manusia yang lengk kap utuh, dan kaya. Homo penubuhan dari semangat keludens adalah penu ubu ekspansif, yang selaras (dan manusiaan yang ek kspa keselarasan menjaga keselarasa an iitu) dengan lingkungan sekitarnya. Homo lludens ude adalah diri yang berberkarakter, yang berkembang sahabat dan berk karak dimensi baik dalam dime mensi kkognitif (logika), afekme (mempunyai ketif (rasa-perasaan), (rasa-perasaaan), volutif vo maupun aktif (tindakan) hendak yang g tteguh) eguh) m kontemplatif (merenung dan krasan dalam – kontemp mpl mp plat la if (meren keheningan). keheni ing ng n). nga Daftar Pustaka Albrecht, Karl, Social Intelligence: The New Success, San Francisco: Science of Succ 2006. Josey-Bass, 20 BASIS khusus Pendidikan, No. 07 – 08, BA BAS IS edisi kh IS husu usus Pe Tahun kke-51, e-51, JJuli – Agustus 2002. Bauman, Zygmunt, Mortality, Immortality Bauman n, Z ygm muntt, M Other Life and nd Ot ther L ife Strategies, Cambridge: Polity Press, 1992. P Pol ity P ity resss, 19 Edmiston, Brian, Forming Ethical Identities Edm miston, n,, Br ria i ,F ian orm Early Childhood Play, London dan in E aarly Ch hildh York: 2008. New Y ork:: Routledge, Rou Gadamer, Hans-Georg, Hans-Georg Truth and Method, Revised Edition, Second, Revise diterjemahkan diterj dit e ema mahka ma h n oleh Joel Weinsheimer hk Donald G.. Marshall, London dan dan Do onal naldd G New York: [1975] 1989. N ew Y York k: Continuum, Con Gini, Importance G Gin ini, i, Al, The T Im mpor p tan of Being Lazy: Play, Leisure, and Inn Pra Praise ise of Pl Vacations, Vaca V a tio ac ions, io s New York dan s, 2003. London: Routledge, Routl Hegel, W.. F.,., Phi Philosophy of Right, H Heg el, l,, G. G W P los diterjemahkan dit iterj te ema mahhkkan oleh S.W Dyde, ma Ontario Kitchener, Ont Books, [1820] (Kanada): Batoche Ba
63
Hendar Putranto, M.Hum
2001. Hirata, Andrea, Laskar Pelangi, Yogyakarta: Bentang, 2005. Sheets-Johnstone, Maxine, “Child’s Play: A Multidisciplinary Perspective”, dalam jurnal Human Studies (2003) 26, hlm. 409–430, © 2003 Kluwer Academic Publishers. Solomon, Robert C., A History of Western Philosophy 7: Continental Philosophysince 1750, The Rise and Fall of the Self , Oxford dan New York: Oxford University Press, 1988. Tonucci, Fransesco, “Citizen Child: Play as Welfare Parameter for Urban Life,” dalam jurnal Topoi (2005) 24, hlm. 183-195, © 2005 Springer. White, Richard, “Rousseau and the Education of Compassion” dalam Journal of Philosophy of Education (2008) 42, No. 1. Winch, Christopher dan Gingell, John, Key Concepts in The Philosophy of Education, London dan New York: Routledge, 1999.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010