1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Sejak awal bermulanya sejarah, manusia menggunakan bahasa untuk menyalurkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan atau untuk mengungkapkan keinginan mereka terhadap sesuatu. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia dalam mencari dan menemukan kesempurnaannya yang hanya akan tercapai ketika mereka saling berkomunikasi satu sama lain baik secara verbal maupun non-verbal. Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa bahasa merupakan instrumen dalam komunikasi. Bahasa, dalam konteks kekinian, tak lagi semata-mata dipandang sebagai alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa dalam masyarakat moderen dapat dipahami sebagai piranti canggih yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu untuk menyebarkan dan mempertarungkan ideologinya masingmasing. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Fairclough (1989: 2) bahwa penggunaan kekuasaan, pada masyarakat moderen, merupakan pencapaian yang meningkat melalui ideologi, dan lebih khususnya lagi melalui ideologi bahasa. Selain sebagai sarana penyebaran ideologi, bahasa juga dapat dipandang sebagai representasi sikap dan aksi sosial seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam konteks ini, bahasa digunakan untuk menghasilkan tujuan
1
2
tertentu, atau dengan kata lain, bahasa digunakan untuk menghasilkan wacana tertentu. Dalam mengkaji wacana, banyak teori linguistik yang dapat digunakan. Salah satu di antaranya adalah analisis wacana kritis yang mampu menjelaskan lebih jauh tentang berbagai praktik sosial yang melatarbelakangi lahirnya sebuah wacana. Berpijak pada pernyataan Cook (1992:1), dalam analisis wacana kritis tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis, sebagaimana dijelaskan oleh Fairclough (1995:135), pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, mulai dari dimensi tekstual, praktik wacana, hingga dimensi praktik sosiokultural.
Penggunaan bahasa untuk menghasilkan wacana tertentu dewasa ini telah banyak dipraktikkan dalam berbagai bentuk komunikasi verbal. Salah satu yang cukup populer dan menarik untuk diteliti dalam kerangka analisis wacana kritis adalah wacana pidato. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Crystal (1985: 327), pidato merupakan pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak atau dapat juga diartikan sebagai wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khayalak. Lebih lanjut, pidato terbagi atas tiga jenis, yaitu pidato biasa seperti percakapan sehari-hari, pidato ritual seperti yang sering dibawakan dalam upacara adat atau keagamaan, serta pidato politik. Jenis pidato terakhir
inilah
yang
paling
sering
dijadikan
sebagai
sarana
dalam
merepresentasikan sikap dan aksi sosial seorang pewacana. Itulah sebabnya,
3
bahasa dalam kaitannya dengan politik, khususnya bahasa yang digunakan dalam pidato, tidak pernah berada dalam posisi netral. Selalu ada kepentingan yang menjadi ancaman serius serta faktor penentu ketidaknetralan tersebut. Salah satu contoh riil dari pengunaan bahasa dalam konteks politik adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Iran, Hasan Rouhani, di hadapan Majelis Umum PBB pada tanggal 24 September 2013. Pidato ini menjadi penting untuk dikaji karena dua alasan penting. Pertama, pidato ini merupakan pidato internasional Rouhani sebagai presiden baru yang menggantikan presiden sebelumnya, Mahmoud Ahmadinejad. Sehingga, seluruh dunia menantikan pidato ini untuk mengetahui bagaimana Rouhani memposisikan Iran terhadap isu-isu sensitif dunia saat ini, apakah tetap sama dengan pendahulunya ataukah menjadikan Iran lebih moderat. Kedua, pidato ini merupakan respon Iran terhadap penolakan negara-negara sekutu, terutama Israel, terhadap program nuklir Iran yang sedang dikembangkan, dan isu-isu lain seperti kekerasan dan krisis yang melanda Suriah dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Secara umum, pidato ini memuat usaha Rouhani untuk membantah semua tudingan miring baik oleh Israel yang menyebut Iran sebagai ancaman dunia dengan nuklirnya, maupun oleh Amerika Serikat yang menyebut Iran telah menjadi sumber utama ketidakstabilan dunia dalam tempo yang terlalu lama. Dalam bantahannya itu, Rouhani berusaha merepresentasikan program nuklir Iran sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mengancam perdamaian dunia. Hal ini tampak dalam penggunaan verba material represent berikut.
4
S.8
The recent elections in Iran represent a clear, living example of the wise choice of hope, rationality and moderation by the great people of Iran. The realization of democracy consistent with religion and the peaceful transfer of executive power manifested that Iran is the anchor of stability in an otherwise ocean of regional instabilities. Pemilihan Umum di Iran baru-baru ini merepresentasikan sebuah contoh yang jelas dan nyata tentang pilihan yang bijaksana akan harapan, rasionalitas dan moderasi oleh rakyat Iran. Realisasi demokrasi yang konsisten terhadap agama dan peralihan kekuasaan eksekutif yang damai menunjukan bahwa Iran merupakan jangkar stabilitas bagi negara di sekitar yang berada dalam ketidakstabilan regional.
S.28
Propagandistic and unfounded faithphobic, Islamo-phobic, Shia-phobic, and Iran-phobic discourses do indeed represent serious threats against world peace and human security. Wacana fobia agama, fobia Islam, fobia Syiah, dan fobia Iran yang propagandistik dan tidak berdasar jelas merupakan ancaman serius terhadap perdamaian dunia dan keamanan manusia. Dari petikan pidato di atas, tampak adanya proses pembentukan nilai
kebenaran oleh Rouhani terhadap opininya. Pertama, dia memaparkan proses pergantian kekuasaan di Iran yang damai dan demokratis (S.8). Penggunaan verba material represent pada kalimat ini menunjukkan kesan Iran sebagai pihak yang aktif dalam proses itu. Kedua, dia menyebutkan bahwa keteguhan rakyat Iran dalam menjaga kedamaian dan nilai demokrasi merupakan faktor utama yang menciptakan situasi yang kondusif di Iran (S.28). Melalui verba material represent, dia menunjukkan bahwa sebenarnya wacana dan pewacana fobia terhadap Iranlah yang menjadi ancaman serius terhadap perdamaian dunia. Kedua premis ini kemudian diikuti oleh sebuah simpulan bahwa Iran berada dalam stabilitas yang terjaga, sehingga semua tudingan yang mendiskreditkan kestabilan Iran menjadi gugur dengan sendirinya.
5
Penggunaan modalitas sebagai petunjuk akan sikap Rouhani terhadap isu yang mengikuti pidatonya juga tampak menonjol dalam pidato ini. Hal ini ditujukan dalam petikan pidato berikut.
S.50-S.52 Here, I should also say a word about the criminal assassination of Iranian nuclear scientists. For what crimes have they been assassinated? The United Nations and the Security Council should answer the question: have the perpetrators been condemned? Di sini, saya juga harus mengucapkan beberapa kata tentang pembunuhan terhadap ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran. Atas kejahatan apa mereka dibunuh? PBB dan Dewan Keamanan PBB harus menjawab pertanyaan ini: apakah para pelakunya telah dihukum? S.64
We need to promote and reinforce tolerance in light of the religious teachings and appropriate cultural and political approaches. Kita perlu mempromosikan dan memperteguh toleransi dengan panduan pengajaran agama, pendekatan budaya dan politik yang sesuai dengan jelas. Berdasarkan petikan pidato di atas, Rouhani menggunakan modalitas dasar
pada data S.50 dan S.52. Dia menggunakan modalitas „should‟ (harus) dua kali dalam kritiknya. Dia menyatakan bahwa ada pertanyaan besar yang harus dijawab oleh PBB beserta Dewan Keamanannya. Keharusan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya keharusan lain, yaitu untuk mempertanyakan itu. Begitu pula pada data S.52 di mana Rouhani menghubungkan „we’ (para pemimpin dunia) dengan pentingnya toleransi dengan menggunakan verba intensional „need’. Selain itu, Rouhani juga piawai dalam merepresentasikan aktor-aktor sosial atau partisipan yang terlibat dalam isu yang termuat dalam pidatonya. Hal ini dapat disaksikan dalam petikan pidato berikut.
6
S.38
What has been – and continues to be – practiced against the innocent people of Palestine is nothing less than structural violence. Apa yang telah dan akan terus dilakukan terhadap orang-orang tak bersalah di Palestina adalah kekerasan struktural .
S.33
Iran poses absolutely no threat to the world or the region. Iran sama sekali bukanlah ancaman terhadap dunia atau wilayah di sekitarnya. Pada petikan S.38, Rouhani menggunakan kalimat dalam bentuk pasif
yang menyebabkan hilangnya pelaku atau agen aksi sosial. Hal ini ditujukan untuk dua hal. Pertama, dia menghindari penyebutan secara langsung terhadap aktor yang bertanggung jawab dalam membahas isu-isu sensitif. Hal ini karena dia berusaha untuk menghindari ketegangan dengan negara-negara lain terutama negara-negara adikuasa. Kedua, penggunaan kalimat bentuk pasif menyebabkan pergeseran fokus khalayak dari „siapa melakukan apa‟ ke „apa yang telah terjadi kepada korban‟. Hal ini bertujuan untuk menghadirkan simpati khalayak terhadap apa yang menimpa rakyat Palestina. Sebaliknya, pada data S.33 Rouhani menggunakan strategi spasialisasi untuk menghadirkan inklusifitas pelaku. Kata Iran pada data tersebut mewakili pemerintah Iran dalam hal ini HR sendiri yang bertanggung jawab terhadap pengayaan nuklir Iran. Hal ini tentu saja memberi keuntungan kepada Rouhani karena jenis impersonalisasi ini menghadirkan kesan positif terhadap dirinya sebagai pemimpin Iran yang dapat menjaga program nuklirnya untuk tetap berpegang pada asas perdamaian sehingga tidak menjadi ancaman terhadap dunia. Semua uraian
ini, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,
bermuara pada sebuah kenyataan tentang pentingnya kajian bahasa yang berkaitan
7
dengan praktik-praktik sosial melalui bahasa yang sayangnya masih jarang dilakukan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian tentang representasi tekstual praktik-praktik sosial dalam pidato Hasan Rouhani melalui sebuah kajian analisis wacana kritis, untuk mengungkap bagaimana dia merepresentasikan aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya terhadap terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya secara tekstual. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, ada beberapa permasalahan yang dapat dijawab melalui penelitian ini, yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya? 2. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam pidatonya? 3. Bagaimanakah strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktoraktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam pidatonya? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Sesuai rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tiga hal yang menjadi tujuan diadakannya penelitian ini sebagaimana yang dijelaskan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan representasi tekstual sikap Hasan Rouhani terhadap isuisu yang termuat dalam pidatonya.
8
2. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aksiaksi sosial secara tekstual dalam pidatonya. 3. Mendeskripsikan strategi Hasan Rouhani dalam merepresentasikan aktoraktor sosial yang menjadi partisipan aksi-aksi sosial secara tekstual dalam pidatonya 1.4 MANFAAT PENELITIAN Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian ini baik pada tataran teoretis maupun pada tataran praktis, sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis Dimensi lain yang ditawarkan oleh penelitian ini diharapkan dapat memberi sudut pandang baru dalam kajian analisis wacana kritis. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pelengkap atas kekurangan penelitian-penelitian terdahulu dan memberi sumbangsih terhadap penelitianpenelitian lanjutan yang menggunakan analisis wacana kritis sebagai pisau bedah analisisnya. 2. Manfaat Praktis Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam usaha menyadarkan publik untuk lebih kritis terhadap wacana yang disajikan oleh para praktisi politik dengan tidak langsung menerima begitu saja sajian wacana tersebut, namun terlebih dahulu menggali informasi yang lebih dalam. Dalam kaitannya dengan representasi praktik-praktik sosial, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat tentang bagaimana
9
seorang orator mengonstruksi aksi-aksi dan aktor-aktor sosial serta sikapnya terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya. 1.5 TINJAUAN PUSTAKA Dalam dunia linguistik, penelitian tentang analisis wacana kritis telah banyak dilakukan dan diikuti. Beberapa di antaranya adalah sumarti (2010) yang membahas tentang analisis wacana kritis strategi politik penggunaan bahasa dalam pidato Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Penelitian yang fokus pada perilau kebahasaan SBY yang tertuang dalam pidatonya ketika menjabat sebagai presiden ini pada dasarnya berorientasi pada pendekatan verbal bukan pendekatan behavioral. Sehingga, yang menjadi titik perhatian dalam kajiannya hanyalah ungkapan-ungkapan verbal dalam komunikasi kebahasaan dalam wacana pidato saja. Analisis yang dilakukan terhadap wacana ini dipaparkan ke dalam tiga segi pembahasan yaitu (1) segi pemakaian kata,
(2) pemakaian kalimat, dan (3)
pemakaian gaya bahasa. Dari segi pemakaian kata, perilaku kebahasaan SBY yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kata persona untuk menunjukan posisinya dalam wacana pidato yang dibangunnya, (b) pemakaian kata yang bernuansa „keterbukaan‟ yang diarahkan pada sikap dan tindakan SBY yang dianggap bisa mendukung proses reformasi dan pemerintahannya, dan (c) pemakaian kata yang bernuansa „reformasi‟ yang diarahkan pada sikap dan tindakan SBY berkaitan dengan tuntutan reformasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Sementara itu, dari segi pemakaian kalimat, perilaku kebahasaan SBY yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian kalimat ajakan ketika bermaksud ingin melibatkan rakyat dalam segala bentuknya, (b) pemakaian
10
kalimat seruan yang ditujukan agar rakyat melakukan apa yang diserukannya, (c) pemakaian kalimat harapan yang ditujukan agar rakyat dapat bersikap sesuai dengan yang diinginkannya, (d) pemakaian kalimat janji yang ditujukan untuk memberikan harapan kepada rakyat atas kebijakan yang akan ditempuh, dan (e) pemakaian kalimat pernyataan yang ditujukan untuk menunjukan sikap atas isu yang berkembang atau masalah yang dihadapi. Lebih jauh, dari segi pemakaian gaya bahasa, perilaku kebahasaan SBY yang tampak dalam wacana pidatonya adalah (a) pemakaian eufimisme untuk menghaluskan makna dalam wacana politiknya, (b) pemakaian pleonasme untuk menonjolkan bagian tertentu pada wacana pidatonya, (c) pemakaian hiperbola untuk menonjolkan bagian tertentu dari wacananya yang memiliki nuansa lebih, (d) pemakaian paralelisme untuk memberikan klasifikasi atau detil suatu gagasan yang diungkapkannya, dan (e) pemakaian repetisi untuk menekankan pentingnya bagian yang terkena repetisi dari wacana pidatonya. Penelitian mengenai analisis wacana kritis dalam pidato juga pernah dilakukan oleh Jupriono (2010) yang membahas tentang analisis wacana kritis latar historis pidato kenegaraan SBY. Penelitian ini focus terhadap latar wacana pada pidato kenegaraan SBY selama 2004-2010 dengan sudut pandang analisis wacana kritis model Van Dijk. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga tahapan yaitu (1) mendeskripsikan wacana pidato SBY sebagai sebuah fakta historis yang hadir secara eksplisit, (2) mengeksplorasi interpretasi secara kritis atas motif terselubung di balik fakta berdasarkan konteks situasi yang relevan, dan (3) menyusun makna integral latar berdasarkan deskripsi fakta ekplisit dan
11
interpretasi kritis maksud implicit latar tersebut. Tahapan ini kemudian diterapkan pada tiap pidato kenegaraan SBY setiap tahunnya dari rentang 2004 hingga 2010 untuk menemukan makna tekstual latar historisnya baik yang eksplisit maupun implisit. Adapun makna eksplisit dari hasil analisis tekstual latar historisnya adalah (tahun 2004) modernisasi politik dan regenerasi politik di Indonesia telah terwujud, (tahun 2005) tugas SBY sangat berat yang disebabkan oleh kegagalan presiden-presiden terdahulu, (tahun 2006) SBY menghormati jasa pahlawanpahlawan dan presiden-presiden terdahulu, (tahun 2007) SBY adalah pemimpin yang optimis, (tahun 2008) perekonomian Indonesia tetap stabil di tengah krisis global, (tahun 2009) SBY berharap bahwa meski parpol beragam namun pemerintahan tetap berjalan efektif, dan (tahun 2010) sepuluh tahun reformasi Indonesia telah melakukan transisi demokrasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Sementara itu, makna implicit dari hasil analisis tekstual latar historisnya adalah (tahun 2004) SBY memberikan kontribusinya dalam memajukan kehidupan politik Indonesia karena sukses politik Indonesia terjadi saat dan berkat kepemimpinannya, (tahun 2005) SBY jangan dikritik karena masalah yang terjadi karena „warisan‟ dari presiden sebelumnya, (tahun 2006) kesadaran historis SBY lebih tinggi sehingga penghormatannya terhadap para pahlawan lebih tulus, (tahun 2007) SBY mengharapkan simpati rakyat Indonesia yang Sukarnois, (tahun 2008) SBY mampu menstabilkan ekonomi yang tidak bisa dilakukan oleh ketiga presiden sebelumnya, (tahun 2009) SBY menkonstruksi citradirinya sebagai orang yang rendah hati sebagai pemenang pilpres, dan (tahun
12
2010) dinamika politik, ekonomi, dan hukum yang makin demokratis adalah berkat jasa SBY. Sementara itu, penelitian yang menggunakan analisis wacana kritis model Fairclough pada pidato politik pernah dilakukan oleh Heryadi (2010) yang membahas tentang analisis wacana pidato politik SBY sebagai calon presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. Analisis tiga dimensi ala Fairclough yang dilakukan secara mikro, meso, dan makro menunjukkan bahwa representasi teks pidato yang diproduksi oleh SBY dalam rangka pendeklarasian dirinya menjadi Capres 2009- 2014 telah memanfaatkan fitur-fitur linguistik seperti (1) struktur teks, (2) ketransitifan, (3) modalitas, (4) aspek, (5) konjungsi, (6) pronominal, (7) leksikalisasi, (8) kata kunci bidang keagamaan, (9) kata kunci bidang politik, (10) kata kunci superlative, (11) intertekstualitas, dan (12) interdiskursifitas. Hal ini bertujuan untuk melancarkan suatu proses sosial yaitu “pengekalan kuasa”. Proses sosial ini diwujudkan dalam beberapa praktik sosial yaitu (a) Pembentukan citra positif sosok SBY, (b) Pembentukan opini keberhasilan kepemimpinan SBY sebelumnya, dan (c) Pembentukan opini pentingnya melanjutkan kepemimpinan SBY. Struktur-struktur sosial dari keseluruhan proses sosial ini saling terhubung secara dilektikal dan integral. Hal ditunjukan oleh praktik sosial yang dilakukan oleh SBY melalui pidato politiknya yang tidak terlepas dari latar belakang sosial, politik, dan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh SBY sebagai orang Indonesia. Selanjutnya, analisis wacana kritis dalam kaitannya dengan representasi praktik-praktik sosial pernah dilakukan oleh Amalia (2010) yang membahas tentang representasi hubungan Amerika Serikat dengan Islam dalam pidato
13
presiden Barack Obama di Kairo. Hasil analisis yang menggunakan teori vanDick ini menunjukkan bahwa dalam merepresentasikan hubungannya dengan Islam, Barack Obama menggunakan fitur-fitur linguistik seperti bentuk kalimat aktifpasif dan pilihan kata tertentu untuk menunjukkan netralitasnya terhadap beberapa kasus kekerasan di Timur Tengah sekaligus untuk menimbulkan citra positif Islam. Hal ini ditujukan untuk menggalang simpati dari negara-negara Islam dalam upaya Barack Obama dalam menjalankan politik bersahabat di Timur Tengah. Keseluruhan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya bermuara pada sebuah kesimpulan dasar bahwa penelitian dengan analisis wacana kritis untuk mengungkap tiga dimensi praktik sosial dalam sebuah wacana belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan paradigma baru dalam pendekatan analisis wacana kritis sehingga dapat menjadi sumbangan positif yang cukup signifikan bagi dunia linguistik. 1.6 LANDASAN TEORI 1.6.1
Wacana Wacana, menurut Johnstone (2008: 2), merupakan bentuk komunikasi
secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Jika Johnstone memandang wacana sebagai bentuk komunikasi, maka lain halnya dengan Widdowson (2004: 3) yang menjelaskan bahwa jika analisis wacana diartikan sebagai studi pola bahasa di atas kalimat, maka wacana adalah kalimat tertulis dalam jumlah yang besar: secara kuantitatif berbeda namun secara kualitatif merupakan fenomena yang sama. Dalam konteks ini, Widdowson memperlakukan wacana dan kalimat
14
sebagai objek kajian bahasa yang sama, karena tidak ada perbedaan konseptual di antara keduanya. Definisi yang lebih luas tentang wacana hadir melalui Gee dan Fairclough. Gee (2005:21) menjelaskan wacana sebagai cara mengombinasikan dan mengintegrasikan bahasa, tindakan, interaksi, cara berpikir, mempercayai, menilai, dan menggunakan berbagai symbol, alat, dan objek untuk memerankan sebuah identitas sosial yang dapat dikenali. Pada titik ini, Gee memandang wacana sebagai cara memanfaatkan bahasa sebagai penanda identitas sosial tertentu. Sementara itu, Fairclough (1992: 64) mendefinisikan wacana sebagai sebuah praktik yang tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menunjukkan, menegakkan dan membangun dunia di dalam makna. 1.6.2
Analisis Wacana Kritis Sebagaimana dinyatakan oleh Brown dan Yule (1983:1), dijelaskan bahwa
analisis wacana berarti melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan. Senada dengan ini, van Dijk (1988:24) memaparkan bahwa analisis wacana merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Lebih jauh, Cook (1992:1) menyebutkan bahwa dalam analisis wacana tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut. Kehadiran konteks dalam kaitannya dengan wacana tidak begitu memuaskan bagi beberapa linguis. Fairclough dan Wodak (1997: 258) misalnya yang meyakini bahwa wacana tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan hadir
15
dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak penikmatnya. Oleh sebab itu diperlukan sebuah pendekatan lain yang memandang wacana dari sudut pandang kritis yang dalam analisisnya tidak hanya bergantung pada konteks yang melingkupinya, tetapi lebih dari itu memuat struktur dan praktik sosial yang melatarbelakangi lahirnya wacana tersebut. Di sini, muncullah pendekatan analisis wacana kritis (AWK). Analisis Wacana dengan pendekatan kritis ini memandang wacana atau
penggunaan
bahasa secara lisan maupun tulisan sebagai bentuk praktik sosial yang mengimplikasikan hubungan dialektikal antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membingkainya. Hal ini memungkinkan wacana untuk memuat isu-isu penting tentang kekuasaan yang dapat membantu memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara, misalnya, kelas-kelas sosial, pria dan wanita, dan antara etnik atau budaya yang mayoritas dan minoritas melalui caranya dalam merepresentasikan sesuatu (Fairclough dan Wodak, 1997: 258). Salah satu tujuan dari analisis wacana kritis menurut Weiss dan Wodak (2003: 14) adalah untuk menghilangkan kebingungan atas wacana dengan menafsirkan ideologi-ideologi yang termuat didalamnya. Dalam analisis wacana kritis, daya suatu bahasa tidak datang dengan sendirinya, tapi melalui orang yang menggunakan bahasa tersebut. Itulah sebabnya, analisis wacana kritis selalu memilih untuk menggunakan sudut pandang pihak inferior dan begitu berapi-api dalam mengkritisi penggunaan bahasa pihak superior dalam analisisnya.
16
1. Karateristik Analisis Wacana Kritis Eriyanto (2001: 8) menjelaskan adanya karateristik-karakteristik penting dari analisis wacana kritis. Karateristik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. a. Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dalam hal ini, bahasa digunakan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Sebagai konsekuensi logisnya, pengertian ini memberi kita dua cara dalam memandang wacana. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. b. Konteks Bagian penting lain dari analisis wacana kritis adalah konteks yang mencakup latar, situasi, peristiwa, dan kondisi yang melingkupi wacana. Dalam hal ini, pemahaman yang muncul adalah bahwa wacana dianggap diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Konteks menyertakan semua unsur eksternal bahasa yang mempengaruhi pemakaiannya, seperti partisipan yang terlibat, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi pemakaian bahasa yang dimaksudkan, dan sebagainya. Di sini, titik yang menjadi perhatian dari analisis wacana adalah penggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.
17
c. Historis Salah satu aspek penting untuk bisa memahami teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, menjelaskan situasi sosial atau kondisi politik ketika wacana itu diciptakan, latar belakang dari isu-isu yang termuat dalam wacana, dan sebagainya. d. Kekuasaan Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. e. Ideologi Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak sah dan benar.
18
2. Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Wacana Kritis Merton (dalam Wodak dan Meyer, 2001: 19) mengajukan tujuh tingkatan teori analisis wacana kritis yang dapat dipaparkan sebagai berikut. a. Teori epistemologi, adalah seperangkat teori yang menyediakan syarat, kemungkinan, dan batas persepsi manusia pada umumnya, dan persepsi ilmiah pada khususnya. b. Teori sosial umum, sering disebut „teori utama‟, mencoba mengonseptualisasi hubungan antara struktur sosial dan aksi sosial sehingga menghubungkan fenomena mikro dan makrososiologis. Dalam tingkatan ini, dapat dibedakan antara pendekatan strukturalis yang berupa penjelasan top-down (strukturaksi) dengan pendekatan individualis yang berupa penjelasan bottom-up (aksistruktur). c. Teori tingkat menengah, memusatkan perhatiannya baik terhadap fenomena spesifik, seperti konflik, kognisi, dan jaringan sosial, maupun terhadap subsistem masyarakat yang spesifik, seperti ekonomi, politik, dan agama. Norman Fairclough berada pada tingkatan teori ini. Dia memusatkan perhatiannya pada konflik sosial dan mencoba mendeteksi manifestasi linguistiknyadalam wacana, khususnya unsur dominasi, perbedaan, dan perlawanan. d. Teori mikro-sosiologis yang mencoba menjelaskan interaksi sosial, seperti resolusi masalah dengan dua kemungkinan, atau rekonstruksi prosedur harian yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menciptakan susunan sosial mereka sendiri, yang merupakan tujuan dari ethnometodology. Ron Scollon
19
merupakan tokoh yang berada di bidang ini. dia menyebut pendekatannya sebagai analisis wacana termediasi (Mediated Discourse Analisis) yang memiliki tujuan yang sama dengan analisis wacana kritis namun memformulasi ulang objek kajiannya dari isu-isu sosial kepada aksi-aksi sosial. e. Teori sosio-psikologis yang berkonsentrasi pada kondisi sosial dari emosi dan kognisi, dan, jika dibandingkan dengan mikro-sosiologis, lebih memilih penjelasan kausal daripada pemahaman hermeneutika atas makna. Van Dijk adalah salah satu tokoh yang merujuk pada teori ini. Dia memandang wacana sebagai peristiwa komunikatif termasuk interaksi konversasional, teks tertulis, dan dimensi semiotik lainnya. Van Dijk menyebutkan dan menjelaskan tiga bentuk representasi sosial yang relevan dalam memahami wacana, yaitu pengetahuan
(personal,
kelompok,
kultural),
perilaku
(bukan
dalam
pemahaman sosiopsikologis), dan ideologi. Oleh sebab itu, wacana hanya dapat dipahami melalui keterkaitan situasi sosial, aksi, pelaku, dan struktur sosial. f. Teori wacana, merupakan seperangkat teori yang mengonseptualisasikan wacana sebagai sebuah fenomena sosial dan mencoba menjelaskan genesis dan strukturnya. g. Teori Linguistik, seperti teori argumentasi, grammar, dan retorika, mencoba mendeskripsikan dan menjelaskan pola spesifik sistem bahasa dan komunikasi verbal. Ruth Wodak mungkin tokoh yang paling berorientasi pada teori ini. Tidak seperti tokoh yang lain, dia secara eksplisit mencoba membangun teori
20
wacana. Dia memahami wacana sebagai rangkaian yang kompleks dari perilaku-perilaku linguistik yang saling berhubungan dengan simultan dan logis. 3. Analisis Wacana Kritis Theo van Leeuwen Van Leeuwen (2008: 6) memandang wacana sebagai rekontekstualisasi praktik-praktik sosial melalui teks. Dalam hal ini, sangat mungkin untuk merekonstruksi suatu wacana berdasarkan teks yang membangunnya. Menurut van Leeuwen (2008:7) ada beberapa unsur pembentuk praktik sosial, yaitu partisipan (aktor sosial), aksi sosial, modus kinerja, syarat kelayakan partisipan, gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta syarat kelayakan sumber daya. Aktor sosial, sebagai salah satu elemen penting dari praktik sosial, direpresentasikan oleh van Leeuwen melalui dua cara, yaitu dengan eksklusi dan inklusi. Dalam eksklusi, van Leeuwen menggunakan strategi pasivasi untuk menyembunyikan pelaku, strategi nominalisasi untuk menggeser fokus dari pelaku ke peristiwa, dan strategi klausa infinitif. Sedangkan dalam inklusi, van Leeuwen menggunakan banyak strategi determinasi, indeterminasi, Abstraksi Objektivasi, diferensiasi, kategorisasi, fungsionalisasi, identifikasi, asimilasi, individualisasi, sirkumtansialisasi, dan lain sebagainya untuk membuat aktoraktor sosial yang terlibat dalam wacana menjadi inklusif. 1.6.3
Transitifitas Halliday dan Matthiessen (2004: 170) menjelaskan sistem transitifitas
sebagai sistem linguistik yang digunakan untuk menciptakan makna eksperiental
21
atau ideasional yang berhubungan dengan bagaimana entitas dan tindakan dalam sebuah situasi dikodekan dalam bahasa. Sistem transitifitas terbagi atas enam proses, yaitu proses material, proses behavioral, proses mental, proses verbal, proses relasional, dan proses eksistensial. Dalam proses material, “ada sesuatu yang terjadi, di mana ada seseorang atau aktor lain yang melakukan itu atau membuat sesuatu itu terjadi”. Verba yang menandai proses ini misalnya verba to break, to build, to meet, dan verba-verba lain yang sejenis. Pelaku dalam proses material yang melibatkan dua partisispan disebut agen sedangkan dalam proses material yang hanya melibatkan satu partisipan disebut medium. Partisipan berupa objek langsung disebut goal (tujuan), sedangkan yang berupa objek tak langsung disebut resipien. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada contoh berikut. (1) John
breaks
a glass
Agen
v.material
goal
John
memecahkan
sebuah gelas
(2) James
builds
her
a house
Agen
v.material
resipien
goal
James
membangun
dia
sebuah rumah
James membangunkannya sebuah rumah Proses mental berhubungan dengan bagaimana kita mempersepsikan dunia atau merepresentasikannya kepada kita sendiri. Verba yang termasuk dalam proses ini adalah verba to believe, to know, to sense, to see, to like, to remember, to regret, dan verba-verba lain semacamnya. Proses mental melibatkan dua jenis
22
partisipan yaitu senser yang merupakan entitas sadar, biasanya manusia, dan phenomenon yang merupakan entitas yang termasuk dalam keadaan. (3) Peter
likes
travelling
Senser
v.material
phenomenon
Peter
suka
bepergian
Jadi dalam contoh di atas, Peter merujuk pada senser, dan travelling merujuk pada phenomenon. Proses behavioral yang direpresentasikan oleh verba seperti to worry, to cough, to ponder, dan verba lain yang sejenisnya, terbagi atas dua subkelas yaitu subkelas kognitif dan subkelas fisik. Behavioral kognitif mirip dengan proses mental yang biasanya merujuk pada situasi yang terikat sesaat. Sedangkan proses behavioral fisik mirip dengan proses material. (4) The cat
dreamed about
mice
Partisipan 1
v.behavioral
partisipan 2 sirkumstan
Kucing itu
bermimpi tentang
tikus-tikus
(5) Peter
last night.
tadi malam
was sitting down.
Partisipan
v.behavioral
Peter
sedang duduk
Bedanya, pada proses ini sub-kelas fisik tidak mempengaruhi siapapun kecuali entitas yang melakukan proses tersebut. Misalnya, Proses relasional berhubungan dengan bagaimana kita mengidentifikasi dan mengklasifikasi entitas-entitas yang ada. Dalam proses ini, ketika verba relasional memuat hubungan atributif, maka pelaku dapat disebut sebagai carrier sedangkan ketika verba relasional memuat hubungan valuatif, maka pelaku
23
disebut sebagai token. Deskripsi yang lebih jelas dapat ditemukan dalam contoh berikut. (6) That woman
is
a professor.
Carrier
v.relasional
atribut
Wanita itu
adalah
seorang professor
(7) Ronaldo
is
one of my favorite football player.
Token
v.relasional
value
Ronaldo
adalah
salah satu pesepakbola favoritku
Verba yang termasuk dalam proses ini berupa to be, to remain, to seem, to have, dan lain-lain. Misalnya, Proses verbal merupakan proses transfer informasi yang dikodekan secara simbolis. Dalam hal ini, proses verbal merupakan proses di mana seseorang mengatakan sesuatu, atau aktifitas apa saja di mana informasi dikodekan ke dalam bahasa untuk disampaikan ke orang lain yang dikategorikan verbal. Contohnya dapat dilihat pada kalimat beikut ini. (8) She
announces
her pregnancy.
penutur
v.verbal
verbiage
Dia
mengumumkan
kehamilannya
Contoh verba yang digunakan dalam proses ini adalah to speak, to announce, to promise, to ask, dan lain-lain. Proses eksistensial adalah proses yang menunjukkan eksistensi suatu entitas. Verba yang paling sering merepresentasikan proses ini adalah be (is, are,), tapi verba lain seperti exist, remain, dan ensue juga kerap digunakan. Untuk lebih jelasnya, dapat dideskripsikan melalui contoh berikut.
24
(9)
there are
many people out there.
v.eksistensial
eksisten
ada
banyak orang di luar sana.
Dari contoh yang dipaparkan di atas, tampak bahwa proses eksistensial hanya memiliki satu partisipan, yaitu entitas yang yang eksis atau eksisten. 1.6.4
Konjungsi Menurut Djadjasudarma (1993: 46), konjungsi berfungsi menghubungkan
dua unsur atau lebih pada tataran sintaksis (frase, klausa, dan kalimat). Berdasarkan makna yang didukungnya, konjungsi dalam kalimat terbagi atas empat jenis, yaitu konjungsi aditif (and, furthermore, moreover, in addition), konjungsi adversatif (yet, but, however, on the other hand), konjungsi kausal (so, because, as a result, in that case), dan konjungsi temporal (then, at once, at the same time, previously). 1.6.5
Presuposisi Dalam bahasa Inggris, to pre-suppose (yang merupakan asal kata
presuposisi) berarti „menduga sebelumnya‟. Namun, banyak ahli bahasa, khususnya pragmatik, yang memberikan definisi yang lebih luas. Definisi pertama datang dari Yule (1996: 25) yang menjelaskan presuposisi sebagai sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebelum membuat tuturan. Definisi senada juga datang dari Cummings (1992: 42) yang menyatakan bahwa presuposisi adalah asumsiasumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Deskripsi yang lebih mendetail, dapat disaksikan pada data berikut.
25
(10)
Mary has a dog Mary memiliki seekor anjing
(11)
Mary’s dog is cute Anjing Mary lucu
Pada contoh di atas, petikan kalimat (10) merupakan presuposisi dari petikan kalimat (11). Berkenaan dengan hal ini, Wijana (1996: 37) mengemukakan bahwa sebuah
kalimat
dikatakan
mempresuposisikan
kalimat
yang
lain
jika
ketidakbenaran kalimat yang dipresuposisikan mengakibatkan kalimat yang mepresuposisikan tidak dapat dikatakan benar atau salah. Contohnya dapat dilihat sebagai berikut. (12)
Buku Siti Nurbaya sangat memikat
(13)
Istri pejabat itu cantik sekali
Kalimat (12) mempresuposisikan bahwa ada buku yang berjudul Siti Nurbaya. Kalimat (12) hanya dapat dinilai benar atau salahnya jika buku tersebut memang ada. Sedangkan kalimat (13) mempresuposisikan bahwa pejabat itu mempunyai istri. Hanya jika presuposisi ini benar maka kalimat (13) dapat dinilai benar salahnya. Yule (1996: 27) kemudian mengklasifikasikan presuposisi ke dalam enam jenis berdasarkan jenis pemicu presuposisinya. Keenam presuposisi tersebut adalah presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
26
1.6.6
Modalitas Modalitas merupakan fitur linguistik yang penting untuk mengungkap
salah satu dimensi dari praktik wacana, yaitu sikap penutur terhadap aksi dan aktor sosial dalam tuturannya. Larreya (1984 dalam Salkie dkk, 2009: 9) mendefinisikan modalitas sebagai sebuah sistem atau subsistem mental yang didasarkan pada konsep „kemungkinan‟ dan konsep „keharusan‟ yang saling berhubungan satu sama lain. Secara garis besar, Larreya membagi modalitas ke dalam dua bagian utama, yaitu modalitas dasar, dan modalitas epistemik. Kedua kategori ini berada pada domain yang berbeda dalam aktifitas mental manusia, yaitu domain afeksi (pengaruh) dan/atau aksi, dan domain pengetahuan. Modalitas dasar kemudian terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu modalitas fisik dan modalitas deontik. Kedua tipe modalitas ini dapat didefinisikan sebagai batasan atau kemungkinan fisik dan batasan atau kemungkinan moral, sebagaimana tampak pada contoh berikut ini. (14)
He had to abandon his project Dia harus meninggalkan proyeknya
Kalimat di atas bisa jadi merupakan tuturan yang memuat keharusan fisik (…because he was exhausted) atau keharusan moral (…because he was dutybound to renounce it). Modalitas epistemik juga terbagi ke dalam dua bagian, yaitu modalitas problematik dan modalitas implikatif yang
memuat nilai kebenaran dan
implikasi. Bedanya, modalitas problematik memuat kebenaran yang nilainya lemah, seperti contoh berikut ini.
27
(15)
It may rain tomorrow. Besok mungkin hujan
Modalitas epistemik implikatif terbagi atas dua tipe, yaitu modalitas eksplisit dan modalitas eliptikal. Modalitas implikatif eksplisit menyebutkan dengan eksplisit anteseden implikasi dalam sebuah klausa atau frasa yang terikat secara sintaksis dengan bentuk modalnya, seperti contoh berikut ini. (16)
You have to be mad to do that. Kamu pasti telah gila karena melakukan itu
Implikasi eliptikal yang dalam bahasa Inggris ditandai dengan penggunaan will dan shall, terbagi lagi menjadi modalitas volitif yang memuat nilai keinginan penuturnya,
dan
modalitas
prediktif
yang memuat
kemungkinan
yang
diperkirakan oleh penutur terhadap apa yang akan terjadi. Untuk lebih jelasnya, dapat kita saksikan pada petikan kalimat-kalimat berikut ini. (17)
He will not answer my question Dia tidak akan menjawab pertanyaanku
(18)
He will win the match. Dia akan memenangkan pertandingan
1.7 METODE PENELITIAN Menurut van Leeuwen (2008: 6) wacana merupakan rekontekstualisasi praktik-praktik sosial melalui teks berupa partisipan (aktor sosial), aksi sosial, modus kinerja, syarat kelayakan partisipan, gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta syarat kelayakan sumber daya. Oleh sebab itu, penelitian atas pidato Hasan Rouhani ini menggunakan teori analisis wacana
28
dengan pendekatan kritis model van Leeuwen (2008) untuk mengungkap tiga dimensi praktik sosial yang direpresentasikan dalam teks yaitu (1) representasi aktor sosial (partisipan), (2) representasi aksi sosial, dan (3) representasi sikap HR terhadap isu yang termuat dalam pidatonya. 1.7.1
Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pidato Internasional
Hasan Rouhani di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 24 September 2013, di mana inilah kali pertama dia berpidato di hadapan PBB. Pidato ini terdiri atas 29 (dua puluh Sembilan) buah paragraf dan 107 (seratus tujuh) buah kalimat. Teks pidato merupakan hasil transkripsi yang diperoleh dari laman www.timesofisrael.com. 1.7.2
Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua pertimbangan
dalam memilih pidato yang akan dijadikan sumber data. Pertama adalah kebaruan topik. Sebagaimana diketahui, pidato Rouhani disampaikan pada akhir September 2013, sehingga tema pidato tersebut masih baru dan relevan dengan masalahmasalah yang terjadi dalam konteks kekinian. Kedua, adalah kekayaan data. Pidato ini memiliki kekayaan data secara linguistik sehingga diasumsikan mampu menjawab semua pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah secara komprehensif. Data ini kemudian diobservasi oleh peneliti dengan mencatat penggunaan bahasanya yang relevan. Data yang telah diamati dan dicatat ini kemudian diidentifikasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.
29
Sebagai proses terakhir, data kemudian diklasifikasi berdasarkan pemilihan katanya, transitifitas, modalitas, negasi, konjungsi, anak kalimat, presuposisi, eksklusi dan inklusi aktor sosialnya. 1.7.3
Metode dan Teknik Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
tiga dimensi praktik sosial yang diadaptasi dari analisis wacana kritis model van Leeuwen (2008) yang terdiri atas tiga tahapan analisis, yaitu (1) analisis representasi sikap pewacana terhadap isu-isu yang termuat dalam wacananya, (2) analisis representasi aksi sosial, dan (3) analisis representasi aktor sosial (partisipan). Berdasarkan tiga tahapan analisis wacana model van Leeuwen ini, maka peneliti menganalis data dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menganalisis bagaimana representasi sikap HR terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya berdasarkan penggunaan tipe modalitasnya. Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada teori modalitas Paul Larreya (1984 dalam Salkie, dkk, 2009). 2. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aksi-aksi sosial dalam pidatonya
berdasarkan
pemilihan
katanya,
proses
transitifitas,
penggunaan konjungsi, dan presuposisinya. Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada teori Fowler, dkk (1996) pada pemilihan kata, teori Halliday dan Matthiessen (2004) pada proses transitifitas, dan teori Yule (1996) pada penggunaan presuposisi. 3. Menganalisis bagaimana HR merepresentasikan aktor-aktor sosial yang terlibat dalam pidatonya berdasarkan strategi inklusifitas dan
30
eksklusifitas aktor sosial. Dalam tahapan ini, penulis berpedoman pada teori van Leeuwen (2009). Dalam proses selanjutnya, penulis sebagian besar menggunakan teknik parafrase untuk mengembangkan analisisnya. 1.7.4
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data kemudian disajikan secara deskriptif atau informal
sesuai dengan rumusan masalah dan kerangka analisis yang telah dibuat sebelumnya. Penyajian data secara deskriptif ini dilakukan dengan kata-kata biasa yang disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh jawaban yang komprehensif atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, analisis juga disajikan dalam bentuk formal dengan menggunakan tabel yang mengklasifikasikan data hingga terperinci sedemikian rupa, sehingga memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap hasil analisis data yang dipaparkan. 1.8 SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan terhadap penelitian ini beserta hasil analisisnya dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut. 1. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial pertama, yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi
31
pidato untuk mengungkap representasi sikap HR terhadap isu-isu yang termuat dalam pidatonya dengan perangkat analisis berupa modalitas dan negasi setelah sebelumnya diawali dengan pemaparan konteks sosial politik yang melatarbelakangi wacana. 3. Bab III berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial kedua yaitu deskripsi penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi pidato untuk mengungkap representasi aksi-aksi sosial dalam pidato HR dengan perangkat analisis berupa pemilihan kata, proses transitifitas, penggunaan konjungsi, anak kalimat penjelas, dan presuposisi. 4. Bab IV berupa hasil analisis data tahap dimensi praktik sosial ketiga yang mendeskripsikan penggunaan fitur-fitur linguistik dalam bentuk dan isi pidato untuk mengungkap representasi aktor-aktor sosial atau partisipan yang terlibat dalam teks pidato HR. 5. Bab V berupa penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.