No.106 l Tahun XXX l Maret-April 2013
Raden Pardede
Menata Peta Perbankan Nasional Felia Salim:
Perbankan Kita Punya Nilai Tambah IBEX 2013:
Hitung Mundur Masyarakat Ekonomi ASEAN Ekspektasi Beleid Transparansi
a Segenap Pengurus dan Anggota PERBANAS
Mengucapkan
Selamat & Sukses atas terpilihnya Bpk. Agus Martowardojo Sebagai Gubernur Bank Indonesia Periode 2013-2018
a
Dari Redaksi
Melepas Saham
PENERBIT Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) PELINDUNG Pengurus Pusat Perbanas PEMIMPIN REDAKSI Danny Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Rita Mirasari, Ketua Bidang Humas Perbanas REDAKTUR PELAKSANA Eri Unanto SIRKULASI Wara Sri Indriani Adrian Burhan KONSULTAN Infobank Communication Redaksi menerima tulisan dari pihak luar. Panjang tulisan 3.000– 6.500 karakter. TARIF IKLAN Cover Depan dalam dan belakang dalam/luar berwarna • 1 halaman: Rp5.000.000,00 Isi • 1 halaman: Rp4.000.000,00 • ½ halaman: Rp2.000.000,00 Probank menerima pemasangan iklan dalam bentuk laporan keuangan, display produk, dan suplemen profil perusahaan. ALAMAT REDAKSI/IKLAN Griya Perbanas Lantai 1 Jalan Perbanas, Karet Kuningan Setiabudi, Jakarta 12940 Telepon: (021) 5255731,5223038 Faksimile: (021) 5223037, 5223339 website: www.perbanas.org e-mail:
[email protected] IZIN PENERBITAN KHUSUS MENPEN No. 1882/SK/DITJEN PPG/ STT/1993, 2 September 1993 ISSN: 0854-4174
Pada tiap kesempatan, Bank Indonesia (BI) senantiasa menekankan pentingnya pelaku bisnis perbankan memperkuat modalnya guna memperkuat daya saing sekaligus daya jelajah (ekspansi) bisnis mereka ke depan. Belakangan, upaya konkret makin terasa kontekstual ketika pengimplementasian pasar bebas ASEAN makin dekat (pada 2015). Sebagai langkah antisipatif sekaligus menandaskan upaya strategis tersebut, berbagai kebijakan pun digulirkan BI. Salah satu aturan yang lekat dengan penguatan permodalan bagi bank yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Beleid itu dikeluarkan BI sekitar sebulan setelah acara “Bankers Dinner” yang dihelat November tahun lalu. PBI tersebut efektif berlaku mulai 2 Januari 2013. Melalui beleid dimaksud, bank sentral terus “melecut” dan menyuarakan pentingnya perbankan memperkuat modalnya agar dapat memperluas jaringan dan mengembangkan layanan bisnisnya secara lebih variatif. Pada praktiknya kemudian, BI membagi bank ke dalam empat kategori bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU). BUKU 1 yaitu bank dengan modal di atas Rp100 miliar-Rp1 triliun; BUKU 2 modal Rp1 triliun-Rp5 triliun; BUKU 3 modal Rp5 triliun-Rp30 triliun; dan BUKU 4 modal di atas Rp30 triliun. Nah, untuk memenuhi kategori-kategori dimaksud, sederet opsi seperti halnya merger, akuisisi, penerbitan obligasi korporasi, dan/atau pelepasan saham ke publik pun santer didengungkan pemangku otoritas perbankan. Sebagai respons positif, sejumlah bank belakangan mulai beraksi menerjemahkan seruan bank sentral. Mereka berani mengambil langkah maju dengan melepas sahamnya melalui mekanisme di lantai bursa. Sebut saja Bank Mestika Dharma, Bank National Nobu, dan menyusul kemudian pada medio April lalu, Bank Muamalat dan Bank Mitraniaga. Sekadar informasi, dua bank yang disebut terakhir kabarnya berniat melepas sahamnya hingga di atas 10%. Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan, aksi sejumlah bank tersebut merupakan reaksi positif terhadap beleid BI di atas. Hingga saat ini, sudah 32 bank terdaftar sebagai emiten. Jumlah itu belum termasuk empat bank yang disebutkan di atas. Pihak BEI menargetkan, tiap tahun setidaknya 20 emiten baru (dari berbagai sektor bisnis) masuk sebagai anggotanya. Di lain pihak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belakangan juga rajin melakukan sosialisasi tentang pentingnya pelaku bisnis keuangan, khususnya perbankan (kelas menengah), turut meramaikan pasar saham di Tanah Air melalui penawaran saham perdana. Bahkan, pihak OJK dan BEI bertekad memberikan kemudahan bagi pelaku bisnis di industri perbankan maupun keuangan agar dapat melenggang mulus di lantai bursa. Sebagai langkah konkretnya, OJK kini tengah mencari pola yang paling sederhana— dengan tetap dibarengi kehati-hatian dan tanpa mengorbankan faktor keamanan—untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku bisnis perbankan yang berminat menjadi emiten di BEI. Melalui terobosan tersebut, diharapkan jumlah emiten dari sektor perbankan kian bertambah. Dengan begitu, bank-bank yang melepas sahamnya di bursa pun akan mendapatkan suntikan modal segar dari masyarakat dan bisa berekspansi sesuai dengan kapasitas modal inti masing-masing seperti halnya yang diatur bank sentral. Dus, yang lebih penting lagi, ketika kepemilikan saham bank juga dikantongi publik, pengelolaan bisnis bank di Tanah Air juga kian mantap dan transparan. Alhasil, prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik pun dapat menemukan hakikat yang sebenarnya dalam praktik keseharian bisnis perbankan di republik ini.n
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
1
Daftar Isi
Dari Redaksi ...........................................................1 Perbanas Utama Titah Menggenjot Modal ........................................3
Pengaturan perbankan ke dalam BUKU menuntut bankbank untuk gencar memperbesar modal. Makin besar modal, makin luas ruang ekspansi bagi bank umum. Kini banyak bank kecil yang mencoba naik kelas dengan meningkatkan modalnya. Seperti apa upaya bank menambah modalnya?
Liputan Khusus Kuda-Kuda Alih Pengawasan..............................18
Pengawasan perbankan akan beralih ke OJK pada awal 2014. Agar tidak terjadi “guncangan” dan beban biaya, perlu disiapkan strategi pengalihan yang matang
Menghapus Grey Area.........................................20 Kinerja Dalam Koridor Positif..........................................22
Antara Dua Pilihan .................................................6 Melampaui Kemustahilan? .....................................8
Regulasi Ekspektasi Beleid Transparansi..........................24
Aktualita Transformer Tembok Thamrin...............................10
Banyak harapan muncul seiring dengan pelantikan Agus Martowardojo sebagai Gubernur BI periode 2013 – 2018. Sepak terjang bank sentral pascaterbentuknya OJK tinggal menunggu aba-aba sang komandan.
Bank sentral terus menyuarakan agar perbankan lebih transparan menyangkut suku bunga dasar kredit, khususnya untuk segmen mikro. Ekspektasinya, suku bunga kredit mikro menjadi lebih murah dan kompetitif bagi debitor.
Internasional Prioritas Gajah Putih .........................................26
Suplemen
Piutang yang Nyata-Nyata Tidak dapat Ditagih
.........................................................7 PaninBank 2009 ....................................................11 Bank Syariah Mandiri..............................................17 PaninBank 2010 ....................................................19 PaninBank 2011 ....................................................25 Bank Mestika ........................................................27 Bank Jatim.............................................................28 Bank Bukopin
IBEX 2013:
Hitung Mundur Masyarakat Ekonomi ASEAN .......12 Profil
Felia Salim:
Perbankan Kita Punya Nilai Tambah....................14
2
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
Perbanas Utama
Titah Menggenjot Modal Pengaturan perbankan ke dalam BUKU menuntut bank-bank untuk gencar memperbesar modal. Makin besar modal, makin luas ruang ekspansi bagi bank umum. Kini banyak bank kecil yang mencoba naik kelas dengan meningkatkan modalnya. Seperti apa upaya bank menambah modalnya?
K
ebijakan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) yang digulirkan regulator membuat banyak bank yang sebelumnya leluasa melakukan banyak kegiatan usaha, kini menjadi terbatasi. Untuk dapat leluasa melakukan ekspansi, bank kini harus menyesuaikan modalnya. Hal itu dilakukan terutama agar bisa naik kelas atau masuk ke dalam kategori BUKU 3 dan BUKU 4. Bank Indonesia (BI) pada akhir November lalu telah mengeluarkan Peraturan BI (PBI) Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut, bank-bank kemudian dikelompokkan berdasarkan modal intinya. BUKU 1 terdiri atas bank umum dengan modal inti Rp100 miliar sampai dengan Rp1 triliun. BUKU 2 terdiri atas bank umum dengan modal inti Rp1triliun sampai dengan Rp5 triliun. BUKU 3 bank umum dengan modal inti Rp5 triliun sampai dengan Rp30 triliun. BUKU 4 bank umum dengan modal inti di atas Rp30 triliun. Adanya aturan tersebut tentu saja membuat para pemegang saham bank harus merogoh kocek lebih dalam agar banknya No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
3
Perbanas Utama
dapat melakukan ekspansi lebih leluasa lagi. Bank yang masuk dalam kategori BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dan kredit dalam bentuk aktivitas dasar; pembiayaan perdagangan; keagenan dan kerja sama dalam cakupan terbatas; sistem pembayaran dan electronic banking terbatas; penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; jasa lainnya; kegiatan sebagai perdagangan valuta asing; serta kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam rupiah yang lazim dilakukan oleh bank dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk BUKU 2 aktivitasnya sedikit lebih luas, tapi hanya dapat melakukan kegiatan usaha di dalam negeri. Hal itu berbeda dengan bank yang masuk ke dalam kategori BUKU 3 dan BUKU 4 yang dapat melakukan ekspansi usaha hingga luar negeri. Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Irwan Lubis, mengatakan, pembagian bank berdasarkan BUKU nantinya akan sangat memengaruhi izin usaha tiap bank. Seperti bank yang masuk dalam kategori BUKU 1 hanya diizinkan BI untuk melakukan bisnis standar perbankan. Beberapa usaha lain, seperti bancassurance, bank devisa, dan internet banking, masih dapat dilakukan tapi dengan seizin BI. “Kalau tidak boleh, sama sekali tidak bisa dilakukan, kecuali menambah modal dan berada di BUKU yang lebih tinggi sehingga diperbolehkan di BUKU 2 atau setelahnya,” jelas Irwan. Sekarang ini, dari sekitar 120 bank umum konvensional dan 11 bank umum syariah, sebagian besar bank masuk dalam kategori BUKU 1. Jumlahnya sekitar 89 bank umum. Bank umum dalam kelompok ini diwajibkan untuk menyalurkan 55% kreditnya kepada sektor usaha produktif. Sementara itu, jumlah bank yang dikategorikan ke dalam BUKU 2 jumlahnya diperkirakan mencapai 27 bank. Yang masuk dalam kategori BUKU 3 dan BUKU 4 diperkirakan hanya sebanyak 14 bank. Dari 14 bank umum tersebut, empat di antaranya masuk dalam kelompok BUKU 4. BI tampaknya menginginkan agar bank umum yang masuk dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4 dapat masuk dalam qualified ASEAN banks (QAB) sehingga dapat leluasa melakukan ekspansi usaha ke negara-negara lain di kawasan ASEAN. Kendati ketentuan BUKU tersebut cenderung membatasi kegiatan usaha bank, secara positif regulasi tersebut memotivasi para pelaku bisnis perbankan untuk menggenjot modalnya agar dapat naik ke kelompok BUKU yang lebih tinggi. Bank Jabar Banten (Bank BJB), misalnya. Dengan posisi modal inti saat ini yang mencapai Rp5 triliun, bank tersebut kini masuk dalam jajaran elite bank yang masuk dalam
4
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
kelompok BUKU 3. Dengan keleluasaan tersebut, rencananya, bank milik Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat dan Banten tersebut akan melakukan ekspansi ke negara-negara di kawasan Asia. Ke depan bank tersebut berancang-ancang untuk dapat masuk ke dalam kelompok bank yang berada pada BUKU 4. Menurut Direktur Utama Bank BJB, Bien Subiantoro, rencana ekspansi Bank BJB tersebut tercermin dari upaya kerja sama yang dilakukan bank tersebut dengan sejumlah agensi dalam rangka melayani jasa remitansi (pengiriman uang). Agensi-agensi tersebut itu di antaranya menjangkau Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan beberapa negara Timur Tengah. Bank BJB rencananya akan membuat subsidiary office di beberapa negara Asia. Pendirian subsidiary office merupakan langkah paling logis guna memperluas ekspansi di negara lain. Hal tersebut dilakukan karena Bank BJB harus menyesuaikan diri dengan regulasi negara tujuan. “Kami fokus ke Asia,” ungkap Bien. Sejumlah bank tampaknya memang memberikan respons positif terhadap ketentuan BUKU yang dikeluarkan BI. Salah satunya seperti yang dikemukakan Chief Country Officer Citibank NA Indonesia, Tigor M. Siahaan, yang mendukung langkah BI dalam mengatur bisnis perbankan sesuai dengan kondisi permodalan yang dimiliki tiap bank. Menurut Tigor, jika aturan tersebut berfokus mengatur sistem permodalan bank, dampaknya akan sangat baik bagi industri perbankan Indonesia. Pasalnya, bentuknya dianggap sudah terlihat. Dengan adanya aturan tersebut, para pelaku bisnis perbankan dapat makin fokus dengan bisnis usaha yang tengah digarapnya. “(Jadi), kalau pembagian bank berdasarkan permodalan dengan sistem tersebut, ke depan stabilisasi perbankan akan lebih terjaga,” tandas Tigor. Sejalan dengan Tigor, Direktur Utama BNI, Gatot M. Suwondo, mengatakan, BUKU akan membuat perkembangan usaha bank secara otomatis menyesuaikan dengan kemampuan permodalan masing-masing. Itu sebabnya, menurut dia, permodalan merupakan faktor utama pengembangan usaha bank. “Sekarang ini permodalan BNI telah cukup (untuk mendukung) pertumbuhan ke depan,” ucap Gatot. Ditilik dari sisi manfaat yang diterima, pengamat perbankan, Lin Chi Wei, mengatakan, ketentuan BUKU tersebut akan sangat menguntungkan bank-bank BUMN yang umumnya sudah masuk dalam BUKU 4. Dalam ketentuan BUKU tersebut bank-bank yang masuk dalam BUKU 4 atau bank dengan modal inti paling sedikit Rp30 triliun diwajibkan menyalurkan minimal 70% dari total kredit atau pembiayaannya ke usaha produktif. Umumnya bank-bank BUMN tersebut dianggap telah memenuhi persyaratan tersebut.
Dari 120 bank umum konvensional dan 11 bank umum syariah, sebagian besar bank masuk dalam kategori BUKU 1. Bank umum dalam kelompok ini diwajibkan untuk menyalurkan 55% kreditnya kepada sektor usaha produktif.
Upaya Bank Kecil Naik Kelas Ketentuan BUKU tentunya akan sangat membuat bankbank kecil mencari cara untuk meningkatkan permodalannya, terutama bank-bank kecil yang telanjur telah menjalankan usaha perbankan yang kegiatan usahanya masuk dalam kategori BUKU di atasnya. Tentu saja bank-bank tersebut harus kembali melakukan penyesuaian atau menambah modal agar dapat naik kelas dan beraktivitas dengan kegiatan usaha yang selama ini sudah mereka jalankan. Jika tidak, dengan sangat terpaksa, mereka harus melepas bisnis yang selama ini telah dilakoni. Upaya penambahan modal pastinya akan menjadi prioritas bagi bank-bank yang berada di kelompok BUKU 1 tapi ingin memperluas variasi bisnisnya. BI dalam hal ini memang memberikan masa transisi selama tiga tahun untuk bank umum dan lima tahun untuk bank pembangunan daerah (BPD). Strategi penambahan modal memang tergantung tiap-tiap bank. Merger, akuisisi, atau strategic partner dan sejumlah upaya penambahan modal lain menjadi beragam pilihan bagi bank-bank yang ingin naik kelas. Strategic partner dengan
mencari mitra untuk menambah modal merupakan pilihan yang akan dilakukan Bank Saudara. Bank yang berkantor pusat di Bandung tersebut rencananya akan menggandeng Woori Bank, bank asal Korea. Menurut Direktur Bank Saudara, Arief Budiman, saat ini Bank Saudara modal intinya baru mencapai Rp445,26 miliar. Untuk menembus BUKU 2, Bank Saudara harus menambah modal lagi sekitar Rp555 miliar. Dengan target tersebut, menurut Arief, pihaknya harus memiliki strategi yang tepat. “Sejak tahun lalu kami sudah mengumumkan akan bermitra dengan Woori Bank,” tegasnya. Arief yang juga Ketua Perhimpunan BankBank Nasional (Perbanas) Jawa Barat (Jabar) itu mengatakan, ketentuan BUKU tersebut memang menjadi perhatian khusus bagi bank-bank yang beroperasi di Jawa Barat. Tiap bank di Jawa Barat, terutama bank yang memiliki kantor pusat di Jawa Barat, memiliki strategi yang berbeda-beda untuk meningkatkan permodalannya. Bank lain yang tengah berupaya naik kelas adalah Bank Syariah Mandiri (BSM). Bank yang pada akhir 2012 memiliki modal inti sekitar Rp3,9 triliun itu kini berupaya mencari alternatif dengan melakukan penambahan modal. “Tahun depan (rencananya) akan ada penambahan modal dari Bank Mandiri (induk usaha) sehingga bisa mendekati Rp4,5 triliun. Jadi, bisa masuk BUKU 3,” ujar Direktur Utama BSM, Yuslam Fauzi. Selain itu, upaya lain yang bisa ditempuh BSM untuk menambah modal adalah dengan menahan perolehan laba. Termasuk juga melihat kemungkinan melakukan penambahan modal melalui pasar modal dengan melakukan penawaran umum saham perdana. Dengan begitu, pada akhir 2013 diharapkan BSM sudah bisa masuk dalam BUKU 3. Keleluasaan bisnis menjadi alasan bagi BSM untuk masuk BUKU 3. Selain upaya menambah modal secara organik ataupun dengan mencari mitra baru, upaya merger dan akuisisi merupakan pilihan lain yang dapat diambil bank agar bisa naik kelas ke BUKU di atasnya. Menurut ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, bank yang memiliki modal besar memiliki kesempatan untuk melakukan akuisisi. Pilihan akuisisi dikatakannya jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan merger. Alasannya, proses merger jauh lebih sulit dan umumnya banyak dilakukan pada waktu krisis. Sejumlah bank memang telah mengambil ancang-ancang untuk mengantisipasi kebijakan BUKU tersebut. Direktur Utama Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja, mengatakan, sejumlah peraturan yang dikeluarkan BI belakangan sangat baik dan kondusif dalam rangka mendorong penguatan modal bank dan mendorong daya saing perbankan di Indonesia sebagai antisipasi menghadapi ASEAN banking integration. Termasuk di dalamnya kebijakan BUKU. “Hal ini semua merupakan sinyalemen positif untuk terbentuknya sistem perbankan yang sehat dan berkelanjutan (sustainable),” tandas Parwati.n No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
5
Perbanas Utama
Antara Dua Pilihan Kebijakan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) yang akan berlaku pada akhir Juni 2016 membuat sebagian besar bank mesti berjibaku menambah modal. Jika tidak, kegiatan bisnis bank akan dibatasi sesuai dengan modal inti yang dimiliki.
P
eraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/26/ PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank telah dirilis Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu dan akan diberlakukan pada akhir Juni 2016. Berdasarkan PBI tersebut, bank dikelompokkan ke dalam empat kategori usaha (bank umum berdasarkan kegiatan usaha atau BUKU) sesuai dengan modal inti, yakni BUKU 1 dengan modal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 dengan modal inti Rp1 triliun sampai dengan kurang dari Rp5 triliun, BUKU 3 dengan modal inti Rp5 triliun sampai dengan kurang dari Rp30 triliun, dan BUKU 4 dengan modal inti di atas Rp30 triliun. Intinya, kebijakan tersebut menuntut bank-bank melakukan penambahan modal. Jika tidak, kegiatan bisnis yang dijalankan bank akan dibatasi. Pembatasan kegiatan bisnis tersebut terutama bagi bank yang masuk dalam BUKU 1 dan BUKU 2. Berbeda dengan yang ada dalam kategori BUKU 3 dan BUKU 4 yang dalam hal ini bank diperbolehkan melakukan seluruh kegiatan usaha. Bank yang masuk kategori BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar dalam rupiah. Kegiatan lain yang bisa dilakukan bank di kelompok ini yaitu
6
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
pembiayaan perdagangan, kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerja sama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit, dan jasa lainnya dalam rupiah. Selain itu, bank dalam kelompok ini hanya dapat melakukan kegiatan valuta asing (valas) terbatas sebagai pedagang valas. Sementara itu, bank di kelompok BUKU 2 dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas dalam rupiah dan valas. Mereka juga dapat melakukan kegiatan treasury terbatas mencakup spot dan derivative plain vanilla dan melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan di dalam negeri. Adanya kebijakan tersebut mendorong bank-bank kecil dan menengah untuk segera melakukan penambahan modal melalui berbagai cara. Bisa dengan initial public offering (IPO), mengundang investor strategis, dan meminta pemilik bank untuk menyuntikkan modal tambahan. Hal itu dilakukan agar bank tersebut bisa naik kelas ke kelompok yang lebih tinggi lagi, yang notabene lebih leluasa dalam menjalankan kegiatan usaha. Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah, mengingat jumlah bank yang masuk dalam kelompok BUKU 1 sangat dominan. Cara Menambah Modal Bank-bank kecil yang masuk dalam kelompok BUKU 1 memberikan respons terhadap kebijakan yang termaktub dalam PBI Nomor 14/26/PBI/2012. Bank-bank dalam kelompok ini sudah melakukan ancang-ancang untuk menambah modalnya. Penambahan modal bisa dengan cara suntikan modal dari pemilik saham bank, laba ditahan, dengan mengundang investor strategis, hingga penawaran saham perdana (IPO). Edy Kuntardjo, Direktur Utama Bank Ina Perdana, mengatakan, banknya akan melakukan pertumbuhan secara organik dan penambahan injeksi modal dari pemagang saham yang ada saat ini. Selain itu, bank yang saat ini masuk dalam BUKU 1 sesuai dengan modal inti yang dimilikinya ini akan menambah modal dengan cara mengundang investor strategis. “Kami menargetkan modal inti bisa mencapai Rp1 triliun atau lebih,” terangnya.
Budiarto Santoso, Direktur Bisnis Bank Ina Perdana, menjelaskan bahwa penambahan modal menjadi hal yang mesti dilakukan Bank Ina Perdana. Itu mengingat hal tersebut sudah menjadi ketentuan regulator (BI) melalui peraturan yang ada. Sama halnya dengan Bank Ina Perdana, Bank Mega Syariah juga berencana menambah modal, baik melalui suntikan pemegang saham maupun laba ditahan. Sebenarnya sebagai bank yang masuk dalam kelompok BUKU 1, Edy Kuntardjo menganggap Bank Ina Perdana tetap memiliki peluang bisnis yang bagus dan lebih fleksibel ketimbang bank besar. Bank Ina Perdana menerapkan strategi pengambilan keputusan yang lebih cepat, tapi tetap mengedepankan prudential banking sebab kalau bersaing dari sisi suku bunga sangat sulit. Intinya, kecil atau besar bukanlah pokok utama selama bank sehat dan memiliki prospek bisnis yang bagus. Sebagai informasi, sepanjang 2012 Bank Ina Perdana mampu membukukan total aset sebesar Rp1,51 triliun, kredit yang disalurkan sebesar Rp1,08 triliun, dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp1,33 triliun. Tingkat kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross Bank Ina Perdana sebesar 0,36%.
Di lain pihak, Bank Syariah Mandiri akan menambah modal dari induk usahanya, yakni Bank Mandiri, yang bakal meningkatkan modal inti menjadi Rp4,5 triliun serta menambah modal melalui laba usaha. Melalui cara itu, Yuslam Fauzi, Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, meyakini modal inti Bank Syariah Mandiri akan berada di atas Rp5 triliun pada akhir 2013. Dengan demikian, Bank Syariah Mandiri bisa masuk dalam kelompok BUKU 3. Berbeda dengan Bank Syariah Mandiri, Bank National Nobu (Nobu Bank) berencana menambah modal melalui IPO. Menurut Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Nobu Bank akan melepas saham di atas 40% dengan menggunakan laporan keuangan Oktober 2012 dan kemungkinan akan digelar pada Mei 2013. Hingga saat ini, modal inti Nobu Bank masih di bawah Rp1 triliun. Hoesen menjelaskan bahwa aksi korporasi tersebut dilakukan dalam rangka penyesuaian terkait dengan aturan permodalan dari BI, yakni PBI Nomor 14/26/PBI/2012. Dengan menambah modal, bank-bank tersebut berharap bisa masuk dalam kelompok BUKU setingkat lebih tinggi daripada posisi yang ada saat ini. Dengan demikian, ruang gerak atau bisnis yang dijalankannya menjadi lebih lebar.n
PT BANK BUKOPIN Tbk. PIUTANG YANG NYATA–NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK BUKOPIN Tbk. Sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang Undang Pajak Penghasilan Tahun 2008 dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-238/PJ./2001, dengan ini, PT Bank Bukopin Tbk. (Bank), mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih pada tahun 2011: Rp 176,904 201,014.Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1, Direktorat Jenderal Pajak, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan sebagai lampiran.
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
7
Perbanas Utama
Melampaui Kemustahilan? Kebijakan BI terkait dengan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) mendorong bank menengah dan kecil untuk menambah modalnya. Tanpa upaya itu, mustahil bank bisa melebarkan sayapnya.
M
elalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/26/PBI/2012 Tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, Bank Indonesia (BI) akhirnya membagi kelompok usaha bank berdasarkan besaran modal inti. Dengan kata lain, setelah aturan tersebut berlaku, pengembangan bisnis bank di negeri ini, baik menyangkut penambahan jumlah kantor cabang maupun produk atau jasa yang boleh dijalankan, sangat terkait dengan kekuatan permodalannya. Ketika melihat dengan jernih esensi bank sentral merilis kebijakan tersebut, banyak pihak di kalangan perbankan yang tak menampik beleid dimaksud. Pun dengan pihak Perbanas sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi wadah bagi perbankan di Tanah Air. Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengungkapkan, pada prinsipnya pelaku usaha di industri perbankan sangat sepakat dengan kebijakan dan langkah BI yang terus mendorong serta meningkatkan
8
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
kesehatan dan kekokohan perbankan nasional. Namun, Sigit mengingatkan, hendaknya BI berlaku adil dalam prosesnya ke depan, mengingat skala usaha dan ekspansi bank pada akhirnya bukan sekadar masalah ukurannya: bank besar, menengah, atau kecil. Penting untuk dipertimbangkan pula bahwa penguatan dan pengembangan bisnis bank idealnya berbasis risiko. Alhasil, jika ada bank kecil yang modalnya sesuai dengan profil risikonya, seharusnya bank bersangkutan diberi kesempatan yang sama dengan bank lainnya yang notabene lebih besar. “Kalau bank itu modalnya harus cukup (dan) sesuai profil risikonya, kami sangat sependapat. Tapi, jika sudah sesuai risikonya, kenapa tidak boleh hidup dan berkembang,” ujarnya mempertanyakan. Sigit berpandangan, asumsi bahwa hanya bank dengan besaran modal tertentu yang bisa lebih sehat dan efisien boleh dibilang sangat gegabah. Mengingat, di negeri ini jumlah bank kecil yang sehat dan efisien cukup banyak. Dalam bisnis perbankan, permodalan memang sangat penting. Namun, sekali lagi, hal tersebut sudah barang tentu juga sesuai dengan pilihan bisnis dan risikonya. Sementara itu, menurut Eko B. Supriyanto, Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Majalah Infobank, dalam tulisannya yang bertajuk “Menggiring Bank Kecil ke Habitatnya”, kebijakan yang dirilis BI tersebut justru seperti memberi ruang gerak yang lebih luas bagi bankbank besar yang notabene masuk kelompok bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 3 dan 4. Di lain sisi, bagi bank yang masuk kelompok BUKU 1 dan 2, hampir pasti mereka kurang diuntungkan lantaran ruang gerak bisnisnya terbatas.
Memang, beleid dimaksud menegaskan bahwa bisnis bank harus di-back up dengan modal yang kuat dan dikelola dengan baik. Namun, jangan lupa, aturan itu kian mempertegas konstelasi industri bahwa bank bermodal cekak terpaksa harus kembali ke habitatnya dan hanya menjalankan bisnis di komunitasnya. Nah, celakanya lagi, bagi bank-bank yang kembali ke habitatnya, prosesnya juga tidak mudah. Dalam tulisan yang sama, dia juga menjelaskan bahwa bank-bank kecil yang mendominasi populasi perbankan di Indonesia terbilang kuat di komunitasnya. Praktiknya, bank-bank kecil tersebut dapat melayani nasabah dengan lebih manusiawi dan hangat (dekat). Pelayanan yang sedemikian personal itu diyakini mampu menyuburkan loyalitas nasabahnya. Karena itu, bank-bank kecil hendaknya tidak berperilaku layaknya bank-bank besar yang mulai bergerak ke universal banking. Untuk itu, ada baiknya bankbank kecil lebih masuk ke pasar-pasar baru dengan nasabah kelas menengahbawah. Sejalan dengan hal tersebut, pemilik bank-bank kecil tetap perlu menambah modal atau setidaknya tak usah mengambil bagian dividennya. Dengan demikian, bank-bank kecil tak hanya dapat bertahan, tapi juga semakin kuat. Yang penting untuk dipahami, dengan kembali ke habitatnya, bank-bank kecil diyakini lebih memiliki kekuatan untuk melayani sekaligus mempertahankan nasabahnya sebaik mungkin. Apalagi, bank-bank kecil memiliki kedekatan emosional dengan para nasabahnya. Hal itu tentu sangat baik bagi perekonomian nasional karena financial deepening semakin menemukan hakikatnya di tengah aktivitas ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah di pelosok negeri. Yang tak kalah penting, kebijakan BI itu diharapkan tak membuat bank-bank kecil di Tanah Air diobral kepada investor asing. Pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendaknya tak memandang remeh bank-bank kecil yang jumlahnya mayoritas. Bank kecil juga bisa menimbulkan dampak sistemik jika mereka bermasalah saat krisis. Perlu diingat juga bahwa bank-bank kecil bisa menjadi jembatan penting bagi nasabah-nasabah kecil yang membutuhkan pembiayaan saat memulai usahanya. Bagi Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, kebijakan BI tersebut menjadi stimulus bank-bank kelas menengah untuk masuk ke bursa saham atau melakukan initial public offering (IPO). Namun, bank besar, terutama bank
badan usaha milik negara (BUMN), kemungkinan besar lebih memilih opsi penerbitan subdebt. Opsi itu dipilih agar kepemilikan pemerintah tidak terdilusi. Kondisi tersebut bisa terjadi jika bank BUMN menerbitkan saham baru. Di lain sisi, efek dari aksi penambahan modal oleh bank kecil akan membuka peluang bagi bank besar untuk melakukan akuisisi. Kecenderungan itu lebih besar ketimbang aksi merger karena lebih sulit dan akan menghilangkan identitas lama bank yang bersangkutan. Namun, akuisisi juga tak mudah dilakukan karena bank harus mempertimbangkan banyak hal, salah satunya kesesuaian profil risiko bank kecil yang akan diakuisisi. Selain pilihan-pilihan tersebut, bankbank kecil dan menengah bisa memilih opsi pengurangan persentase pembagian dividen bagi para pemilik sahamnya (dividen payout). Langkah itu ditempuh Bank Jabar Banten (Bank BJB). Menurut Bien Subiantoro, Direktur Utama Bank BJB, pihaknya akan terus menambah modal melalui pengurangan persentase dividen payout—jika sebelumnya sempat berada di angka 65%, kini berkurang jadi 55%. Ke depan, persentase itu akan terus dikurangi. Bien menambahkan, kebijakan itu tentu harus didukung pemegang saham. Melalui kebijakan pengurangan dividen, Bank BJB memastikan upaya penambahan modal secara simultan. Penguatan dan penambahan modal dilakukan sebagai upaya pengembangan bisnis bank secara berkesinambungan. “Dengan demikian, bank bisa terus meningkatkan permodalannya dari waktu ke waktu. Hal ini harus bisa dikomunikasikan dengan baik kepada pemegang saham agar berjalan lancar,” ungkapnya dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi, medio April lalu. Upaya itu ternyata mendapat apresiasi positif dari Sigit Pramono. Menurutnya, salah satu opsi yang bisa dilakukan bank untuk meningkatkan modal adalah dengan mengurangi pembagian dividen bagi pemilik saham bank. Langkah yang sama mau tidak mau harus dilakukan semua bank agar mereka dapat terus meningkatkan kapasitas bisnis maupun operasionalnya. Opsi itu dinilai tepat karena memang kemampuan pasar modal di Indonesia dalam menyerap aksiaksi korporasi untuk menambah modalnya masih terbatas. Namun, tak ada salahnya juga jika bank memilih opsi lain, yakni penambahan modal melalui investor baru. n No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
9
Aktualita
Transformer Tembok Thamrin Banyak harapan muncul seiring dengan pelantikan Agus Martowardojo sebagai Gubernur BI periode 2013-2018. Sepak terjang bank sentral pascaterbentuknya OJK tinggal menunggu aba-aba sang komandan.
T
entu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya pertimbangan sendiri terkait dengan pemilihan Agus Dermawan Wintarto Martowardojo (Agus D.W. Martowardojo) sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia (BI), menggantikan Darmin Nasution yang habis masa jabatannya Mei tahun ini. Nyatanya, sodoran SBY kali ini tak ditampik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Agus Martowardojo lolos uji kepatutan dan kelayakan yang dihelat oleh Komisi XI DPR pada pengujung Maret lalu. Sebanyak 46 suara—dari 57 anggota Komisi XI DPR yang hadir— mendukung Agus sebagai orang nomor satu di BI, 7 suara menolak, dan 1 anggota memilih tak memberikan hak suaranya. Ketika menjalani fit and proper test, pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 24 Januari 1956, ini mengaku tidak ragu sedikit pun. Jauh-jauh hari, Agus Martowardojo memang sudah melakukan persiapan yang cukup matang. “(Pada) fit and proper test (kali) ini saya bisa meyakini (akan dapat berjalan dan dilalui) dengan baik,” ujarnya. Adalah soal kompetensi dan integritas seorang Agus Martowardojo yang kemudian banyak ditaksir sejumlah kalangan sebagai modal sekaligus alasan kuat SBY memilihnya sebagai sang komandan bank sentral republik ini. Di industri perbankan dan keuangan, mantan Direktur Utama
10
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
Bank Mandiri periode Mei 2005-2010 ini tak diragukan lagi kemampuannya. Melalui tangan dinginnya, Agus Martowardojo mampu mengubah performa serta budaya kerja PermataBank dan Bank Mandiri yang notabene sama-sama bank hasil merger. Transformasi yang dilakukannya berbuah manis. Kinerja kedua bank tersebut semakin meningkat dan solid secara organisasi bisnis. Kini, tonggak-tonggak kesuksesan itu terus dilanjutkan peneruspenerusnya. Di ranah perbankan, kisah sukses itu lantas mengantarkannya menjadi Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) 2003-2006 dan Ketua Umum Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) 2006-2009. Tak hanya itu, Agus Martowardojo juga pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI) 2005-2007 dan 20072011. Secara organisasi, sosoknya memang tak perlu diragukan lagi. Pada setiap periode kepemimpinannya, Agus selalu memberikan warna dan terobosan berharga bagi organisasi yang dinakhodainya. Perjuangannya seputar penyelenggaraan uji kompetensi profesi bankir dan manajemen risiko untuk pengurus bank dan bankir yang dilakukan sendiri oleh asosiasi profesi merupakan salah satu pencapaian penting dalam pengembangan kompetensi dan profesionalitas sumber daya manusia (SDM) perbankan di Tanah Air. Sederet pengalamannya tersebut di satu sisi semakin memperdalam pemahamannya perihal pola dan
dinamika sektor riil (mikro-ekonomi). Di lain sisi, itu semakin mempertajam intuisinya tentang bagaimana SDM perbankan di negeri ini harus dikembangkan ke arah yang lebih tepat sesuai dengan kebutuhan bisnis yang semakin kompleks. “Tenaga dalam” yang dimilikinya pun makin kuat ketika SBY melantiknya sebagai Menteri Keuangan RI ke-27, menggantikan Sri Mulyani Indrawati, pada 20 Mei 2010. Kompleksitas tantangan di bidang fiskal dan makroekonomi menjadi konsentrasinya. Ketika bertugas di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Agus Martowardojo dinilai sukses memelihara defisit fiskal sekaligus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Secara profesional dan prudent, selama tiga tahun terakhir, dia terbukti mampu mengelola keuangan negara dengan cukup baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Kombinasi pengalaman serta wawasan di bidang mikro (perbankan dan sektor riil) dan makro-ekonomi (fiskal dan stabilitas moneter) yang dibalut kuat dengan kompetensi dan integritas itulah yang semakin meyakinkan pemimpin negara memilihnya sebagai Gubernur BI yang baru. Ke depan, Agus
Martowardojo akan mengisi “amunisi” di tubuh bank sentral dengan fungsi dan peran yang semakin fokus, yakni sebagai pengatur stabilitas moneter dan regulator di bidang sistem pembayaran. Relasinya yang apik dengan anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) diharapkan mampu menguatkan soliditas, sehingga forum tersebut dapat segera mengambil keputusan di kala mendesak akibat krisis dan tekanan ekonomi yang bisa datang kapan saja. Sehubungan dengan kepemimpinannya sebagai Gubernur BI yang baru, Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, berharap, Agus Martowardojo dapat melahirkan dan membawa stimulus yang positif dan konstruktif bagi perekonomian nasional. Selain itu, pihaknya berharap, Gubernur BI yang baru dapat menularkan pemahaman yang lebih baik lagi terhadap lembaganya mengenai bisnis perbankan di Tanah Air. Yang tak kalah penting, Perbanas perlu menyampaikan bahwa Agus Martowardojo dituntut mampu membuat kebijakan makroprudensial yang benar-benar efektif—bagi pelaku ekonomi, termasuk perbankan—dan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan ekonomi bangsa.n
PIUTANG YANG NYATA – NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH Sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan No.105/PMK.03/2009, dengan ini PT Bank Pan Indonesia Tbk Mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih sebagai berikut: Tahun 2009
Rp. 1.159.444.225.605,-
Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di bank dan yang diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1 Direktorat Jenderal Pajak, sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
11
Aktualita
IBEX 2013:
Hitung Mundur
Masyarakat Ekonomi ASEAN Dalam waktu dekat MEA akan menjadi realitas yang tak bisa dibendung lagi arusnya. Semua stakeholders, terutama sektor perbankan, harus mengonsolidasikan segenap sumber daya yang ada dan terus mempersiapkan SDM-nya sebaik mungkin. Kita tak boleh lengah.
D
ua tahun ke depan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi dinamika perekonomian yang nyata bagi segenap masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Tak sedikit pihak yang terlibat di dalamnya merasa yakin bahwa terintegrasinya pasar ASEAN kelak bakal membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah ASEAN dan sekitarnya. Imbas MEA digadang-gadang sangat positif dan konstruktif bagi negara-negara anggota ASEAN. Ekspektasinya, ASEAN menjadi kekuatan ekonomi dunia baru yang layak diperhitungkan di pentas dunia. Itulah kenapa, pemerintah hingga hari ini masih optimistis bahwa MEA akan membuka peluang yang riil bagi republik ini untuk memajukan ekonominya. Pemerintah menilai, ASEAN merupakan partner perdagangan barang dan jasa yang strategis. Kekuatan modal para pelaku usaha di kawasan regional ini juga merupakan sumber penting bagi penguatan ekonomi domestik, khususnya di bidang investasi. Karena itu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, MEA hendaknya disikapi dengan penuh teliti sebagai dinamika ekonomi baru yang memberi peluang sekaligus sederet tantangan di dalamnya.
12
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, pun tak menampik pandangan bahwa MEA akan menyodorkan peluang dan tantangan bagi pelaku ekonomi di Indonesia, termasuk industri perbankan. Jumlah penduduk negeri ini yang begitu besar tentu akan menjadi target pasar yang empuk bagi perbankan negeri jiran, khususnya Singapura dan Malaysia. Pasar di kedua negara tersebut ditengarai makin sesak dan jenuh. Rasio kredit terhadap pendapatan domestik bruto di Singapura sudah mencapai 129%, sementara Malaysia 118%. Di Indonesia sendiri rasio dimaksud baru sekitar 30%. Di lain sisi, Indonesia mengontribusi sekitar 56% dari total penduduk di ASEAN-5. Kendati republik ini akan menjadi target pasar perbankan negeri jiran, praktiknya tak semudah yang dibayangkan. Wakil Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI), Felia Salim, justru melihat hal itu sebagai peluang bagi perbankan nasional. Menurutnya, pelaku bisnis perbankan di Tanah Air memiliki nilai lebih (keunggulan) dibandingkan dengan perbankan negara ASEAN. Keunggulan itu tak lain adalah pemahaman pasar (market insight). Itu artinya, bank-bank yang ingin masuk ke Indonesia tak bisa serta-merta bermain di pasar Indonesia. Setidaknya,
mereka butuh waktu untuk memahami market di negeri ini. dan ide-ide konstruktif menghadapi MEA, ajang IBEX 2013 Nah, peluang yang muncul kemudian bisa jadi adalah dilaksanakan dalam dua program besar, yakni kegiatan partnership. Sebab, bagaimanapun, investor asing pasti akan seminar dan diskusi ahli (expert panel) serta kegiatan banking membutuhkan local talent untuk menyukseskan bisnis dan exhibition dan pameran (pelaku usaha mikro, kecil, dan investasinya di negeri ini. menengah/UMKM). Dalam kegiatan pameran, menurut Namun, jangan lupa juga bahwa hari ini perbankan informasi, IBEX 2013 akan diramaikan oleh sekitar 70-an nasional tengah menghadapi kompetisi yang tidak gampang, stan, baik dari perbankan, perusahaan vendor, maupun pelaku terutama dengan sejumlah bank papan atas di kawasan UMKM yang sukses dibina dan difasilitasi perbankan. ASEAN. Boleh dibilang, beberapa negara anggota ASEAN Sementara, seperti halnya kegiatan seminar ataupun expert telah berhasil mengonstruksi industri perbankan mereka hingga panel pada event tahun lalu, IBEX 2013 juga menghadirkan ke titik yang lebih efisien ketimbang Indonesia. Cerita sukses sejumlah narasumber (pembicara) yang merepresentasikan itu lahir karena mereka mampu merevitalisasi infrastruktur pemangku kebijakan ataupun para ahli, baik dari dalam perbankan ke arah yang lebih baik, khususnya di bidang maupun kawasan ASEAN. teknologi informasi (TI) dan komunikasi serta sumber daya Melalui seminar dan diskusi ahli yang mengusung temamanusia (SDM). tema seputar manfaat MEA bagi pelaku bisnis di Indonesia, Setidaknya, selain peningkatan kinerja yang berkualitas, kesiapan menghadapi MEA, SDM, TI dan komunikasi di menurut catatan Sigit, dua hal itulah yang penting untuk bidang perbankan, serta regulatory competitiveness, Felia dikembangkan pelaku bisnis berharap, pelaku bisnis perbankan perbankan di Tanah Air. Dus, maupun pemangku kebijakan dapat Berangkat dari “kegelisahan” untuk memperoleh pengetahuan dan perbankan juga perlu berinovasi menciptakan hal ataupun prototipe deskripsi yang komprehensif menangkap peluang sekaligus (model) bisnis baru, sehingga sederet tantangan yang menghadapi segudang tantangan MEA mengenai pelayanan perbankan di negeri ini bakal dihadapi ke depan. 2015 yang akan datang, Perbanas semakin komplet dan inklusif. Dari informasi-informasi yang dihimpun melalui berbagai forum mengusung tema “Penguatan Struktur Indonesia Banking Expo 2013 tersebut, IBEX 2013 diharapkan Perbankan Nasional untuk Berangkat dari “kegelisahan” untuk mampu melahirkan upaya-upaya menangkap peluang sekaligus solutif, knowledge bank, serta Meningkatkan Daya Saing dalam menghadapi segudang tantangan MEA rekomendasi yang konkret untuk Menghadapi Era MEA” pada 2015 yang akan datang, Perbanas menyokong kesiapan segenap pergelaran tahunan Indonesia Banking stakeholders industri perbankan dan mengusung tema “Penguatan Struktur Perbankan Nasional untuk pelaku usaha lainnya di Tanah Air Expo (IBEX) 2013. Meningkatkan Daya Saing dalam dalam menghadapi MEA 2015. Menghadapi Era MEA” pada “(Yang pasti), MEA sudah di depan pergelaran tahunan Indonesia Banking Expo (IBEX) 2013. IBEX mata. Jadi, ada baiknya kita duduk bersama semua kali ini akan digelar di Assembly Hall Jakarta Convention Center, stakeholders untuk melakukan konsolidasi,” cetus Felia. Jakarta, pada 23-25 Mei 2013. Pihak Bank Indonesia (BI) juga sepakat bahwa upaya Melalui IBEX 2013, Perbanas berharap, industri perbankan konsolidasi perbankan merupakan hal yang tak bisa ditawar. dan pemangku otoritas di bidang perbankan dan keuangan dapat Untuk itu, pihak BI memberikan arahan berupa agenda-agenda memperoleh gambaran yang konkret dan komplet mengenai ke depan yang mesti diterjemahkan secara konkret oleh kesiapan perbankan nasional menghadapi MEA mendatang. industri perbankan nasional. Apa saja? Satu, perbankan Tentunya, setelah perhelatan ini usai, diharapkan dapat diambil hendaknya melakukan transformasi bisnis yang di dalamnya solusi taktis dan strategis yang dirumuskan secara bersama oleh meliputi business strategy and development, peningkatan daya pelaku perbankan maupun regulator. Sehingga, ketika waktunya saing dan pelayanan, serta peningkatan capacity and tiba, perbankan nasional benar-benar siap berkompetisi dengan institutional building. Dua, menguatkan tingkat kesehatan bank-bank dari negeri seberang. secara keseluruhan, terutama manajemen risiko, governance, Steering Committee IBEX 2013, Felia Salim, dan permodalan. Tiga, melakukan konsolidasi dan aliansi mengungkapkan, tema tersebut sengaja dipilih untuk strategis secara proaktif. menumbuhkan kesadaran yang hakiki mengenai betapa penting Selain berbagai kegiatan tersebut, ada acara yang relatif baru dan strategisnya MEA bagi pelaku bisnis perbankan dan pada perhelatan yang didukung oleh BI, Ikatan Bankir Indonesia pebisnis di Tanah Air. Selain mengingatkan tentang peluang ke (IBI), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), depan—dengan populasi penduduk di ASEAN yang mencapai Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), 600 juta orang—pihaknya memiliki kewajiban moral untuk dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) ini. Acara menyemangati bahwasanya perbankan dan pengusaha nasional dimaksud yaitu “Perbanas Innovation Award”. Menurut Felia, harus “mati-matian” mempertahankan keberlangsungan bisnis tujuannya adalah mendorong pelaku bisnis perbankan di Tanah dan keberadaannya di “pekarangan” sendiri. Air untuk mengeksplorasi ide dan inovasi-inovasi mutakhir yang Felia menjelaskan, untuk mengakomodasi lahirnya solusi terkait dengan pengembangan bisnis bank ke depan. n No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
13
Profil
Felia Salim:
Perbankan Kita Punya Nilai Tambah Era pasar bebas membuat persaingan bisnis bank semakin ketat. Agar survive dan tumbuh berkesinambungan, perbankan nasional mesti jeli menganalisis peluang dan mengembangkan kemampuannya. Jangan lupa, perbankan nasional punya nilai tambah yang tak dimiliki pemain asing.
M
asyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diimplementasikan pada 2015 dan untuk sektor perbankan pada 2020. Dengan berbagai kondisi yang ada, perbankan nasional harus siap menghadapi era keterbukaan atau pasar bebas yang sudah makin dekat timing-nya. Perbankan nasional pun dituntut mampu bersaing dengan perbankan di kawasan regional sekaligus menjadi pemain utama di negeri sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, Felia Salim, Wakil Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI), yang tahun ini dipercaya Perbanas sebagai Ketua Steering Committee IBEX 2013, berpandangan, segenap stakeholders perbankan, termasuk pemangku otoritas kebijakan, seyogianya berkonsolidasi untuk mempersiapkan diri menghadapi MEA 2015. Dalam pandangannya, kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menyiapkan perbankan nasional menuju pasar bebas di kawasan ASEAN sudah tepat. Misalnya, kebijakan terkait dengan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) dalam multiple license policy. Menurutnya, melalui kebijakan tersebut BI terus berupaya menata kembali dan mengonsolidasikan kekuatan perbankan nasional. Di sela-sela kesibukannya, Felia Salim berkenan menerima Probank dalam sebuah sesi wawancara, belum lama ini. Pada kesempatan itu, Felia membagi pandangannya seputar perbankan nasional berikut peluang dan tantangannya ke depan. Tak lupa, dia juga memaparkan sepak terjang BNI menjelang implementasi MEA 2015 dan informasi perhelatan IBEX 2013 itu sendiri. Berikut nukilannya: Pendapat Anda soal ekonomi dan perbankan nasional dewasa ini? Ekonomi nasional dari demand side-nya tak bisa dimungkiri sangat besar. Karena itu, Indonesia menjadi perhatian dunia, termasuk investor asing yang ingin masuk ke sini. Walau sekarang ada 120 bank, tingkat penetrasinya terbilang masih rendah. Ini karena masalah struktural, sebut saja platform infrastrukturnya belum memadai. Hal itu harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan. Di lain sisi, agar ekonomi nasional dapat tumbuh berkesinambungan, perbankan hendaknya tak hanya melayani demand side, yakni kredit konsumsi, namun juga harus melayani supply side, yakni sektor produktif.
14
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
Sampai dengan tahun 2030 nanti, Indonesia masih memiliki bonus demografi yang besar dengan daya beli (masyarakat) yang kuat. Ini menjadi peluang bagi perbankan untuk dapat memanfaatkannya secara optimal. Pembiayaan ke sektor produktif akan memberikan dampak pengganda yang luas terhadap perekonomian nasional. Ujung-ujungnya akan menaikkan level kesejahteraan rakyat. Di sinilah perbankan bisa masuk menawarkan produk dan jasa keuangan untuk segmen consumer and retail. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bergerak seimbang. Bagaimana BNI menyikapi paradigma tersebut? Dalam beberapa tahun terakhir, BNI melakukan pengembangan terhadap business model design dan operating model design yang lebih fokus terhadap tatanan tersebut, utamanya untuk mengakomodasi kebutuhan demand side dan supply side. Dalam hal ini kami telah membentuk dua fokus bisnis, yaitu business banking dan consumer and retail banking. Kami benar-benar mendalami sektor produktifnya di sektor riil, yakni melalui penetapan delapan sektor unggulan dan sektor ritel-konsumer. Kedelapan sektor tersebut adalah pertanian; kelistrikan; minyak, gas dan pertambangan; rekayasa dan konstruksi; komunikasi; makanan dan minuman; dan kimia. Dari fokus delapan sektor industri unggulan itu diturunkan ke dalam masing-masing wilayah, di mana BNI membaginya dalam 15 wilayah. Dari setiap wilayah tersebut ada sektor unggulannya, masing-masing wilayah memiliki lima sektor ekonomi unggulan sesuai dengan potensi ekonominya. Melalui pengelompokan dan model tersebut, tentu saja kami juga menyiapkan enabling functions dari sistem, tata kelola, teknologi informasi, human capital, dan sebagainya. Itulah model bisnis yang dikembangkan. Elaborasi seperti apa yang diharapkan BNI ketika fokus pada delapan sektor itu? Sektor-sektor produktif yang saya sebutkan tadi diupayakan dapat memberi multiplier effect, sehingga bisa memperkuat dan memperluas basis perekonomian nasional yang lebih berkualitas, bukan hanya berbasis perdagangan dan jasa. Banyak pengamat dan analisis yang menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi utama dalam beberapa dekade mendatang. Disebutkan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di
dunia pada 2030. Bahkan, ada yang menyebutkan Indonesia menjadi negara kelima terbesar di bidang ekonomi pada 2050. Namun, yang terpenting bagi saya justru melihat kenyataan yang ada saat ini dan terus melakukan perbaikan terhadap sejumlah pekerjaan rumah, seperti masalah infrastruktur. Di sini teknologi informasi (TI) dan komunikasi menjadi hal penting bagi perbankan ke depan, termasuk untuk memperluas akses masyarakat ke lembaga keuangan terkait dengan modal atau kredit. Berkaca pada kebijakan BUKU, misalnya, apakah aturan itu benar-benar dapat memperbaiki kondisi perbankan ke depan? Segmentasi bank berdasarkan BUKU oleh Bank Indonesia dimaksudkan untuk menata strata bank-bank atas dasar kepemilikan modal intinya dikaitkan dengan strategi pengembangan jangkauan operasional. Dari sudut pandang pihak asing, kebijakan ini dipandang dengan skeptis atau seolah-olah Indonesia defensif. Saya berpandangan sesungguhnya Indonesia sedang menyiapkan diri dan menyelaraskan kebijakan perbankan dengan kebijakan-kebijakan perbankan yang telah diterapkan oleh negara-negara tetangga. Kalau visi ASEAN menuju pasar yang lebih terintegrasi, maka saya memandang perlunya dilakukan harmonisasi kebijakan. Tentu sebagai pelaku usaha diharapkan ada konsistensi bersama dalam melangkah ke depan. Intinya, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian di tingkat regional. Pandangan yang lebih konkret mengenai kebijakan BUKU seperti apa? Saya melihat, kebijakan multiple licence itu untuk memetakan atau menyegmentasikan pasar perbankan. Misalnya, bank yang bermodal di bawah Rp1 triliun mungkin diharapkan dapat memilih dan menentukan market niche-nya. Dan, kebijakan BI dimaksud juga untuk penguatan dari sisi prudential management. Dengan demikian, diharapkan bank-bank yang bermodal minim dapat mengukur dirinya masing-masing sejauh mana bisnis yang bisa mereka garap dengan tepat. Intinya, kebijakan tersebut adalah untuk menyelaraskan antara kondisi dan perkembangan perbankan nasional dengan perkembangan trade relationship di kawasan regional yang semakin tinggi. Dan, melalui proses penyelarasan dimaksud, dengan sendirinya sektor keuangan akan semakin terintegrasi. Itu artinya, harus ada harmonisasi di tingkat regulasi dalam mengantisipasi hal tersebut. Jadi, harmonisasi regulasi dimaksud sangat make sense atau masuk akal. Kebijakan dimaksud juga untuk mengantisipasi keterbukaan pasar ekonomi ASEAN pada awal 2016 nanti. Bank kecil mungkin agak sulit menambah modal. Apakah hal itu akan mengundang investor asing masuk? Saya berpikir, yang penting adalah apakah perekonomian kita akan memperoleh manfaat atau tidak dari proses-proses akuisisi dan sejenisnya itu, dan bukan hanya pemilik atau investornya yang memperoleh manfaat. Saya berpikir positif saja, lebih baik bagi kita melihat manfaatnya terhadap perekonomian bangsa. Jadi, lebih baik arah diskusinya didorong kepada apa sebenarnya ultimate goals atau tujuan akhir dari masing-masing pemilik. Selain itu, investor asing tetap akan butuh mitra lokal untuk memahami pasar yang ada di dalam negeri. Melalui partnership itu, diharapkan modal dan sistem yang mereka miliki bisa berjalan dan berhasil. Kebutuhan akan partner lokal itu akan menjadi complementary-nya bagi investor asing. Jadi, ketergantungan tidak hanya ada di satu pihak. Di lain sisi, selama penetrasi perbankan nasional masih rendah, kita harus tetap optimistis bahwa perkembangan perbankan masih akan terus baik. Apalagi, kita sedang mempersiapkan pasar yang lebih besar, yakni pasar regional. Tinggal bagaimana kemampuan dan prioritas masing-masing bank. No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
15
Profil
Di samping itu, yang tak kalah penting, ada nilai lebih yang tidak dimiliki investor atau pemain asing, yakni kita mengetahui dengan baik pasar domestik kita sendiri. Customer insight atau pemahaman pasar tersebut tak bisa dibeli begitu saja, tidak seperti modal ataupun sistem. Jadi, saya melihatnya demikian. Para pemain asing akan bermitra dengan pemain atau pelaku bisnis bank domestik. Itu terjadi karena nilai tambah yang dimiliki pemain domestik terkait dengan pemahaman pasar tadi. Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan? Yang terpenting, kita bisa ‘membumi’. Artinya, mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Dengan demikian, euforia terkait dengan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia tak berlebihan. Indonesia akan tetap menjadi negara dengan ekonomi yang baik dan menarik, baik untuk investor asing maupun domestik. Memang, kita mesti pandai dan cermat melihat peluang. Misalnya, Jepang. Saat ini Jepang butuh lahan atau lokasi ekonomi di luar negara itu agar bisa terus mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Terkait dengan peluang yang ada, BNI pun membuka Japan Desk dan melakukan berbagai kerja sama dengan regional bank di Jepang. Melalui kerja sama itu, diharapkan perusahaanperusahaan Jepang mau merelokasi usahanya ke Indonesia. Saat ini, BNI Cabang Tokyo sedang mengalami kesibukan yang tinggi. Hal ini kami baca sebagai peluang yang harus dicermati dengan baik. Kita harus bisa melihat momentum dengan baik dan bijak. Terkait dengan IBEX 2013, tema apa yang akan diusung? Tema yang diambil adalah ‘Penguatan Struktur Perbankan Nasional untuk Meningkatkan Daya Saing dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)’. Hal itu diangkat karena
MEA sudah di depan mata. Jadi, ada baiknya kita duduk bersama semua stakeholders untuk melakukan konsolidasi. Kegiatan apa saja yang akan diselenggarakan pada IBEX 2013? Hal-hal yang terkait dengan MEA 2015 adalah masalah ekonomi, perdagangan, dan investasi. Maka dari itu, dalam IBEX 2013 ini kami menyiapkan beberapa aktivitas, seperti seminar, diskusi panel ahli, pameran atau expo, dan kontes kesenian. Dalam kegiatan seminar, diangkat empat tema, yakni “Kesiapan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan Asia Tenggara dalam Menghadapi Era MEA”; “Peran MEA dalam Mendukung Perdagangan & Investasi di Kawasan Asia Tenggara; “Kesiapan Sektor Keuangan dan Perbankan Nasional dalam Menghadapi Era MEA”; dan “Inovasi Teknologi untuk Mendukung Kesiapan Perbankan terhadap Gelombang Perdagangan Bebas dalam MEA”. Sementara dalam diskusi panel ahli, subtema yang digelar adalah “Regulatory Competitiveness dalam Menghadapi Era MEA”; “Talent Management Implications to be Ready for 2015”; “Peran Perbankan dalam Mendorong Creativepreneurship dalam Menghadapi MEA”; “Inovasi Teknologi untuk Mendukung Kesiapan Perbankan dalam Menghadapi Gempuran Perdagangan Bebas”; “Enabling Indonesia Uniqueness to Bring Competitive Advantage of Islamic Banking”; dan “Kesiapan Perbankan Daerah Menghadapi MEA 2015”. Selain itu, ada pameran industri perbankan dan finansial Indonesia serta show case peran perbankan bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Melalui IBEX tahun ini, Perbanas ingin perbankan sebagai intermediary dapat mengonsolidasikan diri. Dalam IBEX 2013 juga akan di-launch pemberian ‘Inovation Award’, yakni penghargaan bagi bank-bank yang sukses melakukan inovasi dalam bisnisnya. Terakhir, dipentaskan pula lomba banking performance dalam bentuk pentas seni yang diikuti oleh bankbank nasional untuk memeriahkan IBEX 2013 ini.n
Menjumput Nilai dari Sesuatu yang Baru Kehidupan terus bergerak dan akan terus menciptakan sesuatu yang baru, misalnya ilmu dan pengetahuan yang baru. Setidaknya, filosofi itu yang mendasari kehidupan Felia Salim. Dalam setiap kurun waktu, Felia selalu berupaya memahami keadaan zaman dan perkembangan yang terjadi serta nilai “keberadaan dirinya” dalam setiap pusaran kehidupan yang dilaluinya. Untuk memahami jiwa zaman, Felia tak segan berkumpul dengan generasi muda di lingkungan kerjanya saat ini. Beberapa waktu terakhir, Felia pun menghidupkan suatu kelas atau program bagi generasi muda di Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam kelas tersebut, setiap orang bebas menyampaikan pikiran dan inovasinya. Menurut peraih gelar master ilmu ekonomi politik dari Universitas Carleton, Ottawa, Kanada, ini, kelas dimaksud terbukti sangat efektif karena pendekatannya dilakukan secara nonformal dan dua arah. Alhasil, cukup banyak ide dan inovasi yang bisa diterapkan dan diadaptasi untuk pengembangan BNI ke depan. Proses-proses memahami zaman tak hanya dilakukan Felia di bidang formal. Di bidang yang lain, mantan direktur di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) ini secara konsisten mengaku terus belajar dan mencoba sesuatu yang baru. Sekadar informasi, proses-proses yang demikian itu memang telah menjadi “kebiasaan” yang membenam dalam dirinya. Usai belajar piano, misalnya, Felia menargetkan untuk belajar saksofon. Kemudian, beralih untuk mendalami proses-proses penulisan fiksi maupun nonfiksi. “Saya senang dengan sesuatu yang baru,” ungkapnya.
16
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK SYARIAH MANDIRI
Sesuai Pasal 6, ayat (1), Huruf h UU PPh No.36 Tahun 2008, dengan ini PT Bank Syariah Mandiri mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Tahun 2012 sebagai berikut:
Tahun 2012
Rp170.543.612.543,-
Rincian Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Besar Empat, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan sebagai Lampiran.
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
17
Liputan Khusus
Kuda-Kuda Alih Pengawasan Pengawasan perbankan akan beralih ke OJK pada awal 2014. Agar tidak terjadi “guncangan” dan beban biaya, perlu disiapkan strategi pengalihan yang matang.
M
ulai 1 Januari 2014, pengawasan perbankan di Tanah Air akan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terkait dengan hal itu, saat ini OJK tengah mematangkan strategi pengalihan pengawasan perbankan yang akan dilakukan. Berbagai sosialisasi dan persiapan pun dilakukan lembaga ini. Seperti apa strategi pengalihan tersebut? Menurut Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang juga merangkap sebagai Anggota Dewan Komisioner OJK, saat ini telah dibentuk tim transisi di OJK dan Task Force OJK di Bank Indonesia (BI). Selain itu, OJK dan BI menyusun struktur organisasi perbankan yang akan diterapkan OJK pada awal pengalihan, menyesuaikan struktur organisasi sektor pengawasan di BI, implementasi mirroring BI-OJK, monitoring efektivitas struktur baru, serta implementasi strategi pengalihan fungsi pengawasan. Nelson juga menjelaskan bahwa pengembangan yang dilakukan tersebut tentu dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas, termasuk di dalamnya pemanfaatan sistem teknologi informasi (TI) dan pengembangan sistem informasi yang terintegrasi. “Intinya, apa yang tengah dibangun dan akan dilakukan pada waktunya nanti diharapkan tidak menambah beban baru atau (menimbulkan) tambahan biaya bagi para pelaku usaha di sektor jasa keuangan,” terangnya.
18
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
Demi memaksimalkan fungsi dan tugas pengawasan, OJK juga tengah mendesain organisasi pengawasan di setiap daerah. Terkait dengan efisiensi dan efektivitas, sistem yang digunakan BI saat ini nantinya akan digunakan dan dikembangkan pula oleh OJK. Hal itu bertujuan untuk mengurangi beban industri. Termasuk, bentuk pelaporan nantinya hanya akan dilakukan satu kali, walaupun ke depan ada pengawasan secara makro oleh BI. “Saat ini juga tengah dibentuk asisten deputi gubernur di BI yang nantinya akan menjadi Asisten Komisioner OJK untuk bidang pengawasan perbankan,” jelasnya. Pematangan lain yang terus dilakukan juga terkait dengan peran penyidikan. Sebelumnya, penyidikan dilakukan oleh pegawai Bapepam-LK. Namun, OJK menemui kendala lantaran pegawai OJK bukan pegawai negeri lagi, sehingga tidak bisa melakukan penyidikan. Memang diperbolehkan menggunakan instansi lain, seperti Kementerian Keuangan dan Kejaksaan. “Namun, sulitnya itu adalah lintas instansi dan belum tentu mereka memahami bidang perbankan atau keuangan,” ungkapnya. Sementara itu, terkait dengan pengawasan bank secara makro dan mikro—dalam hal ini BI memiliki wewenang melakukan pengawasan secara makroprudensial—OJK dan BI telah dan terus melakukan pembahasan secara intensif. “Ini masih terus dibicarakan dan dimatangkan. Misalnya saja, bagaimana mekanisme dan pola yang akan dilakukan. Selain itu, kami melakukan pembahasan mengenai strategi pemenuhan sumber daya manusia (SDM),” tuturnya. Terkait dengan bidang peraturan, OJK memastikan bahwa seluruh peraturan BI otomatis tetap berlaku pada masa awal beralihnya fungsi pengawasan, dan dilakukan harmonisasi peraturan antarsektor keuangan. Prinsipnya, apa yang diterapkan akan mengikuti prinsip rule making rules dalam penyusunan peraturan. Namun, jika peraturan yang berlaku pada awal pengalihan menimbulkan masalah dan keluhan, OJK akan mereview dan mengevaluasinya. Intinya, harus tetap stabil. Perlindungan konsumen Perlindungan konsumen menjadi salah satu poin penting
yang dikedepankan OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Tentu saja, hal itu terkait erat dengan maraknya berbagai penipuan investasi dan keluhan konsumen (nasabah) beberapa waktu terakhir. Apalagi, menurut data yang dilansir Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), jumlah pengaduan konsumen dari waktu ke waktu terus meningkat, termasuk pengaduan nasabah di sektor perbankan. Menurut data YLKI pada 2011, jumlah pengaduan nasabah di sektor perbankan mencapai 112 pengaduan. Lalu, meningkat menjadi 115 pengaduan pada 2012. Penyebabnya, antara lain pembebanan atau penaikan biaya secara sepihak dan kesulitan dalam penutupan account. Terkait dengan hal itu, OJK telah menyiapkan sistem keamanan dan perlindungan bagi para nasabah untuk mencegah praktik penipuan hingga penggelapan dana. Sistem yang dibangun tentu akan terintegrasi dengan semua sektor jasa keuangan, baik perbankan, pasar modal, maupun lembaga keuangan nonbank. Harapannya, kenyamanan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai nasabah industri semakin meningkat. Dengan demikian, tujuan OJK untuk mendorong kegiatan sektor jasa keuangan, mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, serta melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 bisa terwujud. Sistem terintegrasi itu akan menampung aduan-aduan konsumen untuk kemudian ditindaklanjuti hingga tercapai penyelesaian tanpa merugikan konsumen. Dengan demikian, layanan pengaduan bisa lebih efektif mencegah kerugian nasabah yang lebih besar. Sementara itu, menurut Sri Rahayu Widodo, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, saat ini OJK sudah memiliki draft aturan dan tengah meminta masukan dari pelaku industri. Rencananya, aturan tersebut akan mulai diberlakukan pada semester pertama 2013, setelah direvisi berdasarkan masukan dari pelaku industri. Dalam rancangan tersebut, perlindungan terhadap nasabah meliputi tiga hal, yakni transparansi dan penjelasan produk; adanya penjelasan dari lembaga keuangan terkait dengan risiko, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang; dan manfaat yang didapatkan konsumen jika membeli produk yang ditawarkan. Melalui tiga hal tersebut, OJK berharap bisa menurunkan tingkat kesalahpahaman nasabah terhadap industri keuangan dan mencegah kerugian nasabah. Dengan demikian, industri jasa keuangan di Tanah Air bisa terus tumbuh berkesinambungan.n
PIUTANG YANG NYATA – NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH Sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan No.105/PMK.03/2009, dengan ini PT Bank Pan Indonesia Tbk Mengumumkan Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih sebagai berikut: Tahun 2010
Rp. 462.874.879.859,-
Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di bank dan yang diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1 Direktorat Jenderal Pajak, sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
19
Liputan Khusus
Menghapus Grey Area Peran BI dalam ranah pengaturan dan pengawasan perbankan pascaberoperasinya OJK secara otomatis akan terpangkas. BI hanya dapat masuk dalam wilayah perbankan dalam konteks makroprudensial terkait dengan fungsinya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
U
ndang-Undang (UU) No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengamanatkan OJK untuk menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan sektor keuangan, yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain. Berdasarkan amanat UU itu, fungsi dan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang sebelumnya berada dalam wilayah kewenangan Bank Indonesia (BI) secara otomatis beralih ke OJK. Menurut Nelson Tampubolon, anggota Dewan Komisioner OJK, ada beberapa strategi yang sudah disiapkan OJK dalam rangka persiapan pengalihan tugas dari BI ke OJK pada akhir 2013. Strategi tersebut di antaranya terkait dengan pembentukan struktur organisasi pengawasan bank pada 2013 dalam hal pengimplementasian sistem yang sama persis (mirroring) antara BI dan OJK. “Struktur organisasi pengawasan (mirroring) tersebut masih dalam tahap pematangan dan pembahasan bersama antara BI dan OJK. Seperti, untuk laporan bank secara individu, diharapkan tidak ada laporan ganda (ke OJK dan ke BI),” tandas Nelson. Menurut dia, nantinya bank diharapkan cukup memberikan laporan ke OJK dan tidak perlu memberikan laporan lagi ke BI. Nantinya BI dapat mengambil laporan bank tersebut ke OJK atau OJK memberikan laporan bank tersebut ke BI jika memang BI membutuhkan informasi tersebut. Khususnya terkait dengan fungsi pengawasan bank dari sisi makroprudensial dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Menurutnya, pola koordinasi antarlembaga (BI dan OJK) perlu disusun sehingga dapat diminimalisasi overlap antarinstitusi dan loophole pengaturan dan pengawasan. Koordinasi antara BI dan OJK memang harus makin intens. Dengan demikian, tidak terjadi tumpang-tindih fungsi pengawasan antarkeduanya. Payung hukum, khususnya melalui revisi UU perbankan, harus makin tegas. Memang, sekarang ini draft rancangan UU perbankan (RUU perbankan) masih terus dibahas di DPR sehingga persoalan mikroprudensial dan makroprudensial makin jelas wilayah kewenangannya. Jika persoalannya makin jelas, diharapkan tidak terjadi saling lempar tanggung jawab ketika muncul persoalan pada kemudian hari. Menurut anggota Komisi XI DPR, Kamaruddin Sjam, terkait dengan mirroring, dibutuhkan definisi yang jelas
20
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
mengenai fungsi pengawasan makroprudensial yang menjadi tugas BI dan mikroprudensial yang masuk dalam wilayah kewenangan OJK. “Pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial itu bedanya tipis. Ini dikhawatirkan dapat terjadi tumpang-tindih tugas antara BI dan OJK,” jelas Kamaruddin. Terkait dengan mirroring, implementasi sistem tersebut akan digunakan BI selama masa transisi pengalihan sumber daya manusia (SDM) dari BI ke OJK. Demikian juga dengan OJK, mirroring tersebut akan digunakan sebagai salah satu struktur organisasi di OJK.
Menurut pihak BI, melalui sistem mirroring tersebut, di BI nantinya akan dibuat bidang yang diperlukan OJK yang kemudian akan dipindahkan ke OJK. Sebelum itu, SDM-SDM tersebut akan bekerja di BI terlebih dulu sebagai penugasan, sebelum nantinya mulai dipindahkan ke OJK terhitung sejak 1 Januari 2014. Akhir 2013 dan awal 2014 memang merupakan periode krusial. Saat itu tugas pengawasan bank yang diemban BI akan berakhir. Selanjutnya, kewenangan BI tersebut berikut dengan pengawasan pada sektor keuangan lain secara terintegrasi akan diambil alih OJK. BI sejauh ini telah menyusun langkah antisipasi dan menyesuaikan dengan tugas barunya tersebut. BI yang memiliki tugas pada bidang makroprudensial akan lebih fokus memantau risiko sistemik yang mengancam sistem keuangan secara keseluruhan, baik pada lembaga, pasar dan infrastruktur keuangan, maupun termasuk perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga. Dalam rangka pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK, agar tidak terjadi tumpang-tindih, BI terus melakukan upaya penataan kembali fungsi pengawasan makroprudensial. Malah, BI telah membentuk tim Task Force (TF) guna menyiapkan proses bisnis BI ke depan setelah pengawasan bank beralih ke OJK. Sejalan dengan itu, juga telah dibentuk TF Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank ke OJK (TF OJK) yang mulai bekerja sejak awal 2012. Sesuai dengan namanya, tugas tim tersebut menyusun seluruh rencana pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI ke OJK, termasuk pada proses implementasinya. Karena itu, tim TF terdiri atas lima subtim besar, yaitu tim pengawasan bank; tim pengembangan, pengaturan & perizinan bank; tim organisasi, SDM, dan hukum; tim data dan sistem informasi; serta tim logistik, dokumen & komunikasi. Menurut Gubernur BI, Darmin Nasution, pembentukan organisasi/kompartemen pengawasan bank di BI pada 2013 desainnya memang serupa (mirroring) dengan organisasi pengawasan bank di OJK. “Sehingga, pada saat pengalihan pada akhir Desember 2013 tinggal memindahkan saja rumah beserta isinya ke OJK. Ibarat bedol desa, sudah mencakup rumah, hardware, software, dan manusianya,” tandas Darmin. Dalam sistem mirroring tersebut pola pengawasan yang akan diterapkan OJK nanti pada dasarnya sama dengan apa yang telah dilaksanakan di BI sekarang, baik soal siklus
pengawasan, prinsip, prosedur standar dan operasional (standard operating procedure atau SOP) maupun pengukurannya. Pihak OJK juga mengatakan, OJK dan BI merupakan dua lembaga yang sulit dipisahkan dan mempunyai keterikatan kuat satu sama lain dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). BI dan OJK pastinya akan selalu melakukan koordinasi dengan Kemenkeu selaku otoritas fiskal agar kondisi perekonomian Indonesia dapat terjaga dengan baik. Dengan diserahkannya pengaturan dan pengawasan perbankan oleh BI kepada OJK, BI diharapkan dapat lebih fokus mengelola dan menelurkan kebijakan moneter dan makroprudensial secara lebih berkualitas. Namun, sekali lagi, agar tidak terjadi lempar tanggung jawab pada wilayah abu-abu antara BI dan OJK, anggota Komisi XI DPR, Kamaruddin Sjam, menegaskan pentingnya definisi yang jelas soal fungsi pengawasan makroprudensial pada BI dan mikroprudensial sebagai tugas OJK. Ekonom EC-Think Indonesia, Iman Sugema, berpendapat, draft RUU perbankan yang kini tengah dibahas di DPR pada dasarnya tidak spesifik menjelaskan kewenangan antara BI dan OJK dalam hal makro dan mikroprudensial. Namun, OJK memiliki wewenang penuh dalam hal-hal yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan bank dalam lingkup mikroprudensial, termasuk di dalamnya penetapan sanksi bagi bank yang melanggar ketentuan. Sementara itu, kewenangan yang bersifat makroprudensial tetap berada pada wilayah BI. Dengan demikian, bank tidak hanya wajib memenuhi ketentuan OJK, tapi juga ketentuan BI. Jadi, semua hal yang ditetapkan BI sebelumnya tapi menurut kewenangan UU OJK ditetapkan BI, pengawasannya dilakukan oleh OJK dan BI mendapatkan laporan atas pengawasan tersebut. Terkait dengan pengintegrasian pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan bank dan nonbank, pengamat perbankan, Aviliani, menyarankan agar OJK dapat segera menginte grasikan pengaturan dan pengawasan bank dan nonbank. Apalagi, persoalan likuiditas di sebagian besar negara-negara Eropa nantinya juga akan memengaruhi kondisi likuiditas perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam jasa keuangan di dalam negeri. Untuk itu, perlu peningkatan kerja sama antara otoritas di bidang mikroprudensial dan makroprudensial. n No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
21
Kinerja
Dalam Koridor Positif Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan penurunan penilaian proyeksi ekonomi Indonesia oleh Standard & Poor’s (S&P) adalah dua hal yang terkait dengan kelangsungan bisnis perbankan di Tanah Air. Melihat kinerja positif perbankan dalam beberapa tahun, sepertinya dua hal tadi tidak akan menggoyahkan industri perbankan ke depan.
B
ila disikapi dengan positif, krisis ekonomi selalu memberikan pelajaran. Bagi industri perbankan nasional, krisis ekonomi 1997-1998 merupakan momen berharga. Dampak krisis memang memaksa pemerintah menutup beberapa bank yang tidak bisa bertahan dalam situasi saat itu. Berbeda dengan krisis 1997-1998, krisis global 2008 yang diawali dengan memburuknya perekonomian Amerika Serikat (AS) pada 2008 memberikan warna lain pada perbankan di Tanah Air. Bisa jadi hal itu karena perbankan kita yang makin kokoh pascakrisis 1997-1998 atau karena kebetulan bisnis perbankan kita masih konvensional sehingga tak terkena imbas krisis. Apa pun interpretasi terhadap krisis 2008, yang pasti kinerja perbankan kita dalam beberapa tahun terakhir tetap mentereng. Ketika AS dan beberapa negara Eropa sibuk berbenah diri, perbankan Indonesia malah menunjukkan kinerja positif. Hal itu bisa dilihat dari beberapa parameter penting kinerja keuangan. Sepanjang 2012 aset perbankan
22
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
nasional tumbuh 16,69% dari Rp3.652,83 triliun pada 2011 menjadi Rp4.262,58 triliun pada 2012. Peran perbankan sebagai lembaga intermediasi pun makin membaik. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya loan to deposit ratio (LDR) dari 78,77% pada 2011 menjadi 83,58%. Pertumbuhan Kredit Melambat Pada 2012 perbankan nasional mampu menghimpun dana masyarakat sebesar Rp3.225 triliun atau naik 15,81% dibandingkan dengan 2011 yang mencapai Rp2.784,91 triliun. Kemampuan perbankan nasional dalam menghimpun dana masyarakat diimbangi dengan kemampuan dalam menyalurkan kredit. Pada 2012 kredit perbankan tumbuh 23,08%. Menurut data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit pada 2012 memang lebih rendah ketimbang 2011 yang nilainya sebesar 24,59%. Namun, BI meyakini fungsi intermediasi perbankan akan meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian nasional. Difi Ahmad Johansyah, Kepala Departemen Komunikasi BI, menandaskan bahwa fungsi intermediasi perbankan tetap terjaga dengan baik. Melemahnya kredit perbankan pada 2012 memang tidak perlu dikhawatirkan. Dari tiga jenis kredit berdasarkan penggunaannya, kredit investasi dan kredit konsumsi mengalami penurunan pertumbuhan. Pada 2012 kredit investasi dan konsumsi tumbuh 27,39% dan 19,87% atau menurun dibandingkan dengan 2011 yang masing-masing tumbuh 33,21% dan 24,21%. Peningkatan pertumbuhan terjadi pada kredit modal kerja yang pada 2011 tumbuh 21,41% dan selanjutnya pada 2012 tumbuh 23,21%. Melambatnya kredit investasi dan kredit konsumsi dinilai masih wajar. Menurut Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, pertumbuhan dan porsi kredit ini seperti by design atau sejalan dengan keinginan BI.
Pada 2012 BI memang Kinerja Perbankan Nasional 2010 - 2012 menggulirkan kebijakan yang (Dalam Rp Miliar) mengatur fungsi intermediasi Keterangan 2010 2011 s (%) 2012 s (%) Feb 2012 Feb 2013 s (%) perbankan. Di kredit konsumsi BI Aset Total 2.517.014 3.652.832 45,13 4.262.587 16,69 3.628.111 4.237.117 16,79 mengatur besarnya uang muka Kredit *) 1.765.844 2.200.093 24,59 2.707.862 23,08 2.203.030 2.718.717 23,41 untuk kredit pemilikan rumah dan - Modal Kerja 880.208 1.068.676 21,41 1.316.689 23,21 1.058.568 1.317.852 24,49 kendaraan bermotor. Tujuan dari - Investasi 348.518 464.262 33,21 591.425 27,39 475.745 596.611 25,41 peraturan ini adalah non - Konsumsi 537.118 667.155 24,21 799.748 19,87 668.717 804.254 20,27 Dana Pihak Ketiga 2.338.824 2.784.912 19,07 3.225.199 15,81 2.763.914 3.207.342 16,04 performing loan (NPL) tetap - Giro 535.855 652.646 21,80 767.071 17,53 624.150 751.600 20,42 terjaga pada posisi yang aman, Tabungan 733.157 898.299 22,52 1.076.830 19,87 883.962 1.054.852 19,33 yakni di bawah 5%. Dampak dari - Deposito 1.069.812 1.233.967 15,34 1.381.298 11,94 1.255.802 1.400.890 11,55 penerapan aturan ini adalah Laba (Rugi) Tahun Berjalan 57.309 75.077 31,00 92.830 23,65 15.519 16.085 3,65 melambatnya kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor. Rasio-rasio (%) Terkait dengan menurunnya Capital Adequacy Ratio (CAR) 17,18 16,05 17,43 18,41 19,29 Return on Asset (ROA) 2,86 3,03 3,11 3,62 2,92 kredit investasi, Destry justru Biaya Operasional terhadap 86,14 85,42 74,1 85,96 77,38 mengatakan bahwa pertumbuhan Pendapatan Operasional (BO/PO) kredit investasi cukup aman. Net Interest Margin (NIM) 5,73 5,91 5,49 5,4 5,34 Pasalnya, kredit investasi yang Loan to Deposit Ratio (LDR) 75,21 78,77 83,58 79,43 84,35 terlalu tinggi tanpa diimbangi Non Performing Loan (NPL) 2,56 2,17 1,87 2,33 2,03 dengan pembangunan infrastruktur Keterangan: bisa mengakibatkan ekonomi - *) : kredit kepada pihak ketiga; terlalu panas atau overheating. - s : pertumbuhan. Selain pertumbuhan aset, dana Sumber : Bank Indonesia, diolah kembali oleh Biro Riset Infobank. pihak ketiga (DPK), kredit, dan angka LDR, pertumbuhan laba atas proyeksi ekonomi Indonesia dari positif ke stabil. serta rasio-rasio perbankan selama 2012 menunjukkan tren Beragam respons muncul atas dua isu tadi. Ada yang tetap yang positif. Dari angka-angka tadi, perbankan di Tanah Air optimistis, meski BBM bersubsidi akan naik. Ada pula yang selama 2012 bisa dikatakan masih berada dalam posisi aman. belum berani bersikap karena menunggu kebijakan resmi pemerintah atas kenaikan BBM bersubsidi. Menurut Ryan Kinerja Triwulan Pertama 2013 Kiryanto, Kepala Ekonom BNI, meningkatnya harga BBM Selama 2012 kinerja perbankan nasional memuaskan. bersubsidi akan memperlambat pertumbuhan kredit perbankan. Bagaimana dengan kinerja 2013? Dua bulan beranjak dari Dapat dipastikan kenaikan harga BBM akan meningkatkan 2013, BI melaporkan beberapa indikator kinerja keuangan inflasi yang selanjutnya diikuti dengan kenaikan BI Rate. perbankan nasional menunjukkan pertumbuhan positif Akibatnya, suku bunga perbankan akan naik. Bila pada 2012 dibandingkan dengan Februari 2012. Aset tumbuh 16,79% dari kredit perbankan tumbuh 22%-25%, bisa jadi pada 2013 akan Rp3.628,11 triliun pada Februari 2012 menjadi Rp4.237,12 terkoreksi menjadi 20%-23%. triliun pada Februari 2013. Kredit dan DPK masing-masing Pertumbuhan kredit pada kisaran 20%-23% memang belum tumbuh 23,41% dan 16,04% pada Februari 2013 dibandingkan dengan Februari 2012. Rasio-rasio kinerja keuangan perbankan mengkhawatirkan. Apalagi ekspor kita mulai menggeliat. Permintaan barang dari beberapa negara yang sempat turun sebagian besar menggambarkan kinerja yang baik. mulai meningkat. “Kalau dilihat jangka panjang, kami yakin Kinerja positif juga bisa dilihat pada beberapa bank yang ekonomi kita tetap kuat. Ekspor mulai sedikit membaik. sudah merilis laporan keuangan per Maret 2013. Bank Central Beberapa pasar yang tadinya masih tertekan sudah membaik,” Asia (BCA) misalnya. Pada triwulan pertama 2013 BCA ujar Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI. Dari sektor berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp265,0 triliun atau keuangan, industri perbankan masih menjadi jangkar di pasar meningkat 26,7% dibandingkan dengan Maret 2012 yang keuangan. Menurut Halim, likuiditas perbankan masih sangat sebesar Rp209,2 triliun. Kinerja positif juga diraih Bank cukup, begitu pula untuk permodalan dan kredit. Saat ini Negara Indonesia (BNI). Bank pemerintah ini pada kuartal permodalan masih tinggi dan kredit bermasalah tetap terjaga. pertama berhasil membukukan kredit sebesar Rp200,50 triliun Beberapa respons juga muncul atas menurunnya penilaian atau naik 21,6% dibandingkan dengan kucuran kredit pada S&P. Ada indikasi hal itu karena kita kurang memanfaatkan kuartal pertama 2012 yang sebesar Rp164,81 triliun. momentum reformasi ekonomi. Menurut Mahendra Siregar, Namun, kinerja positif yang dicatat BI hingga Februari 2013 Wakil Menteri Keuangan, kita terlalu cepat berpuas diri dengan dan capaian beberapa bank hingga Maret 2013 masih capaian yang diperoleh di tengah-tengah krisis global. Penilaian memunculkan tanda tanya, apakah hal itu bisa bertahan hingga S&P boleh kita jadikan acuan. Namun, banyak potensi positif akhir 2013. Keraguan tersebut muncul setelah bergulir isu bahwa yang dapat digarap sehingga pertumbuhan ekonomi tetap pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) terjaga. Perbankan harus bisa melihat potensi ini.n bersubsidi serta menurunnya penilaian Standard & Poor's (S&P) No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
23
Regulasi
Ekspektasi Beleid Transparansi Bank sentral terus menyuarakan agar perbankan lebih transparan menyangkut suku bunga dasar kredit, khususnya untuk segmen mikro. Ekspektasinya, suku bunga kredit mikro menjadi lebih murah dan kompetitif bagi debitor.
B
ank Indonesia (BI) terus mendorong perbankan agar meningkatkan perannya dalam pembiayaan kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tak hanya mendorong industri perbankan untuk menggelontorkan secara bertahap kredit UMKM minimal 20% dari total kreditnya hingga terimplementasi secara penuh pada 2018, BI juga mendorong upaya transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK). Ketentuan mengenai transparansi dan publikasi SBDK tersebut dituangkan dalam Surat Edaran (SE) BI Nomor 15/1/ DPNP tentang Transparansi SBDK yang dikeluarkan BI medio Januari lalu. Yang membedakan SE tersebut dengan SE BI Nomor 13/5/DPNP yang dirilis pada Februari 2011 adalah terkait dengan segmen kredit baru, yakni dimasukkannya SBDK kredit mikro. Melalui SE baru tersebut, BI mewajibkan bank memberi informasi SBDK dan suku bunga kredit dalam pemberitahuan persetujuan kredit atau dokumen lain kepada calon debitor sebelum menandatangani perjanjian kredit. Selanjutnya, bank yang per Desember 2012 beraset total Rp10 triliun diwajibkan menyampaikan laporan dan publikasi SBDK segmen kredit mikro per akhir Februari 2013. Sementara, bagi bank yang asetnya kurang dari Rp10 triliun, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan
24
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
kewajiban publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan non-KPR) dilakukan per akhir Juni 2013. Praktiknya, publikasi SBDK dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website (dilakukan setiap saat), dan surat kabar paling lama tujuh hari kerja setelah akhir Maret, Juni, September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan. Sekadar informasi, pelaporan dan publikasi SBDK tersebut hanya berlaku untuk kredit dalam rupiah. Selain mengatur soal kewajiban publikasi SBDK, SE BI tersebut menetapkan sanksi atas pelanggaran regulasi. Bagi bank yang tidak memublikasikan SBDK-nya melalui papan pengumuman dan website, maka bank tersebut mendapat sanksi administratif yang dapat diperhitungkan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan bank. Sementara, bagi bank yang terlambat memublikasikan SBDK-nya di surat kabar, maka bank bersangkutan akan dikenakan denda Rp1 juta per hari keterlambatan. Lalu, bagi bank yang tidak mengumumkan SBDK-nya melalui surat kabar yang beredar luas, maka bank dimaksud akan dikenakan denda sebesar Rp50 juta. Laporan publikasi SBDK bank umum sebetulnya juga dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Dalam PBI itu disebutkan bahwa laporan SBDK yang dikategorikan sebagai laporan publikasi lain wajib diumumkan secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri perbankan di luar periode penyampaian. PBI tersebut juga menjelaskan bahwa bank dinyatakan terlambat menyampaikan pengumuman SBDK jika melampaui batas tujuh hari kerja setelah akhir bulan yang telah ditetapkan sampai dengan satu bulan. Bank dinyatakan tidak mengumumkan SBDK jika laporan SBDK belum diumumkan hingga berakhirnya batas waktu keterlambatan. Melalui PBI tersebut, BI mewajibkan bank memiliki website perusahaan paling lambat akhir Desember 2012. Bank
juga wajib mencantumkan alamat website pada laporan tahunan dan laporan keuangan publikasi triwulan yang dicetak setiap bank. Laporan SBDK yang dimaksud dalam ketentuan tersebut pada dasarnya berbeda dengan laporan suku bunga kredit. Yang dimaksud dengan laporan SBDK adalah laporan yang menyajikan perhitungan suku bunga dasar kredit, antara lain mencakup harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead, dan margin keuntungan yang ditetapkan bank dalam kegiatan perkreditan. Sementara, suku bunga kredit merupakan penjumlahan SBDK dengan estimasi premi risiko, sehingga besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitor belum tentu sama dengan SBDK. Sekadar informasi, SBDK yang dilaporkan dan dipublikasikan bank digunakan bank sebagai dasar untuk menetapkan/menghitung suku bunga kredit efektif. SBDK tersebut dihitung per tahun dalam bentuk persentase dan perhitungan, dan hanya berlaku dalam mata uang rupiah. Dampak Positif Seperti disebutkan di atas, SBDK kredit mikro merupakan segmen kredit baru yang diatur dalam ketentuan tersebut. Melalui aturan SBDK kredit mikro tersebut, BI berharap, iklim persaingan bisnis kredit mikro yang dijalankan para pelaku industri perbankan semakin sehat dan fair. Ujungnya, nasabah yang bakal memetik keuntungan. Bank mana yang
berani memberikan suku bunga yang sangat kompetitif, maka kemungkinan besar bank tersebut akan diburu nasabah. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, keterbukaan informasi SBDK kredit mikro yang diatur BI akan memotivasi bank yang bergerak di segmen kredit tersebut untuk bersaing secara lebih baik dan sehat. “Transparansi informasi suku bunga dasar kredit mikro (akan) berdampak positif dan berpeluang menurunkan suku bunga kredit mikro,” ungkapnya. Sigit berpandangan, (perhitungan dan penetapan) suku bunga kredit mikro boleh dibilang lebih rumit ketimbang kredit lain. Pasalnya, pemain di segmen tersebut berbeda dan sangat beragam, seperti bank perkreditan rakyat (BPR) dan lembaga keuangan mikro. Di lain sisi, bank sentral merasa optimistis bahwa melalui kebijakan transpransi SBDK kredit mikro, suku bunga kredit mikro yang berlaku di pasar saat ini pada satu saat nanti akan turun, sehingga lebih kompetitif. Dengan demikian, kebijakan dimaksud berdampak positif, terutama bagi nasabah. Praktiknya, mereka akan memiliki banyak alternatif untuk mendapatkan kredit mikro. Nah, bank yang dipilih tentunya adalah bank yang memberi suku bunga paling kompetitif (murah) dan menguntungkan. “Nasabah (akan) membandingkan suku bunga antara satu bank dengan bank lainnya dan memilih yang dirasa paling murah,” tutur Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Irwan Lubis. n
PIUTANG YANG NYATA – NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH Sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Pan Indonesia Tbk Mengumumkan Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih sebagai berikut: Tahun 2011
Rp. 363.371.832.393,-
Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di bank dan yang diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1 Direktorat Jenderal Pajak, sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
25
Internasional
Prioritas Gajah Putih Otoritas perbankan Thailand tetap mempertahankan tren suku bunga rendah di level 2,75%. Kekhawatiran terhadap ketidakpastian ekonomi global membuat pemerintah Thailand bertekad lebih memprioritaskan penguatan ekonomi domestik.
H
ingga April 2013 lalu, untuk kelima kalinya otoritas perbankan Thailand memutuskan tetap mempertahankan tingkat suku bunga pada level 2,75%. Situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian membuat otoritas perbankan Negeri Gajah Putih tersebut melalui keputusan Komite Kebijakan Moneter Thailand lebih memilih mempertahankan suku bunga utama pada kisaran tersebut. Komite Kebijakan Moneter (Monetary Policy Committee atau MPC) Thailand boleh dikatakan mengabaikan desakan sejumlah pihak yang menginginkan suku bunga dipangkas sebesar 0,25% hingga menjadi 2,5% dalam rangka meredam aliran modal masuk yang kini menjadi isu utama di negaranegara emerging market, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dasar keputusan Komite Kebijakan Moneter Thailand tersebut diambil dalam rangka meredam tren kenaikan nilai tukar baht yang terjadi belakangan ini. Menurut Sekretaris Komite Kebijakan Moneter Thailand, Paiboon Kittisrikangwan, MPC juga sudah mememasukkan pertimbangan kemungkinan terjadinya perlambatan ekonomi Thailand pada kuartal kedua tahun ini.
26
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013
MPC menilai, dengan belum pulihnya kondisi ekonomi global secara umum, keberlanjutan kebijakan moneter yang lebih akomodatif masih tetap harus dilakukan. Dengan demikian, MPC akan terus memantau perkembangan ekonomi domestik serta risiko terhadap stabilitas keuangan dan selalu siap mengambil tindakan kebijakan yang tepat. “Namun, risiko terhadap stabilitas keuangan, termasuk nilai tukar stabil dan arus modal, masih harus tetap diperhatikan,” terang Kittisrikangwan. Sepanjang 2012 hingga kuartal pertama 2013, ekonomi Thailand terus mengalami perbaikan setelah pada 2011 hanya mampu mencatat pertumbuhan sebesar 0,1% akibat banjir besar yang melanda negara tersebut. Pihak Badan Pembangunan Nasional Ekonomi dan Sosial (NESDB) Thailand menyebutkan, pada 2012 produk domestik bruto (PDB) Thailand melonjak 18,9% dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,6% dari Oktober hingga Desember 2012 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada 2013 ekonomi Thailand diperkirakan masih dapat tumbuh sebesar 5,3%. Upaya pemulihan ekonomi negaranegara Eropa, Amerika, dan Jepang pada 2013 diharapkan dapat menjadi faktor positif yang mendukung target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah Thailand. Salah satu faktor yang diperkirakan mampu memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan ekspor Thailand adalah nilai tukar kompetitif yang stabil. Itulah sebabnya, tingkat suku bunga utama di Thailand tetap masih dipertahankan pada kisaran yang sama, sambil menunggu perkembangan yang terjadi pada ekonomi global ke depan. Hal lain yang mendapat perhatian Bank of Thailand (BoI) atau bank sentral Thailand yaitu mengenai integrasi pasar tunggal ASEAN dan kerja sama bilateral antara Thailand dan sejumlah bank sentral di kawasan Asia Tenggara. Pada 3 April 2013, dalam rangkaian “The 9th ASEAN Central Bank Governors’ Meeting” yang bertempat di Brunei Darrusalam, Gubernur Bank of Thailand, Prasarn Trairatvorakul, bersama
seluruh gubernur bank se-ASEAN menerbitkan ringkasan laporan studi berjudul “The Road to ASEAN Financial Integration-A Combined Study on Assessing the Financial Landscape and Formulating Milestones for Monetary and Financial Integration in ASEAN”. Selain itu, Bank of Thailand melakukan upaya kerja sama secara bilateral dengan otoritas moneter dan perbankan di negara ASEAN lain. Salah satunya kerja sama bilateral dengan otoritas moneter, perbankan, dan sistem pembayaran Indonesia, yakni Bank Indonesia (BI) pada 22 Maret 2013 di Bangkok, Thailand. Kerja sama yang dilakukan oleh kedua otoritas tersebut terkait dengan soal kerja sama pertukaran informasi dan pengalaman kedua bank sentral pada bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Pertemuan tersebut membahas perkembangan perekonomian yang terjadi di kedua negara serta implementasi kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menghadapi risiko aliran modal di tengah belum pulihnya sektor keuangan global. Selain itu, membahas pula perkembangan sektor perbankan di kedua negara serta pengalaman dalam membangun National Payment Gateway (NPG). Dalam kerja sama pertukaran informasi tersebut Bank of Thailand mendapat penjelasan mengenai rencana pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di lain sisi, Bank of Thailand juga memberikan informasi mengenai pengalamannya terkait dengan ketentuan devisa hasil ekspor (DHE) kepada pihak BI.n
Kinerja Perbankan Thailand Sepanjang 2012 pertumbuhan ekonomi Thailand yang positif diikuti dengan kinerja yang positif pula di perbankannya. Pertumbuhan kredit perbankan Thailand sepanjang 2012 sebesar 13,7%. Kredit yang dikucurkan perbankan Thailand ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami pertumbuhan 14,1%. Dalam periode yang sama, kredit korporasi yang dikucurkan perbankan Thailand mengalami pertumbuhan 10,6%. Pertumbuhan kredit tersebut juga diimbangi dengan non performing loan (NPL) gross yang cukup baik, yakni 2,3% pada 2012. Loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan Thailand pada 2012 juga kisarannya cukup tinggi, yakni 87,9%. Perbankan Thailand rata-rata mampu memupuk modal minimum atau capital adequacy ratio (CAR) di kisaran 16,3% dengan rata-rata rasio modal tier 1 sebesar 11,8%. Dari sisi efisiensi, perbankan Thailand juga terlihat cukup efisien dengan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) sebesar 47,0%, lalu net interest margin (NIM) sebesar 2,5%, dan return on assets (ROA) sebesar 1,2% sepanjang 2012. Demikian juga dalam hal laba. Pada 2012 perbankan Thailand mampu membukukan laba bersih 173,9 miliar baht, naik 30,4 miliar baht atau tumbuh 21,2% dari 2011.
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH SESUAI PSL 6 AYAT 1 HURUF h UU PPh TAHUN 2008 TAHUN 2012 NAMA NPWP ANTHONY 79932992113000 FAISAL ZAINI 99436370122000 ENDY KUSNAN 74587692113000 SIM KIE 64035017114000 JULIANA 675330633124000 UDIN HALIM 343189072122000 EVA ASTRAPHIA KELIAT SE 78489475121000 PIN SIONG 6199623701000 SUHARJO SIAGIAN 366039451116000 PT.SAWITA PASAMAN JAYA 22628556111000 JOKO 98886039121000 JENNY AMIN 64370406111000 TEDDY BUDIMAN WONG 75942631042000 HASAN LIMAN SANTOSO 67829481606000 JUMLAH
JUMLAH SALDO 27.982.908 35.000.000 200.199.000 1.301.552.000 142.591.321 212.815.274 282.327.254 417.787.019 52.166.928 18.520.000.000 13.325.785 75.074.430 1.448.000.000 511.619.100 23.240.441.019
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013 l
PROBANK
27
PIUTANG YANG NYATA – NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR Tbk. Sesuai pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 105//PMK.03/2009 berikut perubahannya, dengan ini PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. mengumumkan Piutang Yang Nyata – Nyata Tidak Dapat Ditagih, sebagai berikut : Tahun 2012 = Rp. 189,449,607,762.42 Rincian Daftar Piutang Yang Nyata – Nyata Tidak Dapat ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan akan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1 Direktorat Jendral Pajak, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan sebagai lampiran.
28
PROBANK
l
No. 106 Tahun XXX Maret-April 2013