MENARA ORZO Arthur Elck
2016
Menara Orzo Diterjemahkan dari The Tower Room karangan Arthur Elck terbit tahun 1909 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Maret 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
S
EWAKTU
aku dan Balint Orzo masih kecil, ada banyak hal
aneh yang membangkitkan fantasi kekanakan kami, tapi tak
sebanding dengan menara tua yang berdiri beberapa kaki dari kastil, remang dan misterius. Ia adalah menara persegi tua nan ganjil, dan di pinggir bertakiknya terdapat topi baja bersirap yang didirikan oleh salah seorang leluhur keluarga Orzo. Ada banyak legenda mengenai menara tua ini. Rumor menyebut ia mempunyai bilik rahasia yang tak boleh dimasuki siapapun, kecuali kepala keluarga. Suatu rahasia besar tersembunyi di kamar menara ini, dan ketika putera sulung keluarga Orzo sudah cukup umur, sang ayah membawanya ke sana dan mengungkapnya. Dan efek dari pengungkapan itu begitu dahsyat; setiap pemuda yang memasuki kamar tersebut keluar dengan rambut beruban. Berkenaan dengan rahasia itu sendiri, ada banyak dugaan. Satu legenda mengatakan, seorang leluhur Orzo pernah mengurung musuh-musuhnya di menara dan melaparkan mereka hingga orangorang malang itu saling memakan dalam penderitaan gila. Menurut cerita lain, Kelemen Orzo memerintahkan agar isteri durhakanya, Krisztina Olaszi, diplester pada tembok kamar. Sejak saat itu terdengar isakan dari menara setiap malam. Cerita lain menuturkan, setiap seratus tahun seorang anak berparas anjing terlahir di keluarga Orzo dan monster kecil ini harus binasa di kamar menara, demi menyembunyikan aib keluarga. Dugaan lain menyebut, suatu kali Menyhart Orzo keji, yang 5
paling berkuasa di bawah Raja Rudolph di kastil, bermain dam dengan tetangganya, Boldizsar Zomolnoky. Mereka mulai bermain pada hari Senin dan melanjutkan permainan dan minum-minum sepanjang pekan sampai Minggu pagi menyingsing. Lalu datanglah pastor pengakuan dosa Menyhart Orzo dan memohon kepada para penjudi ini. Dia meminta mereka menghentikan permainan di hari Minggu yang suci, di mana semua Nasrani sejati berada di gereja untuk memuji Tuhan. Tapi Menyhart berteriak, mengamuk dan meninju meja hingga semua gelas dan botol anggur bergoyang: “Kalau kami harus duduk di sini sampai dunia berakhir, kami takkan berhenti sampai permainan ini selesai!” Belum kering sumpahnya terucap, tiba-tiba, dari suatu tempat di tanah, atau dari dinding, terdengar suara mengguntur yang berjanji untuk memegang perkataannya—bahwa mereka akan terus bermain sampai akhir dunia. Dan sejak waktu itu, dam terdengar berkertak-kertuk, kedua jiwa terkutuk masih memainkannya di kamar menara. Tatkala kami kecil, rahasia ini tidak memberi kami istirahat, kami
senantiasa
berunding
dan
berkomplot
tentang
cara
menemukannya. Kami membuat sekurangnya seratus rencana, tapi semua gagal. Mustahil untuk masuk ke dalam menara, ia dijaga pintu ék berpalang besi berat. Jendela-jendelanya terlalu tinggi untuk digapai. Kami harus puas melempar batu, yang tepat mengenai kamar lewat jendela. Pencapaian ini tergolong sukses, sebab sudah sering kami mengusir kawanan burung yang ketakutan. 6
Suatu hari kuputuskan, jalan terbaik mencaritahu rahasia menara adalah dari ayah Balint sendiri. “Dia kepala keluarga,” renungku, “dan kalau ingin dapat informasi tentang misteri ini, tentu melalui dirinya.” Tapi Balint tak suka ide ini, dia hafal tabiat ayahnya. Suatu kali dia mencoba-coba bertanya. Tapi kemudian dia meminta maaf, lantaran Pak Orzo mendadak marah, menghardik dan mengamuk, berakhir dengan menyuruhnya tidak mendengarkan dongeng anak-anak semacam itu; bahwa menara itu hancur dan membusuk karena usia; bahwa tangga dan kayu-kayu lantainya reyot dan bisa ambles jika didekati; dan karena itulah tak ada yang bisa masuk. Untuk waktu lama kami tak membahasnya. Tapi rasa penasaran tak henti-hentinya bekerja di dalam diri kami. Suatu petang Balint bersumpah sungguh-sungguh padaku bahwa begitu dia dewasa dan selesai memeriksa kamar, dia akan memanggilku, sekalipun aku berada di ujung dunia, dan akan mengizinkanku masuk ke dalam rahasia tersebut. Agar sumpah ini lebih serius, kami menyebutnya “perjanjian darah”. Bersama sumpah ini kami berpisah. Orangtuaku mengirimku kuliah; Balint mendapat guru privat dan dipingit di kastil. Sesudah itu kami hanya berjumpa di masa liburan. Delapan tahun berlalu sebelum aku melihat rumah keluarga Orzo lagi. Atas undangan mendadak dan mendesak dari Balint, aku bergegas pulang ke tanah air yang berbatu-batu. Aku baru melangkah ke atas tangga batu lebar dari teras di 7
depan kastil ketika seseorang berteriak bahwa yang mulia tuan rumah sudah datang! Dia berderap di atas kuda berbuih. Aku memandangnya dan kaget, seolah baru melihat hantu. Penunggang kurus jangkung ini mirip sekali dengan ayahnya. Sama-sama berambut belit dan berjanggut, sama-sama berwajah kerut, samasama bermata kelabu cekung dan tenang. Rambut dan janggutnya hampir sama putih dengan milik ayahnya! Dia berderap melewati gerbang, menyentak tali kekang, dan sejurus kemudian berada di atas trotoar. Dalam satu lompatan dia sampai ke teras, dan merangkulku dengan lengan kokohnya. Dengan semangat dia mempersilakanku ke dalam kastil sambil terus bicara dan menanyaiku tanpa henti. Lalu dia mendorongku ke dalam kamar dan memberiku 15 menit—tidak lebih—untuk berdandan. Waktunya belum habis saat dia datang bagai angin puyuh, memelukku lagi dan membawaku ke ruang makan. Di sana kandelar dan lampu sudah dinyalakan; meja dihias cermat dan menampung anggur berlimpah. Selama makan kami kembali bercengkerama. Gugup mengeluarkan kata-katanya, dia terus-menerus menanyaiku banyak hal, satu demi satu, tanpa menunggu jawaban. Dia tertawa sering dan parau. Saat waktu minum tiba, dia berkedip kepada para pelayan, dan segera saja lima musisi Czigany masuk ruangan. Balint menangkap keheranan di wajahku, dan berujar setengah mengelak: “Kupanggil mereka dari Iglo demi menghormatimu. Biarkan musik bersuara, dan anggur mengalir; tak ada yang tahu kapan kita 8
akan bertemu lagi.” Dia menutup wajahnya dengan satu telapak tangan. Orangorang Czigany ini memainkan lagu-lagu kuno Magyar. Balint melirikku sesekali, dan mengisi gelas; kami pun bersulang. Tapi dia selalu tampak cemas. Fajar sedang menyingsing. Bunyi lembut lonceng gereja meninggi. Balint menyentuh pundakku dan membungkuk ke telingaku. “Kau tahu bagaimana ayahku mati?” tanyanya dengan suara serak. “Dia bunuh diri.” Aku bengong; aku ingin bicara, tapi dia menggelengkan kepala, dan menggenggam tanganku. “Kau ingat ayahku?” tanyanya. Tentu saja. Selagi aku memandangnya, seakan-akan ayahnya berdiri di hadapanku. Sosok kurus berurat itu, otot dan daging yang tampak mengelupas itu. Bahkan dari lengan mantelnya kurasakan urat syaraf telanjang tanpa selubung. “Aku selalu mengagumi dan menghormati ayahku, tapi kami tak pernah akrab. Aku tahu dia sayang padaku, tapi kurasa itu bukan demi diriku; seolah-olah dia menyayangi sesuatu di dalam jiwaku, sesuatu yang asing bagiku. Aku tak pernah melihatnya tersenyum. Terkadang dia sangat kasar, sampai-sampai aku takut padanya. Di lain waktu dia tak terkendali. “Aku tak memahaminya, tapi seiring beranjak dewasa aku semakin merasa ada rahasia pilu yang berkecambah di relung jiwanya, di mana ia tumbuh bagai pohon merambat, yang dahan9
dahannya merayapi kastil dan menutupi tembok, lambat-laun mengeruhkan cahaya mentari, mengisap udara, dan menggelapkan hati setiap orang. Gigiku menggeretuk dalam kesia-siaan; aku tak sanggup bekerja; aku tak mampu memulai apa-apa. Aku bergulat dengan ratusan dan ratusan tekad; hari ini aku bersiap untuk ini atau itu; besok untuk sesuatu yang lain; ambisi mendesakku dari dalam; aku tak mampu membulatkan niat. Di balik setiap ketetapan yang kubuat, aku lihat wajah ayahku, seakan-akan bertanya. Dongeng-dongeng lama yang kita dengar di masa kecil terbarui di dalam ingatanku. Sedikit demi sedikit tumbuh pikiran di dalam diriku, seperti angan terpancang, bahwa rahasia penting ayahku terkunci di kamar menara. Sesudah itu aku hidup dengan kalender dan merenungi perputaran jarum jam. Dan tatkala matahari yang menyinari kelahiranku terbit di ulangtahun ke-24, aku menekan dadaku dan masuk ke kamar ayah—kamar ini. “‘Ayah,’ kataku, ‘aku sudah cukup umur hari ini, semua boleh dibukakan di depanku, dan aku berhak tahu segalanya.’ Ayah menatapku dan mempertimbangkannya. “‘Oh, ya!’ bisiknya, ‘hari ini waktunya.’ “‘Aku boleh tahu semuanya sekarang,’ sambungku, ‘aku tak takut dengan rahasia apapun. Atas nama tradisi keluarga kita, kumohon, tolong buka kamar menara itu.’ “Ayah mengangkat satu tangan, seolah ingin menyuruhku diam. Wajahnya pucat pasi. “‘Baiklah,’ gumamnya, ‘akan ayah buka kamar menara itu untukmu.’ 10
“Lalu dia melepas mantel, merobek kemeja di bagian dada, dan menunjuk hatinya. “‘Di sinilah kamar menara itu, anakku!’ bisiknya parau. ‘Di sinilah kamar menara itu, dan di dalamnya ada rahasia keluarga kita. Kau lihat?’ “Itu saja yang dia ucapkan, tapi saat menatapnya aku segera melihat rahasia itu; segalanya jelas di hadapanku dan aku punya firasat ada sesuatu yang sedang mendekati akhir, sesuatu yang akan pecah. “Ayah mondar-mandir, lalu berhenti dan menunjuk lukisan ini, lukisan ini. “‘Kau pernah mengamati para leluhurmu? Mereka semua keluarga Orzo. Kalau kau cermati wajah mereka, kau akan kenali ayahmu, dirimu, dan kakekmu dalam diri mereka. Dan kalau kau pernah baca dokumen mereka, yang diwariskan pada kita—ada di dalam kotak—maka kau akan tahu mereka berbahan sama dengan kita. Cara pikir mereka sama dengan kita, begitu pula hasrat, itikad, hidup, dan mati mereka. Di antara mereka ada prajurit, pendeta, ilmuwan, tapi tak ada satupun orang hebat kenamaan, walau bakat mereka, kekuatan mereka, nyaris mencabik-cabik mereka. “‘Kutukan keluarga berakar dari setiap mereka: tak satupun dari mereka dapat menjadi orang hebat, tidak ayahku, tidak pula ayahmu ini.’ “Aku merasa sesuatu yang mengerikan akan keluar dari bibirnya. Nafasku hampir berhenti. Ayah tidak menyelesaikan apa 11
yang hendak dikatakannya, tapi berhenti dan mendengardengarkan sebentar. “‘Ayah satu-satunya
harapan kakek,’ lanjutnya
setelah
beberapa lama, ‘ayah juga terlahir dengan bakat dan siap menjumpai hal-hal hebat, tapi takdir keluarga Orzo mengejar ayah, dan kau lihat seperti apa ayah sekarang. Ayah memeriksa kamar menara. Kau tahu apa isinya? Kau tahu apa nama rahasia kita? Barangsiapa melihat rahasia ini akan kehilangan percaya diri. Baginya lebih baik tidak lahir ke dunia ini sama sekali. Tapi ayah ingin hidup dan tak mau melepas semua asa. Ayah menikahi ibumu; dia menghibur ayah sampai kau lahir, dan ayah memperoleh kembali kesenangan hidup. Ayah tahu apa yang harus ayah simpan di depan mata demi membesarkan putera ayah menjadi manusia yang tak mampu ayah gapai. “‘Ayah relakan kau pergi ke negara-negara asing; lalu datanglah surat-suratmu. Ayah pelajari setiap kalimat dan setiap katanya, ayah tak ingin percaya dengan nalar ayah sendiri. Mulanya ayah pikir ayah keliru, bahwa ayah melihat momokmomok tak perlu. Tapi ternyata tidak. Apa yang ayah baca dari kata-katamu adalah takdir kita, kutukan Orzo. Dari cara pikirmu, ayah sadar semua sia-sia; kau juga menoleh ke belakang, kau juga memeriksa dirimu sendiri dan melihat sesuatu yang menjadikan sang pelihat steril selamanya. Kau tidak menyadari apa yang kau lakukan; kau tidak bisa memahaminya dengan nalarmu, tapi racun itu sudah dalam dirimu.’ “‘Tak mungkin, ayah!’ cetusku ketakutan. 12
“Tapi sayangnya dia menggeleng. ‘Ayah sudah tua, ayah tak percaya apapun sekarang. Andai saja kau benar, dan takkan pernah tahu apa yang ayah tahu. Tuhan memberkatimu, nak. Sekarang sudah larut, ayah lelah.’ “Aku mendapat kesan dia sedang berusaha menutupi ketidakpercayaannya dengan sarkasme. Kami berdua tidak tidur malam itu. Pada waktu fajar kamarnya sepi. Aku berpikir getir, ‘Kapan aku akan pergi tidur?’ Saat aku masuk kamarnya di pagi hari, dia terkapar di ranjang. Semua berakhir. Dia minum racun, dan menulis salam perpisahan di selembar kertas. Keinginan terakhirnya adalah jangan sampai ada yang tahu dalam keadaan apa dia mati.” Balint berhenti bicara dan memandang ke arah jendela dengan mata tegang dalam gelap. Perlahan-lahan aku menghampirinya dan memegang pundaknya. Dia kaget dengan sentuhanku. “Lebih dari sekali aku membayangkan wanita yang mau menjadi ibu untuk puteraku. Berkali-kali aku tergoda untuk memenuhi keinginan terakhir ayah! Tapi pada saat seperti itu selalu terbersit dalam benakku bahwa aku juga akan mendapat anak demikian, yang akan mencela ayahnya sebagai pengecut dan egois, bahwa dia mengorbankan hidup demi harapan palsu. “Tidak! Takkan kulakukan. Takkan kulakukan itu. Aku Orzo terakhir. Bersamaku, keluarga terkutuk ini akan habis. Kakekmoyangku pengecut dan bajingan. Aku tak mau ada yang melaknat kenanganku.” Kucium kening lembab Balint. Aku tahu ini akan menjadi kali 13
terakhir melihatnya. Keesokan hari kutinggalkan kastil, dan sehari kemudian kematiannya diumumkan. Dia bunuh diri, seperti ayahnya. Dia Orzo terakhir, dan kuputarkan lambang keluarga di atas kepalanya.
14