HUKUM MENIKAHI MERTUA/MENANTU PASCA KASUS PEMBATALAN PERNIKAHAN (Studi Komparatif Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syariah
Oleh:
Indah Nadhirotul Khasanah (1211025)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM PROGAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA TAHUN 2015
PERSETUJUAN
Lamp. : 1 bendel Hal
: Naskah Skripsi a.n Sdri. Indah Nadhirotul Khasanah Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari‟ah UNISNU Jepara Di Jepara
Assalamualaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudari: Nama
: Indah Nadhirotul Khasanah
NIM
: 1211025
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Progam Studi
: Al- Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: HUKUM MENIKAHI MERTUA/MENANTU PASCA PEMBATALAN PERNIKAHAN (Studi Komparatif Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera di munaqasahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jepara, 17 September 2015
Pembimbing
Mayadina Rahmi Musfiroh, M.A.
PERNYATAAN KEASLIAN Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya yang bernama Indah Nadhirotul Khasanah, Nim: 1211025, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini: a. Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan untuk keperluan apapun b. Tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini. Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila kemudian hari ditemukan ketidak benaran dari pernyataan ini
Jepara, 16 September 2014
Indah Nadhirotul Khasanah Nim: 1211025
MOTTO
ِ ِ ِ ث عُ ْقبةَ بْ ِن َع ِام ٍر ر َ َ ق: ال َ َض َي اهللُ َع ْنهُ ق َ ال َر ُس ْو ُل اهلل ُصلَّى اهلل َ ُ َْحدي َ ِعلَي ِه وسلَّم ا ِ ِالشرو ِط اَ ْن ي وفَّى ب َّ ُّ ُّ ااستَ ْحلَلْتُ ْم بِ ِه ال ُف ُرْو َج م ه ق ح ا ن َ ْ َ ُْ َ َُ َ ََ َْ
Dari Uqbah bin Amir ra., dia telah berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya syarat yang paling utama (dalam nikah) ialah terpenuhinya perkara yang dapat menyebabkan kemaluan wanita menjadi halal untukmu.”
PERSEMBAHAN Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan, bantuan dan kerja sama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan penuh perasaan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga, dan penulis persembahkan skripsi ini kepada: 1. Orang tua penulis (H. Sofwan Sukri dan Hj. Sholihah) yang senantiasa menjadi inspirasi dan kekuatan bagi penulis, juga senantiasa mendoakan dan selalu memberikan motivasi untuk menyesaikan skripsi ini. 2. Kakak-kakak dan adik penulis (mas Hakim, mas Taufik, mas Adin, mbak Ofah, mbak Nur, mbak Ida, mbak Dayah, mbak Khilya, mbak Fariq dan kenang Arifin) yang selalu memberikan semangat dan dukungannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 3. Para sahabat-sahabat seperjuanganku (Iftah, Ana, Susi, Bang Ipul, Bustanul) bersama-sama kita saling pengertian, saling support satu sama lain, baik saat senang maupun susah. 4. Kepada teman-teman seperjuangan penulis mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum UNISNU Jepara angakatan 2011 dan keluarga besar Fakultas Syari‟ah dan Hukum. 5. Almamater Universitas Islam Nahdlatul Ulama‟ (UNISNU) Jepara serta Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah mendidik, mengarahkan dan membimbing penulis, terima kasih dan semoga tetap sukses kedepannya.
ABSTRAK Indah Nadhirotul Khasanah (NIM: 1211025). Hukum Menikahi Mertua/Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan (Studi Komparatif Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi). Skripsi. Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal AlSyahshiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama(UNISNU) Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk : 1). Mengetahui hukum menikahi mertua/menantu menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi. 2). Mengetahui Alasan perbedaan hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan perkawinan menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan datanya dengan mengadaan studi penelaahan terhadap pendapat Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi dalam bukubuku yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang dipecahkan, diantaranya kitab al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu dan kitab Kitab Al-Umm. Data yang terkumpul kemudian di analisis dan dikomparasikan antara kedua pendapat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemikiran antara Imam Syafi‟i dengan Imam Hanafi mengenai hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan perkawinan/ pernikahan, kesimpulan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Imam Syafi‟i berpendapat bahwa yang menyebabkan pengharaman menikahi mertua/menantu adalah Akad semata. Sehingga jika dalam perkawinan terjadi pembatalan atau akad nikah dibatalkan/dianggap tidak ada maka menikahi mertua/menantu pasca pembatalan pernikahan ini dibolehkan baik sudah bercampur atau belum. Karena pembatalan perkawinan karena akad rusak ataupun akad batil tidak menyebabkan konsekuensi hukum apapun. 2). Dalam pendapat Imam Hanafi hal yang menyebabkan pengharaman menikahi mertua/menantu ada dua, yaitu Akad dan percampuran. Sehingga tidak boleh menikahi mertua/menantu jika dalam pembatalan perkawinan terjadi percampuran antara suami-istri baik karena akad fasid atau akad batil karena keduanya sama, yakni mengakibatkan hubungan mushaharah. Namun jika belum bercampur maka dibolehkan.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hukum Menikahi Mertus/Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan (Studi Komparatif Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi)”, yang ditulis untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Strata 1. Dan tak lupa sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan baginda Nabi Agung Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di yaumul qiyamah nanti. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. KH. Muhtarom HM., selaku Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara 2. Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara 3. Ibu Mayadina Rahmi Musfiroh, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Kedua orang tuaku, Ibuku (Hj. Solihah) dan juga Abahku (H. Sofwan Sukri) yang telah mencurahkan kasih sayangnya dan yang tak pernah lelah memberikan uluran tangan kasih dan sayangnya, 5. Kakak-kakak dan adik penulis (mas Hakim, mas Taufik, mas Adin, mbak Ofah, mbak Nur, mbak Ida, mbak Dayah, mbak Khilya, mbak Fariq dan kenang Arifin) yang selalu memberikan semangat dan dukungannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
6. Para sahabat-sahabat seperjuanganku (Iftah, Ana, Susi, Bang Ipul, Bustanul) bersama-sama kita saling pengertian, saling support satu sama lain, baik saat senang maupun susah. 7. Kepada teman-teman seperjuangan penulis mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum UNISNU Jepara angakatan 2011 dan keluarga besar Fakultas Syari‟ah dan Hukum. 8. Almamater Universitas Islam Nahdlatul Ulama‟ (UNISNU) Jepara serta Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah mendidik, mengarahkan dan membimbing penulis, terima kasih dan semoga tetap sukses kedepannya. Disamping ucapan terimakasih saya juga mendo‟akan semoga Allah memberikan balasan kepada mereka semua yang telah banyak membantu dalam menulis skripsi ini, sehingga penulisdapat menyelesaikan skripsi ini. Manusia tidak akan luput dari kesalahan, begitu pula dengan penulis, dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam perbaikan skripsi ini. Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis harapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya. Teriring do‟a semoga Allah selalu menyertai apa yang kita perbuat. amin yarobbal alamin.
Jepara, 18 September 2015 Penulis
Indah Nadhirotul Khasanah NIM: 1211025
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.....................................................ii HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...............................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................................iv HALAMAN MOTTO..............................................................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi HALAMAN ABSTRAK.......................................................................................vii KATA PENGANTAR..........................................................................................viii HALAMAN DAFTAR ISI......................................................................................x BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Penegasan Judul...........................................................................................7 C. Rumusan Masalah........................................................................................8 D. Tujuan Masalah............................................................................................9 E. Manfaat Masalah..........................................................................................9 F. Kajian Pustaka............................................................................................10 G. Metodologi Penelitian................................................................................13 H. Sistematika Penulisan ...............................................................................18 BAB II: KAJIAN TEORI A. PEMBATALAN PERNIKAHAN MENURUT FIQIH.............................20 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih.......................20 2. Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Perkawinan Menurut Fiqih....21 3. Macam-Macam Pernikahan yang Batal Menurut Fiqih.................27 4. Cara Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih................................32 B. PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA .............................................................................................32
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia........................................................................................33 2. Hal-Hal yang dapat Membatalkan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia..........................................................................33 3. Macam-Macam Pernikahan yang Batal Menurut Hukum Islam di Indonesia........................................................................................34 4. Cara
Pembatalan
Perkawinan
Menurut
Hukum
Islam
di
Indonesia........................................................................................35 C. PERBEDAAN
PEMBATALAN
PERKAWINAN
DENGAN
PERCERAIAN...........................................................................................38 BAB III : BIOGRAFI DAN PENDAPAT KEHARAMAN MENIKAHI MERTUA/MENANTU MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI A. Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Syafi‟i.......................................................................................................411 1. Biografi Imam Syafi‟I....................................................................41 2. Pemikiran-Pemikiran Imam Syafi‟i dan Dasar Hukum yang Digunakan Imam Syafi‟i................................................................43 3. Pandangan
Imam
Syafi‟I
Mengenai
Hukum
Menikahi
Mertua/Menantu.............................................................................46 B. Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Hanafi.........................................................................................................51 1. Biografi Imam Hanafi....................................................................51 2. Pemikiran-Pemikiran Imam Hanafi dan Dasar Hukum yang Digunakan Imam Syafi‟i................................................................54 3. Pandangan
Imam
Hanafi
Mengenai
Hukum
Menikahi
Mertua/Menantu.............................................................................58 BAB IV : ANALISIS KOMPARASI HUKUM MENIKAHI MERTUA/ MENANTU
PASCA
PEMBATALAN
PERNIKAHAN
MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI
A. Hukum Menikahi Mertua/Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan Menurut Imam Syafi‟i...............................................................................................61 B. Hukum Menikahi Mertua/Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan Menurut Imam Hanafi...............................................................................................66 C. Analisis Komparasi Hukum Menikahi Mertua/ Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi................................75
BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................................79 B. Saran-saran ...............................................................................................82 C. Kata Penutup ............................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada hukum, yang mengatur pergaulan hidup mereka. Masyarakat dan hukum bagaikan hubungan yang erat antara air dan ikan yang berbeda tapi selalu menyatu. Seorang filosof Romawi, bernama Celcius, kurang lebih 20 abad yang lalu menegaskan: “Ubi societas ibi ius” maksudnya, dimana ada masyarakat disitulah ada hukum.1 Perkembangan hukum sampai sekarang terutama hukum keluarga pada dasarnya merupakan pelestarian dan pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Allah lewat Al-Qur‟an dan Hadits kepada umat islam dahulu, itulah sebabnya mengapa hukum keluarga terutama hukum perkawinan merupakan hukum yang selalu eksis keberadaannya dimanapun dan kapanpun. Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri.2 Perkawinan juga disebut dengan “pernikahan”, berasal dari kata nikah ) ( نكاحyang menurut bahasa artinya mengumpulkan, atau sebuah
1
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 2. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet. 4, hlm. 518.
pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.3 Secara istilah, sebagian ulama Hanafiah mendefisinikan nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenangsenang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan oleh madzhab Syafi‟iyah, nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) inkah atau tazwij, atau turunan (makna) dari keduanya.4 Masih dalam kaitannya tentang definisi perkawinan, peraturan perundang-undangan islam di Indonesia, dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pada pasal 2 bahwa Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5 Di dalam pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 6 Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar-Ruum:
ِ ِِ ِ ًاجا لِّتَ ْس ُكنُ ْوا اِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َّم َوَّدة ً َوم ْن ايتو اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَنْ ُفس ُك ْم اَْزَو ِ ِ ٍ ك َلي ﴾۱۲﴿ت لَِّق ْوٍم يَّتَ َك َّفُرْو َن َ َّوَر ََحَةًۗا َّن ِف ذل Artinya: 3
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu Jilid 9, trj. Abdul Hayyi AlKatani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. 1, hlm. 39. 4 Muhammad Amin Summa, op. cit., hlm. 45. 5 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), cet. 3, hlm. 2. 6 Ibid.
Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum:21)7 Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak dan melestarikan hidupnya setelah masingmasing pasangan siap melakukan perannya dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan seperti halnya hewan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia Allah mengadakan hukum yang mana dalam hukum tersebut hubungan antara laki-laki dengan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan rasa saling meridhai, ijab kabul sebagai lambang dari rasa saling meridhai tersebut dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dengan perempuan telah terikat. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah dan perintah agama kepada yang sudah mampu untuk segera melaksanakannya, yang mana dengan perkawinan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Dinyatakan dalam hadits :
ِ للَّى اللُ َعلَْي ِو َ َ َا َ َ َع ْن َعْب ِداللِ بْ ِن َم ْسعُ ْوِد َر ِض َي اللُ تَ َعال َ اَ لَنَا َر ُس ْو َُ الل ِ ُّ اب م ِن استطَاع ِمْن ُكم الْباءةَ فَ ْليت زَّوج فَاِنَّو اَ َغ ص ِر ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ َ يَا َم ْع َشَرالشَّب:َو َسلَّم َ َض للْب )الص ْوِم فَاِنَّوُ لَوُ ِو َجاءٌ(متفق عليو َّ ِص ُن لِْل َفْرِج َوَم ْن ََلْ يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَْي ِو ب ْ َو َ اح 7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 2: Pesan Kesan Dan Keserasian AlQur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), cet. 5, hlm. 185.
Artinya: Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Wahai jama‟ah para pemuda, barang siapa diantara kamu sekalian yang mampu kawin, maka hendaklah dia kawin, karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan.dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu baginya laksana pengebirian. (Muttafaq „alaih)8 Perkawinan tidak saja mengawinkan/menyatukan pihak laki-laki dan perempuan akan tetapi juga mengawinkan kedua belah pihak keluarga. Bila seseorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan kerabat si perempuan, dengan demikian pula sebaliknya terjadi pula hubungan antara si perempuan dengan kerabat si laki-laki itu.9 Salah satu hubungan yang terjadi ketika terjadi penikahan ialah hubungan mertua dengan menantu, dalam Fiqih hubungan tersebut dinamakan hubungan Mushoharoh, atau dapat dikatakan mushoharoh adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan.10 Sebagaimana dijelaskan dalam KHI pasal 8 pada poin c, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan semenda, yaitu
8
As-Shan‟ani, Subulus Salam 3, trj., Drs. Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), cet. 1, hlm. 393-394. 9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. 3, hlm.112. 10
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hambali, trj. Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2001), cet. 7, hlm. 327.
mertua, anak tiri, menantu dan bapak/ibu tiri.11 Ketentuan tersebut didasarkan pada firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa‟ ayat 23:
ات ْ ُحِّرَم ُ ََخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخاالَتُ ُك ْم َوبَن َ ت َعلَْي ُك ْم أ َُّم َهاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأ ِ ْالَ ِخ وب نَات ْالُخ اع ِة َّ َخ َواتُ ُك ْم ِّم َن َ الر َ ت َوأ َُّم َهاتُ ُك ُم الََِّّي أ َْر َض ْ ُ ََ َ ض ْعنَ ُك ْم َوأ ِ ِ ِ وأ َُّمه ِ ِ ِ ِّسآئِ ُك ُم الََِّّي َد َخ ْلتُ ْم ُ َ َ ْ ات ن َسآئ ُك ْم َوَربَائبُ ُك ُم الََّّي َ ف ُح ُجورُك ْم ِّم ْن ن ِِ ِ ِِ اح َعلَْي ُك ْمۗ َو َحََّئِ ُل أَبْنَا ئِ ُك ُم الَّ ِذيْ َن َ َِب َّنۗ فَإ ْن ََّلْ تَ ُك ْونُواْ َد َخ ْلتُ ْم ِب َّن فَََّ ُجن ِ ِ ْ َْي ْالُ ْخت فۗ إِنَّااللَ َكا َن َغ ُف ْوًرا َ َْي إالَّ َما َ ْد َسل َ ْ ََلََّبِ ُك ْمۗ َوأَ ْن َْت َمعُواْ ب ْ م ْن أ ﴾۱۲﴿ًَّرِحْيما Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu; anak-anak kamu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara kamu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudara kamu yang perempuan; ibu-ibu kamu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kamu (mertua); anak-anak isteri kamu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan) , maka tidak berdosa kamu menikahinya;(dan diharamkan bagi kamu) isteri-isteri anak kandung kamu (menantu) ; dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)12 Dari hal diatas, dijelaskan bahwa dalam Al-Qur‟an dan hukum islam di Indonesia melarang menikahi mertua maupun menantu. Namun apabila ada seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan pernikahan tapi setelah terjadi penikahan dan setelah berjalannya waktu terjadi pembatalan perkawinan, maka 11 12
KHI, op. cit., hlm. 79. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 469.
bagaimana status mahrom terhadap mertua atau menantu tersebut, apakah tetap mertua/menantu tersebut sebagai
orang yang haram dinikahi atau tidak,
terlebih dalam pernikahan yang pasti terjadi adalah hubungan mertua dan menantu. Batal berbeda dengan perceraian, pembatalan perkawinan atau disebut juga dengan fasakh ialah memutuskan hubungan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.13 Sehingga akad nikah yang awalnya di lakukan dianggap tidak pernah dilakukan karena batal. Hukum islam di Indonesia dalam hal ini telah tercantum di KHI dijelaskan mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan yaitu dalam pasal 76 bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tua”.14 Maksud dan tujuan dari pasal tersebut adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinan ibu-bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya.
Meskipun
sesungguhnya
secara
psikologis,
jika
pembatalan
perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan, meski tekadang membawa kepahitan.15
13
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 4, hlm.142. 14 KHI, op. cit., hlm. 23. 15 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 2, hlm. 152.
Dalam KHI hanya menyebutkan sebatas pada anak saja, sedangkan dalam perkawinan yang dihasilkan bukan hanya hubungan antara anak dengan orang tua, tapi juga hubungan seorang laki-laki dengan orang tua perempuan yang dinikahinya, atau sebaliknya (mertua-menantu). Oleh karena itu dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan secara jelas bagaimana hukum menikahi mertua atau menantu pasca pembatalan perkawinan dengan mengkomparasikan pendapat Imam Syafi‟i dengan Imam Hanafi, dengan harapan akan memberikan informasi dan kemudahan bagi pembaca untuk mengetahui masalah-masalah hukum menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi khususnya yang berkenaan dengan hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan perkawinan. B. Penegasan Judul Agar tidak terjadi kesalah pahaman pengertian tentang judul yang penulis sajikan dalam skripsi ini, maka penulis menguraikan masing-masing istilah yang penulis pakai dalam judul skripsi ini: A. Hukum : patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu.16 B. Menikahi
: berasal dari kata “Nikah” ialah perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)17 C. Mertua : orang tua istri atau suami18 D. Menantu
16
: istri atau suami dari anak kita19
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. 6, hlm. 167. Kamus Besar Bahasa Indonesi, op. cit., hlm. 697. 18 Ibid., hlm. 578. 17
E. Pembatalan perkawinan
: atau dalam fiqih dikenal dengan
Fasakh ialah diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.
Perkawinan yang telah ada adalah syah
dengan segala akibatnya,dan dengan difaskhkan ini bubarlah hubungan perkawinan itu20 F. Studi
: Kajian, telaah, penelitian dan penyelidikan ilmiyah terhadap
sesuatu G. Komparasi
: Perbandingan
H. Imam Syafi’I : Beliau yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi‟I, nama lengkapnya adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi‟I Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya imam Abu Hanifah.21 I. Imam Hanafi : Beliau pendiri mazhab Hanafi, nama lengkapnya adalah Abu Hanifah An-Nikman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Dilahirkan di Kufah pada tahun 150 H/ 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin abdul Malik.22 C. Rumusan Masalah
19 20
Ibid., hlm. 572. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, hlm.
117. 21 22
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. Xxix. Ibid.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
hukum
menikahi
mertua/menantu
setelah
kasus
pembatalan perkawinan menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi ? 2. Mengapa ketika keempat Imam Madzhab sepakat akad nikah dijadikan sebagai alasan diharamkannya menikahi mertua/menantu, tetapi dalam hal pembatalan perkawinan (akad nikah dianggap batal/tidak pernah ada) terjadi perbedaan hukum menikahi mertua/menantu terutama antara Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi ? D. Tujuan Masalah Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti paparkan, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti sendiri dalam penelitian yang hendak dilakukan adalah: 1. Mengetahui hukum menikahi mertua/menantu menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi 2. Mengetahui Alasan perbedaan hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan perkawinan menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat anatara lain sebagai berikut: 1) Diharapkan memberikan pengetahuan untuk umat islam khususnya di Indonesia, tentang hukum menikahi mertua/menantu dalam kasus pembatalan perkawinan menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi,
sehingga dengan demikian masyarakat akan berhati-hati dalam melaksanakan perkawinan. 2) Menambah kontribusi terhadap khasanah keilmuan hukum islam khususnya dalam bidang al-Ahwal al-Syahksiyyah F. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka penulis menyediakan informasi tentang karya-karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang penulis teliti. Agar dalam penelitian ini tidak ada kecenderungan atau kesan bahwa penulis mengambil objek kajian dari orang lain, selain itu kajian pustaka juga membantu penulis untuk mengetahui banyak informasi yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan. Berikut adalah karya-karya ilmiah yang ada relevansinya dengan judul skripsi penulis: Nama
Judul
Tahun
Bentuk
Ahmed Ershad Bafadal
Dasar Pertimbanga 2013 Hakim Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Status Wali Nikah (Studi Di Pengadilan Agama Mataram)
Jurnal
Yuni Zulfiani Riski Ahmad
Tinjauan Yuridis 2009 Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin dari Orang Tua (studi kasus Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.
Jurnal
Keterangan Penelitian ini membahas dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perkawinan yang tidak sah karena status wali di Pengadilan Agama Mataram Penelitian ini membahas tentang kedudukan izin orang tua terhadap anak yang akan melakukan perkawinan dan menganalisis data
Mks) Yusnidar Rachman, SH.
Pembatalan 2006 Perkawinan Serta Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Slawi
Tesis
Ahmad Syadhali
Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan
Skripsi
Alfian Jauhari Anif
Akibat Kedudukan dan Harta Setelah Pembatalan Perkawinan Pengadilan Yogyakarta
Astuti Nur Halimah
Frisko Dwi Karisma Yudha
2011
Hukum 2009 Anak Bersama Adanya
Skripsi
Oleh Agama
Pembatalan 2012 Perkawinan Karena Hamil Diluar Nikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No.886/Pdt.G/2010/ PA.Bi) Pembatalan 2009 Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan
Skripsi
Skripsi
putusan PA Makasar. Penelitian ini membahas tentang pembatalan perkawinan menurut islam dan UU Perkawinan serta akibat hukumnya. Dan prakteknya di PA Slawi Penelitian ini membahas mengenai status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan Penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya, hanya didalamnya juga membahas mengenai pembagian harta bersama, yang terjadi di PA. Yogyakarta. Dalam penelitian ini berisi tentang hamil di luar nikah sebagai alasan dilakukannya pembatalan perkawinan Dalam skripsi ini berisi faktor-faktor yang menjadi sebab pembatalan perkawinan akibat pemalsuan
Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 1624/Pdt.G/2009/PA .SDA) Alasan Hakim 2008 Dalam Menolak Perkara Pembatalan Perkawinan (Studi Perkara Nomor: 0884/pdt.G/2006/PA Kab. Malang)
identitas dan menganalisis putusan PA.Sidoarjo Wardatul Skripsi Penelitian ini berisi Firdaus mengenai faktorfaktor yang menjadi sebab majlis hakim menolak perkara pembatalan perkawinan dan menganalisis putusan PA. Malang Luluk Pandangan Hakim 2004 Skripsi Penelitian ini pada Azizah Dalam Pembatalan dasarnya terfokus Perkawinan Karena pada adanya Pelanggaran pelanggaran Administrasi (Studi administrasi yang Kasus Nomor: dilakukan oleh 234/Pdt.G/2003/PA pihak termohon Malang) berupa tidak adanya izin dari istri maupun pengadilan agama atas poligami yang dilakukan Ahmad Fasakh Nikah 2010 Skripsi Penelitian ini berisi Miladi Dengan Alasan faktor-faktor yang Salah Satu Riddah menjadi sebab dan Akibat fasakh nikah Hukumnya (Studi karena riddahnya Kasus di Pengadilan salah satu pihak Agama Depok) dan menganalisis data putusan PA. Depok serta membahas penyebab fasakhnya perkawinan akibat riddah. Dari beberapa karya ilmah diatas sebagian besar berisi faktor-faktor mengapa pembatalan nikah dilakukan, dan akibat hukum pembatalan
perkawinan terhadap kedudukan anak. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan berisi tentang akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan mertua/menantu dalam, kaitannya dengan hukum menikahi mertua/menantu dalam pembatalan perkawinan yang mana undang-undang di Indonesia belum mengaturnya sehingga lebih lanjut penelitian ini berorientasi pada pendapat imam Syaf‟I dan imam Hanafi. G. Metode Penelitian Metode merupakan alat bantu yang utama dalam setiap penulisan ilmiah, baik untuk memahami permasalahan maupun di dalam menyusun tulisan karya ilmiyah itu sendiri. Adapun jumlah dan jenis metode yang akan dipergunakan, ditentukan oleh sifat dan jenis penelitian. Sehingga penelitian dapat mencapai hasil yang optimal dan pelaksanaannya terarah dan rasional. Maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature (kepustakaan), baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.23 Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, maksudnya penelitian yang memecahkan masalahnya dengan menggunakan data empiris24, bukan menggunakan data berupa angka. 23 24
Nur Khoiri, Metode Penelitian Pendidikan, (Jepara: INISNU, 2012), hlm.115. Ibid., hlm. 121.
2. Sumber data Dalam studi kepustakaan peneliti menggunakan dokumentasi, maka dokumen, buku, atau catatanlah yang menjadi sumber data. Sumber data pada skripsi ini ialah sebagai berikut: a. Sumber Primer, yaitu sumber data utama dalam penelitian. Yang terdiri dari Al-Qur‟an, Hadits, Kitab-kitab fiqih seperti kitab Al-Fiqh AlIslami Wa Adillatuhu jilid 9 karangan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, kitab Al-Umm karya Imam Syafi‟i, kitab al-Fiqih „ala al-Madzahib alKhamsah (Fiqih Lima Mazhab) karangan Muhammad Jawad Mughniyah, kitab Fiqh alSunnah (Fiqih Sunnah) karya Sayyid Sabiq dan Hukum Perundang-undang islam di Indonesia dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) b. Data Sekunder yaitu sumber data lain yang menunjang di luar sumber data primer, seperti buku-buku yang ada kaitannya dengan topik, laporan
penelitian,
majalah,
jurnal,
dan
website. 3. Pengumpulan Data Karena dalam skripsi ini menggunakan Studi Kepustakaan, maka pengumpulan data dalam penelitian ini ialah dengan cara teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literature-literatur, catatan-catatan, laporan-laporan, yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang dipecahkan.25 Dalam hal ini peneliti menelaah dan mengumpulkan data kepustakaan yang ada kaitannya dengan Hukum Menikahi Mertua/Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan. 4. Metode Analisis Data Analisis
adalah
mengelompokkan,
membuat
suatu
urutan,
memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.26 Adapun metode analisis data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah: a. Metode Induktif Sebagaimana ciri-ciri atau karakteristik dari penelitian kualitatif yang mana bersifat induktif yaitu mengembangkan konsep yang didasarkan atas data yang ada.27 Metode ini digunakan untuk berfikir dari mengolah data yang bersifat khusus, kemudian peristiwa-peristiwa atau fakta yang kongkrit itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum. Metode ini penulis gunakan pada bab III yaitu menungkapkan pendapat-pendapat Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi secara khusus mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi beserta alasannya, kemudian dikembangkan dengan
25
Ibid., hlm. 115. Moh. Nazir, Metode penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), cet. 7, hlm. 358. 27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. 14, hlm. 33. 26
permasalahan
Hukum
Menikahi
Mertua/Menantu
Pasca
Pembatalan Perkawinan/Pernikahan kemudian dianalisa pada bab selanjutnya dalam skripsi ini
b. Metode Komparasi Kata komparasi dalam bahasa inggris comparation, yaitu perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang ada di dua tempat, apakah kondisi tersebut sama, atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi tempat mana yang lebih baik.28 Metode
ini
penulis
gunakan
untuk
membandingkan
atau
mengkomparasikan pendapat Imam Syafi‟I dan Imam Hanafi tentang hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan pernikahan, yang penulis paparkan dalam bab IV. Dengan beberapa metode analisis yang penulis gunakan, sekiranya adalah suatu jalan untuk menghantarkan terselesaikannya penulisan skipsi ini. H. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui isi atau materi skripsi secara menyuluruh, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bagian Muka
28
Ibid., hlm. 6.
Halaman
judul,
halaman
pengesahan,
halaman
persetujuan
pembimbing, abstrak, halaman motto, halam persembahan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi. 2. Bagian Isi, terdiri dari beberapa bab: BAB I
: Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah, 2. Penegasan Judul 3. Rumusan Masalah 4. Tujuan Masalah 5. Manfaat Masalah, 6. Kajian Pustaka, 7. Metodologi Penelitian 8. Sistematika Penulisan
BAB II
: Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih dan Hukum Islam di Indonesia J.
Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih 2. Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Perkawinan Menurut Fiqih 3. Macam-Macam Pernikahan yang Batal Menurut Fiqih 4. Cara Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih
K. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia 1. Pengertian
Pembatalan
Perkawinan
Menurut
Hukum Islam di Indonesia 2. Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia 3. Macam-Macam Pernikahan yang Batal Menurut Hukum Islam di Indonesia 4. Cara Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia L. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dengan Perceraian M. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan BAB III
:
Biografi
dan
Pendapat
Keharaman
Menikahi
Mertua/Menantu Menurut Imam Syafi’I dan Imam Hanafi 3) Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Syafi‟i N. Biografi Imam Syafi‟I O. Pemikiran-Pemikiran Imam Syafi‟i P. Dasar Hukum Yang digunakan Imam Syafi‟i Q. Pandangan Imam Syafi‟I Mengenai Hukum Menikahi Mertua/Menantu
4) Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Hanafi A. Biografi Imam Hanafi B. Pemikiran-Pemikiran Imam Hanafi C. Dasar Hukum Yang digunakan Imam Hanafi D. Pandangan Imam Hanafi Mengenai Hukum Menikahi Mertua/Menantu BAB IV
: Analisis Komparasi Hukum Menikahi Mertua/ Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan Menurut Imam Syafi’I dan Imam Hanafi Pada bab ini berisi pembahasan dan penjelasan mengenai analisis
tentang
komparasi
hukum
menikahi
mertua/menantu pasca atau setelah kasus pembatalan pernikahan menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi BAB V
: Penutup Pada bab ini berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup
1. Bagian Akhir terdiri dari: Daftar pustaka, lampiran dan daftar riwayat hidup
BAB II KAJIAN TEORI 5. PEMBATALAN PERNIKAHAN MENURUT FIQIH 5. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara‟. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, perbuatan tersebut juga dilarang dan diharamkan oleh agama. Jadi secara umum, batalnya perkawinan/ pernikahan yaitu rusak atau tidak sahnya pernikahan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Pembatalan perkawinan dalam Fiqih disebut dengan fasakh, Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan, bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti membatalkan perkawian atau merusak perkawinan.29 Jika ada kata-kata fasakh ba‟I berarti pembatalan akad jual beli karena ada suatu sebab/illat/cela. Sedangkan fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami isteri.30 Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah bukan meninggalkan.31 29
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 242. M. A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), cet. 2, hlm. 196. 31 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 4, hlm. 148. 30
Menurut
Sayyid
Sabiq,
memfasakh
akad
nikah
berarti
membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain datang kemudian yang membatalkan kelangsungannya perkawinan.32 Sebagaimana dinyatakan dalam buku AlFiqh Al-Islami Wa Adillatuhu Jilid 9, bahwa pernikahan yang batal adalah pernikahan yang tidak sempurna rukunnya. Sedangkan pernikahan yang fasid (rusak) adalah pernikahan yang tidak sempurna syaratnya dan terdapat cacat setelah terlaksana. Secara umum ulama‟ Syafi‟iyah menilai kedua hukumnya sama. Maksudnya salah satu dari kedua jenis pernikahan ini
tidak
mengakibatkan
terlaksananya
konsekuensi-konsekuensi
pernikahan yang sah.33 Jumhur ulama‟ juga menilai hukum keduanya sama ialah tidak sah. 6. Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Pernikahan Menurut Fiqih Dari segi alasan terjadinya, secara garis besar fasakh dapat dibagi menjadi 2 sebab, yaitu: A. Fasakh Karena Syarat-Syarat yang Tidak Terpenuhi Ketika Akad Perkawinan Maksudnya pernikahan yang sebelumnya telah berlangsung, ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun, maupun syaratnya, atau pada perkawinan tersebut 32 33
Sayyid Sabiq, op. cit., h1m. 32. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 114.
terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan.34 seperti, setelah akad nikah ternyata baru diketahui bahwa isterinya adalah saudara atau memiliki hubungan nasab, mushaharah atau persusuan, maka pernikahan seperti ini harus dibatalkan, karena wanita tersebut adalah wanita yang haram untuk dinikahi. Fasakh dalam bentuk pertama ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fiqih. Alasannya ialah perkawinan itu jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan perkawinan atau terdapat padanya halangan (mawani‟) nikah. Dalam ketentuan umum yang disepakati semua pihak ialah bahwa pernikahan yang tidak memenuhi syarat, rukun atau terdapat padanya mawani‟ tersebut dinyatakan batal.35 B. Fasakh Karena Hal-Hal Mendatang Setelah Akad Fasakh macam kedua yaitu karena terjadinya hal yang baru dialami setelah akad nikah dan setelah hubungan perkawinan berlangsung.36 Atau dapat dikatakan pernikahan yang tidak sempurna syaratnya atau terdapat cacat yang terdapat pada suami atau istri setelah terlaksananya perkawinan. Misalnya apabila suami istri beragama islam, tiba-tiba setelah berjalannya waktu suami keluar dari agama islam atau murtad. Maka Pernikahan yang telah dilakukan tersebut harus dibatalkan karena Allah SWT. telah mengharamkan atas orang-orang kafir untuk bercampur
34
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 243. Ibid., hlm. 244. 36 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), cet. 9, 35
hlm. 85.
dengan wanita-wanita muslimah dan mengharamkan orang-orang mukmin untuk bercampur dengan wanita-wanita kafir selain ahli kitab.37 Contoh lain ialah pembatalan pernikahan karena cacat, yang dimaksud dengan cacat disini ialah cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh salah satu pihak sehingga pihak lain merasa tertipu. Dikalangan 4 madzabmazhab fiqih terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang menyebabkan terjadinya fasakh perkawinan, diantaranya: 1.
Impotensi Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang lakilaki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya. Dalam keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali) istri dapat membatalkan perkawinan38. Dikatakan disini adalah dapat, yang bermakna tidak harus, atau dapat dikatakan istri memiliki hak khiyar maksudnya memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya. Namun dalam pembatalannya harus menunggu selama satu tahun terlebih dahulu, hal itu berdasarkan riwayat dibawah ini:
37
Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm jilid 2, terj. Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), cet. 12, hlm. 534. 38 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 351.
ِ َِّم ْن طَ ِريْ ِق َسعِْي ِد بْ ِن املسي اَ َضى عُ َمُر َ َ ُضا َر ِض َي اللُ َعْنو ً ْب اَي َُ ِ ْ ِف العِن )ِّْي اَ ْن يُ َؤ َّج َل َسنَةً (ورجلو ثقة Artinya: Dari sanad Sa‟id bin Musayyab juga (yaitu yang diriwayatkan oleh Sa‟id bin Masshur dari Sa‟id bin Musayyab itu), beliau mengatakan: Umar telah memutuskan tentang lelaki yang lemah syahwat (impoten) supaya dia diberi waktu setahun.(Dan para perawinya, orang-orang yang terpecaya.39 Diberi waktu setahun ini, dimaksudkan agar mengetahui dengan jelas bahwa suami itu apakah benar-benar impoten atau tidak, atau mungkin saja dalam jangka waktu satu tahun penyakit tersebut bisa sembuh. Namun apabila dalam waktu tenggang tersebut suami tetap tidak menyentuh istri, maka istri boleh memilih berpisah dengan suaminya. 2.
Al-Jubb dan Al-Khansha‟ Al-Jubb, adalah terpotongnya dzakar, sedangkan AlKhansa‟ adalah kehilangan atau pecahnya buah dzakar.40 Menurut kesepakatan keempat imam madzhab, cacat tersebut menyebabkan istri
boleh
memilih
antara
meneruskan
perkawinan
atau
membatalkannya. dan istri memiliki hak membatalkan perkawinan tanpa harus menunggu, bila cacat itu terjadi sebelum hubungan seksual. 3. 39 40
Gila
Al-Shan‟ani, op. cit., hlm. 491. Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 355.
Gila ada dua macam: pertama, gila sejati. Bila istri menderita gila jenis ini, maka suami berhak membatalkan pernikahan baik parah ataupun ringan. Kedua, gila akibat sedikit gangguan paad akal, bukan karena kecelakaan atau penyakit. Bila istri menderita gila seperti ini, maka suami berhak pula membatalkan pernikahan.41 Imam Maliki, Syafi‟I dan Hambali sepakat bahwa suami boleh memfasakh akad perkawinan karena penyakit gila yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.42 4.
Sopak dan Kusta Jika diantara suami-istri menemukan aib atau cacat pada pasangannya yang baru diketahui setelah akad nikah, cacat dalam hal ini terdapat penyakit Sopak dan Kusta, maka kedua belah pihak berhak memilih pasangannya, berhak memilih disini maksudnya adalah hak untuk melanjutkan perkawinan atau memfasakh perkawinan dengan pasangannya tersebut. Sebagaimana pendapat Imam Syafi‟I, Maliki dan Hambali bahwa kedua penyakit tersebut (sopak dan kusta) merupakan cacat bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Kedua belah pihak boleh melakukan fasakh manakala menemukan penyakit
41 42
Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, op. cit., hlm. 508. Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 355-356.
tersebut ada pada pasangannya. Bagi Syafi‟I dan Hambali, hukumnya sama dengan orang-orang gila43 5.
Al-Ritq, Al-Qarn, Al-„Afal dan Al-Ifdha‟ Al-Ritq
adalah
tersumbatnya
lubang
vagina
yang
menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama. Al-Qarn adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip tanduk domba, dan Al-„Afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan, sedangkan Al-Ifdha‟ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan44 Jika seorang suami menemukan aib pada diri istrinya yang mengakibatkan ia tidak bisa bersetubuh dengan istrinya tersebut, seperti wanita tersebut mempunyai kemaluan yang rapat, yang bukan lubang kencing (ritqun), yang cacat tersebut tidak mungkin untuk dihilangkan, maka laki-laki tersebut berhak membatalkan nikahnya.45 Sebagaimana halnya pendapat imam Maliki dan Hambali yakni adanya salah satu diantara keempat jenis cacat tersebut pada diri
seorang
istri,
menyebabkan
seorang
suami
berhak
membatalkan perkawinan. Beda halnya dengan imam Syaf‟I mengatakan bahwa yang menyebabkan fasakh adalah al-ritq dan
43
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 356. Ibid., hlm. 357. 45 Saleh al- Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, trj. Abdul Hayyie al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mustofa, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. 1, hlm. 666. 44
al-qarn saja. Sedangkan al-ifdha‟ dan al-„afal tidak berpengaruh terhadap akad.46 Dalam keterangan fasakh dikarenakan cacat diatas pendapat imam Hanafi hanya dijumpai pada bagaian cacat Impotensi saja, sedangkan pada bagian cacat yang lain tidak dijumpai pendapat beliau, hal ini karena imam Hanafi berpendapat bahwa laki-laki tidak memiliki hak khiyar lantaran sebab-sebab cacat penyakit tersebut, bagi beliau hak khiyar ada pada perempuan hanya jika suami mengalami putus zakarnya atau impoten. 7. Macam-Macam
Pernikahan
yang
Batal
Menurut Fiqih Pernikahan yang batal jumlahnya banyak sekali, penulis akan menjelaskan beberapa macam pernikahan selain yang telah di paparkan sebelumnya, diantaranya ialah: A. Nikah Syighar Adalah pernikahan dengan cara seorang lelaki menikahkan perempuan yang ada dalam tanggungannya; putri atau saudari dengan seseorang, dengan syarat orang tersebut menikahkannya dengan perempuan yang ada dalam tanggungannya juga, diantara keduanya tidak ada mahar, kecuali pertukaran kedua perempuan tersebut.47 Sebagaimana sabda Rosulullah SAW.:
46
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 357. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 112.
47
ِ ِ ِ ِ للى الل َ نَهى َر ُس ْو َُ الل،َع ْن نَاف ٍع َع ْن ابْ ِن عُ َمَر َرض َي اللُ َعْن ُه َما َ َل ِ اآلخُر َّ عليو وسلم َع ِن الشِّغَا ِر اَ ْن يَُزِّو َج َ ُالر ُج ُل ابْنَتَوُ َعلى اَ ْن يَُزِّو َجو ِا )اق (متفق عليو ا م ه ن ي ب س ي ل و و ت ن ب َ ٌ ل َد َ َ َ ُ َ َ ُ َْ َ ْ َ ْ Artinya: Dari Nafi‟, dari Ibnu Umar ra. Beliau berkata: Rasulullah saw. melarang kawin syighar. Kawin syighar itu ialah seseorang mengawinkan anak perempuannya dengan syarat orang itu mengawinkan anak perempuannya kepada dia dan tidak ada mahar antara keduanya. Muttafaq a‟laih48 Jumhur ulama‟ mengatakan, bahwa pernikahan syighar hukumnya tidak sah dan jika pernikahan ini terjadi maka harus dibatalkan baik sebelum maupun sesudah berhubungan intim.49 B. Nikah Mut‟ah Nikah Mut‟ah dalam istilah hukum biasa disebut dengan “perkawinan untuk masa tertentu” dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.50 Imam madzhab empat sepakat bahwa nikah mut‟ah adalah batal, nikah mut‟ah selain tidak sah, juga telah dihapus hukumnya oleh ijma‟ para ulama dahulu dan kemudian. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW.:
48
As-Shan‟ani, op. cit., hlm. 440. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 113. 50 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 100. 49
ِ ِ ِ ِحديث علِي ب ِن اَِِب طَال للى الل ْ ِّ َ َ اَ َّن َر ُس ْو َُ الل،ُب َرض َي اللُ َعْنو ِ اْلُ ُم ِر ْاْلنْ ِسيَّ ِة ْ َو َع ْن اَ ْك ِل،ِّس ِاء يَ ْوَم َخْيبَ َر َ ََنى َع ْن ُمْت َعة الن،عليو وسلم Artinya: Ali bin Ali Thalin r.a. berkata: Rasulullah saw. telah melarang nikah mut‟ah (kawin untuk sementara waktu) pada waktu perang Khaibar, dan juga melarang makan daging himar peliharaan.51 Dalam riwayat Muslim dari Saburah Aljuhaini r.a. berkata: Nabi saw. bersabda : Dahulu saya izinkan kamu kawin mut‟ah, dan kini Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat, maka siapa yang masih memiliki wanita itu harus melepaskannya, dan jangan meminta kembali apa yang telah kamu berikann kepadanya.52 Oleh karena itu mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa nikah mut‟ah telah dinyatakan batal dan tidak sah, tidak ada perbedaan pendapat
tersebut
kecuali
Syiah
Imamiyah
yang
masih
memperbolehkannya. Menurut Imam Syafi‟I jika seorang lelaki menikah dengan syarat adanya khiyar (pilihan) maka akadnya tidak sah, karena akad tersebut dapat batal oleh adanya waktu kesepakatan waktu53. C. Nikah Muhallil
51
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al- Lu‟lu‟ Wal Marjan Jilid 1 :Himpunan Hadits Shahih yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim, trj. H. Salim Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), cet. 3, hlm. 479. 52 Ibid., hlm. 480. 53 Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 115.
Yaitu seorang laki-laki menikahi perempuan dengan syarat ketika telah menggaulinya maka ia akan menceraikannya, atau tidak ada lagi ikatan pernikahan antara keduanya, atau hal itu diniatkan oleh sang suami, atau mereka berdua telah menyepakati hal itu, maka pernikahan tersebut tidak sah dan perempuan tersebut tidak halal bagi bekas suaminya.54 Sabda Rasulullah saw.
ِ للَّى اللُ َعلَْي ِو َ َ َُع ِن ابْ ِن َم ْسعُ ْوٍد َر ِض َى اللُ َعْنو َ لَ َع َن َر ُس ْو َُ الل:َا )َو َسلَّ ْم اَلْ ُم َحلِّ َل َوالْ ُم َحلَّ َل لَوُ (روه اَحد و النسائ والرتمذى Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. mengutuk orang yang mengahlalkan dan orang yang yang dihalalkan. (diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa‟I, dan AtTirmidzi)55 Hadits
tersebut
menjadi
dalil
pengharaman
tahlil
(menghalalkan yang haram), maksudnya menjadi perantara suami dan istri yang sudah talak tiga, agar halal lagi dengan bekas suaminya yang mentalaqnya dengan talak tiga itu. Kata kutukan didalam hadits diatas mengarah kepada perbuatan yang diharamkan, dan setiap yang diharamkan itu pasti dilarang, sedangkan larangan itu menetapkan rusaknya akad (batalnya akad nikah). D. Nikah Orang yang Sedang Berihram
54 55
Ibid., hlm. 117. Al-Shan‟ani, op. cit., hlm. 458.
Penikahan dianggap batal ketika salah satu dari pelaku akad atau kedua-duanya sedang dalam keadaan menunaikan ibadah ihram, baik dalam haji atau umrah, sebelum melakukan tahallul. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
َع ْن عُثْ َما َن َر ِض َى اللُ َعْنوُ َ َل َر ُس ْو َُ اللِ للى الل عليو وسلم الَيَْن ِك ُح )امل ْح ِرُم َوالَ يُْن َك ُح (روه مسلم ُ Artinya:
Dari Ustman r.a beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: orang yang memakai ihram itu tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan. (diriwayatkan oleh Muslim).56 Menurut Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah dalam bukunya Fiqih Wanita mengatakan bahwa larangan ini bersifat haram. Dengan pengertian lain,apabila dilakukan maka pernikahannya tersebut tidak sah.57 E. Nikah dengan Wanita yang Sedang Menjalani Masa Iddah Tidak seorang pun boleh melamar wanita muslimah yang sedang menjalani masa iddah, baik karena perceraian mapun karena kematian suaminya. Jika menikahinya sebelum masa iddahnya selesai maka nikahnya dianggap batal, baik sudah berhubungan badan maupun belum atau sudah berjalan lama maupun belum. Disamping itu, tidak
56
Al-Shan‟ani, op. cit., hlm. 449. Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, trj. M. Abdul Ghoffar E.M., (Jakarta: Putaka Al-Kautsar, 2006), cet. 23, hlm. 386. 57
ada waris diantara keduanya dan tidak ada kewajiban memberi nafkah serta mahar bagi wanita tersebut darinya.58 8. Cara Pembatalan Pernikahan Menurut Fiqih Cara pembatalan pernikahan/perkawinan (fasakh) ada 2 macam: yang pertama, fasakh yang tidak memerlukan putusan pengadilan. Fasakh ini disebabkan oleh hal-hal yang sudah jelas. Misalnya, diketahui bahwa suami dan istri memiliki hubungan mahram, baik mahram karena hubungan sesusuan, hubungan semenda, atau nasab. Dalam kasus tersebut kondisi penyebab fasakh jelas, yakni seseorang yang memiliki hubungan mahram haram untuk dinikahi sehingga tidak memerlukan putusan pengadilan. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa dalam keadaan seperti ini kedua suami-istri wajib memfasakh akad nikahnya dengan kemauannya sendiri.59 Yang kedua, fasakh yang memerlukan putusan pengadilan. Hal ini disebabkan oleh perkara yang kurang jelas, seperti fasakh yang terjadi oleh karena istri musyrik (bukan ahli kitab), untuk meyakinkan apakah istri benar-benar menolak atau tidak diperlukan putusan pengadilan.60 Dalam hal pengajuannya, Fasakh dengan putusan pengadilan ini bisa diajukan oleh siapa saja, baik suami ataupun isteri.
6. PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA 58
Ibid., hlm. 383. Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 134. 60 Ahmad Azhar Basyir, op. cit., hlm. 86. 59
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menyebutkan bahwa Pembatalan perkawinan ialah bembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 22 menegaskan: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” Hukum islam di Indonesia dalam hal ini ialah KHI (Kompilasi Hukum Islam), tidak mengemukakan pengertian secara jelas mengenai pembatalan perkawinan, dalam KHI lebih menekankan pada jenis perkawinan yang dapat dibatalkan yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya. 2. Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Perkawinan Menurut Hukum Islam di Indonesia Dalam KHI Pasal 71 sudah diatur mengenai perkara apa saja yang dapat membatalkan perkawinan, Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalampasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan 3. Macam-Macam Pernikahan Yang Batal Menurut Hukum Islam Di Indonesia Sebagaimana telah dijelaskan dalam KHI bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat, yang mana jika melaksanakannya merupakan ibadah karena merupakan perintah Allah, namun pernikahan juga dapat dibatalkan, berikut macam-macam pernikahan/perkawinan yang dapat dibatalkan dalam KHI pasal 70 : a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj‟I; b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili‟annya; c. Seorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, anatar seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. 4. Cara Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam Di Indonesia Selain
mengemukakan
tentang
hal-hal
yang
membatalkan
perkawinan dan macam-macam perkawinan yang batal dalam KHI juga menyebutkan tata cara pembatalan perkawinan hak-hak suami atau isteri untuk
mengajukan
pembatalan
perkawinan
manakala
perkawinan
dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka. Selengkapnya dicantumkan di dalam pasal 72 , yakni: 1. Seorang suami
atau
isteri dapat
mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
2. Seorang suami
atau
isteri dapat
mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri 3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakann haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Kesimpulan dari pasal 72 KHI diatas adalah perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa, dan tidak mempunyai akibat hukum. Sama halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf, karena itu tindakan hukum maka tidak berakibat hukum, kecuali bila ada indikasi lain seperti yang diatur dalam ayat 3 pasal 72 diatas.61 Dalam KHI juga diatur mengenai orang-orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, yakni dalam pasal 73: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah dari suami atau isteri
61
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 149.
b. Suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Selanjutnya Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau yang mewilayahi tempat dimana perkawinan dilangsungkan, (KHI pasal 74 ayat 1) berbeda dengan permohonan talak yang mana pengajuannya di lakukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri . Perlu ditegaskan bahwasannya batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (KHI pasal 74 ayat 2) Adapun mengenai status anak yang lahir dari akibat perkawinan yang dibatalkan tersebut, mereka tetap memiliki hubungan hukum dengan ibu dan bapaknya. Menurut ketentuan KHI pasal 76 dinyatakan bahwa: “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”.
Penetapan hukum ini didasarkan kepada prinsip baraah alasliyah, hukum sesuatu yang telah berlangsung ditetapkan sebagaimana asalnya. Sejalan dengan kaidah:
ل ُل بَ َقاءُ َما َكا َن َعلى َما َكا َن ْ َاَال Artinya: “Prinsipnya adalah menetapkan hukum yang ada menurut keadaan yang ada”.62 Maksud dan tujuan dari pasal tersebut adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinan ibu-bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya. Meskipun sesungguhnya secara psikologis, jika pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan, meski tekadang membawa kepahitan.63
7. PERBEDAAN
PEMBATALAN
PERKAWINAN
DENGAN
PERCERAIAN Ulama‟ Fiqih mengemukakan beberapa perbedaan mendasar antara perceraian (talak) dan fasakh, diantaranya: 62 63
Ibid., hlm. 152. Ibid.
a. Dari Segi Hakikat Fasakh mengandung pengertian pembatalan akad nikah serta menghilangkan seluruh akibat perkawinan sekaligus. Adapun talak adalah upaya mengakhiri suatu perkawinan dan seluruh akibat perkawinan serta baru habis apabila talak yang jatuh itu adalah talak yang ketiga kalinya (talak ba‟in kubra)64 b. Dari segi penyebabnya. Fasakh ada kalanya disebabkan adanya cacat pada akad nikah atau ada hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan itu tidak bisa dilanjutkan. Adapun talak merupakan hak suami yang dipergunakan atas kehendaknya sendiri, sementara akad nikah itu sendiri tidak ada cacatnya.65 Hal-hal tertentu diatas merupakan pernikahan yang tidak sempurna syaratnya atau terdapat cacat yang terdapat pada suami atau istri setelah terlaksananya perkawinan c. Dari segi akibat Pisahnya suami-istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak isterinya dengan talak raj‟I, kemudian mereka rujuk pada masa iddah, atau melakukan akad lagi pada waktu iddahnya telah habis dengan akad yang baru, maka talak tersebut dihitung dengan satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi.
64
Abdul Aziz Dahlan et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2000), cet. 4, hlm. 318. 65 Ibid.
Sedangkan pisahnya suami-istri karena fasakh ini tidak mengurangi bilangan talak.66 d. Dari Segi Pembagiannya Talak adakalanya talak raj‟I, yaitu talak satu atau dua dengan arti suami berhak rujuk kepada istrinya selama istri tersebut masuk dalam masa iddahnya, dan ada kalanya talak ba‟in yaitu talak yang ketiga kalinya (disebut talak ba‟in kubra), talak satu atau dua yang telah habis masa iddahnya dan perceraian yang terjadi akibat khuluk ( dua bentuk terakhir disebut talak bai‟n sugra) dalam talak ba‟in kubra suami tidak boleh rujuk kepada istrinya dan mereka boleh menikah kembali apabila istrinya itu telah kawin sengan laki-laki lain kemudian cerai. Dalam talak ba‟in sugra suami boleh kembali kepada istrinya dengan melangsungkan akad nikah dan dengan mahar yang baru, sekalipun istri tersebut tidak harus kawin dahulu dengan lelaki lain. Adapun dalam fasakh pembagian seperti diatas tidak ada. Suami tidak boleh rujuk kepada istrinya, bahkan dalam kasus mengawini saudara sendiri, pihak laki-laki selamanya tidak boleh kawin kembali dengan wanita yang ternyata saudara perempuannya.67 Ahli fiqih golongan Hanafi ingin membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami-isteri sebab talak dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami-isteri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami-istri
66
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm 133. Abdul Aziz Dahlan et. al., op. cit., hlm. 319.
67
karena isteri, bukan karena suami atau karena suami tetapi dengan pengaruh dari isteri disebut fasakh.68
68
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 134 .
BAB III BIOGRAFI DAN PENDAPAT HUKUM MENIKAHI MERTUA/MENANTU MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI a. Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Syafi’i a. Biografi Imam Syafi’I Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn Al-Abbas bin al- Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟I ibn al-Saib ibn Ubaid Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Abd al-Muthalib Ibn Abd Manaf.69 Ia termasuk dalam golongan suku Quraisy. Beliau sebenarnya telah membuktikan kebenaran ungkapan Rasulullah SAW.: “Ulama Quraisy akan memenuhi lapisan bumi dengan ilmu”.70 Hal ini terbukti dari keluasan ilmu yang dimiliki oleh imam Syafi‟I.Beliau dilahirkan di Ghazza pada tahun 150 H. Ghazza bukanlah tempat kediaman orang tuanya, Ayah beliau Idris pergi ke Ghazza dan meninggal disana. Dan sesuadah beliau meninggal lahirlah Muhammad, anaknya, dan pada tahun kemudian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah.71 Imam Syafi‟I dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir, hidup atas bantuan keluarganya dari kabilah Quraisy, namun bantuan yang ia dapatkan sangat minim, tidak cukup untuk membayar guru yang bisa 69
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 2, hlm. 101. 70 Mustofa Muhammad Asy-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab, trj. A. M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. 3, hlm. 349. 71 Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), cet. 2, hlm. 89.
mengajarkan tahfizd Al-Qur‟an serta dasar-dasar membaca dan menulis, namun karena sang guru melihat kecerdasan imam Syaf‟I serta kecepatan hafalannya, ini menyebabkannya dibebaskan dari biaya.72 Imam Syafi‟i tumbuh di Makkah dan belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, mufti Makkah, hingga diijinkan memberi fatwa saat Imam Syafi‟I berumur 15 tahun. Kemudian Imam Syafi‟I pergi ke Madinah dan belajar fiqih kepada Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. kemudian Imam Syafi‟I pergi ke Yaman disana ia belajar Fiqih dari Umar bin Abu Salmah. Pada tahun 184 H., Imam Syafi‟I didatangkaan ke Baghdad/ Irak karena dituduh menentang Daulah Abbasyiyah, namun ia terbebas dari tuduhan. Kedatangannya ini menjadi sebab pertemuannya dengan ulama fiqih Irak Muhammad bin Hasan asySyaibani (Pengikut Abu Hanifah) lalu Imam Syafi‟I belajar masalahmasalah fiqih darinya. Kemudian Imam Syafi‟I pindah ke Makkah dengan membawa kitab-kitab fiqih ulama‟ Irak, dan tinggal di Makkah untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji selama 9 tahun.Setelah itu beliau pergi ke Irak untuk kedua kalinya pada tahun 195 H. dan bermukin disana selama 2 tahun, kemudian kembali ke Makkah. Lalu ia kembali ke Baghdad/Irak pada tahun 198 H., dan bermukin disana selama beberapa bulan. Kemudian beliau pergi ke Mesir pada akhir tahun 199 H., atau dikatakan pada tahun 200 H., ia menetap disana, mengajar, berfatwa, mengarang, dan mengajarkan murid-muridnya 72
Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, trj. M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2008), cet. 4, hlm. 61.
hingga wafat pada tahun 204 H.73tepatnya beliau wafat pada 20 Januari 820 M. (29 Rajab 204 H.) dan dimakamkan di pemakaman Banu Abd.74 Imam Syafi‟I mempunyai istri bernama Hamidah binti Nafi‟ bin Unaisah bin Amru bin Ustman bin Affan.75 Dari pernikahan tersebut Imam Syafi‟I dikaruniai tiga orang anak, mereka bernama: Abu Ustman Muhammad (ia seorang hakim di kota Halib, Syam/Syiria), Fathimah dan Zainab.76 b. Pemikiran-Pemikiran dan Dasar Hukum yang Digunakan Imam Syafi’i Dengan modal ilmu pengetahuan yang sangat luas dan mendalam terhadap fiqih dari berbagai sumber yakni mulai dari Makkah - Madinah Yaman – Irak . Ia menyusun kaidah untuk menjadi dasar bagi madzhab baru yang akan dibangunnya diantara kedua aliran, yaitu fiqih ahl Al-Ra‟yi dan Ahl Al-Hadits.77 Ketika ia kembali ke Irak untuk kedua kalinya pada tahun 195 H. ia telah memiliki madzhab yang mandiri dengan dasar-dasar dan kaidahkaidahnya. Kemudian ia mengajarkan di Irak dan melengkapinya selama tinggal disana. Di irak ini lah beliau mengeluarkan qaulqadim-nya. Kemudian beliau hijrah ke Mesir, dan di Mesir beliau merefisi pemikirannya yang 73
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah; Mengenal Syari‟ah Islam Lebih Dalam, trj. M. Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet.1, hlm. 212-213. 74 Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Diva press, 2013), cet. 2, hlm. 284. 75 Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, op. cit., jilid 1, hlm. 5. 76 Ibid., hlm. 9. 77 Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi‟I, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 22.
disebut qoul jadid. Ajaran Imam Syafi‟I tersebar di Afrika Utara,Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Libanon, Palestina, Irak, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani (Thailand), dan Srilanka.78 Dari segi urutan masa Imam Syafi‟I merupakan imam ketiga dari empat orang imam yang masyhur, tetapi keluasan dan jauhnya jangkauan pemikirannya dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fiqih menempatkannya menjadi pemersatu semua imam. Ia sempurnakan permasalahannya dan ditempatkan pada posisi yang tepat dan sesuai, sehingga menampakkan dengan jelas pribadi yang ilmiah. 79 Ia tidak saja menelaah data hukum yang ada tetapi juga menyelidiki prinsip dan metode fiqih. Sehingga beliau dinobatkan sebagai ulama pencetus Ushul Fiqih.80 Imam Syafi‟I berpegang pada Al-Qur‟an dan as-Sunnah, dan menjadikan as-Sunnah sebagai penjelas dari nash-nashnya, perinci (mufasshil) globalnya (mujmal), pembatas (muqayyid) kemutlakannya (mutlaq), pengkhusus (mukhashish) keumumannya („amm), meskipun berupa khabar ahad. Ia berpegang pada khabar ahad selama perawinya tsiqah (terpercaya) dan adil. Ia tidak mensyaratkan kemasyhuran pada khabar yang menyangkut hal-hal yang menjadikan kebutuhan publik, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah, juga tidak harus sesuai
78
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri‟- Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm. 123. 79 Mustofa Muhammad Asy-Syak‟ah, op. cit., hlm. 349. 80 Teguh Pramono, op. cit., hlm. 284.
dengan perbuatan penduduk Madinah seperti yang dikatakan Imam Malik. Imam Syafi‟I hanya mensyaratkan keshahihan sanad.81 Setelah Al-Qur‟an dan as-Sunnah, Imam Syafi‟I berhujjah dengan ijma‟, kemudian dengan pendapat sahabat dengan memilih yang terdekat maknanya kepada Al-Qur‟an dan as-Sunnah. Jika ia tidak melihat adanya kedekatan ini, maka ia berpegang pada ucapan Khulafa‟ ar-Rasyidin dan men-tarjih-nya (mengunggulkannya) atas pendapat sahabat lain. Kemudian setelah itu ia berhujjah dengan qiyas.82 Inilah dasar hukum yang dipakai Imam Syafi‟I, beliau mengkritik istihsan sebagai salah satu dalil yang tidak disepakati, sebagaimana dinyatakannya dalam kitab karya beliau Ibthalul Istihsan.Metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Imam Syafi‟I selalu tampil dengan penolakan yang sangat tegas terhadap istihsan sebagai dalil hukum, dan menilainya sebagai penetapan syari‟at dengan hawa nafsu, sebagaimana ia mengingkari mashlahah mursalah yang dijadikan dalil dasar hukum oleh Imam Malik. Imam Syafi‟I menegaskan bahwa tidak seorangpun boleh berbicara halal dan haram kecuali berdasarkan ilmu (min jihah al-„ilm) yaitu berupa kabar dari Kitab, Sunnah, Ijma‟, atau Qiyas. Dari penegasan ini diketahui bahwa hanya empat dalil inilah yang benar-benar sebagai landasan hukum.83
81
Abdul Karim Zaidan, op. cit., hlm. 214. Ibid., hlm. 215. 83 Lahmuddin Nasution, op. cit., hlm. 63. 82
Dari hasil pemikiran Imam Syafi‟I, beliau banyak menyusun dan mengarang kitab-kitab, diantara karya-karya beliau ialah: 1. Ar-Risalah Al-Qadimah (Kitab Al Hujjah) 2. Ar-Risalah Al-Jadidah 3. Ikhtilaf Al-Hadits 4. Ibthal Al-Istihsan 5. Ahkam Al-Qur‟an 6. Bayadh Al-Fardh 7. Sifat Al-Amr wa Nahyi 8. Ikhtilaf Al-Malik wa Syafi‟i 9. Ikhtilaf Al-Iraqiyin 10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain 11. Fadhail Al-Quraisy 12. Kitab Al- Umm 13. Kitab Al-Sunan.84 c. Pandangan
Imam
Syafi’I
Mengenai
Hukum
Menikahi
Mertua/Menantu Imam Syafi‟I berpendapat bahwa hukum menikahi mertua dan menantu adalah haram, karena mereka itu termasuk dalam wanita yang haram dinikahi akibat hubungan mushaharah. Dalam buku karya Muhammad Jawad Mughniyah, yang berjudul Fiqih Lima Madzhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hambali, dijelaskan bahwa menurut
84
Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, op. cit., jilid 1, hlm. 9.
kesepakatan semua madzhab pengharaman menikahi orang tua istri (Mertua) dan istri anak (Menantu) ada pada akad nikah terhadap wanita itu (istri). Dalam suatu perkawinan yang sah, seorang suami diharamkan menikahi orang tua istri (Mertua) dan istri anak (Menantu) baik sudah bercampur ataupun belum, bahkan apabila telah terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati mertua/menantu tetap haram untuk dinikahi. Sebagaimana fiman Allah dalam Surah an-Nisa‟ ayat 23:
ات ْ ُحِّرَم ُ ََخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخاالَتُ ُك ْم َوبَن َ ت َعلَْي ُك ْم أ َُّم َهاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأ ِ َخ وب نَات ْالُخ اع ِة َّ َخ َواتُ ُك ْم ِّم َن َ الر َ ت َوأ َُّم َهاتُ ُك ُم الََِّّي أ َْر َض ْ ُ َ َ ِ ْال َ ض ْعنَ ُك ْم َوأ ِات نِسآئِ ُكم وربَائِبُ ُكم الََِّّي ِف ُح ُجو ِّسآئِ ُك ُم الََِّّي َد َخ ْلتُ ْم ن ن م م ك ر ِّ ُ ْ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ُ َوأ َُّم َه َ ِِ ِِ ِ اح َعلَْي ُك ْمۗ َو َحََّئِ ُل أَبْنَا ئِ ُك ُم َ َِب َّنۗ فَإ ْن ََّلْ تَ ُك ْونُواْ َد َخ ْلتُ ْم ِب َّن فَََّ ُجن ِ الَّ ِذين ِ ِ ِ َّ َّ َ االل ن إ ۗ ف ل س د َ ا م ال إ ْي ت ُخ ال ْي ب ا و ع م ت ن أ و ۗ م ك ب َّ َل أ ن م َ ُ ْ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َْ ﴾۱۲﴿ًَكا َن َغ ُف ْوًرا َّرِحْيما Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu; anak-anak kamu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudara kamu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudara kamu yang perempuan; ibu-ibu kamu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kamu (mertua); anak-anak isteri kamu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan) , maka tidak berdosa kamu menikahinya;(dan diharamkan bagi kamu)isteri-isteri anak
kandung kamu (menantu) ; dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)85 Imam Syafi‟I berkata: apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu wanita itu meninggal dunia atau diceraikan sebelum laki-laki itu sempat dukhul, maka saya berpendapat tidak boleh baginya menikahi ibu wanita itu.86 Selanjutnya juga disebutkan dalam buku al-Umm karya Imam Syafi‟I bahwa wanita mana saja yang dinikahi oleh seorang laki-laki, maka ia diharamkan atas bapak laki-laki yang menikahinya, baik si laki-laki telah dukhul atau belum.87 Imam Syafi‟i tidak memasukkkan persetubuhan sebagai hal yang menyebabkan hubungan mushaharah terhadap mertua dan menantu, tetapi persetubuhan hanya dimasukkan terhadap anak istri/ anak tiri.Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa‟:
ِ ِ ِ ِ ...ِّۗسآئِ ُك ُم الََِّّي َد َخ ْلتُ ْم ِبِِ َّن ْ َوَربَائبُ ُك ُم الََّّي... َ ف ُح ُجورُك ْم ِّم ْن ن Artinya: ... anak-anak isteri kamu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang telah kamu campuri...88 Berbeda
dengan
Imam
Hanafi
yang
memasukkan
akad
dan
percampuran sebagai hal yang meyebabkan keharamaan hubungan mushaharah 85
M. Quraish Shihab, op. cit.,hlm. 469. Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, op. cit., jilid 2, hlm. 450. 87 Ibid., hlm. 451. 88 M. Quraish Shihab, op. cit.,hlm. 469. 86
dalam hal ini menikahi mertua atau menantu, Imam Syafi‟I hanya memasukkan akad saja yang meyebabkan keharaman menikahi mertua/ menantu. Syarat akad dan percampuran hanya berlaku untuk anak isteri/anak tiri. Mengenai percampuran pun Imam Syafi‟I memiliki definisi yang berbeda dengan Imam Hanafi, Imam Syafi‟I berpendapat bahwa keharaman hanya terjadi setelah dicampuri. Menyentuh, memandang dengan birahi dan sebagainya tidak mempengaruhi.89 Mengenai pendapat Imam Hanafi tentang zina, yang meng-qias-kannya dengan percampuran akibat pernikahan. Dalil ini dijawab, ini adalah qias ma‟a al-faariq (meng-qias-kan dengan sesuatu yang berbeda) karena perbuatan zina harus dikenakan hukuman had dan tidak menyebabkan ditetapkannya hubungan nasab. Berbeda dengan hubungan yang terjadi akibat perkawinan. Oleh karena itu, Imam Syafi‟I berkata kepada Muhammad Ibnul Hasan, “Sesungguhnya perkawinan adalah sebuah perkara yang terpuji dan perbuatan zina adalah perbuatan yang harus dirajam, lalu bagaimana keduanya memiliki kesamaan ?”.90 Imam Syafi‟I juga berkata: “zina dengan seorang perempuan tidak menyebabkan haramnya mengawini ibu perempuan tersebut atau anak perempuannya, dan tidak pula menyebabkan haramnya ayah si pezina itu mengawini perempuan tersebut.”91 Baik zina yang dimaksud adalah perbuatan zinanya
89
(senggama),
menyentuh,
atau
memandang,
semuanya
tidak
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 328. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm.130. 91 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid – Analisa Fiqih Para Mujtahid, trj. Drs. Imam Ghazali Said, MA. dan Drs. Achmad Zaidun , (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet. 3, hlm. 471. 90
menyebabkan timbulnya pengharaman akibat hubungan mushaharah dalam hal ini menikahi mertua atau menantu. Pendapat tersebut dilandaskan pada empat dalil: Yang pertama, berdasarkan hadits marfu‟ (langsung dari Rasulullah saw.) yang dikutib Ad-Daruquthni dan Ath-Thabarani, dari hadits Aisyah RA.,
الر ُج ِل يَْتبَ ُع الْ َمْرأََة َحَر ًاما ُ ََّّ يَْن ِك ُح َّ للَّى اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُسَِ َل َع ِن َّ ِإِ َّن الن َ َّب اْلَََّ ََ إََِّّنَا ُُيَِّرُم َما َكا َن بِنِ َكا ٍح ْ اْلََر ُام ْ اَ الَ ُُيَِّرُم َ َ ت ُ ََّّ يَْن ِك ُح أ َُّم َها َ ابْنَتَ َها أ َْوالبِْن ٍَ ََّ َح Artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tetang seorang laki-laki yang menggauli seorang perempuan dalam status haram, lalu dia menikahi anak perempuannya atau melakukan hal serupa kepada seorang anak perempuan, lalu dia menikahi ibunya, maka beliau SAW. bersabda: “Perbuatan yang haram tidak mengharamkan hal yang halal, hanya saja yang mengharamkan apabila dinikahi dengan pernikahan yang halal”.”92 Yang kedua, hubungan besanan adalah sebuah kenikmatan. Karena hubungan ini membuat orang asing menjadi kerabat. Di dalam hadits disebutkan,
ِ اىرةُ َْلْمةٌ َكلَ ْح ِم النَّس ب َ اَلْ ُم َ ََ ص َ
“Perbesanan memiliki hubungan bagaikan hubungan nasab”93
Yang ketiga, tujuan dari penetapan pengaharaman akibat hubungan mushaharah adalah memutus rasa tamak antara orang laki-laki dan perempuan, 92
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari - Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, Buku 25, trj. Amiruddi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 186. 93 Wahbah Az-Zuhaili, op. cit.,hlm. 131.
untuk mewujudkan ras dekat dan cinta. Serta persatuan yang murni yang tidak memiliki unsur kecurigaan. Sedangkan perempuan yang dizinai adalah orang asing bagi orang yang menzinahinya dan tidak memiliki ikatan syari‟at kepadanya. Serta tidak ada hubungan waris mewarisi diantara keduanya. Dia juga tidak memiliki menafkahinya, serta tidak ada jalan untuk bertemu dengannya maka baginya ia bagaikan wanita asing lainnya, maka dia tidak ada landasaan untuk menetapkan pengharaman akibat hubungan perzinahan.94 Yang keempat, firman Allah SWT. yang artinya “dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” (an-Nisa‟:23) yang menunjukkkan secara terangterangan penghalalan pernikahan selain para perempuan yang telah disebutkan sebelumnya. Perempuan yang dizinai tidak termasuk kedalam golongan mereka maka dia masuk ke dalam golongan perempuan umum yang boleh untuk dinikahi.95 b. Biografi dan Pendapat Hukum Menikahi Mertua/Menantu Menurut Imam Hanafi 1. Biografi Imam Hanafi Imam Hanafi memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan darah dengan Ali bin Abi Thalib r.a., Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak
94
Ibid. Ibid.
95
heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama‟ besar seperti Abu Hanifah.96 Imam pertama Ahlus Sunnah ini lahir di Kufah pada tahun 80 H. artinya ia lahir pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd. Malik bin Marwan.97 Dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. pada masa Dinasti Abbasyiyah. Abu Hanifah sangat mencintai ibunya, ia selalu taat dan berbakti kepadanya. serta tidak pernah sedikitpun menolak perintahnya, walaupun perintah itu sangat berat dan tidak mudah dikerjakan. Ia berpendapat bahwa ketaatannya kepada ibunda merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.98 Disebutkan dalam sebuah buku Sejarah Biografi Empat Imam Mazhab bahwa Ibu Abu Hanifah tidak terkenal dikalangan ahli-ahli sejarah tetapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya, beliau pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Beliau pernah bertanya dalam suatu masalah atau hukum tentang bagaimana memenuhi panggilan ibunya.99 Beliau seorang penuntut ilmu yang giat, sejak masa kecilnya. Ia bahkan masih sempat membagi waktunya antara menuntu ilmu dengan mencari rezeki, ia dikenal sebagai penjual kain sutera dan woll. Barangkali, pekerjaanya itulah yang menjadi awal kejeniusannya dalam bidang fiqih dikemudian harinya, terutama dalam fiqih muamalat. Tidak 96
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. Xxv. Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 71. 98 Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, op. cit., hlm. 14. 99 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, trj. Drs. Sabil Huda dan Drs. Ahmadi, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. 7, hlm. 15. 97
ada pilihan baginya setelah sedemikian banyak ilmunya, kecuali mengajarkan dan memberi fatwa.100 Pada mulanya Imam Abu Hanifah giat menghafal Al-Qur‟an, seperti hanya kebanyakan orang-orang yang taat beragama pada zaman itu, dan setelah hafal al-Qur‟an beliau menghafal sunnah untuk memperbaiki agamanya. Sehingga akhirnya beliau lebih cenderung menekuni fiqih. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari fiqih, ia sering mendatangi halaqah-halaqah fiqih dan berguru secara khusus (mulazamah) kepada para ahlinya. Syaikh yang paling banyak berpengaruh dalam mengarahkan fiqihnya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, seorang faqih ahli ra‟yu di Irak yang belajar fiqih dari seorang faqih ahli ra‟yu terkenal Ibrahim bin Yazid bin Qais an-Nakha‟i. Syaikh ini belajar fiqih dari seorang faqih ahli ra‟yu juga, yaitu Alqamah bin Qais an-Nakha‟I, sedangkan Alqamah belajar fiqih dari Abdullah bin Mas‟ud, seorang sahabat ternama dan dikenal dengan fiqih dan ra‟yu-nya. Jadi tidak mengherankan jika Abu Hanifah menempuh jalan ahli ra‟yu dan cenderung kepadanya. Mereka itu adalah para syaikh yang menjadi gurunya, baik secara langsung atau melaui perantara.101 Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak hanya belajar ilmu dari Syaikh Hammad saja, tetapi belajar dari banyak ulama‟ selama dalam perjalanannya ke Baitullah Al-Haram Makkah dan Madinah, ia mengkaji berbagai masalah dan mengambil ilmu dengan mereka, diantara ulama100 101
Mustofa Muhammad Asy-Syak‟ah, op. cit., hlm. 324. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hlm. 197.
ulama tersebut adalah Imam Malik bin Anas, ketika ia bertemu dan mendiskusikan banyak permasalahan dengan Imam Malik, beliau sangat kagum kepadanya. Ia juga bertemu dengan Zaid bin Ali bin Zainal Abidin dan Ja‟far As-Shadiq dan beberapa ulama lainnya yang memiliki konsen besar terhadap masalah fiqih dan hadits.102 2. Pemikiran-Pemikiran dan Dasar Hukum yang Digunakan Imam Abu Hanifah Pemikiran Abu Hanifah dalam masalah istinbath hukum, banyak bersandar pada ra‟yu, setelah pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Beliau juga menggunakan qiyas yang mana banyak menimbulkan protes dikalangan para ulama‟ yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu juga halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, yang mengundang reaksi dikalangan para ulama.103 Sebenarnya kedua masalah itu (qiyas dan istihsan) menunjukkan keluasan pemikirannya. Dan disisi lain, islam adalah agama yang mudah dan mengajak pada kemudahan, fleksibel, sejalan dengan akal pikiran, serta membuka cakrawala pemikiran baru.104 Abu Hanifah menyimpulkan metode pemikirannya sebagai berikut: “Aku berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati hukum padanya. Jika tidak maka aku berpegang pada pada Sunnah Rosulullah.Jika aku tidak mendapatinya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rosulullah, aku pegang pada ucapan sahabat yang aku kehendaki dan aku tinggalkan siapa yang 102
Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, op. cit., hlm. 7. Mustofa Muhammad Asy-Syak‟ah, op. cit., hlm. 333. 104 Ibid. 103
aku kehendaki, dan aku tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan selain mereka. Namun ketika sampai pada Ibrahim, Asy-Sya‟bi, Ibnu Sirin, Atta‟, dan Sa‟id bin Musayyib (para mujtahid dari tabi‟in), aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.105 Dalam Hal ini, Dr. Ahmad As-Syurbasi berpendapat bahwa Abu Hanifah mulai menggunakan ra‟yu terhadap penyandaran pada ucapaan sahabat, yang mana bisa dilihat dari penggunaan pikiran Abu Hanifah dalam membandingkan dan menelaah ucapan/pendapat sahabat yang satu dengan yang lain, dan memilih salah satunya. Tata urutan metode istinbath Abu Hanifah adalah: 1. Al-Qur‟an, merupakan sumber utama syari‟at dan kepadanya dikembalikan semua hukum dan tidak ada satu sumber hukum satu pun, kecuali dikembalikan kepadanya. 2. As-Sunnah, sebagai penjelas kandungan Al- Qur‟an, menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasulullah SAW. dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya ia tidak mengakui rislah Tuhannya. 3. Pendapat Sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW., lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW. kepada umatnya
105
Abdul Karim Zaidan, op. cit., hlm. 201.
4. Qiyas, Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur‟an atau sunnah atau uacapan sahabat, beliau menggali illat dan jika menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan dengan menerapkan illat yang ditemukannya. 5. Al-Istihsan, yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hukum yang lain, karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu perlu mencari illat lain dengan cara qiyas khafi atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan. 6. Ijma‟, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijma‟ ini pernah ada setelah Rasulullah SAW. 7. Al-„Urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik dari Al-Qur‟an, sunnah atau perbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah.106 Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Masa kematangan keintelektualannya adalah pada akhir abad pertama hijriyah yang dapat disebut sebagai generasi pertama tabi‟it tabi‟in. Kondisi seperti ini memungkinkannya untuk mendapatkan ilmu, khususnya hadits secara langsung dari generasi sebelumnya. Hal ini memudahkannya untuk 106
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟- Sejarah Legislasi Hukum Islam, trj. Dr. Nadhirsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. 1, hlm. 176-177.
memilih pendapat yang baik dan buruk atau dalam hal menentukan status periwayatan dalam sebuah hadist.107 Mengenai karya-karya Abu Hanifah, Sampai sekarang belum ditemukan satu buku yang langsung ditulis oleh Abu Hanifah, adapun yang dimaksud buku-buku karangan beliau adalah apa yang ditulis oleh muridmuridnya lalu mereka membacakannya dihadapan Abu Hanifah, lalu ia memberikan catatan pengarahan serta persetujuan. Biasanya ketika ia menyampaikan
pelajaran,
para
murid
menulisnya,
lalu
mereka
menunjukkkan hasil tulisan mereka kepadanya, jika ia menyetujui maka mereka segera mencatat dan menasabkan tulisn tersebut kepadanya. Dengan cara ini lah mazhab Abu Hanifah ditulis.108 Murid termasyhur Abu Hanifah adalah Abu Yusuf, ia memiliki andil besar dalam perumusan konsep madzhab fiqih mazhab Hanafi secara menyeluruh dan merupakan orang pertama yang membukukan fiqih mazhab Hanafi.Selain Abu Yusuf, ada juga Muhammad bin Hasan, ia juga murid dari Imam Abu Hanifah. Mereka berdua merupakan murid yang paling banyak jasanya dalam meriwayatkan pendapat gurunya (Abu Hanifah). AbuYusuf menulis beberapa kitab, diantaranya: Al-Kharaj, kitab Ikhtilaf Abi Hanifah, Ikhtilaf Al-Amshar, Al-Washaya, dan Ar-Radd ala Malik Ibn Anas. Sedangkan Muhammad bin Al-Hasan menulis beberapa
107 108
Mustofa Muhammad Asy-Syak‟ah, op. cit., hlm. 329-330. Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, op. cit., hlm. 8-9.
kitab, antara lain: As-Siyar, Al-Kabir, Ar-Radd ala Ahli Al-Madinah, AlJami‟ Al-Kabir, dan Al-Jami‟ Ash-Shaghir, serta Az-Ziyadat.109 3. Pandangan
Imam Abu
Hanifah
Mengenai
Hukum Menikahi
Mertua/Menantu Sama halnya dengan Imam Syafi‟I, Imam Abu Hanifah juga menghukumi haram dalam hal menikahi mertua dan menantu. Beliau menetapkan haramnya menikahi mertua/menantu karena adanya akad nikah yang benar, pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 23:
... ات نِ َسآئِ ُك ْم ْ ُحِّرَم ُ َوأ َُّم َه... ت َعلَْي ُك ْم “ diharamkan atas kamu (mengawini)… dan ibu-ibu istrimu …”110
ِ ِ ِ ِ ...َۗلََّبِ ُك ْم ْ َو َحََّئ ُل أَبْنَا ئ ُك ُم الَّذيْ َن م ْن أ... “… (dan diharamkan bagi kamu) isteri-isteri anak kandung kamu (menantu)…”111 Mengenai istri anak yang disebutkan diatas, tidak ada perbedaan jika anak tersebut berasal dari hubungan nasab (anak kandung) atau persusuan, karena anak dari hubungan nasab dengan anak dari hubungan persusuan memiliki status hukum yang sama, seperti istri anak laki-laki kandung (menantu) haram untuk selama-lamanya bagi bapak laki-laki 109
Rasyad Hasan Khalil, op. cit., hlm. 175. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 469. 111 Ibid. 110
(mertua). Sebagaimana diharamkan istri anak laki-laki dari hubungan persusuan. Sabda Rasulullah saw.:
ِ ِ ُ ح ِدي ِ للّى اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َكا َن ْ َ َ اَ َّن َر ُس ْوََ الل:ث َعائ َشةَ َرض َي اللُ َعْن َها ِ ِعْن َدىا و اِنَّها ََِسعت لوت رج ٍل يستَأْ ِذ ُن ِف ب ي ُت َعائِ َشة َ ت َح ْف ْ َضةَ َال َْ ْ ْ َ ُ َ َ َْ ْ َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ للّى َ ك فَ َق َ ِف بَْيت ُ فَ ُق ْل َ اَ َر ُس ْوََ الل ْ ت يَ َار ُس ْوََ الل َوَى َذا َر ُج ٌل يَ ْستَأْذ ُن ِ الرض ِ الل علَي ِو وسلَّم أُراه فََُّنًا لِع ِّم ح ْف ت َعائِ َشةُ يَا َ َ َ ْ َاعة فَ َقال َ َ َّ ضةَ م َن َُ َ َ َ َْ ُ ََاَ َر ُس ْو َ َ اع ِة َد َخ َل َعلَ ّي َّ َر ُس ْوََ اللِ لَْو َكا َن فََُّ ٌن َحيِّا لِ َع ِّم َها ِم َن َ الر َض ِ ِ ُاعةَ ُُتَِّرُم َما ُُتَِّرُم الْ ِوَال َدة َّ للّى اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَ َع ْم ا َّن َ الر َض َ الل Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra., dia telah berkata: Sesungguhnya pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. berada disisi Aisyah ra. tiba-tiba Aisyah mendengar suara seorang lelaki meminta izin di rumah Hafshah ra., Aisyah berkata: aku memberi tahu Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah ! disana ada seorang lelaki sedang meminta izin dirumah anda”. Rasulullah saw. hanya menjawab: “aku tahu si fulan ialah bapak saudara sepersusuan Hafsah ra.”. Aisyah lantas bertanya: “ Wahai Rasulullah! Seandainya bapak sepersusuanku masih hidup, tentunya dia boleh menemuiku bukan?”, Rasulullah saw. menjawab: “Benar! Karena sesungguhnya saudara sepersusuan itu menjadikan muhrim seperti saudara kandung”.112 Namun Abu Hanifah juga berpendapat bahwa selain karena akad, beliau juga menggolongkan kedalam pengharaman istri orang tua atau keturunan, perempuan yang telah digauli oleh orang tua maupun keturunan dengan zina atau pernikahan yang fasid (rusak), karena hanya sekedar melakukan 112
persetubuhan
sudah
cukup
untuk
menetapkan
hukum
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-Hadits Muttafaq „AlaihBagian Munakahat dan Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), cet. 1, hlm. 51-52.
pengharaman bagi seorang laki-laki.113
Imam Abu Hanifah juga
memasukkan pendahuluan perbuatan zina seperti, ciuman, memandang dan menyentuh dengan syahwat sebagai bagian dari perbuatan zina dan hal yang menyebabkan pengharaman menikahi karena musaharah. Jadi apabila ada seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka orang tua perempuan tersebut haram dinikahi oleh lakilaki tersebut.Hal ini berlaku juga apabila menyentuh atau memandang dengan syahwat.
113
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 128.
BAB IV ANALISIS KOMPARASI HUKUM MENIKAHI MERTUA/ MENANTU PASCA PEMBATALAN PERNIKAHAN MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI 1. Hukum Menikahi Mertua/ Menantu Pasca Pembatalan Pernikahan Menurut Imam Syafi’i Mertua/menantu seperti yang telah dipaparkan pada bab III sebelumnya ialah seseorang yang haram dinikahi sebab hubungan mushaharah. Imam Syafi‟I berpendapat bahwa diharamkannya menikahi ibu istri (mertua)/ istri anak (menantu) ini karena adanya akad nikah yang telah terjadi. Seperti pendapat beliau dalam pengertian nikah yang memaknai nikah adalah “akad dalam makna yang sebenarnya, dan hubungan intim dalam makna kiasan”.114 Kaharaman istri anak (menantu) terhadap bapak tidak disyaratkan harus sudah mencampuri istrinya, tetapi cukup dengan akad karena kemutlakan firman Allah SWT.dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 23:
…ات نِ َسآئِ ُك ْم ُ … َوأ َُّم َه ... (dan diharamkan bagimu) ibu istri-istri kamu…
... َو َحََّئِ ُل أَبْنَا ئِ ُك ُم... ... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandung kamu…115 114
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat- Khitbah, Nikah, dan Talak, trj. Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2014), cet.3, hlm. 38. 115 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 469.
Kata Halail diatas artinya istri yang halal baik telah bercampur atau belum.116Hukum tersebut juga berlaku untuk orang tua istri (mertua). Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat bahwa pernikahan yang batal adalah pernikahan yang tidak sempurna rukunnya, sedangkan pernikahan yang rusak/fasid adalah pernikahan yang tidak sempurna syaratnya dan terdapat cacat setelah terlaksana. Secara umum ulama‟ Syafi‟iyah menilai hukum keduanya sama. Maksudnya salah satu dari kedua jenis pernikahan ini tidak mengakibatkan terlaksananya konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang sah. Dengan demikian tidak wajib adanya mahar, nafkah, tidak ada hubungan mahram sebab mushaharah(besanan), penetapan nasab dan iddah.117 Sehingga dapat dikatakan bila akad nikah yang telah terjadi ternyata batal baik karena akad batil atau fasid maka menikahi mertua/menantu dapat dilakukan karena dengan batalnya akad nikah tidak menimbulkan dampak apapun. Namun perlu diperhatikan juga bahwa menikahi mertua dan menantu dapat dilaksanakan jika persyaratan dan rukun-rukun nikah juga telah terpenuhi. Alasan yang menguatkan bahwa menikahi mertua/menantu dibolehkan apabila dalam pembatalan perkawinan ialah pendapat Imam Syafi‟I dalam kitab Al-Umm menegaskan bahwa nikah Syighar adalah pernikahan yang dilarang oleh Rosulullah SAW. pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan. Jika pada saat pernikahan telah bercampur maka wanita-wanita tersebut berhak atas mahar yang biasa diterima oleh wanita sepertinya. Keduanya harus 116
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hlm.
147. 117
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 114.
menjalani masa iddah dan hukumnya sama seperti nikah rusak (fasid) dalam semua hukumnya tanpa ada perbedaan.118 Dapat dikatakan bahwa bila dalam pernikahan yang di fasakh telah terjadi percampuran (dukhul) maka istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang biasa diterima oleh wanita sepertinya) dan adanya masa iddah sebagai konsekuensi percampuran yang dilakukan. Dan dikalimat selanjutnya menegaskan bahwa hukumnya sama seperti nikah rusak (fasid) dalam semua hukumnya tanpa ada perbedaan, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya pernikahan tersebut tidak ada hubungan mahram, nafkah dan penetapan nasab, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, yang ada hanyalah mahar dan masa iddah sebagai akibat dari penghalalan kemaluan. Dan apabila dalam pernikahan yang rusak atau dibatalkan melahirkan seorang anak maka nasabnya kepada ibunya (istri) bukan pada ayah (suami). Imam Syafi‟i berkata: apabila seorang wanita dinikahi tanpa memenuhi persyaratan; seperti nikah tanpa ada wali tidak dihadiri oleh dua saksi yang adil atau kasus pernikahannya rusak kecuali kasus dinikahi dalam masa iddah, lalu dari hasil pernikahan ini ia melahirkan anak maka anak tersebut dinasabkan kepadanya.119 Kata “nya” disini merujuk pada wanita diatas. Namun berbeda jika dalam kondisi percampuran karena syubhat, semua Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟I dan Hambali) sepakat bahwa wath‟I syubhat (mencampuri karena keliru) mempunyai hukum yang sama dengan perkawinan yang sah dalam kaitannya dengan ketentuan nasab dan larangan 118
Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, op. cit., jilid 2, hlm. 502. Ibid., hlm. 455.
119
kawin karena mushaharah. Yang dimaksud dengan wath‟I syubhat adalah manakala seorang laki-laki dan wanita melakukan hubungan seksual karena mereka berdua, karena satu dan lain sebab, mengira sebagai suami dan istri, kemudian ternyata bahwa mereka berdua bukan suami-isteri. Hubungan seksual itu terjadi karena kekeliruan semata-mata. Mereka berdua segera harus dipisahkan. Wanita tersebut harus menjalani iddah, dan si laki-laki wajib membayar mahar mitsil. Disamping itu berlaku pula ketentuan nasab dan larangan kawin karena mushaharah, tidak saling mewarisi dan tidak pula ada hak nafkah bagi si wanita.120 Banyak sekali pendapat Imam Syafi‟I yang menegaskan tentang pembatalan pernikahan dan konsekuensinya, diantaranya ialah: 1. Imam Syafi‟i berkata: pernikahan apa saja yang rusak, maka hal ini tidak menjadikan laki-laki dan perempuan itu sebagai pasangan yang sah, serta tidak dapat menghalalkan wanita yang ditalak tiga untuk dinikahi kembali oleh suaminya. Namun dalam semua kasus ini si wanita berhak mendapatkan mahar yang biasa diterima oleh wanita sepertinya sebagai imbalan atas penghalalan terhadap kemaluannya. 2. Pendapat Imam Syafi‟I dalam pernikahan orang yang berihram: Imam Syafi‟I berkata: “Nikah apapun yang dilakukan oleh orang berihram, baik untuk dirinya atau orang lain, maka nikahnya dinyatakan batal. Jika laki-laki yang menikah dengan cara demikian telah mencampuri isterinya, maka wanita itu (isteri) boleh mendapat mahar yang biasa
120
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm.328-329.
diterima oleh wanita sepertinya, kecuali jika maharnya telah ditetapkan. Pasangan itu harus dipisahkan, namun boleh bagi laki-laki untuk meminang kembali wanita itu jika telah selesai ihram dan masih ada dalam masa iddah karena pernikahan dengannnya itu.”121 3. Pendapat Imam Syafi‟I tentang Khiyar (memilih) dalam pernikahan: Imam Syafi‟I berkata: “apabila seorang laki-laki menikahi wanita dengan syarat si laki-laki bebas memilih lamanya hubungan pernikahan itu tanpa menyebutkan batasan secara pasti, dimana apabila suami menghendaki ia dapat menerima pernikahan dan bila tidak, ia dapat membatalkan pernikahan, maka pernikahan demikian dinyatakan batal. Demikian pula hak untuk memilih tersebut berada pada si wanita atau pada keduanya sekaligus. Jika laki-laki telah bercampur, maka si wanita berhak mendapatkan mahar yang biasa diterima oleh wanita sepertinya sebagai imbalan atas hubungan yang dilakukan dengannya, namun tidak ada pernikahan diantara mereka.122 Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika dalam akad yang rusak/ akad batil
yang menyebabkan pernikahan dibatalkan terjadi percampuran/
persetubuhan maka Imam Syafi‟I berpendapat: a. Wajib membayar mahar Mahar yang berhak diterima oleh perempuan yang telah dicampuri dalam perkara ini adalah mahar musamma jika mahar tersebut disebutkan dalam akad, atau mahar mitsil jika tidak disebutkan dalam akad 121
Ibid., hlm. 503. Ibid., hlm. 505.
122
b. Adanya iddah Seorang perempuan diharuskan beriddah jika dalam pernikahan yang telah dibatalkan telah terjadi percampuran, masa iddah dimulai sejak mereka dipisahkan setelah fasakh c. Nasab anak kepada ibu Berdasarkan pendapat Imam Syafi‟i bahwa nikah yang rusak tidak mengakibatkan konsekuensi hukum apapun termasuk nasab, sehingga nasab seorang anak yang dilahirkan tidak dinasabkan kepada bapak melainkan kepada ibu. Sehingga hukum menikahi mertua/menantu pasca terjadi permbatalan perkawinan adalah boleh, karena menurut Imam Syafi‟I pembatalan perkawinan tidak menyebabkan hubungan mushaharah. Perlu ditekankan lagi bahwa pernikahan ini dibolehkan jika persyaratan dan rukun-rukun nikah juga telah terpenuhi, karena pembolehan menikah ini hanya terbatas pada kebolehan menikah sebab tidak ada hubungan mushaharah, jika persyaratan nikah yang lainnya tidak terpunuhi maka menikahi mertua dan menantu tidak boleh dilakukan.
2. Hukum Menikahi Mertua/ Menantu Pasca Pembatalan Perkawinan Menurut Imam Hanafi Pada bab III telah dijelaskan bahwa Imam Hanafi juga menghukumi haram menikahi ibu istri (mertua)/istri anak (menantu). Baik belum bercampur
atau sudah, baik telah berpisah dengan cerai hidup (talak/khuluk) atau cerai mati, pengharamannya dikarenakan adanya akad nikah dengan isteri. Imam Hanafi berpendapat bahwa kata “nikah” itu mengandung arti secara hakiki untuk “hubungan kelamin”, juga berarti untuk yang lainnya seperti untuk akad dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.123 Sehingga Selain akad nikah, Imam Hanafi juga memasukkan
percampuran/persetubuhan
dalam
pengharaman
menikahi
mertua/menantu, sehingga bila tidak ada akad nikah yang sah, maka percampuran bisa menjadi hal yang menyebabkan pengharaman terhadap hubungan
mushaharah
atau
dalam
hal
ini
pengharaman
terhadap
mertua/menantu. Diantara persetubuhan yang dimaksud Imam Hanafi adalah sebagai berikut: 1. Dalam kondisi menggauli perempuan tersebut dengan akad yang rusak, seperti penikahan tanpa saksi. 2. Dalam kondisi menggauli perempuan berdasarkan syubhat, seperti ada orang yang mengatakan bahwa perempuan ini adalah istrinya, maka dia gauli perempuan tersebut berdasarkan perkataan orang ini. Kemudian setelah itu diketahui bahwa perempuan tersebut bukanlah istrinya yang tidak dempat ia lihat terkebih dahulu. Hal seperti ini yang dinamakan menggauli perempuan bersadarkan syubhat.
123
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 37.
3. Imam Hanafi juga berpendapat bahwa “zina menyebabkan keharaman seperti dukhul dan akad nikah”.124 Dalam kondisi menggauli perempuan tanpa akad nikah yang sah atau zina, Imam Hanafi juga memasukkan pendahuluan perbuatan zina, seperti ciuman dan menyentuh dengan syahwat masuk kedalam jenis ini. Beliau berkata, pengharaman akibat hubungan besanan ditetapkan dengan perbuatan zina, sentuhan dan pandangan tanpa ada akad nikah, kepemilikan, serta perkara yang syubhat, karena sentuhan dan pandangan adalah penyebab yang mengajak pada persetubuhan. Demi kewaspadaan, perbuatan ini menempati posisi zina.125 Dalam kondisi seperti ini seorang laki-laki haram menikahi anak perempuannya yang lahir akibat zina dan saudara perempuannya, Imam Hanafi dan pengikutnya berkata: “Apabila seseorang berzina dengan seorang perempuan, maka ibu dan anak perempuan dari perempuan yang dizinahinya haram baginya”126 dan jika seorang suami berbuat zina dengan ibu mertuanya atau dengan anak perempuannya maka isterinya menjadi haram untuk selama-lamanya. Mengenai Pembatalan perkawinan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bisa diakibatkan karena akad nikah yang rusak/fasid atau akad yang batil, berbeda dengan Imam Syafi‟i yang menyamakan hukumnya, Imam Hanafi membedakan diantara kedua tersebut, berikut adalah pendapat Imam Hanafi mengenai akad fasid dan akad batil : 1. Akad Nikah Rusak/Fasid 124
Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 471. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 129. 126 Ibnu Hajar Al Asqalani, op. cit., hlm. 188. 125
Akad nikah rusak adalah yang tidak memenuhi syarat sahnya nikah baik kehilangan satu atau lebih dari syarat sahnya nikah tersebut. Seperti: nikah tanpa saksi, nikah kontrak, dll. Diwajibkan bagi pasangan suami atau istri untuk berpisah dengan sendirinya. Jika tidak dilakukan maka perkara tersebut diserahkan kepada hakim agar dapat memisahkan mereka berdua. Imam Hanafi berpendapat bahwa pernikahan ini tidak mengakibatkan status hukum apapun, tidak ada sedikitpun konsekuensi hukum pernikahan yang sah. Seperti, tidak diperolehkan bercampur, tidak ada mahar, nasab, nafkah, iddah, waris, hubungan mushaharah, dll. Semua itu berlaku jika belum terjadi percampuran. Namun apabila sudah terjadi hubungan intim maka menyebabkan konsekuensi hukum sebagai berikut: A. Wajib Membayar Mahar. jika mahar disebutkan dalam akad, kewajiannya adalah membayar minimal dari yang disebutkan dan membayar mahar mitsil.127 B. Tetapnya hubungan nasab anak dari si lelaki (suami), jika memang ada. Itu sebagai
langkah
kehati-hatian
untuk
merawat
anak
dan
tidak
menelantarkannya.128 C. Kewajiban iddah pada wanita tersebut dihitung sejak hari perpisahan, baik perpisahan ini dilakukan dengan kesadaran sendiri atau dipisahkan penghulu atau pengadilan karena menjaga keturunan.129
127
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hlm.
132. 128
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm.107.
D. Tetapnya hubungan mahram sebab mushaharah,130 dengan percampuran ini, haram bagi laki-laki atas ibu dan anak-anak wanita yang telah dicampuri tersebut. Berlaku juga sebaliknya. Namun pernikahan yang rusak tidak menyebabkan berlakunya hukum-hukum lainnya, seperti warisan, nafkah dll. 2. Akad Nikah Batil Akad nikah batil adalah semua akad yang terjadi kecacatan dalam shighat(ijab qabul)131. Atau dapat dikatakan akad yang terdapat cacat didalam rukun atau salah satu syarat pelaksanaannya. Seperti, pernikahan anak kecil yang belum mumayyiz, pernikahan wanita muslim dengan lakilaki non muslim, pernikahan dengan mahram, dll. Akad seperti ini tidak menimbulkan pengaruh pernikahan, keduanya wajib berpisah, jika telah bercampur pada akad ini, maka percampuranpun tidak dapat mengangkat kebatilan. Hukumnya sama dengan berzina namun bukan zina yang sesungguhnya.132 Meskipun hukumnya sama dengan zina orang yang melakukan tidak dikenakan hukuman had perzinahan. Menurut Imam Hanafi had dapat ditolak karena syubhat (ketidak jelasan) tetapi wajib ta‟zir, yakni hukuman yang setimpal selain had.133 Sehingga baik sudah bercampur atau belum, pernikahan batil
129
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hlm.
133. 130
Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm.108. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hlm.
131
134. 132
Ibid., hlm 135. Ibid.
133
tetap
tidak
menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi
atau
pengaruh
pernikahan yang sah. Dapat dikatakan bahwa apabila terjadi perkawinan dan terdapat akad yang rusak atau batil maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, baik sudah bercampur atau belum, dan apabila sudah bercampur masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Namun dalam kaitannya dengan hubungan mushaharah kedua akad tersebut menetapkan ada hubungan mushahara apabila sudah bercampur, dalam akad batil dijelaskan bahwa apabila terjadi percampuran maka dihukumi zina, dan Imam Hanafi berpendapat zina merupakan
percampuran
yang
menyebabkan
ditetapkannya
hubungan
mushaharah. Sedangkan dalam akad fasid/rusak secara jelas disebutkan bahwa dengan adanya percampuran ada konsekuensi hukum hubungan mushaharah, dalam pembahasan ini hubungan mushaharah yang ditekankan adalah hubungan mertua dan menantu. Dari penjelasan diatas berarti jika antara suami-istri telah terjadi pembatalan perkawinan atau akad nikah dianggap tidak ada yang terjadi karena tidak terpenuhinya atau terdapat kecacatan pada syarat/rukun pernikahan dalam akad, maka Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh menikahi ibu istri (mertua) / istri anak (menantu) jika dalam pernikahan yang dibatalkan tersebut terjadi percampuran, namun jika belum terjadi percampuran/persetubuhan maka menikahi mertua/menantu dibolehkan karena pembatalan perkawinan tidak memiliki konsekuensi hukum pernikahan yang sah jika belum terjadi percampuran.
Percampuran/ Persetubuhan ini dimaknai luas, baik persetubuhan dalam makna sebenarnya atau kegiatan awal terjadinya persetubuhan, baik itu meraba atau melihat dengan syahwat, Imam Hanafi berkata: “melihat kemaluan sama dengan bercampur dalam hal kemahraman menikahi mushaharah”.134 Jika diantara suami-istri tersebut sudah melakukan persetubuhan maka ibu istri (mertua)/ istri anak (menantu) tidak boleh dinikahi meskipun terjadi pembatalan perkawinan. Pendapat Imam Hanafi ini didasarkan pada dua dalil, yang pertama, hadits yang diriwayatkan bahwa ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan hubungan zina dengan seorang perempuan pada masa jahiliyah, maka apakah aku boleh menikahi anak perempuannya ?” Beliau menjawab,
ِ صلُ ُح اَ ْن تَْن ِك َح ْامَراًَة تَطَّلِ ُع ِم ِن ابْنَتِ َها َعلَى َما تَطَّلِ ُع َعلَْي ِو َ الَ اََرى َذل ْ َ َوالَ ي،ك ِمْن َها “ itu tidak boleh, dan kamu tidak boleh menikahi seorang perempuan yang dari anak perempuannya kamu lihat apa yang kamu lihat darinya”135 Sehubungan dengan hadits diatas, dinukilkan juga satu hadits yang lemah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari hadits Ummu Hani‟, dari Nabi SAW, 134
Syaikh al-Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, trj. „Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2012), cet. 13, hlm. 327. 135 Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 130.
َم ْن نَظََر إِ َل فَ ْرِج ْامَرأَةٍ ََلْ َُِت َّل لَوُ أ ُُّم َها َوَال بِْنتُ َها Artinya: “Barang siapa melihat kepada kemaluan perempuan, maka tidak halal baginya ibu perempuan itu dan tidak halal pula anak perempuannya.” dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul (tidak diketahui)136 Yang kedua, sesungguhnya perbuatan zina menjadi sebab lahirnya anak maka ditetapkan pengharaman akibat hubungan zina diqiaskan kepada hubungan yang terjadi bukan berupa zina. Keadaan zina yang merupakan suatu perbuatan haram tidak memberikan pengaruh. Dengan dalil bahwa menggauli seorang perempuan berdasarkan akad fasid membuat terjadinya pengharaman akibat hubungan besanan sesuai dengan kesepakatan ulama, meskipun hubungan tersebut adalah hubungan yang haram.137 Imam Hanafi dan Hambali juga menyatakan: anak perempuan hasil zina itu haram dikawini sebagimana keharaman anak perempuan yang sah. Sebab, anak perempuan tersebut merupakan darah dagingnya sendiri. Dari segi bahasa dan tradisi masyarakat („urf) dia adalah anaknya sendiri. Tidak diakuinya ia sebagai anak oleh syari‟, dari sisi hukum waris, tidak berarti ia bukan anak kandungnya secara hakiki, namun yang dimaksud adalah menafikkan akibatakibat syari‟-nya saja, misalnya hukum waris dan memberi nafkah.138
136
Ibnu Hajar Al Asqalani, op. cit., hlm. 187. Wahbah Az-Zuhaili, op. cit., hlm. 130. 138 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 330-331. 137
Sehingga jika dianalisis hukum menikahi mertua/menantu pasca pembatalan pernikahan menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi
yang telah
dijelaskan diatas, berlakulah kaidah fiqih sebagai berikut:
اَ ْْلُ ْك ُم يَ ُد ْوُر َم َع ِعلَّ ِة ُو ُج ْوًدا َو َع َد ًما “Hukum itu berkisar/berputar bersama illat, baik adanya maupun ketidak adaannya”139 Maksud kaidah tersebut ialah setiap ketentuan hukum berkaitan dengan „illat (kausa) yang melatarbelakanginya; ketika „illat nya ada, maka hukumpun ada, dan jika „illat tidak ada, maka hukumpun tidak ada. Bila dikaitkan dengan pendapat hukum menikahi mertua/menantu yang telah dijelaskan sebelumnya maka imam Hanafi dan Imam Syafi‟i memiliki perbedaan pendapat dalam menentukan „illatnya, Imam Hanafi berpendapat bahwa „Illat dalam hukum pengharaman menikahi mertua/menantu ialah Akad dan Percampuran, sedangkan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa „illat nya Akad saja, namun apabila pada suatu peristiwa atau keadaan „illat tersebut tidak ada (dalam hal ini terjadi fasakh) maka sesuai dengan kaidah fiqih diatas hukum pengharamannya menjadi hilang atau dapat dikatakan merubah hukum yang awalnya diharamkan menjadi di dihalalkan/bolehkan. Karena hukum juga bisa berubah sesuai dengan keadaannya, hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang di kemukakan oleh Ibnu Qayyim:
139
hlm. 193.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rajawali, 1993),
ِ ِ ب تَغَُُِّّي ال َْزِمنَ ِة والَم ِكنَ ِة وال ِ تَغَيَّر الْ َفْت وى وا ْختََِّفُ َها ِِبَس الع َوائِ ِد ْ َ ْ َ َ َح َواَ َوالنِّيَات َو َ َ ُ ْ “Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat kebiasaan.”140 Dalam kaidah tersebut menjelaskan bahwa setiap orang dalam melaksanakan hal yang wajib atau menjauhi hal yang haram/dilarang agama tidaklah tetap dalam suatu keadaan tertentu. Oleh karena itu penerapan hukumnya pun berbeda. Seperti dalam hukum menikahi metua/menantu yang awalnya diharamkan menjadi dibolehkan jika ada perbedaan keadaan yakni menjadi boleh jika dalam keadaan terjadi fasakh/ pembatalan perkawinan. namun perubahan hukum bukan hanya terdapat pada perubahan keadaan saja tapi kaidah fiqih diatas juga menyebutkan bahwa hukum bisa berubah jika zaman/waktu, tempat, niat dan kebiasaan juga berubah. 3. ANALISIS KOMPARASI HUKUM MENIKAHI MERTUA/ MENANTU PASCA PEMBATALAN PERKAWIANAN MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI PERMASALAHAN Arti Nikah
1. secara
mengandung arti 2. hakiki
untuk
“hubungan kelamin”, Penyebab
140
IMAM SYAFI‟I
IMAM HANAFI
keharaman 3.
Akad nikah
mengandung arti
“akad” dalam makna yang sebenarnya, 5.
Akad nikah,
Ahmad Djazuli, Kaidah- Kaidah Fiqih – Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. 4, hlm. 14.
menikahi
mertua/ 4.
menantu
Menurut Imam Syafi‟i
Percampuran.
Hal ini berlaku bukan
percampuran
hanya pada mertua dan
berlaku untuk anak tiri/
menantu
anak istri. Sedangkan
tetapi
juga
pada anak istri dan istri
mertua/
bapak.
penyebab
Baik
hanya
menantu
percampuran
dalam
keharamannya
akad
wath‟i
sekedar akad nikah.
rusak,
syubhat atau zina.
6.
hanya
Namun
jika
percampuran
karena
wath‟i syubhat maka berlaku larangan nikah karena
hubungan
mushaharah.
Dalam
hal ini haram menikahi mertua/menantu. Makna percampuran
7.
Imam
Hanafi 8.
memaknai
Imam
Syafi‟i
memaknai
percampuran
sangat
percampuran
dalam
luas, baik bercampur
arti yang sebenarnya
dalam
(dukhul),
arti
sebenarnya
yang (dukhul)
berpendapat
beliau sentuhan
atau kegiatan sebelum
dan pandangan tidak
bercampur,
termasuk
sentuhan
dan
pandangan hawa
seperti.
nafsu.
percampuran
dengan Baik dalam
akad yang rusak, wath‟i syubhat (percampuran karena keliru) ataupun
dalam
kategori bercampur.
zina. Ada
tidaknya
hukum
akibat 9.
pembatalan
perkawinan
Jika pembatalan
karena
akad
fasid/
11.
Baik pembatalan
karena
akad
fasid/
rusak, maka sebelum
rusak ataupun karena
adanya
akad
percampuran
(dukhul)
tidak
ada
batil,
Syafi‟i
Imam
berpendapat
sedikitpun
akibat/
tetap tidak ada akibat/
konsekuensi
hukum
konsekuensi
hukum
pernikahan
yang
pernikahan sah, seperti
sah.seperti,
mahar,
nasab, nafkah, mahar,
nafkah, iddah, waris,
iddah,
dan
mushaharah, dll.
tidak
ada
hubungan
hubungan mushaharah. 10.
Jika pembatalan
karena maka
akad baik
batil, sudah
bercampur atau belum, tetap
tidak
konsekuensi
ada hukum
pernikahan sah. Bila bercampur
maka
dihukumi zina. Konsekuensi
hukum 12.
Jika pembatalan
14.
Wajib membayar
pembatalan perkawinan
karena
akad
fasid/
mahar mitsil kepada
setelah
rusak
maka:
wajib
perempuan
mahar
dicampuri, jika dalam
percampuran
adanya
membayar
mitsil dan musamma,
akad
tetapnya nasab anak
disebutkan,
dari
masa
iddah,
suami,
wajib tetapnya
yang
belum
Iddah,
adanya Nasab
anak dinisbatkan pada
hubungan mushaharah 13.
perempuan/ istri.
Jika pembatalan
karena
akad
batil,
maka
percampuran
dianggap zina. Hukum
menikahi 15.
Tidak
boleh 16.
mertua/ menantu pasca
menikahi
pembatalan perkawinan
mertua/menantu dalam
Boleh menikahi
mertua/menantu pasca jika
pembatalan
pembatalan
perkawinan baik sudah
perkawinan
terjadi
bercampur atau belum,
percampuran
antara
baik karena akad fasid
suami-istri baik karena
atau akad batil karena
akad fasid atau akad
keduanya sama, yakni
batil karena keduanya
tidak
sama,
hubungan mushaharah
yakni
mengakibatkan
mengakibatkan hubungan mushaharah.141
141
Persetubuhan dalam akad batil dimasukkan dalam pengaharaman musaharah karena konsekuensi hukum dari akad batil adalah persetubuhan nya dihukumi zin, sedangkan menurut Imam hanafi zina mengakibatkan berlakunya hubungan musaharah.
BAB V PENUTUP - Kesimpulan Dari pembahasan tentang hukum menikahi mertua dan menantu pasca pembatalan pernikahan yang telah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Pembatalan pernikahan (fasakh) menurut fiqih adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain datang kemudian yang membatalkan kelangsungannya perkawinan. sedangkan menurut hukum islam di Indonesia adalah pengertian yang terdapat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menyebutkan bahwa Pembatalan perkawinan ialah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. b. Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi sepakat bahwa hukum menikahi mertua dan menantu adalah haram, karena mereka adalah termasuk dalam golongan wanita yang haram dinikahi sebab hubungan mushaharah. Namun mereka berbeda pendapat mengenai alasan/sebab pengharamannya. Menurut Imam Syafi‟i sebab pengharaman menikahi menantu terbatas pada akad yang di lakukan kepada wanita/istri saja, sedangkan menurut Imam Hanafi sebab pengharamannya ada pada akad yang dilakukan kepada istri dan
percampuran/persetubuhan. Baik percampuran dengan akad fasid maupun dengan perbuatan zina. c. Hukum menikahi mertua atau menantu pasca pembatalan perkawinan menurut
Imam
Syafi‟i
adalah
dibolehkan,
pembolehan
menikahi
mertua/menantu pasca pembatalan perkawinan ini baik sudah bercampur atau belum, baik karena akad fasid atau akad batil karena keduanya sama, yakni tidak mengakibatkan hubungan mushaharah. Sedangkan menurut Imam Hanafi hukum menikahi mertua/ menantu pasca pembatalan perkawinan boleh, jika dalam perkawinan yang dibatalkan tersebut belum terjadi percampuran. Jika dalam pernikahanan tersebut sudah terjadi percampuran maka tidak dibolehkan karena dengan adanya percampuran tersebut mengakibatkan adanya hubungan mushaharah, yang mana seorang wanita menjadi haram dinikahi jika ada dalam hubungan mushaharah. d. Menurut Imam Syafi‟i akibat pembatalan perkawinan apabila telah bercampur ialah wajib membayar mahar, adanya masa iddah, dan anak yang dilahirkan nasabnya kepada ibu. Apabila belum bercampur maka tidak ada akibat/konsekuensi apapun, pendapat ini juga yang dipakai Imam Hanafi. Namun dalam hal sudah bercampur Imam Hanafi memiliki pendapat yang berbeda dengan Imam Syafi‟i, Jika pembatalan karena akad fasid/ rusak maka: wajib membayar mahar mitsil dan musamma, tetapnya nasab anak dari suami, wajib iddah, tetapnya hubungan mushaharah. Namun Jika pembatalan karena akad batil, maka percampuran dianggap zina.
- Kesimpulan Penulis Hukum menikahi mertua/menantu adalah diharamkan, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa‟ ayat 23. Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi pun memiliki pendapat yang sama yakni mengharamkan menikahi mertua dan menantu. Namun mereka memiliki perbedaan dalam menentukan „illat hukum tersebut. Imam Hanafi berpendapat bahwa „illat pengharaman hukum menikahi mertua/menantu adalah ada pada akad nikah yang dilakukan dan percampuran, sedangkan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa „illat hukum tersebut ialah ada pada Akad nikah saja. Apabila dalam keadaan terjadi pembatalan pernikahan mereka memiliki perbedaan disesuaikan dengan ada tidaknya „illatnya dan ketentuan yang telah ditetapkan. Seperti dalam kaidah fiqih sebagai berikut
اَ ْْلُ ْك ُم يَ ُد ْوُر َم َع ِعلَّ ِة ُو ُج ْوًدا َو َع َد ًما “Hukum itu berkisar/berputar bersama illat, baik adanya maupun ketidak adaannya” Sehingga pada pendapat Imam Hanafi apabila dalam sebuah pernikahan telah terjadi pembatalan pernikahan maka mertua dan menantu boleh dinikahi bila belum terjadi persetubuhan namun bila sudah terjadi percampran maka diharamkan menikahi mertua/menantu. sedangkan pendapat Imam Syafi‟i boleh menikahi mertua/menantu pasca pembatalan pernikahan baik sudah bercampur maupun belum dengan istri.
-
Saran-Saran Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis maka, saran yang
diberikan penulis ialah berhati-hati dan lebih teliti dalam memenuhi persyaratan dan rukun dalam pernikahan agar hal-hal yang tidak diinginkan seperti pembatalan perkawinan/ fasakh tidak terjadi. Dan meskipun hukumnya menikahi mertua atau menantu dibolehkan, tetapi alangkah lebih baiknya jika tidak dilakukan karena mertua adalah orang tua misteri, yang seakan-akan seperti orang tua sendiri, dan menantu adalah istri anak, yang seakan-akan seperti anak sendiri, yang mana hubungan tersebut adalah sebuah kenikmatan yang menjadikan orang asing menjadi kerabat dekat, meskipun hubungan istri dan suami tersebut sudah dibatalkan/ akad nikah dianggap tidak pernah ada. - Kata Penutup Seiring puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan penulis hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari kebenaran menyangkut skripsi ini datangnya dari Allah SWT. semata, dan kekurangan atau kekeliruan disebabkan karena kefakiran dari ilmu penulis. Walupun demikian mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah khasanah keilmuan terutama dibidang Al-ahwal al-Syakhsiyyah. Amin
DAFTAR PUSTAKA Ad-Dimasyqi, Syaikh al-Allamah Muhammad bin „Abdurrahman. 2012. Fiqih Empat Mazhab. trj. „Abdullah Zaki Alkaf. Bandung: Hasyimi Al Asqalani, Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari - Penjelasan Kitab Shahih AlBukhari Buku 25. trj. Amiruddi. Jakarta: Pustaka Azzam. Al- Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari. trj. Abdul Hayyie al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mustofa. Jakarta: Gema Insani Press Al-Jamal, Syaikh Muhammad Hasan. 2008. Biografi 10 Imam Besar. trj. M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Ash- Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra As-Shan‟ani. 1995. Subulus Salam 3, trj., Drs. Abu Bakar Muhammad. Surabaya: Al-Ikhlas Asy-Syak‟ah, Mustofa Muhammad. 2004. Islam Tidak Bermazhab. trj. A. M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Asy-Syurbasi, Ahmad. 2013. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. trj. Sabil Huda dan Ahmadi. Jakarta: Amzah Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2014. Fiqih Munakahat - Khitbah, Nikah, dan Talak. trj. Abdul Majid Khon. Jakarta: Amzah
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu Jilid 9, trj. Abdul Hayyi Al-Katani, dkk.. Jakarta: Gema Insani Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1996. Al- Lu‟lu‟ Wal Marjan Jilid 1 :Himpunan Hadits Shahih yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim. trj. H. Salim Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press Dahlan, Abdul Aziz. et. al.. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve Djazuli, Ahmad. 2011. Kaidah- Kaidah Fiqih – Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Idris, Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin. 2015. Ringkasan Kitab Al Umm jilid 1-2. terj. Mohammad Yasir Abd Mutholib. Jakarta: Pustaka Azzam Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri‟- Sejarah Legislasi Hukum Islam. trj. Nadhirsyah Hawari. Jakarta: Amzah Khallaf, Abdul Wahhab. 1993. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT. Rajawali Khoiri, Nur. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Jepara: INISNU
Mahalli, Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. 2004. Hadits-Hadits Muttafaq „Alaih- Bagian Munakahat dan Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. Fiqih Lima Madzhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hambali, trj. Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus AlKaff. Jakarta: Lentera Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi‟I. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nazir, Moh.. 2011. Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Pramono, Teguh. 2013. 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa. Yogyakarta: Diva Press Rofiq, Ahmad. 1997. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid – Analisa Fiqih Para Mujtahid. trj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani Shihab, M. Quraish. 2011. Tafsir Al-Mishbah Volume 2: Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati Sopyan, Yayan. 2010. Taikh Tasyri‟- Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing Sudarsono. 2009. Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press Tihami, M. A. dan Sohari Sahrani. 2010. Fiqih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. 2006. Fiqih Wanita. trj. M. Abdul Ghoffar. Jakarta: Putaka Al-Kautsar Zaidan, Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syari‟ah; Mengenal Syari‟ah Islam Lebih Dalam. trj. M. Misbah. Jakarta: Robbani Press
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Indah Nadhirotul Hasanah
Tempat/Tanggal Lahir
: Jepara, 07 Oktober 1993
Alamat
: Troso Rt: 05 Rw: 01 Pecangaan Jepara
Status
: Belum Menikah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Telp.
: 085747005151
Email
:
[email protected]
PENDIDIKAN 2011 - 2015
: Fakultas Syari‟ah dan Hukum (S 1) Jurusan Al Ahwal Al-Syakhshiyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama‟ (UNISNU) Jepara
2008 - 2011
: MA Matholi‟ul Huda 01 Troso Pecangaan Jepara
2005 - 2008
: MTs Matholi‟ul Huda 01 Troso Pecangaan Jepara
1999 - 2005
: MI Matholi‟ul Huda 01 Troso Pecangaan Jepara
1997 - 1999
: RA Matholi‟ul Huda 01 Troso Pecangaan Jepara