MENANGGULANGI TINDAK PIDANA EKONOMI MELALUI SARANA UUTPE (Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum.
Abstract To make the economic criminal law (UUTPE) to be effective after the physical revolution is an effort to pacify the economic development. However in the subsequent development, the UUTPE is just the history. In the cope with economic crime, the UUTPE is very relevant to be refunctioned.
A. Latar Belakang Berlakunya UUTPE Pembangunan di bidang ekonomi pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem yang lebih luas, yaitu pembangunan nasional secara keseluruhan. Tujuan pembangunan, adalah dalam rangka untuk mencapai tarap kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4. Untuk mencapai tujuan dimaksud, maka pemerintah membuat peraturan-peraturan dalam bidang ekonomi. Adanya kebijakan yang dituangkan ke dalam peraturanperaturan tersebut, menunjukkan, bahwa negara memang harus campurtangan dalam upaya mensejahterakan rakyatnya. Pemikiran yang menghendaki, agar negara perlu terlibat dalam urusan ekonomi rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 di atas, tidak lepas dari situasi yang sedang berkembang pada saat itu, yaitu sehubungan dengan munculnya konsep Negara Kesejahteraan (Welfare state). Konsep ini mengemuka, karena menurut Anwar berkaitan dengan situasi di Eropah pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, di mana kebebasan individu dan kemerdekaan dalam melakukan perdagangan, merupakan tuntutan yang mutlak pada zaman itu. Kebebasan bagi setiap individu untuk mengembangkan dirinya dalam kegiatan ekonomi, ternyata telah mengalami kegagalan di bidang ekonomi. Timbulnya depresi yang melanda dunia sekitar tahun tiga puluhan,
1
merupakan akibat dari produk paham kebebasan tersebut. Di samping itu, adanya pengalaman pahit yang dirasakan oleh rakyat selama dua kali berkecamuknya perang dunia, yang melumpuhkan dan menghancurkan kegiatan ekonomi, sehingga setelah Perang Dunia II usai, negara merasa perlu campurtangan dalam kemakmuran rakyatnya. Karenanya, segala usaha pembangunan kembali diselenggarakan oleh negara. Intensitas campurtangan tersebut, tergantung pada tipe negara yang dianut oleh negara yang bersangkutan, bagi
negara yang menganut sistem
ekonomi liberal, maka urusan kemakmuran rakyatnya hampir secara keseluruhan diserahkan kepada rakyatnya. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis, pemerintah mempunyai wewenang yang lebih besar dalam pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan di bidang ekonomi. Hal itu, bertolak belakang dengan sistem ekonomi pasar (market economy). Dalam ekonomi pasar, segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, diserahkan kepada individu. Berdasarkan konsep ekonomi pasar, fungsi pemerintah ditetapkan sekecil mungkin, yang hanya terbatas pada bidang pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan umum dan pendidikan. Di samping kedua sistem ekonomi tersebut di atas, masih dikenal sistem ekonomi yang lain, yaitu: Mixed Economy (ekonomi campuran). Dalam ekonomi campuran, corak perekonomian mempunyai sifat-sifat tertentu dari perekonomian bebas dan sifat-sifat tertentu dari sosialisme. Sifat sosialis tercermin pada intervensi pemerintah, misalnya alat produksi dimiliki oleh swasta, tapi kegiatannya diawasi oleh pemerintah. Ketiga sistem ekonomi yang telah disebutkan di atas (kecuali market economy), pada dasarnya merupakan implementasi dari teori negara kesejahteraan. Dalam teori ini, negara wajib mensejahterakan rakyatnya, sebab jika negara tidak campurtangan, maka dikhawatirkan kesejahteraan tidak merata. Campurtangan negara dalam bidang ekonomi, akan selalu berbeda antara negara satu dengan negara lainnya, Perbedaan tersebut, menurut Bambang Poernomo (1984: 99) tergantung dari tujuan yang hendak dicapai oleh negara bersangkutan. Bagi negara yang menganut sistem ekonomi pasar (liberal), maka 2
kebijakan dalam membuat peraturan di bidang ekonomi, diperlukan sebagai sarana untuk melindungi pertumbuhan perekonomian yang diselenggarakan secara liberal dan persaingan bebas, agar dapat berjalan dengan lancar tanpa mengorbankan politik negara. Sebaliknya, bagi negara yang menganut sistem ekonomi terpusat, dibuatnya peraturan adalah sebagai sarana untuk mencegah penguasaan ekonomi oleh perseorangan, karena dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Kemudian, bagi negara yang
menganut sistem ekonomi
campuran, peraturan diadakan untuk menentukan batas yang jelas antara perekonomian yang dapat diselenggarakan oleh kegiatan ekonomi perseorangan atau kelompok masyarakat dengan kegiatan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat banyak. Penganutan salah satu dari ketiga model tersebut, menurut Sutandyo Wignjosoebroto (2000: 25-26) tidak bisa dilepaskan dari aspek kesejarahannya. Di banyak negara, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia yang dulunya pernah menjadi kekuasaan kolonial, dalam membangun ekonomi nasionalnya tidak dikembangkan menurut hukum pasar, akan tetapi menurut hukum
negara
yang
berfungsi
mengimplementasikan
rencana-rencana
pembangunan pemerintah, karenanya market economy akan ditinggalkan dan diganti dengan planned economy sebagai pilihannya. Mengapa harus dengan planned economy dan tidak dengan market economy? Dalam hubungan ini, Soejono Hadinoto menulis (1949: 61) bahwa ekonomi secara bebas atau ekonomi liberal, adalah sarana untuk menuju kepada sistem kapitalis, dan dengan kapitalisme, maka hanya akan menguntungkan golongan ekonomi kuat atau kaum kapitalis, sementara rakyat banyak menderita. Penolakan terhadap suatu sistem atau paham, memang tidak bisa dilepaskan dari aspek kesejarahannya. Dalam konteks Indonesia sebagaimana yang ditulis oleh Sudarto (1983: 77-79) bahwa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang, telah merasakan hidup dalam suasana penindasan dan suasana perang. Pada zaman penjajahan Belanda, campurtangan penguasa Belanda yang dilakukan melalui politik Cultuurstelsel, di mana rakyat dipaksa untuk
menyerahkan
sebagian
tanah
untuk
ditanami guna
menghasilkan 3
keuntungan yang besar bagi penguasa Belanda, sehingga pada masa itu, penguasa selain menguasai produksi barang-barang, juga sekaligus harga pasar. Masa Cultuurstelsel itu disusul oleh masa perekonomian liberal, di mana pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik pintu terbuka. Di sini pemerintah sama sekali tidak campurtangan di dalamnya.
Keadaan itu berakhir sesudah
terjadinya krisis ekonomi yang melanda dunia sekitar tahun tigapuluhan. Keadaan pasar lesu, dan untuk memulihkan keadaan, pemerintah harus mempengaruhi jalannya perekonomian, yaitu lewat regulasi-regulasi. Demikian juga dengan masa pendudukan Jepang, suatu pemerintahan balatentara sudah barang tentu melaksanakan ekonomi perang, penguasa sepenuhnya mengatur perekonomian negara dan rakyat guna kepentingan perangnya. Berdasarkan pengalaman sejarah sebagaimana yang telah ditulis oleh Sutandyo Wignjosoebroto dan Sudarto di atas, maka pertanyaan yang patut dikemukakan:
bagaimanakah
politik
(kebijakan)
ekonomi
Indonesia
sejak
kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 hingga saat ini, apakah kebijakan ekonomi seiring dengan politik (kebijakan) hukum pidana. Sejak awal berdirinya Republik ini, upaya untuk mengisi kemerdekaan melalui pembangunan di berbagai bidang, termasuk pembangunan di bidang ekonomi sudah dilakukan. Hal itu dapat dibaca dari pidato pemimpin pemerintahan pada waktu itu. Presiden Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1959 menyampaikan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (The Rediscovery of Our Revolution) (Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, Jilid 1, hal. 152-153). Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, adalah tahap physical revolution. Dalam tahap itu, menurut Presiden, kita merebut dan mempertahankan apa yang telah kita rebut, yaitu kekuasaan dari tangan imperialis ke dalam tangan kita sendiri. Periode itu oleh Presiden disebut juga sebagai periode revolusi politik. Sedangkan menurut Soejono Hadinoto (1949: 32) disebut sebagai a period of change and uncertainty atau masa perubahan dan ketidaktentuan. Mengapa disebut demikian, karena pada masa itu lanjut Hadinoto, keadaan belum stabil, baik dari keamanan 4
maupun politik. Padahal untuk kelancaran pembangunan ekonomi membutuhkan kondisi yang stabil. Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959 telah dijadikan sebagai manifesto Politik sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara yang selanjutnya dituangkan dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Sedangkan penjabaran terhadap isi pidato tersebut telah dituangkan dalam Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perincian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 No. 3/Kpts/Sd./II/59. Pada bagian tentang Program Umum Pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan di bidang ekonomi, antara lain berisi : 1. Retooling alat-alat produksi dan alat distribusi, semuanya direorganisasi, dibelokan setirnya ke arah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. 2. Semua alat vital dalam produksi dan semua alat vital dalam distribusi harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh pemerintah. Selanjutnya, tahun 1956 bangsa Indonesia memasuki periode revolusi sosial-ekonomi yang menuntut dan menghendaki pembangunan ekonomi secara besar-besaran, yaitu dalam rangka untuk mencapai tujuan terakhir dari revolusi: satu masyarakat adil dan makmur, tata-tentrem-kerta-raharja. Menurut Soekarno tujuan terakhir itu bisa dicapai apabila di masyarakat sudah tidak ada lagi kapitalisme dan imperialisme. Karena itu, menurut Soekarno (melalui RRI tanggal 26 Agustus 1959 djam 19.00, Penerbitan Khusus No. 63,
hal. 4-5)
segala
konstruksi-konstruksi alam liberalisme harus diganti dengan sendi-sendi demokrasi terpimpin
1
dan ekonomi terpimpin. Untuk sampai kepada maksud tersebut, kita
harus mengadakan penataan dan penataan kembali apa yang sudah ada. Titik sentralnya, kita harus kembali kepada UUD 1945 yang telah dicapai melalui Dekrit 1
Lahirnya ide mengenai demokrasi terpimpin itu tidak lepas dari tuntutan rakyat untuk mengadakan pembangunan yang mulai timbul sekitar tahun 1955. Adanya tuntutan itu, karena belum sepadannya antara jumlah penduduk dengan lapangan kerja yang tersedia. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, sejak tahun 1957 Presiden Soekarno telah menganjurkan suatu perombakan total, baik yang menyangkut alam pikiran kita maupun sistem politik, Dalam Roeslan Abdulgani, Penjelasan Manipol dan Usdek, Departemen Penerangan RI, Penerbitan Khusus No. 147, tth, hal. 12-13.
5
Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dengan Dekrit tersebut, pada hakikatnya merupakan langkah yang tepat untuk mengadakan pembaharuan di segala bidang, baik di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Konsep pembangunan yang telah dicanangkan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1956, yaitu sebagai dimulainya tahap memasuki alam pembangunan, yaitu Alam Pembangunan Semesta, maka setelah kita kembali kepada UUD 1945, konsep mengenai pembangunan semesta tersebut, telah dipertegas lagi dalam Amanat Presiden Soekarno tentang Pembangunan Semesta dan Berencana yang disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perancang Nasional (Depernas) tanggal 28 Agustus 1959. Dalam amanat tersebut dikemukakan bahwa ekonomi sebagai sendi dari kehidupan dan kesejahteraan nasional, harus dapat dilaksanakan sebagai dasar pembangunan keseluruhan. Sistem ekonomi yang dimaksud oleh Soekarno, adalah: Ekonomi Terpimpin. Untuk melaksanakan sistem ekonomi ini, diperlukan suatu kebijakan dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan
stabilitas
politik
(Pedoman
Untuk
Melaksanakan
Amanat
Penderitaan Rakyat). Perincian lebih lanjut dari konsep tersebut, telah dituangkan dalam
Tap
MPRS
No.
II/MPRS/1960
tentang
Garis-Garis
Besar
Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969, tanggal 3 Desember 1960. Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia No. 1/Kpts./Sd./61, tanggal 19 Januari 1961. Pada bagian Ekonomi, Produksi dan Distribusi disebutkan bahwa retooling di bidang ekonomi dengan menjadikan ekonomi sektor negara memegang posisi komando, adalah sesuai dengan Ekonomi Terpimpin. Retooling ini perlu terus dilanjutkan, supaya dalam praktek sungguh-sungguh ekonomi sektor negara dapat memimpin ekonomi sektor swasta (partikelir). Adapun maksud dilakukannya retooling di perusahaan-perusahaan negara dengan membentuk dewan-dewan
yang
berkewajiban
membantu
pimpinan
perusahaan
untuk
mempertinggi kwantitas dan kwalitas produksi, serta untuk mengawasi kaum pencoleng, kaum koruptor, kaum penipu, kaum pencuri kekayaan negara, adalah sesuai dengan tugas nasional dari Perusahaan-perusahaan Negara. 6
Dengan pemerintahan
demikian, Soekarno
kebijakan tersebut
ekonomi tidak
dapat
yang
diterapkan
dilepaskan
dari
semasa aspek
kesejarahannya, baik di zaman penjajahan maupun kegagalan konsep ekonomi liberal yang berakibat pada terjadinya krisis dunia tahun 1930-an. Berdasarkan pengalaman itu, semua perjuangan, semua pikiran, semuanya diarahkan kepada satu tujuan, yaitu masyarakat adil dan makmur. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut
menurut
Soekarno
harus
diselaraskan
dengan
tujuan
nasional
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, semua kebijakan di bidang ekonomi disesuaikan dengan situasi pada waktu itu, yaitu sebagaimana yang dinyatakan oleh Soekarno bahwa pada dasarnya perputaran modal harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk membiayai pembangunan. Namun demikian, pemerintah saat itu menyadari, jika dalam pengisian kemerdekaan hanya mengandalkan pendekatan ekonomi semata untuk mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, tentunya akan mengalami kesulitan, sebab sebagaimana yang ditulis oleh Sudarto (1983: 83), peraturanperaturan dalam bidang perekonomian, seperti halnya di bidang hukum pada umumnya perlu ditegakkan, karena adanya hukum, pasti ada yang melawannya atau ada pelanggarnya. Hal itu sebenarnya sudah menjadi pemikiran Soekarno, yaitu ketika Soekarno menyatakan bahwa maksud retooling di perusahaanperusahaan negara, selain untuk meningkatkan kwantitas dan kualitas produksi, juga untuk mengawasi kaum pencoleng-pencoleng, kaum koruptor-koruptor, kaum penipu-penipu, kaum pencuri-pencuri kekayaan negara, dan itu sesuai dengan tuntutan seluruh rakyat. Dengan pernyataan tersebut, berarti untuk melawan para penjarah kekayaan negara tersebut, perlu menggunakan pendekatan sarana hukum pidana (penal). Hal itu sesuai dengan yang ditulis oleh Anwar (1979: 9) bahwa dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang semakin lama semakin kompleks, negara kadang-kadang tidak mampu memaksa warga negaranya untuk mentaati segala peraturan-peraturan di bidang ekonomi tanpa adanya sarana sanksi terhadap pelanggarnya, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Untuk itu, maka sebagaimana yang ditulis oleh Mardjono Reksodiputro (Makalah Seminar 7
tentang Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993: 326) bahwa setelah selesainya revolusi fisik dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, di mana di tengah keterbatasan barang dan jasa, pemerintah merasa wajib untuk membangun perekonomian Indonesia. Menurut Anwar (1979: 15) sejak tahun 1950 pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang berisi kebijakan-kebijakan untuk penyelenggaraan usaha pencapaian tujuan nasional: masyarakat adil dan makmur. Untuk mewujudkan harapan tersebut, pemerintah memerlukan pengawasan yang ketat atas kegiatan-kegiatan di bidang produksi
dan
perdagangan.
Untuk
memfungsikan
pengawasan
tersebut,
pemerintah memerlukan sarana hukum yang dapat mencegah pelanggaran terhadap
kegiatan-kegiatan
perekonomian
dan
keuangan,
sehingga
tidak
mengganggu perekonomian nasional. Sarana hukum yang dimaksud, adalah Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara No. 27 Tahun 1955), atau disingkat dengan UUTPE. Undang-undang ini sebenarnya merupakan terjemahan dari Wet op de Economische Delicten (WED) Belanda, yang diundangkan pada tanggal 22 Juni Tahun 1950. Latar belakang diadakannya Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 yang mulai berlaku pada tanggal 13 Mei Tahun 1955, karena keadaan-keadaan yang mendesak, sehingga undang-undang ini perlu segera diberlakukan, khususnya pada masa kesulitan ekonomi.
2
B. Kebijakan Penal Dalam UUTPE Sebelum menguraikan mengenai kebijakan penal dalam bagian ini, terlebih dahulu perlu dipertanyakan apakah yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam konteks UUTPE? Dalam Penjelasan Umum UUTPE dikemukakan bahwa pengertian tindak pidana ekonomi itu meliputi:
a) Ordonnantie gecontroleerde
goederen 1948 (Staatsblad 1948 No. 144); b) Prijsbeheersing-ordonnantie 2
Konsideran UUTPE, Dalam Sudradjat Bassar, Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Armico, Bandung, 1983, hal. 154.; Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi di Hotel Gracia, 23-30 Nopember di Semarang 1998, hal. 2.
8
(ordonansi pengendalian harga) 1948 (Staatsblad 1948 No. 295); c) Undangundang Penimbunan Barang-barang 1951 (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 4); d) Rijstordonnantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 253); e) Undang-undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi (Lembaran Negara Tahun 1952 No. 33); f) Diviezen Ordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205). Dalam alinea berikutnya dikemukakan: untuk sementara penunjukkan pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi dianggap cukup luas untuk mencapai maksud Pemerintah tersebut. Apabila dikemudian hari dipandang perlu pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan undang-undang lain dikuasai oleh Undang-undang Darurat ini, maka hal itu dapat dicapai dengan menyebut dalam undang-undang yang bersangkutan, bahwa pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi (Pasal 1 sub 3e: Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sepanjang undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi) atau dengan mencantumkan pasal-pasal pidana yang bersangkutan dalam Pasal 1 sub 2e (tindak pidana yang tersebut dalam Pasal-pasal 26; 32; dan 33 undang-undang ini). Dengan demikian, adanya tambahan sub 2e dan sub 3e ke dalam lingkup tindak pidana ekonomi yang tercantum dalam Pasal 1 UUTPE, seperti yang ditulis oleh Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul: Hukum Pidana Ekonomi, pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari apa yang sudah disebutkan dalam Penjelasan Umum UUTPE di atas. Karena itu, pengertian mengenai tindak pidana ekonomi adalah ketentuan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 sub 1e, Pasal 1 sub 2e, dan Pasal 1 sub 3e UUTPE. Selanjutnya, untuk lebih mengefektifkan aspek general deterrence-nya, maka ketentuan sanksi pidana dalam UUTPE perlu diperberat. Untuk itu, pemerintah
mengeluarkan Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat
Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi. Adapun alasan perlunya memperberat ancaman pidana yang diatur dalam UUTPE, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Perpu No. 21 Tahun 1959, adalah didasarkan pada kenyataan di mana ancaman-ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi (UUTPE), dirasakan masih sangat ringan bila dibandingkan 9
dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana ekonomi tersebut, yaitu berupa kekacauan ekonomi dalam masyarakat. Sedangkan kebijakan pemerintah pada waktu itu, dipokuskan pada kemakmuran rakyat, sehingga segala bentuk tindak pidana ekonomi yang dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, akan tetapi dapat menimbulkan kekacauan
di bidang perekonomian
dalam masyarakat, harus dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi. Upaya untuk mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi itu, maka satu-satunya jalan yang harus dilakukan, adalah dengan memperberat ancaman pidana dalam UUTPE. Implementasi dari konsep tersebut, dituangkan ke dalam Pasal 1 ayat (1) Perpu No. 21 Tahun 1959, yang pada intinya menyatakan: ancaman pidana denda dalam UUTPE, dinaikan menjadi setinggi-tingginya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam UUTPE. Kemudian, dalam ayat (2): diancam dengan pidana mati atau pidana penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan pidana denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam UUTPE, jika tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat. Kehendak untuk menjatuhkan pidana yang berat itu, terlihat pula dengan adanya keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana secara kumulatif. Karena, menurut ketentuan UUTPE hakim dapat memilih antara hukuman badan atau denda atau menjatuhkan kedua-duanya (alternatif-kumulatif). Kebijakan penal berikutnya, adalah Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tanggal 27 Juli 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan. Adapun latar belakang dikeluarkannya Penetapan Presiden (Penpres) ini, untuk memberantas perbuatan para pengacau dalam bidang perekonomian dan keamanan, agar kepentingan rakyat akan sandang pangan yang cukup dapat diamankan dan terpelihara, maka perlu diadakan perubahan dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang berlaku. 3
3
Konsideran Penpres No. 5 Tahun 1959, dan catatan penulis, Hukum Acara Pidana yang berlaku pada waktu itu, adalah HIR. Staatsblad 1941 No. 44.
10
Legal spirit yang mendasari dibuatnya Penpres itu, telah terimplementasi dalam Pasal 2-nya yang berbunyi: Barangsiapa melakukan sesuatu tindak pidana ekonomi sebagaimana termaksud dalam UUTPE, tindak pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi (Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat dalam title I dan II Buku Kedua KUHP, dengan mengetahui atau patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yang meliputi : 1) Meperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkatsingkatnya; 2) Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara; dan 3) Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan politik (Irian Barat), dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Penpres No. 5 Tahun 1959 di atas, ruang lingkup dari Penpres No. 5 Tahun 1959 yang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 2 Penpres No. 5 Tahun 1959 tersebut, meliputi tindak pidana ekonomi yang termaksud dalam Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955, perbuatan pidana korupsi seperti yang termaksud dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi (Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958, dan tindak pidana yang tercantum dalam titel I dan II Buku Kedua KUHP, yaitu kejahatan melanggar keamanan negara dan kejahatan melanggar martabat kepala negara. Menurut Penjelasan Penpres No. 5 Tahun 1959 ketiga golongan tindak pidana itu, merupakan tindak pidana terpenting yang berkaitan dengan ketiga program pemerintah tersebut. Di samping itu, dalam Penjelasan Penpres No. 5 Tahun 1959 tersebut ditegaskan bahwa memang perlu sekali diadakan tindakan keras, tegas dan cepat terhadap pengacau-pengacau dalam bidang perekonomian dan keamanan, yang dengan
perbuatan-perbuatannya
terang
menghalangi-halangi
terlaksananya
program pemerintah tersebut. Apa yang telah ditegaskan dalam Penjelasan Penpres ini, sebenarnya merupakan cerminan dari political will pemerintah, karena 11
sejak terjadinya perubahan ketatanegaraan tanggal 5 Juli 1959, maka upaya pencapaian masyarakat yang adil dan makmur menjadi prioritas utama, karenanya terhadap orang-orang yang merintangi program dimaksud, perlu diambil tindakan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Terkait dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang No. 11 Pnps Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi tanggal 16 Oktober 1963. Ada dua bidang yang menjadi sasaran dalam Undang-undang tersebut, yaitu yang berkaitan dengan keamanan negara dan yang berkaitan dengan program pemerintah di bidang ekonomi. Mengenai program di bidang ekonomi, dalam Pasal 1 ayat (1) angka 1 huruf d Undang-undang No. 11 Pnps Tahun 1963 dinyatakan: Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi: mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat. Karena itu, dalam Pasal 17 Undang-undang No. 11 Pnps Tahun 1963 telah diatur mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat diancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang No. 11 Pnps Tahun 1963. Serangkaian kebijakan penal yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mengatasi berbagai persoalan di bidang ekonomi, menurut pandangan Sudarto (1983: 87-88) pemerintah pada waktu itu menganggap hukum pidana sebagai alat yang ampuh untuk menanggulangi kesulitan perekonomian yang dialami sesudah revolusi fisik. Karena itu, beberapa pejabat pemerintahan dalam berbagai kesempatan berpidato, selalu mengulang-ulang perlunya pidana mati bagi mereka yang melakukan tindak pidana ekonomi.
Namun demikian
menurut Sudarto, ancaman pidana yang sangat berat itu, ternyata juga perekonomian Indonesia pada waktu itu tidak menjadi baik. Belajar dari fakta sejarah tersebut, Sudarto (1983: 91-92) mengingatkan agar kita tidak boleh terlalu mengharapkan ketaatan orang pada suatu peraturan hanya dengan mengandalkan pada sanksi pidana semata, meskipun kita tidak boleh mengatakan bahwa sanksi pidana tidak ada artinya sama sekali. 12
Namun, apa yang telah dikritisi oleh Sudarto tersebut, menurut hemat penulis lesunya perekonomian Indonesia pada waktu itu tidak dapat semata-mata ditimpakan kepada hukum pidana. Karena untuk pemulihan di bidang ekonomi, hukum pidana hanya merupakan salah satu sarana disamping sarana lainnya. Untuk itu, kondisi stabilitas pilitik pun sangat menentukan bagi keberhasilan dalam pembangunan ekonomi.
C. Relevansi UUTPE ke depan Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, bahwa diberlakukannya UUTPE
sesudah
revolusi
fisik
tersebut
adalah
sebagai
upaya
untuk
mengamankan pembangunan ekonomi yang tengah dijalankan. Namun, dalam perjalanan berikutnya UUTPE seolah hanya tinggal sejarah. Seharusnya, dalam mengahadapi perkembangan ekonomi dan kejahatan yang mengikutinya, UUTPE sangat relevan untuk difungsikankan. Dalam kaitan ini, Andi Hamzah (Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, 1998: 1) menulis bahwa di Indonesia perkembangan perundangundangan pidana di luar KUHP berbeda dengan Belanda. Di Belanda, pada umumnya perundang-undangan pidana di luar KUHP itu dibagi dua, yaitu perundang-undangan
pidana
dan
perundang-undangan
administrasi
yang
bersanksi pidana. Menurut Andi Hamzah perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana tersebut, biasanya berupa delik pelanggaran saja. Di Indonesia lanjut Andi Hamzah menjadi lain, karena ada perundang-undangan administrasi yang sanksinya sampai pidana mati. Contoh yang dikemukakan, adalah seperti Undang-undang Tenaga Atom dan Narkotika. Untuk itu, Andi Hamzah (Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, 1998: 2) yang mengomentari disertasi H.J.A. Nolte
yang
membedakan antara KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP bahwa perundang-undangan di luar KUHP itu ruang lingkup berlakunya terbatas pada golongan tertentu, berlaku untuk waktu tertentu dan wilayah berlakunya juga terbatas. Menurut Andi Hamzah apa yang ditulis oleh Nolte tersebut adalah benar
13
sekali. Karena, jika dikaitkan dengan keadaan di Indonesia, undang-undang pidana di luar KUHP seperti UUTPE masa berlakunya terbatas, terutama untuk menghadapi masa kesulitan ekonomi yang terjadi antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1965. Akan tetapi lanjut Andi Hamzah, setelah keadaan ekonomi menjadi baik, maka UUTPE dibekukan. Artinya, secara formal tetap berlaku, namun secara faktual tidak lagi diterapkan. Dengan
demikian,
keberlakuan
UUTPE
itu
sifatnya
temporer.
Mengomentari pandangan tersebut, Sudradjat Bassar (1983: 11-12) menulis bahwa memang pada umumnya peraturan Hukum Pidana Khusus bersifat temporer (termasuk UUTPE, pen.), karena untuk membantu mengatasi kesulitan yang terjadi pada saat tertentu, dan jika keseimbangan di dalam masyarakat sudah tercapai, maka peraturan-peraturan tersebut dihapus lagi. Namun begitu menurut Bassar, apabila dikaitkan dengan konteks Indonesia, walaupun negara sudah aman kembali dan tidak dalam keadaan perang, UUTPE masih perlu dipertahankan. Alasannya, karena mengingat kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah. Argumen yang dikemukakan oleh Bassar itu sangatlah rasional, walaupun negara sudah aman kembali dan tidak dalam keadaan perang, UUTPE masih perlu
dipertahankan.
Namun,
dengan
adanya
kalimat
terakhir
yang
mengkaitkannya dengan kesadaran hukum masyarakat, maka dapat ditafsirkan, jika kesadaran hukum masyarakat sudah tinggi, UUTPE tidak diperlukan lagi. Menurut hemat penulis, perlu atau tidaknya UUTPE dipertahankan, seharusnya tidak saja dilihat dari faktor kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga perlu mengkaitkan dengan konteksnya, karena apabila mengkaitkan dengan kesadaran hukum masyarakat, yang perlu dipertanyakan: masyarakat yang mana? Jawaban untuk itu sudah jelas apabila dikembalikan kepada tulisan Nolte di atas, ruang lingkup berlakunya perundangan-undangan tertentu di luar KUHP itu terbatas pada golongan orang tertentu. Ini artinya, berlakunya hanya terbatas pada para masyarakat pelaku bisnis. Namun,
suatu
hal
yang
perlu
direnungkan
apabila
hendak
mempertahankan UUTPE dalam sistem hukum pidana nasional, jika pada masa 14
lalu dasar pembenar diberlakukannya UUTPE, karena berkaitan dengan negara dalam keadaan perang. Untuk konteks Indonesia dewasa ini, pengertian negara dalam keadaan perang itu, seharusnya tidak lagi dilihat sebagai perang fisik, akan tetapi perang dalam menghadapi perkembangan ekonomi. Dalam kaitan ini, Mansour Fakih (2001: 209-210) menulis
bahwa
berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme. Menurut Fakih ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi dilakukan secara fisik dan langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi pembangunan sebagai media dominasi, yang direkayasa oleh negara Barat untuk perubahan sosial Dunia Ketiga, yang dipersiapkan untuk memasuki era baru, yakni era globalisasi di segala bidang yang dipaksakan melalui program penyesuaian struktural oleh lembaga keuangan global. Sesuai dengan situasi dan kondisi seperti itu, maka instrumen hukum pidana yang diatur dalam UUTPE perlu dipertimbangkan untuk difungsikan kembali, terlebih dalam menghadapi perkembangan kejahatan ekonomi di era global ini. Apabila UUTPE hendak difungsikan dan dipertahankan dalam sistem hukum pidana, tidak saja dalam arti keberadaannya (karena secara formal belum dicabut atau diganti dengan undang-undang baru), tapi juga penerapannya. Jika perumusan ketentuan tentang kejahatan ekonomi di bidang ekonomi dimasukan ke dalam UUTPE, hal itu akan memudahkan pekerjaan pembentuk undang-undang, karena hanya merubah atau menambah ketentuan yang ada dalam UUTPE tersebut untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan perkembangan kejahatan yang mengikutinya. Sarana untuk itu, telah disediakan dalam UUTPE, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 3e, pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi. Pada masa pemerintahan Soeharto dan Pemerintahan sesudahnya, UUTPE bukannya hendak difungsikan, akan tetapi malah sebaliknya. Karena merasa keadaan sudah aman dan ekonomi sudah maju, sehingga UUTPE tidak diperlukan lagi. Beberapa peraturan yang semula merupakan bagian dari UUTPE, 15
telah dikeluarkan, seperti misalnya Undang-undang Kepabeanan, Undang-undang tentang Lalu-lintas Devisa (yang terakhir diperbaharui dengan Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu-lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar). Tapi bagaimana ketika terjadi krisis ekonomi? Dalam hubungan ini,
Andi Hamzah
(Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, 1998: 2) menulis bahwa pada awal-awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, saat itu banyak kalangan yang ingin menghidupkan kembali Undang-undang tentang Pengawasan Barang-barang dan Pengendalian Harga (Undang-undang No. 8 dan 9, PRP, 1962). Dengan uraian yang terakhir ini, penulis ingin menunjukkan bahwa pandangan yang berat sebelah terhadap UUTPE yang seolah hanya relevan untuk masa-masa kesulitan ekonomi dan masa perang, akhirnya terjebak ke dalam pemikiran yang kurang memperhatikan kepada realita yang tengah berkembang. Dengan dasar pemikiran tersebut, seyogyanya keberadaan UUTPE dipertimbangkan untuk difungsikan, karena mengingat berbagai kebijakan ekonomi yang telah dijalankan, misalnya di bidang perbankan, kurang diimbangi dengan
pengaturan
ketentuan
pidananya
yang
fungsional,
sehingga
mengakibatkan adanya hubungan yang kurang saling mendukung antara kebijakan ekonomi di bidang perbankan dengan kebijakan hukum pidana. Kebijakan ekonomi di bidang perbankan dijalankan sesuai dengan iramanya sendiri, dalam arti hanya dilihat berdasarkan pendekatan ekonomi, sedangkan pendekatan di bidang lainnya (dalam hal ini hukum pidana) kurang diperhatikan. Akibatnya, kebijakan yang telah diambil justru menimbulkan faktor kriminogen dan viktimogen. Ambil contoh, adalah deregulasi di bidang perbankan sebagaimana yang dikemas dalam Paket 27 Oktober 1988.
D. Penutup Dengan demikian, untuk ke depan perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana, seperti misalnya undang-undang tentang perbankan, perlu dikaji ulang
untuk
disesuaikan
dengan
porsinya
sebagai
perundang-undangan
administrasi yang bersanksi pidana, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan 16
perundang-undangan pidana lainnya. Di samping itu, perumusan sanksi pidananya pun, tidak lebih baik dari perundang-undangan pidana sebagaimana yang diatur dalam UUTPE. Untuk menciptakan keluwesan atau fleksibelitas perundang-undangan pidana di bidang ekonomi dalam menghadapi perkembangan kejahatan ekonomi, maka pengaturannya perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam UUTPE. Hal itu penting, karena jenis sanksi yang diatur dalam UUTPE tersebut, sudah cukup memadai, kendati masih perlu disempurnakan. Dengan begitu, maka jangkauan UUTPE dapat lebih meluas.
BAHAN BACAAN Anwar, 1979, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Bandung: Alumni. Bassar,
M. Sudradjat, 1983, Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung: Armico.
Fakih, Mansour, 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Hadinoto, Soejono, 1949, Ekonomi Indonesia dari Ekonomi Kolonial ke Ekonomi Nasional, Djakarta: Jajasan Pembangunan. Poernomo, Bambang, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara. Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Soehardi, 1989, Kebijaksanaan Fiskal dan Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Pembangunan, Semarang:
Wignjosoebroto, Sutandyo, 2000, Perkembangan Hukum dan Antisipasinya Mengahadpi Perkembangan Bisnis pada Era Nasional dan Global, Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, (ED), Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama, Muhammdiyah University Press, Universitas Muhammdiyah Surakarta. Ensiklopedi Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus, Jilid 2. Bahan Penataran Hamzah, Andi, 1998, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Hotel Gracia, Semarang, 23-30 Nopember 1998. 17
Reksodiputro, Mardjono, 1993, Hukum Positif mengenai Kejahatan Ekonomi dan Perkembangannya di Indonesia, Dalam Rangkuman Seminar Ikhtisar dan Kumpulan Makalah tentang Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993.
18