“Menangani Garis Keras”: Strategi dan Metode Penanganan Kelompok dan Faham Radikal
Muhammad Najib Azca, MA, PhD * Direktur Youth Studies Centre (YouSure) Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM * Sekretaris Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada
Daftar Isi Siapa “garis keras”? Akar sejarah dan transformasi “garis keras” Variasi dan dinamika “garis keras” Strategi Menangani “garis keras” Refleksi
Siapa “garis keras”? Berbagai kelompok keagamaan Islam yang bertujuan untuk merombak total (radikal) tatanan sosial-ekonomi-politik berdasarkan konstruksi “syariat Islam” “negara Islam” atau “khilafah Islamiyah” Menggunakan berbagai cara dalam mencapai tujuan politik-moral mereka: dakwah politik, vigilantisme terorisme
Akar historis “garis keras” Gerakan Darul Islam (DI) sebagai cikal bakal, berawal sebagai gerakan perlawanan terhadap Perjanjian Renville muncul bulan Maret 1948. Berpuncak pada Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) oleh Sekarmadji Maridjan (S.M.) Kartosuwirjo pada 7 Januari 1949 Bergabungnya NII Kalsel (1950), NII Sulsel (1952) dan NII Aceh (1953) DI/NII: gerakan kaum Republikan yang patah arang terhadap pemerintahan baru RI
Ditumpas, lalu dirangkul DI ditumpas oleh TNI, berpuncak pada penangkapan Sang Imam S.M. Kartosuwirjo pada Agustus 1962 sejumlah tokoh DI “sumpah loyal” kpd RI Pada 1965-66 sejumlah tokoh DI dirangkul oleh TNI untuk menumpas PKI, terutama melalui Ali Murtopo, tokoh intelijen berlatarbelakang aktivis Laskar Hizbullah sejumlah tokoh DI percaya Ali Murtopo sbg “penyelamat DI” dari pemberangusan pada 1966-1968
Arus Baru “garis keras”: 1970an Aktivis DI kembali muncul ke panggung politik lewat “Komando Jihad” pada akhir 1970an aksi pembakaran & pemboman gereja, bioskop & klub malam menjelang Pemilu 1977 2 bacaan terhadap “Komji”: “skenario intelijen”: strategi Ali Murtopo melemahkan Partai Islam (PPP) “skenario gerakan”: kebangkitan DI untuk menegakkan Negara Islam
Arus Baru “garis keras”: 1980an Maraknya gerakan Islam transnasional pasca Revolusi Islam Iran (1979) dan “Peran Afghan” (1980an) Kebijakan “Asas Tunggal Pancasila” menuai perlawanan, termasuk dari kelompok DI dkk (Kerusuhan Tanjung Priok, peledakan bom di BCA PecenonganJakarta, 1984) Terjadi titik temu antara transformasi gerakan radikal berbasis lokal dengan fenomena gerakan Islam transnasional: sebagian berbasis di kampus2 dan masjid2
Transformasi Gerakan Jihadi: Dari „nasional‟ ke „transnasional‟
Sungkar dan Ba‟asyir hijrah ke Malaysia pada 1985: gara-gara “asas tunggal Pancasila” berjuang dari rantau Mengirim mujahidin ke Afghan: bekerjasama dengan Ittihad al-Islami (Syaikh Rassul Sayyaf) Berdirinya Jamaah Islamiyah pada 1993: menyusul perpecahan internal di tubuh DI gerakan baru Salafijihadi transnasional
“Garis keras” pasca Soeharto Munculnya kembali partai2 Islam di era pasca Soeharto: berakar pada NU dan Masyumi Maraknya kelompok2 Laskar/Pamswakarsa pada periode transisi (khususnya era BJ Habibie): FPI, MMI, LJ, KOMPAK, KPPSI,dkk Terjadinya “konflik agama” di Ambon dan Poso: momentum mobilisasi dan ekspansi gerakan jihad di Nusantara Peristiwa “11 September 2001” & “Bom Bali 2002”
Variasi dan dinamika “garis keras” Dakwah: berfokus pada dakwah: „kemurnian‟ aqidah, identitas, dan moralitas keislaman vis-àvis non-Muslims; sebagian menolak berpartisipasi dlm politik, melihat demokrasi sbg “anti-Islam” (contoh: FKAWJ, Tarbiyah, dkk) Politik: terlibat dalam proses politik, baik langsung atau tidak, serta bergerak dalam kerangka konstitusi negara dan norma2 demokratis menegakkan syariah melalui politik, sebagian menggunakan vigilantisme (contoh: PPP, PKS, PBB, FPI, HTI, dkk) Jihadi: berbasis ideologi jihadi (jihadism); melihat konflik Muslim-kafir bersifat abadi dan membenarkan penggunaan kekerasan & teror dalam perjuangannya (contoh: DI, JI, JAT, dkk)
Strategi menangani “garis keras” Strategi komunikasi dan pelibatan sosial Strategi pelibatan dan partisipasi politik Strategi pemberdayaan & penguatan ekonomi Strategi perlindungan hukum dan pemberdayaan HAM Strategi kontra-ideologi dan narasi
Strategi komunikasi dan pelibatan sosial Metode yang digunakan melalui pembentukan atau aktivasi forum komunikasi dan aksi lintas agama (FKUB dan sejenisnya) Sebaiknya tidak berorientasi seremonial; namun lebih pada pola komunikasi dan interaksi yang bersifat reguler dan informal Selain kegiatan yang berbentuk komunikasi, kegiatan yang berwujud aksi dan kegiatan bersama sering lebih efektif: gotong royong, pendidikan, dsb.
Strategi pelibatan dan partisipasi politik Metode yang digunakan melalui pelibatan dan undangan partisipasi dalam kegiatan yang menyangkut “urusan publik” maupun kegiatan “politik formal” Sebagian kelompok yang berpendirian “antidemokrasi” akan menolak kegiatan yang „berbau demokrasi‟ misalnya gunakan terminologi „musyawarah‟ ketimbang demokrasi‟ dsb. Sebaiknya tidak berorientasi pada aspek seremonial; namun lebih pada pelibatan dan partisipasi dalam “isu dan kepentingan bersama”
Strategi pemberdayaan & Penguatan ekonomi Metode yang digunakan melalui pemberdayaan ekonomi kelompok-kelompok rentan atau aktivasi kegiatan ekonomi lintas-kelompok Dalam konteks pembangunan pasca-konflik, program ekonomi terbukti menjadi alat yg efektif karena “uang tidak punya agama”: contoh “Pasar Bakubae” di Ambon Maluku Kelompok yang secara ekonomi rentan dan lemah juga lebih berpotensi untuk terlibat dalam aksi dan gerakan radikal
Strategi perlindungan dan pemberdayaan Hukum & HAM Metode yang digunakan melalui pemberian layanan perlindungan hukum kepada kelompokkelompok rentan serta pemberdayaan pengetahuan hukum & HAM Metode ini menarik dan cukup sulit karena harus dilakukan dalam „paradoks‟: kadang kelompok sasaran menolak „hukum sekuler‟ yang dijadikan alat utk melindungi mereka dalam proses hukum yang harus dilalui Jika diyakinkan bahwa hukum bisa menjadi salah satu cara yang efektif untuk „melindungi diri‟, secara perlahan bisa mengurangi tendensi penggunaan kekerasan
Strategi kontra-ideologi dan narasi Metode yang digunakan bisa melalui „konfrontasi‟ maupun „persuasi‟; metode konfrontasi kadang diperlukan dalam forum diskusi dan debat publik sedang metode persuasi dilakukan melalui forum informal maupun publikasi. Metode „konfrontasi‟ atawa kontra-ideologi merupakan bagian dari “kontestasi opini dan pemikiran” untuk melawan tafsir-radikal terhadap agama Metode „persuasi‟ atawa kontra-narasi merupakan bagian dari “kontestasi narasi” yang menyertai “kontestasi ideologi”, terutama melalui media dan saluran populer dalam komunikasi publik.
Konklusi & Refleksi Strategi untuk menangani dan melawan kelompok “garis keras” pada dasarnya melalui 2 cara: “serangan udara” dan “serangan darat” Metode “serangan udara”: melalui perang wacana dan opini di media massa maupun „media baru‟; diseminasi wacana dan tafsir „moderat‟ terhadap agama dalam kontestasi melalui wacana dan tafsir „radikal‟ Metode “serangan darat”: melalui komunikasi dan interaksi langsung dengan „pihak lawan‟ maupun „pihak lain‟; termasuk dalam penguasaan teritori, misal: masjid, sekolah, pengajian, dsb.
Konklusi & Refleksi: Perkembangan teknologi informasi mutakhir telah melahirkan generasi baru “kelompok radikal open source” yang semakin atomik dan fluid, sehingga semakin sulit diidentifikasi dan diperangi Strategi mutakhir melawan radikalisme/terorisme: “Perang Narasi”! (misal: warta tarikh Islam nir-kekerasan, keberhasilan perjuangan sosial-politik nirkekerasan, dsb)
Terima Kasih Syukran Katsir Matur Nuwun