MENAKAR KOMUNIKASI POLITIK GUBERNUR DKI JAKARTA FAUZI BOWO Andika Hendra Mustaqim Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected].
Abstract Leaders are not only required to be able to make policy and manage the policy, but are required in order to communicate the policy to its people. Various communication media can be used to optimize the communication of a leader. So is the case with Fauzi Bowo as the governor of Jakarta. He communicates policy related to the citizens nicate its policies to the public. This research uses descriptive qualitative method. With the object of study is the Jakarta governor Fauzi Bowo. The data obtained by observation. From the observation of the obtained results that Fauzi Bowo optimize the use of communication, such as mass media, social networking sites and advertisements. Keywords: political communication, media Abstraksi Pemimpin tidak hanya dituntut untuk mampu membuat kebijakan dan mampu mengelola kebijakannya, akan tetapi diwajibkan agar bisa mengomunikasikan kebijakan tersebut kepada rakyatnya. Berbagai media komunikasi dapat digunakan untuk mengoptimalkan komunikasi bagi seorang pemimpin. Begitu juga halnya dengan Fauzi Bowo selaku gubernur DKI Jakarta. Ia berkomunikasi terkait dengan kebijakan kepada warga Jakarta. Ditengah banyaknya media yang bisa digunakan untuk melakukan komunikasi tersebut, bagaimana Gubernur Fauzi Bowo mengomunikasikan kebijakannya kepada publik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dengan objek penelitian adalah gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Data diperoleh dengan cara observasi. Dari hasil observasi tersebut diperoleh hasil bahwa Fauzi Bowo mengoptimalkan komunikasi dengan gunakan, seperti media massa, situs jejaring sosial dan iklan. Kata kunci: komunikasi politik, media I. PENDAHULUAN Jakarta menjadi fokus perhatian orang di seluruh dunia, mulai dari orang yang menggantungkan hidup mereka di ibukota Indonesia hingga perpolitikan dan perekonomian nasional pun berpusat di pusat pemerintahan itu. Apa yang terjadi di Jakarta, mulai dari keputusan pemerintah pusat hingga banjir serta kemacetan pun bukan hanya dirasakan oleh warga Jakarta, tetap diperhatikan oleh seluruh rakyat Indonesia, bahkan masyarakat dunia. Apalagi pemimpin ibukota Jakarta yakni Gubernur Fauzi Bowo juga menjadi perhatian utama. Kebijakan pemerintahan atas berbagai permasalahan pelik Jakarta menjadi perhatian serius rakyat bagi se-
serius bagi seluruh rakyat Jakarta dan orang Indonesia. Apalagi, komunikasi politik yang dilakukan Fuazi Bowo juga menjadi perhatian. Bagaimana dia mengomunikasikan kebijakan pemerintahannya kepada publik? Kesuskesan pemimpin pemerintahan saat ini, bukan hanya ditentukan kesuksesan dalam mengelola teritorialnya saja. Tetapi faktor komunikasi politik menjadi penunjang untuk menyampaikan kesuksesan dan keberhasilan pemerintahannya kepada masyarakat agar tidak kesenjangan informasi. Tak ada pemimpin yang tak membutuhkan komunikasi politiknya. 105
II. KAJIAN LITERATUR 2.1. Hakikat Politik Politik dikenal dalam Yunani kuno yang dianggap sebagai cara baru berpikir, berperasaan dan itu dikaitkan dengan para pengikut pemimpin. Dasar konsep politik adalah bahwa ada warga kaya, miskin dan cerdas, tetapi sebagai warga, mereka memiliki hak-hak yang sama. Kemudian, dikarenakan para penduduk itu rasional, hubungan mereka juga dipegaruh persuasi yang terjadi karena kesetaraan antara pembicara dan pendengar (Minogue, 1995). Dengan demikian, politik merupakan pola pikir dalam diri seseorang dalam memandang sesuatu dengan hubungannya dengan efek saling mempengaruhi di kalangan masyarakat. Politik juga memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak dasar untuk bisa menyerap aspirasi masyarakat dan menerima perbedaan yang ada. Minogue (1995) dalam bukunya berjudul “Polmenyatakan politik identik dengan kekuasaan yang sebenarnya berakar ideal seperti diungkapkan Plato. Hingga dalam teritorial modern berubah karena tujuan manusia dengan terakumulasinya pengetahuan menginginkan politik sebagai alat untuk memperbaiki kondisi manusia. Selanjut seiring berkembangnya teknologi pada abad ke 18, pun politik berpadu dengan teknologi untuk mencapai kemajuan masyarakat. Politik tidak bisa dilepaskan dari rasa kemanusiaan yang ditransformasikan oleh negara dengan pengaruhnya kepada agama, budaya, moralitas, dan masih banyak lainnya (Minogue, 1995). Ataukah, plitik akan mati, tetapi semua akan dipolitisasi (Minogue, 1995). Sementara, ada tiga permasalahkan dalam konsep politik yang diajukan oleh Andrew Heywood. (2004), yang pertama adalah konsep politik sangat gan ideologi yang mengembangkan teori-teori politik. Selanjutnya, konsep politik mengarah kepada hal normatif yang dikategorikan sebagai nilai yang mengandung prinsip moral atau idealisme yang harus dilaksanakan seperti keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan dan toleransi. Permasalahan kedua adalah konsep politik kerap menjadi subyek kontroversi intelektual dan ideologi. Dengan argumen politik di antara anggota masyarakat akan membawa orang mengklaim bahwa prinsip yang mereka pegang konsep yang menganggap bahwa konsep itu memang 106
benar dan obyek dalam kerangka demokrasi yang ‘benar’, kebebasan yang ‘benar’, dan lain sebagainya. Permasalahan terakhir adalah yang disebut dengan konsep ‘jimat’ atau pemujaan. Ini disebabkan karena konsep digunakan oleh manusia dan harus dipahami. Jadi, politik pun menjadi ideologi dan pemahaman bagi diri seseorang dan masyarakat bukan hanya menyangkut pemerintahan, tetapi juga mengenai hak asasi manusia. Politik menjadi dasar bagi manusia untuk melangkah dalam menghadapi masa depan, dengan mengutamakan kompromi dan toleransi. Politik tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Ranah praktek politik sering digambarkan sebagai latihan kekuatan. Lebih lanjut, inti dari kekuasaan adalah bentuk dominasi atau kontrol oleh kekuatan seseorang untuk mengabaikan orang, kemudian menjalankan permasalahan dalam kekuasaan kehidupan politik yang harus diterima dan sesuai dengan keinginan publik. Di sisi lain, kekuasaan tidak berkaitan untuk mengatasi permasalahan, tetapi pemikiran yang menekan bahwa semua orang memiliki hak yang sama (Heywood, 2004: 121). Hal yang berkaitan dengan kekuasaan adalah perumusan keputusan. Pembuatan keputusan itu sebagai bentuk mekanisme kekuasaan yang berdampak ‘menarik’ atau ‘menekan’ salah satu pihak. Kedua adalah pengelolaan agenda (agenda settuk mempengaruhi isi kebijakan. Ketiga pengontrolan pemikiran yang dilakukan dengan membuat keputusan dengan membagi asumsi dasar terhadap individu atau kelompok agar mereka mengatakan apa yang membuat kebijakan (Heywood, 2004: 129). Robert E. Goodin dan Hans-Dieter Klingemann (1998) dalam bukunya berjudul bisa dilepaskan dari penggunaan kekuasaan karena politik adalah bagaimana kita berpikir untuk menggunakan kekuatan untuk menekan, memurnikan dan menyederhanakan. Menurut Bhikhu Parekh (2003), kehidupan politik telah menyatu dalam budaya, ekonomi, kehidupan moral, dan hubungan antar masyarakat. Dengan demikian, jika kita ingin mengetahui politik secara lebih mendalam, kita harus memahami kondisi sosial, ekonomi dan konteks budaya dalam artian yang luas dan dikaitkan dengan aktivitas manusia. Robert Dahl (1998:38) memberikan persyaratan sebuah proses pengambilan keputusan dapat dikatakan demokratis, seperti dari partisipasi yang efektif, kesetaraan dalam pemilihan, adanya pencapaian pemahaman, adanya pengawasan terhadap agenda, dan melibatkan orang dewasa dalam
artikel Joshua Cohen (1996: bertajuk “Procedure and memberikan arahan dalam ‘prinsip partisipasi’ untuk mencapai legitimasi demokrasi, mulai dari pilihan kolektif demokrasi – diinstitusikan dalam hubungan antara jamin partisipasi hak yang sama, termasuk hak untuk memilih, berasosiasi, dan ekspresi politik. Kemudian, John Dryzek (2000) mengajukan teori demokrasi wacana dengan karakteristik: (1) pluralisme sebagai dasar kebutuhan untuk berkomunikadalam mempertanyaan orientasi untuk tradisi yang terbangun; (3) bersifat transnasional dalam kapasitasnya untuk mempeluas lingkaran negara tanpa adanya kerangka konstitusional; (4) bersifat ekologi di mana adanya keterbukaan dalam komunikasi dengan alam; (5) dinamis dengan keterbukaan dengan memberikan kesempatan bagi demokratisasi. 2.2. Komunikasi Politik Komunikasi dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Politik tak bisa berjalan sendiri tanpa komunikasi. Keduanya saling mendukung. Menurut Lucian Pye dalam Arrianie (2010) antara komunikasi dan politik memiliki hubungan yang erat dan istimewa karena berada dalam kawasan (domain) politik dengan menempatkan komunikasi pada posisi yang sangat fundamental. Galnoor misalnya mengatakan bahwa "tanpa komunikasi, tidak akan ada usaha bersama, sehingga tidak ada politik. Pernyataan lain dari Pye bahwa "tanpa suatu jaringan (komunikasi) yang mampu memperbesar (enlarging) dan melipatgandakan (magnifying) ucapan-ucapan dan pilihan-pilihan individual, tidak akan ada namanya politik. Menurut Rush dan Althoff (1997) dalam Muhtadi (2008:27-28), dalam komunikasi politik, transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem pilitik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi. Seperti dikatakan Rush dan Althoff (1997) dalam Muhtadi (2008), komunikasi politik memainkan peran penting di dalam suatu sistem politik. Sedangkan dalam konteks sosialisasi politik, Graber (1984) dalam Muhtadi (2008), memandang komunikasi politik ini sebagai proses pembelajaran, penerimaan dan persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan (customs) atau aturan-aturan (rules), struktur dan faktor-faktor ling-
kungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik. Dengan demikian, komunikasi politik mengutamakan proses dibandingkan hasil karena itu sebagai sebuah proses pemahaman dan pengertian berbagai elemen dengan melibatkan berbagai pihak untuk mengerucutkan sebuah keberhasilan politik. Walaupun komunikasi politik menjadi sebuah alat bagi politisi dan pejabat, itu menjadikan tidak bisa lepas dari berbagai permasalahan dan faktor-faktor yang melingkupi aktivitas para pegiatnya. Menurut Rochajat Harun dan Sumarno AP (2006:), sebagaimana unsur-unsur komunikasi pada umumnya, maka komunikasi politik pun terdiri dari beberapa unsur yaitu: komunikator publik, komunikan, isi pesan-pesan, media komunikasi, tujuan komunikasi, dan efek. a. Komunikator politik dalam komunikasi politik yang dimaksud dengan komunikator yaitu individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan, individu-individu yang berada dalam institusi, asosiasi, partai politik, lembagalembaga pengelola media massa, dan tokohtokoh masyarakat. Komunikator publik yang memberikan warna dominan terhadap proses komunikasi yaitu komunikator yang menduduki struktur kekuasaan karena merekalah yang mengelola, mengendalikan lalu lintas transformasi pesan komunikasi dari mereka yang menentukan kebijaksanaan komunikasi nasional. Karena itu sebagai komunikator publik dituntut berbagai persyaratan agar proses komunikasi mencapai sasaran yang diharapkan. b. Komunikan yakni bersifat perorangan baik individu, kelompok, dapat berupa institusi, organisasi, masyarakat, partai politik. Apabila komunikan dijadikan sebagai objek dengan berbagai ikatan norma yang ketat, sehingga komunikan tidak memiliki ruang gerak yang bebas, dapat dipastikan bahwa proses komunikasi berada dalam sistem totaliter. Sebaliknya apabila komunikan bukan hanya sebagai objek tapi dijadikan partner bagi komunikator, sehingga pertukaran pesan komunikasi dalam volume dan frekuensi tinggi, dapat dipastikan bahwa sistem-sistem politik yang melandasi proses komunikasi tersebut berada pada sistem demokrasi. Tolak ukur ini dapat pula digunakan untuk perkembangan pendapat khalayak (public opinion) atau umpan balik (feedback). c. Isi (pesan-pesan) komunikasi politik merupakan produk penguasa setelah melalui proses encoding atau setelah diformulasikan 107
ke dalam simbol-simbol sesuai lingkup kekuasaan. d. Media komunikasi politik menjadi pusat perhatian penguasa dalam melakukan kebijaksanaan dan sekaligus memperkuat kedudukan penguasa melalui pesan-pesan komunikasi yang diinterpretasikan ke dalam simbol-simbol kekuasaan. e. Tujuan komunikasi politik selalu berhimpit dengan tujuan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sumber-sumber komunikasi dikelola secara bijak melalui perencanaan yang matang dan terarah. Sifat dan bentuk tujuan yang hendak dicapai akan sangat bergantung kepada sistem politik yang mendasarinya. f. Sumber komunikasi politik menentukan kualitas atau kredibilitas komunikasi. Sumber dapat berasal dari individu karena ide-idenya yang sangat berharga atau bisa muncul dari elit politik dan dapat pula dari paham, ideologi, politik keyakinan, seperangkat norma, kitab suci dan dokumen-dokumen. Enam unsur itulah yang terpenting dalam komunikator politik. Laswell (dalam Harsono, 1995) juga membagi komunikator politik menjadi: propagandis, pendukung utama dan rakyat biasa tetapi dilihat dari pembagian yang lebih umum maka tipe komunikator politik itu akan meliputi tiga kategori: (1) politikus, (2) komunikator profesional, dan (3) aktivis. Menurut Elihu Katz (dalam Harsono, 1997) menyebutkan dua tipe politikus yaitu: (1) wakil rakyat atau partisan, cirinya mencari prestise, kemudahan-kemudahan yang diperjuangkan oleh kelompok, (2) ideologi atau policy formulator, yakni memperjuangkan nilai-nilai seseorang di dalam memperjuangkan suatu perubahan pembaharuan secara revolusioner. Kalau komunikator profesional menurut Carey (dalam Harsono: 1995) adalah (1) sebagai jurnalis, tugasnya memberikan saran-saran tentang kondisi politik tertentu, (2) sebagai promotor, bertindak sebagai sekretaris pers kepresidenan, konsultan politik pada masa pemilu presiden atau manajer kampanye politik; (3) sebagai aktivis, bertindak sebagai juru bicara dari salah satu interest group serta pemuka pendapat (Arrianie). Brian McNair (2009) membagi tiga elemen dalam komunikasi politik. Pertama adalah organnisikan sebagai individu dan organisasi yang mampu mempengaruhi proses membuat keputusan. Mereka melakukan komunikasi politik dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan politik. Jika pihak berkuasa ingin menjadikan kebijakan mereka diimplementasi oleh rakyat. Jika tujuan oposisi mereka untuk 108
mengganggu kepentingan kekuasaan. Kedua adalah rakyat, karena tujuan komunikasi adalah membujuk. Tanpa adanya rakyat sebagai pembaca, penonton dan pendengar, maka proses komunikasi politik tidak akan berjalan. Ketiga adalah media yang berfungsi sebagai trasmitter dalam komunikasi politik. Media mengolah informasi dari aktor politik kemudian dikonstruk oleh jurnalis menjadi sebuah wacana. Jadi, ketiga elemen mulai dari aktor politik, rakyat dan media merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Komunikasi politik antara aktor politik dengan rakyat difasilitas oleh media. Media di sini sangat beragam, mulai dari media massa seperti televisi, radio, dan koran. Tetapi juga jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter juga dapat dijadikan alat komunikasi politik. III. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang ditempuh adalah analisis isi. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dipilihnya metode ini untuk menjelaskan komunikasi politik pada sosok Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Obyek penelitian adalah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang dikomunikasikan melalui berita di media massa. Selain itu, peneliti juga mengupas pemanfaatan jejaring sosial Facebook dan Twitter yang digunakan Fauzi Bowo dalam komunikasi politiknya. Tidak ketinggalan, blog yang dikelola Fauzi Bowo juga menjadi salah satu kajian dalam penelitian ini. IV. PEMBAHASAN 4.1. Komunikasi Politik Fauzi Bowo dalam Media Massa Ladang komunikasi politik yang paling efektif adalah media massa. Karena pesan, organisasi dan pemimpin yang tidak ada dalam berita media, maka mereka tidak eksis dalam pikiran manusia. Siapa yang mampu menyampaikan pesan mereka kepada para warga dalam jumlah besar, mereka memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan sehingga memberikan kesempatan mereka untuk mendapatkan akses posisi kekuasaan atau mempertahankan kepentingan institusi. Seperti dikutip dari judul berita di VivaNews.com pada 7 Oktober 2010 dengan judul “Kepemimpinannya Dikritik, Fauzi Bowo Kecewa” mengupas bagaimana Gubernur DKI Jakarta itu menanggapi dengan sedikit emosional mengenai kritikan terhadap pemerintahannya setelah berjalan selama tiga tahun. Meski menggunakan sedikit unsur emosional, Fauzi Bowo sangat
pandai dalam memainkan media sebagai bentuk pembelaannya terhadap kebijakan pemerintah DKI Jakarta. Khusus mengenai macet, Fauzi Bowo justru menantang pemerintah pusat untuk ikut berperan. Foke, panggilan Fauzi Bowo justru mempertanyakan apakah pemerintah pusat dapat menggunakan kebipunya hak untuk bicara apa saja. Sekarang Anda tuang air terus menerus tak berhenti, lama-lama jadi luber kan, itu bukti kenapa jumlah kendaraan tak bisa dibatasi," ujar Foke di Balai Kota, Kamis 7 Oktober 2010. (VivaNews terbit pada 7 Oktober 2010). Apa yang diungkapkan Fauzi Bowo adalah benar. Jakarta tidak bisa menyelesaikan kemacetan sendirian. Sebagai pusat ibukota, pemerintah pusat diminta juga ikut bertanggungjawab juga. Apalagi, kemacetan tidak bakal terselesaikan jika penjualan mobil baru terus meningkat. Padahal, membantasi penjualan mobil baru adalah kewenangan pemerintah pusat. Ini jelas, permainan retorika yang dimainkan Fauzi Bowo sungguh manis dan menarik simpati bahwa tanggungjawab kemacetan bukan ditangannya semata. Fauzi Bowo juga membantah, penilaian beberapa pihak yang menyatakan dirinya beserta jajarannya tak serius menangani masalah banjir di Jakarta. Sekali lagi, Fauzi Bowo menegaskan, penanganan masalah banjir sudah berhasil. Buktinya pembangunan kanal banjir timur (KBT) sudah selesai. "Membebaskan tanah dalam waktu dua tahun dan menyelesaikan kontruksi BKT dianggap bukan hal yang mudah," kata dia. "Kalau ada yang bilang saya kurang fokus menangani banjir, rasanya kurang tepat. Kalau tidak fokus kerja, tidak akan selesai itu banjir kanal," ujar Foke lagi. Tidak hanya itu, Foke mengaku masih banyak hal lain selain banjir yang harus dipikirkan. "Bukan itu saja yang harus Saya kerjakan, yang lain juga harus dikerjakan," keluh Fauzi Bowo. (VivaNews terbit pada 7 Oktober 2010). Fauzi Bowo sangat memanfaatkan media sebagai alat untuk menyatakan kesuksesan kinerja pemerintahannya. Meski demikian, dia juga menggunakan media massa seperti menjadi ajang curahan hatinya bahwa tugas gubernur bukan hanya mengurusi banjir semata. Fauzi Bowo ingin menunjukkan bahwa dia adalah manusia biasa yang memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Seperti diungkapkan Manuel Castells, praktek politik media berdampak pada beberapa hal, (1) mengamankan akses kepada media untuk dimasuki aktor sosial dan politik dalam rangka menggaet kekuasaan serta membuat strategi; (2) elaborasi pesan dan produksi pencitraan menjadi kepentingan
terbaik dari masing-masing pemain untuk memformulasikan pesan yang efektif dalam kerangka strategi politik mereka, dengan dasar menjadikan informasi sebagai alat untuk membantu membuat keputusan politik; (3) penyampaikan pesan membutuhkan baiknya dengan efektivitas melalui jajak pendapat; dan (4) membutuhkan dana politik untuk membiayai berbagai aktivitas yang mahal, sehingga diperkekuatan politik dan ekonomi (Castells, 2009:194). McNair menyatakan bahwa komunikasi politik yakni komunikasi yang ditujukan untuk kepentingan politik yang terdiri dari (1) semua bentuk komunikasi yang dilakukan politisi dan aktor politik lainnya dengan tujuan untuk mencapai hasil yang tor bukan politisi seperti pemilih dan kolumnis koran; dan (3) komunikasi mengenai aktor dan aktivitas mereka yang terlihat pada berita, editorial dan bentuk diskusi politik pada media (McNair, 2009:4). Kemudian, media juga tidak hanya bicara mengenai kesuksesan Fauzi Bowo semata. Kegagalan Fauzi Bowo dari sudut pandang kritikus dan anggota parlemen juga diungkap. Sejumlah pihak menilai kinerja tiga tahun pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke) masih lambat dan terlalu banyak rencana tapi lemah dalam eksekusi kebijakan. Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta menilai pemerintahan Fauzi Bowo-Prijanto yang dimulai pada 2007 terlalu banyak perencanaan, tetapi eksekusi kebijakannya masih kendur. "Terlalu banyak rencana dan program tapi saat implementasinya masih kurang," ujar anggota Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat dari Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Johnny Simanjuntak kemarin. Pendapat itu, katanya, dilihat dari kacamata masyarakat awam yang terlanjur menilai kinerja seyang sudah dihasilkan. Belum adanya implementasi ini, lanjutnya, membuat rakyat menilai kinerja Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI Jakarta lambat."Rakyat ingin merasakan kemudahan yang sesungguhnya dalam pembangunan yang terkait dengan kesejahteraan dan manajemen lalu lintas, sementara rakyat selalu mengingat semboyan kampanye yang dielukan Fauzi yaitu serahkan pada ahlinya," ujarnya. (Harian Bisnis Indonesia terbit pada 8 Oktober 2010) Dalam berita berjudul “DPRD Fauzi Bowo lemah dalam eksekusi kebijakan” ter109
sebut tidak mengemukakan komenter balasan dari Fauzi Bowo. Berita itu hanya mengupas kelemahan kebijakan Fauzi Bowo. Hal itu sangat wajar karena janji-janji Fauzi Bowo tidak bisa direalisasikan dalam tiga tahun pemerintahannya. Berita tersebut sebenarnya merupakan tanggapan dari anggota DPRD atas komentar Fauzi Bowo yang pada hari sebelumnya menyatakan kesuksesan pemerintahannya (lihat berita VivaNews.com). McNair (2009: 21-22) memberikan lima fungsi media dalam masyarakat demokratis yang ideal; 1) fungsi monitoring: memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang berlangsung dalam masyarakat itu; 2) fungsi mendidik (educate): dari fakta-fakta yang terjadi. Jurnalis harus menjaga value yang mereka miliki sebagai ‘pendidik’ tergantung pada bagaimana mereka memilih isu/wacana yang dipublikasikannya; 3) memberikan platform terhadap diskursus politik publik, memfasilitasi/mengakomodir pembentukan opini publik dan mengembalikan opini itu kepada publik, termasuk di dalamnya memberikan tempat kepada berbagai pendapat yang saling berlawanan, tanpa mengurangi nilai-nilai demokrasi; 4) fungsi watch dog: mepublikasikan institusi politik dan institusi pemerintahan, menciptakan keterbukaan (transparansi) pada institusi-institusi publik tersebut, dan; 5) fungsi advokasi: menjadi saluran untuk advokasi politik. Selanjutnya, dalam komunikasi politik, media juga ikut memainkan peranan untuk menjernihtelah terbangun dengan baik. Seperti yang terungkap pada berita yang terbit di Harian Pos Kota pada 8 November 2010 berjudul “Tangani Kemacetan Jakarta , Fauzi Bowo – Prijanto `Berseberangan`”. Kerap berseberangannya arah kebijakan antara Gubernur DKI, Fauzi Bowo, dengan wakilnya Prijanto, membuat penanganan masalah Jakarta tidak optimal. Padahal untuk menanggulangi segala permasalahan yang ada dibutuhkan sebuah kesamaan persepsi antara kedua pemimpin tersebut. Salah satunya, diungkapkan Pakar Perkotaan, Yayat Supriatna, terkait penanganan kemacetan Jakarta. “Dalam beberapa kesempatan keduanya terlihat tidak sepaham dengan suatu wacana kebijakan yang akan dikeluarkan,” ujar Yayat.Diantaranya terkait penataan terhadap parkir dan penyesuaian jam masuk kantor. Untuk parkir misalnya, Gubernur DKI, Fauzi Bowo, mengatakan bahwa kenaikan tarif parkir merupakan salah satu alternatif mengurangai kemacetan. Namun pada waktu yang berlainan wagub menyatakan kenaikan tarif parkir hanya akan ‘menggendutkan’ oknum preman 110
jika tanpa pengawasan ketat. Hal yang sama juga terjadi pada pemberlakuan pengaturan jam masuk kantor. (Pos Kota terbit pada 8 November 2010) Kenapa media kerap mempermainkan opini? Ini tidak lepas media juga sebagai aktor dalam komunikasi politik yang ingin mempengaruhi opini masyarakat. Hal itu disebabkan karena media adalah wacana. Dikarenakan sebuah wacana, media juga membutuhkan literasi. Dengan literasi atau keterbacaan media, maka pembaca dapat mengetahui sesuatu di belakang media tersebut. Joseph Turow dalam bukunya memaparkan beberapa prinsip literasi media sebagai berikut: a. Prinsip 1: Materi Media Dikonstruksi. Seperti kita ketahui, ketika kita membaca berita, menonton televisi, dan berselancar di internet, kita seharusnya mengetahui apa yang kita lihat dan dengar bukan realitas murni. Itu merupakan sebuah kontruksi, kreasi manusia yang dihadirkan dalam naskah mengenai budaya. b. Prinsip 2: Materi Media Diciptakan dan Distribusikan dengan Tujuan Komersial. Kita juga harus mempertimbangkan berbagai pengaruh dan lingkungan di sekitar materi media itu diciptakan. Umumnya, lingkungan itu adalah komersial, karena ada iklan. c. Prinsip 3: Materi Media Diciptakan dan Distribusikan dengan Tujuan Politik. Politik mengacu cara masyarakat diperintah. Pemerintah dapat bermain pada media, dengan berbagai ke-pentingannya. Implikasi ideologi politik karena ideologi yang terkandung dalam produk media. d. Prinsip 4: Media Massa Menyampaikan Ide Mereka dalam Berita, Informasi, Pendidikan, Iklan, dan Hiburan. e. Prinsip 5: Orang adalah Resipien Pesan Media. f. Prinsip 6: Representasi Media Memainkan Peranan dalam Cara Pandang Masyarakat (Turrow, 2009: 30-31). Sedangkan, Hamad dalam bukunya berjudul “Konstruksi Realitas Komunikasi Politik Dalam Media Massa” menjelaskan pembentukan opini publik ini, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama menggunakan simbol-simbol politik (Language of Politics). Kedua melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function) (Hamad, 2004:4). Media menghadirkan citra suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut “Konstruksi realitas sosial”. Media ’mengangkat’ obyek tersebut sebagai realitas alamiah ( )
ke dalam bentuk realitas media (second reality). Citra adalah dunia menurut persepsi kita (Hamad, 2004:12). Menurut Hamad, dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Konstruksi realitas merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas (realitas media) yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru serta makna asosiatifnya: memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Oleh karena persoalan makna, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya: makna dan citra. Sebabnya ialah, karena bahasa mengandung makna. Penggunaan bahasa tertentu berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas seperti dalam penampang (Hamad, 2004:13). Secara esensial, proses konstruksi realitas oleh media dapat dirangkum dalam enam perfektif, dijelaskan sebagai berikut: a. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Realitas itu hadir karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Pembacalah yang memberikan defenisi dan menentukan fakta tersebut sebagai realitas. b. Media adalah agen konstruksi. Maka berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, dan bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media juga ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaannya. struksi atas realitas. Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada fakta yan dipahami dan dimaknai. d. Berita bersifat subjektif atas realitas.
Berita subjektif dari sisi lain wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan persfektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih ditonjolkan dari sumber lainnya, menempatkan wartawan sebagai seorang tokoh yang lebih besar dari tokoh lainnya. e. Wartawan bukanlah Pelapor. Ia Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakanya. Karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. f. Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan adalah bagian Intergral dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya (Eriyanto, 2000:17-18). Selanjutnya, Fauzi Bowo juga selalu memberikan penjelasan mengenai berbagai upaya yang dilakukannya untuk menyelesaikan permasalahan Jakarta. Dia mengkomunikasikan itu sebagai balasan atas kritikan kubu anggota parlemen dan kritikus. Seperti diberitakan pada Media Indonesia.com berjudul “Foke Tandatangani Kerja Sama dengan Rotterdam” yang terbit pada 3 Februari lalu mengungkapkan upaya pemerintah Jakarta mencari solusi atas permasalahan banjir. Pemprov DKI Jakarta kembali menandatangani memorandum of understanding (MoU) kerja sama program sister city periode 2011-2012 antara Jakarta dan Rotterdam, Belanda, yang akan berlangsung di Balai Kota DKI, Senin (7/2). “Pada 7 Februari kita akan melakukan penandatanganan MoU untuk melanjutkan kerja sama sister city antara Jakarta dan Rotterdam. Sebelumnya kita sudah melakukan kerja sama periode 2008-2010. Sekarang kita lanjutkan hingga 2012,” kata Gubernur DKI Fauzi Bowo, seusai menerima kunjungan kehormatan Dubes Belanda di Balai Kota DKI, baru-baru ini. Isi MoU tersebut akan dititikberatkan bagaimana cara dan sistem penanganan banjir di kota-kota besar negara Belanda, termasuk Rotterdam. “Kita akan mendapatkan masukan bagaimana negara Belanda bisa berhasil menangani banjir dengan baik,” ujar Foke, panggilan Fauzi Bowo di Jakarta, Kamis (3/2). Graeme Burton memaparkan bahwa kekuatan utama media terbentang dalam fakta-fakta yang dihadirkan mengenai apa yang kita tentang dunia dan dapat menjadi sumber ide dan opini sehingga mempengaruhi cara manusia berpikir dan bertindak (Burton, 2002:2). Dengan demikian, apa yang diungkapkan Fauzi Bowo di dalam media menjadikan masyarakat Jakarta pun berpikir bahwa dia telah 111
4.2. Komunikasi Politik Fauzi Bowo Melalui Facebook dan Twitter Gubernur DKI Jakarta juga memiliki akun fanpage di Facebook bernama Bang Fauzi Bowo yang dapat diakses pada http://www.facebook.com/ bangfauzibowo. Selain itu, dia juga memiliki akun Twitter yang dapat diakses pada http://twitter.com/#!/ bangfauzibowo. Jumlah teman Fauzi Bowo di Facebook mencapai 1.979 yang menyukainya (diakses pada 5 Februari 2011). Sedangkan jumlah pengikut Fauzi Bowo di Twitter mencapai 9.178 pengikut (diakses pada 5 Februari 2011). Situs jejaring sosial menjadi media bagi komunikasi politik. Fauzi Bowo merupakan sedikit dari gubernur di Indonesia yang memanfaatkan situs jejaring sosial untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Masih dari situs yang sama, Mark mengatakan, kegunaan Facebook adalah untuk menyebarkan informasi kepada siapa pun dan di mana pun. Dengan sekali klik saja. Inilah poin penting kehadiran situs jejaring sosial facebook. Bagi kelompok kepentingan, fungsi Facebook, tidak lain sebagai media propaganda dan kampanye. Perkembangan teknologi dan informasi yang cepat turut mempengaruhi perkembangan media itu sendiri. Perkembangan teknologi telah meningkatkan sains, kepantasan, dan kecakapan media tradisional serta melahirkan bentuk- bentuk media baru khususnya yang bersifat digital dan elektronik (Md Sidin Ahmad Ishak, 2006 :8). Harold Laswell dikutip oleh Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (1993 : 12) menjelaskan hubungan erat antara dunia politik dengan dunia komunikasi. Komunikasi dalam politik berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dengan khalayak dalam penyampaian berbagai kebijakan yang dikeluarkan, atau sebaliknya komunikasi digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya kepada pemerintah. Baik Twitter dan Facebook merupakan alat komunikasi politik yang sangat efektif. Bayangkan saja, Mengutip data dari checkfacebook. com per 2 Januari 2011, total anggota Facebook di dunia berjumlah 606.511.440. Kalau di Indonesia sendiri sebanyak 34.498.920 pengguna. Dengan jumlah itu, Indonesia menempati peringkat kedua dengan total pengguna Facebook terbanyak setelah Amerika Serikat. Twitter pun tak kalah banyaknya, di Indonesia jumlah penggunanya selalu menempati peringkat tiga besar Asia. Jadi, Fauzi Bowo sangat tepat memanfaatkan situs jejaring sosial tersebut untuk menyampaikan aktivitas kinerja pemerintahannya kepada warga Jakarta. 112
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan sangat tinggi dalam hal adaptasi terhadap teknologi mengikuti perkembangan zaman yang bergerak sangat cepat. 4.3. Komunikasi Fauzi Bowo Melalui Blog Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga memiliki blog yakni http://www.fauzibowo.com/. Blog tersebut selalu menampilkan aktivitas dan mengaitkan berita-berita mengenai Fauzi Bowo. Blog tersebut menampilkan informasi mengenai kinerjanya dan informasi umum mengenai Jakarta. Blog tersebut mengusung semboyan “selamat datang di situsnya abangnya Jakarta”. Dalam blog Fauzi Bowo tersebut kegiatan Fauzi Bowo baik terutama mengenai kunjungan kerja dan aktivitas kerja sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat Jakarta pun dapat mengetahui apa saja yang dilakukan Fauzi Bowo pada seharian tersebut. Iklim transparansi pun diterapkan oleh Fauzi Bowo. mengenai kritik dan saran mengenai pemerintahan bernur dengan rakyatnya semakin intensif tanpa harus karta pun harus berhati-hati karena masyarakat dapat saja melaporkan pelanggaran yang terjadi langsung bersifat standar seperti berita, tokoh, dan artikel. Dari segi tampilan, blog tersebut menunjukkan tingkat interaktif yang tinggi. Apalagi, dalam blog tersebut juga menampilkan ikon Facebook dan Twitter milik Fauzi Bowo. Kemudian, SMS Gubernur DKI Jakarta juga dipajang sebagai bentuk penampungan aspirasi warga. Livingstone (2002:212) dalam bukunya berjudul Young People and New Media mengutip pendapat Newhagen dan Rafaeli bentuk-bentuk multimedia di internet. Bentuk-bentuk itu adalah pertama, multimedia yang mengkombinasikan teks, dengan suara, gambar, animasi; kedua adalah hipertekstualitas yakni teks menjadi tidak linear karena bersifat terbuka dan plural serta diperbaharui; ketiga adalah anarkhi, teks bisa juga tidak terorganisir dan tidak terpaku dengan bentuk-bentuk tertentu; keempat adalah sinkronitas, karena komunikasi yang lebih cepat walau jarak jauh. Lalu bagaimana dengan fungsi media baru, yakni internet? Straubhaar dan LaRose mengungkapkan bahwa internet telah menarik
perhatian karena fungsinya dalam membangun dan memelihara komunitas vitual baru, dan budaya. Internet telah menjadi media dengan segala tujuan melalui virtual dengan menunjukkan fungsi sosial yang telah dibentuk: menyelesaikan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial, merawat orang sakit, dan memberikan pelayanan pemerintah. Menurut Mike Ward (2002:16-26) dalam buku “Journalism Online” menjelaskan kenapa jurnalisme online atau media baru itu berbeda dengan media model lama diungkapkan di bawah ini: a. Penelitian dan Reportase Online. Dalam membuat berita atau artikel, penulis dapat menggunakan berbagai sumber informasi, seperti berita sebelumnya, dokumen asli, data kasar, siaran pers, atau informasi dari narasumber. Dalam jurnalisme mampu mengakses jutaan dokumen, berita, dan narasumber. Mengenai kecepatan, jangan tanya lagi. Dalam hitungan detik, informasi yang ditulis dapat tersebar hingga ke berbagai pelosok dunia. b. Online sebagai media penerbitan. Menerbit media tradisional sangat meropotkan, tapi dalam media baru, hanya dengan satu klik saja, semua bisa jadi. Dengan kecepatan dan ketepatan, media online mampu menjalin hubungan dinamis dengan pembaca. Penyebaran informasi. Faktor-faktor adalah penyebaran dalam media online adalah kesigapan atau kesiapan 24 jam beroperasi. Jika ada informasi baru, maka bisa di-update sehingga selalu simultan dari menit ke menit, dan detik ke detik. Kedua adalah halaman berlimpah pada media online. Jumlah halaman media online sebenarnya banyak sekali, bahkan bisa jadi tak bisa dihitung jika media memang besar. Ketiga, media online adalah multimedia,
c. d.
e. f.
4.4. Pencitraan Fauzi Bowo melalui Billboard Sebagai orang nomer satu di Jakarta, foto-foto Fauzi Bowo tidak hanya bertebaran di seluruh pelosok Jakarta. Billboard iklan di jalanan protokol dan jalanan biasa kerap bergambar Fauzi Bowo dalam berbagai pose. Billboard itu memang dalam status kosong karena tidak ada pemasang iklan, karena itu dipasang foto Fauzi Bowo dalam skala besar beserta tulisan, “Bayar Pajak Tepat Waktu” dan kata-kata lainnya yang bersifat ajak membayar pajak. Jutaan orang Jakarta yang berlalu lalang pasti akan selalu melihat foto Fauzi Bowo di billboard tersebut sepanjang Jakarta. Ini merupakan bentuk pencitraan bagaimana Fauzi Bowo sangat membutuhkan eksistensi sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta. Nimmo (2000:6-7) menyebutkan bahwa, citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian subjektif akan memberi kepuasan baginya, yang paling tidak memiliki tiga kegunaan, yaitu: 1. Betapapun benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu. 2. Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. 3. Citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Sebagai bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan
yang bersih maupun bermasalah (notorious) samasama secara substansial bekerja keras membangun citra politik untuk mempengaruhi pemilih, karena citra telah menjadi faktor paling menentukan sukses tidaknya sebuah perjalanan kampanye. animasi, televisi, radio, dan lain sebagainya. KeDalam Pencitraan terdapat dua elemen dasar - yakni : 1) Positioning; Seperti apakah pelaku politik sibel. Media online bisa diakses melalui internet, ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik. termasuk juga melalui ponsel. Konsep ini bisa diartikan sebagai sebuah hubungan Media online mampu menjadi arsip yang paling yang dibuat oleh perusahaan antara produk yang dihandal. hasilkan dengan segmen khusus di pasar (Newman, Hubungan dengan pembaca. Media online mampu membangun komunikasi dua arah antara pen- “positioning” sebagai “menempatkan produk dalam gelola dan pembaca. Bahkan, media online bisa pikiran konsumen”. Meski begitu, positioning bubersifat komunal. kanlah sesuatu yang dilakukan terhadap produk itu Interaktif. Adanya interaksi dengan layanan me- sendiri, melainkan menempatkan produk itu dalam dia online, termasuk berinteraksi dengan jurna- pikiran calon konsumen. 2) Memori; Bagaimana lis untuk mendapatkan keterangan lebih detail. ‘kesan terhadap pelaku politik’ berada dalam pikiran Pertalian. Media online mampu memberikan link penerima pesan politik. Manusia pada hakekatnya atau pertalian dengan situs lainnya atau informa- adalah cognitive miser (pelit mengalokasikan sumsi lainnya yang memang dibutuhkan pembaca. ber daya kognitifnya) dan kerap menyeleksi infor 113
informasi yang ingin disimpan dalam memori; hanya hal-hal yang dinilai penting olehnya-lah yang disimpan, sedang lainnya dibuang. Apalagi dalam dunia yang dipenuhi oleh pesan-pesan komunikasi (overcommunicated society), manusia memiliki semacam mekanisme yang disebut “ yakni pikiran hanya menyerap pesan-pesan yang dianggapnya tidak terlalu rumit dan sederhana. Melalui billboard Fauzi Bowo itu juga bisa ditarik sebagai teori positioning dan memori. Teori positioning menempatkan Fauzi Bowo sebagai produk yang siap dijual ke pasaran yakni publik, masyarakat Jakarta. Sebagai sebuah produk, Fauzi Bowo pun diiklan dan dikenal ke publik. Dengan demikian, melalui gambar-gambar di Billboard, Fauzi Bowo dapat menjadi produk politik yang selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Kemudian mengenai memori, dengan gambar Fauzi Bowo yang terpampang setiap hari di jalanan Jakarta akan menjadi masyarakat selalu ingat pemimpin Jakarta dan itu akan selalu diingat di dalam memori manusia. Orang tidak akan lupa jika melihat sesuatu yang berulang dan terus menerus. Gambar di billboard juga merupakan bentuk persuasi kepada masyarakat karena sebagai pencitraan. Sementara, untuk bisa mencapai positioning dan memori, dibutuhkan persuasi atau usaha menyakinkan orang lain untuk berbuat dan bertindak seperti yang diharapkan komunikator tanpa paksaan (Widjaja, 2002:67). Sementara menurut Johnston (1994), persuasi adalah proses transaksional diantara dua orang atau lebih terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna simbol yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap dan atau prilaku secara sukarela. wa persuasi pada prinsipnya adalah setiap tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap, kepercayaan dan prilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan komunikator. Simons (1976; 19-21) -
memaksa. 3) Beliefs, pada hal ini yang dipengaruhi dalam komunikasi persuasif adalah kepercayaan, nilai dan Sikap. Onong Uchjana Effendy (2002:25) mengemukakan beberapa teknik komunikasi persuasif, yaitu: 1) Teknik asosiasi. Penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkan suatu objek atau peristiwa yang menarik perhatian khalayak. 2) Teknik integrasi. Kemampuan komunikator untuk menyatu dengan komunikan. Artinya dengan pendekatan verbal atau non verbal, komunikator menempatkan dirinya merasakan hal yang sama dengan komunikan. 3) Teknik ganjaran. Mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan iming-iming atau reward dari komunikator kepada komunikan. 4) Teknik tataran. Menyusun pesan dengan secermat mungkin agar menarik, enak didengar atau dibaca dan pada akhirnya akan menggiring khalayak bertindak seperti yang diinginkan komunikator. 5) Teknik Red-herring. Seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian mengalihkanya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan “senjata ampuh” dalam menyerang lawan. Teknik ini digunakan komunikator ketika dalam keadaan terdesak. Dalam proses persuasi untuk pencitraan politik, elemen kognitif dan afektif harus ditempatkan secara bersamaan, antara lain elemen perasaan (perasaan suka atau tidak suka terhadap sebuah konsep atau objek), elemen kepercayaan (gambaran pengetahuan tentang objek dan konsep tertentu) dan elemen perilaku (cara merespon konsep atau objek). Lebih jauh, citra dapat diasumsikan sebagai sebuah model dari proses membuat perumpamaan yang di dalam ilmu psikologi dijelaskan sebagai proses dimana penerima pesan membangun sendiri makna (dari hasil pengamatan subjektifnya) dari realitas yang dilihatnya atau simbol yang dikirimkan dari sang pengirim pesan (Grunig, l993 dalam Newman, l999:354).
Persuasi, yakni: 1) Human Communication. Setiap persuasi merupakan “komunikasi antar manusia” baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, lisan maupun tulisan, eksplisit maupun implisit, secara langsung atau melalui berbagai bentuk media. 2) . Komunikasi yang dilakukan dalam persuasi selalu mencoba untuk mempengaruhi orang lain. Karenanya, persuasi bisa disebut sebagai sebuah aksi manipulatif. Meski begitu, persuasi tetap memberikan pilihan pada komunikannya yang membuat dia berbeda dengan coercion yang bersifat
Berbagai medium untuk mengoptimalkan komunikasi politik bagi seorang pemimpin, seperti media massa, situs jejaring sosial dan iklan. Semua alat tersebut telah diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Ini menunjukkan Fauzi Bowo sangat proaktif dalam melakukan komunikasi politik dengan rakyatnya sehingga dapat meminimalisir kesalahpahaman dalam menyampaikan keberhasilan kerja dan meyerap aspirasi masyarakat.
114
V. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA Burton, Graeme, 2005, Media and Society; Critical Perspectives. New York, Open University Press. Foster, Steven, 2010, Political Communication. Edinburg, Edinburgh University Press. Goodin, Robert E, Hans, Dieter Klingemann, 1998. Political Science: The Discipline, A New Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin dan Hans-Dieter Klingemann. Oxford: Oxford University Press. Effendy, Onong Uchjana, 2002, Dinamika Komunikasi. Bandung, Rosdakarya. Hamad, Ibnu, 2004, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Distik. Jakarta: Granit. Harun, Rochajat dan Sumarno AP, 2006, Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung, Mandar Maju. Heywood, Andrew. 2004, duction. New York, Palgrave Macmillan. Krippendorff, Klaus, 2006, duction to Its Methodology, London: Sage. Lilleker Darren G, 2006, Keys Concept in Political Communication, London: Sage. Livingstone, Sonia, 2002, Young People and New Media, London, Sage Publications. McNair, Brian, 1999, Communication, New York, Routledge. Minogue, Kenneth, 1995, , Oxford University Press. Muthadi, Asep Saeful, 2008, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru. Bandung, Remaja Rosdakarya. Newman, Bruce, 1999, The Handbook of Political Marketing, London: Sage. Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek. Bandung: Rosdakarya. Strubhaar, Joseph dan Robert LaRose, 2006, Media Now; Understanding Media, Culture and Technology, Belmont: Thomson Wadsworth. Turow, Joseph, 2009, To Mass Communication. New York: Routledge. Ward, Mike, 2002, Journalism Online. Oxford, Focal Press.
Harian Pos Kota pada 8 November 2010 berjudul “Tangani Kemacetan Jakarta , Fauzi Bowo – Prijanto `Berseberangan`” Harian Bisnis Indonesia terbit pada 8 Oktober 2010 berjudul “DPRD Fauzi Bowo lemah dalam eksekusi kebijakan”. Internet : VivaNews.com pada 7 Oktober 2010 dengan judul “Kepemimpinannya Dikritik, Fauzi Bowo Kecewa. Diakses 5 Januari 2010.
Sumber lain Suratkabar: 115