MEMPERTAHANKAN PERS DENGAN ETIKA JURNALISME 1 Oleh: Bambang Suteng Sulasmono2
1. Pengantar : Pers/Media Cetak Diprediksi Mati Prediksi tentang akhir dari pers/media cetak bergema luas di Amerika Serikat pada akhir dekade pertama abad 21. Mengawali artikelnya tentang belum (jadi) matinya surat kabar di Amerika Serikat, Marc Edge (2012) menyatakan: “Predictions that newspapers as a medium would soon go extinct grew in frequency in 2009 after several newspaper companies declared bankruptcy and a number of U.S. dailies closed. Such predictions had been made before, dating to the advent of radio in the 1920s, and they increased in frequency and certainty after the Internet emerged in the 1990s. Circulation declines that began in the mid-1990s at many dailies and began to accelerate in 2005 gave increased credibility to such predictions. More ominously for newspapers, their print advertising revenues also started to decline precipitously that year. From 2006 to 2011, U.S. print advertising revenues fell by 55 percent. The growth of online advertising revenue, which had been rapid, slowed with the recession and came nowhere near to making up the difference”.3
Kutipan di atas menunjukkan bahwa prediksi tentang akan matinya pers/surat kabar sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1920an ketika radio muncul sebagai wahana komunikasi massa, dan semakin meningkat (kekhawatiran itu) dengan munculnya internet di tahun 1990an. Penurunan sirkulasi yang dialami oleh beberapa surat kabar Makalah disajikan pada Seminar Nasional Program Studi Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana bekerjasama dengan Monumen Pers Nasional, dengan tema: Eksistensi Pers Sampai Kapan? Kamis 12 Maret 2015. 2 Dosen Program S2Magister Manajemen Pendidikan dan S1 PPKn-FKIP UKSW 3 Untuk meyakinkan pembaca Edge mengacu berbagai pandangan yang dibuat oleh berbagai pihak seperti: Eric Alterman, “Out of Print: The death and life of the American Newspaper,” The New Yorker 84(7), March 31, 2008, 48-59; James Fallows. “How to Save the News,” Atlantic Monthly 305(5), June 2010, 44-56; Bob Garfield, The Chaos Scenario, Nashville: Stielstra, 2009; Walter Isaacson, “How to Save Your Newspaper,” Time, February 5, 2009, 30-33; Howard Kurtz, “Underweight of Its Mistakes, Newspaper Industry Staggers,” Washington Post, March 1, 2009; Bree Nordenson, “The Uncle Sam Solution: Can the govenrment help the press? Should it?” Columbia Journalism Review 46(3), September/October 2007, 37-41; Barb Palser, “Stopping the Presses,” American Journalism Review 34(3), June/July 2009 44; Rem Rieder, „Fears for the Future,” American Journalism Review 31(3), June/July 2009 4; Richard Rodriguez, “Twilight of the American newspaper,” Harper’s 319, November 2009, 30; Gabriel Sherman, “Post Apocalypse,” The New Republic 241(1), February 4, 2010, 16-21; Rachel Smolkin, “Cities Without Newspapers,” American Journalism Review 31(3), April/May 2009 16-25; Paul Starr, “Goodbye to the Age of Newspapers (Hello to a New Era of Corruption,” The New Republic 240(3), February 3, 2009, 2835. 1
harian mulai pertengahan tahun 1990an dan mengalami percepatan yang di tahun 2005 semakin meningkatkan kredibilitas dari prediksi semacam itu. Lebih buruk lagi keuntungan media cetak dari iklan juga mulai menurun tajam pada tahun-tahun itu. Dari tahun 2006 s/d 2011 keuntungan iklan cetak di AS turun sebesar 55%. Di Indonesia, wacana dan praktik “matinya media cetak” juga terjadi. Kompas 22 Juni 2006, misalnya memuat perbedaan pendapat -tentang apakah media cetak akan mati 20 tahun lagi- antara Asto Subroto (Direktur Eksekutif MARS) yang mengatakan bahwa “koran sebagai media cetak akan mati”, dengan Suryopratomo (waktu itu masih Pimred Kompas) yang menyatakan bahwa “media cetak format kertas saya kira masih akan tetap bertahan”. Kegalauan tentang masa depan media cetak terus berlanjut. Global Future Institute misalnya, pada tanggal 28 Agustus 2014 mengadakan seminar yang diberi tajuk “Prospek Media Massa RI 2015: Peluang dan Hambatan”, yang menurut catatan Adji Subela (2014) dimaksudkan untuk meraba dan memetakan apa dan bagaimana pers kita tahun depan, apalagi di masa mendatang. Sementara itu ketika mengulas berhenti terbitnya sebuah majalah Ibukota Dian Lestari Ningsih (2014) juga mengajukan pertanyaan senada: “bagaimana kelangsungan hidup majalah di masa depan? Mati atau akankah masih tetap hidup?” Wacana tentang matinya media cetak mendapat pembenaran jika kita menyimak data yang diajukan oleh Tabrani Yunis (2014), sebagai berikut: “Banyak media cetak yang tumbuh, bermunculan, terutama setelah bencana tsunami 26 Desember 2004i, misalnya Serambi Indonesia yang terbit pada tahun 1989 itu memunculkan Pro haba, Harian Rakyat Aceh- Metro Aceh, Aceh Independent, harian Aceh, Pikiran Merdeka, Media NAD, Mingguan Raja Post, Atjeh Times dan lain-lain. Saat ini hanya Serambi Indonesia dan Pro Haba yang bisa bernafas lega dan menjadi pilihan mayasarakat Aceh. Selainnya hanya terbit beberapa saat, lalu mati. Nasib serupa juga dialami oleh beberapa tabloid yang terbit di Aceh, misalnya seperti Aceh Kita, Suwa, Kontras, Beujroh, Modus dan lain-lain, namun yang geliatnya masih terasa dengan menggigit, hanyalah tabloid Modus. Sementara yang lain mengalami nasib yang mengenaskan, harus mati sebelum berkembang. Selain nasib surat kabar dan tabloid yang kembang kempis dan tak menentu, nasib serupa juga dialami oleh majalah-majalah yang terbit di Aceh. Ada banyak majalah yang mewarnai Aceh, misalnya Aceh Magazine, Aceh Kini, Aceh Poin dan lain-lain. Namun semua majalah itu mati dan tidak pernah muncul lagi hingga kini. Kini hanya ada dua majalah yang terbit di Aceh yang beredar nasional yakni majalah POTRET yang terbit sejak tahun 2003 dan majalah Anak Cerdas, The Children Magazine yang baru terbit sejak tahun 2013”.
Sedang untuk wilayah Jateng dan DIY, Supadiyanto (2014) menyajikan data yang kurang lebih sama ketika mengisahkan kasus “gulung tikarnya” Harian Pagi Jogja Raya (milik Jawa Pos Group) pada tahun 2011, pergantian nama KR Bisnis menjadi Koran Merapi dan kemudian menjadi Koran Merapi Pembaruan tahun 2012, serta bermetamorfosisnya “koran kuning” Meteor menjadi Jateng Pos dan dan Jogyakarta Pos serta Warta Jateng milik Kompas Group menjadi Tribun Jateng pada tahun 2013. Data itu menurut Supadiyanto (2014) menunjukkan betapa bisnis media cetak di kawasan DIY dan Jateng cukup riskan mengalami fluktuasi tinggi. Apakah data data di atas, bersama fakta tentang bangkrutnya The New York Times, Newsweek, The Rocky Mountain News, The Seattle Post Intelegencer dan Lee Enterprises di AS, dan Finacial Times Deutschland (FTD) dan Berliner Zeitung di Jerman, serta penurunan oplah sebesar 1 – 2 juta eksemplar selama beberapa tahun terakhir yang dialami oleh Yomiuri Shimbun dan Asahi Newspaper di Jepang (Supadiyanto 2014) membenarkan prediksi tentang matinya pers/media cetak sebagaimana tersebut di atas? Ternyata tidak demikian. 2. Pers/Media Cetak Tidak Jadi Mati Melalui tulisannya yang berjudul “Not dead yet: Newspaper company annual reports show chains still profitable”, Marc Edge (2012) membuktikan bahwa sejak tahun 2009, tidak ada satupun surat kabar harian utama di AS yang gulung tikar. Yang terjadi adalah beberapa perusahaan itu mengkosolodasikan kinerja mereka, beberapa mengurangi frekuensi terbitnya, yang semuanya berdampak pada pengurangan biaya. Beberapa perusahaan surat kabar mungkin menderita kerugian keuangan jangka pendek, tetapi semua perusahaan yang diteliti sesungguhnya terus memperoleh laba tahunan walaupun laba itu mengalami penurunan. Penelitian yang bertujuan untuk menguji kesehatan ekonomi perusahaan surat kabar di AS dan Kanada berdasarkan laporanlaporan keuangan perusahaan itu menyimpulkan bahwa bisnis surat kabar di AS dan Kanada sehat dan kuat secara ekonomi, dan mampu bertahan sampai beberapa tahun mendatang. Bagaimana media cetak bisa terhindar dari mantra “the death of newspapers” yang berkembang selama ini?. Hasil penelitian di atas menyiratkan bahwa memang ada upaya serius dari pihak pengelola sendiri untuk mempertahankan eksistensinya.
Di samping itu ada pula upaya-upaya untuk memadukan/menyilangkan media cetak dengan media digital. Dunia persuratkabaran di AS, misalnya mencatat langkah Jeff Bezos (founder Amazon) dalam membeli The Washington Post pada tanggal 5 Agustus 2013. Mengomentari tindakan itu Gopal Ratnam (2014), kontributor Foreign Policy menyatakan “Adalah jelas bahwa model usaha koran tradisional, yang sangat mengandalkan pada iklan, tidak lagi mampu menghasilkan pendapatan yang besar. Para usahawan tidak suka menggunakan iklan cetak karena pembaca media cetak telah menurun dengan cepat. Oleh karena itu fokus ke media digital tampaknya merupakan satu-satunya pilihan”. Gopal yakin bahwa pembelian di atas merupakan bagian dari kecenderungan besar (pemaduan/penyilangan media cetak dan media digital) yang dipercaya dapat menyelamatkan industri surat kabar itu sendiri. Jessica Tyner (2013) berdasarkan amatannya terhadap perilaku bisnis Warren Buffet, yang dari tahun 2012 s/d 2013 membeli 28 surat kabar harian di AS, menyebut ada 5 (lima) alasan mengapa suratkabar masih akan bertahan, yaitu (1) masih cukup tersedia ruang bagi suratkabar bagi komunitas lokal, (2) surat kabar dapat merangkul lebih banyak platform, (3) tersedia data demografis online yang dapat dimanfaatkan suratkabar, (4) penerapan strategi paywall, dan (5) semakin jarang media cetak semakian ia akan lebih dihargai. Surat kabar lokal masih belum terkalahkan dalam kemampuannya dalam mengungkap spirit masyarakat lokal. Informasi tentang apa yang terjadi di sekitar masyarakat lokal masih lebih mudah didapatkan melalui suratkabar lokal katimbang melalui internet. Di samping itu industri surat kabar kini juga dapat mengemas isi pemberitaannnya ke dalam berbagai platform, media digital misalnya. Industri suratkabar kini tidak lagi berpikir sebagai industri cetak semata, namun lebih sebagai bagian dari keseluruhan industri media. Suratkabar juga dapat memanfaatkan apa yang berkembang di dunia online, utamanya perihal apa yang dianggap penting oleh pembaca, yang memungkinnya membuat isi pemberitaan yang sesuai kebutuhan pembaca. Sedang penerapan sistem paywall oleh industri media cetak juga semakin dapat diterima masyarakat. Dalam catatan Mary Hilers (2013) Warrent Buffet sendiri berpendapat bahwa ada tiga hal yang diperlukan agar suratkabar bertahan hidup yaitu (1) kehadiran tim redaksi yang handal, (2) isi pemberitaan yang bernilai, dan (3) tetap menjaga sirkulasi. Agar bisa bertahan suratkabar memerlukan tim yang berpengalaman, dan berdedikasi yang peduli terhadap kualitas dan integritas terhadal surat kabar dan jurnalisme yang baik. Setiap
komunitas memiliki berita dan nilai-nilai. Adalah menjadi tanggungjawab suratkabar untuk menggali secara dalam suatu komunitas, mempelajari hal hal apa yang penting bagi komunitas ybs, dan menghasilkan pemberitaan yang memberi informasi dan sekaligus melibatkan pembaca dalam kounitas ybs. Pengurangan sirkulasi mungkin memang dapat memperbaiki keuntungan sementara, namun hal itu akan berakibat semaskin menurunnya relevan suratkabar bagi para pembacanya. Dalam konteks persuratkabaran di Indonesia,Supadiyanto (2014) mengemukakan bahwa ada lima peluang emas yang dimiliki media cetak di tengah sengitnya kompetisi bisnis media massa, terutama agresivitas media online, yaitu: Pertama, media cetak tetap memiliki peluang dalam merebut perhatian pembaca tradisional (loyal) di mana usia mereka saat ini berada pada kisaran lebih dari 40 tahun ke atas. Model pembaca tradisional menjadikan surat kabar sejak usia kecil hingga sekarang atau dalam sepanjang hidupnya menjadi rujukan informasi utama. Sangat sulit bagi mereka untuk mengubah/menggeser gaya hidup dalam menjadikan media cetak sebagai sumber rujukan utamanya. Kedua, dari sisi konten media cetak tidak bisa tergantikan oleh jenis media massa lainnya. Dari sisi kedalaman, kelengkapan dan keragaman dimensi berbagai persoalan yang disajikan sebagai total news atau lebih tepatnya news in its totality. Setiap total news siap untuk dibedah dalam arti dibuat terbuka untuk diperikan (description), dijelaskan (explanation) dan bersama itu penyelesaian soal ditawarkan (solution). Ketiga, teknologi surat kabar sangat "welcome" untuk dipersilangkan dengan teknologi Internet sehingga menghasilkan tablet newspaper atau paperless newspaper; di mana surat kabar tidak lagi berwujud kertas, melainkan berujud media digital. Secara substansial, konten yang ada di surat kabar berbasis kertas sama persis yang terkandung dalam tablet newspaper maupun paperless newspaper atau electronic paper (e-paper). Masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri memiliki dua pilihan dalam mengakses surat kabar bersangkutan, yakni dalam bentuk kertas atau dalam versi lain yang berbentuk digital. Keempat, adanya peluang pasar di Indonesia yang belum tersentuh oleh media cetak masih sangat besar. Dengan membandingkan tingkat penetrasi Internet di Indonesia pada Agustus 2013 yang masih berkisar antara 40 juta - 85 juta pengguna (penetrasi Internet di Indonesia sebesar 16,7 - 35,4 persen); sedangkan jumlah oplah/tiras seluruh media cetak di Indonesia mencapai 21 juta eksemplar (artinya tingkat penetrasi media cetak di Indonesia baru mencapai 8,75 persen); sedangkan komposisi penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa; masih terbuka peluang bisnis untuk
mengembangkan industri media cetak di Indonesia. Kelima, sektor industri media cetak dapat menggerakkan sektor perekonomian yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan industri media online. Agak berbeda dengan semua strategi bertahan hidup di atas, dua koran lokal di Zimbabwe (The Mirror dan The Masvingo Star) menerapkan strategi bertahan hidup dengan cara berpihak pada salah satu dari dua partai yang bersaing di propinsi Masvingo. The Mirror memihak pada partai oposisi Movement for Democratic Change (MDC) sedang The Masvingo Star memilih berpihak pada partai berkuasa The Zimbabwe African National Union Patriotic Front (ZANU PF). Pemberitaan ke dua koran tentang perbedaan pandang di antara partai pemerintah dan partai oposisi tentang berbagai persoalan publik mampu menarik konsumen untuk membeli koran, sehingga kedua koran itu mampu bertahan hidup di tengah krisis ekonomi yang melanda Zimbabwe kala itu (Chiyadzwa & Maunganidze, 2013). Oleh karena itu Chiyadzwa & Maunganidze berkesimpulan bahwa keragaman politik itu sehat bagi demokrasi, karena
hal itu
memungkinkan hadirnya pandangan-pandangan redaksional (editorial) yang beragam pula, yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi kebaikan bersama. Jadi memang media cetak belum jadi mati saat ini, bukan saja karena prediksi tentang kematian media cetak itu memang beragam soal kapan waktunya hal itu akan terjadi (mulai dari yang menyatakan tahun 2020 sampai ke tahun 2043) namun juga karena ada beragam upaya dari para pengelola media cetak untuk mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu menjadi penting kini adalah bagaimana cara untuk tetap memelihara kehidupan media cetak itu sendiri. 3. Etika Jurnalisme sebagai Jantung Kehidupan Pers. Gambaran upaya pers dalam mempertahankan hidupnya di atas mengingatkan kita pada strategi bersaing dari Potter (2007) yang mencakup keunggulan biaya, fokus dan diferensiasi. Para pengelola pers umumnya tidak menggunakan strategi keunggulan biaya, tetapi jelas mereka menempuh strategi fokus dan diferensiasi. Apa yang dianjurkan oleh Warren Buffet agar pers melayani komunitas-komunitas lokal dengan segala nilai dan dinamikanya sejalan dengan inti strategi bersaing fokus dari Potter Strategi fokus digunakan untuk membangun keunggulan bersaing dalam suatu lembaga yang mampu melayani target strateginya yang sempit secara lebih efektif dan efisien dibandingkan pesaing yang bersaing lebih luas. Strategi ini menjadi paling efektif ketika
konsumen memiliki persyaratan yang unik dan ketika lembaga pesaing lainnya tidak berusaha untuk berspesialisasi dalam target segmen yang sama (David 2008). Sebagai akibatnya, suatu lembaga akan mencapai diferensiasi karena mampu memenuhi kebutuhan target tertentu (Porter 2007). Strategi bersaing lain yang dapat ditempuh pers/media cetak adalah strategi diferensiasi dengan cara berupaya keras mempertahankan
karakteristiknya sebagai
media yang masih diyakini mampu memegang teguh nilai-nilai/etika jurnalisme. Diferensiasi adalah salah satu strategi organisasi yang memberikan perbedaan yang lebih unik dari pada pesaing, sehingga dengan perbedaan itu konsumen memiliki nilai yang lebih tinggi dari produk tersebut. Bahwa pers masih lebih mampu menaati etika jurnalisme ketimbang media online dapat kita lihat dari pendapat Margianto dan Syaefullah (tth) tentang adanya 3 (tiga) problema etis dalam jurnalisme online saat ini. Persoalan etis pertama muncul dari Interaktivitas komunitas dalam media online. Ketika media online membuka ruang terjadinya percakapan itu pada halaman-halaman komentar yang disediakan pada setiap berita, maka kita sering melihat komentar-komentar pembaca terasa binal, kasar, sarkas, dan jauh dari sopan santun. Hampir semua media online di Indonesia memiliki forum, dan dii dalam forum, kita juga kerap menjumpai percakapan- percakapan sejenis. Malah tak sedikit kita menjumpai posting-posting bernuansa seronok di sana. Hal itu tentu bertentangan dengan pasal 6 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berbunyi “Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”. Persoalan etik kedua adalah terkait dengan langgam baru jurnalistik cepat dan ringkas. Soal “cepat”ini bahkan terasa menjadi ideologi baru yang terkesan mengalahkan “nilai-nilai” yang lain. Adu cepat ini lantas membawa sebuah implikasi serius mengenai akurasi. Atas nama kecepatan, seringkali berita-berita tayang tanpa akurasi, mulai dari hal yang sederhana yaitu ejaan nama narasumber hingga yang paling serius yaitu substansi berita. Atas nama kecepatan, media seolah tak mempedulikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar sebagaimana tercantum dalam KEWI butir 1, “Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi.” Atas nama kecepatan pula, pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) seperti diabaikan. Pasal 3 menyatakan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Akurasi berita dapat dicapai apabila pers melakukan verifikasi terhadap informasi yang diperolehnya sebagaimana dituntut oleh pasal 3 KEJ yang antara lain menyatakan “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi...dst”. Dalam hubungan ini kita dapat memahami betapa marahnya seorang pengguna jasa media online terhadap pemberitaan Tribunnews.com tentang “mole people” beberapa hari lalu. Melalui tulisan yang berjudul “Sekampret Inikah Media Kita” (http://batukalimantan.com/uncategorized/)
penulis
mengisahkan
bagaimana
ia
menelusuri kebenaran isi berita itu, yang pada akhirnya pada akhirnya membawa ia pada kesimpulan bahwa pemberitaan Tribun sama sekali tidak akurat karena apa yang diberitakan sesungguhnya merupakan terjemahan artikel tentang sebuah film sciencefiction yang dibuat tahun 1956!. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa demi rating, demi target jumlah “klik” yang ditetapkan redaktur, maka penulis berita di atas memuat informasi yang tidak akurat dengan mengabaikan nilai-nilai dasar jurnalisme. Selain berkaitan dengan soal akurasi, dan ini merupakan problem etis yang ketiga, prinsip cepat dan mengalir juga menyinggung prinsip jurnalistik yaitu soal keberimbangan berita atau cover both side. Soal ke- berimbangan berita ini tercantum dalam butir 3 KEWI: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.” Pasal 3 KEJ juga menegaskan hal yang sama: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Dijelaskan dalam KEJ, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Sementara, berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Lazimnya, media cetak menayangkan berita yang di dalamnya termuat kaidah keberimbangan itu. Maka adalah menjadi tanggungjawab insan pers untuk selalu memegang teguh kode etik profesi mereka baik yang tertuang dalam KEJ maupun KEWI (terlampir). Jurnalis perlu untuk menghayati sembilan elemen jurnalisme yang patut diketahui dan dijalankan jurnalis dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (dalam
Winarto,
tth),
yaitu
1)
Kewajiban
pertama
jurnalisme
adalah
menyampaikan kebenaran, 2) Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga,
3) Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi, 4) Para praktisin ya harus menjaga independensi terhadap sumber berita, 5) Jurnalisme harus bertindak sebagai pemantau kekuasaan, 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik ataupun dukungan warga, 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting menarik dan relevan, 8) Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Dalam pandangan Raffelberg (dalam Atmakusumah, 2013) secara moral wartawan merupakan pihak-pihak otonom yang putusan-putusannya didasarkan pada pertimbangan rasional, bernas dengan informasi, tidak memihak, dan bukan karena paksaan. Putusannya objektif dan bebas dari pengaruh yang tidak patut. Wartawan tidak boleh terlalu bergantung pada satu narasumber informasi yang tunggal (seperti: kalangan lobby dan kelompok kepentingan khusus) dan jangan berutang budi kepada narasumber. Pisahkan hubungan pribadi dari hubungan profesional. Dengarkan dengan cermat semua pihak dan cerminkan ketera ngan mereka dalam tulisan. Jauhkan diri Anda dari kepentingan bisnis atau kepentingan ekonomi perusahaan pemilik media massa Anda sendiri. Tentu memegang teguh nilai-nilai jurnalisme dalam melaksanakan profesi sebagai jurnalis tidaklah mudah. Istilah-istilah semacam “jurnalisme kepiting”, “jurnalisme tiarap” yang pernah berkembang di era Orde Baru, atau “ budaya amplop” yang terus mengungkung independensi jurnalis sampai saat ini mengisyaratkan bahwa memang menegakkan etika jurnalisme itu tidaklah mudah. 4. Penutup Dari paparan singkat di atas dapat dirangkum beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, Pers/media cetak memang diramalkan akan mati baik dalam waktu dekat atau dalam jangka yang masih agak lama. Untuk saat ini ramalan itu belum terbukti kebanarannya. Kedua, dalam kenyataan para pengelola pers berupaya memperpanjang hidupnya dengan berbagai strategi atau kiat seperti: mengkonsolidasikan kinerja organisasi, mengurangi frekuensi terbit, memfokuskan diri pada komunitas-komunitas lokal, menyilangkan media cetak dengan media digital disertai teknik paywall, memanfaatkan data dari media online untuk perbaikan layanan media cetak, atau bahkan
mendekatkan diri pada partai politik tertentu dalam sistem politik yang terpolarisasi. Ketiga, etika jurnalisme menjadi andalan utama pers agar tetap bertahan hidup dan mampu bersaing dengan media lain yang dalam banyak hal tidak mampu melayani kebutuhan masyarakat akan informasi yang benar, akurat dan berimbang, yang lahir dari tim redaksi yang handal dan berintegritas tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anonim.
2015. “Sekampret Inikah Media http://batukalimantan.com/uncategorized/ diunduh 9 Maret 2015
Kita”
Atmakusumah. 2013. Kembali ke Standar Jurnalisme Profesional dan Etika Pers; Jurnal Dewan Pers: Edisi No. 7 November 2013, hal 37 – 43. Chiyadzwa, I.F & Maunganidze, G. 2013. Survival strategies of community newspapers during the economic crisis in Zimbabwe: A case study of The Mirror and Masvingo Star (1999 to 2010); International Journal of Humanities and Social Science Invention, Volume 2 Issue 5 May, 2013: pp 95 – 100. David, Fred R. 2008. Manajemen Strategis: Konsep, Edisi 10. Jakarta: Salemba. Edge, Marc. 2012. Not dead yet: Newspaper company annual reports show chains still profitable; a Paper For Presentation to The Association for Education in Journalism and Mass Coomunication Annual Convention; Chigago: August 9-12, 2012 Jessica
Tyner.2013. 5 Reason Print Newspapers Will http://blog.realmatch.com/news-publishers/ diunduh 8 April 2015
Survive;
Margianto, Heru.J. dan Syaefullah, Asep. tth. Media Online: Antara Pembaca, Laba dan Etika. Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia: Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Mary
Hilers. 2013. What Buffet Thinks of the Future of Newspapers; http://blog.realmatch.com/news-publishers/ diunduh 8 April 2015
Porter, Michael. S. 2007. Strategi Bersaing (Competitive Strategy); Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Tanggerang: Karisma Publishing Group. Supadiyanto, G. 2013. Implikasi Teknologi Digital Dan Internet (Paperless Newspaper) Pada Industri Media Cetak Di Indonesia; Prosiding Seminar Nasional 2013: Menuju Masyarakat Madani dan Lestari. Tabrani
Yunis. 2014. Mematikan Media Cetak Aceh; http://m.kompasiana.com/post/read/702862/1/mematikan -media-cetakaceh.html
Winarto, tth. Liputan Pemilu dalam Era Baru Media. Mempertimbangkan Audiens; Jurnal Dewan Pers: Edisi No. 7 November 2013, hal 47 – 56.
LAMPIRAN
Kode Etik Jurnalistik Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran: 1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. 2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. 3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. 4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran: Cara-cara yang profesional adalah: 1. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; 2. menghormati hak privasi; 3. tidak menyuap; 4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; 5. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; 6. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; 7. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; 8. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran: 1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. 2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing- masing pihak secara proporsional. 3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. 4. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran: 1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. 2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. 3. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. 4. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. 5. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran 1. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. 2. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran 1. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. 2. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran:
1. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. 2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. 3. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. 4. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran: 1. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. 2. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran: 1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. 2. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran: 1. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. 2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran: 1. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 2. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. 3. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan
pers. Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia: 1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan 1. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo 2. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis 3. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu 4. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe 5. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi 6. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’ a Hia 7. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S 8. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril 9. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho 10. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan 11. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk 12. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto 13. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus 14. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam 15. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin 16. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian 17. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar 18. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro 19. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi 20. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan 21. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli 22. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S. 23. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian24. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli 25. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem 26. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun 27. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra 28. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat