Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Memperbaiki iklim Usaha di Jawa Timur Pandangan pelaku usaha
ca
BANK DUNIA |THE WORLD BANK r-k
«"The Asia Foundation
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur Pandangan Pelaku Usaha
BANK DUNIA | THE WORLD BANK
The Asia Faundation a
CeebatingFifiyYurs
e
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR ISI
KATA PENDAHULUAN UCAPAN TERIMAKASIH DAFTAR SINGKATAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
15 16 17
RINGKASAN EKSEKUTIF
Ill
I. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
115
I. METODOLOGI
119
19 110
Desk Study
121
Survey
J21
Kelompok Diskusi Terfokus
J22
Studi Kasus
124
III. PROFIL EKONOMIJAWATIMUR
125
Pertumbuhan dan Lapangan Kerja Perincian Geografis Perincian Sekroral Ekspor Jawa Timur
126 | 29
131
I 35
IV. KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
137
I39
Kinerja Investasi di Jawa Timur Perizinan Infrastruktur Fisik Pajak dan Restribusi Keamanan Perburuhan
142 I 45 I 47
150 152
V. RANTAI NILAI KOMODITAS
155
Kayu Jati
56
Tembakau
165
Tebu dan Gula
[72
Kopi
[77 184 192
Garam Udang Ternak Sapi
I 98
Tekstil
1105
I i1
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi Umum Rekomendasi Sektoral
1112 1113 1116
LAMPIRAN I Kondisi Koordinasi Antar Penerintah Lokal di Jawa Timur
1119
Daftar Pustaka
1130
3
1
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
KATA PENDAHULUAN Ketika desentralisasi di Indonesia berjalan dan pemerintah daerah mulai mernikul tanggung jawab yang semakin meningkat dalam pembangunan di daerah mereka, ditemukan banyaknya contoh-contoh positif di seluruh Indonesia dari upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar pemerintah setempat dan melibatkan partisipasi sektor swasta di dalam pembuatan kebijakan. Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu di antara contoh-contoh tersebut.
Laporan ini adalah hasil serangkaian kegiatan untuk menyikapi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi serta memudahkan permulaan rencana pembangunan jangka panjang PropinsijawaTimur yang disebut StrategicInfrastructure and Development Reform Program (SIDRP). SIDRP didasarkan atas empat program utama di bidang infrastruktur, pembangunan ekonomi lokal, pemberantasan kemiskinan, dan tata pemerintahan (gouernance). Pemerintah propinsi Jawa Timur, yang menyadari pentingnya perbalkan lingkungan usaha bagi pembangunan daerah, telah memprakarsa
SIDRP sebagai suatu kesempatan untuk melibatkan sektor swasta. Bank Dunia dan 7e Asia Foundationmendukung prakarsa ini dan kami sangat senang dapat membantu pemerintah dalam proses yang penting ini. Di samping langkah
awal ini, Bank Dunia saat ini sedang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi proyek-proyek infrastruktur yang akan diberi dukungan, dan The Asia Foundation secara aktif mengadvokasikan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dalam negeri serta birokrasi yang dihadapi oleh sektor swasta. Masukan dari sektor swasta, mulai dari pengusaha mikro sampai dengan perusahaan besar, tak terhingga nilainya dalam membantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan ekonromi yang tepat. Laporan ini mengandung sejumlah ilustrasi
dari perspektif sektor swasta mengenai hambatan-hambatan pertumbuhan yang mereka hadapi, termasuk infrastruktur apa yang menghambat pertumbuhan dan akses terhadap pasar, peraturan-peraturan apa yang menjadi harmbaran bagi perdagangan dalan negeri, dan bagaimana merumuskan bantuan pemerinrah dengan cara yang lebih baik. 7he Asia Foundationdan Bank Dunia bersama-sama melakukan dialog dengan sekitar 650 pelaku usaha di seluruh Jawa Timur untuk memperoleh pandangan-pandangan tersebut. Kami percaya bahwa masukan-masukan ini akan digabungkan ke dalam reneana-rencana tindakan SIDRP untuk memperbaiki iklim usaha di Jawa Timur. Rekomendasi-rekomendasi ini juga penting bagi pemerintah daerah (kota/kabupaten) di Jawa Timur untuk mengembangkan lingkungan usaha dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan menarik investasi. Pada ranggal I Juni 2004, Bank Dunia dan 7he Asia Foundation, bekerja sama dengan pemerintah propinsi Jawa Timur telah menyelenggarakan Forum untuk Iklim Investasi yang Kondusif, Perdagangan dan Persiapan SIDRP? Jawa Timur. Forum tersebut dibuka oleb Gubernur Imam Utomo dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Pemerintah-pemerintah daerah dan perusahaan lokal dari 38 kota dan kabupaten, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta lembaga donor lainnya ikut hadir untuk membahas temuan-temuan laporan in!, menegaskan komitmen untuk bekerja sama antar pemerintahan lokal untuk mengurangi hambatan perdagangan dalam negeri, dan memilih wakil-wakil sektor swasta yang akan menjadi anggota kelompok-kelompok kerja di dalarn SIDRP
Bank Dunia dan tim The Asia Foundationdengan tulus ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sektor swasta yang telah ikur mengambil bagian dalam pembahasan bagi waktu dan pandangan-pandangan mereka yang sangat berharga. Kami mengakui bahwa wakt« adalah menentukan bagi usaha-usaha yang dinamis, dan kami berharap bahwa sumbangan berkelanjutan mereka kepada proses SIDRP serta tempat-tempat dialog kebijakan lainnya akan menghasilkan iklim investasi yang disempurnakan serra kemajuan daerah.
Erin Thebault Weiser, Direktur Program Ekonomi
PS. Srinivas Koordinator Keuangan & Sektor Swasta
The Asia Foundation
Bank Dunia, Indonesia
5
UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun oleh suatu tim inti yang dipinpin oleh Bido A. Budiman (The Asia Foundation) dan Megawati Sulistyo (Bank Dunia), dan beranggotakan: Frida Rustiani, R. Alam Surya Putra, Haryunani Kumoloraras, Harry Seldadyo, Indra N. Fauzi, dan Ferry D. Latief. Dukungan produksi dilakukan oleh Siti Aisyah Purnamasari. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pengusaha di seluruh Jawa Timur yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk ikut mengambil bagian di dalam wawancara perorangan, diskusi kelompok terfokus serta survey iklim usaha. Ucapan terima kasih khusus kepada DepartmentFor InternationalDevelopment (DFID)dan US Agency for InternationalDevelopment (USAID) untuk dukungan pendanaan bagi proyek ini. Kami berterima kasih kepada rekan kami Andre Bald (Bank Dunia) untuk mereview laporan ini. Penyunting: Erin Thebault Weiser dan Megawati Sulistyo
DISCLAIMER Laporan ini adalah hasil tulisan dari staf Bank Dunia dan The Asia Foundation, namun, pendapat, temuan, interpretasi serta kesimpulan didalarnnya adalah pandangan para pengusaha di Jawa Timur dan bukan merupakan pandangan Bank Dunia dan The Asia Foundation.
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR SINGKATAN
APEKSI
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
APTR
Asosiasi Petani Tebu Rakyat
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bakorwil
Badan Koordinasi Wilayah
BKPM
Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPS
Badan Pusat Statistik
BPDE
Badan Pengelolaan Daya Elektronik
BPP
Direktorat Jenderal Pembinaan Produksi Perkebunan
BPN
Badan Pertanahan Nasional
BUMN
Badan Usaha Milik Negara
DAU
Dana Alokasi Umum
DLLAJ
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya
DPKK
Dana Pengembangan Ketrampilan Tenaga Kerja
DPOD
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
DPPM
Dinas Penanaman dan Perizinan Modal
FGD
Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
GDP
Produk Domestik Bruto
GPP
Golongan Pengusaha Pabrik
PDRB
Produk Domestik Regional Éruto
HAKI
Hak Atas Kekayaan Intelektual
HO
Undang-undang Gangguan
HPH
Hak Pengelolaan Hutan
ITKA
Izin Tenaga Kerja Asing
IUI
Izin Usaha Industrial
IUT
Izin UsahaTetap
KPH
Kesatuan Pemangkuan Hutan
MoU
Nota Kesepahaman
ISM
Lembaga Swadaya Masyarakat
DAFTAR SINGKATAN
UPT
Unit Pelayanan Terpadu
PAD
Pendapatan Asli Daerah
PBB
Pajak atas Bumi dan Bangunan
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
PDP
Perusahaan Daerah Perkebunan
Perda
Peraturan Daerah
PG
Perusahaan Gula Milik Daerah
PLN
Perusahaan Listrik Negara
PMA/PMDN
Penanaman Modal Asing / Domestik
PTPN
Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara
P3GI
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
SIDRP
Strategic Infrastructureand Development Reform Program
[Program Infrastruktur Strategis dan Penbaharuan Pembangunan] SIPA
Surat Izin Pemakaian Air
SIUP
Surat Izin Usaha Perdagangan
SKM
Sigaret Kretek Mesin
SKT
Sigaret Kretek Tangan
SKSHH
Surat Keterangan Sah Hasil Hutan
SME
Small Medium Enterprises [Usaha Kecil dan Menengah = UKM]
SOE
State Owned Enterprises [Badan Usaha Milik Negara= BUMN]
SPAP
Surat Perintah Alokasi Pembelian
SPM
Sigaret Putih Mesin
SPT
Sigaret Putih Tangan
SPP
Surat Perintah Pembelian
SIP
Surat Izin Pembelian
UMR
Upah Minimum Regional
PPN
Pajak Pertambahan Nilai
8
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR TABEL Tabel 1.1
Indikator Pembangunan Jawa Timur
Tabel 2.1
Metoda Pengumpulan Data dan jenis serta Sumber Informasi
Tabel 2.2
Responden berdasarkan Nilai Perputaran Usahal Tahun
Tabel 2.3
Jumlah Tenaga Kerja Responden (N = 103)
Tabel 3.1
Sektor Ekonomi di Masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
Tabel 3.2
Tingkat Kaitan ke Belakang dan ke Depan
Tabel 3.3
Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
Tabel 4.1
Biaya untuk Memperoleh Izin (dalam ribuan Rp)
Tabel 4.3
Upah Minimum Kabupaten-Kota(UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
Tabel 5.1
Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya serta Pemanfaatannya
Tabel 5.2
Luas Perkebunan dan Produksi Tembakau di Lima Daerah Produksi Terbesar di Jawa Timur, 2000 - 2002
Tabel 5.3
Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
Tabel 5.4
Produksi dan Nilai EksporTanaman Kopi Indonesia, 1996 - 2001
Tabel 5.5
Harga Ekspor Kopi
Tabel 5.6
Distribusi Kopi Berdasarkan Daerah di Jawa Timur, 1998
Tabel 5.7
Produksi Garan di Indonesia
Tabel 5.8
Daerah Penghasil Garam dan Produksi Garam di Jawa Timur, 2003
Tabel 5.9
Industri Garam Beryodium di Jawa Timur
Tabel 6.1
Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) di Jawa Timur
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3,3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15
Peta Jawa Timur Struktur FGD, Perbandingan Angka Pertumbuhan Ekonomi, 1998-2002 Sumbangan terhadap PDRB menurut Sektor Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor Distribusi Sektoral PDRB Jawa Timur, 2002 PDRB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur Sektor Ekonomi Di Jawa Timur dengan Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang yang Relatif Kuat Nilai Eksport Komoditas Utama non-Migas Jawa Timur Nilai Ekspor Jawa Timur-ke 5 Negara Mitra Dagang Utama, 1997-2001 Persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997 - 2002) Pelaku Usaha Yang Setuju bahwa Iklim Usaha di Kota/ Kabupaten Mereka Mendukung (%) Pelaku Usaha Yang Setuju bahwa Pemerintah Lokal mereka memudahkan perizinan usaha (%) Persepsi Pelaku. Usaha mengenai Infrastruktur (Jalan, Transportasi, Listrik, Air) Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan Indeks Kondusifitas Keamanan Kondisi Pasar Tenaga Kerja, 2000 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor (Kayu dan Barang Produk Kehutanan Lainnya) Rantai Distribusi Usaha Perkayuan di Jawa Timur Proses Validasi SKSHH Produksi Tembakau Rantai Produksi Gula Rantai Produksi Kopi Proses pemetikan sampai dengan sortiran biji kopi di Indonesia Produksi Garam Rantai Produksi Garam. Ekspor Hasil Perikanan Jawa Timur 1999-2002 Rantai Produksi Udang Perubahan dalarn Populasi Ternak Sapi di Jawa Timur Rantai Produksi Ternak Sapi Rata-rata Harga Eceran Daging Sapi di Daerah-Daerah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg) Rantai Produksi Tekstil
10
117 123
I 26 j 27 127 I 28 129 134 136 [36 39 | 40 141
i
I 43 I 45 I49 [51 | 48
[57 158 160 J67
I73 [80 j81 187 [88 | 92 193 99 I99 [102
i
1106
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
RINGKASAN EKSEKUTIF Apakah pemerintah daerah memahami dengan baik lingkungan usaba di daerah kami? Ini merupakan pertanyaan yang berulang kali ditanyakan oleh sektor swasta, tidak saja di Jawa Timur akan tetapi juga di seluruh Indonesia, terutama dalam tahun-tahun terakhir ketika otonomi daerah berjalan. Sektor swastaadalahmesinpertumbuhanekonomi, dan sesuai dengan itu merupakan shareholderkunci sertastakeholderdalam lingkungan usaha. Jawa Timur beruntung telah memiliki pertumbuhan yang mantap yang dimungkinkan dihasilkan pertumbuhan oleh sektor swastanya yang sangat dinamis. Akan tetapi, supaya dapat memberikan hasil-hasil optimal dalam pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, banyak lagi yang perlu dilakukan untuk mendukung lingkungan yang ramah usaha. Dukungan tersebut, seperti ditemukan oleh kajian lapangan kami di daerah yang berbeda-beda di Jawa Timur. Persainganyang semakin meningkat tidak dapatdihindari;tantangannya ialah untuk memiliki daya saing. Daya saing di dalam lingkungan usaha memiliki banyak faktor kunci dari sumber daya alam, infrastruktur, peraturan pemerintah serta akses terhadap modal dan keamanan. Dalam tulisan ini kami memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi infrastruktur (jalan raya, listrik, air) dan peraturan-peraturan pemerintah (terutama pemerintah daerah), serta faktor-faktor lain - seperti akses terhadap pendanaan - juga tercatat. Jawa Timur, dengan jumlah penduduk sekitar 35 juta orang, tak pelak lagi memiliki platform untuk menjadi suatu daerah dengan daya saing besar. Sektor pertanian yang berkembang dengan baik, sumber-sumber daya alam yang berlimpah seperti gas bumi cair di Selat Madura, dan akses terhadap pelabuhan laut (Tanjung Perak) merupakan salah satu keunggulan komparatifnya. Di samping itu, propinsi ini juga merupakan lokasi sejumlah industri besar. Namun demikian Jawa Timur tidak kebal dalam menghadapi tantangan-tantangan di dalam lingkungan usaha - baik dar faktor internal maupun eksternal. Titik pandangdari sektor swasta merupakan substansi inti laporan ini. Tim kami telah melakukan konsultasi dengan sekitar 650 pengusaha lintas daerah di propinsi Jawa Timur mulai dar! petani dan nelayan sampai usaha kecil, menengah dan besar. Diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam dilakukan selama beberapa bulan di berbagai lokasi di seluruh daerah, dan dilengkapi dengan penelitian dan survei. Kami menggunakan pendekatan sektoral untuk memberi ilustrasi praktis kepada masalah-masalah yang diangkat, dan analisis rantai'perdagangan bermanfaat untuk menguraikan berbagai perspektif dari pelaku usaha hulu sampai hilir. Tanda-tandaadanya hambatan infrastrukturtelah munculdi berbagaibidang. Jalan-jalan sempit yang mulai mengarah pada kemacetan, gangguan listrik dan kekurangan air merupakan keluhan-keluhan utama. Pada saat ini upaya-upaya yang ada masih mampu berjalan akan tetapi pada pertumbuhan
11
ke depan akan menghadapi risiko akibat kendala-kendala infrastruktur. Air, misalnya, sering kali mengalami kekurangan pasokan bagi usaha-usaha pertanian di Madiun, Situbondo, Ngawi, Ponorogo, Madura, dan air yang tercemar telah mempunyai dampak yang merugikan terhadap pembudidayaan perikanan, khususnya di Tuban. Bahkan ibu kota Surabaya mempunyai masalah dengan air bersih. Banyaknya peraturan daerah yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal peraturan daerah, ada dua jenis yang menimbulkan keberatan dari sektor swasta. Pertama ialah peraturan-peraturan yang membebankan pajak dan pungutan tambahan kepada pelaku usaha. Kedua ialah peraturanperaturan yang menciptakan persaingan tidak adil baik. di tengah sektor swasta, maupun antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Kasus untuk jenis kedua diflustrasikan oleh para petani kopi di Jember di mana pemerintah daerah mendirikan suatu PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) dan menerbitkan Surat Edaran kepada semua unit kerja di lingkungan pemerintah daerah untuk membeli kopi hanya dari PDP tersebut. Seringkali buntuan pemerintah dengan maksud baik tidak mencapai hasil-hasilyang diinginkan akibat kurangnya konsultasi dengan parapihak-pihak yang berkepentingan. Keadaan ini berulang kali diilustrasikan di bidang pertanian pada saat pemerintah memberi bantuan kepada para petani mulai dar benih sampai dengan peralatan, yang pada akhirnya tidak digunakan oleh para penerima oleh karena bantuan tersebut tidak memenuhi kebutuhan mereka akibat kurangnya konsultasi, dan kadang-kadang karena nepotisme dalam pengadaannya. Contoh lainnya yang lebih luas misalnya ketika sektor swasta telah memberikan pandangan-pandangan mereka tentang salah satu usulan SIDRP (Strategic Infrastructure and Development Reform Program) untuk pembangunan terminal pertanian. Para perusahaan -mengakui bahwa ini merupakan prakarsa yang bagus, namun apabila berlokasi di Sidoarjo seperti direncanakan, maka akan terlalu jauh dar para produsen yang notabene merupakan pihak pertama yang ingin dibantu. Masalah-masalahpungutan ilegal dan keamanan cukup jelas, namun tidak demikian halnya dengan pemecahannya. Sejak tahun 1998, suatu peternakan udang di Tuban telah kehilangan sampai dengan 50% dari produksinya oleh karena penjarahan, dan para petani kopi terpaksa memanen tanaman mereka lebih awal - membiarkan mutu dan harga yang lebih rendah - untuk menghindari keadaan seperti itu. Tentang pungutan ilegal berbagai contoh diberikan oleh sektor swasta pada setiap diskusi mengenai jenis, metoda, jumlah dan pihak penerima pembayaran-pembayaran tersebut. Pelaku usaha sepakat dalam merekomendasikan penegakan hukum, namun mereka pesimis bahwa ini metupakan pemecahan realistis, mengingat dalam banyak hal masalahnya berada di pihak penguasa. Memperbaikifungsikoordinasiantarpemerintahdaerah adalahpenting,terutamauntuk meningkatkan perdagangandalam negeri. Akses kepada pasar merupakan kebutuhan dasar bagi pelaku usaha baik skala besar maupun kecil. Pada lampiran laporan ini kami telah menyusun informasi tentang forum12
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
forum pemerintah daerah yang ada di Jawa Timur. Ada berbagai forum kelompok dan beberapa kooperasi bilateral, misalnya antara Surabaya dan Sidoarjo. Forum-forum ini hendaknya didorong untuk memperluas isu-isu di luar masalah sosial dan politik, tetapi juga mencakup investasi dan perdagangan. Belum lama ini Jawa Timur telah memprakarsai suatu forum tentang UPT (Unit Pelayanan Terpadu) untuk berbagi praktek-praktek terbaik dalam perizinan usaha.
Forum untuk Iklim Investasi dan PerdaganganJawa Timur yang diadakanpada tanggal I Juni 2004 hendaknya digunakansebagai titik awal ke arahdialogpublik-swastayang lebih baik dan lebih teratur untuk memecahkan isu-isu tersebut. Laporan ini mengangkat beberapa isu awal, dan kami berharap bahwa laporan in! dapat menyajikan pemahaman yang bermanfaat, khususnya bagi pemerintah propinsi dan pemerintah daerah diJawaTimur dalam upaya mereka untukmeningkatkan lingkungan usaha di daerah mereka.
13
&
i
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN Laporan ini menyajikan hasil penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia dan The Asia Foundation untuk mengidentifikasikan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi di Jawa Timur. Kegiatan ini diprakarsai oleh Bank Dunia dan Re Asia Foundation, dengan beberapa tujuan penting: (i) untuk mendukung partisipasi sektor swasta di dalam proses perencanaan publik berkaitan dengan bantuan potensial Bank Dunia bagi proyek-proyek infrastruktur; (ii) untuk memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk mengutarakan keluhan-keluhan mereka kepada pemerintah daerah dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki iklim investasi; dan (iii) untuk mendorong peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dalam memicu perdagangan antar daerah. Peranan Tim Asia Foundation I Bank Dunia ialah mengidentifikasikan hambatanhambatan terhadap perdagangan dan investasi dan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan untuk memperkenalkan suatu proses berkelanjutan dan dapat ditlangi tentang bagaimana pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menyesuaikan beberapa aktifitas kegiatan Strategic Infrastruture andDevelopment Reform Program (SIDRP)Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Proyek SIDRP mempunyai dua tahap, yaitu: pertama ialah pembentukan suatu visi strategis, yang secara konkrit akan diikuti dengan rencana-rencana pembangunan regional yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan didukung oleh ke-38 pemerintah daerah di propinsi tersebut. Kedua ialah proyek-proyek investasi oleh lembaga-lembaga donor, seperti Bank Dunia maupun donor-donor lainnya. Penelitian yang disajikan di sini bermuara pada tahap persiapan SIDRP: menetapkan visi strategis dan rencana-rencana pembangunan regional. Adalah sangat penting bahwa suara sektor swasta, sebagai stakeholder dalam proyek ini, diwakili di dalam kelompok-kelompok kerja diketuai oleh pemerintah di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur daerah. Di samping itu hambatan-hambatan terhadap perdagangan antar daerah telah meningkat sejak diperkenalkannya otonomi daerah sebaga! akibat peraturan-peraturan daerah baru dengan maksud meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam laporan yang dipusatkan pada Jawa Timur ini, hambatan-hambatan terhadap perdagangan dalam negeri ditemukan merupakan hambatan besar terhadap pertumbuhan usaha. Tim Asia Foundation dad Bank Dunia mengangkat isu tersebut melalui laporan ini dan di dalam suatu Forum Jawa Timur yang diselenggarakan pada bulan Juni 2004 sebagai bagian proyek ini. Forum tersebut telah menghadirkan 400 pejabat pemerintah (kota, kabupaten dan propinsi) serta pelaku usaha. Hasil forum tersedia dalam bahasa Indonesia'. Hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi yang disoroti dalam temuan-temuan penelitian juga dibahas dalarn talk show di radio dan dalam lokakarya-lokakarya tingkat kabupaten yang disponsori oleh The Asia Foundation.
FomnnJawa imnuruntuk Iklim Inutasidan PerdagngdnyangKondusifdanPenyiapan SIDRP, Bank Dunia dan The Asia Foundation
16
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 1. PetaJawaTimur
PETA JAWA TIMUR INDONESIA
P, Bawan
Laut Jawa
KEP. KANGEAN
rN
SAMUDRA INDONESIA Koridor-koridor perdagangan
17
Latar Belakang dan Tujuan
Tabel 1.1 Indikator-IndikatorPembanguan Jawa Timur
Jawa Timur
Indonesia
Jawa Timur dibandingkanT denr periode
Peringkat (30 Prov)
Versus Periode Terakhir
Jawa Timur % Indonesia %
Produk Domestik Bruro 2002 (sekarang, mfilyar Rp) PDRB per kapita 2002
226,957
1,539,579
2
6,443
7,262
14
(sekarang, ribuan Rp)
195,762 (2001)
Angka pertumbuhan PDRB 2002 (kons tan 9 3 p)
3.4
4.07
21
Angka pertumbuhan 2002 per kapita (konstan)
2.8
2.6
13
5,282
61,058
8.6
Angka kemiskinan 2003
16
5,593 (2001) ______
perubahan
perubahan
seIelumnya
13
15
11
_____
______
3.5 (2001)
-2
5
2.8 (2001)
-3
9
3
4,989 (2002)
6
17
9.5
14
6.43 (2002)
35
5
20.9
17.4
13
21.9 (2002)
-7
-4
Angka Kemiskinan Perkotaan 2003
16.8
13.5
11
18.9 (2002)
-11
-6
Angka Kemiskinan Pedesaan 2003
23.7
20.2
8
24.1 (2002)
-2
-4
Indeks Pembangunan Manusia 2002
64.1
65.8
25
61.8 (1999)
4
2
Angka melek huruf dewasa 2002 Harapan hidup 2002 (tahun)
83.2 66.0
89.5
28 24
2 1
1
66.2
81.3 (1999) 65.5 (1999)
0
6.5
7.1
25
5.9 (1999)
10
10
22.2
23.1
9
17.1 (1999)
30
7
Penduduk tanpa akses terhadap air bersih % 2002
36.7
44.8
4
43.0 (1999)
yl
-15
-14
Penduduk tanpa akses terhadap sanitasi %2002
31.5
25.0
18
31.9 (1999)
-
-1
n/a
Angka kematian bayi 2002 (per 1,000)
47.0
43.5
20
48.0 (1999)
-
-2
n/a
Rumah tangga dengan lantai tanah 2002 (%)
27.5
16.7
25
28.3 (1999)
-
-3
n/a
Balita kurang gizi. (%)
25.5
25.8
13
30.7(1999)
-17
-14
Penduduk 2003 (juta)
36.2
215.0
2
34.7 (2000)
1
5
Angka pertumbuhan penduduk 2000 -2003
1.42
1.50
12
-30
1
Kepadatan penduduk per m2 2003
756
114
6
726(2000)
1
5
2.6
n/a
n/a
2.5 (1990)
-
4
n/a
4.8 - l
n/a
4.3 (1990)
--
12
Total ekspor 2002 US$ (Tg. Perak, Srbya)
juta
Angka pengangguran terbuka 2063
Rata-rata tahun pendidikan sekolah 2002
Penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan % 2002
Penduduk 2000 (juta) Penduduk Surabaya, Sidoarjo, Gresik 2000 (juta)
l
n/a l
=
yl
†
1.49 (1990-00)
Sumber: Statistik Indonesia (BPS 2003), dan Laporan Pembangunan Manusia Indonesiat 2004 (BPS. BAPPENAS, UNDP 2004)
18
=
yl
l
n/a
l
2
METODOLOGI
Desk Study Survey Diskusi Kelompok Terfokus Studi Kasus
METODOLOGI
Kegiatan pengumpulan data dilakukan mulai bulan Oktober 2003 sampai dengan bulan Maret 2004 dan mencakup semua kota dan kabupaten di Jawa Timur. Pilihan metodologi didasarkan atas jenis-jenis informasi dan data yang dicari serta sumber-sumber informasi yang tersedia. Jenis-jenis informasi yang dicari serta metoda-metoda yang digunakan dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel 2.1 Metoda-Metoda Pengumpulan Data dan Jenis-Jenis serta Sumber-Sumnber Informasi
Informasi makro tentang keadaan
Data sekunder dalarn bentuk hasil-hasil
umum d! Jawa Timur, baik pada
penelitian, statistik-statistik, kliping
tingkat propinsi maupun kota/kabu-
surat kabar, dan Internet
Desk Study
paten Informasi umum tentang kondisi-
Data primer yakni responden meru-
Survey (Total responden
kondisi usaha di daerah dan me-
pakan pelaku usaha yang dipilih secara
orang)
kanisme koordinasi antar pemerintah
acak/random serta perwakilan aparat
daerah
pemerintah dari forum-forum koordi-
=
103
nasi yang ada Informasi tentang hambatan-ham-
Pelaku usaha sebagai key informan, yang Diskus Kelompok
baran perdagangan dan investasi di
sengaja dipilih berdasarkan sektor yang
terfokus (FGD) (Total = 7 FGD
sektor-sektor terpilih.
sama
dengan total peserta = 527 orang)
Studi Kasus
Informan kunci dari beberapa unsur
Wawancara mendalam (Total
baik pelaku usaha dan pelaku lainnya
informan kunci
yang mendukung kegiatan usaha seperti pengelola kawasan industri atau koperasi yang sengaja dipilih berdasarkan informasi khusus yang dibutuhkan
20
=
59 orang)
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Desk Study Kegiatan utama dalam metode ini adalah mengumpulkan semua data sekunder yang terkait dengan ekonomi di Jawa Timur. Sumber data sekunder yang dihimpun dalam kegiatan ini yakni: • Hasil-hasil penelitian, makalah-makalah seminar baik yang ditulis oleh LSM, lembaga penelitian maupun donor-donor asing mengenai Jawa Timur • Data-data resmi dari pemerintah baik pusat seperti BPS maupun daerah seperti Kota, Kabupaten maupun Provinsi Dalam angka, PDRB masing-masing Kota dan Kabupaten, peraturan-perturan pemerintah daerah. • Informasi dari media massa baik surat kabar, atau media elektronik termasuk internet. Data-data sekunder tersebut terutama digunakan untuk memetakan kondisi-kondisi ekonomi di Jawa Timur pada tingkat makro.
Survey Survey dilakukan selama bulan Oktober 2003 sampai dengan Januari 2004. Informasi utama yang dikumpulkan melalul kegiatan survey ini adalah pertama mengenai persepsi pelaku usaha terhadap beberapa aspek yakni perizinan, infrastruktur, pungutan dan aspek keamanan usaha. Kedua yakni informasi mengenai efektivitas koordinasi yang terjadi antar pemerintah Kota dan Kabupaten dan juga dengan pemerintah provinsi di Jawa Timur. Informasi mengenai persepsi pelaku usaha dijaring melalui daftar pertanyaan (kuesioner), sementara mengenai efektivitas koordinasi dilakukan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang telah disiapkan sebelumnya. Adapun responden dari survey ini adalah 103 responden dari unsur pelaku usaha yang berasal dari 11 sektor2. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut:
2
Sekcor-scktor tersebur adalah agrobisnis, Jasa non perdagangan, industri kaym, kerjinan, logam, industri makanan dan industri dalan katagori lin, perdagangan,
pcrtanbangan, industri teksril dan jasa tmnsportasi.
21
Metodologi
Dari Tabel 2.2 di atas maka jelas bahwa mayoritas responden (49.9%) dalam studi ini memiliki omset kurang dar! 500 juta rupiah. Sementara itu, melihat
Tabel 2.2 Responden menurut Nilai Omset
jumlah tenaga kerja, survey ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden (79.6%) mempunyai kurang dari 100 orang tenaga kerja. Dengan demikian, melihat omset usaha serta jumlah tenaga kerja mereka, mayoritas responden dalam survey in berada dalam kategori pengusaha kecil dan menengah.
Lebih dari 1 milyar 500 juta - 1 milyar
14,6 %
100 juta - 500 juta
37,2%
Kurang dari 100 juta
12,6 %
Total
100%
Sementara itu, informasi mengenai efektivitas koordinasi antar pemerintah di Jawa Timur diperoleh dari beberapa sumber yang mewakili beberapa forum koordinasi. Forum-forum tersebut dapat dibedakan dalam dua kelompok yakni pertama forum yang
Usaha/Tahun Omset Usaha (Rp)
Persentase 32 %
Tabel 2.3 Jumlah Karyawan Responden
Jumlah Karyawan
Persentase
Lebih dari 100 orang
20,4 %
20 - 99 orang
44,6 %
5 - 19 orang
35 % 100%
Total
berada di bawah koordinasi petnerintah propinsi dan kedua adalah forum yang merupakan prakarsa pemerintah Kota dan Kabupaten di Jatim. Forum kategori pertama ada 4 yakni Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Biro Kerjasama dan Hukum serta Badan Pengelolaan Dana dan Elektronik (BPDE). Sementara forum kategori kedua diantaranya APEKSI dan forum-forum bilateral.
Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussions) Diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan terhadap pelaku usaha yang ada di Jawa Timur. Peserta FGD seluruhnya berjumlah 527 pelaku usaha baik mikro sampai menengab yang terbagi dalam 7 kali FGD. Pada setiap kali FGD peserta yang hadir adalah merupakan pelaku usaha dari beberapa wilayah di sekitar tempat FGD dilaksanakan. Seluruh peserta merupakan pelaku usaha dari beberapa sektor usaha yang cukup menonjol pada wilayah tersebut. Para peserta kemudian dibagi dalarn kelompok-kelompok berdasarkan sektor. Sehingga dapat secara mendalam mendiskusikan persoalan dalam pengembangan usaha mereka pada masing-masing sektor. Diskusi pada setiap sektor dimulai dengan menguraikan rantai tata niaga pada komoditas tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan merinci persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha pada setiap rantai bisnis. Berdasarkan rincian masalah tersebut kemudian secara partisipatif dibuat kesepakatan mengenai prioritas masalah yang sangat mendesak untuk diatasi. Diskusi umumnya ditutup dengan mencoba menjaring gagasan dari para pelaku usaha peserta diskusi mengenai solusi-solusi terhadap masalah-masalah terutama yang menjadi prioritas utama. 22
Memperbaiki Iklim Usaha di
Jawa Timur
Gambar 2.1 Struktur-strukturDiskusi FGD Penjelasan Umum Maksud dan Tujuan FGD
Problem pada Setiap Rantai pada Rantal Bisnis
Usulan Solusi (Rekomendasi)
Kegiatan pengumpulan data melalui metodefocusgroup discussion !ni dilakukan sebanyak 7 kali di JawaTimur. Tempat FGD ditentukan berdasarkan (a) sebaran wilayah (b) jarak tempuh. Jangkauan area asal peserta per FGD dibatasi paling banyak 5 kota/kabupaten dan jarak tempuh asal peserta ke tempat FGD maksimal 3 Jam. Peserta diskusi yang hadir merupakan pelaku usaha dari wilayah sekitar pelaksanaan diskusi tersebut. Adapun 7 titik yang dimaksud adalah sebagai berikut : • FGD 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan , dan Kabupaten dan Kota Mojokerto; * FGD 2 mencakup Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Jombang; * FGD 3 mencakup Kabupaten dan Kotamadaya Malang, Kabupaten dan Kota Blitar, dan Kota Batu; • FGD 4 mencakup Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Sumenep; • FGD 5 mencakup Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan; * FGD 6 mencakup Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Banyuwangi; * FGD 7 mencakup Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan;
3
Kota nierujuk pada wilayah perkotaan dan Kabupaten merujuk pada wilayah pedesman
23
Metodologi
Studi Kasus Pengumpulan informasi melalui indepth interview didasarkan atas pertimbangan bahwa masih terdapat'beberapa informasi yang sulit untuk digali melalui kegiatan survey, desk study maupunfocus group discussion. Informasi yang belum tergali melalui metode sebelumnya teruitama menyangkut informasi yang sangat spesifik pada setiap sektor serta yang sifatnya relatif sensitif khususnya bagi informan. Indepth interview-dilakukan terhadap sekitar 6 sampai 10 orang informan pada setiap indepth interview. Total jumlah key informan pada kegiatan ini adalah 59 orang. Adapun indepth interview dilakukan di daerah sebagai berikut: * Wawancara mendalam 1 mencakup paten Pasuruan * Wawancara mendalam 2 mencakup * Wawancara mendalam 3 mencakup * Wawancara mendalam 4 mencakup * Wawancara mendalam 5 mencakup
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan KabuKabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Pacitan; Trenggalek; Tuban; Bojonegoro;
Pengamatan yang lebih mendalam juga dilakukan dengan secara langsung peneliti mengikuti jalur pengiriman barang. Upaya mengikuti jalur pengiriman barang ini terutama di lakukan untuk mendapatkan gambaran secara nyata mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam jalur perdagangan ini. Adapun jalur yang diikuti yakni Malang menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang mengangkut kayu.
24
3
PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan & Lapangan Kerja Perincian Geogra Perincian Sektoral Ekspor Jatim
PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan dan Lapangan Kerja Jawa Timur merupakan pusat kunci pertumbuhan di kawasan Timur Indonesia, karena ia memenuhi peranan sebagai pintu gerbang untuk perdagangan antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. Dengan penduduk berjumlah sekitar 35 juta (BPS, 2003), propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang besar kepada PDB nasional, dengan 196,5 trilyun rapiah (harga-harga sekarang untuk tahun 2001) per tahun, atau lebih dari 13% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Angka pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sangat mirip dengan angka keseluruhan nasional. Pada tahun 1998, dimana dampak krisis mencapai puncaknya, pertumbuhan ekonomi indonesia minus, demikian pula Jatim. Bahkan pada saat itu kondisi pertumbuhan ekonomi di Jatim lebih buruk. Tahun 1999 dan seterusnya gerak pertumbuhan mengalami kenaikan dan sejak tahun 2000 cenderung stabil walaupun tidak terlalu tinggi.
Grafik 3.1 Pertumbuban Ekonomi Jawa Timur Tahun 1998 -2002
10 -·---
Nasional
-U--
Jawa Timur
51998
1999
2000
2001
2002
-5-10 -15 -20 Sumber: CBS. 2002
Melihat kontribusi persektor terhadap PRDB Jawa Timur, dapat dilihat bahwa pangsa sektor pertanian telah menurun selama lima tahun terakhir, sementara pangsa sektor industri meningkat dengan mantap. Sektor jasa juga menunjukkan kenaikan, dan merupakan penyumbang terbesar terhadap PRDB.
26
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 3.2 Sumbangan terhadap PRDB menurut Sektor 60 -Jasa Industri 50-
Pertanian 40 CO
30 20 10 0-
1988
1983
1993
1998
2003
Gambar 3.3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor 15
-
Industri
..---
10
Jasa
Pertanian
5 .0
0
t
-5
0-
-10 -15 -20 -25 1983
1988
1993
1998
2003
Sumber: BPS, berbagai edisi
Sektor Jasa, yang mengelompokkan hotel, restoran, niaga, transportasi dan komunikasi, memberi peranan yang semakin penting kepada Jawa Timur di kawasan timur Indonesia. Tidak kurang dar lima hotel berbintang lima terdapat di sini, di samping sejumlah besar hotel berbintang empat dan berbintang tiga, yang semuanya memberi sumbangan kepada nilai tambah sektor ini. 27
Profil Ekonomi Jawa Timur
Perdagangan, bersama-sama dengan transportasi dan komunikasi, juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam ekonomi Jawa Timur. Sekitar 9% dari total nilai ekspor Indonesia dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya (Panggabean, dkk., 2003). Demikian pula, Bandara Juanda tidak saja melayani penerbangan dalam negeri ke kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, tetapi juga menfasilitasi paling sedikit 35 penerbangan internasional setiap minggu. Bandara tersebut juga sedang mengalami perluasan besar. Ketiga sektor tersebut di atas menunjukkan asimetri di dalam jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. Pada tahun 1999, dari seluruh angkatan kerja Jawa Timur sebesar 17.554.632, 46,18 persen bekerja di bidang pertanian, 22,32% di bidang industri, 12,70% di bidang jasa dan 8,80% di bidang perdagangan4 .
Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PRDB Jawa Timur, 2002 6%
17%
-
Pertanian Transpotasi & komunikasi
23%
Listrik, gas dan air bersih
-
Industri Pengolahan Jasa-jasa Perdagangan, hotel dan restoran Konstruksi 2%-
25%
Pertambangan & penggalian Keuangan, persewaan & jasa perhubungan
11%
9%
4%
Sumber: Data PDRB diolah, BPS, Jawa Timur, 2002
Jika kita melihat perbandingan pada Gambar 3.4 diatas, ada dua aspek yang jelas di dalan pola sektoral. Pertama, ada sektor yang memberi sumbangan rendah terhadap nilai tambah kepada PRDB akan tetapi mempekerjakan angkatan kerja yang besar, yaitu: pertanian. Berlawanan dengan itu ada sektor-sektor lain yang memberi sumbangan nilai tambah relatif tinggi namun mempekerjakan jumlah angkatan kerja relatif rendah, yaitu: sektor-sektor industri dan jasa.
4
http:leng1ish.d-infonom-jarim.go.id/eastjava.asp, di download pada tanggal i Desember 2003.
28
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Perincian Geografis Dalam arti spasial, juga ada ketidakimbangan dalam distribusi ekonomi. Lebih dari 20% ekonomi Jawa Timur terpusat di Surabaya, dan jika kita memperluas ini dengan mencakup daerah pinggiran kota Surabaya, atau yang disebut daerah «Gerbangkertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), hampir 40 persen dari ekonomi propinsi tersebut terpusat
dalam daerah ini.
Gambar 3.5 PRDB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur Kota Blitar Kota Mojokerto Kota Pasuruan Pacitan Trenggalek Kota Madiun Pamekasan Kota Probolinggo Madiun Magetan Bondowoso Bangkalan Sampang Ngawi Ponorogo Situbondo Nganjuk Blitar Sumenep Bojonegoro Lumajang Lamongan Jombang Mojokerto Probolinggo Tulungagung Kediri Tuban Banyuwangi Jember Kota Malang Malang Pasuruan ö.
Gresik
Sidoarjo Kola Kediri 0
Kota Surabaya
2000000 0 milyar Rp
4000000
6000000
Sumber: Jawa Timur EPS
29
8000000
10000000
12000000
14000000
Profil Ekonomi Jawa Timur
Dalam arti sektoral-spasial, ekonomi Jawa Timur dapat digolongkan ke dalam empat koridor, masing-masing dengan ciri-ciri yang berbeda. Ini ditunjukkan pada peta di bab pertama. Koridor pertama mencakup daerah-daerah Blitar, Kota Blitar, Gresik, Malang, Kota Malang, Mojokerto, Kota Mojokerto, Pasuruan, Kota Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Koridor kedua mencakup Jombang, Kediri, Kota Kediri, Madiun, Kota Madiun, Magetan, Nganjuk, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, dan Tulungagung. Koridor ketiga terdiri dari Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang, Jember, Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Situbondo. Koridor keempat termasuk Bangkalan, Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dan Tuban. Suatu analisis yang menggunakan metoda LQ (location quotient)yang dilakukan oleh tim SIDRP menunjukkan bahwa masing-masing koridor mempunyai sektor-sektor ekonomi dinamis yang berbeda-beda. Tabel 3.1 Sektor-sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor KABUPATEN/KOTA
A B C D E F G H l
1.Blitar
.
+
2. Blitar (Kota}
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
10. Sidoarjo
+
+
+
+
.+
11. Surabaya (Kota)
+
+
+
1. Jombang
+
+
+
+
2. Kediri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
3.Kediri (Kota)
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+ +
+
+
+
+
+ +
+
.
+ +
+
+.+
+ +
+
+
+
+ +. +
+ + +
+
+
+ +
+
+
X Y
+
+
9. Pasuruan (Kota)
4. Madiun
+
+
7. Mojokerto (Kota)
8. Pasuruan
+ + +
+
5. Malang (Kota) 6.Mojokerto
U V W
+
+
3. Gresik 4. Malang
J K L M N 0 P G B S T
+.
+
+
+ +
+
+
+
+
+ +
+
+ + + +
+
5. Madiun (Kota)
+
+
+ +. + +
+
+ +
6. Magetan
+
+
+
+
7. Nganjuk
+
+
+
+
8. Pacitan
+
+
+
+
+
+
9. Trenggalek
+
+
+
+
+
+ +
10. Ponorogo
+ + +
+
+
+
11. Tulungagung
+
+
+
+ + +
+
+
+
30
+
+
Memperbalki Iklim Usaha di Jawa Timur
C iD
KAB3UPATEN/KOTA
A
B
1. Banyuwangi
+
+
2. Bondowoso
+
+
+
+
3. Jember
+
+
+
+
4. Lumajang
+
+
5. Probolinggo
+
+
+
E iF iG iH
J
+
2. Bojonegoro
-
+
+
3. Lamongan
+
4. Ngawi
+
+
5. Pamekasan
+
+
6. Sampang
+
7. Sumenep
+
8. Tuban
+
+
Q1 RISITILU
+
+
+
+
+
+
V
W
X
Y
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
F
Minyak dan Gas
K
Pengolahan Kayu
P
Mesin-mesin
U
Hotel-Restoran
B
Tanaman Perkebunan
G Non Minyak dan Gas
L
Kertas
(
Industri lainnya
V
Transportasi
H Mineral
M
Kimla
R Listrik, Gas dan Air
N
Seman
S
Konstruksi
X
Jasa Keuangan
0
Logam
T
Niaga
Y
Jasa-jasalai
Bumni
Produk-produk
kehutaftanl
I
E Perikanan
Pengolahan Makanan
J Tekstil
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Tanaman Pangan
D
+ +
+
A
C Ternak
+
+
+
+
+
+
Iø
+ +
+
+
+
+
+
+
P
+
iå mbth 1. Bangkalan
0
+
+ +
N
+
+
+
M
L
+
6. Probolinggo (Kota) 7. Situbondo
K
+
+
+
l
W Komunikasi
Sumber: SIDRP
Perincian Sektoral Sektor Pertanian Pertumbuhan maupun sumbangan sektor pertanian dalam PDRB masih rendah. Namun demikian, Jawa Timur tetap merupakan satu salah lumbung pangan utama Indonesia. Hal ini dimungkinkan oleh karena kebanyakan tanah pertanian di propinsi ini digunakan untuk tanaman pangan, khususnya padi.
31
Profil Ekonomi Jawa Timur
Di samping tanaman pangan, sub-sektor perikanan juga cukup penting. Jawa Timur memiliki potensi di bidang perikanan laut (penangkapan ikan) dan di bidang budidaya perikanan, baik di daerah rawa maupun di lahan yang lebih kering. Panjang garis pantai yang cukup besar di tiga dari empat koridor menunjukkan sumber daya alam laut yang berlimpah. Potensial ini juga didukung oleh adanya tempat pelelangan ikan (TPI) ukuran besar, di Brondong (Lamongan) dan Muncar (Banyuwangi). Pembudidayaan air payau secara intensif, terutama untuk udang, gurame dan bandeng, kebanyakan dilakukan sepanjang pantai utara (antara Tuban dan Banyuwangi), walaupun juga terdapat sejumlah kecil pembudidayaan udang intensif di daerah Malang Selatan. Perikanan sepanjang pantai selatan tidak dieksploitasikan secara penuh akibat kurangnya pembangunan di
daerah ini. Sektor Industri Walaupun pertumbuhan di sektor industri pengolahan menunjukkan kecenderungan menurun, sektor ini tetap sangat penting dalarn sumbangannya kepada PDB Jawa Timur. Peranan menonjol dari sektor industri pengolahan diakibatkan oleh jumlah tinggi industri besar di Jawa Timur, seperti industri logam dan mesin, industri rokok, industri pengolahan pangan dan industri kimia. Kebanyakan industri pengolahan skala besar di Jawa Timur adalah Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN) atau Perusahaan Penanaman Modal Asing/Domestik (PMA/PMDN). Industri besar ini tersebar di banyak lokasi di Jawa Timur, walaupun sebagian besar berlokasi dekat Surabaya (Gresik, Pasuruan, Mojokerto, dan Sidoarjo). Alasan begitu banyak industri besar berlokasi dekat Surabaya ialah bahwa infrastruktur yang tersedia untuk mendukung kegiatan-kegiatan seperti itu relatif lebih baik. Peranan strategis sektor industri pengolahan ialah kemampuannya untuk memacu pertumbuhan lebih luas di dalam ekonomi Jawa Timur dan menciptakan lapangan kerja. Potensi ini dimungkinkan bila dilihat bahwa kaitan-kaitan ke belakang dan ke depan dari sektor industri pengolahan relatif lebih kuat daripada sektor-sektor lainnya. Hasil-hasil suatu analisis masukan-keluaran (input-output atau 1-0) menunjukkan bahwa beberapa kategori industri pengolahan memiliki kaitan ke belakang dan ke depan yang cukup tinggi.
32
Mcmperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 3.2 Tingkat Kaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Foreward)
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Beras Tanaman pangan Tanaman pertanian lainnya Ternak beserta produk-produknya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan dan minuman Industri-industri lain Penyulingan minyak mentah Listrik, gas dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran dan Hotel Transportasi dan komunikasi Lembaga-lembaga keuangan dan jasa Pemerintahan umum Jasa-jasa
0,76 0,85 0,79 1,11 0,89
0,74 1,19 1,03 2,43 1,10 0,93 0,68 1,18 0,85 1,46 0,86 0,67 0,79
0,81 0,79 0,85 0,92 0,73 0,80 1,073 1,18 1,5 1,38 1,18 1,33 0,98 1,21 1,01 0,91 0,68 0,98
Sumber: Pondekatan Masukan-Keluaran (Input- Output) Sektor-Sektor, BPS 2003, dioTah
Sektor perindustrian di Jawa Timur relatif memiliki kaitan lebih kuat ke belakang (hulu) dan ke depan (hilir) daripada sektor-sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa perubahan-perubahan di dalam sektor industri pengolahan akan mempengaruhi secara signifikan pembangunan sektor-sektor lain. Yaitu, pertumbuhan di sektor industri akan memberi efek kelimpahan positif, oleh karena akan diikuti oleh pertumbuhan di sektor-sektor lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.6
33
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.6 Sektor-sektor Ekonomi di Jawa Timur dengan Kaitan RelatifKuat ke depan dan ke belakang Transportasi dan Kornunikasi Restoran dan Hotel Perdagangan Konstruksi LIstrik, gas dan air Minyak olahan Industri lainnya Makanan & Minuman Pertambangan Peternakan Keterikatan Kebelakang
Keterikatan Kedepan
Sumber: Pendekatan Masukan-Keluaran Sektor-Sektor, BPS 2003, diolah
Berdasarkan analisis yang menggunakan indeks LQ menunjukkan bahwa pembangunan sektor industri tetap terjadi di pusat-pusat pertumbuhan seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, dan Gresik. Hal ini dapat diharapkan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah ini secara lebih luas.
Sektor jasa Sejak krisis ekonomi tahun 1998, sektor perdagangan, hotel dan restoran telah menunjukkan angka pertumbuhan tertinggi di Jawa Timur. Nila! tambah paling besar di sektor ini berasal dari subsektor perdagangan.
Pertumbuhan pesat di sektor ini akibat hambatan-hambatan masuk yang
relatif
rendah ke dalan sub-sektor tersebut, oleh karena tidak begitu padat modal seperti sektor manufaktur. Kebanyakan pertumbuhan di sektor perdagangan berlokasi di daerah-daerah perkotaan.
Selama
beberapa tahun terakhir konstruksi pusat-pusat perbelanjaan dan ruko, sebagai tempat perdagangan, sangat pesat. Di Surabaya, dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pembangunan sejumlah hypermarket dan supermall, seperti Indogrosir, Tunjungan Plaza IV, Giant, Pakuwon Supermal dan Trade City Mal, maupun Carrefour. Dalam arti ruang, daerah-daerah berstatus kota mendominasi sektor perdagangan: kota-kota Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan dan Probolinggo. Di daerah-daerah ini bangunan pusat perbelanjaan dan rumah-toko juga cukup pesat. Ini mengindikasikan bahwa para pelaku usaha mempunyai harapan positif tentang prospek-prospek sektor perdagangan.
34
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perdagangan di kota-kota tersebut kebanyakan dijalankan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Lingkungan usaha di kota-kota tampaknya mendukung UKM dengan tiga cara: permintaan tinggi mengingat konsentrasi penduduk, fasilitas infrastruktur lebih baik daripada di daerah perkotaan atau pedesaan, akses terhadap sumber-sumber pembiayaan (formal) lebih baik, dan hambatan-hambatan untuk masuk ke sektor informal rendah. Peranan sektor perdagangan sangat penting, terutama dalam menarik pembangunan sektor-sektor lainnya. Ini terbukti oleh analisis masukan-keluaran yang menunjukkan bahwa kaitan-kaitan dengan sektor-sektor hulu relatif tinggi. Sektor ini mempunyai peranan penting di dalam proses penyaluran barang yang dihasilkan oleh sektor-sektor lain.
Ekspor Jawa Timur Sesudah mengalami defisit perdagangan pada tahun 1997, ekspor-ekspor Jawa Timur mulai meningkat kembali pada tahun 1998. Akan tetapi,.pada tahun 2002 nilai ekspor Jawa Timur kembali menurun dengan 6,71% dari US$ 5,77 milyar pada tahun 2001 menjadi US$ 5,38 milyar pada tahun 2002. Menurut data BPS untuk tahun 2002, nilai ekspor Jawa Timur meneapai 9,4% dari total ekspor nasional sebesar US$ 57,16 milyar. Selama kurun waktu 1999-2002, rata-rata sumbangan ekspor Jawa Timur terhadap total nasional mencapai 9,5 8%. Tabel 3.3 Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
1997
4.236.613.055
6.47
7.334.143.528
28,58
1998
5.335.308.251
25.93
3.761.954.797
-48,71
1999
4.655.601.739
-12.74
3.655.786.735
-2,82
2000
5.766.242.301
23.86
4.862.534.635
33,01
2001
5.770.579.896
0.08
4.542.947.899
-6,57
2002
5.383.203.943
-6.71
5.046.115.459
11,08
Sumber: Jawa Timur BiS
Komoditas-komoditas yang memberi sumbangan terbesar kepada ekspor Jawa Timur ialah produk
pulp, kertas, furniture dan produk kayu olahan, serta produk alat-alat listrik. Walaupun sumbangan mebel dan produk hasil olahan kayu terhadap ekspor Jawa Timur tetap cukup tinggi, pertumbuhan produk-produk tersebut relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kenyataannya menurut data dari kantor Bank Indonesia yang ada di Surabaya, kayu lapis menciut dengan 6,70% pada triwulan ketiga tahun 2003 dibandingkan dengan kurun waktu yang sama pada tahun sebelumnya.
35
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.7 Nilai Ekspor Komoditas Utama Non-Minyak dan Gas Jawa Timur US ribu 700,000
-1997
600,000
-
_1998
500,000I
2001
400.000
L] 2002 300,000
200,000
-
-
100,000
Kayu olahan
Karet
Pakaian jadi
Kayu gergaji
Tekstil
Kopi
Udang
Kerajinan
Besi
Minyak
Sumber: StatTstik Ekonromi dan Finansial Propinsi Jawa Timur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia
Tujuan-tujuan utama eksporjawaTimur adalah mitra dagang terutama Indonesia: Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Berdasarkan kapasitas produksi yang ada dan peluang-peluang pasar, potensi ekspor Jawa Timur masih dapat dikembangkan, terutama ke negara-negara Eropa, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara Timur Tengah. Akan tetapi ini bukan merupakan pasar-pasar yang mudah untuk dimasuki produk-produk akibat standar-standar perdagangan internasional tertentu'yang cukup sulit untuk dipenuhi, seperti standar-standar mutu dan larangan-larangan untuk memakai bahan kimia tertentu dalam produk-produk pertanian.
Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 Negara Mitra Dagang Terutama, 1997-2001 US$ ribu 14
Jepang
12
USA
10
Singapura Hongkong L
0 -1997
i--
1998
1999
2000
Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jawa Timur. Kantor Surabaya, Bank Indonesia 2003
36
2001
Inggris
4
I KONDISI
INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Kinerja Investasi dijawa Timur Perizinan Infrastruktur Fisik Pungutan Keamanan Perburuhan
KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Ketika desentralisasi dimulai, pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi baru untuk menambah penghasilan asli daerah (PAD). Dalam perkembangannya, apaya-upaya ini mulai dikritisi berbagai pihak, mengingat banyaknya regulasi yang hanya bertujuan meningkatkan PAD justru merugikan masyarakat khususnya kalangan pengusaha. Sehingga, ketika desentralisasi berjalan, banyak perda yang dibatalkan. Walaupun desentralisasi adalah sebuah komitmen politik yang strategis keberadaannya untuk mendukung pengembangan usaha, namun saat ini sebagai tahap awal pelaksanaannya banyak hal tercatat sebagai sesuatu yang perlu diwaspadai. Ray', misalnya, mencatat empat isu di bawah desentralisasi yang cenderung melemahlkan persaingan usaha sehat. Yang pertama di antaranya ialah problem dalam penyusunan regulasi yakni lemah dalam identifikasi masalah; kurang mengembangkan alternatif; lemahnya efektivitas review terhadap regulasi lokal dan kurang partisipatif. Kedua masih banyak masalah dalam regfflasi lokal itu sendiri yakni lemahnya pemanfaatan retribusi; retribusi pada perizinan usaha kecil. Ketiga distorsi-distorsi perdagangan yang muncul. Keempat kelemahan dalam menjaga netralitas kompetisi. Jawa Timur juga menghadapi persoalan yang sama dalam mengembangan ildim usaha yang sehat. Sentralisasi selarna ini memang telah membuat inisiatif pemerintah daerah menjadi tidak berkembang dan cenderung hanya sebagai operator pembangunan yang hanya menjalankan perintah dalam hal ini dar pemerintah pusat. Pada saat desentralisasi ini dimana inisiatif daerah diperkenankan, maka banyak hal yang harus segera berubah, namun perubahan ini masih berjalan dengan sangat lambat. Sementara tuntutan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.
5
David Ray, Hasil-hasil konperensi bertema "Desentralisa,4 RegularoryReform and ihe Business Cmate."pp. 3-17, PEG-USAID, Jakara, Agusrus 2003
38
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kinerja Investasi di Jawa Timur Kecenderungan investasi di Jawa Timur relatif konsisten dengan yang berlaku di Indonesia secara menyeluruh untuk persetujuan-persetujuan pasca krisis untuk penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)), kecuali untuk tahun 2000.
Gambar 4.1 Persetujuan-persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Nilai Investasi
Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Jumlah Proyek
US$ Juta
2000
40 1600 30 1200
20 800 400
0
0 1997
1998
1999
Sumber: BKPM 2003, diolah
2000
2001
-
2002
1997
Jatim
-M-
1998
1999
2000
2001
2002
Nasional
Pada tahun 2000, investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan kecenderungan
yang
sangat berbeda dalam arti jumlah proyek. Terjadi peningkatan tajam dalam jumlah investasi asing dan dalam negeri di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan di Jawa Barat. Namun trend ini tidak tercermin di dalam nilai investasi oleh karena proyek-proyek rata-rata lebih kecil. Aspek lain yang perla diperhatikan dalam data persetujuan investasi ini ialah bahwa baik jumlah proyek dan nilai investasi, baik untuk investasi asing maupun domestik, harus dibandingkan dengan investasi-investasi nyata. Data Bappenas6 menyebutkan bahwa secara nasional realisasi investasi sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 persentasenya mengalami penurunan dibandingkan dengan persetujuan baik untuk PMA maupun PMDN, yang cukup drastis yakni 94% pada tahun 2000,
58.8% pada tahun 2001, 25,2% pada tahun 2002 dan 21% pada tahun 2003.
6Bisnis Indoncsia, 5 Februari 2004
39
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.2 Persetujuan-Persetujnan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997 -2002) Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Jumlah Proyek
Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Nilai Investasi
800
160
600
120
400
80
200
40
0
a
-g-
1997
1998 -
1999
Jatim
2000 -N-
0I
·----
2001
2002
I
1997
Nasional
1998 Jatim
1999
2000
2001
e
2002
Nasjonal
Surnber: BKPM 2003, diolah
Ada persepsi yang berbeda antara para pelaku usaha mengenai iklim usaha di berbagai daerah di Jawa Timur. Misålnya, sekitar 70% responden di Surabaya menyatakan bahwa iklim usaha di wilayah mereka cukup mendukung, sedangkan hanya 45% dari pelaku usaha di Kabupaten Malang menyatakan pendapat yang sama?. Kajian KPPODI menunjukkan bahwa Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo diperingkat masing-masing nomor 17 dan 21 dalam peringkatan tahun 2003 untuk 200 kota/kabupaten.
7 3
Survey oleh Tim PSD bekerja sama dengan Bank Dunia dan The Asia Foundation. RegionallnvesnnentAttractiveness:A Survey ofBusiness Perception, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daemh (Regional Auionomy Watch), 2003.
40
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.3 Persentase Pelaku UsahaYang Menyatakan Setuju pada Bahwa Iklim Usaha di Kota/Kabupatennya Mendukung Investasi dan Pertumbuhan Usaha (%) Kt Probolinggo Kb Malang Kt Kediri Kb Bonodowoso Kt Malang Kt Surabaya Kt Blitar Kb Lumajang Kb Situbondo Kb Gresik Kb Nganjuk Kb Tuban Kb Trenggalek Kb Lamongan Kb Bangkalan Kb Jember
Kb Sampang Kb Pamekasan Kb Kediri Kb Sumenep Kb Banyuwangi Kb Tulungagung Kb Ponorogo Kb Madiun Kt Madiun Kb Ngawi Kb Magetan Kb Bojonegoro Kb Pacitan 0 Kt Kb
10
20
30
40
kata kabupaten
Sumber: Survey oleh Tim PSD, 2004
41
50
60
70
80
90
100
Kondisi Investasi dan Perdagangan Anrar Daerah di Jawa Timur
Perizinan Aspek perizinan pada dasarnya terkait dengan dua aspek yang saling terkait satu sama lain. Yang pertama menyangkut kebijakan dan regulasi perizinan dan yang kedua menyangkut institusi pelayanan perizinan. Dalam hal kebijakan atau regulasi perizinan nampaknya sebelum dan setelah desentralisasi wajah kebijakan perizinan di Indonesia tidak banyak berubah. Beberapa studi baik yang dilakukan oleh tim PSD sendiri maupun yang dilakukan oleh lembaga lain, menunjukkan kesimpulan yang cukup sejalan. Walaupun umumnya regulasi mengenai perizinan telah diserahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah dacrah, namun dalam praktek di lapangan umumnya .pemda masih lebih banyak menggunakan regulasi lama dari pemerintah pusat, ketimbang melakukan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha ditempatnya. Yang berubah secara cukup menonjol dalam perizinan hanyalah menyangkut retribusi yang ditetapkan secara bebas oleh masingmasing daerahnya. Sayangnya perubahan itupun bukan sebuah perubahan yang positif, melainkan cenderung lebih membebani masyarakat. Sementara perubahan yang cukup berarti baru terjadi pada sisi institusi pelayanan perizinan. Unit-unit Pelayanan Terpadu (UPT) telah dibentuk di sejumlah daerah di Jawa Timur. Dibuat melalui Surat Edaran Menteri yang diterbitkan pada tahun 1999, UPT merupakan kantor yang dapat mensentralisasikan permohonan, pengurusan atau persetujuan izin-izin tergantung pada tingkat wewenangnya. Di antaranya terdapat di Kabupaten Sidoarjo 9, Kota Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Magetan dan Kota serta Kabupaten Kediri. Walaupun lembaga-lembaga tersebut tidak secara konsisten menyediakan pelayanan yang efisien, namun masyarakat sudah
mulai merasakan kemudahan yang meningkat. Suatu evaluasi UPT di 6 kabupaten menunjukkan bahwa jumlah usaha yang diresmikan telah meningkat sesudah perkembangan UPT dan waktu pengurusan serta biaya tidak resmi telah meningkat dalam UPT yang menerima bantuan teknis dari luar<. Hal ini mungkin menyebabkan persepsi- para pelaku usaha terhadap layanan-layanan tersebut agak membaik.
9
Di Sidoaro, adanya UPT telah mengurangi wakcu pengurusan sebesar 40% dan biaya sebesar 30%. 0
1 Ddilakukan oleh limre af
dmology Transferfr SME, dîblayal cleh Asia Foundation
42
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.4 Para Pelaku UsahaYang Setuju bahwa Pemerintah Lokal Mereka Memudalikan Perizinan Usaha (%) Kb Gresik Kt Malang Kb Probolinggo Kb Bondowoso Kb Kediri Kt Surabaya Kb Tulungagung Kb Lumajang Kb Banyuwangi Kb Tuban Kb Situbondo Kt Kediri Kb Malang Kb Lamongan Kb Madiun Kb Bangkalan Kb Jember Kb Sampang Kb Nganjuk Kb Sumenep Kb Ponorogo Kb Trenggalek Kb Pamekasan Kt Madiun Kb Ngawi Kb Magetan Kb Bojonegora Kb Pacitan Kt Blitar 50
25
0 Kt
kota
Kb
kabupaten
75
100
Sumber: Persepsi Para Pelaku Usaha, Survey PSD. 2004
Diantara institusi pelayanan perizinan satu atap yang paling menonjol kinerjanya adalah Kabupaten Sidoarjo. Lembaga pelayanan perizinan yang statusnya dinas yakni Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPPM) saat ini merupakan satu-satunya layanan perizinan yang bersertifikat ISO 9000. Hal ini mencerminkan bagaimana layanan mereka sudah distandarisasi, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang baku dan jelas. Hal ini jelas menguntungkan baik bagi pelaku usaha yang mengurus izin usaha biasa maupun bagi para investor. 43
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Cara lain untuk mengurangi hamnbatan-hambatan peraturan ialah pembentukan kawasan-kawasan industri. Beberapa kawasan industri, seperti SIER, PIER dan NIP, mempunyai lembaga-lembaga otonomi yang menyediakan layanan perizinan investasi kepada para pelaku usaha di dalam kawasankawasan tersebut. Dengan demikian, para pelaku usaha tidak lagi perlu ke Jakarta atau Surabaya untuk mengurus izin investasi mereka. Suatu survey misalnya, menunjukkan bahwa di 7 kota yang dicakup tingkat pemegang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) adalah lebih dari 50%. Ini secara signifikan lebih tinggi daripada ratarata angka pemegang izin secara nasional yaitu 14,8%". Namun demikian praktek-praktek birokrasi dan korupsi dalam bentuk pungutan liar tetap menghantui pelayanan perizinan. Para pelaku usaha tetap harus membayar biaya tambahan untuk memperoleh izin-izin tertentu. Pada umumnya para pelaku usaha tidak bisa menghindar dar pungutan liar bila mereka mengajukan permohonan untuk izin, karena tanpa membayar biayabiaya tambahan tersebut akan sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk memperoleh izin-izin yang diperlukan. Tabel 4.1 menunjukkan biaya-biaya tidak resmi yang dibayar untuk sejumlah izin-izin yang diperlukan yang secara nominal diterbitkan tanpa dikenakan biaya. Tabel 4.1 Biaya-biaya untuk memperoleh Izin (dalam ribuan Rp)
Kabupaten Gresik
100 - 250
75
25 - 100
Kabupaten Jernber
50
350
60
-
Kabupaten Pamekasan
20 - 250
25
100
-
Kabupaten Pasuruan
25
-
-
1.500
Kota Surabaya
100-750
150
-
Kabupaten Tulungagung
-
500
-
-
100
-
-
-
Sumber: Survey REDI, 2004 Catatan: SIUP = Surat Izin Usaha Perdagangan, TDP = Tanda Daftar Perusahaan, ETPIK Eksportir Terdaftar untuk Produk Industri Kehutanan, SP/MD = Sertifikat/Lisensi untuk Industri Pangan
Namun demikian baru-baru ini muncul sebuah kebijakan baru dar pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden (Keppres) no 29 tahun 2004 mengenai pengaturan pelayanan perizinan investasi baik bagi investor asing maupun investor domestik. Kebijakan ini pada dasarnya menarik kembali kewenangan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pelayanan perizinan bagi kegiatan investasi. Pemerintah pusat dalam hal !ni Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan melayani perizinan investasi dalam satu atap. Kebijakan ini dikeluarkan karena banyak investor yang mengeluh kerumitan yang dihadapi dalam mengurus perizinan investasi. Akan tetapi hal in! tidak akan mempengaruhi UKM yang mewakili bagian terbesar usaha-usaha dalam negeri. Sratisrik Industri Kcil, BPS, 2002
44
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang diadakan oleh Tim PSD di berbagai daerah di Jawa Timur, isu perizinan muncul paling menonjol di sektor perkayuan. Keluhan-keluhan ini berkaitan dengan izin-izin sumber kayu dan timbul secara konsisten di seluruh Jawa Timur. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perizinan untuk komoditas kayu secara mendesak memerlukan pembaharuan-pembaharuan mendasar. Penjelasan yang lebih terinci dapat dilihat dalam uraian rantai usaha perkayuan dalam bab berikut.
Infrastruktur Fisik Kebutuhan-kebutuhan infrastruktur di Jawa Timur berbeda-beda seluruh sektor, daerah, dan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan, baik dalam arti mutu maupun kuantitas. Pelaku usaha diminta tentangpendapat-pendapat mereka mengenai tersedianyadankondisijalan, telekomunikasi, listrik, air dan transportasi yang mempengaruhi usaha mereka. Pengamatan umum terhadap jawaban kuesioner pelaku usaha menunjukkan bahwa infrastruktur yang ada dianggap mernadai, dan diskusi lebih lanjut melalui diskusi kelompok terfokus mengungkapkan adanya kesenjangankesenjangan serius dalam infrastruktur merupakan kendala yang mengancam pertumbuhan usaha dan pembangunan di Jawa Timur pada umumnya. Gambar 4.5 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Infrastruktur (Jalan, Telekomunikasi, Listrik, Air, Transportasi) 6% 12%
Baik Sangat baik
3%
22%
Buruk
D
Sangat buruk Cukup
57% Sumber: Survey PSD, 2004
45
Kondisi Invescasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Kendala-kendala khusus yang diutarakan oleh para pelaku usaha dirangkum sebagai berikut. Jalan: pembangunan infrastruktur jalan masih terkonsentrasi pada pusat-pusat pemerintahan daerah dan sedikit sekali menjangkau desa-desa atau daerah pedalaman yang lain. Padahal pusat-pusat produksi umnumnya berada di pedesaan atau di pedalaman. Kasus komoditas kayu dan perikanan menunjukkan hal ini. Jalan di Jawa Timur tercatat 27.232,27 km yang terdiri dari 1.899,21 km jalan negara, 1.439,18 km jalan provinsi, 21.935,45 km jalan kota/kabupaten dan 931,45 km adalah jalan kecamatan dan 63,07 km adalah jalan tol. Oleh karena itu proporsi terbesar adalah jalan yang dipelihara oleh kota dan kabupaten. Kondisi jalan yang buruk meningkatkan biaya dan waktu yang diperlukan untuk membawa hasil produksi ke pasar, dan untuk bahan yang tidak tahan lama keterlambatan mengurangi mutu dan harga jualnya. Realisasi Jalur Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (untuk menghubungkan Surabaya dan Madura) sangat ditunggu oleh usahausaha, terutama yang berasal dar Madura dan bagian selatan Jawa Timur. Sehubungan dengan pembangunan jembatan Suramadu ada kekhawatiran bahwa pembangunan jembatan tersebut tidak akan didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, yang menghubungkan Madura bagian utara dengan bagian selatan. Air bersih: Di beberapa kota dan kabupaten di JawaTimur, termasuk Kota Surabaya, air merupakan masalah berat dan mempunyai dampak negatif pada sektor swasta. Konon JawaTimur tidak lama lagi akan mengalami krisis air bersih. Ini akibat penggundulan hutan yang berat dan ekstraksi air tanah yang tersebar luas, terutama untuk kegiatan industri. Data statistik menunjukkan bahwa pemakaian air tanah bagi industri di Mojokerto naik 53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Krisis air in! merupakan ancaman sedemikian rupa sehingga lebih dari 30.000 hektar sawah irigasi tidak dapat dipanen sebagaimana semestinya 2 . Wilayah-wilayah sekitar Madura dan bagian selatan Jawa Timur merupakan daerah-daerah yang memerlukan perhatian serius karena merupakan wilayah yang paling menderita konsekuensi krisis air. Jaringan irigasi buruk dan pasokan air diidentifikasikan sebagai isu-isu kunci oleh petani tembakau di Madura, dan petani kopi dan tebu di seluruh Jawa Timur. Pencemaran yang meningkat dan sungai-sungai yang dangkal dituduh sebagai penyebab mutu air yang buruk, yang telah menjadi masalah bagi pembudidaya ikan dan udang. Pelaku usaha mengusulkan langkah-langkah yang perlu diambil segera bagi upaya reboisasi, pengurukan sungai dan tindakan-tindakan hukum terhadap para pencemar industrial. Listrik: Walaupun pasokan dan mutu tenaga listrik cukup memadai, namun pelaku usaha merasa bahwa tingkat optimal sudah tercapai dan diperlukan investasi baru. Pemadaman listrik sekarang menjadi rutin termasuk bagi sektor industri. Kekurangan listrik tidak unik bagi Jawa Timur, akan tetapi mengingat kepemimpinan propinsi ini di .bidang produksi, pemadaman listrik yang meningkat selama tiga tahun terakhir jelas merugikan. Isu lain berkaitan dengan pemadaman listrik ialah bahwa hal tersebut sering dilakukan tanpa pemberitahuan sebelurnya. Banyak usaha besar melakukan investasi dalam pembangkit tenaga listrik sendiri untuk melakukan kompensasi, akan tetapi usaha-usaha yang kecil tidak mampu mengambil pilihan mahal tersebut. Industri-industri 12Jakaa Post, 26 April 2004
46
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
kecil yang terletak di wilayah-wilayah pedesaan juga menyebut akses jaringan yang buruk sebagai masalah dan mereka merasa bahwa tarif listrik terlalu mahal. Pelabuhan: Kehadiran pelabuhan di Jawa Timur menentukan bagi kegiatan ekonomi. Pelabuhan terbesar kedua di Indonesia, Tanjung Perak di Surabaya, secara strategis berfungsi sebagai pintu gerbang untuk kegiatan perdagangan ke dan dari Jawa Timur. Pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir JawaTimur, terutama di bagian selatan, juga cukup berarti untuk pembangunan ekonomi khususnya di sektor perikanan. Akan tetapi penggunaan pelabuhan di pesisir Jawa Timur selain Tanjung Perak kurang optimal oleh karena keterbatasan sarana yang tersedia, atau telah menjadi terlalu padat seperti halnya Banyuwangi di mana terjadi kekurangan tempat sandar dan sarana pengolahan pendukung. Kekurangan-kekurangan lain termasuk kemampuan ruang coldstorage, depo bahan bakar, pergudangan dan akses jalan raya.
Pungutan-pungutan Untuk menciptakan kondisi persaingan dalam perdagangan antar daerah diperlukan perhatian serius dari pemerintah-pemerintah lokal. Fakta menunjukkan bahwa 80,66% pelaku usaha di Jawa Timur dalam survey tersebut memasukkan bahan baku, baik dari Jawa Timur sendiri atau dari luar propinsi. Hal yang sama berlaku untuk keluaran. Sebanyak 83,3% pelaku usaha yang merupakan responden survey tersebut mengatakan bahwa pasar mereka berlokasi di luar kota atau kabupaten tempat kediaman mereka3 sehingga pentingnya perdagangan antar daerah menjadi jelas. Hambatan-hambatan perdagangan antar daerah mempunyai berbagai bentuk. Misalnya, inspeksi
barang berlebihan dan pungutan liar merupakan praktek-praktek yang pada umumnya dihadapi oleh para pelaku usaha bila mereka mengirim barang masuk atau keluar daerahnya masing-masing. Keadaan ini tidak saja menaikkan biaya tetapi juga menambah waktu yang dihabiskan di jalan. Kejahatan, seperti penjarahan dan perampokan juga sering terjadi. Di bawah ini cuplikan dari catatan-catatan lapangan Tim PSD yang menyertai perjalanan pengiriman barang dari Malang ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pihakpengusaha bisa meminta jasapengawalanpolisi dari Polda atau Poires. Pengawalan ini secara resmi bebas biaya, tetapi biasanyapelaku pengusabamemberi imbalan dengan membayar sejumlah uang, baik yang ditetapkan maupun tidak.Jasapengawalanjuga diberikan oleh para pengadajasapengawalan resmi seperti Securicor. Jasapengawalanlain,yang disebutjasapengawalan"tidakresmi »termasuk Gajah Oling (Ga-01), Ikatan Payung Madura (IPAMA), Aremania, RST dan Zain-lain. Gajah Oling merupakanjasa 13
Survey REDI, 2004: 21-23 47
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
pengawalanterbesardiJawaTimur. Ga-Oladalahorganisasijasapengawalanyangmengeluarkan kartu anggota kepada supir-supirtruk. Kartu-kartuanggota tersebut menunjukkan babwa Ga01 dibentuk oleh Koperasi Pembekalan dan Angkutan dari Kodam V Brawijaya (Bek-angDam V/Brawijaya) beralamatdi Kalisosok, Surabaya. Keanggotaan Ga-Ol mewajibkan pembayaran iuran anggotasebesarRp. 30.000 sampai Rp 35. 000 per bulan. Biaya-biaya tidak resmi lainnyayang diamati langsung di lapangan adalab untuk angkutan sayur kepelabuhan laut. Begitu mobil truk memasukipintu gerbangpelabuhanTanjung Perak, si pengemudi harus membayar kepada seorangpolisi pungutan tidak resmi sebesar Rp. 10.000 setelah membayar tiket masuk resmi. Begitu meliwatipintugerbang, mobil truk harus berhenti sebentar di pos KR3 atau KRLP dan menyerahkan Rp. 10.000 lagi kepada petugas di sana. Penulis bahkan menyaksikan seorangpetugasKR3 mengejar sebuah mobil truk untuk menagib biayanya karena si pengemudi truk terburu-buru membeli tiket untuk kapalyang sudak mau berangkat.(Sumber: Ctan apangan Tim PSD, 2004) Pungutan-pungutan merupakan persoalan penting seperti di daerah lain di Indonesia untuk semua sektor dan khususnya oleh para pelaku usaha di Jawa Timur. Pungutan-pungutan liar merupakan manifestasi praktek-praktek korupsi yang telah lama menghantui kegiatan ekonomi di Indonesia. Walaupun pemnerintah pusat telah menerbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang penyelenggaraan negara bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), masih sedikit sekali akuntabilitas dari pihak para pegawai pemerintah. Korupsi di semua saluran peradilan yang bertanggungjawab atas pengusutan kasus membuat praktek ini sulit untuk dibasmi. Kedua, pungutan-pungutan tersebut telah diresmikan melalui surat-surat keputusan, biasanya dalam bentuk biaya dan pajak, dengan alasan pendapatan asli daerah yang rendah. Pungutan-pungutan resmi terhadap masyarakat ini telah menjadi alternatif pengerahan dana yang paling populer bagi pemerintah daerah. Yang ironis, pungutan-pungutan ini tidak saja terjadi pada tingkat kota dan kabupaten tetapi bahkan pada tingkat desa di mana pemerintah dilevel bawah (desa, kelurahan) meniru tingkat-tingkat pemerintah yang lebih tinggi dalam menciptakan peraturan-peraturan baru yang mewajibkan pembayaran pungutan.
Contoh-contohPungutanPemerintabDesa: Kays (1): Mengangkut kayu dari sumbernya di Rejo ke Kamolan, melewati tiga desa. ika kayunya diangkut dengan mobil pick-up, dikenakanpungutan Rp. 2.500 setiapperjalanan;jika menggunakan L300, Rp 5.000 setiap perjalanan;dan jika menggunakan truk, Rp 10.000 per truk perperjalanan.
48
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kasus (2): Mengangkut kayu dari KarangRejo - Mungguran - Mendo Agung, dikenakan Rp 2. 0OOper 5 kilometerperpick-upperperjalanan.(Sumber: Catatantapangan Tii PSD, 2004) Ketiga, praktek-praktek tata pemerintahan yang buruk ditandai dengan adanya pungutan- resmi yang disertai dengan pungutan liar akibat kebijakan yang lebih besar dan tingkat akuntabilitas yang rendah dari pihak aparat pemerintah. Oleh karenanya, dengan menciptakan pungutan resmi baru juga bisa menimbulkan pungutan tidak resmi lebih banya.
Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan (Skala -2: menjadi lebih buruk dan 2 menjadi lebih baik)
M
0.6
0.4
Pungutan Liar
Pungutan Formal
0.2
0
ig
:
onal
iri
-0.2 -0.4M -0.6-0.8 Sumber: REDI (2003) dalam Ray, Decontralization, Regulatary Refaom and the Business Climate, PEG, USAID, 2003 diolah
Survey di atas menunjukkan persepsi para pelaku usaha di berbagai daerah. Para pelaku usaha di Sulawesi Utara menyatakan bahwa pungutan resmi menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Demikian pula para pelaku usaha di Jawa Timur merasa bahwa pungutan resmi sekarang lebih buruk dari dulu. Akan tetapi Jawa Timur mempunyai peringkat yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah lain untuk persepsi masyarakat bahwa pungutan tidak resmi mulai berkurang. Hal ini konsisten dengan temuan-temuan laporan ini. Sekalipun persepsi terhadap pungutan liar nampaknya mengalami perbaikan, namun perhatian mengenai penanganan pungutan ini masih tetap perlu mendapat perhatian, karena walaupun frekuensinya mengalami penurunan, namun intensitasnya cenderung mengalami kenaikan. Dua bentuk pungutan liar yang terjadi secara menonjol di wilayah Jawa timur adalah pertama pungutan di jalan raya atau dalam kegiatan pengiriman barang dan kedua adalah sumbangan pihak ketiga yang dilakukan secara represif dan kadang menggunakan atribut militer.
49
Kondisi
investasi
dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Contoh kasuspungutan dijalan: Kasus (1) : Padapengangkutan kayu dari Trenggalek - Surabaya dengan menggunakan truk tronton untuk satu kalipengangkutanper truk biaya untuk membayarpungutantidak resmi disepanjangjàlan adalah kurang lebih Rp 50.000,-. Selain yang harian adajuga biaya yang harus dikeluarkanyang sifatnya bulananyaknisekitar2,5 -4 juta rupiah untuk 4pos (disebutkanadaposek, pores, kecamatan sampai satuan sabhara) Kasus (2) : pengiriman kayu darikecamatan Dongko - Probolinggo harus mengeluarkan dana sekitar Rp. 100. 000,-. Pos-pos yang diketahui harus setoryakni Polsek Dongko, Perbutanidi Krangan lalu pos-
pos Lain di sepanjangBlitardan Malang. (sumber: CatatanLapangan Tm PSD, 2004) Studi lain menyebutkan bahwa pungutan terhadap pengusaha di Jawa Timur mencapai angka rata-rata 4,93 juta per tahun14 .
Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pungutan pada
tahun yang sama di Sulawesi Selatan, yang mencapai Rp 949.000,-. Akan tetapi jauh lebih rendah daripada di Sumatra Utara dan Jawa Barat, di mana jumlah rata-rata mencapai Rp 7,5 juta lebih per tahun. Menurut kajian tersebut, dari total pungutan tersebut persentase terbesar dibayar untuk dua jenis pungutan, yaitu: preman dan kegiatan sosial/masyarakat. Jenis pungutan kedua sangat lazim di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat meminta perusahaan untuk memberi uang bagi kegiatan sosial atau masyarakat, seperti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan. Pembayaranpembayaran ini sukarela dan sesuai dengan sumbangan perusahaan di negara-negara lain.
Keamanan Jawa Timur tidak mengalami gangguan politik sebanyak di Jakarta. Kerusuhan atau unjuk rasa skala besar yang terjadi di Jakarta - sebagai rujukan untuk keadaan politik di Indonesia - hanya mempunyai dampak kecil atas keadaan di Jawa Timur, kecuali di Surabaya. Pergantian Gubernur Jawa Timur pada pertengahan tahun 2003 tidak disertai unjuk rasa masal sebagaimana biasanya. Akan
tetapi masalah-masalah keamanan yang mengganggu kalangan usaha memang ada, dan
hanya 57,3% dari responden dalam survey ini merasa bahwa tingkat keamanan sekarang kondusif terhadap usaha.
4
Medium Size Study, Makalah Diskusi, Cerner for Economic and Social Studies (CESS), 2003;17
50
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keaanan Gresik
2.43
Jember
2.49
Surabaya
2 86
Malang
3
Tulungagung
3.02
Pasuruan
3.22
Pamekasan
3.5 0
2
1
3
4
Sumber: Suivey REDI, 2004
Tim PSD menemukan bahwa banyak kasus pencurian terjadi di sektor perikanan dan di sektorsektor pertanian, khususnya di bidang kehutanan. Pencurian di sektor tambak ikan, kebanyakan di tambak udang, dapat dikategorikan sebagai perampokan karena selalu disertai dengan kekerasan. Seorang pelaku usaha tambak udang dari daerah Mojokerto melaporkan bahwa kerugiannya akibat perampokan mencapai lebih dari 30%, atau ekuivalen Rp 25 juta, untuk setiap panen. Pencurian di sektor perikanan lepas pantai kebanyakan dilakukan oleh nelayan asing. Beberapa faktor memungkinkan hal ini. Pertama, polisi perairan (penjaga pantai) tidak efektif karena jumlahnya tidak memadai untuk wilayah yang harus dijaga dan mereka juga tidak mempunyai perlengkapan yang cukup. Juga, nelayan lokal tidak bisa berlayar jauh ke laut karena mereka umumnya menggunakan perahu nelayan kecil, dan dengan demikian lahan penangkapan ikan mereka terbatas pada wilayah yang relatif keeil, hanya empat sampai enam mil lepas pantai setiap kali mereka melaut. Untuk komoditas kayu, pencurian yang terjadi lebih rumit dan cenderung sistematis, melibatkan berbagai lembaga resmi sehingga lebih sulit untuk dibasmi. Dampak langsung pencurian ini ialah bahwa para pedagang kayu di sektor hilir kesulitan memperoleh bahan baku. Diperkirakan bahwa para pengusaha merugi Rp. 200 sampai Rp. 300 juta karena mereka tidak mampu memenuhi pesanan dari pasar ekspor 5 . Masalah-masalah keamanan, khususnya di kawasan industri dan tambak ikan, telah memaksa para pelaku usaha untuk meneari bantuan khusus dari petugas keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian. Para pelaku usaha yang meminta polisi untuk perlindungan ekstra mengatakan bahwa secara teknis hal tersebut memiliki dampak positif, dalam arti bahwa tingkat pencurian dan perampokan telah t5
Agence France Presse, 16 Maret 2004
51
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
menurun. Akan tetapi bantuan keamanan tersebut melibatkan biaya tambahan besar. Seorang pemilik tambak udang mengatakan bahwa la harus mengeluarkan sampai Rp 5 juta setiap panen untuk pengamanan polisi. Seorang pengusaha di PIER, kawasan industri, mengatakan bahwa la harus membayar antara Rp 1 juta dan Rp 3 juta setiap bulan.
Burah Kondisi perburuhan di Jawa Timur berbeda dari daerah ke daerah. Tim PSD mengamati bahwa gangguan perburuhan paling sering terjadi di wilayah-wilayah perindustrian seperti Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan. Gangguan perburuhan telah menyebabkan sejumlah perusahaan mengurangi atau menunda kegiatan mereka, dan beberapa telah memilih untuk memindahkan kegiatan mereka keluar Indonesia 6 . Pada umumnya, para pelaku usaha mengeluh tentang kesulitan untuk memperoleh buruh sesuai dengan kebutuhan mereka, sementara juga ada permintaan kuat dari Iingkungan sekitarnya untuk pekerjaan bagi tenaga kerja lokal. Di lain pihak, para pekerja umumnya melihat tarif upah minimum yang tidak memadai serta kegagalan untuk melibatkan para pekerja dalam perumusan kebijakan perusahaan sebagai sumber-sumber masalah perburuhan. Para pekerja tidak puas karena mereka merasa bahwa ukuran kenaikan upah minimum masih terlalu rendah. Para pelaku usaha, di lain pihak, merasa bahwa kenaikan biaya buruh secara signifikan mengancam kemampuan mereka untuk bisa bersaing. Upah Minimum (UMK) untuk tahun 2004 mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2004 melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No.
188/273/KPTS/013/2003.
Kota Surabaya mempunyai UMK paling tinggi, disusul oleh kota-
kota dan kabupaten-kabupaten berdekatan seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan. Kabupaten Bondowoso mempunyai UMK paling rendai Kenaikan UMK dari tahun 2003 ke tahun 2004 sekitar 2 sampai 6 persen, masih di bawah angka-angka inflasi untuk masing-masing kota/kabupaten.
1aporan Tim Sektor Swasta, Surabaya, Bank Duia, 2003
52
Memperbaiki Iklim Usaha di
Jawa Timur
Tabel 4.3 Upah Minimum Regional (UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
1
Kota Surabaya
516.750
550.700
20
Kab Madiun
281.000
320.000
2
Kab Gresik
516.500
550.550
21
Kab Magetan
292.500
321.530
3
Kab Sidoarjo
516.500
550.550
22
Kab Ngawi
288.700
323.600
4
Kota Mojokerto
478.500
488.000
23
Kab Ponorogo
282.000
315.000
5
Kab Mojokerto
516.500
550.550
24
Kab Pacitan
289.000
320.975
6
Kota Malang
497.100
548.000
25
Kota Blitar
301.100
331.210
7
Kab Malang
497.100
548.000
26
Kab Blitar
295.000
317.200
8
Kota Batu
497.100
548.000
27
Kab Trenggalek
274.000
316.500
9
Kota Pasuruan
430.000
450,000
28
KabTulunggagung
332.500
349.000
10
Kab Pasuruan
513.000
550.550
29
Kab Bojonegoro
287.500
331000
11
Kota Probolinggo
445.000
461.000
30
Kab Banyuwangi
319.400
356.000
12
Kab Probolinggo
443.750
456.000
31
Kab Sampang
300.700
330.000
13
Kab Jombang
398.000
426.500
32
Kab Lumajang
292.700
321.000
14
Kota Kediri
415.000
480.000
33
Kab Jember
384.000
397.606
15
Kab Kediri
415.000
480.000
34
Kab Bondowoso
300.000
310.000
16
Kab Nganjuk
335.000
354.000
35
Kab Situbondo
311.000
348.500
17
Kab Lamongan
328.450
380.743
36
Kab Pamekasan
400.000
430.000
18
Kab Tuban
322.500
345.000
37
Kab Sumenep
360.000
400.000
19
Kota Madiun
305.000
325.000
38
Kab Bangkalan
390.000
440.000
Sumber: Dinas Tenaga Keqa dan Transmigrasi Kantor Jawa Timur
Dinamika yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan peraturan ketenagakerjaan telah mempunyai dampak signifikan atas kondisi perburuhan di Jawa Timur. Pada tahun 2000, angkaangka pengangguran, yang mencakup para pencari pekerjaan, mereka yang belum ditempatkan dan mereka yang di PHK, masih sangat tinggi. Kenaikan-kenaikan UMK telah sedikit berdampak pada keadaan perburuhan di Jawa Timur, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
53
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.8 Kondisi Bursa Tenaga Kerja Tahun 2000 350
*
Pencari Kerja
300
*
Penempatan Penghapusan
-_-
250
Belum ditempatkan 200
Permintaan
150
Dipenuhi
100
Penghapusan Lowongan Sisa Lowongan
50 --. 50 Sumber: Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur
Usaha-usaha yang mempunyai kaitan dengan pariwisata di Bali bernasib lebih baik. Misalnya, industri tekstil di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogya merupakan pemasok terbesar untuk produk tekstil di Bali. Ketika krisis ekonomi sangat mengganggu kegiatan ekonomi di kebanyakan daerah di Indonesia, Bali (sampai pem"bom"an bulan Oktober 2002) tetap memetik keuntungan signifikan dari arus wisatawan yang meningkat dan peredaran dolar yang bernilai lebih tinggi daripada sebelumnya. Situasi ini berdampak langsung terhadap industri-industri lain di Jawa dan daerah sekitarnya yang mendukung industri pariwisata di Bali dan Lombok.
54
5 [MATA RANTAI KOMODITAS
KayuJati Tembakau Tebu dan Gula Kopi Garam Udang Ternak Sapi Tekstil
MATA RANTAI KOMODITAS
Masalah-masalah yang diuraikan di bab-bab sebelunnya dihadapi oleh para pelaku usaha pada umumnya. Dalam bab ini kami akan memperdalam beberapa mata rantai komoditas, dengan tujuan menunjukkan secara lebih khusus jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha pada setiap tahap sepanjang rantai produksi dan distribusi. Komoditas-komoditas tersebut dipilih untuk penelitian mendalam atas dasar dua kriteria, yaitu: pentingnya bagi ekonomi regional dan kompleksitas lebih besar permasalahannya dibandingkan dengan komoditas-komoditas lain. Sejumlah komoditas tersebut, akibat kepentingan strategis sejarah dan dipersepsi bagi ekonomi, ditandai oleh intervensi negara yang signifikan. Badan-badan Usaha Milik Negara, kendali-kendali harga untuk masukan dan keluaran, dan monopoli/ monopsoni tetap mempengaruhi lingkungan usaha untuk komoditas-komoditas seperti gula, tembakau dan garam. Di samping itu, Indonesia mempertahankan kebijakan swasembada untuk sejumlah bahan pangan pokok yang telah menimbulkan hambatan-hambatan perdagangan. Distorsi-distorsi yang diciptakan oleh kebijakan-kebijakan tersebut merupakan hambatan signifikan terhadap pertumbuhan dan perlu disikapi dalam upaya-upaya pembaharuan kebijakan. Akan tetapi, mereka tidak ditinjau secara terperinci di sini. Informasi berikut adalah dari perspektif para pelaku usaha daripada memberi tinjauan menyeluruh kebijakan untuk setiap sektor.
KAYU JATI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Kediri, Kabupaten Malang, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo. Kapasitas produksi industri kayu dan produk hutan Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia. Pada tahun 1996, Indonesia menduduki tempat ke sebelas dalam kapasitas produksi industri kayu. Akan tetapi, karena pasokan kayu menurun kapasitas ini berkurang (lihat Tabel 5.1). Hal ini berkaitan erat dengan aras-aras tinggi pembabatan hutan dan penyelundupan kayu gelondongan untuk ekspor yang sangat sulit dikendalikan. Loebis dan Schmitz' 7 dalam kajian mereka menemukan bahwa laju kehilangan hutan di Indonesia telah dipercepat; pada tahun 1998 dilaporkan bahwa dari 1 juta hektar per tahun, angka ini telah naik menjadi 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996.
Lienda Loebis dan HubenSchimtz, da[am "Jkva FurnimeMaken: Winne or Losersfromn Globaization". DS,usCe, Sept 2003
56
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.1 Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya serta Penggunaannya
1996
1.363
50
1997
1.371
57,4
1998
1.373
45,4
1999
1.373
47
Sumber: BPS, diolah
Sejak tahun 1997 kayu-kayu dari
luar Jawa termasuk impor mulai memasuki pasar kayu di Jawa
Timur. Ada kecenderungan bahwa jumlah kayu dari luar Jawa itu semakin meningkat. Pada hampir seluruh FGD yang dilakukan, peserta khususnya dari sisi hilir rantai bisnis yang ada menyatakan bahwa sekarang mereka lebih banyak menggunakan kayu dari luar Jawa termasuk import. Hal ini terutama dirasakan oleh pelaku usaha usaha yang berada di Jawa Timur bagian utara. Ini terjadi karena di Jatim bagian utara ini hampir tidak memiliki hutan kayu lagi, sehingga cenderung tergantung pada kayu dari luar Jawa. Nilai output dan nilai ekspor barang kayu dan hasil hutan lainnya seperti tampak pada grafik di bawah ini. Pada dasarnya sumber kayu yang dihasilkan di Indonesia pada umumnya berasal dari 4 kategori yakni rumah tangga, usaha kecil, sedang dan besar. Dari nilai outputnya rumah tangga menempati tingkat tertinggi. Namun dalam hal ekspor, usaha besar mendominasi kegiatan ekspor. Hal ini menunjukkan bahwa industri kayu dari usaha rumah tangga, kecil dan sedang ditujukan untuk mengisi pasar dalam negeri.
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor (Kayu dan Benda Produk Hutan Lainnya)
Distribusi nilai ekspor (%)
Distribusi nilai total keluar (%)
0%
1% /-6%
18% 6%
15% -ø'
31%
93%
Rumah Tangga
Usaha Menengah
Usaha Kecil
Usaha Besar
Sumber: SlatistiK Industri, BPS, 200D, diclah
57
Mata Rantai Komoditas
Sumber kayu utama di Jawa Timur terdiri dari hutan rakyat, Perhutani (perusahaan milik negara), kayu dari luar jawa, dan kayu impor luar negeri. Definisi hutan rakyat ialah kayu yang ditanam di atas tanah milik perorangan, biasanya menggunakan luas tanah kecil. Para pemilik hutan rakyat pada umunnya usaha rumah tangga dan usaha kecil. Kayu dari luar Jawa biasanya berasal dari kategori pelaku usaha besar. Di bawah ini suatu ilustrasi rantai distribusi komoditas kayu di Jawa Timur. Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Kayu di Jawa Timur
(dibawah 50 hekt)
Perhutani
Pedagang Pertama
Industri mebel di Jatim
Sawmill
Konsumen Akhir
Industri mebel di luar Jatim
Pedagang Kedua
Pabrik Kayu Olahan (Probolinggo,
PTP
Surabaya)
Luar Jawa '
Import
Pabrik Kertas (PT. Tjiwi Kimia)
Berikut beberapa masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha di sektor industri kayu.
ISU-ISU PENCURIAN KAYU DAN PEMBABATAN HUTAN Menipisnya ketersediaan bahan baku kayu khususnya untuk jati mendominasi FGD diberbagai wilayah. Menipisnya ketersediaan bahan baku kayu ini terutama disebabkan terjadinya pencurian dan penjarahan kayu yang tidak terkontrol. Pemerintah dan aparat keamanan sudah saat ini tidak mampu mengatasi masalah pencurian dan penjarahan kayu yang dilakukan melalui penebangan liar. Tingginya tingkat pencurian kaya seperti yang disebut pada bagian terdahulu dimungkinkan karena disinyalir adanya keterlibatan 'orang dalam' (atau bahkan militer). Apalagi setelah reformasi digulirkan, pada saat itu masyarakat umum seakan berlomba-lomba untuk menebang hutan, dengan alasan sebagai kompensasi atas perampasan tanah dimasa kayu
liar dihutan mengalami peningkatan yang sangat tajam.
58
lalu. Pada saat itu jelas penebangan
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Modus pencurian kayu secara umum dilakukan dalam dua cara yakni pencurian secara tebang langsung dan kemudian diselundupkan kewilayah-wilayah tertentu melalui penadah-penadah yang ada. Dalam kasus ini maka kayu yang diperdagangankan termasuk dalam perdagangan ilegal. Modus kedua yakni kayu-kayu yang ditebang secara liar kemudian dibuatkan surat izinnya. Sehingga kayukayu kemudian menjadi sah secara hukum. Dengan demikian ketika kayu tersebut dijual, maka transaksi perdagangannya menjadi sah. Hal ini sangat terkait dengan proses pemberian izin baik izin penebangan maupun pengangkutan kayu yang sangat rentan terhadap proses korupsi sehingga memungkinkan dikeluarkan izin-izin yang seharusnya tidak dapat dikeluarkan. Metoda kedua ini dapat diatasi jika pemerintah lokal tegas tentang memberantas korupsi. Pencurian dan penjarahan kayu ini secara langsung berakibat pada semakin menggundulnya hutan. Sementara itu kemampuan pemerintah dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan selama ini sangat terbatas dan jauh tertinggal dengan percepatan penggundulan hutan.
Luas hutan yang beradadibawahpengelolaanPerhutaniBojonegoro adalah 50.145,5 ha (termasuk butan lindung). Ini merupakan 95% dari seluruh arealbutan kayu yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Dariluas tersebut hutanyang gundul sekitar20%-nya yakni sekitar 11.000 hapada tahun 2001. Diperkirakansaat ini luas hutan yang gundul semakin meluas. Sementara itu kemampuan pemda melalui perhutani dalam melakukan penghijauan sangat lambat. Rata-rata hanya mampu sekitar 1.017 ha/tahun (tahun 2003). Padahalpenggundulanhutan setiap tahun diperkirakanjauhdi atas angka tersebut. (FGD, Tim PSD, 2004) Hal lain yang juga kurang mendukung percepatan proses penghijauan kembali hutan-hutan yang gundul ini karena rendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya semacam ini.
PERIZINAN Perizinan di sektor kayu merupakan isu yang rumit. Ada dua jenis izin yang paling banyak mendapat keluhan dari para pengusaha kayu yakni Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)'" dan Lisensi yang berupa Surat Perintah Alokasi Pembelian (SPAP), Surat Perintah Pembelian (SPP) dan Surat Ijin Pembelian (SIP)' 9 .
isKeputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 132/Kpts-II/2000 tentang Penberlakukan surat keterangan sahnya hasil huran (SKSHH) sebagai pengganti loan (SAKO) dan surar angkuran basil huran bukan kayu (SAHHBK).
dokumen surat angkutan kayu bulat (SAKB), surat angkutan kayu 9
Lisensi cersebut dibedakan berdasarkan volume pembelian kayu per ahun, seara rinci dapar diuraika sebagai berikut (a) SPAP surat ijin ini dikeluarkan aleh Perhucani Pusat untuk pemnbelian kayu per cahun sebanyak diaias 2000 M3 (b) SPP surar ijin ini dikeluarkan olch Perhutani Propinsi untuk pembelian kayu per tahun sebanyak anrara 600 - 900 M3 (c) SIP surat ijin ini dikeluarkan olch Perhutani Kabuparen uncuk pembelian kayu per rahun paling banyak 700 M3
59
Mata Rantai Komoditas
SKSHH pada dasarnya memberi kepastian hukum akan asal usul kayu yang sah. Pihak yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKSHH adalah Pemda melalui Dinas Perkebunan atau Kehutanan setempat. Nanun demikian dalam kenyataannya sebagaimana diulas diatas bahwa surat ini malah digunakan untuk melegalkan barang-barang curian. Dengan kata lain banyak sekali kayu hasil pencurian itu dengan mudah mendapatkan SKSHH. Artinya dengan surat ini kayu curian tersebut menjadi sah di pasar. Akibatnya para pengusaha yang mendapatkan kayu secara sah merasa dirugikan, karena harus bersaing dengan kayu-kayu ilegal (yang dilegalkan) dengan harga yang lebih murah, sehingga kompetisi menjadi super ketat. Di Bojonegoro Diperkirakan jumlah kayu ilegal yang berhasil mendapatkan SKSHH mencapai 14.000 m3 dalam tahun 2003. (FGD, Tim PSD, 2004). Gambar 5.3 PROSES PENERBITAN SKSHH Izin Pengangkutan/perdagangan Kayu Nasional Surat keputusan dirjen pengolahan hasil kehutanan no.82/KPTS VI-EDAR/2002 Penebangan Pohon
Perusahaan Laporan Hasil Produksi (LHP)
>menerbitkan
[El
ä-
P2SKSHH akan menerbitkan
i__
LHP harus disahkan oleh tim khusus yang
terdiri dari : 1. Dinas Kehuranan (Prop atau Kabupaten) 2. Pemerintah Daerah bagian Ekonomi 3. Komisi B DPRD 4. Dinas Pendapatan Daérah
t perusahaan mengajukan permohonan SKSHH dengan dilampiri bukti pembayaran kepada pejabat penerbit SKSHH
PP 34199, SK MehiHut 6887/2002 Selanjutnya tim akan melakukan survey lapangan dan akan menganalisa tentang spesifikasi kayu tebangan, area tebangan, dll
Diterbitkan Berita Acara yang telah mendapat tanda tangan persetujuan
Setelah melakukan pembayaran restribus PSDH perusahaan akan mendapat bakti pembayaran
Perusahaan akan membayar restribusi PSDH melalui rekening ke Kas daerah PP 3 P 74/99, SK Men Perindustrian 510/MPP/Kep/2002
LHP dengan dilampiri Berita acara diajukan ke petugas pengesah LHP di Dinas Kehutanan ybs, untuk mendapat pengesahan NoW PSDH(ovisiSumbrDaya Huran)al
retmbui basil kayu vaban
60
Setelah LHP disetujui maka Dinas : Kehutanan ybs akan menerbitkan surat pembayaran restribusi PSDH
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Standar-standar pelaksanaan UU Kehutanan tentang SKSHH menimbulkan suatu dilema. Di satu pihak, peraturan ini dibuat sedemikian terperinci sehingga seharusnya menutup semua peluang untuk penyimpangan, sedangkan di lain pihak tingginya perincian standar-standar tersebut menciptakan kompleksitas dalam pelaksanaan sehingga sebenarnya menciptakan peluang bagi korupsi. Misalnya, sehubungan dengan dimensi dan berat kayu gelondongan, SKSHH memperinci berat dan dimensi kayu gelondongan yang boleh diangkut dan diperdagangkan; akan tetapi, oleh karena tidak ada teknologi standar untuk pemotongan kayu, maka sulit untuk mengukur secara tepat berat dan dimensi-dimensi yang diperinci di dalam SKSHH. Perbedaan ini antara berat dan dimensi yang diperinci di dalam SKSHH dan jumlah-jumlah yang sebenarnya diangkut berarti bahwa mengangkut kayu dari satu tempat ke tempat yang lain tunduk pada banyak pungutan, baik dari pihak kepolisian dan dari DLLAJ. Kelemahan dalam kebijakan perizinan yang dilakukan melalui SKSHH ini adalah tidak membedakan antara kayu-kayu yang berasal dari PT Perhutani atau perusahaan-perusahaan besar pemilik HPH dengan kayu-kayu yang ditebang dari hutan rakyat. Kayu yang berasal dari hutan rakyat yang dimaksud adalah kayu yang ditanam ditanah yang umumnya tidak luas milik rakyat sendiri. Walaupun ditanam di tanah milik sendiri namun bila rakyat sebagai pemilik lahan hendak menebang kayunya sendiri sangat sulit karena secara regulasi keberadaan kayu ini dipersamakan dengan kayu negara. Izin yang kedua yakni SPAP/SPP/SIP adalah izin yang dikeluarkan menyangkut cara mendapatkan atau membeli kayu. Saat ini ada dua cara mendapatkan atau membeli kayu dari Perhutani yakni melalui lelang dan lisensi. Lelang hanya berlaku untuk pembelian dalam jumlah yang besar. Sementara untuk pembelian jumlah kecil dilakukan melalui lisensi. Sehingga bagi para pelaku usaha terutama pengusaha kecil maka pembelian kayu dari Perhutani dilakukan melalui lisensi. Adapun lisensi yang dimaksud yakni SPAP yang dikeluarkan oleh Pusat, SPP dikeluarkan oleh unit di tingkat provinsi dan SIP dikeluarkan oleh KPH di tingkat Kabupaten. Perbedaan SPAI SPP dan SIP adalah berkaitan dengan jumlah pembelian kayu. Sebagaimana juga dengan SKSHH surat izin !ni juga tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi yang membuat pengurusan surat ini menjadi sulit dan mahal, dan hanya bisa cepat bila membayar sejumlah uang suap kepada pihak pemberi izin. Seorangpesertadari Bojonegoro menuturkan : "..Kilaumau membayar 1,5 juta mengurus lisensi maka izin akan keluar di bawahjam 12. Tapi ka&u cuma berani membayar 25.000 maka izin baru akan keluar di atasjam 2 atau baru besok siang lagi... " (FGD, Tim PSD, 2004) Kebijakan perizinan lain yang juga membatasi suplai kayu adalah kebijakan moratorium 2Oyakni kebijakan cegah tebang. Pada dasarnya kebijakan ini ditujukan bagi langkah pengamanan terhadap 20
Keputusan Menteri Kehutanan No 127/kpts-V/2001 Tentang Penghenrian semenmra (morarorium) kegiatan penebangan dan perdagangan raini
61
(gonytylus spp)
Mata Rantai Komoditas
keberadaan kayu dihutan khususnya kayu ramin agar tidak habis dalam waktu yang singkat. Namun disisi lain kebijakan fni secara langsung juga telah menyebabkan PT Perhutani juga mengalami pembatasan dalam penebangan kayu. Namun karena ada unsur permainan serta lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan ini, maka kebijakan ini nampaknya kurang efektif untuk mencegah penebangan hutan. Izin lain yang juga mempengaruhi transaksi kayu terutama ekspor kayu adalah menyangkut kebijakan izin ekspor untuk beberapa jenis hasil hutan seperti kayu lapis dan rotan sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan Menperindag tentang ketentuan ekspor bahwa masih ada surat izin tertentu yang menjadi persyaratan ekspor hasil hutan sebagai berikut:
sepMenpo
_
a-.
to
g' e u la
_
ea
-
-
et-liCn
/
Tentang
e teblockbornLve ee •
-
a a
u
- -äk-
ai
aa
asa
L
i
"pag -
a-sana O
edagad a
ea
-·
a
se agaEsie
i
een uan E k por
e
aM
as
er sa aa Pe sa aa
a
Etägi
111
i_E
nlp
i i
jC'G ;-.K: J
1111
-i . 11
lCI!Ai l Ipp
g
-kalaps a gs
TPa eaw ida
-er a ta ga e es~
ìea u1
~
te
@ä~. iL åLLåä d driig u jigå r äWiPAg
kw« r
g r rdr ~l e , &wrfára F-~'r
aL4|1" a
lo Ao,rj~KAr
i o¶ mm Iw?tal dorowr
as r
lag m-wnun ro manceoirn
t
Es ø ø ) ý;rm M "J2ä se sa itrgruailf ir
a e s a åa
.1
or6 enl¾9s
1e ci nic
a se pa a
.
le. [ rr
#f
-
09-d-
arJdmem[Slrrå, ams ýä
be
ana
g e2 .6
62
öå
Waär iln --
uffi
~
-
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di sektor hilir, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi para pengrajin kayu cukup penting karena bisa melindungi mereka dari penipuan dan peniruan. Namun demikian HAKI cukup sulit diperoleh selain lama dan mahal, juga tidak jelas harus mengurus kemana. Akibatnya design banyak dijiplak pihak lain, terutama pengrajin mebel dan furnitur serta kerajinan kayu lainnya. Kalaupun HAKI diperolch tetap sulit mendapatkan perlindungan terhadap pembajakan hasil karya sendiri Izin lain yang juga cukup mahal dan karenanya sulit diperoleh adalah Izin lokasi lahan kayu terutama yang dipedalaman dirasakan cukup mahal dan harganya disamakan dengan lahan yang berada didekat jalan raya. Rata-rata izin lokasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi, belum lagi ditambah dengan pungutan. Berikut ini pengalaman seorang petani kayu jati yang membatalkan rencananya dikarenakan terialu mahal.
Petanidi KabupatenKediriyangmemiliki 4 hektar tanah. Ia merencanakan untuk menanaminya dengan semaian kayujati emas. Modalyang diperlukan untuk menanam semaian tersebut ialah sekitarRp 25juta per hektar jadi seluruh biaya untuk membangun empat hektar ialahRp 100 juta. Ketika ia mencoba mengurus izin lokasi, ia diminta membayar Rp 50 juta per hektar, dengan total Rp 200 juta. Angka ini adalah hasil tawar menawar, oleh karena hargayang diminta pada awalnya adalab Rp 350juta untuk empat hektar. (FGD, Tim PSD, 2004)
INFRASTRUKTUR
Jenis-jenis infrastruktur yang mempunyai dampak signifikan terhadap kegiatan usaha berkaitan dengan kehutanan di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
Jaringan Telepon: Jaringan telepon cukup terbatas dan jarang mencapai desa-desa, kendati kebanyakan hutan rakyat terletak di wilayah pedesaan. Ini berarti bahwa proses penjualan kayu sering tidak efisien karena komunikasi antara pedagang/ pembeli dan para pemasok memerlukan kunjungan fisik.
Jaringanjalan pedesaan:
Wilayah hutan atau pusat produksi kayu pada umumnya terletak di
wilayah pedesaan. Akibatnya, kondisi jalan pedesaan, terutama dari hutan ke jalan kabupaten dan jalan propinsi mempunyai dampak besar atas usaha perkayuan. Saat ini, banyak jalan desa dalam kondisi buruk, yang berarti bahwa proses transportasi mnemakan waktu lama dan biaya transportasi menjadi lebih tinggi. Lagi pula di wilayah Bojonegoro di mana banyak produsen kerajinan kayu dan mebel berlokasi, kebanyakan jalan cukup sempit. Hal ini membuat sulit bagi truk untuk memasuki pusat produksi kerajinan, yang berarti bahwa para pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk transportasi.
63
Mata Rantai Komoditas
Untukpengangkutan 103 kayu bisa dilakukan dengan sekali angkutdengan menggunakan truk dengan biaya Rp 100.000,-. Namun karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan maka kendaraanyang dapatmenjangkaupedalaman hutan kayu hanya mobilpick up. Pick up hanya mampu mengangkut kayu sekitar 33, karena itu pertu bolak-balik sampai 3-4 kali. Biaya pick up untuk sekali pengangkutan sekitar 40.000-60.000. Oleh karena itu total biaya untuk pengangkuta 103 kayu denganpick up sekitar Rp 200.000,. Dan ii artinya dua kali lipat lebih banyak dan tiga kali lipat lebih lama.(FGD, Tim PSD, 2004) Jaringanlistrik terbatas terutamayang memasuki desa-desa. Kalaupun jaringan listrik sampai didesa masih ada beberapa persoalan menyangkut infrastruktur listrik yakni pertama menyangkut pemerataan, seringkali pengusaha besar atau orang-orang yang dekat dengan aparat desa, dengan mudah mendapatkan saluran listrik, namun bagi masyarakat lain sangat sulit. Persoalan lain yang juga ditemukan dalam distribusi saluran listrik adalah telah terjadinya praktek penggelapan yang dilakukan oleh aparat desa, dimana terdapat mas'yarakat yang sudah menyetorkan sejumlah uang untuk penyambungan listrik, namun pihak PLN menyatakan tidak menerima setoran tersebut, sehingga listrik batal disalurkan.
MANAJEMEN PERTANAHAN Di Jawa Timur bagian selatan, pasokan kayu terbatas terutama merupakan akibat daerah hutan yang terbatas.
Para peserta mengatakan bahwa banyak pesanan kayu ditempatkan kepada para
petani, pedagang dan operator penggergajian kayu, tetapi tidak ada lagi tanah yang tersedia untuk dikonversikan menjadi
hutan produksi kayu. Sebenarnya ada sebagian besar tanah milik negara
yang tidak dikelola dengan baik, akan tetapi akses terhadap tanah itu tidak tersedia.
PAJAK DAN RETRIBUSI Retribusi untuk
SKSHH dirasakan terlalu tinggi,misalnya di Surabaya tarif SKSHH ialah Rp
5000/m3. Pajak berlapis ganda masih ditemukan di banyak daerah, dan dirasakan sebagai beban berat. Di Trenggalek, misalnya, pajak-pajak berikut - Pajak Kendaraan, PPN, Pajak Penghasilan dan Pajak untuk Penerimaan Tertahan - dikenakan kepada obyek yang sama, mobil. Di dalam satu FGD, seorang pengusaha penggergajian mengatakan bahwa ia menghabiskan Rp 500 juta dalam satu tahun untuk mengurus semua dokumen tersebut.
PUNGUTAN-PUNGUTAN LIAR Pungutan liar dikemukakan di hampir setiap FGD yang diselenggarakan. Untuk komoditas kayu, pungutan-pungutan liar yang dikeluhkan oleh para peserta diskusi mencakup yang berikut:
64
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Pungutan-pungutan dari desa, RT, RW, hansip, dan "sumbangan-sumbangan" kepada pihakpihak lain seperti kepolisian setempat, dsb. Kasus-kasus contoh pungutan oleh Pemerintah Desa: Kasus (1): Mengangkut kayu dari Sumber Rejo ke Kamolan, meliwati tiga desa. fika kayu itu diangkut dengan pickup, dikenakan pungutån Rp. 2.500 per perjalanan,jika menggunakan L300pungutannya Rp 5.000perperjalanan,danjika memakai trukpungutannya Rp 10.000 per trukperperjalanan. Kasus (2): Mengangkut kayu dariDesa KarangRe - Mungguran- Mendo Agung: dinilai Rp 2.000 per 5 kilometerperpickup perperjalanan. Pungutan-pungutan di pelabuhan laut • Pungutan liar dalam pengurusan SKSHH; bisa mencapai 20% dari harga kayu * Pungutan-pungutan di jalanan, khususnya dari pihak polisi •
Kasus-kasus contoh pungutan dijalanan: Kasus (1): Mengangkut kayu dari Trenggalek ke Surabaya menggunakan truk gandengan, biaya per perjalananper truk untuk pungutan-pungutan tidak resmi sepanjangseluruh perjalanan mencapaisekitar Rp 50. 000. Di sampingpungutan-pungutan «harian"tersebut, ada biaya-biaya lain bersifat bulanan, sekitarRp 2,5 juta sampai Rp 4juta untuk empatpos (disebut Polisi Sektor, Polisi Resort dan polisi unit sabharat). KIsus (2): Di dalam pengiriman kayu dari kecamatan Dongko ke Probolinggo, sekitar Rp. 1O0. 000 harus dikeluarkan. Pos-pos di mana diketahui harus dilakukanpembayaran termasuk PolisiSektor Dongko, Perhutanidi Krangan,dan pos-pos lain antara Blitardan Malang. * Pungutan "door to door": Banyak kelompok menarik pungutan seperti itu termasuk pejabat desa, polisi, militer dan sebagainya. Seorang operator usaha mebel, misalnya, harus mengalokasikan sekitar Rp 250.000 sampai 300.000 per bulan untuk pungutan-pungutan seperti itu. Jumlah-jumlah tersebut biasanya naik menjelang hari raya besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru.
TEMBAKAU Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Sumenep, Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember. Tembakau merupakan komoditas yang terutama digunakan dalam produksi rokok, akan tetapi selintas nasional industri ini memberi pekerjaan kepada jutaan orang, dengan efek pengganda di
65
Mata Rantai Komoditas
dalam rantai usaha pembudidayaan tembakau, pengolahan, pencetakan, periklanan, perdagangan, transportasi dan penelitian21.
Industri !ni juga memberi sumbangan cukup besat terhadap penerimaan negara. Cukai atas produk tembakau pada tahun 1998 memberi penerimaan sebesar Rp. 7,5 trilyun, atau 4,47 persen dari total penerimaan negara; lima tahun kemudian pada tahun 2003, junlah ini naik menjadi Rp. 27,9 trilyun, atau 7,54 persen dar total penerimaan negara2 2. Tanaman tembakau merupakan tanaman perkebunan yang cukup lama dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Tanaman ini mulai berkembang pada awal tahun 1900an, dengan pasar utama ke Eropa dan Amerika. Tanaman ini kemudian menjadi tradisi perkebunan di Jawa Timur dengan hasil tembakau jenis Virginia dan Besuki Naa Oogst (BNO) sebagai bahan rokok kretek dan cerutu. Tembakau dan industri rokok merupakan industri unggulan di Jawa Timur. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, 2002, jumlah industri tembakau di Jatim tercatat 435 perusahaan dari total 807 industri tembakau nasional, dan empat di antaranya merupakan perusahaan dengan modal asing (PMA). Tak kurang dari lima kabupaten di Jawa Timur yakni Bojonegoro, Jember, Probolinggo, Pamekasan dan Sumenep menjadi penghasil tembakau utama baik untuk industri rokok dalam negeri maupun ekspor. Tabel 5.2 Luas Tanaman dan Produksi Tembakau d Kelima Daerah Produksi Terbesar di Jawa Timur, 2000 -2002
4L
Li
Bojonegoro
14.603
12.022
12.713
11.367
13.093
11.768
Jember
17.070
12.655
18.806
17.801
11.893
13.080
Probolinggo
9.556
11.219
11.228
13.455
12.569
14.813
Sumenep
19.381
12.617
23.784
15.389
23.790
15.564
Pamekasan
30.488
18.347
39.565
18.174
39.570
18.400
Jawa Timur
125.996
98.381
149.538
107.361
149.409
108.515
Diolah dari: "Jawa Timur dalam Angka, 2002"
Tembakau yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut menjadi bahan baku utama untuk industri rokok, yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Perusahaan-perusahaan rokok terbesar, seperti Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya, dan Bentoel Prima, Philip Morris dan Rothmans dari Pall Mafl Indonesia di Malang, menjadi industri hasil tembakau yang memberikan dampak ekonomi yang besar di Jawa Timur. 2
Kompas, 31 Agustus 2000 22Analsis Dasar-Dasar Makro dan Mikro umuk Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia, DirektoratJenderal Bea dan Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuagan, 2004 66
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Secara umum rantai bisnis industri hasil tembakau adalah sebagai berikut: Gambar 5.4 Rantai Produksi Tembakau Pémbibitan
j
Gudang Pabrik Rokok
Produksi Rokok
-ø
Penanaan
-ø
Dibungkus
Pedagang
Panen
-ø
Dilembabkan
-ø
Digulung/Dieram
irang
Pabrik Rokok Kecil
Konsumen-
Dari rantai bisnis diatas, bisnis tembakau sendiri melibatkan petani, pemilik lahan, pedagang dan pabrik rokok. Sementara pasca pengolahan, bisnis hasil tembakau melibatkan pelaku yang berbeda yakni industri kertas dan pengemasan, perdagangan dan distribusi, perildanan bahkan industri hiburan dan olah raga. Dar pemain yang terlibat, petani yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan dan perubahan lingkungan bisnis yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga-harga kepada para petani termasuk biaya masukan (pupuk, bibit dan masukan-masukan
lain yang kebanyakan diperoleh dari
BUMN), dan tingkat permintaan, yang dipengaruhi antara lain oleh kebijakan cukai. Hasil-hasil suatu survey petani tembakau menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi agak negatif tentang kebijakan cukai tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah3.
ISU-ISU KOMPONEN BIAYA DAN MASALAH HARGA Seperti dibicarakan di atas, para petani menghadapi risiko produksi yang tinggi. Setiap perubahan dalam komponen biaya produksi akan mempengaruhi penghasilan petani. Komponen-komponen biaya dalam usaha penanaman tembakau termasuk yang berikut: (1) biaya sewa tanah, (2) biaya buruh, (3) biaya persiapan lahan, (4) biaya pupuk, (5) bibit dan bahan kimia, (6) biaya perawatan, (7) biaya panen, (8) biaya pemrosesan, dan (9) biaya pemasaran 2 . 23
Brahmando dkk., dalam studi Departemen Keuangan PSPK-BAF, menyaakan bahwa biaya cuka rembakau yang meningkae cerus akan menladi beban bagi para perani, oleh karena kenaikannya akan dipikul oleh pefanimenggerogot harga-harga petani (52,8%), armifeukai yang dinaikkan dan tidak diserrai kebijakan renrang harga tenbakau akan menekan harga tembakau (36,3%), dan sisanya menyarakan bahwa cukai rembaka yang dinaikkan relah mengurangi permintaan untuk trembakau. 4
2 Uporan Akhir dar! Kajian rencang AlkernaifCukai Tenbakau, 2004, FE-UNDIP, 2003
67
Mata Rantai Komodicas
Sementara itu, hasil FGD mencatat bahwa petani tidak memiliki akses langsung kepada gudang pabrik rokok. Hasil produksi berupa daun tembakau dari petani dijual ke tengkulak kecil yang membeli dengan sistem tebasan atau borongan. Tengkulak kecil kemudian menjual tembakau borongon ke pedagang besar yang biasa disebut bos. Selanjutnya bos melakukan proses pengeringan daun tembakau tersebut. Tembakau kering yang dihasilkan kemudian dijual ke gudang, dimana sebagian besar gudang dimiliki (terdapat keterkaitan) oleh pabrik rokok. Pedagang atau tengkulak menerima sub-pesanan (DO) dari pedagang/perantara besar, yang menerima DO dari gudang atau pabrik rokok. Para perantara yang memegang sub-DO, agar mendapat harga yang lebih baik, seringkali langsung bertransaksi dengan gudang. Berbagai pungutan gelap terjadi pada tahap ini, seperti di pintu penerimaan tembakau, timbangan, dan pemeriksaan mutu tembakau . Kenyataan bahwa beberapa pedagang mempunyai akses khusus kepada para wakil pabrik rokok, dengan berbagai fasilitas yang mereka sediakan, menciptakan persaingan tidak seimbang antara para pedagang tembakau25. Permainan harga berikutnya muneul ketika terdapat keadaan suplai tembakau oleh petani melebihi permintaan gudang pabrik rokok. Pabrik rokok maupun dinas pertanian/perkebunan di daerah sebenarnya telah berperan dalam menginformasikasn kebutuhan tembakau untuk periode tertentu kepada petani. Hal ini untuk mencegah anjloknya harga tembakau di tingkat petani. Namun tidak jarang informasi rencana kebutuhan tembakau yang kemuclian mengganbarkan perkiraan harga yang menarik untuk jenis dan kualitas tertentu, malah mendorong petani untuk menanan tembakau. Akibatnya, ketika datang masa panen supply tembakau melimpah melebihi permintaan gudang, maka harga tembakau di tingkat petani menjadi rendah. Dalam arti persaingan jangka panjang, petani tembakau juga akan mengalami ancaman harga untuk bersaing di pasar internasional. Cina merupakan salah satu pesaing potensial terbesar. Tembakau dari Cina mempunyai harga lebih rendah dan para produsen mempunyai produktivitas sepuluh kali lebih besar. Produksi tembakau di Cina bisa mencapai 2000 kilogram per hektar2G, dibandingkan dengan 200 kilogram per hektar di Indonesia.
25
Fasilias-fasifiras yang diberikan cennasuk informasi tentang harga dan mutu tembakau yang diinginkan oleh gudang pabrik rokok. Beberapa gudang, arau pengusaha yang berrindak aas nama para pabrikan rokok, bahkan menjediakan pinjaman kepada para pedagang dengan maksud membeli tembakau dari para petai. (REDI, 2003) 6
2 Kompas, 12 Agustus 2002
68
Memperhaiki Iklim Usaha di jawa Timur
Tabel 5.3 Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
1990
17.401
58.612
26.546
41.963
1991
22.403
57.862
28.542
58.430
1992
32.365
80.949
25.108
64.547
1993
37.259
66.014
30.226
76.995
1994
30.926
53.261
40.321
100.217
1995
21.989
61.456
47.953
104.474
1996
33.240
85.623
45.060
134.153
1997
42.281
104.743
47.108
157.767
1998
49.960
147.552
23.219
108.464
1999*
37.096
91.833
37.345
128.021
2000**
29.050
77.708
27.283
85.844
Sumber: Direktorat Jendral Pernbinaan Produksi Perkebunan Catatan: *)Data sernentara **} Data perkiraan
STANDAR MUTU Penetapan standar pada produk tembakau oleh pabrik rokok menyebabkan tidak semua hasil tem-bakau petani dapat dijual dengan harga yang bagus. Begitu pula dengan penetapan standar tembakau untuk ekspor ke mancanegara. Standar mutu sangat ditentukan oleh pilihan jenis tembakau, teknik processing dan kadar tar dan nikotin. Pada pabrik rokok besar yang memiliki gudang sendiri, dalam melakukan pengendalian kualitas tembakau, biasanya mereka melakukan treatment tertentu pada saat menyimpan tembakau digudang. Tembakau biasanya disimpan selama tiga hingga lima tahun. Tembakau yang telah disimpan tersebut diyakini dapat menghasilkan cita rasa yang lebih nikmat. Oleh sebab itu, perubahan harga tembakau dan tarif cukai, bagi pabrik besar tidak menimbulkan masalah yang berarti. Standar lin ialah terkait dengan ketentuan kesehatan yang ditetapkan oleh WH~O. Berdasarkan PP no 81 tahun 1999, pemerintah menetapkan kadar nikotin dan tar bahwa pada sebatang rokok yang diperjualbelikan di wilayah Indonesiatidak boleh melebihi batas kadar maksimum untuk nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg. Namun hingga saat ini rata-rata kadar nikotin dan tar untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 3 mg dan 60 mg, Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 2,5 mg dan 50 mg.Bila
69
Mara Ranrai KomodiEas
terjadi penetapan kadar nikotin dan tar secara ketat pada jenis rokok sigaret maka dampaknya kepada petani akan sangat besar. Hal ini dikarenakan pangsa pasar rokok sigaret baik tangan maupun mesin menguasai 87 % total produksi rokok, sementara rokok putih dengan standar nikotin dan tar yang lebih rendah menguasai 13 % sisanya. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, perlu dilakukan prograrn jangka panjang oleh Departemen Pertanian serta pembinaan teknis untuk menurunkan kadar nikotin dan tar, serta diiringin dengan penyesuaian teknologi processing tembakau dengan mutu yang standar.
CUKAI
Setiap kenaikan biaya cukai atas produk tembakau selalu mempengaruhi pabrik-pabrik rokok, petani tembakau, pedagang tembakau, pengecer rokok, dan konsumen. Tarif cukai yang diperkirakan atas produk tembakau mengikuti rumus yang sangat rumit, mengandung komponen-komponen Golongan Pengusaha Pabrik (GPP) dan Jenis Produk Tembakau, termasuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih mesin (SPM), variasi-variasi tradisional seperti kelemek dan klobot, sigaret putih tangan (SPT), cerutu, tembakau irisan, dan sebagainya. Penilaian cukai kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemerintah dalam menetapkan harga jual eceran (HJE) dalan Rupiah per rokok. Permasalahan pemalsuan pita cukai rokok tidak hanya berdampak pada negara, seperti yang dikeluhkan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa timur, namun cuka berdampak pada persaingan produk rokok. Produsen rokok skala menengah di Malang mengeluhkan adanya pemalsuan pita cukai rokok, karena hal ini kemudian menyebabkan produk pengusaha ini harus bersaing secara tidak sehat dengan produsen rokok yang memalsukan pita cukai rokok atau membeli pita cukai rokok palsu.
Di Tulungagung,pabrik-pabrikrokok mengelub tentangkesulitan untuk mendapatkanpitacukai rokok pada bulan-bulan tertentu (seperti menjelang Lebaran). Tanpa pita cukai, pabrik-pabrik itu tidak bisa menjual rokokyangmerekaproduksikandan rokok itu menumpuk digudang.
(FGD,
Tim PSD, 2004)
INFRASTRUKTUR
Petani tembakau dan pengusaha rokok sangat memberikan perhatian pada kualitas jalan dan infrastruktur dasar yang sangat berpengaruh pada bisnis ini. Petani di pulau Madura merasakan bahwa infrastruktur fisik khususnya jalan masih kurang mendukung. Kondisi jalan pada jalur utara ke selatan dianggap sempit dan tidak ada alternatif lain. Selain itu kondisinya dalam keadaan kurang baik.
70
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Petani dan pengusaha di Madura merespon positif pembangunan Jembatan SURAMADU, karena hal ini akan memperlancar transportasi bisnis dari dan ke Madura. Sebagai dampak adanya pembangunan jembatan tersebut, kelancaran arus bisnis tentu akan mengakibatkan padatnya jalur lalu lintas barat ke timur di sisi selatan sekarang. Kepadatan ini harus diantisipasi dengan memperlebar jalur yang ada serta membuka jalur di sisi utara, yang kemudian diteruskan dengan jalur penghubung utara ke selatan. Sebagai tanaman perkebunan pada jumlah yang luas dan dapat ditanaman pada jenis lahan tertentu, kebutuhan tanaman tembakau memerlukan ketersediaan air yang cukup. Bagi petani tembakau di Madura, ketersediaan air untuk keperluan tanaman tembakau telah mengalami penurunan, mengingat sedikitnya sumber air di pulau ini. Menurut petani, disamping air untuk irigasi perkebunan, petani juga memerlukan air bersih utuk kebutahan rumah tangga. Infrastruktur lain yang diperlukan oleh petani tembakau ialah adanya balai atau unit pengujian dan standarisasi mutu tembakau. Adanya infrastruktur ini nantinya akan memberikan informasi yang lebih jelas tentang jenis dan mutu bibit dan standarisasi pengolahan tembakau.
PERIJINAN
Di tingkat petani, lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman tembakau selama ini sedikit sekali yang bersertifikat. Petani menginginkan adanya kemudahan untuk mengurus sertifikat tanah. Pengurusan sertifikat tanah saat ini masih sangat rumit, hal ini mengakibatkan terhambatnya kebutuhan petani untuk memperoleh sertifikat yang nantinya dapat digunakan sebagai jaminan dalam mengajukan pinjaman ke bank. Sementara itu para pedagang tembakau mengeluh tentang kurangnya kejelasan dalam persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha perdagangan (SIUP).
PUNGUTAN
Pabrik rokok, seperti dijelaskan diatas, untuk dapat memasarkan produknya sangat tergantung pada pita cukai yang diperoleh. Disamping tarif cukai rokok semakin naik, pengusaha juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pita cukai sesuai jumlah yang diharapkan. Bahkan untuk memperoleh pita cukai, pengusaha mengalami pungutan sebagaimana yang dialami pengusaha rokok dari Tulungagung dan Malang. Disamping itu pula, pengusaha juga dibebani pungutan dengan bentuk sumbangan wajib yang biasanya dipungut pada waktu-waktu dan acara tertentu. Pungutan berupa retribusi, terjadi pada pengusaha rokok dalam mengantar dan memasarkan produknya yang diangkut pada mobil box yang terdapat logo atau gambar produk. Pengenaan retribusi reklame pada angkutan barang terjadi di Blitar dan Nganjuk.
71
Mata Ranta! Komodiras
Sementara itu, petani di Pamekasan dan Sumenep telah lama mengeluhkan praktek pungutan berupa pengambilan sampel tembakau secara gratis yang dilakukan oleh oknum tengkulak atau petugas gudang pabrik rokok dalam jumlah besar. Sebenarnya petani di dua kabupaten ini telah mengusulkan kepada pihak Pemkab masing untuk membuat Perda yang mengatur tentang tata niaga tembakau di daerah tersebut yang juga memasukkan aturan pengambilan sampel temabakau yang tidak merugikan petani. Petani di Madura juga mengeluhkan pungutan yang dikenalnya sebagai jenis "pajak", yang dikenakan kepada petani tembakau dengan tarifflat rate kepada petani tembakau sebagai tarif rata-rata.
TEBU DAN GULA Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Malang, Sidoarjo,
Magetan, Kediri, Tulungagung. Tebu, bersama-sama dengan tembakau, merupakan salah satu tanaman perkebunan terbesar di Jawa Timur. Tanaman ini pertama-tama diperkenalkan pada masa kolonial Belanda. Mulanya tebu ditanam di lembah-lembah sungai besar di Jawa; kemudian pembudidayaannya menyebar juga ke daerah dataran tinggi. Pada awal abad ke 20, Hindia Belanda merupakan pengekspor gula kedua di dunia, sesudah Kuba. Oleh karena gula merupakan komoditas penting, pemerintah kolonial bahkan mendirikan stasiun penelitian perkebunan gula di Pasuruan, yang sekarang dikenal sebagai Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga ini sebagaian besar didanai oleh BUMN Perkebunan Gula (PG). Secara nasional, produksi gula dalam negeri mengalami penurunan bila dibandingkan dengan produksi tahun 1930 yang mampu mencapai tiga juta ton. Dari total produksi nasional yang mencapai 1,7 juta ton saat ini, kebutuhan gula Indonesia harus dipenuhi dengan impor gula hingga mencapai 1,5 juta ton pertahun27. Dari total produksi gula secara nasional, 41% -nya atau sekitar 700 ribu ton gula diproduksi oleh 33 pabrik gula di Jawa Timur28 . Produksi gula di Jawa Timur meningkat teratur antara tahun 1999 dan 2002. Peningkatan ini, menurut data dari Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (BPP) dari Departemen Pertanian, disebabkan oleh peningkatan luas tanah yang ditanami tebu, disertai oleh perbaikan produktivitas tanaman tebu, yang mencapai lima ton per hektar. Secara umum, rantai produksi gula dalam negeri dan rantai distribusi adalah sebagai berikut:
27 2
Kompas, 25 Juli 2003 SKompas, 22Juli 2002
72
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula
>
GilingDesa Petani
(Gula Meraih)
Koperasi
Pedagang
Pabrk[Giling Pabrik | Gula Gula
¯¯
r,
Pasokan bibit sebagian besar berasal dari penangkaran bibit oleh PG dan P3GI, sebagian kecil dihasilkan oleh petani penangkar. Bibit yang berasal dari P3GI dan penangkar ditanam pada lahan petani, sedangkan bibit yang dihasilkan oleh PG ditanam pada lahan milik PG dan petani di wilayah operasi PG tersebut. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) di wilayah PTPN XI Jawa Timur, lahan perkebunan tebu yang dimiliki petani berkisar 35 hingga 60 persen dari total lahan tebu di wilayah operasi PG. Hanya sebagian kecil hasil panen tebu digiling oleh pengusaha untuk dijadikan gula merah, sementara sebagian besar lainnya digiling di PG. Bagi hasil panen tebu petani yang digiling oleh PG, petani memperoleh 66 persen gula dan PG memperoleh 34 persen sisanya. Dari bagian petani tersebut, sepersepuluh atau sekitar 6,6 persen oleh PG diberikan secara in-naturaberupa gula, sedangkan 59,4 persen dilelang yang melalui tim
lelang APTR. Di Jawa Timur, sekitar 75-90 persen kebutuhan tebu ke pabrik gula dipasok dari petani. Jadi pabrik gula sangat menggantungkan kinerja mesin produksi yang terpasang betul-betul pada produktivitas tebu yang ditanam petani. Menurut kalangan pabrik gula, untuk dapat bersaing dengan gula impor, petani harus mampu meningkatkan produktivitas tebunya minimial mencapai 8,5 ton per-hektarnya9.
ISU-ISU PRODUKTIVITAS PETANI Menurut data dari Direktorat Jendral BPP, produktivitas tanaman tebu di Jawa Timur saat in! hanya kalah dengan produktivitas tanaman tebu di Lampung yang rata-rata perhektar lahan mampu menghasilkan 7,8 ton gula. Produktivitas lahan tebu di Jawa Timur ini sebenarnya dapat ditingkatkan apabila petani dalam penanaman tebu melakukannya dengan manajemen yang baik. 29
Kompas, 26 Mei 2003
73
Mata Rantai Komodicas
Pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemupukan, teknik tebang dan sistem irigasi menjadi faktor yang dapat mengurangi produktivitas tebu. Salah satu yang paling besar berpengaruh dalam produktivitas dan randemen tebu adalah cara pengeprasan tebu (ratoon) yang dilakukan hingga 12 kali kepras. Padahal untuk menghasilkan tebu yang bagus dengan rendemen yang tinggi, pengeprasan dilakukan maksimal dua kali untuk tebu yang sama. Salah satu sebab pemangkasan berlebihan ialah bahwa persiapan tanaman baru masih tetap dilakukan dengan cara tradisional dan padat tenaga kerja. Biaya persiapan lahan yang tepat sangat tinggi, sekitar Rp 15-16 juta per hektar30. Banyak petani menyatakan bahwa traktor teralu mahal bagi mereka. Oleh karena itu dilakukan pemangkasan berjumlah besar oleh karena mempersiapkan tanaman baru tidak layak dari segi keuangan. Ukuran lahan yang kecil, yang rata-rata kurang dar 0,25 hektar per petani, juga meningkatkan biaya produksi untuk masing-masing lahaný'. Faktor-faktor ini membuat banyak petani memilih menanam tanaman lain daripada tebu, yang memperparah kekurangan bahan baku yang dialami oleh pabrik-pabrik gula.
EFISIENSI PABRIK GULA
Perbaikan produktivitas perlu dilakukan dari mulai sektor hulu sampai hilir dari komoditas tebu ini. Artinya dari mulai teknologi yang digunakan di kebun tebu sampai pengolahan tebu di pabrik gula. Pabrik gula di Jawa termasuk Jawa Timur pada umumnya sangat tidak efisien. Mesin-mesin yang digunakan di PG adalah mesin yang sama yang telah dipakai sejak 80 tahun yang lalu. Untuk dapat memenuhi target Pemerintah bahwa tahun 2007 industri gula nasional harus mampu memproduksi gula minimal mencapai tiga juta ton, diperlukan restrukturisasi pabrik gula dengan melakukan peremajaan mesin-mesin lama yang ada. Dar kapasitas terpasang, penggunaan mesin-mesin di pabrik gula di Jawa Timur sekitar 70-75 persen, sisanya merupakan idle capacity. Dari tingkat penggunaan kapasitas tersebut, menurut pihak pabrik gula tingkat efisiensi proses produksi mencapai 80-90 persen. Idle capacity yang pada mesin-mesin PG terjadi disebabkan pasokan tebu oleh petani tidak mencukupi kebutuhan maksimal pabrik sesuai kapasitas terpasang. Namun menurut petani, tidak cukupnya pasokan ke pabrik, selain disebabkan jumlah hasil panen tidak maksimal, juga disebabkan manajemen produksi di pabrik gula yang kurang efisien. Sistem antrian giling yang panjang hingga mencapai 30 jam setelah tebang merupakan hal yang merugikan petani, karena hal ini dapat mengakibatkan turunnya rendemen tebu hingga 50 persen. Untuk menghindari terus menurunnya rendemen gula karena terlalu lama mengantri, sebagian petani memilih untuk pindah ke pabrik gula lain yang memungkinkan segera giling.
30 3
Kompas, 3 Juni 2002 1Kompas, 26 Mei 2003
74
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Diketahui bahwa PG yang ada saat ini tidak esien dalam produksinya. Ketidakefisienan PG tidak hanya disebabkan oleb mesin gilingyang berusia lama, namun juga disebabkan struktur manajemen yang terlalu gemuk dan tidak leluasa karena keputusan yang sangat sentralistik oleh direksi PTPN. Ketidakefisienan PG ini mendorong munculnya gagasanpabrik gula mini (PGM). PGM telab diujicoba olek petani tebu di wilayah Kabupaten Malang. Prinsip PGM ialab meningkatkan produktivitas tanaman tebu, meningkatkan efisensi produksi gula petani, serta mengurangi waktu antrigiling tebu petani, sehingga tidak mengurangi rendemen tebu. Dengan ni/ai investasiyang rendah, petani berharap PGM dapat mengundangpemerintab atau pihak swasta untuk membangun pabrik ini dan bank dalam melakukan pembiayaan. (FGD, imnPSD, 2004)
IMPOR GULA DAN GULA SELUNDUPAN Impor gula dilakukan karena produksi gula di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan total nasional. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara nasional, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,5 juta ton gula setiap tahun dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Namun gula impor yang masuk ke dalam negeri seringkali melebihi kebutuhan nasional. Kelebihan impor terjadi baik karena pengadaan impor secara legal maupun karena illegal atau penyelundupan. Kebijakan impor gula diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.643 tahun 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula. Kebijakan in! melindungi petani tebu Indonesia terhadap pihak pesaing asing yang memiliki efisiensi lebih tinggi dan harga lebih,rendah. Ijin impor diterbitkan selama harga dalam negeri untuk gula dianggap cukup tinggi. Misalnya, dengan biaya produksi dasar untuk gula Rp. 3.100 per kg, para petani menjual kepada pedagang dalam kisaran Rp. 3.400 - Rp. 3.450 per kg. Dengan harga ini, pemerintah bisa membuka impor gula pasir putih. Akan tetapi bila harga di tingkat petani kurang dari Rp. 3.100 per kg, pemerintah tidak mengizinkan impor gula pasir putih. Surat Keputusan Menteri No. 643/2002 memberi ijin impor kepada pabrik-pabrik gula (yang menggiling gula produksi dalam negeri), pedagang gula terdaftar (yang juga menyalur gula produksi dalam negeri), dan suatu perusahaan dagang, PT. PPI. Para petani tebu mempertanyakan keputusan Menteri Perdagangan dan Industri untuk mengangkat PT. PPI sebagai importir gula. Penunjukkan PT. PPI yang bukan Importir Produsen (IP) Gula maupun Importir Terdaftar (IT) Gula yang bahan bakunya sedikitnya 75 persen berasal atau bekerjasama dengan petani, dikhawatirkan akan merusak tata niaga.
75
Mata Rantai Komoditas
Petani tebu menilai koordinasi aparat Bea cukai dan kepolisian terhadap pelaksanaan Kebijakan Tata Niaga Impor Gula belum maksimal. Pintu-pintu penyelundupan gula seperti pulau Madura dan pelabuhan lain di sisi utara Jawa Timur diharapkan memperoleh pengawasan yang ketat. PAJAK DAN PUNGUTAN
Aneka pungutan yang dialami petani tebu, dirasakan sangat memberatkan. Pungutan terjadi mulai panen, angkut, giling hingga hasil giling. Pungutan pada saat panen terjadi berupa retribusi hasil perkebunan. Bersama pungutan ini, petani tebu di wilayah Madiun dan sekitarnya juga dikenai pungutan parkir antri giling. Sebdumnya petani telah dikenai pungutan jalan desa sebesar Rp. 25.000/rit oleh pihak Pemerintah Desa. Bahkan pada kasus di Jember dan Situbondo, petani tebu dikenai pungutan Desa berupa pungutan untuk pemeliharaan jalan desa dan pungutan hasil panen. Oleh karenanya kebanyakan petani menggiling tebu di pabrik milik negara, pembayaran pungutanpungutan tersebut kadang-kadang dilakukan langsung kepada perusahaan milik negara.
Di Madiun,petani tebu dipungut oleb PG langsung melalui potongan basil tebu dan DO setiap kuitalnya sebesar Rp. 27,5 , yang dibagi kedalam (a) sebesar Rp. 10/kw untuk retribusijalan ke Pemda, (b) sebesarRp. 7,5/kw untuk pengamananpolisi dan (c) sebesar Rp. 10/kw untuk iuran APTR (FGD, im PSD, 2004) Sementara itu PG mengeluhkan pengenaan pajak PPN untuk sewa lahan dan sewa jasa angkut hasil tebangan. Pengenaan. PPN ini mengakibatkan biaya yang mesti ditanggung membengkak 10%.
KURANGNYA SUMBER AIR
Salah satu aspek infrastruktur yang sangat memprihatinkan petani tebu ialah ketersediaan sumber dan salutan air. Saluran--saluran irigasi ke lahan-lahan petani saat ini tidak begitu baik oleh karena tidak dirawat dengan baik. Untuk mendapatkan air yang cukup para petani mengambil dari sumur, yang kemudian dipompa untuk mengairi lahan tebu mereka. Dalam hal kesulitan dengan tersedianya air di bekas karesidenanMadiun petani atau asosiasi petani harus mendapat air dengan memompa dari kedalaman 80 sampai 300 meter untuk setiap 100 hektar. Hal ini juga akibat perubahan prioritas pemakaian air dari mata air, yang sebelumnya dialokasikan kepada perkebunan tetapi telah digeser untuk air minum. Para petani tebu di Situbondo juga menyebut perlunya infrastruktur pengairan lahan. Air saat ini disediakan dengan bantuan pompa air, tetapi diharapkan bahwa Waduk Samir yang direncanakan akan dibangun dalam waktu dekat.
Kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk produksijuga dialami oleb pabrikgula (PG). Suplai air ke PG saat ini untuk produksi didapatkan dari sungai dan pompa air bawah tanahyang dialirkan melalui jaringan pipa air milik pabrik. Karena pemanfaatan air permukaan dan 76
Memperbalki Iklim Usaha di Jawa Timur
air bawah tanah tersebut, PG dikenai retribusi Eksplorasi dan Pemeliharaan(EP) air sebesar 50 juta rupiah kepada Jasa Tirta setiap bulan. Namun demikian, PG tetap harus melakukan pemiliharaanatau bahkan perbaikansendiri bila terjadi kerusakan padajaringanair tersebut. (FGD, Tim PSD, 2004)
KEAMANAN
Setiap kali menjelang musim panen, para petani selalu siap untuk kemungkinan kebakaran di lahan tebu mereka. Kebakaran menghancurkan antara 5 sampai 10 persen lahan tebu. Para petani mengakui bahwa di samping kebakaran yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami, kadang-kadang kebakaran juga disebabkan oleh persaingan usaha atau tindakan kriminal. Para petani hanya bisa mengantisipasikan kebakaran dan gangguan keamanan lain di lahan tebu dengan meningkatkan pengawasan dan pemantauan bersama dengan para petani lainnya.
Kasus keamanan lain ialah praktek pungutan dikemas dalam bentuk biaya keamanan untuk penyalurangula. Parapedagangguladi Madiun mengatakan bahwa mereka harus membayar Rp. 300.000per bulan kepada suatu kelompok tertentuyangberoperasidalampenyaluranbahan pokok.
(FGD,Tim PSD, 2004)
KOPI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Kediri, Malang, Blitar, Surabaya, Gresik, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo. Tanaman kopi sudah lama dibudidayakan baik melalui perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Namun demikian, luas lahan perkebunan kopi di Indonesia cenderung berkurang. Jika pada pada tahun 1992 luas yang ditanami mencapai 1.333.898 hektar, pada awal tahun 1997 angka ini telah berkurang sampai dengan 154.005 hektar menjadi 1.179.843 hektar saja32 . Sementara itu, meskipun terjadi pengurangan lahan perkebunan, namun dalam hal produksi mengalami nilai yang hampir stabil yakni antara 27,5 ribu ton hingga 30 ribu ton per tahun.
32
vw.bi.go.id
77
Mata Rantai Komodiras
Tabel 5.4 Tingkat Produksi dan Nilai Ekspor Tanaman Kopi Indonesia, 1996 -2001
1996
28.500
17.059
1997
30.600
26.133
1998
28.500
36.453
1999
27.493
24.189
2000
29.500
22.773
2001*)
28.681
n.a.
Sumber-sumber; wwwbi.go.id dan www.dpdn.go.id *)- Perkiraan sejak September 2001
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kendati tingkat produksi kurang lebih stabil, nilai ekspor kopi mengalami penurunan pada tahun 1999 dan 2000. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998 nilai ekspor naik secara signifikan walaupun tingkat produksi turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Hal ini berkaitan dengan merosotnya nilai Rupiah terhadap dolar AS.
Harga-
harga jual kopi yang diterima oleh semua pelaku di pasar kopi telah tampak berfluktuasi di jangka panjang, akibat kondisi-kondisi pasokan dan permintaan di pasar internasional. Khususnya untuk Indonesia, saat ini harga-harga yang diterima oleh para produsen sangat dipengaruhi oleh depresiasi
Rupiah terhadap dolar AS. Tabel 5.5 Harga Ekspor Kopi (FOB33 dalam AS $/kg)
1.
Arabica
2,19
3,73
3,31
2,58
4,18
2.
Robusta
1,04
2,15
3,06
2,07
1,64
Sumber: Deparlemen Perindustrian dan Perdagangan, 1998
Dinamika perdagangan komoditas kopi di tingkat nasional terhadap kopi dunia, juga berpengaruh pada kondisi komoditas kopi di Jawa Timur. Sebaran kopi di Jawa Timur terdapat di 26 kabupaten/ kota dari total 38 kabupaten/kota yang ada.
33
FreightOn Board. Nilai ekspor kerika dirempatkan di atas kapal, truck atau pesawat terbang untuk meninggalkan suam negara. FOB dengan demikian meneakup biaya produksi dan transportasi ke pelabuhan embarkasi, terapi ridak termasuk biaya pengapalan dan asuransi untuk mengaantanya ke tujuan-tujuannya di luar negeri. Free on Board diknntraskan dengan cost, insurance and freight (CIF), yaitu illai barang pada saat tiba di pelabuhan asing yang rermasuk biaya pengapalan dan asuransi. (Black, Dictionary of Economics, Oxford, 2002)
78
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.6 Distribusi Kopi menurut Daerah di Jawa Timur, 1998
Jember
24,375
14,294,5
Malang
19,516
7,971.6
Bondowoso
15,560
7,288.0
Banyuwangi
14,366
9,721.8
Blitar
8,197
2,970.2
Lumajang
4,867
1,391.8
Pasuruan
3,610
784.8
Probolinggo
2,783
580.0
Kediri
2,491
3,720.3
Situbondo
2,021
743.2
Pacitan
1,736
293.2
Jombang
1,515
456.0
Madiun
1,445
387.7
Trenggalek
729
145.3
Tulung Agung
656
417.0
Ponorogo
631
118.6
Magetan
462
94.9
Ngawi
382
48.3
Nganjuk
217
58.7
Mojokerto
62
17.7'
Pamekasan
56
17
Gresik
38
13.3
Sumenep
13
2.4
Kota Malang
13
2.6
Kota Madiun
3
0.4
Kota Kediri
3
0.7
Sumber: www.bi.go.id
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa sumbangan terbesar terhadap komoditas kopi di Jawa Timur berasal dar lima kabupaten, yaitu: Jember, penyumbang terbesar, disusul oleh kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Malang, Bondowoso, dan Kediri. Komoditas
kopi di Jawa Timur, telah tumbuh
dan berkembang melalui usaha perkebunan
rakyat, perkebunan besar milik pemerintah (Baik dikelola PT. Perkebunan Nusantara yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seperti di Jember) dan perkebunan besar milik swasta nasional atau asing. Perkebunan rakyat umumnya bercirikan usaha skala kecil dan pengelolaan dilakukan secara tradisional sehingga produktivitasnya rendah. Sementara itu, perkebunan besar dikelola dengan skala usaha yang lebih besar dengan pengelolaan yang lebih modern dan berteknologi tinggi.
79
Mata Ranrai Komoditas
Karenanya, hasil kopi dar perkebunan rakyat di beberapa wilayah di Jawa Timur umumnya diperdagangkan kepada berbagai pihak tetapi umumnya kepada pengepul. Pengepul biasanya adalah pedagang lokal atau pedagang dar wilayah lainnya yang sering mendatangi petani-petani yang ada di desa-desa. Umurnnya pengepul mengambil secara langsung hasil panenan petani. Survey yang dilaksanakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Jawa memperoleh data yang menunjukkan bahwa para petani biasanya menjual tanaman mereka sebagai berikut: * 69% kepada pedagang perantara (yang biasanya keliling dari desa ke desa) * 27% kepada pengepul lokal (biasanya berlokasi di kecamatan) * 3% kepada industri (dalam hal ini oleh karena para petani kopi tersebut dibina oleh eksportir atau perusahaan), dan * 1%kepada eksportir. Selain menjual hasil kopinya kepada pengepul, beberapa petani juga menjual kepada PTPN atau Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) khususnya petani yang ada di Jember. Petani di daerah lain, menjual ke perkebunan besar. Artinya bahwa meskipun PTPN dan perkebunan besar memiliki lahan pengelolaan produksi tanaman kopi sendiri, namun mereka juga masih menampung hasil panen kopi petani. Sementara itu, kisaran harga antara petani hingga pada rantai industri hingga eksportir mengalami perbedaan harga antara Rp. 500,- sampai Rp. 1.000,- setiap rantal yang ada, kecuali harga perdagangan dari PTPN ke industri sebagaimana tergambar sebagai berikut: Gambar 5.6 Rantal Produksi Kopi /kg
Pengepul
Pedagg
5500/kg
6000/kg
5000/kg
5000/kg
|00k
8250/kg60/k
PTPN/PDP
>
Perkebunan Besar
80
Distributor
Memperbaiki
Iklim
Usaha di Jawa Timur
Pedagang besar dan pihak perkebunan besar milik pemerintah biasanya melakukan peran reprocessing biji kopi yang berasal dari petani. Pengolahan ini ditujukan untuk mengurangi kadar air dan melakukan sortasi kopi. Proses pemetikan hingga sortasi biji kopi oleh petani menjadi hal yang penting, karena sangat mempengaruhi harga. Sebagaimana yang terjadi pada kasus dihadapi oleh petani kopi dari Madiun, Ngawi dan Ponorogo. Gainbar 5.7 Proses mulai dari pemetikan sampai penyortiran biji kopi di 3 kabupaten: Madinn, Ngawi dan Ponorogo a
-
>
r Cacamsu: Ada ip
Pengeringan
Dikeringkan oleh sinar matahai
-,Penyorti 1 Bikerin]
-
Cuci & pengeringan oleh sinar matahari
>
Biji
proses yang unumnya digunakan oleh para
petani umnuk inenjal biji kopi: 'e=
= Proses yag wnumnya digunakan Proses Akternaif
= Proses Alternatif 2
Walaupun petani menanam kopi jenis Arabica dan Robusta yang termasuk kualitas terbaik dengan harga jual tinggi, namun bila proses petik dan sortasinya melalui alternatif 1 dan 2 maka harga jualnya akan rendah. Untuk kopi jenis Arabica kualitas I antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,dan kualitas Il antara Rp. 6.000,- sampai Rp. 7.000,- Sementara itu, itu jenis kopi robusta, petani banyak menjual yang kualitas J yakni antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,-.
ISU-ISU INFRASTRUKTUR
Bagi petani kopi setidaknya ada 2 jenis infrastruktur yang merupakan nasalah yang cukup serius yakni pertama, banyaknya jalan yang rusak. Menurut petani yang ada di Jember, Madiun, Ngawi dan Bondowoso, jalan dari desa menuju ke kecamatan sangat jelek. Dalam pandangan mereka, pemerintah tidak memperhatikan kondisi jalan menuju ke sentra produksi. Padahal jalan menuju ke kecamatan merupakan proses penting dalam distribusi hasil produksi mereka. Di Banyuwangi ada upaya masyarakat secara swadaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang jelek. Menurut petani, dengan melakukan perbaikanjalan, petani diuntungkan karena biaya operasionaltelah turun hingga 20 %. (FGD, Tim PSD, 2004)
81
Mata Rancai Komoditas
Kedua, masalah ketersediaan air. Kasus ini banyak terjadi di 3 wilayah: Madiun, Ngawi dan Ponorogo khususnya ketika musim kemarau. Bahkan di Ponorogo, irigasi kurang banyak disediakan oleh pemerintah daerahnya. Sementara bagi petani di Madiun, pengairan yang tersedia masih dianggap belum cukup.
PERSAINGAN DARI PEMERINTAH
Ketika desentralisasi, berbagai regulasi dibuat oleh pemerintah setempat. Khususnya dalam hal pemasaran, pemerintah daerah dianggap petani tidak membantu menyediakan sarana pemasaran produk. Pemerintah daerah bahkan menjadi pesaing bagi pengusaha kopi bubuk. Sejauh ini Pemda Jember mendirikan PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) yang melakukan penanaman kopi hingga proses produksi menjadi kopi bubuk. Sebagai informasi yang diberikan oleh petani di Jember, diduga bahwa saat ini pemerintah daerah melakukan ,,persaingan yang tidak sehat" dengan cara memberikan surat edaran kepada aparat pemerintah dan instansinya (mulai dari tingkat lurah hingga dinas) untuk mengkonsumsi kopi DPD. Akibat surat edaran ini, sulft bagi pengusaha kopi bubuk untuk memasarkan produknya ke instansi pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan ini merupakan hambatan bagi petani untuk memasarkan produknya.
PELAYANAN PEMERINTAH YANG KURANG MEMADAI
Para peserta FGD merasa bahwa pembinaan yang diberikan kepada para petani kopi oleh pemerintah lokal tidak banyak membantu. Hal ini diidentifikasi dari frekuensi penyuluhan yang rendah serta tenaga penyuluh dianggap tidak memiliki kemampuan teknis tentang pemberantasan hama kopi. Di Jember, petugas penyuluh bahkan dajari oleh kelompok tani untuk penanganan hama. Disamping itu, pemda dianggap tidak mau melakukan koordinasi dengan instansi teknis yang paham tentang permasalahan kopi. Meskipun di daerah ini telah berdiri Pusat penelitian Kopi dan Coklat yang merupakan instansi pemerintah pusat, namun pemerintah tidak pernah melibatkan Puslit ini dalam program penanganan kopi. Kedua, yang menjadi masalah bagi petani adalah kebijakan pengadaan bibit unggul. Pengadaan bibit unggul oleh pemerintah biasanya melalui rekanan tanpa melibatkan petani untuk prosesnya. Bahkan dialog untuk program pemberian bibit tersebut tidak dilakukan. Oleh karenanya, dalam program penyediaan bibit unggul seringkali tidak sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Bahkan pemberian bibit unggul tanpa diberi penjelasan detail tentang pemberantasan hama yang kemungkinan menyerang. "... program bibit unggul yang seringkali diberikan oleh pemerintah daerah tanpa didiskusikan dengan petani. Pemerintah umumnya menggunakan rekanan kontraktor yang tidak paham tentangpertanian. Seringkali bibityang diberikanjustru bukan bibit unggul, tapi nggak tau
jenisnya..."
(FGD, im PSD, 2004)
82
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Hambatan lain menyangkut ketersediaan teknologi yang sesuai terutama untuk penyiraman. Kasus yang dialami petani Jember memperlihatkan bahwa bantuan teknologi yang diberikan oleh pemerintah daerah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Seorang peserta FGD menuturkan bahwa pemerintah daerah Ponorogo pernah memberikan bantuan mesin pemecah biji kopi dengan cara memodifikasi dari mesin poles beras. Tetapi ternyata mesin pemecah beras tidak bisa direplikasi untuk kopi. Akibatnya, ketika peralatan tersebut diberikan kepada petani, biji kopi menjadi pecah. Lain lagi masalah petani Ngawi yang memerlukan informasi tentang alat pengupas biji kopi. Hingga saat ini, pemerintah daerah tidak menyediakan informasi yang memadai tentang teknologi untuk pengolahan biji kopi.
PENYIMPANGAN PENENTUAN HARGA
Hal lain yang terkait dengan pelayanan pemerintah adalah pelayanan oleh perusahaan milik negara seperti Perhutani. Kasus permainan timbangan hasil panen oleh perhutani banyak dialami oleh petani Bondowoso. Petani Bondowoso banyak yang menggunakan lahan Perhutani untuk menanam kopi. Pola yang diberikan adalah bagi hasil panen antara petani dengan pengelola. 1/3 untuk perhutani dan 2/3 untuk pengelola. Untuk menentukan berapa nilai 1/3-nya, biasanya pihak Perhutani menaksir terlebih dahulu sebelum dipanen. Sehingga ketika petani menyetorkan hasil panenan 1/3-nya, mereka sudah mempersiapkan berapa kilo yang akan disetorkan sesuai dengan taksiran perhutani. Tetapi sesampai di perhutani, petani merasa bahwa hasil timbangannya selalu tidak sesuai dengan hasil timbangan dari rumah mereka. Hal ini tidak saja dialami oleh satu orang petani, tetapi hampir semuanya. Karena kekurangan nilai setoran, maka petani diminta menyetorkan kekurangannya dalam bentuk uang ke petugas penimbangan perhutani yang disesuai dengan harga kopi yang berlaku.
MODAL
Kelompok petani yang lain dar Jember, Madiun, Ngawi, Banyuwangi, Ponorogo dan Bondowoso menyatakan sulitnya mengurus kredit dibank dikarenakan adanya persyaratan sertifikat tanah sebagai jaminan. Petani umumnya hanya memiliki pethok D. Untuk mengurus pethok D menjadi sertifikat, petani menyatakan kesulitan, selain biaya yang tidak transparan, lamanya penyelesaian juga menjadi persoalan serius di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Bahkan menurut petani, untuk memperlancar proses pengeluaran sertifikat, mereka harus menyogok minimal Rp. 50.000,- per meja. Apabila tidak ada uang sogok tersebut, maka waktu penyelesaian akan lama hingga paling cepat 3 bulan. Karena sulitnya mendapatkan kredit formal, petani menggunakan cara lain untuk mendapatkan kredit:
83
Mata Rantai Komoditas
Berbagai cara dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah financial. Biasanya petani mengijonkan basilpanennyakepengepul. Dengan sistem ini,petani hanya mendapatkan50 -70 % darihargapasaran.Carayanglain adalahdengan meminjam ke nyonya kecikyakni meminjam ke seseorang (biasanyaperempuan, sehingga dipanggil nyonya) sejumlah uang tertentu. Apabila telahpanen,akan dibayardengan basilproduksi.Namun hargajualhasilpanen,ditentukan oleh Tim PSD, 2004) si nyonya (pemberipinjaman)(FGD,
KEAMANAN
Tindak kejahatan yang muncul dan cukup meresahkan petani adalah penjarahan kopi yang siap panen oleh kelompok tertentu, pencurian dan penebangan. Banyaknya petani yang takut dengan kondisi ini, mengakibatkan petani lebih suka untuk memetik kopi pada kondisi biji masih hijau (pethik ijo). Karena apabila tidak dipetik, maka petani akan kehilangan hasil panennya. Akibat "pethikijo" inilah, harga jual rendah karena mutu yang kurang baik. Sementara itu, di Banyuwangi menurut peserta yang ada, hampir tidak terjadi pencurian dan penjarahan.
GARAM Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari: Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sektor garam sinonim dengan Madura dan Jawa Timur yang pada umumnya sebagai produsen garam nasional terbesar. Garam berperan penting dalam kehidupan masyarakat mereka. Walaupun sektor ini telah ada sejak lama, teknik-teknik produksi masih tetap didasarkan atas cara tradisional yang berproduktivitas rendah. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, produksi garam diatur oleh suatu kebijakan yang disebut
«Zoutmonopolie-Ordonnantie 1941" yang menetapkan beberapa daerah di Indonesia termasuk pulau Jawa dan Madura sebagai wilayah monopoli pemerintah dalam produksi garam. Artinya, bahwa pembuatan garam rakyat berdasarkan UU tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Produksi garam di wilayah tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah saja melalui perusahaan yang ada. Perusahaan tersebut, yaitu Perusahaan Garam Negara dan Soda Negara tidak mampu memproduksikan jumlah-jumlah cukup untuk memenuhi permintaan nasional. Untuk mengatasi produksi garam yang tidak memadai, pemerintah pasca kemerdekaan menerbitkan UU Darurat No. 25 tahun 1957 tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Produksi Garam oleh Rakyat34. UU Darurat tersebut dimaksud untuk meningkatkan produksi garam nasional. Pada tahun 1959, JU Darurat tersebut ditetapkan sebagai UU Nomor 13 tahun 1959.
½mbaranNegara tahun 1957 No. 82
84
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Saat ini, Indonesia memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 juta ton. Sementara itu, kebutuhan nasional pada tahun 2002 saja mencapai 2,8 juta ton dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 %35. Diperkirakan pada tahun 2004 kebutuhan garam nasional mencapai 3,3 juta ton. Sementara itu, produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada meskipun di Indonesia telah ada perusahaan produksi garam yakni PT. Garam. Produksi PT. Garam hanya berkisar antara 250.000 - 300.000 ton/tahun dengan luas lahan sekitar 5 ribu hektar. Ada 22 propinsi di Indonesia yang memproduksi garam. Propinsi Jawa Timur adalah produsen nasional garam terbesar. Diperkirakan bahwa propinsi tersebut menyumbang 70% bahan baku garam yang diproduksi di Indonesia, dan untuk garam mengandung yodium propinsi tersebut menyumbang 45% dari total produksi nasional. 30% sisa produksi garam disebarkan di antara 21 propinsi lain, seperti tampak pada Tabel berikut: Tabel 5.7 Produksi Garam di Indonesia
1
Jawa Timur
596.772
1.100.000
2
Jawa Barat
3
Jawa Tengah
209,744 148.032
130.000 220.000
4
Sumatra Utara
72.000
---
5 6
Sumatra Selatan Nusa Tenggara Barat
56.000 52.700
61.000
7
Sumatra Barat
51.000
---
8
Sulawesi Selaran
47.448
70.000
9
25.640
--
10
Lampung Jambi
24.000
---
11
Riau
20.000
---
12
Kalimantan Barat
14.200
---
13
Sulawesi Utara
10.850
---
14
Aceh
9.000
10.000
15 16
Bengkulu Sulawesi Tengah
8.200 7.000
18.000
17 18
DKI Kalimantan Selatan
5.123 5.000
---
19
3.000
---
20
Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
2.500
---
21
Bali
864
2.200
22
Nusa Tenggara Timur
440
10.000
-
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Perambangan Kabupaten Sampang 35
Kompas, edisi 19 Maret 2003 "PenerinrahKaji &imulus Untuk Industri Garm
85
---
---
Mata Rantai Komoditas
Dari total permintaan garam 40% diserap sebagai garam untuk konsumsi dan 60% sisanya sebagai garam untuk industri. Garam industri digunakan dalam berbagai industri, yaitu: 76% untuk industri soda, 15% untuk pengeboran minyak, dan 9% untuk jenis-jenis industri lainnya seperti kulit, kosmetika, sabun dan es. Dari permintaan garam untuk konsumsi 72% digunakan sebagai makanan, sedangkan sisanya merupakan bahan tambahan dalam industri pangan36 . DiJawaTimur, produksilokal olehrumah tanggaatauprodusensektor informalmelimpah. Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang, garam di Jawa Timur lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan lokal. Mereka memperkirakan permintaan konsumsi garam di jawaTimur sekitar 172.754 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi mencapai 1.100.000 ton per tahun. Tabel 5.8 Luas Lahan Garam dan Produksi Gara di Jawa Timur, 2003 Lokasi
an
,
La'
PT. Garam
Sumenep, Pamekasan,
5.116 Ha
400.000 ton 1 tahun
Garam Rakyat
Sumenep, Pamekasan, Tuban, Lamongan, Gresik,
14.007 Ha
700.000 ton 1 tahun
Sampang
Sidoarjo, Pasuruan
Surnben Dinas Perindustrian, Perdaganpan din Pertarnbangan Kabupaten Sampang
Dari total produksi 1.100.000 ton di Jawa Timur, hanya 55% diproses lebih lanjut menjadi garam mengandung yodiun. Sisanya 45% merupakan bahan baku garam yang lazim digunakan di dalam industri. Sumbangan terbesar kepada produksi garam yodium berasal dari Surabaya dan Pamekasan. Surabaya hanya memproses garam mentah menjadi garam beryodium.
Produksi gararn mentah
Jawa Timur kebanyakan berasal dari kabupaten-kabupaten di pulau Madura khususnya di Sampang, Parnekasan dan Sumenep. Sumbangan Madura kepada produksi garam Jawa Timur diperkirakan 70% dari total produksi Jawa Timur.
6
3 http:/suharJavanasuriatripod.com
86
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.9
Industri Garam Beryodium di Jawa Timur 4
i3
apPts3iduksi >
..T.Jft<
Kota Surabaya
5
280
Kab. Pamekasan
3
220
Kab. Sidoarjo
3
36,5
Kab. Gresik
5
32,2
Kota Pasuruan
9
14,75
Kab. Pasuruan
4
5.862
Kab. Malang
5
4,26
Kab. Probolinggo
2
2
Kab. Lumajang
1
1,2
Kab. Sampang
2
0
Total
39
596,772
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupatern Sampang
Berdasarkan FGD yang dilakukan di Madura, produsen garam terdiri dari 2 pihak yakni garamrakyat, yaitu yang dikelola dan diproduksi oleh masyarakat secara individu, dan PT. Garam. PT Garam nerupakan BUMN selain memproduksi garam juga memasarkan garam. Pengolahan garam rakyat urnumnya menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Tahap yang dilakukan cukup melalui pengeringan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan pengairan dan baru kemudian penjemuran. Proses produksi garam ini dilakukan dengan cara menguapkan air laut dalam petak-petak lahan. Air laut yang diuapkan sampai kering mengandung setiap liternya 7 mineral
(CaSO4, MgSO4, MgCL2, KCL, NaBr, NaCl dan air). Proses penguapan hingga pengeringan ini yang mempengaruhi kualitas garam rakyat. Dari proses yang ada telah menghasilkan 3 jenis kualitas garam rakyat: pertama, Kl (kualitas 1) untuk garam dengan kualitas paling baik. Pada kualitas ini, proses pengairan hingga penjemuran paling tidak membutuhkan waktu 30 hari. Yang kedua, adalah K2 (kualitas 2) untuk garam dengan kualitas sedang. Kualitas sedang diproduksi dengan waktu 15 hari dari proses pengairan hingga penjemuran. Sedangkan K3 (kualitas 3) untuk garam dengan kualitas terjelek diproduksi hanya dalam waktu 7 hari. Berikut ini adalah proses pengolahan garam rakyat: Gambar 5.8 Produksi Garam Pengerin
n Lahan
(1 ari
Pen ra (7-10 ha)j
Pen emuran
(3 hari)ý
87
Garam Rakyat
Mata Rantai Komoditas
Produk garam yang telah dihasilkan oleh rakyat tersebut, tidak serta merta didistribusikan ke masyarakat, namun memerlukan proses lebih lanjut yang lebih rumit untuk menyesuaikan standar mutu garam konsumsi. Khususnya yang menyangkut ketersediaan kandungan zat yodium dalam garam konsumsi. Sehubungan dengan itu, proses pengolahan garam selanjutnya dikelola oleh PT. Garam dan industri pengolahan garam lainnya, mengingat aktifitas ini membutuhkan teknologi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu rantai perdagangan garam rakyat hanya tersalurkan pada setidaknya 3 kelompok saja yakni : PT. Garam, pedagang dan industri sebagaimana terlihat dalam gambar berikut. Gambar 5.9 Rantai Produksi Garam
Pedagang
*
Itri
(
1M' Kelompok pedagang dalam rantai tersebut, umumnya merupakan perusahaan perdagangan garam rakyat yang akan disalurkan kepada industri pengolahan lainnya. Perusahaan ini umumnya tidak melakukan pengelolaan garam rakyat menjadi garam konsumsi. Sementara itu, kelompok industri yang menerima pasokan dari para pedagang dan PT. Garam, bergerak dalam berbagai produk antara lain industri soda, kulit, sabun, tekstil dan minyak serta kosmetik. Sedangkan yang merupakan produk turunan antara lain salt cake.
ISU-ISU GARAM IMPOR
Garam merupakan salah satu komoditi yang dianggap mempunyai kepentingan strategis dan karenanya dilakukan proteksi atas tata niaga. Menurut data yang ada, pro duksi garam nasional tidak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Karena itu pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Salah satu diantaranya ialah mengimpor garam dar! negara-negara lain. Saat ini garam diimpor dari tiga negara, yaitu India, Australia, dan Yordania. Jumlah paling besar diimpor dari India. Akan tetapi kebijakan impor garam tersebut menimbulkan serangkaian masalah untuk para petani garam, terutama di JawaTimur. Data produksi yang ada menunjukkan bahwa propinsi Jawa Timur mempunyai produksi garam berlimpah, namun pemerintah menerapkan kebijakan impor tanpa melakukan dialog dengan para petani.
88
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
".....Hínggasaat ini saja, masih berton-ton garam disíni (di Pamekasan, red) belum bisa terjual Kokpemerintah tiba-tibamembuat keb¡jakan impor. Padahaldisini stoknya masih banyak.Apa pemerintah tidak tahu itU..
."(FGD, Tim PS, 2004)
Masalah impor garam seperti disebut di atas menjadi isu yang cukup serius pada tahun 2002 dan 2003. Seperti disebut lebih dulu, pasar garam terdiri dai pasar untuk garam konsumsi dan untuk garam industri. Garam untuk industri memerlukan kadar NaCI 99%, sedangkan garam untuk konsumsi memerlukan kadar NaC minimal 95%. Para petani garam biasanya hanya mampu memproduksi garam dengan kadar NaCI 95% sampai 97%. Akibatnya, untuk memenuhi permintaan garam industri, pemerintah tetap perlu impor dar¡ negara-negara lain, khususnya Australia dan Yordania. Akan tetapi pada tahun 2002-2003 pemerintah Indonesia juga mengimpor garam dar¡ India, walaupun mutunya sama dengan garam lokal. Ini merugikan garam dalam negeri oleh karena harga pasar garam lokal ialah Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- sedangkan garam India Rp. 40.000,Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia merekomendasikan penghentian impor garam darl India mengingat persediaan dalam negeri memadai. Akan tetapi impor dar Australia tetap dilanjutkan.
PENENTUAN HARGA GARAM RAKYAT
Selain masalah yang terkait dengan kebijakan impor yang belum tantas, beberapa waktu yang lalu, pemerintah setempat di wilayah Madura berinisitif untuk melakukan MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep beserta 9 perusahaan garam di Madura untuk mengatur harga dasar garam rakyat. Seperti dijelaskan di atas, garam yang dihasilkan oleh garam rakyat, hampir sebagian besar ditampung dan diolah kembali oleh perusahaan industri. Saat ini menurut mereka ada 9 kelompok perusahaan industri garam antara lain PT. Garam, PT. Garindo dan PT. Budiono Madura Bangun Persada. Ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar yang menampung penjualan hasil garam rakyat. Ke sembilan perusahaan ini secara efektif mewakili suata kartel dan dikenal sebagai
"kelompok 9". Persoalan harga, selama ini tidak bisa dilepaskan dard hubungan antara petani garam dengan perusahaan industri. Menurut petani garam, selama ini tidak ada harga dasar yang ditentukan antara pemerintah, petani dan perusahaan industri. Saat ini yang ada hanyalah harga pasar. Harga pasar yang ada saat ini hanya ditentukan oleh perusahaan industri37. Oleh karenanya, inisiatif 3 pemerintah daerah di Madura tersebut untuk menyusun MoU merupakan langkah yang tidak tepat. Meskipun dalam rencana MoU tersebut terdapat 3 nama perwakilan kelompok petani, menurut petani, posisi tawar mereka sangat rendah sebagaimana pendapat salah satu peserta FGD.
Bagaimana kita tahu bisa dialog kalau yang dominan hanya pemerintah dan kelompok 9 (sebutan perusahanyang akan melakukan Mo U karenajumlahnya 9 perusahaan, red). Petani 7 3 Harga pasar garan saar ini K- harga dasarnya Rp. 75.000, per aon. K-2 adalah Rp. 65.000,4 ton dan K-3 ada1ah Rp 55.000,-/aon.
89
Mata Rantal Komoditas
hanya disodoriMo Uyang sudahjadi tanpa melakukan dialog sebelumnya. Bahkan penentuan perwakilan kelompok tani saja kami tidak tabu...""(FGD, im PSD, 2004) INFRASTRUKTUR
Pelabubanyangkurangmemadai, pelabuhan merupakan infrastruktur yang cukup penting dalam distribusi garam khususnya petani dari Pamekasan dan Sumenep. Petani dari kedua wilayah ini banyak mendistribusikan garamnya ke luar pulau Jawa antara lain Sumatra dan Kalimantan. Sementara itu, petani dari Sampang, lebih banyak mendistribusikan garamnya ke wilayah pulau Jawa. Sehingga, pelabuhan tidak menjadi masalah karena selama ini bisa diatasi dengan menggunakan jalur darat dan pelabuhan Madura - Surabaya yang sangat memadai. Pelabuhan yang menjadi hambatan adalah pelabuhan Pamekasan. Pelabuhan dikabupaten ini memiliki kedalaman yang sangat dangkal yakni hanya 100 meter. Oleh karenanya, petani di Pamekasan banyak mengirimkan garamnya melalui pelabuhan di Kalianget Sumenep. Hanya saja, biaya akan bertambah karena harus menambah biaya transportasi darat untuk mengangkut garam dar Pamekasan ke Sumenep. Biaya yang bertambah per kg-nya adalah Rp. 25,-. Sebenarnya, ada jarak terdekat yang bisa ditempuh oleh petani garam bila memasarkan produknya ke luar pulau. Yakni dengan menggunakan pelabuhan Sejati milik PT. Garam. Biaya tempuh menuju pelabuhan ini per kg-nya adalah Rp. 15,-. Hanya saja, penggunaan dermaga milik PT Garam ini dianggap cukup birokratis, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pengusaha: pernah beberapa kali bersama dengan Dinas Perindag mengajukan peminjaman kepada PT Garam, namun seringkali ditolak. Padahalsaat itu kami mengalami kesulitan «.....Kami
distribusi penjualan. Oleh karenanya, kami terpaksa menggunakan dermaga Kaliangetyang
jaraknya mempengaruhi ongkos transportkarni.." (FGD, Tim PSD, 2004) Pada bulan Oktober 200338, petani melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan pertambangan Kabupaten Sampang pernah mendapatkan persetujuan dar pihak PT. Garam untuk penggunaan dermaga. Hanya saja, surat persetujuan tersebut justru menghambat perdagangan yang ada. Dalam surat tersebut antara lain disebutkan bahwa: ...... Pada prinsipnya kami tidak berkeberatan dengan penggunaan Dermaga oleh saudara dengan catatan sebagai berikut : 1. Garam tidak dimuat untukpengirimanke Sumatera Utara.
2. Apabila ada kerusakan dermaga akibat dari pemakaian ini maka biaya perbaikan akan dibebankan kepada saudara 3. Dikenakan beban biayapemuatan ( muat garam)padasetiappengirimangaram 38
Surat Direkrur Urama PT. Garam kepada Kepala Dinas Perindustrlan Perdagangan dan Permmrnbangan Kabupaten Sampang pada mrnggal 8 Oktober 2003
90
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dari persyaratan yang ada diatas, larangan untuk mengirim garam ke Sumatra Utara merupakan persyaratan yang memberatkan. Hal ini dianggap sebagai cara untuk menghalangi petani menjual garam ke Sumatra Utara. Penjualan garam Madura ke Sumatra Utara lebih disukai karena harga jualnya cukup tinggi. Harganya berkisar antara Rp. 225.000,-/ton sampai Rp. 300.000,-/ton. Di sisi yang lain, pelabuhan yang ada di Sumenep sendiri juga masih dianggap kurang mendukung terutama karena tingkat kedalaman yang belum memadai. Daya muat pelabuhan hanya sebatas 3.000 ton saja. Apabila muatan melebihi, maka kapal yang akan memuat garam harus berada di posisi tengah. Sehingga biaya pengangkutan akan bertambah karena harus menggunakan perahu untuk mengangkut garam dari pelabuhan ke tengah laut dimana kapal bersandar. Biaya angkut dengan menggunakan kapal mencapai Rp. 25,- per kg.
Masalahjalan yakni jalan dai ladanggaram menuju jalan raya (alan umum). Di ketiga wilayah (Pamekasan, Sampang dan Sumenep) jalan dari ladang garam menuju jalan raya tidak ada. Akibatnya, petani akan mengeluarkan tambahan biaya tenaga kerja untuk mengangkut garam dari ladang mereka ke jalan raya. Biaya angkut untuk tenaga kerja pengangkutan ini cukup tinggi yakni mencapai Rp. 50.000/ton. Biaya ini dirasa cukup tinggi sehingga keuntungan petani sangat rendah. Sementara itu, harga jual hanya mencapai Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- / ton.
PERIZINAN DAN PEMBERIAN LABEL
Para peserta dari ketiga daerah tersebut mengatakan bahwa perizinan bukan merupakan masalah. Selama ini, bèberapa pengusaha dapat dengan mudah mendapatkan surat izin. Misalnya saja, ada salah seorang pengusaha dari Sumenep yang telah mendapatkan SIUP hanya dengan waktu 1 hari saja. Demikian juga untuk mendapatkan surat jalan dari Deperindag untuk mengiriman garam ke luar pulau. Masalah yang muncul justru adalah persoalan labeling atau kemasan garam yang dikirim ke luar daerah khususnya Sumatra Utara. Umumnya kemasan garam yang dikirim oleh petani dalam bentuk karungan ini tidak berlabel (bermerek). Pada Bulan September 2003, 1.738 ton garan milik petani di Sumenep disita oleh Polda Jatim. Alasan yang disampaikan oleh pihak Polda adalah garam tersebut tidak memenuhi standar mutu pemerintah dan melanggar UU perlindungan konsumen karena tidak mencantumkan label pada kemasaný9. Sementara itu, dalam anggapan petani UU perlindungan konsumen hanya berlaku untuk produk jadi atau produk akhir yang akan diserap oleh konsumen akhir. Sementara itu, produk yang mereka distribusikan adalah produk setengah jadi, yang akan diolah kembali oleh perusahaan di Sumatra Utara. Oleh karenanya, tanpa menggunakan labelatau merek sebenarnya tidak melanggar UU Perlindungan konsumen. Isu ini menunjuk pada tidak adanya kejelasan dalam peraturan tersebut.
39
Harian Surya edisi 7 Nopemnber 2003
91
Mata Rantai Komoditas
PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
Proses konsultasi publik oleh pemerintah kepada petani hampir tidak pernah dilakukan. Meskipun pemerintah daerah sedang menyusun draft Nota kesepakatan Bersama antara pemerintah Sampang, Pamekasan dan Sumenep serta 9 perusahaan dan petani dari 3 daerah, namun selama ini petani merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan draft tersebut. Yang menjadi masalah kemudian, petani yang menjadi perwakilan dalam draft nota kesepakatan tersebut tidak dikenal sebagai petani melainkan sebagai pedagang. Masalah yang kedua, menyangkut kebijakan impor garam. Petani merasa bahwa kebijakan tersebut tidak melalui tahapan penelitian maupun pemantauan yang detail atas produksi garam nasional. Oleh karenanya, petani merasa bahwa kebijakan ekonomi pemerintah baik pusat maupun daerah kurang melibatkan sektor swasta khususnya pengusaha kecil menengah dalam perencanaan, pengambilan keputusan maupun pengawasannya.
UDANG Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tuban, Lamongan, Gresik, Malang, Banyuwangi. Ekspor perikanan Jawa Timur cukup stabil secara keseluruhan. Sampai dengan tahun 2002, data berikut ini menunjukkan peningkatan teratur dalam volume penjualan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Gambar 5.10 Ekspor Produk Perikanan Jawa Timur, 1999-2002 600
-e-
volume (uta ton)
500
-.-
nilai (milyar US$)
400 300 200
•
100
1999
2000
2001
2002
Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa Timur
92
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perikanan masih menyumbang cukup besar terhadap perekonomian di Jawa Timur. Sektor ini menyumbang sebesar 820 milyar rupiah atau sekitar 1,35% dari PDRB Jatim pada akhir tahun 2002. Daerah peyumbang terbesar dari produksi ikan ini adalah Lamongan, Gresik dan Trenggalek masing-masing sebesar 70 ribu ton, 58 ribu ton dan 57 ribu ton dalam tahun yang sama. Terdapat 4 kelompok pelaku usaha dalam rantai bisnis udang yakni : • Kelompok pertama adalah pelaku usaha yang bergerak di budi saya pembenihan, baik pembenihan alam yang sifatnya hanya penangkapan di laut lepas saja, serta pembenihan buatan yang dilakukan di tambak-tambak. * Kelompok kedua adalah pelaku budi daya udang atau dengan kata lain pembesaran udang * Kelompok ketiga adalah pedagang udang dari mulai kelompok pengepul sampai dengan para ekspotir. • Kelompok keempat adalah kelompok pendukung kegiatan budi daya udang seperti industri pakan dan obat. Gambar 5.11 Rantai Produksi Udang
Pedagang Benih
Nelayan Udang
Petani Tambak teknologi Tinggi (rata-rata
Petani Tambak Tradisional (rata-rata
Nelayan Lobster
+
Agen
tambak intensif ialah teknologi pembudidayaan udang, terutama dalam penggunaan pakan dan obat-obatan. Para petani tradisional biasanya mempunyai usaha kecil yang tidak banyak menggunakan teknologi khusus dalam Yang
membedakan
para petani
tradisional
membudidayakan udangnya.
93
dari petani
Mata Rantai Komoditas
Isu-Isu FLUKTUASI HARGA DALAM EKSPOR
Para pelaku budi daya udang seringkali menghadapi fluktuasi harga yang sangat tajam. Yang paling merasakan dampak negatif dari ketidakstabilan harga ini terutama dirasakan oleh pihak petani petambak sebagai produsen awal udang, sekaligus konsumen akhir industri pakan ikan. Menurut petani tambak harga penurunannya bahkan sampai dengan 50%. Sementara itu pihak eksportir yang juga merasakan dampak negatif dari fluktuasi harga ini walaupun tidak separah di tingkat petani petambak, juga sulit untuk menghindari situasi seperti ini, karena secara langsung harus menghadapi beberapa hal pasar internasiona,1: 1 Adanya aturan-aturan internasional mengenai larangan pengganaan obat kimia, anti biotik, keharusan penggunaan label-label tertentu dan lain-lain menyebabkan pasar internasional semakin menyempit. 2 Muncul produk-produk dari negara lain dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih rendah 3 Di sisi lain kondisi suplai udang dari nelayan Indonesia kualitasnya banyak yang tidak memenuhi standar internasional. Disamping itu suplainya kian hari kian menurun.
Di Tuban, sekitar 5 tahun yang latu seorangpengusaha eksportir dapat mengirim ikan sampai sekitar 60 kontainer/bulan. Saat ini hanya dapat mengirim 20-25 kontainer ikan. (FGD, Tim PSD, 2004) 4 Terutama untuk lobster jaringan bisnis intenasional yang ada sangat terbatas, sehingga ketergantungan pedagang Madura terhadap eksportir di Surabaya terutama menjadi sangat tinggi. Nelayan maupun pedagang di Madura belum ada yang dapat berhubungan dengan buyer secara langsung. Sehingga para pedagang ikan di Madura harus mengikuti harga yang ditetapkan oleh pedagang besar atau pabrik atau eksportir di Surabaya. Padahal harga yang mereka patok seringkali tidak stabil, sehingga pedagang kecil Madura seringkali kesulitan menghadapinya.
PERIZINAN
Keluhan ini disampailkan oleh eksportir udang yang mengalami adanya pungutan ganda kepada objek yang sama yakni air. Pungutan tersebut berbentuk retribusi air yang ditarik oleh pemerintah provinsi dan Surat Izin Penggunaan Air (SIPA) yang ditarik oleh Pemda seperti terjadi di Tuban. Di Bojonegoro dan Pacitan, pungutan ganda melalui perizinan juga muncul dalam bentuk penerbitan 40
Hasil Diskusi Kelompok Fokus, Tim PSD, 2004
94
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Surat Kelayakan Produksi (SKP) serta Surat Pengolahan Ikan (SPI). Kedua jenis izin tersebut pada intinya merupakan pungutan berbentuk retribusi dalam pengolahan ikan.
KEAMANAN
Penjarahan tambak udang oleh masyarakat yang ada disekitar tempat tambak berada terjadi pada setiap kali panen. Kejadian ini terjadi terus menerus sejak krisis Juni 98. Pada setiap kali panen kehilangan yang terjadi bias mencapai 50%. Pengusaha kemudian mencoba mengatasi hal ini dengan meminta bantuan dari pihak aparat kepolisian. Di Tuban untuk pengamanan selama masa panen selama sekitar 7 sampai 10 hari pihak pemilik tambak harus mengeluarkan biaya sekitar50. 000 orang/orang/hari,sehingga total biaya pengamanansampaidengan selesai melakukanpemanenanyaknisebesar3.000.000rupiah.(FGD, Tim PSD, 2004) Keamanan dalam pengantaran barang dari Jawa Timur ke Jakarta juga cukup rawan terutama dari gangguan pungutan liar yang biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian di jalanan. Seorang pengepul menceritakan bahwa rata-rata dalam satu kali pengantaran paling sedikit perlu menyediakan uang sekitar 50.000 rupiah untuk menbayar pungutan liar. Sementara seorang eksportir udang menceritakan bahwa dia harus membayar biaya pengawalan truk-truk miliknya sebanyak 3.000.000 rupiah per bulan. Sementara itu ketersediaan benih maupun udang di laut lepas terancam karena adanya pencurian besar-besaran oleh kapal-kapal besar milik nelayan asing. Pencurian seperti ini cukup sering terjadi. Hal ini diketahui karena keberadaan kapal-kapal asing tersebut kerap terlihat oleh para nelayan tadi. Sejauh ini upaya menanggulangi Masalah pencurian ikan dilaut lepas sangat terbatas bahkan pada wilayah tertentu tidak nampak sama sekali.
INFRASTRUKTUR
Secara fisik komoditas udang ini sangat mudah rusak (perishable) sehingga kondisi infrastruktur sangat signifikan pengaruhnya terhadap kualitas udang. Beberapa kondisi infrastruktur berikut ini menunjukkan bagaimana pengaruhnya terhadap komoditas ini. Sumber-sumber air. Untuk pembudidaya tambak udang, baik produsen udang kecil maupun pembudidaya udang, air kebanyakan diperoleh dari sungai dan kanal di wilayah Tuban. Namun saat ini kondisi sungai/kanal tersebut tidak lagi dapat menyalurkan air secara baik, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Para pelaku usaha menyatakan bahwa kemungkinan besar hal ini disebakan oleh dua hal yakni
95
Mata Rantai Komoditas
(1) terjadinya pendangkalan dasar sungai/kanal yang terjadi sejak dar! hulu sungai/kanal sampai dengan bagian hilirnya. (2) terjadinya pencemaran air yang semakin parah yang bersumber dari limbah industri dan sampah rumah tangga yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan panen udang. Pencemaran air ini juga terjadi sejak dari hulu sungai/kanal. Kerusakan terhadap lingkungan fisik juga mempunyai dampak luar biasa atas pembudidayaan udang, yang sangat dipengaruhi oleh mutu air. Di antara penyebab-penyebab kemerosotan mutu air yang diungkapkan dalam FGD-FGD terdapat: * Kegiatan pengeboran minyak lepas pantai. Misalnya, dua perusahaan pengeboran minyak beroperasi dua mil lepas pantai Bangkalan, yang berada di dalam wilayah penangkapan ikan para nelayan di daerah ini. Kegiatan pengeboran telah menyebabkan pencemaran air cakup serius selama lima tahun terakhir. Para petani dan nelayan mengatakan bahwa produksi mereka turun sebanyak 30%. * Banyak penangkapan ikan masih dilakukan dengan menggunakan bom atau bahkan formalin. Para nelayan biasanya mendapat formalin dari pemasok atau pembeli mereka di Surabaya. Ini tidak saja membunuh atau merusak banyak sekali telur ikan dan ikan kecil, tetapi juga merusak terumbu karang yang begitu penting sebagai tempat ikan berkembang biak. * Kerusakan lingkungan hidup juga dirasakan dengan penciutan hutan bakau, yang tersisa kurang dari separuhnya. Padahal hutan-hutan tersebut mempunyai peranan penting dalam penyediaan mutu air yang baik untuk udang di perairan sekitarnya. Transportasi Jalan dan Antar Pulau. Para pedagang di sektor hilir udang sering mengeluh tentang transportasi jalan. Misalnya pada ruas Taban-Babat menuju Surabaya sekitar 3 kilometer, dimana kondisi jalan menyempit dan bergelombang. Sehingga menyebabkan kemacetan pada jam-jam tertentu. Menurut peserta diskusi tingkat kecelakaan di ruas ini rata-rata 12 kali dalam 1 minggu. Jarak tempuh Tuban-Surabaya saat ini ditempuh dalam 2-3 jam. Idealnya paling lambat hanyal,5 jam. Bagi petani udang di Pacitan infrastruktur jalan yang mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah jalan-jalan desa terutama yang menuju ke pantai dalam keadaan tidak beraspal. Kondisi ini tidak memungkinkan mobil untuk masuk ke dalam areal pelabuhan, sehingga ikan-ikan harus dipikul menunju jalan raya. Hal ini menyebabkan meningkatkan biaya untuk ongkos angkut juga memperlambat masa jual ikan sehingga sangat besar kemungkinan bahwa kualitas ikan menurun akibat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membawa ikan ke jalan raya.
96
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagi para pedagang dari Madura benih atau bibit maupun produk akhir banyak sekali dihasilkan oleh pulau-pulau kecil disekitar Madura. Namun demikian keberadaan transportasi pengangkutan dari pulau-pulau ini ke Madura maupun keluar Madura seperti ke Surabaya dan Bali sangat terbatas. Yang ada hanya perahu-perahu kecil yang tidak memiliki kemampuan berlayar jauh. Keterbatasan ini sangat sering menimbulkan kerugian pada tingkat petani karena selain barang rusak bahkan kadang-kadang tidak terangkut. Sebagai contoh dari pulau Sepeken ke Bali dibutuhkan waktu sampai 9 jam, padahal untuk mendapatkan ikan segar waktu yang ideal yang dibutuhkan sebaiknya kurang dari 4 jam. Kapasitas Pelabuhan. Di Pacitan, Tuban, Bojonegoro dan Banyuwangi pelabuhan yang ada hanya dapat didarati oleh kapal kecil. Dengan kapasitas seperti itu maka kapal besar tidak dapat berlabuh. Para pengepul atau pedagang ikan meyakini kalau kapal besar bisa berlabuh maka dinamika ekonomi disekitar wilayah ini akan meningkat karena hal ini akan signifikan terhadap volume ikan yang diperjual belikan melalui pelabuhan ini. Selain sempit fasilitas lain yang ada di pelabuhan juga terbatas. Fasilitas lain yang dirasakan oleh para pengguna pelabuhan diantaranya gudang terutama untuk ikan dan es, tempat untuk penampungan BBM. Di Pacitan misalnya bila mereka membutuhkan solar maka mereka harus pergi ketempat pom bensin terdekat yang jaraknya sekitar 5 km. Jumlah solar yang dapat dibelipun terbatas hanya dalam beberapa tengki saja. Kesulitan mendapatkan solar ini makin terasa bila mendekati hari raya atau tahun baru. Pernah ada usulan untuk mengundang investor untuk membangun pom bensin di TPI, namun bagi calon investor hal ini masih belum mungkin diwujudkan. mengingat cukup banyak hal yang perlu dipenuhi oleh seorang investor'. Selain adanya pom nelayan juga berharap jika dimungkinkan adanya tempat penampungan BBM disekitar pelabuhan ini.
TEKNOLOGI
Penelitian dan Pengembangan. Para petani merasa bahwa ada banyak masalah (seperti penyakit, kadar garam yang sesuai, teknologi pasca-panen) yang semakin memburuk dan yang membutuhkan pemecahan teknis. Para peserta mengatakan bahwa masalah-masalah seperti ini sedang memburuk sebab tidak ada lembaga untuk menjalankan penelitian dan mengembangkan teknologi perikanan, yang dapat dijadikan acuan bagi para petani. Berkaitan dengan ini adalah kurangnya petugas teknis atau konsultan di lapangan yang dapat memberikan keterangan tentang bagaimana menangani berbagai masalah berkaitan dengan ikan.
minyak yang 41Untuk memenuhi kebutuhan van bakar bagi nelayan bisa dilakukan dengan membuka SPBBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar unuk Nelayan). Jenis Jura Rupiah 500 300 senilai investasi biaya diperlukan SPBBN satu unmuk (1) dianraranya, SPBBN, pembukaan ketenuan disalurkan di stasiun ini hanya solar. Beberapa räl nelayan (4) mempunyal tanal serzifkat hak milik seluas diluir tanab (2) Lokasi harus dekat dengan pantai (3) akan diberikan alokasi rercentu sesuai dengan keburuhan (6) pemilik bisa T perorangan atau koperasi. minimal 800 m2 dengan panjang bagian depan 40 m (5) sda rekomendasi dari kantor Menceri Perikanan & Kclauan
97
Mata Rantai Komoditas
Penyakit udang, terutama bagi petani empang, merupakan masalah yang perlu penanganan khusus guna mencari pemecahan yang sangat dibutuhkan. Pengembangan teknologi di bidang ini juga diharapkan. Kapasitas ColdStorageYangTerbatas. Saat ini umumnya pedagang perantara atau eksportir memiliki kapasitas coldstrorage antara 10-15 ton. Kapasitas sebesar itu tidak sebanding dengan permintaan udang yang mencapai 20 sampai 30 ton per bulan. Apalagi pada kenyataannya coldstorage tersebut tidak saja digunakan hanya untuk udang melainkan untuk penyimpanan hasil perikanan lainnya. Penggunaan Perahu Kecil. Umumnya produktivitas petani di Jawa Timur rendah. Terdapat dua hal yang diperkirakan menjadi penyebab hal ini yakni: 1. Penggunaan perahu 'kecil' dimana kapasitasnya sangat terbatas telah mempersempit fshing ground nelayan. Saat in! daya jangkau perahu nelayan hanya bisa maksimun 6 jam sekali berlayar. sehingga tidak dapat berlayar lebih jauh ketengah pantai. 2. Penggunaan minyak tanah yang dicampur ol sebagai ganti solar yang dirasakan terlalu mahal oleh nelayan telah menyebabkan tingkat residu yang dibuang ke laut semakin tinggi sehingga pencemaran yang terjadi sernakin parah serta dapat memperpendek umur mesin kapal.
TERNAK SAPI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Bojonegoro, Sumenep, Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember, Trenggalek, Pacitan, Tuban. Jumlah ternak sapi di Jawa Timur sekitar tahun 2002 tercatat sekitar 2,51 juta ekor (Jawa Timur Dalam Angka, 2002) yang tersebar di berbagai tempat terutama pada beberapa kantung produksi yakni Trenggalek, Jember, Daerah pesisir Selatan Jatim Bojonegoro, Pacitan, Tuban, serta Malang dan wilayah-wilayah disekitarnya. Adapun perkembangan jumlah ternak sapi potong sejak 1996 adalah sebagai berikut:
98
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagan 5.12 Perubahan dalam Jumlah Ternak Sapi di Jawa Timur 3.4
3.31
2.51
2.51
2001
2002
0
1996
2000
Sumber: Jawa Timur dalam Angka, 1997 dan 2002
di Jawa Timur dalam periode 1996 sampai dengan 2002 menunjukkan penurunan. Posisi pada tahun 2002 dengan jumlah ternak sekitar 2.515.439 ekor dan jika diasumsikan berat rata-rata sapi tersebut adalah 300 kg per ekor, maka jumlah total Jumlah ternak sapi potong secara keseluruhan
produksi daging sapi adalah sekitar 0,7 juta ton. Sementara posisi daging impor secara nasional tahun 200242 adalah sekitar 4,4 juta ton. Dengan demikian perbandingan produksi daging sapi Jawa Timur terhadap daging sapi impor nasional pada tahun 2002 adalah 1: 6,3. Adapun rantai bisnis sapi potong di Jawa Timur seperti pada gambar berikut ini, menunjukkan setidaknya ada 4 katagori pelaku usaha yakni pertama peternak pembibit (yang menghasilkan bibit sapi), peternak penggemukan sapi, pedagang dan industri rumah pemotongan hewan (RPH). Pada setiap kelompok pelaku usaha ini problem maupun peluang usaha yang dihadapi berbeda-beda. Bagan 5.13 Rantai Produksi dari Ternak Sapi
->
Peternak
(sekaligus penjual sapi) Pedagan (ke seluruh atim dan Jaýkarta) Pasa
lokal
(Peiusaaan
te
(orangari) Harga rata-rata cceran daging sapi porong (Rp/Kg)
42Sumber: http:
vwww.bi.go.id/sipukllm/ind/sapl_potonglaspek_pemasaran.hrm
99
Mara Ranta! Komoditas
Pada umumnya baik peternak pembenihan maupun peternak penggemukan sapi adalah rumah tangga-rumah tangga petani. Rata-rata kepemilikan sapi per rumah tangga di Jember, Lumajang, Bojonegoro dan sekitarnya adalah sekitar 2 sampai 3 ekor. Namun demikian karena umumnya peternak sapi di daerah ini mengembangkan usaha peternakan sapi berdasarkan sistem bagi hasil, artinya ada sapi-sapi milik orang lain yang dipelihara oleh peternak lainnya, maka rata-rata peternak sapi ini memelihara sekitar 3 sampai 5 ekor sapi. Berdasarkan sistem bagi hasil ini peternak dapat dikelompokkan dalam 2 katagori. yakni penggaduh yang memelihara sapi milik orang lain atau ditambah dengan miliknya sendiri. Dan peternak pengusaha, yakni yang memberikan sapinya untuk dipelihara pihak lain dengan rata-rata kepemilikan sapi sebanyak 5-10 ekor untuk pengusaha sedang dan 10-20 ekor untuk pengusaha besar. Pembahasan berikut ini menguak problematik persapian di Jawa Timur berdasarkan katagori di atas.
Isu-ISU KURANGNYA LAYANAN DUKUNGAN
Pada tahap awal industri sapi, kualitas bibit sapi menjadi titik krusial yang menentukan keberhasilan produksi lanjut, baik pada masa penggemukan maupun sisi perdagangannya. Pada tahap ini nampaknya dukungan institusi penelitian dan pengembangan sangat lemah. Sehingga tidak mudah bagi peternak sapi untuk menemukan bibit sapi dengan kualitas yang baik. Para peternak penggemuk membeli bibit-bibit sapi dar! pasar lokal. Disana tidak ada standar tertentu atan teknologi tertentu yang bisa mendeteksi tingkat kesehatan sapi. Sehingga pemilihan bibit sapi dilakukan oleh peternak penggemuk sapi berdasarkan perkiraan fisik saja. Akibatnya menurut para peserta FGD baik di Jember, Bojonegoro, Malang menyampaikan bahwa pencapaian berat sapi hanya mencapai 80% dari yang diperkirakan. Kondisi bibit sapi yang seperti ini kemudian semakin kurang kondusifkarena pada saat penggemukan kelemahan yang sana juga terjadi yakni tidak adanya dukungan R&D yang memadai pada tahap ini. Bahkan yang lebih parah lagi petugas di tingkat kecamatan yang sangat krusial keberadaannya dalam budi daya penggemukan sapi, selain terbatas jumlahnya juga masih dirasa kurang trampil.
Dinas Peternakan Bojonegoro menyiapkan mani beku untuk Inseminasi Buatan (IB) dari sapi berkualitas di Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. IB ini disuntikkan kepada sapi betina oleh tenaga mantri hewan yang ditempatkan di desa/kecamatan dengan harga Rp. 25.000,- per-dosis. DiJemberjumlahsapi rata-rataper kecamatan mencapai2000 ekor Dengan
100
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
jumlah sapi betina sekitar 300 ekor. Sedikitnya dibutuhkan satu orangpetugas suntik dalam satu kecamatanagardapatmenanganijum1ah tersebut. Saat inipetugassuntik hanya tersedia 1 orang untuk sekitar3-4 kecamatan (FGD, Tim PSD, 2004) Masalah lain menyangkut Inseminasi Buatan yakni • Obat untuk IB langka dan hanya ada di beberapa kota saja misalnya di Jember, sehingga peternak-peternak sapi di wilayah Kab. Lumajang, Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab. Banyuwangi harus menunggu para petugas untuk membeli obat tersebut ke Jember • Harga obat untuk IB sebenarnya cukup terjangkau yakni sekitar 50.000 rupiah untuk sekali suntik, namun tidak ada jaminan bahwa sapi akan hamil. Petugas kedua yang juga penting kehadirannya di tengah para peternak sapi adalah Petugas Kesehatan. Serupa dengan petugas kawin suntik, petugas kesehatan sapi juga terbatas. Hal ini berimplikasi pada: * Vaksin untuk sapi distribusinya terbatas walaupun peternak sanggup membeli vaksin * Tidak dapat menanggulangi sapi yang sakit • Tidak dapat membantu persalinan sapi terutama bila terdapat kesulitan kelahiran. * Kesehatan sapi indukan tidak terjamin * Sulit mendapat bibit sapi yang baik. Beberapa upaya yang telai dilakukan oleh petani dalam mengatasi masalah mereka adalah: * Jika sapi sakit banyak diantara peternak yang mencoba menggunakan obat tradisional berupa jamu-jamu, atau pergi ke dukun/mantri kampung dan kalau tidak sembuh juga di jual dengan harga murah * Jika petugas suntik tidak ada maka akan dicoba dengan kawin alam dengan jalan meminjam sapi pejantan dari peternak lain dan membayar sejumlah uang jika sampai membuahkan kehamilan.
PEMBAYARAN DAN HARGA
Setelah melakukan penggemukan selama 4-6 bulan, pengusaha mulai menjual sapi baik untuk pasar lokal maupun RPH di Jakarta. Harga jual pada usia sapi ini sekitar Rp. 4,5 - 5 juta/ekor. Sebelum sapi dijual, pedagang diwajibkan untuk memeriksakan keadaan sapi dengan biaya Rp. 8.000,perekor. Berikut ini gambaran mengenai harga eceran rata-rata daging potong di Jawa Timur sebagai berikut:
10 1
Mata Ranta! Komoditas
Bagan 5.14 Harga Eceran Rata-rata Daging Sapi di Wilayah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg) 2004*
24,000
2004
30,000
1996
10,088
1993 1990 1987
6,822 4,912 3,754 Sumber: Sistem Informasi untuk Perkembangan Usaha Kecil. BI, 2004 dan FGD Harga Eceran Daging Sapi Zmpor
Banyaknya sapi impor di seluruh Jawa telah secara signifikan menurunkan permintaan atas sapi Jatim. Menurut seorang peserta FGD di Bojonegoro menyebutkan bahwa penurunan permintaan secara kuantitas menurun sekitar 70% dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga dengan harga turun 30-50%. Dipasaran di seluruh Jawa harga sapi potong per kg adalah 30.000 rupiah untuk sapi lokal dan 23.000-24.000 rupiah untuk sapi import khususnya dari Australia, atau lebih murah sekitar 20%. Sistem pembayaran dalam tata niaga sapi umumnya dilakukan secara tidak kontan. Artinya sapi dibawa terlebih dahulu dan pembayaran dilakukan pada saat sapi sudah terjual. Sistem seperti ini membuat petani menjadi terikat kepada seorang pedagang tertentu, karena modal usahanya tertahan pada pembeli sapinya. Hal ini membuat peternak sapi kesulitan modal segar untuk melakukan pemeliharaan sapi. Menurut para pedagang sapi, hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena RPH dimana mereka menjual sapinya, juga memberlakukan hal yang sama, yakni membeli dengan cara tidak kontan. Sehingga para pedagang sapi ini melakukan hal yang sama pula terhadap para peternak sapi. Namun hal ini dibantah oleh pihak pengelola RPH, khususnya di Cakung-Jakarta Timur, dimana menurut keterangan mereka, RPH tidak diperkenankan membeli dengan cara tidak kontan, yang ada hanya menunda pembayaran sampai ada kepastian mengenai kondisi kesehatan sapi yang dijual.
INFRASTRUKTUR Secara umum para pelaku usaha menyatakan bahwa untuk infrastruktur jalan kondisinya cukup memadai, walaupun terdapat beberapa ruas yang kondisi jalannya kurang baik seperti ruas SemboroKencong Padang Rejo di Jember, Bombengsari-Sumber Gedog di Banyuwangi.
102
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Infrastruktur yang masih sangat dibutuhkan bagi pengembangan usaha adalah saluran telpon. Menurut para pelaku usaha peternakan sapi, telpon sangat membantu petani untuk menghubungi petugas kesehatan dan suntik kawin, pemesanan obat, mencari informasi harga, maupun informasi obat-obatan. Saat ini baik jaringan telpon biasa maupun handphone belum menjangkau daerahdaerah sentra-sentra produksi sapi.
IZIN DAN PUNGUTAN
Sejumlah izin diperlukan dalam usaha ternak yang dianggap sebagai beban, yakni: • Pengusaha ternak diharuskan memiliki ijin IMB untuk kandang yang dimiliki. * Pengusaha ternak juga harus memiliki ijin HO dengan masa berlaku selama 5 tahun. * Pengusaha ternak harus memiliki Ijin Usaha Peternakan Di samping itu, sejunlah pungutan, yang pernah dibatalkan, baru-baru ini dikenakan kembali. Antara lain pungutan-pungutan berikut ini telah dikenakan (kembali): * Pengusaha ternak dikenai PBB untuk kandang yang didirikan. * Pengusaha mengeluhkan pungutan oleh pihak desa terhadap kandang yang didirikan. Besarnya pungutan ialah Rp. 75.000/unit/tahun. * Pengusaha dikenai pungutan oleh pihak desa untuk angkutan ternak yang melintasi jalan desa. Truk Double dikenai Rp. 5.000 sekali angkur, truk tunggal dikenai Rp. 2.500 sekali angkut dan pick up dikenai Rp. 1.000 sekali angkut. * Pengusaha ternak diharuskan membayar restribusi pemeriksaan sapi oleh Petugas dari Pemprop Jawa Timur yang bertugas di pos perbatasan dengan Jawa Tengah sebesar Rp. 5.000 - 8.000 perekor. Jenis-jenis pungutan yang dibatalkan di Kabupaten Malang melalui Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1998 termasuk'3: • Pajak Potong Hewan dihapuskan tahun 1998 tapi kemudian diberlakukan lagi tahun 2002 * Retribusi kartu ternak 500/ekor/thn * Pemeriksanaan kesehatan Ternak di Pasar Hewan, tapi ditingkat lapangan masih berlangsung pungutan untuk retribusi jenis ini sebesar 400 rupiah per ekor (Semeru, 1999) Pungutan liar, juga masih menghantui perdagangan sapi terutama di jalan. Pengusaha mengeluhkan terjadinya pungutan oleh polisi terhadap truk angkutan sapi dengan bak terbuka. Pengiriman sapi melalui jalur selatan yakni lewat Ngawi seringkali menjadi korban pungutan di daerah Mantingan (Ngawi - perbatasan dengan Jawa Tengah) dan sepanjang perlintasan di wilayah Jawa Tengah minimal terjadi 1 kali pungutan dan sebelum masuk tol Cikampek.Bila melalui jalur utara, truk angkutan sapi akan menjadi korban pungutan di Sarang (Rembang - Jawa Tengah), KandanghaurIndramayu dan sebelum masuk tol Cikampek. 43
Kajian SMERU, 1999
103
Mata Ranta! Komoditas
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
Masalah pada rantai paling ujung dalam bisnis sapi adalah terbatasnya kemampaan rumah potong hewan (RPH) yang ada di Jawa Timur. Di Jember saat ini terdapat 14 RPH (kapasitas per hari tidak diketahui). Sementara di Lumajang terdapat sekitar 7 RPH dengan kapasitas 2-3 ekor per hari per RPH Dari hasil pemantauan lapangan, tim menemukan setidaknya ada tiga jenis RPH yakni RPH perorangan, RPH sedang sebagian besar milik Pemda dan RPH besar 'Cakung' yang ada di Jakarta. RPH perorangan sebagaimana namanya adalah dimiliki oleh orang perorang. Biasanya kapasitasnya sangat terbatas yakni kurang dari 5 ekor perhari. RPH perorangan baru dikenal belakangan ini kurang lebih sejak tahun 2000. Sebelumnya RPH jenis ini tidak diperkenankan atau dengan kata lain tidak dikeluarkan izinnya oleh pemerintah, dikarenakan pertimbangan keamanan produk. RPH harus memiliki standar hygenisasi tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk memotong hewan. Belakangan ini banyak bermunculan RPH perorangan karena pemda kemudian mengeluarkan izin usaha untuk usaha semacam ini. PAD merupakan alasan utama pengeluaran izin semacam ini. Namun demikian disinyalir pengawasan kegiatan usaha semacam ini masih sangat lemah. RPH berikutnya adalah RPH sedang dengan kapasitas sekitar 10 -20 ekor perhari. Sejauh ini baru ditemukan satu RPH yang dimiliki oleh perorangan, berlokasi di Surabaya dengan kapasitas sekitar 40 ekor per hari. PT Abatoir adalah salah satunya, berdiri sejak sekitar 15 tahun yang Ialu. Pada 10 tahun yang lalu RPH ini hanya melakukan pemotongan pada sapi-sapi asal lokal sekitar Jatim, Bali dan NTB. Lama kelamaan jumlah ini semakin menurun tercatat pada tahun 1998 sampai saat ini jumlah sapi impor lebih banyak dibandingkan sapi lokal yakni 60% sapi impor dan 40% sapi lokal. Hal ini disebabkan selain kualitas yang lebih baik, yang paling menentukan adalah harga sapi impor yang lebih murah. Hal yang dirasakan menjadi hambatan usaha RPH semacam ini adalah: • PPN yang mulai diberlakukan sejak tahun 2000 sebesar 10% * Retribusi potong hewan sebanyak Rp 6000/ekor sapi yang masih hidup * Pungli jumlahnya masih dianggap cukup besar yakni 0,1 % dari mzet usaha Sebelum tahun 2000 semua sapi potong yang dijual di pasar Jakarta harus masuk ke RPH besar yakni RPH Dharma Jaya yang lebih dikenal sebagai RPH Cakung karena terletak di Cakung Jakarta Timur. RPH ini adalah BUMN dengan pemilik saham terbesar adalah Pemda D. RPH Cakung dilengkapi dengan fasilitas coldstorage,chilling room danpacking serta unit tradingsendiri. Kapasitas terpasang RPH Cakung ini adalah 1000 ekor setiap hari. Pada tahun 1994 rata-rata kapasitas produksi perhari mencapai 850 ekor per hari. Sejak sekitar 2 tahun yang lalu sampai saat ini kapasitas produksi RPH Cakung menurun sampai sekitar 250 ekor per hari. Hal ini disebabkan banyaknya RPH-RPH perorangan yang menjamur disekitar Jakarta seperti Tangerang, Bekasi dan 104
Timur Memperbaiki Iklim Usaha di Jawma
Bogor. Jadi kalau menurut pihak RPH Cakung berkurangnya kapasitas pernotongan di usaha ini bukan karena suplai sapi berkurang, namun lebih karena bermunculannya RPH gelap tadi.
TEKSTIL Responden penelitian untuk sektor ini berasal dar daerah-daerah berikut ini: Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Kediri, Jombang. Industri tekstil merupakan industri padat karya dengan upah tenaga kerja murah merupakan keunggulan komparasi dalam mengundang investasi pada industri ini. Sekitar tahun 1975 hingga tahun 1993 industri tekstil mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja hingga 33 persen dari total angkatan kerja d! sektor industri. Dengan peningkatan nilai tambah rata-rata sebesar 17 persen, kemampuan industri tekstil dalam menyerap tenaga kerja pada periode tersebut menunjukan sektor ini cukup dinamis selama dua dasawarsa"1. Pertumbuhan industri tekstil, khususnya industri garmen didorong oleh orientasi ekspor ke manca negara. Orientasi ekspor saat itu didorong oleh beberapa faktor, yakni melambannya permintaan domestik menyusul berakhirnya era oil boom, keunggulan komparasi pada upah buruh yang murah, tidak digunakannya quota ekspor, adanya insentif berupa subsidi ekspor, subsidi tingkat suku bunga kredit ekspor dan nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap mata uang negara tujuan ekspor. Namun tingginya pertumbuhan industri garmen berhenti pada tahun 1993. Hal ini disebabkan munculnya tekanan kompetisi dari negara-negara dengan upah buruh rendah dan menurunnya daya saing akibat kebijakan upah minimun yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas pekerja. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada setiap rantal bisnisnya memberikan nilai tambah. Value chain TPT meliputi produk serat (fibre)yang digunakan sebagai bahan baku benang, benang dan bahan tekstil (fabric)seperti kain dan kaos, serta garmen. Menurut data BPS, dar empat TPT diatas, garmen merupakan produk yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor TPT Indonesia yakni sebesar 52,2 persen dari total ekspor TPT dan menyerap tenaga'kerja sebesar 10,6 persen dar total tenaga kerja di sektor manufaktur45. Pada umumnya, rantai nilai bagi tekstil adalah sebagai berikut:
2003 Aswiahyono dan Maidir, hidonesian' textiles and ApparaLes Indstry : Taking a Stand in the New InternationalCompetition, CSIS,
44
45
Survey industri BPS
105
Mata Rantai Komodicas
Bagan 5.15 Rantai Produksi Tekstil Industri Besar (Polyestrr)
Per
n n
Industri Kn
Impor (Polyester, Rayon, Kapas)
Pedagang Lokal
Petani, (Kapas, Coccon)
Industri Bordir
Pedagang/ Eksportir
Industri
Industri Garmen
Industri Tekstil lain
Rajut Industri Tenun Kecil
LEkspor
j
~
dalam e
r
Pada tahun 2002 produksi rata-rata industri tekstil di Jawa Timur mencapai 1,1 juta meter. Angka produksi ini turin dari sebelumnya sekitar 1,5 juta meter pertahunnya. Akibat serbuan produk tekstil dari Cina industri tekstil terpukul dalam persaingan tekstil dalam negeri maupun persaingan tekstil untuk ekspor. Secara nasional menurut data Depperindag, ekspor tekstil Indonesia mengalami penurunan sebesar 9 persen dari sekitar 7,8 milyar dollar AS pada tahun 2001 menjadi 7,1 milyar
dollar AS pada tahun 20024G. Dalamusaharmelindungi paraprodusen tekstil dalamnegeri, MenteriPerindustrian danPerdagangan menerbitkan sebuah Surat Keputusan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Prosedur Perdagangan untuk Impor Tekstil (22 Oktober, 2002), yang menentukan bahwa tekstil hanya dapat diimpor oleh para importir produsen tekstil (IP). Bahan tekstil yang diimpor oleh IP tekstil hanya boleh digunakan sebagai bahan mentah, atau bahan suplementer dalam proses produksi industri-industri yang dimiliki oleh IP tekstil, dan tidak diperbolehkan untuk dibeli dan dijual atau ditransfer. SK No. 732 tahun 2002 menyatakan bahwa distribusi tekstil impor ilegal di pasar Indonesia telah menciptakan suatu perdagangan yang tidak adil dan menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak produsen tekstil dalam negeri. Lalu, guna mendukung pengawasan atas negara asal produk tekstil yang masuk ke Indonesia dan perlakuan produk tekstil di negara asalnya, Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276/MPP/Kep/4/2003 tentang verifikasi atau pelacakan teknis impor tekstil dan produk tekstil.
46
Kompas, 18 Pebari 2003
106
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
ISU-ISU INFRASTRUKTUR
Sebagai suatu industri yang boleh dikatakan bekerja non-stop, industri tekstil sangat bergantung pada pasokan listrik. Para pelaku usaha khawatir bahwa mungkin akan terjadi krisis listrik sebagai akibat penurunan suplai listrik dari stasiun-stasiun pembangkit listrik serta pemeliharaan dan manajemen yang buruk di sub-stasiun PLN. Kekhawatiran ini mempunyai dasar yang kuat, sebab para pengusaha tekstil mengalami lima sampai delapan kali pemadaman listrik dalam sebulan, sering tanpa pemberitahuan sebelumnnya. Para pengusaha merasa bahwa mereka sangat dirugikan dengan pemadaman-pemadaman tersebut. Menurut data BPS untuk tahun 2001, seluruh biaya input dari 179 industri tekstil menengah dan besar di Jawa Timur dari listrik dan gas mencapai lebih dari Rp. 97 milyar, atau 8% dari seluruh biaya input industri-industri ini. Untuk terus tetap beroperasi, pengusaha menyediakan genset sebagai penyedia listrik pengganti listrik PLN. Penggunaan genset harus diberitahukan, karena setiap pemakainnya akan dipungut PPJU non PLN oleh pemerintah daerah. Pengenaan PPJU PLN dan non PLN dikeluhkan oleh pengusaha karena tidak diiringi dengan penerangan jalan umum di sekitar industri, sehingga dapat mengundang gangguan keamanan. Penggunaan energi listrik bagi industri semakin lama menjadi semakin mahal dan semakin tidak mencukupi. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik secara berkala akan berdampak pada kenaikan biaya produksi. Untuk mengatasi kekurangan energi diluar listrik PLN hendaknya ditambah dan dipercepat instalasi gas ke industri-industri. Penggunaan gas dinilai pengusaha akan membuat efisiensi biaya produksi. Infrastruktur lain yang menjadi perhatian pengusaha ialah fasilitas bongkar muat dan pelayanan Terminal Handling Charge (THC) yang mendukung bongkar muat di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Jumlah fasilitas bongkar muat yang tersedia berjumlah enam, namun dalam melayani pengiriman kontainer, pengusaha hanya dilayani dua fasilitas. Tentu saja ketidak maksimalan fasilitas yang tersedia, menjadi hambatan bagi pengusaha karena akan menyebabkan biaya tambahan baik untuk pergudangan maupun pembayaran "batas waktu" pemasukan barang ke pelabuhan (closing time) ditambah pengusaha harus menanggung biaya kerusakan barang akibat tertahan di pelabuhan17.
47
1sdijoso, Tambunan dan Ubaidillah, Prospek Perdagangan Domestikyang Bebas Dalam Era Desentmlisasi dan Darnpaknya atas Perrumbuhan Ekonomi Daerah, CESS,
PRISM Project - The Asia Foundation, 2001.
107
Mata Rantai Komoditas
PERIZINAN
Kalangan industri tekstil mengeluhkan ketidak-transparanan birokrasi perizinan mengenai persyaratan, waktu dan biaya pengurusan izin. Kasus beberapa industri tekstil PMA yang berada di Pasuruan dan Mojokerto sangat mengeluhkan ketidakjelasan birokrasi perizinan. Pengurusan perpanjangan Izin Usaha Industri (lUI), Izin UsahaTetap (IUT) dan perpanjangan IzinTenaga Kerja Asing (TKA) ditetapkan dalam Perda telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Kenyataannya Pemda sendiri belum siap dan pengurusan izin-izin tersebut masih harus diselesaikan di Badan Penanaman Modal di Propinsi. Akibatnya pengusaha harus kehilangan waktu serta biaya tambahan karena tetap harus pada instansi di kabupaten dan propinsi. Beban ganda akibat tumpang tindih perizinan juga terjadi pada pengadaan alat industri. Pengusaha tekstil di Malang mengeluhkan perizinan berganda untuk pengadaan alat industri (diesel, forklift dan alat pemadam kebakaran). Beban yang muncul ialah pengusaha harus mengurus perizinan bagi alat yang sama pada subyek perizinan yang berbeda dan seringkali diikuti oleh pungutan dalam perizinan tersebut. Sebaliknya pada kasus Gresik dan Mojokerto, pengusaha mengaku tidak dikenai biaya perizinan, namun dikenal biaya inspeksi alat tersebut. Disebutkan oleh pengusaha biaya inspeksi alat pemadam kebakaran sebesar Rp. 3-5 ribu perunit. Undang-undang no. 34 tahun 2000 tentang Retribusi dan Pajak Daerah membolehkan pengenaan retribusi pada penerbitan perizinan khusus. Perizinan penggunaan air bawah tanah termasuk dalam perizinan khusus yang dapat dikenakan retribusi. Namun besaran tarif yang tidak transparan mengakibatkan pengusaha harus menanggung biaya yang lebih besar. Kasus di Mojokerto, untuk mendapatkan air bawah tanah, pengusaha terlebih dulu mendapatkan izin penggunaan air bawah tanah (SIPA) di tiga sumur dengan debit masing-masing 860 liter/menit. Untuk mendapatkan izin tersebut pengusaha dikenakan biaya Rp. 40 juta. Biaya ini tidak termasuk biaya akomodasi petugas inspeksi dari instansi terkait. Disamping biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh perizinan, pengusaha masih harus membayar retribusi penggunaan air bawah tanah setiap bulan berdasarkan debit pemakalan.
PAJAK, PUNGUTAN DAN TARIF
Dalam diskusi dengan pengusaha tekstil, ditemukan beberapa jenis pungutan yang dirasakan sangat membebani pengusaha. Ketidakjelasan tarif pungutan, misalnya terjadi pada uji tera yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur. Pengalaman pengusaha dari Sidoarjo terhadap pengujian alat tera milik usahanya yakni pengujian terhadap 150 unit alat tera, pengusaha dikenakan biaya Rp. 40 juta. Pungutan lain terjadi dalam bentuk iuran DPKK (Dana Peningkatan Ketrampilan Ketenagakerjaan) yang dikenakan intuk penempatan Tenaga Kerja Asing sebesar US$ 100 perbulan. Iuran ini bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan tenaga kerja lokal sehingga akan ada alih ketrampilan 108
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja lokal. Namun seperti yang dikeluhkan pengusaha, hasil iuran DPKK tidak ada realisasi dalam bentuk pelatihan sebagaimana tujuan iuran tersebut. Jenis pungutan berupa retribusi yang berdasar pada pelayanan harus dibayar oleh pengusaha meskipun pengusaha tidak menerima pelayanan tersebut. Pada retribusi sampah yang dikenakan pada industri, ternyata juga berlaku pada industri yang mengolah sampahnya sendiri. Beberapa industri mnemiliki mesin inceneratorsendiri yang dapat digunakan membakar sampah di industrinya. Sampah yang dibakar oleh beberapa industri digunakan untuk boiler. Industri tekstil yang memiliki rantai bisnis yang panjang pada proses produksinya, memungkinkan industri di tiap rantai bisnis memperoleh bahan baku yang dikenakan PPN (PPN masukan) namun hasil produk yang dijual dapat dikenakan PPN (PPN keluaran). Pengusaha dapat mengajukan restitusi terhadap PPN yang dibayar. Namun pengurusan restitusi pajak yang dirasakan berbelit, beberapa pengusaha yang mengeluhkan pengurusan ini terdorong untuk menggunakan bahan baku non-PPN (black market). Pengusaha sebagai pembayar pajak sangat mengharapkan pelayanan dar! petugas pajak yang bersih. Masalah keruwetan pengurusan pajak termasuk restitusi pajak juga dinilai pengusaha disebabkan oleh petugas pajak yang tidak bersih. Pengusaha juga mengeluhkan perneriksaan administrasi di bea cukai. Hal ini disebabkan ketidakberesan administrasibea cukai terhadapjenis, spesifikasi dan volume barangyang masuk melaluipabean. Kasus Indiratex misalnya;perusahaandiharuskan membayar hutang bea masuk impor kapas pada 2 bu/an kemudian setelah closing. Penagihanini didasarkanpadaperbedaan hargakapasyangdiimporoleh Indiratexdilaporkanlebih rendahterhadaphargakapasyangsama yang tercantum dalam Depperindag(FGD, Tim PSD, 2004) Sejak desentralisasi berlangsung, kebijakan pajak bumi dan bangunan menjadi kurang konsisten sehingga sulit bagi para investor untukrnemperkirakannya. Pengurusan atas masalah-masalah tanah telah dialihkan dar pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2001. Pemerintah daerah kemudian mengembangkan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan daerah tentang penggunaan tanah, termasuk pajak atas harta tak bergerak nyata. Sayang sekali, di beberapa kabupaten pajak daerah atas bumi, dan bangingan (PBB), dinaikkan sampai sepuluh kali lipat dar jurnlah sebelumnya terutama mereka yang bertempat di wilayah industri. Sebagai akibatnya, banyak perusahaan tutup atau pindah keluar dari kawasan tersebut. "Hampir13% dariperusahaantutup ataupindah selama tahun 2002 karena biayaproduksi di sini terlalu tinggi setelah kenaikan PBB" (manajemenPIER)
109
Mata Rantal Komoditas
Dengan dampak yang begitu dramatis terhadap dunia usaha dan investasi, pemerintah pusat mencabut kembali wewenang untuk memungut pajak atas realestate pada pertengahan tahun 2003. KEAMANAN
Masalah keamanan terpenting yang dirasakan pengusaha tekstil ialah penyelundupan produk tekstil. Serbuan produk Cina secara legal saja telah menyebabkan produk tekstil Jawa Timur turun sebesar 26%48. Penurunan ini sungguh memberatkan industri tekstil, karena tingkat kompetisi semakin ketat pada harga, dan ditambah dengan impor ilegal produk tekstil (pakaian bekas) menambah berat industri tekstil. Pengusaha telah menyampaikan keberatan terhadap maraknya penyelundupan produk tekstil, namun penanganan yang dilakukan aparat keamanan, dinilai pengusaha kurang serius. Masalah keamanan penting lainnya ialah pemogokan buruh. Sebagai industri padat karya, industri ini sering menghadapi masalah perburuhan, baik yang berupa kasus normatif maupun non-normati£ Namun pengusaha mengeluhkan aturan perburuhan dan penanganan kasus perburuhan seringkali tidak memperhatikan kepentingan perusahaan. Beberapa kasus perselisihan kerja berujung dengan pemogokan dan ketika dibawa pada tim penyelesaian perselisihan selalu dimenangkan pihak buruh. Pemerintah diharapkan lebih adil dalam menyelesaikan masalah perburuhan.
48Kompas, 5 Mei 2003 110
6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Rekomendasi Umum Rekomendasi Sektoral
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Perekonomian Jawa Timur memberikan sumbangan yang signifikan terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan dengan nilai hampir 14% dar PDB. Perekonomian daerah di provinsi ini didominasi oleh sektor jasa dalam hal kontribunya terhadap PDRB, walaupun pertanian menyerap tenaga kerja hampir 50% dar penduduk. Sesuai dengan keadaan umum d! Indonesia, investasi dalam perekonomian Jawa Timur sedang mengalami kemandekan, atau bahkan sedang mengalami kemerosotan. Angka kemiskinan di provinsi ini yang mencapai lebih dar 20% (menurut data statistik nasional), menimbulkan keprihatinan yang serus. Faktor-faktor yang mempengaruhi lambatnya pertumbuhan dalam perekonomian di Jawa Timur antara lain adalah: • INFRASTRUKTUR: Investasi dalam infrastruktur sejak krisis moneter telah merosot secara nasional. Memburuknya keadaan jalan-jalan, listrik, dan pelabuhan-pelabuhan mulai membawa dampaknya pada perusahaan-perusahaan di Jawa Timur. Survey menemukan bahwa mayoritas para pelaku bisnis merasa bahwa infrastruktur masih memadai, namun di data sektoral kami temukan banyak masalah yang disebabkan karena keadaan jalan yang buruk yang menuju ke pusat-pusat produksi dan daerah-daerah di luar kota, pemasokan air yang buruk untuk industri, dan sarana pelabuhan yang terbatas. • KEBIJAKAN: Banyak kebijakan yang ada menghalangi perdagangan barang dan jasa atau
bahkan menciptakan distorsi pasar. Contohnya adalah pengurusan dan pendirian usaha baru yang diurusi pemerintah daerah, penetapan harga oleh pemerintah, dan pengenaan pajak berganda di beberapa sektor. Sektor swasta merasa terus-menerus dikucilkan dar proses pembuatan. kebijakan. Di samping itu, dirasakan bahwa tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam layanan pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan tujuan yang baik, mungkin sekali dilaksanakan dengan buruk. • PUNGUTAN: Sejak otonomi daerah berjalan, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) telah mengakibatkan lahirnya sejumlah besar pajak dan pungutan daerah. Dari perspektif sektor swasta, pungutan-pungutan ini mengakibatkan suatu ekonomi biaya tinggi yang memperparah kedudukan mereka di pasar global yang memang sudah mengancam. Retribusi dan pajak yang tumpang tindih untuk barang/jasa yang sama dianggap benar-benar membebani. Pungutan-pungutan resmi juga menimbulkan biaya tidak resmi karena praktek pemerintahan yang lemah. Namun, mungkin agak mengejutkan, para 112
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
responden merasa bahwa pungutan-pungutan tidak resmi mulai menurun pada waktu yang bersamaan dengan meningkatnya pungutan resmi secara dramatis. KEAM-ANAN: Dirasakan bahwaadasejumlahpersoalan keamanan yang menandai lingkungan bisnis di Jawa Timur. Para industri besar melaporkan adanya masalah-masalah yang terkait dengan pemogokan buruh, terutama di daerah pertunbuhan utama (Gerbangkertasusila).Di sektor pertanian, pencurian merupakan masalah yang kronis, dengan dicurinya hasil tanaman tepat sebelum panen. Di samping itu, pengangkutan barang diganggu oleh pungutanpungutan liar dan tuntutan akan uang perlindungan dari aparat keamanan. Akhirnya, penebangan pohon dan penangkapan ikan secara ilegal masing-masing mempunyai dampak terhadap bisnis di sektor kayu dan perikanan. Banyak dari masalah tersebut melampaui batas-batas administratif dari pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang sekarang mempunyai wewenang untuk membuat sebagian besar kebijakan. Oleh karenanya, salah satu masalah sangat penting bagi perkembangan perekonomian Jawa Timur adalah kemampuan pemerintah kabupaten dan kota untuk mengadakan koordinasi dan kerja sama di dalam memajukan suatu iklim usaha yang sehat, baik antar daerah maupun pada tingkat provinsi. Penting sekali bagi para pengusaha bahwa kebijakan-kebijakan dan program-program dirumuskan bagi kerja sama antar-wilayah berguna untuk memajukan suatu iklim investasi yang positi£ Seperti akan dibahas dalam lampiran, peranan yang dapat dimainkan pemerintah propinsi di dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi kerja sama antara pemerintah kabupaten-kota belumlah diupayakan sepenuhnya.
Rekomendasi-rekomendasi Umum Sektor swasta diberikan kesempatan untuk menyampaikan rekomendasi-rekomendasi mereka dalam menyelesaikan-masalah-masalah yang mereka anggap paling penting pada akhir diskusi-diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Rekomendasi-rekomendasi ini dikelompokkan ke dalam suatu perangkat rekomendasi umum yang dapat diterapkan pada semua sektor dan yang selalu diajukan oleh sektor swasta; dan, kedua, rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan sektor-sektor tersebut.
Infrastruktur Beberapa hal yang secara umum diusulkan gunamengatasi kendala yang menghambat perkembangan Jawa Timur adalah:
113
Kesimpulan dan Rekomendasi
Jalan-jalan * Penyelesaian Jalan Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (yang menghubungkan Surabaya dengan Madura) sedang dinanti-nantikan oleh pelaku usaha, terutama yang dari Madura dan Jawa Timur bagian Selatan. Di samping itu, berkaitan dengan pembangunan jembatan Suramadu, diusulkan agar dibangun juga jalan-jalan yang menghubungkan Madura bagian Utara dengan Madura bagian Selatan. • Pelaku usaha juga mengharapkan perhatian pemerintah untuk pembangunan jalan-jalan yang menuju ke sentra-sentra produksi yang biasanya berada di pelosok desa, pantai dan gunung. Telekomunikasi .Sambungan telepon perlu diperluas di sekitar pusat-pusat produksi, terutama untuk mencapai daerah-daerah pedesaan guna membantu para petani dan pengusaha kecil di dalam memperoleh akses yang lebih baik terhadap informasi penting seperti.harga, bahan baku, obat-obatan, pupuk, dan lain-lain. Listrik Investasi baru dalam pasokan listrik sangat penting bagi sektor swasta, baik yang besar maupun yang kecil. Kekurangan listrik bukanlah sesuatu yang unik di Jawa Timur, namun karena provinsi tersebut merupakan tempat dari banyaknya sarana produksi, pemadaman listrik yang makin sering terjadi dalam masa tiga tahun terakhir ini, benar-benar sangat menggangu. Air Sektor swasta, terutama di bidang perikanan dan pertanian, sangat terganggu dengan mutu yang buruk dan kecilnya ketersediaan air. Pembabatan hutan, sungai yang dangkal dan polusi yang dihasilkan industri disebut-sebut sebagai sebab utama terjadinya masalah ini. Pelaku usaha mengusulkan adanya langkah-langkah yang mendesak untuk melakukan penghijauan kembali yang terus menerus, pengurukan sungai dan tindakan hukum terhadap para penyebab polusi industri. Pelabuhan Kegiatan ekonomi di sepanjang garis pantai Jawa Timur bersifat cukup dinamis, namun tidak didukung sarana pelabuhan yang memadai, khususnya sekitar pesisir Timur dan Selatan. Pelaku usaha di daerah ini menyarankan dilebarkannya dan diperdalamnya pantai-pantai guna mengakomodasi perahu yang lebih besar, dan disediakannya sarana pendukung lainnya seperti cold storage.
114
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Peraturan Pelaku usaha melihat adanya dua jenis masalah mengenai peraturan. Pertama, ada peraturan baru yang muncul pada pemerintah kabupaten-kota paska otonomi daerah menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan ketidakpastian. Peraturan-peraturan itu berupa pungutan-pungutan yang dikenakan pada perusahaan tanpa alasan yang wajar, prosedur dan tarif perizinan yang tidak transparan, disingkatkannya masa berlakunya izin, atau pajak atas barang atau produk yang keluar, masuk atau melintasi suatu daerah. Pemerintah-pemerintah kabupaten-kota harus memulai untuk meninjau peraturan daerah (perda) yang ada bersikap lebih hati-hati di dalam memperkenalkan peraturan baru. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan melakukan Regulatory Impact Assesment (RIA) atau Penilaian Dampak Kebijakan dengan melibatkan masyarakat, termasuk pelaku usaha , di dalam merumuskan peraturan tersebut. Juga ada kasus dimana peraturan daerah bertentangan dengan peraturan pusat. Para pengusaha merekomendasikan supaya Pemerintah provinsi Jawa Timur memainkan suatu peranan yang lebih aktif di dalam fungsinya sebagai jembatan antara pemerintah-pemerintah daerah dan pemerintah pusat bila timbul masalah-masalah sebagai akibat munculnya peraturan yang bertentangan.
Keamanan Banyak pengusaha mengeluh bahwa mereka merasa tidak aman di dalam menjalankan usahanya. Jenis gangguan dilakukan oleh preman, kelompok pemuda, aparat keamanan yang menawarkan perlindungan keamanan, jasa EMKL, atau layanan lain yang tidak diperlukan para pengusaha. Kadang-kadang tawaran Ini disertai ancaman, perintangan jalan menuju pabrik, atau tindakan vandalisme. Jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan cukup besar guna melindungi tempat produksi, perkebunan, atau barang-barang mereka dalam pengangkutan. Pesan yang berulang kali disampaikan sektor swasta adalah bahwa mereka ingin agar pemerintah setempat, melalui aparat penegak hukum dan keamanan, dengan penegakan akuntabilitas untuk memperketat perlakuan pihak-pihak yang menciptakan gangguan tersebut.
Akses terhadap Modal Sektor swasta merasa kurang mendapatkan dukungan dari bank-bank dan lembaga keuangan formal lainnya, terutama bagi pertanian dan usaha kecil. Bahkan meskipun syarat agunan telah dipenuhi, kredit sering masih tidak disetujui, atau diberikan dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada jumlah yang diminta. Kurangnya kepercayaan oleh pihak bank disebut sebagai kendala utama. Sektor swasta mengusulkan agar bank-bank melatih staf untuk menilai kelayakan usaha sebagai faktor penentu bagi persetujuan kredit.
115
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rencana-rencana kredit dari pemerintah didasarkan atas iktikad baik untuk membantu usaha mikro dan usaha kecil. Namun pelaksanaannya sering kali tidak tepat waktu dan tidak mempunyai sasaran yang tepat. Suatu mekanisme pengawasan yang lebih efektif dalam melaksanakan rencana-rencana pemerintah telah disarankan49.
Daya saing Kecenderungan merosotnya daya saing menjadi nyata di hampir semua komoditas, yang disebabkan mutu produk dan kelemahan produsen setempat dalarn menciptakan nilai tambah atau inovasi produk. Untuk memperbaiki mutu produk setempat, pelaku usaha dari berbagai sektor menyarankan diperlukannya lebih banyak lembaga penelitan dan pengembangan guna mengembangkan teknologi yang lebih baik yang dapat memperbaiki efisiensi dan inovasi produksi.
Rekomendasi Sektoral Sektor Peternakan Diperlukan pengembangan industri dan fasilitas pendukung di tingkat hulu (pakan ternak, obatobatan) dan hilir (makanan yang diolah). Juga diperlukan staf lapangan yang terlatih dan yang mempunyai perlengkapan yang lebih baik guna membantu dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit, bahkan sebelum terjadinya peristiwa flu burung. Sektor Perikanan • Memperbaiki mutu dan jurnlah lembaga penelitian dan pengembangan yang dikelola pemerintah untuk mengembangkan teknologi yang khas bagi sektor ini. Di samping itu, nelayan dan pengusaha mikro mengusulkan studi banding ke daerah lain untuk membantu mereka memperbaiki teknik pemrnosesan dan mengembangkan pasar yang lebih luas. * Pembangunan cold storage yang mengakomodasi volume produksi di daerah akan sangat membantu para nelayan untuk menghadapi fluktuasi harga pasar. Kehutanan •
Para pengusaha menyampaikan usul yang kuat agar dilakukan peninjauan kembali Undangundang No. 41 tahun 1999 yang menetapkan adanya perlakuan yang sama - dalam hal retribusi, pajak, dan dokumentasi - untuk hutan rakyat dan hutan industri (HPH). Dalam praktiknya, hal ini memberatkan usaha kecil yang bekerja di hutan rakyat. Untuk itu disarankan agar izin untuk menebang pohon. di hutan rakyat mungkin dapat diberikan pada tingkat desa atau kecamatan, bukan di tingkat kabupaten.
49
Lebib banyakinformasi tenangakses tetiadap kredic di Jawa Tinur dapatdiperoleh dat suatu kajian oleh DonJohnson bagiJBICyangberjudu" Small Firm Growth: Rmdt From a Survq in FztJava-
116
Access to Creditand
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa
1inur
• Pelaku usaha juga mendesak dibukanya dialog antara pemerintah dan polisi untuk menyelesaikanpungutan-pungutanliaryangmerajaleladisektorini,yangterutamadisebabkan adanya perbedaan-perbedaan di dalam pelaksanaan ijin. * Mengikutsertakan publik di dalam usaha mengendalikan penebangan pohon secara liar. • Untuk mengatasi kekurangan bahan baku, pemerintah diminta mengambil langkah-langkah guna memberantas praktik-praktik penebangan pohon secara liar, dan sejalan dengan itu, dilakukan program penghijauan kembali dengan sistem pemantauan yang baik. * Mempergunakan hutan-hutan negara yang terbengkalai, dan bermitra dengan komunitas setempat di dalam membuka daerah-daerah baru ini. Perkebunan * Para petani di sektor ini, terutama tembakau, mendesak agar ada transparansi informasi di dalam penentuan harga dan kebutuhan tembakau oleh pabrik-pabrik tembakau. * Revitalisasi industri pemrosesan gula dengan menggantikan mesin tua, serta perbaikan teknik-teknik penanaman pada tingkat hulu merupakan kunci di dalam memperbaiki produktivitas. * Program sertifikasi tanah, dengan prosedur yang lebih sederhana dan biaya yang lebih rendah, diusulkan oleh para pengusaha kopi, sebab mereka ingin menjadikannya sebagai agunan untuk mengakses kredit bank. * Aparat kepolisian harus menyediakan keamanan yang lebih baik di perkebunan-perkebunan. Sektor Industri Responden dari sektor ini terutama terdiri dari perusahaan menengah sampai besar. Tiga rekomendasi utama mereka adalah: * Adanya sanksi yang berat dari pihak pernerintah guna memberantas kegiatan penyelundupan, yang berakibat rusaknya tata niaga seperti pada industri tekstil dan kayu. * Adanya konsistensi dalam kebijakan buruh dan ketidakberpihakan di dalan menyelesaikan sengketa buruh akan sangat penting, sebab Jawa Timur merupakan tuan rumah bagi banyak industri padat karya. * Menyederhanakan penggantian PPN dan 'membersihkan' pejabat-pejabat pajak yang korup akan meningkatkan pemasukan pajak bagi pemerintah, di samping memudahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya.
117
LAMPIRAN 1.
Kondisi Koordinasi Antar Pernerintah Lokal di Jawa Timur
KONDISI KOORDINASI ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR Masalah-masalah yang dikemukakan dalam Bab Rekomendasi dan Kesimpulan menunjukkan bahwa diperlukan mekanisme koordinasi antar pemerintah daerah dan juga berbagi pengalaman dalam pelaksanaan program yang lebih baik. Informasi di bawah ini memberikan sekilas gambaran tentang forum yang sekarang ada untuk kerja sama tersebut. Beberapa di antaranya merupakan forum koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; sementara yang lainnya merupakan koordinasi antar pemerintah daerah.
Badan-badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Di era desentralisasi, para pejabat pemerintah kabupaten dan kota mempunyai wewenang yang jauh lebih besar. Dalam konteks ini, salah satu peran pemerintah provinsi adalah untuk menjalankan fungsi koordinasi, teristimewa berkaitan dengan masalah-masalah yang melintasi batas-batas pemerintah daerah. Dalam usaha menjalankan fungsi !ni, pemerintah provinsi Jawa Timur, melalui Peraturan Daerah (Perda)No. 5 tahun 2001, telah membentuk empat Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwi). Masing-masing Bakorwil meliputi suatu dacrali koordinasi berbeda, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 6.1 PembagianBakorwil di Jawa Timur
Kabuparen Bojonegoro
Kabupaten Madiun
Kabupaten Malang
Kabupaten Pamekasan
Kab. Tuban Kab. Lamongan
Kota Madiun
Kab. Sumenep
Kab. Ponorogo
Kota Malang Kab. Pasuruan
Kab. Jombang
Kab. Ngawi
Kota Pasuruan
Kab. Bangkalan
Kab. Mojokerto Kota Mojoketto
Kab. Magetan Kab. Pacitan
Kab. Probolinggo
Kab. Gresik
Kota Probolinggo
Kab. Sidoarjo
Kab. Kediri
Kab. Trenggalek
Kab. Lumajang
Kota Surabaya
Kota Kediri
Kab. Tulungagung
Kota Batu
Kab. Blitar
Kab. Banyuwangi
Kota Blitar
Kab.Jember
Kab. Nganjuk
Kab. Situbondo Kab. Bondowoso
120
Kab. Sampang
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk empat Bakorwil ini dengan maksud menyediakan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota, mempermudah kegiatan otonomi, mengkoordinasikan potensi daerah, dan menyediakan bahan bagi Gubernur untuk pembuatan kebijakan. Tugas pokok Bakorwil dapat dilihat secara lebih rinci dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 5 tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan landasan operasionalnya dalam. bentuk Surat Keputusan Gubernur No. 50 tahun 2001. Peraturan tersebut menegaskan bahwa Bakorwil mempunyai tugas utama membantu Gubernur dalam koordinasi, bimbingan, dan pengawasan dari perilaku otonomi provinsi dan otonomi kabupaten/kota. Untuk menyelenggarakan tugas pokok seperti tersebut di atas, Badan Koordinasi Wilayah mempunyai fungsi: • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi propinsi di wilayah. * Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas dekonsentrasi dan tugas pembuatan propinsi. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi kabupaten / kota di wilayah. * Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan kabupaten/kota. * Pelaksanaan perwujudan keterpaduan antara otonomi provinsi dan otonomi kabupaten 1 kota di wilayah. * Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan otonomi propinsi dan penyelenggaraan otonomi kabupaten / kota di wilayah. * Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan tugas pembantuan propinsi serta tugas pembatuan kabupaten 1kota. • Penyusunan laporan kegiatan badan koordinasi wilayah sebagai masukan gubernur dalam pengambilan kebijakan Di samping Bakorwil, fungsi koordinasi juga dijalankan oleh dinas teknis Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Fungsi koordinasi setiap dinas teknis bergantung pada tugas dan fungsi dasar dinas-dinas itu. Hasilkajian tentangkoordinasiyang dilakukan oleh RegionalEconomicDevelopmentInstitute(REDI, Institut Pembangunan Ekonomi Wilayah) menunjukkan bahwa tidak pernah dilakukan koordinasi berkaitan dengan hambatan perdagangan antara daerah dan kebijakan investasi. Koordinasi yang diberikan Bakorwil terutama merupakan koordinasi dalam pembangunan fisik dan koordinasi di dalam mengantisipasi masalah-masalah sosial, politik, dan lingkungan.
121
Lampiran
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Komisariat Wilayah IV Ketika desentralisasi berjalan, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi masalah hubungan antar daerah. Oleh karenanya, ketika desentralisasi dimulai, beberapa pemerintah daerah menginisiasi untuk membentuk asosiasi pemerintah daerah yakni Asosiasi Pemerintah Kota se-Indonesia (APEKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia (APKASI). DiJawaTimur, Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia (APEKSI), diketuai oleh Walikota Surabaya Bambang DI-I. Pertemuan dalam forum ini juga bisa bersifat resmi dan bisa juga dalam bentuk forum yang sifatnya informal, untuk mernbahas suatu persoalan tertentu. Secara formal, tujuan dari APEKSI adalah untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam melaksanakan otonomi daerah, peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha sesuai potensi dan keanekaragarnan daerah. Secara rinci, tujuan APEKSI terdiri dari; • Mewakili pandangan dan kepentingan kota-kota di Indonesia kepada pusat serta organisasi atau lembaga lainnya. • Secara efisien dan efektifmengelola dan melaksanakan bidang kerja asosiasi guna menghasilkan perbaikan kualitas pelayanan dan kegiatan warga pada kota-kota di Indonesia. * Membantu penguatan dan pengembangan kapasitas pemda melalui konsultasi, saran dan pengembangan struktur yang desentralisasi. o
Memberikan informasi kepada masyarakat dan mengembangkan citra positif mengenai kontribusi pemerintah kota.
* Mengembangkan respon proaktif guna pengembangan isu dan pengelolaan perubahan dalam memperkuat pengelolaan kota melalul kerja sama antar pemerintahan kota. • Menjadi perantara dan fasilitator konferensi, musyawarah, rapat pertemuan dan kegiatan pembelajaran lainnya guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman. * Membina hubungan dengan asosiasi dan kelompok profesional lain di indonesia dan luar negeri agar minat dan kepentingan anggota apeksi dalam program-program pembangunan dapat tersalurkan. •
Bekerjasama dengan lembaga donor dan lembaga lainnya untuk mendapatkan dukungan dalam kerangka pengembangan kapasitas kota.
122
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam forum koordinasi yang ada, APEKSI juga memiliki topik båhasan yang khas, terutama terkait dengan persoalan pemerintahan kota. Hal ini berhubungan langsung dengan tujuan pendirian APEKSI yaitu untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam pelaksanaan otonomi. Dalam pandangan APEKSI, masalah otonomi tidak lepas dar tiga hal yaitu pembagian kekuasaan, pendapatan daerah dan sistem administrasi daerah. Dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan sistem pelimpahan wewenang kepada kabupaten dan kota, dilringi dengan pengaturan personil dan aset, serta peningkatan kemampuan keuangan daerah. Berangkat dari asumsi seperti itu maka topik atau persoalan yang sering dibicarakan dalam APEKSI adalah sebagai berikut: • Di tataran peraturan perundangan, masalah yang sering dibicarakan adalah pertentangan antara peraturan perundangan dalam mengatur kewenangan yang sama. Misalnya Keppres No. 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi di Bidang Pertanahan yang tidak sejalan dengan aturan perundangan yang ada di atasnya ( UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000). * Masih banyaknya aturan bersifat teknis yang belum dibuat oleh pemerintah pusat sehingga membingungkan daerah. Akibatnya muncul beberapa kasus kewenangan yang belum dilimpahkan kepada kota. Misalnyakewenangan untukpertanahan, kehutanan, perhubungan, yang belum diterima beberapa kota. * Sikap pemerintah propinsi yang cenderung enggan melimpahkan wewenangnya kepada kabupaten dan kota. * Adanya daerah yang menolak kewenangan yang dilimpahkan kepada mereka dengan alasan membebani APBD kota. • Dalam pengaturan personil, yang paling mencolok adalah persoalan eselonisasi pejabat yang menyulitkan penempatan pada struktur pemerintahan daerah. • Pada pengelolaan aset, masalah yang sering dibicarakan adalah belum adanya petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat tentang pengaturan aset kepada pemerintah kota. * Sehubungan dengan keuangan daerah, masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah persoalan Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintah kota memandang bahwa indikator yang dipakai belum memadai. Sebagai alat ukur untuk menentukan bobot DAU yang diterima daerah, indikator ini kurang memperhatikan kondisi kota. Misalnya tidak dimasukkannya fungsi-fungsi dalam pengelolaan kota sebagai salah satu indikator. Sebagai akibatnya, banyak kota yang hanya bisa membiayai pengeluaran rutin saja untuk tahun 2001. 123
Lampiran
Selain DAU, sehubungan dengan masalah peningkatan pendapatan daerah ini, diperlukan aturan--aturan baru untuk berbagai masalah teknis, seperti pengaturan kontribusi yang berarti dari perusahaan-perusahaan nasional yang berada di daerah bagi pembangunan kota; pengelolaan unit-unit tertentu sebagai pemasukan daerah (misalnya pengelolaan SIM dan
STNK).
Asosiasi Pemerintab Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI% Koordinator Wilayah Jawa Timur Pendeklarasian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) pada tanggal 30 Mei 2000 bertujuan untuk menciptakan iklim kondusif di dalam penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten guna tercapainya kemandirian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembentukan APKASI juga didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah. Pendeklarasian yang dilaksanakan di Jakarta tersebut dihadiri oleh 26 Bupati yang mewakili Propinsi masing-masing dan menghasilkan keputusan Pembentukan Pengurus APKASI. Dalam melaksanakan misinya, APKASI bertujuan menciptakan iklim yang kondusif terhadap pelaksanaan kerjasama antar pemerintah kabupaten untuk memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan kabupaten dalam rangka kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI berkewajiban dan berhak menunjuk dan menetapkan perwakilannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk memperjuangkan kepentingan kabupaten. Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI telah menyusun dan menetapkan Konstitusi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia. Konstitusi ini ditetapkan pada Musyawarah Nasional I APKASI yang diselenggarakan pada tanggal 3 - 4 Agustus 2001 di Tenggarong Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Tujuan Asosiasi adalah: • Menetapkan anggota yang mewakili Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia untuk duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; • Memberikan masukan dan pertimbangan secara proaktifterhadap semua kebijakan Pemerintah dan/atau pihak lain yang menyangkut kepentingan Kabupaten; * Menyediakan pelayanan (penelitian, pelatihan, penyuluhan, konsultasi dan lain-lain) dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten; 124
Memperbaiki Iklirn Usaha di Jawa Timur
• Menyediakan model instrumen produk hukum pemerintah kabupaten; * Memfasilitasi kerjasama antar kabupaten, antar kabupaten dan kota, antara kabupaten dan pihak ketiga (swasta), serta antara kabupaten dan negara/lembaga/badan di luar negeri; * Memfasilitasi pertukaran informasi antar pemerintah kabupaten dan/atau pihak lain; * Memediasi penyelesaian perselisihan antar pemerintah kabupaten, antara kabupaten dan kota; * Memasyarakatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan kabupaten. Di Jawa Timur terdapat perwakilan APKASI yang tergabung dalam APKASI Korwil Jawa Timur. Saat ini yang menjabat sebagai koordinator wilayah APKASI di JawaTimur adalah Drs. Samsul Hadi Siswoyo, MSi (Bupati Jember). Dalam bidang perdagangan, APKASI Korwil Jawa Timur pernah melakukan koordinasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani tembakau di Jawa Timur, yang dilakukan pada 18 September 2003. Ada 20 kabupaten yang menjadi sentra tembakau terlibat dalam pertemuan ini. Dalam pertemuan tersebut, sebanyak 20 kabupaten penghasil tembakau seJatim sepakat bekerjasama di bidang pertembakauan. Kesepakatan itu tercapai dalam Rakor Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (APKASI) Korwil Jatim yang mnembahas masalah pertembakauan di Pendopo Kabupaten Jember. Contoh kerjasama yang dilakukan adalah ketika harga tembakau di beberapa daerah anjlok selarna tiga tahun terakhir. Menurut Bupati Jember, Drs. Samsul Hadi Siswoyo, Msi., harga tembakau anjlok karena tidak adanya kebersamaan dalam menangani masalah tembakau. Selama ini, karena masing-masing daerah bergerak sendiri-sendiri, maka kemampuan negosiasi petani rendah. Hanya saja pertemuan itu belum terfalu memberikan harapan positif bagi petani tembakau, seperti diungkapkan oleh Muhammad Yunus, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Rajang Rengganis (APTRR). Hingga saat ini belum diperoleh informasi lain tentang upaya kerja samalkoordinasi di bidang investasi maupun perdagangan yang dilakukan oleh APKASI.
Koordinasi Bilateral Kerja sama Kota Surabaya Dan Kabupaten Sidoarjo; sebuah contoh. Forum koordinasi yang sifatnya bilateral biasanya memiliki tujuan yang terkait langsung dengan kepentingan pihak-pihak yang melakukan kesepakatan kerjasama. Sebagai contoh, kesepakatan bersama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Kota Surabaya tentang Kerjasama Pembangunan Antar Daerah. 125
Lampiran
Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam mengelola berbagai program pembangunan, mengefisienkan pemanfaatan dan pengembangan potensi yang mempunyai keterkaitan, memanfaaatkan sumber daya yang ada, maupun hal-hal yang berkaitan dengan letak geografis. Kerjasama pembangunan antar daerah ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat di kedua daerah tersebut. Beberapa aspek kerjasama diantara kedua daerah tersebut antara lain : • Sinkronisasi perencanaan pembangunan di wilayah perbatasan, seperti : perencanaan pembangunan jalan di daerah Rungkut (Surabaya) dan Berbek (Sidoarjo). • Koordinasi penanganan masalah sosial dan ketertiban (anak jalan, gelandangan, pengemis dan keamanan) disekitar terminal Bungurasih. * Kerjasama penataan wilayah investasi, jika ada investasi yang padat modal (capitalintensive) akan diarahkan ke Surabaya, sedangkan untuk investasi yang padat karya (labor intensive) akan diarahkan ke Sidoarjo.
Efektifitas Forum Koordinasi Masih banyaknya persoalan yang menghambat kinerja perusahaan di Jawa Timur bisa memberikan indikasi bahwa iklim usaha di daerah belum sepenuhnya kondusif. Kondisi semacam ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana efektifitas forum koordinasi di Jawa Timur dalam berperan menciptakan iklim usaha yang kondusif di Jatim. Masing-masing forum koordinasi yang ada di Jatim memiliki fokus kegiatan yang terkait dengan perekonomian daerah masing-masing. Dari berbagai program kegiatan, forum-forum koordinasi tersebut telah mencapai beberapa target, baik yang terprogram maupun insidentil. Forum koordinasi yang ada di Bakorwil misalnya, telah memberikan usulan ke pemerintah propinsi nntuk menerbitkan perda tentang aset pemerintah propinsi di daerah. Bakorwil juga telah melakukan.koordinasi dengan pemerintah daerah, misalnya dalam upaya untuk mengamankan atau mengantisipasi konflik antar pendukung partai. Bakorwil juga mengusulkan kepada dinas perikanan di daerah agar menyediakan cold storage agar ikan tangkapan nelayan tetap terjaga kualitasnya. Sebagai perangkat dari pemerintah propinsi, Bakorwil berusaha menyelesaikan konflik tapal batas Gunung Kelud antara Pemerinta-h Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar, serta merigusulkan pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 tahun 2001 karena bertentangan dengan perda propinsi.
126
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di antara berbagai rekomendasi hasil forum koordinasi yang terdapat dalam Bakorwil, hanya ada beberapa saja yang berhasil direalisasikan. Misalnya pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 Tahun 2001. Perda ini bertentangan dengan Keputusan Gubernur Jatim No. 44 Tahun 2001. Substansi yang bertentangan itu terletak dalam hal tarif yang ditetapkan Kabupaten Bojonegoro yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan pemerintah propinsi Jatim. Dalam pasal Bab VII pasal 8, disebutkan struktur dan besarnya tarif, sebagai berikut; a. Kayu Olahan tujuan Dalam Negeri, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3; b. Kayu Olahan tujuan Luar Negeri, sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per M3; c. Kayu dari TPK : - AI/Cl, sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) per M3; - A2/C2, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) pet M3; - A3/C3, sebesar Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) per M3. d. Kayu dari bongkaran rumah dan atau jembatan, sebesar Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per M3. Struktur tarif yang ditetapkan di Perda Kabupaten Bojonegoro ini bertentangan dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi. Dengan alasan ini secara top down, Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 Tahun 2001 dibatalkan. Forum koordinasi yang berada dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi Jatim, biasanya melakukan koordinasi terutama pada saat-saat hari besar nasional seperti hari raya Idul Fftri, hari Natal dan Tahun Baru. Menghadapi momen penting seperti ini Disperindag banyak melakukan koordinasi dengan dinas teknis di tingkat daerah, untuk mengamankan distribusi barang. Tetapi ketika Disperindag mencoba menyentuh masalah kebijakan di tingkat daerah yang bisa mengganggu kondusifitas iklim usaha, hasilnya tidak efektif karena pemerintah daerah selalu menggunakan alasan kewenangan daerah untuk melegitimasi kebijakannya. Biro Hukum Propinsi juga telah berusaha melakukan koordinasi terkait dengan perda bermasalah di tingkat daerah yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha di berbagai sektor di Jatim. Akan tetapi Biro Hukum mengalami kendala karena perda yang terkait dengan pajak dan retribusi yang membebani masyarakat, merupakan kewenangan pusat dan bukan merupakan kewenangan propinsi. Aturan ini bisa kita lihat pada PP No. 20 Tahun 2001 dan Kepmen No. 41 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa pengawasan perda dilakukan langsung oleh menteri dan tidak didistribusikan kepada gubernur. Tetapi aturan ini tidak efisien karena Menteri Dalam Negeri harus mengurusi terkatungbegitu banyak perda bermasalah di Indonesia. Akibatnya, banyak perda bermasalah yang katung dan tidak jelas kapan akan dicabut. 127
Lampiran
Menghadapi situasi seperti ini, Biro Hukum Propinsi berusaha melakukan beberapa langkah untuk menyiasati kondisi yang ada. Tindakan yang diambil oleh Biro Hukum untuk menghadapi perda bermasalah adalah: * Melakukan pengawasan terhadap perda kabupaten kota dan mendesak mencabut perda yang bermasalah. • Kalau daerah tidak mau mencabut perda bermasalah tersebut, perda bermasalah tersebut akan diekspose ke media massa sehingga masyarakat tahu. • Mendesak menteri untuk mencabut perda bermasalah di tingkat daerah karena Biro Hukum Propinsi tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan pemerintah daerah. Tetapi langkah-langkah tersebut belum efektif. Contohnya, sampai saat ini belum terlihat adanya perda-perda bermasalah di Jatim yang diangkat oleh Biro Hukum ke media massa. Akibatnya, fungsi koordinasi perundang-undangan di daerah belum berjalan efektif. Demikian juga langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memerintahkan untuk mencabut perda bermasalah di daerah, juga kurang efektif karena pihak daerah, baik eksekutif maupun lagislatif tetap pada pendiriannya untuk tidak mau mencabut perda tersebut dengan alasan UU No. 22 Tahun 1999 memberi daerah kewenangan yang Iuas.. Sebagai contoh kasus bisadilihatketikaMendagri Hari Sabarno melalui empatsurat dan duakeputusan menteri mendesak agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Penkab) Gresik membatalkan atau merevisi enam peraturan daerah (perda) yang telah disahkan. Karena, selain bertentangan dengan kepentingan umum, keenam perda itu juga bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. Surat dan keputusan Mendagri soal desakan pembatalan dan revisi enam perda memang sudah diterima pimpinan DPRD, tetapi ternyata pihak DPRD membalas surat Mendagri tersebut dengan surat keberatan atas surat dan keputusan Mendagri itu. Alasannya, penyusunan perda di Gresik sudah berdasarkan pada pertimbangan yang masak dan berdasarkan aturan hukum. Keenam perda yang dipermasalahkan Mendagri adalah perdaNo. 39 Tahun 2000 tentangsumbangan pihak ketiga. Perda itu, harus dihapus karena bertentangan dengan kepentingan umum. Selanjutnya Perda No. 8 Tahun 2002, tentang pelayanan ketenagakerjaan. Perda ini dianggap bertentangan dengan UU NO. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi. Kemudian perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi ijin Gangguan dan Perda No. 10 tahun 2001 tentang pajak parkir. Perda ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi.
128
Memperbaiki Iklim Usaha di
Jawa
Timur
Dua perda lainnya, yaitu perda No. 3 tahun 2001 tentang Penataan Ruang dan Perda No. 19 tahun 2001 tentang kepelabuhanan. Kedua perda tersebut dianggap bertentangan dengan UU nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran. Pihak daerah dengan tegas menyatakan keberatannya untuk membatalkan perda bermasalah tersebut. Dalam pandangan daerah, Mendagri harus menghormati keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sementara itu, efektifitas forum koordinasi bilateral seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya masih terbatas. Satu hal positif dari forum koordinasi ini adalah dalam pembangunan jalan raya di perbatasan yang lebarnya dibicarakan dulu sehingga ada kesamaan lebar jalan di perbatasan. Selain itu juga ada kerja sama dalam menangani masalah sosial seperti masalah gelandangan dan pengemis di daerah perbatasan di Terminal Bungurasih. Forum koordinasi yang ada dalam APEKSI efektifitasnya juga relatif terbatas. Kecenderungannya, forum ini lebih banyak membicarakan persoalan keterbatasan anggaran pemerintah kota. Akibatnya,pembicaraan dalam forum koordinasi ini lebih banyak berfokus pada bagaimana mengembalikan sumber-sumber pendapatan daerah yang dikuasai pusat ke daerah. Misainya, ada pemikiran bahwa sebaiknya pemasukan dari Pelindo harus dikembalikan ke pemerintah daerah. Dengan demikian, secara umum belum ada forum koordinasi yang secara efektif mampu meningkatkan kondusifitas iklim usaha di Jatim. Faktor utamanya adalah ekses negatif dari otonomi daerah, terutama terkait langsung dengan dihilangkannya struktur hierarkhi antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dari sinilah kemudian egoisme daerah muncul, yang ditandai dengan lahirnya perda-perda bermasalah yang bisa mendistorsi iklim usaha di Jatim.
129
PUSTAKA ACUAN
Buku-bnku Aswicahyono dan Maidir. Indusri Tekstil dan Garmen Indonesia: Menentukan Sikap dalam PersainganInternasionalyang Baru. Jakarta: CSIS, 2003 Biro Pusat Statisrik, Statistik IndustriKecil. Jakarta, 2002 Biro Pusat Statistik, Survey Industri.Jakarta, 2000 Black Dictionary of Economics. Oxford, 2002 Center for Economic and Social Studies, Medium Size Study Discussion Paper,Jakarta: 2003. Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuangan, Analisis Dasar-dasarMakro dan Mikro untak Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia.Jakarta: 2004 FEUNDIP, Lapomn Akhir Kajian tentangAlternatifCukai Tembakau, 2004, Semarang: 2003 Isdijoso, Brahmantio dkk. "Studi Departemen Keuangan PSPK-BAE Departemen Keuangan. Isdijoso, Brahmantio, Mangara Tambunan dan Ubaidillah. Prospek Perdagangan Domestik yang Bebas da/am Era Desentralisasi dan DampaknyaAtas Pertumbuhan Ekonomi Daerah,Jakarta: CESS, PRISM Project - The Asia Foundation, 2001. Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, Daya Tarik Investasi Daerah: Survey Persepsi Pengusaha,Jakarta: 2003 Laporan Tim Sektor Swasta, Jakarta, World Bank, 2003 Lembaran Negara No. 82. 1957 Loebis, Linda dan Hubert Schimtz. JavaFurnitureMakers: Winners orLosersfrom Globalization, Sussex: IDS, 2003. Ray, David. ProsidingKonferensi: Decentralization,Regulatory Reform and the Business Climate,Jakarta: PEG-USAID, 2003. Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Industri, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang. 2003 Surat Keputusan Ment&ri Kehutanan dan Perkebunan No. 132/Kpts-II/2000 tentang Pengenaan SKSHH Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2001 tentang Moratorium atas kegiatan pemotongan dan perdagangan dalam ranin
130
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Suratkabar Kompas, 31 Agustus 2002 Kompas, 22 July 2002 Kompas, 23 Juni 2002 Kompas, 12 Agustus 2002 Kompas, 18 Februari 2003 Kompas, 19 Maret 2003 Kompas, 5 Mel 2003 Kompas, 26 Mel 2003 Kompas, 25 Juli 2003 Harian Surya, 7 November 2003 Bisnis Indonesla, 5 Februari 2004 Agence France Presse, 16 Maret 2004 Jakarta Post, 26 April 2004
Internet Data tentang Jawa Timur tersedia dli: htp://english.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp Data tentang impor daging tersedia dl: http://www.bi.go.id/sipuklim/ind/sapLpotong/aspek_pemasaran.htm Data tentang industri Garam tersedia di: http://suharjavanasuria.tripod.com
131
t
4
m