MEMBUMIKAN PANCASILA SEBAGAI POLA PERILAKU MELALUI GERAKAN BERSAMA PENDIDIKAN Sudijono Sastroatmodjo Pancasila sebagai ideologi perlu dioperasionalkan agar dapat menjadi pola perilaku nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi karakter bangsa Indonesia yang tampak dalam perilaku hidup keseharian. Mengoperasionalkan Pancasila sebagai ideologi ke dalam laku nyata warga bangsa merupakan gerakan bersama, salah satu diantaranya melalui pendidikan. Gerakan bersama membumikan Pancasila melalui pendidikan ini dimulai dari aras politik hukum pendidikan dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sarana membentuk watak dan karakter bangsa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sampai dengan memberikan teladan nyata dalam praktik kehidupan. Guru dalam konteks ini merupakan unsur strategis guna mewujudkan maksud dan tujuan mulia ini.
Pendahuluan Pernyataan Soetandyo Wignjosoebroto bahwa semenjak Pancasila dipidatokan oleh sang pengembang gagasan tampaknya Pancasila masih saja mengambang sebagi ide atau ideologi, yang terayun-ayun dari wacana-wacana dan tetap saja diwacanakan sebagai ajaran yang abstrak , dengan sifatnya yang acapkali amat normatif, tanpa pernah bisa segera dikonversikan menjadi bagian dari tradisi warga bangsa di negeri ini, merupakan pernyataan yang memerlukan perenungan dan tindak lanjut secara serius (Myrna Safitri, 2013). Pernyataan itu paling tidak memancarkan pesan perlunya membumikan atau mengoperasionalkan Pancasila dalam berbagai lapangan kehidupan yang lebih konkrit agar benar-benar menjadi hal yang nyata dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Para pendiri negara (founding fathers) terutama Bung Karno dan Bung Hatta dalam berbagai kesempatan mengingatkan bangsa Indonesia akan petingnya nation and character building. Pembangunan watak bangsa sangat diperlukan mengingat bangsa Indonesia sangat heterogen dan memiliki kemajemukuan, tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga bercorak vertikal. Apa yang sudah disampaikan para pendiri negara di masa lalu itu masih sangat relevan dalam kekinian, bahkan semakin menunjukkan arti pentingnya. Bangsa Indonesia dalam era kekinian menghadapi krisis multidimensional yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Pembangunan karakter bangsa menjadi hal yang sangat penting apabila dikaitkan 1
dengan visi Indonesia masa depan, sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR No. VII/MPR/2001. Dalam seminar tentang karakter bangsa pada tanggal 9 Desember 2010 di LPMP Jawa Tengah, Bibit Waluyo menengarai adanya 4 (empat) krisis yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, krisis jatidiri, dimana masyarakat Indonesia tidak lagi mampu mengenali dirinya sebagai bangsa. Kedua, krisis ideologi. Pancasila sebagai ideologi hanya tinggal nama, tidak lagi menjadi ideologi yang hidup dalam perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia. Ketiga, krisis karakter, dimana ucapan, sikap, dan perilaku
masyarakat
belum
mencerminkan
karakter
bangsa.
Keempat,
krisis
kepercayaan. Sikap curiga dan meremehkan orang lain menunjukkan betapa manusia Indonesia telah pudar kepercayaannya kepada yang lain. Sikap bandel, sulit diatur dan menginjak-injak norma yang ada menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah Selain 4 krisis tersebut, dalam masyarakat Indonesia juga telah terjadi krisis kebudayaan. Pertikaian di antara sesama anak bangsa bukannya kian mereda, namun justru makin menjadi-jadi. Berbagai tindak kekerasan, korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin meningkat. Sikap rukun dan hormat sebagai budaya luhur bangsa makin luntur. Persoalan-persoalan bangsa tersebut tidak saja terjadi pada lapisan elite politik maupun ekonomi, tetapi juga telah merambah pada kalangan masyarakat. Sungguh memprihatinkan, karena hal-hal tersebut terjadi juga di kalangan perguruan tinggi yang notabene merupakan wadah pembentuk dan pencetak calon pemimpin bangsa. Krisis kebudayaan ini juga tampak dari aturan hukum dan norma sosial yang kehilangan daya paksanya dan terkesan saling bertentangan sehingga memicu konflik dan menimbulkan kebingungan. Akibatnya perilaku main hakim sendiri dan berbagai tindak melecehkan hukum mencuat ke permukaan menyertai beragam tindak kekacauan dan perilaku menyimpang. Gejala demoralisasi juga merajalaela di kalangan masyarakat. Mentalitas serba instan dan hedonistik mendominasi mentalitas masyarakat perkotaan, dan sebagian masyarakat lebih mengedepankan “okol”nya dari pada nalar dan akal sehat. Tantangan kekinian yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menurut TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, ada 10 jenis, yaitu: 2
a. Terjadinya krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak azasi manusia sebagai akibat nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara. b. Terjadinya konflik sosial budaya karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat. c. Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu persamaan hak warga negara dihadapan hukum. d. Perilaku ekonomi yang berlangsung dengan praktik korupsi, kolusi , dan nepotisme, serta kurangnya keberpihakan kepada kelompok usaha kecil dan menengah, sehingga telah menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, utang besar yang harus dipikul oleh negara, pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat serta kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar. e. Sistem politik tidak berjalan dengan baik, sehingga belum dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu memberikan teladan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. f. Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok masyarakat terjadi sebagai akibat proses demokrasi yang tidak berjalan dengan tertib. g. Masih berlangsungnya pelaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat yang mengabaikan proses demokrasi menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya sehingga terjadi gejolak masyarakat yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. h. Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat lemahnya fungsi pengawasan oleh internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat serta terbatasnya pengawasan oleh masyarakat dan media massa pada masa lampau, telah menjadikan transparansi dan pertangungjawaban pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab tidak terlaksana. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggaraan negara menjadi berkurang. i. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. j. Kurangnya pemahaman, penghayatan dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan keterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tantangan kekinian Indonesia itu sekaligus memperlihatkan bahwa pada masyarakat Indonesia meskipun sedikit hiperbolik, mungkin tidak lagi dapat disebut sebagai sakit kronis, melainkan telah terjadi kematian karakter. Kematian karakter merujuk pada kecenderungan-kecenderungan destruktif manusia, atau yang oleh Erich 3
Fromm disebut sebagai tahap pada saat manusia berhenti menjadi manusia. Pada level individu kecenderungan ini ditandai oleh tenggelamnya individu tersebut pada kecenderungan atau orientasi memiliki (the having mode) di satu sisi dan melemahnya keinginan untuk menjadi (the being mode). Pada yang pertama hidup diekspresikan dalam beragam aktivitas yang sifatnya reseptif-pasif, ekspolitasi, dan menimbun. Pada yang kedua hidup diorientasikan pada produktivitas yang genuine. Orang-orang dengan oientasi hidup ini adalah mereka yang telah berhenti “bermain topeng”, demikian dijelaskan oleh penafsir kontemporer Fromm, George Boeree (2006). Indonesia modern mengenal kematian karakter ini antara lain ketika Nurcholis Madjid (1998: 124), mengafirmasi Ashadi Siregar, menyebut munculnya “teknokratteknokrat tanpa perasaan”, manusia pintar namun mati hatinya, dalam kehidupan kontemporer Indonesia. Namun, kematian karakter sesungguhnya bukan baru-baru ini saja diratapi. Sejak era pergerakan nasional, ihwal kematian karakter ini sudah menjadi perdebatan kaum aktivis. Karena kematian karakter inilah yang membuat belenggu penjajahan
yang
menyerimpung
akal
budi
manusia
pra-Indonesia—hingga
membuatnya lalai bahwa kemerdekaan adalah sebaik-baik martabat. Kondisi kematian karakter tersebut antara lain ditandai dengan kecenderungan imitasi yang akut, yakni kecenderungan untuk “bermain topeng” menurut Boeree,
yang merupakan ciri dari
orientasi reseptif-pasif dalam kategori Fromm. Adalah Ki Hadjar Dewantara tokoh pergerakan yang mengajukan kritik pedas terhadap kebudayaan reseptif ini. Dalam salah satu esainya yang diterbitkan ulang dalam bahasa Inggris oleh Cornell University, antara lain ia mengilustrasikan kematian karakter masyarakat Indonesia sebagai berikut (1967: 151-152): “...sedemikian mudahnya kita merasa senang manakala kita tampak sedikit keBelanda-Belanda-an...kita senang manakala berada di antara orang-orang Eropa, atau berbicara dalam bahasa Belanda bahkan kepada orang-orang kampung...kita juga membawa serta sikap kebarat-baratan itu dalam kehidupan pribadi kita di rumah...kita memanggil anak lelaki dengan nama ‘Jonny’ bila nama anak itu sebenarnya ‘Sudjono’ atau anak perempuan dengan nama ‘Marietje’ padahal ia memiliki nama yang manis ‘Sumariah’...ini membuat kita merasa sejajar dengan orang-orang Belanda”.
4
Kondisi kematian karakter masyarakat Indonesia ini sudah diramalkan, atau lebih tepatnya diratapi, oleh pujangga masa lalu Ronggowarsito, ketika ia mengajukan prediksi tentang munculnya ‘jaman edan’ masterpiece-nya Serat Kalatida: amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada Secara umum tidak terdapat silang pendapat mengenai makna empirik ‘jaman edan’ sebagaimana dimaksudkan oleh Ronggowarsito. Namun yang jelas setidaknya dalam dua dekade terakhir, ramalan Ronggowarsito senantiasa menjadi salah satu titik sentral dalam setiap diskusi restorasi kebudayaan Indonesia. Kondisi ‘jaman edan’ kini mencakupi semua bentuk penyimpangan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan agama. Ia kini menjadi umbrella term yang mencakupi seluruh bentuk penyalahgunaan kuasa (abuses of power) dan penyimpangan dari fitrah primordial manusia—yang rindu akan keterpautan antar sesama dan kebersamaan, tertib sosial, kesejahteraan, kemurnian persahabatan, kepastian tujuan, dan makna kehidupan. Tentu sebuah keberuntungan bagi generasi mutakhir Indonesia bahwa moyang mereka tidak saja meramalkan masa depan, melainkan juga memberikan paugeran yang jelas bagaimana selamat dari marabahaya dan kondisi-kondisi terburuk ‘jaman edan’. Sejumlah eksperimen dilakukan untuk menerjemahkan ‘eling’ dan ‘waspada’ dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Kematian karakter juga terpampang jelas dalam lanskap kekerasan masyarakat Indonesia kontemporer. Ribuan konflik sosial, yang berlatar belakang suku, agama, dan ras, ataupun kekerasan yang berlatar belakang relasi industrial justru muncul pada saat negeri ini memerlukan dukungan kepastian komitmen kebangsaan. Kekerasan, meskipun menjadi bagian tidak terpisah dari dualitas kepribadian manusia (Fromm, 1973), tampak menjadi bahasa hidup yang lumrah dalam lanskap sosial masyarakat Indonesia setidaknya dalam dua dekade terakhir (Tadjoeddin, 2002). Jauh dari cita-cita etis Mpu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika, keragaman sosial masyarakat Indonesia, kini 5
adalah ibarat rangkaian dinamit raksasa dengan sumbu pendek, yang siap meledak kapan saja. Kondisi ini, sayangnya masih diperparah oleh semakin akutnya apatisme sosial masyarakat kita. Tidak dapat ditolak, ini merupakan potret yang sempurna gerak menyimpang masyarakat Indonesia, sebuah gerak menjauh dari cita-cita etis corak pendidikan Indonesia nasionalis dan religius. Dalam konteks semacam inilah segenap komponen bangsa seharusnya bahu membahu, bersinergi membangun karakter bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang kuat. Siapapun dapat mengambil peran itu, salah satunya adalah guru. Guru dapat melanjutkan hal baik yang sudah dilakukan oleh MPR. Dalam waktu 4 tahun terakhir, sosialisasi empat pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah secara sistematis dilakukan oleh MPR melalui berbagai media. Guru dapat melanjutkan hal ini baik
dalam
tataran
sosialisasi
dan
bahkan
implementasinya
dalam
rangka
pembentukan karakter bangsa.
Empat Pilar: Karakter Bangsa Indonesia Dalam tiga dekade terakhir, konsep “karakter” mendapat perhatian yang serius dari para ahli terutama pakar Psikologi (Cronbach, 1997: Lickona, 2003) yang mengkhususkan kajiannya pada upaya mendefinisikan karakter untuk kepentingan tujuan pendidikan hingga pembentukan warga negara yang memiliki karakter baik (good character). Karakter sebagai kualitas moral akan selalu terintegrasi dengan kematangan intektual dan emosional. Dalam kaitan ini Cronbach (1997) menyatakan bahwa keputusan yang diambil oleh seseorang tergantung pada konsep, sikap, kebutuhan, dan perasaannya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa karakter sebagai satu aspek dan kepribadian terbentuk oleh kebiasaan dan gagasan yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Untuk membentuk karakter maka unsur-unsur keyakinan, perasaan, dan tindakan merupakan unsur-unsur yang saling terkait sehingga untuk mengubah karakter berarti melakukan reorganisasi terhadap kepribadian. Di sinilah makna penting pendidikan, sebagai upaya rekonstruksi dan reorganisasi kepribadian, dalam rangka membangun karakter warga negara.
6
Berbeda dengan Cronbach, Lickona (2003) memandang karakter terbagi ke dalam tiga bidang yang saling terkait, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik mengandung tiga kompetensi, yaitu mengetahui hal yang baik, ada keinginan terhadap hal yang baik, dan melakukan hal yang baik, yang pada gilirannya ia akan menjadi kebiasaan berpikir, kebiasaan hati, dan kebiasaan bertindak. Karakter bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation state) merupakan hal yang sangat penting, karena merupakan salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antar bangsa. DeVos(1998) menyatakan istilah karakter bangsa digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Oleh karena terkait dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dari aspek kejiwaan, maka diakui oleh DeVos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai istilah yang abstrak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk mekanisme psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu. Karakter bangsa umumnya bersifat kolektif yaitu akumulasi dari karakter pribadi seluruh warga bangsanya. James Madison, salah satu peletak dasar konstitusi Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa : “the character of a nation is determined by the character of its people” ( karakter suatu bangsa ditentukan oleh karakter warganya). Komponen utama dalam karakter bangsa adalah tata nilai (values) yang dibangun dan ditumbuhkembangkannya sendiri. Dalam pada itu, keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa sangat bergantung pada upaya pembinaan dan pembangunan karakter bangsanya. Bagi Indonesia, karakter bangsa ini sesungguhnya secara jelas telah terumus di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat hal tersebut dalam istilah Pimpinan MPR disebut 4 pilar. Oleh MPR ditegaskan bahwa penyebutan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memilki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain (MPR RI dan Tim Kerja Sosialisasi, 2013:6). 7
Hal ini menunjukkan sebenarnya sudah disadari oleh MPR kemungkinan adanya pihak yang kurang sependapat dengan penempatan Pancasila sebagai pilar. Misalnya apabila dikaitkan dengan pendapat Ir. Soekarno sendiri pada pidato tanggal 1 Juni 1945, bahwa Pancasila adalah Philosofische grondslag. Philosophisce gronslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalamdalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi (Saafroedin Bahar, 1998: 84). Demikian juga apabila dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm, yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang Undang Dasar (Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, 2012: 154). Meskipun istilah 4 pilar ini masih terbuka kemungkinan untuk didiskusikan, tetapi yang harus diapresiasi adalah kemauan untuk kembali menyadarkan kepada segenap bangsa Indonesia akan arti penting Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia. Dengan kata lain apa yang disebut empat pilar itu sesungguhnya adalah karakter bangsa Indonesia. Dikatakan demikian karena di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia itulah terdapat nilai-nilai yang diidealkan oleh bangsa
Indonesia
sekaligus
didalamnya
terdapat
kaidah-kaidah
penuntunnya.
Pancasila adalah dasar negara Indonesia. UUD NRI 1945 adalah konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (Pemerintah Republik Indonesia,2010;4) secara tegas menyatakan bahwa pembangunan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama yaitu (a) Fungsi Pembentukan dan Pengembangan Potensi. Pembangunan karakter bangsa berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila; (b) Fungsi Perbaikan dan Penguatan. Pembangunan karakter bangsa berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut 8
berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera; (c) Fungsi Penyaring. Pembangunan karakter bangsa berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Ditegaskan pula bahwa ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui (1) Pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, (2) Pengukuhan nilai dan norma konstitusional UUD 45, (3) Penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) Penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika, serta (5) Penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global. Uraian di atas mempertegas bahwa berbicara tentang pembangunan karakter bangsa maka tidak dapat dilepaskan dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dan Guru dalam Rangka Pembentukan Karakter Bangsa Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari rumusan ini jelas terlihat bahwa pembentukan watak yang tidak lain adalah pembentukan karakter menjadi fungsi utama pendidikan Indonesia. Pembentukan karakter seharusnya menjadi arus utama pendidikan di Indonesia, salah satunya melalui pendidikan formal. Pembentukan karakter melalui pendidikan formal dilakukan secara terintegrasi melalui semua mata pelajaran, melalui budaya sekolah, dan melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Salah satu mata pelajaan yang materi muatannya banyak berkaitan dengan empat pilar adalah Pendidikan Kewarganegaraan. 9
Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menjelaskan bahwa Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Rasa kebangsaan (Sunardi, 1998) adalah salah satu bagian dari wawasan kebangsaan. Selain rasa kebangsaan, di dalam wawasan kebangsaan terdapat faham kebangsaan dan semangat kebangsaan. Dengan rasa kebangsaan seorang warganegara merasa ikut memiliki negara dan bangsa serta merasa wajib untuk menjaga dan mengembangkannya. Dengan rasa kebangsaan ini pula setiap orang Indonesia merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Paham kebangsaan pada dasarnya merupakan basis dari kepahaman seseorang di dalam konstelasi masyarakat bangsa, yang akan kokoh apabila ditopang oleh rasa kebangsaan yang mendalam. Paham kebangsaan ini memberikan arah dan makna pada rasa kebangsaan, karena dengan paham inilah seseorang berbuat demi bangsa dan negaranya. Komponen yang ketiga dari wawasan kebangsaan adalah semangat kebangsaan yang merupakan semangat pengabdian bagi bangsa dan negara atau lazim disebut nasionalisme. Dalam istilah Hans Kohn, nasionalisme diartikan sebagai suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara – kebangsaan (Hans Kohn, 1976). Berdasarkan uraian di atas menjadi jelas bahwa misi utama pendidikanadalah membentuk anak didik menjadi pribadi warga negara yang merasa memiliki negara dan bangsanya serta merasa wajib untuk menjaga dan mengembangkannya, sekaligus memiliki rasa cinta dan setia kepada tanah air Indonesia. Hal demikian sejalan dengan pemikiran Westheimer & Kahme (2004: 240). Keduanya menyatakan bahwa dalam kehidupan kenegaraan diperlukan setidaknya tiga jenis warga negara, yaitu; (1) warga negara yang bertanggung jawab (personally-responsible citizens); (2) warga negara yang bersedia untuk terlibat aktif (participatory citizens); dan, (3) warga negara dengan orientasi yang kuat terhadap keadilan (justice-oriented citizens). Ketiga jenis warga negara ini dijelaskan dalam tabel berikut. Warga negara secara bertanggung jawab Senantiasa melakukan
Warga negara yang bersedia untuk terlibat aktif Aktif dalam organisasi
Warga negara dengan orientasi keadilan Menganalisis secara 10
tindakan yang bertanggung jawab dalam komunitas, bekerja dan membayar pajak, menaati hukum, terlibat dalam kegiatan seperti daur ulang barang bekas (recycle), donor darah menjadi volunteer, atau bersedia meminjamkan lahan pada saat situasi krisis
kemasyarakatan atau dalam pembangunan masyarakat, menggerakkan masyarakat untuk membantu yang berkebutuhan, mengerti bagaimana dinas-dinas pemerintah bekerja dan memahami bagimana mencapai tugas bersama
kritis keadaan politik dan ekonomi untuk melihat kondisi yang ada secara lebih dalam, menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan ketidakadilan, mengerti gerakan demokrasi dan bagaimana mempengaruhi perubahan sistem
Dalam upaya pembentukan rasa kebangsaan dan cinta tanah air ini peran guru PKn menjadi sangat strategis. Sebagaimana dengan guru mata pelajaran lainnya, guru Pkn adalah agen pembelajaran (learning agent). Sebagai agen pembelajaran ia dapat berperan antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Untuk menjalankan perannya sebagai agen pembelajaran, guru PKn harus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, menegaskan bahwa kompetensi guru PKn adalah (1) memahami materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan (2) memahami substansi Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi pengetahuan kewargangeraan (civic knowledge), nilai dan sikap kewarganegaraan (civic disposition), dan ketrampilan kewarganegaraan (civic skill), dan (3) menunjukkan manfaat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Materi empat pilar yang telah disosialisasikan oleh MPR merupakan bahan pengetahuan kewarganegaraan yang bukan saja harus diketahui oleh guru tetapi sekaligus juga perlu di transfer kepada peserta didik. Peran guru Pkn sebagai transfer of knowledge tidak boleh dilupakan karena dengan hal ini proses panjang kelahiran bangsa dan negara Indonesia dapat dipahami oleh peserta didik. Atas dasar pengetahuan kewarganegaraan ini diharapkan peserta didik paham betul bahwa Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika adalah karya-karya terbaik
11
untuk bangsa dan negara Indonesia. Dalam rangka transfer of knowledge, guru PKn dapat melakukan rekayasa pembelajaran sehingga pembelajaran yang dikelolanya menjadi menarik dan menyenangkan, dan dengan hal ini anak akan tertarik untuk mengikutinya. Guru Pkn dapat menggunakan model-model pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Dengan cara ini maka dapat dihindari pembelajaran Pkn yang terkesan menjemukan dan teoretis. Guru PKn dengan kreasinya dapat membawa isu-isu kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam kelas, sehingga pembelajaran terkait langsung dengan apa yang dialami peserta didik dalam kesehariannya. Selain menjalankan peran untuk transfer of knowledge guru PKn juga harus berperan untuk transfer of value. Dalam konteks ini guru PKn harus mampu menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku. Teladan guru ini selain sebagai model bagi anak didiknya, sekaligus berfungsi pula sebagai penguat moral para murid dalam bersikap dan bertingkah laku. Dalam kaitan ini ungkapan lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” menjadi sangat relevan. Sebagai pribadi yang paling dekat dengan anak didik, apa yang ditampilkan guru baik dalam berucap, bersikap, dan bertingkahlaku menjadi “pelajaran langsung” bagi anak didik. Termasuk dalam hal ini adalah sikap dan perilaku guru sebagai cerminan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan pilar-pilar lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penutup Para pendiri negara telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan karakter bangsa melalui Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal. Sebagai agen pembelajaran yang mengemban fungsi membentuk
peserta
didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, guru Pkn dapat melakukan tranfer of knowledge, transfer of value, sekaligus menjadi teladan bagi para peserta didiknya. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai ajaran Ki Hajar Dewantara seharusnya selalu menjadi acuan guru Pkn dalam mengemban amanat mulia ini. Agar apa yang diperankan guru PKn dapat berlangsung optimal, maka diperlukan lingkungan pendukungnya, baik yang ada di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Pembentukan karakter bangsa membutuhkan kerja keras segenap komponen bangsa. 12
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konpress. Bahar, Saafroedin. 1998. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara RI. Boeree, C. G. 2006. ERICH FROMM: 1900 - 1980. Retrieved from http://webspace.ship.edu/cgboer/fromm.html Cronbach, Lee. J. 1977. Educational Psychology 3rd edition.New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc. Dewantara, K. H. (1967). Some Aspects of National Education and the Taman Siswa Institute of Jogjakarta. Indonesia, 4, 150-168 DeVos, George. A. 1968. “National Character”. In Sills David L (ed). International Encyclopedia of the Social Sciences. New York: Macmillian Company and the Free Press. Kohn, Hans. 1976. Nasionalisme arti dan Sejarahnya . Terjemahan Jakarta. Pustaka Sarjana. 13
Lickona, Thomas. 2003. My Thought About Character. Ithaca and London: Cornel University Press. Madjid, Nurcholis. 1998. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Pimpinan MPRn dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. Safitri, Myrna A. 2013. “Konversi Pancasila Dari Cita Hukum Menuju Tradisi Warga Bangsa” dalam Jurnal Digest Epistema Volume 4 / 2013 hal 3-5 Tadjoeddin, M. Z. (2002). Database on Social Violence in Indonesia 1990-2001. Jakarta: United Nations Support Facility for Indonesian Recovery. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Westheimer, J., & Kahme, J. (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy. American Educational Research Journal, 41(1), 237-269
14