perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEMBRAN KOMPOSIT POLISTIRENA TERSULFONASI (PST) BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL)
Disusun oleh :
PRIYADI M0307076
SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian Persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA JULI, 2012
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “MEMBRAN
KOMPOSIT
POLISTIRENA
TERSULFONASI
(PST)
BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL)” adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat kerja atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juli 2012
Priyadi
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEMBRAN KOMPOSIT POLISTIRENA TERSULFONASI (PST) BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL) Priyadi Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai karakterisasi membran komposit polistirena tersulfonasi (PST) berpengisi lempung sebagai membran polimer elektrolit untuk aplikasi sel bahan bakar (fuel cell) dengan memvariasikan komposisi sulfonat, jenis, dan komposisi lempung. Sel bahan bakar merupakan salah satu sumber energi alternatif secara elektrokimia yang mereaksikan gas dan oksigen untuk menghasilkan listrik, panas dan air. Salah satu komponen sel bahan bakar yaitu membran polimer elektrolit. Membran tersebut berfungsi menghantarkan kation dari anoda ke katoda. Membran sel bahan bakar ideal memiliki harga terjangkau, memiliki kapasitas tukar kation (KTK), derajat pengembangan (DP) rendah, serta kestabilan termal yang relatif tinggi. Pada penelitian ini membran dibuat dengan metode inversi fasa dan dikarakterisasi dengan analisis termal, derajat pengembangan (DP), kapasitas tukar kation (KTK). Hasil analisis KTK menunjukkan nilai KTK membran komposit lempung coklat (KLC) lebih besar daripada komposit lempung abu-abu (KLA) yaitu sebesar 1,74 meq/g dan memiliki nilai derajat pengembangan sebesar 18,92 %. Hasil analisis termal menunjukkan bahwa membran komposit terjadi tiga tahap degrasi yaitu pelepasan molekul air, degradasi PEG, dan rantai utama PST, dimana seluruh membran terdegradasi di atas 150 oC. Dari nilai KTK, kestabilan termal yang tinggi, dan derajat pengembangan yang rendah ini menunjukkan bahwa membran KLC dan KLA memiliki kemampuan transpor proton yang baik sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai membran polimer elektrolit untuk aplikasi sel bahan bakar (fuel cell). Kata kunci : Polistirena tersulfonasi, lempung, membran komposit
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SULFONATED POLYSTYRENE (SPS) MEMBRANES COMPOSITE FILLED CLAY AS POLYMER ELECTROLYTE MEMBRANE FOR FUEL CELLS APLICATION PRIYADI
Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences Sebelas Maret University ABSTRACT
Research on the sulfonated polystyrene (SPS) membranes composite filled clay as polymer electrolyte membrane for fuel cells aplication with variety the composition of sulfonate, type and composition of the clay has been done. Fuel cells are one source of alternative energy by electrochemically reacting gas and oxygen to produce electricity, heat and water. One component of fuel cells are the polymer electrolyte membrane fuel cell. The membrane's function is to deliver cations from the anode to the cathode. The characteristics of fuel cells membrane has high cation exchange capacity (CEC), low swelling degree (SD) and high thermal stability. The membranes were prepared by phase inversion method and the resulting membranes were characterized by cation exchange capacity (CEC), swelling degree (SD), and thermal analysis. The analysis results shows the value of CEC of brown clay composite (BCC) membrane is greater than the gray clay composite (GCC) is 1.74 meq/g. BCC membrane has lower than GCC of SD value that is 18.92 %. Thermal analysis showed that the composite membrane occurred three stages degradation, dehydration of water molecules, and degradation of PEG and main chain of SPS, which all of composite membrane degraded above temperature 150 0C. The high CEC value, high thermal stability and low SD, the BCC and GCC membrane showed a good proton transport capability and has the potential to be developed as a polymer electrolyte membrane for fuel cells aplication. Keywords: Polystyrene sulfonated, clay, composite membranes
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
”Orang yang baik, takkan mengatakan kalau dirinya baik“ “Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.” (Anonim) ”man jadda wa jadda“
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teriring ucapan syukur alhamdulillah, karya kecil ini aku persembahkan untuk: Ibu, Bapak Tercinta, Mba Lies, Mas Agus, Mas Tri, dan semua orang yang selalu memberikan semangat........ Seorang wanita yang aku yakini dia tercipta dari tulang rusukku yang selalu ada.....
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi. Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada Rasulullah SAW sebagai pembimbing seluruh umat manusia. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak, karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa selalu memberikan dukungan dan semangat. 2. Bapak Dr. Eddy Heraldy, M. Si selaku ketua jurusan Kimia 3. Bapak Edi Pramono, M. Si selaku dosen pembimbing I skripsi 4. Bapak I.F Nurcahyo, M. Si selaku dosen pembimbing II skripsi 5. Bapak Candra Purnawan, M. Si selaku dosen pembimbing akademik 6. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Jurusan Kimia FMIPA UNS atas semua ilmu yang bermanfaat. 7. Seluruh staf dan laboran Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UNS, Sub Laboratorium Kimia, Laboratorium Pusat FMIPA UNS, dan Laboratorium MIPA TERPADU FMIPA UNS. 8. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas jernih payah dan pengorbanan yang telah diberikan dengan balasan yang lebih baik. Amiin. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena
itu,
penulis
mengharapkan
kritik
dan
saran
untuk
menyempurnakannya. Namun demikian penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis
Priyadi
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................
iii
HALAMAN ABSTRAK ...............................................................................
iv
HALAMAN ABSTRACT.............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..................................................................
2
1. Identifikasi Masalah ............................................................
2
2. Batasan Masalah .................................................................
3
3. Rumuan Masalah ................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
4
BAB II. LANDASAN TEORI ......................................................................
5
A. Tinjauan Pustaka ......................................................................
5
1. Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) dan Membran Polimer Elektrolit
5
2. Jenis Sel Bahan Bakar .........................................................
6
3. Bagian-bagian PEMFC .......................................................
8
4. Polimer Termodifikasi sebagai Membran Polimer Elektrolit
9
5. Polistirena ...........................................................................
10
6. Polistirena Tersulfonasi.......................................................
10
7. Agen Sulfonasi ...................................................................
12
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Lempung ............................................................................
12
9. Karakterisasi .......................................................................
13
a. Analisis Gugus Fungsi ..................................................
13
b. Analisis Derajat Pengembangan ....................................
14
c. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) .......................
15
d. Penentuan Derajat Sulfonasi ..........................................
16
B. Kerangka Pemikiran .................................................................
16
C. Hipotesis ..................................................................................
17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN......................................................
18
A. Metode Penelitian .....................................................................
18
B. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................
18
C. Alat dan Bahan ........................................................................
18
D. Prosedur Penelitian ...................................................................
18
1. Preparasi Lempung .............................................................
18
2. Pembuatan Asetil Sulfat ......................................................
19
3. Pembuatan Polistirena Tersulfonasi.....................................
19
4. Pembuatan Membran Komposit ..........................................
19
5. Karakterisasi Membran Komposit .......................................
20
a. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) .......................
20
b. Analisis Derajat Pengembangan (DP) ............................
21
c. Analisis Struktur ...........................................................
21
d. Analisis Termal .............................................................
21
Teknik Pengumpulan Data ......................................................
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
23
A. Sintesis Polistirena Tersulfonasi ...............................................
23
E.
1. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK), Derajat Sulfonasi (DS) dan Rendemen.............................................................
24
2. Analisis Gugus Fungsi ........................................................
27
3. Analisis Termal...................................................................
29
B. Sintesis Komposit .....................................................................
30
1. Analisis Gugus Fungsi .......................................................
32
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Analisis
Kapasitas
Tukar
Kation
(KTK),
Derajat
pengembangan ……………………………………………..
33
3. Analisis Termal ..................................................................
35
4. Analisis XRD......................................................................
38
5. Analisis Morfologi Membran Komposit ..............................
40
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
41
A. Kesimpulan ..............................................................................
42
B. Saran ........................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
43
LAMPIRAN .................................................................................................
46
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perbandingan Komposisi dalam Sintesis Membran Komposit
commit to user xii
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Skema bahan bakar sel .....................................................
5
Gambar 2.
Struktur polistirena ..........................................................
10
Gambar 3.
Reaksi sulfonasi polistirena ..............................................
11
Gambar 4.
Reaksi pembuatan asetil sulfat .........................................
12
Gambar 5.
Struktur tiga dimensi dari montmorilonit..........................
13
Gambar 6a.
Polistirena ........................................................................
24
Gambar 6b.
Polistirena tersulfonasi (PST)...........................................
24
Gambar 7.
Hubungan komposisi sulfonat, KTK, dan rendemen .........
25
Gambar 8.
Hubungan komposisi sulfonat dan derajat sulfonasi (DS) .
26
Gambar 9.
Spektra IR polistirena dan polistiren tersulfonasi (PST) ...
27
Gambar 10.
Spektra IR polistirena tersulfonasi (PST) .........................
28
Gambar 11.
Termogram TGA PS dan PST .........................................
29
Gambar 12.
Membran komposit ..........................................................
31
Gambar 13.
Spektra IR PST, lempung dan kompositnya .....................
32
Gambar 14.
Hubungan komposisi lempung coklat, KTK, dan derajat pengembangan ……………………………….......
Gambar 15.
34
Hubungan komposisi lempung abu-abu, KTK, dan derajat pengembangan .................................................
34
Gambar 16.
Termogram komposit lempung abu-abu ...........................
36
Gambar 17.
Termogram komposit lempung coklat ..............................
37
Gambar 18.
Termogram campuran ......................................................
38
Gambar 19.
Difraktogram PST, lempung, dan komposit......................
39
Gambar 20.
Hasil mikroskop komposit tanpa lempung........................
40
Gambar 21.
Hasil mikroskop komposit lempung coklat 3, 5, dan 7 % .
41
Gambar 22.
Hasil mikroskop komposit lempung abu-abu 3, 5, dan 7 %
41
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Diagram Alir Kerja ..........................................................
Lampiran 2.
Contoh Perhitungan Rendemen Polistirena Tersulfonasi
46
(PST) .................................................................................
50
Lampiran 3.
Tabel Rendemen Polistirena Tersulfonasi (PST) ..............
50
Lampiran 4.
Perhitungan Derajat sulfonasi (DS) ..................................
51
Lampiran 5.
Tabel Derajat Sulfonasi PST ............................................
52
Lampiran 6.
Analisis Kapasitas tukar kation (KTK) PST .....................
53
Lampiran 7.
Tabel Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) PST ..............
54
Lampiran 8.
Tabel Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Membran Komposit .........................................................................
55
Tabel Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Lempung ......
55
Lampiran 10. Contoh Perhitungan Derajat Pengembangan (DP) ............
56
Lampiran 9.
Lampiran 11. Tabel Nilai Derajat Pengembangan (DP) Membran Komposit .........................................................................
56
Lampiran 12. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Polistirena Standar ..
57
Lampiran 13. Fourier Transform Infra Red (FTIR) PST 10 ....................
57
Lampiran 14. Fourier Transform Infra Red (FTIR) PST 20 ...................
58
Lampiran 15. Fourier Transform Infra Red (FTIR) PST 30 ....................
58
Lampiran 16. Fourier Transform Infra Red (FTIR) PST 40 ....................
59
Lampiran 17. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Lempung Abu-abu ..
59
Lampiran 18. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Lempung Coklat .....
60
Lampiran 19. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Komposit Tanpa Lempung (KTL) ............................................................
60
Lampiran 20. Fourier Transform Infra Red (FTIR) KLA 7 % ................
61
Lampiran 21. Fourier Transform Infra Red (FTIR) KLA 7 % ................
61
Lampiran 22. Termogram TGA Polistirena dan polistirena tersulfonasi (PST) ...............................................................................
62
Lampiran 23. Termogram TGA Komposit Lempung Coklat (KLC) .......
62
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 24. Termogram TGA Komposit Lempung Abu-abu (KLA) ...
63
Lampiran 25. Termogram TGA KTL, KLA dan KLC ............................
63
Lampiran 26. Dokumentasi Penelitian ...................................................
64
commit to user xv
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin menipisnya cadangan minyak bumi tanpa diimbangi dengan penurunan pemakaian telah berdampak pada terjadinya kelangkaan bahan bakar pada masyarakat. Pemakaian bahan bakar fosil secara terus menerus juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti kenaikan suhu bumi atau pemanasan global, serta polusi udara yang saat ini mulai dirasakan masyarakat Indonesia dan Dunia (Hambali dkk., 2007) oleh karena itu penelitian terus dilakukan untuk mendapatkan sumber energi yang murah, efisien, dan ramah lingkungan, salah satunya adalah sel bahan bakar (fuel cell). Fuel cell atau sel bahan bakar merupakan salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dengan efektivitas tinggi dan rendah emisi, menghasilkan air dan panas sebagai produk residu. Salah satu jenis sel bahan bakar yaitu Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC). Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) bekerja pada suhu operasi relatif rendah (antara 60-150 oC). Aplikasi PEMFC banyak dipakai sebagai sumber energi untuk kendaraan, perumahan, dan telepon selular. Salah satu komponen penting sumber energi PEMFC adalah membran polimer elektrolit. Membran tersebut merupakan salah satu komponen inti dari PEMFC yang berfungsi menghantarkan kation dari anoda ke katoda. Hingga saat ini membran komersial yang telah banyak digunakan yaitu membran perflorosulfonat dari Nafion® karena memiliki konduktivitas proton, kekuatan mekanik, dan kimia tinggi (Li dkk., 2003; Byungchan, 2005). Disisi lain, Nafion® memiliki beberapa kelemahan antara lain tingginya permeabilitas membran Nafion® terhadap bahan bakar, harganya mahal, dan ketahanan termalnya rendah, sehingga dibutuhkan material baru sebagai bahan untuk membuat membran pengangkut proton dengan karakteristik yang sama atau lebih baik dari Nafion® (Li dkk., 2003; Byungchan, 2005; Lu dkk., 2005). Pencarian material baru yang dapat digunakan sebagai pengganti Nafion®, yang memiliki kapasitas tukar kation, murah, dan tahan terhadap termal yang tinggi commit to usermembran polimer elektrolit mulai terus dilakukan. Penggunaan polimer sebagai
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikembangkan, salah satunya adalah polimer berstruktur aromatik seperti polistirena. Polistiren (PS) merupakan polimer bergugus aromatik yang mudah disintesis dari monomernya, stiren. Namun, PS tidak dapat menghantarkan proton sehingga dibutuhkan proses sulfonasi untuk menghasilkan gugus sulfonat yang dapat menghantarkan proton (Smitha dkk., 2003; Handayani dkk., 2007). Peningkatan sifat-sifat membran polimer elektrolit seperti kapasitas tukar kation (KTK), dan stabilitas termal dapat dilakukan dengan penambahan oksida. Oksida merupakan material anorganik dengan karakteristik tahan terhadap suhu tinggi dan memiliki ion-ion yang dapat dipertukarkan memberikan nilai lebih baik untuk kinerja membran elektrolit dalam proses transfer proton (Yang, 2006). Oksida yang memiliki karakteristik tersebut salah satunya adalah lempung. Lempung merupakan material yang melimpah di alam. Selain memiliki stabilitas termal yang baik, lempung bisa mengembang, gugus OH pada lempung dapat terprotonasi dalam air, dan berperan sebagai penghantar proton (Wijaya dkk., 2005).
B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dalam penelitian studi pendahuluan membran komposit polistirena tersulfonasi (PST) berpengisi lempung sebagai membran polimer elektrolit untuk aplikasi sel bahan bakar terdapat beberapa masalah antara lain: Tingginya derajat sulfonasi (DS) mengakibatkan polimer larut dalam air, sehingga polimer tidak bisa diisolasi. Derajat sulfonasi dapat dikontrol dengan berbagai cara, antara lain: berat molekul (BM), massa polimer yang digunakan, waktu proses sulfonasi, komposisi sulfonasi yang ditambahkan, dan pemilihan agen sulfonasi yang tepat. Jenis agen sulfonasi antara lain asetil sulfat, asam sulfat pekat, dan asam klorosulfonat. Menurut Jamal dkk (2007) asam sulfat pekat tidak cocok digunakan sebagai agen sulfonasi untuk polistirena, asam sulfat pekat dapat mengakibatkan polimer yang disulfonasi terdegradasi. Menurut Mutiara (2008) kompatibilitas asam klorosulfonat tidak sesuai dengan polistirena, karena commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
polistirena tersulfonasi yang dihasilkan memilki kekuatan mekanik rendah, kurang homogen, dan susah dicetak. Kandungan mineral lempung tiap daerah berbeda-beda, baik kandungan logam maupun non logamnya. Selain itu kandungan juga dipengaruhi oleh kedalaman tanah, material pembentuknya, dan
jenis lempung. Kandungan
berbeda tersebut mengakibatkan karakteristik KTK, dan DP yang berbeda. Pengguanan pemlastis yang tidak cocok mengakibatkan membran sulit dicetak sehingga menghasilkan membran yang getas dan kurang homogen. Selain itu penambahan pemlastis berlebihan mengakibatkan larutan cetak terlalu encer, sehingga membran yang terbentuk terlalu tipis. Jenis pemlastis antara lain polietilen glikol (PEG), polivinil alkohol (PVA), gliserol (GLY), etilen glikol (EG), atau propilen glikol (PG). Jamal dkk (2007) menambahkan pemlastis dengan konsentrasi 10 % (b/b) dari larutan cetak membran. Menurut penelitian Lim dkk (2003) penggunaan PEG dengan BM rendah yaitu antara 200 hingga 1500 dapat menghasilkan suatu membran dengan kekuatan mekanik yang baik. Kesalahan menggunakan metode penentukan derajat pengembangan (DP) akibatnya membran tidak bisa diaplikasikan untuk membran polimer elektrolit dalam sel bahan bakar. Derajat pengembangan (DP) dapat ditentukan dengan menggunakan metode perendaman dalam larutan metanol (methanol uptake) atau perendaman dalam air (water uptake). Metode perendamam dalam metanol (methanol uptake) biasanya digunakan untuk menentukan nilai DP membran Direct Methanol Fuel Cells (DMFC), karena bahan bakar yang digunakan untuk DMFC adalah methanol. Metode perendaman dalam air (water uptake) digunakan untuk menentukan nilai DP Polymer Elektrolyte Membrane Fuel Cells (PEMFC), sebab PEMFC menghasilkan listrik, air, dan panas.
2. Batasan Masalah a. Membatasi waktu sulfonasi selama 1 jam, dan komposisi sulfonasi yang ditambahkan 10, 20, 30, 40, dan 50 mmol. b. Agen sulfonasi yang digunakan adalah asetil sulfat. to user c. Oksida yang ditambahkan commit adalah lempung.
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Lempung yang digunakan adalah lempung coklat dan abu-abu yang berasal dari Dukuh Bandungan, Desa Kumusu, Kecamatan Wonosegoro Boyolali dan diambil secara generalisasi. e. Pemlastis yang digunakan adalah poli etilen glikol 1000. f. Analisis DP menggunakan metode perendaman dalam air (water uptake).
3. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh variasi komposisi sulfonat terhadap sifat termal dan KTK membran komposit? 2. Apakah komposisi lempung mempengaruhi sifat termal dan KTK membran komposit?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi sulfonat terhadap sifat termal dan KTK membran komposit 2. Untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi lempung terhadap sifat termal dan KTK membran komposit.
D. Manfaat Penelitian 1. Dapat mengetahui pengaruh variasi komposisi sulfonat terhadap sifat termal dan KTK membran komposit 2. Dapat mengetahui pengaruh variasi komposisi lempung terhadap sifat termal dan KTK membran komposit
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Sel Bahan Bakar (Fuel cell) dan Membran Polimer Elektrolit Sel bahan bakar adalah suatu sumber energi penghasil listrik secara elektrokimia yang mereaksikan gas dan oksigen dari udara secara kimiawi sehingga menghasilkan listrik, selain itu juga panas dan air. Prinsip kerjanya mirip dengan baterai, namun terdapat perbedaan karena pada sel bahan bakar dirancang untuk dapat terus menghasilkan energi. Produksi energi akan dapat terus berjalan selama bahan sel (H2, metanol, dan lain-lain) terus masih ada dalam sistem sel bahan bakar (Williams, 2000). Sebagai tambahan, elektroda dalam baterai bereaksi dan berganti pada saat baterai diisi atau dibuang energinya, sedangkan elektroda sel bahan bakar adalah katalitik dan relatif stabil. Adapun bentuk dasar dari sel bahan bakar ditunjukan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema sel bahan bakar (Jamal dkk., 2007)
Dalam sel bahan bakar terdapat sebuah lapisan elektrolit yang bersentuhan langsung dengan anoda pada satu sisi dan katoda pada sisi lainnya. Secara umum cara kerja sel bahan bakar tersebut adalah bahan bakar (H2, metanol, dan lainlain) dialirkan pada bagian anoda dan oksigen dialirkan ke katoda. Terdapat dua reaksi kimia yang terjadi pada sel bahan bakar, yaitu oksidasi di anoda dan reduksi di katoda. Apabila digunakan gas H2 sebagai bahan bakar maka reaksi yang terjadi sebagai berikut:
commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anoda : 2H2 ® 4H+ + 4eKatoda : O2 + 4H+ + 4e-® 2H2O Reaksi keseluruhan : 2H2 + O2® 2H2O Reaksi kimia yang terjadi pada kedua elektroda menghasilkan arus listrik, arus listrik ini dapat dijadikan sumber energi bagi berbagai keperluan. Lapisan elektrolit pada rangkaian alat sel bahan bakar dapat berupa padatan elektrolit misalnya membran. Membran elektrolit merupakan komponen penting dalam Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) dan Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Syarat utama membran yang dapat digunakan sebagai komponen sel bahan bakar adalah memiliki muatan pada strukturnya dan memiliki konduktifitas ionik yang baik. Muatan tersebut akan memfasilitasi transport proton dari anoda ke katoda (Hall dkk., 2003).
2. Jenis Sel Bahan Bakar Sel bahan bakar umumnya diklasifikasikan berdasar suhu operasi dan tipe elektrolit yang digunakan. Terdapat beberapa tipe sel bahan bakar, yang masingmasing menggunakan bahan kimia berbeda dan memiliki aplikasi berbeda, diantaranya (Hirschenhofer dkk., 2000): 1. Solid Oxide Fuel cell (SOFC) Jenis sel bahan bakar ini sesuai untuk generator skala besar yang dapat menghasilkan energi listrik untuk pabrik atau suatu kota. SOFC beroperasi pada suhu sangat tinggi (700-1000 oC). suhu operasi yang sangat tinggi membuat bagian-bagian sel bahan bakar dapat rusak setelah pengulangan siklus on-off. Namun, SOFC sangat stabil pada penggunaan secara berkelanjutan. SOFC memiliki waktu operasi terlama dibandingkan dengan sel bahan bakar jenis lain dengan keadaan pengoperasian yang sama. Tingginya suhu operasi memiliki beberapa keuntungan dari uap panas yang dihasilkan untuk dapat dihubungkan dengan turbin sehingga dapat menghasilkan lebih banyak energi listrik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
2. Alkaline Fuel cell (AFC) AFC merupakan jenis sel bahan bakar yang telah digunakan yaitu sejak tahun 1960. AFC sangat rentan terhadap kontaminasi sehingga membutuhkan hidrogen dan oksigen murni. Hal ini membuat harga pemakaian AFC cukup mahal dan kurang komersil. 3. Molten-Carbonate Fuel cell (MCFC) Seperti SOFC, MCFC sesuai untuk pemakaian generator energi tinggi. MCFC dioperasikan pada suhu 600 oC dan dapat menghasilkan uap panas yang digunakan untuk menghasilkan lebih banyak energi. Karena MCFC beroperasi pada suhu lebih rendah dari SOFC, pada MCFC tidak diperlukan material khusus tahan panas tinggi sehingga pemakaian MCFC lebih murah dibanding SOFC. 4. Phosphoric-Acid Fuel cell (PAFC) PAFC memiliki potensi untuk penggunaan pada sistem generator energi rendah. PAFC beroperasi pada suhu yang lebih tinggi dibanding PEMFC. PAFC membutuhkan waktu pemanasan lebih lama sehingga tidak sesuai untuk aplikasi pada kendaraan bermotor. 5. Direct-Methanol Fuel cell (DMFC) DMFC memiliki suhu operasi mendekati suhu operasi PEMFC namun mamiliki efisiensi lebih rendah dibanding PEMFC. DMFC membutuhkan platinum dalam jumlah besar sebagai katalis, sehingga pemakaian DMFC mahal. 6. Polymer Exchange Membran Fuel cell (PEMFC) PEMFC merupakan sumber energi ramah lingkungan dan efisien, kerapatan energi tinggi, dan dapat dioperasikan pada suhu relatif rendah (60-80 oC). Suhu operasi yang rendah membuat sel bahan bakar lebih cepat mencapai suhu optimumnya dan menghasilkan energi listrik. PEMFC menggunakan salah satu reaksi paling sederhana dari sel bahan bakar. Komponen vital PEMFC ialah membran penukar proton yang merupakan pemisah fisik antara anoda dan katoda dan berfungsi mentransport proton. commit user membran penukar proton untuk Dalam beberapa dekade yang lalu, tostudi
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PEMFC terfokus pada membran asam perflorosulfonat seperti Nafion® (Dupont). Hal ini disebabkan karena membran komersil tersebut memiliki konduktivitas ion, kekuatan mekanik, dan derajat pengembangan relatif rendah terhadap air. Namun karena harganya yang mahal, tingginya laju permeabilitas terhadap bahan bakar (fuell cross-over) pada material ini, dan bahaya limbah pada lingkungan, pemakaian membran komersil tersebut tidak diinginkan untuk aplikasi sel bahan bakar. Fuel cross-over terjadi saat bahan bakar (methanol dan hidrogen) melewati membran secara silang (menuju anoda) sehingga menurunkan potensial katoda dan efisiensi energi (Handayani dkk., 2008). Membran sel bahan bakar ideal memiliki harga terjangkau, memiliki konduktivitas proton tinggi, kestabilan kimia tinggi, dan tetap memiliki integritas mekanik dalam air panas (Chen dkk., 2004). Dari keunggulan sifat yang dimiliki, PEMFC paling banyak diaplikasikan untuk sumber energi kendaraan bermotor.
3. Bagian-bagian PEMFC Menurut Hirschenhofer dkk (2000) PEMFC terdiri dari empat bagian dasar yaitu: 1. Anoda Anoda pada PEMFC memiliki suatu lintasan sehingga gas hidrogen terdispersi menuju permukaan katalis. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi hidrogen menjadi elektron dan ion H+, dengan bantuan katalis. Elektron yang dihasilkan dari molekul hidrogen mengalir pada sirkuit eksternal sehingga menghasilkan arus listrik. 2. Katoda Katoda pada PEMFC merupakan elektroda positif yang memiliki suatu lintasan sehingga oksigen dapat terdistribusi menuju katalis. Katoda menghantarkan elektron dari sirkuit eksternal balik menuju katalis, sehingga dapat terjadi reaksi antara ion hidrogen dan oksigen menjadi air. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
3. Elektrolit Pada PEMFC, elektrolit merupakan membran penukar proton yang dapat menghantarkan ion bermuatan. Untuk mendapatkan fungsi penukar proton membran membutuhkan keadaan terhidrasi. 4. Katalis Katalis dalam PEMFC dapat mempercepat reaksi redoks yaitu reaksi oksidasi hidrogen menjadi elektron dan ion H+ pada anoda, dan reaksi reduksi oksigen menjadi air pada katoda. Katalis umunya dibuat dari nanopartikel platinum sangat tipis pada kertas karbon. Katalis memiliki pori dan permukaan kasar sehingga luas permukaan platinum maksimum sehingga dapat terjadi kontak dengan hidrogen atau oksigen. Sisi katalis yang terlapisi platinum berada berhadapan dengan membran penukar proton.
4. Polimer Termodifikasi sebagai Membran Polimer Elektrolit Dewasa ini pembuatan material baru berbahan dasar polimer sebagai membran polimer elektrolit terus dikembangkan. Dari sekian banyak jenis membran polimer elektrolit yang telah dikembangkan salah satunya adalah membran penukar ion atau Polymer Exchange Membran (PEM) berbasis perfluorinated atau polimer asam perflorosulfat misalnya Nafion®. Nafion® merupakan membran yang menjadi pilihan utama dan mudah ditemukan dipasaran karena sifat konduktifitas ionik yang tinggi, stabilitas kimia, serta sifat mekanik yang tinggi (Martins dkk., 2003). Selain harganya yang mahal, terdapat beberapa hal yang membatasi waktu pemakaian (life time) yaitu degradasi, korosif, dan suhu operasi. Nafion® dalam aplikasinya terdapat pembatasan suhu yaitu tidak bisa melebihi 80 oC (Handayani dkk., 2007). Beberapa metode telah digunakan untuk mengatasi masalah pembatasan aplikasi sel bahan bakar diantaranya dengan mencari material baru yang dapat digunakan sebagai pengganti Nafion® yang memiliki stabilitas termal tinggi dan relatif murah. Saat ini mulai dikembangkan pemakaian polimer untuk mengatasi permasalahan pemakaian Nafion®. Syarat yang harus dipenuhi polimer sebagai commit to user oleh karena itu perlu dilakukan membran sel bahan bakar adalah bermuatan,
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
modifikasi. Salah satu metode yang dapat dilakukan agar polimer bermuatan adalah dengan sulfonasi. Modifikasi lain yang dapat dilakukan pada polimer adalah kompositnya. Tujuan dari komposit polimer tersebut adalah menghasilkan material baru dengan karakter yang lebih baik diantaranya sifat termal, mekanik, dan konduktivitas yang lebih tinggi (Jamal dkk., 2007).
5. Polistirena (PS) Polistirena adalah jenis polimer linier yang tersusun dari monomer stirena. Polistirena memiliki rantai hidrokarbon panjang dengan gugus fenil terikat pada salah satu gugus karbon dari setiap monomernya, seperti terlihat pada Gambar 2. Polistirena murni berbentuk padatan tidak berwarna. Polistiren komersil umunya bersifat amorf (Billmeyer, 1971). Pada temperatur ruangan, polistirena umunya merupakan suatu termoplastik yang berwujud padat, tetapi dapat meleleh pada temperatur tinggi (240 oC) untuk dicetak dan kemudian dibentuk menjadi padatan kembali. Polistirena merupakan plastik keras dengan kelenturan terbatas. Polistirena banyak diproduksi untuk aplikasi barang kebutuhan sehari-hari karena proses sintesisnya yang mudah dan murah. Kegunaan polistirena diantaranya adalah untuk bahan pembungkus, peralatan rumah tangga, peralatan kendaraan bermotor, dan aneka macam bahan lainnya.
Gambar 2. Struktur polistirena
6. Polistirena Tersulfonasi (PST) Polistirena tersulfonasi dalam bentuk polimer murni, campuran, ataupun komposit polimer telah banyak dipelajari pada aplikasi PEM. Membran PST memiliki konduktivitas proton tinggi, biaya pembuatan yang cukup murah, serta bersifat lebih fleksibel dibandingkan membran Nafion®. Namun, polistirena commit to userkarena polimer dapat larut dalam tersulfonasi memiliki batasan derajat sulfonasi
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
air pada derajat sulfonasi yang tinggi (Smitha dkk., 2003; Jamal dkk., 2007). Interaksi ikatan hidrogen cukup kuat dapat terjadi antara molekul air dengan gugus asam sulfonat (~SO3H) pada membran. Interaksi ini dapat mempengaruhi transport air dan proton melalui membran. Sulfonasi dapat memberikan konduktivitas proton polimer secara simultan sebaik sifat hidrofil alami. Polimer tersulfonasi dapat memiliki gugus asam bebas (~SO3H), garam (~SO3- Na+), atau ester (~SO3R) (Smitha dkk., 2003). Derajat sulfonasi dapat dikontrol sesuai keinginan dengan mengatur lama waktu polimerisasi dan jumlah agen sulfonasi yang ditambahkan. Proses sulfonasi dapat dilakukan pada tahap awal sintesis polimer yang akan disulfonasi atau pada polimer yang telah dihasilkan. Pada homopolimer apapun yang memiliki cincin aromatik atau ikatan ganda dapat dilakukan proses sulfonasi (Gambar 3).
Gambar 3. Reaksi sulfonasi polistirena Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus ~SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya. Polimer dan agen sulfonasi harus berada pada fase yang sama. Pelarut yang digunakan tidak boleh bereaksi dengan polimer maupun dengan agen sulfonasi. Polistirena tersulfonasi (PST) akan memiliki gugus ~SO3H pada posisi para hasil dari ikatan silang. Adanya gugus ~SO3H menyebabkan polistirena tersulfonasi mudah melepaskan ion H+. Kemudahan polimer untuk melepaskan ion H+ mengakibatkan peningkatkan sifat konduktifitas ioniknya dan menyebabkan PST bermuatan, sehingga dapat diaplikasikan menjadi membran polimer elektrolit (PEM) baru untuk sel bahan bakar (fuel cell) (Jamal dkk., 2007).
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Agen Sulfonasi Asam sulfat dan asetil sulfat merupakan beberapa contoh agen pada proses sulfonasi. Kriteria pemilihan agen sulfonasi berdasarkan kompatibilitas dengan polimer, sifat pembentukan film, dan kekuatan mekanik dari polimer tersulfonasi yang diinginkan (Smitha dkk., 2003). 1. Asam sulfat 98 % : walaupun jumlah asam yang ditambahkan sedikit, namun polimer yang dihasilkan larut dalam air karena tingginya derajat sulfonasi yang dihasilkan. Pada penggunaan asam sulfat sebagai agen sulfonasi, derajat sulfonasi tidak dapat dikontrol. 2. Asetil sulfat : polistirena yang disulfonasi menggunakan reagen asetil sulfat akan menghasilkan distribusi gugus asam sulfonat yang homogen. Namun, polikarbonat terlalu reaktif terhadap asetil sulfat serta polifenilen oksida dan polisulfon tidak dapat disulfonasi menggunakan agen ini karena tidak memiliki kompatibilitas dengan reagen. Reaksi pembuatan aetil sulfat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi pembuatan asetil sulfat
8. Lempung Mineral lempung merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal (Sudrajat dan Apandi, 1989; Riyanto, 1994). Tanah lempung secara geologis adalah mineral alam dari keluarga silikat yang berbentuk kristal dengan struktur berlapis (sering disebut dengan struktur dua dimensional), dan mempunyai ukuran partikel lebih kecil dari 2 µm, berwarna agak kecoklat-coklatan dan mudah dibentuk dalam keadaan basah, serta mengeras dengan warna kemerah–merahan jika dibakar. Diantara lapisannya terdapat kation-kation yang berfungsi menyetimbangkan muatan negatif yang ada commit to user pada bidang lapisnya (Wijaya dkk., 2004; Wijaya dkk, 2005).
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Montmorilonit merupakan mineral lempung berstruktur lapis dengan tipe 2:1. Lempung alam Indonesia didominasi oleh lempung kelompok montmorilonit yang mudah menyerap air. Montmorilonit adalah jenis yang paling banyak menarik perhatian, karena montmorilonit mempunyai kemampuan untuk mengembang. Selain itu mineral ini memiliki kapasitas penukar ion yang tinggi sehingga mampu untuk mengakomodasi kation dalam antar lapisnya dalam jumlah besar.
Gambar 5. Struktur tiga dimensi dari montmorilonit (Tan, 1982)
Olphen (1997) mengemukakan nilai KTK montmorilonit kira-kira 70 meq/100 gram dan oleh karena besarnya nilai ini maka montmorilonit memperlihatkan sifat plastis dan melekat kuat jika basah
9. Karakterisasi Karakterisasi sampel bertujuan untuk mengetahui sifat fisik maupun kimia dari suatu sampel. karakterisasi yang umum dilakukan untuk aplikasi membran elektrolit sel bahan bakar yaitu analisis gugus fungsi menggunakan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR), analisis termal menggunakan alat Thermo Gravimetry Analysis (TGA), analisis derajat pengembangan (DP), Kapasitas Tukar Kation (KTK), kelarutan, dan analisis morfologi dengan mikroskop. a.
Analisis Gugus Fungsi Analisis gugus fungsi dalam suatu sampel dapat dilakukan dengan
mengunakan alat Fourier Transform Infra commit to userRed (FTIR). Spektroskopi IR ini
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
berfungsi untuk menentukan adanya suatu gugus fungsi dalam sampel dengan menganalisis ikatan kovalen yang terdapat dalam molekul (Fesenden, 1986). Menurut penelitian Mutiara (2008), terdapat tiga puncak serapan khas polistirena tersulfonasi yaitu pada bilangan gelombang 1180,44 cm-1 – 1161,15 cm-1 yang dihasilkan dari vibrasi streching simetrik O=S=O, vibrasi O-H pada bilangan gelombang 3446,79 cm-1, serta pada bilangan gelombang 904,61 cm-1 yang menunjukkan pada para-subtitusi benzena. Berdasarkan penelitian Wijaya (2005) pada lempung terdapat serapan pada bilangan gelombang 1637,5 cm-1 yang merupakan serapan dari H2O secara lengkung (O-H tekuk). Serapan gugus OH yang cukup kuat menunjukkan kuatnya ikatan OH dengan kation-kation yang ada pada antar lapis lempung. Pita serapan pada bilangan gelombang 1035,7 cm-1 diakibatkan oleh vibrasi regang Si-O-Si (stretching) oktahedral yang teramati sebagai puncak serapan yang lebar dengan intensitas yang jelas. Pita serapan pada 914,2 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi OH dari ~Al2OH pada lapisan oktahedral. Serapan pada bilangan gelombang 522,7 cm-1 adalah serapan karakteristik Si-O-Al (Al oktahedral), sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 464,8 cm-1 merupakan vibrasi tekuk Si-O-Si.
b.
Analisis Derajat Pengembangan (DP) Analisis pengembangan bertujuan untuk mengetahui kemampuan
sampel mengembang didalam cairan. Saat polimer dimasukkan dalam suatu cairan dapat terjadi suatu pelarutan dan pengembangan. Saat terjadi pengembangan molekul kecil cairan berdifusi ke dalam polimer dan menyebabkan penggembungan. pengembangan merupakan bagian dari proses pelarutan. Saat mengembang polimer hanya memiliki kemampuan kelarutan terbatas dalam cairan terebut. Pelarutan polimer dalam suatu cairan merupakan proses kelanjutan dari pengembangan. Secara umum, peningkatan massa molekul dan derajat kristalinitas, penurunan temperatur dapat menurunkan kemampuan pengembangan, dan pelarutan suatu polimer. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemampuan pengembangan berkaitan dengan transport proton dan kestabilan membran dalam air. Pada aplikasi sel bahan bakar, membran penghantar proton membutuhkan sejumlah air untuk berkoordinasi dengan proton (membran berada dalam keadaan terhidrasi) (Cui dkk., 2007). Akan tetapi membran dengan kemampuan mengangkut air (water uptake) yang berlebihan akan tidak diinginkan karena dapat merubah dimensi membran, menurunkan sifat mekanik, dan kemampuan menghantar proton.
c.
Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) Pertukaran ion merupakan salah satu proses penting untuk mengontrol
distribusi elemen dalam larutan dan fasa partikulat yang dapat meregulasi polutan-polutan logam dalam hidrosfer. Sebagai polimer anorganik, mineral lempung dikelompokkan pada penukar ion anorganik yang secara alami dapat mengadakan pertukaran dengan ion lain dari luar dengan adanya pengaruh air. Jumlah total kation yang mampu dipertukarkan oleh lempung didefinisikan sebagai kapasitas tukar kation (KTK). Kemampuannya berbeda-beda tergantung pada jenis komponen penyusunnya. Sifat inilah yang mewakili pemanfaatannya sebagai resin. Menurut Olphen (1997), lempung alam memiliki KTK berkisar antara 70 meq/100 gram. Penelitian membran polimer elektrolit sel bahan bakar sebelumya telah dilakukan oleh Manthiram dkk (2005) yaitu mengenai karakterisasi KTK, DP polisulfon tersulfonasi yang digunakan sebagai membran DMFC sel bahan bakar dengan variasi konsentrasi metanol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran
polistirena tersulfonasi dengan
sulfonasi 50-70 %
menunjukkan hasil yang dapat dibandingkan dengan Nafion 115 sehubungan dengan penurunan konsentrasi metanol, tetapi hasil tertinggi dicapai dengan konsentrasi metanol yang tinggi (2 M) daripada Nafion 115. Tetapi polimer ini masih memiliki kestabilan termal yang rendah. Sedangkan pada penelitian Lufrano dkk (2006) mengkaji tentang sintesis membran polisulfon tersulfonasi yang dapat digunakan untuk menggantikan asam perfluorosulfonat sebagai user penelitian menunjukkan tahap polimer elektrolit sel bahancommit bakar.toHasil
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sulfonasi dari 20 sampai 50 % dengan mudah dicapai oleh agen sulfonasi yang bervariasi dan waktu reaksinya. Kapasitas pertukaran ionnya 0,5-1,2 mmol ~SO3H/g. Konduktivitas proton antara 10-6 dan 10-2 S/cm. Analisis termal polisulfon tersulfonasi memiliki temperatur transisi glass yang lebih tinggi dan temperatur dekomposisi yang lebih rendah dibandingkan dengan material yang tidak tersulfonasi. Selain itu Handayani dkk (2007) dalam penelitiannya yaitu tentang penambahan polisulfon pada poli eter-eter keton untuk sel bahan bakar metanol langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan polisulfon terbaik adalah 10 % menghasilkan membran dengan kapasitas penukar ion 1,9 meq/g polimer, konduktivitas ioniknya 0,0017 S/cm, permeabilitas metanol 6,4.10-8 cm2/s (mengalami penurunan 6x jika tidak ditambahkan polisulfon), derajat pengembangan (DP) terhadap air 18 %, dan DP terhadap metanol 17 %.
d.
Penentuan Derajat Sulfonasi (DS) Derajat sulfonasi ialah presentase jumlah mol sulfonat dalam polimer
tersulfonasi (Martins dkk., 2003). Penentuan derajat sulfonasi dilakukan untuk mengetahui berapa banyak jumlah gugus sulfonat yang telah berikatan dengan polimer tersulfonasi.
B. Kerangka Pemikiran Membran komposit PST/lempung dipengaruhi oleh variasi komposisi sulfonat terhadap nilai KTK komposit. Semakin banyak jumlah sulfonat yang ditambahkan maka nilai KTK akan semakin besar dan semakin polar tetapi rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Polistirena tersulfonasi (PST) memiliki gugus sulfonat (~SO3H), adanya gugus ~SO3H menyebabkan polistirena tersulfonasi mudah melepaskan ion H+. Semakin banyak gugus sulfonat (~SO3H) yang ditambahkan maka ion H+ yang dapat dipertukarkan juga semakin besar, sehingga meningkatkan nilai KTK, dan menurunkan kestabilan termalnya. Variasi komposisi lempung akan mempengaruhi kestabilan termal dari commit user komposit yang dihasilkan. Semakin besartokomposisi lempung yang ditambahkan
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maka stabilitas termal komposit akan semakin meningkat, sebab lempung memiliki ketahanan termal yang tinggi. Selain itu juga penambahan lempung menaikkan nilai KTK membran, semakin banyak lempung maka kation yang dapat dipertukarkan juga akan semakin besar.
C. Hipotesis 1. Variasi komposisi sulfonat akan mempengaruhi nilai KTK, dan termal komposit yang dihasilkan, semakin tinggi sulfonat yang ditambahkan maka nilai KTK juga akan semakin meningkat, tetapi kestabilan termalnya menurun. 2. Komposisi lempung akan mempengaruhi kestabilan termal komposit yang
dihasilkan. Semakin banyak komposisi lempung maka nilai KTK dan kestabilan termal komposit juga semakin tinggi.
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
metode
eksperimental laboratorium untuk memperoleh data, hasil dan sintesis komposit polistirena tersulfonsi berpengisi lempung. Komposit yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi menggunakan fourier transform infra red (FT-IR), analisis termal, derajat pengembangan (DP), kapasitas tukar kation (KTK), derajat sulfonasi (DS), X-rays difractometer (XRD), dan mikroskop.
B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan di Laboratorium Dasar Kimia MIPA UNS, Laboratorium Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta Sub Laboratorium Kimia, dan Laboratorium MIPA terpadu UNS.
C. Alat dan Bahan Alat: Seperangkat alat gelas, seperangkat alat refluks, ember plastik, stirrer, timbangan (Metler Toledo), plat kaca, oven (Memmert), Mikroskop Nikon Eclipse, FT-IR (Shimadzu Prestige 21) , XRD (Shimadzu 600), dan TGA (Linseis STA PT-1600). Bahan:
Polistirena Mw 350000 (Aldrich), Lempung dari Kecamatan
Wonosegoro Boyolali, H2SO4 96 % (Merck), anhidrat Asetat (Merck), diklorometana (Merck), 2-propanol p.a (Merck), NaOH (Merck), HCl (Merck), NaCl (Merck), akuades, Poli etilen glikol (PEG) 1000 (Merck), Dimetil asetamida (DMAc) (Merck).
D. Prosedur Penelitian 1. Preparasi Lempung Lempung dilarutkan dalam 2 L aquades kemudian disaring menggunakan kain. Endapan diambil dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Pengeringan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selanjutnya menggunakan oven pada suhu 120 oC hingga kering kemudian dihaluskan dan diayak 150 mesh (Wijaya dkk., 2005).
2. Pembuatan Asetil Sulfat Sebanyak 395,7 mL 1,2-diklorometana dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang sudah direndam es batu lalu ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 76,3 mL dan diaduk. Campuran tersebut didinginkan sampai suhu di bawah 10 oC dan ditambahkan asam sulfat 96 % sebanyak 28 mL serta diaduk sehingga diperoleh 500 mL larutan asetil sulfat 1 M (Smitha dkk., 2003; Makowski dkk., 1975, 1980; Martins dkk., 2003; Rubinger dkk., 2007)
3. Pembuatan Polistirena Tersulfonasi Sebanyak 20 mL 1,2-diklorometana dimasukkan dalam labu leher dua lalu ditambahkan polistirena sebanyak 8 gram, distirrer sampai semua polistirena larut. Setelah polistirena larut ditambahkan asetil sulfat sebanyak 10 mL sampai dengan 50 mL dan direfluks pada suhu 50 oC selama 1 jam. Reaksi diterminasi dengan penambahan 2-propanol sebanyak 10 mL. Polistirena tersulfonasi (PST) diisolasi dengan meneteskan larutan PST kedalam air mendidih sehingga diperoleh padatan polistirena tersulfonasi. PST dioven pada suhu 60 oC selama satu malam untuk mendapatkan polistirena tersulfonasi kering (Smitha dkk., 2003 Makowski dkk., 1975, 1980; Martins dkk., 2003; Rubinger dkk., 2007).
4. Pembuatan Membran Komposit Polistirena tersulfonasi sebanyak 2 gram dan PEG sebanyak 1 gram dilarutkan dalam larutan dimetil asetamida (DMAc) hingga berat totalnya 10 gram. Kemudian dicampur dengan lempung yang telah dihaluskan dan disaring dengan penyaring berpori 150 mesh. Pada Tabel 1 merupakan data komposisi massa material penyusun membran komposit. Kandungan PST dan PEG dalam membran dibuat tetap yaitu 20 dan 10 % dari berat total larutan cetak, dan kandungan lempung serta DMAc dibuat bervariasi. Pembentukan campuran user homogen dibantu dengan stirercommit sampaito campuran homogen lalu didiamkan
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semalam. Setelah terbentuk campuran yang homogen kemudian membran dicetak pada plat kaca dan dikeringkan pada suhu ruang (Jamal dkk., 2007; Handayani dkk., 2008). Tabel 1. Perbandingan Komposisi dalam Sintesis Membran Komposit Membran KTL KLC
KLA
PST (%) 20 20 20 20 20 20 20
PEG (%) 10 10 10 10 10 10 10
Lempung (%) 0 3 5 7 3 5 7
DMAc (%) 70 67 65 63 67 65 63
5. Karakterisasi Membran Komposit a. Analisa Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Derajat Sulfonasi (DS) Polistirena tersulfonasi, atau lempung, atau membran dimasukkan dalam gelas beker lalu ditambahkan HCl 0,1 M sebanyak 50 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dioven pada suhu 50-60 oC selama satu jam. Setelah satu jam campuran tersebut disaring sehingga diperoleh endapan/padatan dan filtrat. Padatan tersebut selanjutnya direndam dengan NaCl 1 M sebanyak 100 mL dan distirer selama 12 jam kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh diambil 25 mL dan ditambahkan 3 tetes indikator fenoftalein (PP) kemudian dititrasi dengan NaOH 0,05 M sampai terjadi perubahan warna dari bening ke merah muda. Saat terjadi perubahan warna catat volume NaOH yang dibutuhkan (Chen dkk., 2004; Lufrano dkk., 2001, 2000) Rumus yang digunakan untuk menghitung KTK (Smitha dkk., 2003) adalah : …………………………………………………...... 1
Rumus yang digunakan untuk menghitung DS (Mutiara., 2008) adalah :
commit to user
………………………………………….... 2 ……………………...... 3
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
……………..……………...... 4
b. Derajat Pengembangan (DP) Potongan membran 2 cm x 2 cm dioven pada suhu 50-60 oC selama 12 jam kemudian ditimbang berat keringnya. Setelah itu direndam dengan aquades selama 24 jam
lalu
ditimbang berat
basahnya lalu
dihitung derajat
pengembangannya (DP). (Smitha dkk., 2003). Rumus yang digunakan adalah : ……………..…...... 5
Ms = massa polimer basah Md = masa polimer kering c. Analisis Struktur Perkembangan struktur membran komposit, PS, PST, dan lempung ditentukan dengan menggunakan alat spektrofotometer FTIR. Spektrum FTIR dicatat antara bilangan gelombang 4000 hingga 400 cm-1 dengan metode plat KBr.
d. Analisa Termal Stabilitas termal membran komposit, PS, PST, dan lempung dianalisa menggunakan alat TGA dengan range suhu 40-700 0C dan laju pemanasan 20 o
C/menit serta menggunakan krus Al2O3.
E. Teknik Pengumpulan Data Material dan komposit yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan FT-IR, XRD, analisa termal (TGA), KTK, DP, DS, dan mikroskop. Dari analisis dengan FTIR akan diperoleh informasi mengenai gugus-gugus fungsi dalam komposit polistirena tersulfonasi berpengisi lempung. Analisis XRD akan dihasilkan data tentang derajat kristalinitas dari komposit tersebut. TGA akan diperoleh informasi mengenai kestabilan termalnya, derajat sulfonasi dan KTK untuk mengetahui seberapa besar kapasitas tukar kationnya. Derajat pengembangan untuk commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengetahui kemampuan mengembang terhadap air serta morfologi permukaannya dapat dilihat dengan mikroskop.
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sintesis Polistiren Tersulfonasi Polistirena merupakan polimer yang terdiri dari rantai karbon dan benzena, hal ini yang menyebabkan polistirena tidak larut dalam pelarut air (polar). Dimana semakin banyak kandungan karbon dan benzena dalam senyawa maka senyawa tersebut memilki sifat semakin non-polar. Adanya penambahan gugus fungsi dalam suatu polimer akan mampu merubah sifat kelarutannya terhadap pelarut yang sama dibandingkan polimer awalnya. Salah satunya adalah reaksi sulfonasi. Polistirena mengandung gugus benzena yang bisa dimodifikasi dengan proses reaksi subtitusi seperti sulfonasi. Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus ~SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya. Polimer dan agen sulfonasi harus berada pada fase yang sama. Pelarut yang digunakan tidak boleh bereaksi dengan polimer maupun dengan agen sulfonasi. Dalam sulfonasi, kita dapat menggunakan asam sulfat pekat atau asam sulfat berasap. Elektrofiliknya dapat berupa sulfur trioksida (~SO3) atau sulfur trioksida terprotonasi (~SO3H+) (Fesenden, 1986). Dalam penelitian ini dilakukan penambahan gugus sulfonat (sulfonasi) pada polistirena untuk meningkatkan kemampuan penghantar proton. Sulfonasi dapat dilakukan dengan penambahan agen sulfonat yaitu asetil sulfat. Pemilihan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi didasarkan pada sifat polistirena yang mudah bereaksi dengan asetil sulfat sehingga distribusi gugus sulfonat homogen, selain itu derajat sulfonasi dapat dikontrol (Smitha dkk., 2003). Dengan dilakukannnya sulfonasi pada polistirena akan mengakibatkan senyawa yang terbentuk memiliki muatan yang berasal dari sulfonasi tersebut (~SO3H). Hal ini mengakibatkan senyawa yang terbentuk (PST) akan memiliki sifat lebih polar dibandingkan dengan sebelum dilakukan sulfonasi. Pembuatan larutan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi dilakukan dalam commit to user suhu kurang dari 10 oC untuk mencegah bumping dan penguapan pelarut. Saat
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembuatan
asetil
sulfat
dan
polistirena
tersulfonasi
(PST),
digunakan
diklorometana sebagai pelarut dari agen sulfonasi dan polimer, agar kondisi reaksi sulfonasi lebih homogen. Reaksi sintesis asetil sulfat dan reaksi sulfonasi polistirena dapat dilihat pada Gambar 4 dan 3 (Martins dkk., 2003). Polistirena tersulfonasi (PST) terdapat gugus sulfonat yang berguna untuk aplikasi pertukaran ion. Secara natural PST bersifat higroskopis. Penambahan asetil sulfat sebanyak 10 mmol diberi kode PST 10, begitu juga dengan penambahan asetil sulfat sebanyak 20 mmol diberi kode PST 20 dan seterusnya. Polistirena tersulfonasi (PST) yang dihasilkan pada penelitian ini berupa padatan berwarna putih. PS dan PST yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6.
a
b
Gambar 6. a) Polistirena b) Polistirena tersulfonasi (PST) 1. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK), Derajat Sulfonasi (DS), dan Rendemen. Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kemampuan suatu material untuk menukarkan kation yang terikat pada gugus fungsinya dengan kation lain yang diberikan pada sistem. Secara teori, semakin besar jumlah sulfonat yang dimiliki polimer maka nilai KTK nya pun semakin tinggi, hal ini disebabkan adanya gugus ~SO3H menyebabkan polistirena tersulfonasi mudah melepaskan ion H+. Dalam pembuatan membran polimer elektrolit untuk sel bahan bakar diperlukan polimer yang memiliki nilai KTK yang besar karena kapasitas ioniknya semakin besar dan kemampuan menghantarkan listriknya pun semakin besar.
Analisis kelarutan/rendemen dilakukan untuk mengetahui kelarutan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
polistirena tersulfonasi (PST), sehingga diketahui nilai rendemennya. Hasil analisis KTK dan kelarutan ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan komposisi sulfonat, KTK, dan rendemen
Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai KTK PST 40 yang seharusnya lebih tinggi dari PST 30, tetapi pada penelitian ini PST 40 menjadi lebih kecil dari PST 30. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang sudah dikemukakan. Kecilnya KTK PST 40 dikarenakan distribusi sulfonat dalam polimer kecil, sehingga reaksi yang terjadi antara sulfonat dengan polimernya tidak maksimal, hal ini dibuktikan dengan data derajat sulfonasi (DS). Kemungkinan lain kecilnya nilai KTK PST 40 disebabkan bagian PST 40 yang banyak mengandung agen sulfonat larut dan belum bisa isolasi, tetapi bagian yang sedikit mengandung sulfonat bisa diisolasi sehingga diperoleh nilai KTK kecil apabila dilakukan analisa KTK. Dari keempat PST variasi sulfonat di atas, yang digunakan untuk pembuatan membran polimer elektrolit dalam penelitian ini adalah PST 30. Hal ini dikarenakan PST 30 memiliki nilai KTK besar yaitu 1,77 meq/g, rendemen 94, 23 %, dan DS yang tinggi sehingga yang dipilih untuk pembuatan membran polimer elektrolit adalah PST 30. Data hubungan komposisi sulfonat, nilai KTK, dan kelarutan dapat dilihat rendemen yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah sulfonat yang ditambahkan to user maka semakin besar nilai KTKcommit dan kelarutannya sehingga rendemen yang
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dihasilkan akan semakin kecil. Tinggi rendahnya rendemen dipengaruhi oleh gugus sulfonat yang terkandung dalam benzena, dimana semakin banyak jumlah sulfonat yang ditambahkan maka polimer semakin polar. Dari Gambar 7, menunjukkan
bahwa semakin
banyak komposisi gugus
sulfonat
yang
ditambahkan mengakibatkan rendemen polimer semakin kecil. Dari data rendemen dapat dilihat nilai rendemen PST 10 adalah sebesar 98,65 %, sedangkan PST 20 sebesar 96,11 %, PST 30 sebesar 94,23 %, dan PST 40 sebesar 71,71 %. PST 30 memiliki nilai KTK dan rendemen yang tinggi, hal ini yang menjadi alasan
digunakannnya
PST 30
dalam
pembuatan
membran
komposit
PST/lempung. Polistirena tersulfonasi memiliki batasan derajat sulfonasi karena polimer larut dalam air pada derajat sulfonasi yang tinggi. Interaksi ikatan cukup kuat dapat terjadi antara molekul air dengan gugus asam sulfonat, interaksi ini dapat mempengaruhi transport air dan proton melalui membran. Derajat sulfonasi dapat dikontrol sesuai dengan keinginan dengan mengatur lama waktu polimerisasi dan jumlah agen sulfonat yang ditambahkan. Proses sulfonasi dapat dilakukan pada tahap awal sintesis polimer yang akan disulfonasi, atau polimer yang telah dihasilkan. Pada homopolimer apapun yang memilki cincin aromatik dapat dilakukan sulfonasi. Banyaknya komposisi sulfonasi yang bereaksi dengan polimer ditunjukkan dengan hubungan komposisi sulfonat dengan derajat sulfonasi (DS) yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan komposisi sulfonat dengan derajat sulfonasi (DS) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
Gambar 8 dapat dilihat bahwa PST 30 memberikan pengaruh konduktivitas yang lebih tinggi dibanding PST 10, 20, dan 40 . Hal ini disebabkan karena PST 30 memiliki derajat sulfonasi (DS) paling tinggi yaitu sebesar 32,57 % sehingga jumlah gugus fungsi penukar proton (agen sulfonat) pada PST (~SO3H) lebih banyak dibanding jumlah agen sulfonat pada PST 10, 20, dan 40.
2.
Analisis Gugus Fungsi Untuk mengetahui gugus fungsi pada polistirena tersulfonasi (PST) dan
polistirena (PS) dilakukan analisis FTIR. Dari analisis FTIR tersebut dapat diketahui bilangan gelombang dari masing-masing serapan, karena masingmasing serapan tersebut menunjukkan gugus fungsional yang terkandung dari material yang di analisis. Pada penelitian ini, dianalisis spektra IR dari PST 10, 20, 30, 40 dan membandingkannya dengan polistirena standar, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah PST 10, 20, 30, dan 40 benar-benar terbentuk. Spektra IR polistirena standar dan polistirena tersulfonasi (PST) ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Spektra IR polistirena dan polistirena tersulfonasi (PST) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
Gambar 9 menjelaskan bahwa polistirena tersulfonasi memiliki spektra yang hampir sama dengan spektra polistirena standar. Pada spektra PST ini juga muncul spektra baru yaitu pada bilangan gelombang 1222,87 cm-1, 1205,51 cm-1, 1176,58 cm-1,
dan 1124,50 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi dari gugus
fungsi O=S=O yang simetris dan gugus fungsi S-O. Menurut Smita (2003), gugus sulfonat berada pada rentang 1000 dan 1400 cm-1. Spektra sulfonat ini merupakan anion sulfonat yang terikat pada cincin fenil. Adanya perbedaan nilai pita vibrasi sulfonat hasil sintesis dibandingkan dengan literatur disebabkan karena terbentuknya ikatan baru berupa gugus sulfonat sehingga pita vibrasi awal mengalami pergeseran. Data spektra IR tersebut menunjukkan bahwa polistirena telah tersulfonasi. Spektra dan data IR polistirena tersulfonasi (PST) dengan variasi sulfonat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Spektra IR polistirena tersulfonasi (PST) commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Polistirena tersulfonasi memiliki spektra yang hampir sama dengan spektra polistirena standar. Pada spektra PST ini juga muncul spektra serapan sulfonat yang menunjukkan adanya vibrasi dari gugus fungsi O=S=O yang simetris dan gugus fungsi S-O. Pada PST 10 serapan sulfonat berada pada 1174,65 cm-1, 1155,36 cm-1 dan 1124,50 cm-1, untuk PST 20 serapan sulfonat berada pada 1153,43 cm-1 dan 1124,50 cm-1, sedangkan PST 30 serapan sulfonat berada pada 1220,94 cm-1, 1174,65 cm-1 dan 1124,50 cm-1, dan PST 40 serapan sulfonat berada pada 1222,87 cm-1, 1205,51 cm-1, 1176,58 cm-1, dan 1124,50 cm-1. Data spektra IR tersebut menunjukkan bahwa polistirena telah tersulfonasi dengan variasi komposisi sulfonat.
3.
Analisis Termal Untuk mengetahui stabilitas termal dari PS dan PST dilakukan analisis
termal TGA. Dalam analisis TGA, sampel mulai mengalami perubahan atau reaksi ditunjukkan oleh penyimpangan terhadap garis horizontal dan reaksi telah sempurna apabila tercapai kurva horizontal dan tidak mengalami perubahan kembali (plateu). Suatu reaksi yang tidak diikuti oleh adanya perubahan massa, tidak dapat dianalisis dengan TGA. Hasil TGA PS dan PST ditunjukkan pada Gambar 11.
to userPS dan PST Gambar 11.commit Termogram
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
Gambar 11 menunjukkkan bahwa PS murni mengalami satu tahap degradasi, yaitu degradasi rantai utama polimer polistirena pada suhu 329 oC. Sedangkan PST mengalami 2 tahap degradasi, yaitu degradasi pertama pada suhu 40-120 oC merupakan proses lepasnya air. Adanya kandungan air dalam PST diakibatkan dari masuknya gugus sulfonat, dimana gugus sulfonat bersifat higroskopis yang mampu membentuk ikatan hidrogen. Degradasi yang kedua adalah degradasi rantai utama polimer polistirena yang mulai terdegradasi sekitar suhu 296 oC. Termogran PS dan PST dapat dilihat bahwa penambahan sulfonat mengakibatkan penurunan kestabilan termal. Hal ini dapat dilihat bahwa rantai utama polistirena untuk polistirena murni mulai terdegradasi pada suhu 329 oC, sedangkan polistirena tersulfonasi 10 (PST 10) mengalami penurunan ketahanan termal, ditandai dengan suhu awal kehilangan massa pada suhu 325
o
C.
Polistirena tersulfonasi 20 (PST 20) mulai terdegradasi pada suhu 311 oC, PST 30 terdegradasi pada suhu 309 oC, dan PST 40 terdegradasi pada suhu 296 oC. Jadi semakin banyak agen sulfonat yang ditambahkan maka mengakibatkan ketahanan termal dari polimernya semakin menurun.
B. Sintesis Komposit Sintesis komposit PST/lempung bertujuan untuk mendapatkan komposit dengan sifat material yang lebih baik dibandingkan sifat material penyusunnya. Pada penelitian ini dibuat komposit yang terdiri dari polistirena tersulfonasi (PST), dan lempung sebagai material penyusunnya. Selain itu digunakan PEG 1000 sebagai pemlastis, supaya membran yang dihasilkan elastis atau tidak kaku. Sedangkan dimetil asetamida (DMAc) dipilih sebagai pelarut karena DMAc dapat melarutkan material penyusun membran komposit. Pada Tabel 1 menunjukkan data komposisi massa material penyusun membran komposit. Kandungan PST dan PEG dalam membran dibuat tetap yaitu 20 dan 10 % dari berat total larutan cetak, dan kandungan lempung serta DMAc dibuat bervariasi, sehingga berat total commit to user larutan cetak 10 g.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk mendapatkan membran komposit, pembuatan membran dilakukan dengan teknik inversi fasa. Tahapan pembuatan membran komposit dengan teknik inversi fasa melewati beberapa tahap, diantaranya pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan larutan cetak, penguapan sebagian pelarut, dan difusi pelarut dengan non pelarut (Mulder, 1996). Penguapan sebagian pelarut diatas pelat kaca menyebabkan pelarut DMAc pada lapisan atas akan mengalami difusi ke atmosfer. Ini menyebabkan lapisan atas akan kekurangan pelarut sedangkan lapisan bawahnya kaya pelarut. Faktor penguapan ini dapat dipengaruhi oleh suhu ruang dan kelembaban udara pada saat pencetakan. Pada proses ini akan terjadi pemisahan fasa. Selama pemisahan fasa berlangsung, fasa yang kaya polimer akan membentuk matriks membran, sedangkan fasa yang mengandung polimer terlarut (miskin polimer) akan membentuk pori. Karena lapisan atas film memiliki sedikit pelarut daripada lapisan bawahnya, maka lapisan atas akan mempunyai pori dengan ukuran yang lebih kecil dari lapisan bawahnya. Ukuran pori yang berbeda antara lapisan atas dan bawah membran menyebabkan membran berbentuk asimetrik. Selektifitas membran asimetrik ditentukan oleh lapisan atas (lapisan aktif) membran. Membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 62. Membran komposit
Penamaan membran disesuaikan dengan komposisi lempungnya, misalnya membran dengan komposisi lempung coklat 3 % diberi nama KLC 3 % dan seterusnya. KTL (Komposit Tanpa Lempung), KLC (Komposit Lempung Coklat), dan KLA (Komposit Lempung Abu-abu). Dengan adanya gugus OH pada lempung dan gugus sulfonat pada PST diharapkan membran komposit ini dapat commit to user memiliki karakteristik sebagai penghantar proton dalam aplikasi sel bahan bakar.
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
1. Analisis Gugus Fungsi Untuk mengetahui gugus fungsi pada komposit PST/lempung dilakukan analisis FTIR. Dari analisis FTIR tersebut dapat diketahui bilangan gelombang dari masing-masing material penyusun komposit membran. Data FTIR komposit membran PST/lempung ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Spektra IR PST, lempung dan kompositnya
Gambar 13 menunjukkan bahwa lempung coklat (LC), lempung abu-abu (LA), komposit tanpa lempung (KTL), komposit lempung coklat (KLC) dan komposit lempung abu-abu (KLA) mempunyai spektra yang tidak jauh berbeda. Nampak adanya sedikit perbedaan dari spektra infra merah tersebut yaitu hilangnya puncak refleksi dari lempung pada daerah sekitar 1600 cm-1 -1400 cm-1, commit to user dan juga terjadi pergeseran bilangan gelombang pada beberapa puncak spektra
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti pada rentangan Si-O-Si dan dari 1047,35 cm-1 (LA) dan 1043,49 cm-1 (LC) pada lempung menjadi 1033,85 cm-1 pada komposit KLC dan KLA. Pita serapan pada 918,12 – 925,83 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi OH dari ~Al2OH pada lapisan oktahedral. Serapan bilangan gelombang 522,71 – 524,64 cm-1 adalah serapan karakteristik Si-O-Al (Al oktahedral), sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 468,7 cm-1 merupakan vibrai tekuk Si-O-Si. Hal ini menunjukkan bahwa membran komposit polistiren tersulfonasi lempung telah berhasil di sintesis.
2. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Derajat Pengembangan (DP). Kemampuan membran dalam menyerap air menentukan kinerjanya sebagai membran penukar proton dalam sel bahan bakar. Kemampuan penyerapan air pada membran PST dan membran komposit PST/lempung ditentukan oleh banyaknya gugus hidrofil pada membran dan juga daya ikat antar rantai pada membran. Membran komposit PST/lempung memiliki situs hidrofil yang bersumber dari gugus ~SO3H dan lempung. Banyaknya gugus hidrofil tersebut mengakibatkan penyerapan air sangat tinggi. Selain itu juga penambahan PEG juga akan meningkatkan gugus OH dalam membran sehingga membran ini memiliki karakter yang sangat hidrofil dan mudah menyerap air. Membran yang bersifat hidrofil akan menyebabkan semakin banyak air yang terserap oleh membran sehingga transpor proton akan semakin baik, tetapi jika nilai derajat pengembangan terhadap air pada membran terlalu besar akan terjadinya fuel cross over dan menurunkan sifat mekanik membran yang menyebabkan kerapuhan pada membran (Handayani dkk., 2007). Hubungan KTK dan derajat pengembangan hasil penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 14 dan 15.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Gambar 14. Hubungan komposisi lempung coklat, KTK, dan DP
Gambar 15. Hubungan komposisi lempung abu-abu, KTK, dan DP Gambar 14 dan 15 dapat dilihat bahwa lempung coklat memiliki nilai KTK yang lebih tinggi daripada lempung abu-abu, jadi dapat disimpulkan bahwa lempung coklat memiliki daya transpor proton yang lebih tinggi sehingga kapasitas ioniknya pun lebih tinggi daripada lempung abu-abu. Sedangkan membran komposit dengan penambahan lempung memiliki nilai KTK yang lebih commit to user tinggi dibandingkan membran komposit tanpa lempung (KTL). Hal ini
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membuktikan bahwa lempung meningkatkan sifat penukar kation dalam membran, karena lempung mengandung ion-ion yang menyebabkan membran lebih bersifat hidrofil sehingga transpor proton dalam membran juga akan semakin meningkat. Pada KLC, semakin meningkat komposisi lempung yang ditambahkan, semakin meningkat nilai KTK nya, karena gugus OH dalam membran pun semakin banyak dan makin bersifat hidrofil, tetapi pada KLA, komposisi lempung 5 % memiliki nilai KTK lebih rendah daripada 3 %. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada KLA 3 % distribusi lempung pada membran lebih merata daripada KLA 5 %, sehingga pada analisis kemungkinan potongan membran yang digunakan adalah potongan yang distribusi lempungnya tidak merata sehingga nilai KTK KLA 5 % yang seharusnya lebih besar dari KLA 3 % menjadi lebih kecil. Membran
tanpa
penambahan
lempung
memiliki
nilai
derajat
pengembangan yang tinggi dibandingkan dengan membran dengan lempung (KLC dan KLA). Penambahan lempung ke dalam membran mengakibatkan penurunan derajat pengembangan membran. Penurunan derajat pengembangan memberikan efek positif dalam aplikasi membran karena akan menghambat terjadinya fuel cross over proses permeasi bahan bakar melalui membran tetapi menurunnya DP terhadap air juga mengakibatkan media transport untuk proton jadi berkurang sehingga dapat menyebabkan menurunnya konduktivitas ionik (proton). Menurut Chen (2004), Fuel cross over dapat terjadi apabila derajat pengembangannya melebihi 30 %. Apabila suatu membran memiliki derajat pengembangan lebih dari 30 %, maka membran tersebut tidak dapat dijadikan membran polimer elektrolit untuk sel bahan bakar karena dengan derajat pengembangan tersebut akan terjadi fuel cross over.
3.
Analisis Termal Dalam aplikasinya, PEMFC beroperasi pada suhu yang tidak terlalu tinggi
yaitu 60-150 oC, tetapi untuk pemakaian jangka panjang dibutuhkan membran yang memiliki stabilitas/ketahanan termal yang tinggi. Untuk mengetahui commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
stabilitas termal PST, lempung, dan komposit PST/lempung dilakukan analisis dengan TGA. Dalam
proses
pemecahan
molekul
Hidrogen
(H2)
menjadi
H+
membutuhkan temperatur yang tinggi dan semakin tinggi temperatur operasi maka semakin tinggi H+ yang dihasilkan. Dalam penelitian ini karakterisasi sifat termal dilakukan pada material penyusun dan membran komposit yang dihasilkan. Hasil TGA KLA ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Termogram komposit lempung abu-abu Gambar 16 menunjukkan penambahan konsentrasi lempung dalam membran merubah sifat termal membran, semakin banyak jumlah lempung yang ditambahkan, maka stabilitas termal komposit semakin tinggi, Hal ini terbukti pada termogram komposit lempung abu-abu, komposit tanpa lempung (KTL) rantai utama polistirena mengalami terdegrasi termal pada suhu 336
o
C,
sedangkan komposit lempung abu-abu 3 % (KLA 3 %) mengalami degradasi commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rantai utama polistirena pada suhu 354 oC, KLA 5 % pada suhu 374 oC, dan KLA 7 % pada suhu 355 oC. Sedangkan termogram KLC dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Termogram komposit lempung coklat Gambar 17 menunjukkan fenomena yang sama terjadi pada komposit lempung coklat, komposit lempung coklat 3 % (KLC 3 %) mengalami degradasi rantai utama polistirena pada suhu 353 oC, KLC 5 % pada suhu 363 oC, dan KLC 7 % pada suhu 365 oC. Termogram komposit lempung coklat menjelaskan bahwa penambahan lempung menaikkan sifat termal dari komposit membran, hal ini terbukti dari degradasi termal KLA dan KLC lebih tinggi daripada KTL. Untuk termogram gabungan dapat dilihat pada Gambar 18.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 18. Termogram gabungan Gambar 18 menjelaskan bahwa terjadi tiga tahap degrasi yaitu pelepasan molekul air yang terjadi pada suhu 40-120 oC, degradasi PEG terjadi antara 203280 oC dan rantai utama PST sekitar 290-440 oC. Hampir semua komposisi mengalami degradasi pada suhu yang sama yaitu diatas 150 oC. Suhu degradasi ini masih diatas degradasi membran tanpa adanya lempung. Dalam aplikasinya membran penukar proton akan bekerja pada suhu 60–150 oC, oleh karena itu membran yang dihasilkan dari penelitian ini sangat berpotensi dijadikan sebagai membran penukar proton dalam sel bahan bakar.
4.
Analisis XRD Penentuan jenis mineral lempung dilakukan dengan difraktometer sinar x,
dengan range scan 3-70 o, laju scan 5 o/menit, dan menggunakan sumber radiasi Cu-Kα. Dengan menggunakan difraksi sinar X (XRD), lempung memberikan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19. commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 19. Difaktogram PST, lempung, dan komposit Gambar 19 diatas menunjukkan adanya puncak-puncak yang muncul pada sudut difraksi (2θ) tertentu. Dari difraktogram terlihat bahwa lempung dan kompositnya memiliki puncak pada 2θ = 19,92 o dan 2θ = 6,5 o yang merupakan daerah karakteristik mineral montmorilonit. Dari difraktogram tersebut, dapat dikatakan bahwa lempung coklat banyak mengandung montmorilonit, sedangkan lempung abu-abu sedikit mengandung montmorilonit. Jadi kedua lempung merupakan lempung jenis montmorilonit. commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Difraktogram PST 30 menunjukkan bahwa polistirena tersulfonasi (PST) memiliki puncak pada dua dheta sekitar 21 o, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Martins dkk (2003) bahwa PST memiliki puncak 2θ antara 19-21 o. Difraktogram komposit menjelaskan bahwa sampel komposit memiliki puncak yang sama dengan puncak LA, LC dan PST, hal ini membuktikan bahwa dalam membran komposit mengandung LA, atau LC, dan PST. Sehingga membran komposit berhasil disintesis, baik KTL, KLA, dan KLC.
5.
Analisis Morfologi Membran Komposit Untuk mengetahui struktur morfologi membran KTL, KLC dan KLA
dilakukan analisis mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Hasil analisis mikroskop KTL dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Hasil mikroskop komposit tanpa lempung (KTL)
Gambar 20 di atas dapat dilihat bahwa membran komposit tanpa penambahan lempung (KTL) menghasilkan membran dengan morfologi yang cukup homogen/rata, meskipun masih ada bercak-bercak. Kemungkinan bercakbercak tersebut merupakan PST yang belum larut sempurna dengan pelarutnya (DMAc), sehingga masih berbentuk gumpalan-gumpalan, atau ada debu yang menempel pada saat pencetakan dan penguapan membran. Kemungkinan yang lain adalah disebabkan oleh gelembung udara yang terbentuk diantara distribusi material penyusunannya. Sedangkan morfologi KLA dan KLC dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 21. Hasil mikroskop (a) KLA 3 %, (b) KLA 5 %, (c) KLA 7 %.
Gambar 22. Hasil mikroskop (a) KLC 3 %, (b) KLC 5 %, (c) KLC 7 %. Gambar 21 dan 22 di atas dapat dilihat bahwa penambahan lempung dalam membran komposit menghasilkan membran komposit yang kurang homogen. Hal ini dikarenakan partikel lempung yang kurang halus menyebabkan lempung tersebut kurang larut dalam larutan cetak, sehingga pada saat larutan di cetak pada media plat kaca, lempung dalam larutan terdistribusi tidak merata. Selain itu juga semakin banyak jumlah lempung yang ditambahkan dalam membran komposit mengakibatkan lempung yang terkandung dan tersebar dalam membran semakin banyak, baik pada lempung coklat maupun lempung abu-abu.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Semakin banyak komposisi sulfonat yang ditambahkan maka dapat meningkatkan nilai KTK, tetapi kestabilan termal, dan rendemennya menurun. 2. Semakin banyak kandungan lempung dalam membran komposit, maka nilai KTK, dan kestabilan termal membran meningkat.
B. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, penulis memberikan saran antara lain: 1. Modifikasi polistirena tersulfonasi dengan oksida lain seperti vermikulit, ilit, atau kaolit untuk memperoleh nilai KTK yang lebih tinggi. 2. Pengaruh variasi ukuran partikel dari lempung sebagai material penyusun membran komposit polimer elektrolit untuk aplikasi sel bahan bakar.
commit to user