Membantu Orang Lain Meningkatkan Kemampuan Literasi Media (Helping Others Increase Media Literacy) Bab ini berfokus pada bagaimana cara kita membantu orang lain untuk meningkatkan kemampuan literasinya terhadap media. Bagian pertama pada bab ini akan membantu kita untuk berpikir tentang pengaturan interpersonal yang secara relatif dalam kesempatan berskala kecil membantu untuk membantu orang lain, lalu bagian kedua akan membantu kita berpikir tentang pengaturan institusional yang didalamnya terdapat struktur sosial yang lebih besar dari sebuah sistem edukasi dan industri media. Apakah kita akan melakukan tantangan pekerjaan dengan orang perseorangan atau dalam skala yang besar, hal terpenting yang harus dilakukan adalah kta harus meningkatkan kemampuan literasi media kita hingga level yang relatif tinggi agar kita memiliki sesuatu yang bermanfaat untuk ditawarkan pada orang lain. Kunci penting dalam bab ini adalah kita memiliki kekuatan untuk mengembangkan strategi literasi media untuk mempengaruhi masyarakat dan individu lain. (Potter, 2008)
Teknik Interpersonal Teknik interpersonal membuat kita berorientasi dengan tujuan membantu individu lain dengan literasi media mereka. Dimulai dengan mengidentifikasi individu yang mungkin berada dalam resiko untuk terkena dampak negatif dari media dan berinteraksi dengan mereka. Banyak orang membidik targetnya pada anak-anak karena anak-anak dianggap ada pada level perkembangan yang rendah dan membutuhkan lebih banyak perhatian untuk membentuk kebiasaan mereka akan terpaan media dan kewaspadaan mereka pada efek potensial, oleh karena itu anak-anak sering disebut sebagai kelompok yang spesial. Namun perlu diingat pula bahwa masih banyak orang dari rentang usia beragam yang masih membutuhkan bantuan dalam kemampuan literasi media. (Potter, 2008) A. Situasi yang terjadi Kita diterpa dengan ribuan pesan dari media setiap harinya. Terpaan ini terutama dialami oleh anak-anak karena mereka masih berada dalam upaya untuk mencari dunia mereka. Jordan dalam risetnya dengan sampel acak dalam area seluruh negara menunjukkan bahwa 87% rumah tangga di Amerika yang memiliki anak setidaknya memiliki 2 set TV yang aktif dinyalakan dalam rumah. Anak-anak dilaporkan menghabiskan waktu sekita 2,5 jam per hari untuk menonton TV dan beberapa jam lain berada di depan layar untuk memainkan video games atau pada komputer. Jumlah waktu
ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan wakti yang mereka pakai untuk membuat pekerjaan rumah (PR) dari sekolah yaitu sekitar 1,1 jam per hari (Jordan dalam Potter,2008:345). Tingkat terpaan media ini memancing kecemasan dikalangan orangtua dan mereka ingin melakukan sesuatu untuk melindungi anak-anak mereka dari potensi efek yang berbahaya. (Potter, 2008) Teknik yang dapat digunakan untuk melindungi anak dari potensi efek yang berbahaya sangatlah bervariasi. Teknik-teknik ini dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori besar, yaitu : Restrictive mediation Melibatkan setting peraturan mengenai seberapa banyak, kapan saja, dan tipe acara TV seperti apa yang dapat ditonton. Tampaknya banyak rumah tangga yang tidak memiliki peraturan tertentu untuk menonton TV di rumah. Contohnya, 49% dari semua anak mengatakan bahwa dirumah mereka tidak ada aturan tertentu dalam menonton TV, dan 42% anak mengatakan bahwa menonton TV mendapatkan alokasi waktu yang besar di rumah mereka (Brodie dalam Potter,2008:345). Namun Jordan dalam Potter (2008,345) mengatakan dalam risetnya bahwa 61% orangtua mengakui bahwa sebenarnya ada peraturan yang dibuat untuk mengatur konsumsi anak akan tayangan TV. Keluarga yang mengaku memeiliki aturan dalam menonton TV, 92% responden mengatakan mereka melarang anak untuk menonton beberapa programa, 76% responden mewajibkan anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas sekolah mereka hingga selesai sebelum menonton TV, dan 69% responden membatasi waktu bagi anak-anak untuk diijinkan menonton TV (Stranger dalam Potter,2008:345) Orangtua yang biasanya berperan penting dalam mengatur penggunaan TV adalah ibu yang berpendidikan dan memiliki perhatian yang tinggi serta kecemasan pada efek negatif tayangan TV. Sedangkan usia dan gender anak tidak begitu diperhatikan perbedaannya. Namun diantara anak beusia 8 tahun dan lebih, 61% mengatakan mereka tidak memiliki peraturan untuk menonton TV. Pemberlakuan peraturan oleh orangtua biasanya tidak hanya dimotivasi pada umumnya oleh sesuatu yang berhubungan dengan terpaan media namun lebih kepada ketakutan pada konten tertentu yang mungkin memiliki efek negatif. Contohnya, Valkenburg (1999) menemukan pada survey di Belanda bahwa orangtua yang membuat peraturan menonton dimotivasi oleh sesuatu yang
berhubungan dengan sebab yang terjadi pada anak bila menonton sesuatu yang mungkin menakutkan bagi mereka atau mengajarkan mereka berperilaku secara agresif. Kremar dan Cantor (1996) juga menemukan hal yang sama. Mereka menemukan bahwa 90% dari sampel orangtua Amerika membatasi tontonan yang memperlihatkan kekerasan pada anak. Jordan (2001) melaporkan bahwa lebih banyak orangtua yang memberikan perhatian pada apa yang anak-anak tonton di TV (70%) daripada durasi mereka menonton TV (19%). (Potter, 2008) Coviewing Melibatkan orangtua dan anak dalam menonton TV bersama tanpa memerlukan pembicaraan. Terdapat pertentangan dalam penelitian tentang seberapa sering coviewing terjadi. Jordan (2001) melaporkan bahwa 93% orangtua mengatakan bahwa mereka menonton TV bersama anak-anaknya paling tidak sekali dalam kurun waktu tertentu. Sang, Schmitz, dan Tasche (1992) menemukan bahwa walaupun coviewing menurun seiring berkembangnya usia, begitu pula dengan remaja pada umur 14 tahun, separuhnya masih didampingi setidaknya satu orangtua. Valkenburg (1999) menemukan bahwa coviewing menjadi hal yang lebih dikenal daripada mediasi yang bersifat aktif. (Potter, 2008) Penelitian lain menemukan bahwa coviewing jarang terjadi. F. Lawrence dan Wozniak (1989) menemukan bahwa yang paling terjadi adalah anak menonton TV sendirian, apabila menonton dengan anggota keluarga lain pun biasanya adalah saudara. Dorr, Kovaric, dan Doubleday (1989) melaporkan bahwa diantara anak yang berusia 7 atau lebih, 95% tidak pernah menonton TV bersama orangtua mereka, begitu pula dengan anak berusia 2 sampai 7 tahun, 81% mengatakan mereka tidak pernah menonton TV bersama orangtua mereka. (Potter, 2008) Pertentangan penemuan para peneliti ini ada berdasarkan kepada siapa mereka bertanya. Ketika peneliti bertanya oada orangtua apakah mereka menonton TV bersama anak, coviewing menjadi hal yang sudah biasa dilakukan. Namun ketika peneliti bertanya pada anak-anak apakah orangtua menonton bersama mereka, coviewing menjadi sesuatu yang jarang dilakukan. (Potter, 2008) Active mediation Melibatkan pembicaraan yang dilakukan orangtua atau seseorang yang usianya lebih dewasa bersama anak-anak ketika menonton TV. Pembicaraan tidak boleh terlalu evaluatif. Analisis literatur pada studi mengenai active mediation selama
bertahun-tahun mengungkapkan 4 tipe pendekatan mediasi yang digunakan ketika orangtua menonton bersama anak, yaitu : 1. Non-mediator
: Orangtua yang jarang membicarakan tayangan TV
dengan anak. 2. Optimistis
: orangtua yang membicarakan tayangan TV dengan
anak terutama pada sesuatu yang positif pada konten tayangan. 3. Sinistis
: orangtua yang membicarakan tayangan TV dengan
anak terutama pada sesuatu yang negatif pada konten tayangan. 4. Selektif
: orangtua yang membicarakan tayangan TV dengan
anak dengan menggunakan kedua teknik diskusi positif
dan negatif
bergantung pada situasi. Terdapat perbedaan pada antara mediasi positif dan mediasi negatif. Mediasi positif menunjukkan poin-poin positif dari tayangan televisi dengan mendorong anak untuk menyainginya, sedangkan mediasi negatif menunjukkan poin-poin kebiasaan buruk suatu karakter dan menjadi kritis dengan apa yang dihambarkan. (Potter, 2008) Active mediation jarang terjadi. Beberapa studi menemukan bahwa pada umunya tidak ada dialog yang terjadi ketika orangtua dan anak menonton bersama. Poling Gallup mengindikasi bahwa ketika orangtua dan anak menonton TV kemudian material yang sifatnya offensif muncul di layar, orangtua 7 kali lebih memilih untuk mengacuhkan itu dengan mengganti channel dibandingkan mendiskusikannya dengan anak (Austin dalam Potter, 2008: 346). Hal ini membuktikan bahwa active mediation hanya terjadi ketika anak memintanya. Hal ini terkadang membuat anak bertanya pada orangtua ketika mereka menonton TV bersama. (Potter, 2008) Active mediation juga ditemukan pada pengasuh pada tempat penitipan anak (daycare centre). Nathanson, Eveland, Park, dan Paul (2002) mengadakan survey pada 265 pengasuh melalui anak-anak berusia sekitar 8 tahun. Mereka menemukan bahwa pengasuh lebih banyak memberikan active mediation dan penyensoran untuk tayangan kekerasan daripada tayangan seks pada TV. Mereka menemukan bahwa ketika pengasuh berpikir mereka memilki teknik yang efektif untuk melakukan active mediation, mereka lebih memilih menggunakan mediasi ketika mereka dalam situasi dengan pengawasan tinggi. Namun ketika pengasuh
tidak merasa mampu untuk memberikan mediasi, mereka lebih memilih menggunakan restrictive mediation. (Potter, 2008) Penggunaan rating program Terdapat beberapa alat yang tersedia bagi orangtua untuk membantu memonitor anak dari terpaan tayangan. Salah satu dari alat itu adalah rating film yang disediakan oleh MPAA (Motion Picture Association of America) yang telah ada selama 3 dekade terkahir. Ternyata, dari penelitian yang dilakukan kembali, hanya sekitar sepertiga atau sedikit orangtua yang menggunakan sistem rating berdasarkan umur oleh MPAA. (Potter, 2008) Pada pertengahan 1900-an, Kongres memberikan mandat untuk membuat rating program pada program televisi supaya informasi dapat dimasukkan dalam V-chip yang ada pada seluruh TV yang dijual di US setelah tahun 1999. Ternyata, para orangtua lambat dalam mempelajari sistem rating tersebut. 6 bulan setelah rating diperkenalkan, survey menemukan bahwa anak dan remaja terkadang menggunakan rating. Survey ini dilakukan lagi 3 tahun kemudia, dan yang ditemukan tetap sama. Ditemukan bahwa 30% ibu tidak memperhatika rating sama sekali, dan yang memperhatikan rating pun ada di kelas menengah kebawah kejelasannya. Hasil yang sama ditemukan pada beberapa studi yang dilakukan oleh Kaiser Family Foundation. Pada studi yang dilakukan Kaiser, 82% mengatakan mereka memperhatikan rating, namun hanya separuh dari jumlah tersebut yang menggunakan rating, dan hasil ini tidak menunjukkan angka perubahan yang begitu besar ketika survey ini dilakukan lagi setahun kemudian. Ini menunjukkan bahwa orangtua yang sebenarnya membutuhkan rating malah tidak terlalu suka menggunakannya, rating hanya digunakan oleh orangtua yang memonitor anaknya dengan ketat dalam menonton TV. Perkembangan rating TV hanya mempengaruhi sedikit orangtua untuk lebih memonitor anaknya dalam menonton TV. (Potter, 2008) Pada sampel acak di seluruh negara, 72% mengatakan bahwa mereka memperhatikan sistem rating TV dan anak-anak juga memberikan perhatian pada sistem rating TV. Namun ternyata hanya 39% yang mengatakan bahwa mereka menggunakan rating TV sehari-hari. Pada studi Kaiser tahun 1998, melaporkan bahwa hanya 7% orangtua yang dengan tepat dapat menginterpretasikan simbol kekerasan pada programa acara anak. (Potter, 2008) B. Kritik
Situasi seperti inilah yang menyeramkan, ketika orangtua berpikir mereka melakukan banyak hal yang mereka bisa jika anak-anak dapat mempercayai sesuatu. Jika orangtua menemani anak saat menonton TV, membuat peraturan dalam menonton TV, dan secara aktif memediasi terpaan tayangan, maka hal ini tidak akan memberikan kesan pada banyak anak. (Potter, 2008) Selama bertahun-tahun, media advokasi anak ditekan oleh industri supaya dapat menyediakan rating program untuk orangtua sehingga dapat membantu mereka memonitor anak-anak terhadap terpaan tayangan. Dengan adanya mandat penggunaan V-chip, advokat terselamatkan, namun sistem rating TV dikritik karena dinilai tidak mampu memberikan kegunaan dan akurasi yang tepat. Terdapat bukti yang mengatakan bahwa V-chip tidak dapat membantu seperti yang diharapkan. Peneliti menemukan walaupun rating berdasarkan umur dianggap sangat akurat, deskripsi konten tidak digunakan pada kebanyakan program yang mengandung unsur kekerasan, perilaku atau seksual, narkoba, dan bahasa orang dewasa. Kemudian bukti juga menunjukkan bahwa hanya sedikir orangtua yang memperhatikan arti dari suatu label yang diberikan. (Potter, 2008) Masalah dengan orangtua dan orang dewasa lain membuat ketersediaaan bantuan untuk anak menjadi sangat sedikit terlihat lebih jelas dengan 2 karakteristik, yaitu terlihat bahwa orangtua memiliki motivasi yang rendah untuk membantu pada masalah ini, tentu saja orangtua mengatakan bahwa mereka merasa cemas dan memberikan perhatian pada anak namun orangtua tidak berperilaku yang sesuai dengan kecemasan mereka akan hal tersebut. Terpaan tayangan televisi dan media lain tidak mendapatkan monitor yang sesuai, hal ini berhubungan dengan karakteristik yang kedua, banyak orangtua tidak mengetahui apa yang harus mereka katakan pada anak untuk membantu mereka menjadi lebih berkembang dalam hal media literasi, mereka juga tidak memiliki cukup pengetahuan untuk menetapkan suatu aturan. Berbeda dengan orangtua yang memiliki pengetahuan literasi media, bantuan mereka lebih mengarahkan anak pada efek negatif daripada benar-benar membantu anak. (Potter, 2008) C. Teknik yang bekerja Banyak teknik yang sudah dicoba. Dalam mereview literatur ini, Nathanson (2001) menyimpulkan ada beberapa teknik yang bekerja dengan baik, namun ada juga yang tidak. Ada pula yang bekerja hanya pada orangtua tertentu dan pada anak dengan sifat tertentu. Efek yang terjadi pun bervariasi, mulai dari kognisi (pembelajaran
mengenai pesan dari televisi), sikap (mengembangkan sikap skeptis pada iklan dan berita), persepsi (pada realitas televisi), dan perilaku (termasuk agresi, kebiasaan menonton, dan tanggapan pada iklan). Nathanson (2001) menemukan bahwa sikap orangtua adalah prediktor yang kuat untuk menentukan teknik apa yang digunakan orangtua dan efek apa yang akan terjadi pada anak. orangtua yang bersikap negatif pada tayangan kekerasan televisi lebih menggunakan active mediation dan membatasi, sedangkan orangtua yang bersikap positif pada tayangan akan melakukan coviewing. Dari perspektif anak, restrictive mediation menjadi tanda penolakan orangtua pada konten, sedangkan coviewing menjadi tanda penerimaan orangtua pada konten. Yang menarik adalah, anak menerima active mediation sebagai bentuk penerimaan orangtua pada tayangan. (Potter, 2008) Peraturan Terdapat perbedaan opini mengenai keefektifan restrictive mediation, Desmond, Singer, Singer, Calam, dan Colimore (1985) menentang bahwa teknik ini adalah teknik yang berguna. Nathanson (2002) menemukan bahwa restrictive mediation berhubungan dengan sikap yang kurang baik pada orangtua, sikap yang lebih baik pada konten, dan lebih mengarah menonton dengan teman. Ini memperlihatkan kebalikan dari apa yang orangtua harapkan sebagai hasil dari penggunaan teknik ini. Nathanson mengatakan, sayangnya hasil positif yang orangtua harapkan dari penggunaan teknik ini mungkin sebenarnya malah menghasilkan sesuatu yang tidak diinginkan dan berusaha dihindari. (Potter, 2008) Coviewing Teknik ini juga memiliki hasil yang hampir sama dengan pemberlakuan peraturan pada penelitian literatur. Coviewing juga diasosiasikan dengan efek negatif seperti kepercayaan bahwa karakter dalam tayangan televisi sama seperti karakter manusia di kehidupan nyata (Nathanson dalam Potter, 2008:348). Nathanson (2002) menemukan bahwa coviewing berhubungan dengan perilaku positif terhadap tayangan kekerasan dan seks. Hal ini diinterpretasikan sebagai efek yang tidak terprediksi. Nathanson menyimpulkan bahwa pola konsisten orangtua dalam coviewing yang tidak disetujui oleh remaja dalam keluarga mendorong anak yang lebih muda untuk mengembangkan kebiasaan media yang sama. (Potter, 2008) Coviewing memeperlihatkan hasil yang positif, seperti peningkatan pendidikan konten. Anak yang ditemani oleh orangtua mereka saat menonton mengatakan
bahwa mereka lebih menikmati tayangan (Nathanson dalam Potter, 2008). Ternyata walaupun efek positif ditemukan, efek tersebut tergolong lemah. Austin dan Pinkleton (2001) menemukan walaupun coviewing memiliki efek positif pada sosialisasi politik, faktor lain seperti sikap skeptis dan mediasi negatif memiliki dampak lebih dari itu. (Potter, 2008) Renajajuga berpengaruh pada usia anak. Nathanson (2001) menemukan bahwa peers mediation lebih berpengaruh daripada parental mediation selama masa anak-anak. Secara spesifik, ia menemukan bahwa peer mediation lebih mendorong pada perilaku anti-sosial yang berpengaruh pada perilaku agresif. Pengaruh positif dari parental mediation mengurangi perilaku agresif, namun efek negatif dari peer mediation meningkatkannya. (Potter, 2008) Active mediation Teknik ini dinyatakan berguna dalam membantu anak terhindar dari efek yang tidak diinginkan saat menonton televisi. Active mediation tampaknya bekerja lebih baik dari mediasi dengan hukuman (punitive mediation).orangtua yang mencoba memberika alasan pada anak ketika mereka mencoba mendisiplinkan anak lebih efektif untuk mengurangi efek berbahaya dari tayangan kekerasan dibanding orangtua yang menggunakan hukuman fisik. (Potter, 2008) Anak yang mengalami active mediation secara umum tidak lebih peka pada efek negatif pada kognisi, sikap, emosi, dan perilaku. Pada efek kognitif, active mediation sukses mengajarkan anak menjadi lebih skeptis pada berita yang ditampilkan televisi dan memberikan pengertian yang lebih baik pada plot televisi. Bersama anak, keterlibatan orangtua pada terpaan media membuat anak belajar. Anak meningkatkan pengertian mereka dan mengingat konten program sentral dan insidental ketika orang dewasa memberikan komentar yang dijadikan sebagai pedoman anak untuk memperhatikan dan mengerti tayangan. Ketika orangtua secara aktif memediasi selama menonton, maka mereka dapat mempengaruhi interpretasi anak terhadap tayangan (Austin dalam Potter, 2008:349). Orangtua dapat membuat tanggapan terhadap suatu tayangan lebih aktif dengan terus menanyakan pertanyaan mengenai makna dan struktur seperti, “siapa yang melakukannya kepada siapa?” dan “mengapa?”. Pertanyaan seperti ini akan melatih mereka untuk membuat suatu koneksi. (Potter, 2008) Untuk sikap, active mediation berguna untuk mengurangi persepsi pesan realitas televisi, berlaku pula untuk tayangan berita, dan mengurangi efek negatif
kultivasi. Nathanson dan Botta (2003) melaporkan hasil survey pada remaja dan orangtua mereka yang menemukan bahwa ketika orangtua memberikan komentar pada gambaran tubuh di televisi, remaja lebih menyukai proses pembentukan gambar dan pengalaman emosi negatif. Emosi negatif memiliki dampak pada perilaku dalam bentuk makan makanan tidak sehat dan kelainan pola makan. (Potter, 2008) Active mediation sangat membantu dalam pembentukan respons emosi pada media. Cantor dan Wilson (1984) menemukan bahwa respons emosional negatif pada film yang menakutkan dapat dihilangkan dengan active mediation, setidaknya dengan anak dengan usia lebih dewasa (lebih dari 9 tahun). Hoffner (1997) juga mengatakan bahwa pengetahuan yang utama dari hasil yang menyenangkan dapat mengurangi ketakutan pada beberapa anak. (Potter, 2008) Teknik-teknik ini dapat digunakan pada aspek kognitif dan dapat digunakan pula dalam efek emosional dan perilaku. Anak yang mengalami pesan media yang emosional ketika mereka berada diantara remaja dan orang dewasa akan menunjukkan penurunan kemungkinan dan intensitas efek emosional dengan cepat, terutama efek ketakutan dari film horor. Kemungkinan anak berperilaku agresif ketika menonton tayangan kekerasan dapat diturunkan jika orang dewasa memberikan komentar dan interpretasi verbal ketika mengobservsi bersama anak, seperti menunjukkan poin-poin yang tidak realistis dan perilaku yang tidak sesuai dalam program. (Potter, 2008) Anak sangat memungkinkan untuk berperilaku seperti apa yang mereka anggap model setelah melihat karakter atraktif di media. Model ini dapat dibentuk dengan teknik interpersonal. Austin dan Maili (1995) menemukan bahwa anak menggunakan emosi dan logika untuk mengembangkan ekspektasi tentang penggunaan alkohol di dunia nyata ketika mereka melihat penggunaan alkohol oleh seorang karakter di televisi. Ketika anak mempercayakan realitas kehidupan dan
televisi
sebagai
sumber
informasi,
anak
sangat
dimungkinkan
mengembangkan sikap skeptis mengenai gambaran televisi pada penggunaan alkohol ketika mereka mempercayakan sumber informasi dan model perilaku pada orangtua. (Potter, 2008) Kesuksesan teknik mediasi juga bergantung pada tipe orang yang menjadi target. Nathanson dan Yang (2003) mendemonstrasikan beberapa teknik bekerja dengan baik pada anak usia 5-8 tahun. Teknik-teknik ini berfokus pada penekanan
bahwa suatu acara tidak natural dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namunteknik ini tidak bekerja pada anak berusia 9-12 tahun, karena mereka sudah mengetahui hal-hal ini sehingga mereka tidak terlalu mendengarkan demontrasi. (Potter, 2008) Beberapa teknik juga hanya bekerja pada gender tertentu. Nathanson dan Cantor (2000) memberikan tes pada teknik mediasi untuk membuat anak-anak mengetahui korban dari kekerasan dalam kartun daripada menjadi seorang yang agresif. Teknik ini sukses mempengaruhi anak laki-laki untuk tidak berperilaku agresif setelah menonton tayangan kekerasan, sedangkan anak perempuan tidak. (Potter, 2008) Ketika kita menjadi orangtua, kita harus berhati-hati dalam memonitor anak terutama saat menggunakan internet. Terdapat 3 resiko bagi anak atau remaja yang menggunakan internet, yaitu terpaan materi yang tidak sesuai seperti pornografi dan gosip, berelasi dengan orang yang tidak dikenal, dan gangguan lainnya. Orangtua harus mengawasi situs-situs yang dikunjungi anak. Selain itu harus diingatkan pula supaya tidak sembarangan memberikan iodentitas pribadi pada orang lain. Bila menemukan informasi ilegal seperti pornografi atau berita yang tidak benar, laporkan pada pihak yang memiliki otoritas. Orangtua harus mengajarkan pada anak untuk bersikap skeptis pada orang yang baru mereka kenal di karena informasi diri yang dinyatakan bisa saja palsu. Pembatasan waktu dalam menggunakannya harus dilakukan agar tidak menimbulkan „ketagihan‟. (Potter, 2008)
Edukasi Publik A. Situasi yang terjadi Kritik pada pendidikan di US dilayangkan karena dinilai tertinggal dalam memberikan pendidikan literasi media dibanding dengan negara lain seperti Australia, Canada, Skandinavia, dan Rusia, dan negara-negara Eropa. Bahkan Australia sudah mengeluarkan peraturan untuk memberikan edukasi literasi media pada anak di kelas 12 sejak tahun 1990-an. Kritik ini juga diberikan karena US adalah negara yang paling banyak mengkonsumsi media dengan uang dan waktu yang terbanyak dibandingkan negara lain, namun sistem pendidikannya malah mengabaikan pentingnya pendidikan literasi media. Namun bukan berarti di US tidak ada yang mengusahakan pendidikan literasi media, ada beberpa pihak yang mengusahakan dan melakukannya, namun sangat jarang dan tidak didukung oleh
institusi pendidikan yang ada. Banyak negara bagian yang sudah berinisiatif unruk melakukannya, namun belum terealisasi dengan baik. (Potter, 2008)
B. Penghalang Kurang tersentralisasinya keputusan untuk membuat kurikulum pendidikan di US sehingga untuk membuat suatu program literasi atau suatu badan yang bergerak di bidang literasi media cukup sulit mengingat wilayah yang luas keputusan pembuatan kurikulum berada di pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal. Pendidikan media literasi juga seringkali tidak memperhatikan kultur dimana sekolah tersebut berada sehingga mengalami kegagalan. Partisipasi antara orangtua, guru, pengurus sekolah, dan anak juga dirasa kurang karena ketika suatu programa literasi media berjalan, pihak sekolah tidak memberikan kontrol lagi terhadap kontinuitasnya sehingga bisa saja dengan mudah berhenti di tengah jalan. (Potter, 2008) Semua usaha ini memerlukan biaya yang tinggi. Perubahan kurikulum tentunya mengharuskan guru-guru yang lebih terlatih dan keterlibatan orangtua yang lebih aktif. Setelah mendapatkan pelatihan pun seharusnya guru terus difasilitasi agar program literasi media tidak berhenti di tengah jalan dan menjadi sia-sia. Begitu banyak hal yang harus dirundingkan untuk memperoleh kesepakatan yang tentunya memerlukan banyak waktu, tenaga, dan materi. Perlu dirundingkan mengenai komposisi dari kurikulum literasi media, apa yang akan diajarkan, bagaimana cara mengajarkannya, dan efek seperti apa yang harus diantisipasi oleh guru. (Potter, 2008) C. Yang dapat dilakukan Ketika kita menjadi orangtua, kita bisa meminta sekolah di daerah tempat tinggal kita untuk mengadakan edukasi mengenai media. Kita dapat memulainya dalam skala kecil di kelas anak kita berada. Kembangkan unit instruksional kecil berdasarkan pengetahuan yang kita miliki tentang literasi media. Anak akan menyukai hal seperti ini karena pengetahuan mereka akan menjadi terbuka pada hal yang mereka temui sehari-hari. Ketika unit kecil ini bekerja dengan baik, anak-anak akan menyebarluaskannya dengan murid lain dan pada akhirnya berkembang menjadi edukasi bagi anak diseluruh kelas. (Potter, 2008)
Teknik Bermasyarakat
Dengan teknik ini, fokusnya menekankan pada bagian-bagian dari industri, pemerintah, dan beberapa insstitusi
untuk meningkatkan perhatian publik pada
masalah atau untuk merubah sesuatu. Untuk melakukannya kita membutuhkan strategi yang didukung oleh komitmen yang kuat. Strategi ini membutuhkan usaha bertahuntahun dan uang untuk menimbulkan suatu perubahan. Terkadang seseorang akan memulai PAC (politic action committee) atau menunjuk suatu perusahaan untuk menjamin dukungan pada pekerjaan mereka. Kontak adalah sesuatu yang paling penting. Dengan menghubungi orang-orang yang emmiliki kekuasaab atau kedudukan penting, maka dengan mudah kita dapat memperoleh perhatian massa yang besar. (Potter, 2008) Untuk mengubah praktek industri media atau kontennya adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Industri telah berkembang dan tumbuh di tengah konsumen mereka yaitu publik. Perubahan akan juga mengubah persentase keuntungan mereka yang tentunya tidak akan dilakukan oleh industri. Ini juga yang menjadi alasan mengapa tayangan kekerasan di televisi tidak mengalami perubahan yang berarti selama 50 tahun terakhir. Industri mencoba mengalihkan perhatian masyarakat dari penelitian mengenai efek negatif media dengan menampilkan hasil penelitian efek positif media sehingga menunjukkan tanggung jawab mereka. (Potter, 2008)
Daftar Pustaka Potter, James.W. (2008). Media Literacy 4th Edition. CA: Sage Publications.