ISSN: 2580-1104
PROSIDING
MEMBANGUN STANDAR PENDIDIKAN MATEMATIKA DI INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING GLOBAL -Universitas Negeri Jakarta, 5 November 2016-
ISSN: 2580-1104
ISSN: 2580-1104
SAMBUTAN Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Bapak dan Ibu yang kami hormati, pertama-tama dan yang paling utama, marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya sehingga kegiatan Seminar Nasional Matematika V ini dapat terselenggara dengan baik. Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang telah berpartisipasi baik sebagai pemakalah, peserta seminar, maupun peserta workshop. Seminar Nasional Matematika V terselenggara atas kerjasama Program Studi Pendidikan Matematika, Matematika, dan Ilmu Komputer yang berada di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Kegiatan seminar ini berlangsung satu hari, yakni Sabtu, 5 November 2016, bertempat di Aula Latif dan Gedung Dewi Sartika di Kampus A Universitas Negeri Jakarta. Di sela-sela kegiatan seminar juga dilangsungkan kegiatan workshop Geogebra, suatu aplikasi interaktif untuk pembelajaran Matematika. Tema dari seminar ini adalah ‘Membangun Standar Pendidikan Matematika di Indonesia untuk Meneingkatkan Daya Saing Global’. Seminar Nasional Matematika V diharapkan dapat menjadi forum bagi para peneliti untuk mendesiminasikan hasil penelitiannya. Selain itu seminar ini dapat menjadi wadah bagi para pendidik atau individu yang peduli pendidikan untuk bertukar informasi dan berdiskusi dalam mengembangkan standar pendidikan dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa di level global. Kegiatan seminar ini menghadirkan tiga pembicara kunci, yakni (1) Prof. Dr. Allan L. White dari University of Western, Sidney, pakar bidang Pendidikan Matematika, (2) Prof. Hendra Gunawan, Ph.D dari Institut Teknologi Bandung, pakar bidang Matematika, dan (3) Prof. Zainal A. Hasibuan, MLS, Ph.D dari Universitas Indonesia, pakar Ilmu Komputer. Seminar ini dapat terselenggara berkat dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Jakarta atas dukungannya 2. Ketua Program Studi terkait di FMIPA UNJ yang telah mendukung acara ini 3. Seluruh panitia seminar yang telah bekerja keras, mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran 4. PT. Sinarmas MSIG Life selaku sponsor tunggal yang telah mendukung kegiatan seminar ini 5. Berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu yang telah mendukung terselenggaranya seminar ini.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | i
Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti kegiatan Seminar Nasional Matematika V UNJ Tahun 2016. Semoga kegiatan ini membawa manfaat tidak hanya bagi peserta, tetapi juga dapat meningkatkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia, serta kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi. Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Jakarta, 5 November 2016 Dekan FMIPA UNJ Prof. Dr. Suyono, M.Si.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | ii
ISSN: 2580-1104
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Bismillaahirrohmaanirrohiim. Segenap puji syukur saya limpahkan kehadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam saya haturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, karena dengan izin dan kehendak-Nya maka pelaksanaan Seminar Nasional V Pendidikan Matematika, Matematika, Ilmu Komputer dan Aplikasinya (SEMNAS V 2016) dapat terlaksana seperti yang direncanakan. Tentu menjadi sebuah kebahagian dengan terwujudnya kegiatan seminar ini yang mengambil tema Membangun Standar Pendidikan Matematika Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Global, untuk dijadikan sebuah wahana saling bertukar pikiran, berdiskusi dan saling membuka wawasan kita mengenai pentingnya mengetahui dan mewujudkan sebuah standar pendidikan, khususnya matematika, di Indonesia agar produk dari proses pendidikan yang dihasilkan dapat memenuhi standar kebutuhan terhadap layanan terhadap masyarakat dunia. Sangatlah membanggakan bila lulusan sebuah jenjang pendidikan di level manapun di Indonesia dapat memenuhi harapan dan kebutuhan akan tantangan dunia kerja yang semakin lama semakin menuntut kecakapan yang paripurna baik ditingkat lokal maupun global. Kegiatan pada SEMNASMAT V 2016 ini selain memaparkan 3 makalah dari pembicara utama (keynote speakers) dari dalam dan luar negeri, juga akan memaparkan makalah-makalah pada seminar paralel dan juga pelaksanaan workshop untuk bisa disimak oleh para peserta. Saya berharap semua kegiatan ini dapat memberikan masukan dan manfaat yang besar pagi para peserta seminar nasional kali ini. Sehingga hasilnya dapat menjadi wawasan yang berguna bagi pelaksanaan pendidikan di semua jenjang di Indonesia . Oleh sebab itu kiranya saya patut berterima kasih kepada para pembicara utama yang telah berkenan hadir dan menyampaikan tulisannya, serta para dosen, guru dan mahasiswa yang telah berpartisipasi menyampaikan gagasannya lewat tulisan. Akhir kata, Saya selaku Ketua Panitia SEMNAS V 2016 mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan dan support dari INDO_MS, Universitas Negeri Jakarta, Dekanat dan tenaga administrasi FMIPA, dosendosen di lingkungan Matematika, para mahasiswa, serta PT. Sinarmas MSIG Life selaku sponsor yang telah berpartisipasi mendukung terlaksananya kegiatan seminar nasional ini. Salam untuk semua peserta, dan selamat ber seminar.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | iii
Wassalamualaikum Wr. Wb. Hormat Saya, Ketua SEMNASMAT V UNJ 2016 Dr. Anton Noornia, M.Pd.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | iv
ISSN: 2580-1104
Pembicara Kunci
ISSN: 2580-1104
BRAIN RESEARCH AND MATHEMATICS EDUCATION FOR THE 21ST CENTURY
In 1924, Hans Berger succeeded in recording the first human electroencephalogram (EEG). With developments in technology, there are now a variety of approaches for examining brain activity such as Magnetic resonance imaging (MRI), nuclear magnetic resonance imaging (NMRI), magnetic resonance tomography (MRT) and computed tomography (CT Allan Leslie White scans). This technology is giving the first glimpses of the University of Western Sydney, Australia. vastness of our brain and brain research is being used to treat autism spectrum disorders, Alzheimer’s disease, Parkinson’s disease and other brain related conditions. Importantly, the implications of brain research for education are beginning to emerge. This paper will discuss some of these implications with special focus upon the importance of understanding in the mathematics teaching and learning process, and provide a scale to assess teaching strategies based on their outcomes. Key Words: school mathematics, insight, instrumental understanding, rote memorization, relational understanding, scaffolding. Introduction As teachers communicate a mathematical idea to students a representation is needed. This representation can take many forms and may involve spoken language, written symbols (numbers, algebra, etc.), pictures (photos, graphs, etc.), video, dynamic images or physical objects. For students to receive this representation they must think, and from a cognitive science viewpoint, this thinking produces an internal representation. Thus for all mathematics teachers a problem arises as to how can they assess the quality of this internal representation of the student. While the early Behavourists (see Skinner, 1953) rejected the idea of internal representations because they could not be observed. For other groups, such as Constructivists, there were various strategies used for making inferences about the quality of these internal representations (or constructions). Some of these strategies involved the students talking about their thinking. Thus students were brought to the board and asked to write their solution to a problem and to use a ‘think aloud’ strategy where they were expected to verbalise their thinking. A problem is that the students are often unable to articulate their thinking. None of these strategies have actually involved observing what happens in the brains of the students when they are thinking.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 1
We all have systems of concepts that we use in thinking, but we cannot consciously inspect our conceptual inventory. We all draw conclusions instantly in conversation, but we cannot consciously look at each inference and our own inference-drawing mechanisms while we are in the act of inferring on a massive scale second by second. We all speak in a language that has a grammar, but we do not consciously put sentences together word by word, checking consciously that we are following the grammatical rules of our language. To us, it seems easy: We just talk, and listen, and draw inferences without effort. But what goes on in our minds behind the scenes is enormously complex and largely unavailable to us (Lakoff & Nunez, 2000, p.27). The newly emerging field of brain research that offers new insights into the actual workings of the brain. In 1924, Hans Berger succeeded in recording the first human electroencephalogram (EEG). Since then, there have been significant developments in technology, and now there are a variety of approaches for examining brain activity such as Magnetic resonance imaging (MRI), nuclear magnetic resonance imaging (NMRI), magnetic resonance tomography (MRT) and computed tomography (CT scans). These and other technologies are giving researchers the first glimpses of the vastness of our inner space just as super telescopes are mapping outer space. Brain research has impacted upon medicine and is being used to treat autism spectrum disorders, Alzheimer’s disease, Parkinson’s disease and other brain related conditions. Importantly for this paper, the implications of brain research for mathematics education are beginning to emerge. Brain research provides a fresh perspective on the teaching and learning of mathematics. In the following sections I will attempt to briefly present a small sample of the findings that have relevance for mathematics education in the twenty-first century with a special focus upon school mathematics teaching and learning Learning and Understanding From a brain research viewpoint, the key concept has been termed ‘brain plasticity’ or ‘neuroplasticity’, which refers to the ability of the brain to change. Research has shown that the brain can reorganise itself in remarkable ways as a result of a change in stimuli. Thus the process of learning begins when neurons form networks that fire together. The more an individual uses the networks the more developed they become until eventually they become automatic as a result of compression (discussed later in this paper). Conversely, through less use the networks decay and eventually become lost. It is essentially a process of rewiring the brain by
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-2
ISSN: 2580-1104
forming or strengthening new connections and allowing old connections to decay. Brain researchers have shown that: Children are not always stuck with mental abilities they are born with; that the damaged brain can often reorganise itself so that when one part fails, another can often substitute; … One of these scientists even showed that thinking, learning, and acting can turn our genes on and off, thus shaping our brain anatomy and our behaviour (Doidge, 2008, p. xv). The implications for mathematics education, and especially school mathematics are profound. It opposes the traditional beliefs that some children are born with the ability to do mathematics, others are not. … scientists now know that any brain differences present at birth are eclipsed by the learning experiences we have from birth onward (Boaler, 2016, p. 5). Brain research goes against commonly held beliefs, by claiming that children are not born knowing mathematics, instead they are born with the potential to learn mathematics. How this potential is nurtured, encouraged, and challenged is the responsibility of parents and teachers. If the child learns a concept deeply, then the synaptic activity creates lasting connections in the child’s brain, whereas surface learning quickly decays. How this decay occurs was outlined by Sousa (2008) who stated that scientists currently believe there are two types of temporary memory. Firstly, immediate memory is the place where the brain stores information briefly until the learner decides what to do with it. Information remains here for about 30 seconds after which it is lost from the memory as unimportant. Secondly, the working memory is the place where the brain stores information for a limited time of 10 to 20 minutes usually but sometimes longer as it is being processed. The transfer from immediate memory to working memory occurs when the learner makes a judgement that the information makes sense or is relevant. If the information either makes sense or is relevant then it is likely to be transferred to the working memory, and if it has both then it is almost certain to be transferred to the long-term memory. An area of importance to how students make this judgement of relevance is the area of attitudes and beliefs towards their intelligence and learning. Mathematics teachers are expected to teach the curriculum while inculcating positive attitudes towards mathematics and by engaging and motivating their students to work mathematically. Psychologist Barbara Dweck (2006) and her research team collected data over a number of years and concluded that everyone held a core belief about their learning and their brain. They made a distinction between what they labelled as a fixed mindset and a growth mindset. Someone with a fixed mindset believes that while they can learn things, they cannot change their intelligence level. Whereas someone with a growth mindset believes that the brain can be changed
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 3
through hard work and the more a person struggles the smarter they become. There is an obvious connection here between growth mindset and brain plasticity. Professor Jo Boaler (2016) in her latest book provides a wealth of research evidence involving mathematics learning that supports Dweck’s work. It turns out that even believing you are smart - one of the fixed mindset messages - is damaging, as students with this fixed mindset are less willing to try more challenging work or subjects because they are afraid of slipping up and no longer being seen as smart. Students with a growth mindset take on hard work, and they view mistakes as a challenge and motivation to do more (Boaler, 2016, p. 7) Boaler and her team have developed a website (Youcubed), and produced many short videos (search for Jo Boaler on Youtube for a selection), and published considerable material on how to promote growth mindsets in the classroom. My aim for the rest of this paper is not to replicate or summarise Boaler’s material, as the reader can get access to it through the links I have mentioned. Instead I want to continue considering the implications of the Scale For Teaching For Understanding and current brain research for school mathematics teaching and learning. So in the following section I will briefly provide an overview of the scale for teaching for understanding before elaborating upon mathematical insight and concluding with the importance of challenge. A Scale For Teaching For Understanding A classroom teacher is faced with a vast array of teaching strategies from which to choose. Strategies for teaching mathematics that produce negative effects such as those arising from behaviourism, rote memorisation and skills based teaching strategies have been discussed elsewhere in some detail (White, 2011, 2013). These are a few of the many strategies regarded as ineffective or even harmful to the development of mathematical understanding. Why is understanding or meaning so important? Meaning determines the possibility that information will be learned and retained in the long term memory, the goal of all mathematics teaching and learning. As mentioned earlier, making sense or meaning is a crucial consideration of the learner in moving information to both the working and long term memory. Students may diligently follow the teacher’s instructions to memorize facts or perform a sequence of tasks repeatedly, and may even get the correct answers. But if they have not found meaning by the end of the learning episode, there is little likelihood of long-term storage (Sousa, 2008, p. 56).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-4
ISSN: 2580-1104
It appears that making sense, meaning or understanding does not have a single end point but refers to a process of an increasing accumulation of input and connection. The foundation of this scale of understanding relies upon Skemp (1976, 1977, 1979, 1986, 1989, 1992) and his classification of mathematics understanding. Instrumental understanding he described as 'rules without reasons' or ‘knowing how’ and for many students and sometimes their teachers the possession of such rules and the ability to use them with textbook and examination questions was regarded as a demonstration of their 'understanding'. Why a rule worked was not considered and there was little effort to help the students to cons truct meaning. This instrumental approach, according to Skemp (1976, 1986), is initially easier to understand with more immediate and apparent rewards, and students who become accustomed to this approach resist alternative teaching strategies. A predominant feature of this approach to teaching is repetitive drill and practice with little or no attempt to assist students construct meaning. In contrast relational understanding is concerned primarily with meaning and developing connected understanding or knowledge. Relational understanding is 'knowing both what to do and why.' Skemp (1976, 1977) discusses the development of schemas as evidence of the construction of relational understanding and this resonates very strongly with the structure of the connections within the brain and with the research literature on ‘connected knowledge’. There is a relationship between relational understanding and long term retention. Attempts to direct mathematics teaching strategies towards each or either type of understanding has been a concern to educational researchers. In some cases, and the writer may have been guilty of this, by emphasising the importance of just relational understanding the result has been that instrumental understanding was seen in a bad light or as a dirty word. Sfard (2000) was not convinced of this and decided to investigate, I decided there is a room to reconsider the idea of instrumental understanding and to ask ourselves whether our tendency to view it as a rather undesirable phenomenon is fully justified (p. 94). She commented that it appeared that everyone tended to learn mathematics initially at an instrumental level accompanied with drill and doubts, where “even professional mathematicians cannot escape this fate” (Sfard, 1991, p. 32). This resonated with Skemp’s (1976) earlier comments that “even relational mathematicians often use instrumental thinking”, and it “is a point of much theoretical interest” (p. 8). Brain research has helped to understand the interplay of the instrumental and relational aspects of understanding by pointing to what is often termed compression which is also sometimes confused with rote.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 5
Mathematics is amazingly compressible:-you may struggle a long time, step by step, to work through the same process or idea from several approaches. But once you really understand it and have the mental perspective to see it as a whole, there is often a tremendous mental compression. You can file it away, recall it quickly and completely when you need it, and use it as just one step in some other mental process. (Thurston, 1990, p. 847). So it was necessary to construct a scale that would illustrate the interplay of these forms of understanding in the quest for teaching strategies that produced students who would develop sufficient meaning to develop this compression and hopefully insight.
0 10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Figure 1. Teaching For Understanding
The scale of teaching for understanding was constructed as a continuum (see Figure 1) based on the assumptions that all teaching strategies can be classified according to their aims and outcomes using Skemp’s types of understanding, and that the struggle to assist learners to understand is the struggle to make sense or meaning (White, 2013, 2014). The left end of the scale (score 0) is the most extreme end of instrumental teaching strategies which is rote memorization, where there is no attempt to assist students to understand or connect what they are memorizing with what they already know. Small children memorise the alphabet by rote. It is much later they learn how to use this alphabet to make meaning. The term ‘rote’ is the source of considerable ‘heat’ and conflicting meanings. I do not use the tern rote learning as it is just memorisation, there is no real learning. Memorization can be achieved through rote chanting or repeating a phrase or formula or through a process that connects with prior knowledge. Some early childhood centres use a rote count strategy regularly throughout a day with variations of quickly/slowly; loudly/softly; steadily or in a
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-6
ISSN: 2580-1104
stop/start fashion, and in isolation or with accompanying body movements. So some material is able to be memorised using a rote strategy that is unconnected to meaning. Later it would be used to build connected understanding and it is the connected knowledge that remains longer and is ultimately of more use. Sousa (2008) contrasts two kinds of practice as rote and elaborative rehearsal regarding their effects on the brain. Rote rehearsal is a process of learning information in a fixed way without meaning and is easily forgotten. Elaborative rehearsal encourages learners to form links between new and prior learning, to detect patterns and relationships and construct meaning. The construction of meaning involves the building of cognitive schemas that will assist long term memory. Elaborative rehearsal leads to meaningful, long-term learning. Of course there are a range of elaborative rehearsal teaching strategies that differ in success. There are some mathematics teaching strategies that could be classified as score of one on this scale as they are predominantly instrumental in their student learning outcomes. Cobb and Jackson (2011) found that many teachers ‘proceduralise’ problems when they launch them thus removing the problem solving objective and converting the problems to exercises in applying a procedure and this resonates with students attaining instrumental understanding. Brousseau (1984) in his work on didactical contracts identified an approach where the teacher reduced a student’s role by 'emptying' the task of much of its cognitive challenge. This should not be confused with the practice of ‘scaffolding’ which seeks to assist the student to meet the challenge not reduce it. This issue has serious implications for differentiated learning as what is scaffolding for one student may act as cognitive emptying for another. This issue will be discussed further in the last section of this paper. As the scale indicates with scores of 1 to 9, for the majority of teaching strategies, teaching for understanding involves a combination of instrumental, relational and memory strategies and elaborative rehearsal that are all important in the process of building more sophisticated concepts that are meaningful to the learner. When we consider the time allocated to practice or rehearse then there is another distinction made in the litera ture between massed practice and distributed practice (Sousa, 2008). Cramming, which usually occurs in a brief intense time period just before an examination, is an example of massed practice where material is crammed into the working memory, but is quickly forgotten without further sustained practice. There is no sense making and so it never makes it into the long term memory. Distributed practice on the other hand is sustained practice over time, building understanding and resulting in long-term storage. Distributive practice resonates very strongly with the East Asian Repetitive Learning which is continuous practice with increasing variation as a route to understanding (Leung, 2014), and this is often misunderstood as a form of rote. Leung (2014) sought to clear up this misconception by making a clear
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 7
distinction between memorization and rote which is a strategy for memorization. Memorization may have a negative connotation for some Western educators, who see it as a sign of rote learning. But for East Asians, practice and memorization do not necessarily imply rote learning or rule out creativity. As Marton (1997) observed, in East Asia, "repetitive learning " is "continuous practice with increasing variation," and practice and repetition are considered a “route to understanding" (Hess and Azuma 1991). Biggs (1996, p. 55) pointed out that "The Chinese believe in skill development first, which typically involves repetitive, as opposed to rote learning after which there is something to be creative with. In East Asia, practice and memorization are considered legitimate (and probably effective) means for understanding and learning, and equating memorization without full understanding to rote learning may be too simplistic a view. (Leung, 2014, p. 600). In Leung’ statement, it is possible to identify a process called repetitive learning that may begin with the development of instrumental learning but gradually build relational understanding by increasing the degree of variation and thus it seeks to build understanding through increasing the complexity and the connections with prior knowledge. So in terms of the model there is a movement from a score 1 to a score 9. The right endpoint of the scale of teaching for understanding has a score of 10 and refers to the development of insight as a student learning outcome. The definition of insight according to a famous philosopher: By insight, then, is meant not any act of attention or advertence or memory but the supervening act of understanding (Lonergan, in Crowe & Doran, 1957, p. ix) For others it is the result of longitudinal constructed meaning that leads to compression and possibly the generation of insight. Mathematics is amazingly compressible … The insight that goes with this compression is one of the real joys of mathematics (Thurston, 1990, p. 847). Insight was apparently derived from a Dutch word for ‘seeing inside’ and is loosely defined as the process within the mind of a learner who when exposed to new information enables the learner to grasp the core or essen tial features of a known problem or phenomena. An insight seems to result in a connective process within the brain or a quick restructuring that produces new understanding that is a compression of the connected information. Thus encouraging student insight is a goal in the process of teaching for mathematics understanding.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-8
ISSN: 2580-1104
Researchers draw strong connections between insight, creativity and exceptional abilities, with any significant and exceptional intellectual accomplishment almost always involving intellectual insights (Sternberg, 1985). Insights can occur as a result of the conscious and unconscious mind. The unconscious mind can continue to operate when the conscious mind is otherwise distracted, hence the large number of cases of mathematics students claiming to have gone to bed with an unsolved mathematics problem only to wake the next morning with an insight into the solution. Perhaps the most fundamental, and initially the most startling, result in cognitive science is that most of our thought is unconscious that is, fundamentally inaccessible to our direct, conscious introspection. Most everyday thinking occurs too fast and at too low a level in the mind to be thus accessible. Most cognition happens backstage. That includes mathematical cognition (Lakoff & Nunez, 2000, p.27). An insight is not an end in itself but can contribute to further understanding and further insight. It is the accumulation of insights that leads to the desired compression of mathematical understanding. This compression provides the mathematical tools to efficiently tackle more sophisticated and complicated mathematical problems. In the brief discussion above, the importance of student construction of sense or meaning has been presented in the light of the emerging brain research. I would like to conclude this brief paper with a discussion of the implications of this discussion above upon a part of a mathematics lesson that is often ignored or left unplanned, and that is the lesson closure. The end of the mathematics lesson. The Importance Of Challenge And Struggle In the current craze of making mathematics learning joyful and fun, brain research has shown that we should not remove struggle and challenge. The brain improves through concentration and challenge. Research shows that when students struggle and make mistakes, synapses fire and the brain grows (Boaler, 2015). This also has implications for what is known as instructional scaffolding. Scaffolding should be a learning process designed to promote a deeper level of learning. Scaffolding first introduced in the late 1950s by Jerome Bruner should be the support given during the learning process which is tailored to the needs of the student with the intention of helping the student achieve certain learning goals. Scaffolding should help the student face and overcome challenges through struggle, not by removing the challenge and the struggle of learning from mistakes. Brain research has revealed the importance of mistakes,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 9
Educators have long known that students who experience 'cognitive conflict' learn deeply and that struggling with a new idea or concept is very productive for learning (Piaget, 1970). But recent research on the brain has produced what I believe to be a stunning new result. Moser and colleagues (2007) showed that when students make mistakes in mathematics, brain activity happens that does not happen when students get work correct. For people with a growth mindset the act of making a mistake results in particularly significant brain growth. (Boaler, 2014, p.17) The amount of scaffolding given by the teacher varies with each individual student, and should avoid cognitive emptying where a teacher provides so much scaffolding that it empties a task of its cognitive challenge and the student answers just a series of relatively simple questions (Brousseau, 1984). Conclusion This paper has sought to discuss some of the findings that brain research is providing to the teaching and learning of mathematics. It seeks to motivate mathematics teachers to rethink their strategies so that they encourage students to accept challenge, to build their mathematical understanding, to develop links and connections within their knowledge, to develop positive attitudes towards their mathematical learning and knowledge. The paper also briefly highlights the complexity faced by current mathematics teachers who are expected to remain at the forefront of change and deal with the consequences of this change. It is why I regards all enthusiastic mathematics teachers as super heroes and foundation workers of the country (White, 2011).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-10
ISSN: 2580-1104
References Boaler, J. (2014). Unlocking children's mathematics potential: five research results to transform mathematics learning. Reflections, 39(2), 16-20. Boaler, J. (2015: Revised edition). What's math got to do with it? How teachers and students can transform mathematics learning and inspire success. New York: Penguin Books. Boaler, J. (2016). Mathematical Mindsets. San Francisco CA: Jossey-Bass. Brousseau, G. (1984). The crucial role of the didactical contract in the analysis and construction of situations in teaching and learning mathematics. In H. G. Steiner (Ed.), Theory of mathematics education (pp. 110−119). Bielefeld, Germany: Universität Bielefeld. Crowe, F. E., & Doran, R. M. (1957)(Eds.). Collected Works of Bernard Lonergan. Insight: A study of human understanding. Toronto: University of Toronto Press. Cobb, P., & Jackson, K. (2011). Towards an empirically grounded theory of action for improving the quality of mathematics teaching at scale. Mathematics Teacher Education and Development, 13(1), 6-33. Doidge, N. (2008). The brain that changes itself: Stories of personal triumph from the frontiers of brain science (Revised Edition).Melbourne: Scribe Publications Pty Ltd. Dweck, C.S. (2006) Mindset: the new psychology of success. New York: Ballantine Books. Lakoff, G., & Nunez, R. E. (2000). Where Mathematics comes from. NY: Basic Books. Leung, F. K. S. (2014). What can and should we learn from international studies of mathematics achievement? Mathematics Education Research Journal, 26(3), 579-605. Skemp, R. (1976). Relational understanding and instrumental understanding. Mathematics Teaching, 77, 20-26. Skemp, R. (1977). Professor Richard Skemp, interview by Michael Worboys. Mathematics in School, 6 (2), 14-15. Skemp, R. (1979). Intelligence, learning and action. Chichester: Wiley & Sons. Skemp, R. (1986). The psychology of learning mathematics (2nd ed). London: Penguin Books. Skemp, R. (1989). Mathematics in the primary school. London: Routledge. Skemp, R. (1992). Bringing theory into the classroom: The school as a learning environment for teachers. In B. Southwell, B. Perry, & K. Owens (Eds.). Space - The first and final frontier, conference proceedings, fifteenth annual conference of the mathematical education research group of Australia (pp. 44-54). UWS Nepean, Sydney: MERGA. Sousa, D. A. (2008). How the brain learns mathematics. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York: Free Press. Sternberg, R. J., & Davidson, J. E. (Eds.)(1995). The nature of insight. Cambridge, MA, US: The MIT Press.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 11
Thurston, W. (1990). Mathematical education. Notices of the American Mathematical Society, 37(7), 844-850. White, A. L. (2011). School mathematics teachers are super heroes. South East Asian Mathematics Education Journal, 1(1), 3-17. White, A. L. (2013). Mathematics education research food for thought with flavours from Asia. South East Asian Mathematics Education Journal, 3(1), 55-71. White, A. L. (2014). Juggling Mathematical Understanding. Southeast Asian Mathematics Education Journal, 4(1), 57-67. ISSN 2089-4716.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-12
ISSN: 2580-1104
KONSEP SUDUT ANTARA DUA SUBRUANG DAN POTENSI APLIKASINYA Pendahuluan
Hendra Gunawan Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB)
Dalam makalah ini, konsep sudut antara dua subruang di suatu ruang vektor akan diulas. Persisnya, diberikan dua himpunan vektor {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dan {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } di suatu ruang hasil kali dalam berdimensi 𝑛, dengan 1 ≤ 𝑝 ≤ 𝑞 ≤ 𝑛, akan dibahas bagaimana caranya menentukan besar sudut antara subruang 𝑈 yang direntang oleh {𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } dan subruang 𝑉 yang direntang oleh {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }.
Dalam statistika, persoalan menghitung sudut antara dua subruang terkait erat dengan persoalan menghitung ukuran ketergantungan suatu himpunan peubah acak pada himpunan peubah acak lainnya [1]. Penelitian tentang sudut antara dua subruang telah dilakukan oleh banyak peneliti, misalnya [8,16,24,26]. Pada tahun 2001, I. Risteski dan K. Trencevski mengumumkan rumus sudut antara dua subruang di ruang hasil kali dalam, dan membahas kaitannya dengan sudut kanonik [25]. Pada tahun 2005, H. Gunawan dkk menemukan kesalahan serius pada rumus tersebut dan memperbaikinya [12], dengan menggunakan konsep ruang norm-𝑝 dan ruang hasil kali dalam-𝑝 yang telah dipelajarinya sejak tahun 2000 [10,11], sebagaimana diungkapkan dalam makalah ini. Rumus sudut antara dua subruang diperlukan oleh para peneliti dalam berbagai bidang, tidak hanya digunakan dalam matematika dan statistika tetapi juga dalam beberapa bidang lainnya, antara lain biokimia, fisika, grafika komputer, dan teknik elektro (khususnya vehicular technology). Regresi Linear; Sudut antar Garis dan Subruang Salah satu persoalan mendasar dalam statistika adalah persoalan regresi linear. Diberikan 𝑛 titik data, (𝑥1 , 𝑦1 ), (𝑥 2 , 𝑦2 ), … , (𝑥 𝑛 , 𝑦𝑛 ), ingin dicari suatu persamaan 𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏 yang menghampiri data tersebut. Persamaan 𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏 merupakan persamaan suatu garis lurus. Bila hanya terdapat dua titik (data), kita dapat memperoleh persamaan garis lurus yang melalui dua titik tersebut dengan mudah. Tetapi, dalam persoalan di atas, banyaknya data justru berlebih. Secara umum, sangat kecil kemungkinannya ditemukan suatu garis lurus yang melalui 𝑛 titik sembarang, bila 𝑛 > 2. Kita menyadari hal tersebut. Karena itu yang ingin dicari hanyalah persamaan garis lurus yang menghampiri data yang diberikan, dengan galat (error) sekecil-kecilnya.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 13
Gambar 1. Regresi Linear
Persoalan regresi linear ini lazimnya diselesaikan dengan metode kuadrat terkecil, sebagai berikut. Galat penghampiran pada tiap titik adalah 𝜖𝑖 ∶= 𝑦𝑖 − (𝑎𝑥 𝑖 + 𝑏), 𝑖 = 1, … , 𝑛. Bila kita kuadratkan masing-masing galat ini dan kemudian kita jumlahkan semuanya, kita peroleh galat total 𝑛
𝜖 ∶= ∑[ 𝑦𝑖 − (𝑎𝑥 𝑖 + 𝑏)]2 . 𝑖 =1
Nilai 𝜖 dalam hal ini tergantung pada nilai koefisien 𝑎 dan 𝑏. Tugas kita sekarang adalah menentukan koefisien 𝑎 dan 𝑏 sedemikian sehingga 𝜖 minimum. Dengan bantuan kalkulus, kita peroleh 𝑎=
𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 𝑦𝑖 − ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 ⋅ ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 )2
dan 𝑏=
∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖2 ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 − ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 ⋅ ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 𝑦𝑖 . 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 )2
Dengan koefisien 𝑎 dan 𝑏 ini, persamaan 𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏 merupakan hampiran linear terbaik untuk data yang diberikan. Persoalan mencari hampiran linear terbaik dapat pula ditinjau dengan menggunakan pendekatan aljabar dan geometri, sebagai berikut. Kita ingin menemukan koefisien 𝑎 dan 𝑏 sedemikian sehingga 𝑦𝑖 ≈ 𝑎𝑥 𝑖 + 𝑏𝑖 ,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-14
𝑖 = 1, … , 𝑛.
ISSN: 2580-1104
Sekarang tinjau vektor-vektor 𝒚 ∶= (𝑦1 , … , 𝑦𝑛 ), 𝒙 ∶= (𝑥 1 , … , 𝑥 𝑛 ), dan 𝒆 ∶= (1, … ,1). Andai saja y berada dalam subruang yang direntang oleh x dan e, maka 𝒚 = 𝑎𝒙 + 𝑏𝒆 untuk suatu konstanta (skalar) 𝑎 dan 𝑏 tertentu, dan persoalan pun selesai. Tetapi, sebagai vektor dengan 𝑛 entri, sangat kecil kemungkinan y berada dalam suatu subruang berdimensi dua, yang direntang oleh x dan e. Hal yang mungkin dilakukan adalah mencari vektor 𝒚 ̂ = 𝑎𝒙 + 𝑏𝒆 dalam subruang yang direntang oleh x dan e yang merupakan hampiran terbaik untuk y. Dalam hal ini, 𝒚 ̂ harus dipilih sedemikian sehingga ∥ 𝒚−𝒚 ̂ ∥ minimum. (Di sini, ∥ 𝒗 ∥ menyatakan besar atau panjang vektor v di ruang berdimensi 𝑛.) Secara geometri, vektor 𝒚 ̂ yang dicari adalah vektor proyeksi dari y terhadap bidang yang direntang oleh x dan e.
Gambar 2. Hampiran Linear Terbaik
Nilai koefisien 𝑎 dan 𝑏 dapat dicari dengan menggunakan sifat vektor komplemen ortogonal dari 𝒚 ̂, yaitu vektor 𝒚⊥ = 𝒚 − 𝒚 ̂. Vektor ini tidak hanya tegak lurus terhadap y, tetapi juga tegak lurus terhadap bidang yang direntang oleh x dan e. Khususnya, 𝒚⊥ ⊥ 𝒙 dan 𝒚⊥ ⊥ 𝒆. Kedua persyaratan ini akan memberikan nilai 𝑎 dan 𝑏 yang kita kehendaki. Nilai 𝑎 dan 𝑏 tentu saja sama dengan yang diperoleh sebelumnya dengan pendekatan kalkulus. Namun, dengan pendekatan geometri, kita mempunyai informasi tambahan terkait dengan sudut antara vektor y dan vektor 𝒚 ̂ yang merupakan hampiran linear terbaiknya. Persisnya, vektor 𝒚 ̂ (dan kelipatannya) merupakan vektor pada bidang yang direntang oleh x dan e yang membentuk sudut terkecil dengan vektor y. Sudut terkecil tersebut tak lain merupakan sudut antara garis yang direntang oleh y dan bidang yang direntang oleh x dan e. Masih terkait dengan data (𝑥 𝑖 , 𝑦𝑖 ), 𝑖 = 1, … , 𝑛, dalam statistika kita mengenal koefisien korelasi yang menyatakan seberapa besar ketergantungan 𝒚 =
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 15
(𝑦1 , … , 𝑦𝑛 ) pada 𝒙 = (𝑥 1 , … , 𝑥 𝑛 ). Nilai koefisien korelasi tersebut diberikan oleh rumus 𝑟 ∶=
𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 𝑦𝑖 − ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 ⋅ ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 √𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖2
−
(∑𝑛𝑖=1
𝑥𝑖
)2 ⋅
√𝑛
∑𝑛𝑖=1
𝑦𝑖2
−
. (∑𝑛𝑖=1
𝑦𝑖
)2
Dengan menggunakan notasi vektor, rumus di atas dapat dinyatakan sebagai 𝑟 ∶=
〈𝒙 − 𝒙̄, 𝒚 − 𝒚̄ 〉
. ∥ 𝒙 − 𝒙̄ ∥∥ 𝒚 − 𝒚̄ ∥
1 dengan 𝒙̄ ∶= 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 menyatakan nilai rata-rata dari 𝑥 𝑖 , 𝑖 = 1, … , 𝑛, dan
〈𝒙, 𝒚〉 ∶= ∑𝑛𝑖=1 𝑥 𝑖 𝑦𝑖 menyatakan hasil kali dalam dari x dan y [3]. Koefisien korelasi antara x dan y dalam hal ini sama dengan nilai cosinus sudut antara vektor 𝒙 − 𝒙̄ dan vektor 𝒚 − 𝒚̄ . Rumus Risteski dan Tren𝐜̌ evski Misalkan kita mempunyai dua himpunan vektor {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dan {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } di suatu ruang hasil kali dalam 𝑋 berdimensi 𝑛, dengan 1 ≤ 𝑝 ≤ 𝑞 ≤ 𝑛. (Mulai sekarang, vektor tidak lagi dituliskan dengan huruf tebal; sebagai contoh 𝑢 𝑖 adalah vektor di ruang berdimensi 𝑛, yakni 𝑢 𝑖 = (𝑢𝑖1 , … , 𝑢 𝑖𝑛 ), 𝑖 = 1, … , 𝑝.) Bagaimanakah caranya menentukan sudut antara subruang 𝑈 yang direntang oleh {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dan subruang 𝑉 yang direntang oleh {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }? Persoalan ini dapat dipandang sebagai persoalan menentukan seberapa mirip himpunan ‘data’ {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dengan himpunan data {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } (bila 𝑝 = 𝑞), atau menghitung seberapa baik kita dapat menghampiri himpunan data {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dengan suatu himpunan 𝑝 anggota subruang yang direntang oleh {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } (bila 𝑝 ≤ 𝑞). Dalam statistika, besar sudut antara dua subruang merupakan ukuran ketergantungan himpunan peubah acak pertama pada himpunan peubah acak kedua [1]. Sebagai gambaran, misalkan ada dua keluarga, sebutlah Keluarga Pak Urip dan Keluarga Pak Vicky, yang sama-sama memiliki dua anak, dan kita ingin membandingkan aktivitas kedua anak di Keluarga Pak Urip dengan aktivitas kedua anak di Keluarga Pak Vicky, katakanlah dalam membaca, bermusik, berenang, dan bersepeda. Masing-masing anak memberi skor 1, 2, 3, atau 4 pada keempat aktivitas tersebut, dengan skor 1 berarti jarang melakukan aktivitas tersebut dan skor 4 berarti sering melakukan aktivitas tersebut. Misalkan datanya adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-16
ISSN: 2580-1104
Tabel 1. Data Aktivitas Anak
Dalam hal ini, kita mempunyai dua himpunan vektor, yaitu 𝑈 ∶= {(4,3,2,1), (3,4,2,1)} dan 𝑉 ∶= {(4,3,1,2), (2,4,2,2)}. Bila kita dapat menghitung sudut antara subruang yang direntang oleh himpunan vektor 𝑈 dan subruang yang direntang oleh himpunan vektor 𝑉, maka kita mempunyai suatu ukuran kemiripan aktivitas kedua anak di Keluarga 𝑈 dengan aktivitas kedua anak di Keluarga 𝑉. (Nanti setelah kita mempunyai rumus sudut antara dua subruang, kita akan melihat kembali contoh ini.) Pada tahun 2001, Risteski dan Trenčevski [25] mendefinisikan sudut 𝜃 antara subruang 𝑈 = span{𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dan 𝑉 = span{𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } dengan rumus cos 2 𝜃 ∶=
𝑑𝑒𝑡 ( 𝑀𝑀𝑇 ) , 𝑑𝑒𝑡 [ 〈𝑢 𝑖 , 𝑢𝑗 〉] ⋅ 𝑑𝑒𝑡 [ 〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉]
(3.1)
dengan 𝑀 ∶= [〈𝑢𝑖 , 𝑣𝑘 〉] adalah matriks berukuran 𝑝×𝑞 dan 𝑀T menyatakan matriks transposnya, [〈𝑢𝑖 , 𝑢𝑗 〉] adalah matriks berukuran 𝑝×𝑝, dan [〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉] adalah matriks berukuran 𝑞×𝑞. Rumus tersebut mereka peroleh dengan terlebih dahulu membuktikan ketaksamaan berikut: det ( 𝑀𝑀T ) ≤ det [ 〈𝑢 𝑖 , 𝑢𝑗 〉] ⋅ det [ 〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉].
(3.2)
Untuk 𝑝 = 𝑞 = 1, ketaksamaan di atas tak lain adalah ketaksamaan CauchySchwarz, yang berbunyi 〈𝑢, 𝑣〉2 ≤ ∥ 𝑢 ∥ 2 ∥ 𝑣 ∥ 2 . Jadi ketaksamaan di atas merupakan perumuman dari ketaksamaan CauchySchwarz, yang menjamin bahwa nilai
𝑑𝑒𝑡 (𝑀𝑀 𝑇 ) 𝑑𝑒𝑡 [〈𝑢𝑖 ,𝑢𝑗 〉]⋅𝑑𝑒𝑡 [〈𝑣𝑘 ,𝑣𝑙 〉]
berada pada
interval [0,1]. Ini penting karena nilai cos 2 𝜃 harus berada pada interval tersebut. Sekilas tidak ada yang mencurigakan dengan rumus (3.1) dan (3.2). Namun, ketika mempelajari bagaimana mereka membuktikan ketaksamaan (3.2),
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 17
teramati suatu argumen yang rapuh. Mereka menyatakan bahwa ketaksamaan tersebut ‘invarian’ atau tidak berubah terhadap operasi baris elementer, kemudian mengasumsikan bahwa {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } dan {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } ortonormal. Padahal, pada kenyataannya, ketaksamaan tersebut hanya invarian terhadap operasi baris elementer pada {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 }, tidak pada {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }, kecuali dalam kasus 𝑝 = 𝑞. Singkat kata, ketaksamaan (3.2) hanya berlaku dalam kasus (a) 𝑝 = 𝑞 atau (b) {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } ortonormal. (Dalam kasus 𝑝 = 𝑞, ketaksamaan (3.2) telah dibuktikan oleh S. Kurepa pada tahun 1966 [17].) Akibatnya, rumus (3.1) hanya berlaku pula dalam kedua kasus di atas. Di luar kedua kasus tersebut, bentuk hasil bagi di ruas kanan (3.1) dapat bernilai lebih besar daripada 1, yang tentunya tidak dapat menjadi nilai cos 2 𝜃. Untuk melihat bahwa ketaksamaan (3.2) salah secara umum, ambillah sebagai contoh 𝑋 = ℝ3 , yang dilengkapi dengan hasil kali dalam biasa, 𝑈 ∶= 1 1
span{𝑢} dengan 𝑢 = (1,0,0), dan 𝑉 ∶= span{𝑣1 , 𝑣2 } dengan 𝑣1 = ( , , 0) dan 2 2
1
1 1
𝑣2 = (2 , − 2 , 2 ). Menurut (3.2), kita seharus-nya mempunyai 〈𝑢, 𝑣1 〉2 + 〈𝑢, 𝑣2 〉2 ≤ ∥ 𝑢 ∥2 ∥ 𝑣1 , 𝑣2 ∥2 , dengan ∥ 𝑣1 , 𝑣2 ∥ = det [ 〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉]. Tetapi ruas kiri ketaksamaan ini sama dengan 〈𝑢, 𝑣1 〉2 + 〈𝑢, 𝑣2 〉2 =
1 1 1 + = , 4 4 2
sementara ruas kanannya sama dengan 3 ∥ 𝑢 ∥2 (∥ 𝑣1 ∥ 2 ∥ 𝑣2 ∥2 − 〈𝑣1 , 𝑣2 〉2 ) = . 8 Contoh sederhana ini memperlihatkan bahwa ketaksamaan (3.2) salah sekalipun dalam kasus {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } ortonormal dan {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } ortogonal (yang tidak terlalu jauh dari kondisi ortonormal). Mengetahui adanya kesalahan pada rumus Risteski dan Trenčevski, penelitian ulang tentang sudut antara dua subruang dilakukan dengan menggunakan konsep norm-𝑝 dan hasil kali dalam-𝑝 yang telah dikenal dengan baik sebelumnya. Sebagai hasil dari penelitian tersebut, diperoleh rumus sudut antara dua subruang yang merupakan revisi dari rumus (3.1). Selain itu diperoleh pula perumuman ketaksamaan Cauchy-Schwarz yang merupakan revisi dari ketaksamaan (3.2). Berbeda dengan pendekatan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-18
ISSN: 2580-1104
Risteski dan Trenčevski, ketaksamaan Cauchy-Schwarz diperoleh sebagai akibat dari rumus sudut antara dua subruang terkait, bukan sebaliknya [12]. Rumus Sudut Antara Dua Subruang - Bagian I Misalkan 𝑋 adalah ruang vektor yang dilengkapi dengan hasil kali dalam 〈 ∙ , ∙ 〉, yang akan menjadi ruang semesta pembahasan kita selanjutnya. Diberikan dua subruang dari 𝑋, sebutlah 𝑈 dan 𝑉, dengan dimensi 𝑝 dan 𝑞 berturut-turut, 1 ≤ 𝑝 ≤ 𝑞 ≤ dim(𝑋). Sebelum kita sampai pada rumus sudut antara 𝑈 dan 𝑉 secara umum, marilah kita tinjau terlebih dahulu dua kasus khusus, yaitu (a) dim(𝑈) = 1, dim(𝑉) = 𝑞 sembarang; (b) dim(𝑈) = dim(𝑉) = 𝑝 ≥ 2, dim(𝑈 ∩ 𝑉) = 𝑝 − 1. Dalam kasus (a), sudut 𝜃 antara 𝑈 dan 𝑉 didefinisikan dengan rumus cos 2 𝜃 =
〈𝑢, 𝑢 𝑉 〉2 ∥ 𝑢 ∥2 ∥ 𝑢 𝑉 ∥ 2
(4.1)
dengan 𝑢 𝑉 menyatakan vektor proyeksi (ortogonal) dari 𝑢 pada 𝑉, dan ∥ ⋅ ∥ ∶= 〈 ∙ , ∙ 〉1/2 menyatakan norm pada 𝑋 (yakni, ∥ 𝑣 ∥ menyatakan panjang vektor 𝑣). (Ada dua nilai 𝜃 yang memenuhi persamaan di atas, tetapi kita akan 𝜋
mengambil nilai 𝜃 ∈ [0, 2 ].) Dalam
kasus
(b),
misalkan
𝑈 = span{𝑢, 𝑤2 , … , 𝑤𝑝 }
dan
𝑉=
span{𝑣, 𝑤2 , … , 𝑤𝑝 }, dengan 𝑝 ≥ 2. Misalkan 𝑊 ∶= 𝑈 ∩ 𝑉 = span{𝑤2 , … , 𝑤𝑝 }. Sudut 𝜃 antara 𝑈 dan 𝑉 dalam hal ini didefinisikan dengan rumus cos 2 𝜃 =
⊥ 〉2 〈𝑢⊥𝑊 , 𝑣𝑊 ⊥ ∥2 ∥ 𝑢 ⊥𝑊 ∥2 ∥ 𝑣𝑊
(4.2)
⊥ dengan 𝑢⊥𝑊 dan 𝑣𝑊 menyatakan vektor komplemen ortogonal dari 𝑢 dan 𝑣, berturut-turut, pada 𝑊 (lihat ilustrasi di bawah ini).
Gambar 3. Sudut Antara Dua Subruang yang Beririsan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 19
Perhatikan bahwa ada kesamaan di antara kedua kasus di atas. Dalam kasus (a), kita dapat menuliskan 𝑢 = 𝑢 𝑉 + 𝑢 ⊥𝑉 dengan 𝑢⊥𝑉 adalah vektor komplemen ortogonal dari 𝑢 pada 𝑉. Dalam hal ini, rumus (4.1) menjadi cos 2 𝜃 =
∥ 𝑢 𝑉 ∥2 , ∥ 𝑢 ∥2
yang memperlihatkan bahwa nilai cos 𝜃 sama dengan rasio antara panjang vektor proyeksi 𝑢 pada 𝑉 dan panjang vektor 𝑢. Serupa dengan itu, dalam kasus (b), kita juga dapat memeriksa bahwa nilai cos 𝜃 sama dengan rasio antara volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh vektorvektor proyeksi 𝑢, 𝑤2 , … , 𝑤𝑝 pada 𝑉 dan volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh vektor-vektor 𝑢, 𝑤2 , … , 𝑤𝑝 . paralelpipedium berdimensi 2 adalah jajar genjang.)
(Untuk
𝑝 = 2,
Berdasarkan pengamatan di atas, kita dapat mendefinisikan sudut antara subruang 𝑈: = span{𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } dan subruang 𝑉: = span{𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }, dengan 𝑝 ≤ 𝑞 sedemikian sehingga nilai cosinus-nya sama dengan rasio antara volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh vektor-vektor proyeksi 𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 pada 𝑉 dan paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh vektor-vektor 𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝. Menggunakan notasi norm-𝑝 biasa, volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh vektor-vektor 𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 dituliskan sebagai ∥ 𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 ∥. Sudut 𝜃 antara subruang 𝑈 = span{𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } dan subruang 𝑉 = span{𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } dari 𝑋 (dengan 𝑝 ≤ 𝑞) dalam hal ini diberikan oleh rumus ∥ proj𝑉 𝑢1 , … , proj𝑉 𝑢 𝑝 ∥ 2 cos 𝜃 ∶= , ∥ 𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 ∥2 2
(4.3)
dengan proj𝑉 𝑢 𝑖 menyatakan vektor proyeksi dari 𝑢 𝑖 pada 𝑉. Jelas bahwa rasio ini merupakan suatu bilangan di interval [0,1]. Lebih jauh, kita dapat membuktikan bahwa nilai rasio tersebut invarian atau tidak berubah terhadap perubahan basis untuk 𝑈 dan 𝑉, sehingga kita mempunyai definisi yang ajek untuk sudut antara dua subruang. Proposisi. Rasio di ruas kanan (4.3) merupakan suatu bilangan di interval [0,1] dan tidak tergantung pada pemilihan basis untuk 𝑈 dan 𝑉. Bukti. Pertama catat bahwa vektor proyeksi dari 𝑢 𝑖 pada 𝑉 tidak tergantung pada pemilihan basis untuk 𝑉. Selanjutnya, karena operator proyeksi merupakan transformasi linear, rasio di ruas kanan (4.3) invarian terhadap perubahan basis untuk 𝑈. Persisnya, nilai rasio tersebut tidak berubah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-20
ISSN: 2580-1104
apabila kita (a) menukar 𝑢 𝑖 dan 𝑢𝑗 , (b) mengganti 𝑢 𝑖 dengan 𝑢 𝑖 + 𝛼𝑢𝑗 , atau (c) mengganti 𝑢 𝑖 dengan 𝛼𝑢 𝑖 untuk suatu 𝛼 ≠ 0. Kedua, dengan mengasumsikan bahwa himpunan {𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } ortonormal, kita mempunyai ∥ 𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 ∥ = 1 dan ∥ proj𝑉 𝑢1 , … , proj𝑉 𝑢 𝑝 ∥ ≤ 1 sebab ∥ proj𝑉 𝑢 𝑖 ∥ ≤ ∥ 𝑢 𝑖 ∥= 1 untuk setiap 𝑖 = 1, … , 𝑝. (Volume paralelpipedium yang panjang rusuk-rusuknya lebih kecil daripada atau sama dengan 1 pasti lebih kecil daripada atau sama dengan 1.) Jadi, nilai rasio tersebut merupakan suatu bilangan di interval [0,1]. Rumus Sudut Antara Dua Subruang - Bagian II Untuk mendalami rumus sudut antara dua subruang lebih lanjut, kita perlu berkenalan lebih akrab dengan konsep ruang hasil kali dalam-𝑝 dan ruang norm-𝑝 [10,11]. Misalkan 𝑋 adalah ruang vektor yang dilengkapi dengan hasil kali dalam 〈 ⋅ , ∙ 〉. Fungsi atau pemetaan ⟨ ⋅ , ⋅ | ⋅ , … , ⋅ ⟩ pada 𝑋 𝑝+1 yang dinyatakan dengan rumus
〈𝑥 0 , 𝑥 1 〉 〈𝑥 0 , 𝑥 2 〉 … 〈𝑥 , 𝑥 〉 〈𝑥 2 , 𝑥 2 〉 … ⟨𝑥 0 , 𝑥 1 |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝⟩ ∶= || 2 1 ⋮ ⋮ ⋱ 〈𝑥 𝑝 , 𝑥 1 〉 〈𝑥 𝑝 , 𝑥 2 〉 …
〈𝑥 0 , 𝑥 𝑝 〉 〈𝑥 2 , 𝑥 𝑝 〉 || ⋮ 〈𝑥 𝑝 , 𝑥 𝑝 〉
disebut sebagai hasil kali dalam-𝑝 pada 𝑋, sementara pemetaan ∥ 1/2
𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ ∶= ⟨𝑥 1 , 𝑥 1|𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝⟩ pada 𝑋 𝑝 disebut sebagai norm-𝑝 yang diinduksi oleh ⟨ ⋅ , ⋅ | ⋅ , … , ⋅ ⟩ pada 𝑋. Nilai ∥ 𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥2 dalam hal ini sama dengan determinan Gram yang terkait dengan vektor-vektor 𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 [9], yakni ∥ 𝑥1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ 2 = det [ 〈𝑥 𝑖 , 𝑥𝑗 〉]. Secara geometri, ‖𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝 ‖ menyatakan volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 yang direntang oleh 𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝. Beberapa sifat mendasar hasil kali dalam-𝑝 adalah bahwa ia bersifat bilinear dan komutatif untuk dua variabel pertama (karena itu dua variabel pertama dipisahkan dari variabel lainnya dengan tanda | bukannya dengan tanda koma). Selain itu, ⟨𝑥 0 , 𝑥 1 |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝⟩ = ⟨𝑥 0 , 𝑥 1|𝑥 𝑖2 , … , 𝑥 𝑖𝑝 ⟩ untuk sembarang permutasi {𝑖 2 , … , 𝑖 𝑝 } dari {2, … , 𝑝}. Lebih jauh, dengan menggunakan sifat determinan Gram, kita mempunyai ‖𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝 ‖ ≥ 0 dan ‖𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝 ‖ = 0 jika dan hanya jika 𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝 bergantung linear. Seperti halnya untuk hasil kali dalam, terdapat ketaksamaan Cauchy-Schwarz untuk hasil kali dalam-𝑝:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 21
2
⟨𝑥 0 , 𝑥 1 |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝⟩ ≤∥ 𝑥 0 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥2 ∥ 𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ 2 untuk setiap 𝑥 0 , 𝑥 1 , … , 𝑥 𝑝 . Selain itu, berlaku pula ketaksamaan Hadamard: ∥ 𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ ≤ ∥ 𝑥 1 ∥∥ 𝑥 2 ∥ ⋯ ∥ 𝑥 𝑝 ∥ untuk setiap 𝑥 1 , 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 . (Secara geometri, ketaksamaan Hadamard menyatakan bahwa volume paralelpipedium berdimensi-𝑝 takkan lebih besar daripada hasil kali panjang rusuk-rusuknya.) Selanjutnya perhatikan bahwa 〈𝑥 0 , 𝑥 1 + 𝑥 1 ′ |𝑥2 , … , 𝑥 𝑝 〉 = 〈𝑥 0 , 𝑥 1 |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 〉 untuk sembarang kombinasi linear 𝑥 1 ′ dari 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝. Jadi, misalnya, untuk 𝑖 = 0 dan 1, kita dapat menuliskan 𝑥 𝑖 = 𝑥 𝑖∗ + 𝑥 𝑖⊥, dengan 𝑥 𝑖∗ menyatakan vektor proyeksi dari 𝑥 𝑖 pada span{𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 } dan 𝑥 𝑖⊥ adalah vektor komplemen ortogonalnya, untuk mendapatkan 〈𝑥 0 , 𝑥 1 |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 〉 = 〈𝑥 0⊥, 𝑥 1⊥ |𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 〉 = 〈𝑥 0⊥, 𝑥 1⊥ 〉 ∥ 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ 2 . (Di sini, ∥ 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝 ∥ menyatakan volume paralelpipedium berdimensi 𝑝 − 1 yang direntang oleh 𝑥 2 , … , 𝑥 𝑝.) Fakta inilah yang berada di balik rumus (4.2) yang terkait dengan sudut antara dua subruang berdimensi 𝑝 yang beririsan pada suatu subruang berdimensi 𝑝 − 1. Menggunakan hasil kali dalam-𝑟 dan norm-𝑟, kita juga dapat memperoleh rumus untuk vektor proyeksi dari sembarang vektor 𝑥 pada subruang yang direntang oleh 𝑥 1 , … , 𝑥 𝑟. Persisnya, misalkan 𝑥 ∗ = ∑𝑟𝑘 =1 𝛼𝑘 𝑥 𝑘 adalah vektor proyeksi dari 𝑥 pada span{𝑥 1 , … , 𝑥 𝑟 }. Dengan menghitung hasil kali dalam dari 𝑥 ∗ dan 𝑥 𝑙 untuk 𝑙 = 1, … , 𝑟, kita peroleh sistem persamaan linear: 𝑟
∑ 𝛼𝑘 〈𝑥 𝑘 , 𝑥 𝑙 〉 = 〈𝑥 ∗ , 𝑥 𝑙 〉 = 〈𝑥, 𝑥 𝑙 〉,
𝑙 = 1, … , 𝑟.
𝑘=1
Dengan Aturan Cramer, sifat-sifat hasil kali dalam dan determinan, kita dapatkan 𝛼𝑘 =
〈𝑥, 𝑥 𝑘 |𝑥𝑖2(𝑘) , … , 𝑥 𝑖𝑟(𝑘) 〉 ∥ 𝑥1, 𝑥2 … , 𝑥𝑟 ∥2
dengan {𝑖 2 (𝑘), … , 𝑖 𝑟 (𝑘)} = {1,2, … , 𝑟} ∖ {𝑘} , 𝑘 = 1,2, … , 𝑟. Hasil di atas memungkinkan kita menyatakan rumus sudut antara subruang 𝑈 yang direntang oleh {𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } dan subruang 𝑉 yang direntang oleh {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }, dengan 𝑝 ≤ 𝑞, dalam bentuk yang lebih eksplisit. Persisnya, untuk 𝑖 = 1, … , 𝑝, vektor proyeksi dari 𝑢 𝑖 pada 𝑉 dapat dituliskan sebagai
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-22
ISSN: 2580-1104
𝑞
proj𝑉 𝑢 𝑖 = ∑ 𝛼𝑖𝑘 𝑣𝑘 𝑘=1
dengan 𝛼𝑖𝑘 =
〈𝑢 𝑖 , 𝑣𝑘 |𝑣𝑖2(𝑘) , … , 𝑣𝑖𝑞(𝑘) 〉 ∥ 𝑣1 , 𝑣2 , … , 𝑣𝑞 ∥ 2
dengan {𝑖 2 (𝑘), … , 𝑖 𝑞 (𝑘)} = {1,2, … , 𝑞} ∖ {𝑘} , 𝑘 = 1, 2, … , 𝑞. perhatikan bahwa
Selanjutnya
𝑞
〈proj𝑉 𝑢 𝑖 , proj𝑉 𝑢𝑗 〉 = 〈𝑢𝑖 , proj𝑉 𝑢𝑗 〉 = ∑ 𝛼𝑗𝑘 〈𝑢 𝑖, 𝑣𝑘 〉 𝑘=1
untuk 𝑖, 𝑗 = 1, … , 𝑝. Karena itu kita peroleh 𝑞
| ∥ proj𝑉 𝑢1 , … , proj𝑉 𝑢 𝑝 ∥ 2 =
𝑞
∑ 𝛼1𝑘 〈𝑢1 , 𝑣𝑘 〉 …
∑ 𝛼𝑝𝑘 〈𝑢1 , 𝑣𝑘 〉
𝑘=1
𝑘=1
𝑞
⋮
⋱
| ∑ 𝛼1𝑘 〈𝑢 𝑝 , 𝑣𝑘 〉 … 𝑘=1
𝑞
|
⋮
∑ 𝛼𝑝𝑘 〈𝑢 𝑝 , 𝑣𝑘 〉
|
𝑘=1
̃𝑇 ) 𝑑𝑒𝑡 ( 𝑀𝑀 = ∥ 𝑣1 , … , 𝑣𝑞 ∥2𝑝 dengan 𝑀: = [〈𝑢 𝑖 , 𝑣𝑘 〉] and
̃ : = [〈𝑢 𝑖 , 𝑣𝑘 |𝑣𝑖 (𝑘) , … , 𝑣𝑖 (𝑘) 〉] 𝑀 2 𝑞
(5.1)
̃ merupakan matriks dan 𝑖 2 (𝑘), … , 𝑖 𝑞(𝑘) seperti di atas. (Catat bahwa 𝑀 dan 𝑀 ̃ T berukuran 𝑝×𝑝.) Dengan demikian rumus berukuran 𝑝×𝑞, sehingga 𝑀𝑀 (4.3) untuk cosinus sudut antara 𝑈 dan 𝑉 dapat dituliskan sebagai ̃𝑇 ) det ( 𝑀𝑀 cos 𝜃 = . det [ 〈𝑢 𝑖 , 𝑢𝑗 〉] ⋅ det 𝑝 [ 〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉] 2
(5.2)
Rumus ini merupakan koreksi terhadap rumus (3.1) dari Risteski dan Trenčevski, sebagaimana telah dipublikasikan di [12]. ̃ = 𝑀, Perhatikan jika {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } ortonormal, maka det [ 〈𝑣𝑘 , 𝑣𝑙 〉] = 1 dan 𝑀 sehingga rumus (5.2) dapat disederhanakan menjadi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 23
cos 2 𝜃 =
det ( 𝑀𝑀𝑇 ) . det [ 〈𝑢 𝑖 , 𝑢𝑗 〉]
(5.3)
Lebih jauh, jika {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } juga ortonormal, maka rumus (5.3) menjadi cos 2 𝜃 = det ( 𝑀𝑀T ). Khususnya, jika 𝑝 = 𝑞, maka det ( 𝑀𝑀T ) = det 𝑀 ⋅ det 𝑀T = det 2 𝑀, sehingga dari rumus terakhir kita peroleh cos 𝜃 = | det 𝑀 |. (Jadi, dalam kasus 𝑝 = 𝑞, kita dapat menghitung sudut antara dua subruang dengan terlebih dahulu melakukan proses ortonormalisasi pada kedua himpunan vektor terkait, lalu menghitung determinan matriks berisi hasil kali dalam vektor-vektor hasil ortonormalisasi.) Sebagai konsekuensi dari rumus (5.2), kita peroleh ketaksamaan CauchySchwarz yang merupakan koreksi dari ketaksamaan (5.3), yaitu: Proposisi. Untuk dua himpunan vektor sembarang {𝑢1 , … , 𝑢 𝑝 } dan {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 } di 𝑋 dengan 𝑝 ≤ 𝑞, berlaku ketaksamaan ̃ T ) ≤ det [ 〈𝑢 𝑖 , 𝑢𝑗 〉] ⋅ det 𝑝 [〈𝑣𝑘, 𝑣𝑙 〉], det ( 𝑀𝑀 ̃ matriks 𝑝×𝑞 pada persamaan (5.1). Lebih jauh, kesamaan dengan 𝑀 dan 𝑀 berlaku jika dan hanya jika subruang yang direntang oleh {𝑢 1 , … , 𝑢 𝑝 } termuat dalam subruang yang direntang oleh {𝑣1 , … , 𝑣𝑞 }. Potensi Aplikasi Terkait dengan konsep sudut antara dua subruang (di ruang hasil kali dalam), terdapat beberapa potensi aplikasi yang dapat dikemukakan di sini. Aplikasi pertama, sebagaimana telah disinggung di bagian depan, adalah dalam bidang statistika. Lihat kembali Tabel 1 tentang aktivitas anak-anak di keluarga Pak Urip dan Pak Vicky. Sekilas tampak bahwa aktivitas anak-anak di kedua keluarga tersebut mirip, tetapi pertanyaannya adalah: seberapa mirip? Di sini, kita berhadapan dengan dua subruang dari ruang berdimensi 4, yaitu 𝑈 ∶= span{(4,3,2,1), (3,4,2,1)} dan 𝑉 ∶= span{(4,3,1,2), (2,4,2,2)}. Walau sederhana, kita tidak dapat menggambar empat vektor yang bebas linear (di ruang berdimensi 4), sehingga kita tidak dapat membayangkan seberapa besar sudut antara 𝑈 dan 𝑉; karena itu kita perlu bersandar pada rumus sudut antara dua subruang yang telah kita periksa keajekannya. Untuk contoh ini kita peroleh nilai cosinus sudut antara 𝑈 dan 𝑉 sama dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-24
ISSN: 2580-1104
0,853. Dengan demikian, sudut antara 𝑈 dan 𝑉 adalah 31, 5∘, yang relatif kecil (lebih lecil daripada 45∘). Dengan sudut sebesar ini, kita dapat mengatakan bahwa aktivitas anak-anak di kedua keluarga tersebut mirip. Hasil yang berbeda akan kita peroleh bila kita bandingkan aktivitas kedua anak di Keluarga Pak Urip dengan aktivitas kedua anak di keluarga Pak Wijaya, yang datanya diberikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 2. Data Aktivitas Anak
Nilai cosinus sudut antara subruang 𝑈 ∶= span{(4,3,2,1), (3,4,2,1)} dan subruang 𝑊 ∶= span{(1,2,3,4), (2,1,4,3)} sama dengan 0,507. Dengan demikian, sudut antara 𝑈 dan 𝑊 adalah 59, 5∘. Dengan sudut yang lebih besar daripada 45∘, kita akan mengatakan bahwa aktivitas kedua anak di Keluarga Pak Urip berbeda dengan aktivitas kedua anak di Keluarga Pak Wijaya. Aplikasi lebih lanjut dalam statistika perlu dijajagi oleh para statistikawan. Aplikasi lainnya dari rumus sudut antara dua subruang dapat ditemukan dalam bidang matematika lainnya, khususnya dalam bidang teori kontrol [13,23]. Aplikasi dalam bidang fisika dapat ditemukan di [2,5], sementara aplikasi dalam bidang biokimia dapat ditemukan di [6,7]. Area aplikasi yang lebih menjanjikan adalah dalam bidang grafika komputer (yang terkait dengan pemrosesan citra), seperti dapat dipelajari di [4,14,15,18,19,22]. Selain itu, aplikasi dalam bidang teknik elektro, khususnya vehicular technology, dapat ditemukan di [20,21,27]. Penutup Akhir kata, dalam sepakbola, ada penjaga gawang, pemain belakang, pemain tengah, dan pemain depan atau penyerang. Dalam matematika, menemukan rumus adalah pekerjaan pemain belakang. Setelah sebuah rumus ditemukan, ‘bola’ pun bergulir ke lapangan tengah, dan selanjutnya pemain tengah dan pemain depan lah yang diharapkan mengutak-atik ‘bola’ tersebut, sebelum akhirnya mencetak ‘gol’. Terkait dengan konsep dan rumus sudut antara dua
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 25
subruang yang dibahas di sini, beberapa peneliti asing telah memanfaatkannya untuk berbagai keperluan, sebagaimana dirujuk di atas. Ke depan kita berharap para peneliti asal Indonesia yang ‘bermain di lapangan tengah dan depan’ dapat pula memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari para ‘pemain belakang’, yang berkiprah dalam bidang ilmu dasar. Sebaliknya, tentunya, para peneliti dalam bidang ilmu dasar juga siap mengumpan hasil-hasil penelitian yang ditunggu oleh peneliti dalam bidang ilmu terapan, sekiranya memang diperlukan. Dengan bersinergi, niscaya kita dapat membuahkan ‘gol’ indah yang kita rindukan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-26
ISSN: 2580-1104
Daftar Pustaka [1] [2]
[3] [4] [5] [6] [7] [8]
[9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17]
Anderson, T.W. An Introduction to Multivariate Statistical Analysis, John Wiley & Sons, Inc., New York (1958). Bosetti, H., dkk. “Time-reversal symmetry and covariant Lyapunov vectors for simple particle models in and out of thermal equilibrium.” Physical Review E - Statistical, Nonlinear, and Soft Matter Physics (2010). Brown, A.L. & Page, A. Elements of Functional Analysis, Van Nostrand Reinhold Co., London (1970). Cao, W.M., dkk. “Content-based image retrieval using high-dimensional information geometry.” Science China Information Sciences (2014). Chella, F., dkk. “Calibration of a multichannel MEG system based on the Signal Space Separation method.” Physics in Medicine and Biology (2012). David, C.C. & Jacobs, D.J. “Characterizing protein motions from structure.” Journal of Molecular Graphics and Modelling (2011). David, C.C. & Jacobs, D.J. “Principal component analysis: A method for determining the essential dynamics of proteins.” Methods in Molecular Biology (2014). S. Fedorov, “Angle between subspaces of analytic and antianalytic functions in weighted 𝐿 2 space on a boundary of a multiply connected domain,” in Operator Theory, System Theory and Related Topics. BeerSheva/Rehovot (1997), 229–256. Gantmacher, F.R. The Theory of Matrices, Vol. I, Chelsea Publishing Co., New York (1960), 247–256. Gunawan, H. “On 𝑛-normed spaces.” International Journal of Mathematics and Mathematical Sciences (2001). Gunawan, H. “On 𝑛-inner products, 𝑛-norms, and the Cauchy-Schwarz inequality.” Scientiae Mathematicae Japonica (2001), 47–54. Gunawan, H., Neswan, O. & Setya-Budhi, W. “A formula for angles between two subspaces of inner product spaces.” Beiträge zur Algebra und Geometrie (2005). Haesen, S., dkk. “On the extrinsic principal directions of Riemannian submanifolds.” Note di Matematica (2009). Kaveh, A. Optimal Analysis of Structures by Concepts of Symmetry and Regularity. Springer-Verlag, Wien (2013). Kaveh, A. & Fazli, H. “Approximate eigensolution of locally modified regular structures using a substructuring technique.” Computers and Structures (2011). Knyazev, A.V. & Argentati, M.E. “Principal angles between subspaces in an 𝐴-based scalar product: algorithms and perturbation estimates.” SIAM Journal on Scientific Computing (2002), 2008–2040. Kurepa, S. “On the Buniakowsky-Cauchy-Schwarz inequality.” Glasnik Matematicki Series III (21) (1966), 147–158.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 27
[18] Liwicki, S., dkk. “Euler principal component analysis.” International Journal of Computer Vision (2013). [19] Liwicki, S., dkk. “Online kernel slow feature analysis for temporal video segmentation and tracking.” IEEE Transactions on Image Processing (2015). [20] Nam, S., dkk. “A PF scheduling with low complexity for downlink multiuser MIMO systems.” IEEE Vehicular Technology Conference (2013). [21] Nam, S., dkk. “A user selection algorithm using angle between subspaces for downlink MU-MIMO systems.” IEEE Transactions on Communications (2014). [22] Peikert, R. & Sadlo, F. “Height ridge computation and filtering for visualization.” IEEE Pacific Visualisation Symposium 2008, PacificVis Proceedings (2008). [23] Pustylnik, E., dkk. “Convergence of infinite products of nonexpansive operators in Hilbert space.” Journal of Nonlinear and Convex Analysis (2010). [24] Rakočević, V. & Wimmer, H.K. “A variational characterization of canonical angles between subspaces.” Journal of Geometry (2003), 122– 124. [25] Risteski, I.B. & Trenčevski, K.G. “Principal values and principal subspaces of two subspaces of vector spaces with inner product.” Beitr𝑎̈ ge zur Algebra und Geometrie (2001), 289–300. [26] Wimmer, H.K. “Canonical angles of unitary spaces and perturbations of direct complements.” Linear Algebra & Applications (1999), 373–379. [27] Yi, X. & Au, E.K.S. “User scheduling for heterogeneous multiuser MIMO systems: A subspace viewpoint.” IEEE Transactions on Vehicular Technology (2011).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-28
ISSN: 2580-1104
PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN DAN KOMPETENSI MATEMATIKA SISWA BERBASIS STANDAR PENDIDIKAN MATEMATIKA INDONESIA: PELUANG DAN TANTANGAN Zainal A. Hasibuan Universitas Indonesia Abstrak Berbeda dengan standar suatu produk atau layanan yang kalau tidak memenuhi standar tidak boleh “diperdagangkan”, sedangkan standar pendidikan merupakan suatu sistem pendidikan yang melibatkan berbagai komponen input, proses dan keluaran (output/outcome) yang saling terkait satu sama lain, seperti: ukuran pencapaian kompetensi, materi ajar, pengajaran, penilaian, sarana dan prasarana, management, dll. Semenjak tahun 2003, sistem pendidikan di Indonesia, secara resmi menganut sistem pendidikan berbasis standar (UU 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional). Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal (bukan kriterium minimal) tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kriteria minimal berarti perlunya beberapa kriteria digunakan untuk mengukur suatu standar. Sistem Pendidikan Nasional (SPN) mencanangkan delapan (8) standar sebagai Standar Nasional Pendidikan (SNP): Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Standar Pengelolaan, dan Standar Biaya. Standar Pendidikan Matematika Indonesia merupakan bagian dari SNP, yang pada intinya bagaimana mendidik matematika agar anak didik dari semua jenjang pendidikan dapat mencapai kompetensi Matematika yang dicanangkan. Sesuai dengan SNP, maka standar pendidikan matematika, meliputi Standar Kompetensi Matematika, Standar Isi Matematika, Standar Proses Matematika, Standar Penilaian Matematika, yang didukung oleh Standar Tenaga Pendidik Matematika dan kependidikan, Standar Sarana dan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 |K- 29
Prasarana, Standar Pengelolaan, dan Standar Biaya. Secara logis, yang pertama kali harus dirumuskan adalah, Standar Kompetensi Matematika yang harus dimiliki oleh setiap siswa yang belajar matematika, sesuai dengan gradasi dan jenjang pendidikannya secara terintegrasi. Secara garis besar, Standar Kompetensi Matematika bermuara kepada perumusan: sikap, keterampilan dan pengetahuan siswa tentang Matematika, dalam hal berpikir kritis, reasoning, komputasi, dll. Standar Kompetensi Matematika ini akan menghela standar-standar lain, terutama Standar Isi Matematika, Standar Proses Matematika, Standar Penilaian Matematika, dan Standar Tenaga Pendidik Matematika, sehingga dijadikan dasar bagi guru, siswa, dan pengelola untuk membuat perencanaan pembelajaran yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan mengadopsi Standar Pendidikan Matematika, pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat didalam ekosistem SNP bisa mengukur dan memantau kemajuan atau kemunduran yang mungkin terjadi terhadap kompetensi matematika siswa. Secara nasional, hasil ukuran ini menggambarkan posisi relatif peringkat kemampuan Bangsa Indonesia dalam bidang Matematika.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | K-30
ISSN: 2580-1104
DAFTAR ISI Bidang Pendidikan Matematika Kode Makalah MP-SNM-01
Penulis
Judul Makalah
Adhika Wahyu Nur Hidayat
MP-SNM-02
Hanifah
MP-SNM-03
Elita Zusti Jamaan
MP-SNM-04
Ita Handayani
Pengaruh Problem Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Peranan Komputer Pada Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori APOS Alur Pembelajaran Topik Transformasi Bangun Datar Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Untuk Meningkatkan Kemampuan Bepikir Kritis Matematis Siswa Smp Negeri Vii Padang Pengaruh Model Pembelajaran Core Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Smp Negeri Di Jakarta Selatan
MP-SNM-05
Sigit Purwanto
MP-SNM-06
Vepi Apiati
MP-SNM-07
Yeni Heryani
MP-SNM-08
Dedek Kustiawati
Halaman
Pengaruh Strategi Pembelajaran Active Knowledge Sharing Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Korelasi Antara Momotivasi Belajar Dan Habits Of Mind Dengan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Mahasiswa Kontribusi Penggunaan Model Discovery Learning Terhadap Peningkatkan Kemampuan Koneksi Dan Komunikasi Matematik Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Angkatan 2015-2016s Pengaruh Aplikasi Core Math Tools Terhadap Kemampuan Visual Thinking Matematik Siswa
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | v
1 13 17
29
43
55
67
79
Bidang Matematika dan Komputer Kode makalah MM-SNM-01
Penulis
Judul Makalah
Adi Setiawan
MM-SNM-02
Betty Subartini
MM-SNM-03
Dania Siregar
MM-SNM-04
Elis Hartini
MM-SNM-05
Firdaniza
MM-SNM-06
Gama Putra Danu Sohibien
MM-SNM-07
Hengki Harianto
MM-SNM-08
Ibnu Hadi
MM-SNM-09
Isah Aisah
MM-SNM-10
Julita Nahar
MM-SNM-11
Muhamad Deni Johansyah
MM-SNM-12
Siti Rohmah Rohimah
MM-SNM-13
Vera Maya Santi
Analisis Data Time Series Dan Data Panel Dalam Kajian Foreign Direct Investment Di Indonesia Efek Vaksinasi Pada Model Penyakit Demam Berdarah Dengan Kelas Asimptomatik Dan Simptomatik Penerapan Metode Penggerombolan TMCM untuk memprediksi performa Akademik Maximum Sustainable Yield (Msy) Dengan Struktur Model PreyPredator Dari Fungsi Respon Michaelis-Menten Analisis Kecenderungan Harga Saham Apple.Inc Menggunakan Rantai Markov Pemodelan Inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, Dan Batam Dengan Pendekatan Generalized Space-Time Autoregressive Aplikasi Pewarnaan Graf Menggunakan Algoritma WelchPowell Pada Pengaturan Traffic Light Konstruksi grup pembagi pada himpunan matriks bilangan bulat modulo prima Representasi Geometri Dari Kode Genetik Standar Pemetaan Kasus Penyakit Di Jawa Barat Dengan Menggunakan Metode Multidimensional Scaling (Mds) Penyelesaian Persamaan Diferensial Fraksional Menggunakan Metode Transformasi Laplace Model Prediksi Demam Berdarah Dengue berdasarkan faktor Iklim Demam Berdarah di DKI Jakarta Pengembangan Model Regresi Dummy
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | vi
Halaman 93
109 123 137
145 153
167 177 187 197 205 221 237
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-14
Erick Paulus
MM-SNM-15
Erick Paulus
Analisa Ekstraksi Baris Teks pada Lontar Sunda Kuno Berbasis Profil Proyeksi Analisa Metode Viola-Jones untuk Penghitungan Manusia dengan Berbagai Posisi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | vii
249 259
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | viii
ISSN: 2580-1104
Kelompok Bidang Studi Pendidikan Matematika
ISSN: 2580-1104
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-01 PENGARUH PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH Gaguk Margono 1, Adhika Wahyu Nur Hidayat2 1Universitas
Negeri Jakarta
[email protected] 2 Universitas Negeri Jakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui perbandingan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa sebagai akibat dari pendekatan problem based learning dan ekspositori. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan subjek populasi seluruh mahasiswa program studi D3 teknik mesin dengan kemampuan awal matematis tinggi, sedang dan rendah di Jakarta. Sampel yang terlibat sebanyak 132 orang mahasiswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah. Analisis data menggunakan uji perbedaan dua rata-rata sampel independen. Untuk mengetahui kemampuan, pola jawaban, dan strategi yang digunakan mahasiswa dalam pemecahan masalah, dilakukan analisis terhadap hasil pekerjaan mahasiswa. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa secara keseluruhan, ada perbedaan peningkatan antara kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mengikuti pendekatan problem based learning dengan mahasiswa yang mengikuti pendekatan ekspositori. Kata Kunci: Kemampuan Pemecahan Masalah, Problem Based Learning.
PENDAHULUAN Tantangan pendidikan di Indonesia mulai terasa berat dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2016. Tenaga kerja asing akan banyak masuk ke Negara ini begitu pula pekerja Indonesia akan tersebar di beberapa negara Asean. Tentunya dibutuhkan persiapan untuk menghadapinya. Salah satu yang perlu disiapkan adalah kemampuan berhitung matematika. Belajar matematika di perguruan tinggi biasanya berkaitan dengan kemampuan kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi, bukan hanya mengingat fakta ataupun penerapan yang sederhana. Mahasiswa yang belajar matematika di perguruan tinggi perlu diberikan masalah yang membuat tertantang dan berpikir lebih keras agar mereka siap
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 1
menghadapi dunia kerja. Sehingga, mahaSiswa perlu diberikan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Saat pemberian suatu soal permasalahan, perlu dipertimbangkan tipe masalah soal yang membuat siswa dapat melakukan pemecahan masalah matematika. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan berdasarkan pendapat Rubinstein dan Branca (Surbekti, 202:30) adalah sebagai berikut: 1. Masalahnya menarik 2. Masalahnya menantang 3. Masalahnya memiliki jawaban 4. Jawabannya diperoleh apabila telah memahami secara tepat 5. Soal yang dipahami tidak segera ditemukan strategi yang tepat dan harus bekerja keras untuk menemukannya. 6. Penyelesaian diperoleh setelah melakukan kerja keras dengan semangat yang tinggi. Menurut pendapat beberapa ahli (Barrows dan Kelson, 2003, Ibrahim dan Nur dalam Ratnaningsih, 2004, Pierce dan Jones dalam Dasari, 2009, Stephen dan Gallagher, 2003, Sears dan Hersh dalam Dasari, 2009), Problem Based Learning (PBL) diartikan sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam konteks dengan karakteristik: 1) Masalah harus berkaitan dengan kurikulum, 2) Masalah bersifat tak terstruktur, solusi tidak tunggal, dan prosesnya bertahap, 3) Mahasiswa memecahkan masalah dan dosen sebagai fasilitator, 4) Mahasiswa hanya diberi panduan untuk mengenali masalah, dan tidak diberi formula untuk memecahkan masalah, dan 5) Penilaian berbasis performa autentik. Pierce dan Jones (Dasari, 2009) mengklasifikasi PBL dalam dua level yaitu level rendah dan level tinggi. PBL tergolong pada level rendah jika hanya memuat sedikit karakteristik di atas, dan PBL tergolong pada level tinggi jika mahasiswa terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang mencerminkan karakteristik PBL di atas. Perbedaan penting antara PBL dan pembelajaran konvensional terletak pada tahap penyajian masalah. Dalam pembelajaran konvensional, penyajian masalah diletakkan pada akhir pembelajaran sebagai latihan dan penerapan konsep yang dipelajari. Pada PBL, masalah disajikan pada awal pembelajaran, berfungsi untuk mendorong pencapaian konsep melalui investigasi, inkuiri, pemecahan masalah, dan mendorong kemandirian belajar. Ibrahim dan Nur (Ratnaningsih, 2004) mengemukakan lima langkah dalam PBL sebagai berikut : a) Mengorientasikan mahasiswa pada masalah: dosen memberi penjelasan tujuan pembelajaran, memotivasi mahasiswa agar terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 2
ISSN: 2580-1104
b) Mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar: dosen membantu mahasiswa mengidentifikasi dan mengorganisasi tugas belajar. c) Membimbing mahasiswa bekerja individual atau kelompok: dosen mendorong mahasiswa mengumpulkan informasi, melaksanakan eksperimen. d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya: dosen membantu mahasiswa menyusun laporan dan berbagi tugas dengan sesama mahasiswa. e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah: dosen membantu mahasiswa merefleksi dan mengevaluasi proses yang telah dikerjakannya. NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan apapun, perlu dipertimbangkan beberapa hal penting antara lain: a) Memilih tugas hendaknya memperhatikan: topik-topik matematika yang relevan, pemahaman, minat, dan pengalaman belajar siswa yang sebelumnya, dan mendorong tercapainya belajar bermakna, b) Pemilihan tugas ditujukan untuk: mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematik, menstimulasi tersusunnya hubungan matematik, mendorong untuk formulasi masalah, pemecahan masalah, dan penalaran matematik, memajukan komunikasi matematik, menggambarkan matematika sebagai kegiatan manusia, mendorong tumbuhnya disposisi matematik, c) Pengaturan diskursus diarahkan untuk menemukan kembali dan mengembangkan ide matematika. d)
Berpartisipasi dalam suasana belajar yang mendorong pengembangan daya matematik mahasiswa dengan cara: mengajukan idea dan masalah yang sesuai, menyajikan masalah kontekstual; menghargai idea, cara berfikir dan disposisi matematik siswa; bekerja individual atau kolaboratif; mengajukan pertanyaan dan menyusun konjektur
e) Menganalisis partisipasi belajar mahasiswa merefleksi partisipasi belajarnya, melalui: introspeksi terhadap apa yang telah dipelajari,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 3
memeriksa pekerjaan tugas, ketercapaian belajar berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan disposisi matematik. Sejak lama, Polya (1985) mengemukakan empat langkah dalam pemecahan masalah: yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahan, (3) melakukan perhitungan, (4) memeriksa kebenaran hasil. Selanjutnya Polya (1985) secara lebih rinci mengidentifikasi proses tiap langkah pemecahan masalah dengan sejumlah pertanyaan yang mengarahkan mahasiswa melaksanakan proses-proses dalam langkah yang bersangkutan. Kemampuan pemecahan masalah matematik merupakan kemampuan yang dapat diperoleh melalui pembiasaan mahasiswa menyelesaikan persoalan yang tidak rutin, di mana mahasiswa diajak berpikir dalam menentukan langkah-langkah penyelesaian masalah. Pengertian pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan menurut Duch dkk (2001) yang mendefinisikan bahwa Problem Based Learning sebagai pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memperoleh pemaham konsep dan, prinsip, dapat belajar berpikir kritis dan terampil memecahkan masalah. Problem Based Learning memiliki sepuluh karakteristik utama yaitu: 1) Permasalahan menjadi titik awal dalam belajar; 2) Permasalahan diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur; 3) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multi perspective); 4) Permasalahan menantang sikap dan kompetensi mahasiswa; 5) Kemandirian belajar menjadi hal yang utama; 6) Pemanfaatan sumber yang beragam dan evaluasi merupakan proses yang esensial dalam PBL; 7) Belajar secara kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif; (8) Pengembangan keterampilan inkuiri dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan konten pengetahuan; 9) Sintesis dan integrasi merupakan proses belajar; 10) PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman dan proses belajar (Amir, 2009). Forgarty (Karlimah, 2010) mengemukakan tahap-tahap strategi belajar berbasis masalah sebagai berikut: 1) menemukan masalah; 2) mendefinisikan masalah; 3) mengumpulkan fakta; 4) menyusun hipotesis; 5) melakukan penyelidikan; 6) menyempurnakan masalah yang telah didefinisikan; 7) menyimpulkan alternatif pemecahan secara kolaboratif; dan 8) melakukan pengujian hasil solusi pemecahan masalah. Geometri merupakan salah satu materi pokok pada mata kuliah Matematika Teknik yang wajib ditempuh bagi mahasiswa Teknik Mesin. Berdasarkan penelitian awal diperoleh fakta bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal non rutin. Mahasiswa belum mengetahui apa yang tersirat dari soal, dan langkah apa yang harus
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 4
ISSN: 2580-1104
ditempuh untuk menyelesaikannya. Mahasiswa juga masih lemah dalam memberikan alasan setiap langkah penyelesaiannya. Pemecahan masalah geometri sangat berkaitan dengan problem based learning yaitu dalam hal: (1) Membangun pengetahuan matematika yang baru melalui pemecahan masalah, dengan menggunakan problem based learning yang dilakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah dengan memformulasikan masalah tersebut; (2) Memecahkan masalah yang ada dalam matematika maupun dalam konteks lain, dengan menggunakan pembelajaran Problem Based Learning dapat memberikan informasi-informasi yang lebih geometris dan eksak; (3) Menerapkan dan menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, dengan menggunakan Problem Based Learning dapat menemukan beberapa alternatif jawaban soal. Dalam tahap ini juga dilakukan pemecahan masalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan; (4) Mengamati dan merefleksikan dalam proses pemecahan masalah matematika, dengan menggunakan Problem Based Learning dapat dilakukan pengecekan terhadap jawaban sesuai dengan apa yang ditanyakan. Menarik untuk dikaji lebih jauh, benarkah pendekatan Problem Based Learning berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika? Sejauh mana sumbangsih pendekatan Problem Based Learning dalam proses pemecahan masalah matematika? Hal-hal tersebut mendorong untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Problem Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Mahasiswa.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori pendukung dan penelitian yang relevan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning masalah akan lebih baik daripada kemampuan mahasiswa yang memperoleh pembelajaran matematika pendekatan konvensional. Selanjutnya berdasakan kemampuan awal mahasiswa (kelompok mahasiswa) akan ditentukan hipotesis penelitian sebagai berikut. a. Kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa kelompok atas yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning akan lebih baik daripada kemampuan mahasiswa
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 5
kelompok atas yang memperoleh pembelajaran matematika pendekatan konvensional. b. Kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa kelompok tengah yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning akan lebih baik daripada kemampuan mahasiswa kelompok tengah yang memperoleh pembelajaran matematika pendekatan konvensional. c. Kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa kelompok bawah yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning akan lebih baik daripada kemampuan mahasiswa kelompok bawah yang memperoleh pembelajaran matematika pendekatan konvensional. 2. Perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan Problem Based Learning akan lebih baik daripada mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan konvensional. METODE PENELITIAN 1. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes-postes (Pretest-Posttest Control Group Design). Secara singkat, desain eksperimen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut. R
O
R
O
X
O O
Keterangan: X = Pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning R = Pengambilan sampel secara acak kelas O = pretes = postes Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program studi Teknik Mesin yang ada di Jakarta. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan stratified sampling (teknik strata). Sampel penelitian adalah mahasiswa D3 Teknik Mesin angkatan tahun pertama di Universitas Negeri Jakarta.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 6
ISSN: 2580-1104
Untuk menentukan kemampuan digunakan aturan sebagai berikut: 𝐾𝐴 =
awal matematika
∑(𝑆𝐾𝑆 𝑋 𝐵𝑂𝐵𝑂𝑇 𝑁𝐼𝐿𝐴𝐼) ∑ 𝑆𝐾𝑆
mahasiswa
,
KA adalah kemampuan awal mahasiswa Aturan ini dikenakan pada mata kuliah matematika yang telah ditempuh sebelum mengambil mata kuliah matematika teknik 2. Adapun bobot nilai ditentukan sebagai berikut: Tabel 1. Bobot Nilai Mahasiswa Nilai Bobot A
4
B
3
C
2
D
1
E
0
Sumber: UNJ (2013) 2. Prosedur Analisis Data Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan pemecahan masalah matematis. Untuk menganalisis data hasil tes digunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Prosedur inferensi diawali melalui uji prasyarat yaitu uji homogenitas varians dan uji normalitas. Berdasarkan uji normalitas data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji perbedaan rata-rata menggunakan uji t dan uji F dengan tingkat kesalahan α = 5 %. Jika data tidak berditribusi normal maka untuk menguji perbedaan rata-ratanya menggunakan uji Mann Whitney. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang normal gain skor tes pemecahan masalah matematis disajikan model Weiner skor rata-rata n gain tes pemecahan masalah matematis.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 7
Tabel 2. Model Weiner Skor Rata-rata Pemecahan Masalah
Kemampuan Model Awal Pembelajaran Matematika
Tinggi (A)
Sedang (B)
Rendah (C)
Gabungan
Rata-rata n gain TPMM
PBL
0,74
Ekspositori
0,66
PBL
0,63
Ekspositori
0,57
PBL
0,58
Ekspositori
0,51
PBL
0,64
Ekspositori
0,56
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis diperoleh melalui pretes dan postes pemecahan masalah matematis. Perbandingan skor n gain pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan model pembelajaran dan peringkat sekolah disajikan dalam diagram batang berikut ini.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 8
ISSN: 2580-1104
Dari uji perbedaan dua rata-rata dengan uji-t diperoleh ringkasan hasil uji H0 dan hipotesis penelitian terkait pemecahan masalah matematis sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 3. Ringkasan hasil uji H0 dan hipotesis penelitian
No 1
2
3
4
Hipotesis Penelitian
H0
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis Ditolak mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran ekspositori pada gabungan ketiga peringkat kemampuan awal mahasiswa (A+B+C). (Diterima) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis Ditolak mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekpositori pada kemampuan awal tinggi (A). (Diterima) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Ditolak yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori pada kemampuan awal sedang (B). (Diterima) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis Ditolak mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori pada peringkat sekolah rendah (C). (Diterima)
KESIMPULAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, pembahasan, dan temuan-temuan dalam penelitian yang telah dikemukakan pada sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan Problem Based Learning lebih baik daripada mahasiswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori jika
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 9
didasarkan pada kemampuan awal mahasiswa (tinggi, sedang, rendah) dan keseluruhan mahasiswa. 2. Implikasi Penelitian ini berhasil mengungkapkan, bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan Pendekatan Problem Based Learning lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan ekspositori jika ditinjau dari masing-masing kemampuan awal matematika dan gabungannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan beberapa implikasi dari kesimpulan penelitian sebagai berikut. 1. Penerapan Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis sesuai dengan tujuan pembelajaran sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum perguruan tinggi berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). 2. Diskusi yang merupakan salah satu sarana bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui pendekatan Problem Based Learning mampu menumbuhkan suasana kelas menjadi lebih dinamis, demokratis dan menimbulkan rasa senang dalam belajar matematika. 3. Peran dosen sebagai mediator dan fasilitator membawa konsekuensi bagi dosen lebih memahami kelemahan dan kekuatan dari bahan ajar serta karakteristik kemampuan individu mahasiswa. Jika hal ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan didiskusikan dengan sesama dosen maka akan membawa dampak yang lebih positif terhadap pengetahuan dosen di masa yang akan datang. 3. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, diajukan beberapa saran sebagai berikut. 1. Pendekatan Problem Based Learning secara signifikan lebih baik daripada pendekatan ekspositori dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa, ditinjau dari kemampuan awal mahasiswa. Dengan demikian, Problem Based Learning sangat potensial diterapkan di perguruan tinggi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 10
ISSN: 2580-1104
2. Untuk menunjang keberhasilan implementasi pendekatan Problem Based Learning diperlukan bahan ajar yang lebih menarik, permasalahan kontekstual dirancang agar menantang sehingga memicu terjadinya konflik kognitif yang dapat mengembangkan pemecahan masalah matematis, serta setiap aspek kemampuan berpikir yang lainnya secara optimal. 3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan Problem Based Learning masalah terhadap kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan daya matematis.
DAFTAR PUSTAKA Arikuto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Haroh, K. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. [Online]. Tersedia http://www.ericdigest.org/2004-3/math.html [14 Januari 2015]. Kochhar, S. K. (2008). Teaching of History. Jakarta: Grasindo. Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New Jersey: Pearson Education. Inc. Santrock, Jhon W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sudjana, Nana. (2003). Metode Statistik. Bandung: Tarsito. Sudjana, Nana.(2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. (2011). Metode Peneitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suherman, dkk.(2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI. Sumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Supatmono, Catur. (2009). Matematika Asyik. Jakarta: Grasindo.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 11
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 12
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-02 PERANAN KOMPUTER PADA MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI APOS (MODEL APOS) Hanifah Pendidikan Matematika FKIP UNIB
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memaparkan tentang Peranan Komputer Pada Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori APOS (Model APOS), studi kasus pada pembelajaran Kalkulus Integral. Model APOS telah dikembangkan menggunakan rancangan Plomp yang terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) preliminary research, 2) prototyping phase, dan 3) assesment phase. Konstruksi model menggunakan model Joyce dan Weil, yang terdiri dari lima komponen yaitu: Sintak, Sistem Sosial, Prinsip Reaksi, Sistem Pendukung dan Dampak. Sintak Model APOS terdiri dari fase: Orientasi, Praktikum, Diskusi Kelompok, Diskusi Kelas, Latihan, dan Evaluasi. Untuk mengetahui peranan komputer pada model APOS adalah dengan cara menguji kepraktisan dan keefektifan Lembar Kerja Praktikum (LKP) pada fase Praktikum dari Sintak Model APOS. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang kepraktisan Lembar Kerja Praktikum (LKP) adalah instrumen berupa skala likert tentang kepraktisan Lembar Kerja oleh pengguna (mahasiswa, dosen, asisten), Untuk mengetahui keefektifan LKP digunakan angket aktivitas, angket motivasi, dan angket respon mahasiswa. Dari hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan bahwa LKP dinyatakan praktis oleh dosen, asisten dan mahasiswa dengan nilai rerata = 81,058 %. LKP dinyatakan efektif untuk meningkatkan aktivitas, motivasi, dan mendapat respon positif oleh mahasiswa dengan nilai rerata = 82,89 % . Kata Kunci: Model APOS, Sintak, Lembar Kerja Praktikum, Komputer, praktis dan efektif
PENDAHULUAN Berangkat dari masalah-masalah yang ditemui pada pembelajaran matematika khususnya Kalkulus, serta pentingnya matematika untuk membantu mahasiswa dalam mengembangkan berfikir tingkat tinggi, serta pentingnya inovasi dalam pembelajaran matematika yang terpusat pada mahasiswa, maka telah dikembangkan suatu Model Pembelajaran Kalkulus Berdasarkan Teori APOS. (MPK-APOS), yang valid, praktis dan efektif. Hanifah (2015). Ketika MPK-APOS diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, singkatannya menjadi tidak tepat. Ketika MPK-APOS diimplementasikan pada matakuliah matematika lainnya, nama MPK-APOS jadi mengganjal karena huruf K adalah singkatan dari Kalkulus. Oleh karena istilah MPK-APOS memberikan ruang gerak yang sempit, maka judulnya dikembangkan menjadi Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori APOS (Model APOS). Studi Kasus Pada Kalkulus. Hanifah (2016)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 13
APOS merupakan suatu teori pembelajaran yang dikhususkan untuk pembelajaran matematika di tingkat perguruan tinggi, yang mengintegrasikan penggunaan komputer, belajar dalam kelompok kecil, dan memperhatikan konstruksi-konstruksi mental yang dilakukan oleh mahasiswa dalam memahami suatu konsep matematika. Konstruksikonstruksi mental tersebut adalah: aksi(action), proses(process), objek(object), dan skema(schema) yang disingkat dengan APOS (Dubinsky, 2001). 1. Komponen Model APOS Secara umum hasil pengembangan model pembelajaran yang mengacu pada pengembangan Model Plomp(2013), dan konstruksi model menggunakan konstruksi Model oleh Joyce and Weil (1992), dan setelah melalui penyempurnaan/perbaikan dari MPK-APOS diperoleh Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori APOS (Model APOS) dengan komponen sebagai berikut (Hanifah, 2015). 1. Sintak. Terdiri dari fase: Orientasi, Praktikum, Diskusi Kelompok, Diskusi Kelas, Latihan, dan Evaluasi. 2. Sistem Sosial. Berbentuk: Kerjasama, Scaffolding, Interaksi Multi Arah 3. Prinsip Reaksi. Berbentuk: Pembelajaran Terpusat mahasiswa, Pembimbing, Mengutamakan Proses. 4. Sistem Pendukung: Silabus, SAP, Lembar Kerja (LK), Pengenalan Maple/Matlab, Komputer, Program Aplikasi Maple/Mathlab, Alat Tulis 5. Dampak Instruksional: Daya Serap Lebih Banyak, Tidak Mudah Lupa. Dampak Sosial: Aktif Belajar, Respon Positif, Motivasi Meningkat, Percaya diri, dan Peduli. 2. Peranan Komputer Sintak model APOS terdiri dari 6 fase. Pada fase Praktikum aktivitas mahasiswa adalah melaksanakan Lembar Kerja Praktikum (LKP) di laboratorium Komputer atau di kelas dimana masing-masing kelompok mahasiswa membawa Laptop. LKP dirancang terdiri dari perintah-perintah dari suatu program aplikasi komputer misalnya Maple untuk Kalkulus, Matlab untuk Aljabar Linear, dimana apabila perintah tersebut di eksekusi pada komputer akan muncul hasil berupa jawaban dari soal Kalkulus. Perintah Maple adakalanya hanya punya jawaban langsung, dan ada yang tidak langsung. Ketika tujuan penggunaan perintah Maple hanya untuk mencari hasil penghitungan suatu rumus matematika, maka jawaban langsung adalah pilihan yang tepat. Apabila Maple digunakan untuk
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 14
ISSN: 2580-1104
menjelaskan langkah / konsep dari suatu pokok bahasan, maka dipilih perintah sesuai algoritma yang digunakan. Dalam hal ini komputer berperan sebagai sumber pembelajaran Kalkulus. Artinya komputer berperan membantu mahasiswa dalam mengkonstruksi sendiri materi Kalkulus (Arnawa, 2009). METODE PENELITIAN Untuk mengetahui peranan komputer pada model APOS adalah dengan cara menguji kepraktisan dan keefektifan Lembar Kerja Praktikum (LKP) pada fase Praktikum dari Sintak Model APOS. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang Kepraktisan Lembar Kerja Praktikum adalah instrumen berupa skala likert yang memuat pertanyaan tentang LKP yang terdiri dari: angket kepraktisan Lembar Kerja oleh dosen, asisten, dan mahasiswa. Untuk mengetahui keefektifan LKP digunakan angket aktivitas, angket motivasi, dan angket respon mahasiswa. Angket Kepraktisan LKP disebarkan kepada dosen Kelas A, dan dosen Kelas B, 2 orang asisten dosen, Mahasiswa kelas A, dan Mahasiswa kelas B peserta kuliah Kalkulus Jurusan Matematika FMIPA UNIB TA 2014. Angket Keefektifan LKP disebarkan kepada mahasiswa peserta kuliah Kalkulus Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UBH TA 2014. Data diolah menggunakan statistik (Riduwan, 2009) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengolahan data diperoleh informasi sebagai berikut: 1. Nilai rerata kepraktisan LKP oleh dosen adalah 76.14%, kategori praktis 2. Nilai rerata kepraktisan LKP oleh asisten adalah 89,55%, kategori sangat praktis 3. Nilai rerata kepraktisan LKP oleh mahasiswa adalah 77,485 %, kategori praktis 4. Nilai rerata respon mahasiswa adalah 77,48 %, kategori efektif 5. Nilai rerata motivasi awal mahasiswa adalah 77,76 %, kategori efektif 6. Nilai rerata motivasi akhir mahasiswa adalah 84,32 %, kategori efektif 7. Nilai rerata aktivitas mahasiswa adalah 92 %, kategori sangat efektif Faktor pendukung yang membuat Lembar Kerja Praktikum (LKP) bernilai praktis dan efektif adalah dosen dan mahasiswa sama-sama tidak asing dengan Maple. Kemampuan Maple memberikan jawaban yang sangat cepat dengan hasil yang akurat, membuat banyak soal yang bisa dijawab dalam waktu yang singkat. Bekerja menggunakan komputer dengan program aplikasi Maple, membuat mahasiswa aktif belajar. Bekerja dalam kelompok kecil yang heterogen, saling berdiskusi membuat belajar jadi menyenangkan. Dosen yang masih muda-muda dan belum terbiasa mengajar
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 15
secara konvensional, mudah untuk diajak melakukan pembaharuan dalam pembelajaran, dimana dalam Model APOS dosen bertindak sebagai pembimbing yang harus mendatangi masing-masing kelompok bila dibutuhkan. Jarak usia dosen dengan mahasiswa relatif kecil membuat mahasiswa merasa nyaman berkomunikasi dengan dosennya. DAFTAR PUSTAKA Hanifah. (2016) Model APOS Inovasi Pada Pembelajaran Matematika. FKIP UNIB Press. Hanifah. (2015). Pengembangan Model Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Disertasi. Pascasarjana UNP. Tidak dipublikasikan. Bengkulu. Joyce dan Weil. (1992). Models of Teaching 4th ed. Boston: Allyn & Bacon. Plomp. (2013). An Introduction to Educational Design Research. The Netherland University of Twente. Riduwan. 2009. Belajar Mudah Penelitian. Penerbit: Alpabeta Arnawa.( 2009). Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa dalam memvalidasi Bukti pada Aljabar Abstrak melalui Pembelajaran Berdasarka Teori APOS. Padang: FMIPA.UNAND. http://jms.fmipa.itb.ac.id/jms/article/viewFile/238/248 Dubinsky & McDonald. (2001). APOS: A Constructivist Theory of Learning in Undergraduate Mathematics Education Research.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 16
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-03 ALUR PEMBELAJARAN TOPIK TRANSFORMASI BANGUN DATAR DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BEPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP NEGERI 7 PADANG ELITA ZUSTI JAMAAN Jurusan Matematika FMIPA UNP Padang Indonesia
[email protected] Abstrak Topik transformasi bangun datar merupakan salah satu topik yang dianggap sulit oleh siswa khususnya tentang luas daerah, seringkali siswa hanya menghafal rumus tanpa memahami maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Alur pembelajaran yang dikembangkan belum didasarkan pada matematika realistik, dan juga belum mengakomodir kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Untuk mengatasi masalah ini, maka disusun alur belajar pada topik transformasi bangun datar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan alur belajar berbasis pendidikan matematika realistik dan menerapkannya dalam pembejaran matematika di SMPN 7 Padang. Penelitian ini merupakan design research yang dilaksanakan dalam dua tahap preparing for the experiment, dan conducting the experiment, dimana dirancang alur belajar berbasis pendidikan matematika realistik yang difokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap topik transformasi bangun datar. Dari penelitian ini telah dirancang alur belajar transformasi bangun datar dalam menentukan luas bangun datar. Selain itu, alur belajar dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Berdasarkan hasil analisis pre-test dan post-test yang diberikan pada siswa SMPN 7 Padang diperoleh informasi bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah mengikuti alur belajar menggunakan pendekatan pendidikan matematika realistik pada topik transformasi bangun datar. Kata Kunci: Berpikir Kritis Matematis, Pendidikan Matematika Realistik Transformasi Bangun Datar,
PENDAHULUAN Pokok bahasan matematika yang diajarkan di SMP salah satunya adalah bangun datar.Walaupun bangun datar telah diajarkan sejak SD, namun ternyata kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar masih perlu ditingkatkan. Materinya bersifat abstrak, banyak menggunakan konsep, dan bukan materi hafalan,sehingga banyak siswa belum menguasai konsep materi dan mengalami kesulitan dalam
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 17
mengerjakan soal - soal pada menentukan luas . Seringkali siswa hanya menghafal rumus tanpa memahami maknanya dalam kehidupan sehari-hari Siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam pemahaman luas dalam berbagai bentuk (Suwaji, 2008, p. 1). Permasalahan yang menyangkut pembelajaran geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam menciptakan pendekatan pembelajaran, Salah satu usaha yang dapat dilakukan guru di sini adalah mengembangkan alur pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik (PMR). Pendekatan PMR mambahas secara khusus bagaimana seharusnya pembelajaran geometri dilaksanakan dalam geometri realistik. De Moor (dalam Fauzan: 2002) Pendekatan matematika realistik dapat dijadikan sebagai jembatan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis akan diperoleh dari pengalaman mereka selama mengikuti serangkaian aktivitas yang dialur guru pada kegiatan pembelajaran dengan berbasis pendidikan matematika realistik. Dalam kurikulum nasional di Indonesia, dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas siswa dituntut untuk dapat menguasai materi bangun datar Salah satu cara untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan menciptakan alur belajar. Dalam membuat desain belajar guru juga perlu mempertimbangkan alur berpikir siswa yang berkembang selama kegiatan belajar dan membuat antisipasi terhadap apa yang akan terjadi. Hal ini perlu dibuat agar dalam pelaksanaannya guru tidak mengabaikan ragam pemikiran siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah alur pembelajaran. Menurut Simon (1995) alur pembelajaran terdiri dari tiga komponen, yaitu tujuan untuk pembelajaran bermakna, sekumpulan tugas untuk mencapai tujuan, dan hipotesis tentang bagaimana siswa belajar dan begaimana siswa berpikir. Berdasarkan uraian tersebut diperlukan sebuah alur pembelajaran yang dapat membuat siswa memahami konsep luas bangun datar dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, dibuat juga rancangan dugaan alur berpikir siswa beserta antisipasinya. Dalam perancangannya alur pembelajaran tidak sama seperti rencana pembelajaran yang dibuat guru. Alur pembelajaran memuat tujuan khusus kegiatan belajar yang selanjutnya dilengkapi dengan sekumpulan aktivitas untuk mencapai setiap tujuan yang dirumuskan. Pada setiap aktivitas yang dirancang dibuat beberapa hipotesis tentang apa yang akan dilakukan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 18
ISSN: 2580-1104
siswa. Untuk kegiatan siswa yang tidak sesuai akan dibuat antisipasiantisipasi yang mengarahkan siswa pada penyampaian tujuan yang diharapkan. Dengan alur pembelajaran diharapkan kegiatan belajar lebih dinamis. Peneliti menganggap penting pengembangan alur pembelajaran bangun datar, karena dengan dikembangkannya alur pembelajaran bangun datar menggunakan pendekatan matematika realistik, diharapkan siswa terlibat secara aktif dan menggali informasi sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya sendiri, sehingga siswa dapat memahami konsep matematika untuk digunakan dalam menyelesaikan permasalahan. Peran guru sebagai fasilitator sangat diperlukan dalam memberikan siswa dukungan dan tantangan dalam mempelajari matematika (NCTM, 2000, p.16). Guru juga perlu merencanakan kegiatan-kegiatan yang menarik yang akan dilakukan siswa serta mempersiapkan alur pembelajaran sebelum pelajaran dimulai (Frei, 2008, p.61). Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan alur pembelajaran (Local Instructional Theory) transformasi bangun datar berbasis Realistic Mathematisc Education (RME) yang memenuhi kriteria valid, implementasi alur pembelajaran bangun datar di kelas terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMPN 7 Padang Pembelajaraan matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Terkait dengan hal ini Freudenthal (1991) mengatakan bahwa, bila anak terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Salah satu pembelajaran matematika yang dimulai dari pengalaman siswa sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran matematika realistik. Pembelajaran ini dilandasi oleh konsep Freudenthal (1991) yaitu matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa, relevan dengan kehidupan masyarakat, dan materimateri harus dapat ditransmisikan sebagai aktivitas manusia. Ini berarti materi-materi matematika harus dapat menjadi aktivitas siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan matematika melalui praktek yang dilakukan sendiri dan sesuai dengan level kognitif siswa. Siswa perlu dituntun menuju dunia matematika dengan jembatan penghubung yang disebut dengan matematisasi. Menurut Freudhental (dalam Gravemeijer, 1994), aktivitas maematika berarti dikaitkan dengan realitas melalui situasi masalah. Istilah “realitas” berarti bahwa situasi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 19
masalah sebaiknya nyata ditunjukkan kepada siswa. Sehingga apa yang mereka pelajari tidak lagi menjadi sesuatu yang abstrak, tetapi menjadi konkrit bagi siswa. Dalam Real Mathematics Education(RME), matematika dipandang sebagai aktivitas insani (human activity), sehingga kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan konteks nyata dan menghargai gagasan-gagasan siswa dalam mengerjakan masalah-masalah matematika. Merujuk pada pendapat Freudenthal dalam Wijaya (2012:20), “Matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi konsep matematika”. Oleh karena itu matematika harus diartikan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Pernyataan tersebut merupakan landasan pengembangan pendekatan RME. Pendekatan RME juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengkaitkannya dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Dalam pembelajaran dengan pendekatan RME, urutan atau alur pembelajaran tersebut dibalik, artinya untuk mempelajari suatu fakta, konsep, keterampilan, atau prinsip, siswa diberikan masalah sehari-hari yang sering dijumpainya. Melalui penyelesaian masalah tersebut guru memfasilitasi siswa untuk mengembangkan pengetahuan mereka. Sebuah alur pembelajaran memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat keputusan-keputusan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran, guru seharusnya memiliki terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berfikir yang digunakan anak, level berfikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutuhkan untuk tujuannya tersebut. Semuanya termuat dalam hipotesis learning trajectory. Menurut Rangkuti (2015) informasiinformasi itu dapat diperoleh melalui observasi, pretes, atau penilaian la in. Berdasarkan observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan, guru dapat mengetahui learning trajectory ataupun tingkat berfikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangannya. Learning trajectory memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar siswa.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 20
ISSN: 2580-1104
Selanjutnya pengetahuan tentang berpikir dan belajar siswa dapat digunakan untuk merencanakan pembelajaran. Berpikir kritis matematis adalah berpikir kritis pada bidang ilmu matematika. Dengan demikian, berpikir matematis adalah proses berpikir kritis yang melibatkan pengetahuan matematika, penalaran matematika dan pembuktian matematika. Berpikir kritis dalam matematika merupakan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah matematika. Berdasar pada definisi-definisi berpikir kritis yang dikemukakan para ahli, dalam penelitian ini dikembangkan indikator berpikir kritis matematis, yang diklassifikasikan atas lima komponen berpikir kritis, yaitu Analisis, meliputi: Memisahkan informasi ke bagian-bagiannya, Mencari hubungan antar informasi, Mengorganisasikan informasi Evaluasi, meliputi: Membuat criteria, Menentukan kerasionalan suatu jawaban,Menilai suatu argument. Pembuktian, meliputi: Memberikan alasan yang logis, Menyediakan bukti pendukung, Menentukan konsep yang termuat dalam membuktikan. Pemecahan Masalah, meliputi: Membuat strategi pemecahan masalah, Menjalankan strategi pemecahan masalah, Mengevaluasi kebenaran hasil pemecahannya. Menemukan Analogi, meliputi: (1) Melihat keserupaan, (2) membuat kesimpulan atas dasar keserupaan METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini menggunakan salah satu jenis penelitian pengembangan yakni Design Research (DR) versi Gravemeijer and Cobb (2013) dengan tiga fase pelaksanaan penelitian dari pandangan desain pembelajaran, yaitu preparing for the experiment, conducting the experiment, and retrospective analyses. Dalam penelitian ini peneliti hanya sampai pada preparing for the experiment dan conducting.the 42 experiment. Tahap preparing for the experiment mengidentifikasi real mathematics education, mengidentifikasi kemampuan berpikir kritis matematis, dan mendesain dugaan alur pembelajaran/ Hypotetical Learning Trajectory (HLT). Tujuan dari preparing phases adalah untuk merumuskan sebuah dugaan alur belajar yang dapat diperluas/diuraikan dan diperbaiki ketika pelaksanaan desain eksperimen (Gravemeijer and Cobb, 2013). Untuk membuat sebuah alur pembelajaran bangun datar dilakukan review literatur. merancang alur pembelajaran yang telah diujicobakan dan dianalisis disebut Local Instructional Trayektory (LIT) Alur pembelajaran dalam penelitian ini beirisi tentang alur belajar yang difokuskan pada serangkaian aktivitas pengembangan pemahaman siswa terhadap materi luas bangun datar beserta dugaan aktivitas yang dilakukan siswa dan antisipasi yang akan dilakukan dalam proses belajar bangun datar
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 21
(Gravemeijer, 2013). Rencana alur belajar yang telah dirancang digunakan untuk tahap eksperimen. Peneliti merancang beberapa aktivitas belajar sebagai rencana alur belajar yang dapat membantu siswa untuk memahami transformasi bangun datar. Setelah tahap perancangan alur pembelajaran, dilakukan validasi kepada ahli. Ahli disini diutamakan pada ahli RME dan materi bangun datar. Validasi dilakukan pada tiga orang ahli pendidikan matematika. Setelah alur pembelajaran yang dirancang dinyatakan valid, kegiatan dilanjutkan dengan pelaksanaan eksperimen. Tahap kedua adalah conducting the experiment. Menurut Gravemeijer dan Cobb (2013) tujuan tahap ini adalah untuk menguji dan memperbaiki dugaan alur belajar yang telah dikembangkan pada tahap persiapan dan perancangan, serta melihat bagaimana LIT bekerja. Pada tahap ini, desain alur belajar digunakan sebagai petunjuk (Guideline) pelaksanaan kegiatan belajar. Pelaksanaan tahap ini dilakukan pada siklus preliminary teaching experiment, ditujukan untuk melihat bagaimana desain pembelajaran bekerja dan dievaluasi yang dilaksanakan di kelas. Tujuan utama tahap conducting.the experiment adalah untuk menguji dugaan yang telah dirancang untuk proses belajar transformasi bangun datar. Tahap ini dilaksanakan pada kelas VII SMPN 7 Padang. Pemilihan siswa dilakukan oleh guru kelas VII karena guru matematika dapat mengetahui kemampuan siswa secara umum. Data dikumpulkan dengan catatan lapangan, dan hasil kerja siswa. Catatan lapangan terdiri dari dua bagian. Bagian deskriptif yang merupakan bagian yang berisi deskripsi tentang semua peristiwa dan pengalaman yang didengar dan dilihat. Bagian yang kedua adalah refleksif, yaitu bagian yang berisi masalah yang terjadi, ide dari pengamat, sesuatu yang mengarahkan, kesan, dan prasangka. Catatan lapangan dalam penelitian ini digunakan untuk membantu dalam menjelaskan hasil penelitian sekaligus alat yang digunakan sebagai bahan perbaikan alur belajar. Pretes dan postes dilakukan pada siswa kelas eksperimen. Sesuai dengan fungsinya pretes dilakukan sebelum kegiatan belajar dilakukan dan postes dilakukan setelah kegiatan belajar dilakukan. Hasil pre-test tidak dianalisis secara kuantitatif karena nilai pre-test tidak dibandingkan dengan nilai post-test. Analisis data hasil pre-test siswa bertujuan untuk memberikan informasi tentang pengetahuan awal siswa mengenai bangun datar. Informasi ini digunakan untuk menentukan bagaimana hasil ini dihubungkan sebagai langkah awal kegiatan pembelajaran. Perkembangan kemampuan berpikir kritis matematis siswa terlihat dari soal yang dirancang berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis matematis. Hal ini dikarenakan salah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 22
ISSN: 2580-1104
satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Dari hasil analisis tersebut terlihat kemajuan yang ditunjukkan siswa dari awal hingga akhir pembelajaran. Tabel .1.Teknik Pengumpulan Data
No
1
2
Teknik Pengumpulan Data
Sasaran
Alat Pengumpul Data
Tahap preparing for the experiment dan conducting.the experiment : Catatan lapangan, observasi, dan wawancara
Membantu dalam menjelaskan hasil penelitian sekaligus alat yang digunakan sebagai bahan perbaikan alur belajar
Lembar catatan lapangan
Pretes dan Postes
Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis sebelum dan sesudah penerapan desain pembelajaran.
Lembar tes berpikir kritis matematis
lembar observasi, dan pedoman wawancara
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes yang merupakan tes untuk melihat kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Tes kemampuan berpikir kritis matematis dilakukan pada tahap pre – post test. Pada kegiatan validasi digunakan instrumen validasi. Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Analisis data hasil pretes siswa bertujuan untuk memberikan informasi tentang pengetahuan siswa mengenai bangun datar. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan hasil setiap item soal sebagai petunjuk. Hasil pre tes tidak diolah secara kuantitatif, namun hasil ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun dan memperbaiki alur belajar. Hasil postes dianalisis secara kualitatif. Tujuan analisis ini adalah untuk menyelidiki dampak kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah dilakukan pembelajaran. Analisis dilakukan dengan melihat indikator kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hasil analisis postes
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 23
ini digunakan untuk mengetahui dan mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Preparing for The Experiment Pada tahap ini dilakukan pengkajian literatur-literatur tentang bagaimana cara mengajar materi transformasi bangun datar. Literatur yang dikaji berupa jurnal dan buku panduan sebagai acuan dalam mengajarkan topik transformasi bangun datar. Selain mengkaji literatur, juga dilakukan analisis terhadap siswa. Siswa kelas VII SMPN 7 Padang. Siswa diberikan masalah kontekstual dengan tujuan agar siswa lebih mudah untuk mempelajari materi dengan baik. Dengan demikian perlu dikembangkan alur belajar dengan pendekatan Realistic Mathematics Education. Alur belajar yang dirancang difokuskan pada pengembangan pemahaman dan kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil pengembangan alur belajar yang sudah dilakukan menyatakan bahwa aktivitas yang sudah dirancang dapat mengarahkan siswa untuk memahami konsep trnsformasi bangun datar dari tahap informal ke tahap formal. Semua produk yang telah dirancang divalidasi oleh tiga orang dosen matematika. Hasil validasi dari tiga orang validator diolah dan dirata-ratakan untuk menentukan kriteria kevalidan perangkat yang dibuat. Validasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat efek potensial alur pembelajaran terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Kegiatan validasi dilakukan dalam bentuk mengisi lembar validasi dan diskusi sehingga dirancang alur belajar yang valid dan layak untuk dikembangkan. Berikut merupakan hasil validasi yang dilakukan dengan tiga orang dosen matematika. Hasil validasi alur yang diberikan oleh tiga orang dosen matematika disajikan pada Tabel 2 berikut Tabel 2. Hasil Validitas Alur Belajar
No
Aspek yang Dinilai
1
Isi
2
Bahasa Rata-Rata Validitas
Rata-Rata
Kategori
3
Valid
3,33
Valid
3,17
Valid
Berdasarkan Tabel 2, alur belajar yang direncanakan sudah memenuhi kategori valid. Pada aspek isi menunjuk pada bahwa aktivitas dalam setiap pertemuan sudah mengarah kepada penemuan Local Instructional Theory (LIT) dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip RME. Selanjutnya, hasil validasi aspek bahasa menunjukkan bahwa tata bahasa
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 24
ISSN: 2580-1104
yang digunakan sudah benar, efektif, dan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa. Aspek bahasa juga dapat dikategorikan valid. Rancangan alur pembelajaran tersebut memberikan gambaran tentang proses berpikir kritis matematis yang sangat mendalam dan komprehensif tentang apa yang disajikan guru yang sesuai dengan tingkat kognitif siswa, bagaimana kemungkinan respon siswa, serta bagaimana antisipasi yang mungkin dapat dilakukan terhadap respon siswa. 2. Hasil Conducting The Experiment Pada tahap Conducting the experiment bertujuan untuk mengujicobakan alur pembelajaran beserta HLT yang telah dirumuskan. Pada penelitian ini, Conducting the experiment dilakukan dalam dua siklus. Siklus pertama bertujuan untuk melihat bagaimana desain dapat bekerja dan mengevaluasi serta memperbaiki siklus berikutnya. Hal ini dilakukan pada kelompok kecil yang terdiri lebih kurang enam orang siswa. Siklus kedua adalah percobaan mengajar yang dilakukan di kelas sesungguhnya Pada siklus 1 diberikan lembar observasi pada 10 orang siswa, dan mengisi angket serta diikuti dengan tanya jawab. Guru dan observer berdiskusi untuk merefleksikan sejauhmana hasil alur pembelajaran yang telah dirancang. Hasil pengolahan angket dan wawancara, aktivitas dan perlu antisipasi berupa pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh siswa dalam pembelajaran nantinya.Pada alur pembelajaran atau HLT perlu direvisi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada siklus 2 dilakukan pembelajaran pada 31 orang siswa kelas VII SMPN 7 Padang selama tiga kali pertemuan. Dari pertemuan 1 tidak ada yang harus perlu diperbaiki secara garis besar. Untuk pertemuan 2, perlu dilakukan bimbingan yang lebih mendalam tentang transformasi Guru perlu memperbaiki antisipasi pada HLT untuk aktivitas 1 dan 2, dimana guru perlu menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing pemahaman siswa sehingga mampu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan pertemuan 2, untuk pertemuan 3 juga perlu dilakukan perbaikan antisipasi dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memancing kemampuan berpikir kritis matematis siswa Setiap pertemuan setelah kegiatan pembelajaran berakhir, guru dan observer berdiskusi untuk merefleksikan sejauh mana hasil implementasi dari alur pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dari hasil diskusi guru harus melakukan penanganan yang beda-beda karena kemampuan masingmasing siswa berbeda. Ada siswa yang sudah mampu secara langsung menyelesaikan persoalan tanpa memerlukan bantuan, tetapi masih ada juga yang masih membutuhkan bimbingan dari guru untuk memberi arahan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 25
dalam penyelesaian soal. Pemberian antisipasi juga tidak bisa dilakukan secara personal karena katerbatasan tenaga guru dibanding dengan jumlah siswa. Sehingga antisipasi hanya dapat dilakukan pada beberapa kelompok dan secara klasikal. Guru perlu menambah variasi antisipasi bagi siswa yang kebingungan dalam menyelesaikan soal. Secara umum pada siklus 2 ini tidak mengalami perubahan karena sudah sesuai dengan konjektur dan tujuan yang diharapkan. Hasil dari alur pembelajaran pada siklus 2 ini akan menjadi local instructional theory . Akhir siklus 2 dilakukan tes untuk melihat kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal kemampuan berpikir kritis matematis dan strategi yang digunakan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Hasil analisis posttest mendukung penambahan informasi dalam menggambarkan kesimpulan dari kegiatan pembelajaran eksperimen dan menjawab rumusan masalah penelitian yang kedua. Setelah dilakukan postest, selanjutnya dilakukan penilaian terhadap hasil yang diperoleh menggunakan rubrik penilaian berpikir kritis matematis. Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa, diperoleh bahwa siswa yang tuntas adalah 25 orang dari 31 orang siswa dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah 80. Selanjutnya, nilai tersebut diolah menggunakan teknik presentase ketuntasan hasil belajar. Presentase ketuntasan belajar siswa mencapai 80,65%. Hal ini menunjukkan bahwa alur pembelajaran yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. KESIMPULAN Berdasarkan tujuan dari penelitian ini dan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan: 1. Dihasilkan alur pembelajaran (Local Instructional Theory) yang memuat alur pembelajaran bangun datar yang terdiri dari aktivitas menemukan konsep bangun datar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain pembelajaran bangun datar berbasis RME yang dikembangkan dalam kriteria valid, baik dari segi isi maupun bahasa. 2. Hasil analisis pre-test dan post-test yang diberikan pada siswa kelas VII SMPN 7 Padang diperoleh bahwa terdapat peningkatan positif kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah menggunakan alur pembelajaran berbasis pendekatan pendidikan matematika realistik pada materi bangun datar.
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 26
ISSN: 2580-1104
Clements, D.H & Battista, J.M. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Hand Book of Research on Mathematics Teaching and Learning, New York: Macmillan Publishing Company Fauzan, Ahmad. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) In Teaching Geometry In Indonesian Primary Schools (Online) (http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11462400.pdf, diakses 23 Juni 2015). Frei, S. (2008). Teaching mathematics today. Huntington Beach: Shell Education. Freudenthal. 1991. Revisting Mathematics Education. China: Lectures Kluwer Academic. Gravemeijer, Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Gravemeijer, Koeno and Cobb, Paul. 2013. Design research from the Learning Design Perspective. Dalam Jan Ven Den Akker, et. al. Educational Design Research. London: Routledge. NCTM. (2000). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning, Editor: Douglas A. Grows. USA: Macmillan Library Reference. Rangkuti, Ahmad Nizar. 2015. Pengembangan Alur Pembelajaran Topik Pecahan di Sekolah Dasar dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Padang: Program Pascasarjana UNP. Simon,M.A.(1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Constructivist Perspective.Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 114-145. (Online). (http://www.math.ntnu.Edu.tw, diakses 23 Juni 2015). Suwaji, U.T. (2008). Permasalahan pembelajaran geometri datar SMP dan alternative pemecahannya. Yogyakarta: P4TK
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 27
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 28
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-04 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CORE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS PESERTA DIDIK SMP NEGERI DI JAKARTA SELATAN Ita Handayani1, Suyono 2, Anton Noornia 3 123Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNJ Program Magister Pendidikan Matematika, 1Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh model pembelajaran CORE dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain penelitian berbentuk randomized pre-test post-test control group design. Data yang dianalisis yaitu n-gain ternormalisasi dengan teknik analisis menggunakan uji-t. Instrument yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis matematis. Pengujian prasyarat analisis data terdiri dari uji normalitas dengan uji liliefors dan uji homogenitas dengan levene-test. Populasi target penelitian adalah peserta didik Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta Selatan tahun pelajaran 2015/2016. Populasi terjangkaunya adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMPN 177 Jakarta tahun ajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel peneliti menggunakan multistage sampling. Hasil pengujian prasyarat analisis data menunjukkan bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki data berdistribusi normal dan homogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran CORE lebih tinggi daripada peserta didik yang mendapat model pembelajaran ekspositori. Kata Kunci: kemampuan berpikir kritis matematis, model pembelajaran CORE.
PENDAHULUAN Mata pelajaran matematika sangat perlu dipelajari semua peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan kerjasama. Kemampuan tersebut dapat melatih peserta didik untuk memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi dalam bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Peserta didik dapat meningkatkan kemampuan tersebut dengan cara mempelajari matematika. Hal ini sejalan dengan Mathematics Association of America (Masduki, 2015), belajar matematika harus mendorong peserta didik mampu menerapkan konsep matematika sederhana untuk menyelesaikan masalah nyata serta mampu
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 29
menghubungkan konsep, ide, maupun prosedur matematika dengan topiktopik dalam matematika maupun di luar bidang matematika. Depdiknas (2004), salah satu fungsi dan tujuan umum pembelajaran matematika di sekolah sebagai lembaga formal adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat meningkatkan kemampuan matematis, melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, serta menggunakan ideide matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Artinya target kompetensi dasar matematik peserta didik harus dapat ditumbuh-kembangkan dalam proses belajar di sekolah sebagai wujud pengembangan proses berpikir peserta didik. Kenyataannya sebagian besar peserta didik menganggap bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang menakutkan dan sulit untuk dipelajari. Kendati diakui bahwa matematika berguna bagi kehidupan sehari-hari, namun banyak orang yang belum bisa merasakan manfaatnya, kecuali dalam berhitung praktis. Permasalahan tersebut dikarenakan oleh model pembelajaran yang digunakan guru tidak mengaitkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik tidak dapat mengetahui manfaat dari materi yang sedang dipelajari. Guru biasanya mengajarkan dengan cara memberitahukan materi dan konsep yang sudah jadi, tetapi tidak mengajarkan peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pembelajaran tersebut tidak meningkatkan kemampuan berpikir matematis peserta didik, karena mereka hanya menggunakan konsep yang sudah jadi dan hanya mengerjakan soal-soal rutin saja. Sebagian besar guru matematika di Indonesia menggunakan pembelajaran tersebut, sehingga kemampuan berpikir kritis peserta didik Indonesia berada pada level rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment). Hasil studi TIMSS yang dilakukan terhadap peserta didik SMP kelas VIII, Indonesia berada di peringkat ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor rata-rata matematika yang dicapai hanya 386 jauh di bawah rata-rata internasional TIMSS yang mencapai 500 (TIMSS, 2011). Hasil kemampuan kognitif TIMMS beberapa negara di kawasan Asia dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Hasil Kemampuan Kognitif TIMMS
Negara Korea selatan Singapura
Rata-rata Nilai Pemahaman 616 617
Rata-rata Nilai Penerapan 617 613
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 30
Rata-rata Nilai Penalaran 612 604
Rata-rata Nilai seluruhnya 613 611
ISSN: 2580-1104
Jepang Malaysia Thailand Indonesia
558 444 423 378
574 439 428 384
579 426 429 388
570 440 427 386
Sumber: TIMMS 2011
Berdasarkan hasil TIMSS dapat diindentifikasi bahwa peserta didik Indonesia memeroleh nilai pemahaman, penerapan, dan penalaran lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara peserta TIMSS di Asia. Artinya peserta didik Indonesia kurang mampu mengidentifikasi dan menafsirkan informasi, mengidentifikasi konsep yang akan diterapkan dan bagaimana cara menerapkannya, serta mencari strategi dalam memecahkan masalah. Ketiga kemampuan diatas merupakan komponen dari kemampuan pemecahan masalah maupun komponen dari kemampuan berpikir kritis matematis. Rendahnya kemampuan tersebut dikarenakan rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik, karena dalam berpikir kritis peserta didik diajarkan untuk mengidentifikasi informasi, menafsirkan informasi dan menganalisis serta mengevaluasi informasi. Menurut Said dan Rivas (2011), berpikir kritis adalah proses yang melibatkan pencarian pengetahuan melalui keterampilan penalaran, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan yang mungkin akan digunakan untuk mencapai hasil yang lebih efisien. Peserta didik Indonesia memiliki pengetahuan dasar matematika, tetapi kurang mampu menyelesaikan soal dengan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Tidak jauh berbeda dengan hasil studi yang dilakukan PISA 2012, Indonesia berada diperingkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan skor ratarata matematika yang dicapai hanya 375 jauh di bawah rata-rata internasional PISA yang mencapai 500 (PISA, 2012). Nilai yang dicapai peserta didik Indonesia ternyata juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asia seperti Thailand (dengan rata rata nilai 427), Korea Selatan (554), Singapura (573), Jepang (536) bahkan Malaysia (421). Hasil studi TIMSS dan PISA tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah peserta didik Indonesia rendah. Soal TIMSS dan PISA merupakan soal pemecahan masalah, untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah dibutuhkan kemampuan berpikir kritis. Tampaknya pembelajaran matematika di sekolah atau di perguruan tinggi belum mampu mendorong peserta didik untuk menjadi problem solver. Sebagian besar pembelajaran matematika lebih menekankan pada latihan pengerjaan soal-soal atau drill dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Pendidik kurang
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 31
memperhatikan pemahaman konseptual terhadap konsep, prosedur, ide, maupun strategi yang digunakan dalam belajar matematika. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis diharapkan dapat bertahan hidup dan berani menghadapi tantangan. Bertahan hidup di dunia yang kompetitif artinya, perlu melengkapi individu dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian, menggunakan dan mentransformasi informasi, berpikir kritis dan reflektif, dan membuat keputusan yang tepat. Selain itu, mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan keputusan yang memerlukan penalaran, pemahaman, penafsiran, analisis dan evalusasi informasi sebelum mereka menyelesaikan masalah. Proses tersebut melibatkan kemampuan berpikir kritis karena akan memungkinkan peserta didik untuk mengambil keputusan yang tepat dan valid, bertindak secara etis, dan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Berpikir kritis adalah sebuah konsep yang kompleks yang melibatkan keterampilan kognitif dan disposisi afektif, hal ini dapat juga dipengaruhi oleh beberapa cara yang digunakan guru dalam menyampaikan konsep materi kepada peserta didik. Berpikir kritis juga melibatkan penalaran logis dan kemampuan untuk memisahkan fakta dan opini, memeriksa informasi kritis dan bukti sebelum menerima atau menolak ide-ide pertanyaan sehubungan dengan masalah yang akan diselesaikan. Hal senada diungkapkan oleh Chukwuyenum (2013), keterampilan berpikir kritis merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pemahaman peserta didik tentang konsep-konsep matematika karena keterampilan ini dapat membantu dalam menafsirkan, manganalisis, mengevaluasi dan penyajian tanggal secara logis dan berurutan. Salah satu model pembelajaran yang dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis adalah model pembelajaran CORE. Model pembelajaran CORE menuntut peserta didik untuk menghubungkan informasi, mengorganisasi atau mengelompokan informasi yang didapat, merefleksikan berbagai informasi yang didapat untuk meningkatkan pengetahuan. Diterapkannya model pembelajaran tersebut maka kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik diduga dapat berkembang. Senada dengan Curwen, et.al, (2010), Model CORE menggabungkan empat unsur penting konstruktivisme yaitu; menghubungkan pengetahuan peserta didik, mengatur dan mengelompokkan materi baru untuk peserta didik, memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk merefleksikan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 32
ISSN: 2580-1104
strategi yang digunakan, dan memberikan kesempatan peserta didik untuk meningkatkan pembelajaran. Tahapan dalam pembelajaran CORE diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik. Model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) merupakan model yang diduga dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dengan cara menghubungkan materi dengan kehidupan sehari hari atau menghubungkan materi dengan konsep yang sudah dimiliki, mengelompokan berbagai informasi atau konsep yang telah dimiliki, merefleksikan berbagai pengetahuan yang telah dipelajari untuk menentukan strategi dalam menyelesaikan permasalahan dan meningkatkan pengetahuan yang didapat. Penggunaan model pembelajaran CORE diharapkan peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. METODE PENELITAN Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di DKI Jakarta, Sekolah Menengah Pertama Negeri 177 Jakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik SMP Negeri di Jakarta Selatan pada tahun ajaran 2015/2016. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik SMPN 177 Jakarta tahun ajaran 2015/2016. Berdasarkan populasi target dalam penelitian ini maka yang akan menjadi populasi terjangkau adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMPN 177 Jakarta tahun ajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel peneliti menggunakan multistage sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksperimen semu (quasi experiment). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis matematis, dan variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran CORE. Desain penelitian berbentuk Randomized Pre-test Post-test Control Group Design. Proses analisis data terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis dengan beberapa tahap antara lain melakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan homogenitas. Kemudian uji terhadap hipotesis penelitian menggunakan uji-t. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian yang digunakan untuk analisis adalah data tes kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori. 1. Data Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik yang Mendapat Perlakuan Model Pembelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 33
Skor pretest, skor postes dan N-gain kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran CORE pada materi bangun ruang sisi datar memiliki ukuran tendensi sentral meliputi rataan (𝑋̅), modus (Mo), median (Me) serta ukuran dispersinya yaitu jangkauan (J) dan standar deviasi (s) yang terangkum di dalam tabel berikut ini: Tabel 2 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen
Data
Maks
Min
Pretest Postest N-gain
65 100 1
10 35 0.07
Ukuran Tendensi Sentral ̅ Mo Me 𝑿 28.78 30 30 76.22 75 80 0.65 1 0.67
Ukuran Dispersi J S 55 16.35 65 18.73 0.93 0.26
Berdasarkan Tabel 2 terlihat rata-rata skor pretes yaitu 28.78 dan rata-rata skor postes yaitu 76.22. Peningkatan kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan besarnya N-gain. Pada tabel di atas besar peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis yaitu sebesar 0.67 dengan kriteria N-gain sedang. Tabel 3 Deskripsi Data Kemampua Berpikir Kritis Matematis Kelompok
Data
Maks
Min
Pretest Postest N-gain
50 100 1
10 35 0
Ukuran Tendensi Sentral ̅ Mo Me 𝑿 26.83 25 25 67.20 65 65 0.55 0.33 0.53
Ukuran Dispersi J S 40 9.86 65 15.45 1 0.22
Berdasarkan Tabel 3 terlihat rata-rata skor pretes yaitu 26.83 dan rata-rata skor postes yaitu 67.20. Peningkatan kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan besarnya N-gain. Pada tabel di atas besar peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis yaitu sebesar 0.55 dengan kriteria N-gain sedang Rata-rata postes dan pretes kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dengan model pembelajaran CORE dan ekspositori dapat divisualisasikan pada histogram berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 34
ISSN: 2580-1104
100,00 76,22
80,00
Rata-rata Skor
67,20
60,00 40,00
28,78
26,83
20,00
0,00 CORE Pretest
Postest
Ekspositori
Gambar 1 Histogram Rata-Rata Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Kelas Eksperimen dan Kontrol
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis peserta didik yang mendapat model membelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis dapat dilihat dari hasil rata-rata N-gain masing-masing kelas dengan memberikan perlakuan model pembelajaran CORE untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran ekspositori untuk kelas kontrol. Data N-gain kemampuan berpikir kritis matematis masing-masing kelas memiliki ukuran tendensi sentral meliputi rataan (𝑋̅), modus (Mo), median (Me) serta ukuran dispersi yaitu jangkauan (J) dan standar deviasi (s) yang terangkum di dalam tabel berikut ini: Tabel 4 Deskripsi N-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Masing-Masing Model Pembelajaran
N-gain
Maks
Min
CORE Ekspositori
1 1
0.07 0
Ukuran Tendensi Sentral ̅ Mo Me 𝑿 0.65 1 0.67 0.55 0.33 0.53
Ukuran Dispersi J S 0.93 0.26 1 0.22
Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol relatif sama. Namun peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan dengan model pembelajaran CORE lebih tinggi dibandingkan dengan model ekspositori. Secara visual rata-rata N-gain kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik berdasarkan pembelajaran dapat disajikan dalam gambar sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 35
0,70
0,65
Rata-rata N-
0,65 0,60 0,55
0,55 0,50 0,45 CORE
Ekspositori
Gambar 2. Histogram Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Pembelajaran
Peningkatan tiap-tiap indikator pada instrument kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran CORE sebagai berikut: Tabel 5 Deskripsi N-gain Tiap Indikaror Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelas Eksperimen
Berdasarkan Tabel 5 peningkatan tiap-tiap indikator pada Kriteria mengenai besarnya N-gain Indikator N-gain gain tinggi Menghubungkan 0.88 gain sedang Membuktikan 0.57 gain sedang Analisis 0.58 gain sedang Alternatif Jawaban 0.70 instrumen kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik di kelas eksperimen terlihat bahwa indikator menghubungkan merupakan indikator yang peningkatannya tinggi yaitu dengan N-gain 0.88. Sedangkan pada indikator lain, peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada kriteria sedang. Peningkatan tiap-tiap indikator pada instrument kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran CORE dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 36
ISSN: 2580-1104
1,00
0,88
0,80
0,70
0,60
0,57
0,58
Membuktikan
Analisis
0,40 0,20 0,00
Menghubungkan
Gambar 3
Alternatif Jawaban
Diagram N-gain Tiap Indikaror Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Perseta Didik Kelas Eksperimen
Peningkatan tiap-tiap indikator pada instrument kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori sebagai berikut: Tabel 6 Deskripsi N-gain Tiap Indikaror Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelas kontrol
Indikator Menghubungkan Membuktikan Analisis Alternatif Jawaban
N-gain 0.91 0.39 0.59 0.50
Kriteria mengenai besarnya N-gain gain tinggi gain sedang gain sedang gain sedang
Peningkatan tiap-tiap indikator pada instrument kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori dapat divisualisasikan sebagai berikut: 1,00
0,91
0,80
0,59 0,60
0,50 0,39
0,40 0,20 0,00 Menghubungkan
Membuktikan
Analisis
Alternatif Jawaban
Gambar 4 Diagram N-gain Tiap Indikaror Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Kelas Kontrol
Berdasarkan Tabel 6 peningkatan tiap-tiap indikator pada instrumen kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik di kelas kontrol terlihat bahwa indikator menghubungkan merupakan indikator yang peningkatannya tinggi yaitu dengan N-gain 0.91. Sedangkan pada
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 37
indikator lain, peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada kriteria sedang. 3. Uji Prasyarat Uji prasyarat dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji nomalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribuasi yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik yang digunakan dalam analisis selanjutnya. Uji homo genitas digunakan untuk mengetahui keseragaman sampel yang berasal dari populasi yang sama. Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis antara Kelas yang Mendapat Perlakuan Model Pembelajaran CORE dan Model Pembelajaran Ekspositori Uji Normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data N-gain kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan model pembelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori berdistribusi normal. Hasil perhitungan terhadap dua kelompok data adalah terlihat pada Tabel 7. H0 diterima jika Sig. > α = 0.05 dan H 0 ditolak jika Sig. < α = 0.05. Berdasarkan hasil perhitungan N-gain kemampuan berpikir kritis matematis kelas yang mendapat perlakuan model pembelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori memiliki Sig. > α = 0.05, berarti kelas tersebut memiliki data berdistribusi normal. Tabel 7 Uji Normalitas N-gain Kemampuan berpikir kritis Matematis Antar Model Pembelajaran
Model_Pembelajaran Pembelajaran CORE Berpikir Kritis Pembelajaran Ekspositori
Kolmogorov-Smirnova Statistik df Sig. .114 41 .200* .079 41 .200*
Uji Homogenitas Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis antara Kelas yang Mendapat Perlakuan Model Pembelajaran CORE dan Model Pembelajaran Ekspositori Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah variansi Ngain kemampuan berpikir kritis matematis kelas yang mendapat perlakuan model pembelajaran CORE dan model pembelajaran ekspositori bersifat homogen. Hasil perhitungan terhadap dua kelompok data dapat dilihat pada Tabel 8. H 0 diterima jika Sig. > α = 0.05 dan H 0
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 38
ISSN: 2580-1104
ditolak jika Sig. < α = 0.05. Berdasarkan hasil perhitungan N-gain kemampuan berpikir kritis matematis kelas yang mendapat perlakuan model pembelajaran CORE dan kelas yang mendapat perlakuan model ekspositori pada Based on Mean memiliki Sig. = 0.167 > α = 0.05, berarti kelas tersebut memiliki variansi yang sama. Tabel 8 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis antar Model Pembelajaran
Based on Mean Berpikir Based on Median Kritis Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean
Levene df1 df2 Statistik 1.946 1 80 1.913 1 80 1.913 1 79.964 1.842 1 80
Sig. .167 .170 .170 .179
1. Uji Hipotesis Setelah uji normalitas dan homogenitas dilakukan, diperoleh bahwa data berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang sama atau homogen. Kedua uji prasyarat telah dipenuhi maka dapat dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t. Perhitungan data N-gain kemampuan berpikir kritis matematis dengan uji-t dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 9 Hasil Uji-t Perbedaan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Levene's Test
t-test for
for Equality of
Equality of
Variances
Means
F
Sig.
t
t-test for Equality of Means
t-test for Equality of Means
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
95% Confidence
tailed)
Difference
Difference
Interval of the Difference Lower
Berpik irkritis
Equal
1.946
.167
2.013
80
.047
.10732
.05331
.00123
variances assumed
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 39
Upper .21340
Equal
2.013
78.109
.048
.10732
.05331
.00119
variances not assumed
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai signifikan antar peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik sebesar 0.047 < 0.05 pada taraf signifikan 5% maka H 0 ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada peserta didik dengan model pembelajaran CORE dan ekspositori. Hasil perhitungan terlihat pada Tabel 9 bahwa t hitung = 2.013 dan ttabel = 1.664, karena thitung = 2.013 > ttabel = 1.664 maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan model pembelajaran CORE lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat perlakuan model pembelajaran konvensional. Hasil analisis data menunjukka bahwa model pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik berdasarkan model pembelajaran. Hal ini dimungkinkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik dipicu oleh model pembelajaran CORE yang dalam pelaksanaannya selalu memperhatikan langkah, prinsip dan karakteristik CORE. Model pembelajaran CORE difokuskan pada peserta didik agar dapat mengkonstruksi pengetahuannya secara diskusi kelompok dengan perantara masalah yang kontekstual yang dikemas dalam Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Tahap connecting, peserta didik mengaitkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan konsep yang sudah dimiliki. Tahap organizing, peserta didik berdiskusi kelompok untuk mengaitkan konsep-konsep yang telah dikumpulkan untuk membuat suatu konsep baru sesuai dengan materi yang sedang dipelajari. Kegiatan yang tidak kalah penting adalah tahap Reflecting, tahap ini peserta didik melihat kembali konsep yang telah dibuat apakah sudah sesuai dan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah apakah sudah. Kegiatan yang paling berpengaruh adalah extending, pada tahap ini peserta didik mendapat soal untuk memperluas konsep yang telah didapat. Pada tahap ini peserta didik berpikir keras untuk menyelesaikan permasalahan pada tahap extending.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 40
.21344
ISSN: 2580-1104
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dari penelitian ini adalah Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran CORE lebih tinggi daripada peserta didik yang mendapat model pembelajaran ekspositori. DAFTAR PUSTAKA Aksu, G. & Koruklu, N. (2015). Determination The Effects Of Vocational High School Students’ Logical And Critical Thinking Skills On Mathematics Success. Eurasian Journal of Educational Research, Issue 59, 2015, 181-206 Chukwuyenum, A. S. (2013). Impact Of Critical Thinking On Performance In Mathematics Among Senior Secondary School Students In Lagos State. IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME) eISSN: 2320–7388, p-ISSN: 2320–737X Volume 3. Depsiknas. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdiknas Djaali & Muljono, P. (2007). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Garsindo Duran, M. & Şendağ, S. (2012). A Preliminary Investigation Into Critical Thinking Skills Of Urban High School Students: Role Of An IT/STEM Program. Journal Creative Education, Vol.3, No.2, 241-250 Ennis, R. H. (1985). A logical basis for Measuring Critical thinking skill. Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD). Ennis, R. H. (1996). Critical thinking. New York: Prentice Jacob, S. M. & Sam, H. K. (2008). Measuring Critical Thinking In Problem Solving Through Online Discussion Forums In First Year University Mathematics. Proceedings of the International MultiConference of Engineers and Computer Scientists 2008, Vol I IMECS Korkmaz. (2012). The Impact Of Critical Thinking And Logico-Mathematical Intelligence On Algorithmic Design Skills. Journal Educational Computing Research, Vol. 46(2) 173-193 Naga, D. S. (2009). Teori Skor pada Pengukuran Mental. Jakarta: PT. Nagarani Citrayasa OECD. (2014). PISA 2012 Result: Ready To Learn Students’ Engagement, Drive And Self-Beliefs. USA: OECD-PISA
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 41
Saiz, C. & Rivas, S. F. (2011). Evaluation Of The ARDESOS Program: An Initiative To Improve Critical Thinking Skills. Journal Of Scholarship Of Teaching And Learning, Vol. 11, No. 2, April 2011, Pp. 34-51 Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Shadish, W. R, Cook, T. D. & Campbell, D. T. (2002). Experimental And QuasiEksperimental Design for Generalized Causal Inference. Boston: Houghton Mifflin Co Sitohang, K., dkk. (2012). Critical Thinking. Membangun Pemikiran Logis. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan Sugiyono. (2015). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Surapranata, S. (2006). Analisis, Validitas, Relibilitas dan Interpretasi Hasil Tes Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Suyono. (2015). Analisis Regresi Untuk Penelitian. Yogyakarta: Deepublish TIMSS. (2011). TIMSS 2011 International Result In Mathematics. US: TIMSS & PIRLS International Study Center Yumiati. (2015). Meningkatkan kemampuan berpikir aljabar, berpikir kritis matematis, dan self-regulated learning siswa SMP melalui pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending). Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 42
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-05 PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING T TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA Gusni Satriawati1), Eva Musyrifah2), Sigit Purwanto 3) 1)UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] 2)UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] 3)UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan Tahun Ajaran 2015/2016. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan desain penelitian Post Test Only Control Group Design. Teknik pengambilan sampel menggunakan Cluster Random Sampling. Instrumen yang digunakan berupa tes essay sebanyak 6 soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik. Untuk teknik analisis data penelitian menggunakan uji perbandingan satu arah dengan uji “t”. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis diperoleh nilai thitung sebesar 1,92 dan ttabel sebesar 1,671, karena thitung lebih besar dari ttabel (1,92 > 1,67) maka Ha diterima. Artinya rata- rata kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan strategi Active Knowledge Sharing lebih tinggi dari rata- rata kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan metode konvensional. Kata kunci: Strategi Active Knowledge Sharing, Kemampuan Komunikasi Matematik.
PENDAHULUAN Paradigma dan sistem pendidikan harus direvisi untuk membangun masyarakat terdidik yang cerdas. Pemikiran-pemikiran yang positif harus memberikan arahan bahwa sudah selayaknya jika dunia pendidikan diarahkan pada upaya transformasi dan pengembangan prinsip-prinsip secara komperehensif dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Kepada para siswa perlu diberi bekal pengetahuan serta nilai-nilai dasar sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna untuk mengarungi kehidupan dalam masyarakat pluralis, baik dari aspek etnisitas, cultural, maupun agama. Keberhasilan dalam proses belajar yang dilakukan dalam kelas dapat terlihat dari hasil belajar yang diperoleh siswa. Jika hasil belajar yang
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 43
diperoleh siswa meningkat, maka proses belajar mengajar yang terjadi dapat dikatakan berhasil. Untuk itu seorang guru harus merumuskan dan merencanakan model pembelajaran yang efektif dan efisien sehingga proses belajar dapat terlaksana dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan siswa di sekolah. Membuat proses pembelajaran menjadi efektif dan efisien tidaklah mudah, khususnya untuk pelajaran matematika karena matematika sering dianggap mata pelajaran yang paling sulit untuk dipahami. Padahal Matematika merupakan salah satu ilmu yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya peranan matematika menjadikan matematika diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Pada hasil penelitian yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2012 menunjukan bahwa hasil skor rata-rata prestasi matematika siswa Indonesia yaitu 375, dari skor rata-rata internasional yaitu 494. Indonesia berada diperingkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2011 menunjukan bahwa hasil skor prestasi matematika siswa Indonesia yaitu 386, di mana skor rata-rata internasional yaitu 500, menempatkan siswa Indonesia pada peringkat ke 38 dari 42 negara yang berpartisipasi. Dari skor prestasi matematika siswa di atas menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada dalam kategori rendah. Rendahnya skor yang dimiliki negara Indonesia maupun negara lainnya yang tidak mencapai rata-rata adalah karena disebabkan kurangnya penerapan pemahaman dalam situasi yang lebih kompleks sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan masalah langkah demi langkah, dan juga kurang mampu mengkomunikasikan pemahaman mereka dalam berbagai situasi. Hal di atas disebabkan karena pembelajaran matematika yang hanya terbatas kepada pemahaman konsep semata tetapi siswa tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika harus memiliki standar proses guna mencapai tujuan yang diinginkan. Lima standar proses pembelajaran matematika yang harus dimiliki oleh siswa yang diungkapkan dalam buku Principles and Standards for School Mathematics yaitu problem solving, reasoning and proof, communication, connection and representation. Standar proses tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan pada lima standar proses pembelajaran matematika tersebut kemampuan komunikasi merupakan kemampuan yang penting untuk dikembangkan. Matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir, alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, tetapi matematika juga
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 44
ISSN: 2580-1104
sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga komunikasi antara guru dengan siswa. Fakta di lapangan menunjukan bahwa kemampuan komunikasi matematik khususnya siswa SMP masih tergolong rendah. Contoh masih rendahnya kemampuan komunikasi matematik siswa dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Fery terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa di MTs Al Husna Lebak Bulus pada tahun 2013 diperoleh temuan bahwa siswa kelas VIII masih mengalami kesulitan untuk merepresentasikan ide-ide matematiknya. Hal ini dapat terlihat dari jawaban siswa dalam latihan maupun ulangan harian, siswa kurang menggambarkan ide-ide matematis yang mereka miliki, misalnya dalam membuat persamaan atau model matematis dari materi aljabar dan sistem persamaan linear dua variabel yang disajikan dalam situasi real. Siswa tidak dapat membuat suatu tabel atau gambar dari informasi yang disajikan pada soal untuk membantunya menemukan jawaban, sehingga akhirnya mereka hanya menebak-nebak jawaban. Selain hal tersebut siswa juga belum mampu mengemukakan pendapatnya, terkadang pendapat yang disampaikan siswa belum terstruktur. Hal ini menyebabkan pendapat yang disampaikan oleh siswa sulit dipahami oleh teman-temannya maupun gurunya. Berdasarkan persoalan di atas maka dibutuhkan sebuah strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini dibutuhkan peran guru untuk dapat mengeksplorasi kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika khususnya dalam kemampuan komunikasi matematik. Salah satu strategi yang tepat untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa adalah strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing. Strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing (berbagi pengetahuan secara aktif) merupakan suatu cara yang baik untuk mengenalkan siswa pada materi pelajaran yang akan diajarkan. Siswa diperintahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam lembar kerja siswa yang berupa kontruksi dari konsep. Penggunaan lembar kerja siswa untuk memudahkan siswa dalam mengerjakan tugas dan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Dengan menggunakan lembar kerja siswa juga dapat membantu meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa dengan mengungkapkan dan menjelaskan ide-ide secara detail melalui tulisan. Pada tahap berbagi pengetahuan memungkinkan semua siswa mengungkapkan pendapat dan saling tukar informasi dengan teman sebayanya, sehingga mereka dapat terlibat aktif dan saling bekerja sama.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 45
Dalam pembelajaran siswa dibentuk dalam suatu kelompok, yang bertujuan untuk memungkinkan semua siswa mengunkapkan pendapat dan berbagai pengetahuan dengan siswa lainnya. Selanjutnya masing-masing perwakilan kelompok akan menyebar ke kelompok lain untuk saling berbagi informasi ataupun pengetahuan dengan anggota kelompoknya. Dengan adanya diskusi kelompok dan kerja kelompok dapat mengembangkan komunikasi matematik. Membuat kelompok-kelompok kecil dalam diskusi akan membuat intensitas seorang siswa dalam dalam mengemukakan pendapatnya akan semakin tinggi. Hal ini akan memberi peluang yang besar bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematiknya. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA” Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis kemampuan komunikasi matematik siswa dengan strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis kemampuan komunikasi matematik siswa dengan model pembelajaran konvensional. 3. Untuk membandingkan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan kemampuan komunikasi siswa yang diberi strategi pembelajaran konvensional. Sedangkan hipotesis pada penelitian ini, yaitu : “Kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.” METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi eksperimen (percobaan semu). Desain penelitian yang digunakan adalah posttest-only control group design dengan mengambil dua kelas/ kelompok yang dipilih secara acak untuk dijadikan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan khusus berupa pembelajaran dengan menggunakan strategi Active Knowledge Sharing. Pada kelompok kontrol, peneliti melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori. Kemudian, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui hasil akhir, apakah ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 46
ISSN: 2580-1104
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan kelas VIII yang terdaftar pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 yang terdiri dari lima kelas. Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi terjangkau. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan komunikasi matematik siswa dalam belajar matematika. Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan penilaian kompetensi pengetahuan yang digunakan dengan menggunakan teknik tes tertulis, yaitu tes kemampuan komunikasi matematik siswa. Tes kemampuan komunikasi matematik diberikan kepada kelompok eksperimen yaitu kelas VIII-5 yang dalam pembelajarannya diterapkan strategi Active Knowledge Sharing dan kelompok kontrol yaitu kelas VIII-3 yang diterapkan pembelajaran ekspositori. Tes tersebut berjumlah 6 butir soal setelah dilakukan validasi yang berbentuk essay dengan pokok bahasan Relasi dan Fungsi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal- soal berbentuk essay yang diberikan dalam bentuk posttes. Soal tes kemampuan komunikasi matematik diberikan sesuai dengan indikator kemampuan komunikasi matematik. Hasil tes ini kemudian dinilai dengan berdasarkan rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematik. Pedoman penskoran diperlukan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik siswa pada setiap butir soal. Kriteria penskoran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seperti yang disajikan pada tabel dibawa ini. Tabel 1. Pedoman Penskoran Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematik
Nilai 0
1
2
Kategori Kualitatif Jika siswa tidak memberikan jawaban.
Kategori Kuantitatif
Tidak memberikan jawaban apapun (dikosongkan) atau menulis sesuatu yang tidak berarti apapun, sehingga tidak cukup detail informasi yang diberikan Jika siswa tidak Tidak mampu menunjukan mampu pemahaman dengan lengkap dan menjawab benar baik itu isi tulisan, pertanyaan diagram, gambar atau tabel dengan lengkap maupun penggunaan model dan benar perhitungan. Jika siswa dapat Mampu memberikan penjelasan
Indikator Writen Text, Drawing, Mathematica l Expresion Writen Text, Drawing, Mathematica l Expresion Writen Text
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 47
menjawab pertanyaan dengan lengkap namun tidak benar.
3
4
Jika siswa dapat menjawab pertanyaan dengan benar namun tidak lengkap.
Jika siswa dapat menjawab pertanyaan dengan lengkap dan benar.
secara matematika dengan lengkap namun tidak benar. Melukiskan diagram, gambar atau tabel dengan lengkap namun tidak benar. Menggunakan persamaan aljabar atau model matematika dan melakukan perhitungan dengan lengkap namun tidak benar. Mampu memberikan penjelasan secara matematika dengan benar namun tidak lengkap. Melukiskan diagram, gambar. atau tabel dengan benar namun tidak lengkap. Menggunakan persamaan aljabar atau model matematika dan melakukan perhitungan dengan benar namun tidak lengkap. Mampu memberikan penjelasan secara matematika dengan lengkap dan benar. Melukiskan diagram, tabel atau gambar dengan lengkap dan benar. Membentuk persamaan aljabar atau model matematika, kemudian melakukan perhitungan dengan lengkap dan benar.
Drawing Mathematica l Expresion
Writen Text Drawing Mathematica l Expresion
Writen Text Drawing Mathematica l Expresion
Sebelum instrumen digunakan, instrumen tersebut terlebih dahulu diujicobakan. Uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran, dan reliabilitas instrumen. Berikut adalah rekapitulasi hasil uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Dalam penelitian ini diperoleh data tes kemampuan komunikasi siswa. Data kemampuan komunikasi siswa diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setelah data diperoleh selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan menguji
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 48
ISSN: 2580-1104
hipotesis, untuk menguji hipotesis diterima atau ditolak menggunakan uji perbedaan dua rata-rata. Uji yang digunakan adalah uji-t. EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan, peneliti mengambil dua kelas untuk dijadikan kelompok penelitian. Pada saat proses pembelajarannya, kedua kelompok tersebut diberi perlakuan yang berbeda. Sampel yang digunakan sebanyak 74 siswa yang terdiri dari Kelas eksperimen pada kelas VIII-5 dengan jumlah siswa 36 orang diberikan pembelajaran dengan menggunakan Strategi Active Knowledge Sharing, sedangkan kelas VIII-4 dengan jumlah siswa 38 orang diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional. Materi pembelajaran yang diajarkan pada kedua kelas adalah materi Relasi dan Fungsi yang diajarkan selama delapan pertemuan. Pada akhir pembelajaran kedua kelompok tersebut diberikan posttest berupa tes essay yang terdiri dari 6 soal yang digunakan untuk mengetahui bagaimana kemampuan komunikasi matematik siswa dan mencari tahu apakah terdapat pengaruh penerapan Strategi Active Knowledge Sharing terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. . Sebelum tes dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen sebanyak 7 butir di kelas IX-6. Setelah dilakukan uji coba instrumen. Selanjutnya dilakukan uji validasi, uji reliabilitas, uji taraf kesukaran butir soal dan uji daya pembeda pada tiap butir soalnya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh enam soal tersebut valid dengan realibilitas 0,43. Berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematik siswa juga terlihat adanya perbedaan berdasarkan nilai rata- rata dan presentasenya. Untuk lebih memperjelas perbedaan kemampuan komunikasi matematik siswa berdasarkan indikator komunikasi antara kelas eksperimen dan kelas kontol dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2 Statistik Deskripsi skor Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Kemampuan Komunikasi
No
Indikator Kemampuan Komunikasi
Skor ideal
Nilai Rata- rata Kelas
Kelas
Eksperimen
Kontrol
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 49
1
Written
Text,
yaitu
memberikan
8
76,39
69,74
8
75,35
66,45
8
47,92
43,75
jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan dan
membuat
matematika
pertanyaan
yang
mendengarkan,
telah
tentang dipelajari,
mendiskusikan,
dan
menulis tentang matematika, membuat konjektur,
menyusun
argumen
dan
generalisasi. 2
Drawing,
yaitu
merefleksikan benda
nyata, gambar, dan diagram dalam ide matematika. 3
Mathematical
Expression,
mengekspresikan
konsep
yaitu
matematika
dengan menyatakan peristiwa seharihari
dalam
bahasa
atau
simbol
matematika
Berdasarkan tabel 2, hasil perolehan rata- rata kemampuan komunikasi matematik siswa per indikator kelas eksperimen lebih baik dari rata- rata kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai rata- rata kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari nilai rata- rata kelas kontrol untuk setiap indikatornya. Kedua kelas memperoleh nilai tertinggi pada indikator Written Text, artinya kedua kelas baik eksperimen maupun kontrol mampu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi. Namun, jika dilihat kembali, siswa pada kelas eksperimen memperoleh nilai rata- rata yang lebih tinggi yaitu 76,39 daripada siswa kelas kontrol yang memperoleh nilai rata- rata 69,74. Hal ini dikarenakan kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen yang terbentuk pada tahap berbagi pengetahuan secara
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 50
ISSN: 2580-1104
aktif, sehingga mereka dapat memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri dengan baik secara lengkap dan benar. Perolehan nilai terendah kedua kelas terdapat pada indikator Mathematical Expression, yaitu sebesar 47,92 untuk kelas eksperimen dan sebesar 43,75 untuk kelas kontrol. Namun, perolehan nilai kelas eksperimen tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan siswa pada kelas eksperimen lebih terbiasa untuk menyelesaikan soal dengan tahapan- tahapan yang membimbing siswa untuk dapat mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol matematika. Secara lebih jelas perbandingan nilai rata- rata siswa berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan dalam Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Perbandingan Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Dari gambar 2, dapat dilihat hasil perolehan nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol, pada indikator written text siswa pada kelas experimen memperoleh nilai rata-rata 76,39 sedangkan siswa pada kelas kontrol memperoleh nilai rata-rata 69,74, pada indikator drawing siswa pada kelas experimen memperoleh nilai rata-rata 75,35 sedangkan siswa pada kelas kontrol memperoleh nilai rata-rata 66,45 dan pada indikator mathematical expression siswa pada kelas experimen memperoleh nilai rata-rata 47,92 sedangkan siswa pada kelas kontrol memperoleh nilai rata-rata 43,75. Perolehan nilai rata-rata diatas menunjukan bahwa semua indikator
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 51
komunikasi matematik pada kelas experimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, hal ini dikarenakan siswa pada kelas eksperimen memiliki kemampuan untuk menghubungkan benda nyata atau gambar kedalam ide matematika kemudian melakukan perhitungan untuk mendapatkan solusi secara lengkap dan benar, menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika secara tulisan dengan grafik. Setelah dilakukan uji hipotesis kemampuan komunikasi matematik secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa 𝐻0 ditolak, sedangkan 𝐻1 diterima. 𝐻1 menyatakan bahwa dengan taraf kekeliruan 5%, nilai ratarata kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi Active Knowledge Sharing lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajaran matematikanya diajarkan secara konvensional. Dapat dilihat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata posttes kelas eksperimen yang lebih tinggi yaitu sebesar 63,25 dibandingkan dengan nilai rata-rata pos tes kelas kontrol yaitu 59,50. Secara umum, setelah dilakukan analisis hasil penelitian , terdapat beberapa hal yang menyebabkan perbedaan nilai rata- rata kelas eksperimen dan kelas kontrol salah satunya penyebabnya adalah proses pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Proses pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan strategi Active Knowledge Sharing yang terdiri dari 3 tahapan inti kegiatan pembelajaran yaitu active, knowledge dan sharing. Selain itu pada kelas eksperimen guru menggunakan bahan ajar berupa lembar kerja siswa sebagai sarana bagi siswa untuk mempelajari materi pembelajaran, dimana pada lembar kerja siswa ini terdapat langkah- langkah pembelajaran Active Knowledge Sharing sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi Active Knowledge Sharing berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. Hal tersebut sejalan dengan Teori Silver (Turmudi, 2009) yang menyatakan bahwa strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing dapat meningkatkan kemampuan pamahaman dan komunikasi matematis. Selain itu didukung hasil penelitian Listiyana Widyaningrum menyatakan bahwa terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa dengan strategi pembelajaran Active Knowledge Sharing. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan mengenai pembelajaran matematika dengan strategi Active Knowledge Sharing terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan pada bulan Januari, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 52
ISSN: 2580-1104
1. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan strategi Active Knowledge Sharing memiliki rata- rata lebih tinggi dari kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan metode konvensional. Pencapaian nilai rata- rata indikator kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen dari yang paling tinggi adalah a) Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi dengan nilai persentase 76,39, b) Drawing, yaitu merefleksikan benda nyata, gambar, dan diagram dalam ide matematika dengan nilai persentase 75,35, c) Mathematical Expression, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika dengan nilai 47,92. 2. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan metode konvensional memiliki rata- rata lebih rendah dari kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan strategi Active Knowledge Sharing. Pencapaian nilai rata- rata indikator kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas kontrol dari yang paling tinggi adalah 1) Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi dengan nilai persentase 69,74, 2) Drawing, yaitu merefleksikan benda nyata, gambar, dan diagram dalam ide matematika dengan nilai persentase 66,45, 3) Mathematical Expression, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika dengan nilai 43,75. 3. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang proses pembelajarannya menggunakan strategi Active Knowledge Sharing lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari pengujian hipotesis tHitung lebih besar dari t Tabel (1,92 > 1,67) dengan taraf signifikansi 5%. Selain itu, hal tersebut dapat terlihat dari nilai rata-rata hasil tes yang diperoleh ke dua kelompok yaitu kelompok eksperimen sebesar 66,25 sedangkan kelompok kontrol
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 53
sebesar 59,5. Hal ini menunjukan bahwa penerapan strategi Active Knowledge Sharing berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa. DAFTAR PUSTAKA Aunurahman. (2012). Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, Cet.7. OECD, Pisa 2012 Result In Focus: What 15-year-olds Know And What They Can Do With What They Know, (AS: OECD, 2014), h. 18- 19 Ina V.S Mullis, et.al., TIMSS 2011 International Results In Mathematics, USA:TIMSS & PIRLS International Study Center. Satriawati, Gusni. (2008) “Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa”, Algoritma, Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, CeMED, Vol. 1, No. 1. Fery Andriansyah. (2014)” Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa”,Skripsi, FITK UIN Jakarta. Anisya Syahril. (2014)” Penerapan Strategi Active Knowledge Sharing Untuk meningkatkan Pemahaman, Komunikasi Serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Skripsi, UPI Bandung,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 54
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-06 KORELASI ANTARA MOTIVASI BELAJAR DAN HABITS OF MIND DENGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK MAHASISWA Vepi Apiati Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Jln. Siliwangi 24 Tasikmalaya 46115
[email protected] Abstrak Mahasiswa dalam hal ini sebagai calon ilmuwan muda yang sedang belajar suatu disiplin ilmu dibangku perkuliahan yang akan mengantarkannya menjadi seorang ahli yang propesional di masa yang akan datang harus memiliki prestasi yang membanggakan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa diantaranya adalah motivasi dan Habits of mind. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan Habits of mind merupakan suatu gambaran dalam diri seseorang untuk bersikap secara intelektual ketika mereka menghadapi suatu masalah yang tidak dengan segera diketahui jawabannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara motivasi belajar dan Habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik, dan untuk mengetahui motivasi belajar mahasiswa selama mengikuti perkuliahan. Analisis korelasi motivasi belajar dan habits of mind terhadap kemampuan berpikir kritis matematik, menghasilkan koefisien korelasi (R) product moment = 0,64. Telaah keberartian (signifikansi) terhadap angka koefisien korelasi tersebut diperoleh Fhitung = 11,45 sedangkan untuk F tabel (0,99) (2,33) = 5,31. Ternyata F hitung (11,45) > F tabel (5,31) maka hipotesis diterima yaitu ada korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. Jika dilihat dari koefisien korelasi 𝜌 = 0,57, maka korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa tergolong dalam klasifikasi korelasi positif sedang. Berdasarkan data hasil perhitungan angket motivasi belajar mahasiswa secara keseluruhan, motivasi belajar selama perkuliahan tergolong pada klasipikasi sedang dengan rata-rata skornya 58,72. Kata Kunci: Motivasi Belajar, Habits of Mind, Kemampuan Berpikir Kritis Matematik
PENDAHULUAN Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi pembangunan pendidikan nasional kini telah tertuang dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang ini syarat dengan tuntutan yang cukup mendasar, karena harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 55
global. Salah satu upaya yang harus segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dewey (Sagala, Syaiful, 2013: 3) mengatakan, “pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya.” Dari penjelasan tersebut jelas sekali bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia yang juga dijadikan salah satu tolok ukur utama untuk menilai kualitas manusia tersebut. Mahasiswa dalam hal ini sebagai calon ilmuwan muda yang sedang belajar suatu disiplin ilmu dibangku perkuliahan yang akan mengantarkannya menjadi seorang ahli yang propesional di masa yang akan datang harus memiliki prestasi yang membanggakan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa diantaranya adalah motivasi dan Habits of mind (kebiasaan berpikir). Uno, Hamzah B., (2013: 1) mengatakan bahwa motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan adanya motivasi, suatu proses pembelajaran akan berjalan baik, hal tersebut dikarenakan motivasi merupakan sebuah kemauan yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan usaha dalam upaya mencapai tujuan. Dalam hal belajar, motivasi merupakan suatu dorongan untuk melakukan sesuatu agar dapat memenuhi suatu tujuan atau kompetensi dalam perkuliahan. Motivasi belajar bisa muncul secara internal maupun eksternal. Motivasi diukur melalui sebuah angket dengan indikator: adanya hasrat keinginan berhasil; adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; adanya harapan dan cita-cita masa depan; adanya penghargaan dalam belajar; adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; dan adanya lingkungan belajar yang kondusif. Menurut Donald, Mc. (A.M., Sardiman, 2012: 73) “Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya ‘feeling’ dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.” Dari pengertian tersebut A.M., Sardiman (2012: 74) menguraikannya menjadi tiga elemen penting motivasi: a. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energy pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi didalam system “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energy
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 56
ISSN: 2580-1104
manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kewajiban, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah-laku manusia. c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan, tujuan ini akan menyangkut masalah kebutuhan. Uno, Hamzah B. (2013: 31) mengungkapkan bahwa hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan esternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku pada umumnya dengan beberapa indikator meliputi: a. Adanya hasrat dan keinginan berhasil. b. Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar c. Adanya harapan dan cita-cita masa depan d. Adanya penghargaan dalam belajar e. Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar f. Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik. Berdasarkan sifatnya, motivasi tebagi menjadi dua macam, yakni motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Sagala, Syaiful (2013: 101) menjelaskan “Motivasi intrinsik, adalah dorongan siswa agar mencapai tujuan yang terkandung dalam perbuatan itu sendiri. Motivasi ini berkenaan dengan kebutuhan siswa sendiri.” Sedangkan untuk motivasi ekstrinsik Sagala, Syaiful (2013: 102) mengungkapkan, “Motivasi ekstrinsik, adalah dorongan yang timbul untuk mencapai tujuan yang datang dari luar dirinya.” Habits of mind merupakan kebiasaan berpikir cerdas yang tumbuh secara terus menerus dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebiasan ini dapat menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Indikator habits of mind yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: bertahan atau pantang menyerah, mengatur kata hati, mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati, berpikir luwes, berpikir metakognitif, berusaha bekerja teliti dan tepat, bertanya dan mengajukan masalah secara efektif, memanfaatkan pengalaman lama, berkomunikasi secara jelas dan tepat, memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data, mencipta, berkhayal, dan berinovasi, bersemangat dalam merespons, berani
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 57
bertanggung jawab dan menghadapi resiko, humoris, berpikir saling bergantungan, dan belajar berkelanjutan. Costa dan Kallick (Mahmudi, Ali, 2009: 15) mendefinisikan lebih jelas dalam konteks pemecahan suatu permasalahan yakni, “kecenderungan untuk berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi suatu masalah, khususnya masalah yang tidak dengan segera diketahui jawaban atau solusinya.” Lebih jelasnya lagi, Risnanosanti (2011: 65) mengemukakan “Habits of mind merupakan suatu gambaran dalam diri seseorang untuk bersikap secara intelektual ketika mereka menghadapi suatu masalah yang tidak dengan segera diketahui jawabannya. Situasi seperti ini menawarkan strategi penalaran, wawasan berpikir yang luas, ketekunan, kreatif, dan keahlian. Kebiasaan yang terdapat dalam diri seseorang ini dapat diaplikasikan secara tepat dalam menyelesaikan berbagai masalah matematika”. Dalam penelitian ini, kemampuan mahasiswa yang akan diteliti adalah kemampuan berpikir kritis matematiknya. Dimana kemampuan berpikir kritis matematik ini adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal tentang apa yang dilakukan dengan menganalisis suatu keadaan dengan teliti. Dengan berpikir kritis seseorang dapat mengubah pola pikirnya sehingga dapat menentukan keputusan atau simpulan yang tepat sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi. Indikator berpikir kritis yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, menganalisis algoritma, dan memecahkan masalah. Berdasarkan pada apa yang menjadi latar belakang penelitian ini, maka permasalahan yang akan peneliti teliti adalah: a. Apakah ada korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa? b. Bagaimana motivasi belajar mahasiswa selama mengikuti perkuliahan? Anggapan dasar yang peneliti gunakan sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah: 1. Motivasi sebagai bentuk reaksi yang terbentuk karena faktor internal dan eksternal. 2. Habits of Mind merupakan suatu kebiasaan berpikir yang timbul karena sesuatu yang dilakukan terus menerus. 3. Kemampuan berpikir kritis matematik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan matematika dengan cara yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang harus dilakukan untuk dapat menyelesaikannya.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 58
ISSN: 2580-1104
4. Hasil tes berpikir kritis matematik menunjukkan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa yang sebenarnya Tujuan dari penelitian yang peneliti lakukan adalah untuk mengetahui korelasi antara motivasi belajar dan Habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa serta untuk mengetahui motivasi belajar mahasiswa selama mengikuti perkuliahan khususnya dalam perkuliahan mata kuliah analisis kompleks. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode korelasional. Ruseffendi, E.T. (2005: 30) menyatakan “Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggunakan observasi wawancara atau angket mengenai keadaan sekarang pada objek yang sedang diteliti”. Jadi digunakannya metode deskriptif karena data yang diperoleh merupakan hasil dari penelitian yang sedang terjadi sekarang. Dan Ormrod, Jeanne Ellis (2009: 11) menyatakan, “Studi korelasional (correlational study) mengupas kemungkinana hubungan antara sejumlah variabel”. Jadi peneliti akan menggunakan metode korelasional untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. Dikarenakan penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa, maka variabel penelitiannya terdiri dari dua variabel bebas dan satu variable terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah motivasi belajar dan habits of mind dan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengadakan tes kemampuan berpikir kritis matematis dan penyebaran angket motivasi belajar dan habits of mind mahasiswa. Tes merupakan soal uraian yang terdiri dari 5 buah pertanyaan dengan skor maksimum 20. Dan angket masing-masing terdiri dari 20 pernyataan yang terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negative. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 6 yang mengontrak mata kuliah analisis kompleks di jurusan matematika Fakultas keguruan dan Ilmu pendidikan universitas Siliwangi Tasikmalaya. Sampelnya diambil secara random sampling dari 5 kelas dan terpilih kelas VI B yang berjumlah 36 mahasiswa. Desain dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: X1 X2
Y
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 59
Sumber: Riduan (Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin, 2006:233) Keterangan: X1= Motivasi belajar peserta didik X2= Habits of Mind Y= Kemampuan berpikir kritis
Teknik analisis data untuk menganalisis korelasi antara motivasi belajar dan habith of mind dengan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, dilakukan dengan uji prasyarat analisis dengan cara uji normalitas dan uji linieritas regresi ganda (Jika ternyata regresinya linear maka dilanjutkan dengan menghitung r xy dan jika regresinya tidak linear maka langkah selanjutnya adalah menggunakan statistik nonparametrik dengan menggunakan korelasi rank), kemudian uji hipotesis, dan menentukan harga 𝜌 untuk melihat interprestasi koefisien korelasinya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H0 : 𝜌 = 0 H1 : 𝜌 > 0 Keterangan: 𝐻0 = Tidak ada korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. 𝐻1 = Ada korelasi motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan skor akhir tes kemampuan berpikir kritis matematik yang dibeikan pada mahasiswa di kelas sampel diperoleh kesimpulan bahwa nilai yang paling banyak diperoleh masuk dalam kriteria B + dengan frekuensi relative 47,22% atau 17 mahasiswa. Sedangkan nilai paling rendah masuk dalam kriteria C dengan frekuensi relative 2,78% atau 1 mahasiswa. Dalam tes kemsampuan berpikir kritis ini, nilai rata-rata mahasiswa setelah dikonversi adalah 3,4 dan termasuk ke dalam kategori B +. Dari keseluruhan skor angket motivasi belajar dan habits of mind mahasiswa diperoleh rata-rata skor motivasi belajarnya adalah 58,72 termasuk ke dalam kriteria motivasi belajar sedang, dan rata-rata skor habits of mindnya adalah 58,89 termasuk dalam kriteria sedang juga. Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan Chi Kuadrat (𝜒2), dengan taraf signifikansi yang digunakan sebagai aturan untuk menerima atau menolak pengujian normalitas atau suatu distribusi data adalah α =
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 60
ISSN: 2580-1104
0,01. Dari hasil perhitungan untuk angket motivasi belajar, angket habits of 2 mind dan tes kemampuan berpikir kritis masing-masing diperoleh 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 2 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 artinya sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Analisis korelasi motivasi belajar dan habits of mind terhadap kemampuan berpikir kritis matematik, menghasilkan koefisien korelasi (R) product moment = 0,64. Telaah keberartian (signifikansi) terhadap angka koefisien korelasi tersebut diperoleh F hitung = 11,45 sedangkan untuk F tabel (0,99) (2,33) = 5,31. Ternyata F hitung (11,45) > F tabel (5,31) maka hipotesis diterima yaitu ada korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. Jika dilihat dari koefisien korelasi 𝜌 = 0,57, maka korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa tergolong dalam klasifikasi korelasi positif sedang. Koefisien determinasi dari korelasi antara motivasi belajar (X 1) dan habits of mind (X2) dengan kemampuan berpikir kritis matematik (Y) yaitu (Rx1x2y )2 = (0,64)2 = 0,4096 yang berarti bahwa kontribusi yang diberikan motivasi belajar dan habits of mind secara bersamaan terhadap kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa sebesar 40,96% dan sisanya sebesar 59,04% dipengaruhi faktor lain. Motivasi belajar dalam penelitian ini terdiri dari 3 indikator intrinsik. Diantaranya adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar, serta adanya harapan dan cita-cita masa depan. Pada indikator intrinsik adanya hasrat keinginan untuk berhasil, rata rata skornya adalah 3,41 dengan klasifikasi tinggi. Hal ini berarti mahasiswa benar-benar memiliki keinginan lebih untuk dapat berhasil dalam perkuliahan. Terlihat ketika berinteraksi dalam perkuliahan, mahasiswa terlihat sangat antusias dalam perkuliahan dan mereka selalu berlomba menunjukkan yang terbaik. Pada indikator intrinsik adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar, rata-rata skornya adalah 2,6 dengan klasifikasi sedang. Hal ini berarti masih ada mahasiswa yang kurang termotivasi dengan adanya dorongan dan kebutuhan belajar. Pada awalnya dalam suatu perkuliahan mahasiswa terlihat kurang antusias mungkin karena mahasiswa masih belum mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Tetapi setelah peneliti mejelaskan hal-hal yang penting dalam perkuliahan mereka jadi lebih termotivasi. Mahasiswa menunjukan tindakan positif setelah mengetahui apa saja yang mereka harus lakukan dalam perkuliahan. Mereka menjadi lebih giat dalam memenuhi kebutuhan belajarnya. Setiap permasalahan yang diberikan peneliti mereka pecahkan bersama.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 61
Pada indikator intrinsik adanya harapan dan cita-cita masa depan ratarata skornya adalah 3,31 dengan klasifikasi tinggi. Pada umumnya mahasiswa berkeinginan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya, sehingga mahasiswa mempunyai harapan dan cita-cita yang tinggi. Saat ditanya mengenai harapan masa depan pada saat perkuliahan pun mereka tanpa ragu menyebutkan apa yang menjadi harapannya dan mereka merasa sangat yakin bisa mewujudkannya. Selain indikator motivasi belajar intrinsik juga terdapat indikator motivasi belajar ekstrinsik. Motivasi belajar eksterinsik terdiri dari 3 indikator yaitu adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan adanya lingkungan belajar yang kondusif. Pada indikator ektrinsik adanya penghargaan dalam belajar, rata-rata skornya adalah 2,95 dengan klasifikasi sedang. Mahasiswa terlihat cukup antusias ketika hasil pekerjaan mereka diberikan penilaian, mahasiswa juga menjadi lebih giat belajar ketika mendapatkan suatu pujian. Pada indikator ekstrinsik adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, rata-rata skornya 2,66 dengan klasifikasi sedang. Walaupun tidak semua mahasiswa dapat mengerti dengan materi yang diberikan, tapi mahasiswa masih terlihat tetap bersemangat mengikuti proses perkuliahan. Indikato r ekstrinsik adanya lingkungan belajar yang kondusif rata-rata skornya adalah 2,63 dengan klasifikasi sedang. Mahasiswa merasa nyaman dengan suasana perkuliahan dan suasana disekitarnya. Berdasarkan data hasil perhitungan angket motivasi belajar mahasiswa secara keseluruhan, motivasi belajar selama perkuliahan tergolong pada klasipikasi sedang dengan rata -rata skornya 58,72. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Ada korelasi antara motivasi belajar dan habits of mind dengan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. 2. Peserta didik mempunyai motivasi belajar dengan klasifikasi sedang selama mengikuti perkuliahan. Berdasarkan pada hasil penelitian dan simpulan yang, peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Motivasi belajar habits of mind hendaknya menjadi salah satu pendukung dalam proses pembelajaran mahasiswa dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik mahasiswa. 2. Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti korelasi motivasi belajar dan habits of mind ini terhadap kemampuan lainnya seperti
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 62
ISSN: 2580-1104
kemampuan pemahaman matematik, kemampuan komunikasi matematik, kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kreatif matematik.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama. Adisusilo, Sutarjo. (2013). Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter. Jakarta: Rajagrafindo Persada Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta Azwar, Saifudin. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar A.M., Sardiman. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Fisher, Alec. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Terjemahan Benyamin Hadinata. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haerudin. (2014). Pengaruh Pendekatan Scientific Terhadap Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Haryani, Desti. (2012). Membentuk Siswa Berpikir Kritis Melalui Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yogyakarta. Hikmawati, Rully Khusna. (2013). Keefektifan Strategi pembelajaran TTW (Think Talk Write) Berbantuan LKPD Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas X. Skripsi Universitas Negeri Semarang: Tidak diterbitkan. Ilahi, Mohammad Takdir. (2012). Pembelajaran Discovery Strategi & Mental Vacational Skill. Jogjakarta: DIVA Press Irham, Muhammad dan Novan Ardy Wiyani. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Ismaimuza, Dasa dan Selvy Musdalifah. (2013) Pengembangan Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Untuk Siswa SMP. Makalah pada Seminar Nasional Sains dan Matematika II MIPA FKIP UNTAD
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 63
KEMENDIKBUD. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK KEMENDIKBUD KEMENDIKBUD. (2014). Matematika Wajib Buku Siswa Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 2. Jakarta: BPSDMPK KEMENDIKBUD Mahmudi, Ali. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Kebiasaan Berpikir Melalaui Pembelajaran dengan Strategi Mathematical Habits of Mind. Laporan Akhir Hibah Penelitian Program Doktor Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak diterbitkan Nurcahya, Nina. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Discoveri Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta Didik. Skripsi Universitas Siliwangi Tasikmalaya: Tidk diterbitkan Ormrod, Ellis Jeanne. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Risnanosanti. (2011). Peranan Habits of Mind dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi. Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan MIPA Universitas Lampung. Ratnaningsih, Nani. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Safitri, Prahesti Tirta. (2013). Pembelajaran Quick on the Draw Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis dan Habits of Mind Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan Sagala, Syaiful. (2013). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Shiddiq, Muhammad Yusuf. (2014). Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Peserta Didik. Skripsi Universitas Siliwangi Tasikmalaya: Tidak diterbitkan Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin. (2006). Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Bandung : CV Pustaka Setia.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 64
ISSN: 2580-1104
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sumarmo, Utari. (2014). Pengembangan Hardi Skill dan Soft Skill Matematik Bagi Guru dan Siswa Untuk Mendukung Implementasi Kurikulum 2103. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Uno, Hamzah B. (2013). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Widaningsih, Dedeh. (2013). “Kualitas Alat Evaluasi”. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Tasikmalaya: Tidak diterbitkan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 65
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 66
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-07 KONTRIBUSI PENGGUNAAN MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN KOMUNIKASI MATEMATIK PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA ANGKATAN 2015-2016. Yeni Heryani1, Depi Setialesmana 2 Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi, Jl Siliwangi no 24, Tasikmalaya, 46115, Indonesia
[email protected] [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa yang lebih baik antara yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learningdengan yang mengikuti pembelajaran langsung, serta untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa angkatan 20152016. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa kelas D sebagai kelas eksperimen dan E sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi soal tes kemampuan koneksi dan komunikasi matematik. Analisis data menggunakan uji perbedaan dua rata-rata untuk mengetahui peningkatan yang lebih baik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol serta ANOVA satu arah dengan uji Scheffe untuk mengetahui peningkatan yang lebih baik antara kelompok tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learninglebih baik dari mahasiswa yang mengikuti pembelajaran langsung. Peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning. Kata Kunci : Discovery Learning, Kemampuan Koneksi dan Komunikasi Matematik.
PENDAHULUAN Pendidikan matematika berperan dalam keikutsertaannya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dilihat dari tujuan program studi pendidikan matematika yaitu menciptakan calon guru matematika yang memiliki kompetensi pada bidang matematika, maka sebagai dosen program studi pendidikan matematika terutama pada mata kuliah Geometri Analitik mempunyai kewajiban untuk mendidik mahasiswa agar menguasai konsepkonsep serta kemampuan dasar matematika. Sumarmo, Utari (2006:3) mengemukakan “Kemampuan dasar matematika dapat diklasifikasikan ke dalam lima standar yaitu kemampuan : mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip, dan idea matematika; menyelesaikan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 67
masalah matematik (mathematical connection); bernalar matematik (mathematical reasoning); melakukan koneksi matematik (mathematical connection); dan komunikasi matematik (mathematical communication)”. Kemampuan-kemampuan tersebut termasuk pada berpikir matematika tingkat tinggi yang harus dikembangkan dalam proses perkuliahan Geometri Analitik. Namun pada kenyataannya penguasaan kemampuan tersebut belum optimal dalam kegiatan perkuliahan. Marpaung (Tahmir, 2008:4) mengemukakan “Paradigma pembelajaran saat ini mempunyai ciri-ciri antara lain:guru aktif, mahasiswa pasif; pembelajaran berpusat kepada guru; guru mentransfer pengetahuan kepada mahasiswa; pemahaman mahasiswa cenderung bersifat instrumental; pembelajaran bersifat mekanistik; dan mahasiswa diam (secara fisik) dan penuh konsentrasi (mental) memperhatikan apa yang diajarkan guru”.Berdasarkan pendapat tersebut, maka akibatnya berdampak terhadap perkuliahan pada jenjang pendidikan tinggi antara lain: pemahaman mahasiswa terhadap matematika rendah; serta kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving), bernalar(reasoning), berkomunikasi secara matematis (communication), dan melihat keterkaitan antara konsep-konsep dan aturanaturan (connection) rendah. Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat dikemukakan bahwa untuk meningkatkan hasil dan kualitas pembelajaran matematika banyak hal yang harus diperbaiki. Rendahnya kemampuan koneksi dan komunikasi matematik dapat disebabkan oleh kurangnya kesempatan mahasiswa dalam berlatih soal yang berkaitan dengan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik. Pada kenyataannya soal-soal yang diberikan kepada mahasiswa juga hanya soalsoal untuk mengukur hasil belajar saja tanpa melihat kemampuan apa yang ingin diukur.Keadaan yang terjadi di lapangan dalam hal kemampuan koneksi dan komunikasi matematik disebabkan oleh rendahnya kualitas proses perkuliahan di tingkat pendidikan tinggi yang berpengaruh terhadap hasil. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam perkuliahan agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan adalah model discovery learning. Alasan dipilihnya model Discovery Learningkarena model pembelajaran ini dalam mengaplikasikannya dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara aktif serta mampu menemukan rumus-rumus ataupun konsep dari materi yang dipelajari, yang sebelumnya telah direkayasa oleh dosen dalam proses penemuannya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Kontribusi Penggunaan Model Discovery Learning terhadap Peningkatkan Kemampuan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 68
ISSN: 2580-1104
Koneksi dan Komunikasi Matematik pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Angkatan 2015-2016.” Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning lebih baik dari yang mengikuti pembelajaran langsung; 2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa yangg mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning lebih baik dari yang mengikuti pembelajaran langsung; 3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning, dan kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. 4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning dan kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa yang lebih baik antara yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning dengan yang mengikuti pembelajaran langsung; 2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematikmahasiswa yang lebih baik antara yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning dengan yang mengikuti pembelajaran langsung; 3. Perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning. 4. Perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learning. Menurut Kurniasih, Imas & Berlin Sani (2014:69) dalam mengaplikasikan strategi Discovery Learningdi kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut. (1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) (2) Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah) (3) Data collection (pengumpulan data) (4) Data processing (pengolahan data) (5) Verification (pembuktian)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 69
(6) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Tahapan pembelajaran melalui model Discovery Learningsecara operasional yang akan dilaksanakan dalam kegiatan perkuliahan pada mata kuliah geometri analitik meliputi; pertama pada model Discovery Learningmahasiswa dihadapkan pada interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu mahasiswa dalam mengeksplorasi bahan ajar. Dosen dapat memulai dengan mengajukan pertanyaan, anjuran untuk membaca buku dan kegiatan lainya yang dapat mengarah pada persiapan menyelesaikan masalah. Tahap kedua yaitu identifikasi masalah, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi. Tahap ketiga yaitu pengumpulan data, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswauntuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dan menghubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Tahap keempat yaitu pengolahan data, kegiatan mengolah data yang telah diperoleh. Sedangkan untuk tahap kelima yaitu pembuktian, mahasiswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya dari penyelesaian masalah. Kemudian tahap keenam yaitu menarik kesimpulan, proses menarik kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk masalah yang sama. sehingga mahasiswa lebih aktif dalam pembelajaran dan dapat memahami sendiri konsep dari setiap mater i. Tahap-tahap model Discovery Learningmampu membuat mahasiswa lebih aktif dalam pembelajaran dan dapat menemukan sendiri konsep dari setiap materi. Arends (Trianto, 2009: 41) menyatakan ”Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar mahasiswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.” Kardi dan Nur (Trianto, 2009: 47) mengemukakan Langkah-langkah model pembelajaran langsung sebagai berikut. a. Menyampaikan tujuan dan menyiapkan mahasiswa Tujuan langkah awal ini untuk menarik dan memusatkan perhatian mahasiswa, serta memotivasi mereka untuk berperan serta dalam pelajaran itu. b. Presentasi dan Demonstrasi Pada fase ini gurumelakukan presentasi atau demonstrasi pengetahuan dan keterampilan. Kunci untuk berhasil ialah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 70
ISSN: 2580-1104
mempresentasikan informasi sejelas mungkin dan mengikuti langkah-langkah demonstrasi yang efektif. c. Mencapai Kejelasan Kemampuan guru untuk memberikan informasi yang jelas dan spesifik kepada mahasiswa, mempunyai dampak yang positif terhadap proses belajar mahasiswa. d. Melakukan Demonstrasi Agar dapat mendemonstrasikan suatu konsep atau keterampilan dengan berhasil, guru perlu dengan sepenuhnya menguasai konsep dan keterampilan yang akan didemonstrasikan, dan berlatih melakukan demonstrasi untuk menguasai komponenkomponennya. e. Mencapai Pemahaman dan Penguasaan Guru perlu berupaya agar para mahasiswa dapat melakukan sesuatu yang benar.Guru juga perlu berupaya agar segalasesuatu yang didemonstrasikan juga benar. f. Berlatih Agar dapat mendemonstrasikan sesuatu dengan benar diperlukan latihan yang intensif, dan memperhatikan aspek-aspek penting dari keterampilan atau konsep yang didemonstrasikan. g. Memberikan Latihan Terbimbing Guru harus mempersiapkan dan melaksanakan pelatihan terbimbing. Keterlibatan mahasiswa dapat membuat belajar berlangsung dengan lancar dan memungkinkan mahasiswa menerapkan konsep pada situasi baru. h. Mengecek Pemahaman dan Memberikan Umpan Balik Guru dapat melakukan berbagai cara untuk memberikan umpan balik baik secara lisan ataupun tulisan. Tanpa umpan balik spesifik, mahasiswa tidak mungkin memperbaiki kekurangannya, dan tidak dapat mencapai tingkat penguasaan keterampilan yang mantap. i. Memberi Kesempatan Belajar Mandiri Pada tahap ini guru memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menerapkan keterampilan yang baru saja diperoleh secara mandiri. Pada model ini guru tidak mungkin memperhatikan kebutuhan mahasiswa secara keseluruhan. Sumarmo, Utari (2006: 4) menyatakan Indikator untuk mengukur koneksi matematik, yaitu: a. Mencari dan memahami hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 71
b. Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari. c. Memahami representasi ekuivalen konsep dan prosedur yang sama. d. Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen. e. Menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antara topik matematika dengan topik lain. Indikator yang akan digunakan dalam penyusunan soal tes kemampuan koneksi matematik yaitu menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari,mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi ekuivalen, serta menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain. Sumarmo, Utari (2006: 3) menyatakan beberapa indikator yang dapat mengukur kemampuan komunikasi matematik mahasiswa, antara lain: 1) menyatakan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika; 2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik atau bentuk aljabar; 3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; 4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; 5) membaca presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan; 6) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. Indikator kemampuan komunikasi yang digunakan dalam soal tes yaitu menyatakan gambar ke dalam ide matematika, menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tulisan, menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol matematika, menyusun argumen dan generalisasi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Isnarto (2014) tentang Implementasi Discovery Learning dalam perkuliahan Struktur Aljabar yang menyatakan bahwa model Discovery Learningefektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis. Serta penelitian tentang penggunaan metode penemuan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa keguruan oleh Sutji Rochminah yang menyatakan bahwa pembelajaran penemuan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis matematis ditinjau berdasarkan kemampuan akademik calon guru. Meskipun
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 72
ISSN: 2580-1104
hasil penelitian tidak berdasarkan kemampuan yang diteliti yaitu kemampuan koneksi dan komunikasi matematis, tetapi dari hasil penelitian sebelumnya bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Maka dilandasi dengan asumsi bahwa kemampuan koneksi dan komunikasi matematik sama halnya dengan kemampuan berpikir kritis yang ketiganya temasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif, yakni dengan melakukan eksperimen terhadap dua kelas dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learningsebagai kelas eksperimen dan model pembelajaran langsung sebagai kelas kontrol untuk melihat hasil tes kemampuan koneksi dan komunikasi matematik. Maka desain penelitian ini sebagai berikut.
O O
X
O O
Keterangan : O = Pretest dan Posttest kemampuan koneksi dan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol X = Model discovery learning.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan matematika Universitas Siliwangi angkatan 2015-2016. Sampel penelitian adalah mahasiswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masingmasing sebanyak dua kelas, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Pengelompokkan sampel pada kelas eksperimen dan kontrol ke dalam kelompok tinggi, sedang dan rendah dilakukan berdasarkan kemampuan akademik, yaitu hasil tes hasil belajar semester ganjil. Seluruh mahasiswa dalam satu kelas diurutkan mulai mahasiswa yang mendapatkan nilai tertinggi sampai yang nilainya terendah. Kemudian dibagi dalam tiga kelompok menjadi kelompok tinggi, kelompok sedang dan kelompok rendah. Suherman (2003: 45) mengatakan bahwa sampel diambil sebanyak 27% untuk kelompok mahasiswa pandai dan 27% kelompok mahasiswa rendah, sehingga seluruh sampel yang terambil sebanyak 54%.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 73
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa soal tes kemampuan koneksi dan komunikasi matematik. Jenis tes pada penelitian ini adalah Pretest dan Posttest. Pretest dilaksanakan sebelum pembelajaran dilakukan untuk mengetahui kemampuan koneksi dan komunikasi matematik pada materi yang akan dipelajari pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sedangkan postes diberikan setelah selesai pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa, bentuk soal yang digunakan adalah uraian. Berdasarkan hasil uji validitas maka soal kemampuan koneksi dan komunikasi matematik menunjukkan hasil yang valid dan reliable,artinya semua soal layak untuk dijadikan soal dalam tes. Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Data yang telah diperoleh kemudian diolah sebagai berikut dengan cara menghitung Gain Score,indeks gain ini dihitung dengan rumus indeks gain dari Meltzer (Hidayat, 2009:61), yaitu sebagai berikut. 𝑆𝑃𝑜𝑠𝑡 − 𝑆𝑃𝑟𝑒 𝑆𝑀𝑎𝑘𝑠 − 𝑆𝑃𝑟𝑒 Keterangan: 𝑆𝑃𝑜𝑠𝑡 = Skor Postes 𝑆𝑝𝑟𝑒 = Skor pretes 𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠 = Skor maksimum Kemudian melakukan perhitungan uji dua rata-rata pada hasil pretest, posttest dan gain dengan menggunakan SPSS 20. Serta melakukan uji hopotesis dengan ANOVA dua jalur untuk melihat perbedaan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa antara kelompok tinggi, sedang dan rendah antara yang mengikuti perkuliahan dengan model Discovery Learning dengan pembelajaran langsung. Untuk melihat kelompok mana yang lebih baik, dilakukan uji Scheffe. 𝑔=
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan uji- t diperoleh nilai signifikansinya 0,011, nilai ini lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning lebih baik dari mahasiswa yang mengikuti pembelajaran langsung. Untuk peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa, hasil perhitungan uji-t diperoleh nilai signifikansi 0,018, nilai ini lebih kecil nilai dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 74
ISSN: 2580-1104
H0 ditolak dan H1 diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Discovery Learning lebih baik dari mahasiswa yang mengikuti pembelajaran langsung. Perhitungan terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematik pada kelompok tinggi dan rendah diperoleh nilai signifikansi 0,009, yang berarti terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara kelompok tinggi dan sedang, sedangkan dari Mean Diffrence -0,15298, bertanda negatif menyatakan bahwa kelompok tinggi tidak lebih baik dari kelompok sedang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematik pada kelompok tinggi tidak lebih baik dari kelompok sedang. Untuk kelompok tinggi dengan kelompok rendah, diperoleh nilai signifikan 0,059, yang berarti tidak terdapat perbedaan signifikan skor ratarata kelompok tinggi dan rendah. Mean Diffrence 0,12909, bertanda positif menyatakan bahwa kelompok tinggi lebih baik dari kelompok rendah Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematik pada kelompok tinggi lebih baik dari kelompok rendah. Sementara itu, melalui perhitungan dengan SPSS pada uji Scheffe diperoleh nilai signifikansi 0,000 yang berarti terdapat perbedaan signifikan skor rata-rata kelompok sedang dan rendah, sedangkan Mean Diffrence 0,28207, bertanda positif menunjukkan bahwa skor rata-rata kelompok sedang lebih baik dari kelompok rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematik pada kelompok sedang lebih baik dari kelompok rendah. Perhitungan terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematik Kelompok Tinggi dengan Kelompok Sedang, diperoleh nilai signifikansi 0,03, yang artinya terdapat perbedaan signifikan rata-rata kelompok tinggi dan sedang, sedangkan dari Mean Diffrence – 0,18106, bertanda negatif menyatakan bahwa kelompok tinggi tidak lebih baik dari kelompok sedang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelompok tinggi tidak lebih baik dari kelompok sedang. Untuk kelompok tinggi dengan kelompok rendah diperoleh nilai signifikan 0,478, yang artinya tidak terdapat perbedaan signifikan rata -rata kelompok tinggi dan rendah. Mean Diffrence 0,06727, bertanda positif menyatakan bahwa kelompok tinggi lebih baik dari kelompok rendah . Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematik pada kelompok tinggi lebih baik dari kelompok rendah. Sementara itu, untuk kelompok sedang dengan kelompok rendah diperoleh
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 75
nilai signifikansi 0,000, yang artinya terdapat perbedaan signifikan rata -rata kelompok sedang dan rendah, sedangkan dari Mean Diffrence 0,24833, bertanda positif menunjukkan bahwa kelompok sedang lebih baik dari kelompok rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelompok sedang lebih baik dari kelompok rendah. Dari hasil analisis terhadap perbedaan rata-rata skor gain tes koneksi matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor gain tes koneksi matematik kelas eksperimen lebih baik dari pada rata-rata skor gain kelas kontrol pada taraf signifikansi 5%. Begitu pula hasil analisis terhadap perbedaan rata-rata peningkatan skor tes kemampuan komunikasi matematik menunjukkan bahwa rata-rata skor gain tes kemampuan komunikasi matematik kelas eksperimen lebih baik daripada rata-rata skor kelas kontrol. Kedua kelas ternyata mengalami peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan, baik pada kemampuan koneksi komunikasi matematik. Namun peningkatan yang terjadi pada kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik yang diberikan. Berdasarkan data yang telah uraikan, hal ini menunjukkan model Discovery Learning membawa perubahan yang positif terhadap hasil pembelajaran. Aplikasi penggunaan model Discovery Learning dalam perkuliahan menekankan peran dosen sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara aktif. Pada kegiatan Discovery Learning, bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi mahasiswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan serta membuat kesimpulankesimpulan, sehingga mahasiswa bekerja keras dalam menemukan rumusrumus ataupun konsep. Hal ini sejalan dengan KEMDIKBUD (2013:212) bahwa pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada mahasiswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Model pembelajaran langsung sangat berbeda dengan model Discovery Learning, model pembelajaran langsung berpusat pada guru (teacher centered), sehingga mahasiswa pasif dan hanya mendapatkan pengetahuan dari pendidik tanpa berusaha menemukan sendiri, akibatnya mahasiswa
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 76
ISSN: 2580-1104
jenuh dalam belajar, dan belajar menjadi tidak bermakna. Sedangkan model Discovery Learning menekankan pada keaktifan mahasiswa, sehingga belajar menjadi bermakna. Melihat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi dan komunikasi matematik pada kelompok tinggi, sedang dan rendah, diketahui bahwa ternyata kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah baik dari segi peningkatan kemampuan koneksi ataupun kemampuan komunikasi matematik. Hal ini didasarkan pada dugaan sementara bahwa kelompok sedang memiliki peningkatan yang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. Peneliti beranggapan bahwa kelompok tinggi memperoleh nilai pretest yang besar sehingga ketika posttest peningkatannya kecil. Begitu pula pada kelompok rendah yang memperoleh nilai pretest yang kecil dan memperoleh nilai posttest yang tidak begitu besar sehingga peningkatannya pun kecil. Sementara itu kelompok sedang diperkirakan memperoleh nilai pretest yang kecil atau sedang dan memperoleh nilai posttest yang besar sehingga peningkatan lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. Kontribusi terbesar peningkatan diberikan pada mahasiswa kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi dan selanjutnya kelompok rendah. Hal ini merupakan temuan yang sangat menarik dari hasil penelitian ini yang dapat disebabkan jumlah mahasiswa kelompok sedang lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mahasiswa pada kelompok tinggi dan kelompok rendah. Mahasiswa pada kelompok sedang merupakan potensi yang besar yang perlu mendapat perhatian. Apabila pembelajaran dengan model Discovery Learning ini terus berlanjut dan ditingkatkan, maka pada jenjang sekolah yang lebih tinggi nanti, tingkat kemampuan mahasiswa dapat meningkat dari sedang menjadi tinggi. Peningkatan seperti inilah yang diharapkan. Besar kecilnya kontribusi peningkatan selain ditentukan oleh kemampuan awal yang telah dimiliki mahasiswa, juga yang lebih penting adalah motivasi dan usaha yang dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri, ser ta suasana yang diciptakan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Di samping itu, ketekunan serta rasa percaya diri mahasiswa juga turut berperan dalam pembentukan pengetahuan. KESIMPULAN Simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learninglebih baik dari yang mengikuti pembelajaran langsung;
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 77
2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa yangg mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learninglebih baik dari yang mengikuti pembelajaran langsung; 3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah antara yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learningdengan pembelajaran langsung, serta kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. 4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa pada kelompok tinggi, sedang dan rendah yang mengikuti pembelajaran melalui model Discovery Learningdengan pembelajaran langsung, serta kelompok sedang lebih baik dari kelompok tinggi dan rendah. DAFTAR PUSTAKA KEMDIKBUD. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : KEMDIKBUD Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. (2014). Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Yogyakarta: Kata Pena. Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tahmir. (2008) Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa melalui Reciprocal Teaching [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/.../d_mtk_0706868_chafter1.pdf. 20 Oktober 2012. Trianto. (2009). Model-model Pembelajaran Inovatif Kontruktivistik. Surabaya : Prestasi Pustaka Publisher.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 78
Berorientasi
ISSN: 2580-1104
MP-SNM-08
PENGARUH APLIKASI CORE MATH TOOLS TERHADAP KEMAMPUAN VISUAL THINKING MATEMATIK SISWA Dedek kustiawati1, Gelar dwirahayu
2,
Mauludin hafiz alhadi 3 (Arial,10 font size)
Dosen Pendidik an Matematik a FITK UIN Syarif Hidayatullah
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajarkan dengan media aplikasi core math tools dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional serta menganalisis perbedaan kemampuan visual thinking matematik antar siswa yang diajarkan dengan media aplikasi core math tools dan siswa yang diajar dengan media pembelajaran konvensional. Penelitian ini dilakukan di MAN 19 Jakarta Tahun Ajaran 2015/2016. Metode yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian Randomized Control Group Posttest Only, yang melibatkan 70 siswa sebagai sampel. Penentuan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajar dengan media aplikasi core math tools lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan media pembelajaran kovensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajar dengan media aplikasi core math tools adalah sebesar 60,89 dan nilai rata-rata hasil tes kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajar dengan media pembelajaran konvensional adalah sebesar 41,61 (thitung = 5,39 dan ttabel = 2,00). Kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan Menggambar Grafik Trigonometri dengan menggunakan media aplikasi core math tools berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan visual thinking matematik siswa dibandingkan pembelajaran konvensional. Kata kunci : Aplikasi Core Math Tools, Kemampuan Visual Thinking Matematik Siswa.
PENDAHULUAN Matematika berperan penting bagi kehidupan sehari-hari guna menghadapai kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu masa kini. Untuk itu ilmu matematika perlu diajarkan sejak dini sebagai bekal dimasa depan. Disisi objek matematika yakni benda abstrak, artinya hanya ada didalam pikiran manusia. Pada materi submateri menggambar grafik fungsi trigonometri, Nurul dan Tatag (2015) guru mengajarkan bagaimana cara menggambar grafik fungsi y = sin x, y = cos x, dan y = tan x pada bidang koordinat cartesius. Cara menggambar grafik trigonometri dapat dengan mencari titik-titik koordinat yang dilalui grafik dengan mensubstitusikan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 79
sudut istimewa ke dalam variabel x pada rumus fungsi trigonometri yang dimaksud. Selain itu menggambar grafik fungsi trigonometri juga dapat menggunakan bantuan titik puncak dan titik potong grafik terhadap sumbu koordinat atau dengan menggunakan karakteristik nilai maksimumminimum, periode dan pergeseran fase dari grafik fungsi trigonometri. Dalam hal ini siswa harus melihat keterkaitan antara karakteristik yang ada pada fungsi dengan karakteristik yang ada pada grafik, dengan kata lain siswa perlu memiliki kemampuan visualisasi yang baik untuk memahami konsep menggambar grafik fungsi trigonometri. Menurut Sahat dan Vira (2012: 369) kenyataan dilapangan masih banyak siswa yang tidak memahami konsep menggambar grafik fungsi trignometri. Misalnya, ketika siswa diminta untuk menggambar atau membaca grafik fungsi trigonometri, siswa tidak mampu menggambarnya dengan benar, sehingga tidak dapat memberikan alasan atau penjelasan yang benar atas grafik tersebut. Hal ini diduga bahwa siswa tidak memiliki kemampuan visualisasi yang baik dalam melihat karakteristik pada fungsi trigonometri dan karakteristik pada grafik trigonometri. Dalam fakta dilapangan menunjukan bahwa masih banyak siswa yang tidak memahami konsep menggambar grafik fungsi trignometri. Siswa tidak memiliki kemampuan visualisasi yang baik dalam melihat karakteristik pada fungsi trigonometri dan karakteristik pada grafik trigonometri. Hal tersebut yang menyebabkan kemampuan visual thinking matematik siswa rendah. Selain itu kemampuan visual thinking memiliki hubungan dengan pemahaman konsep matematika, kemampuan visualisasi siswa memberi pengaruh terhadap pemahaman konsep. Kemampuan visual thinking siswa adalah kegiatan berpikir dengan membayangkan, mempresentasikan, menggunakan berbagai bentuk matematis yaitu visual (grafik, diagram, tabel, dan gambar). Untuk itu sangat perlu sekali kemampuan visual thinking matematik ditanamkan kepada siswa. Menurut Edy Surya(2013:1) Visualisasi memiliki peran penting dalam transisi dari berpikir konkrit ke abstrak. Yin (2015:3) mengindentifikasi peran visualisasi : (1) memahami permasalahan, (2) menyederhanakan permasalahan, (3) melihat koneksi antar masalah, (4) memenuhi gaya belajar individu, (5) sebagai pengganti perhitungan, (6) sebagai alat memeriksa jawaban, dan (7) untuk mengubah masalah kedalam bentuk matematis. Hasil penelitian Dwirahayu dalam Gumanti (2014:6) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep, dimana kemampuan visualisasi siswa memberi pengaruh terhadap pemahaman konsep. Sehingga lemahnya kemampuan visual thinking akan menyebabkan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 80
ISSN: 2580-1104
siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematis, karena itu kemampuan visual thinking sangat penting untuk ditingkatkan. Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan berpikir siswa adalah proses pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa di kelas. Pembelajaran grafik fungsi trigonometri di kelas masih tergolong konvensional, guru hanya menggunakan media papan tulis dan belum banyak yang memanfaatkan media pembelajaran seperti komputer. Hal tersebut membuat pembelajaran kurang efisien dan beberapa siswa sulit menangkap materi yang disampaikan. Untuk itu diperlukan media lain yang dapat membantu siswa untuk mempelajari grafik dengan lebih mudah, efisien, dan membantu pemahaman siswa tentang materi grafik fungsi kuadrat. Ketika mempelajari grafik fungsi trigonometri guru lebih memilih menggambarnya di papan tulis dan siswa menggambar di bukunya masingmasing. Tentunya cara ini memakan waktu lama dan siswa hanya menggambar sedikit contoh grafik fungsi trigonometri tersebut. Dengan mengandalkan apa yang disampaikan guru, tak jarang siswa lupa atau bingung ketika diminta menggambarkan kembali atau menuliskan persamaan fungsi dari gambar grafik yang tersedia. Teknologi kini semakin maju dan banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. penting bahwa guru dan siswa memiliki akses rutin ke teknologi yang mendukung dan memajukan pemahaman matematika, penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi. Christian Hirsch, dkk (2015:1) Salah satu teknologi yang tidak asing bagi kalangan orang adalah internet. Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna internet dan sosial media terbesar di dunia dengan mencapai 88,1 juta. Menurut Adhi Maulana Internet juga dapat dimanfaatkan pada kegiatan belajar mengajar disekolah. PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM) telah membuat program bernama IndiSchool yang merupakan program penyediaan Internet WiFi di sekolah-sekolah untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 2013, secara nasional Telkom telah menggelar sebanyak 10.898 titik IndiSchool di Indonesia. Menurut Sahat dan Vira (2012:370) penggunaan komputer di sekolah-sekolah masih belum dioptimalkan, terutama saat belajar matematika. Bahkan ada guru yang menentang penggunaan media berbasis Information and Communication Technology (ICT) dalam pembelajaran matematika dikarenakan waktu dan ketidakmampuan memanfaatkan media tersebut. Rendahnya pengetahuan guru dalam pemanfaatan media komputer dan software matematika menjadi salah satu faktor tidak digunakannya ICT dalam pembelajaran matematika.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 81
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) dalam webside-nya (www.nctm.or.id) mempersembahkan aplikasi atau software gratis berbasis internet bernama Core Math Tools. Core Math Tools menyediakan alat atau media unik yang dapat digunakan baik oleh guru maupun siswa dalam pembelajaran matematika dikelas maupun diluar kelas. Alat atau media didalamnya meliputi: spreadsheet, sistem aljabar komputer, geometri interaktif (dinamis), analisis data, dan alat simulasi serta dilengkapi dengan Custom Apps dan Advanced Apps untuk materi kongruensi atau kesamaan segitiga, pemodelan data, program linear, visualisasi tiga dimensi dan lainya. Sebaliknya jika menggunakan Core Math Tools siswa dapat berulang kali mencoba menghasilkan banyak contoh grafik fungsi trigonometri, sampai akhirnya siswa dapat melihat sendiri simpulan tentang bagaimana gambar grafik sinus, grafik cosinus dan grafik tangent; berapa nilai maksimum dan minimumnya; apa keterkaitan antara fungsi trigonometri dengan grafiknya; dan jika siswa ragu siswa dapat mencoba lagi berulang kali sampai yakin dan terbukti benar simpulan yang diambilnya. Dengan demikian siswa akan terlatih memvisualkan fungsi trigonometri kedalam bentuk grafik, ataupun sebaliknya. Core math tools (CMT) adalah sebuah media interaktif pembelajaran matematika yang berupa perangkat lunak atau software yang dapat digunakan guru dalam mengajar di kelas secara gratis. CMT merupakan alat bantu pembelajaran matematika untuk mendukung pemahaman konsep matematika secara kontektual. CMT akan membantu siswa dalam menggambarkan grafik fungsi trigonometri dengan efektif dan waktu yang efisien. Dengan menggunakan Core Math Tools siswa dapat berulangkali mencoba-coba menghasilkan banyak contoh grafik fungsi trigonometri, sampai akhirnya siswa dapat melihat sendiri simpulan tentang bagaimana gambar grafik sinus, grafik cosinus, grafik tangen, berapa nilai maksimum dan minimumnya, apa keterkaitan antara fungsi trigonometri dengan grafiknya dan jika siswa ragu siswa dapat mencoba lagi berulang kali sampai yakin dan terbukti benar simpulan yang diambilnya. Dengan membiasakan menggambarkan atau memvisualisasikan grafik fungsi trigonometri dengan CMT, siswa akan dapat menemukan konsep tentang grafik fungsi trigonometri. Dengan demikian akan melatih kemampuan visual thinking siswa. Peneliti ingin membuktikan apakah kemampuan visual thinking matematika siswa yang diajarkan menggunnakan media core math tools (CMT) akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan media konvensional.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 82
ISSN: 2580-1104
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengunakan metode eksperimen semu (quasi eksperimen) karena peneliti tidak dapat sepenuhnya mengontrol variable variabel luar yang mempengaruhi penelitian. Pada penelitian ini sampel dikelompokan menjadi dua dan diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda yaitu kelompok eksperimen dengan menggunakan media pembelajaran Core Math Tools dan kelompok kontrol diberikan perlakuan media pembelajaran secara konvensional. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk two group randomized subject posttest only artinya pengkontrolan secara acak dengan tes hanya diakhir perlakuan. Desain Penelitia Sugiono (2013:114) dinyatakan sebagai berikut: Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok
Treatment (perlakuan)
Postest
(R)
E
XE
Y
(R)
K
XK
Y
(tes akhir)
Keterangan: R : Random E : Kelompok kelas eksperimen K : Kelompok kelas kontrol XE : Perlakuan dengan pembelajaran menggunakan media aplikasi Core Math Tools XK : Perlakuan dengan pembelajaran menggunakan media konvensional Y : Test akhir yang sama pada kedua kelas Rancangan ini terdiri atas dua kelompok, satu kelompok eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan media aplikasi Core Math Tools dan satu kelompok kontrol yang diberikan perlakuan dengan media konvensional. Pada keduanya dilakukan pasca-uji yaitu menguji tingkat kemampuan visual thinking dan hasilnya dibandingkan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X (sepuluh) MAN 19 Jakarta pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 yang terbagi kedalam tiga kelas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 83
teknik Cluster Random Sampling. Teknik ini mengambil 2 kelas dari seluruh kelas yang ada. Kemudian dari 2 kelas tersebut diundi, kelas mana yang akan dijadikan kelas eksperimen dan control, maka terpilih kelas X MIA 2 dengan jumlah siswa 36 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas X MIA 3 dengan jumlah siswa 34 orang sebagai kelas kontrol. Tes kemampuan visual thinking yang diberikan terdiri dari 15 butir soal berbentuk pilihan ganda dengan pokok bahasan Grafik Fungsi Trigonometri. Pelaksanaan tes kemampuan visual thinking siswa dilakukan di akhir penelitian. Berdasarkan definisi operasional kemampuan visual thinking siswa, kisi-kisi instrumen tes kemampuan visual thinking siswa dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Visual Thinking Matematika Kompetensi Dasar Mendeskripsikan konsep fungsi Trigonometri dan menganalisis grafik fungsinya serta menentukan hubungan nilai fungsi Trigonometri dari sudutsudut istimewa.
Indikator Kemampuan Visual Thinking Nomor Soal Mampu mempresentasikan 1, 4, 5, 7, 10, 11, 15 permasalahan dari bentuk abstrak (fungsi) ke bentuk visual (grafik). Mampu mempresentasikan 2, 3, 6, 8, 9, 12, 13, 14 permasalahan dari bentuk visual (grafik) ke bentuk abstrak (fungsi). Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas instrumen penelitian, dari 15 butir soal yang diujicobakan diperoleh 15 butir soal yang valid. Perhitungan selengkapnya mengenai uji validitas instrumen penelitian dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkam kriteria koefisienreliabilitas, nilai 𝑟𝑖= 0,832 berada di kisaran 0,80<𝑟𝑖≤ 1,00, maka soal-soal tersebut memiliki derajat reliabilitas sangat baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai kemampuan visual thinking matematik siswa ini dilakukan di MAN 19 Jakarta terhadap dua kelas sebagai sampel, yaitu kelas X MIA 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X MIA 3 sebagai kelas kontrol. Pada penelitian ini kelas eksperimen yang terdiri dari 36 orang siswa diajarkan materi menggambar grafik trigonometri dengan menggunakan media aplikasi core math tools sedangkan kelas kontrol yang terdiri dari 34 orang siswa diajarkan materi menggambar grafik trigonometri dengan media pembelajaran konvensional. Setelah diberikan perlakuan yang berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok control, kedua kelompok diberikan tes kemampuan visual thinking matematik siswa.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 84
ISSN: 2580-1104
Perbandingan Skor Kemampuan Visual Thinking Matematik Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol. Pebandingan kemampuan visual thinking matematik siswa antara kelompok eksperimen yang dalam pembelajarannya menggunakan media aplikasi core math tools dengan kelompok kontrol yang dalam pembelajarannya menggunakan media pembelajaran konvensional dapat kita lihat pada tabel 4.3 berikut: Tabel 4.1 Perbandingan Kemampuan Visual Thinking Matematik Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Statistik Deskriptif
Kelompok Eksperimen
Kontrol
Jumlah sampel (n)
36
34
Maksimum (Xmaks)
94
74
Minimum (Xmin)
20
14
Mean (𝑥̅ )
60,89
41,61
Median (𝑀𝑒 )
60,5
43,07
Modus (𝑀𝑜 )
57,1
44
Varians (𝑆 2 )
265,82
178,24
Simpangan Baku (𝑆)
16,304
13,35
Kemiringan (𝛼3 )
0,232
-0,178
Ketajaman (𝛼4 )
0,27
0,18
Dari tabel 4.1 dapat terlihat perbedaan statistika baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, dapat dijelaskan bahwa dari 36 siswa kelompok eksperimen dan 34 siswa kelompok kontrol. Nilai rata-rata (𝑥̅ ) yang diperoleh kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan selisih 19,28 (60,89 - 41,61), begitu pula dengan nilai median (𝑀𝑒 ) serta nilai modus (𝑀𝑜 ), yaitu pada kelompok eksperimen memperoleh nilai lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Jika dilihat dari simpangan baku, skor kemampuan visual thinking matematik siswa kelompok eksperimen lebih merata dan menyebar dibanding
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 85
kelompok kontrol. Tingkat kemiringan di kelompok eksperimen -0,232. Karena berharga positif, maka distribusi data miring positif atau landai kanan. Dengan kata lain kecenderungan data mengumpul di bawah nilai rata rata. Sedangkan pada kelompok kontrol memperoleh tingkat kemiringan 0,178. Karena berharga negatif, maka distribusi data miring negatif atau landai kiri. Dengan kata lain kecenderungan data mengumpul di atas nilai rata-rata. Ketajaman/kurtosis pada kelompok eksperimen maupun kelompok control adalah kurang dari 3, maka model kurva adalah datar (platikurtis) data tidak terlalu mengelompok. Secara visual perbandingan penyebaran data di kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang diterapkan pembelajaran dengan media aplikasi core math tools dan kelompok kontrol yang diterapkan media pembelajaran secara konvensional dapat dilihat pada diagram 4.1 di bawah ini: 10
Frekuensi
8 6
Eksperimen
4 Kontrol 2 0 0
20
40
60
80
100
Nilai
Gambar 4.1 Kurva Perbandingan Nilai Kemampuan Visual Thinking Matematik Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Berdasarkan kurva di atas, penyebaran nilai kemampuan visual thinking matemtik siswa pada kelompok eksperimen (60,89) cenderung mengumpul di atas nilai rata-rata kelompok kontrol (41,61). Pencapaian nilai maksimum siswa pada kelompok ekperimen (94) berada diatas nilai maksimum siswa pada kelompok kontrol (74) dan nilai minimum kelompok eksperimen (20) lebih tinggi dibandingkan nilai minimum kelompok kontrol (14). Hal tersebut menunjukan bahwa kemampuan visual thiking matematik siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kemampuan visual thinking matematik siswa kelompok kontrol. Pengujian dilakukan dengan uji-t. Setelah melakukan perhitungan dengan menggunakan uji-t untuk sampel yang homogen, maka diperoleh
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 86
ISSN: 2580-1104
thitung = 5,39 . Menggunakan tabel distribusi t pada taraf signifikansi 5%, atau 𝛼 = 0,05 diperoleh harga ttabel = 2,00. Hasil perhitungan uji hipotesis disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.2 Hasil Uji-t
thitung
ttabel (α = 0,05)
Kesimpulan
5,39
2,00
Tolak H0
Berdasarkan tabel 4.2 terlihat thitung lebih besar dari ttabel(5,39 2,00) maka dapat disimpulkan bahwa H0ditolak dan H1 diterima dengan taraf signifikansi 5%. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H0 ditolak, sedangkan H1 diterima. H1 menyatakan bahwa rata-rata kemampuan visual thinking matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan media pembelajaran aplikasi core math tools lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan media pembelajaran konvensional dengan taraf signifikansi 5%. Pada hasil analisis penelitian ini diketahui bahwa terdapat perbedaan rata-rata kemampuan visual thinking matematik siswa yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelas kontrol. Dimana perbedaan tersebut menunjukan bahwa kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan media pembelajaran core math tools lebih tinggi dibandingkan kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajarkan dengan media konvensional. Kenyataan ini menunjukan bahwa penggunaan media aplikasi core math tools memberikan hasil yang lebih baik terhadap kemampuan visual thinking matematik. Pembelajaran dengan media aplikasi core math tools dapat membantu siswa dalam memberikan visualisasi yang akurat, cepat, dan fleksibel dalam proses pembuatan grafik trigonometri. Dalam pembelajarannya, siswa membuat grafik pada aplikasi core math tools kemudian siswa menggambarkanya kembali dalam lembar kerja siswa (LKS) yang telah disediakan. Siswa juga menuliskan kesimpulan untuk setiap simulasi atau percobaan yang telah dilakukan pada aplikasi core math tools. Berikut gambar 4.2 adalah dokumentasi pada saat pembelajaran berlangsung dan salah satu hasil kerja siswa pada LKS.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 87
Gambar 4.2 Dokumentasi Proses Pembelajaran dan LKS
Berdasarkan temuan-temuan diatas, baik secara keseluruhan mupun dari aspek indikator kemampuan visual thinking matematiks siswa, menunjukan bahwa kemampuan visual thinking matematik siswa setelah diajarkan dengan media aplikasi core math tools secara signifikan memberikan pengaruh lebih baik dari pada kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajarkan dengan media pembelajaran konvensional. KESIMPULAN Bagian ini menjelaskan kesimpulan umum dari hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan media aplikasi core math tools terhadap kemampuan visual thinking matematik siswa di MAN 19 Jakarta diperoleh kesimpulan : 1. Kemampuan visual thinking matematik siswa yang menggunakan pembelajaran dengan media aplikasi core math tools pada umumnya sudah tergolong baik, hal tersebut terlihat dari rata-rata hasil tes kemampuan visual thinking matematik siswa yaitu sebesar 60,89. 2. Kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajar dengan media aplikasi core math tools lebih tinggi dari pada kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajar dengan media pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari pengujian hipotesis dengan taraf signifikan 5%, atau (
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 88
ISSN: 2580-1104
= 0,05) menghasilkan thitung lebih besar dari ttabel (5,39 > 2,00). Dengan demikian, kemampuan visual thinking matematik siswa yang diajarkan dengan media aplikasi core math tools lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan media pembelajaran konvensional. DAFTAR PUSTAKA Cristian Hirsch.(2012), Core Math Tools: Supporting Inquiry, Conceptual Understanding, and Problem Solving, NCTM Regional Conference, Dallas,. Tersedia online : http://www.nctm.org/coremathtools/ Gumanti, Sri.(2014). “Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Visual Thinking Siswa SMP”, Tesis pada UPI Bandung : tidak dipublikasikasi Istiqomah,Nurul., dan Tatag Yulieko siswono. (2015).“Penalaran Siswa dalam Menggambar grafik fungsi Trigonometri Di tTinjau Dari Perbedaan Kemampuan Siswa“. jurnal Online Universitras Negeri Surabaya. http://ejournal.Unesa.ac.id dan http://dokumen.tips/documents/penalaransiswa-dalam-menggambar-grafik-fungsi-trigonometri-ditinjau-dariperbedaan.html Christian Hirsch, dkk., Core Math Tools: Supporting Equitable Implementation of the Common Core State Standards for Mathematics, IGI Global, 2013, h. 2. Maulana, Adhi. “Jumlah Pengguna Internet Indonesia Capai 88,1 Juta”. http://tekno.liputan6.com/read/2197413/jumlah-pengguna-internetindonesia-capai-881-juta, 1 Februari 2016. Saragih, Sahat., dan Afriati, Vira. Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK Melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph. Jurnal Kemendikbud. 2012. http://dokumen.tips/documents/jurnal-pemahaman-konsep.html Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet. XIX, Alfabeta : Bandung Surya, Edy.(2013). “Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking pada Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual”, Disertasi pada Pascasarjana UPI Bandung: tidak dipublikasikan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 89
Sword. “The power of visual thinking”, www.giftedservice.com.au/handouts/index.html. 23 Oktober 2015. TELKOM. “Lebih Dari 10 Ribu Sekolah di Indonesia Sudah Ter-cover IndiSchool”. http://www.telkom.co.id/lebih-dari-10-ribu-sekolah-diindonesia-sudah-ter-cover-indischool.html, 1 Februari 2016. Yin,
Siew. “Seeing the value of visualization”. http://www.singteach.nie.edu.sg/wpcontent/uploads/SingTeach_Issue22.pdf, 23 Desember 2015.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 90
ISSN: 2580-1104
Kelompok Bidang Studi Matematika dan Komputer
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-01 ANALISIS DATA TIME SERIES DAN DATA PANEL DALAM KAJIAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT DI INDONESIA Adi Setiawan1, Fitri Kartiasih2 1BPS
Kota Jakarta Pusat
[email protected]
2Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik
[email protected] Abstrak
Dalam membangun perekonomiannya, negara berkembang seperti Indonesia tentunya akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi pada umumnya kontribusi tabungan tidak cukup untuk membiayai pembangunan nasional. Untuk itu dibutuhkan sumber pembiayaan lain yang dapat diambil dari investasi langsung luar negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu tidak bisa dilihat hanya dari investasi langsung luar negeri saja karena banyak variabel lain yang juga mempengaruhi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan dan pengaruh dari investasi langsung luar negeri (FDI) dan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penananam Modal (BPKM) dari tahun 2000 – 2014. Metode penelitian yang digunakan analisis time series (Error Correction Mechanism) dan analisis data panel 6 koridor ekonomi di Indonesia. Software yang digunakan dalam penelitian ini Eviews 9.0. Secara deskriptif semua variabel mengalami peningkatan dari tahun 2000-2014, namun variabel FDI lebih berfluktuatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FDI dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil penelitian menggunakan data panel juga memberikan hasil yang sejalan. Kata Kunci: foreign direct investment, inflasi, time series, data panel, pertumbuhan ekonomi
PENDAHULUAN Setiap negara memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk negaranya melalui pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan sebuah keharusan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mensejajarkan diri dengan negara-negara maju dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai prasyarat dalam mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi bagi seluruh anggota masyarakat di suatu
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 93
negara. Pertumbuhan ekonomi sangat penting karena merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa dicapai dengan pembangunan pesat di segala bidang. Pembangunan ini baik dari bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi dan infrastruktur publik. Pembangunan yang menyeluruh ini tentu membutuhkan dana yang sangat besar agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan target. Negara sedang berkembang pada umumnya tidak mempunyai tabungan nasional dan investasi yang cukup untuk membiayai pembangunan (Todaro dan Smith, 2003). Karena itulah suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka membutuhkan sumber modal asing untuk membiayai kekurangan dana yang dimiliki. Menurut Pangestu (1995) dalam Nusantara dan Astutik (2001), terdapat tiga sumber utama modal asing dalam suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, yaitu pinjaman luar negeri (debt), investasi langsung luar negeri (Foreign Direct Investment) dan investasi portofolio. Pinjaman luar negeri (debt) adalah utang yang dilakukan pemerintah dimana pinjaman tersebut bisa secara bilateral maupun multilateral. Penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) merupakan investasi yang dilakukan swasta asing ke suatu negara, berupa cabang perusahaan multinasional, anak perusahaan multinasional, lisensi, dan joint ventura. Sementara investasi portofolio merupakan investasi yang dilakukan melalui pasar modal. Keberadaan utang luar negeri kurang efektif dibandingkan dengan investasi portofolio dan FDI. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa dalam jangka pendek utang luar negeri akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam jangka panjang akumulasi utang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi karena adanya cicilan dan bunga yang harus dibayar setiap tahun. Sehingga, peran utang luar negeri diupayakan terus mengalami penurunan dalam perekonomian suatu negara. FDI merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang paling potensial dibandingkan dengan sumber yang lain karena dana-dana investasinya langsung digunakan untuk menjalankan bisnis atau mengadakan alat-alat/ fasilitas produksi seperti membeli lahan, membuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku dan sebagainya (Todaro dan Smith, 2003). Berbeda dengan investasi portofolio yang masuk melalui pasar uang bersifat jangka pendek dan tidak stabil, dana-dana investasinya tidak secara langsung digunakan untuk kegiatan bisnis tetapi untuk membeli saham, obligasi, dan surat berharga lainnya. FDI sebagai modal jangka panjang diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi yang selama ini ditopang oleh konsumsi masyarakat,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 94
ISSN: 2580-1104
sehingga dapat menjadi mesin penggerak perekononomian yang berkelanjutan di suatu negera. FDI yang masuk di suatu negara melalui perusahaan-perusahaan multinasional (transnasional) akan diikuti dengan perubahan teknologi, selera dan gaya hidup, jasa-jasa manajerial, serta berbagai praktik-praktik bisnis termasuk pengaturan dan pemberlakuan perjanjian kerja sama, restriksi dibidang pemasaran, periklanan, dan fenomena transfer harga (Todaro dan Smith, 2003). Sejak tahun 2010 FDI yang masuk ke Indonesia menunjukkan peningkatan pesat. Indonesia mulai masuk menjadi target penanaman modal yang menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan asing. Pemicunya adalah ketika Indonesia mampu menghadapi krisis global tahun 2008-2009 dengan mencatatkan pertumbuhan positif 4,5 persen pada tahun 2009. Nilai pertumbuhan ini tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (Bank Indonesia, 2010). Investasi merupakan komponen penting permintaan agregat yang paling sering berubah dan perubahan tersebut berkaitan kuat dengan fluktuasi ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri. Investasi atau penanaman modal adalah komponen PDB yang mengaitkan masa kini dan masa depan (Mankiw, 2006). Todaro dan Smith (2003) menjelaskan investasi adalah akumulasi modal yang terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari, seperti pengadaan pabrik baru, mesinmesin, peralatan dan bahan-bahan baku yang dapat meningkatkan stok modal fisik. Sejalan dengan Todaro dan Smith, menurut Sukirno (2004), investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4, pengertian dari penana m modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal di wilayah suatu negara yang dapat berupa penanam modal berasal dalam negeri dan penanam modal berasal dari luar negeri (asing). Investasi dalam bentuk FDI dapat memberi keuntungan bagi perekonomian negara Indonesia. Banyak bukti empiris seperti pengalamanpengalaman di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan banyak lagi negara yang menunjukkan bahwa kehadiran FDI memberi banyak hal positif
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 95
terhadap perekonomian dari negara tuan rumah. Untuk kasus Indonesia, bukti paling nyata adalah semasa pemerintahan orde baru. Indonesia bisa bangkit kembali dari kemerosotan ekonomi pada pemerintahan orde lama dan bisa mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun selama periode 1980-an karena bantuan FDI. Literatur teori juga beragumen kuat bahwa ada suatu korelasi positif antara FDI dan pertumbuhan ekonomi di negara penerima (Tambunan, 2007). Namun keberadaan FDI tidak selalu menguntungkan perekonomian bagi negara penerimanya karena dapat menurunkan tingkat tabungan maupun investasi domestik sehingga tercipta berbagai bentuk persaingan yang tidak sehat yang bersumber dari perjanjian-perjanjian antara pihak investor dan pemerintah. Memperluas masuknya investasi asing belum berarti akan menjamin peningkatan devisa. Ini disebabkan nilai keuntungan investasi asing yang direpatriasi dari negara-negara berkembang pada umumnya melebihi nilai dana investasi asing yang masuk ke negara-negara ini. Dalam jangka pendek FDI dapat memperbaiki posisi penerimaan negara, namun dalam jangka panjang dampaknya justru negatif karena adanya pengiriman kembali keuntungan, hasil bunga, royalti, dan dana-dana lainnya ke negara asalnya. Di sisi lain adanya kenaikan harga-harga barang secara umum atau inflasi menjadi salah satu indikator yang mencerminkan kestabilan perekonomian terhadap tekanan ekonomi internal (Bouoiyour, 2003). Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan stabil dalam jangka panjang yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Inflasi juga akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap yang berakibat kepada turunnya daya beli (purchasing power) masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa mengalami penurunan. Maka keuntungan yang akan diperoleh oleh produsen/ perusahaan/ investor juga mengalami penurunan. Inflasi yang tinggi tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan masyarakat, akan mendorong terjadi penurunan tingkat kesejahteraan. Sebuah negara yang memiliki kondisi ekonomi makro yang stabil dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan akan menjadi daya tarik bagi investor asing. Investor lebih memilih untuk berinvestasi di negara yang lebih stabil dan memiliki kepastian yang tinggi. (Vijayakumar, et al., 2010). Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui gambaran pertumbuhan ekonomi, FDI, dan inflasi di Indonesia.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 96
ISSN: 2580-1104
2. Menganalisis hubungan FDI dan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia baik menggunakan data time series maupun data panel. METODE PENELITIAN Data dalam penelitian ini terdiri dari data time series atau data runtun waktu berupa data triwulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2014 dan data panel dari 6 koridor ekonomi berdasarkan potensi dan peran strategis yang tercantum dalam Masterplan Perluasan dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yaitu: 1. Koridor ekonomi Sumatera terdiri dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. 2. Koridor ekonomi Jawa terdiri dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur dan Banten. 3. Koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara terdiri dari Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 4. Koridor ekonomi Kalimantan terdiri dari Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. 5. Koridor ekonomi Sulawesi terdiri dari Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. 6. Koridor ekonomi Maluku-Papua terdiri dari Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diwakili oleh data Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi-provinsi di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 diperoleh dari BPS. Data FDI merupakan data realisasi FDI dalam miliar rupiah yang diperoleh dari BKPM. Data nilai inflasi 6 koridor ekonomi bersumber dari BPS yang telah dilakukan perhitungan kembali untuk mendapatkan inflasi koridor dengan mempertimbangkan bobot kota di setiap tahun. Sedangkan inflasi untuk analisis triwulanan digunakan angka IHK triwulan 1 (bulan Maret), triwulan 2 (bulan Juni), triwulan 3 (bulan September) dan triwulan 4 (bulan Desember). Pada pembuatan error correction mechanism terdapat dua model yaitu model jangka panjang dan dalam bentuk ECM nya yaitu model jangka pendek (Enders, 2004).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 97
Model Jangka Panjang dapat dituliskan berikut : PDBt = β0 +β1 FDI +β2 INFLASI +εt t
t
Maka, model ECM yang terbentuk (model jangka pendek) dapat dituliskan sebagai berikut : ∆PDBt = α0 +α1 ∆FDIt +α2 ∆INFLASIt ++γεt-1+ ut dengan α0 adalah intersep, α1 dan α2 adalah koefisien regresi variabel independen jangka pendek, β0 dan β1 adalah koefisien regresi variabel independen jangka panjang, ∆PDBt adalah perubahan produk domestik bruto periode ke-t, ∆FDIt adalah perubahan FDI periode ke-t, γ adalah speed of adjustment, εt-1 adalah Error Correction Term (ECT), εt adalah error persamaan jangka panjang dan ut adalah error persamaan jangka pendek. Sedangkan analisis data panel dalam penelitian ini mencakup enam koridor ekonomi Indonesia dengan spesifikasi model sebagai berikut: PDRBit =α0 +α1 FDIit +α2 INFLASIit +εit dengan α0 adalah intersep, α1 dan α2 adalah koefisien regresi variabel independen, FDIit adalah nilai realisasi FDI yang berasal dari koridor i tahun t (miliar rupiah), PDRBit adalah produk domestik regional bruto koridor i tahun t (miliar rupiah), INFLASIit adalah inflasi koridor i tahun t (persen), εit adalah error term untuk koridor ke i tahun t. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi FDI di Indonesia tahun 2001 hingga 2008 masih mengalami fluktuasi dan menunjukkan kecenderungan meningkat di setiap tahun. Pasca krisis ekonomi global di tahun 2008 yang berdampak menurunnya realiasi FDI di Indonesia pada tahun 2009, realisasi FDI di Indonesia terus mengalami akselerasi di tahun 2010 hingga 2013. Hal ini menandakan iklim investasi di Indonesia sudah semakin membaik.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 98
9.000.000
8,0
8.000.000
7,0
7.000.000
6,0
6.000.000
5,0
5.000.000
4,0
4.000.000
3,0
3.000.000 2.000.000
2,0
1.000.000
1,0
0
0,0
FDI
Persen (% )
Ribu USD
ISSN: 2580-1104
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: BPS dan BKPM Gambar 1. Perkembangan FDI dan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2000-2014
Rata-rata investasi asing setiap triwulan 3,336 milyar USD. Nilai investasi asing yang tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 2008 yaitu sebesar 7,9 milyar USD. Nilai investasi asing terendah terjadi pada triwulan kedua tahun 2002 yaitu sebesar 257 juta USD. Nilai investasi asing triwulan empat tahun 2014 yaitu sebesar 6,78 milyar USD. Nilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejak tahun 2000 cukup baik dengan rata-rata yaitu sebesar 5,37 persen. Nilai pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada triwulan keempat tahun 2004 yaitu sebesar 7,16 persen. Nilai pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada triwulan pertama tahun 2001 yaitu sebesar 1,56 persen. Perkembangan investasi langsung luar negeri dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 2000-2014 mengalami fluktuasi. Investasi asing cenderung mengalami peningkatan, dan terlihat peningkatan yang jelas sejak tahun 2007 sampai 2014. Untuk pertumbuhan ekonomi tidak memiliki trend yang jelas. Namun sejak tahun 2010, pertumbuhan ekonomi terlihat cenderung menurun.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 99
Inflasi (persen)
14 12 10 8 6 4 2 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun SUMATERA KALIMANTAN
JAWA SULAWESI
BALINT MALUKUPAPUA
Sumber : BPS (diolah) Gambar 2. Perkembangan inflasi 6 koridor ekonomi di Indonesia tahun 2006-2013 (%)
Secara umum perkembangan inflasi di 6 koridor ekonomi Indonesia selama periode 2006 hingga 2013 masih fluktuatif di setiap tahunnya dan menunjukkan tren peningkatan (Gambar 2). Inflasi di Maluku-Papua pada tahun 2007 dan 2008 berada di atas inflasi nasional, yaitu 10,39 persen dan 12,58 persen. Selain disebabkan kenaikan inflasi administered prices, seperti kenaikan harga LPG, kenaikan harga kendaraan bermotor, alat elektronik serta pemelahan rupiah, inflasi juga dipengaruhi dampak kenaikan inflasi volatile food yang merupakan dampak dari bencana alam dan banjir yang kemudian menganggu produksi dan distribusi pangan di berbagai daerah terutama Jawa dan Sumatera. Meskipun inflasi di Indonesia tergolong inflasi yang ringan, yaitu laju pertumbuhanya masih dibawah 10 persen, namun kestabilan inflasi harus tetap terjaga. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberian manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflas i didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat (Bank Indonesia, 2015). Pengujian asumsi stasioneritas pada masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian perlu dilakukan, karena biasanya data-data time series menyimpan masalah autokorelasi yang menyebabkan data menjadi tidak stasioner (mengandung akar unit). Oleh karena itu, dalam membentuk model ekonometrika dari data time series diharuskan menggunakan data yang stasioner. Pengujian stasioneritas dalam penelitian ini menggunakan uji Phillip Peron (PP). Pengujian dilakukan pada semua variabel dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 100
ISSN: 2580-1104
menggunakan bantuan program Eviews 9.0 dengan taraf uji sebesar 5 persen. Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Stasioneritas Data
Level Variabel intercept
First difference intercept dan trend
intercept
intercept dan trend
FDI
2.543243
-5.462953
-22.42167*
-33.89125*
PDB
3.609271
-2.60084
-10.80482*
-30.48568*
INFLASI
1.400959
-2.067705
-7.044056*
-7.196715*
*) signifikan pada alpha 5%
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa semua variabel tidak stasioner di level tapi stasioner di first difference, sehingga model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Error Correction Mechasism (ECM). Setelah melalui tahapan pembentukan model maka didapatkan persamaan jangka panjang dan persamaan jangka pendek sebagai berikut: Tabel 2. Output Persamaan Jangka Panjang
Variable
Coefficien t Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
143.6264 7.867150 18.25647
0.0000
FDI
0.007236 0.001477 4.898467
0.0000
INF
4.474947 0.144093 31.05591
0.0000
R-squared
0.984152 Mean dependent var 507.8141
Adjusted Rsquared
0.983596 S.D. dependent var
S.E. of regression
15.55748 Akaike info criterion 8.375667
Sum squared resid 13796.01 Schwarz criterion Log likelihood
121.4693
8.480384
-248.2700 Hannan-Quinn criter. 8.416628
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 101
F-statistic
1769.860 Durbin-Watson stat 1.030724
Prob(F-statistic)
0.000000
Persamaan Jangka Panjang dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematis berikut ini: 𝑃𝐷𝐵𝑡 = 143,6264∗ + 0,007236𝐹𝐷𝐼𝑡 + 4,474947𝐼𝑁𝐹𝑡 ∗ Tabel 3. Hasil Uji Kointegrasi
Adj. t-Stat
Prob.*
Phillips-Perron test statistic
-4.587452 0.0004
Test critical values: 1% level
-3.546099
5% level
-2.911730
10% level
-2.593551
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Residual variance (no correction)
175.961 1
HAC corrected variance (Bartlett kernel)
175.961 1
Dari output di atas terlihat bahwa residual dari persamaan jangka panjang stasioner di level artinya terjadi kointegrasi. Tabel 4. Output Persamaan Jangka Pendek
Variable
Coefficien t Std. Error
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 102
t-Statistic
Prob.
ISSN: 2580-1104
C
4.111914 2.178270 1.887697
0.0643
D(FDI)
0.002277 0.000891 2.555682
0.0134
D(INF)
1.652959 1.211515 1.364374
0.1780
ET(-1)
-0.303302 0.096437 -3.145088
0.0027
R-squared
0.202076 Mean dependent var 6.641214
Adjusted Rsquared
0.158552 S.D. dependent var
S.E. of regression
10.50696 Akaike info criterion 7.607341
Sum squared resid 6071.787 Schwarz criterion Log likelihood
11.45416
7.748191
-220.4166 Hannan-Quinn criter. 7.662323
F-statistic
4.642944 Durbin-Watson stat 2.186111
Prob(F-statistic)
0.005783
Persamaan Jangka Pendek dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematis berikut ini: 𝐷𝑃𝐷𝐵𝑡 = 4,111914 + 0,002277𝐷𝐹𝐷𝐼𝑡 ∗ + 1,652959 𝐷𝐼𝑁𝐹𝑡 − 0,303302 𝐸𝐶𝑇𝑡 ∗ * signifikan pada alpha 5%
FDI berpengaruh positif dan signifikan secara statistik baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Hal paling penting dalam hasil penelitian ini tentang FDI adalah nilai positif pada persamaan jangka pendek yang sesuai dengan teori ekonomi bahwa penanaman modal asing berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi akan tetapi tidak signifikan berpengaruh dalam jangka pendek. Nilai koefisien inflasi pada jangka panjang sebesar 4,48 dan signifikan secara statistik. Dengan tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, setiap kenaikan 1 poin indeks harga konsumen (inflasi) maka akan meningkatkan PDB sebesar 4, 48 triliun rupiah. Hasil positif dari inflasi terhadap PDB dikarenakan inflasi yang terjadi masih
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 103
tergolong inflasi rendah. Sehingga meningkatnya inflasi atau meningkatnya indeks harga konsumen akan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai koefisien inflasi pada persamaan jangka pendek 1,6529 dan tidak signifikan secara statistik. Nilai koefisien FDI pada jangka panjang sebesar 0,007236 dan signifikan secara statistik. Artinya, dengan tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, setiap kenaikan FDI sebesar1 juta USD maka akan meningkatkan PDB sebesar 7,236 miliar rupiah. Nilai koefisien FDI pada persamaan jangka pendek 0,002277 dan signifikan secara statistik. Artinya, dengan tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa dalam jangka pendek, setiap kenaikan FDI sebesar1 juta USD maka akan meningkatkan PDB sebesar 2,277 miliar rupiah. Nilai Error Corection Term sebesar -0,3033 dan signifikan secara statistik. Dengan tingkat kepercayaan 95%, nilai ini menunjukan bahwa sebesar 30,33% ketidakseimbangan jangka pendek yang terjadi akibat perubahan-perubahan pada PDB pada periode sebelumnya akan disesuaikan menuju keseimbangan jangka panjang pada periode (triwulan) sekarang. Sedangkan 69,67% proses adjusment terjadi pada triwulan-triwulan berikutnya. Analisis selanjutnya yaitu menggunakan analisis data panel. Ada tiga model estimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi model regresi data panel, model tersebut adalah model common effect, fixed effect, dan random effect. Dari ketiga model tersebut, akan dipilih model terbaik. Uji Chow digunakan untuk memilih model yang lebih baik antara fixed effect model dan common effect model. Hasil uji Chow menyimpulkan bahwa fixed effect model lebih baik daripada common effect model. Pengujian selanjutnya menggunakan uji Hausman untuk memilih antara fixed effect model dan random effect model. Berdasarkan hasil uji Hausman, disimpulkan bahwa model yang terpilih adalah fixed effect model. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengecekan struktur varian kovarian residual. Uji ini dilakukan untuk menentukan jenis estimator yang tepat untuk mengestimasi varian kovarian residual. Langkah pertama dalam pengujian asumsi struktur varian kovarian residual adalah menguji apakah struktur varian kovarian residual bersifat homoskedastik atau heteroskedastik menggunakan uji LM. Berdasarkan pengujian, dapat disimpulkan bahwa struktur varian kovarian residual bersifat heteroskedastik. Karena struktur varian kovarian residual bersifat heteroskedastik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada cross sectional correlation atau tidak dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 104
ISSN: 2580-1104
uji λLM. Karena struktur varian kovarian residual bersifat heteroskedastik dan ada cross-sectional correlation maka estimasi yang tepat untuk fixed effect model adalah menggunakan penimbang seemingly unrelated regression (SUR). Setelah dilakukan serangkaian tahapan uji statistik yang terdiri dari uji Chow, uji Hausman, uji LM, uji λLM, maka didapatkan model terbaik, yaitu fixed effect model dengan penimbang SUR. Model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui hubungan FDI dan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasil dari model terpilih dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Ringkasan output model fixed effects dengan penimbang SUR
Variable (1) C FDI INFLASI R2 R2 Adj.
Coefficient Std. Error t-Stat (2) (3) (4) 2006,629 0,284955 7041,920 0,002551 0,000187 13,62436 0,027607 0,005156 5,354502 Ringkasan Statistik 0,840587 F-stat 0,812690 prob(F-stat)
Prob. (5) 0,0000 0,0000 0,0000
30,13148 0,0000
Sumber : Hasil Olahan Menggunakan Eviews 9.0
̂ = (2006,629+γi )* + 0,002551 FDI* + 0,027607 INFLASI* PDRB Adj R2 = 0,812690 ; Prob(F-stat) = 0,0000 *) Signifikan pada alpha 5 %
Berdasarkan model regresi data panel yang terbentuk pada Tabel 5, diperoleh nilai Adjusted R2 sebesar 0,812690 yang berarti bahwa variabel independen yang terdiri dari FDI dan inflasi mampu menjelaskan variasi dari PDRB 6 koridor ekonomi di Indonesia sebesar 81,27 persen, sedangkan sisanya sebesar 18,73 persen dijelaskan oleh variabel lain, selain yang digunakan dalam model pada penelitian ini. Probability F-statistik sangat kecil mendekati 0 atau kurang dari alpha 5 persen yang berarti bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan terhadap nilai PDRB 6 koridor ekonomi di Indonesia. Kemudian untuk uji partial menunjukkan bahwa dengan alpha 5 persen variabel FDI dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai PDB Indonesia.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 105
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Perkembangan pertumbuhan ekonomi, FDI, dan inflasi Indonesia periode 2000-2014 cenderung mengalami peningkatan meskipun di beberapa tahun nilainya berfluktuasi. 2. Berdasarkan hasil analisis data time series ditemukan bahwa pada jangka panjang FDI dan inflasi memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada jangka pendek pengaruh FDI juga positif dan signifikan, namun inflasi tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis data panel juga menunjukkan bahwa FDI maupun inflasi memberikan pengaruh yang positif dan siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia. (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Jakarta: BI. Bank Indonesia (2015). Diakses pada tanggal 27 Agustus 2016 melalui http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/Defau lt.aspx Bouoiyour, Jamal. (2003). The determining factors of foreign direct investment in Morocco. Université de Pau et des Pays de l’Adour, avenue du Doyen Poplawski France. Enders W. (2004). Applied Econometrics Time Series. Second Edition. New York: John Wiley & Son Inc. Mankiw, N. Gregory. (2006). Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga. Nusantara, A. dan Astutik, E. P. (2001). Analisis Peranan Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Sukirno, Sadono. (2004). Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tambunan, Tulus. (2007). Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing. Seminar Bank Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Industri dan UKM Universitas Trisakti dan Kadin Indonesia. Todaro, M. P. dan Smith, S. C. (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Munandar dan Puji [Penerjemah]. Jakarta: Erlangga.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 106
ISSN: 2580-1104
Vijayakumar, et al. (2010). Determinants of FDI in BRICS Countries: A panel analysis. Int. Journal of Business Science and Applied Management, Vol. 5, Issue 3, 2010. India. Pondicherry University.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 107
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 108
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-02 EFEK VAKSINASI PADA MODEL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGAN KELAS ASIMPTOMATIK DAN SIMPTOMATIK Betty Subartini1, Nursanti Anggriani2, Asep K Supriatna 3, Syifa Khairani4 Departemen Matematika FMIPA Unpad
[email protected] [email protected] [email protected] Abstrak Demam berdarah adalah penyakit di daerah tropis dan sub-tropis yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Seseorang dapat terkena penyakit DBD lebih dari dua kali jika kekebalan tubuh orang tersebut berkurang. Penyebaran penyakit demam berdarah dapat dipengaruhi oleh faktor imigran. Salah satu cara mencegah penyebaran tersebut dapat melalui program vaksinasi. Pada paper ini dibentuk model matematika penyebaran penyakit demam berdarah dengan mempertimbangkan adanya kompartemen terinfeksi tanpa gejala (asimptomatik) dan gejala (simptomatik) dengan memperhatikan faktor imigrasi dan vaksinasi, Diasumsikan vaksinasi diberikan kepada populasi imigran dan bayi yang baru lahir, dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran penyakit tersebut. Analisis kestabilan model dilakukan untuk menentukan perilaku kualitatif dari solusi model dengan menggunakan konsep rasio reproduksi dasar yang efektif sebagai kriteria kontrol penularan penyakit. Simulasi numerik yang dilakukan menunjukkan keefektifan pengendalian dengan vaksinasi dapat mengurangi populasi yang terinfeksi sehingga penyebaran penyakit dapat dicegah. Kata Kunci: asimptomatik dan simptomatik, DBD, Imigrasi, Model Demam Berdarah, Vaksinasi
PENDAHULUAN Demam berdarah telah lama endemik di daerah tropis dan sub-tropis. Hal ini disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Seseorang yang terinfeksi oleh virus dengue untuk pertama kali umumnya tidak masuk ke tahap DBD atau DSS. Infeksi primer atau pertama biasanya menghasilkan gejala atau hanya menunjukkan gejala yang mirip dengan pilek, atau paling buruk Demam Dengue. Namun, infeksi kedua dan infeksi berikutnya dapat menyebabkan DBD atau DSS. Bukti menunjukkan bahwa seseorang bisa terkena tahap DBD lebih dari dua kali jika kekebalan tubuh berkurang (Esteva, 2013).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 109
Penyebaran penyakit demam berdarah dapat dipengaruhi oleh faktor imigran. Salah satu cara mencegah penyebaran tersebut dapat melalui program vaksinasi. Pada paper ini dibentuk model matematika penyebaran penyakit demam berdarah dengan mempertimbangkan adanya kompartemen terinfeksi tanpa gejala dan gejala dengan faktor imigran dan vaksinasi, serta menentukan analisis pada model tersebut. Model matematika penyakit demam berdarah dengan kelas asimptomatik dan simptomatik telah dilakukan di (Anggriani, 2013), dikembangkan model matematis untuk transmisi dengue. Hal ini diasumsikan bahwa ketika seseorang telah terserang demam berdarah, setelah pemulihan mereka dapat terinfeksi ulang karena memudarnya kekebalan di tubuh mereka, terlepas dari strain virus dan digeneralisasi sebuah model transmisi dengue dengan membagi kelas terinfeksi dalam model SIR ke kelas asimptomatik dan kelas simptomatik. Upaya yang dilakukan untuk mencegah meluasnya penyakit tersebut adalah melakukan program vaksinasi. Program vaksinasi dilakukan dengan memberikan senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus atau penyakit. Mobilitas atau perpindahan populasi dari suatu wilayah ke wilayah lain yang sering disebut imigrasi sangat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit. Faktor imigrasi pada suatu negara yang memiliki populasi yang sangat padat akan mempengaruhi laju penyebaran suatu penyakit (Picollo, 2005). Pada paper ini akan dibahas mengenai efek vaksinasi pada model populasi imigran dengan kelas asimptomatik dan simptomatik pada penyakit demam berdarah pengembangan dari model Anggriani, 2013. MODEL MATEMATIKA Dalam pembentukan model penyakit demam berdarah dengan kelas asimptomatik dan simptomatik dengan pengaruh vaksinasi dan imigran diberikan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Populasi manusia tidak tertutup. Oleh karena itu, ada populasi yang masuk atau keluar dari populasi tersebut. Total populasi diasumsikan tetap atau konstan. 2. Populasi nyamuk konstan dan tertutup. 3. Vektor penyakit hanya nyamuk Aedes aegypti, tidak ada vektor lainnya. 4. Kelompok manusia yang sehat dibagi menjadi dua kompartemen, yaitu kompartemen manusia yang sehat yang belum pernah terinfeksi dan kompartemen manusia yang sehat tetapi pernah terinfeksi virus dengue. Pembagian ini berdasarkan fakta bahwa seseorang dapat
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 110
ISSN: 2580-1104
terdeteksi pernah terjangkit virus dengue dengan melakukan tes IgG dan IgM. 5. Kompartemen manusia yang terinfeksi dengan gejala DBD diasumsikan diisolasi dan dirawat di rumah sakit, sehingga tidak menularkan penyakit. 6. Imigran dan warga negara tidak dipisahkan. 7. Imigran berinteraksi dengan warga negara. Jadi, tidak ada perbedaan. 8. Vaksin diberikan kepada bayi yang baru lahir dan imigran yang baru masuk. sisanya rentan terhadap infeksi. 9. Individu yang mendapatkan vaksin akan kebal dari penyakit dan masuk ke populasi yang sembuh. 10. Keberhasilan dari vaksin sebesar 100%. Proses transmisi virus demam berdarah dari manusia terinfeksi dibawa oleh nyamuk melalui gigitan kepada manusia sehat, sehingga dalam pembentukan model dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu populasi manusia dan vektor. Populasi manusia dibagi menjadi lima kompartemen, yaitu Kompartemen manusia sehat dan belum pernah terinfeksi (Susceptible Virgin Host), dengan notasi . Kompartemen manusia sehat dan sudah pernah terinfeksi (Susceptible with previous infection Host), dengan notasi . Kompartemen manusia yang terinfeksi tanpa gejala (Asymptomatic Infection Host), dengan notasi . Kompartemen manusia yang terinfeksi dengan gejala (Symptomatic Infection Host – DBD, DSS), dengan notasi . Kompartemen manusia yang telah sembuh (Recovered Host), dengan notasi . Adapun pembagian populasi nyamuk sebagai vektor penyebaran penyakit adalah : kompartemen nyamuk sehat (Susceptible Vector), dengan notasi . Kompartemen nyamuk terinfeksi (Infected Vector), dengan notasi . Dari asumsi – asumsi diatas dan dengan memperluas model yang dibuat oleh (Anggriani, et al., 2013), diformulasikan model penyakit demam berdarah dengan kelas asimptomatik dan simptomatik dengan pengaruh vaksinasi dan imigran dalam bentuk sistem persamaan diferensial, yaitu:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 111
(1)
dengan
dan
.
Deskripsi parameter yang digunakan pada model seperti yang terdapat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Parameter dalam model serta deskripsinya Parameter
Deskripsi Laju kelahiran warga negara (diasumsikan konstan) Laju imigran yang masuk ke dalam populasi Laju kelahiran nyamuk Laju kematian alami (untuk warga negara dan imigran) Peluang transmisi sukses menyebabkan infeksi dari nyamuk ke manusia Peluang transmisi sukses menyebabkan infeksi dari manusia ke nyamuk Laju berkurangnya imunitas (wanning immunity) Rata-rata banyaknya gigitan per nyamuk per satuan waktu Rata-rata periode infeksi dalam tubuh manusia Laju sebagian warga negara yang divaksinasi saat lahir / tahun (sisanya rentan) Laju imigran yang masuk ke dalam populasi diberi vaksin Proporsi imigran yang masuk ke dalam populasi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 112
ISSN: 2580-1104
Total populasi manusia Total populasi nyamuk
ANALISIS MATEMATIKA Analisis kestabilan model dilakukan untuk menentukan perilaku kualitatif dari solusi model dengan menggunakan konsep Basic Reproduction Ratio (Diekmann, 2000) yang efektif sebagai kriteria kontrol penularan penyakit. Dari persamaan (1) diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap bebas penyakit (non endemik) dan titik tetap endemik. Titik tetap diperoleh saat masing-masing persamaan pertumbuhan populasi mencapai nilai nol atau pada saat terjadi “zero growth rate”, yaitu suatu kondisi keseimbangan dimana jumlah orang dalam populasi tertentu tidak tumbuh atau menurun mendekati nol. Sehingga titik tetap yang diperoleh sebagai berikut : 1. Titik tetap bebas penyakit (non endemik)
2. Titik tetap penyakit (endemik): Titik tetap penyakit
dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 113
dengan
Dimana
adalah Basic Reproduction Ratio yang diperoleh dengan dengan
menggunakan metode The Next Generation Operator Approach (Diekmann, 2000). (2) Dari pesamaan (2) terlihat bahwa tidak dipengaruhi oleh parameter pada infeksi kedua, tetapi dipengaruhi oleh rata-rata banyaknya gigitan per nyamuk per satuan waktu dan probailitas gigitan yang menghasilkan infeksi baru, serta dipengaruhi juga oleh periode penyembuhan alami manusia dan masa hidup manusia dan vektor. Jumlah individu yang tidak mendapatkan vaksin juga mempengaruhi .
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 114
ISSN: 2580-1104
Analisis Kestabilan Titik Tetap Bebas Penyakit Teorema 1. Titik tetap bebas penyakit dan tidak stabil jika .
bersifat stabil asimtotis lokal jika
Bukti: Langkah awal dalam menentukan kestabilan lokal dari titik tetap bebas penyakit , digunakan matriks jacobian model (1) disekitar . Matriks Jacobian dari titik tetap bebas penyakit tersebut adalah
polinomial karakteristik dari
adalah
dengan
atau
Persamaan karakteristik negatif, yaitu ,
,
,
mempunyai lima akar real
,
Sedangkan dua akar lainnya ditentukan oleh polinomial karakteristik , maka akan dicari kestabilan dari polinom berderajat dua dengan menggunakan aturan Routh-Hurwitz.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 115
Masing-masing koefisien dari polinom tersebut adalah ,
menurut aturan Routh-Hurwith, polinom akan stabil jika . Akan ditunjukkan .
dan
misalkan
maka koefisien-koefisien di atas jika ditulis dalam ,
menjadi:
,
karena parameter bahwa dan pada saat ditunjukkan .
harus bernilai positif, maka terlihat , maka . Kemudian akan
akan bernilai positif jika . Karena telah terbukti dan , maka titik tetap bebas penyakit adalah titik tetap yang stabil asimtotis lokal, dengan syarat dan jika , maka ada satu akar real positif pada persamaan karakteristtik . Jadi, titik tetap bersifat tidak stabil jika . Teorema 2. Titik tetap penyakit dan tidak stabil jika .
bersifat stabil asimtotis lokal jika
Bukti: Langkah awal dalam menentukan kestabilan lokal dari titik tetap penyakit , digunakan matriks jacobian persamaan (1) disekitar . Matriks Jacobian dari titik tetap bebas penyakit tersebut adalah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 116
ISSN: 2580-1104
polinomial karakteristik dari
adalah
dengan
Persamaan karakteristik
mempunyai dua akar real negatif, yaitu
, Sedangkan akar lainnya ditentukan oleh polinomial karakteristik dan . Dapat dibuktikan bahwa koefisien dari polinomial tersebut positif dan dan , sehingga dapat disimpulkan bahwa titik tetap penyakit stabil asimtotik ketika . ANALISIS NUMERIK Simulasi numerik yang dilakukan menunjukkan keefektifan pengendalian dengan vaksinasi dapat mengurangi populasi yang terinfeksi sehingga penyebaran penyakit dapat dicegah. Untuk nilai parameter dan variabel awal yang digunakan secara umum dapat dilihat di Tabel 2 dan Tabel 3 Tabel 2. Parameter yang mempengaruhi pembentukan model Parameter
Nilai
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 117
Tabel 3. Nilai variabel awal Variabel
Nilai
Data tersebut dirujuk dari (Anggriani, et al., 2013) serta mengkombinasikan dari data (Piccolo & Billings, 2005).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 118
ISSN: 2580-1104
Gambar 1 kiri memperlihatkan dinamika dari kelompok terinfeksi ketika . Sebelum hari ke-20, kedua kelompok yang terinfeksi akan hilang dari populasi. Ketika dalam keadaan cukup besar, populasi manusia terinfeksi asimptomatik akan turun.
Ga mbar 1. Di namika s ubpopulasi manusia ya ng terinfeksi. Gambar kiri untuk
dan
gambar kanan untuk
Berikut disajikan grafik pengaruh vaksinasi terhadap subpopulasi manusia yang terinfeksi. Garis berwarna biru dan hijau masing-masing menunjukkan subpopulasi manusia yang terinfeksi asimptomatik yang tidak divaksinasi dan divaksinasi. Sedangkan Garis berwarna merah dan merah muda masing-masing menunjukkan subpopulasi manusia yang terinfeksi simptomatik yang tidak divaksinasi dan divaksinasi.
Gambar 2. Grafik pengaruh vaksinasi pada subpopulasi manusia yang terinfeksi dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 119
Gambar 2 memperlihatkan pengaruh vaksinasi pada subpopulasi manusia yang terinfeksi. Terlihat bahwa setelah dilakukan pemberian vaksin, subpopulasi manusia yang terinfeksi akan semakin berkurang. Berikut ditampilkan perubahan grafik terhadap subpopulasi manusia yang terinfeksi asimptomatik dan simptomatik dari model populasi imigran penyakit dengue yang disebabkan oleh perubahan beberapa nilai parameter pada model, yaitu dan .
Gambar 3. Pengaruh perubahan nilai parameter terhadap grafik
Gambar 3 menunjukkan pengaruh vaksinasi pada dinamika subpopulasi manusia yang terinfeksi. Terlihat bahwa tanpa pemberian vaksin, subpopulasi mendapat infeksi lebih besar ketika diberi vaksin dan semakin besar vaksin yang diberikan maka kondisi subpopulasi manusia
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 120
ISSN: 2580-1104
yang terinfeksi akan turun lebih cepat dan kemudian menghilang dari populasi. KESIMPULAN Pada paper ini diperoleh model matematika penyebaran penyakit Demam Berdarah dengan kelas Asimptomatik dan simptomatik. Terlihat bahwa tanpa pemberian vaksin, subpopulasi mendapat infeksi lebih besar, ketika diberi vaksin terutama ketika pemberian vaksin semakin besar maka kondisi subpopulasi manusia yang terinfeksi akan turun lebih cepat dan kemudian menghilang dari populasi. Dari hasil Numerik dapat diperlihatkan bahwa keefektifan pengendalian dengan vaksinasi dapat mengurangi populasi yang terinfeksi sehingga penyebaran penyakit dapat dicegah. UCAPAN TERIMA KASIH Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Penelitian Ungulan Perguruan Tinggi Unpad 2016 dengan Nomor : 431/UN6.3.1/PL/2016. DAFTAR PUSTAKA Anggriani, N., Soewono, E. & Supriatna, A. (2013). A Critical Protection Level Derived from Dengue Infection Mathematical Model Considering Asymptomatic and Symptomatic Classes, Journal of Physics: Conference Series 423 (2013) 012056, 1-9. C. Piccolo dan L. Billings. (2005). The Effect of Vaccinations in an Immigrant Model. Mathematical and Computer Modeling, 291-299. Esteva and Vagas. (2013). Analysis of a dengue disease transmission model. J. Math. Biosci, 131-151. O. Diekmann dan J. Heesterbeek.(2000). Mathematical Epidemiology of Infectious Disease, Model Building, Analysis and Interpretation. John Wiley & Son, Inc.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 121
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 122
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-03 PENERAPAN METODE PENGGEROMBOLAN TMCM (TWO-STEP METHOD FOR CLUSTERING MIXED CATEGORICAL AND NUMERIC DATA) UNTUK MEMPREDIKSI PERFORMA AKADEMIK MAHASISWA (STUDI KASUS: SENSUS TERHADAP MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA, MATEMATIKA DAN SISTEM KOMPUTER FMIPA UNJ) Dania Siregar Program Studi Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta
[email protected] ;
[email protected] Abstrak Penelitian ini mengelompokkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Matematika dan Ilmu Komputer berdasarkan karakteristik-karakterisik yang telah ditentukan serta mengetahui karakteristik-karakteristik khusus yang menjadi pembentuk kelompok tersebut mengunakan metode TMCM (Two-step Method for Clustering Mixed Numeric and Categorical Data). Metode ini merupakan metode pengelompokan dua tahap dengan melakukan transformasi terhadap data kategorik berdasarkan teori co-occurrence yang dikenalkan oleh Ming et al (2010). Hasil dari penelitian ini menggerombolkan mahasiswa ke dalam empat gerombol, dimana gerombol dengan anggota terbanyak mencapai proporsi 0.41 adalah gerombol ke-3 dengan karakter mahasiswa yang aktif baik dalam bekerja dan berorganisasi serta mampu mempertahankan prestasi belajar tidak sampai pada urutan terburuk dibanding gerombol lainnya. Sementara itu gerombol dengan prestasi akademik terendah adalah geombol ke-2 dengan anggota gerombol yang juga terendah yaitu 0.18 untuk proporsinya, gerombol ini memiliki karakter mahasiswa yang cenderung pasif baik dalam tambahan uang saku, artinya dalam bekerja paruh waktu dan berorganisasi, juga merupakan kelompok mahasiswa dengan pemasukan dari orang tua yang paling rendah dibanding kelompok lainnya. Kata Kunci: Karakteristik mahasiswa, Metode TMCM, Penggerombolan.
PENDAHULUAN Pencapaian akademik yang baik tentu menjadi syarat utama untuk membentuk lulusan yang berkompeten, sehingga analisis terhadap performa akademik mahasiswa menjadi hal yang penting. Ada banyak penelitian yang terfokus pada performa akademik mahasiswa. Diantaranya Mushtaq dan Khan (2012) yang menghasilkan kesimpulan bahwa performa akademik
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 123
berhubungan dengan komunikasi mahasiswa, sosial ekonomi keluarga, fasilitas belajar di kampus, pembimbingan yang tepat serta aktivitas mahasiswa. Pengelompokan mahasiswa berdasarkan faktor-faktor yang berkaitan terhadap performa akademik menjadi hal yang menarik untuk dikaji karena hal ini akan memberikan hasil yang berbeda antar daerah bahkan antar negara, tergantung pada budaya yang ada. Hal ini dapat menjadi bahan kajian untuk membuat suatu rekomendasi kebijakan guna meningkatkan performa akademik mahasiswa. Pola dari karakter yang membentuk kelompok-kelompok mahasiswa ini dapat ditemukan salah satunya dengan melakukan pengolahan data mining yang tepat. Data mining merupakan suatu teknik untuk menemukan pola menarik yang tersembunyi dari data dalam jumlah besar. Teknik clustering dianggap sebagai alat penting dalam data mining. Tujuan dari clustering adalah untuk membagi kumpulan data menjadi beberapa kelompok sehingga objek-objek yang memiliki tingkat kesamaan yang tinggi satu sama lainnya akan berada dalam satu kelompok yang sama serta akan memiliki tingkat perbedaan yang tinggi dengan kelompok yang berbeda. Sebagian besar algoritma clustering masih kurang optimal dalam mengelompokkan data numerik dan kategorik secara bersamaan (Ming et al., 2010). Penelitian ini akan mengelompokkan mahasiswa berdasarkan atribut-atribut data campuran numerik dan kategorik, sehingga peneliti merujuk pada ide yang digunakan oleh Ming et al (2010) yaitu melakukan pengelompokan dengan mengunakan metode TMCM (Two-step Method for Clustering Mixed Numeric and Categorical Data). Metode ini merupakan metode pengelompokan dua tahap dengan melakukan transformasi terhadap data kategorik. Metode ini mendefinisikan kesamaan antara item atribut kategorik berdasarkan gagasan co-occurrence, selanjutnya menerapkan metode HAC dan K-means dengan menambahkan fitur tambahan sebagai objek sehingga akan diperoleh cluster optimal. Dengan pendekatan co-occurance ini diharapkan dapat mengatasi masalah utama dari algoritma clustering yang ada yaitu bahwa sebagian besar memperlakukan setiap atribut sebagai satu kesatuan, dan mengabaikan hubungan di antara mereka. Pada kenyataannya, dimungkinkan ada hubungan antara atribut. Sebagai contoh, mahasiswa dengan uang saku yang tinggi dapat dengan mudah membayar SPP sehingga mungkin tidak memerlukan tambahan pekerjaan paruh waktu, lebih banyak mengikuti aktivitas organisasi dan seterusnya.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 124
ISSN: 2580-1104
METODE PENELITIAN Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari sensus terhadap seluruh mahasiswa dari ketiga Program Studi yaitu Pendidikan Matematika, Matematika dan Sistem Komputer di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta, mulai dari mahasiswa angkatan pertama (2015/2016) sampai angkatan yang paling terakhir yang masih dalam status mahasiswa. Jumlah mahasiswa dari ketiga Program Studi tersebut mencapai 770 mahasiswa. Pengambilan data akan dilakukan menggunakan metode pengisian kuesioner secara langsung oleh mahasiswa. Adapun peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian ini tersedia pada Tabel 1 berikut ini sebagai berikut: No. 1.
Tabel 1 Peubah-peubah dan jenis data yang digunakan
Peubah
Penggolongan 1. laki-laki 2. perempuan 1. lulus mata kuliah Bahasa Inggris (A=1, B=2, C=3) 2. tidak lulus mata kuliah Bahasa Inggris. (D=4) 1. BEM/DPM/MTM (baik tingkat Universitas, fakultas, dan prodi. 2. Organisasi Ilmiah/Bahasa Asing 3. Organisasi keagamaan 4. Organisasi lainnya 5. Tidak ikut organisasi kampus 1. Mengajar Les 2. Wiraswasta (baik online maupun offline) 3. Tidak bekerja 1. Ya 2. Tidak 1. Di kosan 2. Di rumah keluarga
Gender
2. Penguasaan Bahasa Inggris 3. Ekstrakurikuler kampus 4.
5. 6. 7.
Pekerjaan paruh waktu Organisasi Luar Kampus Tempat tinggal
Jenis Data Kategorik Kategorik
Kategorik
Kategorik
Kategorik Kategorik
-
Numerik
8.
Uang saku perbulan dari orang tua Tambahan pemasukan dari kerja paruh waktu
-
Numerik
9.
Indeks Prestasi
-
Numerik
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 125
Metode Analisis Langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan tahapan yang diperkenalkan oleh Ming et al (2010) adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pengecekan kuesioner dan pembersihan terhadap data yang diperoleh dari kuesioner dengan memastikan apakah semua peubah sudah tidak mengandung kesalahan baik kesalahan karena pengetikan maupun peubah yang tidak terisi dengan mengonfirmasi mahasiswa yang bersangkutan. 2. Mentabulasi data kuesioner berdasarkan atribut-atributnya (peubahpeubahnya), dan menormalisasikan atribut numerik. 3. Menemukan atribut dengan jumlah penggolongan (item) yang paling banyak untuk menjadi atribut dasar. Item pada atribut dasar didefenisikan sebagai item dasar. 4. Menghitung frekuensi co-occurrence antara setiap item kategori dan setiap item dasar , dan menyimpan informasi ini dalam matriks M. 5. Menggunakan informasi dalam matriks M untuk membangun kesamaan antara setiap item kategori dan setiap item dasar , dan menyimpan informasi ini dalam matriks D. 6. Menemukan atribut numerik yang meminimalkan ragam dalam kelompok ke basis atribut. Menetapkan rata-rata nilai pemetaan atribut numerik untuk setiap item dasar. 7. Menerapkan informasi kesamaan yang disimpan dalam matriks D untuk menemukan nilai-nilai numerik dari setiap item kategorik 8. Menerapkan algoritma pengelompokkan HAC (penggerombolan berhirarki) untuk mengelompokkan data set kelompok ke-i . 9. Menghitung centroid dari setiap kelompok yang terbentuk, dan menambahkan setiap item kategorik menjadi atribut tambahan dari centroid. Nilai dari atribut baru adalah jumlah objek dalam kelompok yang berisi item tersebut. 10. Menerapkan algoritma pengelompokkan K–Means untuk menggerombolkan gerombol yang terbentuk pada langkah 8 dan langkah 9 kedalam kelompok k yang diinginkan. 11. Menarik kesimpulan dari masing-masing gerombol yang dihasilkan. Kesimpulan ini berkaitan dengan atribut (peubah) dan item apa saja yang menjadi pembentuk dominan dari setiap gerombol yang terbentuk.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 126
ISSN: 2580-1104
PEMBAHASAN Analisis gerombol merupakan suatu metode peubah ganda untuk mengelompokkan n objek ke dalam m gerombol (m n) berdasarkan karakter karakternya (Johnsons & Winchern, 2002). Secara umum TMCM ini adalah bentuk penggerombolan dua tahap menggunakan penggerombolan berhirarki (HAC) pada tahap pertama dan penggerombolan tidak berhirarki pada tahap kedua yaitu metode K-Means. Namun sebelum mengelompokkan pada tahap kedua maka dilakukan. transformasi terhadap data kategorik yang ada menggunakan teori co-occurrence (kesamaan kejadian) pada peubah kategoriknya. Tahapan transformasi data kategorik ke data numerik menggunkaan teori co-occurrence (kesamaan kejadian) serta karakteristik gerombol yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan matriks M Atribut organisasi yang pernah diikuti dipilih sebagai atribut dasar karena mengandung paling banyak jumlah item. Item G, H, I, J dan K didefinisikan sebagai item dasar. Setelah atribut yang sama didefinisikan, selanjutnya menghitung frekuensi co-occurrence antar item kategori. Sebagai contoh, matriks M yang berukuran n x n (total item kategori dari seluruh peubah kategorik yaitu 18) digunakan untuk menyimpan informasi ini, Dimana n adalah jumlah item kategor dalam hal ini sebanyak 18; mij merupakan co-occurrence antara item i dan item j di M; mii merupakan representatif dari item i. Nilai m11 jadi 127, karena item A muncul sebanyak 127 kali data; dan nilai m13 adalah 63 karena ada 63 transaksi pada data yang mengandung butir A dan C. Oleh karena itu, matriks M akan menjadi seperti pada Gambar 1 berikut ini: A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
A
127
0
63
40
22
2
58
11
10
7
41
67
42
18
58
69
23
104
B
0
314
166
97
50
1
125
17
31
30
111
142
147
25
104
210
68
246
C
0
0
229
0
0
0
102
16
25
18
68
105
105
19
78
151
48
181
D
0
0
0
137
0
0
52
8
9
11
57
74
49
14
53
84
24
113
E
0
0
0
0
72
0
28
4
7
7
26
29
34
9
30
42
18
54
F
0
0
0
0
0
3
1
0
0
1
1
1
1
1
1
2
1
2
G
0
0
0
0
0
0
183
0
0
0
0
72
96
15
71
112
42
141
H
0
0
0
0
0
0
0
28
0
0
0
16
10
2
7
21
5
23
I
0
0
0
0
0
0
0
0
41
0
0
19
19
3
18
23
10
31
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 127
J
0
0
0
0
0
0
0
0
0
37
0
16
15
6
13
24
12
25
K
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
152
86
49
17
53
99
22
130
L
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
209
0
0
45
164
45
164
M
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
189
0
92
97
38
151
N
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
43
25
18
8
35
O
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
162
0
38
124
P
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
279
53
226
Q
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
91
0
R
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
350
Gambar 1 Matriks M
2. Pembentukan matriks D Frekuensi co-occurrence antara basis item dan item kategorik lainnya tersedia dengan mengambil unsur-unsur dalam matriks M, kesamaan antara mereka dapat dihitung dengan mengadopsi persamaan berikut: 𝐷𝑥𝑦 =
|𝑚(𝑋,𝑌) | |𝑚(𝑋) |+|𝑚 (𝑌) |−|𝑚 (𝑋,𝑌) |
keterangan: X merupakan jumlah kejadian x muncul di set objek; Y merupakan kejadian y muncul di set objek; m (X) adalah sekumpulan objek yang mengandung item x; m (Y) adalah sekumpulan objek yang mengandung item y; m (X, Y) adalah sekumpulan objek yang mengandung item x dan y. Matriks ini diberikan pada Gambar 2.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 128
(1)
ISSN: 2580-1104
Gambar 2 Matriks D
3. Memberikan nilai-nilai numerik untuk item kategori Langkah selanjutnya agar dapat memberikan nilai-nilai numerik untuk item kategori adalah: 1. Menemukan atribut numerik yang meminimalkan ragam dalam kelompok ke basis atribut, yaitu peubah numerik tambahan uang saku. Menetapkan rata-rata nilai pemetaan atribut numerik untuk setiap item dasar. 2. Menerapkan informasi kesamaan yang disimpan dalam matriks D untuk menemukan nilai-nilai numerik dari setiap item kategorik. Proses pertama dalam fase 3 adalah untuk menemukan atribut numerik yang meminimalkan ragam dalam kelompok ke atribut dasar. Persamaan ragam dalam kelompok yaitu sebagai berikut: 𝑆𝑆𝑊 = ∑𝑗 ∑𝑖 (𝑋𝑖𝑗 − 𝑋̅𝑗 )2 (2) keterangan: 𝑋̅𝑗 adalah nilai tengah dari pemetaan atribut numerik item dasar ke-j. Xij adalah nilai nilai ke-i dalam pemetaan atribut numerik item dasar ke-j. Kemudian, setiap item dasar dapat diukur dengan menggunakan rata-rata nilai pemetaan dalam atribut numerik yang dipilih. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Pemberian nilai numerik pada item dasar
Item dasar G
Nilai numerik (rata-rata) 0.044
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 129
H
0.021
I
0.028
J
0.044
K
0.019
Karena setiap item dasar telah diberi nilai numerik, maka semua item kategori lainnya dapat diukur dengan menerapkan fungsi berikut. 𝐹(𝑥 ) = ∑𝑑𝑖=1 𝑎𝑖 𝑣𝑖
(3)
dimana: d adalah jumlah item dasar; ai adalah kesamaan antara item x dan item dasar ke-i; vi adalah nilai yang diukur dari item dasar ke-i. sehingga diperoleh nilai numerik untuk setiap item kategori lainnya seperti pada Tabel 3 . Tabel 3 Pemberian nilai numerik pada item kategori lainnya
Item kategori
Nilai numerik hasil transformasi
A
0.019
B
0.029
C
0.026
D
0.019
E
0.014
F
0.001
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 130
ISSN: 2580-1104
L
0.023
M
0.025
N
0.010
O
0.022
P
0.027
Q
0.018
R
0.029
4. Penggerombolan menggunakan dua tahap Penggerombolan dilakukan dengan tahap pertama menggunakan metode HAC menghasilkan 147 set gerombol yang selanjutnya digerombolkan kembali menggunakan metode K-Means menghasilkan empat gerombol. 5. Karakterisik Gerombol yang Dihasilkan Berdasarkan hasil penggerombolan seperti tampak pada Tabel 4, gerombol ke-3 adalah gerombol dengan anggota yang paling banyak. Namun, karakterisik utama yang dapat terlihat jelas adalah proporsi perempuan untuk setiap gerombol selalu lebih besar dibandingkan proporsi laki-laki. Tabel 4 Proporsi anggota gerombol
Proporsi Total Gerombol Terhadap Laki-laki Perempuan (orang) total pada pada sampel gerombol gerombol 1
0.20
0.23
0.77
86
2
0.18
0.35
0.65
78
3
0.41
0.28
0.72
179
4
0.22
0.31
0.69
98
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 131
Tabel 5 memperlihatkan bahwa gerombol ke-3 adalah gerombol dengan rataan uang saku perbulan dari orang tua yang tertinggi yaitu antara Rp 181.076 sampai Rp 1.246.410. Selanjutnya dapat dilihat bahwa gerombol ke-2 adalah gerombol dengan rataan uang saku terendah. Namun terdapat hal yang menarik terlihat pada Tabel 6 yaitu meskipun dengan rataan uang saku tertinggi, gerombol ke-3 juga merupakan gerombol dengan rataan tambahan uang saku dari kerja paruh waktu tertinggi, sementara gerombol ke-2 meskipun rataan uang saku perbulan terendah, juga merupakan gerombol dengan rataan tambahan uang saku terendah pula. Gerombol ke -1 dan gerombol ke-4 cenderung memiliki karakteristik yang sama terhadap nilai rataan uang saku dari orang tua dan tambahan uang saku, kedua gerombol ini cenderung berada pada kelompok pertengahan. Tabel 5 Uang saku perbulan dari orang tua
Gerombol Rataan
Simpangan baku
Batas Atas
Batas Bawah
1
521860
72364
594224
449497
2
471154
123709
594863
347445
3
713743
532667
1246410
181076
4
587551
286537
874089
301014
Tabel 6 Tambahan uang saku dari kerja paruh waktu
Gerombol Rataan
Simpangan baku
Batas Atas
Batas Bawah
1
169826
227648
397474
-57823
2
122179
200911
323091
-78732
3
527654
626401
1154054
-98747
4
152143
242063
394206
-89920
Berkaitan dengan tambahan uang saku, hal yang menarik untuk diketahui apakah pada gerombol ini terdapat karakteristik lain yang saling berhubungan dengan melihat pola penggerombolannya. Karakteristik lain adalah berkaitan dengan pembagian waktu mahasiswa, mahasiswa dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 132
ISSN: 2580-1104
tambahan kerja paruh waktu ataupun tidak akan berpengaruh terhadap waktu belajarnya, sementara itu waktu belajar mata kuliahnya juga dapat berkurang jika mahasiswa mengikuti organisasi kampus misalnya, pada Tabel 7 terlihat bahwa gerombol ke-3 juga merupakan gerombol dengan proporsi tertinggi untuk pekerjaan paruh waktu mengajar, juga memiliki proporsi wiraswasta yang paling tinggi dibandingkan gerombol lainnya. Sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa gerombol tiga adalah kumpulan anak-anak yang aktif dalam mengajar les dan berwirausaha sebagai tambahan uang saku dibanding gerombol lainnya. Namun demikian gerombol ke-3 juga merupakan gerombol dari anak-anak yang punya kecenderungan berorganisasi tinggi. Gerombol ke-2 menunjukkan kumpulan mahasiswa yang memiliki proporsi tidak bekerja tertinggi namun tetap mengikuti organisasi walaupun tidak sebanyak gerombol ke-3. Adapun gerombol ke-1 dan ke-4 masih memiliki karakter yang cenderung mirip yaitu memiliki proporsi tidak bekerja yang cukup tinggi namun masih di bawah gerombol ke-2. yaitu berkisar 0.5 untuk proporsinya. Sementara itu, proporsi tidak bekerja dan tidak ikut organisasi untuk gerombol ke-4 lebih tinggi dibandingkan gerombol ke-1 yaitu secara berurutan 0.49 dan 0.39. Tabel 7 Jumlah mahasiswa yang bekerja paruh waktu dan organisasi kampus yang diikuti
Pekerjaan paruh waktu
Gerombol 1
2
3
4
0.53
0.62
0.34
0.56
16
18
23
15
Organisasi Ilmiah/Bahasa Asing
6
3
4
3
Organisasi keagamaan
3
5
5
6
Organisasi lainnya
3
3
6
4
Tidak ikut organisasi
18
19
22
27
0.43
0.32
0.54
0.31
19
12
46
19
Organisasi Ilmiah/Bahasa Asing
4
0
5
1
Organisasi keagamaan
5
3
8
3
Proporsi Tidak Bekerja BEM/DPM/MPM
Proporsi Mengajar Les BEM/DPM/MPM
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 133
Organisasi lainnya
3
0
10
2
Tidak ikut organisasi
6
10
28
5
0.03
0.06
0.12
0.13
BEM/DPM/MPM
2
1
8
4
Organisasi Ilmiah/Bahasa Asing
0
0
0
2
Organisasi keagamaan
0
0
3
0
Organisasi lainnya
0
1
4
1
Tidak ikut organisasi
1
3
7
6
Proporsi Wiraswasta (online/offline)
Berbicara prestasi akademik mahasiswa, maka indeks prestasi kumulatif dapat dijadikan sebagai tolok ukurnya. Tentu saja ada banyak prestasi lain yang bisa diraih oleh mahasiswa selain berprestasi dibidang akademik. Namun pada penelitian ini difokuskan pada prestasi akademik yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang diantaranya diukur pada penelitian ini menggunakan peubah-peubah kategorik dan numerik. Tabel 8 menunjukkan bahwa gerombol satu merupakan gerombol dengan rataan IPK tertinggi dengan simpangan baku yang kecil, hal ini menunjukkan gerombol ke-1 adalah gerombol dengan prestasi akademik terbaik, diikuti dengan gerombol ke-4 dan selanjutnya gerombol ke-3 dan gerombol ke-2 sebagai yang terendah. Gerombol ke-2 jika dilihat berdasarkan Tabel 5 merupakan gerombol dengan proporsi mengajar les, wiraswasta terendah dibanding gerombol lain, namun masih tergolong pada gerombol dengan anggota yang aktif berorganisasi. Tabel 8 Indeks prestasi kumulatif mahasiswa setiap gerombol
Gerombol Rataan
Simpangan baku
Batas Atas
Batas Bawah
1
3.25
0.19
3.44
3.07
2
2.81
0.28
3.09
2.53
3
2.91
0.55
3.46
2.36
4
3.08
0.35
3.44
2.73
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 134
ISSN: 2580-1104
Masih berdasarkan tabel-tabel di atas terlihat sebagai gerombol dengan rataan IPK tertinggi secara berurutan juga memiliki karakteristik yang cenderung sama, dimana uang saku per bulan dari orang tua antara 500.000-600.000 rupiah juga tambahan uang saku kurang lebih diangka 150.000. Baik bekerja maupun tidak bekerja, kecenderungan anak-anaknya adalah mengikuti organisasi. Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa gerombol ke-1 dan gerombol ke-4 adalah gerombolan mahasiswa dengan indeks prestasi yang tinggi dengan karakter mahasiswa yang berada pada posisi keuangan yang relatif aman yang bersumber dari orang tua, tidak terlalu banyak yang melakukan kerja paruh waktu namun termasuk memilki proporsi mengajar les yang cukup tinggi. Selain itu gerombol ke-4 dan ke-1 juga cenderung meruapakan kumpulan mahasiswa yang kurang aktif berorganisasi dibandingkan gerombol ke-2 dan ke-4. Gerombol ke-1 juga merupakan gerombolan mahasiswa dengan proporsi mendapat nilai A pada mata kuliah bahasa Inggris yang tertinggi dibanding lainnya, sementara gerombol ke-4 memiliki proporsi tertinggi untuk nilai B dan urutan ke-3 untuk proporsi nilai A. Gerombol ke-3 adalah gerombolan mahasiswa dengan karakter indeks prestasi yang tergolong menengah dibandingkan gerombol lainnya. Namun, gerombolan mahasiswa ini juga merupakan gerombolan mahasiswa yang mendapat uang saku tinggi dari orang tua namun juga tetap aktif mengambil kerja paruh waktu terutama sebagai pengajar les. Hal yang menarik juga gerombol ke-3 ini adalah gerombolan mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Gerombol ke-3 juga termasuk gerombolan mahasiswa yang baik dalam perolehan nilai Bahasa Inggris, terlihat dari proporsi gerombol memperoleh nilai A menempati urutan ke-2 setelah gerombol ke-1. Artinya gerombol ke-3 ini adalah gerombol yang paling dinamis dan lebih mampu dalam mempertahankan prestasi akademiknya meskipun dengan aktivitas yang lebih banyak. Gerombol ke-2 juga memiliki karakter yang unik, gerombol dengan nilai IPK terendah dibandingkan gerombol lainnya ini, memang memiliki rataan uang saku dari orang tua yang juga terendah namun juga memiliki tambahan uang saku yang paling rendah juga diantara gerombol lainnya. Hal ini bisa dilihat dari proporsi tidak bekerja yang paling tinggi, namun yang disayangkan gerombol ini juga tidak memiliki proporsi yang tinggi dalam menigkuti kegiatan organisasi. Sehingga gerombol ini cenderung pasif. Gerombol ini juga merupakan kumpulan mahasiswa dengan proporsi perolehan nilai Bahasa Inggris yang terendah jika dibandingkan gerombol
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 135
lainnya. Sehingga dengan demikian gerombol ke-2 ini sebaiknya mendapatkan arahan yang lebih baik baik dari pihak kampus dan keluarga untuk mengoptimalkan waktu dan masa mudanya untuk lebih aktif dan prestatif. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa gerombol yang terbentuk ada sebanyak empat gerombol. Diantaranya adalah gerombol dengan karakter mahasiswa yang aktif baik dalam bekerja dan berorganisasi serta mampu mempertahankan prestasi belajar tidak sampai pada urutan terburuk dibanding gerombol lainnya, gerombol ini adalah gerombol ke-3 dengan anggota gerombol paling besar. Artinya dominan mahasiswa di Pendidikan Matematika, Matematika dan Ilmu Komputer berada pada gerombol ini yaitu mencapai 0.41 untuk proporsinya. Sementara itu gerombol dengan prestasi akademik terendah adalah geombol ke-2 dengan anggota gerombol yang juga terendah yaitu 0.18 untuk proporsinya, adalah gerombolan mahasiswa yang cenderung pasif baik dalam tambahan uang saku, artinya dalam bekerja paruh waktu dan berorganisasi, juga merupakan kelompok mahasiswa dengan pemasukan dari orang tua yang paling rendah dibanding kelompok lainnya. Selain itu kelompok mahasiswa ini juga merupakan kelompok dengan perolehan nilai A pada mata kuliah Bahasa Inggris yang paling rendah. DAFTAR PUSTAKA Johnson RA, Wichern DW. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis Fifth Edition. USA: Prentice-Hall,Inc. Ming YS, Jar WJ, Lien FL.. 2010. A Two-Step Method for Clustering Mixed Categorical and Numeric Data. Tamkang Journal of Science and Engineering. Vol.13, no. 1, 11-19. Mushtaq I, Khan SN. 2012. Factors Affecting Students’ Academic Performance. Global Journal of Management and Business Research. Global Journal Inc.(USA). Vol.12, No.9 (2012). ISSN online: 2249-4588, ISSN Cetak: 0975-5853. [diunduh 2016 Maret 26]. Tersedia pada: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd =1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjqp9EqeDLAhVGH44KHX3eDFEQFggdMAA&url=https%3A%2F%2Fglobaljo urnals.org%2FGJMBR_Volume12%2F3-Factors-Affecting-StudentsAcademic.pdf&usg=AFQjCNH2sFSGKFxk9gmFWvry6KlNjsgVHQ
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 136
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-04 MENENTUKAN MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD (MSY) PADA MODEL PREDATOR -PREY DENGAN FUNGSI RESPON MICHAELIS-MENTEN Elis Hertini 1 , Nurul Gusriani 2 , Asep K Supriatna 3 , Agus Supriatna 4 1,2,3,4Prodi Matematika FMIPA UNPAD
[email protected] Abstrak Makalah ini membahas model interaksi dua spesies yang terdiri dari predator (pemangsa) dan prey (mangsa) yang merupakan model rantai makanan, bagian paling sederhana dari suatu rantai makanan berupa interaksi dua spesies. Kehadiran predator berpengaruh terhadap jumlah prey sebagai sumber daya alam. Dalam menjaga kelestarian sumber daya alam diperlukan menegemen eksploitasi yang tepat. Untuk mendapatkan model yang sesuai dengan konsep tersebut dilakukan dengan cara mengurangi faktor pemanenan terhadap predator dan pemanenan terhadap prey. Dengan demikian model yang sesuai digunakan untuk kondisi tersebut adalah model dengan konsep Maximum Sustainable Yield (MSY) artinya tangkapan lestari maksimum. Penelitian ini mengunakan model predator-prey dengan fungsi respon Michaelis-Menten. Model yang dihasilkan bertujuan dapat memaksimumkan hasil tangkapan namun tetap terjaga kelestariannya. Kata Kunci : MSY, predator-prey, fungsi respon.
Abstract This research examines the interaction between two species, the predator and the prey, in food chain model which is the simplest food chain interaction model. The presence of predator and the number of preys are correlated with each other, therefore proper exploitation management is necessary in order to maintain natural resource’s sustainability. A suitable model to this concept is obtained by diminishing harvesting factor of the predators and the preys. Thus Maximum Sustainable Yield (MSY) model is suitable for this perticular circumstances, where it simulates maximum capture to maintain sustainability Michaelis Menten response function for predator-prey model is used in this research where the final result shows the maximum capture while the sustainability leves is maintained. Keywords : MSY, predator-prey, response function.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 137
PENDAHULUAN Ekologi adalah cabang ilmu dalam biologi yang mempelajari interaksi antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan sekitarnya. Ekologi mempelajari bagaimana mahluk hidup memepertahankan kehidupannya. Pada dasarnya mahluk hidup bergantung pada mahluk hidup lainnya ataupun habitatnya sehingga terjadi hubungan timbal balik yang merupakan interaksi antara mahluk hidup. Dalam ekologi dikenal istilah rantai makanan, yang merupakan lintasan konsumsi makanan yang terdiri dari beberapa spesies organisme, (Bacaer, N., 2011). Bagian paling sederhana dari suatu rantai makanan berupa interaksi dua species, salah satu contoh model interaksi antara mahluk hidup dua spesies model predator-prey, yaitu suatu model matematik yang sangat terkenal yang berdasarkan pada hubungan dalam ekologi diantara predator dan prey. Interaksi biologi yang biasa dijumpai dalam ekosistem adalah interaksi antara predator dan prey, contohnya interaksi antara predator dan prey dalam perikanan. Apabila antara dua spesies ini tidak terjadi interaksi dan lingkungan tidak membatasi maka untuk spesies prey akan meningkat secara tidak terbatas yang disebut sebagai pertumbuhan eksponensial. Selain model eksponensial dikenal juga model pertumbuhan logistik, (Eicher, 2006). Model pertumbuhan logistik merupakan model pertumbuhan populasi pada waktu t, laju pertumbuhan intrinsic dan kapasitas pembawaan (carrying capacity), yang merupakan jumlah teratas dari pertumbuhan suatu populasi dimana jumlah populasi tidak lagi didukung oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah populasi suatu spesies, selain kematian juga karena pemanenan, kehadiran predator memberikan pengaruh pada jumlah prey. Dari sisi lingkungan hidup pemanfaatan secara berlebihan atas salah spesies akan menyebabkan kepunahan dari spesies tersebut,(Dubey, 2007). Untuk mengendalikan pupolasi predator sehingga dapat menyebabkan punahnya populasi prey, sebaliknya untuk mengendalikan populasi predator supaya tidak punah, maka perlu dilakukan pembatasan pemanenan pada popupasi predator. Masalah perikanan sebagai sumber daya alam, untuk menghindari terjadinya kepunahan supaya terjaga kelestarian diperlukan upaya pembatasan tangkapan terhadap sumber daya perikanan ini. Dalam menjaga kelestarian sumber daya perikanan diperlukan menegemen eksploitasi yang tepat. Model yang sesuai digunakan untuk kondisi tersebut adalah model dengan konsep Maximum Sustainable Yield (MSY) artinya hasil tangkapan lestari maksimum,(Conrad, J. M., 1987).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 138
ISSN: 2580-1104
METODE PENELITIAN Model Pertumbuhan Logistik. Verhulst pada tahun 1938 telah memperkenalkan suatu model pertumbuhan yang sering disebut model pertumbuhan logistik. Dengan menggunakan kaidah logistik (logistic low) bahwa persediaan logistik ada batasnya. Model ini mengasumsi bahwa pada masa tertentu jumlah populasi akan mendekati titik keseimbangan (equilibrium), jumlah kelahiran dan kematian dianggap sama sehingga grafiknya akan mendekati konstan (zero growth), model pertumbuhan logistik 𝑑𝑁(𝑡) 𝑑𝑡
= 𝑟𝑁(𝑡)(1 −
𝑁(𝑡) 𝑘
(2.1)
)
Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic grow rate) yaitu nilai yang menggambarkan daya tumbuh suatu populasi diasumsikan r>0, k adalah carrying capacity yaitu ukuran maksimum dari pertumbuhan suatu populasi, dimana jumlah populasi itu tidak lagi dapat didukung oleh sarana sumber daya dan lingkungan yang ada. Sedangkan N(t) adalah jumlah populasi pada waktu t, (Conrad, 1987) Maximum Sustainable Yield (MSY) Dari segi ekologi dan ekonomi, pengertian Maximum Sustainable Yield atau hasil tangkapan lestari maksimum secara teoritis merupakan tangkapan terbesar yang dapat diambil dari suatu spesies dalam waktu yang tidak terbatas. Konsep Maximum Sustainable Yield bertujuan untuk mempertahankannukuran populasi pada titik maksimum tingkat pertumbuhan dengan pemanenan yang biasanya akan ditambahkan ke dalam populasi untuk terus menjadi produktif selamanya. Apabila N(t) adalah jumlah populasi pada saat t, maka keseimbangan ukuran populasi pada saat pemanenan tertentu dapat ditemukan ketika -
populasi tidak ada pertumbuhan, yaitu keika
𝑑𝑁 𝑑𝑡
= 0, hal ini terjadi apabila
laju pertumbuhan sama dengan tingkat pemanenan yaitu pada kondisi Maximum Sustainable Yield, (Roger, 2003). Model Matematik. Perintis pertama model predator-prey adalah Lotka-Volterra (1926), model ini terdiri dari dua persamaan diferensial. Setiap persamaan menjabarkan masing-masing spesies dengan hubungan perubahan populasi dari waktu ke waktu mengalami pertumbuhan secara eksponensial, pertumbuhan ini menginvestasi pertumbuhan logistik. Untuk memperbaiki -
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 139
model Lotka-Volterra dikembangkan lagi model baru, yang salah satunya adalah model predator-prey dengan fungsi respon Michaelis-Menten, sebagai berikut : 𝑥 𝑐𝑥𝑦 𝑥 ′ = 𝑎𝑥 (1 − ) − 𝑘 𝑚𝑦 + 𝑥 𝑓𝑥
(2.2)
𝑦 ′ = 𝑦(−𝑒 + 𝑚𝑦 +𝑥 )
Dimana 𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑦 masing-masing populasi dari prey dan predator, dan 𝑎, 𝑐, 𝑒, 𝑓, 𝑘, 𝑚 > 0 masing-masing adalah laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic grow rate) dari prey, laju pemanenan prey, laju kematian predator, laju konversi, kapasitas pembawaan (carrying capacity), half saturation constant, (Eichner, 2006). Model Ratio-dependent sistem predator–prey Michaelis-Menten dengan adanya pemanenan pada prey, mengindikasikan bahwa salah satu spesies akan punah atau bahkan jika dipenuhi syarat, ada kemungkinan kedua populasi akan punah secara bersamaan. Penangkapan pada prey bukan saja berpengaruh terhadap dinamika predator saja tetapi berpengaruh juga terhadap prey, (Elis, 2014) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Untuk membuat model dengan konsep Maximum Sustainable Yield dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dalam masalah perikanan, model pertumbuhan dan penyebaran untuk dua spesies dengan asumsi terdapat laju pertumbuhan serta kapasitas daya dukung lingkungan mempunyai nilai yang sama untuk setiap spesies. Model yang digunakan adalah model predator-prey dengan fungsi respon Michaelis-Menten dari Pers (2.2), dengan melakukan pemanenan pada populasi predator dan prey sebagai berikut : 𝑥
𝑐𝑥𝑦
𝑥 ′ = 𝑎𝑥 (1 − 𝑘) − 𝑚𝑦+𝑥 − ℎ1
𝑦 ′ = 𝑦 (−𝑒 +
𝑓𝑥 𝑚𝑦+𝑥
) − ℎ2
(3.1)
Dari Pers (3.1) diperoleh persamaan pemanenan untuk prey (ℎ1) dan predator (ℎ2 ), adalah,
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 140
ISSN: 2580-1104
𝑥
𝑐𝑥𝑦
(3.2)
𝑓(𝑥, 𝑦) = ℎ1 = 𝑎𝑥 (1 − 𝑘 ) − 𝑚𝑦+𝑥 𝑥𝑓
(3.3)
𝑔(𝑥, 𝑦) = ℎ2 = 𝑦(−𝑒 + 𝑚𝑦 +𝑥 )
Untuk mendapatkan model dalam konsep Maximum Sustainable Yield, maka pemanenan total ketika populasi seimbang, adalah 𝜏 = ℎ1 + ℎ2 yaitu populasi tidak tumbuh dimana
𝑑𝜏 𝑑𝑥
= 0 𝑑𝑎𝑛
𝑑𝜏 𝑑𝑦
= 0. Dari kondisi tersebut
maka diperoleh optimal escapement yaitu x* dan y* sehingga didapat ℎ∗1 𝑑𝑎𝑛 ℎ∗2 pada konsep Maximum Sustainable Yield. Untuk memaksimumkan model dengan konsep Maximum Sustainable Yield, langkah yang perlu dilakukan adalah memaksimumkan nilai hasil tangkapan lestari maksimum tersebut untuk setiap spesies, yakni 𝑀𝑆𝑌1 = 𝑓 ′ (𝑥, 𝑦) 𝑑𝑎𝑛 𝑀𝑆𝑌2 = 𝑔′ (𝑥, 𝑦), (Clark, 2005). Berikut adalah penjabaran proses maksimalisasi setiap spesies model Maximum Sustainable Yield dari Pers (3.2) dan (3.3) : 1. Pemanenan pada prey (ℎ1 ) pada konsep Maximum Sustainable Yield dari Pers (3.2), jika y konstan
𝑑ℎ1 𝑑𝑥
𝑑
= 0 → 𝑑𝑥 (𝑎𝑥 −
𝑑
→ 𝑑𝑥 (𝑎𝑥 − →
𝑎𝑥 2 𝑘
𝑎𝑥 2 𝑘
) = 𝑎−
𝑑
𝑐𝑥𝑦
) − 𝑑𝑥 (𝑚𝑦+𝑥 ) = 0
(3.4)
2𝑎𝑥 𝑘
𝑑 𝑐𝑥𝑦 𝑐𝑦 (𝑚𝑦 + 𝑥 ) − 𝑐𝑥𝑦 𝑐𝑚𝑦 2 ( )= = 𝑑𝑥 𝑚𝑦 + 𝑥 (𝑚𝑦 + 𝑥)2 (𝑚𝑦 + 𝑥)2
Jadi, 𝑑ℎ1 𝑑𝑥
= 𝑎−
2𝑎𝑥 𝑘
−(
𝑐𝑚𝑦2 𝑚𝑦+𝑥 ) 2
=0
→𝑎 =
2𝑎𝑥 𝑐𝑚𝑦 2 + (𝑚𝑦 + 𝑥 )2 𝑘
→𝑎=
2𝑎𝑥 (𝑚𝑦 + 𝑥 )2 + 𝑘𝑐𝑚𝑦 2 𝑘 (𝑚𝑦 + 𝑥 )2
→ 𝑎𝑘(𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) = 2𝑎𝑥 (𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) + 𝑘𝑐𝑚𝑦 2 → 𝑎𝑘(𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) − 2𝑎𝑥 (𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) + 𝑘𝑐𝑚𝑦 2 =0
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 141
→ (𝑎𝑘 − 2𝑎𝑥 )(𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) + 𝑘𝑐𝑚𝑦 2 = 0
(3.5)
Didapat jumlah populasi prey pada konsep Maximum Sustainable Yield (x*) dari Pers (3.5), jika y 0 maka jumlah populasi prey pada konsep Maximum Sustainable Yield, adalah x*
k . 2
Substitusikan x* ke Pers (3.2) maka diperoleh h* yaitu model pemanenan untuk prey pada konsep Maximum Sustainable Yield, ℎ∗1 = 𝑥 ∗ [𝑎 (1 −
𝑥∗ 𝑘
𝑐𝑥𝑦
(3.6)
)] − 𝑚𝑦+𝑥 ∗
2. Pemanenan pada predator (ℎ2 ) pada konsep Maximum Sustainable Yield dari Pers (3.3), jika x konstan 𝑑ℎ2 𝑑𝑦
𝑑
𝑓𝑥
(3.7)
= 0 → 𝑑𝑦 [𝑦(𝑚𝑦+𝑥 − 𝑒)] 𝑑
𝑦𝑓𝑥
𝑑
𝑑
𝑦𝑓𝑥
𝑑
→ 𝑑𝑦 (𝑚𝑦+𝑥 ) − 𝑑𝑦 𝑒𝑦 = 0 → 𝑑𝑦 (𝑚𝑦+𝑥 ) − 𝑑𝑦 𝑒𝑦 = →𝑒=
𝑓𝑥 ( 𝑚𝑦+𝑥 ) −𝑓𝑦𝑚𝑥 (𝑚𝑦+𝑥) 2
−𝑒 = 0
𝑓𝑥 (𝑚𝑦 + 𝑥 ) − 𝑓𝑦𝑚𝑥 (𝑚𝑦 + 𝑥)2
→ 𝑒(𝑚𝑦 + 𝑥)2 = 𝑓𝑥 (𝑚𝑦 + 𝑥 ) − 𝑓𝑦𝑚𝑥 → 𝑒(𝑚𝑦 + 𝑥)2 − 𝑓𝑥 2 = 0 → 𝑒(𝑚2 𝑦 2 + 2𝑚𝑥𝑦 + 𝑥 2 ) − 𝑓𝑥 2 = 0 em (my 2 2 xy ) fx 2 ex 2
my 2 2 xy
x 2 ( f e) em
my 2 2 xy
x 2 ( f e) 0 em
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 142
(3.8)
ISSN: 2580-1104
Dari Pers (3.8) didapat jumlah populasi predator pada konsep Maximum Sustainable Yield (y*), jika y=0 maka y *
1 f e 1 . e
Substitusikan y* ke persamaan Pers (3.3), maka diperoleh ℎ∗2 yaitu model pemanenan untuk predator pada konsep Maximum Sustainable Yield, 𝑓𝑥
(3.9)
ℎ∗2 = 𝑦 ∗ [𝑚𝑦 ∗ +𝑥 − 𝑑]
KESIMPULAN Model dengan konsep Maximum Sustainable Yield (MSY) mengunakan model predator-prey dengan fungsi respon Michaelis-Menten, adalah sebagai berikut : Model pemanenan untuk prey pada konsep Maximum Sustainable Yield (MSY), ℎ∗1 = 𝑥 ∗ [𝑎 (1 −
𝑥∗ 𝑘
)] −
𝑐𝑥𝑦 𝑚𝑦+𝑥 ∗
dengan x*
Model pemanenan Sustainable Yield (MSY), ℎ∗2 = 𝑦 ∗ [
𝑓𝑥 𝑚𝑦 ∗ +𝑥
untuk
− 𝑑] dengan y *
k . 2
predator
pada
konsep
Maximum
1 f e 1 . e
DAFTAR PUSTAKA Bacaer, N.2011. A Short History of Mathematical Population Dynamics . Ninth Edition, Springerl London Dordrecht Heidelberg, New York. Clark, C. W. 2005. Mathematical Bioeconomics : The Optimal Management of Renewable Resources, John Wiley, New-York. Conrad, J. M, and Clark, C. W. 1987. Natural Resource Economics, Notes and Problem. Cambridge University Press. New York. Dubey, B. 2007. A Prey-Predator Model with a Reserved Area. Nonlinier Analysis : Modeling and Control, Vol 12, No 4. Birla Institute of Technology and Science.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 143
Eichner, T. and Pethig, R. 2006. An Analytical Foundation of The RatioDependent Predator-Prey Model, Journal of Bioeconomics. Elis, H, Nursanti, A., Asep, K. 2014. Pengaruh Pemanenan Pada Sistem PredatoPrey Dengan Kebergantungan Rasio Pada Fungsi Respon, Konferensi Nasional Matematika XVII. ITS Surabaya. Roger Perman, Yue Ma, James Mc Gilvary and Mchael Cimmon. 2003. Natural Resource and Environmental Economics, Ashford Co;our PressLtd., Gosport.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 144
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-05 ANALISIS KECENDERUNGAN HARGA SAHAM APPLE.INC MENGGUNAKAN RANTAI MARKOV Firdaniza, Iqbal Greis Pratama , Betty Subartini Departemen Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
[email protected] [email protected] [email protected] Abstrak Saham merupakan salah satu bentuk investasi yang populer di kalangan investor. Saham berbentuk selembar kertas yang menunjukkan kepemilikan investor pada suatu perusahaan. Perusahaan Apple.Inc merupakan perusahaan elektronik terkenal yang sahamnya diincar para investor. Seorang investor perlu mengetahui kecenderungan harga saham untuk memutuskan apakah dia akan membeli saham tersebut atau tidak. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap kecenderungan nilai harga saham Apple.Inc untuk jangka panjang dengan menggunakan rantai Markov. Dari data nilai harga saham Apple.Inc (www.google.com/finance, periode 31 Desember 2013-31 Desember 2015) diperoleh hasil bahwa nilai harga saham Apple.Inc untuk jangka panjang akan cenderung naik. Kata Kunci: Apple.Inc., kecenderungan, rantai Markov, saham
PENDAHULUAN Saham adalah surat berharga yang menunjukkan kepemilikan seseorang di dalam suatu perusahaan yang artinya jika seorang membeli saham suatu perusahaan, berarti dia telah menyertakan modal ke dalam perusahaan tersebut sebanyak jumlah saham yang dibeli (Fakhrudin,2008). Apple.Inc merupakan salah satu perusahaan yang menerbitkan sahamnya untuk membantu dalam pendanaan perusahaan. Apple.Inc merupakan perusahaan yang memperoduksi barang-barang elektronik yang sekarang sedang maju. Untuk membantu investor dalam pengambilan keputusan dalam berinvestasi di perusahaan Apple.Inc, maka investor membutuhkan data prediksi dari harga saham Apple.Inc. Banyak cara untuk memprediksi harga saham, seperti dengan metode Generalized auto regressive conditional (GARCH, exponential GARCH (EGARCH), dan non-linear GARCH (NAGARCH) (Shamiri, 209). Metode lain yang digunakan dalam meramalkan data
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 145
berbentuk history adalah Fuzzy times series . Metode ini digunakan dalam meramalkan produk domestik regional (Antara, 2011). Selain itu kecenderungan trend harga saham dapat dilakukan dengan rantai Makov (Doubleday, 2011). Namun Doubleday tidak merinci apakah syarat rantai Markov ergodik terpenuhi untuk menentukan peluang jangka panjang. Maka pada penelitian ini dianalisa lebih detil penggunaan rantai Markov dalam memprediksi kecenderungan nilai harga saham Apple.Inc berdasarkan data penutupan harga saham Apple.Inc selama dua tahun (periode 31 Desember 2013-31 Desember 2015 METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan kajian tentang rantai Markov, matriks peluang transisi, kemudian rantai markov ergodik sebagai syarat untuk memperoleh peluang jangka panjang dari rantai Markov yang selanjutnya diterapkan terhadap saham Apple.Inc. Diawali dengan beberapa pengertian dalam rantai Markov dan beberapa teorema terkait rantai Markov. Definisi 1. Misal {X(n), n = 0,1,2, …} proses stokastik waktu diskrit dengan ruang keadaan i = 0,1,2, …,jika 𝑋(0) = 𝑖 0 , 𝑋 (1) = 𝑖 1 , 𝑋 (2) 𝑃 {𝑋 (𝑛 + 1) = 𝑗 | } = 𝑖 2 , … , 𝑋 (𝑛 − 1) = 𝑖 𝑛−1 , 𝑋(𝑛) = 𝑖 = 𝑃 {𝑋 (𝑛 + 1) = 𝑗 | 𝑋(𝑛) = 𝑖} = 𝑝𝑖𝑗 untuk semua 𝑖 0 , 𝑖 1 , … , 𝑖 𝑛−1 , 𝑖, 𝑗 dan 𝑛, maka proses tersebut disebut rantai Markov waktu diskrit, dan 𝑝𝑖𝑗 disebut peluang transisi (Osaki, 1992). Matriks peluang transisi satu langkah dari suatu rantai Markov didefinisikan sebagai 𝑝00 𝑝01 𝑝02 𝑝 𝑝 𝑝 𝑷 = [𝑝𝑖𝑗 ] = [ 𝑝10 𝑝11 𝑝 12 20 21 22 ⋮ ⋮ ⋮ dimana 𝑝𝑖𝑗 ≥ 0 dan ∑∞ 𝑗=0 𝑝𝑖𝑗
… … ⋯] … = 1 , 𝑖, 𝑗 = 0, 1, 2, …
Keadaan i dan j dikatakan saling berkomunikasi jika keadan i dapat dicapai dari keadaan j dan sebaliknya, artinya terdapat bilangan bulat 𝑚 ≥ 0 dan 𝑚 𝑛 ≥ 0 sehingga 𝑝𝑖𝑗 > 0 dan 𝑝𝑗𝑖𝑛 > 0. Suatu rantai Markov yang hanya mempunyai satu kelas komunikasi dikatakan rantai Markov irreducible. Untuk rantai Markov irreducible, semua keadaan berkomunikasi satu sama lain.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 146
ISSN: 2580-1104
Suatu keadaan dapat kembali ke keadaan tersebut dengan pola berulang setelah n langkah atau kadang tidak berpola, yang disebut dengan periodisitas suatu keadaan. Periodisitas suatu keadaan, dinyatakan dengan 𝑑 (𝑖 ) ditentukan dengan faktor persekutuan terbesar dari semua bilangan bulat 𝑛 ≥ 1, sehingga 𝑝𝑖𝑖𝑛 > 0. Jika 𝑑(𝑖 ) = 1, keadaan i dikatakan aperiodik, dan jika 𝑑 (𝑖 ) > 1, keadaan i dikatakan periodik. 𝑛 Teorema 1. Keadaan i dikatakan recurrent jika dan hanya jika ∑∞ 𝑛=1 𝑝𝑖𝑖 = ∞ , 𝑛 keadaan i dikatakan transient jika dan hanya jika ∑∞ 𝑛=1 𝑝𝑖𝑖 < ∞
Definisi 2. Untuk suatu rantai Markov, semua keadaan recurrent diklasifikasikan menjadi positive (non-null) recurrent atau null recurrent dilihat dari 𝜇𝑗 < ∞ atau 𝜇𝑗 = ∞ dimana 𝑛 𝜇𝑗 = ∑∞ 𝑛=1 𝑛𝑓𝑗𝑗
menyatakan rata-rata waktu recurrent untuk keadaan j.
Rantai Markov dikatakan ergodic jika rantai markov tersebut irreducible, positive recurrent dan aperiodik. Dalam hal ini, 𝑓𝑖𝑗𝑛 menyatakan peluang keadaan i ke keadaan j pertama kali dalam n langkah. Dalam penggunaan definisi 2 ini pada prakteknya tidaklah mudah karena terkait deret yang memerlukan analisis konvergensinya. Untuk itu dapat menggunakan teorema berikut. 1
𝑛 Teorema 2. Jika keadaan j adalah recurrent dan aperiodik, maka 𝑝𝑗𝑗 →𝜇 , 𝑗
untuk 𝑛 → ∞. Teorema 3. Jika suatu rantai Markov adalah irreducible dan ergodic, maka 𝑛 terdapat limit peluang lim 𝑝𝑖𝑗 = 𝜋𝑗 , 𝑖, 𝑗 = 0, 1, 2, … yang tidak tergantung 𝑛→∞
pada keadaan awal i, dimana {𝜋𝑗 , 𝑗 = 0, 1, 2, … } adalah distribusi stasioner dari rantai Markov solusi unik dan positif dari 𝜋𝑗 = ∑∞ 𝑖 =0 𝜋𝑖 𝑝𝑖𝑗
, 𝑗 = 0, 1, 2, … dengan ∑∞ 𝑗=0 𝜋𝑗 = 1.
Langkah/alur penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 147
Mulai lai
Data Definisikan keadaan Matriks peluang transisi
Rantai Markov irreducible, positive recurrent, aperiodik?
tidak
ya Peluang jangka panjang
Selesai Gambar 1. Langkah Peneltian
HASIL DAN PEMBAHASAN Data penutupan harga saham Apple.Inc dari 31 Desember 2013 sampai 31 Desember 2015 dari www.google.com/finance dikategorikan ke dalam enam keadaan, dengan asumsi sebagai berikut. Misalkan x menyatakan selisih harga saham sekarang dengan satu hari yang lalu, maka definisikan: Keadaan 0: Untuk 𝑥 < −4 , maka dikatakan harga saham turun tinggi. Keadaan 1: Untuk −4 ≤ 𝑥 < −2 , maka dikatakan harga saham turun sedang. Keadaan 2: Untuk −2 ≤ 𝑥 < 0, maka dikatakan harga saham turun rendah. Keadaan 3: Untuk 0 < 𝑥 ≤ 2 poin, maka dikatakan harga saham naik rendah. Keadaan 4: Untuk 2 < 𝑥 ≤ 4 poin, maka dikatakan harga saham naik sedang. Keadaan 5: Untuk x > 4 poin, maka dikatakan harga saham naik tinggi.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 148
ISSN: 2580-1104
Selanjutnya setiap transisi dikelompokkan ke dalam tabel jumlah transisi dari keadaan i ke keadaan j yang dapat dilihat pada tabel 1, dengan 𝑖, 𝑗 = 0, 1, 2, 3, 4, 5. Tabel 1. Jumlah transisi dari keadaan i ke keadaan j dari data harga saham Apple.Inc.
(𝑗)
0
1
2
3
4
5
Jumlah
0
0
1
3
2
0
1
7
1
1
4
10
12
6
1
34
2
2
21
75
94
12
1
205
3
3
7
93
88
15
3
209
4
0
3
20
12
3
0
38
5
1
0
1
2
2
0
6
Jumlah
7
36 202 210 38
6
499
(𝑖)
Dari hasil tabel 1 diperoleh matriks peluang transisi satu langkah seperti berikut. 0 0.0294 𝑃 = 0.0096 0.0143 0 [0.1667
0.1429 0.1176 0.1024 0.0335 0.0789 0
0.4286 0.2942 0.3659 0.445 0.5264 0.1667
0.2856 0.3529 0.4586 0.4211 0.3158 0.3333
0 0.1765 0.0586 0.0718 0.0789 0.3333
0.1429 0.0294 0.0049 0.0143 0 0 ]
Langkah selanjutnya adalah memeriksa apakah rantai Markov ini ergodic (irreducible, positive recurrent, aperiodik) atau tidak. Jika ergodic, dapat ditentukan peluang jangka panjang dari setiap keadaan rantai Markov. Dari matriks peluang transisi terlihat bahwa semua keadaan saling berkomunikasi, dan hanya ada satu kelas komunikasi. Sehingga dikatakan rantai Markov irreducible. Dengan bantuan Matlab, diperoleh matriks peluang transisi 2,3,4, dan 5 langkah;
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 149
0.0362 0.0162 𝑃 2 = 0.0139 0.0137 0.0119 [0.0064
0.0703 0.0739 0.0709 0.0713 0.0799 0.0783
0.3498 0.4097 0.4039 0.4064 0.3979 0.4562
0.4149 0.399 0.4199 0.4247 0.4271 0.3697
0.1185 0.0871 0.0787 0.0727 0.0737 0.0599
0.0104 0.0141 0.0127 0.0112 0.0094 0.0294 ]
0.0131 0.0725 0.4129 0.0142 0.0732 0.4043 0.405 𝑃 3 = 0.0141 0.072 0.0139 0.0719 0.4047 0.0138 0.072 0.4046 [0.0169 0.074 0.3937
0.4111 0.4188 0.4201 0.421 0.4204 0.4231
0.0755 0.0773 0.0768 0.0764 0.0771 0.0816
0.0149 0.0122 0.0121 0.0121 0.0121 0.0107 ]
0.0145 0.0141 𝑃 4 = 0.014 0.014 0.014 [ 0.0138
0.0724 0.0722 0.0721 0.072 0.072 0.072
0.4032 0.4046 0.4048 0.4048 0.4048 0.4061
0.4206 0.4201 0.4203 0.4204 0.4203 0.4189
0.0774 0.0768 0.0767 0.0767 0.0767 0.0765
0.0119 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0126 ]
0.0139 0.014 𝑃 5 = 0.014 0.014 0.014 [0.0141
0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721
0.4049 0.4048 0.4048 0.4048 0.4048 0.4045
0.4201 0.4203 0.4203 0.4203 0.4203 0.4204
0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0768
0.0122 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 ]
Gunakan teorema 1 untuk melihat keadaan recurrent atau transient. Pertama akan diperiksa untuk keadaan 0. ∞ 𝑛 1 2 3 4 5 ∑ 𝑝00 = 𝑝00 + 𝑝00 + 𝑝00 + 𝑝00 + 𝑝00 +⋯ 𝑛=1
= 0 + 0.0362 + 0.0131 + 0.0145 + 0.0139 + ⋯ =∞ 𝑛 karena ∑∞ 𝑛=1 𝑝00 = ∞ , maka menurut teorema 1, keadaan 0 adalah recurrent.
Karena semua keadaan saling berkomunikasi, maka keadaan 1,2,3,4, dan 5 juga recurrent. Selanjutnya akan diperiksa periodisitas setiap keadaan. Pertama akan diperiksa untuk keadaan 0.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 150
ISSN: 2580-1104
1 𝑛 = 1 → 𝑝00 =0 2 𝑛 = 2 → 𝑝00 = 0.0362 > 0 3 𝑛 = 3 → 𝑝00 = 0.0131 > 0 4 𝑛 = 4 → 𝑝00 = 0.0145 > 0 5 𝑛 = 5 → 𝑝00 = 0.0139 > 0
𝑑 (0) = gcd{2, 3, 4, 5, … } = 1 karena 𝑑 (0) = 1, keadaan 0 adalah aperiodik. Karena semua keadaan saling berkomunikasi, maka semua keadaan aperiodik. Berikutnya akan diperiksa apakah setiap keadaan positive recurrent atau null-recurrent. Dengan menggunakan Matlab, dihitung matriks peluang transisi berpangkat n cukup besar sedemikian sehingga nilai entri matriks untuk setiap barisnya bernilai sama. 𝑷𝟏𝟎𝟎
0.014 0.014 = 0.014 0.014 0.014 [0.014
0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721
0.4048 0.4048 0.4048 0.4048 0.4048 0.4048
0.4203 0.4203 0.4203 0.4203 0.4203 0.4203
0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0767
0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121]
Karena setiap keadaan bersifat recurrent dan aperiodik, maka menurut 𝑛 teorema 2, 𝑝𝑗𝑗 →
1 𝜇𝑗
untuk 𝑛 → ∞, 𝑗 = 0, 1, 2, 3, 4, 5, sehingga diperoleh
𝜇 = [𝜇0 , 𝜇1 , 𝜇2 , 𝜇3 , 𝜇4 , 𝜇5 ] = [71.4286, 13.8696, 2.4704, 2.3794, 13.0378, 82.6446] Artinya semua keadaan positive recurrent, karena 𝜇𝑗 < ∞, untuk 𝑗 = 0,1,2,3,4,5. Jadi setiap keadaan adalah positive recurrent dan aperiodik, maka rantai Markov harga saham Apple.Inc merupakan rantai Markov yang ergodic. Selanjutnya peluang jangka panjang dari rantai Markov harga saham Apple.Inc. dapat ditentukan melalui matriks peluang transisi n (cukup besar) langkah yang menghasilkan entri baris yang sama. Dari hasil matriks peluang transisi 100 langkah, dihasilkan entri setiap baris yang sama, yakni
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 151
𝑷𝟏𝟎𝟎
0.014 0.014 = 0.014 0.014 0.014 [0.014
0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721 0.0721
0.4048 0.4048 0.4048 0.4048 0.4048 0.4048
0.4203 0.4203 0.4203 0.4203 0.4203 0.4203
0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0767 0.0767
0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121 0.0121]
Artinya peluang jangka panjang untuk rantai Markov harga saham Apple.Inc adalah 𝝅 = [𝜋0 , 𝜋1 , 𝜋2 , 𝜋3 , 𝜋4 , 𝜋5 ] = [0.014, 0.0721, 0.4048, 0.4203, 0.0767, 0.0121]. Untuk jangka panjang, peluang harga saham turun tinggi sebesar 1,4%, peluang harga saham turun sedang sebesar 7.21%, peluang harga saham turun rendah sebesar 40.48%, peluang harga saham naik rendah sebesar 42.03%, peluang harga saham naik sedang sebesar 7.67%, dan peluang harga saham naik tinggi sebesar 1.21%. KESIMPULAN Dilihat dari prediksi harga saham Apple.Inc menggunakan rantai Markov, untuk jangka panjang harga saham cenderung naik dengan kategori naik rendah. Untuk itu investor masih direkomendasikan untuk berinvestasi di perusahaan Apple.Inc karena harga sahamnya cenderung naik walaupun dengan kenaikan yang tidak terlalu tinggi, tetapi dapat menguntungkan investor. DAFTAR PUSTAKA Antara, I Made Aryana, I Putu Eka N. Kencana, I Komang Gede Sukarsa. (2014). Komparasi Kinerja Fuzzy Time Series dengan Model Rantai Markov dalam Meramalkan Produk Domestik Regional Bruto Bali. EJurnal Matematika, 3 (3): 116-122 Doubleday, Kevin J., Julius N. Esunge. (2011). Application of Markov Chains to Stock Trends. Journal of Mathematics and Statistics, 7 (2): 103-106 Fakhruddin, Hendy M. (2008). Tanya Jawab Pasar Modal Untuk SMA. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia Jakarta Osaki, Shunji. (1992). Applied Stochastic System Modeling. Berlin : SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Shamiri, Ahmed dan Zaidi Isa. (2009). Modeling and Forecasting Volatility of the Malaysian Stock Markets, 5(3): 234-240
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 152
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-06 PEMODELAN INFLASI KOTA DUMAI, PEKANBARU, DAN BATAM DENGAN PENDEKATAN GENERALIZED SPACE-TIME AUTOREGRESSIVE (GSTAR) Gama Putra Danu Sohibien 1 1 Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik
[email protected] Abstrak
Inflasi harus dapat dikendalikan oleh pemerintah karena dapat membuat stabilitas perekonomian terganggu. Inflasi di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh permintaan masyarakat terhadap komoditas yang berasal dari wilayah itu sendiri, juga bisa dipengaruhi oleh permintaan terhadap komoditas yang dihasikan dari wilayah lain. Adanya ketergantungan antar wilayah dalam pemenuhan kebutuhan komoditas mengakibatkan inflasi tidak hanya berkaitan dengan waktu sebelumnya namun juga berkaitan dengan wilayah lain yang disebut hubungan spasial. Model GSTAR adalah model yang memperhatikan efek spasial. Penelitian ini dibatasi untuk pemodelan inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam. Ketiga kota tersebut mempunyai jarak yang berdekatan. Selain itu Pekanbaru dan Dumai merupakan kota yang berada di Provinsi Riau, sedangkan Batam pernah menjadi bagian dari Provinsi Riau. Hasil identifikasi dengan minimum information criterion dari model Vector Autoregressive Moving Average (VARMA) menunjukkan bahwa model GSTAR yang tepat untuk memodelkan inflasi ketiga kota tersebut, adalah GSTAR (11). Berdasarkan hasil penghitungan Root Mean Square Error (RMSE) dan Mean Absolute Error (MAE) pada data testing disimpulkan bahwa ketepatan peramalan inflasi ketiga kota dengan GSTAR (11) bobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibanding GSTAR (11) bobot seragam. Kata Kunci: Inflasi, GSTAR, Seragam, Korelasi Silang
PENDAHULUAN Inflasi, adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli masyarakat yang diakibatkan oleh kenaikan hargaharga secara umum. Inflasi merupakan salah satu masalah perekonomian karena dapat memberikan dampak yang buruk pada variabel-variabel ekonomi makro lainnya. Inflasi yang tinggi mengakibatkan tingginya biaya produksi di suatu wilayah sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Hal ini berdampak pada berkurangnya tingkat kesempatan kerja. Selain itu adanya kenaikan harga yang tercermin pada angka inflasi merupakan salah satu indikator yang menggambarkan stabilitas ekonomi secara makro di
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 153
suatu wilayah (Rosidi dan Sugiharto, 2005). Oleh Karena itu inflasi sering
menjadi target kebijakan pemerintah. Model time series yang paling populer dan banyak digunakan dalam peramalan data time series univariate adalah model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Penelitian-penelitian sebelumnya tentang pemodelan inflasi yang menggunakan model ARIMA sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah Tripena (2011), Djawoto (2009), dan Wulandari dkk (2016). Dalam model ARIMA, peramalan dilakukan dengan menggunakan data yang sama pada masa lalu. Dalam perkembangannya, peramalan inflasi tidak hanya didasarkan pada data historis tingkat inflasi saja, namun juga memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi tingkat inflasi dan kejadian-kejadian tertentu yang menimbulkan lonjakan inflasi (Adisti dalam Wulandari (2016)). Salah satu hal yang bisa mempengaruhi inflasi di suatu wilayah yaitu adanya ketidakseimbangan antara permintaan suatu komoditas terhadap pasokan (Hasbullah, 2012). Adanya ketidakmampuan suatu wilayah dalam memenuhi seluruh permintaan masyarakat menyebabkan komoditas yang digunakan untuk memenuhi permintaan masyarakat tidak hanya berasal dari produksi di wilayah tersebut saja melainkan ada beberapa komoditas yang dipasok dari wilayah sekelilingnya. Hal ini menimbulkan adanya ketergantungan antar wilayah dalam pemenuhan kebutuhan komoditas. Dengan demikian pergerakan inflasi selain memiliki keterkaitan pada waktu sebelumnya, juga bisa memiliki keterkaitan dengan wilayah lainnya yang disebut sebagai hubungan spasial. Adanya hubungan spasial antar wilayah belum terakomodir dalam model ARIMA. Model yang juga dapat mengakomodir keterkaitan antara antara variabel suatu wilayah dengan variabel yang sama wilayah lain adalah Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR). Beberapa penelitian yang sudah menerapkan model GSTAR diantaranya Anggraeni, Prahutama, dan Andari (2013), Nurhayati, Pasribu, dan Neswan (2012), Latupeirissa, Nainggolan, dan Tohap Manurung (2014), dan Rani, Kusdarwati, Sumarminingsih (2013). Berdasarkan gambaran mengenai pentingnya pengendalian inflasi dan kelebihan model GSTAR dalam menangkap hubungan spasial yang terjadi antar wilayah, maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemodelan inflasi dengan menggunakan pendekatan GSTAR. Pada penelitian ini dibatasi untuk pemodelan inflasi di Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam. Ketiga kota tersebut mempunyai jarak yang berdekatan dan memiliki akses transportasi untuk berhubungan antar wilayah. Selain itu Pekanbaru dan Dumai merupakan Kota yang berada di Provinsi Riau, sedangkan Batam pernah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 154
ISSN: 2580-1104
menjadi bagian dari Provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam dengan pendekatan GSTAR bobot seragam dan normalisasi korelasi silang. Selain itu penelitian ini juga bertujuan menentukan model GSTAR terbaik di antara GSTAR bobot seragam dan GSTAR normalisasi korelasi silang untuk memodelkan inflasi di ketiga kota tersebut METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini, adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, yaitu inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam dari Januari 2009 – September 2015. Data inflasi Januari 2009Desember 2014 akan digunakan sebagai data training, dimana dengan menggunakan data tersebut akan dibuat model GSTAR dengan menggunakan bobot seragam dan bobot normalisasi korelasi silang. Sedangkan data inflasi Januari-September 2015 akan digunakan sebagai data testing untuk membandingkan model GSTAR bobot seragam dengan model GSTAR bobot normalisasi korelasi silang. Ada tiga variabel yang dipakai pada penelitian ini, yaitu Inflasi Dumai (Y1(t)), Inflasi di Pekanbaru (Y2(t)), dan Inflasi di Batam (Y3(t) ) MODEL GSTAR Model GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregressive (STAR) yang juga merupakan spesifikasi dari model Vector Autoregressive (VAR). Perbedaan yang mendasar antara model GSTAR dan model STAR terletak pada pengasumsian parameternya. Model STAR mengasumsikan lokasi-lokasi yang digunakan dalam penelitian adalah sama, sehingga model ini hanya dapat diterapkan pada lokasi yang bersifat seragam. Sedangkan pada model GSTAR terdapat asumsi yang menyatakan lokasi-lokasi penelitian yang bersifat heterogen, sehingga perbedaan antar lokasi ini ditunjukkan dalam bentuk matriks pembobot. Model GSTAR dengan derajat autoregressive p dan derajat spasial 𝜆 1, 𝜆 2 , ...., 𝜆 𝑝 , dapat ditulis sebagai berikut: 𝑝
𝑌(𝑡) = ∑[𝜙𝑘0 + 𝜙𝑘1 𝑊]𝑌(𝑡 − 𝑘) + a(t) 𝑘=1
dimana, • Φk0= diag(𝜙1𝑘0 , … , 𝜙𝑛𝑘0 ) matriks diagonal parameter autoregressive lag time k
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 155
• • •
Φki = diag(𝜙1𝑘1 , … , 𝜙𝑛𝑘1 ) matriks diagonal space-time lag spasial 1 dan lag time k (𝑘) 𝑘 Pembobot dipilih sedemikian hingga 𝑤𝑖𝑗 = 0 dan ∑𝑖 ≠𝑗 𝑤𝑖𝑗 =1 2 𝑎(𝑡)~𝑁(0, 𝜎 𝐼𝑛𝑥𝑛 )
Persaman model GSTAR untuk orde waktu 1, orde spasial 1, dan menggunakan 3 lokasi yang berbeda, adalah sebagai berikut: 𝑌1 (𝑡) ф10 [𝑌2 (𝑡)] = [ 0 0 𝑌3 (𝑡)
0 0 𝑌1 (𝑡 − 1) ф20 0 ] [𝑌2 (𝑡 − 1)] 0 ф30 𝑌3 (𝑡 − 1) ф11 0 0 𝑎1 (𝑡) 0 𝑤12 𝑤13 𝑌1 (𝑡 − 1) 0 ф 0 𝑤 0 𝑤 𝑌 (𝑡 − 1) +[ ] [ 21 ] + [𝑎 2 (𝑡)] 21 23 ] [ 2 0 0 ф31 𝑤31 𝑤32 0 𝑌3 (𝑡 − 1) 𝑎 3 (𝑡)
PEMBOBOTAN LOKASI Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan pembobotan dari tiga lokasi yang diteliti, yaitu: 1. Bobot Lokasi Seragam Penentuan nilai bobot dalam lokasi seragam, adalah sebagai berikut: 𝑤𝑖𝑗 =
1 𝑛𝑖
Dengan 𝑛𝑖 merupakan banyaknya lokasi yang berdekatan dengan lokasi ke-i. Sehingga matriks pembobot untuk tiga lokasi, adalah sebagai berikut: 0 1/2 1/2 𝑤𝑖𝑗 = [1/2 0 1/2 ] 1/2 1/2 0
2. Bobot Lokasi Invers jarak Pembobotan dilakukan berdasarkan jarak sebenarnya antar lokasi di lapangan. Penghitungan bobot dengan metode invers jarak diperoleh dari hasil invers jarak sebenarnya kemudian dinormalisasi 3. Bobot Lokasi Normalisasi Korelasi Silang pembobotan dengan metode ini menggunakan hasil normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag yang bersesuaian. Taksiran dari korelasi silang pada sampel dapat dihitung dengan persamaan berikut: 𝑟𝑖𝑗 (𝑘) =
∑𝑛𝑡=𝑘+1[𝑌𝑖 (𝑡) − 𝑌̅𝑖 ][𝑌𝑗 (𝑡 − 𝑘) − 𝑌̅𝑗 ] 2
√( ∑𝑛𝑡=1(𝑌𝑖 (𝑡) − 𝑌̅𝑖 )2 ) ( ∑𝑛𝑡=1 (𝑌𝑗 (𝑡) − 𝑌̅𝑗 ) )
Penentuan bobot lokasi dapat dilakukan melalui normalisasi dari hasil besaran-besaran korelasi silang antar lokasi pada waktu yang bersesuaian.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 156
ISSN: 2580-1104
Proses ini secara umum menghasilkan bobot lokasi untuk model GSTAR , yaitu sebagai berikut: 𝑤𝑖𝑗 =
dengan i≠j dan i≠k
𝑟𝑖𝑗 (1) 𝐿 ∑𝑘=1 𝑟𝑖𝑘 (1)
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pembobotan dengan metode seragam dan metode normalisasi korelasi silang. PENAKSIRAN PARAMETER MODEL GSTAR Sebagai contoh, adalah GSTAR(1 1) dengan lokasi sebanyak 3. Struktur data untuk estimasi parameter modelnya, adalah: 𝑌1(𝑡) [𝑌2 (𝑡)] 𝑌3 (𝑡) ф10 ф20 𝑌1 (𝑡 − 1) 0 0 𝑌1∗ (𝑡 − 1) 0 0 ф 0 𝑌2 (𝑡 − 1) 0 0 𝑌2∗ (𝑡 − 1) 0 =[ ] 30 ф11 0 0 𝑌3 (𝑡 − 1) 0 0 𝑌3∗ (𝑡 − 1) ф21 [ф31 ] 𝑎1 (𝑡) + [𝑎 2 (𝑡)] 𝑎 3 (𝑡)
Dimana: ′
(𝑌𝑖 (𝑡)) = [𝑌𝑖2 𝑌𝑖3 𝑌𝑖4 … 𝑌𝑖𝑛] ′
(𝑌𝑖 (𝑡 − 1)) = [𝑌𝑖1 𝑌𝑖2 𝑌𝑖3 … 𝑌𝑖( 𝑛−1) ] (𝑌1∗ (𝑡 − 1))′ = [𝑤12 𝑌21 + 𝑤13 𝑌31 𝑤12 𝑌22 + 𝑤13 𝑌32 … 𝑤12 𝑌2(𝑛−1) + 𝑤13 𝑌3(𝑛−1)]
n, adalah banyaknya series data. Berdasarkan matriks di atas, nilai taksiran (ф10 ф20 ф30 ф11 ф21 ф31 ) dapat dihitung dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). TAHAPAN ANALISIS Tahapan analisis yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu: 1. Melakukan analsisis deskriptif tentang ukuran pemusatan dan penyebaran data, pola time series plot, dan ada atau tidaknya keterkaitan inflasi antar kota.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 157
2. Melakukan pengujian stasioneritas data secara multivariate dengan melihat plot MACF dan secara univariate dengan melihat time series plot dan uji unit root Augmanted Dickey-Fuller 3. Menentukan orde input berdasarkan minimum information criterion. 4. Menetapkan nilai bobot lokasi seragam dan bobot lokasi berdasarkan normalisasi korelasi silang. 5. Melakukan penaksiran parameter dari model GSTAR untuk bobot lokasi seragam dan bobot lokasi berdasarkan normalisasi korelasi silang. 6. Menguji signifikansi estimator parameter model GSTAR untuk masingmasing bobot lokasi. 7. Menguji asumsi kenormalan dan white noise dari residual 8. Menghitung Root Mean Square Error (RMSE) dan Mean Absolut Error (MAE) dari model GSTAR bobot lokasi seragam dan bobot normalisasi korelasi silang dengan menggunakan data testing. 9. Membandingkan model GSTAR bobot seragam dan GSTAR bobot normalisasi korelasi silang dalam melakukan peramalan data inflasi pada periode data testing. 10. Membandingkan Plot time series inflasi aktual dengan inflasi hasil prediksi dengan model GSTAR terbaik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS DESKRIPTIF Tabel 1 menunjukan bahwa selama Januari 2009-Desember 2014, Kota Dumai memiliki inflasi tertinggi sebesar 2,94 persen dengan tingkat keragaman inflasinya paling tinggi diantara dua kota lainnya. Kota Pekanbaru mempunyai tingkat inflasi tertinggi sebesar 2,1 persen. Sedangkan Kota Batam mempunyai tingkat inflasi tertinggi sebesar 2,69 persen. Batam memiliki keragaman inflasi yang paling rendah dibandingkan dengan dua kota lainnya. Kota dengan rata-rata inflasi inflasi tertinggi, adalah Pekanbaru, sedangkan yang terendah, adalah Kota Batam. Tabel 1. Statistik Deskriptif Data Inflasi Dumai, Batam, dan Pekanbaru Kota Dumai Pekanbaru Kota Batam
Mean 0,45 0,47 0,41
Variance 0,70 0,40 0,32
Min -2,34 -0,92 -0,61
Maks 2,94 2,1 2,69
Gambar 1a menunjukan fluktuasi inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam. Selama Januari 2009-Desember 2014 inflasi tertinggi Kota Dumai terjadi di bulan Juli 2010. Hal ini dipicu akibat adanya kenaikan tarif dasar
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 158
ISSN: 2580-1104
listrik (TDL) pada bulan tersebut. Pada bulan Juli 2013 inflasi di ketiga kota terlihat cukup tinggi sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 22 Juni 2013, di mana kota yang paling merasakan dampaknya adalah Kota Batam. Adanya kenaikan harga BBM pada bulan November 2014 kembali memicu inflasi di ketiga kota tersebut. Kenaikan BBM di November 2014 memberikan dampak pada bulan itu juga pada kenaikan inflasi di Kota Dumai dan Pekanbaru. Sementara Kota Batam baru merasakan dampak kenaikan BBM pada bulan Desember 2014 yang merupakan inflasi tertinggi selama Januari 2009-Desember 2014. Adanya kesamaan pola inflasi tahunan seperti gambar 1b di ketiga kota tersebut menjadi salah satu indikasi bahwa inflasi di ketiga kota tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Jul/2010
Jul/2013
9
Dec/2014
3
Variable Dumai Pek anbaru Batam
2
7 6
Data
1
Data
Variable Dumai Pek anbaru Batam
8
0
5 4 3
-1
2 -2
1 0
-3 Month Jan Year 2009
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
2009
Jan 2014
2010
2011
2012
2013
2014
Year
(a)Inflasi Bulanan
(b) Inflasi Tahunan
Gambar 1. Time Series Plot Data Inflasi di Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam
IDENTIFIKASI MODEL GSTAR Identifikasi pemodelan GSTAR di awali dengan melihat apakah data inflasi ketiga kota tersebut sudah stasioner atau belum. Stasioneritas secara multivariate dapat dilihat dari plot MACF di gambar 2. Data inflasi sudah stasioner dalam mean dan varian secara multivariate. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya simbol (.) yang mengindikasikan bahwa tidak adanya korelasi yang terlalu signifikan dan simbol (+) (-) pada plot MACF hanya keluar pada lag tertentu. Selain itu gambar 2 juga menunjukan bahwa inflasi di kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam untuk waktu yang bersesuaian memiliki keterkaitan yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari simbol cross correlation yang sampai dengan lag 1 untuk selain diagonal variabel yang bersangkutan hanya ada 1 saja yang tidak bertanda “ + “. Schematic Representation of Cross Correlations Variable/ Lag 0 y1 +++ y2 +++ y3 +++
1 +++ +++ .++
2 ... ... ...
3 --. --. ...
4 ... ... ...
5 ... ... ...
+ is > 2*std error,
6 .+. +.. ...
7 ... ... ...
8 ... ... ---
9 ... ... ...
10 ... ... ...
11 ... ... ...
12 ... .+. ...
- is < -2*std error, . is between
Gambar 2. Plot MACF Data Inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 159
Uji stasioneritas secara univariate dapat dilihat dari uji statistik Augmented Dickey Fuller pada tabel 2. Ketiga data inflasi sudah stasioner karena memiliki nilai p-value kurang dari taraf uji 5 persen (α=0,05). Tabel 2 Uji Stasioneritas Data Inflasi dengan Metode Augmented Dickey Fuller
Jenis Variabel Y1 Y2 Y3
t-statistic -4.5459 -3,9691 -3,1134
p-value 0,0000 0,0001 0,0023
Penentuan orde waktu model GSTAR penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai MIC terkecil yang dihasilkan dari model VARMA. Sedangkan orde spasial pada penelitian ini dibatasi pada orde 1. Dari gambar 3 ditunjukan bahwa model VARMA yang mempunyai nilai MIC terkecil yaitu VARMA (1,0,0). Dengan demikian model GSTAR yang digunakan dalam penelitian ini dalah GSTAR(11). Lag MA 5 AR 0 -3.589045 AR 1 -3.878898 AR 2 -3.49765 AR 3 -3.074166 AR 4 -2.67882 AR 5 -2.094172
MA 0
MA 1
MA 2
MA 3
MA 4
-4.014528
-3.911088
-3.830622
-3.880445
-3.711128
-4.611524
-4.253107
-4.156838
-4.165816
-3.985419
-4.517967
-4.257429
-4.063084
-3.912023
-3.809906
-4.453258
-4.099139
-3.811835
-3.594176
-3.368236
-4.33651
-4.098348
-4.239433
-3.674359
-3.988559
-3.614814
-3.367636 -3.146455
-2.98367 -2.67587
Gambar 3. Output Minimum Information Criterion (MIC) Model VARMA dengan Software SAS PEMODELAN GSTAR Model GSTAR pertama yang dibuat adalah model GSTAR dengan bobot seragam. Berdasarkan hasil estimasi parameter dengan metode ordinary least square output estimasi parameter modelnya, sebagai berikut: Predictor Coef Noconstant X1 0.3018 X2 -0.1439 X3 0.2134 X4 0.3316 X5 0.8742 X6 0.4171 S = 0.659722
SE Coef
T
P
0.1525 0.2332 0.2211 0.2138 0.2438 0.1693
1.98 -0.62 0.96 1.55 3.59 2.46
0.049 0.538 0.336 0.122 0.000 0.015
VIF 3.304 5.170 3.104 3.304 5.170 3.104
Durbin-Watson statistic = 1.77889
Gambar 4. Output Estimasi Koefisien Parameter GSTAR bobot seragam dengan Software Minitab
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 160
ISSN: 2580-1104
Keterangan: X1 adalah variabel Inflasi Dumai pada t-1 (Y1(t-1)) X2 adalah variabel Inflasi Pekanbaru pada t-1 (Y2(t-1)) X3 adalah variabel Inflasi Batam pada t-1 (Y3(t-1)) X4 adalah 𝑤12 𝑌2𝑖 + 𝑤13 𝑌3𝑖 X5 adalah 𝑤21 𝑌1𝑖 + 𝑤31 𝑌3𝑖 X6 adalah 𝑤31 𝑌1𝑖 + 𝑤32 𝑌2𝑖
Bentuk Umum Model GSTAR (1 1) dengan bobot seragam yang dihasilkan, adalah Y = 0,3018 X1 – 0,1439 X2 + 0,2134 X3 + 0,3316 X4 + 0,8742 X5 + 0,4171 X6 + at Dari gambar 4 dapat diinterpretasikan bahwa inflasi Kota Dumai signifikan dipengaruhi oleh inflasi satu bulan sebelumnya dengan taraf uji 5 persen. Sedangkan inflasi Pekanbaru dan Batam tidak signifikan dipengaruhi oleh inflasi kota masing-masing satu bulan sebelumnya. Dari X4, X5, dan X6, hanya X5 dan X6 yang signifikan, artinya inflasi Kota Pekanbaru signifikan dipengaruhi oleh inflasi Kota Dumai dan Batam satu bulan sebelumnya, sedangkan inflasi Kota Batam signifikan dipengaruhi oleh inflasi Kota Dumai dan Pekanbaru satu bulan sebelumnya. Berikut ini adalah model GSTAR dengan bobot seragam untuk untuk ketiga kota. 1. Persamaan Model GSTAR(11) untuk Kota Dumai Y1(t) = 0.3018 Y1 (t-1) +1,658 Y2(t-1) + 1,658 Y3 (t-1)) + a1(t) 2. Persamaan Model GSTAR(1 1) untuk Kota Pekanbaru Y2(t) = -0,1439 Y2 (t-1) + 0,4371 Y1(t-1) + 0,4371 Y3 (t-1)) + a2(t) 3. Persamaan Model GSTAR(1 1) untuk Kota Batam Y3(t) = 0,2134 Y3 (t-1) + 0,2086 Y1(t-1)+0,2086 Y2 (t-1)) + a3(t) Model GSTAR yang selanjutnya dibuat adalah GSTAR bobot normalisasi korelasi silang. Bobot normalisasi korelasi silang yang diperoleh adalah: 0 𝑤𝑖𝑗 = [0,6002 0,5212
0,5553 0 0,4788
0,4447 0,3998 ] 0
Hasil estimasi parameter dari model GSTAR dengan bobot normalisasi korelasi silang adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 161
Predictor Coef Noconstant X1 0.2987 X2 -0.1266 X3 0.2181 X4 0.3311 X5 0.8212 X6 0.4119 S = 0.659223 Durbin-Watson statistic =
SE Coef
T
P
0.1542 0.2263 0.2197 0.2134 0.2259 0.1674
1.94 -0.56 0.99 1.55 3.64 2.46
0.054 0.576 0.322 0.122 0.000 0.015
VIF 3.379 4.876 3.068 3.379 4.876 3.068
1.77744
Gambar 5. Output Estimasi Koefisien Parameter GSTAR Bobot Normalisasi Korelasi Silang dengan Software Minitab Bentuk umum model GSTAR (11) dengan bobot normalisasi korelasi silang yang dihasilkan, yaitu Y = 0,2987 X1 – 0,1266 X2 + 0,2181 X3 + 0,3311 X4 + 0,8212 X5 + 0,4119 X6 + at Hasil pemodelan GSTAR dengan bobot normalisasi korelasi silang memberikan hasil bahwa X5 dan X6 signifikan dengan taraf uji 5 persen, artinya inflasi Kota Pekanbaru dipengaruhi oleh inflasi Kota Dumai dan Batam satu bulan sebelumnya, sedangkan inflasi Kota Batam dipengaruhi oleh inflasi Kota Dumai dan Pekanbaru satu bulan sebelumnya. Berikut ini adalah model GSTAR dengan bobot normalisasi korelasi silang untuk ketiga kota: 1. Persamaan Model GSTAR(1 1) untuk Kota Dumai Y1(t) = 0,2987 Y1 (t-1) + 0,1839 Y2(t-1) + 0,1472Y3 (t-1)) + a1(t) 2. Persamaan Model GSTAR(1 1) untuk Kota Pekanbaru Y2(t) = -0,2166 Y2 (t-1) + 0,4929 Y1(t-1) + 0,3283 Y3 (t-1)) + a2(t) 3. Persamaan Model GSTAR(1 1) untuk Kota Batam Y3(t) = 0,2181 Y3 (t-1) + 0,2147 Y1(t-1) + 0,1972 Y2 (t-1)) + a3(t) Langkah selanjutnya adalah menguji apakah residual model sudah memenuhi asumsi kenormalan dan white noise. Pengujian asumsi kenormalan residual dilakukan dengan menggunakan Q-Q plot sedangkan pengujian asumsi white noise dilakukan dengan memodelkan residual yang dihasilkan ke dalam bentuk VARMA . Dari hasil pengujian dengan QQ plot disimpulkan bahwa residual model GSTAR dengan bobot seragam dan bobot normalisasi korelasi silang sudah berdistribusi multivariate normal.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 162
ISSN: 2580-1104
Berdasarkan gambar 6 dan 7 dapat dilihat bahwa nilai MIC terkecil untuk model VARMA dari residual GSTAR bobot seragam dan bobot normalisasi korelasi silang adalah VARMA (0,0). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa residual kedua model tersebut sudah memenuhi asumsi white noise.
Minimum Information Criterion Lag MA 5 AR 0 4.313952 AR 1 3.981048 AR 2 3.646797 AR 3 3.255874 AR 4 2.760907 AR 5 2.303201
MA 0
MA 1
MA 2
MA 3
MA 4
-5.014278
-4.595466
-4.537333
-4.593765
-4.405134
-
-4.750522
-4.463189
-4.343523
-4.317485
-4.232061
-
-4.740506
-4.417154
-4.165861
-4.113342
-3.934408
-
-4.704417
-4.279917
-4.03357
-3.747764
-3.591195
-
-4.553032
-4.204587
-3.910859
-3.472952
-3.136763
-
-4.377539
-4.131096
-3.71276
-3.241583
-2.734607
-
Gambar 6. Nilai MIC Model VARMA dari Residual GSTAR Bobot Seragam Minimum Information Criterion Lag MA 5
MA 0
MA 1
MA 2
MA 3
MA 4
AR 0 4.289398 AR 1 3.97394 AR 2 3.655064 AR 3 3.375449 AR 4 2.789985 AR 5 2.301348
-5.033931
-4.585774
-4.516511
-4.572453
-4.391907
-4.764982
-4.474713
-4.334234
-4.305304
-4.219415
-4.719798
-4.389225
-4.106738
-4.092008
-3.908543
-
-4.694821
-4.268691
-4.010965
-3.736314
-3.580511
-
-4.555773
-4.19878
-3.90475
-3.481372
-3.132213
-
-4.38458
-4.125329
-3.71124
-3.239713
-2.725136
-
-
Gambar 7. Nilai MIC Model VARMA dari Residual GSTAR Bobot Normalisasi Korelasi Silang PERBANDINGAN MODEL GSTAR Kriteria yang digunakan untuk membandingkan GSTAR bobot seragam dengan GSTAR bobot normalisasi korelasi silang adalah dengan menggunakan nilai MAE dan RMSE yang dihitung dengan menggunakan residual dari periode testing. Perbandingan nilai RMSE dan MAE antara model GSTAR(11) dengan bobot seragam dan GSTAR (1 1) dengan bobot
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 163
normalisasi korelasi silang dapat dilihat di gambar 8. Model GSTAR (1 1) dengan bobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibandingkan GSTAR dengan bobot seragam. Hal ini dilihat dari nilai MAE model GSTAR bobot normalisasi korelasi silang untuk ketiga kota lebih rendah dibandingkan GSTAR bobot seragam. Sedangkan dilihat dari nilai RMSE, hanya RMSE GSTAR (11) bobot seragam Kota Batam saja yang lebih rendah dibandingkan RMSE GSTAR bobot korelasi silang. Namun perbedaan nilainya sangat kecil sekali yaitu 0,0011. Berdasarkan hasil perbandingan model dengan menggunakan MAE dan RMSE dapat disimpulkan bahwa ketepatan peramalan GSTAR (1 1) bobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibanding GSTAR (11) bobot seragam. 1
1
0,8453
0,8
0,8
0,6559
0,6
0,5014
0,4
0,4
0,2
0,2
0
0
Dumai
Pekanbaru
Bobot seragam
0,8011 0,8022
0,6635 0,6559
0,6203
0,5812
0,6
0,9053 0,8453
0,8022
Dumai
Batam
Pekanbaru
Batam
Bobot Seragam
Bobot normalisasi korlasi silang
Bobot normalisasi korlasi silang
(a) Nilai MAE
(b) Nilai RMSE
Gambar 8. Perbandingan MAE dan RMSE antara Model GSTAR Bobot Seragam dengan GSTAR Bobot Normalisasi Korelasi Silang
Berikut adalah perbandingan data inflasi aktual dengan prediksi inflasi hasil pemodelan GSTAR(1 1) dengan bobot normalisasi korelasi silang. 3
2.5
Variable dumai_ak tual dumai_pred
Variable pek anbaru_ak tual pek anbaru_pred
2.0
2 1.5 1.0
Data
Data
1 0
0.5 0.0
-1
-0.5
-2 -3 Month Jan Year 2009
-1.0
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
(a) Dumai
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 164
Month Year
Jan 2009
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
(b) Pekanbaru
ISSN: 2580-1104
3
Variable batam_ak tual batam_pred
Data
2
1
0
-1 Month Jan Year 2009
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
(a) Batam Gambar 9. Perbandingan Time Series Plot Inflasi dengan Ramalan Prediksi Inflasi dengan GSTAR Bobot Normalisasi Korelasi Silang
Dari gambar 9 dapat dilihat beberapa perbedaan hasil prediksi dengan data aktual yang cukup besar diantaranya Kota Batam pada Juli 2013 dan Desember 2014, Kota Pekanbaru pada bulan Juli 2013 dan November 2014 dan Kota Dumai pada bulan Juli 2010. Fenomena yang bisa ditangkap dari perbedaan tersebut adalah pada bulan Juni 2013 terjadi kenaikan harga BBM yang memberikan dampak pada inflasi Kota Batam dan Pekanbaru pada Juli 2013. Kenaikan harga di bulan November 2014 memberikan dampak langsung terhadap inflasi Pekanbaru dan inflasi Kota Batam pada Desember 2014. Sementara itu kenaikan TDL 2010 memberikan dampak langsung terhadap inflasi Kota Dumai. Terjadinya fenomena-fenomena seperti ini menyebabkan terjadi perbedaan yang cukup besar antara data aktual dengan hasil prediksi model GSTAR pada beberapa periode. KESIMPULAN Salah satu indikasi bahwa inflasi di ketiga kota tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yaitu adanya kesamaan pola inflasi tahunan. Berdasarkan plot MACF dapat disimpulkan bahwa inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam untuk waktu yang bersesuaian memiliki keterkaitan yang cukup tinggi. Model GSTAR yang cocok untuk memodelkan inflasi Kota Dumai, Pekanbaru, dan Batam adalah GSTAR(11). Berdasarkan nilai RMSE dan MAE dengan menggunakan residual data testing disimpulkan bahwa model GSTAR (11) dengan bobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibandingkan GSTAR (1 1) dengan bobot seragam. Berdasarkan hasil pengujian signifikansi estimator parameter model GSTAR (1 1) dengan bobot normalisasi korelasi silang dapat disimpulkan bahwa inflasi Kota Pekanbaru signifikan dipengaruhi oleh Inflasi Kota Dumai dan Batam satu bulan sebelumnya. Selain itu inflasi Kota Batam juga signifikan dipengaruhi oleh inflasi Kota Dumai dan Pekanbaru satu bulan sebelumnya.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 165
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Prahutama, dan Andari. (2013). Aplikasi Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) pada Pemodelan Volume Kendaraan Masuk Tol Semarang. Media Statistika, Vol 6, No.2, Desember 2013: 71-80 Djawoto. (2009). Peramalan Laju Inflasi dengan Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Ekuitas Vol 14 No.4 Desember 2010:524-538 Hasbullah, J. (2012). Tangguh dengan Statistik akurat dalam membaca Realita Dunia. penerbit Nuansa Cendikia Latupeirissa, Nainggolan, dan Tohap Manurung. (2014). Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) Orde 1 dan Penerapannya pada Prediksi Harga Beras di Kota Bitung, Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Minahasa Selatan. JdC, Vol3, No.1 Maret 2014. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=146201&val=10 12 Rani, Kusdarwati, Sumarminingsih. (2013). Pemodelan Generalized Space Time Autoregressive (Penerapan pada Data Angka Kesakitan Penyakit ISPA di Kota Malang). Jurnal Mahasiswa Statistik,Vol 1 , No 2. Diakses dari http://statistik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/statistik/article/vie w/35/36 Rosidi, A., Riduan dan Sugiharto. (2005). Metode Pengukuran Inflasi di Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Suhartono dan Atok, R.M.(2006). Pemilihan Bobot Lokasi yang Optimal pada Model GSTAR. Presented at National Mathematics Conference XIII, UNS, Semarang Tripena. (2011). Peramalan Indeks Harga Konsumen dan Inflasi dengan Metode ARIMA Box-Jenkins, Magistra No.75 Th. XXIII Maret 2011. Wei, W.W.S. (2006). Time Series Analysis Univariate and Multivariate Method, Second Edition. Pearson Addison Wesley, USA Wulandari, dkk. (2016). Peramalan Inflasi Kota Surabaya dengan Pendekatan ARIMA, Variasi Kalender dan Intervensi. Jurnal Sains dan Seni Vol 5, No 1, 2337-3520 ITS, Surabaya
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 166
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-07 Aplikasi Pewarnaan Graf Menggunakan Algoritma Welch-Powell Pada Pengaturan Traffic Light Hengki Harianto Umum
[email protected] Abstrak Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang sering ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini memerlukan berbagai macam penyelesaian, salah satunya dengan pengaturan traffic light. Pengaturan traffic light dapat diselesaikan dengan teori graf. Bagian dari teori graf yang digunakan adalah pewarnaan graf. Pewarnaan graf dibedakan menjadi tiga yaitu pewarnaan simpul, pewarnaan sisi, dan pewarnaan wilayah. Karya tulis ini mengkaji tentang penyelesaian pengaturan traffic light menggunakan pewarnaan simpul dengan algoritma Welch-Powell. Data persimpangan jalan yang direpresentasikan dalam graf, selanjutnya diselesaikan dengan pewarnaan simpul, kemudian mencari nilai efektifitas durasi waktu dibandingkan dengan pengaturan traffic light yang terjadi di persimpangan Matraman, Jakarta Timur. Tujuan penulisan karya tulis ini, yaitu (1) Mengetahui bentuk model pewarnaan graf melalui hasil dari persimpangan jalan (2) Mengetahui tingkat efektifitas traffic light yang di lapangan. Metode penelitian yang digunakan meliputi pengumpulan data, pengolahan dan analisis data melalui representasi masalah ke graf higga mencari tingkat efektifitasnya. Melalui implementasi pewaranaan simpul menggunakan algoritma Welch-Powell ini diharapkan dapat memberikan sebuah solusi alternatif dalam penyelesaian kemacetan yang di persimpangan. Selain itu, juga dapat di terapkan pada persimpangan manapun yang memiliki waktu lampu total yang tidak sesuai dengan kondisi kendaran pada arus traffic light tersebut. Kata Kunci: Algoritma Welch-Powell, Matraman, Pewarnaan Simpul, Traffic Light.
PENDAHULUAN Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang sering dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Beberapa faktor penyebab kemacetan adalah kurangnya disiplin pengguna jalan dan volume kendaraan yang semakin bertambah. Hal ini memerlukan berbagai macam penyelesaian, salah satunya dengan pengaturan lampu lalu lintas (traffic light). Masalah pengaturan traffic light merupakan masalah pengaturan arus kendaraan pada suatu simpang jalan serta pengaturan siklus waktu lampu merah dan lampu hijau. Pada persimpangan jalan banyak ditemui traffic light dengan durasi lampu hijau yang singkat dan lampu merah yang lama. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan antrian kendaraan pada persimpangan tersebut. Durasi lampu merah yang lama juga mengakibatkan masa tunggu menjadi lama.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 167
Penyelesaian masalah traffic light dapat ditinjau dalam perspektif graf, yaitu dengan merepresentasikan persimpangan dalam bentuk graf. Simpul graf menunjukkan arah perjalanan yang diperbolehkan dari jalan X menuju jalan Y, sedangkan sisi graf menunjukkan arah perjalanan yang tidak boleh dilakukan secara bersamaan. Selanjutnya menyelesaikannya dengan metode pewarnaan simpul menggunakan algoritma Welch-Powell. Penyelesaian ini akan menghasilkan arus-arus yang dapat berjalan secara bersamaan, selain itu juga diperoleh alternatif durasi siklus baru. Durasi siklus baru ini akan dibandingkan dengan siklus waktu data primer dari data yang hasil observasi dan diharapkan bisa menjadi solusi bagi pengguna jalan dalam rangka mempercepat masa tunggu ketika lampu merah menyala. METODE PENELITIAN Karya Tulis ini merupakan kajian pustaka dengan rekayasa produk dibidang matematika diskrit yang berhubungan dengan pewarnaan graf menggunakan algoritma Welch-Powell pada pengaturan traffic light. Pembahasan yang diberikan merupakan hasil dari buku, jurnal, diktat dan situs matematika serta penelitian lapangan. Penelitian ini dimulai dengan mempelajari konsep dasar yang berkaitan dengan pewarnaan simpul, algoritma Welch-Powell dan masalah sistem traffic light. Selanjutnya dilakukan pengambilan data, merepresentasikannya ke graf kemudian menyelesaikannya dengan pewarnaan simpul menggunakan algoritma Welch-Powell dan mencari nilai efektifitasnya dibandingkan dengan data primer dari pengamatan lapangan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Aplikasi Pewarnaan Simpul Pada Traffic Light di Persimpangan Jalan Traffic light yang tersedia di persimpangan jalan bukan tidak memiliki permasalahan yang perlu diselesaikan, salah satunya pengaturan durasi lampu merah dan hijau. Permasalahan ini dapat dikaji pengaturannya menggunakan prinsip pewarnaan simpul. Algoritma penyelesaian kasus pengaturan traffic light di persimpangan jalan adalah sebagai berikut (1) Mentransformasikan persimpangan jalan beserta arusnya ke bentuk graf. Simpul merepresentasikan arus dan garis merepresentasikan arus-arus yang tidak boleh berjalan bersamaan, (2) Mewarnai setiap simpul pada graf dengan menggunakan algoritma Welsh-Powell. Penggunaan algoritma untuk mengetahui arus mana saja yang bisa berjalan bersamaan dan jumlah bilangan kromatik yang dapat digunakan untuk langkah berikutnya, (3)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 168
ISSN: 2580-1104
Menentukan alternatif penyelesaian durasi lampu hijau dan lampu merah menyala. Hal ini dapat dilakukan dengan membagi durasi lampu hijau dengan bilangan kromatik, hasil pembagiannya menunjukkan durasi lampu hijau menyala baru. Langkah selanjutnya adalah menghitung tingkat kefektifitasan dari data primer yang didapat melalui hasil pengambilan data di persimpangan traffic light Matraman. Berikut ini diberikan ilustrasi jalan pada simpang 4 Matraman
Gambar 1. Ilustrasi Traffic Light Matraman
Melalui ilustrasi Gambar 1 dengan perpedoman pada langkah-langkah yang telah dipaparkan sebelumnya maka diperoleh hasil transformasi graf sebagai berikut:
Gambar 2. Graf Simpang 4 Matraman
Melalui transformasi graf kemudian memberika warna dengan algoritma Welch-Powell. Pewarnaan simpul yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 169
Gambar 3. Hasil Pewarnaan Graf Simpang 4 Matraman
Melalui pewarnaan graf pada Gambar 3 diperoleh bilangan kromatik = 4. B. Menghitung Alternatif Penyelesaian Durasi Traffic Light 1. Pagi Hari Menentukan aternatif penyelesaian durasi lampu merah dan lampu hijau menyala. Berikut diberikan hasil pengamatan data primer pada persimpangan traffic light Matraman di waktu pagi hari pukul 06.30-07.30 WIB pada Tabel 1. Tabel 1. Data Primer Pagi Hari
Berdasarkan data primer pada Tabel 1 memiliki waktu satu siklus 360 detik, merujuk pada jurnal Meilana dan Maryono (2014). Langkah selanjutnya adalah melakukan pembagian dengan bilangan kromatik yaitu 4, sehingga diperoleh hasil durasi lampu hijau menyala dan durasi lampu merah menyala pada Tabel 2 melalui alternatif penyelesaian.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 170
ISSN: 2580-1104
Tabel 2. Alternatif Penyelesaian Pagi Hari
Berdasarkan durasi lampu merah dan lampu hijau di persimpangan Matraman dapat diketahui bahwa data baru hasil penyelesaian kasus pengaturan traffic light persimpangan Matraman dengan menggunakan algoritma Welch-Powell berselisih angka yang tidak terlalu banyak pada data primer. Berikut disajikan data primer dan data baru traffic light Matraman pada Tabel 3 Tabel 3. Data Primer dan Data Baru Traffic Light Matraman
Berdasarkan Tabel 3, durasi total lampu hijau menyala dari data primer adalah 385 detik, sedangkan dengan pewarnaan simpul durasi total lampu menyala adalah 360 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitasnya didapat yaitu:
Berdasarkan Tabel 3, durasi total lampu merah menyala dari data primer adalah 1055 detik, sedangkan dengan pewarnaan simpul durasi total lampu menyala adalah 695 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitasnya didapat yaitu:
Jadi, untuk kasus pada persimpangan traffic light Matraman di pagi hari. Dapat di simpulkan bahwa durasi lampu hijau menyala akan meningkat
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 171
sebesar 6, 94 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 51, 79%. 1. Siang Hari Menentukan alternatif penyelesaian durasi lampu merah dan lampu menyala pada persimpangan traffic light Matraman. Berikut diberikan hasil pengambilan data primer pada persimpangan traffic light di Matraman di waktu siang hari pada pukul 12.30-13.30 WIB terlihat pada Tabel 4 Tabel 4. Data Primer Siang Hari
Berdasarkan data primer pada Tabel 4 terlihat bahwa memilki waktu satu siklus 352 detik, merujuk pada jurnal penelitian oleh Meilana dan Maryono (2014). Langkah selanjutnya adalah melakukan pembagian dengan bilangan kromatik yaitu 4, sehingga diperoleh hasil durasi lampu hijau menyala dan durasi lampu merah menyala di persimpangan traffic light Matraman maka terlihat pada Tabel 5 melalui alternatif penyelesaian. Tabel 5. Alternatif Penyelesaian Siang Hari
Berdasarkan durasi menyala lampu merah dan lampu hijau di persimpangan traffic light Matraman, maka dapat diketahui bahwa data baru hasil penyelesaian kasus pengaturan traffic light persimpangan Matraman dengan menggunakan algoritma Welch-Powell berselisih angka yang tidak terlalu banyak pada data primer yang telah di dapat melalui hasil observasi lapangan. Berikut disajikan data primer dan data baru traffic light Matraman pada Tabel 6.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 172
ISSN: 2580-1104
Tabel 6. Data Primer dan Data Baru Traffic Light Matraman
Berdasarkan Tabel 6 yang disajikan, terlihat bahwa durasi total lampu hijau menyala dari data primer adalah 330 detik, sedangkan dengan menggunakan pewarnaan simpul di dapat bahwa durasi total lampu menyala adalah 352 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitas durasi lampu hijau adalah:
Berdasarkan Tabel 6 yang disajikan, terlihat bahwa durasi total lampu merah menyala dari data primer adalah 1078 detik, sedangkan dengan menggunakan pewarnaan simpul di dapat bahwa durasi total lampu menyala adalah 726 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitas durasi lampu merah adalah:
Jadi, untuk kasus pada persimpangan traffic light Matraman di siang hari. Dapat di simpulkan bahwa durasi lampu hijau menyala akan meningkat sebesar 6, 67 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 48, 48 %. 2. Malam Hari Menentukan alternatif penyelesaian durasi lampu merah dan lampu menyala pada persimpangan traffic light Matraman. Berikut diberikan hasil pengambilan data primer yang telah di dapat dari hasil observasi lapangan pada persimpangan traffic light Matraman di waktu malam hari pukul 18.30-19.30 WIB pada Tabel 7
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 173
Tabel 7. Data Primer Malam Hari
Berdasarkan data primer pada Tabel 7 terlihat bahwa memilki waktu satu siklus 357 detik, merujuk pada jurnal Meilana dan Maryono (2014). Langkah selanjutnya adalah melakukan pembagian dengan bilangan kromatik yaitu 4, sehingga diperoleh hasil durasi lampu hijau menyala dan durasi lampu merah menyala di persimpangan traffic light Matraman maka terlihat pada Tabel 8 melalui alternatif penyelesaian. Tabel 8. Alternatif Penyelesaian Siang Hari
Berdasarkan durasi lampu merah dan lampu hijau di persimpangan Matraman dapat diketahui bahwa data baru hasil penyelesaian kasus pengaturan traffic light persimpangan Matraman dengan menggunakan algoritma Welch-Powell berselisih angka yang tidak terlalu banyak pada data primer. Tabel 9. Data Primer dan Data Baru Traffic Light Matraman
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 174
ISSN: 2580-1104
Berdasarkan Tabel 9 yang disajikan, terlihat bahwa durasi total lampu hijau menyala dari data primer hasil observasi lapangan adalah 322 detik, sedangkan dengan memggunakan pewarnaan simpul di dapat bahwa durasi total lampu menyala adalah 357 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitas durasi lampu hijau didapat yaitu:
Berdasarkan Tabel 9 yang disajikan, terlihat bahwa durasi total lampu merah menyala dari data primer hasil observasi lapangan adalah 1106 detik, sedangkan dengan menggunakan pewarnaan simpul di dapat bahwa durasi total lampu menyala adalah 749 detik. Sehingga untuk mencari tingkat efektivitas durasi lampu merah didapat yaitu:
Jadi, untuk kasus pada persimpangan traffic light Matraman di siang hari. Durasi lampu hijau menyala akan meningkat sebesar 10, 86 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 47, 66 %. KESIMPULAN 1. Pewarnaan simpul dengan algoritma Welch-Powell dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan perhitungan durasi waktu pada traffic light. Langkah yang ditempuh yaitu dengan mentransformasi persimpangan jalan beserta arusnya ke bentuk graf. Simpul merepresentasikan arus dan garis merepresenrasikan arus yang uncompatible. Selanjutnya warnai simpul pada graf dengan algoritma Welch-Powell untuk mengetahui arus yang dapat berjalan bersamaan dan memperoleh bilangan kromatik yang berfungsi untuk menentukan alternatif penyelesaian durasi waktu traffic light. 2. Penyelesaian perhitungan durasi waktu pada traffic light dengan pewarnaan simpul memberikan alternatif hasil yang lebih efektif sehingga didapat tingkat keefektifitasan sebagai berikut: - Untuk kasus pada simpang Matraman di pagi hari. Durasi lampu hijau menyala akan meningkat sebesar 6, 94 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 51, 79 %. - Untuk kasus pada simpang Matraman di siang hari. Durasi lampu hijau menyala akan meningkat sebesar 6, 67 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 48, 48 %.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 175
- Untuk kasus pada simpang Matraman di malam hari. Durasi lampu hijau menyala akan meningkat sebesar 10, 86 %, sedangkan durasi lampu merah menyala dapat dikurangi sebesar 47, 66 %.
DAFTAR PUSTAKA As'ad, Nabila. (2008). Aplikasi Pewarnaan Graf pada Pemecahan Masalah Penyusunan Jadwal}. Fakultas Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung. Bandung. Baruah, A.K, & Baruah, Niky, (2012), Signal Group of Compatible Graph in Traffic Control Problems, Int. J Advanced Networking and Applications, Vol: 04 Issue: 01 Pages: 1473-1480 ISSN: 0975-0290 Christine,L. Swarintha. (2010). Implementasi Algoritma Pewarnaan Graf Pada Persoalan Penjadwalan Ujian. Skripsi. Departemen Matematika. Universitas Indonesia. Depok. Daryanto. (1998). Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Direktoral Jendral Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. (1970). Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1970. Gould, Ronald. (1988). Graph Theory. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company. Hariyanto, J. (2004). Sistem Pengendalian Lalu Lintas Pada Pertemuan Jalan Sebidang. Sumatera Utara: Jurnal Jurusan Teknil Sipil Universitas Sumatera Utara Hobbs,F.D. (1995). Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Meiliana, C.H. & Maryono D, (2014), Aplikasi Pewarnaan Graf untuk Optimalisasi Pengaturan Traffic Light di Sukoharjo, JIPTEK, Vol.VII No.1 Richard Johnsonbaugh. (2002). Matematika Diskrit. Jakarta: PT Prenhallinda Wilson, R. J. & Watkins, J. J. (1976). Graphs An Introductory Approac}. New York: Published Simultancously in Canada.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 176
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-08 KONSTRUKSI GRUP PEMBAGI PADA HIMPUNAN MATRIKS BILANGAN BULAT MODULO PRIMA Ibnu Hadi 1, Lukita Ambarwati 2 1Program
Studi Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta
[email protected] ;
[email protected]
2Program
Studi Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstrak Makalah ini membahas tentang konstruksi grup pembagi yang dibangun oleh himpunan matriks nonsingular berukuran n x n dengan elemen bilangan bulat modulo prima. Kenormalan subgrup trivial dan beberapa subgrup nontrivial dari grup himpunan matriks ini dikaji untuk mendapatkan grup pembaginya. Pada tulisan ini, grup pembagi yang dikonstruksi dihasilkan dari subgrup yang trivial. Kenormalan pada subgroup bergantung dari koset yang didefinisikandan mempengaruhi grup pembagi yang dihasilkan. Kata Kunci: grup pembagi , koset, subgrup normal.
PENDAHULUAN Pembahasan mengenai konsep pada teori grup biasanya menyangkut pembahasan definisi, teorema ataupun hal-hal yang bersifat konseptual. Tulisan yang sudah dibahas biasanya menyangkut perluasan konsep pada grup yang selama ini sudah “stabil” dan luas. Padahal beberapa kasus yang dijadikan contoh pada suatu pembahasan konsep pada grup yang memungkinkan dikembangkan menjadi bahasan yang menarik. Sebagai contoh, Herstein (1975) memberikan contoh soal tentang grup menggunakan himpunan matriks nonsingular berukuran 2 x 2 dengan entri bilangan bulat modulo prima. Ternyata, terdapat pertanyaan terbuka mengenai perumuman bentuk jika matriksnya diperumum menjadi berukuran n x n dengan entri sebarang bilangan bulat modulo prima. Dalam hal ini, Hadi (2015) menemukan bahwa jika grup dikonstruksi menggunakan himpunan matriks nonsingular berukuran n x n dengan sebarang bilangan bulat n dan sebarang bilangan prima p, maka terlebih dulu harus ditentukan orde dari himpunan ini. Lebih lanjut, didapatkan himpunan matriks nonsingular berukuran n x n dengan entri bilangan bulat modulo prima p dengan jumlah matriks pada himpunan tersebut memenuhi aturan konjektur tertentu.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 177
Namun pada pembahasannya, ternyata masih banyak teori grup yang masih memungkinkan untuk dibahas. Jika diambil suatu subhimpunan yang berisikan matriks dengan determinan 1 dari himpunan matriks pada grup semula, maka dapat dinyatakan bahwa himpunan tersebut membentuk subgrup relatif terhadap grup itu. Jika diperhatikan, subgrup ini tentulah merupakan subgrup hingga. Hal mendasar yang dapat dilihat adalah bagaimana orde dari subgrup ini? Apakah dengan cara yang sama untuk mencari orde grup semula masih berlaku? Bagaimana kenormalan dari subgrup pada himpunan matriks ini? Hadi (2014) sudah menyinggung sedikit mengenai kenormalan dari subgrup dengan determinan matriks bernilai 1 pada kasus himpunan matriks berukuran 3 x 3. Harapannya, dengan menjawab pertanyaan seperti ini memungkinkan untuk memunculkan karakteristik yang masih “terpendam” pada grup ini. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai konstruksi grup pembagi dari himpunan matriks berukuran n x n dengan entri bilangan bulat modulo prima. Hal ini penting dilakukan karena setelah mengetahui kenormalan dari sebarang subgrup, perlu dilakukan perluasan teori grup dengan mengkonstruksi suatu grup pembaginya. Lebih lanjut, kenormalan suatu subgrup erat kaitannya dengan konstruksi grup pembagi yang merupakan turunan dari grup semula yang dikonstruksi. Subgrup yang akan diteliti merupakan subgrup trivial dan nontrivial. Selanjutnya, subgrup ini akan menjadi “modal” untuk mendapatkan suatu grup pembagi relatif terhadap subgrup yang dipilih nantinya. Penelitian ini bertujuan menghasilkan suatu grup pembagi yang merupakan hasil lanjutan dari salah satu karakteristik yang muncul pada grup matriks berukuran n x n dengan entri bilangan bulat modulo prima. Kenormalan dari sebarang subgrup akan diperhatikan untuk mengkonstruksi grup pembaginya. Penelitian ini penting dilakukan karena akan memberikan contoh dari grup pembagi dan akan memberikan penguatan pada konsep grup yang sudah ada. Grup pembagi ini nantinya dapat dikembangkan menggunakan konsep grup lanjutan seperti pemetaan grup dan teorema Sylow
METODE PENELITIAN Makalah ini ditulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan hasil yang didapat merupakan kajian pustaka dari berbagai sumber yang relevan dengan materi yang dibahas. Penelitian ini dimulai melakukan verifikasi konsep berdasarkan pada teori grup yang ada menggunakan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 178
ISSN: 2580-1104
matriks berukuran n x n dengan entri bilangan bulat modulo prima. Selanjutnya, ditentukan bentuk yang sesuai dengan teori digunakan. Konsep konsep yang dipilih di dalam kajian pustaka merupakan konsep yang relevan yang digunakan untuk membangun grup pembagi. Dengan menggunakan pemikiran yang logis, diharapkan ditemukan hasil berupa grup pembagi berdasarkan hasil kajian satu demi satu teori yang dipilih PEMBAHASAN Definisi. Suatu himpunan tak kosong G dikatakan membentuk suatu grup jika pada G terdefinisi suatu operasi biner, disebut product (hasil kali) dan dinotasikan dengan “ ” sedemikian sehingga berlaku: 1. Jika a, b G maka a b G (sifat tertutup pada grup). 2. Jika a, b, c G maka a b c a b c (sifat asosiatif pada grup). 3. Terdapat suatu elemen e G sedemikian sehingga a e e a a untuk semua a G (eksistensi dari elemen identitas di G ). 4. Untuk setiap a G terdapat suatu elemen a1 G sedemikian sehingga
a a1 a1 a e (eksistensi invers di G ). Lebih lanjut, jika berlaku a b b a untuk setiap a, b G , maka grup tersebut di sebut grup komutatif (grup Abelian). Jika himpunan pada grup merupakan himpunan hingga maka grup seperti ini dinamakan grup hingga. Jika himpunan pada grup merupakan himpunan takhingga maka grup ini merupakan grup takhingga. Banyaknya himpunan pada suatu grup, disebut dengan orde dari grup, dinotasikan dengan G . Dari Hadi (2015), didapatkan bahwa untuk bilangan bulat n sebarang dan bilangan prima sebarang p, maka akan didapat
2
n2
p
G p n 1 p n 1
n
p
j n 1
p
.
k
j 0 k 0 Lemma. Suatu subhimpunan tak kosong H dari grup G adalah suatu subgrup dari G jika dan hanya jika 1. Jika a, b H maka ab H . 2. Jika a H maka a 1 H . Definisi. Jika H suatu subgrup dari G , a G , maka Ha ha | h H
aH ah | h H . Ha aH disebut koset kanan (kiri) dari H
di G .
Perhatikan bahwa jika diambil H sebagai suatu subgrup nontrivial dari G , maka dapat didefinisikan koset kanan (kiri) sebagai berikut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 179
Teorema Lagrange. Jika G suatu grup hingga dan H suatu subgrup dari G , maka H suatu pembagi dari G . Pada kasus subgrup trivial, teorema Lagrange selalu berlaku. Akan tetapi untuk subgrup nontrivial, harus ditentukan lebih dulu orde dari subgrupnya kemudian diperiksa apakah teorema Lagrange berlaku. Definisi. Jika G suatu grup dan a G , orde (periode) dari a adalah bilangan bulat positif terkecil m sedemikian sehingga a m e . Sebagai perumuman konsep koset kiri dan koset kanan, jika dimisalkan H merupakan subgrup-subgrup dari dimisalkan K G, HK x G x hk , h H , k K .
Lemma. HK merupakan suatu subgrup dari G jika dan hanya jika HK KH . Teorema. Jika H dan K merupakan subgrup hingga dari G dengan orde H K H dan K masing-masing, maka berlaku HK H K Selanjutnya, beberapa konsep pada grup diberikan untuk mengkonstruksi grup pembagi. Teori-teori Untuk Konstruksi Grup Pembagi Definisi. Suatu subgrup N dari G dikatakan suatu subgrup normal dari G jika untuk setiap g G dan n N berlaku gng 1 N . Secara ekuivalen, arti dari gNg 1 merupakan himpunan semua gng 1 , n N , maka N subgrup normal dari G jika dan hanya jika gNg 1 N . Lemma. N adalah subgrup normal jika dan hanya jika gNg 1 N untuk setiap g G . Lemma. Subgrup N dari G merupakan subgrup normal dari G jika dan hanya jika setiap koset kiri dari N di G juga merupakan koset kanan di G . Lemma. Suatu subgrup N dari G merupakan subgrup normal dari G jika dan hanya jika hasil kali dua koset kanan dari N di G juga merupakan koset kanan dari N di G . Teorema. Jika G suatu grup, N subrup normal dari G , maka G N juga merupakan grup. grup ini disebut grup pembagi atau grup faktor dari G oleh N. Perhatikan bentuk berikut:
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 180
ISSN: 2580-1104
Gln p
a11 a12 a22 a 21 an1 an 2
a11 a12 a a22 , ann p , det 21 an1 an 2
a1n a2 n a , 11 ann
Terhadap operasi perkalian, Gln p
a1n a2 n 0 ann
akan membentuk grup. Selanjutnya
karakteristik dari grup ini yang paling mudah dilihat adalah ordenya. Di dapat
Khususnya,
2
n2
Gln p p n 1 p n 1
pn p j 0
k p . k 0
j n 1
Gl2 p p 4 2 p 1 p 1 dan
2
3
3
mudah
didapat
Gl3 p p 1 p 3 p 1 p 2 p 1 . Dari
rumusan
Gl2 3 48 ,
di
atas,
Gl2 5 480 ,
bahwa
Gl2 2 6 ,
Gl3 2 168
dan
Gl3 3 11232 . Dari hasil ini, untuk sebarang nilai bilangan bulat n dan
bilangan prima p , maka Gln p
merupakan suatu nilai yang dapat
ditentukan berdasarkan formula ordenya, atau grup ini memiliki orde hingga. Lebih lanjut, berdasarkan turunan sifatnya, grup ini merupakan grup non komutatif. Perhatikan grup Gl2 2 yang memiliki orde 6 dan dengan mendefinisikan 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 A , B , C , E , D , F , 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 dan dengan memperhatikan tabel ilustrasi berikut: Tabel Grup Gl2 2 Terhadap Operasi Perkalian Matriks
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 181
Perhatikan bahwa H A A dan H Gl Z Gl2 Z 2 merupakan subgrup 2 2
trivial dari Gl2 Z 2 dengan H A 1 dan H Gl2 Z 2 6 . Perhatikan bahwa dengan menggunakan konsep koset pada grup, H A a aH A untuk setiap a Gl2 Z2 . Akan tetapi, terdapat maka
B, C Gl2 Z2 Gl2 Z2
BC D H Gl Z a 2 2
sehingga
dan
CB F aH Gl Z dengan BC D F CB . Artinya aH Gl Z H Gl Z a 2 2 2 2 2 2
tidak berlaku secara umum untuk setiap a Gl2 Z2 . Lebih lanjut, berdasarkan teorema Lagrange, maka didapatkan bahwa H A
H Gl 2 2
Gl2 2
dan
dan juga dari teorema Lagrange, khusus untuk grup hingga Gl2 2
dapat ditentukan orde dari subgrupnya. Perhatikan bahwa subgrup yang mungkin dari Gl2 Z 2 adalah
H1 A, B , H 2 A, C , H3 A, E , H 4 A, D, F . Jika perhatikan lebih lanjut, ternyata untuk suatu a Gl2 Z2 , H 2 a aH 2 , H 3a aH 3 dan H 4 a aH 4 . Artinya, hanya ada satu subgrup di Gl2 Z 2 sehingga koset kiri
sama dengan koset kanan yaitu H A . Dalam hal ini, H A merupakan satusatunya subgrup normal dari Gl2 Z 2 . Menjadi tidak mudah untuk menentukan subgrup normal untuk sebarang prima p di Gl2 Z 2 .
Perhatikan suatu subgrup dari Gl3 Z p berikut:
a11 a12 H a21 a22 a 31 a32
a13 a11 a12 a23 aij p , a21 a22 a31 a32 a33
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 182
a13 a23 1 . a33
ISSN: 2580-1104
Dapat dibuktikan bahwa H merupakan subgrup normal dari Gl3 Z p .
Z Gl3 p z Gl3 p zx xz for all x Gl3 p . Misalkan himpunan semua matriks diagonal di Gl3 Z p , ditulis sebagai Subgrup normal lain dari Gl3 Z p adalah
D3 Z p
s 0 0 0 t 0 s, t , u Z p . 0 0 u
Himpunan ini merupakan subgrup yang tidak normal di Gl3 Z p
untuk p 2 . Himpunan D3 Z p
kecuali
juga merupakan matriks segitiga atas
khusus di Gl3 Z p . Artinya, terdapat subgrup nontrivial yang normal di
Gl3 Z p .
Selanjutnya, dimisalkan H1 Gln Z p merupakan himpunan semua matriks nonsingular berukuran n n
modulo bilangan prima dengan
setermina satu. Dapat dibuktikan bahwa H1 Gln Z p adalah subgrup dari
, maka
Gln Z p . Misalkan A, B H1 Gln Z p
A B mod H1 Gln Z p
jika
dan hanya jika AB 1 1 jika dan hanya jika A B . Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa H1 Gln Z p
merupakan subgrup normal dari Gln Z p
dan jika K H1 Gln Z p maka AKA1 AKA1 H1 Gln Z p dan disimpulkan AH1 Gln Z p A1 H1 Gln Z p .
untuk A Gln Z p
Misalkan Gln,u Z p
semua
matriks
segitiga
a11 a12 0 a 22 0 0 0 0 atas
di
sehingga bahwa
a1n a2 n yang merupakan himpunan ann
Gln Z p . Perhatikan
bahwa
jika
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 183
A, B Gln,u Z p , maka AB Gln,u Z p dan pada himpunan matriks berlaku
sifat asosiatif terhadap perkalian matriks dan I n Gln,u Z p . Jelas bahwa karena aii , i 1, 2,
Gln,u Z p
, n bernilai tidak semua nol maka untuk setiap elemen di
memiliki invers sehingga Gln,u Z p
membentuk subgrup. Untuk
semua X Gln Z p , A Gln,u Z p , maka XAX 1 Gln,u Z p . Lebih lanjut, perkalian matriks segitiga atas juga merupakan matriks segitiga atas. Akan tetapi secara umum, berdasarkan sifat nonkomutatif pada matriks, tidak
berlaku bahwa Gln,u Z p
merupakan suatu subgrup normal dari Gln Z p
karena terdapat X Gln Z p
dan A Gln,u Z p
sedemikian sehingga
XGln,u Z p Gln,u Z p X . Dilain pihak, jika didefinisikan
z Gl Z zx xz untuk setiap x Gl Z
Z Gln Z p
n
p
n
p
Maka bentuk ini merupakan subgrup normal karena pusat dari suatu grup merupakan subgrup normal. Masalah selanjutnya yang muncul adalah
bagaimana menentukan orde dari H1 Gln Z p , Gln,u Z p dan Z Gln Z p . Selanjutnya akan dibahas mengenai grup pembagi setelah didapatkan beberapa subgrup yang terdefinisi sebelumnya. Misalkan G/N merupakan koleksi semua koset kanan dari N di G (semua elemen di G/N merupakan subhimpunan dari G). Perhatikan grup berikut
Gln p
a11 a12 a22 a 21 an1 an 2
a1n a2 n a , 11 ann
a1n a2 n 0 ann
a11 a12 a a22 , ann p , det 21 an1 an 2
Jika dipilih H A I n yang merupakan subgrup normal dari Gln Z p , maka
G N G H A H Ah h H A H A .
Bagaimana
jika
yang
dipertimbangkan adalah sebarang subgrup normal nontrivial dari Gln Z p
?
Hal ini akan menjadi masalah lanjutan untuk penelitian selanjutnya. Sebagai gambaran ke depan, hal yang masih memungkinkan untuk dijadikan pengembangan masalah lanjutan penelitian ini yaitu menentukan syarat
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 184
ISSN: 2580-1104
kenormalan secara umum pada grup Gln Z p
yang memiliki sifat
nonkomutatif, didasarkan konsep koset dan menentukan orde dari grup
pembagi Gln Z p . Dalam hal ini, teorema Lagrange menjadi kunci orde dari
subgrup-subgrup pada Gln Z p
yang menjadi “calon” subgrup normal.
Diperlukan suatu konjektur formula untuk menentukan orde dari grup pembagi dan suatu perluasan konsep kenormalan menggunakan grup
pembagi dari Gln Z p
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil yaitu untuk mengkonstruksi grup pembagi pada himpunan matriks bilangan bulat modulo prima memerlukan beberapa teori yang relevan. Dari teori yang ada, diperlukan suatu runtutan strategi untuk memilah mana calon subgrup yang bisa didefinisikan untuk mengkonstruksi grup pembagi. Grup pembagi yang dihasilkan yaitu grup pembagi trivial dengan subgrup yang bersesuaian yaitu subgrup trivial yang dalam hal ini hanya subgrup berisi elemen identitas yang sudah dievaluasi. Akan tetapi untuk subgrup trvial yang sama dengan grupnya itu sendiri masih harus ditentukan ordenya. Untuk subgrup non trivial, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih luas. Lebih lanjut, penentuan orde dari grup menjadi hal yang mendasar untuk menyelesaikan masalah konstruksi grup pembagi. Sebagai tindak lanjutnya penelitian, disarankan agar konstruksi grup pembagi dari subgrup yang sama dengan dirinya sendiri maupun subgrup nontrivial dijadikan penelitian lanjutan. Syarat kenormalan dari suatu grup pembagi dapat dijadikan bahan perluasan pembahasan penelitian ini juga.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 185
DAFTAR PUSTAKA Anton, Howard dan Chris Rorres, (2005), Elementary Linear Algebra 9nd ed., John Wiley and Sons, New York Burton, David M, (2002), Elementary Number Theory,McGraw Hill Durbin, John R, (2005), Modern Algebra An Introduction 6nd ed, John Wiley and Sons, New York Herstein, I.N, (1975), Topics in Algebra, John Wiley and Sons, New York Hungerford, Thomas W, (1974), Algebra, Springer-Verlag, New York Hadi, I, (2013), Karakteristik Grup yang Dibangun oleh Himpunan Matriks Berukuran 2x2 Dengan Entri Bilangan Bulat Modulo P, Prosiding Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika, Malang, 18 Mei 2013. Hadi, I., Mahatma, Y (2014), The Properties of Group of 3x3 Matrices Over Integers Modulo Prime Numbers, Proceeding of International Conference On Research, Implementation And Education Of Mathematics And Sciences 2014, Yogyakarta State University. 18-20 May 2014 Hadi, (2015), Karakteristik Grup Yang Dibangun Oleh Matriks n x n Dengan Entri Bilangan Bulat Modulo P. P Prima, Prosiding Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I), ISSN: 25026526, hal. 677 – 685, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016 Rosen, Kenneth H, (1984), Elementary Number Theory And Its Application, Addison-Wesley Publishing Company Paley, Hiram dan Paul M Weichsel, (1972), Elements of Abstract and Linear Algebra, Holt, Rinehart and Winston Inc., New York Raisinghania, M.D dan R.S Aggarwal, (1980), Modern Algebra, S Chand and Company Ltd., New Delhi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 186
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-09 REPRESENTASI KODE GENETIK STANDAR BERDASARKAN PURIN & PIRIMIDIN Isah Aisah1, Nurul Ulla2 Matematik a FMIPA UNPAD İ
[email protected] 2Mahasiswa S2 Matematik a ITB
1Departemen
Abstrak Kode genetik standar adalah bahasa pengkodean gen dalam tubuh untuk menghasilkan asam amino. Kode genetik standar juga merupakan pasangan triplet dari basabasa nitrogen dalam RNA. Jika basa-basa nitrogen dalam RNA dihimpun kedalam himpunan 𝑁 = {𝐶, 𝑈, 𝐴, 𝐺} maka pasangan triplet dari basa tersebut merupakan 𝑁𝑁𝑁. Kumpulan basa nitrogen dalam rantai RNA dapat juga disajikan dalam suatu himpunan N = {C, U, A, G }. Pada artikel (Montano et al, 1996 : 119), N kemudian dicocokkan dengan ℤ2 ×ℤ2 = {(1,1) , (1,0), (0,0) , (0,1)} dengan dua himpunan yang memuat partisi basa-basa nitrogen berdasarkan jenis basa dan ikatan hidrogennya. Selanjutnya dalam artikel (Jose et al, 2006 : 217) himpunan N = {C, U, A, G} dicocokkan dengan ℤ2 ×ℤ2 = {(0,0) , (1,0), (0,1) , (1,1)}. Pada paper ini akan dilakukan pencocokkan himpunan N dengan ℤ2 ×ℤ2 = {(0,0) , (0,1), (1,0) , (1,1)}. Struktur Aljabar yang dapat dikaji dari Kode genetic Standar, diantaranya adalah Grup Komutatif terhadap Jumlah lebih lanjut sebagai Grup Klein (4), Grup Kuosien, ,Grup Orthogonal, Lapangan galois dan Ruang Vektor. Pada Grup Kuosien yang dibentuk diklasifikasikan ke dalam tiga himpunan yang memuat partisi himpunan basa nitrogen berdasarkan sifat kimia nukleotida yaitu kuat-lemah basa, amino-keto nukleotida, dan jenis basa-basa nitrogennya. Sehngga diperolehlah beberapa grup Kuosien berdasarkan partisi yang dibentuknya, selanjutnya akan dilihat representasi Geometri dari Grup Kuosien yang di bentuk berdasarkan basa nukleotida yaitu Purin dan Pirimidin Kata Kunci : Grup Kuosien , Kode Genetik Standar, RNA,
. PENDAHULUAN Genetika adalah cabang Ilmu Biologi yang mempelajari tentang penurunan sifat makhluk hidup dari induk kepada keturunannya. Genetika sering dikaitkan dengan gen dan DNA (deoxyribonucleic acid) yang keduanya merupakan salah satu materi genetic dalam tubuh makhluk hidup yang sangat berperan penting dalam hal pewarisan sifat. DNA mampu mengarahkan replikasinya sendiri dan mengontrol sintesis protein melalui RNA (ribonucleic acid). Suatu molekul RNA terdiri atas satu untai tunggal dan secara kimiawi serupa dengan DNA, hanya saja
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 187
pada RNA ribosa- lah sebagai gulanya dan basa nitrogen timin (T) diganti dengan urasil (U). Basa RNA disusun pada cetakan DNA maka dalam pengkodean digunakan urasil (U) untuk menentukan kodon dari himpunan basa nukleotida {A, C, G, U} yang diurutkan berdasarkan perbedaan sifat kimiawi nukleotida (purin dan pirimidin) dan ikatan hidrogen basa komplementer (Robersy Sanchez et al., 2007). Kumpulan basa nitrogen dalam rantai RNA dapat juga disajikan dalam suatu himpunan N = {C, U, A, G }. Pada artikel (Montano et al, 1996 : 119), N kemudian dicocokkan dengan ℤ2 ×ℤ2 = {(1,1), (1,0), (0,0), (0,1)} dengan dua himpunan yang memuat partisi basa-basa nitrogen berdasarkan jenis basa dan ikatan hidrogennya. Selanjutnya dalam artikel (Jose et al, 2006 : 217) himpunan N = {C, U, A, G} dicocokkan dengan ℤ2 ×ℤ2 = {(0,0), (1,0), (0,1), (1,1)}. Pencocokkan N dengan hasil kali silang himpunan ℤ2 ×ℤ2 dan himpunan yang memuat partisi basa-basa nitrogen berdasarkan klasifikasi kimianya masih dapat diperluas. METODE PENELITIAN Objek Penelitian ini adalah Kode Genetik Standar. Adapun alur penelitian dimulai dengan pencocokan Kode Genetik standard N dengan ℤ2 ×ℤ2 , kemudian diselidiki Struktur Aljabarnya diantaranya sebagai Grup Kuosien, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan subgroup Normal yang membentuknya dan akhirnya bedasarkan basa nukleotida yang membentuknya , maka Kode genetik Standar dapat direpresentasikan kedalam Multicube berdimensi Tiga PEMBAHASAN Pada Pembahasan ini akan dimulai dengan struktur yang sederhana. Misalkan keempat basa nitrogen pada himpunan N = {C, U, A, G} dilakukan pencocokan C = (0̅, 0̅), U = (0̅, 1̅), A = (1̅, 0̅), dan G = (1̅, 1̅), maka akan dilihat struktur dari . Dengan menggunakan tabel Cayley (table 1) berikut : Tabel .1 tabel cayley N terhadap penjumlahan
+
𝐂
𝐔
𝐀
𝐆
𝐂
C
U
A
G
𝐔
U
C
G
A
𝐀
A
G
C
U
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 188
ISSN: 2580-1104
𝐆
G
A
U
C
Maka N mempunyai struktur grup Abelian terhadap penjumlahan. Karena setiap unsur mempunyai invers dirinya sendiri maka N membentuk grup Klein-4 terhadap penjumlahan. Berdasarkan sifat kimia nukleotida, para ilmuwan Biologi mengklasifikasikan N kedalam tiga himpunan partisi yaitu himpunan ℘1 = {{C, G}, {U, A}}, ℘2 = {{C, A}, {U, G}} dan ℘3 = {{C, U} , {A, G}}. Untuk himpunan pertama, ℘1 berdasarkan klasifikasi biologi basa kuat nukleotida yang membentuk tiga ikatan hidrogen S = {C, G} dan basa lemah nukleotida yang membentuk dua ikatan hidrogen W = {U, A}. Untuk himpunan kedua, ℘2 didasarkan pada klasifikasi kimia nukleotida yaitu amino nukleotida M = {C, A} dan keto nukleotida K = {U, G}. Himpunan ketiga, ℘3 didasarkan pada jenis basa nukleotida yaitu pirimidin Y = {C, U} dan purin R = {A, G}. Dipandang dari struktur Aljabar yang dipelajari, maka himpunan partisi –partisi tersebut dapat dilihat sebagai Grup Kuosien yang dibentuk dari Grup Klein4, yang dapat dilihat sebagai berikut (N, +) adalah grup Klein-4 yang mempunyai subgrup-subgrup normal yaitu H1 = {(0̅, 0̅), (0̅, 1̅)} = 〈(0̅, 1̅)〉, H2 = {(0̅, 0̅), (1̅, 0̅)} = 〈(1̅, 0̅)〉, dan H3 = {(0̅, 0̅), (1̅, 1̅)} = 〈(1̅, 1̅)〉. Sehingga terbentuk tiga grup faktor, yaitu : 𝑁 ∕ 𝐻1 = {〈(0̅, 1̅)〉 + (0̅, 0̅), 〈(0̅, 1̅)〉 + (0̅, 0̅)} = { {C,U}, {A,G}} = ℘3 𝑁 ∕ 𝐻2 = {〈(1̅, 0)〉 + (0̅, 0̅), 〈(1̅, 0̅)〉 + (0̅, 1)} = { {C,A}, {U,G}} = ℘2 𝑁 ∕ 𝐻3 = {〈(1̅, 1̅)〉 + (0̅, 0̅), 〈(1̅, 1̅)〉 + (0̅, 1)} = { {C,G}, {U,A}} = ℘1 Selain struktur Aljabar dari N, maka NNN juga mempunyai struktur sebagai Ruang Vektor atas GF(4) sehingga NNN merupakan subruang dari 𝑅 3 Dengan demikian NNN mempunyai basis standar yaitu {e1 , e2 , e3 , e4 , e5 , e6 } dimana e1 = {1̅, 0̅, 0̅, 0̅, ̅0, 0̅}, e2 = {0̅, 1̅, 0̅, 0̅, 0̅, 0̅}, e3 = {0̅, 0̅, 1̅, 0̅, 0̅, 0̅}, e4 = {0̅, 0̅, 0̅, 1̅, 0̅, 0̅}, e5 =
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 189
{0̅, 0̅, 0̅, 0̅, 1̅, 0̅}, dan e6 = {0̅, 0̅, 0̅, 0̅, 0̅, 1̅}. Keenam basis tersebut merupakan basis ortonormal karena mempunyai panjang atau norm 1 dan setiap dua vektor basisnya saling ortogonal, yaitu hasil kali titik antara setiap dua vektor adalah 0. Sehingga representasi NNN dapat dilihat sebagai suatu multicube berdimensi tiga yaitu gabungan dari 27 kubus unitary , yang berdasarkan definisi Jarak Hamming, panjang atau jarak setiap dua kodon yang terhubung adalah 1, seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 1 Representasi Kode Genetik Standar dalam Multicube NNN
Dalam Paper ini Kode Genetik Standar hanya akan direpresentasikan sebagai Grup Kuosien berdasarkan subgroup Normal yang membentuknya yaitu H1 = {(0̅, 0̅), (0̅, 1̅)} = 〈(0̅, 1̅)〉, atau berdasarkan basa Nukleotida Purin dan Pirimidin Sebelum merepresentasikannya ada beberapa Translasi yang diperlukan Peran Translasi sebagai Representasi Kode Genetik Standar (N, +) adalah grup Abelian. Himpunan T(N) = { T00 , T01 , T10 , T11 } merupakan himpunan semua transformasi di yang kemudian lebih khusus jenis transformasinya adalah translasi. T00 adalah translasi dengan vektor (0̅, 0̅), T01 adalah translasi dengan vektor (0̅, 1̅), T10 adalah translasi dengan vektor (1̅, 0̅), dan T11 adalah translasi dengan vektor (1̅, 1̅).Perhatikan tabel berikut : Tabel 2 Tabel Cayley T(N) terhadap komposisi
∘
𝐓𝟎𝟎
𝐓𝟎𝟏
𝐓𝟏𝟎
𝐓𝟏𝟏
𝐓𝟎𝟎
T00
T01
T10
T11
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 190
ISSN: 2580-1104
𝐓𝟎𝟏
T01
T00
T11
T10
𝐓𝟏𝟎
T10
T11
T00
T01
𝐓𝟏𝟏
T11
T10
T01
T00
Dengan memperhatikan Tabel Cayley, {T00 , T01 , T10 , T11 } merupakan grup.
maka
Himpunan
T ( N) =
(N, +) adalah grup Abelian dan (T(N),∘) adalah grup. Perhatikan konstruksi pengaitan berikut. 𝜇 ∶ N → T(N) C ↦ T00 U ↦ T01 A ↦ T10 G ↦ T11 Berdasarkan pengaitan di atas, 𝜇 merupakan pemetaan yang bersifat satusatu dan pada. Selanjutnya, karena 𝜇(X + Y) = 𝜇(X) + 𝜇(Y) untuk setiap X, Y ∈ N maka 𝜇 homomorfisma. Sehingga (N, +) ≅ (T(N),∘). Berdasarkan isomorfisma antara N dengan T(N), diperoleh empat translasi yang mungkin untuk merepresentasikan mutasi gen adalah TC , TU , TA , dan TG. Translasi TC adalah translasi yang mempertahankan struktur dari tiga partisi ℘1 , ℘2 , dan ℘3 dari N. Tiga translasi non trivial lainnya diilustrasikan dalam diagram berikut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 191
Gambar 2 Translasi Non Trivial N
Seperti terlihat dalam diagram, translasi TU menunjukkan transisi yang mempertahankan anggota partisi ℘3 (klasifikasi pirimidin-purin) namun menukar anggota partisi ℘1 dan ℘2 . Translasi TA menunjukkan transversi yang mempertahankan anggota partisi ℘2 (klasifikasi amino-keto nukleotida) dan menukar anggota partisi ℘1 dan ℘3 . Translasi TG menunjukkan transversi pula, tetapi mempertahankan anggota partisi ℘1 (klasifikasi kuat-lemah basa) dan mempertahankan anggota partisi ℘2 dan ℘3 . Dapat disimpulkan bahwa empat translasi mempertahankan himpunan {℘1 , ℘2 , ℘3 } dari tiga partisi ℘1 , ℘2 dan ℘3 . Representasi Tiga Dimensi Berdasarkan Partisi ℘𝟑 (Basa Nukleotida) Pencocokan awal adalah urutan (C, U, A, G) yang akan dikaitkan dengan ℘3 . Dalam himpunan ℘3 ini matriks yang digunakan adalah matriks ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ 𝐴12 = [1 1] , 𝐴21 = [1 0] dan matriks 𝑃12 = [ 0 1]. , matriks 𝐴12 adalah ̅0 1̅ ̅1 1̅ 1̅ 0̅ matriks transformasi yang mengubah U menjadi G sebaliknya serta mempertahankan dan . Matriks 𝐴21 adalah matriks transformasi yang mengubah
menjadi G dan sebaliknya serta mempertahankan
dan U.
Sementara matriks 𝑃12 adalah matriks transformasi yang mengubah U menjadi A dan sebaliknya serta mempertahankan dan . Jadi, pengurutan (C, U, A, G) jika dikenakan transformasi 𝑃12 ∘ 𝐴21 , TU ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21 , 𝑇𝐺 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21 dan 𝑇𝑈 ∘ 𝐴12 akan menjadi pengurutan (C, A, G, U), (U, G, A, C), (G, U, C, A) dan (U, A, G, C).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 192
ISSN: 2580-1104
Gambar 3 Model 3 Dimensi Pengurutan Awal (C, U, A, G)
Transformasi dengan matriks 𝑃12 ∘ 𝐴21 Matriks transformasi yang digunakan adalah 𝑃12 ∘ 𝐴21 sehingga hasil komposisinya adalah ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ 𝑃12 ∘ 𝐴21 = [0 1] [1 0] = [1 1] 1̅ 0̅ 1̅ 1̅ 1̅ 0̅ Misalkan, pilih kodon CGU, Maka dengan matriks transformasi 𝑃12 ∘ 𝐴21 , bayangan atau hasil transformasinya diperoleh melalui perhitungan berikut : a) Untuk basa urutan pertama pada urutan (C, G, U) 𝑥′ ̅ ̅ ̅ ̅ [ ′ ] = [1 1] [0] = [0] = C 𝑦 ̅1 0̅ 0̅ 0̅ Jadi, bayangan C = C. b) Untuk basa urutan kedua pada urutan (C, G, U) 𝑥′ ̅ ̅ ̅ ̅ [ ′ ] = [1 1] [1] = [0] = U 𝑦 ̅1 0̅ 1̅ 1̅ Jadi, bayangan G = U. c) Untuk basa urutan ketiga pada urutan (C, G, U) 𝑥′ ̅ ̅ ̅ ̅ [ ′ ] = [1 1] [0] = [1] = A 𝑦 ̅1 0̅ 1̅ 0̅ Jadi, bayangan U = A. 𝑃12 ∘𝐴21
Jadi, dari perhitungan di atas diperoleh (C, G, U) →
(C, U, A).
Perhitungan yang sama dilakukan untuk 63 kodon lainnya. Model tiga dimensinya adalah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 193
Gambar 4 Model 3 Dimensi (C, U, A, G) Melalui Transformasi 𝑃12 ∘ 𝐴21
• Transformasi dengan matriks 𝑇𝑈 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21
Melalui perhitungan yang sama, perubahan urutan yang terjadi melalui transformasi dengan matriks 𝑇𝑈 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21 adalah mengubah pengurutan (C, U, A, G) menjadi (U, G, A, C). Model 3 dimensinya adalah
Gambar 5 Model 3 Dimensi (C, U, A, G) Melalui Transformasi 𝑇𝑈 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21
• Transformasi dengan matriks 𝑇𝐺 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21
Melalui perhitungan yang sama, perubahan urutan yang terjadi melalui transformasi dengan matriks 𝑇𝐺 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21 adalah mengubah pengurutan (C, U, A, G) menjadi (G, U, C, A). Model 3 dimensinya adalah
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 194
ISSN: 2580-1104
Gambar 6 Model 3 Dimensi (C, U, A, G) Melalui Transformasi 𝑇𝐺 ∘ 𝑃12 ∘ 𝐴21
•
Transformasi dengan matriks 𝑇𝑈 ∘ 𝐴12 Melalui perhitungan yang sama, perubahan urutan yang terjadi melalui transformasi dengan matriks 𝑇𝑈 ∘ 𝐴12 adalah mengubah pengurutan (C, U, A, G) menjadi (U, A, G, C). Model 3 dimensinya adalah
Gambar 7 Model 3 Dimensi (C, U, A, G) Melalui Transformasi 𝑇𝑈 ∘ 𝐴12
KESIMPULAN Dari pembahasan di atas maka dapat dilihat terdapat beberapa Representasi Kode Genetik Standar berupa multicube berdimensi 3 berdasarkan Basa Nukleotida yaitu Purin dan Pirimidin. Dari pengurutan awal (C,U,A,G) menjadi (C, A, G, U), (U, G, A, C), (G, U, C, A) dan (U, A, G, C).
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Achmad. 2000. Aljabar. Bandung : ITB. Aisah,Isah,dkk.2014, Struktur Aljabar dari Kode Genetik Standar, Konfrensi Nasional Matematika XVII, Surabaya Juli 2016. Herstein, I.N. 1964. Topics in Algebra. London : Ginn and Company. Jacob, Bill. 1990. Linear Algebra. New York : W. H Freeman and Company.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 195
Jimenez-Montano, Miguel A. 1996. The Hypercube Structure of The Genetic Code Explains Conservative and Non Conservative Aminoacid Substitutions In Vivo and In Vitro. BioSystems, 1996 (39) : 117-125. Jose, Marco V et al. 2012. The 24 Posibble Algebraic Representations of the Standard Genetic Code in Six or in Three Dimensions. Advanced Studies in Biology, 4 (3) : 119-152. Jose, Marco V et al. 2010. Genetic Hotels for The Standard Genetic Code : Evolutionary Analysis Based Upon Novel Three-Dimensional Algebraic Models. Bull.Math.Biol, 2010 (73) : 1443-1476.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 196
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-10 PEMETAAN KASUS PENYAKIT DI JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN METODE MULTIDIMENSIONAL SCALING (MDS) Julita Nahar1 1Prodi Maematika
FMIPA UNPAD
[email protected] Abstrak
Pembangunan kesehatan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pencegahan dan pemberantasan penyakit merupakan prioritas pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia, sehingga dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit tentu harus di lakukan sesuai dengan kasus yang terjadi di setiap wilayahnya. Untuk melihat karakteristik di setiap wilayah perlu dilakukan pemetaan setiap kota dengan mengelompokan kasus terjadinya penyakit di Jawa Barat dengan menggunakan analisis Multidimensional Scalling (MDS) agar terlihat kota mana saja yang memiliki karakteristik yang sama. Dari hasil perhitungan yang diperoleh, Kota Bandung terletak jauh dengan kota-kota lainnya pada kuadran yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kota tersebut memiliki perbedaan dalam kemiripan dari karakteristik. Apabila dilihat dari kecenderungannya Kota Bandung ini memiliki terjadinya kasus penyakit yang sedangrendah dalam setiap kasus penyakit. Sedangkan kota-kota yang lainnya seperti Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Kota Cimahi hampir terletak dalam kuadran yang sama, juga pada Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Bogor yang terletak dalam kuadran yang sama. Hal ini berarti bahwa kota-kota tersebut memiliki kemiripan karakteristik dalam kasus penyakit. Kata Kunci: Kasus Penyakit, Multidimensional Scaling, Pembangunan Kesehatan, Pemetaan
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Program pencegahan dan pemberantasan penyakit merupakan salah satu strategi Departemen Kesehatan RI tahun 2010 sampai dengan 2014 yang sesuai dengan bab IV pasal 47 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan meliputi pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2010).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 197
Pencegahan dan pemberatasan penyakit merupakan prioritas pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia, sehingga dalam melakukan pencegahan dan pemberatasan penyakit tentu harus di lakukan sesuai dengan kasus yang terjadi di setiap wilayahnya. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti ingin melakukan pengelompokan kasus terjadinya penyakit di Jawa Barat dengan menggunakan analisis Multidimensional Scalling (MDS). METODE PENELITIAN •
Analisis Multidimensional Scalling (MDS) Analisis Multidimensional Scalling (MDS) merupakan salah satu teknik peubah ganda yang dapat digunakan untuk menentukan posisi suatu obyek lainnya berdasarkan penilaian kemiripannya, juga untuk mengetahui hubungan interdepensi atau saling ketergantungan antar variabel atau data (Johnson, 1992). Hubungan ini tidak diketahui melalui reduksi ataupun pengelompokan variabel, melainkan dengan membandingkan variabel yang ada pada setiap obyek yang bersangkutan dengan menggunakan peta persepsi (perceptual map). MDS berhubungan dengan pembuatan peta untuk menggambarkan posisi sebuah obyek dengan obyek lainnya berdasarkan kemiripan obyek-obyek tersebut. MDS juga merupakan teknik yang bisa membantu peneliti untuk mengenali (mengidentifikasi) dimensi kunci yang mendasari evaluasi objek dari responden (pelanggan). Menurut Hair dkk (1998), penskalaan dimensi ganda mengacu pada sebuah metode yang membantu mengidentifikasi ukuran pokok yang mendasari penilaian responden terhadap sebuah obyek, sebagai contoh penskalaan dimensi ganda seringkali digunakan di bidang pemasaran untuk mengidentifikasi ukuran pokok yang mendasari penilaian konsumen terhadap sebuah produk atau terhadap pelayanan. Penskalaan dimensi ganda juga dikenal sebagai peta persepsi (perceptual map), yaitu metode yang menggambarkan atau memetakan kesan relatif yang dirasakan terhadap sejumlah obyek (perusahaan, produk atau lainnya yang berhubungan dengan persepsi). • Jenis-jenis Multidimensional Scalling (MDS) 1. Multidimensional Scaling Metrik Data jarak yang digunakan dalam penskalaan adalah data interval atau rasio. Dalam Multidimensional Scaling metrik tidak dipermasalahkan apakah data input ini merupakan jarak yang sebenarnya atau tidak, prosedur ini hanya menyusun bentuk geometri dari titik-titik objek yang diupayakan sedekat mungkin dengan input jarak yang diberikan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 198
ISSN: 2580-1104
2. Multidimensional Scaling Non-Metrik Data jarak yang digunakan dalam transformasi monoton (sama) ke data yang sebenarnya sehingga dapat dilakukan operasi aritmatika terhadap nilai ketidaksamaannya, untuk menyesuaikan jarak dengan nilai urutan ketidaksamaannya. Transformasi monoton akan memelihara urutan nilai ketidaksamaannya sehingga jarak antara objek yang tidak sesuai dengan urutan nilai ketidaksamaan dirubah sedemikian rupa sehingga akan tetap memenuhi urutan nilai ketidaksamaan tersebut dan mendekati jarak awalnya. •
Prosedur Analisis Multidimensional Scaling Analisis Multidimensional Scaling adalah untuk memetakan persepsi (perceptual map) secara visual dalam peta multidimensi. Tahapan analisis dalam melakukan analisis Multidimensional Scaling adalah : 1. Menghitung matriks jarak dengan menggunakan jarak Euclidean. Kedekatan antar objek pada perceptual map dapat dihitung dengan menggunakan jarak Euclidean antara objek ke-i dan objek ke-j dengan rumus sebagai berikut :
dij
p
(x k 1
ih
x jh ) 2
dimana : d ij = jarak antar objek ke-i dan objek ke-j xih = hasil pengukuran objek ke-i pada peubah h
x jh = hasil pengukuran objek ke-j pada peubah h
2. Mencari nilai eigen value dan eigen vector dengan rumusan sebagai berikut : det( B I ) dan det( B I ) X dimana menghitung matriks B dengan 1 elemen-elemen : bij (dij2 di2. d.2j d..2 ) 2 1 di2. dij2 n i 1 d.2j dij2 n i 1 d..2 2 dij2 n ii 3. Membentuk koordinat objek berdasarkan eigen vector X x1 x2 , kemudian selanjutnya menghitung Dˆ yang merupakan jarak Euclidean dari koordinat terbentuk. 4. Menghitung nilai Stress dengan rumus sebagai berikut :
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 199
n ˆ 2 (dij dij ) i j S n 2 d ij i j Semakin kecil nilai Stress menunjukkan bahwa hubungan monoton yang terbentuk antara ketidaksamaan dengan disparities semakin baik (didapat kesesuaian) dan kriteria peta persepsi (perceptual map) yang terbentuk semakin sempurna.
•
Data Penelitian Data penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari http://jabar.bps.go.id dengan bukunya yang berjudul Jawa Barat dalam Angka 2014. Data yang diambil adalah data jumlah kasus AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria pada tahun 2012. Data terdiri dari variabel baris dan variabel kolom dimana variabel baris berisi 7 jenis penyakit sedangkan variabel kolom berisi mengenai 9 Kota di Jawa Barat. •
Tahapan Analisis Dibawah ini adalah multidimensional scaling :
alur
diagram
dalam
tahapan
analisis
Menghitung matriks jarak dengan rumus jarak Euclidean Mencari nilai eigen value dan eigen vector
Membentuk koordinat objek berdasarkan eigen vector
Menghitung Menghitung nilai Stress Gambar 1. Tahapan Analisis Multidimensional Scaling (MDS)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN •
Menghitung Matriks Jarak Euclidien Matriks jarak Euclidien pada analisis MDS dihitung dengan menggunakan rumus yang telah dijabarkan sebelumnya, sehingga
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 200
ISSN: 2580-1104
didapatkan matriks Jarak Euclidean dengan bantuan software SPSS adalah sebagai berikut : Tabel. 1 Matriks Jarak Euclidean 1
2
3
4
5
6
7
8
1
0
2
13129
0
3
10948
23652
0
4
8801
4470,7
19555
0
5
14073
27196
5820,4
22823
0
6
1628,4
14704
9633,2
10339
12496
0
7
15330
2228,7
25819
6641,1
29392
16898
0
8
9533,4
3623,2
20155
1024,8
23588
11094
5809,2
0
9
21657
8552,6
32177
12895
35709
23216
6363
12131
9
0
•
Hasil Grafik Pemetaan Berdasarkan grafik koordinat stimulus dapat dihasilkan output grafik pemetaan untuk pemetaan sarana kesehatan di seluruh kota di Jawa Barat adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Grafik Pemetaan Kota di Jawa Barat Berdasarkan Tipe Penyakit
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 201
Gambar 2 di atas menunjukan posisi dari 9 Kota di Jawa Barat berdasarkan tipe jenis penyakit yang diderita pada kota-kota teresebut yaitu AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria pada tahun 2012. Grafik yang disajikan dalam Gambar 2 dimensi (sumbu X dan sumbu Y). Informasi yang diperoleh dari grafik di atas adalah jika kita mengambil titik (0 , 0) sebagai koordinat pusat dan ditarik garis lurus, sehingga grafik terbagi menjadi 4 kuadran, maka: -
-
-
-
Kuadran I (kiri atas) : Terdiri dari 2 Kota di Jawa Barat yaitu Kota Cirebon dan Kota Tasikmalaya. Kedua kota tersebut dipandang memiliki kemiripian dari karakteristik dalam terjadinya kasus penyakit yang diderita karena terletak pada kuadran yang sama. Jika dilihat kecenderungan dari kedua kota tersebut memiliki kemiripan terjadinya kasus penyakit yang sedang-tinggi baik dari kasus penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria. Kuadran II (kanan atas) : Terdiri dari 3 Kota di Jawa Barat yaitu Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Ketiga kota tersebut dipandang memiliki kemiripian dari karakteristik dalam terjadinya kasus penyakit yang diderita karena terletak pada kuadran yang sama. Jika dilihat kecenderungan dari ketiga kota tersebut memiliki kemiripan terjadinya kasus penyakit yang tinggi baik dari kasus penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria. Kuadran III (kanan bawah) : Terdiri dari 1 Kota di Jawa Barat yaitu Kota Bandung. Kota Bandung tersebut dipandang memiliki perbedaan dari karakteristik dalam terjadinya kasus penyakit yang diderita terhadap kota-kota lainnya karena posisi terletak berpisah dengan kota-kota lainnya. Jika dilihat kecenderungan dari Kota Bandung ini memiliki terjadinya kasus penyakit yang sedang-rendah baik dari kasus penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria. Kuadran IV (kiri bawah) : Terdiri dari 3 Kota di Jawa Barat yaitu Kota Cimahi, Kota Sukabumi, dan Kota Banjar. Ketiga kota tersebut dipandang memiliki kemiripian dari karakteristik dalam terjadinya kasus penyakit yang diderita karena terletak pada kuadran yang sama. Jika dilihat kecenderungan dari ketiga kota tersebut memiliki kemiripan terjadinya kasus penyakit yang rendah baik dari kasus penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 202
ISSN: 2580-1104
•
Menghitung Nilai Stress Menghitung nilai stress dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut : n ˆ 2 (dij dij ) i j S n 2 d ij i j Berdasarkan rumus di atas didapat nilai stress hasil iterasi dengan menggunakan software SPSS sebagai berikut :
Iteration history for the 2 dimensional solution (in squared distances) Young's S-stress formula 1 is used. Iteration
S-stress
Improvement 1
,00011 Iterations stopped because S-stress is less than
,005000
For
matrix
Stress
=
,00038
RSQ = 1,00000
Dari hasil output di atas di dapat nilai stress adalah sebesar 0,00038 atau 0,038% berdasarkan garis pedoman kriteria masuk ke dalam sempurna. Nilai RSQ mengindikasikan proporsi varians data input dapat dijelaskan oleh model multidimensional scaling. Menurut Maholtra, model dapat diterima jika RSQ >= 0,6, berdasarkan output SPSS di atas nilai RSQ sebesar 1,000 > 0,6 artinya bahwa model dapat diterima untuk menggambarkan pemetaan 9
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 203
Kota di Jawa Barat. Berdasarkan terjadinya kasus penyakit yang diderita tergolong rendah baik dari kasus penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria. KESIMPULAN Dari hasil pemetaan diatas, terlihat untuk Kota Bandung terletak jauh dengan kota-kota lainnya pada kuadran yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kota tersebut memiliki perbedaan dalam kemiripan dari karakteristik. Apabila dilihat dari kecenderungannya Kota Bandung ini memiliki terjadinya kasus penyakit yang sedang-rendah baik dari jenis penyakit AIDS, HIV+, IMS, DBD, Diare, TB Paru, dan Malaria. Sedangkan kotakota yang lainnya seperti Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Kota Cimahi hampir terletak dalam kuadran yang sama, juga pada Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Bogor yang terletak dalam kuadran yang sama. Hal ini berarti bahwa kota-kota tersebut memiliki kemiripan karakteristik dalam kasus penyakit. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah kota dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan kasus penyakit yang terjadi di setiap kota di Jawa Barat berdasarkan karakteristik kota itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA A.Walundungo, dkk. (2014). Penggunaan Analisis Multidimensional Scaling Untuk Mengetahui Kemiripan Rumah Makan Di Manado Town Square Berdasarkan Kerakteristik Pelanggan. FMIPA UNSRAT. Manado. Ginanjar, I. (2008). Aplikasi Multidimensional Scaling (MDS) Untuk Peningkatan Pelayanan Proses Belajar Mengajar (PBM). Staf Pengajar Prodi Statistika FMIPA UNPAD, Bandung. Hair, J.F. Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C.,(1998), Multivariate Data Analysis, (5th Edition), Prentice Hall, New Jersey. Timm, N. H. (2002). Applied Multivariate Analysis. Springer-Verleg. New York.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 204
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-11 PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL FRAKSIONAL DALAM BENTUK FUNGSI MITTAG-LEFFLER MENGGUNAKAN TRANSFORMASI LAPLACE Muhamad Deni Johansyah 1, Anita Triska2 , Alit Kartiwa3 , Departemen Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Orde turunan dari suatu fungsi secara sederhana senantiasa dihubungkan dengan bilangan asli. Artinya jika diberikan sebuah fungsi, maka kita dapat menentukan turunan ke (Orde) satu, kedua, ketiga dan seterusnya. Ide generalisasi dari konsep ini adalah bagaimana menentukan turunan yang berorde suatu bilangan pecahan (fraksional) yaitu bilangan rasional atau bahkan bilangan real. Dengan demikian, apabila sebelumnya telah dikenal ( ) notasi 𝐷𝑡𝑛 𝑓(𝑡) = 𝑓 𝑛 (𝑡) sebagai turunan berorde bilangan asli 𝑛 dari fungsi 𝑓(𝑡) terhadap variabel 𝑡, maka sebagai generalisasi dari bentuk tersebut diperkenalkan notasi 𝐷𝑡𝛼 𝑓(𝑡) = ( ) 𝑓 𝛼 (𝑡) sebagai turunan fraksional orde-𝛼 dari suatu fungsi 𝑓(𝑡) terhadap variabel 𝑡, dengan 𝛼 suatu bilangan rasional. Sedangkan persamaan diferensial fraksional merupakan persamaan differesial berorde sebarang. Berbagai kajian teori digunakan dalam melakukan penyelesaian persamaan diferensial fraksional menggunakan metode yaitu antara lain: Penggunaan Fungsi Gamma, Fungsi Beta, Fungsi Mittag-Leffler, dan Turunan Pecahan berurut (Sequential Fracsional Derivatives). Dalam penelitian ini akan dicari penyelesaian persamaan diferensial fraksional dengan menggunakan metode Transrformasi Laplace dalam bentuk Fungsi Mittag Leffler. Kata Kunci: Fungsi Mittag Leffler, Transformasi Laplace
PENDAHULUAN Persamaan Diferensial merupakan bagian dari pada Kalkulus dalam Ilmu Matematika yang kajian teori dan aplikasinya sangatlah luas, termasuk dalam bidang teknik dan industri. Namun demikian orde turunan dari persamaan diferensial tersebut pada umumnya (termasuk yang diberikan kepada mahasiswa dalam perkuliahan formal), merupakan bilangan asli. Padahal merupakan tantangan besar bagi para matematikawan untuk memperluas orde turunan tersebut mejadi bilangan rasional bahkan bilangan real. Dalam penelitian ini akan dikaji persamaan diferensial yang berorde fraksional, yaitu persamaan diferensial yang memiliki orde turunan berupa bilangan rasional. Pada tahap pertama, yaitu pada tahun pertama dari penelitian ini, meliputi kajian analisis tentang eksistensi solusi persamaan diferensial, metode mencari solusi, menentukan solusi umum dan solusi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 205
khusus, serta karakterisasi orde fraksional untuk membedakan grafik fungsi solusi. Hasil kajian pada tahap pertama ini, diharapkan akan menjadi dasar bagi tahap selanjutnya yaitu tahap kedua, yang kajiannya akan lebih menitikberatkan pada masalah implementasi sebagai wujud aplikasi baik dalam bidang mekanika fluida maupun dalam bidang industri. Bila hasil dari tahap-1 penelitian ini berupa kajian teori dan analisis, maka hasil dari tahap kedua adalah berupa rumusan dan contoh aplikasi, misalnya tentang viscoelastisitas yaitu rieset bahan yang menunjukkan karakteristik kekentalan dan elastisitas saat menjalani deformasi. Bahan kental, seperti madu, oli, darah dan lain-lain menahan aliran geser dan regangan linear terhadap waktu ketika tegangan diterapkan. Hal ini sangat memungkinkan, karena cukup banyak referensi yang mengarah pada berbagai jenis aplikasi dari turunan fraksional. Selain itu, tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan ajar kuliah yang dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan pada silabus mata kuliah Persamaan Diferensial Biasa yang akan diberikan kepada mahasiswa pada Program Studi Matematika. Hal ini dilakukan agar mahasiswa mendapatkan ilmu yang utuh dari sisi materi Turunan dan Persamaan Diferensial, yaitu meliputi orde bilangan asli maupun fraksional. Demikian juga dari sisi aplikasi, mahasiswa diharapkan termotivasi untuk mempelajari ilmu ini karena fakta menunjukkan cukup banyak aplikasinya. Temuan yang diharapkan dari tahun pertama penelitian ini adalah untuk mendapatkan kajian analisis berkaitan eksistensi solusi, serta bagaimana metode yang bisa digunakan untuk mencari solusi tersebut, baik solusi umum maupun solusi khusus, karena memang metode mencari solusi Persamaan Diferensial Biasa akan sangat berbeda dengan mencari solusi Persamaan Diferensial Fraksional. Hemat kami, penelitian ini akan sangat penting karena hasilnya akan digunakan untuk melengkapi kajian Persamaan Diferensial yang sudah ada yaitu yang berorde bilangan asli. Dengan demikian kajian Persamaan Diferensial akan menjadi lengkap, meliputi orde bilangan asli dan bilangan rasional. Target dari penelitian ini adalah 1. Untuk melanjutkan dan melengkapi khazanah hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah Persamaan Diferensial Fraksional. 2. Mendapatkan dan melahirkan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan Persamaan Diferensial Fraksional untuk dipublikasikan baik melalui
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 206
ISSN: 2580-1104
jurnal Nasional, jurnal Internasional, maupun melalui presentasi oral pada seminar-seminar ilmiah. 3. Menerbitkan bahan ajar yang akan sangat berguna bagi mahasiswa Prodi S-1 Matematika dalam mempelajari Bab Persamaan Diferensial yang ordenya sudah meliputi bilangan asli dan bilangan rasional. 4. Penelitian ini, juga tetap dalam koridor payung penelitian Depertemen Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran yaitu “Pengembangan Penelitian Matematika serta Penerapannya dalam Industri dan Lingkungan untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Melalui target-target yang disebutkan di atas itulah, tujuan dari penilitian ini diharapkan akan tercapai, yaitu untuk kontribusi secara mendasar pada bidang ilmu Matematika dengan penekanan pada gagasan yang sangat fundamental yaitu kajian analisis dan aplikasi dari Persamaan Diferensial Fraksional untuk mendukung pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi demi kemajuan bangsa. METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam bidang ilmu Matematika cenderung lebih pada kajian teoritis melalui cara berfikir kritis dan logis. Metode penelitian yang ditempuh adalah melalui studi literatur primer, yaitu dengan mengembangkan teori yang telah dikerjakan peneliti terdahulu sehingga diharapkan akan diperoleh teori baru yang dapat diaplikasikan dan dikembangkan secara lebih luas. Metode bersifat aksiomatik, yang dibagi menjadi dua bagian besar yaitu analisis fungsional yang bertujuan untuk menunjukkan secara teoritis bahwa solusi dari suatu Persamaan Diferensial Fraksional adalah ada dan tunggal, serta implementasi yang bertujuan untuk mencari bentuk solusi dimaksud dengan prosedur secara numerik yang jelas. Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1. Mengkaji ulang hasil-hasil yang telah dicapai pada penelitian terdahulu. Hal ini diperlukan untuk menentukan dan menetapkan sasaran apa yang akan dicapai pada penelitian berikutnya. Kajian akan dilakukan melalui text book, jurnal, ataupun media lainnya. 2. Melakukan kajian analisis untuk menjamin eksistensi solusi, yang dilengkapi dengan metode mencari solusi. Bila perlu digambarkan dalam bentuk grafik fungsi solusi. Hal ini dilakukan melalui aktivitas berupa penelusuran berbagai pustaka yang menunjang dan berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 207
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Orde turunan dari suatu fungsi secara sederhana senantiasa dihubungkan dengan bilangan asli. Artinya jika diberikan sebuah fungsi, maka kita dapat menentukan turunan ke (Orde) satu, kedua, ketiga dan seterusnya. Ide generalisasi dari konsep ini adalah dalam Rusyaman (2103) bagaimana menentukan turunan yang berode suatu bilangan pecahan (fraksional) yaitu bilangan rasional atau bahkan bilangan real. Persamaan diferensial fraksional adalah salah satu bidang kajian dari kalkulus fraksional yang diperkenalkan pertama kali oleh L’Hopital dan Leibniz. Menurut Poudlubny, persamaan diferensial fraksional adalah persamaan yang memuat diferensial berorde fraksional (sebarang) yang dinotasikan sebagai 𝐷 𝛼 dengan 𝛼 merupakan orde bernilai riil sebarang (Sejati, 2015). 1. Fungsi Gamma Fungsi Gamma ditulis Γ(n) didefinisikan sebagai ∞ Γ(n) = ∫0 𝑥 𝑛−1 𝑒 −𝑥 𝑑𝑥 = (𝑛 − 1)! (1.1) Yang konvergen untuk 𝑛 > 0. Formula berulang (rekursif) untuk fungsi gamma : Γ(n + 1) = nΓ(n), dengan Γ(1) = 1 2. Fungsi Beta Fungsi beta ditulis sebagai 𝐵(𝑚, 𝑛), didefinisikan sebagai 1 𝐵 (𝑚, 𝑛) = ∫0 𝑥 𝑚−1 (1 − 𝑥 )𝑛−1 𝑑𝑥 (1.2) Yang konvergen untuk 𝑚, 𝑛 > 0 Sifat-sifat fungsi Beta : 1. 𝐵 (𝑚, 𝑛) = 𝐵(𝑛, 𝑚) 𝜋
2. 𝐵 (𝑚, 𝑛) = 2 ∫02 sin2𝑚 −1 𝜃 cos 2𝑛−1 𝜃𝑑𝜃 3. Fungsi Mittag Leffler Persamaan fungsi eksponen 𝑒 𝑧 sangat penting dalam persamaan diferensial orde integer. Kita dapat menuliskan bentuk deretnya: 𝑧𝑘
𝑒 𝑧 = ∑∞ 𝑘=0 Γ( 𝑘+1)
(1.3)
Generalisasi dari fungsi ini, kita bisa menyebut fungsi Mittag-Leffler, yang berperan penting dalam teori persamaan diferensial fraksional. Pertama kita perkenalkan fungsi Mittag-Leffler dua parameter, didefinisikan sebagai: 𝑧𝑘
𝐸𝑎,𝛽 (𝑧) = ∑∞ 𝑘=0 Γ(𝛼𝑘 +𝛽) , 𝛼 > 0, 𝛽 ∈ ℝ
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 208
(1.4)
ISSN: 2580-1104
Dalam beberapa kasus dengan memilih parameter 𝛼, 𝛽 kita peroleh fungsi klasik, sebagai berikut: 𝐸1,1 (𝑧) = 𝑒 𝑧 𝑒𝑧 − 1 ( ) 𝐸1,2 𝑧 = 𝑧 𝐸2,1 (𝑧 2 ) = cosh(𝑧) sinh(𝑧) 𝐸2,2 (𝑧 2 ) = 𝑧 Seperti yang telah kita ketahui, fungsi Mittag-Leffler muncul dalam solusi Persamaan Diferensial Fraksional (PDF). Berdasarkan kajian dalam Kisela (2013) dan Erturk (2008), kita dapat menentukan turunan orde ke-m dari fungsi mittag leffler yaitu sebagai berikut: ( )
𝑚 𝐸𝛼,𝛽 (𝑧) = ∑∞ 𝑘 =0
( 𝑘+𝑚) !
𝑧𝑘
𝑘!
𝛤(𝛼𝑘+𝛼𝑚+𝛽)
(1.5)
Bukti : Perhatikan turunan terhadap z dari fungsi f(z) = 𝑧 𝑘 sebagai berikut: 𝑑𝑧 𝑘 𝑘! = 𝑘𝑧 𝑘−1 = 𝑧 𝑘−1 ( 𝑘 − 1) ! 𝑑𝑧 𝑑2𝑧 𝑘 𝑘! = 𝑘 (𝑘 − 1)𝑧 𝑘−2 = 𝑧 𝑘−2 2 ( 𝑘 − 2) ! 𝑑𝑧 𝑑3𝑧 𝑘 𝑘! 𝑘−3 = 𝑘(𝑘 − 1)(𝑘 − 2)𝑧 = 𝑧 𝑘−3 ( 𝑘 − 3) ! 𝑑 𝑧3 Sehingga turunan ke-m terhadap z dari fungsi f(z) = 𝑧 𝑘 adalah 𝑑𝑚𝑧 𝑘 𝑘! = 𝑧 𝑘−𝑚 𝑚 (𝑘 − 𝑚) ! 𝑑𝑧 Maka diperoleh: ∞
𝐸𝑎,𝛽 (𝑧) = ∑ (𝑚) 𝐸𝑎,𝛽 (𝑧)
𝑧𝑘 , Γ(𝛼𝑘 + 𝛽)
𝑘=0 𝑚
𝛼 > 0, 𝛽 ∈ ℝ
∞
𝑑 𝑧𝑘 = 𝑚∑ 𝑑𝑧 Γ(𝛼𝑘 + 𝛽) 𝑘=0
∞ (𝑚) 𝐸𝑎 ,𝛽 (𝑧) = ∑ 𝑘=0
1 𝑘! 𝑧 𝑘−𝑚 Γ(𝛼𝑘 + 𝛽) (𝑘 − 𝑚) !
misal 𝑢 = 𝑘 − 𝑚 → 𝑘 = 𝑢 + 𝑚, sehingga diperoleh: ∞
∞
𝑘=0
𝑢=0 ∞
(𝑢 + 𝑚) ! 𝑢 1 𝑘! 1 ∑ 𝑧 𝑘−𝑚 = ∑ 𝑧 Γ(𝛼𝑘 + 𝛽) (𝑘 − 𝑚) ! Γ(𝛼(𝑢 + 𝑚) + 𝛽) 𝑢! ( )
𝑚 𝐸𝑎,𝛽 (𝑧) = ∑ 𝑢=0
(𝑢 + 𝑚) ! 𝑢!
𝑧𝑢 Γ(𝛼𝑢 + 𝛼𝑚 + 𝛽)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 209
Sehingga berlaku (𝑚) 𝐸𝑎,𝛽 (𝑧)
∞
=∑ Terbukti.
𝑘 =0
(𝑘 + 𝑚)! 𝑧𝑘 𝑘! Γ(𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽)
(1.6)
4. Sequential Derivatives Sequential Derivatives didefinisikan sebagai :
(1.7)
5. Transformasi Laplace Misal fungsi f(t) terdefinisi untuk t >0, maka Transformasi Laplace dari f(t) didefinisikan sebagai:
L[ f (t )] e st f (t ) dt lim 0
b
b
0
e s t f (t ) dt (1.8)
Tabel Transformasi Laplace 𝑓(𝑡) 𝐿 [ 𝑓(𝑡) ] = 𝐹(𝑠) 1 1
𝑠 𝑛!
𝑡𝑛
𝑠 𝑛+1 1
𝑒 𝑎𝑡
𝑠−𝑎 𝑎
sin 𝑎𝑡 𝑠2
+ 𝑎2 𝑠
cos 𝑎𝑡 𝑠2
+ 𝑎2 𝑎
sinh 𝑎𝑡
𝑠 2 − 𝑎2 𝑠
cos 𝑎𝑡 𝑠2
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 210
− 𝑎2
ISSN: 2580-1104
Karakteristik : a. Jika deret ∑∞ 𝑘 =0 𝑎𝑘 𝑓𝑘 (𝑡) konvergen seragam, maka berlaku sifat linearitas dari transformasi laplace sebagai berikut. ∞
ℒ {∑ 𝑎𝑘 𝑓𝑘 (𝑡), 𝑡, 𝑠} 𝑘=0
∞
= ∑ 𝑎𝑘 𝐹𝑘 (𝑠)
(1.9)
𝑘=0
b. Bentuk turunan 𝑑 𝑛 𝑓(𝑡) ℒ{ , 𝑡, 𝑠} 𝑑𝑡 𝑛 = 𝑠 𝑛 𝐹(𝑠) 𝑛
− ∑ 𝑠 𝑛−𝑘 𝑓 (𝑘−1) (0)
(1.10)
𝑘=1
c. Bentuk integral 𝑡
ℒ {∫ 𝑓(𝜏)𝑑𝜏, 𝑡, 𝑠 } 0
𝐹(𝑠) = 𝑠 d. Bentuk konvolusi ℒ{𝑓 (𝑡) ∗ 𝑔(𝑡), 𝑡, 𝑠} = 𝐹(𝑠)𝐺 (𝑠)
(1.11)
(1.12)
Konvolusi disini didefinisikan oleh 𝑡
𝑓(𝑡) ∗ 𝑔(𝑡) = ∫ 𝑓(𝑡 0
− 𝜏)𝑔(𝜏)𝑑𝜏 (1.13) Pada bagian ini, sebelum membahas solusi dari PDF dengan menggunakan transfomasi laplace, terlebih dahulu dibahas Transformasi laplace dari 𝑓(𝑡) = 𝑡 𝛼 dengan 𝛼 > −1, sebagai berikut. 𝑠𝑡 = 𝑟 ∞ 1 ∞ Γ ( 1+𝛼) ℒ { 𝑡 𝛼 , 𝑡, 𝑠} = ∫0 𝑡 𝛼 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = | 𝑑𝑡 = 𝑑𝑟 | = 𝛼 +1 ∫0 𝑟1+𝛼−1 𝑒 −𝑟 𝑑𝑟 = 𝛼+1 𝑠 𝑠 𝑠
(2.1) Selanjutnya, dibahas deret berikut: ∞ (𝑘 + 𝑚)! 𝑘 ∑ 𝑡 𝑘! 𝑘 =0
∞
= ∑ 𝑘 =0
(𝑚 + 𝑘)(𝑚 + 𝑘 − 1) … (𝑚 + 𝑘 + 1 − 𝑚)(𝑚 + 𝑘 − 𝑚)! 𝑘!
𝑡𝑘
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 211
∞
= ∑ (𝑚 + 𝑘)(𝑚 + 𝑘 − 1) … (𝑘 + 1)𝑡 𝑘 𝑘 =0
misal: 𝑢 = 𝑚 + 𝑘 → 𝑘 = 𝑢 − 𝑚, sedangkan batas-batasnya adalah 𝑘 = 0 → 𝑢 = 𝑚 dan 𝑘 = ∞ → 𝑢 = ∞, maka diperoleh ∞ ∞ (𝑘 + 𝑚)! 𝑘 ∑ 𝑡 = ∑ 𝑢 (𝑢 − 1) … (𝑢 − 𝑚 + 1)𝑡 𝑢−𝑚 𝑘! 𝑘 =0 ∞
∑
(𝑘 + 𝑚) !
𝑘 =0 ∞
𝑘!
𝑢=𝑚 ∞
𝑡 𝑘 = ∑ 𝑘(𝑘 − 1) … (𝑘 − 𝑚 + 1)𝑡 𝑘−𝑚 𝑘=𝑚 𝑚
∞
(𝑘 + 𝑚)! 𝑘 𝑑 ∑ 𝑡 = 𝑚 ∑ 𝑡𝑘 𝑘! 𝑑𝑡
𝑘=0 ( 𝑘+𝑚) ! 𝑘 ∑∞ 𝑡 𝑘=0 𝑘! ∞
∑ 𝑘=0
𝑑𝑚
𝑘=𝑚
1
= 𝑑𝑡𝑚 . 1−𝑡
(𝑘 + 𝑚)! 𝑘 𝑚! 𝑡 = (1 − 𝑡)𝑚+1 𝑘!
(2.2)
1
Dari persamaan (1.6),(1.9), dan (2.1), dengan 𝛼, 𝛽 > 0 dan ℜ𝑒 (𝑠) > |𝑎|4 diperoleh ∞ (𝑘 + 𝑚)! (𝑎𝑡 𝛼 )𝑘 𝛼𝑚 +𝛽−1 ( 𝑚) ( 𝛼 ) 𝛼𝑚 +𝛽−1 ℒ{𝑡 𝐸𝛼,𝛽 𝑎𝑡 , 𝑡, 𝑠} = ℒ {𝑡 ∑ , 𝑡, 𝑠} k! Γ(𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽) 𝑘=0 ∞
ℒ{𝑡
𝛼𝑚 +𝛽−1
( 𝑚) (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠} 𝐸𝛼,𝛽
= ℒ {𝑡
𝛼𝑚 +𝛽−1
(𝑘 + 𝑚)! 𝑎𝑘 𝑡 𝛼𝑘 ∑ , 𝑡, 𝑠} k! Γ(𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽) 𝑘=0
∞
(𝑘 + 𝑚)! 𝑎𝑘 ℒ{𝑡 𝛼𝑘+𝛼𝑚+𝛽−1 , 𝑡, 𝑠} k! Γ(𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽) 𝑘=0 Berdasarkan sifat transformasi laplace, maka diperoleh ∞ (𝑘 + 𝑚) ! 𝑎𝑘 (𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽 − 1)! ( ) 𝑚 𝛼𝑚+𝛽−1 𝛼) ( ℒ{𝑡 𝐸𝛼,𝛽 𝑎𝑡 , 𝑡, 𝑠} = ∑ ̇ k! Γ(𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽) 𝑠 𝛼𝑘+𝛼𝑚+𝛽 ( )
𝑚 (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠} = ∑ ℒ{𝑡 𝛼𝑚+𝛽−1 𝐸𝛼,𝛽
( 𝑚)
𝑘=0
ℒ{𝑡 𝛼𝑚+𝛽−1 𝐸𝛼,𝛽 (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠} ∞
(𝑘 + 𝑚)! 𝑎𝑘 (𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽 − 1)! =∑ ̇ k! ( 𝛼𝑘 + 𝛼𝑚 + 𝛽 − 1)! 𝑠 𝛼𝑘 +𝛼𝑚+𝛽 𝑘 =0
ℒ{𝑡
𝛼𝑚+𝛽−1
( 𝑚) 𝐸𝛼,𝛽 (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠}
∞
(𝑘 + 𝑚)! 𝑎𝑘 =∑ k! 𝑠 𝛼𝑘 +𝛼𝑚+𝛽 𝑘=0
ℒ{𝑡
𝛼𝑚+𝛽−1
( 𝑚) 𝐸𝛼,𝛽 (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠}
=𝑠
−𝛼𝑚 −𝛽
Berdasarkan (2.2), maka diperoleh
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 212
∞
∑ 𝑘 =0
(𝑘 + 𝑚)! k!
(
𝑎 𝑘 ) 𝑠𝛼
ISSN: 2580-1104
( 𝑚) (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠} = 𝑠 −𝛼𝑚−𝛽 . ℒ{𝑡 𝛼𝑚+𝛽−1 𝐸𝛼,𝛽
𝑚! 𝑎 𝑚+1 (1 − 𝑠 𝛼 )
( 𝑚) (𝑎𝑡 𝛼 ), 𝑡, 𝑠} = ℒ{𝑡 𝛼𝑚+𝛽−1 𝐸𝛼,𝛽 𝑚! 𝑠𝛼 −𝛽 ( 𝑠𝛼 −𝑎) 𝑚+1
(2.3)
Sedangkan bentuk umum persamaan differensial fraksional adalah 𝑚−1
𝐷𝑎𝜎𝑚 𝑦(𝑡)
+ ∑ 𝐴𝑘 𝐷𝑎𝜎𝑘 𝑦(𝑡) + 𝐴0 𝑦(𝑡) = 𝑓(𝑡)
(2.4)
𝑘=1
Kemudian kita bahas masalah nilai awal bentuk two-term sebagai berikut. 𝐷0𝜎𝑘 𝑦(𝑡) − 𝜆𝑦 (𝑡) = 𝑓 (𝑡) (2.5) 𝐷0𝜎𝑘 −1 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 𝑏𝑘 Dimana 𝜆, 𝑏𝑘 merupakan real konstan, 𝑘 ∈ {1, … . , 𝑚} dan urutan turunan diferenssial dikomposisikan sebagai berikut : 𝑚
𝐷0𝜎
≡
𝐷0−𝛼0 𝐷0𝛼𝑚
… 𝐷0𝛼1 ;
𝜎 = ∑ 𝛼𝑗 − 𝛼0 ,
𝛼𝑗 ∈ (0; 1⟩ , 𝛼0
𝑗=1 𝜎 𝐷0 𝑘
∈ ⟨0; 1) 𝛼𝑘 𝛼𝑘−1 𝛼 ≡ 𝐷0 𝐷0 … 𝐷0 1 , 𝜎𝑘
(2.6)
𝑘
= ∑ 𝛼𝑗
(2.7)
𝑗=1
Andaikan 𝛼 = 0 dengan 𝜎 = 𝜎𝑚 . Bentuk turunan akan tetap sepeti dibawah ini 𝜎 −1 𝛼 −1 𝛼 𝛼 𝐷0 𝑘 = 𝐷0 𝑘 𝐷0 𝑘−1 … 𝐷0 1 Lalu, dari masalah nilai awal tersebut, persamaan (2.5) diubah ke dalam bentuk transformasi laplace sebagai berikut 𝝈 −𝟏 𝝈−𝝈𝒌 𝓛{𝑫𝝈 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒕, 𝒔} = 𝒔𝝈 𝒀(𝒔) − ∑𝒎 𝓓𝟎𝒌 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝒌=𝟏 𝒔 𝑭(𝒔) dimana, 𝑚
∑ 𝑘 =1
𝑚
𝜎 −1 𝒟0 𝑘 𝑦(𝑡)|𝑡=0
jadi, 𝜎−𝜎𝑘 𝑠 𝜎 𝑌(𝑠) − 𝜆𝑌(𝑠) − ∑𝑚 = 𝐹(𝑠) 𝑘 =1 𝑏𝑘 𝑠
= ∑ 𝑏𝑘
(2.8)
(2.9)
𝑘=1
(2.10) Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 213
𝑚
(𝑠 𝜎 − 𝜆)𝑌(𝑠) = ∑ 𝑏𝑘 𝑠 𝜎−𝜎𝑘 + 𝐹 (𝑠) 𝑘=1
Maka diperoleh,
𝑚
𝑌(𝑠) = ∑ 𝑏𝑘 𝑘=1
(𝑠 𝜎−𝜎𝑘 ) 𝑠𝜎
−𝜆
+
𝑠𝜎
1 𝐹(𝑠) −𝜆
Sehingga dengan mengetahui bahwa 𝐿 {𝑓(𝑡), 𝑡, 𝑠} = 𝐹(𝑠) maka, 𝐿−1 (𝐹 (𝑠)) = 𝑓(𝑡). Maka: 𝑚 (𝑠 𝜎−𝜎𝑘 ) 1 −1 −1 𝐿 (𝑌(𝑠)) = 𝑦(𝑡) = 𝐿 (∑ 𝑏𝑘 𝜎 + 𝜎 𝐹(𝑠)) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆
(2.11)
𝑘=1
Dengan demikian berdasarkan pada persamaan (2.3) yaitu 𝑚! 𝑠 𝛼−𝛽 𝛼𝑚+𝛽−1 ( 𝑚) ( 𝛼 ) ℒ{𝑡 𝐸𝛼,𝛽 𝑎𝑡 , 𝑡, 𝑠} = 𝛼 (𝑠 − 𝑎)𝑚+1 Maka persamaan (2.11) sehingga persamaan menjadi: 𝑚 (𝑠 𝜎−𝜎𝑘 ) 1 𝐿−1 (∑ 𝑏𝑘 𝜎 + 𝜎 𝐹(𝑠)) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑘=1
𝑚
−1
=𝐿
0! 𝑠 𝜎−𝜎𝑘 0! 𝑠 𝜎−𝜎 (∑ 𝑏𝑘 𝜎 + 𝐹(𝑠)) (𝑠 − 𝜆)0+1 (𝑠 𝜎 − 𝜆)0+1 𝑘=1
𝑚
𝐿−1 (∑ 𝑏𝑘 𝑘=1
𝜎−𝜎𝑘 )
(𝑠 1 + 𝜎 𝐹(𝑠)) 𝜎 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑚
= ∑ 𝑏𝑘 𝑡 𝜎.0+𝜎𝑘 −1 𝐸𝜎,𝜎𝑘 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑡 𝜎.0+𝜎−1 𝐸𝜎,𝜎 (𝜆𝑡 𝜎 ) 𝑓(𝑡) 𝑚
𝐿−1 (∑ 𝑏𝑘 𝑘=1
(𝑠
𝑘=1 𝜎−𝜎𝑘 )
𝑠𝜎
−𝜆
+
𝑠𝜎
1 𝐹(𝑠)) −𝜆
𝑚
= ∑ 𝑏𝑘 𝑡 𝜎𝑘 −1 𝐸𝜎,𝜎𝑘 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑡 𝜎−1 𝐸𝜎,𝜎 (𝜆𝑡 𝜎 ) 𝑓(𝑡) 𝑘=1
Dengan demikian, diperoleh solusi umum dari PDF sebagai berikut: ( 𝒔 𝝈−𝝈 𝒌) 𝟏 𝝈𝒌−𝟏 𝒚(𝒕) = 𝑳−𝟏 (∑𝒎 + 𝝈 𝑭(𝒔)) = ∑𝒎 𝑬 𝝈,𝝈 (𝝀𝒕𝝈 ) + 𝒌=𝟏 𝒃𝒌 𝝈 𝒌=𝟏 𝒃𝒌 𝒕 𝒕𝝈−𝟏 𝑬 𝝈,𝝈 (𝝀𝒕𝝈)𝒇(𝒕)
𝒔 −𝝀
𝒔 −𝝀
Contoh 1 (Kisela, 2008) : Selesaikan PDF dibawah ini 4
𝐷03 𝑦(𝑡) − 𝜆𝑦 (𝑡) = 𝑡 2
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 214
𝒌
(2.12)
ISSN: 2580-1104
1 3
𝐷0 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 1 1 6
−
𝐷0 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 2 ` Jawab Dalam menjawab soal ini akan diterapkan solusi PDF dengan menggunakan transfromasi laplace sebagai berikut 𝒎 𝝈 −𝟏 𝓛{𝑫 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒕, 𝒔} = 𝒔 𝒀(𝒔) − ∑ 𝒔𝝈−𝝈𝒌 𝓓𝟎𝒌 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝑭(𝒔) 𝝈
𝝈
𝒌=𝟏
Untuk m = 2, diperoleh: 𝓛{𝑫𝝈 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒔, 𝒕} 𝝈 −𝟏 𝝈 −𝟏 = 𝒔𝝈 𝒀(𝒔) − 𝒔𝝈−𝝈𝟏 𝓓𝟎𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝒔𝝈−𝝈𝟐 𝓓𝟎𝟐 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝑭(𝒔) Sedangkan pada soal diketahui: 4 𝜎= 3 1 4 𝜎1 − 1 = → 𝜎1 = 3 3 1 5 𝜎2 − 1 = − → 𝜎2 = 6 6 Sehingga didapat: 4
ℒ {𝐷03 𝑦(𝑡), 𝑡, 𝑠} − ℒ {𝜆𝑦(𝑡), 𝑡, 𝑠} = ℒ {𝑡 2 , 𝑡, 𝑠} 4 𝑠 3 𝑌(𝑠) 4
𝑠 3 𝑌(𝑠)
4 4 4−1 4 5 5−1 − − 3 3 3 ( ) −𝑠 𝒟0 𝑦 𝑡 |𝑡 =0 − 𝑠 3 6 𝒟60 𝑦(𝑡)|𝑡=0 − 𝜆𝑌(𝑠) 1 1 −1 2 0 3 ( ) − 𝑠 𝒟0 𝑦 𝑡 |𝑡=0 − 𝑠 2 𝒟0 6 𝑦(𝑡)|𝑡=0 − 𝜆𝑌(𝑠) = 3
2 −1 − 𝜆𝑌(𝑠) = 3 𝑠 4 1 2 𝑌(𝑠) (𝑠 3 − λ) = 2s 2 + 3 + 1 s 4 𝑠 3 𝑌(𝑠)
1 − 2𝑠 2
1
𝑌(𝑠) =
2𝑠 2 4 𝑠3
−𝜆
+
2𝑠 −3 4 𝑠3
+
−𝜆
=
2 𝑠3
𝑠
1 4 𝑠3
−𝜆
Berdasarkan persamaan (2.12) dengan menggunakan invers transfrormasi laplace 𝒚(𝒕) = 𝑳−𝟏 (∑𝒎 𝒌=𝟏 𝒃𝒌 𝝈−𝟏 𝝈 𝒕 𝑬 𝝈,𝝈 (𝝀𝒕 )𝒇(𝒕)
( 𝒔 𝝈−𝝈 𝒌) 𝒔 𝝈 −𝝀
𝟏
𝝈𝒌−𝟏 + 𝒔𝝈−𝝀 𝑭(𝒔)) = ∑𝒎 𝑬 𝝈,𝝈𝒌 (𝝀𝒕𝝈 ) + 𝒌=𝟏 𝒃𝒌 𝒕
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 215
Langkah pertama kita kerjakan ruas kiri persamaan (2.12)untuk m = 2 sebagai berikut: (𝑠 𝜎−𝜎1 ) (𝑠 𝜎−𝜎2 ) 1 𝑦(𝑡) = 𝐿−1 (𝑏1 𝜎 + 𝑏2 𝜎 + 𝜎 𝐹(𝑠)) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑠 − 𝜆 1
𝑦(𝑡) = 𝐿−1 ( 𝜎 − 𝜎1 = 4 3
− 𝜎1 = 𝜎1 =
2𝑠 2 4 𝑠3
2𝑠 −3
+
4 𝑠3
−𝜆
1 2 1
;
−𝜆
1 4 𝑠3
)
−𝜆 dan 𝑏1 = 2 𝑏2 = 2
𝜎 − 𝜎2 = −3 4
2 5 6
+
3
− 𝜎2 = −3 𝜎2 =
4 5 − 2𝑠 3 6 4 𝑠 3 −𝜆
𝑦(𝑡) = 𝐿−1 (
+
2𝑠 𝑠
13 3
4 13 − 3 3 4 3 −𝜆
+
1 4 𝑠 3 −𝜆
)
Selanjutnya langkah ke-dua kita kerjakan ruas kanan persamaan(2.12), maka solusi PDF dapat ditulis dalam bentuk Fungsi Mittag Leffler sebagai berikut: 4 5 13 𝜎 = 3 , 𝜎1 = 6 , 𝜎2 = 3 dan 𝑏1 = 2, 𝑏2 = 2 𝑦(𝑡) = 𝑏1 𝑡 𝜎1 −1 𝐸𝜎,𝜎1 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑏2 𝑡 𝜎2 −1 𝐸𝜎,𝜎2 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑡 𝜎−1 𝐸𝜎,𝜎 (𝜆𝑡 𝜎 ). 𝑓(𝑡) 5
4
13
4
4
4
𝑦(𝑡) = 2𝑡 6 −1 𝐸4 ,5 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 3 −1 𝐸4 ,13 (𝜆𝑡 3 ) + 𝑡 3 −1 𝐸4 ,4 (𝜆𝑡 3 ) . 1 𝑦(𝑡) = 𝑦(𝑡) =
36 3 3 33 1 4 10 4 1 4 2𝑡 6 𝐸4 ,5 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 3 𝐸4 ,13 (𝜆𝑡 3 ) + 𝑡 3 𝐸4 ,4 (𝜆𝑡 3 ) 36 3 3 33 1 4 1 4 10 4 − 𝑡 3 𝐸4 ,4 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 6 𝐸4 ,5 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 3 𝐸4 ,13 (𝜆𝑡 3 ) 33 36 3 3 −
Contoh 2 Selesaikan PDF dibawah ini 4 3
𝐷0 𝑦(𝑡) − 𝜆𝑦 (𝑡) = 𝑡 2 1 3
𝐷0 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 1 1
−
𝐷0 6 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 2 5 −
𝐷0 6 𝑦(𝑡)|𝑡=0 = 3 Jawab Dalam menjawab soal ini akan diterapkan solusi PDF dengan menggunakan transfromasi laplace sebagai berikut 𝒎
𝓛{𝑫 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒕, 𝒔} = 𝒔 𝒀(𝒔) − ∑ 𝒔𝝈−𝝈𝒌 𝓓𝝈𝟎𝒌 −𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝑭(𝒔) 𝝈
𝝈
𝒌=𝟏
Untuk m = 3, maka diperoleh: 𝓛{𝑫𝝈 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒔, 𝒕} = 𝒔𝝈 𝒀(𝒔) − 𝒔𝝈−𝝈𝟏 𝓓𝝈𝟎𝟏 −𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝒔𝝈−𝝈𝟐 𝓓𝝈𝟎𝟐−𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝒔𝝈−𝝈𝟑 𝓓𝝈𝟎𝟑 −𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝑭(𝒔)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 216
ISSN: 2580-1104
𝜎=
4 3
4 3 1 5 𝜎2 − 1 = − → 𝜎2 = 6 6 5 1 𝜎3 − 1 = − → 𝜎3 = 6 6 𝜎1 − 1 =
1 3
→ 𝜎1 =
Sehingga didapat: 4
ℒ {𝐷03 𝑦(𝑡), 𝑡, 𝑠} − ℒ {𝜆𝑦(𝑡), 𝑡, 𝑠} = ℒ {𝑡 2 , 𝑡, 𝑠} 𝓛{𝑫𝝈 𝒚(𝒕) − 𝝀𝒚(𝒕), 𝒔, 𝒕} = 𝒔𝝈 𝒀(𝒔) − 𝒔𝝈−𝝈𝟏 𝓓𝝈𝟎𝟏 −𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝒔𝝈−𝝈𝟐 𝓓𝝈𝟎𝟐−𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝒔𝝈−𝝈𝟑 𝓓𝝈𝟎𝟑 −𝟏 𝒚(𝒕)|𝒕=𝟎 − 𝝀𝒀(𝒔) = 𝑭(𝒔) 4 𝑠 3 𝑌(𝑠)
4 4 4−1 − 3 3 −𝑠 𝒟30 𝑦(𝑡)|𝑡 =0
2 − 𝜆𝑌(𝑠) = 3 𝑠
4 𝑠 3 𝑌(𝑠) 4
𝑠 3 𝑌(𝑠)
4 5 5−1 − 𝑠 3 − 6 𝒟60 𝑦(𝑡)|𝑡=0
1 1 −1 3 ( ) − 𝑠 𝒟0 𝑦 𝑡 |𝑡=0 − 𝑠 2 𝒟0 6 𝑦(𝑡)|𝑡=0 1 7 2 − 1.1 − 2𝑠 2 − 3𝑠 6 − 𝜆𝑌(𝑠) = 3 𝑠 0
4
1
2
−
7 𝑠6
−5 𝒟06
−
4 1 1 −1 𝑠 3 − 6 𝒟06 𝑦(𝑡)|𝑡=0
𝑦(𝑡)|𝑡=0 𝜆𝑌(𝑠) =
2 𝑠3
7
𝑌(𝑠) (𝑠 3 − λ) = s3 + 2s 2 + 3𝑠 6 + 1 𝑌(𝑠) =
2𝑠 −3 4 𝑠3
+
1
7
2𝑠 2
3𝑠 6
+
4 𝑠3
4 𝑠3
+
1 4 𝑠3
−𝜆 −𝜆 −𝜆 −𝜆 Berdasarkan rumus (2.12) dengan menggunakan invers transfrormasi laplace, diperoleh 𝑚 (𝑠 𝜎−𝜎𝑘 ) 𝐹(𝑠) 𝑦(𝑡) = 𝐿−1 (∑ 𝑏𝑘 𝜎 + 𝜎 ) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑘=1 𝑚
= ∑ 𝑏𝑘 𝑡 𝜎𝑘 −1 𝐸𝜎,𝜎𝑘 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑡 𝜎−1 𝐸𝜎,𝜎 (𝜆𝑡 𝜎 ). 𝑓(𝑡) 𝑘 =1
(𝑠 𝜎−𝜎1 ) (𝑠 𝜎−𝜎2 ) (𝑠 𝜎−𝜎3 ) 𝐹(𝑠) −1 𝑦(𝑡) = 𝐿 (𝑏1 𝜎 + 𝑏2 𝜎 +𝑏3 𝜎 + 𝜎 ) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑠 − 𝜆 𝑠 −𝜆 −1
𝑦(𝑡) = 𝐿
(
2𝑠 −3 4 𝑠3 −𝜆
+
1
7
2𝑠 2
3𝑠6
4 𝑠 3 −𝜆
+
4 𝑠3 −𝜆
+
1 4 𝑠 3 −𝜆
)
4
*𝜎=3 ∗ 𝜎 − 𝜎1 = −3 4 13 − 𝜎1 = −3 → 𝜎1 = 3 3
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 217
4 1 5 − 𝜎2 = → 𝜎2 = 3 2 6 7 ∗ 𝜎 − 𝜎3 = 6 4 7 1 − 𝜎3 = → 𝜎3 = 3 6 3 𝜎−𝜎1 ) ( (𝑠 𝜎−𝜎2 ) (𝑠 𝜎−𝜎3 ) 𝑠 𝐹(𝑠) 𝑦(𝑡) = 𝐿−1 (𝑏1 𝜎 + 𝑏2 𝜎 +𝑏3 𝜎 + 𝜎 ) 𝑠 −𝜆 𝑠 −𝜆 𝑠 − 𝜆 𝑠 −𝜆 ∗
4
𝑦(𝑡) = 𝐿−1 (
2𝑠 3 4 3
−
13 3
𝑠 −𝜆
4
+
2𝑠 3 4 3
−
5 6
4 1 − 6
3𝑠 3
++
4 𝑠3
𝑠 −𝜆
+
−𝜆
1
)
4 3
𝑠 −𝜆
Selanjutnya langkah ke-dua kita kerjakan ruas kanan persamaan(2.12), maka solusi PDF dapat ditulis dalam bentuk Fungsi Mittag Leffler sebagai berikut: 𝑦(𝑡) = 𝑏1 𝑡 𝜎1 −1 𝐸𝜎,𝜎1 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑏2 𝑡 𝜎2 −1 𝐸𝜎,𝜎2 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑏3 𝑡 𝜎3 −1 𝐸𝜎,𝜎3 (𝜆𝑡 𝜎 ) + 𝑡 𝜎−1 𝐸𝜎,𝜎 (𝜆𝑡 𝜎 ). 𝑓(𝑡) 13
𝑦(𝑡) = 2𝑡 3
𝑦(𝑡) =
−1
4
5
𝐸4 ,13 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 6
−1
4
1
𝐸4 ,5 (𝜆𝑡 3 ) + 3𝑡 6
3 3 36 4 4 −1 + 𝑡 3 𝐸4 ,4 (𝜆𝑡 3 ) 33 10 4 1 4 2𝑡 3 𝐸4 ,13 (𝜆𝑡 3 ) + 2𝑡 − 6 𝐸4 ,5 (𝜆𝑡 3 ) + 3 3 36
−1
5
4
𝐸4 ,1 (𝜆𝑡 3 ) 36
4
1
4
3𝑡 − 6 𝐸4,1 (𝜆𝑡 3 ) + 𝑡 3 𝐸4 ,4 (𝜆𝑡 3 ) 36
33
KESIMPULAN Analisis ini menujukkan penerapan metode tranformasi laplace dalam meyelesaikan persamaan diferensial fraksional. Metode transformasi laplace merupakan salah satu metode yang paling akurat dalam menyelesaikan persamaan differensial fraksional dalam bentuk Fungsi Mittag Leffler. Sehingga keakuratan menghasilkan solusi dari persamaan differensial pun tinggi.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 218
ISSN: 2580-1104
DAFTAR PUSTAKA Rusyaman, Endang dkk. (2013). Syarat Kekontinuan Fungsi Konvergensi pada Barisan Fungsi Turunan Berode Fraksional, Diselenggarakan oleh BATAN Bandung, 4 juli 2013 (hal. 583-587). Diakses dari http://digilib.batan.go.id/ppin/katalog/file/1858-3601-2013-_583587.pdf Sejati, Asri (2015): Metode Transformasi Differensian Fraksional Untuk Menyelesaikan Masalah Sturm-Liouville Fraksional, Skripsi Program Sarjana, Universitas Sebelas Maret. Kisela, Thomas(2008): Fractional Fiffrential Equations and Their Applications, Tesis Program Magister, BRNO University of Technology. Erturk, V. S., & Shaher, M. (2008). Solving Systems Of Fractional Differential Equations Using Differential Transform Method. Journal of Computational and Applied Mathematics, 215(2008),142-151. doi:10.1016/j.cam.2007.03.029.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 219
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 220
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-12 MODEL PREDIKSI KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM DI DKI JAKARTA Siti Rohmah Rohimah1, Widyanti Rahayu2, Yekti Widyaningsih3, Dian Lestari4 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat model prediksi kejadian DBD di DKI Jakarta berdasarkan faktor iklim di Provinsi DKI Jakarta. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat distribusi penyebaran DBD dari tahun ke tahun yang terjadi setiap bulan. Namun, yang paling mempengaruhi adalah keempat faktor yaitu suhu maksimum rata-rata, kelembaban udara, curah hujan, dan hari hujan. Model prediksi dibentuk dengan pengaruh dari keempat faktor tersebut. Model prediksi diperoleh dengan melihat prediksi untuk setiap bul an dari setiap tahunnya, dimulai dari bulan Januari hingga bulan Desember pada tahun 2008 sampai dengan 2015. Oleh karena itu, dapat diprediksi kejadian DBD pada tahun-tahun berikutnya dengan melihat kejadian DBD pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi demam berdarah (DBD) di Provinsi DKI Jakarta, sehingga dapat membantu pemerintah daerah DKI Jakarta dalam upaya menangani penyakit demam berdarah dengan tepat sasaran.
PENDAHULUAN Demam berdarah Dengue merupakan penyakit yang bersifat endemik. Nyamuk Aedes aegepty sebagai vektor utama penyakit demam berdarah memiliki pola hidup di wilayah yang panas. Oleh karena itu, penyakit ini banyak berkembang di daerah perkotaan. DKI Jakarta merupakan daerah perkotaan yang rentan terhadap penyakit demam berdarah. Sehingga banyak cara dilakukan Pemerintah DKI Jakarta untuk mengurangi jumlah penderita penyakit demam berdarah. Banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan Aedes aegepty. Faktor yang mempengaruhi Aedes aegepty yaitu faktor iklim diantaranya suhu, kelembaban udara, curah hujan, dan hari hujan. Nyamuk Aedes aegepty akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20 0C sampai 300C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas pada waktu 1 sampai 3 hari pada suhu 300C, tetapi pada temperatur 16 0C membutuhkan waktu sekitar 7 hari. Kelembaban udara akan mempengaruhi kebiasaan meletakkan telurnya. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi singkat sehingga tidak dapat berperan sebagai vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Hujan yang datang tiba-tiba dapat menyebabkan tempat berkembang biak nyamuk semakin banyak, sehingga kejadian penyakit juga jadi semakin tinggi. Akan tetapi, cuaca hujan yang ekstrem akibat perubahan iklim, tidak jarang mengakibatkan banjir. Kondisi ini semakin memperparah penyebaran lantaran telur nyamuk akan terbawa arus air ke wilayah yang lebih luas.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 221
Telur nyamuk yang hanyut akibat banjir ke daerah kering dapat bertahan selama tiga bulan dalam keadaan tidak aktif.Namun, saat kemudian ada air, nyamuk dapat menetas dengan napsu makan yang tinggi. Faktor suhu juga berperan dalam penyebaran nyamuk. Ukuran nyamuk sekarang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga jangkauan terbangnya semakin jauh.Dengan jangkauan terbang yang lebih jauh, nyamuk dapat menyebar ke wilayah yang lebih luas. Nyamuk juga akan mencapai tempat yang sesuai dengan kenyamanannya. Naik turunnya siklus perkembangan nyamuk terjadi di wilayah Jakarta. Meskipun angka kasus DBD yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta sudah menurun. Pada Januari hingga April 2014, angka kasus DBD di DKI Jakarta sempat mencapai sekitar 1.250 kasus. Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember ini tercatat penderita DBD di 34 provinsi sebesar 71.668 orang, 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (2013) dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871. Meskipun secara umum terjadi penurunan kasus tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya namun pada beberapa provinsi mengalami peningkatan jumlah kasus DBD, diantaranya Sumatra Utara, Riau, Kepri, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali dan Kalimantan Utara. Diharapkan hingga akhir tahun 2014, baik jumlah penderita maupun jumlah kematian DBD dapat ditekan di bawah jumlah kasus dan kematian DBD yang dilaporkan pada tahun 2013. Penyakit demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan di kota besar. DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penderita DBD terbanyak di Indonesia. Kasus demam berdarah merupakan salah satu masalah sektor kesehatan utama yang banyak dijumpai pada masyarakat di DKI Jakarta. Kasus demam berdarah membutuhkan penanganan yang tepat, karena konsekuensinya dapat menimbulkan kematian. Upaya yang dilakukan pemerintah antara lain: memerintahkan semua rumah sakit untuk tidak menolak pasien yang menderita DBD, meminta direktur/direktur utama rumah sakit untuk memberikan pertolongan secepatnya kepada penderita DBD sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku serta membebaskan seluruh biaya pengobatan dan perawatan penderita yang tidak mampu, dan menurunkan tim bantuan teknis untuk membantu rumah sakit daerah. Penelitian tentang penderita DBD di DKI Jakarta telah banyak dilakukan antara lain, Afira dan Mansyur (2013) tentang gambaran kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Gambir dan Kecamatan Sawah Besar tahun 2005-2009. Selain itu, berdasarkan penelitian
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 222
ISSN: 2580-1104
sebelumnya (Ariati dkk, 2014) kejadian DBD di kota Bogor dipengaruhi oleh empat faktor iklim yaitu curah hujan, hari hujan, suhu, dan kelembaban. Penelitian sebelumnya juga diperoleh bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit demam berdarah adalah faktor spasial dan nonspasial (Rohimah dkk, 2014) Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk memberantas penyakit demam berdarah. Namun jumlah penderita demam berdarah di DKI Jakarta masih banyak. Oleh karena itu membuat model prediksi kejadian demam berdarah berdasarkan faktor iklim sangat penting untuk membantu menangani kasus DBD di DKI Pemberantasan kasus demam berdarah di DKI Jakarta merupakan masalah yang sangat penting ditangani dengan cepat dan tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah. Upaya tersebut bertujuan untuk memperoleh cara strategis dalam menangani masalah demam berdarah. Sedangkan untuk mengetahui pola musim secara lebih terperinci, dikombinasikan dengan analisis Runtun Waktu (Time Series Analysis) untuk melihat pola waktu terjadinya KLB kasus Demam Berdarah. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam program pemberantasan kasus DBD di tiap Kecamatan di DKI Jakarta. TINJAUAN PUSTAKA Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah disebut juga Dengue Haemorrhagic Fever karena disertai gejala demam dan pendarahan (Mulia, 2005). Penyakit ini menyebar melalui vektor berupa nyamuk Aedes aegypti.Demam berdarah di Indonesia merupakan penyakit yang tergolong kejadian luar biasa.Penyakit DBD dapat didiagnosis melaui gejala seperti demam tinggi dan munculnya ruam.untuk memperoleh ketepatan diagnosis yang lebih tinggi biasanya dilakukan berbagai uji laboratorium. Uji laboratorium yang dilakukan antara lain: menghitung jumlah antibodi terhadap virus dengue, penghitungan darah lengkap leukosit, hemoglobin, hematokrit, dan trombosit). Leukosit atau sel darah putih yang mengandung inti, dengan batas normal bagi perempuan adalah 430011300/mm3, sedangkan untuk laki-laki adalah 430010300/mm3.Hemoglobin adalah protein kompleks yang ada dalam eritrosit yang mengandung zat besi dan berwarna merah.Kadar hemoglobin yang normal untuk perempuan adalah 11.4 g/dl sampai 15.1 g/dl, sedangkan untuk laki-laki 13.4 g/dl sampai 17.7 g/dl.Hematokrit adalah suatu angka
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 223
yang menunjukkan persentase zat padat dalam darah terhadap cairan darah. Keadaan normal hematokrit pada tubuh manusia adalah 38 sampai 42 % untuk perempuan dan 40-47 % untuk laki-laki. Trombosit merupakan bagian terkecil dari unsure seluler pada sumsum tulang dan penting dalam proses pembekuan serta hemostatis. Dalam kondisi normal jumlah trombosit bagi perempuan dan laki-laki antara 150000-40000/mm3. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Tobler dalam Anselin 1988).Adanya efek spasial merupakan hal yang lazim terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Model yang dapat menjelaskan hubungan antara suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya adalah model spasial.Penderita DBD dari satu wilayah diduga dapat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya dan menyebar Poisson. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi jumlah penderita demam berdarah dengue adalah faktor spasial dan nonspasial.Faktor spasial yan g mempengaruhi jumlah penderita demam berdarah di lokasi tersebut adalah jumlah penderita demam berdarah pada lokasi tetangganya. Sedangkan faktor nonspasial yang diduga mempengaruhi jumlah penderita DBD yaitu faktor iklim antara lain: curah hujan, hari hujan, suhu, dan kelembaban. Time Series Pendeteksian hotspot dalam penelitian ini, selain mendeteksi lokasi terjadinya KLB (Kejadian Luar Biasa) Demam Berdarah, akan dideteksi pula waktu terjadinya KLB tersebut. Dalam hal ini Time Series Analysis digunakan untuk menganalisis pola kasus Demam Berdarah. Gambar 1 adalah contoh plot jumlah kejadian (sumbu vertical) dan waktu terjadinya (sumbu mendatar) . Plot data yang berwarna hitam menggambarkan data pengamatan, dan plot yang berwarna biru dan merah adalah kemungkinankemungkinan yang terjadi dalam 3 langkah satuan waktu ke depan.
Gambar 1. Plot data pengamatan dan pendugaan Kasus yang diteliti
Pendugaan yang diperoleh, diharapkan memberikan hasil dengan error minimum. Metode pendugaan ini menggunakan metode kuadrat terkecil dari suatu model Time Series sebagai berikut: 𝐶𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1 𝐶𝑡−𝑘 + 𝜀𝑡 (5)
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 224
ISSN: 2580-1104
Dengan 𝐶𝑡 adalah jumlah kasus pada waktu t, 𝐶𝑡−𝑘 adalah jumlah kasus pada waktu t-k (untuk lag k), 𝛽0 dan 𝛽1 adalah parameter model yang akan ditaksir, serta 𝜀𝑡 adalah error (kesalahan), dengan asumsi error berdistribusi Normal (0, 2). Penggabungan faktor spasial dan waktu dalam suatu model menjadi Space-Time Modeling. Ada beberapa macam model Space-time. Berikut ini adalah model yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu The SpaceTime Autoregressive Moving-Average (STARMA Model). Model STARMA adalah model yang menggambarkan dependensi lag pada lokasi (space) dan waktu (time) (Pfeifer and Deutsch, 1980). Sebagaimana yang dikehendaki dalam analisis time series, space-time modeling juga menghendaki kestasioneran pada system. Dalam notasi matriks, STARMA dituliskan sebagai berikut: 𝑝
𝜆𝑘
𝒛 (𝒕) = ∑ ∑ 𝜙𝑘𝑙 𝑾𝑙 𝒛(𝒕 − 𝒌) 𝑘=1 𝑙 =1
𝑞
(6)
𝑚𝑘
+ ∑ ∑ 𝜃𝑘𝑙 𝑾𝑙 𝜺(𝒕 − 𝒌) + 𝜺(𝒕) 𝑘=1 𝑙=0
dengan 𝜺(𝒕) berdistribusi Normal dengan mean nol, dan 2 𝐸[𝜺(𝒕)𝜺(𝒕 + 𝒔)′] = {𝜎 𝐼𝑁 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠 = 0 (7) 0 𝑙𝑎𝑖𝑛 p dan q masing-masing adalah order dari suku-suku autoregressive dan moving average; 𝜆 𝑘dan 𝑚 𝑘 adalah order spasial autoregressive dan moving averageke-k; 𝜙𝑘𝑙 dan 𝜃𝑘𝑙 adalah parameter-parameter yang akan diduga. Pendugaan parameter akan menggunakan prosedur Three Stage Iterative Estimation. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat model prediksi kejadian DBD di DKI Jakarta serta mendeteksi wilayah hotspot kerawanan penderita demam berdarah dengue di Provinsi DKI Jakarta. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan memberikan model prediksi DBD dan peta hotspot jumlah penderita DBD sehingga dapat menyelesaikan kasus demam berdarah dengue di DKI Jakarta dengan cepat dan tepat sasaran. Selain itu, pemetaan yang dihasilkan berupa daerah hotspot bertujuan membantu kesiagaan pemerintah dan masyarakat terhadap perubahan iklim yang membawa dampak pada perubahan pola DBD karena cuaca dan air merupakan faktor penting dalam siklus hidup nyamuk pembawa penyakit.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 225
METODE PENELITIAN Tahapan Penelitian Tahapan analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menentukan statistika deskriptif untuk tiap peubah 2. Membuat model prediksi kejadian demam berdarah dengue berdasarkan faktor iklim yaitu curah hujan, hari hujan, suhu, dan kelembaban Analisis dilakukan dengan menggunakan software minitab. Peubah Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari data BPS DKI Jakarta dalam angka 2008 sampai dengan 2015 pada 42 kecamatan yang ada di DKI Jakarta tanpa Kepualauan Seribu. Peubah yang digunakan adalah jumlah penderita demam berdarah dengue pada tiap kecamatan di Provinsi DKI Jakarta tanpa kepulauan seribu (Y), hari hujan (X1 ), jumlah curah hujan (X2 ), kelembaban udara (X3 ), dan suhu maksimum rata-rata (X4 ). HASIL YANG DICAPAI Plot antar Variabel yang Digunakan dalam Penelitian Gambaran tentang variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat terlihat dari plot tiap variabel. Selain itu, untuk melihat hubungan antara variabel yang satu dengan yang lainnya juga dapat dilihat pada plot antar variabel seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Plot rerata penyebaran DBD di Jakarta setiap bulan dari tahun 2008-2015 Pada Gambar 2 terlihat bahwa pola data rerata penyebaran DBD di Jakarta pada bulan ke-1 tahun 2008 sampai dengan bulan ke-30 tahun 2010 mengalami pola penyebaran yang seasonal, namun terlihat bahwa penyebaran DBD mengalami penurunan yang cukup signifikan setelah melewati bulan ke-30. Puncak penyebaran DBD tertinggi terjadi pada bulan ke-5 di tahun 2008 dan penyebaran DBD terendah terjadi pada bulan ke -95 pada tahun 2015. Tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 merupakan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 226
ISSN: 2580-1104
penyebaran DBD yang polanya tertinggi dibandingkan tahun-tahun berikutnya, hal ini menunjukkan pola penyebaran memiliki trend menurun dari tahun ke tahun hingga tahun 2015.
Gambar 3. Plot pola iklim bulanan kelembapan (%) dan suhu (oC)
Pada Gambar 3 terlihat bahwa hubungan kelembapan dan suhu berbanding terbalik, jika suhu naik maka kelembapan berkuran dan suhu turun maka kelembapan akan bertambah. Pada saat penyebaran DBD sedang mengalami peningkatan di awal bulan pada tahun 2008 terlihat bahwa suhu mengalami penurunan dan kelembapan tinggi hal ini mendukung bahwa kondisi cuaca saat itu sedang mendukung penyebaran DBD di Jakarta. Kondisi ini terus telihat hingga akhir bulan di tahun 2015 namun tidak separah tahun 2008 hingga tahun 2010. Rerata kelembapan tertinggi terjadi pada bulan Februari tahun 2014 yaitu sebesar 86,34%. Rerata kelembapan terendah terjadi pada bulan Oktober tahun 2015 yaitu sebesar 66,02 %. Rerata suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober tahun 2015 yaitu sebesar 34,32℃. Rerata suhu terendah terjadi pada bulan Februari tahun 2014 yaitu sebesar 29,98℃. Plot pola iklim bulanan antara suhu dan kelembapan memiliki trend mendatar, sebab terlihat bahwa penaikan maupun penurunan suhu dan kelembapan tidak saling signifikan namun saling mempengaruhi satu sama lain. Apabila dianalisis mengenai hubungan pola iklim bulanan suhu dan kelembapan memiliki pengaruh dalam pola penyebaran DBD di Jakarta, awal tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 memiliki pola penyebaran DBD yang cukup tinggi hal itu selaras dengan kondisi suhu dan kelembapan yang ada pada tahun tersebut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 227
Gambar 4. Plot pola iklim bulanan hari hujan dan curah hujan (mm)
Pada Gambar 4 terlihat bahwa hari hujan sebanding dengan curah hujan. Curah hujan yang tinggi pada suatu bulan mendeskripsikan bahwa bulan tersebut memiliki hari hujan yang cukup banyak intensitasnya. Awal tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 yang memiliki pola penyebaran DBD yang cukup tinggi memiliki pola seasonal curah hujan dan hari hujan yang tinggi pula. Rerata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret tahun 2014 yaitu sebesar 790,96 mm dan rerata curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli tahun 2015 yaitu sebesar 0,50 mm. Rerata hari hujan sepanjang tah un terjadi hampir 30 hari untuk hari hujan tertinggi, namun tidak ada sama sekali hari tidak hujan pada setiap bulan hal ini disebabkan rerata suhu dan kelembapan yang mendukung hal tersebut terjadi. Pengaruh rerata hari hujan yang tinggi sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2015 ikut mempengaruhi trend plot pola iklim bulanan curah hujan dan hari hujan yang cenderung fluktuatif selama 8 tahun.
Gambar 5. Plot pola seasonal bulanan kelembapan (%) dan suhu (℃)
Pada Gambar 5 ditampilkan plot seasonal bulanan dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember dimana setiap bulan dianalisis dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Pada seasonal bulanan jelas terlihat bahwa plot berbanding terbalik antara kelembapan dan suhu. Plot pola seasonal bulanan menunjukkan bahwa rerata kelembapan tertinggi terjadi pada bulan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 228
ISSN: 2580-1104
Februari selama 8 tahun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Sementara untuk rerata kelembapan terendah terjadi pada bulan Oktober dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Rerata suhu pada plot seasonal bulanan berbanding terbalik dengan rerata kelmebapan sehingga rerata suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan rerata suhu terendah terjadi pada bulan Februari. Plot pola seasonal bulan sama dengan plot pola iklim bulanan yang memiliki kelembapan dan suhu yang tertinggi dan terendah terjadi pada bulan yang sama. Plot pola seasonal bulanan 8 tahun memiliki pola penaikan dan penuruna yang tidak terlalu terlihat signifikan dan penurunan kelembapan terjadi cenderung pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober, sementara pada bulan-bulan itu rerata peningkatan suhu yang cukup tinggi. Awal tahun yang menyebabkan pola penyebaran DBD yang cukup tinggi juga telah ditunjukkan pada plot seasonal bulanan tersebut.
Gambar 6. Plot pola seasonal bulanan hari hujan dan curah hujan (mm)
Pada Gambar 6 ditampilkan plot seasonal bulanan dari rerata hari hujan dan curah hujan dimana dihitung dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015 untuk setiap bulannya. Rerata hari hujan tertinggi dan hari hujan tertinggi yaitu pada bulan Januari, awal tahun selalu menjadi target rerata hari hujan dan curah hujan yang tinggi hal ini disebabkan ketidakstabilan suhu dan kelembapan yang terjadi saat pergantian tahun. Sementara itu, rerata curah hujan dan hari hujan yang terendah terjadi pada bulan September. Plot seasonal bulanan di atas pada rerata curah hujan cenderung terus menurun hampir mendekati akhir bulan sementara untuk plot seasonal bulanan rerata hari hujan cenderung terlihat datar, karena posisi plot dibandingkan dengan plot curah hujan. Namun apabila diperbesar maka akan terlihat pola plot yang senada antara rerata curah hujan dan hari hujan. Terlihat dengan jelas sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2015 terjadinya penyebaran DBD yang signifikan didapati oleh keempat faktor yang utama tersebut dan dua diantaranta yang berperan penting yaitu curah hujan dan hari hujan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 229
Gambar 7. Plot distribusi kejadian DBD dengan kelembapan (%)
Pada Gambar 7 plot distribusi kejadian DBD dengan kelembapan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015 terlihat bahwa memiliki plot yang hampir mirip, namun masih memiliki perbedaan khususnya pada bulanbulan tertentu antara penyebaran pola DBD dan kelembapan tidak senada. Secara keseluruhan kelembapan yang rendah mengakibatkan pola penyebaran DBD yang tinggi.
Gambar 8. Plot distribusi kejadian DBD dengan suhu (℃)
Pada Gambar 8 terlihat bahwa suhu pengaruhnya berbanding terbalik dengan kelembapan, sebab pengaruh suhu pada pola kejadian DBD terjadi apabila suhu mencapai suhu terendah sehingga kelembapan tinggi dan penyebaran DBD makin besar. Namun bukan berarti pada suhu tinggi, tidak ada penyebaran DBD yang terjadi. Pengaruh suhu terjadi sepanjang tahun mempengaruhi pola penyebaran DBD dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 230
ISSN: 2580-1104
Gambar 9. Plot distribusi kejadian DBD dengan hari hujan
Pada Gambar 9 terlihat pola distribusi kejadian DBD dengan hari hujan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Hari hujan terjadi sepanjang tahun dan setiap bulan, hal ini mengakibatkan kejadian DBD tidak pernah tidak terjadi sepanjang tahun dan setiap bulan, namun yang membedakan hanyalah tingkat tertinggi maupun terendah kejadian DBD. Hari hujan menjadi peran penting dalam memprediksi kejadian DBD sepanjang 8 tahun. Hari hujan dipengaruhi juga oleh fakktor kelembapan dan suhu.
Gambar 10. Plot distribusi kejadian DBD dengan curah hujan (mm)
Pada Gambar 10 terlihat plot distribusi kejadia DBD dengan curah hujan. Hari hujan yang terjadi sepanjang tahun memperlihatkan seberapa tinggi curah hujan yang ada di setiap hari hujan yang terjadi dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Curah hujan memberi pengaruh cukup signifikan, terlihat bahwa curah hujan tinggi diiringi dengan kejadian DBD yang meningkat dan sebaliknya curah hujan rendah diiringi dengan kejadian DBD yang menurun. Curah hujan merupakan faktor yang saling mempengaruhi dengan ketiga faktor lainnya yaitu kelembapan, suhu dan hari hujan dalam memprediksi tingkat distribusi kejadian DBD pada tahun-tahun berikutnya.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 231
Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim 1. DBD Januari = 1414 - 8,89 Kelembapan Januari - 17,6 Suhu Januari 5,17 Hari Hujan Januari + 0,0639 Curah Hujan Januari S = 19,9854 R-Sq = 58,6% R-Sq(adj) = 3,3% 2. DBD Februari = - 387 + 6,47 Kelembapan Februari - 5,74 Suhu Februari + 7,09 Hari Hujan Februari - 0,209 Curah Hujan Februari S = 9,22301 R-Sq = 88,9% R-Sq(adj) = 74,0% 3. DBD Maret = - 1368 + 9,1 Kelembapan Maret + 22,7 Suhu Maret 0,9 Hari Hujan Maret - 0,101 Curah Hujan Maret S = 34,2069 R-Sq = 26,1% R-Sq(adj) = 0,0% 4. DBD April = - 921 - 2,0 Kelembapan April + 33,1 Suhu April + 1,17 Hari Hujan April + 0,235 Curah Hujan April S = 35,1646 R-Sq = 33,2% R-Sq(adj) = 0,0% 5. DBD Mei = 1005 - 10,4 Kelembapan Mei - 6,6 Suhu Mei + 7,20 Hari Hujan Mei 0,104 Curah Hujan Mei S = 35,7121 R-Sq = 39,7% R-Sq(adj) = 0,0% 6. DBD Juni = 539 - 45,8 Kelembapan Juni + 84,4 Suhu Juni + 18,7 Hari Hujan Juni + 1,15 Curah Hujan Juni S = 16,7872 R-Sq = 76,9% R-Sq(adj) = 46,0% 7. DBD Juli = 2224 - 14,4 Kelembapan Juli - 35,7 Suhu Juli + 3,87 Hari Hujan Juli + 0,173 Curah Hujan Juli S = 3,54348 R-Sq = 98,1% R-Sq(adj) =95,7% 8. DBD Agustus = 1072 - 4,35 Kelembapan Agustus - 22,4 Suhu Agustus 2,16 Hari Hujan Agustus + 0,589 Curah Hujan Agustus S = 5,86766 R-Sq = 94,9% R-Sq(adj) = 88,0%
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 232
ISSN: 2580-1104
9. DBD September = 455 - 0,23 Kelembapan September - 12,5 Suhu September 1,03 Hari Hujan September + 0,130 Curah Hujan September S = 8,35626 R-Sq = 84,3% R-Sq(adj) = 63,3% 10. DBD Oktober = - 1563 + 3,06 Kelembapan Oktober + 39,5 Suhu Oktober + 2,02 Hari Hujan Oktober + 0,116 Curah Hujan Oktober S = 5,96448 R-Sq = 87,6% R-Sq(adj) = 71,0% 11. DBD November = 1011 - 1,55 Kelembapan November - 26,5 Suhu November + 0,68 Hari Hujan November - 0,070 Curah Hujan November S = 18,2130 R-Sq = 44,6% R-Sq(adj) = 0,0% 12. DBD Desember = 394 + 1,20 Kelembapan Desember - 14,9 Suhu Desember + 1,83 Hari Hujan Desember - 0,108 Curah Hujan Desember S = 4,97296 R-Sq = 94,5% R-Sq(adj) = 87,3% Keterangan: R-Sq merupakan koefisien determinasi atau 𝑅 2
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat distribusi penyebaran DBD dari tahun ke tahun yang terjadi setiap bulan. Namun, yang paling mempengaruhi adalah keempat faktor yaitu suhu maksimum rata-rata, kelembaban udara, curah hujan, dan hari hujan. Model prediksi dibentuk dengan pengaruh dari keempat faktor tersebut. Model prediksi diperoleh dengan melihat prediksi untuk setiap bulan dari setiap tahunnya, dimulai dari bula Januari hingga bulan Desember pada tahun 2008 sampai dengan 2015. Oleh karena itu, dapat diprediksi kejadian DBD pada tahun-tahun berikutnya dengan melihat kejadian DBD pada tahun-tahun sebelumnya. KESIMPULAN Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat distribusi penyebaran DBD dari tahun ke tahun yang terjadi setiap bulan. Namun, yang paling mempengaruhi adalah keempat faktor yaitu suhu maksimum rata-rata, kelembaban udara, curah hujan, dan hari hujan. Model prediksi dibentuk dengan pengaruh dari keempat faktor tersebut. Model prediksi diperoleh dengan melihat prediksi untuk setiap bulan dari setiap tahunnya, dimulai dari bula Januari hingga bulan Desember pada tahun 2008 sampai dengan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 233
2015. Oleh karena itu, dapat diprediksi kejadian DBD pada tahun-tahun berikutnya dengan melihat kejadian DBD pada tahun-tahun sebelumnya. Model space time dapat digunakan untuk melihat model prediksi lainnya agar terlihat pengaruh spasialnya selain analisis tersebut. DAFTAR PUSTAKA Afira F, Mansyur M. 2013. Gambaran Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Gambir dan Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat Tahun 2005-2009. Jurnal Gambaran Kejadian Demam Berdarah Dengue vol. 1 No.1 April 2013. [FKUI] Anselin L. 1988. Spatial Economics: Methods and Models. Dordrecht: Academic Publishers. Ariati J, Anwar A. 2014. Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor Jawa Barat. Bul. Penelit. Kesehat. Bilonick, R.A. 1983. Risk qualied maps of hydrogen ion concntration for the New York Stat area for 1966-1978. Atmospheric Environment 17, 2513-2524. Box, G. E. P., and G. M. Jenkins. Time Series Analysis, Forecasting and Control. San Francisco: Holden- Day, 1970. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Provinsi DKI Jakarta dalam Angka. DKI Jakarta: BPS. Chamidah Nur, et al. 2014. The Vulnerability Modeling of Dengue Hemorrhagic Fever Disease in Surabaya Based on Spatial Logistic Regression Approach. Applied Mathematical Sciences, Vol. 8, 2014, no. 28, 1369 – 1379. Dini AMV, Rina N, dan Wulandari RA. 2010. Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang. Makara Kesehatan, 14 (1); 31-38. Fa’rifah RY, Purhadi. 2012. Analisis Survival Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Kesembuhan Pasien Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSU Haji Surabaya dengan regresi Cox. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1 No.1 September 2012. [FMIPA ITS] Fotheringham AS, Rogerson PA. 2009. Handbook of Spatial analysis. London: Sage Publications Ltd.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 234
ISSN: 2580-1104
Haran M, Molineros J, Patil, GP. 2006. Large Scale Plant Disease Forecasting: Case Study of Fusarium Head Blight. DGO 2006 Conference. Kulldorff M. 1997. A Spatial Scan Statistic. Communications in statistics: Theory and Methods 26: 1481-1496. [link]. http://www.satscan.org/papers/k-cstm1997.pdf [27 Juli 2011] Lambert DM, Brown JP, Florax RJGM. 2010. A Two-Step Estimator for a Spatial Lag Model of Counts: Theory, Small Sample Performance and application. USA: Dept. of Agricultural Economics Purdue University. Lee J, Wong DWS. 2001. Statistic for Spatial Data. New York: John Wiley & Sons, Inc. Mulia RM. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Patil GP, Taillie, C. 2004. Upper Level Set Scan Statistic for Detecting Arbitrarily Shaped Hotspots. Environmental and Ecological Statistics 11:183-197. Pfeifer, P. E., and S. E. Bodily. "A Test of Space-Time ARMA Modeling and Forecasting with an Application to Real Estate Prices." Internat.J. Forecasting 16(1990):255-272. Pfeifer, P. E., and J. Deutsch."A Three-Stage Iterative Procedure for SpaceTime Modeling." Technometrics22,1(1980):35-47. Rohimah SR, dkk. 2014. Model Spasial Otoregresif Poisson untuk Mendeteksi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penderita Demam Berdarah pada tiap kecamatan di DKI Jakarta. [Laporan PenelitianFMIPA, UNJ] http://www.depkes.go.id/article/print/15010200002/waspada-dbd-dimusim-pancaroba.html http://www.republika.co.id/berita/koran/medika/14/09/01/nb7ng73penyebaran-dbd-semakin-meluas (diunduh pada tanggal 15 april 2014 pukul 07.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 235
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 236
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-13 PENGEMBANGAN MODEL REGRESI DUMMY (STUDI KASUS: PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA) Vera Mayasanti, M.Si1, Fariani Hermin, M.T2 1Universitas
Negeri Jakarta
[email protected]
2Universitas
Negeri Jakarta
Abstrak Prestasi akademik merupakan parameter keberhasilan mahasiswa sekaligus mampu menggambarkan kinerja suatu perguruan tinggi. Prestasi akademik dalam bahasan ini adalah indeks prestasi kumulatif (IPK). Adapun faktor yang mempengaruhi mahasiswa mencapai nilai IPK yang baik dalam penelitian ini antara lain nilai ujian nasional (UN), program studi, jalur masuk, jenis kelamin, kegiatan selain kuliah, jam belajar, status tempat tinggal, dan jarak tempat tinggal ke kampus. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memodelkan prestasi akademik adalah dengan menggunakan regresi linier. Akan tetapi, regresi linier tidak dapat menyelesaikan kasus dimana variabel bersifat kualitatif (dikotonom dan kategorik). Regresi dummy merupakan salah satu cara yang sederhana untuk mengkonversi variabel-variabel yang bersifat kualitatif dalam model regresi. Variabel dummy digunakan sebagai upaya untuk menginterpretasikan klasifikasi-klasifikasi variabel bebas terhadap variabel terikat atau dependen, seperti saat memprediksi prestasi akademik mahasiswa. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model regresi dummy untuk memprediksi prestasi akademik mahasiswa matematika Universitas Negeri Jakarta. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukan bahwa empat dari sembilan faktor berpengaruh terhadap IPK yaitu nilai Ujian Nasional (UN), Program Studi, tahun masuk Perguruan Tinggi dan jam belajar di rumah dengan nilai R2 sebesar 56.8% dengan signifikansi 0,05. Kata Kunci: indeks prestasi kumulatif, regresi dummy,variabel kualitatif
PENDAHULUAN Regresi linier tidak dapat menyelesaikan kasus dimana variabel bersifat dikotonom dan kategorik dengan dua atau lebih kemungkinan. Untuk itu diperlukan metode lain seperti metode binary logistic dan model regresi dummy. Regresi dummy merupakan salah satu cara yang sederhana untuk mengkonversi variabel-variabel yang bersifat kualitatif dalam model regresi. Variabel dummy digunakan sebagai upaya untuk menginterpretasikan klasifikasi-klasifikasi variabel bebas terhadap variabel terikat atau dependen, seperti halnya saat kita ingin memprediksi prestasi akademik mahasiswa.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 237
Prestasi akademik dalam bahasan ini adalah indeks prestasi kumulatif (IPK) yang merupakan parameter kinerja dari suatu perguruan tinggi dan keberhasilan mahasiswa. Fokus utama dari penelitian ini adalah pengembangan model regresi untuk memprediksi prestasi akademik mahasiswa. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan mendasar, bagaimana mengembangkan regresi dummy untuk memprediksi prestasi akademik mahasiswa Universitas Negeri Jakarta? serta faktor apa saja yang memberikan pengaruh signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa Universitas Negeri Jakarta? Penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu metode alternatif dalam menganalisis variabel-variabel yang bersifat dikotonom dan menjadi referensi bagi mahasiswa mengenai metode regresi dummy sebagai dasar penelitian selanjutnya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Program Studi Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNJ yang melibatkan dosen-dosen dan mahasiswa dengan bidang kajian yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif sebagai terapan di bidang statistika, data yang akan digunakan adalah data primer dengan mengembangkan kuesioner. Penelitian ini merupakan terapan di bidang statistika sehingga metode yang akan digunakan adalah metode yang bersesuaian dengan topik penelitian. Dugaan hasil penelitian dimunculkan secara logis berdasarkan pada hasil-hasil sebelumnya yang terkait dan telah diakui kebenarannya. • Pada awal penelitian dilakukan pengumpulan bahan-bahan literatur dan kajian pustaka yang bersesuaian dengan topik dan metode yang akan diteliti dan dikembangkan. • Menembangkan model regresi dummy untuk memprediksi prestasi akademik mahasiswa UNJ. • Menentukan faktor-faktor yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi akademik mahasiswa. Variabel Bebas yang Mempengaruhi Nilai Akademik Mahasiswa Matematika FMIPA UNJ Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi IPK mahasiswa antara lain jenis kelamin, tahun masuk angkatan, dan jalur masuk perguruan tinggi (Dwipurwani, 2012). Adapun faktor-faktor lain yang dapat dijadikan tolak ukur agar mahasiswa mendapatkan nilai IPK yang baik adalah adalah (Fajar dkk, 2015): 1. Nilai Ujian Nasional, menurut Gultom ujian nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan di Indonesia dan berfungsi juga
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 238
ISSN: 2580-1104
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
sebagai sarana untuk memetakan mutu berbagai tingkatan pendidikan satu daerah dengan daerah lain. Pada penelitian kali ini, nilai yang dipakai adalah rata-rata ujian nasional mahasiswa saat lulus SMA. Program Studi. Program studi pada suatu jurusan yaitu bidang keahlian khusus yang diambil sesuai dengan jurusan perkuliahan. Pada peneltian ini program studi yang digunakan adalah program studi matematika dan pendidikan matematika. Jalur Masuk Perguruan Tinggi. Terdapat tiga jalur yang dapat dipilih oleh para calon mahasiswa yang ingin berkuliah di program studi pendidikan matematika FMIPA UNJ, yaitu SNMPTN, SBMPTN, dan seleksi mandiri. Jenis kelamin. Menurut Marbun (2011) jenis kelamin adalah perbedaan perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Tahun Masuk Perkuliahan. Merupakan tahun akademik saat calon mahasiswa diterima sebagai mahasiswa baru Universitas Negeri Jakarta. Angkatan pada penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu angkatan 2013 dan 2014. Pekerjaan Sampingan Selain Kuliah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain sebagai selingan atau tambahan selain pekerjaan pokok. Pekerjaan lain diluar kuliah (seperti mengajar, wirausaha, bisnis dan lain-lain) termasuk pekerjaan sampingan dalam penelitian ini. Lama Jam Belajar Di Rumah. Setiap mahasiswa tentu memiliki cara dan waktu belajar masing-masing. Lama jam belajar pada penelitian ini adalah jam belajar per minggu dan akan diliahat adapakah ada pengaruh dari jam belajar terhadap nilai IPK mahasiswa. Status Rumah Yang Ditinggali. Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, status rumah yang digunakan adalah rumah kost atau rumah rumah orang tua, sanak saudara, dan keluarga. Jarak Dari Rumah ke Kampus. Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh perubahan posisi melalui lintasan tertentu. Jarak yang dimaksud pada penelitian ini yaitu seberapa jauh posisi rumah mahasiswa dari kampus yang dibagi menjadi kurang atau lebih dari 10 km.
Analisis Persamaan Regresi Analisis persamaan regresi adalah bentuk persamaan matematika yang menyatakan hubungan antara variabel-variabel. Analisis regresi juga menjelaskan tentang seberapa erat pengaruh antarvariabel. Pengaruh itu bisa terjadi antara variabel bebas dengan variabel terikat dan bisa juga
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 239
terjadi antara variabel bebas itu sendiri. Terdapat dua jenis persamaan regresi, yaitu persamaan regresi linier dan persamaan regresi non linier. Namun, pada penelitian kali ini menggunakan persamaan regresi linier berganda. Suatu persamaan regresi linier yang memiliki lebih dari satu variabel bebas X dan satu variabel terikat Y akan membentuk suatu persamaan regresi yang baru yang disebut persamaan regresi linier berganda (multiple regression). Secara umum model regresi linier berganda adalah sebagai berikut (Kutner et al, 2004): Yi 0 1 X1i 2 X 2i 3 X 3i ... j X ji i (1) di mana: Yi = variabel terikat, dimana i = 1,2,3,…,n, X 1i , X 2i , X 3i ,..., X ji di mana i = 1,2,3,…,n,
0 , 1 ,..., j = koefisien regresi, i = error. Model untuk taksiran dari persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Y i 0 1 X 1i 2 X 2i 3 X 3i ... j X ji
(2)
di mana: i = 1,2,3,…,n; dan 0 1 , 2 ,..., j = taksiran untuk 0 , 1 , 2 ..., j . Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi berganda yang berbasis Ordinary Least Square (OLS). Tujuannya agar dapat menghasilkan nilai parameter yang baik sehingga hasil penelitian jadi lebih baik. Kondisi ini akan terjadi jika dipenuhi beberapa asumsi yang disebut dengan asumsi klasik, diantaranya uji normalitas (menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov diuji apakah dalam model regresi nilai residual terdistribusi normal), uji heterokedastisitas (dilihat dari grafik Scatterplot jika terdapat heterokedastisitas maka penaksir yang diperoleh tidak efisien), dan uji autokorelasi (dengan uji Durbin-Watson dilakukan pengujian asumsi di mana variabel terikat tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri). Uji Signifikansi Uji simultan (uji F) menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) merupakan salah satu uji parametrik yang berfungsi untuk membedakan nilai rata-rata lebih dari dua kelompok data dengan membandingkan variansinya (Ghozali, 2009). Prinsip uji ANOVA adalah melakukan analisis
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 240
ISSN: 2580-1104
variabilitas data menjadi dua sumber variansi yaitu variansi di dalam kelompok ( within ) dan variansi antar kelompok ( between ). Tabel 1. Tabel ANOVA KT
SK
JK
DB
Regresi
JKR
k
KTR = JKR / k
Error
JKE
n– k-1
KTE = JKE / n – k - 1
Total
JKT
n-1
Fhitung 𝐾𝑇𝑅 𝐾𝑇𝐸
Keterangan: SK = sumber keragaman, JK = jumlah kuadrat, DB = derajat bebas, KT = kuadrat tengah Uji parsial (Uji T) digunakan untuk menguji signifikansi dari masingmasing peubah bebas X terhadap peubah terikat Y dengan mengasumsikan bahwa variabel bebas lainynya dianggap konstan. Sugiyono (2010) merumuskan uji t sebagai berikut : t=
𝑟√𝑛−2
(3)
√1− 𝑟2
keterangan: t = distribusi t, n = jumlah data, r = koefisien korelasi parsial, r 2 = koefisien determinasi Uji koefisien determinasi (R 2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar keragaman di dalam variabel terikat yang digambarkan oleh model regresi. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Semakin dekat nilai R 2 dengan 1, maka semakin baik model regresi tersebut. Koefisien determinasi dapat dihitung dengan cara:
R2
JKR JKT
(4)
Analisis Regresi Dummy Cooper dan Schindler (2000) mendefinisikan variabel dummy adalah variabel yang digunakan untuk mengkuantitatifkan variabel yang bersifat kualitatif. Variabel dummy hanya mempunyai dua nialai, yaitu 1 dan 0 serta diberi simbol D. Dummy mempunyai nilai 1 (D = 1) untuk salah satu kategori dan nilai 0 (D = 0) untuk kategori lainnya. 1, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 D1 = { 0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 241
Model regresi dummy secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Y 0 1 X 1i 2 D2i 3 D3i ... n Dni i
(5)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner langsung oleh mahasiswa Matematika Universitas Negeri Jakarta angkatan 2013 dan 2014. Variabel-variabel yang digunakan, yaitu: 1. Y = Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa Matematika angkatan 2013 dan 2014. 2. X1 = Nilai Rata-rata Ujian Nasional. 3. D2 = Program Studi mahasiswa Matematika angkatan 2013 dan 2014 • 0, jika Matematika • 1, jika Pendidikan Matematika
D2 (Program… 41% 59%
4. D3 = Jalur Masuk Universitas Negeri Jakarta • 0, jika melalui jalur Non Tes (SNMPTN) • 1, jika melalui jalur Tes (SBMPTN dan Penmaba)
Jalur Masuk (D3) 53%
5. D4 = Jenis Kelamin • 0, jika Laki-laki • 1, jika Perempuan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 242
47%
Non tes Tes
ISSN: 2580-1104
Jenis Kelamin… 24% Laki-laki 76%
6. D5 = Tahun masuk mahasiswa Matematika • 0, jika angkatan 2013 • 1, jika angkatan 2014
Tahun Masuk… 51%
49%
angkatan 2013
7. D6 = Pekerjaan Lain selain kuliah • 0, jika tidak memiliki pekerjaan sambilan • 1, jika memiliki pekerjaan sambilan seperti mengajar, usaha, dan lain-lain
Pekerjaan… 28% 72%
Tidak Ada
Ada
8. X7 = Lama jam belajar di rumah per hari. 9. D8 = Status Rumah yang ditinggali • 0, jika kost atau kontrakan • 1, jika brsama orang tua, keluarga, atau snak saudara
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 243
Status Tempat… 26% Kost 74%
10. D9 = Jarak dari rumah ke kampus • 0, jika jarak ≤ 10km • 1, jika jarak > 10km
Jarak Rumah ke… 46%
54%
> 10km ≤ 10km
Hasil Regresi Dummy Perangkat lunak yang akan digunakan untuk menganalisis data meliputi uji normalitas, uji heterokedastisitas, uji autokorelasi, uji simultan, uji parsial, dan uji koefisien adalah SPSS versi 19. Tabel 2. Tabel Uji Normalitas
Unstandardize d Residual N
125
Normal Parametersa,,b
Most Differences
Mean
.0000000
Std. Deviation
.26654643
Extreme Absolute
.049
Positive
.031
Negative
-.049
Kolmogorov-Smirnov Z
.543
Asymp. Sig. (2-tailed)
.930
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 244
ISSN: 2580-1104
Berdasarkan Tabel 2, nilai signifikansi sebesar 0.930 > α (0.05) maka data berdistribusi normal.
Gambar 1. Grafik Scatterplot
Dari output Grafik Scatterplot 1, dapat dilihat bahwa titik-titik menyebar dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heterokedastisitas pada model. Tabel 3. Tabel Durbin Watson.
Model R
Adjusted R Square Square
1
.323
.568a
.270
R Std. Error of Durbinthe Estimate Watson .27678
2.087
Uji Autokorelasi dari hasil perhitungan didapat nilai Durbin-Watson (DW) pada Tabel 3 sebesar 2.087. dL= 1.5570, dU= 1.8644, 4-dL= 2.443, 4-dU= 2.1356. Nilai DW berada diantara nilai dU sebesar 1.8644 dan 4 – dU sebesar 2.1356, atau 1.8644 < 2.087 < 2.1356 maka tidak terjadi autokorelasi. Tabel 4. Tabel ANOVA.
Sum Squares
Model 1
of df
Mean Square F
Sig.
Regression 4.202
9
.467
.000a
Residual
8.810
115
.077
Total
13.012
124
6.094
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 245
Nilai F hitung pada tabel ANOVA sebesar 6.094 > nilai F tabel sebesar 1.96, maka dapat disimpulkan bahwa nilai ujian nasional, program studi, jalur masuk perguruan tinggi, jenis kelamin, tahun masuk perkuliahan, kepemilikan pekerjaan sampingan selain kuliah, jam belajar, status tempat tinggal, dan jarak dari tempat tinggal ke perguruan tinggi berpengaruh secara simultan terhadap IPK mahasiswa matematika FMIPA Uiversitas Negeri Jakarta angkatan 2013 dan 2014. Tabel 5. Tabel Uji Parsial
Model 1
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Beta
Std. Error
t
Sig.
6.369
.000
(Constant) 1.628
.256
X1
.138
.032
.372
4.375
.000
D2
.122
.054
.185
2.267
.025
D3
.076
.052
.118
1.469
.145
D4
.052
.062
.069
.848
.398
D5
.227
.053
.352
4.260
.000
D6
-.037
.057
-.052
-.656
.513
X7
.044
.022
.159
2.013
.047
D8
.015
.064
.020
.228
.820
D9
-.025
.057
-.039
-.445
.657
Berdasarkan Tabel 5, nilai signifikansi dari masing-masing variabel bebas X1 (Nilai Rata-rata Ujian Nasional),D 2 (Program studi), D 5 (tahun masuk perguruan tinggi), dan X7 (jam belajar dirumah) kurang dari α. Maka dapat disimpulkan bahwa dari sembilan variabel yang diteliti, keempat variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu nilai
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 246
ISSN: 2580-1104
IPK secara parsial dan keempat variabel dapat masuk ke dalam model regresi. Nilai uji koefisien determinasi (R 2) sebesar 0.568 artinya sebesar 56.8% keragaman IPK mahasiswa matematika angkatan 2013 dan 2014 FMIPA UNJ dapat dijelaskan oleh kesembilan variabel bebasnya, yaitu nilai rata-rata ujian nasional, program studi, jalur masuk perguruan tinggi, jenis kelamin, tahun masuk perkuliahan, kepemilikan pekerjaan sampingan selain kuliah, jam belajar dirumah, status tempat tinggal, dan jarak dari tempat tinggal ke perguruan tinggi sedangkan sisanya 43.2% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model ini. KESIMPULAN 1. Model regresi dummy yang menggambarkan hubungan antara nilai ratarata ujian nasional, program studi, jalur masuk perguruan tinggi, jenis kelamin, tahun masuk perkuliahan, kepemilikan pekerjaan sampingan selain kuliah, jam belajar dirumah, status tempat tinggal, dan jarak dari tempat tinggal ke perguruan tinggi dengan nilai IPK adalah: 𝑌̂ = 1.628 + 0.138 𝑋1 + 0.122 𝐷2 + 0.076 𝐷3 + 0.052 𝐷4 + 0.227 𝐷5 − 0.037 𝐷6 + 0.044 𝑋7 + 0.015 𝐷8 − 0.025 𝐷9 2. Nilai signifikansi dari sembilan variabel yang diteliti, hanya empat variabel bebas yang nilainya kurang dari α, artiya hanya empat variabel bebas yang memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai IPK mahasiswa matematika angkatan 2013 dan 2014 FMIPA UNJ yaitu nilai Ujian Nasional (UN), Program Studi, tahun masuk Perguruan Tinggi dan jam belajar di rumah. 3. Nilai R2 sebesar 56.8% artinya keragaman IPK mahasiswa matematika angkatan 2013 dan 2014 FMIPA UNJ dapat dijelaskan oleh kesembilan variabel bebasnya, yaitu nilai rata-rata ujian nasional, program studi, jalur masuk perguruan tinggi, jenis kelamin, tahun masuk perkuliahan, kepemilikan pekerjaan sampingan selain kuliah, jam belajar dirumah, status tempat tinggal, dan jarak dari tempat tinggal ke perguruan tinggi. Sisanya 43.2% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 247
DAFTAR PUSTAKA Alkharusi, Hussain. 2012. “Categorical Variables in Dummy Regression Analysis”. International Journal of Education. Vol. 4, No.2. Astuti, Ayu Indri. 2013. “Pemodelan Runtun Waktu ARIMAX dengan Efek Variabel Kalender”. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Cooper, D.R dan Schindler, P.S. 2000. Business Research Methods. New York: McGraw-Hill. Dwipurwani, Oki. Indra Maiyanti, Sri. dkk. 2012. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Mahasiswa Ditinjau dari Karakteristik Lingkungan kampus”. Palembang: Universitas Sriwijaya. Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS Edisi ke-4. Semarang: Universitas Diponegoro. Gultom, Syawal. Ujian Nasional Sebagai Wahana Evaluasi Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Kutner, M.H, C.J. Nachtsheim, dan J. Neter. 2004. Applied Linear Regression Models 4th edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Marbun, Grace. 2011. Perbedaan Coping Stress Pada Pria dan Wanita dalam Pernikahan. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara. Modupe, Okewole D. 2012. “A Dummy Variable Regression on Students’ Academic Performance”. Translation Journal of Science and Technology. Vol. 2, No. 6. Penerang, Muhammad Fajar. Hermin, Fariani. Santi, Vera Maya. 2015. “Model Regresi Dummy dalam Memprediksi Prestasi Akademik mahasiswa Program Studi Pendidikan matematika. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RND. Bandung: Alfabeta Walpole, Ronald E. 1995. “Pengantar Statistika Edisi ke-3”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 248
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-14
ANALISA EKSTRAKSI BARIS TEKS PADA LONTAR SUNDA KUNO BERBASIS PROFIL PROYEKSI Erick Paulus1, Aditya Pradana2, Rahmat Sopian3, Akik Hidayat4 1
Departemen Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected]
Departemen Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected] 3Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected] 2
4
Departemen Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected] Abstrak
Dokumen bersejarah lontar Sunda memuat banyak karya sastra, kehidupan sosial atau informasi penting masyarakat Sunda pada masa lampau. Dokumen tersebut ditulis pada daun lontar dalam beberapa baris, yaitu sekitar 2 sampai 4 baris. Tantangan yang dihadapi pada naskah lontar Sunda ini adalah tata cara penulisan yang berbeda-beda seperti kerapatan baris teks, kemiringan baris teks yang tidak seragam dan adanya aksara yang berimpitan dengan aksara pada baris lainnya. Penelitian ini memaparkan hasil analisa segmentasi baris profil proyeksi terhadap beberapa tantangan yang ada pada lontar sunda kuno tersebut. Pemrosesan awal dan proses binerisasi dilakukan terlebih dahulu untuk menghasilkan citra biner. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lontar yang diperoleh dari Situs Kabuyutan Ciburuy Garut dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasil pengujian menunjukan bahwa metode profil proyeksi memiliki kinerja yang baik pada lontar yang jarak antar baris tidak terlalu dekat atau berimpitan. Proses binerisasi memiliki peran penting dalam segmentasi baris berbasis profil proyeksi. Kata Kunci: lontar sunda, profil proyeksi, segmentasi baris
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang melimpah dengan warisan budayanya. Salah satu warisan budaya Indonesia adalah naskah kuno yang ditulis pada daun lontar. Di Jawa Barat khususnya, terdapat banyak informasi yang bernilai tinggi seperti tata cara bercocok tanam, tata cara pengobatan, nilai-nilai sosial, dan sebagainya yang ditulis dalam aksara Sunda kuno. Banyak pihak yang ingin mengakses informasi yang terkandung di dalamnya. Namun seiring dengan waktu, kondisi lontar semakin rentan dan rapuh. Oleh karena itu, upaya pelestarian dilakukan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 249
dengan mendijitasi lontar ke dalam citra dijital dan membangun sistem pengenalan kata atau karakter berbasis Optical Character Recognation (OCR) sehingga semua pihak dapat mengekstrasi informasi dengan lebih mudah melalui sistem tersebut. Ekstraksi baris teks merupakan salah satu tahapan penting dalam Optical Character Recognation (OCR) sebelum dilakukannya segmentasi kata atau karakter. Lontar Sunda kuno termasuk dalam dokumen sejarah yang ditulis di atas daun dengan menggunakan pisau kecil. Karena penulisan ini menggunakan tangan manusia, maka dokumen tersebut memiliki beberapa ciri khas, yaitu adanya aksara yang saling berhimpitan dengan aksara baris lain serta kerapatan dan kemiringan baris teks tidak seragam. Beberapa kajian terkait ekstraksi baris teks telah dilakukan terhadap citra dijital berupa dokumen cetak ataupun tulisan tangan. Hasil segmentasi dengan menggunakan profil proyeksi terhadap karakter latin mencapai 90% dengan studi kasus citra non teks (background area) seragam, baris teks rata (dokumen cetak komputer) dan memiliki kontras area teks dan non teks yang jelas (Septiarini, 2012). Untuk kasus dokumen bersejarah, proses ekstrasi baris memerlukan deteksi kemiringan citra dokumen dengan menggunakan Transformasi Hough (Sunarya, 2013). Selanjutnya, proses ekstraksi baris terhadap tulisan tangan aksara Bali dengan menggukan proyeksi horizontal dan proyeksi vertikal (Sunarya, Kesiman, & Purnami, 2015). Segmentasi baris juga dapat dilakukan dengan menggunakan algoritma water flow berdasarkan fungsi Pangkat (Saha, Basu, Nasipuri, & Basu, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisa metode profil proyeksi terhadap karakteristik yang ada pada citra lontar Sunda kuno. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan hasil uji eksperimen metode profil proyeksi terhadap citra lontar Sunda kuno yang memiliki karakteristik unik. Diagram alir proses ekstraksi baris teks diantaranya adalah proses binerisasi, proyeksi horizontal berdasarkan histogram warna, dan memotong citra per baris (lihat gambar 1). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 data lontar yang diperoleh dari Situs Kabuyutan Ciburuy Garut dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia(PNRI).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 250
ISSN: 2580-1104
Masukan Citra
Mulai
Binerisasi
Simpan Citra Potongan Baris Teks
Selesai
Proyeksi Horizontal
Memotong Citra per baris
Gambar 1. Diagram Alir Ekstrasi Baris Teks
Pemrosesan Citra Dokumen Citra dokumen tulisan tangan yang berasal dari naskah kuno memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pemrosesan citra dokumen berfungsi untuk menganalisis berbagai komponen teks dan gambar seperti bentuk aksara, kemiringan baris dan paragraf, serta kerapatan tulisan. Pada artikelnya, Sunarya menjelaskan bahwa O’Gorman dan Kasturi mengelompokkan analisis citra dokumen menjadi dua bagian, yaitu analisis teks dan gambar. Adapun visualisasi hirarki pemrosesan citra dokumen dapat dilihat pada gambar 2 (Sunarya et al., 2015).
Pemros esan Teks Pemros esan Dokumen Pemros esan Ga mbar
Pengenalan Huruf Ana l isis Tata l etak halaman Pemros esan ga ri s Pemros esan s i mbol dan wi l ayah gambar
Gambar 2. Hirarki Pemrosesan Citra Dokumen
Binerisasi Citra Dokumen Proses binerisasi digunakan untuk merubah citra keabuan menjadi citra biner. Citra biner hanya memiliki dua nilai, yaitu nilai 0 (putih) untuk merepresntasikan area non teks atau 1 (hitam) untuk merepresntasikan area teks (Kaur & Mahajan, 2014). Proses binerisasi citra dokumen merupakan tahapan awal dalam analisa dan memiliki tujuan untuk memisahkan area teks (foreground text) dari area non teks (background document) (Su, Lu, & Tan, 2013). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa semakin tinggi kualitas citra hasil binerisasi maka semakin akurat hasil pengenalan karakternya (Puneet & Garg, 2013).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 251
Adapun metode binerisasi untuk citra dokumen dapat berbeda-beda. Hal ini dikarenakan beragamnya kondisi fisik dokumen tersebut seperti adanya degradasi warna, noda, dan retakan. Gambar 3 memaparkan beberapa tahapan binerisasi yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu proses thresholding, filtering, penghapusan lingkaran tengah, dan thinning.
Mulai
Masukan Citra
Filterisasi
Penghapusan lingkaran tengah
Thinning
Selesai
Thresholding (Sauvola)
Filterisasi
Gambar 3. Proses Binerisasi Citra Dokumen Thresholding Konversi citra digital menjadi citra biner ditentukan oleh besarnya nilai ambang batas (threshold). Penentuan nilai ambang batas ada yang bersifat global dan lokal. Metode Otsu merupakan contoh nilai ambang batas yang digunakan secara global di semua piksel pada citra (Pratikakis, Gatos, & Ntirogiannis, 2013). Namun untuk kasus lontar sunda kuno, penentuan nilai ambang batas lebih baik ditentukan secara lokal untuk setiap sub window. Salah satu metode local thresholding yang relatif baik adalah Metode Sauvola(Sauvola & Pietikäinen, 2000). Formula Metode Sauvola direpresentasikan pada persamaan 1. Parameter m dan s adalah nilai ratarata dan standar deviasi dari nilai intensitas warna pada sub window, dan parameter k adalah nilai konstanta [-1,0) yang dipilih untuk mendapatkan kualitas binerisasi terbaik. Nilai k kurang dari -0.2 cocok untuk mendeteksi obejek hitam, selebihnya cocok untuk mendeteksi objek putih. (1) Filterisasi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 252
ISSN: 2580-1104
Proses filterisasi digunakan untuk mengurangi derau atau noise pada citra digital. Metode Median Filter adalah sebuah operasi non linear yang sering digunakan untuk mengurangi derau “salt and pepper”. Metode median filter lebih efektif dari metode konvolusi ketika tujuannya adalah mengurangi derau dan sekaligus mempertahankan tepi. Cara kerja median filter adalah memberikan nilai baru untuk setiap piksel dengan nilai tengah piksel dari sub window. Ukuran sub window sebaiknya bilangan ganjil karena posisi titik tengah lebih tepat diperoleh. Sebelum penentuan titik tengah, semua piksel dalam sub window wajib diurutakan terlebih dahulu. Formula Median Filter disajikan pada persamaan 2.
(2) Where B{b1,b2,b3,...,bn} and b1≤b2≤b3≤ ... ≤bn € R Penghapusan Lingkaran tengah Pada umumnya, Lontar sunda kuno ini disimpan dalam kotak yang memuat beberapa lempir lontar. Pada bagian tengah lontar terdapat lubang kecil untuk memasukan tali sebagai pengikat antar lempir. Ketika proses akusisi data, lubang ini terekam sebagai warna hitam dan perlu dihapus suapaya menghasilkan segmentasi baris yang lebih baik. Metode penghapusannya menggunakan metode morfologi closing dengan elemen struktur morfologi bentuk disk. Ilustrasi struktur elemen morfologi dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Struktur elemen morfologi disk
Profil Proyeksi Metode profil proyeksi banyak digunakan untuk segmentasi baris untuk dokumen cetak (printed document) dimana tulisan antar baris terpisah dengan jelas. Namun, metode ini juga dapat diadaptasi untuk
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 253
dokumen tulisan tangan (Likforman-Sulem, Zahour, & Taconet, 2006). Metode profil proyeksi terdiri dari dua bagian, yaitu profil proyeksi horizontal dan profil proyeksi vertikal. Profil proyeksi horizontal biasa digunakan untuk segmentasi baris dan profil proyeksi vertikal dapat digunakan untuk segmentasi kata atau aksara. Pada penelitian ini, Profil Proyeksi Horizontal (PPH) digunakan sebagai representasi suatu histogram dari penjumlahan piksel hitam citra biner yang diakumulasikan sepanjang baris pararel pada suatu dokumen. Adapun fungsi PPH secara matematika dapat dilihat pada persamaan 3. Piksel citra dirumuskan dengan fungsi f(x,y) dimana x dan y secara berturutturut mewakili baris dan kolom. Parameter n menjelaskan banyaknya kolom pada suatu citra 𝑃𝑃𝐻(𝑥 ) = ∑1≤𝑦≤𝑛 𝑓(𝑥, 𝑦) (3) EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN Beberapa sample lontar dari PNRI yang digunakan dalam penelitian ini adalah koropak 414 yang berjudul Naskah Mantra, secara ringkas berisi rajah, mantra untuk memulai pekerjaan (seperti menanam padi, membuka lahan), dan sanduk-sanduk (permohonan izin) kepada penguasa gaib. Setiap lempir terdiri dari 2 baris tulisan sunda kuno. Selain itu, sampel lontar yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy Garut adalah teks naskah kropak 18 yang berjudul Pantun Ramayana. Isi naskah koropak 18 merupakan sebagian (fragmen) dari sebuah Kisah Putra Rama dan Rawana. Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa proses binerisasi pada citra lontar terdapat beberapa tantangan lainnya seperti adanya iluminasi nonuniform, noda, dan derau. Akibatnya adalah proses ekstrasi baris tidak maksimal. Jika hasil proses binerisasi relatif bagus dan baris teks memiliki jarak yang cukup maka metode profil proyeksi dapat mengekstraksi baris teks dengan tepat. Proses binerisai dilakukan secara bertahap mulai dari Thresholding Sauvola, Median Filtering, penghapusan lingkaran tengah, Median Filtering, dan morfologi thicken. Hasil citra untuk setiap tahapan binerisasi dapat dilihat pada gambar 5. Metode Sauvola cukup baik untuk menghilangkan area non teks pada citra gambar yang memiliki iluminasi seragam. Gambar 5c menyajikan citra hasil meminimalkan derau yang dihasilkan dari proses thresholding. Penghapusan lingkaran tengah dilakukan dengan cara mencari lingkaran dengan menggunakan morfologi closing dengan elemen struktur disk. Kemudian citra hasil morfologi closing dikurangi dengan citra hasil tresholding (lihat gambar 5d ). Selanjutnya, penghapusan sisa derau dan proses morfologi thicken untuk mendapatkan kerangka tulisan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 254
ISSN: 2580-1104
(a) Citra Digital Lontar Asli
(b) Citra Biner hasil Thresholding Sauvola
(c) Citra Biner hasil Median Filtering 1
(d) Citra Biner hasil Penghapusan Lingkaran Tengah
(e) Citra Biner hasil Median Filtering 2
(f) Citra Biner hasil Morfologi Thicken Gambar 5. Contoh citra hasil proses binerisasi
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 255
Setelah proses binerisasai, citra biner tersebut dibaca profil proyeksi histogram warnanya. Titik maksimal lokal menunjukan titik tengah dari baris teks, sedangkan titik minimum lokal merepresentasikan spasi antar baris teks. Berdasarkan gambar 6, terlihat ada dua titik local maksimum sehingga sistem akan mendeteksi jumlah baris terdeteksi sebanyak dua. Kemudian, sistem akan memotong citra untuk setiap baris yang terdeteksi.
Gambar 6. Profil proyeksi Histogram Warna
Gambar 7. Hasil Ekstrasi baris
Berdasarakan pengujian ekstraksi baris terhadap 12 lontar, citra dijital dengan kualitas latar belakang citra relatif baik dan jarak antar baris terlihat adanya spasi yang jelas (DSC_0296_2a, DSC_0297_4b, DSC_0298_8a, DSC_0299_6b, DSC_0299_8b, DSC_0299_9b) menunjukan sistem mampu memotong baris teks dengan tepat. Sistem ekstrasi baris ini masih bergantung dengan hasil citra proses binerisasi. Semakin banyak derau pada citra biner, maka semakin lemah sistem ekstrasi ini. Namun untuk citra yang memiliki karakteristik iluminasi tidak seragam (seperti citra dengan nama file 3306, 3308, 3309, 3310, 3311, dan 3312) mengalami kesulitan mendapatkan citra biner yang bersih dari derau. Ditambah lagi, adanya irisan elemen teks yang masuk wilayah baris lainnya
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 256
ISSN: 2580-1104
sehingga hasil ekstrasi baris teks tidak memuaskan. Citra lontar asli dan citra hasil binerisasi ditampilkan secara berurutan pada gambar 8 dan gambar 9.
Gambar 8. Citra dengan iluminasi tidak seragam
Gambar 9 . Citra hasil binerisasi Tabel 1 Keberhasilan ekstrasi baris
Citra Lontar
Jumlah Jumlah baris baris seharusnya terdeteksi
Persentase keberhasilan (%)
DSC_0296_2a.tif
2
2
100
DSC_0297_4b.tif
2
2
100
DSC_0298_8a.tif
2
2
100
DSC_0299_6b.tif
2
2
100
DSC_0299_8b.tif
2
2
100
DSC_0299_9b.tif
2
2
100
3306.tif
4
1
25
3308.tif
4
2
50
3309.tif
4
1
25
3310.tif
4
3
75
3311.tif
4
1
25
3312.tif
4
2
50
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 257
KESIMPULAN Analisa profil proyeksi sudah dilakukan terhadap beberapa lontar sunda kuno. Hasil percobaan menunjukan kinerja profil proyeksi relatif bagus untuk citra lontar yang memiliki iluminasi seragam dan jarak antar baris tidak berhimpitan. Namun, citra dengan iluminasi tidak seragam menunjukan hasil yang kurang memuaskan. Oleh karena itu, proses ekstraksi baris teks terhadap lontar sunda masih perlu diuji lagi dengan menggunakan metode lainnya seperti Seam Carving atau Algoritma Water Flow. DAFTAR PUSTAKA Kaur, J., & Mahajan, R. (2014). A Review of Degraded Document Image Binarization Techniques. International Journal of Advanced Research in Computer and Communication Engineering, 3(5), 6581–6586. Likforman-Sulem, L., Zahour, A., & Taconet, B. (2006). Text line segmentation of historical documents: a survey. International Journal of Document Analysis and Recognition (IJDAR), 9(2-4), 123–138. http://doi.org/10.1007/s10032-006-0023-z Pratikakis, I., Gatos, B., & Ntirogiannis, K. (2013). ICDAR 2013 document image binarization contest (DIBCO 2013). Proceedings of the International Conference on Document Analysis and Recognition, ICDAR, (Dibco), 1471–1476. http://doi.org/10.1109/ICDAR.2013.219 Puneet, & Garg, N. K. (2013). Binarization Techniques used for Grey Sca le Images. International Journal of Computer Applications, 71(1), 8–11. Saha, S., Basu, S., Nasipuri, M., & Basu, D. K. (2010). A Hough Transform based Technique for Text Segmentation. Journal of Computing, 2(2), 134–141. Sauvola, J., & Pietikäinen, M. (2000). Adaptive document image binarization. Pattern Recognition, 33(2), 225–236. http://doi.org/10.1016/S00313203(99)00055-2 Septiarini, A. (2012). Segmentasi Karakter Menggunakan Profil Proyeksi. Jurnal Informatika
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 258
ISSN: 2580-1104
MM-SNM-15 ANALISA METODE VIOLA-JONES UNTUK PENGHITUNGAN MANUSIA DENGAN BERBAGAI POSISI Erick Paulus 1, Aditya Pradana2, Deni Setiana3 1Departemen
Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected]
2Departemen
Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected]
3Departemen
Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected]
Abstrak Makalah ini memaparkan hasil penelitian untuk mengekstrasi informasi jumlah manusia secara otomatis yang terkandung dalam suatu citra. Metode deteksi manusia merupakan kunci dan tantangan dalam proses penghitungan manusia. Pengujian terhadap deteksi wajah dan bahu dengan menggunakan metode Viola-Jones dilakukan untuk mengukur efektifitas deteksi objek manusia. Selanjutnya, peneliti juga memaparkan hasil analisa metode Viola-Jones terhadap beberapa kendala yang seringkali dihadapi dalam mendeteksi objek manusia seperti posisi arah wajah, posisi badan berdiri atau duduk, dan jarak antar objek manusia. Sebuah kerangka kerja telah dibangun untuk meningkatkan kinerja deteksi manusia dan mengekstrasi citra wajah. Deteksi wajah dengan metode ViolaJones memiliki nilai precesion 100% dan nilai recall 88,4% pada wajah yang menghadap ke depan. Secara keseluruhan, deteksi bahu dapat digunakan untuk penghitungan objek manusia namun hasilnya tidak lebih baik dari deteksi wajah. Tujuan dari penelitian ini adalah meminimalkan kesalahan penghitungan jumlah manusia. Adapun data penelitian ini menggunakan berbagai foto aktifitas di dalam ruangan dengan kondisi arah objek manusia yang berbeda-beda. Kata Kunci: deteksi manusia, deteksi Viola-Jones, penghitung manusia
PENDAHULUAN Penghitungan jumlah manusia pada suatu kegiatan di dalam ruangan seringkali dilakukan secara manual oleh manusia dengan menggunakan alat bantu penghitung (counter mechanical). Proses perhitungan seringkali dilakukan oleh beberapa manusia sebagai bentuk pemeriksaan kembali sehingga kesalahan hitung dapat diminimalisasikan. Teknologi kamera yang semakin berkembang dan murah seperti CCTV dan IP Camera semakin banyak digunakan di masyarakat. Data video berupa gambar sekuensial diharapkan dapat diekstrasi untuk menghitung jumlah manusia pada suatu ruangan.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 259
Sebelum proses penghitungan manusia, deteksi manusia merupakan tahap awal yang perlu dilakukan. Deteksi manusia dapat direpresentasikan dengan deteksi wajah atau kerangka tubuh. Deteksi kerangka tubuh menggunakan metode klasterisasi Dirichlet Process Mixture Models (DPPMs) terhadap fitur ekstrasi spatial, warna dan temporal (Topkaya, Erdogan, & Porikli, 2014). Penelitian lainnya tentang deteksi wajah adalah dengan metode haar cascade dan algoritma PCA eigenface (Kar, Debbarma, Saha, & Pal, 2012). Penelitian tersebut memiliki keakuratan 95% untuk pengenalan wajah dengan sudut 0° menghadap kamera. Selanjutnya tahun 2014, Penelitian metode S-PCA & KLT digunakan untuk face tracking (Savitha & Kumar, 2014). Hasil penelitian ini adalah menemukan pendekatan baru dari S-PCA bersama dengan metode KLT dan digunakan untuk menggabungkan posisi dan emosi dari wajah. Metode yang lain yaitu metode Viola-Jones yang merupakan metode pendeteksian objek yang memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi yaitu sekitar 93,7 % dengan kecepatan 15 kali lebih cepat daripada detektor Rowley Baluja-Kanade dan sekitar 600 kali lebih cepat daripada detektor Schneiderman-Kanade (Viola & Jones, 2004). Metode deteksi wajah belum cukup untuk mendeteksi objek manusia yang wajahnya tidak menghadap depan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisa metode Viola-Jones terhadap deteksi anggota tubuh lainnya yang dapat mengindikasikan objek manusia. Selanjutnya peneliti melakukan validasi metode terhadap berbagai posisi arah wajah dan posisi tubuh. Akhirnya, Penghitungan manusia dilakukan setelah deteksi manusia berhasil divalidasi. METODE PENELITIAN Deteksi Wajah dan Bahu Deteksi wajah dipandang sebagai masalah klasifikasi pola dimana inputnya adalah citra masukan dan outputnya berupa label kelas dari citra tersebut, yaitu wajah dan non wajah. Asumsi yang dipakai untuk mengenali wajah yang selama ini dilakukan adalah wajah yang akan dikenali memiliki ukuran dan latar belakang yang sama, walau pada keadaan sebenarnya, hal tersebut tidak selalu berlaku karena wajah dapat muncul dengan ukuran, posisi, sudut dan latar belakang yang berbeda (Nugroho, 2004). Pendeteksian wajah (face detection) merupakan salah satu tahap awal yang sangat penting sebelum dilakukan proses pengenalan wajah (face recognition). Bidangbidang penelitian yang berkaitan dengan pemrosesan wajah (face processing) adalah :
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 260
ISSN: 2580-1104
• Pengenalan wajah (face recognition) yaitu membandingkan citra wajah masukan dengan suatu database wajah dan menemukan wajah yang paling cocok dengan citra masukan tersebut • Autentifikasi wajah (face authentication) yaitu menguji keaslian/kesamaan suatu wajah dengan data wajah yang telah diinputkan sebelumnya • Lokalisasi wajah (face localization) yaitu pendeteksian wajah dengan asumsi hanya ada satu wajah di dalam citra • Penjejakan wajah (face tracking) yaitu memperkirakan lokasi wajah di dalam video secara real • Pengenalan ekspresi wajah (facial expression recognition) yaitu mengenali kondisi emosi manusia Faktor-faktor yang harus dihadapi pada pendeteksian wajah diantaranya adalah sebagai berikut : • Posisi wajah dalam citra, ada yang tegak lurus, miring, menoleh, dilihat dari samping, dan sebagainya. • Komponen-komponen wajah bisa ada atau tidak ada, misalnya kumis, jenggot, kacamata. • Ekspresi wajah, bisa sedih, senang, tertawa, tersenyum, dan sebagainya. • Citra wajah terhalang oleh objek lain, misalnya wajah di dalam sebuah kerumunan. • Kondisi pengambilan citra, misalnya intensitas cahaya, arah sumber cahaya, karakteristik sensor dan lensa kamera. Selain wajah, deteksi manusia juga dapat dilakukan pada bagian tubuh lainnya seperti kepala-bahu (upper body), seluruh tubuh (full body) atau kombinasi. Algoritma deteksi wajah relatif menghasilkan sedikit kesalahan (false positif) pada posisi wajah menghadap depan, tetapi memiliki kekurangan pada posisi badan sembarang yang relatif tidak menghadap ke depan atau membelakangi camera (Duffner & Odobez, 2014). Metode Viola Jones Metode Viola-Jones merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses pengenalan wajah. Metode Viola-Jones menggunakan data latih yang digunakan dalam proses pengklasifikasian citra. Klasifikasi citra dilakukan berdasarkan nilai dari sebuah fitur yang merupakan gambaran dari wajah manusia dan dikenal sebagai Haar Feature (Andrian, 2012). Untuk menghitung nilai dari setiap fitur Haar, digunakan citra integral. Dengan menggunakan fitur, pemrosesan akan lebih cepat bila dibandingkan dengan cara pemrosesan citra per piksel. Terdapat beberapa
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 261
jenis firut berdasarkan jumlah persegi panjang yang terdapat di dalamnya, seperti terlihat pada Gambar 1 (Viola & Jones, 2004). Pada Gambar 1, A dan B terdiri dari dua persegi panjang, C terdiri dari tiga persegi panjang, D terdiri dari empat persegi panjang. Cara menghitung nilai fiturnya adalah dengan mengurangkan piksel pada area putih dengan piksel ada area hitam. Untuk mempermudah perhitungan, digunakan media berupa Integral Image.
Gambar 1. Contoh fitur persegi panjang
Integral image merupakan sebuah citra yang nilai tiap pikselnya merupakan penjumlahan dari nilai piksel kiri atas hingga kanan bawah, seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Perhitungan integral image
Cara menentukan nilai rata-rata piksel pada area yang diarsir dapat dilakukan dengan membagi nilai pada (x,y) oleh area segiempat. Perhitungan tersebut diperlihatkan pada Gambar 3 berikut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 262
ISSN: 2580-1104
Gambar 3. Integral image
Cara menghitung nilai D menggunakan integral image adalah dengan menggabungkan jumlah piksel pada area segiempat A + B + C + D, dikurangi jumlah dalam segiempat A + B dan A + C, ditambah jumlah piksel dalam A. Dengan A + B + C + D adalah nilai dari integral image pada lokasi 4, A + B adalah nilai integral image lokasi 2, A + C adalah nilai integral image lokasi 3, dan A nilai integral image lokasi 1. Hasil D dapat dikomputasikan sebagai D = (A + B + C + D) – (A + B) – (A + C) + A. Dibutuhkan cara untuk mendapatkan fitur yang mempunyai nilai yang paling baik, dikarenakan setiap fitur mempunyai nilai yang berbeda. Untuk memilih fitur spesifik yang akan digunakan dan untuk mengatur nilai ambangnya, Viola dan Jones menggunakan metode machine learning yang disebut AdaBoost. AdaBoost bekerja dengan cara menggabungkan banyak classifier lemah untuk membuat classifier kuat. Lemah di sini berarti urutan filter pada classifier hanya mendapatkan jawaban benar yang lebih sedikit. AdaBoost menyatukan sejumlah classifier lemah kemudian menambahkan bobot pada setiap classifier, sehingga membentuk classifier yang kuat (Putro, Adji, & Winduratna, 2012). Karakteristik dari algoritma Viola-Jones adalah adanya klasifikasi bertingkat. Klasifikasi terdiri dari tiga tingkatan, dimana tiap tingkatan mengeluarkan subcitra yang diyakini bukan wajah, karena lebih mudah menilai subcitra sebagai bukan wajah daripada sebagai wajah, seperti diperlihatkan pada Gambar 4 berikut.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 263
Gambar 4. Skema pendeteksian bertingkat
Pada tingkat pertama, tiap subcitra diklasifikasi menggunakan satu fitur. Jika memenuhi fitur Haar tertentu, akan bernilai True, jika tidak memenuhi akan bernilai False. Klasifikasi akan menyisakan sekitar 50% subcitra untuk diklasifikasi pada tahap kedua. Hasil klasifikasi kedua berupa True jika memenuhi proses integral image dan False jika tidak. Seiring bertambahnya tingkatan klasifikasi, diperlukan syarat yang lebih spesifik sehingga fitur yang digunakan akan semakin banyak. Jumlah subcitra yang lolos klasifikasi pun akan berkurang hingga mencapai sekitar 2% (Viola & Jones, 2004). Jika memenuhi AdaBoost, hasil akhir akan berupa True dan akan berupa False jika tidak memenuhi. Evaluasi Precision-Recall Pada kajian pengenalan pola, evaluasi suatu metode dapat diukur dari nilai precision (nilai prediksi positif) dan recall (sensitivitas). Precision digunakan untuk mengukur ketepatan antara informasi yang relevan dengan total jawaban yang dikeluarkan sistem. Sedangkan recall digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan sistem menghasilkan informasi yang relevan (Pratikakis, Gatos, & Ntirogiannis, 2013). 𝑃𝑟𝑒𝑐𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛 = 𝑅𝑒𝑐𝑎𝑙𝑙 =
𝑇𝑃 𝑇𝑃+𝐹𝑃
𝑇𝑃 𝑇𝑃+𝐹𝑁
(1) (2)
Dengan TP : True Positif; FP : False Positif; FN: False Negatif Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra aktifitas dalam ruangan yang berisi mahasiswa atau dosen baik di kelas, laboratorium, maupun di teras gedung. Dalam satu citra terdiri dari banyak orang dan banyak posisi arah wajah dan badan. Faktor pencahayaan dibuat senatural mungkin. Penelitian ini merupakan hasil uji eksperimen metode deteksi ViolaJones terhadap gambar foto aktifitas di dalam ruangan. Pengujian sistem deteksi dan penghitungan manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan deteksi wajah dan deteksi bahu. Kelompok pertama adalah sistem penghitungan manusia yang didasarkan pada deteksi wajah. Berdasarkan hasil percobaan, beberapa objek yang bukan wajah terkadang dapat terdeteksi sebagai wajah. Oleh karena itu, peneliti membuat sebuah kerangka kerja baru untuk meningkatkan kualitas citra potongan dan memvalidasi hasil potongan citra yang terindikasi wajah tersebut (lihat Gambar 5). Tujuan dari kerangka kerja tersebut adalah untuk meminimalkan
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 264
ISSN: 2580-1104
kesalahan dalam mendeteksi wajah manusia sehingga menghasilkan perhitungan jumlah manusia yang lebih tepat. Peningkatan kualitas citra
Mulai
Masukan Citra
Deteksi Wajah Viola-Jones
Potongan Citra
Perbesar Citra 2 kali
Selesai
Cetak Jumlah Manusia
Hitung Manusia
Validasi Wajah
Penajaman Citra
Gambar 5. Kerangka kerja sistem deteksi wajah dan penghitung manusia
Kedua , pengujian sistem penghitung manusia berdasarkan deteksi bagian bahu ke kepala (upper body). Adapun deteksi bahu juga menerapkan metode Viola-Jones. Kemudian, citra hasil potongan yang terdeteksi bahu disimpan dan dilakukan perhitungan jumlah orang (Gambar 6). Pengujian bahu diharapkan dapat menjawab tantangan deteksi manusia khususnya posisi wajah yang tidak melihat ke depan kamera.
Mulai
Masukan Citra
Deteksi DeteksiWajah Bahu Viola-Jones
Selesai
Cetak Jumlah Manusia
Hitung Manusia
Gambar 6. Kerangka kerja sistem deteksi bahu dan penghitung manusia
EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN Hasil ujicoba sistem deteksi manusia berdasarkan kerangka kerja pada Gambar 5 dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil deteksi Viola-jones tahap pertama menghasilkan 9 objek yang teridentifikasi sebagai wajah, yaitu 8 wajah manusia dan 1 logo IndoMS. Kemudian masing-masing potongan gambar dilakukan perbaikan kualitas citra dan validasi deteksi wajah menggunakan Viola-Jones, maka sistem deteksi menghasilkan 8 objek wajah. Sedangkan 1 citra logo sudah tidak terindikasi wajah lagi. Setelah itu sistem akan menyimpan data jumlah manusia yang terdapat pada gambar.
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 265
(a) (b) (c) Gambar 7. a. Hasil deteksi Viola-Jones Gbr19; b. Hasil potongan gambar; c. Hasil validasi Pengujian terhadap penghitungan manusia dilakukan pada setiap tahapan, yaitu tahapan deteksi Viola-Jones tahap 1, tahapan setelah pemotongan citra, dan tahapan setelah peningkatan kualitas citra. Tabel 1 menjelaskan hasil perhitungan jumlah manusia pada setiap tahapannya. Berdasarkan percobaan, citra wajah hasil validasi tanpa/setelah peningkatan kualitas citra menunjukan presisi 100% atau bisa juga dikatakan tidak terdapat kesalahan dalam mendeteksi wajah (lihat nilai FP = 0). Selanjutnya, citra hasil peningkatan kualitas menghasilkan perhitungan jumlah orang (kolom TP) yang lebih mendekati jumlah target dibandingkan dengan citra tanpa perbaikan kualitas, lihat Gbr 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17. Nilai FN (False Negatif) merupakan pengurangan jumlah target – nilai True Positif (TP). Jadi, nilai recall dari skema ini adalah sebesar 86,6% untuk citra dengan wajah relatif menghadap ke depan. Sedangkan, nilai recall dari 20 data adalah 51,2%. Tabel 1. Hasil perhitungan jumlah manusia dari kerangka kerja kelompok 1
Gbr
Kondisi arah wajah
Viola-Jones Tahap 1
Jumlah target
Tanpa Peningkatan Kualitas Citra
(Deteksi Wajah) TP
FP
TP
FP
Setelah Peningkatan Kualitas Citra TP
FP
1
Campur
6
5
1
4
0
4
0
2
Campur
6
5
3
3
0
3
0
3
Campur
7
2
1
2
0
2
0
4
Campur
8
1
4
1
0
1
0
5
Campur
17
0
0
0
0
0
0
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 266
ISSN: 2580-1104
6
Campur
19
1
1
0
0
0
0
7
Campur
12
0
0
0
0
0
0
8
Campur
12
2
0
0
0
0
0
9
Campur
15
0
1
0
0
0
0
10
Campur
15
0
1
0
0
0
0
11
Hadap Depan
19
16
0
11
0
16
0
12
Hadap Depan
18
16
1
13
0
16
0
13
Hadap Depan
18
17
1
16
0
17
0
14
Hadap Depan
19
18
0
13
0
17
0
15
Hadap Depan
18
14
1
10
0
14
0
16
Hadap Depan
16
15
0
13
0
15
0
17
Hadap Depan
18
16
1
14
0
16
0
18
Hadap Depan
13
11
0
10
0
10
0
19
Hadap Depan
8
8
1
8
0
8
0
20
Hadap Depan
10
9
2
9
0
9
0
Ket : TP (True Positif) ; FP (False Positif)
Selanjutnya, percobaan dilakukan terhadap kerangkat kerja yang mendeteksi bahu. Penjelasan deteksi bahu (Kelebihan dan kekurangan).
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 267
Tabel 2. Hasil perhitungan jumlah manusi dari kerangka kerja kelompok 2
Gbr
Kondisi arah wajah
Viola-Jones Tahap 1
Jumlah target
(Deteksi Bahu) TP
FP
1
Campur
6
4
0
2
Campur
6
3
0
3
Campur
7
3
8
4
Campur
8
1
6
5
Campur
17
3
5
6
Campur
19
4
7
7
Campur
12
6
1
8
Campur
12
7
2
9
Campur
15
1
0
10
Campur
15
2
2
11
Hadap Depan
19
11
5
12
Hadap Depan
18
14
7
13
Hadap Depan
18
16
6
14
Hadap Depan
19
14
3
15
Hadap Depan
18
14
6
16
Hadap Depan
16
12
2
17
Hadap Depan
18
12
2
18
Hadap Depan
13
11
8
19
Hadap Depan
8
6
8
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 268
ISSN: 2580-1104
20
Hadap Depan
10
9
7
Gambar 8. Hasil deteksi bahudari citra Gbr16
KESIMPULAN Penelitian ini menggunakan metode Viola-Jones untuk mendeteksi wajah dan bahu manusia, dengan tujuan menghitung jumlah manusia dalam suatu gambar. Rata-rata nilai precesion 100% dan nilai recall 88,4% dengan catatan bahwa wajah relatif menghadap kamera. Setelah dilakukan peningkatan kualitas citra dan validasi, sistem dapat meminimalkan kesalahan deteksi sehingga meningkatkan keakuratan dalam penghitungan manusia. Penggunaan deteksi bahu dapat mengenali objek manusia namun tidak lebih baik dari hasil deteksi wajah. DAFTAR PUSTAKA Andrian, I. (2012). Perbandingan Metode Viola Jones dengan Metode Roberts Cross pada Sistem Pengenalan Wajah. Bandung: Universitas Komputer Indonesia. Duffner, S., & Odobez, J. (2014). Leveraging colour segmentation for upper body detection. Pattern Recognition, 1–9. http://doi.org/10.1016/j.patcog.2013.12.014 Kar, N., Debbarma, M. K., Saha, A., & Pal, D. R. (2012). Study of Implementing Automated Attendance System Using Face Recognition Technique. International Journal of Computer and Communication Engineering, 1(2), 100–103. http://doi.org/10.7763/IJCCE.2012.V1.28
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 269
Nugroho, S. (2004). Sistem Pendeteksi Wajah Manusia pada Citra Digital. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pratikakis, I., Gatos, B., & Ntirogiannis, K. (2013). ICDAR 2013 document image binarization contest (DIBCO 2013). Proceedings of the International Conference on Document Analysis and Recognition, ICDAR, (Dibco), 1471–1476. http://doi.org/10.1109/ICDAR.2013.219 Putro, M. D., Adji, T. B., & Winduratna, B. (2012). Sistem Deteksi Wajah dengan Menggunakan Metode Viola-Jones. Science, Engineering and Technology, 1–5. Savitha, J., & Kumar, A. V. S. (2014). Face Tracking and Detection using S-PCA & KLT Method. International Journal of Advance Research in Computer Science and Management Studies, 2(2), 224–229. Topkaya, I. S., Erdogan, H., & Porikli, F. (2014). Counting people by clustering person detector outputs. 11th IEEE International Conference on Advanced Video and Signal-Based Surveillance, AVSS 2014, 313–318. http://doi.org/10.1109/AVSS.2014.6918687 Viola, P., & Jones, M. J. (2004). Robust Real-Time Face Detection. International Journal of Computer Vision, 57(2), 137–154. http://doi.org/10.1023/B:VISI.0000013087.49260.fb
Seminar Nasional Matematika V - 2016 | 270