Membangun Reputasi Pustakawan Ida F Priyanto Perpustakaan Universitas Gajah Mada
Abstract Reputation, character, and personal brand are closely related to the existence of a person in public. Reputation is often considered as a person’s quality in relation to his/her profession or activities from others’ views. Character is a person’s quality in his/her side, while personal brand is a person’s image in public related to his/her specific personality. Developing reputation may be done using various ways.
Abstrak Reputasi, karakter dan personal brand adalah hal-hal yang sangat terkait dengan kondisi seseorang di mata publik. Reputasi sering diartikan sebagai kualitas seseorang terkait dengan profesi atau kegiatannya di mata orang lain, karakter adalah kualitas seseorang dalam dirinya, sedangkan personal brand adalah citra atau gambaran seseorang di dalam masyarakat dan terikat dengan kekhasan dirinya. Membangun reputasi dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pendahuluan Dalam kamus-kamus, reputasi seringkali diartikan sebagai kondisi seseorang di mata publik atau pendapat publik atas seseorang, kelompok atau lembaga. Reputasi juga diartikan sebagai “a socially shared impression” (Helm, 2011, hal. 23) dan karenanya reputasi juga kadang diartikan sebagai kualitas atau karakter seseorang menurut kacamata masyarakat--Persepsi diri dan nama dalam masyarakat. Reputasi dapat diartikan sebagai berbagai hal yang
mempengaruhi orang lain untuk berpikir, merasakan, dan membicarakan tentang diri kita menurut mereka dengan cara mereka. Reputasi terkait dengan image, identitas, dan kepribadian. Sementara itu menurut Fombrun (1996) reputasi terbentuk dari empat ciri yang berbeda, yaitu kredibilitas, reliabilitas, responsibilitas, dan trustworthiness. Reputasi merupakan hal sangat berharga dalam diri kita, terutama dalam kaitannya dengan profesi kita. Coombs (2007) mengatakan bahwa reputasi “are widely recognized as a valuable, intangible asset” (hal. 164). Tentu saja reputasi
membutuhkan
waktu
bisa
sampai
bertahun
tahun
untuk
membangunnya dan bisa hancur dalam waktu sekejap. Dalam sebuah lembaga, reputasi yang hanya mengandalkan orang tertentu—apalagi diri sendiri, saat menjadi orang nomer satu-dengan mudah hancur, begitu orangnya kehilangan reputasi. ‘A reputation once broken may possibly be repaired, but the world will always keep their eyes on the spot where the crack was.’ (Joseph Hall, English bishop and satirist, 1574–1656) Dalam sebuah perpustakaan, membangun reputasi bukan berdasarkan orang tertentu saja. Tidak kalah penting juga adalah bahwa membangun reputasi perpustakaan perlu dilakukan secara terpisah dari membangun reputasi diri pustakawan. Namun demikian untuk membangun reputasi, perpustakaan harus mampu membangun reputasi sumber daya manusianya, yaitu pustakawan. Kemampuan, pengetahuan, dan penampilan para pustakawan harus terus dibangun agar reputasi perpustakaan meningkat. Reputasi merupakan hasil dari “the cumulative performance of a knowledge intensive firm’s activities” (Sheehan & Stabell, 2010, hal. 201). Dengan memasung semua pustakawan untuk berkreasi, maka reputasi sebuah perpustakaan tidak terbangun. Tugas dari seorang kepala perpustakaan adalah tidak sekedar menjadi manajer, tetapi juga harus berusaha menjadi pemimpin. Kepemimpinan perpustakaan membutuhkan kerja bersama dan karenanya maka
reputasi bisa terbangun. Zinko, Ferris, Meyer, Humphrey, dan Aime (2012) menyebutkan bahwa di tempat kerja, reputasi terfokus pada hal-hal terkait dengan kapasitas diri para pegawainya dalam melaksanakan tugas secara efektif dan kooperatif dan saling memberikan bantuan. Reputasi, karakter, dan personal brand Pustakawan mungkin dan kadang lebih memahami dan mengerti karakter diri dari pada reputasi yang dimiliki. Karakter lebih merupakan siapa diri kita; sedangkan reputasi adalah apa yang dipikirkan oleh orang lain atas diri kita. Hal inilah yang perlu dipahami lebih jauh. Perlu diingat bahwa karakter dalam diri seorang pustakawanakan menjadi bagian integral dari munculnya branding dan reputasi yang diharapkan. Selain itu, memadukan karakter dan nilai yang ada di dalam diri pustakawan ke personal brand memungkinkan seorang pustakawan untuk mendisain dan mengawal reputasi yang ingin dikembangkannya. Reputasi dan karakter sangat mudah dibedakan karena karakter ada di dalam diri sendiri, sedangkan reputasi ada di luar diri kita. Namun sulit membedakan antara personal brand dengan reputasi. Personal branding makin penting saat ini karena personal brand adalah wajah diri di depan masyarakat—public face! Personal branding pustakawan merupakan semua yang ada di dalam diri seorang pustakawan tetapi terlihat dari luar dan mempengaruhi reputasi sehingga orang lain melihat diri seorang pustakawan dan kemudian mereka dapat berbicara tentang siapa pustakawan tersebut tanpa sepengetahuannya. Hayman (2012) menyebutkan bahwa “in an age where intangible assets count, it is the people stories that often help sell” (hal. 23) Pada dasarnya pustakawan dan orang pada umumnya hanya dapat sedikit mengontrol public face diri kalau dia dapat dengan tangkas menunjukkan kepada orang lain tentang dirinya sesuai yang diharapkannya. Untuk memahami reputasi, pustakawan perlu menghargai peran personal brand. Sadar atau tidak, pustakawan memiliki personal brand—yaitu segala
sesuatu yang menghubungkan diri seorang pustakawan ke dunia di luar profesinya tetapi berasal dari seorang pustakawan. Karakter dan personal brand membangun reputasi yang kemudian dapat mengukur seberapa besar seorang pustakawan mampu mengawasi orang lain melihat dirinya. Reputasi merupakan hal yang sangat berharga bagi pustakawan. Kita mungkin butuh waktu bertahun tahun untuk membangunnya tetapi dalam sekejap reputasi pustakawan bisa hancur. Ada tiga hal dalam kaitannya dengan reputasi: 1. membangun reputasi: seberapa hebat diri kita, kita tidak akan dapat membangun reputasi tanpa membangun visibilitas. Untuk itu, menurut Eisseneger
(2009)
kita
harus
menunjukkan
kompetensi
dan
keberhasilan. 2. Menjaga reputasi: Kita harus menjaga diri kita dari pandangan dan pemikiran dari kelompok masyarakat yang kita targetkan dan menjaga image dan nama baik dalam profesi kita. 3. Mengembalikan reputasi. Saat nama kita dijatuhkan atau kita jatuh sendiri, kita harus bangkit dan memulihkan posisi kita. Ketiganya merupakan bagian dari manajemen reputasi dan bisa dilakukan baik secara offline dalam dunia nyata bersama orang-orang secara nyata maupun secara online. Kiat membangun reputasi Beberapa yang dapat dilakukan untuk membangun reputasi seorang pustakawan adalah sebagai berikut: 1. Menulis artikel dalam majalah, jurnal, atau suratkabar baik lokal, nasional maupun internasional serta online. Menulis artikel yang bermanfaat bagi orang lain dapat membuat mereka bisa mengenali diri kita. Mereka dapat menilai siapa kita dan seberapa besar tingkat
pengetahuan kita. Menulis bukan hal sederhana dan tidak segampang ngomong—seperti kata seorang pustakawan. Menulis membutuhkan ketrampilan yang harus dilatihkan. Sama halnya, ngomong juga tidak segampang menulis. Keduanya—menulis dan ngomong—merupakan dua hal yang sama-sama membutuhkan ketrampilan yang berbeda dan harus terlatih. Berapa artikel telah saudara tuliskan? Pernahkan saudara mengajukan proposal atau abstrak ke call for papers? Baik skala lokal, nasional, maupun internasional. Apabila sudah pernah dan lolos, lanjutkan ke skala yang lebih besar dan luas. Apabila belum, perlu mencoba. Tidak kalah penting adalah menulis di media masa umum, bukan hanya menulis di media khusus profesinya, meskipun juga penting. Menulis di media umum dapat membangun reputasi di masyarakat umum. 2. Banyak membaca. Untuk bisa mempengaruhi orang lain atau memberikan gagasan, kita harus memiliki pengetahuan. Salah satu cara untuk dapat memperoleh pengetahuan adalah dengan membaca. Akan sangat terlihat baik apabila kita bisa menyediakan waktu untuk membaca. Membaca seringkali merupakan kegiatan yang terlupakan oleh para pustakawan. Hal ini karena di tempat bekerja sudah melihat banyaknya buku dan untuk memegang dan membacanya tidak mudah apabila
tidak
dijadikan
kebiasaan.saya
melihat
belum
banyak
pustakawan yang membaca dan kemudian menuliskan gagasannya setelah membaca beberapa dokumen. Membaca tidak harus dibatasi dengan kebaruan. Informasi dan pengetahuan lama pun masih diperlukan dan bermanfaat—tergantung konteks. 3. Terus meng-update informasi dan pengetahuan. Mengikuti tulisantulisan dalam profesinya, membaca blog, membaca artikel jurnal edisi terbaru adalah contoh-contoh dari bentuk pengembangan diri. Update informasi dan pengetahuan kadang juga dapat dilakukan dengan menelusur kata kunci melalui mesin telusur ataupun melalui situs-situs
web tertentu. Dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam profesi kita, tentu pengetahuan kita bertambah dan pada waktu ada orang berbicara tentang topic-topik terkini, anda dapat mengikutinya dengan baik. 4. Membangun perpustakaan pribadi. Memiliki koleksi buku dan artikel dalam bidangnya akan sangat baik dan bisa menjadi langkah awal membangun perpustakaan—baik perpustakaan fisik maupun perpustakaan digital—dan sebaiknya koleksi tersebut adalah koleksi yang benra-benar dibaca oleh diri sendiri, bukan sekedar koleksi yang dipajang di kamar tamu agar orang dapat melihat koleksi kita, seperti halnya orang di masa lalu memajang gelas, cangkir, piring di rak kamar tamu. Berapa banyak file baik artikel, ebook, power-point yang telah anda miliki dan dalam bidang apa saja? Juga berapa banyak buku dalam profesi anda yang telah anda kumpulkan dan baca? Memiliki perpustakaan pribadi sangat bermanfaat, terutama pada saat ada kawan yang
membutuhkannya.
Memberikan
bantuan
informasi
dan
pengetahuan dalam profesi anda juga merupakan pengembangan reputasi. Apalagi kalau kita bisa rajin mencari sumber informasi dan kemudian mau berbagi, maka semakin besar manfaat penyimpanan koleksi tersebut. Perlu diketahui juga bahwa koleksi tidak harus semuanya baru. Artikel lama pun tetap ada yang relevan dan bermanfaat. Alangkah buruknya apabila suatu lembaga pendidikan mewajibkan mahasiswanya mengutip hanya sumber referensi terbaru saja. Bukankah banyak orang di masa lalu yang juga memiliki prestasi gemilang? Dan pemikiran mereka tetap masih dibutuhkan. 5. Mengikuti seminar, workshop dan pelatihan. Mengikuti seminar atau konferensi secara aktif membuat kita tahu perkembangan terbaru dalam profesi kita. Sebaiknya mengikuti seminar atau konferensi tidak sekedar berkumpul dengan kawan yang berangkat bersama-sama, tetapi juga berkenalan dengan kawan-kawan baru dan bahkan pembicara agar kita
semakin mengenal dan dikenal. Membangun jaringan melalui seminar atau konferensi sangat membantu kita untuk membangun reputasi. Juga dalam konferensi besar, biasanya ada pameran atau exhibition dari vendor. Mengenali produk produk baru dalam bidangnya dengan melihat pameran dalam konferensi sangat baik untuk meng-up-date informasi produk dan mengenal lembaga dan orang-orang yang berkecimpung dalam industri terkait dengan profesi. Tidak kalah penting adalah mengikuti pelatihan atau workshop yang benar-benar sesuai kebutuhan dan perkembangan baru. Selain membangun jaringan persahabatan baru, pelatihan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kita. Beberapa pelatihan yang saya ikuti sangat membantu saya dalam belajar mengelola profesi dan lembaga, serta pengembangan diri. Sebaiknya menghadiri seminar atau workshop dan pelatihan hanya yang sesuai dengan minat atau karena terkait dengan minatnya, bukan menghadiri karena mendapatkan tugas untuk menghadiri. Pimpinan perpustakaan sebaiknya selalu memilih orang yang sesuai untuk menghadiri kegiatan kepustakawanan. 6. Berkenalan dengan pakar. Kenali orang-orang yang memiliki pengetahuan jauh di atas anda. Berkenalan tidak sekedar konfirmasi berteman melalui jejaring sosial, melainkan juga berkomunikasi dan menyapa, lalu bertanya atau menggali pengetahuan yang beliau miliki melalui berbagai media—baik jejaring sosial maupun jaringan pribadi seperti email, pesan pendek, atau media lainnya. Kita harus selalu berusaha mengenali siapa saja orang yang memiliki kemampuan dan kepakaran dan kemudian berusaha mengenalnya lebih dekat dengan mengirimkan email atau berkenalan melalui berbagai jejaring seperti LinkedIn dan kemudian saling menyapa. Sangatlah rugi apabila dalam suatu
pertemuan
seperti
seminar
atau
konferensi,
kita
tidak
menyempatkan bertemu dan berkenalan dengan orang orang yang hadir—apalagi dengan pembicaranya. Sering kita lihat ada peserta
seminar yang menghadiri seminar tetapi sebetulnya punya tujuan di luar seminar itu sendiri. Lebih dari itu, ada juga panitia seminar yang kadang lebih menonjolkan obyek wisata yang dapat dikunjungi setelah seminar, bukan memusatkan pada seminarnya sendiri karena hal itu dianggap sebagai daya tarik. 7. Penampilan diri. Jangan lupa terus merawat diri sendiri. Penampilan sering dilupakan oleh para pustakawan, padahal hal ini penting. Berpenampilan dengan meniru profesi lain atau lebih menarik dari profesi lain sangat dibutuhkan. Dari potongan rambut, kacamata, baju, celana, sampai sepatu. Di perpustakaan tempat saya bekerja dulu saya sendiri kadang melihat pegawai tidak memperhatikan bahwa yang dikenakan--antara celana dan bajunya tidak match, atau bahkan sepatunya. Saya juga kadang sangat merasa tidak nyaman melihat pegawai yang mengenakan sandal di tempat kerja secara terus menerus sejak tiba di perpustakaan atau bahkan dari rumah sudah mengenakan sandal. Saat tiba di tempat kerja tetap mengenakan sandal tersebut. Tidak kalah menarik adalah pengalaman saya melihat siapa saja dan dimana saja pegawai tidur pada saat di tempat kerja—ada yang tidur pada saat jam istirahat siang, ada yang tidur saat bekerja. 8. Mengenali dunia profesi kita. Untuk memiliki reputasi yang baik, kita harus terlebih dahulu mengenali siapa saja yang ada dalam profesi kita, dimana kita berada, dan siapa saja yang masuk dalam lingkungan kita. Memperhatikan dengan jeli segmen-segmen pasar dunia profesi ini dan kemudian mengenali lebih dalam lagi budaya dalam setiap segmen dapat menjadi dasar untuk membangun reputasi. Setiap segmen masyarakat memiliki budaya sendiri yang unik dan berbeda dengan budaya segmen lainnya. Setelah mengenali segmen-segmen dan budaya mereka, kita dapat membangun reputasi berdasarkan nilai yang dijunjung tinggi di dalamnya dan kita lakukan apa yang mendorong profesi menjadi lebih maju. Dengan mengajak kawan se profesi
melakukan hal-hal yang bernilai—seperti menulis bersama, berbagi gagasan, dan sebagainya, maka profesi kita semakin maju dan kita dapat semakin memahami profesi tersebut. Dalam mengenali profesi, tentu kita juga harus mempertimbangkan rentetan di luar garis tersebut, misalnya untuk membangun perpustakaan kabupaten,
diperlukan
juga
pengenalan
terhadap
jajaran
yang
mempengaruhi atau terkait dengan lembaga tersebut.
9. Produktif. Untuk membangun reputasi, diperlukan produktivitas. Orang yang produktif akan dengan mudah mendapatkan reputasi yang diharapkan, namun orang yang tidak produktif dan tidak mengikuti aliran perjalanan hidup yang terus berubah tidak akan memiliki reputasi sama sekali. Jumlah orang yang produktif tidak banyak, sedangkan yang tidak produktif atau hanya mengikuti perjalanan hidup sangat besar. Bila kita produktif, kita dengan mudah dikenali oleh orang lain. Produktivitas dapat dilakukan dengan melakukan banyak hal. Bahkan hal kecil sekalipun dapat kita rubah menjadi hal yang produktif. Sebagai contoh, pemanfaatan facebook untuk para pustakawan. Saat ini terlihat ada saja pustakawan yang hanya menuliskan dua tiga kata di dalam facebook dan kemudian mendapatkan komentar dan di-like. Apabila dua tiga kata tersebut hanya ungkapan asal tulis, dan kemudian dikomentari dengan asal tulis juga, maka terjadilah ketidak-produktivan itu. Mengubah berbagai media menjadi bernilai dan produktif bukan hal sederhana tapi perlu dilakukan. 10. Mengembangkan ketrampilan. Untuk mencapai target reputasi yang ingin
dibangun,
harusdilakukan
pengembangan
ketrampilan.
Pengembangan ini sangat penting karena selain memiliki pengetahuan, kita juga harus memiliki ketrampilan yang dapat menunjang profesi kita. Untuk itulah kita harus mau belajar dari orang lain—siapapun
mereka. Kadang ketrampilan yang dimiliki oleh orang yang kita anggap lebih rendah dari kita sendiri juga penting. Orang tidak sepenuhnya mengetahui banyak hal. Keterbatasan ini harus didukung dengan kemauan untuk belajar dan mengerti tentang berbagai hal yang dapat dilakukan guna menunjang kemampuan. 11. Melihat gambaran besar dan mimpi besar Tidak kalah penting adalah untuk melihat gambaran dunia profesi kita secara luas. Jangan melihat dunia kepustakawanan secara mikro dalam lingkup kecil. Dunia ini cukup luas dan kita tidak mungkin mampu menjelajah seluruh bagian dalam umur kita yang sangat pendek, namun kita harus mampu melihat bagaimana gambaran perkembangan dunia profesi kita berkembang sambil menoleh ke belakang, bagaimana proses telah berjalan. Brown mengatakan bahwa mimpi besar juga sangat penting. “The higher you reach, the higher you will go! Don’t be afraid to dream unrealistic dreams! People who have built great empires often had
unreasonable
dreams”
(http://www.robert-
craven.com/PDF%20archive/R-Brown-11-Ways-to-Build-a-GreatPersonal-Reputation.pdf). 12. Memperluas jaringan Hal yang perlu dikembangkan dan tidak kalah menarik adalah memperluas jaringan. Dalam pertemuan satellite meeting IFLA bidang bangunan dan disain perpustakaan bulan Agustus yang lalu, orang dari profesi yang berbeda juga hadir di antaranya adalah arsitek. Mengenali orang-orang di luar profesi dapat memperkaya pengetahuan kita. Demikian pula pengalaman membangun gedung perpustakaan, kita dapat memperluas jaringan karena kita berhadapan dengan ahli teknik sipil, arsitektur, perencanaan, pemborong, pengawas, mandor, tukang, dan sebagainya. Selain memperluas jaringan, kita juga harus selalu mengingat dan memperhatikan orang lain. Bourne dan Barbour (2011)
mengatakan bahwa untuk membangun reputasi kita tidak boleh mengabaikan orang begitu saja.
Referensi:
Bourne, P. & Barbour, V. (2011) Ten Simple Rules for Building and Maintaining a Scientific Reputation. PLoS Computational Biology, 7(6): e1002108. doi:10.1371/journal.pcbi.1002108. Coombs, W. (2007). Protecting Organization Reputations during a Crisis: The Development and Application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176. Eisseneger, M. (2009). Trust and reputation in the age of globalization, dalam Klewes, J. & Wreschniok, R. (eds.), Reputation Capital. Berlin: Springer. DOI 10.1007/978-3-642-01630-1_2, Fombrun, J. (1996) Reputation. Realizing value from the corporate image. Boston: Harvard Business School. Hayman, M. (2012). Face value: Your reputation as a business assets. http://www.coutts.com/files/pdf/face-value.pdf Helm, S. (2007). The Role of Corporate Reputation in Determining Investor Satisfaction and Loyalty. Corporate Reputation Review, 10(1), 22 –37. Sheehan, T & Stabell, C. (2010). Reputation as a Driver in Activity Level Analysis: Reputation and Competitive Advantage in Knowledge Intensive Firms. Corporate Reputation Review, 13(3), 198–208. Zinko, R., Ferris, G., Humphrey, S., Meyer, C., & Aime, F. (2012). Personal reputation in organizations: Two-study constructive replication and extension of antecedents and consequences. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 85, 156–180.