MEMBANGUN MASYARAKAT RELIGIUS TANPA KEKERASAN DENGAN KONSEP VEDANTA Oleh: Ni Kadek Surpi*) Abstract Conflict on behalf of religion, even on behalf of God have coloured the transportation; journey of history of human being under the sun. Claim the truth in religion organized, errant doctrine, and devil have triggered the bloodbath for the shake of advocating the truth of religion. visible religion follower of distortion have from human values even assess the truth of its own religion. Conflict in religion nor fail to draw it. Convert the religion become the separate problem in the middle of effort create the harmonious life multicultural. As universal religion, Sanatana Dharma offer a number of alternative. In Hindu there no errant doctrine. Hindu as absorbent ocean of truth values, whereas is in it hidden by so much readily pearl to be dug and found. Vedanta is one of the darsana, very popular Hindu philosophy system not only in east but also in west. Vedanta is not stiff philosophy system which only suited for follower of certain confidence or religion and or certain race. Vedanta is universal teaching, future religion giving peacefulness expectation for universe. Dream of the vedanta is develop; build the religion society nonviolence. Society develop; builded the above value, what is not only idolizing God but human at human being Key word : Vedanta, Religion, society. Non Violence mengatakan dirinya lebih unggul dari agama lainnya. Sehingga akibatnya terjadi persaingan ideologi, jumlah umat hingga persaingan ekonomi dan militeri. Walau Kristen telah membuka pintu pluralisme sejak konsili vatikan II, namun persaingan masih terus terjadi. Studi para orintalis barat tentang agama juga telah melahirkan penggolongan agama tanpa pijakan yang jelas yang menyebabkan semakin runcingnya perbedaan bahkan menimbulkan ketersinggungan. Para ahli menggolongkan agama atas dasar siapa pendirinya, siapa yang menerima wahyu dan tahun berapa wahyu itu diterima. Agama yang dapat dirinci disebut sebagai agama samawi oleh sebagian ahli atau teolog. Sementara agama yang tidak dapat diketahui tanggal pastinya dianggap sebagai agama budaya atau buatan manusia atas dasar cipta dan karsa. Namun penggolongan semacam itu justru memperburuk studi agama secara seimbang.
I. PENDAHULUAN Banyaknya kekerasan didunia yang mengatasnamakan agama dan Tuhan membuat sebagian orang mempertanyakan dogma dan keyakinan dari agama teroganisir. Sebab, sejumlah agama terorganisir seperti rumpun Semit atau Abrahamik yakni Yahudi, Kristen dan Islam telah terlibat konflik selama berabad-abad. Disisi lain, konsep-konsep kebenaran dan dogma-dogma setiap agama semakin mendapat perhatian guna mewujudkan dunia yang penuh dengan kebaikan tanpa konflik yang dapat menghancurkan kemanusiaan. Sankara Saranam dalam bukunya God Without Religion (Tuhan Tanpa Agama), mengatakan bahwa agama terorganisir telah menimbulkan banyak masalah bahkan penderitaan di muka bumi ini (Saranam, 2009). Klaim-klaim kebenaran, anggapan sesat, bidah dan kafir sering dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan ataupun proselitasi. Masing-masing agama 1
*) Ni Kadek Surpi, M.Fil.H., adalah Ketua mulai dari rasa sakit orang yang dihina hingga Program Studi Teologi Hindu di Fakultas Brahma bom untuk membunuh orang kafir dengan Widya IHDN Denpasar menghujami negeri sendiri atas keyakinan Berbeda dengan agama lain di dunia, akan menikmati indahnya surga. Kebenaran, agama Hindu tidak berasal dari seorang pendiri Tuhan dan surga telah diklaim sebagai milik atau sebuah kitab atau satu paham tertentu. sendiri dan sebagai pewaris yang sah, seolahDemikian pula para ahli menyatakan tidak olah tidak dapat dijamah oleh orang lain diluar dapat dipastikan bahwa Hindu dimulai pada kelompoknya. Sayangnya, hal itu titik waktu tertentu. Agama Hindu dikatakan diperdebatkan karena kebenaran dari teks suci sebagai pohon besar dengan cabangnya yang yang tidak terbantahkan. Akhirnya, ibu pertiwi sangat banyak yang melambangkan berbagai harus carut-marut akibat dogma-dogma atas pemikiran keagamaan. Pohon ini berakar nama agama. Mengenai fanatisme agama, dalam Veda dan upanisad yang subur. Weda Svami Vivekananda mengatakan : melambangkan tradisi keagamaan, sedangkan “Saya ingat, pada masa kanakupanisad merupakan filsafat dimana tradisi itu kanak, saya mendengar seorang didasarkan (Bansi Pandit, 2005 : 9). Beberapa misionaris Kristen berkhobah orang menyatakan bahwa Hindu adalah lautan kepada kumpulan massa di yang menyerap semua aliran sungai dari India. Di antara kata-kata yang pemikiran yang berbeda, betapa lurus atau manis, ia bertanya, jika ia terbeloknya sungai itu. Pemikiran yang memukul patung dewa dengan mengalir dan mengakar itu disebut dengan tongkat, apa yang bisa filsafat, yang ditelorkan serta disebarluaskan dilakukan oleh patung tersebut? oleh seorang guru atau ahli filsafat tertentu, Salah seorang pendengar yang pernah hadir yang memberi corak dengan tajam menjawab “Jika tersendiri bagi ajaran sanatana dharma. saya menghina Tuhan anda, apa Sanatana dharma sejak awal telah yang dapat Dia lakukan? Si memberikan kontribusi yang tidak kecil, baik pengkhotbah menjawab “Anda melalui keagungan konsep-konsepnya maupun akan dihukum ketika anda ilmu praktisnya. Salah satunya adalah sistem mati,” “Demikian pula, patung filsafat yang menjadi sumbangan besar di abad saya akan menghukummu modern ini guna membangun peradaban yang ketika anda mati!” lebih baik dan membangun spiritualitas. Pohon dikenal karena buahnya. Bila melihat mereka yang II. PEMBAHASAN disebut sebagai pemuja berhala, 2.1. Fanatisme Agama dan Kobaran Api saya melihat orang-orang yang Kebencian para Pengkhotbah penuh dengan moralitas, Sungguh sangat disayangkan, di spiritualitas dan cinta yang tidak negeri ini selama berpuluh-puluh tahun saya jumpai ditempat lain. pengkhotbah-pengkhotbah kharismatis telah Maka saya bertanya pada diri menyalakan dan mengobarkan api kebencian, sendiri, bisalah dosa melahirkan militansi sempit, dan penghinaan terhadap kesucian? keyakinan orang lain. Para penceramah yang Takhayul adalah musuh besar mengaku tercerahkan juga mengklaim mampu manusia, tetapi fanatisme lebih menunjukkan jalan kebenaran dan buruk. Mengapa orang Kristen menjatuhkan vonis ajaran lain sesat, kafir dan pergi ke Gereja? mengapa salib masuk neraka jahanam. Akibatnya berbagai dianggap suci? Mengapa wajah peristiwa kecil maupun besar akhirnya terjadi, 2
ditengadahkan ke langit ketika berdoa? Mengapa ada banyak gambar dan patung di Gereja Katolik? Mengapa ada banyak citra dalam benak kaum protestan ketika mereka berdoa? Saudara-saudaraku, kita tidak dapat berpikir tentang apapun tanpa membayangkan dalam pikiran kita, sama seperti kita tidak dapat hidup tanpa bernafas. Sesuai hukum asosiasi, citra material menimbulkan gagasan mental dan sebaliknya. Karena itulah kaum Hindu menggunakan simbol eksternal ketika berdoa. Orang Hindu akan mengatakan bahwa gambar membantu pikirannya berkonsentrasi pada apa yang dipujanya. Ia tahu seperti anda juga tahu, bahwa gambar dan patung bukan Tuhan. Patung tidak bisa berada di mana-mana seperti Tuhan (Ghindwani, 2005:96-97).
banyak dianut oleh masyakat umum. Akibatnya, rasa penghargaan yang tulus dan toleransi yang sesungguhnya menjadi sangat mahal di negeri ini. Padahal, tujuan dari agama adalah mentransformasi umatnya menjadi orangorang yang saleh, orang-orang yang berbakti bagi negeri dan orang-orang yang memiliki kebajikan di dalam hatinya. Tetapi yang banyak terjadi adalah sebaliknya, agama memecah-belah kemanusiaan, menipiskan rasa persaudaraan bahkan menaburkan kebencian yang dalam. Jika demikian, apa peran agama bagi kemanusiaan? Agama yang diajarkan serta diterapkan secara salah justru menimbulkan begitu banyak peperangan, kekisruhan dan terorisme. Wajah agama menjadi sangat menakutkan dan menjadi tragedi kemanusiaan, di tangan orang-orang perakit bom, yang mengaku orang yang paling paham dengan agamanya. Umat manusia telah mengalami sejarah panjang pertumpahan darah karena kepentingan politik dan ekonomi dari konsep agama terorganisir. Tuhan dipakai untuk menguduskan konflik atas tanah dan pemerintahan, dimulai dari jaman-jaman Alkitabiah, berlanjut dengan penaklukan Arab oleh Nabi Muhammad, penyerbuan Jenghis Khan ke Mongolia, Perang Salib, Inkuisisi, perang agama di Prancis dan pendudukan Amerika Kolonial. Sejak masa-masa itu, rajaraja, jenderal-jenderal dan para paus telah merestui pemakaian kekerasan dan keputusan ilahi jika kekerasan ini melayani kepentingan mereka. Para pemimpin keagamaan juga berdoa untuk kemenangan militer dan jarang mendorong mempertanyakan kerusakan sosial akibat perang (Saranam, 2009:74). Hal yang sama, jarang para pelaku maupun pendukung teror mempertanyakan kerusakan yang terjadi akibat aksi terorisme, apalagi mendoakan agar terjadi pemulihan. Tokoh agung Swami Vivekananda pada pidato pembukaan di World Parliament of Religion di Chicago 11 September 1893
Penulis sendiri pun ketika usia muda, harus menahan rasa sakit ketika mendengar khotbah baik melalui radio, TV maupun secara kebetulan terjebak dalam kegiatan umat lain yang dalam acara khotbahnya menjelekjelekkan ajaran agama yang tidak dianutnya. Pendakwah yang dijunjung tinggi, diyakini kebenaran setiap ucapannya dengan lidahnya yang setajam pedang telah menyayat hati melakukan penghinaan atas segala segi dari keyakinan yang dianut penulis. Namun di sisi lain, ajaran itu menimbulkan gema tepuk tangan dari umatnya yang setuju. Dan akhirnya penanaman agama dengan menabur kebencian itu telah tertanam seolah-olah menjadi kebenaran agama. Apa yang diucapkan orang besar telah merasuki dan diikuti oleh masyarakat umum seperti tercantum dalam Bhagavad Gita, sehingga penghinaan dan kesalahan berpikir atas agama orang lain juga 3
mengatakan sektarianisme, kekerasan pikiran, yang menyebabkan fanatisme sudah terlalu lama mencekam bumi yang indah. Fanatisme telah memenuhi bumi dengan kekerasan, membanjirinya setiap kali dengan darah, menghancurkan peradaban dan membawa kesengsaraan bagi bangsa. Kalau saja tidak ada fanatisme, masyarakat manusia akan jauh lebih maju daripada sekarang. Tetapi keadaan itu haruslah berakhir, dan saya berharap bahwa lonceng yang dibunyikan pada konvensi ini menjadi lonceng kematian bagi semua fanatisme, semua bentuk penyiksaan oleh pena atau pedang, dan bagi semua perasaan benci antar manusia yang sebenarnya berusaha mencapai tujuan yang sama (Ghindwani, 2005:4). Akan tetapi kini lebih dari 100 tahun, fanatisme sempit tidak juga ditinggalkan secara utuh, walaupun wacana pluralisme meng-gema di seluruh belahan bumi. Kekerasan atas nama agama masih berkobar, kesengsaraan akibat perang atas nama agama yang dibungkus dengan kepentingan politik masih terus terjadi. Demikian pula kekerasan atas nama membela Tuhan dan kebenaran telah membawa begitu banyak air mata dan tidak banyak penganut agama yang mau menghargai dengan tulus keyakinan dan kebenaran agama lain. Lebih lanjut dalam pidatonya pada penutupan konvensi itu, 27 September 1893, Swami Vivekananda menyatakan banyak sudah kita berbicara soal dasar yang sama dari persatuan agama. Beliau mengatakan jika siapa-pun di sini berharap bahwa persatuan ini akan terwujud dengan menangnya salah satu agama dan kehancuran agama lain, beliau mengatakan “saudaraku, harapanmu mustahil!” ”Apakah saya ingin yang Kristen menjadi Hindu? Demi Tuhan, jangan sampai. Apakah saya ingin orang Hindu atau Budha menjadi Kristen. Jangan sampai. Benih sudah ditanam dan tanah serta udara dan air diletakkan disekitarnya. Apakah benih akan menjadi tanah, atau udara, atau air? Tidak.
Benih menjadi tanaman, ia tumbuh mengikuti hukum pertumbuhannya sendiri, menyerap udara, tanah dan air dan mengubahnya menjadi bahan tanaman dan tumbuh menjadi suatu tanaman. Demikian juga dengan agama. Orang Kristen tidak menjadi orang Hindu, atau Budha; dan orang Hindu tidak harus jadi orang Kristen. Tetapi masing-masing harus menyerap semangat dari yang lain, namun tetap mempertahankan individualitasnya dan tumbuh menurut hukum pertumbuhannya sendiri,” (Ghindwani, 2005 : 7-8). Oleh sebab itu, guna menyembuhkan ibu pertiwi dari pertumpahan darah akibat doktrin keagamaan dan ideologi, maka diperlukan sebuah konsep baru untuk disebarluaskan diseluruh dunia. Konsep yang didalamnya tidak tersembunyi kebencian, keinginan untuk mengkonversikan agama orang lain maupun memusnahkan keyakinan orang lain. Agama Hindu menjawabnya dengan konsep Vedanta, yang merupakan puncak dari filsafat dan kebudayaan India. 2.2. Vedanta Dan Keagungannya 2.2.1 Sistem Filsafat India Filsafat atau dalam bahasa sansekerta darsana merupakan topik yang ramai dan menarik untuk dibicarakan baik dikalangan ilmiah, para ahli, maupun teolog. Darsana mendapat tempat yang utama dalam pembahasan studi tentang Hindu. Hampir semua guru-guru spiritual maupun peneliti kebudayaan dan agama tidak terlepas dari pembicaraan darsana. Darsana adalah topik yang menarik sekaligus menjadi bahan pemikiran yang kaya serta unik dalam kebudayaan Hindu. Darsana merupakan aspek rasional dari agama dan merupkan bagian integral dari agama India (Hindu). Filsafat merupakan pencarian rasional kedalam sifat kebenaran atau realitas yang memberikan pemecahan yang jelas pada permasalahanpermasalahan yang halus pada aspek kehidupan dan agama.
4
Agama Hindu adalah persahabatan bagi mereka yang mempercayai cahaya ilahi ada pada setiap manusia. Juga sebuah kesadaran eksperensial tentang Tuhan melalui praktek spiritual dan disiplin moral. Orang Hindu percaya bahwa hanya ada satu kenyataan dan kebenaran yang tidak dapat dibatasi dengan nama, bentu atau sifat apapun. Namun untuk memberikan penjelasan akan sesuatu yang tidak terbatas itu diperlukan berbagai alat bantu. Alat bantu yang dianggap praktis adalah darsana. Darsana atau filsafat berakar pada keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui tentang masalah-masalah transenden ketika ia berada dalam keadaan termenung dan ingin tahu. Ada desakan dari dalam hatinya untuk mengetahui tentang rahasia kematian, rahasia kekekalan, sifat dan jiwa, sang pencipta dan alam dunia ini (Sivananda, 2003: 172). Salah satu tujuan filsafat adalah untuk mengetahui tentang Tuhan atau sang pencipta, maka filsafat atau darsana juga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber teologi Hindu (Donder, 2006 : 264). Sesuai dengan prinsip penggolongan tradisional, aliran atau sistim filsafat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu aliran filsafat ortodoks (astika) dan aliran filsafat heterodoks (nastika) (Maswinara, 1999: 5). Lebih lanjut dinyatakan, kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofis utama, yang secara popular dikenal dengan sad darsana yaitu Mimamsa, Vedanta, Sankya, Yoga, Nyaya dan Vaisesika. Dianggap sebagai aliran ortodoks bukan karena mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena menerima otoritas dari kitab-kitab Veda. Kelompok aliran heterodoks, tiga yang utama adalah aliran filsafat matrealistis yakni Carvaka, Buddha dan Jaina. Ketiganya disebut nastika karena tidak mempercayai otoritas dari kitab-kitab Veda. Secara umum aliran filsafat yang menekankan aspek ritualistik dari Veda adalah Mimamsa, sementara Sankya, Yoga, Nyaya dan Vaisesika berdasarkan pada sumber-sumber mandiri. Sementara Vedanta merupakan aliran
filsafat yang menekankan pada aspek jnana dari Veda (Maswinara, 1999: 7). Namun demikian dalam perkembangannya tetap dihubungkan dengan karma yoga dan bhakti. Vedanta ditempatkan sebagai yang terakhir dari enam sistem filsafat orthodoks, tetapi sesungguhnya ia seharusnya menempati urutan yang pertama dari kepustakaan Hindu, yang mendasari ajaran-ajaran Hinduisme (Maswinara,1999,175). Di abad modern ini, filsafat Vedanta diterima dan dikenal luas, seorang cendikiawan Hindu terkemuka Svami Vivekananda telah menggemakannya di dunia barat. Oleh karena itu filsafat Vedanta penting untuk dibahas dan diketahui pemikiranpemikiran yang terkandung didalamnya. Dunia barat menuding filsafat India terlalu dogmatik, sebab mengutamakan otoritas dengan tidak mengutamakan pikiran bebas. Akan tetapi hal tersebut tidak benar, karena filsafat India juga menggunakan prosedur ilmiah dan dua sistem filsafat yang bersesuaian yakni Nyaya dan Vaisesika bertumpu pada nalar dan logika, walau keduanya termasuk pada sistem yang astika atau mengakui otoritas Veda. 2.2.2 Pengertian dan Pengulas Filsafat Vedanta Vedanta merupakan filsafat India yang keberadaanya dikenal luas, baik pada belahan dunia timur maupun barat. Adalah seorang cendikiawan Hindu Svami Vivekananda pada pidato yang menggemparkan dalam sidang Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat 11-27 September 1893 telah mencanangkan agama universal kepada dunia, yang didasari pada filsafat Vedanta serta interpretasi modern pada agama Hindu yang merupakan agama tertua di dunia ini. Selain itu, berbagai ceramah, pidato dan tulisannya yang cemerlang tentang Vedanta, telah membawa filsafat ini menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para pakar, teolog dan penekun spiritual pada berbagai belahan dunia.
5
Vedanta artinya akhir dari Veda, Vedanta berasal dari kata Veda yaitu Veda dan kata anta artinya akhir. (Visvanathan, 2000: 57). Vedanta secara literal berarti „akhir dari Veda‟ adalah nama yang diberikan pada ajaran upanisad dan berbagai tulisan keagamaan yang menginterpretasikan, yang memperluas atau yang dikembangkan berdasarkan upanisad. Upanisad sendiri tidak terorganisir dan filsafat yang sistematis agar dapat dianalisis dengan lebih mudah. Ajaran upanisad disitematiskan pertama kalinya sekitar 500-200 sebelum masehi oleh Rsi Badarayana yang dikenal dengan Brahma Sutra (aporisme yang berhubungan dengan Brahman) atau Vedanta Sutra. (Bansi Pandit,2005 : 63). Sementara itu, Maswinara (1999: 175) menyatakan istilah Vedanta secara harfiah artinya intisari atau akhir dari Veda, yaitu ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab upanisad yang merupakan jnana kanda atau bagian akhir dari Veda setelah mantra, Brahmana dan Aranyaka. Filsafat Vedanta sering juga disebut Uttara-Mimamsa, filsafat ini didirikan oleh Badarayana atau Sri Vyasa. Ajaran Uttara Mimamsa sangat sesuai dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan dalam kitab-kitab upanisad. Filsafat Vedanta ditempatkan sebagai yang terakhir dari enam sistim filsafat ortodoks, tetapi sesungguhnya Vedanta menempati urutan pertama dalam kepustakaan Hindu, yang mendasari ajaranajaran Hinduisme (Maswinara,1999: 175). Tiga komentar utama brahma sutra diberikan oleh cendikiawan Sankaracarya, Ramanujacarya dan Madhvacarya. Sehingga interpretasi yang muncul dalam tiga sistim yang terkenal dari filsafat Vedanta yakni Advaita Vedanta (non dualisme) dari Sankara, Visistadaita (non dualisme berkualitas) dari Ramanuja dan Dvaita (dualisme) dari Madhva. Ketika sistim ini berbeda dalam detail dan substansinya. Perbedaan dasar dari kepercayaan mereka adalah hubungan antara Brahman, dunia dan atman, walaupun dalam beberapa hal penting lainnya memiliki
pandangan yang sepakat. Terdapat pula sistim vedantik lainnya yang diulas oleh Bhaskara, Nimbarka, Srikantha, Sripati, Vallabha dan Suka. Semua sistim ini mempertahankan bahwa Brahman adalah kenyataan yang tertinggi (Bansi Pandit,2005 : 64). 2.2.3. Inti Ajaran Filsafat Vedanta Svami Sivananda menulis ada tiga hal penting dalam pembahasan filsafat Vedanta, yakni Brahman (Tuhan), maya dan jiwa. Doktrin sentral dari Vedanta adalah Tuhan (Brahman) dan Atman adalah satu dan sama. Filsafat Vedanta berpandangan tidak ada sesuatu kecuali Brahman. Masalah keadaan kelahiran, kehidupan dan kematian manusia bukan karena dosa melainkan karena avidya (kebodohan). Kebodohan yang dimaksud adalah ketidaktahuan terhadap sifat sebenarnya dari diri sendiri (Atman) yang sama dengan Brahman (Tuhan). Filsafat dvaita dan advaita adalah dua cabang filsafat yang muncul dari sistim filsafat Vedanta. Tokoh terbesar dari filsafat advaita adalah Adi Sangkaracharya dengan komentarnya atas upanisad dan Brahma Sutra, mengukuhkan vedanta. Teori Shangkaracarya mengenai advaita adalah bahwa hanya satu kenyataan (realitas) yang ada, itulah Brahman. Tokoh besar dari sistim dvaita adalah Rsi Ramanuja dan Madhva. Ramanuja dan Madhva berpendapat bahwa realitas itu ada dua yakni, pertama realitas yang bergantung dan realitas yang tidak bergantung. Tuhan adalah realitas yang tidak bergantung, sedangkan materi dan jiwa adalah realitas yang bergantung kepada Tuhan dan dikendalikan oleh Tuhan (Visvanathan,2000 : 57). Sri Vyasadeva telah menulis brahma sutra atau vedanta sutra yang menjelaskan tentang ajaran Brahman. Brahma Sutra juga dikenal dengan sariraka sutra, karena ia mengandung pengejewantahan dari nirguna Brahman. Rsi Vyasa telah mensistematisir prinsip-prinsip dari vedanta dan menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang 6
nyata. Bansi Pandit menyatakan brahma sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan dari filsafat dasar upanisad. Sementara Maswinara menyatakan brahma sutra mengandung 556 buah sutra yang dikelompokkan atas 4 bab, yaitu samanvaya, avirodha, sadhana dan phala. Pada bab I membahas tentang sifat Brahman dan hubungannya dengan alam semesta serta roh pribadi. Pada bab II membahas tentang teori-teori samkya, yoga, vaisesika dan lainnya yang diberikan beberapa kritik dan jawaban yang sesuai diberikan terhadap lontaran pandangan ini. Pada bab III dibicarakan tentang pencapaian brahmavidya. Sementara pada Bab IV merupakan uraian tentang buah (hasil) dari pencapaian Brahman melalui melalui devayana atau jalan para deva, dimana ia tak akan kembali lagi. Ciri-ciri jivanmukta atau roh bebas juga dibicarakan dalam bab ini. Ada beberapa sutra yang sering dijadikan sumber utama dari naskah vedanta adalah ; sutra pertama berbunyi athato Brahmajijnasa - oleh karena itu sekarang penyelidikan ke dalam Brahman. Aphorisme pertama ini menyatakan objek dari keseluruhan sistim yakni Brahma jijnasa, yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman. Sutra kedua janmadyasya yatah - Brahman adalah kebenaran tertinggi, yang merupakan asal mula, penghidup serta leburnya alam semesta ini. Sutra ketiga sastra yonitvat - Kitab suci sajalah yang merupakan cara untuk mencari pengetahuan yang benar. Kemahatahuan Brahman ternyata dari keberadaanya sebagai sumber kitab suci. Sutra keempat adalah tattu samanvayat - Brahman diketahui hanya dari kitab suci dan secara tidak bebas ditetapkan dengan cara lain, karena ia merupakan sumber utama dari segala naskah vedanta. Sutra kelima adalah “iksater na asabdam” disebabkan berpikir prakerti atau pradana bukan penyebab utama dan pradana bukan berdasarkan pada kitab suci. Sutra terakhir dari bab IV adalah “anavrttih sabdat anavrttih sabdat” - tak ada kembali bagi roh bebas,
disebabkan kitab suci menyatakan tentang hal tersebut (Maswinara, 1999 : 176). Brahman (Tuhan) yang mutlak, setelah menciptakan unsur-unsur masuk kedalamnya. Dia merupakan pribadi keemasan dalam matahari, sinar dari roh yang selalu murni. Ia adalah sat cit ananda, esa tiada duanya, yang merupakan bhuma (tak terbatas, tak terkondisikan), yang juga bersemayam dalam hati manusia dan sumber dari segala sesuatu. Brahman adalah penyebab material dan instrumental dari alam semesta, sehingga Brahman dan alam semesta tidak berbeda, seperti sebuah kendi yang tak berbeda dengan tanah liat. Brahman mengembangkan dirinya menjadi alam semesta guna lila atau kridaNya sendiri, tanpa mengalami perubahan sedikitpun dan tanpa penghentian menjadi dirinya. Brahman itu tanpa bagian-bagian, sifat, kegiatan dan gerakan; tanpa awal dan tanpa akhir, serta abadi. Dialah satu-satunya realitas. Brahman menjadi dunia luar adalah seperti benang menjadi kain, seperti tanah liat menjadi kendi dan seperti emas yang menjadi cincin. Brahman adalah paramarthika satta (realitas mutlak), alam semesta merupakan vyavaharika satta (realitas relatif). Maya adalah sakti (kekuatan) dari Tuhan yang merupakan karana sarira (badan penyebab) dari Tuhan. Ia menyembunyikan yang nyata dan membuat yang tidak nyata tampak sebagai nyata. Maya memiliki dua kekuatan, yaitu daya menyelubungi atau avarana sakti dan daya pemantulan atau viksepa sakti. Manusia melupakan sifat ilahinya disebabkan karena daya menyelubungi dari maya ini dan alam semesta dipantulkan akibat dari viksepa sakti dari maya ini. Jiva atau roh pribadi diselubungi oleh lima lapisan (kosa) seperti lapisan kulit bawang yaitu, lapisan makanan (annamaya kosa), lapisan vital/energi (pranamaya kosa), lapisan mental (manomayakosa), lapisan kecerdasan (vijnanamaya kosa) dan lapisan kebahagiaan (anandamaya kosa). Lapisan pertama membentuk badan fisik, ketiga lapisan 7
berikutnya membentuk badan halus dan lapisan terakhir membentuk badan penyebab. Roh pribadi harus mengatasi semua lapisan ini melalui meditasi dan menjadi satu dengan roh yang tertinggi. Mereka yang melampaui kelima lapisan ini mencapai pembebasan. Avidya adalah penyebab dari jiva atau roh pribadi, sehingga menyamakan dirinya dengan badan, pikiran dan indria-indria. Pada saat roh pribadi terbebas dari penentuan diri secara bodoh dengan suatu pengertian yang tepat melalui filsafat Vedanta, vicara (pencarian), perenungan dan meditasi pada Brahman tertinggi, semua khayalan akan lenyap. Penyamaaan atman dengan roh tertinggi atau Brahman ditegakkan kembali dan jiwa mencapai kekekalan dan kebahagiaan abadi. Ia mengggabungkan dirinya dalam Brahman atau samudra kebahagiaan. Bagaimana seseorang memanifestasikan keilahiannya? Vedanta mengajarkan empat yoga yaitu karma yoga, jalan perbuatan tanpa pamrih, jnana yoga atau jalan kebijaksanaan, raja yoga atau jalan perenungan dan bhakti yoga adalah jalan pengabdian. Kata yoga menunjukkan persatuan antara roh individu dan roh kosmis (Vivekananda,2001:25). Ada tiga kesadaran bagi roh pribadi yakni (1) kesadaran jaga, (2) keadaan mimpi, (3) keadaan lelap. Kesadaran berikutnya adalah turiya atau keadaan supra sadar. Keadaan turiya adalah keadaan yang menunjukkan dalam kesadaran Brahman. Setiap pribadi hendaknya mengatasi ketiga keadaan pertama dan mengupayakan keadaan turiya. Hanya dengan cara itu penyatuan roh tertinggi dapat dicapai. Satu-satunya penghalang adalah avidya (kebodohan atau ketidaktahuan). Apabila seorang manusia dalam keadaan jaga, ia perpikir dan mengidentifikasikan dirinya dengan badan kasar dan dengan organ-ogan tubuh baik luar maupun dalam. Apabila ia tidur dan mimpi, ia masih sadar pada obyek-obyek yang timbul dari kesan kenangan dan karenanya perasaan terbatasnya sebagai
seorang subjek atau orang yang mengetahui berlawanan dengan objek yang ada. Ketika ia tidur pulas tanpa mimpi, ia berhenti memiliki ide tentang obyek manapun. Ia juga berhenti merasa bahwa ia dibelenggu dan dibatasi oleh badan. Namun demikian kesadaran tidaklah berhenti dalam tidur nyenyak tanpa mimpi itu, sebab ketika bangun kita sadar telah memiliki tidur nyenyak tanpa mimpi. Dalam kesadaran pertama terdapat kesadaran akan objek-objek luar, dalam keadaan kedua juga terdapat kesadaran tetapi akan objek dalam dalam bentuk mimpi. Dalam keadaan ketiga tak ada objek yang muncul, tetapi tidak ada penghentian kesadaran. Ini menunjukkan bahwa intisari jiwa adalah kesadaran murni tanpa perlu ada hubungan dengan obyek atau intisari jiwa tidak bergantung pada objek. Satu tema sentral yang melandasi semua upanisad adalah bahwa Brahman dan atman identik. Sifat Brahman terdapat dalam atman. Tidak mungkin ada perbedaan kualitatif diantara keduanya itu. Kalau kualitas mereka berbeda, maka tentunya atman tidak pernah mengenal Brahman (Mehta, 2007:2). Namun adanya perangkap maya yang menghalanginya, olehnya kerudung tersebut harus disingkap. Badarayana juga mempercayai jivanmukta atau pembebasan semasa hidup dan hal ini dimungkinkan berdasarkan keteranganketerangan yang terdapat dalam kitab-kitab upanisad. 2.3 Tiga Pemikiran Utama Vedanta Dvaita, visistadvaita dan advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menatap jalan menuju kebenaran terakhir, yaitu para Brahman. Mereka merupakan anak tangga pada tangganya yoga, yang sama sekali tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lain. Tahapan ini disusun secara selaras dalam rangkaian pengalaman spiritual berjenjang, yang dimulai dengan dvaita, visistadvaita, advaita murni. Semua jenjang tersebut akhirnya memuncak pada 8
advaita vedantis, perwujudan dari yang mutlak atau trigunatita ananta Brahman tansidental (Maswinara, 1999 : 178-179). Madhva menyatakan: “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran dvaita-nya. Ramanuja berkata: “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat visistadvaita-nya. Sankara mengatakan: “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan menegakkan filsafat kevala advaita- nya.
berbeda dengan Tuhan agama yaitu Tuhan yang dikonsepsikan sebagai suatu objek pemujaan, yang diberi atribut-atribut (Pendit, 2007:227). Menurut Sankara, alam bukanlah suatu khayalan dan hanya merupakan kenyataan yang relatif (vyavaharika satta) sedangkan Brahman merupakan kenyataan mutlak (paramarthika satta). Alam merupakan hasil perbuatan dari maya atau avidya. Brahman yang tak berubah tampak sebagai alam yang berubah melalui maya yang merupakan daya misterius yang menyembunyikan yang nyata dan mewujudkan dirinya sebagai tidak nyata. Maya itu tidak nyata, karena ia lenyap karena kita mencapai pengetahuan dari yang abadi (Tuhan). Jadi penumpangan dari alam pada Brahman disebabkan oleh avidya atau kebodohan. Bagi Sankara, jiva atau roh pribadi adalah kenyataan relatif, berada dalam kondisi yang terbatas akibat disebabkan oleh avidya. Jiva mempersamakan dirinya dengan badan, pikiran dan indra-indra, bila ia dikhayalkan oleh kegelapan atau kebodohan. Sesungguhnya ia tidak berbeda dengan Brahman yang mutlak. Kitab Upanisad secara tegas menyatakan “tat tvam asi” - Dia adalah engkau. Seperti gelembung-gelembung yang menjadi satu dengan lautan, bila ia pecah. Jiva menjadi satu dengan Brahman bila ia memperoleh pengetahuan Brahman (Brahmajnana), yang menghilangkan avidyanya serta menghubungkan dirinya dengan lautan kebahagiaan. Menurut Sankara, kelepasan dari samsara merupakan penggabungan mutlak sang roh pribadi dalam Brahman. Menurutnya karma dan bhakti adalah cara menuju jnana yang merupakan moksa.
2.3.1 Advaita Vedanta Pemikiran advaita didasarkan pada interpretasi vedanta yang dibuat oleh Adi Sangkaracarya, seorang rsi dan juga cendikiawan terkemuka. Ia juga disebut sebagai ahli metafisika yang jenius. Saat berumur delapan tahun ia telah menguasai empat Veda, dan saat berumur dua belas tahun ia telah menguasai semua kitab Hindu. Hasil karyanya yang utama adalah komentarnya pada brahma sutra, sepuluh prinsip upanisad dan Bhagavadgita. Advaita Vedanta Sangkaracarya adalah filsafat kesatuan dari semua ciptaan. Advaita berarti monisme atau non dualisme. Advaita Vedanta memberikan teori kesatuan dari segalanya dalam jagat raya. Menurut advaita vedanta semua mahluk baik yang hidup maupun yang tidak hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan mutlak dan tidak ada kenyataan lain selain Brahman. Kata-katanya yang terkenal adalah : “Brahman satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva naparah” “Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak nyata ini. Atman (jiwa individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain” Advaita yang diajarkan oleh Sankara merupakan filsafat yang kaku dan mutlak. Menurut Sankara, apapun juga adalah Brahman. Semua perbedaan dan kejamakan merupakan khayalan belaka (Maswinara, 1999:181). Konsepsi Sankara tentang Tuhan sebagai parabrahman atau nirguna Brahman
2.3.2 Visistadvaita Filsafat visitadvaita dikembangkan oleh tokoh utama Ramanujacarya (1055-1137). Ramanuja percaya bahwa pengabdian (bhakti) adalah inti dari vedanta. Ia sangat menyukai 9
ajaran monisme yang ketat oleh Sankara atau dualisme murni dari Madhva. Tidak seperti sankara, Ramanuja lebih menyukai pengabdian diatas pengetahuan sebagai alat untuk mencapai kesadaran diri. Ia menyatakan penyerahan diri sebagai jalan untuk mencapai pembebasan diri. Ia mensintesa monisme dan memformulasikan sebuah pemikiran yang dikenal dengan visistadvaita, yang berarti monisme yang berkualitas atau non dualisme yang berkualitas. Monisme Ramanuja dikenal dengan Visistadvaita yang berarti kesatuan (advaita) Brahman memiliki (visista) bagian-bagian riil (yang sadar dan tak sadar). Filsafat visitadvaita merupakan vaisnavisme, yang mengakui kejamakan, dimana Brahman atau Narayana hidup dalam kejamakan bentuk sebagai rohroh (cit) dan materi (acit). Tuhan saling meresapi segala sesuatunya dan merupakan inti dari roh, yang merupakan antaryamin atau pengatur bhatin, yang menjadi satu dengan roh. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan Narayana yang bersemayam di vaikuntha dengan sakti-Nya Laksmi, yang merupakan dewi Kemakmuran an merupakan ibu Ilahi. Menurut Ramanuja, moksa artinya berlalunya roh dari kesulitan hidup duniawi menuju vaikuntha dimana ia akan tetap selamanya dalam kebahagiaan abadi yang tenang di hadirat Tuhan. Roh-roh yang terbebaskan mencapai hakekat Tuhan dan tak pernah menjadi identik dengan-Nya, tetapi hidup dalam persahabatan dengan Tuhan, baik dengan melayani-Nya ataupun meditasi kepada-Nya, tetapi tidak pernah kehilangan kepribadiannya. Menurut Ramanuja tidak ada seorang yang disebut dengan jivanmukti. Pembebasan muncul apabila roh meninggalkan badannya, dan ini dapat dicapai melalui bhakti dan karunia Tuhan, serta penyerahan diri secara mutlak. Karma dan jnana hanya cara untuk menuju bhakti (Maswinara, 1999:189190).
Filsafat dvaita dikembangkan oleh Madvacarya, ia adalah Vaisnava dan pereformasi keagamaan. Menurut dvaita vedanta, ada dua kategori dari kenyataan yang mutlak. Brahman atau Tuhan adalah kenyataan yang mutlak dan disebut dengan banyak nama, seperti Narayana, Visnu dan Hari. Diri (jiva) dan objek materi (prakrti) adalah kenyataan yang relatif yang ada secara abadi, yang berbeda satu dengan lain tetapi tetap bergantung pada Tuhan. Sri Madhvacarya mengembangkan sistim filsafat yang bersumber dari prasthana traya, yaitu Upanisad, Bhagavadgita dan Brahma Sutra yang merupakan sistim filsafat dvaita atau dualis tak terbatas dan Vaisnavisme Madhva disebut sad vaisnavisme untuk membedakan dengan Sri Vaisnavisme dari Ramanujacarya. Madhva membuat perbedaan mutlak antara Tuhan, obyek-obyek yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hanya Tuhan saja yang merupakan realitas yang merdeka. Obyek-obyek yang bergerak maupun tidak bergerak merupakan realitas yang tidak bebas. Ia menegaskan ada 5 perbedaan besar (panca bheda) yaitu (1) perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi, (2) perbedaan antara Tuhan dan materi, (3) perbedaan antara roh pribadi dan materi, (4) perbedaan antara satu roh dengan roh lainnya dan (5) perbedaan antara materi yang satu dengan materi lainnya (Maswinara, 1999:191-192). Filsafat Madhva memiliki banyak titik persamaan dengan filsafat Ramanuja, dimana Hari atau Visnu merupakan keberadaan tertinggi. Semua jiva tergantung pada Hari atau Tuhan. Diantara roh-roh terdapat derajat keunggulan dan kerendahan, dan pembebasan merupakan kenikmatan roh pribadi terhadap kebahagiaan dari pembawaanya. Inilah yang disebut moksa atau pembebasan akhir. Bhakti atau pengabdian tanpa kesalahan merupakan cara pencapaian moksa ini. Hari atau Tuhan hanya dapat diketahui melalui kitab suci Veda. Pemujaan Krisna seperti yang diajarkan dalam
2.3.3 Dvaita 10
Bhagavata Purana merupakan inti dari keyakinannya. Tiga aspek dari prakrti, dipimpin oleh 3 daya yaitu Laksmi, Bhu dan Durga. Avidya merupakan wujud dari prakrti yang mengaburkan daya-daya spiritual dari roh-roh pribadi, yang membentuk sebuah selubung yang menyembunyikan Tuhan dari pandangan roh pribadi. Mahat, ahamkara (keakuan), budhi, pikran, sepuluh indiria, lima obyek indra dan lima unsur dasar merupakan modifikasi dari prakrti, yang pada awalnya merupakan wujud halus sebelum evolusinya berjalan. Menurut Madhva, padartha atau realitas objek ada 2 jenis, yaitu yang berdiri sendiri (svatantra) dan yang bergantung (paratantra). Tuhan sebagai keberadaan tertinggi sajalah yang merupakan realitas yang berdiri sendiri, sedangkan alam roh merupakan realitas yang bergantung pada Tuhan, sebagai yang mengaturnya. Mahluk-mahluk yang bergantung ada 2 varietas yaitu pisitif dan negatif. Roh-roh sadar (cetana) dan kesatuankesatuan yang tidak sadar seperti materi dan waktu (acetana) merupakan dua variasi yang positif. Ia mengatakan tak ada dua jiva yang memiliki karakter yang sama, yang secara mutlak berbeda antara satu dengan lainnya. Madhva mengangap perbedan Brahman dan jiva adalah nyata. Jiva merupakan perwakilan yang aktif tetapi tergantung pada Tuhan dan Tuhan memaksa jiva untuk berbuat sesuai dengan prilaku masa lalunya, sehingga akibat hubungannya dengan badan material membuatnya menderita kesakitan dan perpindahan roh. Selama mereka tidak bebas dari ketidakmurnian, mereka tersesat dalam samsara, mengembara dari satu kelahiran ke kelahian lainnya. Bila ketidakmurnian lepas mereka mencapai moksa atau pembebasan, tetapi roh tidak mencapai kesamaan dengan Tuhan namun hanya berhak melayaninya. 2.4. Persamaan dan Perbedaan
Bansi Pandit (2005) menguraikan persamaan dan perbedaan inti antara Advaita, Visistadvaita dan Dvaita dalam filsafat Vedanta : 1. Advaita menyatakan bahwa Brahman adalah satu-satunya kenyatan yang mutlak. Brahman bebas dari perbedaan internal maupun eksternal. Diri individu dan obyek materi bukanlah hal yang nyata, tetapi karena ilusi yang muncul karena kekuatan maya. Menurut Visistadvaita Brahman adalah kesatuan yang berasal dari banyak bagian internal atau atribut. Sementara Dvaita menyatakan ada dua kategori dari kenyataan mutlak. Brahman sebagai Tuhan personal yang merupakan kenyataan yang mutlak, dan jiva dari individu dan obyek materi merupakan kenyataan yang relative yang berbeda satu dengan lainnya dan bergantung pada Tuhan. 2. Menurut Advaita, dunia bukanlah penciptaan, tetapi ilusi yang diperlihatkan oleh Brahman. Dunia ini dianggap nyata oleh orang-orang yang tidak menyadari Brahman. Orang bijaksana dilebur oleh kekuatan ilusi maya, karena mereka dapat melihat hal itu dengan tembus dan menemukan bahwa tidak ada hal apapun selain Brahman itu sendiri. Visistadvaita dan dvaita percaya bahwa penciptaan itu merupakan tindakan nyata dari Brahman dan ia menciptakan dunia dari ketidaksadaran (prakerti) yang sesuai dengan perbuatan di masa lalu (karma) dalam diri. 3. Ketiga dari pemikiran itu setuju bahwa jiwa individu tidak diciptakan oleh Brahman atau Tuhan. Advaita menyatakan bahwa dalam keadaan yang bebas, atman adalah identik dengan Brahman. Visistadvaita menyatakan bahwa dalam keadaan bebas atman tidak identik, tetapi dapat dibedakan dari Brahman atau tuhan.
11
4.
5.
6.
Ketiga pemikiran itu setuju bahwa avidya menyebabkan atman melupakan sifat yang mulia dan dengan cara yang salah mengidentifikasikan dirinya dengan tubuh-pikiran. Pengidentifikasian yang salah ini dari atman dengan tubuh, pikiran, intelek adalah penyebab dari keterikatan dan penderitaan. Untuk membebaskan atman dari keterikatan, ketiga pemikiran setuju untuk mempelajari kitab, melakukan pekerjaan tanpa pamrih dan penyerahan diri sepenuhnya pada Brahman dengan pengabdian diri yang dalam, meditasi dan doa.. Advaita menekankan pengetahuan yang sejati dari diri dan Brahman untuk mencapai pembebasan. Sedang dua pemikiran yang lain lebih mengutamakan pengabdian dan penyerahan diri atas ilmu pengetahuan sebagai alat dari pembebasan diri. Semua pemikiran itu menghasilkan sebuah tradisi acarya, orang suci dan cendikiawan yang tidak hilang dari jaman dahulu hingga sekarang. Institusi mereka adalah pusat spiritual dan mistis yang utama di India.
2.5. Sisi Praktis dan cita-cita Vedanata 2.5.1 Vedanta bukan Sekedar Pemuasan Intelektualitas Hal yang sangat penting dalam mempelajari vedanta adalah melihat sisi praktisnya, sehingga secara nyata dapat diterapkan oleh masyarakat luas, bukan hanya sebagai perdebatan intelektual semata. Salah satu tokoh Hindu terbesar abad modern, Svami Vivekananda telah membawa keagungan filsafat vedanta itu ibarat dari pegunungan himalaya menuju masyarakat modern dengan vedanta dalam bentuk praktisnya, yang akan membawa manusia menuju kecemerlangan.
Svami Vivekananda (1863-1902) melalui ceramah dan pengajarannya telah menyampaikan vedanta dengan bahasa dan kalimat sederhana, namun mampu menggetarkan para pendengarnya. Svami Vivekananda adalah salah satu dari pahlawan Hindu modern dan tokoh yang sangat dikagumi karena kebrilianannya, kesederhanaanya serta pengabdianya yang sulit ditandingi. Dia disebut sebagai rasul Hindu untuk barat, karena membawa semangat Hindu ke Amerika Serikat dan Eropa pada abad 18. Penampilannya dalam parlemen AgamaAgama se-Dunia di Chicago AS pada tahun 1893 telah menjadi legenda. (Ghindwani, 2005:v). Mengenai sisi praktis vedanta, Svami Vivekananda dalam ceramahnya di London, 10 November 1896 menyampaikan bahwa teori sesungguhnya baik, tetapi apabila sama sekali tidak praktis, maka tidak satu teoripun bernilai apa-apa, kecuali hanya untuk latihan intelektual. Olehnya vedanta sebagai suatu agama harus dipraktekkan secara terus menerus (Pendit, 2005 : 143). Mimamsa dan vedanta dapat dianggap dari kelanjutan langsung dari budaya Veda, dimana tradisi Veda memiliki dua sisi yaitu ritualitas dan yang berdasarkan pertimbangan (karma dan jnana). Sistem filsafat mimamsa menekankan aspek ritualistik dan mengembangkan suatu filsafat untuk membenarkan dan membantu kesinambungan dari ritus-ritus dan ritual-ritual Veda. Sistem filsafat vedanta lebih menekankan pada aspek yang berdasarkan pertimbangan dari Veda itu sendiri dan mengembangkan sistem rinci yang berdasarkan pada pertimbangan Vedik. Karena kedua sistem filsafat ini merupakan kesinambungan langsung dari budaya Vedik, keduanya kadang-kadang disebut mimamsa sebagai sebutan umum dan untuk membedakan, yang pertama disebut purva mimamsa (karma mimamsa) dan yang kedua disebut uttara mimamsa (jnana mimamsa). Tetapi secara umum disebut
12
mimamsa dan vedanta (Maswinara, 2006:7). Belakangan, tokoh muda Svami Vivekananda mengulas sisi praktis dari vedanta untuk dapat dipraktekkan secara terus menerus, bukan hanya sebagai latihan mengasah intelektual. Pandangannya ini secara nyata telah mengubah pemikiran bahwa filsafat ruwet untuk dipelajari, karena terdiri atas berbagai teori yang tampaknya memiliki perbedaan sehingga memerlukan nalar yang tinggi. Sisi praktis vedanta telah menginspirasi banyak orang baik di timur maupun barat, tua maupun muda, untuk bertindak sesuai dengan ajaran vedanta. Sekaligus membuat vedanta kembali menjadi topik yang sangat disukai dan paling banyak dibahas pada abad modern ini. 2.5.2 Svami Vivekananda Mempopulerkan Vedanta dalam bentuk Praktis Svami Vivekananda lahir dalam keluarga Datta yang terkenal di Simla, Calcutta, dengan nama Narendra Natha Datta. Kakeknya Durga Charan Datta adalah seorang terpilih dan terpelajar. Beliau meninggalkan keduniawian pada usia dua puluh lima tahun menjadi seorang sanyasin, setelah kelahiran putranya Visvanatha Datta. Ayah Svami Vivekananda, Visvanatha Datta berprofesi sebagai pengacara dan meraih sukses dengan segala kemampuannya. Visvanatha adalah pecinta musik dan menyarankan Naren kecil mempelajari musik. Ia memiliki seorang istri cerdas dan memiliki kecemerlangan serta kharisma. Beliau dihormati dan dikagumi oleh semua yang ada di lingkungannya dan perintah atau sarannya selalu diikuti. Dengan latar belakang seperti itu, pada hari Senin 12 Januari 1863, Narendra Natta, yang kemudian dikenal sebagai Svami Vivekananda lahir, yang menggoncang dunia dan dijuluki sebagai „pembuka gerbang keagungan dan kemegahan budaya India‟. Pengaruh sang Ibu dalam formasi karakter dan perkembangan pikiran Naren sangat kuat. Naren sering bercerita bagaimana ibunya mengajarkan kata bahasa Inggris yang
pertama; dan ia berhasil menguasai alphabet Bengali dari ibunya. Dibawah bimbingan ibunya ia pertama kali mendengar cerita Ramayana dan Mahabharata. Imajinasi masa kecilnya sangat diinspirasikan oleh kisah hidup Sri Rama, salah satu inkarnasi Tuhan, dan ini membuatnya membeli patung Rama-Sita dan mulai memujanya dengan persembahan bunga (Tejasananda, 2005 : 3-4). Saat kecil ia adalah anak yang super jenius dan hiperaktif. Pada usia tujuh tahun ia sanggup mengingat seluruh Mugdhabodha, grammar sansekerta, juga beberapa pesan panjang yang terdapat dalam Ramayana dan Mahabharata. Ia juga memiliki kemampuan ganda, bisa mendengarkan penjelasan dari gurunya meskipun sambil menghibur temantemannya. Kejujuran adalah tulang punggung hidupnya. Setiap hari selama siangnya acaranya dipenuhi dengan kegiatan bermain dan tertawa dan pada malam harinya ia melakukan meditasi dan segera saja ia diberkahi dengan pengalaman bhatin yan menakjudkan. Ketika beranjak dewasa, dalam kegilaan spiritual, Narendra pergi dari satu pemimpin spiritual ke pemimpin spiritual lainnya dari berbagai aliran dan sekte, tetapi tidak satupun yang bisa memuaskannya. Dia akademi ia belajar tentang Jesus dan etika Kristen. Ia akhirnya sampai dibawah pengaruh Keshab Chunder Sen, Pemimpin Brahmo Samaj yang terkenal saat itu. Ia ikut dalam kelompok Keshab, tetapi Brahmo Samaj hanya persinggahan sementara bagi jiwa agung ini. Empat mil di utara Calcutta tinggalah seorang yang dikenal dengan Sri Ramakrisna, seorang pendeta sederhana bahkan buta hurup di sebuah kuil Dewi Kali di Daksinewar, yang kemudian menjadi guru spiritualnya. Tahun 1882 ia bertemu dengan Ramakrisna yang diperkenalkan oleh Keshab sendiri. Kematian tiba-tiba dari ayah Narendra, membuat keluarganya jatuh miskin. Usahanya untuk mencari kerja tidak berhasil. Dengan kesedihan mendalam ia datang kepada
13
Ramakrisna dan menceritakan kisahnya. Sang guru memintanya untuk berdoa di kuil Dewi Kali. Namun ketika ia tenggelam dalam kesadaran dan mengalami penampakan ia lupa pada niat awalnya. Ia bersembahyang kepada Dewi Kali dan bersumpah untuk renunsiasi (Madrasuta, 2002 : 29-30). Gurunya meminta ia kembali untuk berdoa, tetapi kejadian yang sama selalu terulang. Setelah berulangkali demikian Ramakrisna akhirnya memberkati bahwa keluarganya tidak akan kekurangan. Ketika Ramakrisna meninggal pada tanggal 16 Agustus 1886, Svami Vivekananda menjadi pemimpin murid-murid Ramakrisna dan tugas besarnya segera dimulai. Ia selanjutnya menjadi seorang bhiksu pengembara dan berkeliling hampir pada seluruh bagian India. Namun apa yang ia jumpai adalah penderitaan rakyat India, yang membuatnya ingin berbuat lebih besar untuk kesejahteraan masyarakatnya. Parlemen agama-agama yang dilaksanakan di Chicago tahun 1893 merupakan magnet yang menarik Svami Vivekananda ke dunia barat. Parlemen agama dunia adalah satu perhelatan signifikan dalam sejarah dunia, karena untuk pertama kalinya, semua agama besar berkumpul pada podium yang sama (Ghindwani, 2005 : 47). Setelah melampaui berbagai kesulitan, bhiksu muda ini akhirnya sampai pada parlemen tersebut. Pada hari Senin 11 September 1893, sesi pertama parlemen itu dibuka, dimana duduk semua wakil dari berbagai agama dan kepercayaan satu milyar dua ratus juta umat manusia. Svami juga hadir dengan pembawaan yang mulia, ekspresi wajah yang cemerlang dan penampilan yang mengagumkan dan menjadi pusat perhatian. Pada akhirnya, ketika senja telah larut, ketika mediator mempersilahkan, Svami bangkit dan menunduk sejenak pada Dewi Sarasvati, Dewi Kecerdasan. Wajahnya bersinar seperti api yang menyala. Pertama kali beliau menatap seluruh ruangan dan hadirin yang ada di depannya. Dan ketika beliau
membuka bibir, suara yang keluar bagaikan nyala api yang menyengat. Dengan aksen khasnya beliau memberikan kata pembukaan yang sangat sederhana, “Sisters and Brother of America” (saudara-saudari Amerika-ku), saat itulah ratusan dari yang hadir bangkit dengan teriakan yang menggema dalam tepuk tangan. Selama dua menit beliau berusaha untuk berbicara lagi, akan tetapi gelombang tepuk tangan yang semakin bergemuruh mencegahnya. Beliau adalah satu-satunya yang mendapatkan tepukan tangan yang paling meriah dan diluar formalitas parlemen dan satu-satunya orang yang telah menyapa hadirin dengan kalimat yang menjadi harapan dari semua peserta. Ketika semuanya menjadi tenang kembali, Svami kemudian menyapa para generasi muda dari berbagai negara, pertapa yang tertua di dunia-aliran pertapa Veda (sannyasin) dan mempersembahkan Hindu sebagai ibu dari semua agama (Tejasananda, 2004 : 57). Svami kemudian memberikan sebuah pidato singkat yang melukiskan keagungan dari agama Veda dan semangat toleransi. Pidato singkat tersebut sepenuhnya telah memikat hati seluruh hadirin. Dalam kesempatan pidato awal beliau yang singkat dalam setiap sesi parlemen, beliau juga senantiasa menampilkan kebenaran abadi vedanta, yang adalah agama sejati dari seluruh umat manusia. Dalam waktu singkat, karena kecemerlangan gagasannya, dalam waktu singkat, media massa Amerika melambungkan namanya. Salah satu media yang paling terkenal di metropolitan ini menyatakan bahwa Sami Vivekananda adalah seorang nabi dan seorang suci sejati. Kabar kemenangan ini juga tersebar luar di India. Nama Vivekananda segera berkibar di sepanjang jalan dan seluruh wilayah Hindusthan. Akan tetapi ditengah kesuksesannya, ditengah sambutan dunia, pujian dan keagungannya, Svami tidak sedetikpun lupa akan kewajibannya atas penderitaan yang kini dialami oleh penduduk India. Beliau selanjutnya melakukan tur dan
14
memberikan ceramah di dunia barat. Ceramahceramah dan pengajaran beliau pada masa itu ditekankan pada perenungan filsafat yang dalam dengan diiringi ledakan bhakti yang luar biasa, yang menunjukkan sifat beliau yang sesungguhnya yakni kombinasi dari jnani dan bhakta. Setelah berkelana sekitar empat tahun pada berbagai Negara di barat, tahun 1897, Svami kembali ke tanah India dengan penuh kerinduan. Akan tetap beliau sama sekali tidak sadar bahwa semua wakil sekte dan aliran kepercayaan serta badan-badan sosial telah datang dengan segala sambutan siap menunggu beliau. Di Madras dan Calcuta seluruh kota dengan penuh kebanggan menyambut beliau. Pada masa itu beliau adalah dewa pujaan seluruh India. Ketika tiba di Colombo, teriakan histeris penduduk yang mengelu-elukan beliau membahana ke angkasa. Orang-orang berebut untuk bisa menyentuh kaki beliau. Sebuah prosesi besar dengan berbagai bendera kebangsawanan di sekeliling beliau. Berbagai lagu pujian dikumandangkan dan bunga-bunga ditaburkan disepanjang jalan beliau. Beratusratus orang kaya dan miskin semuanya berlomba-lomba memberikan persembahan kepada beliau. Sungguh berbeda dengan lima tahun lalu. Dulu svami berjalan sepanjang tempat dengan telanjang kaki dan kelelahan. Sambutan yang luar biasa juga terjadi pada kota-kota lainnya di India. Sekarang beliau menjadi lebih yakin bahwa agama adalah ungkapan yang tulus dari lubuk hati seluruh India, dan sepanjang jalan beliau menyebarkan gagasanya tentang regenerasi India dalam sebuah sesi ceramah (Tejasananda, 2004 : 7981). Sejak pidatonya yang menggemparkan dan diingat hingga lebih dari seratus tahun, vedanta menjadi sistem filsafat yang sangat terkenal diseluruh dunia. Lebih dari itu, vedanta telah memberikan harapan baik kepada dunia. 2.5.3 Semangat dan Pengaruh Vedanta
Vedanta merupakan filsafat India yang keberadaannya dikenal luas, baik pada belahan dunia timur maupun barat. Cendikiawan Hindu Svami Vivekananda pada pidato yang menggemparkan dalam sidang Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat 11-27 September 1893 telah mencanangkan agama universal kepada dunia, yang didasari pada filsafat vedanta serta interpretasi modern pada agama Hindu yang merupakan agama tertua di dunia ini. Selain itu, berbagai ceramah, pidato dan tulisannya yang cemerlang tentang vedanta, telah membawa filsafat ini menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para pakar, teolog dan penekun spiritual pada berbagai belahan dunia. Dvaita, visistadvaita dan advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menatap jalan menuju kebenaran terakhir, yaitu para Brahman. Mereka merupakan anak tangga pada tangganya yoga, yang sama sekali tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lain. Tahapan ini disusun secara selaras dalam rangkaian pengalaman spiritual berjenjang, yang dimulai dengan dvaita, visistadvaita, advaita murni. Semua jenjang tersebut akhirnya memuncak pada advaita vedantis, perwujudan dari yang mutlak atau trigunatita ananta Brahman tansidental (Maswinara, 1999 : 178-179). Madhva menyatakan : “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran dvaita-nya. Ramanuja berkata : “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat visistadvaita-nya. Sankara mengatakan : “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan menegakkan filsafat kevala advaitanya. Vedanta menyatakan bahwa manusia itu ilahi, dimana semua yang kita lihat di sekitar kita ini adalah hasil dari kesadaran ilahi. Segala hal yang baik, kuat, ampuh dalam sifat manusia berasal dari keilahian itu, dan walaupun berpotensi dalam banyak hal, pada dasarnya tak ada perbedaan antara manusia
15
dengan manusia lainnya, dimana esensialnya semua mahluk adalah ilahi (Vivekananda, 2001 : 18-19). Lebih lanjut intelektual muda cemerlang ini menyatakan sebagaimana adanya, terdapat samudra tak terbatas dibaliknya, dimana anda dan saya merupakan banyak ombak yang keluar dari samudra tak terbatas itu. Masing-masing dari kita berusaha sebaik mungkin ketidakterbatasan itu keluar. Jadi secara potensial masing-masing dari kita memiliki samudra tak terbatas dari keberadaan, pengetahuan dan kebahagiaan, sebagai pembawaan kita, sebagai sifat kita yang sebenarnya, dan perbedaan antara kita disebabkan oleh kelebihan atau kekurangan kekuatan untuk mewujudkan keilahian itu. Vedanta menyatakan bahwa bukan merupakan inspirasi suatu agama, seseorang memanifestasikan manusia ilahi, betapapun agungnya, tetapi itu telah menjadi pengungkapan kesatuan tak terbatas dalam sifat manusia itu sendiri. Dan semua yang kita sebut sebagai etika dan moralitas dan perbuatan baik terhadap orang lain, tiada lain juga merupakan manifestasi dari keesaan ini. Hal ini disatukan dalam filsafat vedanta dengan aforisme mulia “tat tvam asi” yang artinya “engkau adalah dia.” (Vivekananda, 2001 : 20). Pemikiran istimewa lain dari vedanta adalah kita harus mengijinkan keberagaman tak terbatas dalam pemikiran religius dan tidak berusaha untuk membawa seseorang pada pendapat yang sama, karena tujuannya adalah sama. Vivekananda dalam bukunya Vedanta Gema Kebebasan (2001) memberikan ilustrasi tentang kekuatan dan sifat-sifat ilahi dalam bentuk cerita yang sederhana. Seekor singa betina yang sedang mencari mangsa, mendekati sekawanan domba dan ketika dia melompat hendak menerkam salah seekor dari mereka, singa betina itu melahirkan seekor anak dan mati saat itu juga. Anaknya yang baru lahir dibawa dan diasuh oleh sekawanan domba tadi, memakan rumput dan mengembik layaknya seekor domba, dan tak pernah
mengetahui bahwa dirinya adalah seekor singa. Suatu hari seekor singa lain lewat di depan kawanan domba itu dan terkejut karena melihat di dalam gerombolan itu terdapat singa besar yang makan rumput dan mengembik seperti seekor domba. Melihatnya singa tadi kelompok domba itu berlarian dan domba singa itu ikut bersamanya. Tetapi sang singa mendapat kesempatan, dan suatu hari ia menemukan domba-singa sedang tidur. Diapun membangunkannya: “kau adalah seekor singa,” katanya. “tidak” jawab si domba-singa sambil mengembik seperti seekor domba. Kemudian si singa asing itu membawanya ke sebuah telaga dan memintanya untuk bercermin di air, melihat wajahnya dan membuktikan apakah ia seekor singa atau bukan. Dia pun melihat bahwa wajahnya mirip seekor singat. Lalu singa asing itu mulai mengaum dan meminta si domba-singa melakukannya. Diapun mencoba dan segera mengaum sekeras si singa asing. Dan akhirnya dia bukan lagi seekor domba. Demikian pula, Svami Vivekananda menyatakan bahwa kita adalah singa-singa dalam pakaian kebiasaan domba. Kita dihipnotis menjadi lemah oleh lingkungan kita. Dan tujuan Veda adalah penyadaran diri yang sejati. Satu-satunya jalan untuk mewujudkan cahaya ilahi adalah menyalakan cahaya spiritual dalam diri anda dan kegelapan oleh dosa dan ketidakmurnian pun sirna. Pikirkan tentang diri sejatimu yang lebih tinggi, bukan yang lebih rendah. Lebih lanjut Svami menyatakan manusia-manusia yang dibutuhkan adalah manusia ang kuat, berani, handal dan tulus sebagai tulang punggung Negara. Seratus orang seperti itu maka dunia akan mudah berevolusi. Kemauan lebih kuat dari apapun juga. Segala sesuatu akan tunduk dihadapan kemauan karena kemauan itu berasal dari Tuhan sendiri. Kemauan yang kuat dan murni mempunyai kekuatan yang luar biasa. Svami menasehatkan apapun yang membuatmu lemah baik secara fisik, intelektual dan spiritual
16
tolaklah sebagai racun. Kebenaran harus memperkuat, harus mencerahi dan harus memperkokoh. Kekuatan itulah yang disampaikan kepada kita dari setiap halaman kitab-kitab upanisad. Kitab-kita upanisad merupakan tambang besar dari kekuatan. Di dalamnya terdapat cukup banyak kekuatan untuk menyangga seluruh alam dunia ini. Hal ini yang telah dikemas dalam semangat vedanta lah yang telah menjadi pesan nyaring dari timur, yang memberikan inspirasi dan perubahan pada dunia. 2.5.4 Vedanta dalam Bentuk Praktis Hampir semua filsafat merupakan pemikiran yang cenderung rumit dan sukar untuk dipahami. Namun seorang cendikiawan besar Svami Vivekananda yang telah mencanangkan “agama universal kepada dunia” dalam pidatonya yang cemerlang di depan Sidang Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat September 1893, serta beberapa pidato dalam perjalanannya serta dalam berbagai tulisanya telah merumuskan dan memperkenalkan filsafat vedanta dalam bentuk praktis, bukan hanya sebagai latihan atau perdebatan intelektual semata. Teori itu sesungguhnya baik. Namun bagaimana kita membawakannya dalam praktek? Apabila sama sekali tidak praktis, maka tidak satu teori pun bernilai apa-apa, kecuali hanya untuk latihan intelektual. Karena itu vedanta sebagai suatu agama harus dipraktekkan secara terus menerus. Kita harus mampu melaksanakannya dalam setiap kegiatan hidup kita. Dan bukan itu saja, perbedaan fiktif antara agama dan kehidupan duniawi harus lenyap, karena vedanta mengajarkan kemanunggalan, suatu kehidupan yang menyeluruh. Cita-cita agama harus meliputi segenap lingkup kehidupan, merasuk ke seluruh rongga pemikiran, terlebih-lebih ke dalam praktek Vivekananda dalam (Pendit, 2005 : 143). Puluhan tokoh dan ahli filsafat membahas berbagai aliran filsafat India, tetapi
hanya nabi muda ini yang menyampaikan filsafat vedanta dalam bentuk praktis. Vivekananda (2001:236) menyatakan konsep Vedanta ini harus keluar, bukan hanya tetap dalam hutan atau goa, tetapi mereka harus keluar, ke tempat-tempat ramai, ke sekolah dan pondok-pondok orang miskin, para nelayan penangkap ikan, dan pada siswa yang belajar. Konsep vedanta ini sesuai dengan setiap manusia, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau apa saja pekerjaan mereka, dan dimana saja mereka berada. Beberapa pemikiran yang merupakan sisi praktis dari Vedanta seperti yang disampaikan Svami Vivekananda adalah. 1. Vedanta yang Praktis adalah Percaya pada Diri Sendiri Vedanta yang praktis adalah percaya pada diri sendiri. Svami Vivekananda dalam ceramahnya di London 10 November 1896 menyampaikan hal ini. Demikian pula pembahasan topik ini juga sering disampaikan dalam sesi ceramah dan buku-buku hasil pemikirannya. Vedanta mengajarkan kemanunggalan, suatu kehidupan yang menyeluruh. Vedanta mengajarkan manusia untuk memiliki kepercayaan pada diri mereka terlebih dahulu. Seperti agama-agama dunia tertentu yang mengajarkan manusia yang tidak percaya adanya Tuhan di luar dirinya adalah atheis, maka vedanta menyatakan manusia yang tidak percaya pada dirinya sendiri adalah atheis, tidak berTuhan. Tidak percaya pada kemuliaan jiwa kita sendiri disebut atheis. Vedanta tidak mengakui adanya dosa, yang diakui ialah kesalahan; dan kesalahan terbesar menurut vedanta adalah mengatakan diri anda lemah, bahwa anda adalah orang yang berdosa, mahluk yang amburadul, bahwa anda tidak punya kemampuan, tidak bisa melakukan ini dan itu. Karena itu barang siapa berpikir dirinya lemah adalah salah, barang siapa yang berpikir dirinya penuh dosa adalah salah, dan ini sama dengan menyebarkan pikiran busuk kepada dunia.
17
Cita-cita percaya pada diri sendiri merupakan bantuan terbesar bagi kita semua. Apabila percaya pada diri sendiri ini secara intensif direnungkan dan dilaksanakan, aku yakin sebagian besar kebatilan dan kesengsaraan yang kita hadapi akan lenyap. Sepanjang sejarah manusia, setiap kekuatan motivasi yang hadir, kapan saja, lebih kokoh dari kekuatan motivasi yang lainnya terlahir dari pria atau wanita yang memiliki percaya diri sendiri mereka. Terlahir bersama-sama kesadaran itu, mereka memang dilahirkan dalam kebesaran, dan mereka menjadi orangorang perkasa. Percaya pada diri sendiri akan membantu kita dalam segala hal. Svami Vivekananda menyatakan aku sendiri mengalami ini dalam hidupku, dan aku masih terus menekuninya. Setelah aku bertambah usia, percaya diri sendiri itu tumbuh kuat dan semakin kuat lagi. Ini bukanlah kepercayaan yang mementingkan diri sendiri, sebab vedanta mengatakan ini adalah doktrin kemanunggalan. Artinya percaya kepada segalanya, karena anda adalah segalanya. Cinta pada diri anda sendiri berarti cinta kepada segalanya. Ini adalah kepercayaan agung yang akan menjadikan dunia ini lebih baik. 2. Vedanta yang praktis, Tuhan ada dimanamana dan segala-galanya. Dalam ceramah di London 12 November 1896, dimana cendikiawan cemerlang ini membahas sisi praktis dari vedanta sekaligus merupakan sisi mudah dalam pemahaman Tuhan. Ia menyatakan bumi ini adalah simbol Tuhan, langit adalah Tuhan, tempat yang kita isi adalah Tuhan, segalagalanya adalah Brahman. Setiap tempat ada pura Tuhan, setiap tempat adalah suci dan kehadiran Tuhan adalah segala-galanya, yang terlihat di sorga atau neraka atau dimana saja. Dia juga menyatakan gagasan tentang neraka tidak terbetik dalam Veda sama sekali. Ini muncul dalam purana-purana jauh belakangan. Hukuman yang paling berat menurut Veda adalah hidup kembali ke bumi untuk
memperoleh kembali kesempatan. Ide tentang pemberian hukuman dan hadiah hanya bersifat sangat kebendaan, materialistis dan ini hanya cocok dengan gagasan Tuhan manusia, yang mencintai seseorang dan membenci yang lain, persis seperti yang dilakukan manusia. Svami Vivekananda menyatakan kita ingin menyembah Tuhan yang hidup. Aku tidak melihat apapun kecuali Tuhan dalam seluruh hidupku. Vedanta berkata “tidak ada sesuatu yang bukan Tuhan” Para pendeta hanya memberikan jaminan apabila kita mengikuti mereka, mendengarkan nasehat dan petunjuk mereka dan berjalan menurut cara yang mereka tentukan, mereka akan memberikan kita paspor untuk memungkinkan kita melihat wajah Tuhan. Sudah pasti ide ini bukan, ini sangat destruktif, karena menghapus semua upaya usaha para pendeta, gereja-gereja dan kuil tempat pemujaan. Kalau seandainya para pendeta ini mengajarkan ide tentang bukan perorangan ini kepada rakyat, bisa-bisa tugas profesinya lenyap. Namun kita akan mengajarkan tanpa kepentingan diri sendiri, tanpa tipus muslihat kependetaan. Anda semua adalah tempat pemujaan Tuhan tertinggi. Satusatunya Tuhan untuk disembahyangi adalah jiwa manusia, di dalam tubuh manusia. Seluruh kehidupan kita disini, adalah untuk melaksanakannya dalam praktek, namun suatu pokok yang besar yang kita peroleh adalah kita harus mengerjakan ini dengan kepuasan dan kegembiraan, bukan dengan tidak senang dan rasa kecewa. Sebab kita yakin kebenaran ada dalam diri kita sendiri, dan kita memiliki ini sebagai hak kelahiran, kemudian kita harus memanfestasikan ini serta menjadikannya dalam wujud nyata. 3. Vedanta yang praktis, “ Tat Tvam Asi” Engkau adalah Dia. Topik ini diuraikan Svami tanggal 17 November 1896 di London. Konsep tentang alam semesta, tentang gerakan dan tentang Tuhan, dia tidak dapat berubah dan diubah
18
dalam waktu yang bersamaan, bukan perorangan dan perorangan dalam satu kesatuan. Hal inilah dalam konsep alam semesta dimaksud dengan “Engkau adalah Itu”. Tatkala kita terbebas dari pikiran kita, dari kepribadian kecil kita, kita harus menjadi satu dengan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan “Engkau adalah Dia.” Ini adalah esensi dari vedanta (Vivekananda, 2001 : 231). Sebab kita harus tahu watak kita yang sebenarnya, Yang Absolut. Apabila kita hendak mempelajari agama, kita harus mengetahui proses ilmiah ini. Kita saksikan betapa yang cemerlang muncul menjadi suatu asas pokok Vivekananda dalam (Pendit, 2005 : 195). Agama diturunkan menjadi sejenis bantuk nasional. Ini adalah salah satu sisa-sisa peninggalan sosial kita yang terbaik, biarlah tinggal seperti itu. Tetapi kebutuhan manusia modern untuk hal itu telah hilang; dia tidak lagi menemukan ini sebagai kepuasan akal sehatnya. (Pendit, 2005 : 198). Para filsuf vedanta telah menemukan dasar-dasar etika. Walaupun semua agama telah mengajarkan pedoman etika seperti, “jangan membunuh, jangan menyakiti, cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri,” dan seterusnya, namun tak satupun memberikan alasan. Mengapa saya tidak boleh menyakiti sesama? Terhadap pertanyaan ini tak ada jawaban yang memuaskan yang dapat memberikan sampai hal ini dikembangkan oleh spekulasi metafisika hindu yang tak dapat dijelaskan dengan dogma-dogma semata. Demikianlah Hindu mengatakan bahwa atma itu mutlak dan meliputi segalanya, sehingga disebut tak terbatas. Demikian pula roh individu adalah bagian dari roh universal, yang tak terbatas. Oleh karena itu, menyakiti sesama, individu itu sebenarnya menyakiti dirinya. Ini adalah dasar kebenaran metafisika yang mendasari semua kode etika (Vivekananda, 2001: 69).
Ada penerapan cinta yang salah arah; kekuatan cinta membawa persaingan, genetik asli persaingan adalah cinta. Terbatas atau terbatas, cinta adalah cinta. Kekuatan motivasi dari seluruh jagat raya ini, dengan cara apapun memanifestasikan dirinya adalah sesuatu yang luar biasa, yaitu ketidakmementingkan diri sendiri, penolakan, cinta, kenyataan satusatunya kekuatan hidup yang eksis. Sebab itu vedanta menekankan perlunya kemanunggalan. Cita-cita moralitas dan tidak mementingkan dirinya sendiri yang tertinggi berjalan bergandengan tangan dengan konsep metafisika yang tertinggi. Cita-cita utama dari vedanta adalah kesatuan. Kita tak boleh memandang orang dengan penghinaan. Semua dari kita akan menuju pada tujuan yang sama. Perbedaan antara kelemahan dan kekuatan adalah satu derajat. Perbedaan antara kebajikan dan kebejatan adalah satu derajat. Antara surga dan neraka satu derajat, demikian juga antara kehidupan dan kematian. Semua perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan jenisnya, karena kesatuan adalah rahasia dari segalanya. Semuanya adalah satu, yang memanifestasikan dirinya sebagai pemikiran, nyawa, roh atau badan dan perbedaanya hanya pada derajatnya (Vivekananda, 2001 : 232-233). Lebih lanjut dinyatakan, karena itu kita tak berhak untuk memandang yang lain dalam penghinaan, pada mereka yang belum berkembang dalam derajat atau tingkat yang sama seperti kita. Jangan menghina siapapu. Jika saja anda mampu membentangkan lebar tangan anda untuk menolong, lakukanlah. Jika anda tak mampu, cakupkan tanganmu dan berkatilah saudarasaudaramu dan biarkan mereka berjalan atas kepercayaan dan keyakinan mereka. Menghasut dan menghina bukan cara yang baik. Tak pernah terjadi suatu pekerjaan diselesaikan dengan hal itu. Kita selalu menghabiskan banyak waktu untuk menghina orang lain. Kritik dan penghinaan adalah cara 4. Vedanta yang praktis Kasih Sayang yang tak berguna dan membuang-buang Universal dalam Kemanunggalan energi, karena dalam perjalanan panjang nanti, 19
kita akan melihat bahwa semua adalah sama, hanya saja ada yang mendekati, atau agak jauh dari cita-cita luhur itu dan perbedaan terbesarnya semata-mata merupakan ekspresi yang berbeda-beda. Mungkin ada kelemahan, kata vedanta, namun tak apalah; kita ingin berkembang. Obat dari kelemahan itu bukan dengan meratapi kelemahan itu, namun dengan memikirkan kekuatan. Ajarkan orang-orang bahwa kekuatan itu ada pada diri mereka. Anda dapat melakukan apapun. Mereka yang telah mempelajari Bhagavad Gita akan selalu ingat pesan yang tak terlupakan: “Dia yang melihat Brahmin yang terpelajar, sapi, gajah, anjing atau orang diluar kasta (candela) dengan pandangan sama, sesungguhnya adalah orang suci dan bijaksana. Meskipun dalam kehidupan ini, dia telah menaklukkan keberadaan relatif, yang pikirannya teguh terpusatkan pada kesamaan itu, karena Tuhan itu satu dan sama bagi semua dan Tuhan itu murni. Oleh karena itu mereka yang memiliki pandangan kesamaan terhadap semua dan murni ini dikatakan hidup dalam Tuhan,” (Bhagawad Gita V.18-19). Ini adalah intisari dari moralitas vedanta-yaitu kesamaan terhadap segalanya. Vedanta sebagai puncak pengetahuan Veda, yang memberikan konsep masyarakat ideal, sudah selayaknya diketahui dan diamalkan oleh setiap orang, baik pria maupun wanita, anak-anak maupun dewasa, dimanapun ia berada guna mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Vedanta telah memberikan konsep yang sempurna dan paripurna tentang tatanan kemasyarakatan dan keunggulan individu dalam mendukung masyarakat. Alangkah disayangkan jika keagungan filsafat vedanta hanya diketahui dan dibahas di dalam goa, hanya dilingkungan intelektual dan orang-orang tertentu saja seperti para yogi di pertapaan, jnani atau masyarakat akademisi. Vedanta bukan hanya bagi mereka segelintir orang saja. Juga bukan diperuntukkan bagi mereka yang telah memiliki tingkat intelektual memadai. Bahkan
Svami Vivekananda yang telah memperkenalkan rumusan vedanta dalam bentuk praktis menyatakan bahka pada gubuk masyarakat miskin, kepada siswa di sekolah, ditengah kemegahan kota dan industri, vedanta harus dihembuskan sebagai nafas segar kehidupan, yang memberikan makna lebih dan membuat kehidupan seseorang menjadi lebih spiritual. Ada beberapa nilai yang menjadi sisi praktis dari vedanta, yang semestinya dapat diterapkan secara terus menerus yakni, percaya pada diri sendiri. Ini mengandung makna bahwa manusia sesungguhnya ilahi, kuat dan melakukan banyak hal dalam hidupnya. Apa yang membuatnya lemah adalah karena salah cara berpikir dengan memandang dirinya lemah. Setiap orang hendaknya dapat berdiri tegak dengan segenap kekuatan yang ada dalam dirinya. Nilai kedua adalah Tuhan ada dimana-mana dan segalanya. Mungkin sulit bagi setiap orang menyatakan bahwa Tuhan ada dimana-mana dan segalanya adalah Tuhan. Tuhan dalam vedanta, tidaklah berada jauh, di langit ataupun di sorga, tetapi sangat dekat, di dalam diri manusia, pada setiap apa yang kita lihat dan rasakan. Dengan berpandangan seperti ini orang akan melangkah pada nilai ketiga yakni tat tvam asi, engkau adalah dia. Ini adalah sebuah prinsip kemanusiaan yang sesungguhnya, yang secara otomatis akan menimbulkan kasih sayang universal dan kemanunggalan sebagai niai lain dari vedanta. Kasih sayang universal akan membuat dunia ini dan setiap orang menjadi lebih baik. Olehnya nilai filsafat vedanta harus diterapkan dalam bentuk praktis, bukan hanya menjadi filsafat yang rumit dan sukar untuk dipahami yang pada akhirnya hanya memuaskan debat intelektual. 2.5.5
Cita-Cita dan Semangat Vedanta Suatu prinsip yang diletakkan, yang oleh vedanta dinyatakan terdapat dalam setiap agama di dunia, bahwa manusia memiliki watak ilahi, bahwa semua yang kita lihat di
20
sekeliling kita adalah hasil dari kesadaran ilahi. Segala sesuatu yang kuat, yang baik, dan yang perkasa dalam watak manusia, adalah hasil dari watak keilahian ini, dan demikian potensialnya dalam banyak watak pribadipribadi, namun tidak ada perbedaan diantara orang-orang secara hakiki dan semuanya sama dalam watak kepribadian (Pendit, 2005 : 118). Lebih lanjut dinyatakan, demikianlah setiap orang memiliki potensi seperti samudra tak terbatas: eksistensi, pengetahuan dan rahmat kebahagiaan sebagai hak sejak kita dilahirkan, sebagai watak kita sendiri. Perbedaan yang ada diantara kita disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar atau yang lebih kecil untuk memanifestasikannya, yaitu kekuatan ilahi. Karena itu, vedanta meletakkan dasar bahwa setiap orang seyogyanya diperlakukan tidak sebagaimana adanya dia, melainkan atas prinsip apa yang ia tegakkan. Setiap manusia berdiri tegak demi keilahian, dan oleh karenanya setiap guru harus mampu membantu siswa untuk tidak menyalahkan orang lain dengan cara membantu dia untuk membangkitkan keilahian yang bersemayam, dalam dirinya sendiri. Juga harus mengajarkan betapa kekuatan masal yang terlihat terpancar dalam masyarakat dan segenap jenjang perbuatan sesungguhnya adalah dari alam. Oleh karena itu apa yang menjadi aspirasi dari sekte-sekte, vedanta menghimbau kebebasan untuk menyatakan itu dalam hembusan nafas ilahi kemanusiaaan. Dan dalam waktu bersamaan, bagi vedanta tidak ada perselisihan dengan sekte sekte lainnya. Vedanta tidak punya sengketa dengan mereka yang tidak dapat memahami tentang nafas keilahian manusia. Disadari atau tidak, sesungguhnya setiap orang berhasrat untuk memanifestasikan keilahian ini (Pendit, 2005 : 119). Nilai-nilai universal dari filsafat vedanta dapat diterima baik oleh para filsuf, teolog, cendikiawan maupun masyarakat kebanyakan. Ia telah membicarakannya baik di dunia barat maupun timur dengan cemerlang. Dalam sebuah pidatonya beliau menegaskan
bahwa agama universal yang diimpikan oleh para filsuf dan orang lain sebenarnya sudah ada. Ia ada disini. Selama persaudaraan universal diantara umat manusia masih tetap ada, maka demikian juga agama universal itu. Pada agama Hindu anda akan mendapatkan gagasan kebangsaan, yaitu spiritualitas. Tidak ada dalam agama apapun, kitab suci apapun, dimana anda akan mendapatkan begitu banyak energi yang dihabiskan dalam memperjelas gagasan tentang Tuhan. Secara bersamaan pula vedanta sangat menghormati gagasan kepercayaan atau agama lain. Dalam sebuah pidatonya Svami Vivekananda menegaskan bahwa agama universal yang diimpikan oleh para filsuf dan orang lain sebenarnya sudah ada. Ia ada disini. Selama persaudaraan universal diantara umat manusia masih tetap ada, maka demikian juga agama universal itu. Pada agama Hindu anda akan mendapatkan gagasan kebangsaan, yaitu spiritualitas. Tidak ada dalam agama apapun, kitab suci apapun, dimana anda akan mendapatkan begitu banyak energi yang dihabiskan dalam memperjelas gagasan tentang Tuhan. Secara bersamaan pula vedanta sangat menghormati gagasan kepercayaan atau agama lain. Svami Vivekananda menyatakan vedanta tidak bertentangan dengan aliran manapun, meskipun vedanta kadang-kadang tak berkompromi atau menanggalkan kebenaran-kebenaran yang dianggap mendasar. Gagasan vedanta adalah prinsip tak terbatas tentang Tuhan yang mengejewantah pada setiap orang, demikian pula tak ada Tuhan yang perlu ditakuti. Vedanta ada dimana-mana, hanya saja kita harus sadar dengan keberadaanya. Kebanyakan kepercayaankepercayaan dan tahyul menghalangi kemajuan vedanta. Konsepsi tentang Tuhan haruslah benar-benar spiritual. Vedanta merumuskan bukan persaudaraan universal namun kesatuan universal (Vivekananda, 2001 : 313). Dimana „Aku” sama dengan orang lain, sebagaimana halnya yang ada pada binatang-yang baik,
21
yang jahat, pada apapun. Masing-masing satu badan, satu pikiran dan satu jiwa dalam diri kita. Jiwa agung tak pernah mati. Jika Vedanta-pengetahuan kesadaran bahwa semuanya merupakan satu roh ilahi, yang tersebar luas, maka seluruh umat manusia akan menjadi spiritual. Keagungan dari ajaran filsafat vedanta inilah yang menyebabkan filsafat ini dapat diterima bahkan menjadi nafas bagi banyak insan di dunia ini, baik sekarang maupun di masa depan. Keagungan dari ajaran vedanta ini menjadikan ia sebagai harapan dan masa depan dunia yang lebih baik.
hanya saja kita harus sadar dengan keberadaanya. Kebanyakan kepercayaankepercayaan dan tahyul menghalangi kemajuan vedanta. Konsepsi tentang Tuhan haruslah benar-benar spiritual. Jika vedantapengetahuan kesadaran bahwa semuanya merupakan satu roh illahi, yang tersebar luas, maka seluruh umat manusia akan menjadi spiritual. Keagungan dari ajaran filsafat vedanta inilah yang menyebabkan filsafat ini dapat diterima bahkan menjadi nafas bagi banyak insan di dunia ini, baik sekarang maupun di masa depan. Keagungan dari ajaran vedanta ini menjadikan ia sebagai harapan dan Depan masa depan dunia yang lebih baik
2.5.6 Keuniversalan dan Masa Vedanta Filsafat vedanta yang diusung oleh Svami Vivekananda adalah bernilai universal. Nilai-nilai universal dari filsafat vedanta dapat diterima baik oleh para filsuf, teolog, cendikiawan maupun masyarakat kebanyakan. Ia telah membicarakannya baik di dunia barat maupun timur dengan cemerlang. Dalam sebuah pidatonya beliau menegaskan bahwa agama universal yang diimpikan oleh para filsuf dan orang lain sebenarnya sudah ada. Ia ada disini. Selama persaudaraan universal diantara umat manusia masih tetap ada, maka demikian juga agama universal itu. Pada agama Hindu anda akan mendapatkan gagasan kebangsaan, yaitu spiritualitas. Tidak ada dalam agama apapun, kitab suci apapun, dimana anda akan mendapatkan begitu banyak energi yang dihabiskan dalam memperjelas gagasan tentang Tuhan. Secara bersamaan pula vedanta sangat menghormati gagasan kepercayaan atau agama lain. Svami Vivekananda menyatakan vedanta tidak bertentangan dengan aliran manapun, meskipun vedanta kadang-kadang tak berkompromi atau menanggalkan kebenaran-kebenaran yang dianggap mendasar. Gagasan vedanta adalah prinsip tak terbatas tentang Tuhan yang mengejewantah pada setiap orang, demikian pula tak ada Tuhan yang perlu ditakuti. Vedanta ada dimana-mana,
III. PENUTUP Vedanta adalah agama masa depan, puncak pengetahuan, kebijaksanaan dan rahasia dari orang suci Hindu. Pengalaman transenden dari pengamat kebenaran sejati. Vedanta adalah intisari, atau kesimpulan dari kitab-kitab Veda. Manusia adalah ilahi. Sifat sejatinya adalah atman tak terbatas, abadi, suci, selalu bebas, penuh kebahagiaan dan identik dengan Brahman. Vedanta menyatakan manusia itu ilahi, dimana semua yang kita lihat di sekitar kita adalah hasil dari kesadaran ilahi. Segala hal yang baik, kuat, ampuh dalam sifat manusia berasal dari keilahian itu, dan walaupun berpotensi dalam banyak hal, pada dasarnya tak ada perbedaan antara manusia dengan manusia lainnya, dimana esensialnya semua mahluk adalah ilahi. Vedanta secara tegas menyatakan tujuan kehidupan manusia adalah untuk menyadari keilahiannya dan tujuan dari agama adalah untuk mengajar seseorang bagaimana memanifestasikan keilahian dalam dirinya. Vedanta menyatakan kebenaran adalah satu dan universal, tak terbatas pada perbedaan negara, ras atau individu. Semua agama di dunia menyampaikan kebenaran yang sama, akan tetapi dengan bahasa dan cara yang berbeda. Vedanta menyampaikan keharmonisan dari agama-agama.
22
Sebagaimana sungai yang berasal dari sumber yang berbeda, akan tetapi ketika bersatu di samudra akan hilang nama dan bentuknya. Demikianlah ragam agama yang dianut oleh manusia dengan kecenderungan yang berbeda, menghantar kepada Tuhan atau kebenaran yang sama. Jika konsep ideal ini dapat diterapkan maka harapan masa depan agama dan dunia lebih baik akan segera terwujud. Dunia yang bernafaskan kasih dan kemanusiaan serta persaudaraan universal. DAFTAR PUSTAKA Donder, I Ketut, 2006, Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta. Kritik terhadap Epistemologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi dan Konversi, Surabaya : Paramita. Ghindwani, Hira D, 2005. Hindu Agama Universal, Bunga Rampai Pemikiran dan Kisah Svami Vivekananda. Jakarta : Media Hindu Maswinara, I Wayan, 1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), Surabaya : Paramita Mehta, Rohit, 2007. Panggilan Upanisad, Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar : Sarad Pals, Daniel L., 1996. Seven Theories of Religion. Terjemahan oleh Ali Noer Zaman. 2001. Yogyakarta : Qalam. Pandit, Bansi, 2006. Pemikiran Hindu, PokokPokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya untuk Semua Umur. Terjemahan oleh IGA Dewi Paramita. Paramita : Surabaya. Pendit S, Nyoman, 2005. Vedanta, PercikPercik Renungan Swami Vivekananda. Denpasar : Pustaka Bali Post Pendit S, Nyoman, 2007. Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana, Enam Aliran Astika (ortodoks). Denpasar : Pustaka Bali Post Pringgodigdo, A.G., 1973. Ensiklopedi Umum, Yogyakarta : Kanisius.
Radhakrisnan,S., 2007. Bhagavad Gita. Surabaya : Paramita. Saranam, Sankara, 2009. God Without Religion. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Setia, Putu, 2002. Mendebat Bali : Catatan Perjalanan Budaya Bali hingga Bom Kuta. Denpasar : Pustaka Manikgeni. Setia, Putu, 2006. Bali yang Meradang. Denpasar : Pustaka Manikgeni. Sivananda,Sri Swami, 2003. Intisasi Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita. Surpi, Ni Kadek.,2009. Konversi Agama Masyarakat Bali (Studi Kasus Konversi Agama Hindu ke Kristen Protestan di Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung) (Tesis) Program Pasca Sarjana Institut Negeri Denpasar. Tejasananda Svami, 2004. Kisah Singkat Kehidupan Svami Vivekananda. Surabaya : Paramita Viresvarananda, Svami, 2002, Brahma Sutra, Pengetahuan tentang Ketuhanan, Surabaya : Paramita Visvanathan,2000. Apakah Saya Orang Hindu (Terjemahan dari judul Am I a Hindu), Denpasar : Manikgeni Vivekananda, Svami, 2001. Vedanta, Gema Kebebasan. Surabaya : Paramita
23