Membangun Manajemen Layanan Pendidikan Oleh : Kusdiyono, S.Pd.
Tuntutan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang belakangan menjadi “trending topik” mesti diwujudkan tanpa syarat oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), tak terkecuali layanan bidang pendidikan sebagai bagian dari Korpri. Belakangan ini muncul sinyalemen perasaan tidak puas dari masyarakat selaku elemen terlayani, kepada hampir semua institusi pemerintah karena “merasa” layanan yang diterima tidak maksimal. Misalnya rasa tidak puas terhadap layanan rumah sakit yang dinilai lamban, kritik kepada lembaga Kepolisian Republik Indonesia yang tidak tanggap. Demikian juga dengan lembaga pendidikan atau sekolah yang dikritisi gagal menanamkan generasi cinta bangsa (patriotis), bahkan hanya dianggap sebagai ajang komersialisasi pendidikan. Hal ini tidak perlu ditanggapi berlebihan apalagi sampai berpikiran negatif.
Sepanjang sorotan dan kritikan masyarakat terhadap kita
dilakukan dengan perspektif yang membangun, tentu saja jawaban yang paling rasional adalah meningkatkan mutu layanan itu sendiri. Tetapi jika kritik yang dilontarkan sudah bermuatan politik atau ada tendensi negatif atau bahkan mendiskreditkan sebuah intsitusi, ini yang perlu kita antisipasi melalui sosialisasi, penyebaran informasi, dan dengan kebijakan yang populer, agar tidak terjadi salah tafsir. Untuk menjawab tantangan berupa kritik itu, perlu dibangun manajemen layanan. Banyak contoh pembangunan manajemen layanan dalam upaya peningkatan layanan kepada masyarakat yang bisa kita lakukan, baik secara personal maupun tingkat institusi. Secara
personal, contohnya guru (khususnya guru Sekolah
Dasar), sebagai salah satu trident pendidikan dapat melaksanakan pembangunan manajemen pelayanan kepada masyarakat, terutama siswa atau peserta didik, dengan cara meningkatkan
1
layanan proses
pembelajaran termasuk penilaian,
dan pembiasaan akhlak mental
spiritual. Pada tingkat institusi, pembangunan manajemen pelayanan dapat berupa transparansi pembiayaan pendidikan dan peningkatan eksistensi
pendidikan
yang
merupakan
bagian
dari
kehidupan
masyarakat nyata. Secara garis besar, layanan yang diharapkan masyarakat khususnya peserta didik memang meliputi 4 komponen di atas, yaitu : terpenuhinya proses pembelajaran termasuk di dalamnya proses penilaian, transparansi pembiayaan pendidikan, pembiasaan akhlak mental spiritual, dan eksistensi pendidikan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat nyata. Diakui atau pun tidak, proses pembelajaran di sekolah terkadang terganggu derajat keefektifannya karena kegiatan guru di luar kegiatan pembelajaran, misalnya untuk kepentingan kedinasan dan sosial yang lain. Kondisi semacam ini memaksa proses pembelajaran tertunda, terganggu, dan bahkan gagal dilaksanakan, yang berujung pada ketidaktercapaian penilaian yang valid. Transparansi pembiayaan pendidikan yang “kabur” tidak jarang menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran dari berbagai pemangku kepentingan maupun elemen masyarakat. Bahkan, tidak jarang institusi pendidikan mendapatkan cap sebagai agen komersialisasi pendidikan. Kondisi semacam ini, jika dibiarkan bisa saja menjadi awal degradasi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Ketidakpuasan masyarakat kepada institusi pendidikan menjadi tuntutan yang difergensi. Artinya, pada satu sisi masyarakat merasa kurang puas terhadap hasil proses pembelajaran dengan alasan tidak maksimal, sementara di sisi lain juga menghakimi bahwa dunia pendidikan sekarang hanya berorientasi pada materi kurikulum dengan mengabaikan pembiasaan yang menanamkan sikap mental dan spiritual yang membangun, mengesampingkan terbentuknya generasi
2
cinta bangsa, hilangnya tutur sopan laku santun dan tatakrama sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Keluhan lain yang sering terlontar dari masyarakat terhadap dunia pendidikan yaitu : pendidikan masih bersifat eksklusif, tidak mengaplikasikan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat. Keluhan, atau kritikan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab bukan saja oleh sekolah sebagai institusi atau guru sebagai personal, tetapi yang terpenting adalah pemerintah sebagai “top leader kebijakan”. Pertanyaannya sekarang menjadi rumit. Siapa pihak pertama yang harus menjawab, yang harus memulai membangun manajemen pendidikan, dan siapa yang bertanggung jawab kepada masyarakat “pengguna jasa pendidikan sekolah”. Terlepas dari pertanyaan di atas, pemerintah pusat telah dengan sungguh-sungguh memulai pembangunan manajemen pendidikan. Pembangunan manajemen dimaksud antara lain
melalui penetapan
undang-undang tentang sistem pendidikan nasional (UU sisdiknas), perubahan atau penyempurnaan kurikulum sekolah, pemberlakuan Undang-Undang Guru dan Dosen, dan yang paling mencengangkan adalah kuota 20% dari APBN diperuntukkan bagi pendidikan. Penyempurnaan
kurikulum
sekolah
sungguh
merupakan
bangunan yang visional. Mengapa demikian, karena penyempurnaan kurikulum yang kita kenal dengan sebutan kurikulum 2013 ( kurtilas ) dirancang untuk menjawab tantangan global, menciptakan generasi cerdas dan cinta bangsa, sopan santun, berakhlak mulia, memberi bekal kepada masyarakat Indonesia agar mampu bersaing di kancah persaingan internasional, dan menyiapkan ketrampilan serta
mental
generasi emas Indonesia tahun 2045. Kurikulum 2013 juga mengamanatkan dan menekankan kepada guru untuk berpola pikir maju, meninggalkan kebiasaan dan pola pikir lama dalam proses pembelajaran.
3
Pemberlakuan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nomor 14 tahun 2005 menjadi payung hukum yang memberikan jaminan dan kesejahteraan kepada guru (khususnya) dan dosen. Undang-Undang Guru dan Dosen menempatkan guru sebagai profesi yang bermartabat agar guru (khususnya) dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang strategis dalam pembangunan nasional di bidang pendidikan. Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan
lokal,
nasional,
dan
global
diperlukan
pemberdayaan dan peningkatan mutu guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Kuota 20% anggaran belanja negara untuk pendidikan menjadi bukti
nyata
bahwa
pemerintah
atau
negara
benar-benar
serius
mewujudkan aspirasi bangsa. Pendek kata, pemerintah (pusat) telah mewujudkan segala potensi yang dimilki, berupa biaya dan semua perangkat yang dibutuhkan bagi ketercukupan layanan dunia pendidikan. Peran
pemerintah
kabupaten,
khususnya
Dinas
Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cilacap juga sangat penting dalam membangun manajemen peningkatan layanan pendidikan. Pemerintah kabupaten, kecuali dituntut masih memberi tambahan kekurangan biaya yang belum terdeteksi dalam anggaran biaya operasional sekolah (BOS) reguler, yang juga tidak kalah penting adalah sebagai kaki tangan yang menjembatani,
memberi
petunjuk
teknis,
menjabarkan
program
pemerintah pusat kepada sekolah lewat dinas terkait. Sungguh ini merupakan peran sekaligus tanggungjawab yang cukup berat. Bahkan agar semua program pemerintah pusat di bidang pendidikan dapat sukses, Disdikpora semestinya lebih meningkatkan
4
upaya monitoring, evaluasi, supervisi, kunjungan atau inspeksi, dan pembekalan melalui pendidikan dan pelatihan secara teratur dan periodik. Ini perlu di”biasa”kan, agar lembaga-lembaga pendidikan dan guru terbiasa
dengan
pekerjaan
harian
yang
menjadi
tugas
dan
tanggungjawabnya. Kunjungan dari pejabat yang bersifat incognito atau inspeksi mendadak jangan menjadi budaya. Karena langkah demikian bukanlah langkah yang bersifat membangun. Meskipun kunjungan semacam ini perlu dilakukan pada suatu saat, tetapi budaya ini bukanlah kebijakan yang diharapkan oleh pelaksana di lapangan. Bukankah tujuan kunjungan untuk meningkatkan kinerja, memberi petunjuk, mengejawantahkan program? Bagaimana pun, kita masih memiliki budaya paternalisme yang menjunjung tinggi “bapak-bapak” kita, njunjung dhuwur mendhem jero. Konsekuensinya, semua petunjuk teknis, bimbingan, arahan, harus operasional, absolut atau mutlak sehingga tidak menyebabkan tafsiran yang beragam. Kita juga masih lekat dengan pepatah Jawa “segalakgalake macan ora bakal mangan anakke dhewe”. Di sini mengandung makna, bahwa kunjungan bukanlah ditujukan untuk mencari kesalahan dan memberi hukuman, tetapi yang terpenting adalah meluruskan jalan jika terjadi penyimpangan atau kesalahan. Walaupun sanksi dan hukuman perlu dijatuhkan kepada anggota Korpri yang memang salah, tetapi sangat diharapkan bimbingan dan arahan pejabat yang bersifat periodik untuk mencegah terjadinya kesalahan. Pejabat juga diharapkan memiliki “pabrik pujian dan suku cadang penghargaan”, sehingga sewkatuwaktu dapat memberi pujian dan penghargaan kepada anggota Korpri yang berhasil, menonjol dalam prestasi dan kinerja tanpa kekurangan stok. Berkait dengan personal anggota Korpri khususnya guru (tenaga pendidik) yang mempunyai tugas dan tanggungjawab cukup banyak
5
dalam memenuhi tuntutan peningkatan layanan kepada masyarakat terutama peserta didik, maka sesuai dengan yang tersirat dalam UndangUndang Guru dan Dosen, tugas utama guru adalah : mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Mendidk memiliki arti yang luas yaitu membiasakan norma sosial yang baik, berbahasa santun, bertindak laku sopan, akhlak budi pekerti mulia,
berbuat
sesuai
aturan.
Mengajar
lebih
berfokus
pada
mentransferkan ilmu pengetahuan atau materi pelajaran kepada siswa. Membimbing adalah membantu dan menuntun siswa menemukan jawaban, hasil, temuan. Mengarahkan adalah mencari arah yang benar, yang dituju agar tepat sassaran atau tidak meleset. Melatih merupakan kegiatan pendampingan membuat produk/hasil, kegiatan, dan sikap mental. Menilai dapat diartikan mengukur kompetensi atau kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki, melalui alat tertentu yang telah ditetapkan. Dari keseluruhan kegiatan guru tersebut, mulai mandidik sampai dengan menilai, guru harus dapat mengevaluasi peserta didik. Guru harus mampu menguasai tugas utamanya. Apalagi dengan pemberlakuan kurikulum 2013 yang sarat dengan muatan teknologi komputer. Tuntutan berikutnya bagi guru adalah tidak gagap teknologi. Bagaimana pun baiknya konsep kurikulum tahun 2013 dengan semua perangkatnya, jika guru tidak mampu melakukan input data, input nilai, dan pekerjaan lain lewat komputer, akan menjadi sebuah program yang sia-sia. Sangat penting dicamkan bagi guru profesional, tingkatkan layanan dengan sikap hormat, sopan, sesuai undang-undang yang berlaku. Lakukan tugas dengan mengutamakan hasil, tingkatkan kinerja, jujur, bertanggung jawab, cermat, disiplin, sesuai perintah atasan/pejabat, dan berintegritas tinggi. Semoga menjadi warga PGRI yang loyal, anggota KORPRI yang berprestasi menuju aparatur sipil negara yang bersih. Amiin.
6
BIODATA PENULIS Nama
: KUSDIYONO, S.Pd
NIP
: 19670524 198806 1 001
Tempat/tanggl lahir
: Cilacap/24 Mei 1967
Jabatan
: Kepala SD Negeri Rawaapu 03 UPT Disdikpora Kec. Patimuan
HP/e mail
: 085227349644/
[email protected]
7