MEMBANGUN KEMITRAAN ANTARA FAKULTAS SYARIAH DENGAN DUNIA PENGADILAN AGAMA Oleh Ramdani Wahyu S
Pendahuluan Fakultas Syariah merupakan pelaksana pendidikan akademik1 yang menyelenggarakan program sarjana. Program sarjana yang diselenggarakan bertujuan menyiapkan mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional. 2 Sejumlah prodi (program studi) telah disiapkan dan dikembangkan oleh Fakultas Syariah yang terdiri atas Ahwalu Syakhsiyah (AS), Hukum Pidana Islam (HPI), Ilmu Hukum (IH), Mu’amalah, Managemen Keuangan Syariah (MKS), Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH), Siyasah dan prodi lainnya. Semua prodi tersebut berorientasi di dalam penguasaan dan pengembangan ilmu hukum Islam, politik Islam, hukum ekonomi Islam, manajemen keuangan, pemikiran hukum Islam dan peradilan agama. Sesuai dengan karakteistik bidang ilmu yang dikaji pada masing-masing prodi sebagaimana disebutkan di atas, prodi Ahwalu Syakhsiyah (AS) merupakan prodi yang struktur kurikulumnya memberi pembobotan yang lebih banyak kepada mahasiswa di dalam menekuni hukum keluarga dan peradilan agama dibanding dengan prodi yang lain. Sebagai prodi yang mengembangkan hukum keluarga Islam dan peradilan agama, prodi AS membawa beban untuk menciptakan lulusannya siap pakai dan siap kerja pada bidang-bidang hukum untuk menjadi konsultan hukum, hakim, panitera, advokat, legal drafter, pegawai pada kantor Kemenag, pegawai pada KUA dan instansi lain yang membutuhkan. 3 Salah satu unit kerja yang akan dimasuki oleh mahasiswa ketika menjadi lulusan Fakultas Syariah adalah Pengadilan Agama. Sejauh ini, kesempatan menjadi tenaga teknis di lingkungan peradilan agama dilakukan dengan melakukan seleksi secara tertulis bagi para lulusan Fakultas Syariah (tanpa melihat prodinya) dan tenaga honorer yang telah magang di Pengadilan Agama. Formasi yang disediakan berupa calon hakim dan panitera.4 Namun untuk sampai pada kesiapan menjadi tenaga teknis yang professional di Pengadilan Agama, para mahasiswa masih awam dengan dunia Pengadilan Agama yang berakibat pada
Dosen Matakuliah Peradilan Agama di Indonesia pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung. Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) 2 Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tujuan Fakultas Syariah tercermin dalam visi dan misi masing-masing fakultas yang dapat diakses melalui web Fakultas Syariah yang ada di Indonesia. 3 Selain instansi yang dimasuki oleh lulusan prodi AS sesuai dengan bidang ilmunya, terdapat juga sejumlah alumni prodi AS yang bekerja “di luar” bidang ilmunya sebagai politisi menjadi DPR/D, pengurus partai, pelaku usaha, wiraswasta, pendidik dan sebagainya. Hal semacam ini terjadi pula pada prodi lain di luar Prodi AS yang bekerja di Pengadilan Agama sebagai hakim, panitera dan sebagainya. 4 Tenaga teknis lain seperti ahli IT, ahli akuntansi dan ekonomi disiapkan untuk mejadi pengelola IT di setiap PA dan tenaga administrasi keuangan yang direktut dari alumni Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sains dan Teknologi. 1
2
hilangnya kegairahan mahasiswa untuk dapat menjadi tenaga teknis yang terampil dan professional. Penyebab kurangnya kegairahan mahasiswa untuk menekuni dunia peradilan agama dilatar belakangi oleh sejumlah faktor, yaitu : 1. Mahasiswa yang memilih prodi dan atau fakultas bukan didorong oleh kesadaran dan pengetahuan yang mumpuni tentang prodi yang akan dimasukinya, tetapi didorong oleh ajakan teman, atau oleh karena prodi pilihannya tidak lulus tetapi masuk pada prodi pilihan berikutnya yang dirasakan sebagai alternatif yang kurang memuaskan yang berakibat pada belajar yang tidak sungguh-sungguh; 2. Adanya pikiran-pikiran yang pragmatis dan menyesatkan bahwa memasuki dunia kerja yang kompetitif yang dibutuhkan adalah “uang pelicin” bukan prestasi; 3. Kurangnya kesediaan pihak fakultas dan pihak Pengadilan Agama untuk membuka diri dan bersama-sama bersinergi, berbagi peran antara Fakultas Syariah sebagai produsen dan Pengadilan Agama sebagai user sehingga mahasiswa kurang mendapat akses untuk melihat dunia Pengadilan Agama secara utuh; Kenyataan inilah yang dapat diamati sebagai lemahnya minat mahasiswa untuk mengenal lebih jauh dunia Pengadilan Agama.5 Kelemahan tersebut diidentifikasi menjadi dua, yaitu yang datang dari pribadi mahasiswa dan kekurangan dari institusi Fakultas dan Pengadilan Agama untuk bekerjasama menyediakan ruang pendidikan terapan sebelum mereka terjun menjadi tenaga profesional. Sementara itu, dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 6 Dosen dan mahasiwa adalah civitas akademika kampus yang dapat berhubungan secara kohesif. Kerjasama dosen dan mahasiswa dalam suatu kegiatan masih jarang dilakukan, misalnya melakukan penelitian bersama dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebagai civitas akademika, mahasiswa dan dosen dapat bertemu dalam suatu kegiatan di luar kampus dengan saling menguatkan di dalam melakukan praktik keilmuan yang dilakukan diarea Pengadilan Agama. Untuk mewujudkan hal itu, Fakultas Syariah perlu membangun kemitraan dengan dunia Pengadilan Agama dengan melibatkan mahasiswa dan dosen. Kemitraan antara Fakultas Syariah dan Pengadilan Agama dilakukan dengan melakukan kegiatan bersama (joint activities) dalam bentuk pelayanan hukum dan penelitian bersama (joint research). Manfaat yang dapat diraih dari kemitraan ini tentu saja harus dinikmati oleh kedua belah pihak. Kegiatan layanan hukum bagi kepentingan Fakultas Syariah dan kegiatan penelitian bagi Pengadilan Agama. Bagi Fakultas Syariah, kegiatan layanan hukum bisa menambah keterampilan mahasiswa sebelum mereka lulus dan juga sebagai arena pengembangan ilmu yang dimiliki dosen, sedangkan bagi Pengadilan Agama dapat memanfaatkan 5
Lemahnya minat mahasiswa menekuni dunia Pengadilan Agama dibuktikan pula dengan minimnya tenaga advokat di Pengadilan Agama yang berlatar Pendidikan Fakultas Syariah sebagai salah satu profesi hukum yang bisa ditekuni mahasiswa. 6 Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
3
tenaga dosen untuk melakukan kegiatan penelitian supaya dapat memetakan problem internal Pengadilan Agama mulai dari kinerja aparatur pengadilan, kwalitas putusan hakim dan layanan Pengadilan Agama kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sepenuhnya dapat menjadi bahan evaluasi pimpinan Pengadilan Agama. Strartegi Membangun Kemitraan Salah satu tantangan besar yang dihadapi Perguruan Tinggi termasuk Fakultas Syariah dan prodi-prodi yang ada di dalamnya adalah masalah relevansi pendidikan. Relevansi (relevancy) merupakan tingkat keterkaitan tujuan maupun hasil/keluaran program pendidikan dengan kebutuhan masyarakat di lingkungannya maupun secara global.7 Wardiman Djojonegoro memaknai relevansi pendidikan dalam arti adanya kesepadanan dalam bentuk link and match yang pada kenyataannya pendidikan itu telah sesuai dengan keperluan masyarakat yang sedang membangun. 8Jelas sekali bahwa Fakultas Syariah memikul beban berat agar para lulusannya relevan dengan kebutuhan masyarakat sebagai lulusan yang siap pakai dan bukan memproduksi pengangguran intelektual. Sebelum mereka lulus menyandang gelar kesarjanaan, para mahasiswa perlu diakrabkan dengan dunia peradilan agama untuk mengenal lebih jauh apa dan bagaimana dunia peradilan itu. Kegiatan praktikum peradilan yang alokasi waktunya disediakan 16 kali pertemuan dirasakan tidak mencukupi, karena dalam pelaksanaannya sering kali dipadatkan menjadi dua minggu atau 10 hari kerja sehingga para mahasiswa tidak dapat mengenal lebih jauh dunia Pengadilan Agama. Oleh karena itu, program akrabisasi mahasiswa dengan dunia Pengadilan Agama sangat penting dan mendesak. Para mahasiswa dapat diberikan ruang pembelajaran melebihi kegiatan praktikum atau kegiatan praktikum yang sudah ada kualitasnya lebih ditingkatkan sehingga menjadi kegiatan praktikum plus. Kegiatan pembelajaran tersebut dilakukan dengan melibatkan para mahasiswa sebelum perkara diproses dalam persidangan atau pada saat perkara masuk persidangan para mahasiswa difungsikan menjadi para legal 9 bersama-sama dengan advokat mengikuti alur persidangan di Pengadilan Agama. Untuk mencapai impian itu, Fakultas Syariah dan Pengadilan Agama dapat segera membangun kemitraan yang langkah awalnya dikonkritkan dalam bentuk MoU yang noktah kesepahaman itu sebagaimana kegiatannya diuraikan di bawah ini. Realisasi dari kemitraan itu, ada beberapa kegiatan agar mahasiswa dan dosen dapat mengenal dunia Pengadilan Agama sebagai arena belajar di lapangan, diantararanya: 1. Membuka Konsultasi dan Layanan Hukum
7
Anonimous, Buku IV Panduan Pengisian Borang Akreditasi Program Studi Sarjana Departemen Pendidikan Nasional badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Desember 2008, hlm. 4 8 Wardiman Djojonegoro, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud, 1995, hlm. 5 9 Istilah paralegal lazim dikenal dalam komunitas hukum. Namun, hingga saat ini definisi paralegal belum seragam. Dalam hukumpedia misalnya, paralegal didefinisikan sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan hukum, namun ia tidak mempunyai kualifikasi sebagai praktisi hukum. Bahkan, dalam beberapa literatur disebutkan bahwa paralegal bukanlah sarjana hukum. Tugas paralegal umumnya adalah membantu advokat. Oleh karena itu paralegal dapat pula disebut sebagai legal assistance. Di bagian lain paralegal juga disebut sebagai a person with specialized training who assists lawyers.
4
Konsep Konsultasi dan layanan adalah pemberian jasa konsultasi dan layanan hukum bagi para pihak pencari keadilan. Dosen berperan sebagai pembimbing didampingi oleh mahasiswa. Jasa konsultasi yang disediakan meliputi sengketa perkawinan dan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Selain jasa konsultasi, mahasiswa dapat dilibatkan untuk memberikan jasa layanan hukum dengan membuat surat gugatan dan permohonan.10 Sejauh ini, pembuatan surat gugatan dan permohonan pada masingmasing Pengadilan Agama dilakukan oleh petugas meja 1. Prosedur dan tata cara pengajuan dan penerimaan gugatan/permohonan di PA yang seperti itu dapat dikatakan belum sepenuhnya menerapkan aturan yang ditentukan didalam Hukum Acara Perdata yakni dalam Pasal 118 ayat (1), 119 dan 120 HIR/RIB dan secara teknis diatur dalam SKMA RI Nomor : KMA/001/SK/1991 tertanggal 24 Januari 1991. Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa pendahuluan akan' pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri adalah pemasukan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Dalam Pasal 119 HIR “Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya”. Pasal 120 HIR menyatakan bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugat itu atau menyuruh mencatatnya. Pasal-pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa pihak yang berperkara hendaknya menyiapkan surat gugatan/permohonan secara pribadi bukan dibuatkan oleh petugas meja 1. Selain itu Keputusan KMA No. 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan pada angka romawi empat huruf c bahwa …”pihak dapat mengajukan gugatan dan permohonan dengan menyerahkan surat gugatan kepada petugas meja 1 …dst. Demikian pula SOP meja 1 pada setiap Pengadilan Agama yang dicantumkan dalam web masing-masing PA bahwa tugas meja 1 adalah menerima surat gugatan dan bukan membuatkan. Pertanyaannya, jika pihak tidak sanggup membuat sendiri surat gugatan dan permohonan lalu kemana para pihak minta dibuatkan ? Mereka bisa minta tolong ke para advokat agar perkaranya ditangani, melalui paralegal atau kepada biro konsultasi terdekat. Berdasarkan pantauan dari Badilag, di Jawa Tengah khususnya di Pengadilan Agama Cilacap tidak lagi membantu pembuatan gugatan buat penggugat/ pemohon. “Kami berprinsip bahwa pengadilan harus bersikap imparsial, tidak memihak salah satu pihak yang berperkara,” ujar Ketua PA Cilacap , Abdul Choliq. Menurutnya, prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tidak boleh melanggar azas independensi pengadilan. Jika pengadilan boleh membantu membuatkan gugatan pemohon/penggugat, mestinya pengadilan juga bersedia membantu membuatkan eksepsi, jawaban atau gugatan rekonpensi dari pihak tergugat/termohon. Namun, nyatanya hal itu tidak pernah dilakukan. Hal ini bisa menimbulkan kesan pengadilan berat sebelah.11 Secara teknis, dosen dan mahasiswa membuka kantor layanan konsultasi tersebut berdekatan dengan Pengadilan Agama atau jika memungkinkan 10
Mahasiswa yang dapat dilibatkan dalam kegiatanpemberian layanan hukum adalah mahasiswa semester akhir atau semester 8 yang telah selesai perkuliahan dan sedang menyusun skripsi dengan asumsi mereka telah lulus matakuliah hukum acara dan matakuliah-matakuliah lainnya. 11 Lihat dalam www.badilag.net , “Solusi Hukum Itu Bernama Bantuan Hukum Gratis” dimuat 9 April 2010. Diakses 15 Oktober 2012.
5
terintegrasi dengan kantor Pengadilian Agama. Untuk memudahkan kegiatan ini, pihak Fakultas dan Pengadilan Agama harus melakukan kontrak kesepahaman (MoU) agar dapat disepakati dan dirumuskan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh ke dua belah pihak. Keterbukaan, keberpihakan dan komitmen pihak Pengadilan Agama khususnya di dalam memberikan peluang edukasi kepada para mahasiswa yang dibimbing oleh dosen untuk layanan pembuatan surat gugatan dan permohonan akan sangat membantu para mahasiswa untuk mengenali dunia peradilan. Mereka itulah yang kelak menjadi kader hakim, panitera dan tenaga teknis lainnya di Pengadilan Agama yang berlatar pendidikan Fakultas Syariah. Secara ideologis, jiwa mereka telah dibasahi dengan ilmu-ilmu Syariah yang bersumber dari Al-Quran dan hadis ditambah dengan hukum positif dalam bentuk hukum acara. Para mahasiswa adalah aset dan calon SDM Pengadiilan Agama. Sungguh amat naïf jika sinergi antara mahasiwa yang difasilitasi oleh pihak Fakultas Syariah dan Pengadilan Agama tidak dapat diwujudkan karena minimnya komitmen masing-masing pihak. 2. Mendirikan Family Crisis Centre Angka perceraian di Indonesia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat jumlahnya. Pada tahun 2012 berdasarkan Laporan Tahunan Badilag angka perceraian berjumlah 346.446. Sedangkan jumlah perkara seluruhnya mencapai 404.857. 12 Jumlah perceraian yang terus meningkat tersebut sangat memprihatinkan. Sebagian menuding tingginya angka percerian tersebut karena hakim Pengadilan Agama terlalu mudah memberikan putusan cerai tetapi sebagian lagi didasarkan atas perilaku para pihak sendiri yang secara hukum telah melanggar hukum-hukum perkawinan. 13 Meningkatnya angka perceraian merupakan tragedi keluarga dan bukan solusi perkawinan. Lihatlah pihak yang bercerai dari segi umur, mereka rata-rata berada dalam usia 30-40, 20-30 tahun dan terakhir 41-60 tahun.14 Hal ini menunjukkan bahwa pasangan yang bercerai termasuk katagori usia produktif dan masih memiliki anak-anak balita dan remaja yang sepenuhnya masih tergantung kepada orang tua. Masa depan bangsa tergantung dari keutuhan keluarga. Bagaimana jadinya jika keluarga sebagai pondasi-pondasi negara dalam kondisi yang tidak utuh, anak-anak terganggu mentalnya karena orang tua mereka bercerai, prestasi belajar menurun, kenakalan remaja meningkat dan hasil akhirnya mudah ditebak, bangsa Indonesia kehilangan generasi unggul karena anak-anak bangsa dibesarkan dalam lingkungan keluarga broken home. Oleh karena itulah tugas Pengadilan Agama bukan hanya menceraikan tetapi memaksimalkan upaya perdamaian. Sudah ribuan janda dan duda akibat putusan cerai Pengadilan Agama dan karena itulah Pengadilan Agama telah mengharamkan yang halal. Maka perlu ada solusi bersama yang membendung agar arus perceraian tidak menjadi tragedi keluarga secara nasional. Kehadiran 12
Pada tahun 2011 perkara perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama sebanyak 314.615. dan pda tahun 2010 sebanyak 251208 lihat dalam Laporan Tahunan Badilag Tahun 2012, 2011 dan 2010. 13 Tudingan mengenai meningkatnya perceraian karena hakim mudah memutuskan cerai telah ditanggapi oleh Rahmat Arijaya (Hakim PA Cilegon) dalam artikel berjudul “Mengapa Perceraian di Indonesia Meningkat” dalam tulisan itu disimpulkan meningkatnya angka perceraian disebabkan karena problem ekonomi, kurang tanggung jawab terhadap isteri, perselisihan terus menerus dan kesadaran hukum. 14 Silakan diperiksa web setiap PA tentang data statistik perkara perceraian ditinjau dari segi umur menunjukkan bahwa usia penggugat dan pemohon urutan paling tinggi berada pada usia 31-40, kemudian usia 20-30 dan 41-60 tahun yang bercerai.
6
Pengadilan Agama bukanlah menjadi beban baru bagi pihak yang berperkara dengan putusnya perkawinan. Bayangkan, jika suatu saat tercipta suatu keadaan dimana pihak yang datang ke Pengadilan Agama keluar dari majelis sidang dengan tersenyum karena majelis hakim berhasil merukunkan, mendamaikan, mengishlahkan dan mempertahankan perkawinan. Pengadilan Agama menjadi institusi yang mempertahankan perkawinan bukan menceraikan suami isteri. Family Criris Centre (atau apalah namanya) adalah lembaga yang memfungsikan diri sebagai penjaga sakralitas perkawinan. Lembaga ini hadir menjalankan peran mediasi yang selama ini mediasi dilaksanakan tidak maksimal karena yang ditugasi adalah hakim yang tugas utamanya adalah memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara. 15 Para dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dapat terlibat mengambil bagian dari kehadiran Family Crisis Centre (FCC) ini. Dosen sebagai mediator dan mahasiswa sebagai asistennya bersama-sama sebagai civitas akademika melakukan kegiatan mediasia dan juga konseling. Tentu saja kemampuan menjadi mediator ini telah tuntas dikuasai oleh para dosen melalui pelatihan di lembagalembaga mediasi yang terakreditasi. Dan lagi-lagi implemantasi kehadiran FCC ini perlu dukungan kedua belah pihak yaitu pihak Fakultas Syariah dan Pengadilan Agama. MoU adalah pintu untuk merumuskan lembaga semacam ini. 3. Bekerjasama dengan Asosiasi Advokat Keterampilan mahasiswa untuk menjadi tenaga profesional di bidang peradilan harus diasah dengan keikutsertaannya menjadi paralegal dengan advokat yang berpraktik di Pengadilan Agama. Pihak Fakultas Syariah dapat membuka kerjasama dengan Asosiasi Advokat baik KAI (Kongres Advokat Indonesia), Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) maupun APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia) agar para mahasiswa diberi kesempatan menjadi pembantu hukum (legal assistance) 16dan pihak Pengadilan Agama memberikan kesempatan dengan mengijinkan para mahasiswa bersama para advokat mengikuti seluruh tahapan proses berperkara dan juga memasuki ruangan persidangan. Keterlibatan mahasiswa dengan advokat di dalam menangani perkara diawali pada saat perkara didaftarkan sampai perkara tersebut incracht. Para mahasiswa bisa memahami lebih jauh mengenai keterampilan seorang advokat di dalam menyusun surat gugatan, memberikan jawaban sampai pada menyusun memori banding dan atau kontra memori banding serta memori kasasi. Selain itu, para mahasiswa bisa lebih memahami peran advokat di dalam proses persidangan. Secara hukum, mahasiswa termasuk juga dosen dibenarkan memberikan bantuan hukum dalam arti memberikan pelayanan dan konsultasi hukum bagi 15
Banyak sudah hasil-hasil pemantauan, laporan dan penelitian yang menyimpulkan tentang rendahnya keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama. Untuk melihat rendahnya angka keberhasilan mediasi secara nasional dapat dilihat bagian lampiran Laporan Tahunan Badilag sejak tahun 2010-2012. Untuk hasiil penelitian, dapat dibaca Disertasi Program Pascasarjana UIN SGD Bandung yang ditulis oleh Ramdani Wahyu S mengenai Teori dan Implementasi Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama, tahun 2011. 16 Istilah legal assistance dalam tulisan ini sengaja diartikan dengan pembantu hukum dalam pengertian membantu menyiapkan tugas-tugas litigasi atau non litigasi. Istilah baku dari legal assistance sebenarnya lawan dari legal aid. Legal Aid adalah istilah bantuan hukum bagi orang yang miskin (Kaum Dhuafa) yang tidak mampu membayar lawyer yang melahirkan konsep Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan semacamnya yang disebut pekerja pemberi bantuan hukum (public defender), sedangkan Legal Assistance untuk orang yang mampu membayar lawyer. Lihat dalam Suti Mulyani, Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi No.06/ PUU-II/2004 Pasca Yudisial Review terhadap UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Studi di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri Kota Malang). Laporan Penelitian Fakultas Hukum UMM, Malang. Tahun 2007, hlm. 3
7
pihak yang memerlukan. Sejak pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, 17 peluang untuk memberikan jasa konsultasi dan layanan hukum oleh mahasiswa dan dosen menjadi terbuka. Dengan demikian, melibatkan para mahasiswa bersama-sama dengan advokat di dalam proses berperkara menjadi bagian penting pembelajaran mahasiswa untuk melihat dunia peradilan. 4. Joint Research Kegiatan penelitian merupakan salah satu darma dari Perguruan Tinggi. Masyarakat dan pemerintah termasuk Pengadilan Agama dapat memanfaatkan kemampuan para dosen atau peneliti di Fakultas Syariah untuk melakukan penelitian yang menjadi masalah dilingkungannya. Masalah-masalah yang dihadapi oleh Pengadilan Agama misalnya berkaitan dengan kinerja aparatur pengadilan yang meliputi kwalitas pelayanan kepada masyarakat dan kwalitas putusan hakim. Penelitian kinerja aparatur pengadilan meliputi kecepatan dan ketepatan layanan petugas meja 1 sampai dengan meja 3 di dalam menangani perkara yang diajukan, kinerja kepaniteraan dan kesekretariatan serta kinerja bagian keuangan dan umum. Kinerja ini perlu dilakukan evaluasi, apalagi jika mengingat Gaji Hakim jauh lebih besar dari tugas-tugas non hakim setelah keluarnya PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Pasca PP tersebut bagaimana kinerja para aparatur pengadilan non hakim itu ? Kwalitas putusan hakim juga dapat dilakukan penelitian untuk mengukur kinerja hakim dalam membuat putusan. Lingkup penelitian putusan ini dapat dikaji melalui beberapa aspek, yaitu : a. Aspek hukum formil dengan mengkaji, apakah putusan hakim telah memenuhi struktur/unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara (misalnya Pasal 197 dan/atau 199 KUHAP, Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBG)?, apakah putusan tersebut telah sah (tidak cacat atau batal)?, Apakah putusan hakim sudah didukung oleh alat bukti yang memadai dan sah sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum acara (misalnya Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP) dan adakah sumber hukum formal lainnya di luar undang-udang (misalnya doktrin dan/atau yurisprudensi) yang dijadikan dasar dalam pertimbangan hakim melakukan pemeriksaan/penilaian alat bukti ? b. Aspek hukum materil dengan mengkaji, apakah putusan tersebut mencantumkan secara tegas (eksplisit) dasar gugatan/tuntutan/permohonan yang diajukan para pihak ? apakah putusan memuat pertimbangan hukum yang memadai terkait dasar gugatan/tuntutan/permohonan yang diajukan para pihak? adakah konsep-konsep hukum tertentu (utama/kunci) yang menjadi isu sentral dalam pertimbangan putusan tersebut? Dan adakah dasar hukum selain undangundang, yang digunakan untuk mengelaborasi pertimbangan putusan tersebut? c. Aspek Filosofi Penjatuhan Putusan dengan mengkaji apakah amar putusan yang dijatuhkan telah sesuai dengan filosofi dasar hukum terkait dengan perkara tersebut? apakah jenis dan bobot sanksi dalam putusan telah sesuai dengan perbuatan hukum yang dipertimbangkan oleh hakim? apakah nilai keadilan,
17
Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004
8
kepastian hukum dan kemanfaatan sudah diperoleh semua pihak dalam perkara yang diputuskan hakim ? d. Aspek Penalaran Hukum dengan mengkaji apakah dapat ditemui adanya keruntutan bernalar mulai dari penerapan hukum acara, hukum material, dan filosofi penjatuhan sanksi dalam putusan tersebut ? apakah argumentasi yang dibangun oleh hakim menunjukkan keterkaitan antara pertimbangan hukum, fakta, dan konklusinya? Apakah dalam putusan tersebut ditemukan adanya penemuan hukum? Dengan penelitian putusan hakim ini dapat digambarkan sisi kelebihan, kekurangan, ketepatan dan ketidaktepatan bahkan putusan hakim yang baik dan tidak baik di dalam membuat putusan sehingga dapat dipertimbangan berbagai aspek kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kwalitas putusan hakim pada masa mendatang. Kesimpulan Membangun kemitraan antara mahasiswa, dosen Fakultas Syariah dengan Pengadilan Agama menjadi penting karena dapat memberi makna bagi kedua belah pihak. Mendekatkan mahasiswa dan dosen Fakultas Syariah dengan Pengadilan Agama merupakan langkah nyata untuk membuktikan bahwa ilmu yang dipelajari di Perguruan Tinggi merupakan ilmu yang relevan dengan dunia kerja dan bisa dipraktikkan (diamalkan). Bagi mahasiswa, manfaat yang diperoleh adalah mengasah keterampilan hukum sebelum mereka lulus dari kampus untuk kelak menjadi hakim, panitera, advokat dan tenaga teknis peradilan, sedangkan bagi dosen merupakan amal bakti dan pengabdian kepada masyarakat bahwa dosen mampu melibatkan diri membantu masyarakat untuk melek hukum, sadar hukum dan mencurahkan ilmunya memberi solusi hukum menjadi seorang konsultan. Akhirnya, hanya komitmen dan keberpihakan dari kedua belah pihak, yaitu pimpinan Fakulatas Syariah dan Pimpinan Pengadilan Agama baik pada level PTA maupun MA dan atau Dirjen Badilag yang dapat segera mewujudkan kemitraan ini agar ilmu-ilmu kesyariaahan dan ilmu hukum yang dipelajari oleh mahasiswa dan diajarkan oleh para dosen dapat dipraktikkan di Pengadilan Agama sebagai ajang latihan bagi mahasiswa dan penerapan serta pengembangan ilmu bagi dosen. Pengadilan Agama sendiri dapat memanfaatkan tenaga-tenaga dosen untuk meningkatkan kinerjanya melalui kegiatan penelitian, apalagi Dirjen Badilag saat ini atas instruksi Sekretaris MA sedang menggalakkan PKP (Perencanaan Kinerja Pegawai) dan SKI (Sasaran Kinerja Individual) di bawah kepemimpinan Purwosusilo.
9
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. (2008). Buku IV Panduan Pengisian Borang Akreditasi Program Studi Sarjana. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Anonimous. (2012). Laporan Tahunan Badilag Tahun 2012. (Jakarta:Badilag). Rahmat Arijaya (Hakim PA Cilegon) “Mengapa Perceraian di Indonesia Meningkat” dalam www.badilag.net Suti Mulyani. (2007). Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi No.06/ PUUII/2004 Pasca Yudisial Review terhadap UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Studi di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri Kota Malang). Laporan Penelitian. (Malang: Fakultas Hukum UMM). Salinan Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 tentang Yudisial Review Pasal 31 UUNomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang Nomor Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wardiman Djojonegoro. (1995). Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. (Jakarta: Depdikbud) www. hukumpedia.com www.badilag.net , “Solusi Hukum Itu Bernama Bantuan Hukum Gratis” dimuat 9 April 2010. Diakses 15 Oktober 2012.