Membangun Karakter Bangsa di Tengah Problem Ekonomi) Oleh : Syahrituah Siregar, SE, MA2)
Latar Belakang Pada umumnya bangsa-bangsa yang maju dan mencapai kemakmuran memiliki ciri yang sama, yakni Produktif. Dengan tingkat produktivitas yang tinggi mereka memiliki daya saing lebih baik dan menguasai pasar di dalam dan luar negeri atas komoditas/produk yang bernilai tambah tinggi. Sebaliknya jika suatu bangsa cenderung kosumtif, bangsa tersebut cenderung akan terbelakang dan tidak mandiri. Jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk keperluan domestik saja, terutama untuk produk kompetitif, harus diimpor dari luar. Sejalan dengan level kemajuan dibidang ekonomi tersebut tergambar pula harkat dan martabat suatu bangsa. Pada umumnya kemajuan ini juga menghantarkan bangsa dalam kemuliaan dalam tata kehidupan beradab. Akan tetapi, setiap bangsa memiliki tata nilai tersendiri sehingga ukuran harkat dan martabat menjadi sangat relatif. Ukuran kemuliaan sesuai dengan karakter suatu bangsa tidak selamanya sejalan dengan kemajuan materi. Untuk itulah sangat penting ditelaah tentang bagaimana membangun karakter bangsa Indonesia khususnya ditengah problem ekonomi yang dihadapi.
Karakter Bangsa Indonesia Banyak pendapat yang mengatakan karakter bangsa Indonesia sedang berada dalam keterpurukan. Hal ini ditunjukkan dengan berlangsungnya perilaku bermartabat rendah baik dalam institusi formal maupun non formal. Bentuknya mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme sampai kepada kebrutalan, barbarisme, kelicikan. Hal ini terjadi karena besarnya takabur dan keserakahan dibarengi hilangnya rasa kemanusiaan, kasih sayang, kejujuran, cinta kebenaran, patriotisme, termasuk pupusnya ―modal sosial‖ ditengah masyarakat. “Right or wrong is my country “ sebagai tekad perjuangan kontekstual disalahfahami sehingga diterapkan bagi my group/ my family/ my tribe/ dan egoego lainnya. Sikap patriot dan kesatria justru sebaliknya menegakkan kebenaran bagi siapapun, dimanapun. Hutabarat (2011) menyebutkan: karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti ―menandai‖, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karakter atau jati diri bangsa bisa dikatakan harus menggambarkan nilai-nilai luhur bangsa yang dibimbing oleh religiusitas riil dan semangat kebersamaan sesuai fakta historis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini sudah tertuang dalam PS dan UUD’45 yang dibuat the Founding Fathers, terlepas dari pemaknaannya yang kontroversial hingga saat ini. 1) Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan Demokrasi dan Karakter Bangsa, 24 november 2011 di Banjarmasin. 2) Dosen Universitas Lambung Mangkurat
Beratnya mengembalikan karakter bangsa ini tergambar dari pernyataan Prof. Mahfud MD. Sudah Habis Teori di Gudang; demikian ungkapan Professor Mahfud MD menjawab pertanyaan mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam aplikasinya. Tidak sesuainya kata dan perbuatan, demikian ungkapan dai-dai kondang kita yang berusaha mencari solusi bagi bangsa (NN, Setneg, accessed Nov 2011). Disisi lain, Hutabarat (2011) mengedepankan pentingnya pendidikan karakter (pen.: ataupun juga pendidikan berkarakter). Selanjutnya, dinukilkan Hutabarat bahwa menurut Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan orang mulai tidak memerhatikan lagi bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan gagal untuk menghadirkan generasi anak-anak bangsa yang berkarakter kuat. Aristoteles mengingatkan, sebuah masyarakat yang budayanya sudah tidak lagi memperhatikan pentingnya pendidikan atau tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai suatu good habits, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Problem Ekonomi dan Karakter Bangsa Kondisi dan perkembangan ekonomi tentu sangat besar pengaruhnya dalam membentuk karakter anak bangsa, baik dalam jangka panjang maupun dalam bentuk respon atau reaksi-reaksi jangka pendek. Masih sangat membekas dalam memori bangsa Indonesia pengaruh krisis ekonomi 2007 yang melebar menjadi krisis multidimensional bahkan berujung pada jatuhnya Rezim Pemerintahan Soehart. Jika saja rangkaian proses reformasi itu berjalan pada koridor normatif, tidak akan menjadi masalah. Namun sejarah mencatat, terjadi pula kebringasan dan kebiadaban di lapangang konfliks horizontal serta kontradiksi prilaku amoral dikalangan elit. Anup Shah (up dated 2011) mengemukakan adanya resiko yang besar dari pengaruh ketimpangan. Dalam masyarakat demokratis yang sangat rapuh, ketimpangan akan merubah orang baik menjadi jahat. Fragile Democracies, Inequality “turn good people to evil”. Sebagai kesimpulan akan kondisi faktual dibanyak Negara Shah mengemukakan bahwa: demokrasi yang kita jalankan ternyata jauh lebih rapuh dari apa yang kita sadari; dalam kondisi adanya kekosongan kekuasaan (pen.:termasuk secara de fakto dan atau kepemimpinan yang lemah secara fungsional) dimana ketimpangan ekonomi terjadi dan dibiarkan semakin parah maka akan secara serius mengancam keberlangsungan demokrasi. Untuk menjawab persoalan bagaimana membangun karakter bangsa ditengah problem ekonomi harus dikembalikan kepada jati diri berekonomi mengacu pada landasan yuridis ekonomi dalam Pancasila dan UUD’45. Landasan yuridis dalam berekonomi pada kenyataannya secara historis tidak pernah dilaksanakan secara konsisten. Oleh karenanya keterpurukan ekonomi
2
yang membawa pada krisis karakter bangsa tidak bisa dipikulkan tanggung jawabnya pada kekurangan landasan yuridis tersebut semata. Sebaliknya, terbukanya peluang yang lebar bagi penyimpangan dan pengkhianatan atas PS dan UUD’45 dalam kehidupan ekonomi menandakan bahwa landasan ini tidak memiliki mekanisme komprehensif dalam mengawal tujuan-tujuan yang diinginkannya. Pancasila dan UUD’45, jelas berisi cita-cita luhur bangsa namun daya dukungnya (supporting capacity) nya tidak tersedia secara otomatis. Banyak pendapat untuk mengarahkan manajemen perekonomian Indonesia menuju kemandirian dan ketinggian martabat bangsa. Akan tetapi kebanyakan dikembangkan dengan tidak memperhatikan esensi cita luhur yang terkandung dalam sistem ekonomi berkarakter Indonesia. Para ilmuan dan praktisi lebih faham akan perdagangan bebas, kebebasan mobilitas modal, dan kemitraan negara dalam kelembagaan global ketimbang mengelaborasi apa yang menjadi necessary and sufficient condition bagi terujudnya cita cita luhur ekonomi konsititusional Indonesia. Akibatnya terjadi amandemen pasal-pasal ekonomi yang selanjutnya hanya berbuah ketidakpastian dan keterpurukan kamandirian bangsa. Sistem Ekonomi Indonesia jelas berbeda dari Sosialisme dan Kapitalisme meski mengandung berbagai kesamaan dengan unsur-unsur didalamnya. Elemen-elemennya jelas khas berasal dari kepribadian dan ideologi yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa. Sistem Ekonomi yang dengannya akan terlahir keputusan politik dan kebijakan ekonomi tidak akan terlepas dari sifat ideologi bangsa Indonesia Pancasila. Oleh karena itu, dasar SEI adalah Pancasila beserta Hierarki perundang-undangan yang ada di bawahnya. Karenanya, SEI sering juga disebut Sistem Ekonomi Pancasila atau Demokasi Ekonomi. Dasar-dasar yang menunjukan keberpihakan kepada rakyat begitu jelas sehingga muncul pula istilah Ekonomi Kerakyatan. Dasar-dasar SEI - Pancasila - Pembukaan UUD ’45 - UUD ’45 beserta penjelasannya khususnya: Pasal 33*) ayat 1,2, dan 3 Pasal 27 ayat 2 Pasal 34*) GBHN dan Tap MPR No.XVI/1998 tentang Politik Ekonomi Bagi Demokrasi Ekonomi **) Dalam skema Soetrisno (1983) tentang falsafah kelembagaan ekonomi Pancasila dengan swing of pendulumn, terlihat wilayah aplikatif yang bebas dari setiap ekstrem. SEI diarahkan untuk mencapai keserasian, keseimbangan, dan keselarasan dengan diakuinya keberadaan: 1. Pelaku : swasta—koperasi—negara 2. Sistem : Pasar – Planning 3. Kepemilikan : Pribadi – Masyarakat – Negara 4. Orientasi produksi : Profit – Pemenuhan Hajat hidup/kebutuhan rakyat.
3
Dari sini, nyata betul bahwa SEI bersifat khas dan berbeda dengan arah sistem global yang dominan saat ini, yakni Neoliberal. Perbedaan inilah yang menjadi tantangan bagi kelangsungan SEI kendati ada pendapat tentang keniscayaan ―berbeda‖ dalam Neolib seperti dikemukakan Mac Ewan (dalam Mubyarto, 1999):Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences. Akan tetapi, faham yang didukung kekuatan full mesin ekonomi-politik ini tidak tinggal diam membiarkan dominasinya terancam dengan cara pandangnya terhadap kehidupan setiap sistem perekonomian. Neo-Liberalism, in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which there are only two choices, an economy organized by markets or an economy organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist bureaucracy (Mac Ewan dalam Mubyarto, 1999) Sebagai contoh begitu lemahnya elit masyarakat sendiri dalam memahami karakter ekonomi nasional adalah dari cuplikan proses amandemen berikut ini. Dalam draft naskah amandemen ini aspek ekonomi dan kesejahteraan ditempatkan secara tersendiri pada Bab 18 pasal 85 dan 86. Ayatayat terkait keuangan dan ketenagakerjaan ditempatkan terpisah. Terdapat sejumlah perubahan redaksional atas pasal dan ayat yang mempengaruhi pemaknaan dan implementasi. Sebagai contoh, Ps 27 (2) UUD’45 yang asli berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Disini terkandung makna tugas dan tanggung jawab nyata pemerintah melalui kebijakannya untuk mendorong tersedianya kesempatan kerja yang mencukupi bagi rakyat. Timbangan atas kondisi dan jenis pekerjaan serta imbalan adalah harus layak menurut nilai kemanusiaan. Meskipun ayat diatas sangat memadai sebagai acuan konstitusional mendasar, namun dalam draft amandemen ke-5 dirubah menjadi Ps 71 (1) berbunyi: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dengan ini maka bekerja atau menganggur menjadi persoalan individual kecuali hak itu mendapat halangan. Frase hubungan kerja pada tataran konstitusi cenderung mati dan tidak berkembang karena telah memiliki makna khusus. Selanjutnya, Ps 33 (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat ini sangat memadai sebagai acuan pokok model ekonomi konstitusional Indonesia. Ini dirubah menjadi Ps 85 (3): Seluruh kekayaan alam dan lingkungan yang terkandung dalam wilayah kedaulatan, hakhak berdaulat dan kewenangan Indonesia, baik di darat maupun di laut, termasuk dasat laut dan tanah di bawahnya serta udara diatasnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Terasa upaya susah payah untuk merumuskan batasan kekayaan alam dan lingkungan dalam otoritas negara. Akan tetapi, perubahan ini menjadi kontraproduktif dan miskin makna dibanding aslinya, kecuali tambahan udara yang cukup relevan. Menyebut tanah didasar laut berarti mengabaikan kandungan selain tanah seperti kilang minyak lepas pantai dan lain-lain.
4
Kelucuan ini bertambah dengan adanya Ps 85 (5) yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Ayat seperti ini yang terdapat diberbagai tempat sebaiknya justru dikurangi dan diganti dengan ide-ide substantif yang relevan. Sistem Ekonomi Konstitusional Indonesia Pertanyaan yang timbul, akan dibawa kemana ekonomi Indonesia melalui amandemen ini? Perubahan naskah ke tataran lebih praktis bermasalah karena pragmatis dan mengabaikan nilai inti Sistem Ekonomi Konstitusional Indonesia (SEKI) yang sesuai cita-cita kemerdekaan bangsa. Disengaja atau tidak, sejumlah fakta implikasi justru membangkang terhadap UUD’45. Keniscayaan itu diperkuat dengan, misalnya, jabaran pada UU Migas, Investasi dan Kelistrikan yang justru mengusung neoliberalisme. Karena itu, kita berharap amandemen kali ini dilakukan bukan untuk amandemen semata. The founding fathers telah meletakkan identitas SEKI dalam PS 33 UUD 45 ayat 1-3 yang secara jelas mengandung mentalitas atau aqidah patriotik (berjuang dan berkorban untuk kejayaan sesama) dalam berekonomi. Prinsip yang dikandungnya terdiri dari kolektivisme atau kerjasama dalam kebersamaan dan brotherhood (tolong-menolong dalam persaudaraan). Terkandung pula prinsip kedaulatan ekonomi yang terimplikasi dalam keadulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan sektor/sumberdaya strategis. Tak kalah penting, prinsip otoritas dan kewajiban negara dalam menjamin kemakmuran rakyat. Dengan ini pemerintah harus bijak memperlakuan jenis barang, sebagai komoditas bisnis atau non bisnis, dan menetapkan batasan penguasaan asset. Kesemuanya dipastikan hanya untuk kemakmuran rakyat karena negeri ini bukan untuk asing atau untuk golongan investor saja. Oleh karena itu, titik kritis atas amandemen ini bukan pada persoalan kesakralan ayatnya, tetapi akankah nilai-nilai luhur itu dapat dipertahan. Ketika nilai patriotis semakin luntur terganti nafsu serakah dan kepentingan jangka pendek rasanya hal itu semakin berat.
Kesimpulan Berdasarkan uraian tentang alasan substansial maupun fakta empiris yang ada maka komitmen bangsa Indonesia untuk merevitalisasi karakter bangsa merupakan suatu keharusan. Komitmen ini tidak akan terbangunn hanya lewat edukasi dan propaganda semata. Langkah komprehensif mulai dari hulu hingga ke hilir dibutuhkan karena ia tidak berdiri sendiri. Bukan hanya masyarakat yang patut diberdayakan karena pemerintah yang nampak jutru tidak knsisten dalam mengamankan jati diri ekonomi sekaligus jati diri atau karakter bangsa.
5
DAFTAR PUSTAKA
Mubyarto. 1999. Dengan Ekonomi Pancasila http://www.ekonomirakyat.org. Accessed: Agustus 2007.
Menyiasati
Globalisasi.
Shah, Anup, accessed, November 2011. Poverty Around The world dalam http://www.globalissues.org/article/4/poverty-around-the-world Sutrisno, P.H. 1983. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu Studi), Andi Offset, Jogjakarta http://www.setneg.go.id (accessed in 2011)
www.mpr.go.id/files/.../no-02th-viifebruari-2013.pdf
6