BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Membangun Budaya Self Regulated Learning and Mathematical Thinking Dalam Menyongsong Implementasi Kurikulum 2013 Oleh Bety Miliyawati Staf Pengajar FKIP UNSUB e-mail:
[email protected] ABSTRAK Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, dan dalam upaya memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu memiliki kemandirian belajar. Pendidikan untuk setiap disiplin ilmu dituntut untuk memiliki kemandirian belajar selain membantu siswa berpikir, juga membantu mereka dapat mempertanggungjawabkan berpikirnya tersebut. Matematika dan cara berpikir matematika (mathematical thinking) mendasari disiplin ilmu yang lain dan bahkan mengembangkannya selain mengembangkan matematika itu sendiri. Self regulated learning and mathematical thinking perlu dibiasakan dalam pembelajaran matematika secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematis (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri peserta didik untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang positif. Dengan demikian, pembahasan artikel ini sangat penting sebagai salah satu terobosan baru dalam menyongsong Implementasi Kurikulum 2013. Hal inipun sesuai dengan visi matematika dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah diharapkan dapat memberikan penataan nalar, berpikir kritis, pembentukan sikap siswa serta kemampuan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Secara garis besar pembahasan artikel ini mengkaji bagaimana membangun kebiasaan self regulated learning and mathematical thinking siswa dalam pembelajaran matematika. Kata Kunci: Budaya pembelajaran matematika, self regulated learning, mathematical thinking
A. Pendahuluan Seiring dengan diberlakukan kurikulum 2013 pada pendidikan dasar dan menengah, guru dituntut untuk mengembangkan kompetensi secara berkelanjutan sehingga mampu menjalankan tugas profesionalnya. Tuntutan kurikulum baru ini merupakan bagian dari strategi menghasilkan generasi emas Indonesia dengan berkarakter bangsa yang mandiri dengan penuh rasa percaya diri, dapat diharapkan mampu menjawab tantangan jaman. Karena itu, dalam upaya memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu dibekali dan dibudayakan kemandirian belajar, kemampuan berpikir matematis yang memadai, berpikir kritis dan kreatif, sikap cermat, obyektif dan terbuka, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Upaya ini tentu saja tidak mungkin dilakukan melalui cara-cara lama yang cenderung mengandalkan proses pengembangan kemampuan yang lebih 1
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
bersifat prosedural serta kurang memuat tantangan. Upaya tersebut perlu dikembangkan lebih jauh lagi sehingga menyentuh aspek-aspek yang memungkinkan seseorang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Umar (2012 : 5) menyatakan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah perlu membiasakan siswa pada semua jenjang pendidikan dalam kemandirian belajar (self regulated learning) dan berpikir matematika (mathematical thinking). Dengan kata lain, pembiasaan kemandirian belajar dan berpikir matematika bersifat untuk semua siswa (mathematics for all), karena kemandirian belajar dan proses berpikir matematika sering dianggap sebagai tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Goldenberg et.al (2002) menyatakan bahwa “berpikir” adalah inti dari semua pembelajaran di sekolah. Goldenberg et.al (2002) lebih jauh mengemukakan bahwa matematika adalah suatu disiplin ilmu yang komponen utamanya adalah berpikir. Oleh karena itu, pembiasaan (conditioning) kemandirian belajar dan proses berpikir matematika tersebut dapat dilakukan melalui matematika yang secara substansial memuat pengembangan kemampuan berpikir yang berlandaskan pada kaidah-kaidah penalaran secara logis, kritis, sistematis, dan akurat. Pembiasaan atau pembudayaan kemandirian belajar dan proses berpikir matematika tersebut secara umum dikenal sebagai pembiasaan berpikir matematika (mathematical habits of mind). Pavlov (dalam Turmudi, 2009) mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning), dalam hal ini hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Hal ini dapat dipahami karena segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang individu merupakan konsekuensi dari kebiasaan berpikir dan kemandirian belajarnya. Apabila kebiasaan berpikir matematika dan kemandirian belajar itu berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematis (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat dalam melaksanakan kegiatan matematika. Di sisi lain, standar kompetensi inti kurikulum 2013 mata pelajaran matematika juga menekankan bahwa untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan yang selalu berkembang perlu conditioning siswa berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif. Di samping itu, pembelajaran matematika diharapkan dapat memberikan penataan nalar, berpikir kritis, pembentukan sikap siswa serta kemampuan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdiknas, 2013). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa para guru matematika mengalami kesulitan dalam membiasakan siswa berpikir matematis dan kemandirian belajar melalui pembelajaran matematika di sekolah. Sejumlah hasil studi (misalnya Peterson, 1988; Henningsen, dan Stein, 1997; Mullis, et.al. 2000) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat rendah (lower order thinking) yang bersifat prosedural. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarmo, 2
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Suryadi, Rukmana, Dasari, dan Suhendra (1998) terhadap siswa kelas 3, 5, dan 6 sekolah dasar diperoleh gambaran umum bahwa pembelajaran matematika masih berlangsung secara tradisional yakni pembelajaran lebih berpusat pada guru; pendekatan yang digunakan lebih bersifat ekspositori, guru lebih mendominasi proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang diberikan lebih banyak yang bersifat rutin, dan dalam proses belajar siswa lebih bersifat pasif. Mullis, dkk. (2000) menyatakan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematis siswa. Hampir serupa dengan temuan Sabandar (2008) menyatakan bahwa guru-guru masih kurang menciptakan kondisi belajar yang menuntut siswa untuk berpikir. Secara umum, pembelajaran matematika masih terdiri atas rangkaian kegiatan berikut: awal pembelajaran dimulai dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal (Suryadi, 2012 : 45). Dengan demikian, seorang guru matematika hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, atau model pembelajaran yang inovatif dengan memfasilitasi, mendorong siswa lebih aktif bertanya dan berpendapat dalam belajar matematika, melatih siswa bekerja dalam kelompok dan mengembangkan daya berpikir matematis siswa melalui kebiasaan kemandirian belajar sehingga diharapkan proses pembelajaran matematika lebih bermakna dan menyenangkan. Karena itu, tujuan jangka panjang pembelajaran matematika sekolah adalah untuk meningkatkan kemampuan para siswa agar ketika mereka sudah meninggalkan bangku sekolah, mereka akan mampu mengembangkan diri mereka sendiri melalui kemandirian belajar, dengan demikian mereka akan mampu menyelesaikan masalah yang muncul. Dengan demikian, kajian artikel ini sangat penting untuk membangun kebiasaan kemandirian belajar siswa dan bagaimana melatih cara berpikir matematis dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika sehingga siswa memiliki potensi untuk mengikuti perubahan diberbagai aspek kehidupan. Kajian tentang “self regulated learning and mathematical thinking” dalam pembelajaran matematika ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi serta wacana bagi praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efesien dan hasil belajar matematika lebih baik sebagaimana tuntutan pemerintah bagi keberhasilan implementasi kurikulum 2013. B. Kemandirian Belajar (Self Regulated Learning) Dalam upaya memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu memiliki kemandirian belajar, kemampuan berpikir matematik yang memadai, berpikir kritis dan kreatif, sikap cermat, obyektif dan terbuka, serta rasa ingin tahu dan senang belajar. Apabila kebiasaan berpikir dan sikap seperti di atas berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri peserta didik untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang positif. 3
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Istilah kemandirian belajar berelasi dengan beberapa istilah lain di antaranya self regulated learning (SRL), self regulated thinking (SRT), self directed learning (SDL), self efficacy, dan self-esteem. Pengertian kelima istilah di atas tidak tepat sama, namun mereka memiliki beberapa kesamaan karakteristik. Sejumlah pakar (Butler, 2002, Corno dan Randi, 1999, Hargis, http:/www.smartkidzone.co/, Kerlin, 1992, Paris dan Winograd, 1998, Schunk dan Zimmerman, 1998, Wongsri, Cantwell, dan Archer, 2002, Sumarmo, 2010), menguraikan pengertian istilah SRL, merelasikannya dengan beberapa istilah lain yang serupa, memeriksa efek SRL terhadap pembelajaran serta memberikan saran untuk memajukan SRL pada siswa. Hargis dan Kerlin, (dalam Sumarmo, 2010) mengemukakan bahwa SRL merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Hampir serupa dengan definisi di atas, Lowry (ERIC Digest No 93, dalam Umar, 2012), mendefinisikan sebagai suatu proses di mana individu: berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya. Kemudian, Bandura (Hargies, http:/www.jhargis.co/) mendefinisikan SRL sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri, melalui tiga langkah yaitu: mengamati dan mengawasi diri sendiri; membandingkan posisi diri dengan standar tertentu, dan memberikan respons sendiri. Yang (Hargis, http:/www.jhargis.co/) melaporkan bahwa siswa yang memiliki SRL yang tinggi: cenderung belajar lebih baik dalam pengawasannya sendiri, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif; menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya; dan mengatur belajar dan waktu secara efisien. Schunk dan Zimmerman (dalam Sumarmo, 2010) mengungkapkan terdapat tiga tahap utama dalam siklus SRL yaitu: merancang belajar, memantau kemajuan belajar dan mengevaluasi hasil belajar secara lengkap. Paris dan Winograd (The National Science Foundation, 2000), mengemukakan karakteristik lain yang termuat dalam self regulated learning yaitu: kesadaran akan berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang berkelanjutan, dan mempertimbangakn berbagai pilihan sebelum memilih solusi atau strategi. Rochester Institute of Techonology (2000), mengidentifikasi beberapa karakteristik lainnya dalam SRL, yaitu: memilih tujuan belajar, memandang kesulitan sebagai tantangan, memilih dan menggunakan sumber yang tersedia, bekerjasama dengan orang lain, membangun makna, memahami pencapaian keberhasilan disertai dengan kontrol diri. Wongsri, Cantwell, Archer (2002) yaitu sebagai proses belajar di mana individu memiliki rasa tanggung jawab dalam merancang belajarnya, dan menerapkan, serta mengevaluasi proses belajarnya. Hoban, Sersland, Raine (Wongsri, Cantwell, Archer, 2002) merelasikan istilah SDL dengan istilah self-efficacy yang didefinisikan sebagai pandangan individu terhadap kemampuan dirinya dalam bidang akademik tertentu. 4
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Berdasarkan uraian tentang self regulated learning (SRL) di atas, terdapat tiga langkah utama yaitu: 1) merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya, 2) memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya, dan 3) memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu. Kebiasaan kegiatan belajar seperti di atas secara kumulatif akan menumbuhkan disposisi belajar atau keinginan yang kuat dalam belajar pada individu yang bersangkutan. Pada perkembangan selanjutnya, pemilikan disposisi belajar yang tinggi pada individu, akan membentuk individu yang tangguh, ulet, bertanggung jawab, memiliki motif berprestasi yang tinggi, serta membantu individu mencapai hasil terbaiknya dalam mata pelajaran matematika. Lebih jauh, diharapkan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika yang lebih efektif dan efesien dalam menyongsong keberhasilan implementasi kurikulum 2013. C. Berpikir Matematis serta Karakteriknya Ditinjau dari jenis aktivitasnya, kemampuan berpikir matematis (mathematical thinking) dapat digolongkan dalam kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, koneksi, komunikasi, dan representasi matematik, dan ditinjau dari kekompleksan aktivitasnya, kemampuan berpikir matematis dapat diklasifikasikan dalam dua tingkat yaitu : tingkat rendah dan tingkat tinggi. Kemampuan matematika tingkat rendah bersifat rutin dan sederhana, dan hampir dapat dikerjakan oleh sebagian besar siswa, misalnya aplikasi konsep secara langsung, komputasi sederhana atau prosedural. Bloom menggolongkan tujuan dalam domain kognitif dalam enam tahap yaitu: pengetahuan (hapalan), pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Berdasarkan karakteristik kegiatan yang termuat, tiga tahap pertama tergolong berpikir tingkat rendah, dan tiga berikutnya tergolong berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi bersifat tidak rutin, lebih kompleks dan memerlukan kemampuan matematis lain untuk melaksanakannya. Beberapa kemampuan berpikir matematis yang tergolong tingkat tinggi di antaranya adalah: pemahaman, penalaran, koneksi, komunikasi, dan representasi matematik yang tidak sederhana atau tidak rutin, pemecahan masalah matematik, berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative), berpikir reflektif (reflektive thinking), berpikir evaluatif, berpikir analisik, berpikir sintetik dalam matematika. Namun, apapun jenis dan tingkatnya, pada dasarnya tiap manusia melaksanakan kegiatan berpikir matematis baik terbatas pada yang rendah atau yang tingkat tinggi. Oleh karena itu dikatakan pula bahwa matematika sebagai kegiatan manusia. Selanjutnya sejalan dengan sifat kegiatan manusia yang tidak statis, pandangan “mathematics as a human activity memuat makna matematika sebagai suatu proses yang aktif, dinamik, dan generatif. Dalam proses pembelajaran berpikir matematis, ada beberapa langkah yang harus dilalui oleh seseorang yang berpikir matematis. Sagala (2003) mengemukakan bahwa berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian, yaitu melalui proses 5
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
mendeskripsikan ciri-ciri yang sama, mengabsraksi dan menyisihkan, membuang dan menganggap ciri-ciri yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yang dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, menerima atau mengiyakan, dan pendapat asumtif, yaitu mengungkapkan kemungkinankemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3) pembentukan keputusan atau kesimpulan sebagai hasil pekerjaan akal. Hal yang serupa dikemukakan Ibrahim (dalam, 2012) bahwa berpikir matematis sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang saksama. Dari kedua pendapat tersebut diperoleh hasil bahwa proses pembelajaran berpikir adalah mengolah informasi yang diperoleh hingga merumuskan kesimpulan atau keputusan. Sumarmo (2013) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir matematis sangat erat kaitannya dengan hakikat aktivitas matematika sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematis, sebagai suatu kegiatan manusia melalui proses aktif, dinamis, dan generatif, serta sebagai ilmu yang mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka, menjadi sangat penting dimiliki siswa dan perlu ditumbuhkembangkan kepada diri siswa melalui kegiatan pembelajaran matematika. Hal ini terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir matematis terutama yang menyangkut doing math, dapat ditumbuhkembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika pada waktu kegiatan belajar mengajar berlangsung. Hal ini sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Apalagi dengan munculnya nuansa baru dalam kurikulum 2013, berimplikasi langsung pada kegiatan penyelenggaraan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan komponen pembelajaran di sekolah. Karena pergeseran yang terjadi dalam kurikulum, mau tidak mau guru matematika hendaknya melatih siswa mengembangkan daya berpikir matematis siswa melalui kebiasaan berpikir matematika (mathematical habits of mind) sehingga diharapkan proses pembelajaran matematika lebih bermakna dan menyenangkan. D. Jenis dan Tingkat Kemampuan Matematis Berikut disajikan beberapa jenis dan tingkat kemampuan matematis disertai dengan indikator masing-masing. 1. Pemahaman Matematis Secara umum indikator kemampuan pemahaman matematika meliputi; mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika. Polya (Pollatsek, Lima, dan Well, 1981) merinci kemampuan pemahaman pada empat tahap yaitu: (1) Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh dapat mengingat dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana; (2) Pemahaman induktif: dapat menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa; (3) Pemahaman rasional: dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema, dan (4) Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan 6
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut. Pollatsek et all (1981) menggolongkan pemahaman ke dalam dua jenis yaitu: (1) Pemahaman komputasional: dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, (2) Pemahaman fungsional: dapat mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya, dan menyadari proses yang dikerjakannya. Serupa dengan Skemp (Pollatsek et al, 1981) menggolongkan pemahaman dalam dua jenis yaitu: (1) Pemahaman instrumental: hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, dan, (2) Pemahaman relasional: dapat mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Mirip pendapat (Copeland, 1979) menggolongkan pemahaman dalam dua jenis yaitu: (1) Knowing how to: dapat mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/ algoritmi, dan (2) Knowing: dapat mengerjakan suatu perhitungan secara sadar. Ditinjau dari kekompleksan aktivitasnya, dua jenis kemampuan pemahaman menurut Polya, menurut Pollatsek, menurut Skemp, dan menurut Copeland masing-masing yang pertama tergolong pada berpikir matematis tingkat rendah. Jenis pamahaman matematis lainnya tergolong pada berpikir matematis tingkat tinggi. 2. Pemecahan Masalah Matematis (mathematical problem solving) Pemecahan masalah matematis mempunyai dua makna yaitu: a. Sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi/konsep/ prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian secara induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika b. Sebagai tujuan atau kemampuan yang harus dicapai, yang meliputi indikator: mengidentifikasi kecukupan data, membuat model matematis, memilih dan menerapkan strategi penyelesaian masalah, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil, memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, dan menerapkan matematika secara bermakna. Kemampuan tersebut tergolong pada berpikir matematis tingkat tinggi. 3. Penalaran Matematis (mathematical reasoning) Penalaran matematis dapat digolongkan pada dua jenis yaitu yang bersifat induktif dan bersifat deduktif. Penalaran induktif adalah penalaran yang berdasarkan contoh-contoh terbatas yang teramati. Beberapa penalaran induktif di antaranya adalah: penalaran analogi, generalisasi, estimasi atau memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menyusun konjektur. Penalaran induktif di atas dapat tergolong pada berpikir matematis tingkat rendah atau tinggi bergantung pada kekompleksan situasi yang terlibat. 7
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan pada aturan yang disepakati. Beberapa penalaran yang tergolong deduktif di antaranya: melakukan operasi hitung (ini tergolong pada panalaran deduktif tingkat rendah), menarik kesimpulan logis, memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola, mengajukan lawan contoh, mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid, merumuskan definisi dan menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematik yang semuanya tergolong pada berpikir matematis tingkat tinggi. 4. Koneksi Matematis (mathematical connection) Koneksi matematis dapat tergolong pada berpikir tingkat rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan kegiatan yang terlibat. Kemampuan yang tergolong pada koneksi matematis di antaranya adalah: menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan seharhari, mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur, memahami hubungan antar topik matematika, memahami representasi ekuivalen suatu konsep, dan mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen 5. Komunikasi Matematis (mathematical communication). Komunikasi matematis juga dapat tergolong tingkat rendah atau tinggi, bergantung pada kemompleksan kegiatannya. Kemampuan yang tergolong pada komunikasi matematis di antaranya adalah: menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematis, menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika, membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, dan mengngkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri. 6. Berpikir Kritis Matematis Berpikir kritis matematis tergolong pada berpikir tingkat tinggi. Ennis (1985) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir reflektif yang penuh dengan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai apa yang diyakini dan yang dikerjakan. Beberapa indikator kemampuan berpikir kritis di antaranya adalah: mencari pernyataan, pertanyaan, dan alasan secara jelas; memahami informasi dengan baik dengan cara memilih sumber yang terpercaya; memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan; bersikap tegap dengan ide utama; menjaga keaslian dan mendasar; mencari alternatif.dan bersikap, berpikir terbuka sistimatis, dan teratur; mengambil posisi disertai bukti yang cukup; dan mencari penjelasan sebanyak mungkin. 8
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Cotton (1991), menyatakan bahwa berpikir kritis disebut juga berpikir logis dan berpikir analitis. Nickerson (Schfersman, 1992) dan Beyer (Hassoubah, 2004), mengemukakan beberapa indikator keterampilan berpikir kritis di antaranya adalah: menentukan kredibilitas suatu sumber; membedakan antara yang relevan atau valid dari yang tidak relevan atau valid dan antara fakta dari penilaian; mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi, bias, dan sudut pandang; dan mengevaluasi bukti untuk mendukung pengakuan. Gokhale (1995) mendefinisikan soal berpikir kritis adalah soal yang melibatkan analisis, sintesis, dan evaluasi dari suatu konsep. Merujuk pengertian berpikir kritis dari Ennis, Langrehr (2003) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang melibatkan penggunaan kriteria yang relevan dalam menilai informasi, keakuratannya, relevansinya, reliabilitasnya, konsistensinya, dan biasnya. Bayer (Hassoubah, 2004) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan untuk: menentukan kredibilitas suatu sunber, membedakan antara sesuatu yang relevan dan yang tidak relevan dan antara fakta dan penilaian, mengidentifikasi dan menganalisis asumsi, mengidentifikasi yang bias dan sudut pandang, dan mengevaluasi bukti. Dalam matematika, Glaser (dalam Miliyati, 2012) mendefinisikan berpikir kritis matematis sebagai kemampuan dan disposisi yang menggabungkan pengetahuan awal, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk mengeneralisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematis secara reflektif. Selanjutnya, Langrehr (2006), mengemukakan terdapat tiga jenis informasi yang disimpan dalam otak, yaitu: (1) isi (content) yang meliputi simbol, angka, kata, kalimat, fakta, aturan, metode, dan sebagainya; (2) perasaan (feelings) tentang isi; dan (3) pertanyaan (questions) yang digunakan untuk memproses isi. Untuk meningkatkan keterampilan memproses isi diperlukan keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan analisis. Keterampilan memproses matematis atau doing math meliputi: mengobservasi, menebak, menduga, membuat dan mengetes hipotesis, mencari analogi, melakukan koneksi dan komunikasi, membuat representasi, membuat generalisasi, membuktikan teorema, dan memecahkan masalah, yang semuanya berkaitan dengan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan analisis. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, pengajuan masalah yang menantang, dan siswa mengambil kesimpulan sendiri. Hal ini, sangat penting karena berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam melakukan tindakan, berpikir, bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan antara sesuatu dengan yang lainnya secara akurat. 7. Berpikir Kreatif Matematis Semiawan (1984) mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menyusun idea baru dan menerapkannya dalam pemecahan 9
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
masalah, dan kemampuan mengidentifikasi asosiasi antara dua idea yang kurang jelas. Rhodes (Munandar,1987), Munandar (1992), dan Supriadi (1994) mendefinisikan kreativitas dengan menganalisis empat dimensinya yang dikenal dengan istilah “the Four P's of Creativity, atau “empat P dari kreativitas” yaitu Person, Product, Process, dan Press Pertama, kreativitas sebagai person mengilustrasikan individu dengan pikiran atau ekspresinya yang unik. Kedua kreativitas sebagai produk merupakan kreasi yang asli, baru, dan bermakna. Ketiga, kreativitas sebagai proses merefleksikan kemahiran dalam berpikir yang meliputi: kemahiran (fluency), fleksibilitas (flexibility), originalitas (originality), dan elaborasi ( ellaboration). Yang terakhir, kreativitas sebagai press adalah kondisi internal atau eksternal yang mendorong munculnya berpikir kreatif. Di sisi lain, Alvino (dalam Cotton, 1991) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah berbagai cara melihat atau melakukan sesuatu diklasifikasikan dalam empat komponen yaitu (1) kelancaran (fluency) membuat berbagai ide; (2) kelenturan (flexibility) kelihaian memandang ke depan dengan mudah); (3) keaslian (originality) menyusun sesuatu yang baru; dan (4) elaborasi (elaboration) membangun sesuatu dari ide-ide lainnya. Supriadi (1994) mengidentifikasi orang yang kreatif adalah mereka yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, kaya akan idea, imajinatif, percaya diri, non-konformis, bertahan mencapai keinginannya, bekerja keras, optimistik, sensitif terhadap masalah, berpikir positif, memiliki rasa kemampuan diri, berorientasi pada masa datang, menyukai masalah yang kompleks dan menantang. Fisher (dalam Munandar, 2000) mengemukakan kreativitas sebagai proses yang terdiri dari empat aspek yaitu: kemahiran (fluency), fleksibilitas (flexibility), originalitas (originality), dan elaborasi (ellaboration). Hampir serupa dengan yang lain, yaitu Silver (1997) dan Sriraman (2004) mendefinisikan kreativitas matematis sebagai kemampuan pemecahan masalah dan berpikir matematik secra deduktif dan logik. Terdapat lima pendekatan untuk mengukur kreativitas yaitu: melalui analisis obyektif terhadap produk kreatif, konsiderasi subyektif, inventori diri, inventori biografi, dan tes kreativitas Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) mengemukakan berpikir kreatif memuat aspek keterampilan kognitif, afektif, dan metakognitif. Keterampilan kognitif tersebut antara lain kemampuan: mengidentifikasi masalah dan peluang, menyusun pertanyaan yang baik dan berbeda, mengidentifikasi data yang relevan dan yang tidak relevan, masalah dan peluang yang produktif; menghasilkan banyak idea (fluency), idea yang berbeda (flexibility), dan produk atau idea yang baru (originality), memeriksa dan menilai hubungan antara pilihan dan alternatif, mengubah pola pikir dan kebiasaan lama, menyusun hubungan baru, memperluas, dan memperbaharui rencana atau idea. Keterampilan afektif yang termuat dalam berpikir kreatif antara lain: merasakan masalah dan peluang, toleran terhadap ketidakpastian, memahami lingkungan dan kekreatifan orang lain, bersifat terbuka, berani mengambil resiko, membangun rasa percaya diri, 10
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
mengontrol diri, rasa ingin tahu, menyatakan dan merespons perasaan dan emosi, dan mengantisipasi sesuatu yang tidak diketahui. Sedangkan kemampuan metakognitif yang termuat dalam berpikir kreatif antara lain: merancang strategi, menetapkan tujuan dan keputusan, mempredikasi dari data yang tidak lengkap, memahami kekreatifan dan sesuatu yang tidak dipahami orang lain, mendiagnosa informasi yang tidak lengkap, membuat pertimbangan multipel, mengatur emosi, dan memajukan elaborasi solusi masalah dan rencana. Selanjutnya, Munandar (2004), merinci ciri-ciri keempat komponen berpikir kreatif sebagai berikut. Ciri-ciri fluency meliputi: (1) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar; (2) Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal; (3) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri flexibility di antaranya adalah : (1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; (2) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; (4) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Ciri-ciri originality di antaranya adalah : (1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; (2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; (3) Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Ciri-ciri elaboration diantaranya adalah : (1) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; (2) Menambah atau memperinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Coleman dan Hammen (Yudha, 2004) menyatakan bahwa berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep, pengertian, penemuan dan karya seni. Pendapat yang hampir serupa dikemukakan Sukmadinata (2004) yaitu: berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental yang memuat keaslian (originality), dan ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating)”. Musbikin (2006) mengartikan kreativitas sebagai kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang baru atau tak diduga sebelumnya, kemampuan memformulasikan konsep yang bukan hafalan menciptakan jawaban baru untuk masalah lama, dan mengajukan pertanyaan baru. Serupa dengan pendapat pakar lainnya, Balka (dalam Mann, 2005) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis meliputi kemampuan berpikir konvergen dan berpikir divergen, yang dirinci : menjadi: (1) kemampuan memformulasi hipotesis matematika yang difokuskan pada sebab dan akibat dari suatu situasi masalah matematis, (2) kemampuan menentukan pola-pola yang ada dalam situasi-situasi masalah matematis; (3) kemampuan memecahkan kebuntuan pikiran dengan mengajukan solusi-solusi baru dari masalah-masalah matematis; (4) kemampuan mengemukakan ide-ide matematika yang tidak biasa dan dapat mengevaluasi konsekuensikonsekuensi yang ditimbulkannya; (5) kemampuan mengidentifikasi 11
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
informasi yang hilang dari masalah yang diberikan, dan (6) kemampuan merinci masalah umum ke dalam sub-sub masalah yang lebih spesifik. Memperhatikan karakteristik yang termuat dalam berpikir kreatif, maka dapat dipahami bahwa berpikir kreatif secara umum dan termasuk dalam matematika merupakan bagian keterampilan hidup yang perlu dikembangkan terutama dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing semakin ketat. Individu yang diberi kesempatan berpikir kreatif akan tumbuh sehat dan mampu menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya, individu yang tidak diperkenankan berpikir kreatif akan menjadi frustrasi dan tidak puas. Berikut disajikan beberapa contoh butir soal tes atau tugas matematis untuk mengukur kemampuan berpikir matematis tertentu. Butir soal tes atau tugas latihan itu dapat tergolong pada tingkat rendah atau tinggi bergantung kepada tingkat sekolah siswa yang bersangkutan. Misalnya, suatu tugas tergolong pada berpikir matematis tingkat tinggi untuk siswa SD tapi tugas tersebut tergolong tingkat rendah untuk siswa SMP dan SMA. Contoh 1: Tugas ini tergolong pada kemampuan pemahaman non rutin untuk siswa SD dan tingkat antara rendah dan sedang untuk siswa SMP, sebagai berikut: Perhatikan pola pada rangkaian gambar di bawah ini.
a. Sebutkan dua bangun dan warna berikutnya b. Mengapa Anda memilih nama bangun dan warna seperti pada (a)? Berikan alasan c. Bangun apakah untuk bangun ke-20? Apakah warna bangun ke-20 tersebut? d. Bangun apakah untuk bangun ke- 46? Apakah warna untuk bangun ke46 seperti Anda sebutkan! Dengan melihat polanya selalu segitiga, lingkaran, belah ketupat, dan segi enam dan berulang lagi dari warna putih, abu-abu, dan hitam dst, memungkinkan guru untuk diperluas, dengan mengajukan pertanyaan seperti “bagaimana pola bangun ke-20?” Adakah aturan umumnya? Tentukan aturan umumnya kalau ada! Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran sangat perlu membudayakan kemandirian belajar dan proses berpikir matematis yang baik akan mengantarkan peserta didik pada pemahaman yang lebih mendalam tentang topik yang dipelajarinya. 12
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Contoh 2: Tugas ini mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa SMP a. Diketahui dua kantong berisi bola. Kantong pertama berisi 3 bola merah dan 7 bola biru. Kantong kedua berisi 4 bola merah dan 6 bola biru. Satu bola diambil dari kantong pertama dicatat dan disimpam dalam kantong kedua. Setelah dikocok, dari kantong kedua diambil satu bola dan dikembalikan ke kantong pertama. Berapa peluang memperoleh bola merah dari kantong kedua? b. Lengkapi tabel berikut untuk empat prisma segi empat tegak yang berbeda tetapi masing-masing mempunyai volume yang sama, yaitu 216 cm3 . Panjang (cm) 6 … … …
Lebar (cm)
Tinggi (cm)
6 … … …
… … … …
Volume (cm3) 216 216 216 216
Luas sisi (cm2) … … … …
1) Misalkan prisma itu merupakan bentuk kemasan mainan anak-anak, ukuran prisma manakah yang menggunakan bahan karton (plastik) minimal? 2) Jika Anda dipercayakan untuk menjadi pemimpin perusahaan itu, kemasan mainan anak-anak mana yang Anda pilih? Jelaskan? Contoh 3: Tugas ini mengukur kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan mengidentifikasi asumsi yang diberikan, untuk siswa SMA a. Persamaan manakah yang cocok untuk gambar di bawah ini? Beri penjelasan yang akurat.
Y a. b. c. d. e.
(0,1)
X (-2,0)
13
y =2x+1 2y = x + 1 y = - 2x + 1 2y = - x + 1 Jawaban a dan c benar
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
b. Andaikan a > 0, b > 0, dan c < 2. Data yang diketahui manakah yang tidak digunakan ketika menunjukkan bahwa grafik fungsi kuadrat f(x) = ax2 + bx + c selalu memotong garis y = 2? Mengapa?
E. Kesimpulan Bertolak dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan halhal sebagai berikut: 1. Standar kompetensi inti dalam kurikulum 2013 mensyaratkan agar pembelajaran matematika, disamping untuk pencapaian tujuan yang ada dalam setiap materi matematika, siswa perlu dibekali dan dibudayakan kemandirian belajar dan kemampuan-kemampuan berpikir matematis, untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan yang selalu berkembang. 2. Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematis yang terlibat, berpikir matematis dapat digolongkan dalam dua level yaitu yang tingkat rendah (lower order thinking) dan yang tingkat tinggi (higher order thinking). Selain itu, pendidikan matematika juga harus dapat membekali siswa dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan matematika, serta memupuk kebiasaan bekerja dan belajar mandiri (self regulated learning) dan bagaimana proses berpikir secara matematik. Dengan demikian diharapkan peran guru untuk menghadirkan mathematical thinking melalui kemandirian belajar siswa harus lebih disadari dan diperdayakan untuk meningkatkan pembentukan belief serta kemampuan menguasai kontent matematika yang memadai. 3. Berdasarkan jenisnya, proses berpikir secara matematis (mathematical thinking) dapat diklasifikasikan dalam lima kompetensi dasar diantaranya: 1) pemahaman matematis, 2) pemecahan masalah matematis, 3) penalaran matematis, 4) koneksi matematis (mathematical connection), dan 5) komunikasi matematis (mathematical communication). Kemampuankemampuan tersebut dapat tergolong pada kemampuan berpikir matematis rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat.
Daftar Rujukan Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) . Jakarta: BNSP. Berman, S. (2002) “Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical Understanding” dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2002). Developing Minds.A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA.
14
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Costa, A.L. “Habit of Mind” dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Cotton, K. (1991). Teaching Thinking Skills. [Online]. Tersedia: http://www.nwrel. Org/Sc Pd/Sirs/6/Cu11.html. [26 April 2013]. Departemen Pendidikan Nasional, (2013). Kurikulum 2013. Standar Kompetensi Inti Mata Pelajaran Matematika, Depdiknas: Jakarta. Ennis, R.H. (1985). Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Goldenberg, E. Paul et al. (2002). Mathematical Habits of Mind for Young Children. J. of Education Development Center, Inc. Boston U. Hassoubah, (2008). Cara Berpikir Kreatif & Kritis. Bandung: Nuansa Edisi ke2. Henningsen, M., & Stein, M.K (1998). Mathematical Tasks and Student Cognition: Classroom-Based Factors That Support and Inhibit HighLevel Mathematical Thinking and Reasoning. Journal for Research in Mathematics, 15, 18-28. Langrehr, J. (2003). Teaching Children Thinking Skills. Jakarta: PT Gramedia. Mann, E.L. (2005). Mathematical Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical Creativity in Middle School Students. Connecticut: University of Connecticut. Miliyawati, B. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan SelfEfficacy Matematis Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Investigasi. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Mullis, I.V.S., et.al. (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC Munandar, S. C. U. (2004). Pengembangan Kreativitas dan Keberbakat. Jakarta: Granada Pustaka Utama. Musbikin, I. (2006). Mendidik Anak Kreatif ala Einstein. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Pollatsek, A., Lima, S. dan Well, A.B. (1981). “Concept or Computation: Student‘s Understanding of The Mean”. Educational Studies in Mathematics. 12 , 191-204. Sabandar. (2008). Pembelajaran Matematika Sekolah dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sagala, S. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Semiawan. C, & Munandar, S.C.U. (1987). Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Petunjuk untuk Guru dan Orang Tua. Jakarta: Gramedia.
15
BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang
Schafersman, S. D. (1992). An Introduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia: File://C:\ Documents and Settings\Home\My Documents\An Introduction to Critical Thinking. [13 Desember 2014] Sumarmo, U. (2010). Pengembangan Berpikir dan Disposisi Kritis, Kreatif pada Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dimuat dalam Website PPs UPI Bandung. ……..(2013). Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. Bandung: Kumpulan Makalah. Tidak Dipublikasikan. Sukmadinata, N.S (2004). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Depdikbud. Jakarta: CV. Alfabeta. Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Turmudi (2009). Teknik dan Strategi Pembelajaran Matematika untuk Guru SMP. Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Umar, W. (2012). Pengembangan Keterampilan Mathematical Thinking Melalui Pembelajaran Matematika Menuju Masa Depan. Makalah Tidak Dipublikasikan Yudha, A.S. (2004). Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas Cyber Media. Melbourne : Australia.
16